Anda di halaman 1dari 24

BANDWAGONING BRUNEI DARUSSALAM TERHADAP REPUBLIK

RAKYAT CINA PADA TAHUN 2018 DALAM KONFLIK LAUT CINA


SELATAN
Yehuda Bimo Yudanto Purwantoro Putro
Universitas Indonesia
e-mail : yhdbim@gmail.com

Abstract

The South China Sea dispute involves People’s Republic of China (PRC) against Vietnam,
Malaysia, Philippines, Indonesia, and Brunei Darussalam. The South China Sea Dispute was
caused by claimant state and nine dashed line which made by PRC. Instead of resist, Brunei
Darussalam in South China Sea Conflict took considerable different gesture other than the rest
belligerent parties like Vietnam, Malaysia, Philippines, and Indonesia. Brunei did not show any
resistance to PRC regarding territorial claimants and instead cooperates with Asian giants
controversial move. Brunei Darussalam took a stand by bandwagoning against the PRC. Brunei’s
behaviour was identified by Balance of Threat theory by Stephen Walt. As a result, there is a very
unbalanced capability and power capacity measure between the combined power capacity of
Brunei Darussalam, Vietnam, Malaysia, the Philippines, and Indonesia with PRC. It made worse by
the Brunei’s economic crisis.

Keywords: South China Sea; Brunei Darussalam; People Republic of China; Bandwagoning.

Abstrak

Konflik Laut Cina Selatan melibatkan Republik Rakyat Cina (RRC) dengan Vietnam, Malaysia,
Filipina, Indonesia, dan termasuk Brunei Darussalam. Konflik Laut Cina Selatan disebabkan oleh
claimant state dan pembuatan sembilan garis putus-putus (nine dashed line) secara sepihak oleh
RRC. Dalam menyikapi agresifitas RRC yang mengklaim wilayahnya di Laut Cina Selatan, Brunei
Darussalam mengambil sikap yang berbeda dibanding yang dilakukan oleh Vietnam, Malaysia,
Filipina, dan Indonesia. Brunei Darussalam mengambil sikap dengan tidak menentang klaim RRC
dan melakukan bandwagoning terhadap RRC. Sikap bandwagoning yang dilakukan Brunei
Darussalam disebabkan oleh tiga kondisi negara dan empat faktor ancaman dalam teori Balance of
Threat Stephen Walt, dimana ukuran kapabilitas dan kapasitas kekuatan yang sangat tidak
berimbang antara Brunei Darussalam, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Indonesia dengan RRC,
bahkan jika kekuatan lima negara tersebut digabungkan. Kondisi tersebut ditambah dengan krisis
ekonomi yang dialami Brunei Darussalam sehingga bandwagoning dianggap sebagai pilihan yang
rasional.

Kata Kunci: Laut Cina Selatan; Brunei Darussalam; Republik Rakyat Cina; Bandwagoning.

Indonesian Journal of International Relations, Vol. 4, No. 1, pp. 1-24.


© 2020 Indonesian Association for International Relations
ISSN 2548-4109 electronic
ISSN 2657-165Xprinted
2 Indonesian Journal of International Relations

kapabilitas militernya sebagai reaksi


Pendahuluan
peningkatan kapabilitas militer yang
Dalam hubungan internasional,
dilakukan oleh negara lain. (Barry Buzzan
sistem internasional muncul sebagai hasil
& Ole Weiver, 2013)
dari interaksi antara aktor-aktor
Menurut paradigma realisme, power
internasional yang bergerak secara
merupakan pusat dari perilaku setiap
dinamis. Hal ini membuat negara harus
negara dalam sistem internasional. Realis
menolong dan mempertahankan dirinya
berasumsi bahwa negara-negara berusaha
sendiri (self-help) karena pada dasarnya
untuk memaksimalkan power yang
negara-negara di dunia saling bersaing
dimiliki untuk mencapai tujuan-tujuannya
satu sama lain. Adapun pandangan ini
(Umar Suryadi, 2017:90). Selaras dengan
berakar dari konsep dalam paradigma
keinginan negara untuk survive dalam
realisme yang menyatakan bahwa
sistem internasional, maka setiap negara
permasalahan utama bagi negara sebagai
berlomba-lomba mencari power
aktor rasional adalah bertahan hidup yang
(Morgenthau, 1993:3). Dapat dikatakan
dicapai dengan cara membangun
bahwa tujuan utama setiap tindakan
kapabilitas, terutama kapabilitas militer
negara adalah untuk memperoleh power
sebagai penunjang keamanan. (Donnelly,
(Anak Agung Banyu Perwita & Yanyan
2008:150). Dalam sistem internasional
Mochamad Yani, 2005:13). Dalam sistem
yang anarki, keamanan dan kedaulatan
internasional, power merupakan
adalah prioritas dari setiap negara.
kemampuan suatu negara untuk
(Burke, 2016:163). Kondisi ini membuat
mempengaruhi atau mengontrol negara
negara-negara akan saling berlomba
lain untuk mendapatkan atau
untuk meningkatkan kapabilitas
mempertahankan tujuan negara yaitu
militernya untuk survive dalam sistem
harga diri (prestige), wilayah, dan
internasional yang berakibat pada
keamanan dengan menggunakan
munculnya security dilemma. Pada
pengaruh, persuasi, ancaman, dan use of
intinya, security dilemma adalah keadaan
force melalui kekuatan militer (Martin
yang timbul ketika suatu negara merasa
Griffiths & Terry O’Callaghan,
terancam dan kemudian meningkatkan
2002:253). Negara yang memiliki power
Bandwagoning Brunei Darussalam terhadap Republik Rakyat Cina 3

lebih besar akan cenderung untuk kuat sebagai tumpuan utama dalam
mengontrol negara lain dan melahirkan membangun kekuatan militer, memiliki
dominasi dan kepemimpinan intelektual nuklir, dan harus mendominasi institusi
(Gramsci, 1999). Dominasi yang internasional karena institusi internasional
dimaksud oleh Gramsci disebut dengan merupakan lembaga yang mempunyai
hegemoni. Menurut Gramsci, hegemoni legitimasi atas perilaku negara
dan dominasi merupakan elemen yang (Mearsheimer, 2011). Hegemoni tercapai
tidak dapat dipisahkan karena konsep melalui kepemilikan superioritas atas
hegemoni berbicara tentang dua konsep, akses berbagai sumber kekuatan yang
yaitu kepemimpinan dan dominasi. Kedua menghasilkan satu negara sebagai sebuah
konsep ini mengimplikasikan tiga hal, hegemon yang memiliki structural power.
yaitu kekuasaan dan dominasi suatu Oleh karena ketidakpastian dalam
negara, penaklukan terhadap sistem internasional, negara great power
pemerintahan bangsa lain, dan selalu berusaha untuk mendapatkan
kepemimpinan serta dominasi yang terus legitimasi kekuasaan terhadap negara-
berlanjut (Nezar Patria & Andi Arif, negara lain. Hal pertama yang dilakukan
2015:117-118). adalah dengan memaksimalkan power
Dalam koridor sistem internasional, relatif yang dimiliki. Menurut
Mearsheimer mengartikan hegemoni Mearsheimer, terdapat empat cara yang
sebagai dominasi satu negara yang dilakukan negara great power untuk
disebut great power terhadap negara- memaksimalkan power relatif-nya. Cara
negara lainnya dalam keseluruhan sistem pertama adalah dengan perang sebagai
internasional. Negara great power adalah strategi yang paling utama. Cara kedua
negara yang memiliki power lebih besar adalah blackmail. Strategi ini
dari negara-negara lainnya serta memiliki mengandalkan ancaman kemampuan
dominasi di kawasan dengan power militer secara tidak langsung untuk
relatif-nya tersebut. Beberapa komponen mencapai suatu hasil tanpa membutuhkan
power relatif yang harus dimiliki oleh biaya. Cara blackmail akan dilakukan
negara great power adalah kekuatan negara great power ketika menghadapi
militer yang kuat, perekonomian yang negara yang power relatif-nya berada jauh
4 Indonesian Journal of International Relations

di bawahnya. Kemudian cara ketiga mempertahankan status quo dibanding


adalah bait and bleed sebagai bentuk harus menjadi hegemoni. Hal ini
strategi untuk melemahkan lawan dengan disebabkan oleh anggapan bahwa harga
memproyeksikan ancaman perang jangka bayar serta resiko untuk mendapatkan
panjang yang akan memakan banyak power dan menjadi hegemoni terlampau
biaya dan sumber daya yang lain besar (Waltz, 1979).
termasuk kemampuan militer. Cara Di Asia, Republik Rakyat Cina
terakhir adalah bloodletting, yaitu strategi (RRC) merupakan negara great power.
yang membiarkan peperangan terjadi di Pasca Perang Dingin, RRC menjadi
antara musuh tanpa ikut serta (proxy war) kekuatan baru di Asia sejak runtuhnya
(Mearsheimer, 2011:30-32). Uni Soviet yang membuat RRC menjadi
Perilaku negara great power aktor dominan bersama Amerika Serikat
tersebut dapat dijelaskan dengan (AS) di kawasan Asia. Hal ini beriringan
pendekatan offensive realism. Offensive dengan peningkatan ekonomi dan militer
realism berpandangan bahwa menjadi RRC yang signifikan sejak tiga dekade
hegemoni adalah cara negara great power terakhir (Yanyan Mochamad Yani, 2010).
untuk survive dalam sistem internasional. Berdasarkan pendekatan offensive
Pendekatan offensive realism memiliki realism, RRC yang pada saat ini ber-
asumsi yang berbeda dengan defensive status sebagai negara great power
realism. Menurut Waltz, pendekatan berupaya menjadi regional hegemon.
defensive realism memandang bahwa Premis ini berangkat dari asumsi
merupakan hal yang tidak bijaksana bagi keunggulan sebagai hegemon adalah jalan
suatu negara untuk mencoba terbaik untuk menjamin terciptanya
memaksimalkan power mereka dalam sistem yang mendukung untuk
kekuatan dunia, karena sistem akan pencapaian berbagai kepentingan bagi
menghukum mereka jika mereka negara great power tersebut
mencoba untuk mendapatkan power yang (Mearsheimer, 2001).
terlalu banyak (Peter Toft, 2005). Dalam pendekatan offensive
Defensive realism berpandangan bahwa realism, keberlangsungan dan
negara great power cenderung akan lebih keselamatan negara merupakan prioritas
Bandwagoning Brunei Darussalam terhadap Republik Rakyat Cina 5

utama bagi setiap negara (Mearsheimer, Darussalam. Seiring dengan kebangkitan


2001). Dengan demikian kedaulatan ekonomi RRC pada awal medio 1980-an
negara dan keutuhan wilayah merupakan yang membuat RRC menjadi kekuatan
hal mutlak yang harus dipertahankan besar di Asia, RRC kembali menegaskan
sebagai bagian survival RRC dalam nine dashed line pada tahun 1993 yang
sistem internasional. Berdasarkan membuat konflik Laut Cina Selatan masih
pendekatan offensive realism tersebut, terus berlangsung hingga saat ini
dapat diidentifikasi bahwa RRC berusaha (Kusumadewi, 2016).
untuk mengklaim beberapa bagian Laut Adapun yang menjadi dasar dari
Cina Selatan demi tujuan survival-nya, klaim nine dashed line RRC adalah
meski harus bersinggungan langsung alasan historis. RRC beranggapan bahwa
dengan batas laut beberapa negara Asia wilayah yang diklaim melalui nine
Tenggara. Sejak tahun 1947, RRC (pada dashed line merupakan wilayah miliknya
tahun 1947 masih bernama Republik sejak zaman dahulu. Terkait dengan
Cina) telah memulai claimant state dan klaim historis, hal ini bertentangan
nine dashed line (Djelantik, 2015). dengan UNCLOS 1982 yang tidak
Claimant state merupakan klaim atas menyertakan klaim historis sebagai dasar
kepemilikan pulau-pulau kecil di wiayah kepemilikan wilayah atau teritori (BBC
Laut Cina Selatan, seperti Kepulauan Indonesia, 2018). Faktanya, RRC
Spratly dan Paracels yang diperebutkan merupakan negara anggota UNCLOS
dengan Vietnam, Malaysia, dan Filipina 1982. Berdasarkan Article (2 (1)(g))
Sementara itu, nine dashed line Konvensi Wina 1969, yang dimaksud
merupakan garis demarkasi atau garis anggota atau negara pihak adalah negara
batas pemisah yang digunakan yang menyatakan dirinya terikat pada
pemerintah RRC untuk mengklaim perjanjian dan karenanya perjanjian
sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan tersebut berlaku padanya (a state which
berdasarkan klaim historis. Garis ini has consented to be bound by the treaty
kemudian yang menimbulkan sengketa and for which the treaty is in force).
wilayah laut dengan Vietnam, Malaysia, Namun demikian, RRC telah melanggar
Filipina, Indonesia, dan Brunei dan tidak mematuhi UNCLOS 1982
6 Indonesian Journal of International Relations

meskipun RRC merupakan salah satu Reef pada tahun 1988 dengan merilis peta
negara yang menandatangani UNCLOS resmi yang menyatakan bahwa Louisa
1982. Reef adalah bagian dari wilayah landasan
Tindakan RRC dengan claimant kontinental Brunei Darussalam (Gary
state dan nine dashed line membuat Sands, 2016). Kemudian pada tahun
Vietnam, Malaysia, Filipina, dan 1992, pulau tersebut diklaim oleh RRC
Indonesia sebagai negara-negara yang sebagai bagian dari wilayahnya melalui
bersengketa dengan RRC di Laut Cina nine dashed line. Meski Brunei
Selatan masing-masing membuat sikap Darussalam telah menandai pulau Louisa
menentang tindakan RRC yang Reef sebagai bagian teritorinya dengan
mengganggu teritori laut masing-masing cara meletakkan batu sebagai tanda, RRC
negara tersebut melalui pernyataan pihak tetap bersikukuh dengan klaimnya hingga
pemerintah masing-masing (Rehia saat ini (Haller-Trost, 1994:48).
Sebayang, 2020). Selain itu, terdapat tren Sejak Pulau Louisa Reef diklaim
peningkatan kapabilitas armada laut serta oleh RRC pada tahun 1992, Brunei
peningkatan anggaran militer hingga 47 Darussalam tidak pernah menjukkan
persen dari keempat negara tersebut sejak sikap menentang klaim RRC tersebut
tahun 2007 hingga 2016 (Stockholm (Gary Sands, 2016). Sepanjang itu pula,
Internasional Peace Research Institute, Brunei tidak pernah menunjukkan
2017), khususnya pada sektor angkatan kekuatan militernya di area yang menjadi
laut. Meski belum memiliki sikap objek sengketa (Odgaard, 2003:18).
kolektif, namun peningkatan kekuatan Ketika Brunei Darussalam menjadi ketua
militer mempertegas sikap negara-negara ASEAN pada tahun 2013, Brunei
tersebut terhadap klaim RRC di teritori Darussalam menunjukkan sikap netral
laut mereka. dengan mendukung prinsip shelving
Adapun objek sengketa yang disputes and pursuing joint development
melibatkan Brunei Darussalam dalam yang diusung oleh RRC dan menghindari
konflik Laut Cina Selatan adalah Pulau kebijakan konfrontatif. Pada bulan
Louisa Reef yang juga diklaim oleh RRC. Desember 2013, misalnya, Brunei
Brunei Darussalam mengklaim Louisa Darussalam menolak untuk menghadiri
Bandwagoning Brunei Darussalam terhadap Republik Rakyat Cina 7

pertemuan informal yang diadakan manapun sejak era Perang Dingin hingga
Filipina bersama dengan negara-negara pasca Perang Dingin (Munthe Salman,
anggota ASEAN yang memiliki klaim di 2015:108). Hal ini dikarenakan Brunei
Laut Cina Selatan. Selain itu, Brunei Darussalam merupakan negara yang kaya
memutuskan untuk tidak mengadakan akan minyak bumi dan gas (migas).
pertemuan anggota ASEAN guna Sebagian besar pendapatan negara ini
membahas isu-isu penting selama satu berasal dari industri terutama industri
tahun terakhir lantaran Brunei migas dan pengolahannya. Keadaan
Darussalam tidak ingin jika permasalahan tersebut membuat Brunei Darussalam
Laut Cina Selatan akan menjadi topik memiliki ketergantungan yang tinggi
utama dan memicu konfrontasi dengan akan migas. Sebanyak 95 persen
RRC (Zhida, 2013). komoditas ekspor Brunei Darussalam
Sikap Brunei Darussalam yang adalah migas. Migas pun menyumbang
tidak menentang klaim RRC menjadi 90 persen pendapatan pemerintah, jauh
anomali, mengingat jika dilihat dari lebih besar ketimbang pemasukan dari
power relatifnya (ekonomi dan militer), jasa, konstruksi, agrikultur, dan bidang-
meski secara militer Brunei tidak bidang lainnya (Akhmad Muawal Hasan,
memiliki kekuatan militer yang mumpuni, 2018).
namun Brunei Darussalam merupakan Meski mengalami penurunan dalam
negara kaya dengan perekonomian yang hal pertumbuhan ekonomi, pada tahun
baik. Brunei Darussalam juga merupakan 2018 Brunei Darussalam masih
negara anggota OPEC (Organization of menempati peringkat ke-9 Asia dan
the Petroleum Exporting Countries) yang peringkat ke-33 dunia dalam kategori
merupakan organisasi negara pengekspor negara dengan pendapatan per kapita
minyak bumi. tertinggi di dunia, lebih tinggi jika
Sejak merdeka dari Inggris pada dibandingkan dengan Vietnam, Malaysia,
tahun 1984, Brunei Darussalam Filipina, dan Indonesia (Trading
menerapkan sistem ekonomi terbuka, Economics, 2018). Hal ini menunjukkan
namun tidak pernah bersekutu secara bahwa Brunei Darussalam masih
politik dan ekonomi dengan negara memiliki power relatif yang kuat, bahkan
8 Indonesian Journal of International Relations

melebihi Vietnam, Malaysia, Filipina, dan khususnya negara-negara yang terlibat


Indonesia dalam hal kekuatan ekonomi, konflik dengannya (Tsu-Sung, 2018).
sehingga Brunei Darussalam memiliki Kelemahan kajian terdahulu mengenai
kapabilitas yang sama dengan keempat topik seputar Brunei Darussalam dan
negara tersebut untuk bersikap menentang RRC serta hubungannya dengan konflik
klaim RRC. Laut Cina Selatan adalah kurangnya
Kajian terdahulu mengenai topik kajian yang membahas secara terfokus
seputar Brunei Darussalam dan RRC serta mengenai konflik antara Brunei
hubungannya dengan konflik Laut Cina Darussalam dan RRC serta sikap Brunei
Selatan pada umumnya mengangkat tiga Darussalam secara spesifik terhadap
isu besar, yaitu 1) Perilaku negara (state klaim RRC di Laut Cina Selatan. Adapun
behaviour) ketika menghadapi ancaman; tujuan dan signifikansi dari tulisan ini
2) Kebijakan RRC di Laut Cina Selatan; adalah untuk mengkaji perihal tersebut
dan 3) Sikap negara-negara ASEAN sehingga memberikan kontribusi secara
dalam konflik laut Cina Selatan. akademik dan praktis, mengingat konflik
Kelompok kajian pertama berfokus pada Laut Cina Selatan masih terus
perilaku yang dilakukan oleh negara berlangsung hingga saat ini.
ketika menghadapi ancaman, terutama Berdasarkan pemaparan di atas,
negara small power yang berhadap Penulis mengambil fokus penelitian pada
dengan negara great power, serta faktor- Brunei Darussalam serta mengkaji secara
faktor yang terkait dengan perilaku teoretis mengenai sikap Brunei
negara tersebut (Mao Thang, 2018). Darussalam yang tidak menentang klaim
Kelompok kajian kedua berfokus kepada RRC di teritorial lautnya, namun
tujuan RRC di Laut Cina Selatan melalui sebaliknya justru melakukan kerjasama
offensive realism yang memandang RRC ekonomi dengan RRC (Hardoko, 2018).
sebagai great power pencari hegemoni Maka pertanyaan penelitian yang diambil
(Storey & Cheng-Yi Lin, 2016:228). adalah Mengapa Brunei Darussalam
Kemudian kajian ketiga berfokus pada tidak menentang klaim RRC di Laut
sikap negara-negara ASEAN dalam Cina Selatan seperti yang dilakukan
menghadapi RRC di Laut Cina Selatan, oleh Vietnam, Malaysia, Filipina, dan
Bandwagoning Brunei Darussalam terhadap Republik Rakyat Cina 9

Indonesia? Penulis menggunakan teori negara lain. Balancing merupakan bentuk


Balance of Threat untuk menganalisis kerjasama atau aliansi yang dilakukan
sikap Brunei Darussalam tersebut. oleh sebuah negara terhadap negara lain
yang bukan merupakan ancaman dengan
tujuan untuk menciptakan keseimbangan.

Kerangka Teori Sedangkan bandwagoning adalah

Berdasarkan teori Balance of beraliansinya sebuah negara terhadap

Threat, sistem internasional bersifat negara yang merupakan ancaman (Walt,

anarki dan cenderung tidak ada distribusi 1985) Terdapat dua penyebab negara

kekuatan yang berimbang, oleh sebab itu melakukan balancing, yang pertama

maka negara akan membuat kerjasama adalah ketika negara merasa terancam

dengan atau melawan kekuatan yang oleh negara yang memiliki potensi

paling mengancam (Walt, 1985:8-9). sebagai hegemon. Kemudian negara

Kerjasama antar negara tersebut menyadari bahwa jika mereka beraliansi

merupakan hasil dari ketidakseimbangan dengan negara pengancam tersebut, maka

ancaman (imbalance of threat) yang negara tersebut akan dikendalikan oleh

terjadi. Hal ini berbeda dengan teori negara pengancam. Maka strategi yang

Balance of Power yang menyatakan paling baik adalah beraliansi dengan

bahwa perilaku negara merupakan hasil negara yang belum siap mendominasi,

dari ketidakseimbangan kekuatan agar tidak terlalu dikendalikan. Kemudian

(imbalance of power) (Legro & alasan kedua adalah negara lebih memilih

Moravcsik, 1999:36). Lebih lanjut lagi, untuk bekerjasama dengan negara yang

Walt menyatakan dua macam perilaku lebih lemah agar memiliki pengaruh

negara sebagai respon atas imbalance of lebih. Hal ini disebabkan oleh karena

threat, yaitu balancing dan negara yang lemah akan membutuhkan

bandwagoning. bantuan yang lebih. Sedangkan alasan


negara melakukan bandwagoning
Menurut Walt, negara akan
berlawanan dengan balancing.
melakukan balancing atau bandwagoning
Bandwagoning dilakukan dengan
ketika adanya ancaman eksternal dari
melakukan aliansi terhadap negara yang
10 Indonesian Journal of International Relations

mengancam dan berkedudukan sebagai Negara mungkin akan melakukan


musuhnya.. Ketika melakukan bandwagoning ketika situasi tidak
bandwagoning, sebuah negara dituntut memungkinkan untuk membentuk aliansi
untuk mengikuti kehendak negara yang untuk melakukan balancing. Kondisi
beraliansi (bandwagon) dengannya. yang ketiga adalah keadaan perang dan
Bandwagoning dilakukan terhadap negara damai. Negara akan lebih memilih
yang kekuatan ancamannya lebih besar balancing pada kondisi damai atau awal
(Walt, 1985). Di sisi lain, melakukan peperangan untuk mengalahkan negara
balancing dianggap menempatkan diri di pengancam. Balancing lebih sering terjadi
posisi yang lebih lemah (Walt, 1979). dalam keadaan damai ataupun
Lebih lanjut lagi, Walt memberikan peperangan, namun bandwagoning
tiga kondisi yang membuat negara dilakukan karena alasan yang oportunis
melakukan balancing atau bahwa negara yang melakukan
bandwagoning. Pertama adalah kondisi bandwagoning menganggap negara yang
negara lemah dan negara kuat. Negara ancamannya lebih besar mungkin akan
lemah biasanya akan melakukan memenangkan peperangan (Walt, 1987).
bandwagoning. Hal ini disebabkan oleh Lebih lanjut lagi Walt
karena negara lemah hanya dapat mengemukakan empat faktor ancaman
memberikan sedikit sumbangsih dalam yang menjadi alasan negara melakukan
sebuah aliansi. Dengan alasan tersebut, balancing atau bandwagoning. Empat
maka negara tersebut hanya ingin aman faktor ancaman tersebut adalah aggregate
dari ancaman dan kemudian memilih power, geographic proximity, offensive
untuk memihak negara yang lebih kuat. power, dan aggressive intention (Walt
Sebaliknya negara kuat akan cenderung 1987). Aggregate power dapat dilihat dari
melakukan balancing karena negara jumlah populasi, luas wilayah, kekuatan
tersebut merasa mampu mengalahkan ekonomi, dan kekuatan militer. Semakin
negara yang memberikan ancaman (Walt, besar aggregate power yang dimiliki
1979). suatu negara maka semakin besar
Kemudian kondisi yang kedua ancaman yang dapat ditimbulkan.
adalah kemungkinan untuk beraliansi. Kemudian faktor yang kedua adalah
Bandwagoning Brunei Darussalam terhadap Republik Rakyat Cina 11

geographic proximity. Geographic besar yang dimiliki negara tersebut untuk


proximity dapat dilihat dari jarak wilayah menang dalam sebuah konflik (Marks,
negara antara satu dengan yang lainnya. 2011;92). Selain itu, bandwagoning
Geographic proximity biasanya dilakukan sebuah negara lemah dengan
menggunakan jarak antara ibukota negara yang dianggap lebih kuat dan
negara. Semakin dekat jarak antara suatu mengancam, sehingga membuat negara
negara dengan negara yang kuat, semakin yang melakukan bandwagoning
besar ancaman dan semakin besar terlindungi oleh ancaman (Waltz,
tendensi untuk melawan negara tersebut. 1979:126). Metode penelitian yang akan
Selanjutnya adalah offensive power yang digunakan dalam artikel ini adalah
dapat diukur dari kapabilitas militer. metode penelitian kuantitatif. Metode
Semakin besar offensive power, maka penelitian kuantitatif digunakan untuk
semakin mengancam negara tersebut. menganalisa fenomena yang tangible dan
Variabel terakhir adalah aggressive relatif statis sehingga hasilnya berupa
intention. Hal ini dapat dilihat dari angka-angka (Leng,2002:118). Metode
pernyataan yang dikeluarkan kepala kuantitatif fokus kepada data statistik atau
negara, alasan-alasan untuk meningkatkan frekuensi dari permasalahan yang sedang
kapasitas dan kapabilitas kekuatan, dan diteliti. Fenomena yang diukur dalam
juga alasan-alasan untuk menyerang penelitian ini adalah empat faktor
negara lain. Semakin ofensif intensi ancaman dalam teori Balance of Threat
sebuah negara, maka semakin besar yang menjadi indikator untuk
keinginan negara kuat lain untuk mengidentifikasi sikap Brunei
melawannya. Darussalam terhadap RRC, yaitu
Dalam ilmu Hubungan aggregate power, geographic proximity,
Internasional, bandwagoning dilakukan offensive power, dan aggressive intention.
oleh suatu negara dengan tujuan untuk
mencapai keuntungan yang lebih
(Schweller, 2004:168). Alasan negara Pembahasan
bekerjasama dengan negara lain tersebut Dalam bagian Pembahasan ini,
dilatarbelakangi oleh kemungkinan lebih Penulis mengidentifikasi sikap Brunei
12 Indonesian Journal of International Relations

Darussalam dalam menyikapi klaim RRC (Walt, 1987). Jika dilihat dari jumlah
di Laut Cina Selatan berdasarkan empat populasi, RRC memiliki jumlah
faktor ancaman, yaitu aggregate power, penduduk sebanyak 1,4 miliar jiwa.
geographic proximity, offensive power, Sedangkan Vietnam memiliki jumlah
dan aggressive intention serta tiga kondisi penduduk sebanyak 96.491.146 jiwa,
negara dalam teori Balance of Threat. Malaysia memiliki sekitar 32.042.458
Penulis juga menjadikan empat faktor jiwa, Filipina memiliki sekitar
ancaman tersebut sebagai indikator 106.512.074 jiwa, dan Indonesia memiliki
perbandingan dengan Vietnam, Malaysia, sekitar 267.002.779 jiwa (The Spectator
Filipina, dan Indonesia sebagai negara- Index, 2018). Jika jumlah populasi
negara yang juga bersengketa dengan keempat negara tersebut digabungkan,
RRC di Laut Cina Selatan. Kemudian maka jumlah populasinya adalah sekitar
hasil analisis tersebut akan Penulis 500 juta jiwa, separuh dari jumlah
gunakan untuk mengidentifikasi populasi RRC.
perbedaan sikap Brunei Darussalam
Sedangkan jika diukur dari luas
dengan empat negara tersebut terhadap
wilayah, RRC memiliki luas wilayah
klaim RRC. Hasil analisis tersebut akan
sebesar 9.596.961-kilometer persegi.
disimpulkan untuk mengidentifikasi sikap
Sebagai perbandingan, Vietnam memiliki
Brunei Darussalam termasuk ke dalam
luas wilayah sebesar 331.210-kilometer
balancing atau bandwagoning, sehingga
persegi, Malaysia sebesar 330.803-
hasil analisis tersebut akan menjawab
kilometer persegi, Filipina sebesar
pertanyaan penelitian.
300.000-kilometer persegi, dan Indonesia
sebagai 1,904,569 kilometer persegi. Jika

Pengaruh Faktor Ancaman Terhadap luas wilayah keempat negara tersebut


Sikap Brunei Darussalam digabungkan, maka luasnya adalah
Aggregate Power 2.866.582-kilometer persegi. Luas
wilayah RRC lebih besar dibandingkan
Aggregate Power dapat dinilai
gabungan antara Vietnam, Malaysia,
dari jumlah populasi, luas wilayah,
Filipina, dan Indonesia.
kekuatan ekonomi, dan kekuatan militer
Bandwagoning Brunei Darussalam terhadap Republik Rakyat Cina 13

Kemudian jika dilihat dari 2014 (Robinsar Hutabarlian, 2018).


perbandingan kekuatan militer, RRC Kemudian Filipina juga termasuk negara
memiliki kekuatan militer yang lebih yang paling agresif meningkatkan
besar dibandingkan Vietnam, Malaysia, kekuatan armada lautnya, sehubungan
Filipina, dan Indonesia meskipun dalam dengan keadaannya yang paling terancam
beberapa tahun terakhir terdapat tren dalam sengketa Laut Cina Selatan. Hal ini
peningkatan kekuatan angkatan laut terkait dengan putusan Pengadilan Tetap
keempat negara tersebut. Tercatat bahwa Arbitrase (Permanent Court of
angkatan laut Vietnam telah menambah Arbitration) di Deen Haag, Belanda
empat kapal fregat Gepard tipe 3.9 buatan tanggal 12 Juli 2016 memenangkan
Rusia pada tahun 2011. Kemudian pada gugatan Filipina atas RRC terkait
tahun 2017, Rusia membantu Vietnam sengketa kedua negara di Laut Cina
dalam memodernisasi sistem pertahanan Selatan, namun RRC justru mengeluarkan
misil angkatan laut di kapal korvet buku putih yang pada intinya menolak
Moiniya dan Tarantula milik angkatan untuk menaati putusan Permanent Court
laut Vietnam. Selain itu, Vietnam juga of Arbitration dan tetap bersikukuh
memiliki roket langka yang dibeli dari dengan klaim historisnya atas nine dashed
Rusia, Rubezh 4K51, sebagai misil line (Veeramalla, 2018). Dalam kurun
pertahanan laut yang mampu waktu antara tahun 2013 hingga 2015,
jangkauannya dapat mencapai hingga Filipina telah mendatangkan belasan
Kepulauan Spratly dan Paracels. Sebagai kapal fregat dan korvet dari Amerika
catatan, saat ini Vietnam adalah negara Serikat, Italia, dan Jepang, meski
dengan armada angkatan laut terkuat di semuanya merupakan armada bekas
ASEAN (Aqwam Hanifam, 2017). (Aqwam Hanifam, 2017).
Peningkatan kekuatan angkatan laut Hal sama juga dilakukan oleh
juga dilakukan oleh Malaysia yang Indonesia. Pada tahun 2017, Indonesia
membeli dua kapal fregat F2000 dari membeli satu kapal selam Chang Bogo-
Inggris dan enam kapal korvet Gowind Class dari Korea Selatan. Pada tahun
Class dari Perancis serta dua kapal selam 2018, terdapat dua kapal selam bertipe
jenis Scorpene dari Perancis pada tahun sama yang dibeli oleh Indonesia. Selain
14 Indonesian Journal of International Relations

Chang Bogo-Class, Indonesia juga Kemudian indikator selanjutnya


berencana membeli dua belas kapal selam dari aggregate power adalah kekuatan
tipe Kilo dari Rusia (Aqwam Hanifam, ekonomi. Jika diukur dari segi kekuatan
2017). Untuk memperkuat alutsista TNI ekonomi, maka RRC juga berada di atas
AL, Indonesia sudah mendatangkan tiga Vietnam, Malaysia, Filipina, dan
unit Light Fregart Bung Tomo Class dan Indonesia. Berdasarkan Gross Domestic
banyak KCR-40 dan KCR-60 buatan Product (GDP), RRC berada di urutan ke-
lokal. Selain itu, Indonesia juga sudah 2 di dunia dengan GDP sebesar 14,092.51
memesan dua unit PKR Sigma-10514 USD. Sebagai perbandingan, Vietnam
dengan opsi sampai sepuluh unit dari berada di peringkat ke-49 dunia dengan
Belanda. Selain itu, juga ada pemesanan GDP sebesar 240.78 USD, Malaysia di
tiga unit kapal selam DSME-209 dari peringkat ke-36 dengan GDP sebesar
Korea Selatan (Robinsar Hutabarlian, 364.96 USD, Filipina di peringkat ke-39
2018) serta yang terbaru adalah dengan GDP sebesar 332.45 USD, dan
peluncuran kapal selama Alugoro pada Indonesia berada di peringkat ke-16
tahun 2020. dengan GDP sebesar 1.074.97 USD
Secara peringkat, RRC juga berada (International Monetary Fund World

jauh di atas empat negara tersebut. Economic Outlook, 2018).

Berdasarkan statistik terbaru indeks Jika dilihat dari aggregate power,


Global Fire Power 2019, RRC baik dari segi jumlah penduduk, luas
menempati peringkat ke-3 di dunia, di wilayah, kekuatan militer, dan kekuatan
bawah Amerika Serikat dan Rusia. ekonomi, maka RRC mengungguli
Sementara itu, Vietnam berada di Vietnam, Malaysia, Filipina, dan
peringkat ke-20, Malaysia peringkat ke- Indonesia. Dengan demikian, RRC
44, Filipina peringkat ke-52, dan menjadi pihak yang lebih mengancam
Indonesia peringkat ke-15. Secara bagi Brunei Darussalam sehingga
kekuatan militer, indeks ini membuktikan keunggulan aggregate power yang
militer RRC berada jauh di atas Vietnam, dimiliki oleh RRC tersebut menjadi salah
Malaysia, Filipina, dan Indonesia.
Bandwagoning Brunei Darussalam terhadap Republik Rakyat Cina 15

satu alasan bagi Brunei Darussalam untuk perekonomiannya dan membuat negara
tidak menentang klaim RRC. tersebut, sehingga mengakibatkan Brunei
Darussalam meminta bantuan RRC untuk
Kebijakan yang tidak bersifat
menanamkan modalnya untuk
konfrontatif tersebut merupakan hasil
mengangkat perekonomian negara (Ervan
pertimbangan akan kapasitas pertahanan
Handoko, 2018). Krisis ekonomi yang
yang kurang memadai dan kondisi
dialami Brunei Darussalam serta
sumber daya migas yang diprediksi akan
kerjasama ekonomi dengan RRC
segera habis dalam waktu dekat. Padahal,
membuat negara tersebut berada dalam
hasil dari sektor migas menyumbang 90%
kondisi yang tidak memungkinkan untuk
dari total pendapatan hasil ekspor Brunei
menentang klaim RRC dan meningkatkan
Darussalam, sehingga menjalin kerjasama
kekuatan militernya seperti yang
dengan RRC menjadi esensial bagi
dilakukan oleh Vietnam, Malaysia,
Brunei Darussalam (Heydarian 2012)
Filipina, dan Indonesia.
karena RRC merupakan pasar potensial
bagi Brunei Darussalam sebagai alternatif Geographic Proximity
sumber pendapatan yang bergantung pada
migas (Heydarian, 2012). Dalam hal kedekatan wilayah,
Brunei Darussalam lebih dekat kepada
Berdasarkan fakta yang ada, Brunei
Vietnam, Malaysia, Filipina, dan
Darussalam tengah dilanda krisis
Indonesia dibandingkan dengan RRC.
ekonomi yang disebabkan oleh jatuhnya
Namun dalam sengketa Laut Cina
harga minyak dunia. Krisis ekonomi yang
Selatan, nine dashed line yang dibuat oleh
terjadi di Brunei Darussalam disebabkan
RRC melanggar Zona Ekonomi Eksklusif
oleh ketergantungan Brunei Darussalam
Brunei (ZEE) Darussalam, serta melintasi
pada hasil migasnya, sehingga ketika
batas-batas wilayah Brunei Darussalam
harga minyak dunia jatuh, maka Brunei
yang dekat dengan ibukota Brunei
Darussalam mengelami resesi (Ervan
Darussalam, seperti wilayah utara pulau
Handoko, 2018). Krisis ekonomi tersebut
Kalimantan. Nine dashed line yang dibuat
membuat Brunei Darussalam tidak
RRC merupakan ancaman bagi Brunei
mampu mengembangkan
Darussalam karena terletak dekat dengan
16 Indonesian Journal of International Relations

wilayahnya. Dengan demikian, dari segi bawah Amerika Serikat dan Rusia, seperti
geographic proximity, RRC merupakan yang Penulis telah paparkan sebelumnya.
ancaman bagi Brunei Darussalam,
Tabel 1 RRC Vietnam, Malaysia, Filipina,
meskipun jarak antara Brunei Darussalam Indonesia Combined
dengan RRC lebih jauh dibandingkan Naval Assets 714 466
jarak Brunei Darussalam dengan
Aircraft
Vietnam, Malaysia, Filipina, dan 1 0
Carriers
Indonesia.
Frigates 50 24
Offensive Power
Destroyers 29 0

Seperti yang dinyatakan oleh Walt Corvettes 39 54


mengenai offensive power yang
Submarines 73 11
menyatakan bahwa semakin besar
Patrol Vessels 220 175
kekuatan militer yang dimiliki oleh suatu
negara, maka negara tersebut dianggap Mine Warfare 29 24
menjadi ancaman (Walt, 1987). Dalam Total 1.115 754
hal ini, maka alasan Brunei Darussalam
(Global Fire Power, 2018)
tidak menentang klaim RRC di teritori
Dalam hubungannya dengan
laut Brunei Darussalam adalah karena
sengketa di Laut Cina Selatan, tabel di
RRC memiliki kekuatan militer yang
atas menunjukkan bahwa dari segi
lebih besar dibandingkan Vietnam,
offensive power, kekuatan angkatan laut
Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Bahkan
RRC berada di atas kekuatan angkatan
jika kekuatan militer Vietnam, Malaysia,
laut gabungan Vietnam, Malaysia,
Filipina, dan Indonesia digabungkan,
Filipina, dan Indonesia. Berdasarkan
kekuatan militer empat negara tersebut
fakta tersebut, Penulis menyimpulkan
masih belum mampu menyamai dan
bahwa oleh karena RRC memiliki
menandingi kekuatan militer RRC yang
offensive power yang jauh lebih besar
merupakan menempati urutan ke-3
dibandingkan Vietnam, Malaysia,
kekuatan militer terbesar di dunia, di
Filipina, dan Indonesia, maka RRC
Bandwagoning Brunei Darussalam terhadap Republik Rakyat Cina 17

merupakan ancaman bagi Brunei Jinping, menegaskan bahwa RRC tidak


Darussalam sehingga Brunei Darussalam akan menghentikan klaimnya di Laut
lebih memilih untuk tidak menentang Cina Selatan. Adapun yang menjadi
klaim RRC seperti yang dilakukan oleh alasan bagi Xi Jinping adalah bahwa Laut
Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Cina Selatan merupakan teritori warisan
Indonesia. Hal ini didukung pula oleh nenek moyang yang akan selalu
statistik dalam tabel di atas yang diperjuangkan oleh RRC (Rizkyan
menyatakan bahwa sekalipun kekuatan Adiyudha, 2018).
angkatan laut Vietnam, Malaysia,
Pernyataan yang dikeluarkan oleh
Filipina, dan Indonesia digabungkan,
Xi Jinping tersebut membuat aggressive
namun kekuatan angkatan laut keempat
intention yang dimiliki oleh RRC menjadi
negara tersebut tetap tidak mampu
jelas. Kemudian hal tersebut menjadi
menyaingi kekuatan angkatan laut RRC,
alasan bagi Brunei Darussalam
sehingga bekerja sama dengan RRC
menganggap RRC sebagai ancaman
dibanding dengan Vietnam, Malaysia,
sehingga Brunei Darussalam, mengingat
Filipina, dan Indonesia dianggap sebagai
pernyataan Xi Jinping yang menegaskan
pilihan yang rasional.
bahwa RRC tidak akan klaimnya di Laut
Cina Selatan. Hal ini memenuhi unsur
“alasan-alasan untuk menyerang negara
Aggressive Intention
lain” seperti yang dikemukakan oleh
Seperti yang dikemukakan oleh Walt. Berdasarkan analisa Penulis,
Walt mengenai aggressive intention, pernyataan Xi Jinping yang menunjukkan
maka elemen-elemen yang termasuk besarnya aggressive intention yang
adalah pernyataan yang dikeluarkan dimiliki oleh RRC, terlebih didukung
kepala negara, alasan-alasan untuk oleh tiga faktor ancaman lain seperti yang
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas telah terlebih dahulu Penulis paparkan,
kekuatan, dan juga alasan-alasan untuk membuat Brunei Darussalam memilih
menyerang negara lain. Dari pernyataan untuk tidak menentang klaim RRC di
oleh kepala negara, Presiden RRC, Xi Laut Cina Selatan.
18 Indonesian Journal of International Relations

Kemudian jika ditinjau dari tiga balancing menurut Walt yang


kondisi negara yang dikemukakan oleh menyatakan bahwa balancing merupakan
Walt, maka Brunei Darussalam tidak bentuk kerjasama atau aliansi yang
menentang klaim RRC di teritori lautnya dilakukan oleh sebuah negara terhadap
karena jika kedua negara dibandingkan, negara lain yang bukan merupakan
maka Brunei Darussalam merupakan ancaman sekaligus musuh dengan tujuan
negara lemah. Dan menurut Walt, negara untuk menciptakan keseimbangan. Dalam
lemah akan cenderung melakukan hal ini, RRC merupakan ancaman untuk
bandwagoning terhadap negara kuat. Brunei Darussalam dan berdasarkan
Selain kekuatan ekonomi yang lemah kapabilitas militer serta ekonomi, Brunei
karena resesi, jika dikaitkan dengan Darussalam memposisikan dirinya
sengketa di Laut Cina Selatan maka sebagai negara lemah, sehingga Brunei
kekuatan militer Brunei Darussalam juga Darussalam lebih memilih untuk tidak
berada jauh di bawah kekuatan militer menentang klaim RRC. Kemudian jika
RRC. Hal ini membuat Brunei meninjau kemungkinan untuk beraliansi
Darussalam menganggap bahwa atau bekerja sama dengan Vietnam,
peningkatan kekuatan militer dan sikap Malaysia, Filipina, dan Indonesia sebagai
menentang klaim RRC seperti yang sesama negara yang bersengketa dengan
dilakukan oleh Vietnam, Malaysia, RRC, maka Penulis berkesimpulan bahwa
Filipina, dan Indonesia merupakan pilihan aliansi tidak memungkinkan untuk
yang tidak bijak karena kekuatan militer dilakukan. Hal ini menilik pada fakta
RRC lebih besar dari Brunei Darussalam, bahwa baik Vietnam, Malaysia, Filipina,
Vietnam, Malaysia, Filipina, dan dan Indonesia belum menunjukkan niat
Indonesia, selain karena krisis ekonomi untuk membentuk sebuah aliansi
yang sedang dialami oleh Brunei menghadapi RRC (Darmawan &
Darussalam. Mahendra, 2018). Namun sebaliknya,
keempat negara tersebut justru lebih
Jika ditinjau dari kondisi kedua,
bersikap menentang klaim RRC. Hal ini
yaitu kemungkinan untuk beraliansi
dapat dilihat dari sikap resmi pemerintah
(balancing), maka jika menilik pengertian
keempat negara tersebut dan peningkatan
Bandwagoning Brunei Darussalam terhadap Republik Rakyat Cina 19

kekuatan angkatan laut yang telah terlebih membuat Brunei Darussalam lebih
dahulu dibahas. memilih untuk tidak menentang klaim
RRC.
Kemudian sikap Brunei
Darussalam ditinjau secara lebih lanjut Adapun klimaks dari sikap Brunei
pada kondisi ketiga, yaitu sikap negara Darussalam tersebut adalah kesepakatan
lemah (small power) yang oportunis (Mao Xi Jinping dan Sultan Hassanal Bolkiah
Thang, 2018). Seperti telah dipaparkan melalui kedatangan Xi Jinping ke Brunei
sebelumnya, bahwa Brunei Darussalam Darussalam pada bulan November 2018
tengah mengalami krisis ekonomi yang untuk memperkuat kerjasama
disebabkan oleh anjloknya harga minyak perdagangan dan investasi bilateral, di
bumi di dunia. Hal ini menyebabkan antaranya mendorong kerja sama pada
Brunei Darussalam kehilangan sumber kilang minyak Hengyi Industries Sdn Bhd
pendapatan utamanya. Kemudian jika dan pabrik petrokimia di Pulau Muara
faktor tersebut digabungkan juga dengan Besar, serta mempromosikan "Koridor
keadaan konflik di Laut Cina Selatan, Ekonomi Brunei-Guangxi", dan
Brunei Darussalam menganggap bahwa memperkuat komunikasi dan kerjasama
RRC sebagai negara great power di teknis di bidang pertanian, makanan halal
kawasan memiliki kemungkinan yang dan budidaya (Eka Yudha Saputra, 2018).
lebih besar untuk memenangkan sengketa Kesepakatan ini merupakan bentuk
Laut Cina Selatan jika dilihat dari bandwagoning yang dilakukan oleh
perbandingan kekuatan militernya, Brunei Darussalam, padahal pada saat itu
khususnya angkatan laut, dengan konflik LCS masih berlangsung dan
Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam merupakan salah satu
Indonesia. Bahkan jika keempat negara negara yang berkonflik dengan RRC di
tersebut menggabungkan kekuatan LCS.
militernya, RRC tetap memiliki kekuatan
Simpulan
yang lebih besar. Hal ini membuat Brunei
Berdasarkan analisa yang telah
Darussalam memposisikan RRC sebagai
dipaparkan oleh Penulis, maka simpulan
negara kuat sekaligus musuh dan
yang dapat diambil adalah bahwa Brunei
20 Indonesian Journal of International Relations

Darussalam melakukan bandwagoning offensive power, dan aggressive intention.


kepada RRC karena RRC merupakan Secara aggregate power, RRC lebih
pihak yang berkedudukan sebagai negara unggul segi dari jumlah populasi, luas
kuat sekaligus musuh Brunei Darussalam wilayah, kekuatan ekonomi, dan kekuatan
dalam konflik LCS, sehingga Brunei militer dibandingkan dengan Vietnam,
Darussalam tidak memiliki opsi lain Malaysia, Filipina, dan Indonesia, bahkan
untuk menghadapi RRC selain bekerja jika elemen-elemen aggregate power dari
sama dan melakukan bandwagoning. keempat negara tersebut digabungkan.
Adapun bandwagoning yang dilakukan Kemudian dari segi geographic
Brunei Darussalam adalah melalui proximity, klaim nine dashed line yang
kerjasama ekonomi dan investasi yang dekat dengan wilayah serta ibu kota
disepakati oleh pemimpin kedua negara. Brunei Darussalam merupakan ancaman
bagi Brunei Darussalam, meskipun jarak
Sikap Brunei Darussalam terhadap
antara Brunei Darussalam dengan RRC
RRC juga didukung oleh tiga kondisi
lebih jauh dibandingkan jarak Brunei
negara dan empat faktor ancaman dalam
Darussalam dengan Vietnam, Malaysia,
teori Balance of Threat. Berdasarkan tiga
Filipina, dan Indonesia. Lebih lanjut lagi,
kondisi negara Walt, Brunei Darussalam
dari segi offensive power, kekuatan
memposisikan dirinya sebagai negara
militer yang dimiliki oleh RRC lebih kuat
lemah, dan negara yang lemah akan
jika dibandingkan dengan gabungan
cenderung melakukan bandwagoning
kekuatan Vietnam, Malaysia, Filipina,
terhadap negara kuat. Adapun alasan
dan Indonesia. Hal ini didukung dengan
Brunei Darussalam menempatkan
aggressive intention yang dimiliki RRC
posisinya sebagai negara lemah adalah
dengan pernyataan presiden Xi Jinping
karena kekuatan ekonomi Brunei
yang menegaskan tidak akan berhenti
Darussalam yang sedang terpuruk karena
mewujudkan klaim atas wilayah Laut
resesi. Posisi Brunei Darussalam tersebut
Cina Selatan.
didukung oleh empat faktor ancaman,
dimana RRC lebih unggul dalam Penulis berargumen bahwa faktor-
aggregate power, geographic proximity, faktor ancaman yang telah dipaparkan
Bandwagoning Brunei Darussalam terhadap Republik Rakyat Cina 21

tersebut menjadi alasan Brunei Selain itu, keunggulan power relatif


Darussalam tidak menentang klaim RRC yang dimiliki RRC juga menjadi alasan
di Laut Cina Selatan meski wilayah Brunei Darussalam tidak menentang
lautnya terkena klaim nine dashed line. klaim RRC serta melakukan
Selain itu, Penulis beranggapan bahwa bandwagoning terhadap RRC. Hal ini
Brunei Darussalam memilih melakukan disebabkan oleh karena Vietnam,
bandwagoning kepada RRC karena Malaysia, Filipina, atau Indonesia tidak
ukuran kapabilitas dan kapasitas kekuatan ada yang memiliki power melebihi RRC,
yang sangat tidak berimbang antara sehingga jawaban atas pertanyaan
Brunei Darussalam serta Vietnam, penelitian adalah bahwa bagi Brunei
Malaysia, Filipina, dan Indonesia dengan Darussalam, bersikap seperti Vietnam,
RRC. Hal ini ditambah dengan kondisi Malaysia, Filipina, atau Indonesia dengan
perekonomian Brunei Darussalam yang menentang klaim RRC merupakan
terpuruk sehingga tidak menentang klaim tindakan yang sia-sia. Dengan demikian,
RRC serta melakukan bandwagoning tidak menentang klaim RRC dan
akan lebih menguntungkan dan melakukan bandwagoning adalah langkah
merupakan keputusan yang rasional bagi terbaik yang dapat ditempuh oleh Brunei
Brunei Darussalam. Adapun argumen Darussalam. Dalam hal ini, RRC
Penulis yang menyatakan bahwa Brunei berkedudukan sebagai negara kuat
Darussalam melakukan bandwagoning sekaligus musuh Brunei Darussalam
didasarkan pada definisi bandwagoning dalam konflik LCS, sehingga tidak ada
menurut Walt, yaitu aliansi atau pilihan bagi Brunei Darussalam selain
kerjasama yang dilakukan suatu negara bekerja sama dalam bentuk
dengan negara lain yang mengancam dan bandwagoning dengan RRC.
berkedudukan sebagai musuh. Oleh
Daftar Pustaka
karena itu, maka kerjasama perdagangan
Adiyudha, Rizkyan., dan Nursalikah, Ani.
dan investasi yang dilakukan Brunei
(2018). Xi Jinping Tak Akan Angkat
Darussalam terhadap RRC yang Kaki Dari Laut Cina Selatan. Diambil
merupakan musuhnya dalam konflik LCS dari
https://www.google.co.id/amp/s/m.repu
merupakan bentuk bandwagoning. blika.co.id/amp/pb0pwq366.
22 Indonesian Journal of International Relations

BBC Indonesia. (2016). Cina kembali https://tirto.id/asean-mempercanggih-


tegaskan klaim atas wilayah di Laut armada-bersiaga-hadapi-cina-cxP5.
Cina Selatan. Diambil dari
https://www.bbc.com/indonesia/dunia/ Hardoko, Ervan. (2018). Tak Bisa Lagi
2016/07/160712_dunia_reaksi_lautcina Andalkan Minyak, Brunei Mulai
selatan Berpaling ke China. Diambil dari
https://internasional.kompas.com/read/
Burke, Anthony (2012). Security. In Richard 2018/11/19/18480641/tak-bisa-lagi-
Devetak, Anthony Burke, Jim George andalkan-minyak-brunei-mulai-
(eds), An Introduction to International berpaling-ke-china.
Relations, pg. 160-171, Cambridge:
CUP. Hasan, Akhmad Muawal. (2018). Cadangan
Migas Hampir Habis, Brunei Kian
Buzzan, Barry & Weiver, Ole. (2003) Region Mesra Dengan China. Diambil dari
and Power The Structure in https://tirto.id/cadangan-migas-hampir-
International Security. Cambridge habis-brunei-kian-mesra-dengan-cina-
University Press : Cambridge, 2003. cGCA

Darmawan, Arief & Mahendra, Lady. (2018). Hutabarlian, Robinsar. (2018). Indonesia
Isu Laut Tiongkok Selatan: Negara- Dalam Tren Modernisasi Alutsista
negara ASEAN Terbelah Menghadapi Angkatan Laut Negara Kawasan Laut
Tiongkok. E-Journal Universitas China Selatan. Diambil dari
Airlangga. https://www.kompasiana.com/robinsar
hutabalian6845/5b7042556ddcae2cd17
Djelantik. (2015). Asia-Pasifik: Konflik, e23b2/indonesia-dalam-tren-
Kerja Sama, dan Relasi Antarkawasan. modernisasi-alutsista-angkatan-laut-
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. negara-kawasan-laut-china-selatan.
Donnelly, Jack. (2008). The Ethics of Haller-Trost. (1994). International Law and
Realism, in Christian Reus-Smit, the History of the Claims to the Spratly
Duncan Snidal (eds.). The Oxford Islands. Washington: American
Handbook of International Relations, Enterprise Institute.
Oxford University Press p. 150
International Monetary Fund World
Gramsci, Antonio. (1999). Selections from Economic Outlook. (2018). Diambil
the Prison Notebooks. London: The dari
Electric Book Company Ltd. http://statisticstimes.com/economy/proj
Griffiths, Martin & Terry O’Callaghan. ected-world-gdp-ranking.php.
(2002). International Relations: The Kementerian Luar Negeri Republik
Key Concepts. London:Routledge. Indonesia. (2019). Diambil dari
Hanifam, Aqwam. (2017). ASEAN https://kemlu.go.id/portal/id/read/101/h
Mempercanggih Armada Bersiaga alaman_list_lainnya/laut-china-selatan
Hadapi Cina. Diambil dari
Bandwagoning Brunei Darussalam terhadap Republik Rakyat Cina 23

Kusumadewi, Anggi. (2016). Kemelut /28/brunei-silent-claimant-south-china-


Indonesia-Cina di Natuna sepanjang sea/
2016. Diambil dari
https://www.cnnindonesia.com/nasiona Saputra, Eka Yudha. (2018). Kunjungi Brunei
l/20160621100151-20- Darussalam, Xi Jinping Perkuat
139694/kemelutindonesia china-di- Kerjasama Ekonomi. Diambil dari
natuna-sepanjang-2016 (accessed on https://dunia.tempo.co/read/1147802/k
February 6th 2020). unjungi-brunei-darussalam-xi-jinping-
perkuat-kerja-sama-
Legro, Jeffrey & Moravcsik, Andrew. (1999). ekonomi/full&view=ok
Is Anybody Still a Realist?.
Massachusetts: Harvard College. Schweller, Randal. (2004). Unanswered
Threats: A Neoclassical Realist Theory
Marks, Michael. (2011). Metaphors in of Underbalancing. International
International Relations History. Berlin: Security. 29(2), 159-201.
Springer.
Sebayang, Rehia. (2020). Ramai-ramai
Mearsheimer, John. (2011). Why Leaders
Negara ASEAN Geram Karena Klaim
Lie: The Truth about Lying in
Laut China. Diambil dari
International Politics. New York:
https://www.cnbcindonesia.com/news/
Oxford University Press.
20200106140946-4-127958/ramai-
Morgenthau, Hans. (1993). Politics Among ramai-negara-asean-geram-karena-
Nations: Struggle for Power and klaim-laut-china
Peace. Boston: McGraw-Hill.
Storey & Cheng-Yi Lin. (2016). The South
Patria, N., & Arief, A. (2015). Antonio China Dispute: Navigating Diplomatic
Gramsci: Negara & Hegemoni. and Strategic Tensions. ISEAS.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thang, Mao. (2018). Small States and
Perwita, Anak Agung Banyu & Yanyan Hegemonic Competition in Southeast
Mochamad Yani. (2005). Pengantar Asia: Pursuing Autonomy, Security and
Ilmu Hubungan Internasional. Development amid Great Power
Bandung: Remaja Rosdakarya. Politics. Routledge.

Salman, Munthe. (2015). Strategi Trading Economics Index. (2018). GDP per
Implementasi Sistem Ekonomi Islam capita. Diambil dari
dalam Menghadapi Masyarakat https://tradingeconomics.com/.
Ekonomi Asean (MEA), Jurnal
Toft, Peter. (2005). John J. Mearsheimer: an
Perspektif Ekonomi Darussalam,
offensive realist between geopolitics
Volume 1 No. 2.
and power. University of Copenhagen.
Sands, Gary. (2016). Brunei, Silent Claimant
in the South China Sea. Diambil dari
https://foreignpolicyblogs.com/2016/04
24 Indonesian Journal of International Relations

Tsu-Sung. (2018). South China Sea Disputes:


The Historical, Geopolitical, and Legal
Studies. World Scientific.

Veeramalla, Anjaiah. (2018) Dua Tahun


Berlalu China Masih Mengabaikan
Keputusan PCA tentang LCS.
https://kompasiana.com/anjaiah/5b456c7c
dd0fa86ad96eba83/dua-tahun-
berlalu-china-masih -mengabaikan-
keputusan-pca-tentang-lcs?page=all

Walt, Stephen. (1985). Alliance Formation


and the Balance of World Power.
Massachusetts: The MIT Press.

Walt, Stephen. (1987). The Origin of


Alliance. New York: Cornell
University Press.

Waltz, Kenneth. (1979). Theory of


International Politics. Boston:
Addison-Wesley Publishing Company.

Yani, Yanyan Mochamad. (2010).


Kepentingan Strategis China di
Kawasan Asia Timur Pasca Perang
Dingin dalam Persepektif Offensive
Realism John J. Mearsheimer.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/u
ploads/2010/01/makna_pengembangan
_kekuatan_militer_China.pdf

Anda mungkin juga menyukai