Latar Belakang
Pertimbangan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran adalah:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri
nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan sangat luas dengan batas-batas, hak-
hak, dan kedaulatan yang ditetapkan dengan undang-undang;
b. bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan Wawasan
Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem transportasi
nasional untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan
memperkukuh kedaulatan negara;
c. bahwa pelayaran yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan,
keselamatan dan keamanan pelayaran, dan perlindungan lingkungan maritim,
merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang harus dikembangkan potensi
dan peranannya untuk mewujudkan sistem transportasi yang efektif dan efisien, serta
membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis;
d. bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut
penyelenggaraan pelayaran yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha, otonomi daerah, dan akuntabilitas
penyelenggara negara, dengan tetap mengutamakan keselamatan dan keamanan
pelayaran demi kepentingan nasional;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran sudah tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan penyelenggaraan pelayaran saat ini sehingga perlu diganti
dengan undang-undang yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pelayaran;
Dasar Hukum
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran adalah Pasal 5
ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 25A, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketentuan Umum
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan,
kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.
2. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan
dan perairan pedalamannya.
3. Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan
penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.
4. Angkutan Laut Khusus adalah kegiatan angkutan untuk melayani kepentingan
usaha sendiri dalam menunjang usaha pokoknya.
5. Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat adalah usaha rakyat yang bersifat tradisional
dan mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan
dengan menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan/atau kapal motor sederhana
berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu.
6. Trayek adalah rute atau lintasan pelayanan angkutan dari satu pelabuhan ke
pelabuhan lainnya.
7. Agen Umum adalah perusahaan angkutan laut nasional atau perusahaan nasional
yang khusus didirikan untuk melakukan usaha keagenan kapal, yang ditunjuk oleh
perusahaan angkutan laut asing untuk mengurus kepentingan kapalnya selama berada di
Indonesia.
8. Pelayaran-Perintis adalah pelayanan angkutan di perairan pada trayek-trayek
yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk melayani daerah atau wilayah yang belum atau
tidak terlayani oleh angkutan perairan karena belum memberikan manfaat komersial.
9. Usaha Jasa Terkait adalah kegiatan usaha yang bersifat memperlancar proses
kegiatan di bidang pelayaran.
10. Angkutan Multimoda adalah angkutan barang dengan menggunakan paling
sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar 1 (satu) kontrak yang
menggunakan dokumen angkutan multimoda dari satu tempat diterimanya barang oleh
operator angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang
tersebut.
11. Usaha Pokok adalah jenis usaha yang disebutkan di dalam surat izin usaha suatu
perusahaan.
12. Hipotek Kapal adalah hak agunan kebendaan atas kapal yang terdaftar untuk
menjamin pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain.
13. Piutang-Pelayaran yang Didahulukan adalah tagihan yang wajib dilunasi lebih
dahulu dari hasil eksekusi kapal mendahului tagihan pemegang hipotek kapal.
14. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi
pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal,
penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan
intra-dan/atau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan
tetap memperhatikan tata ruang wilayah.
15. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem kepelabuhanan yang
memuat peran, fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, Rencana Induk Pelabuhan Nasional,
dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra-dan antarmoda serta keterpaduan dengan
sektor lainnya.
16. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan
batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan
yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau
bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi
dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang
pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.
17. Pelabuhan Utama adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan
angkutan laut dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan
internasional dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau
barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.
18. Pelabuhan Pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani
kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam
jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta
angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.
19. Pelabuhan Pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani
kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam
jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan
pengumpul, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan
penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi.
20. Terminal adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas kolam sandar dan tempat
kapal bersandar atau tambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun
penumpang, dan/atau tempat bongkar muat barang.
21. Terminal Khusus adalah terminal yang terletak di luar Daerah Lingkungan Kerja
dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan
terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya.
22. Terminal untuk Kepentingan Sendiri adalah terminal yang terletak di dalam
Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang
merupakan bagian dari pelabuhan untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan
usaha pokoknya.
23. Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) adalah wilayah perairan dan daratan pada
pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan
pelabuhan.
24. Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) adalah perairan di sekeliling daerah
lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan
pelayaran.
25. Rencana Induk Pelabuhan adalah pengaturan ruang pelabuhan berupa
peruntukan rencana tata guna tanah dan perairan di Daerah Lingkungan Kerja dan
Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan.
26. Otoritas Pelabuhan (Port Authority) adalah lembaga pemerintah di pelabuhan
sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan
kegiatan kepelabuhanan yang diusahakan secara komersial.
27. Unit Penyelenggara Pelabuhan adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai
otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, pengawasan kegiatan
pelabuhan, dan pemberian pelayanan jasa kepelabuhan, dan pemberian pelayanan jasa
kepelabuhan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.
28. Badan Usaha Pelabuhan adalah badan usaha yang kegiatan usahanya khusus di
bidang pengusahaan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya.
29. Kolam Pelabuhan adalah perairan di depan dermaga yang digunakan untuk
kepentingan operasional sandar dan olah gerak kapal.
30. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
31. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
32. Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya
persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan,
kepelabuhanan, dan lingkungan maritim.
33. Kelaiklautan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan
keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis
muat, pemuatan, kesejahteraan A wak Kapal dan kesehatan penumpang, status hukum
kapal, manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen
keamanan kapal untuk berlayar di perairan tertentu.
34. Keselamatan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material,
konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta
perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang
dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
35. Badan Klasifikasi adalah lembaga klasifikasi kapal yang melakukan pengaturan
kekuatan konstruksi dan permesinan kapal, jaminan mutu material marine, pengawasan
pembangunan, pemeliharaan, dan perombakan kapal sesuai dengan peraturan
klasifikasi.
36. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan
dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk
kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat
apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
37. Kapal Perang adalah kapal Tentara Nasional Indonesia yang ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
38. Kapal Negara adalah kapal milik negara digunakan oleh instansi Pemerintah
tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk menegakkan hukum serta tugas-tugas Pemerintah lainnya.
39. Kapal Asing adalah kapal yang berbendera selain bendera Indonesia dan tidak
dicatat dalam daftar kapal Indonesia.
40. Awak Kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh
pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan
jabatannya yang tercantum dalam buku sijil.
41. Nakhoda adalah salah seorang dari Awak Kapal yang menjadi pemimpin
tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
42. Anak Buah Kapal adalah Awak Kapal selain Nakhoda.
43. Kenavigasian adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran, Telekomunikasi-Pelayaran, hidrografi dan meteorologi, alur dan
perlintasan, pengerukan dan reklamasi, pemanduan, penanganan kerangka kapal,
salvage dan pekerjaan bawah air untuk kepentingan keselamatan pelayaran kapal.
44. Navigasi adalah proses mengarahkan gerak kapal dari satu titik ke titik yang lain
dengan aman dan lancar serta untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan pelayaran.
45. Alur-Pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar, dan bebas
hambatan pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari.
46. Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran adalah peralatan atau sistem yang berada di
luar kapal yang didesain dan dioperasikan untuk meningkatkan keselamatan dan
efisiensi bernavigasi kapal dan/atau lalu lintas kapal.
47. Telekomunikasi-Pelayaran adalah telekomunikasi khusus untuk keperluan dinas
pelayaran yang merupakan setiap pemancaran, pengiriman atau penerimaan tiap jenis
tanda, gambar, suara dan informasi dalam bentuk apa pun melalui sistem kawat, optik,
radio, atau sistem elektromagnetik lainnya dalam dinas bergerak-pelayaran yang
merupakan bagian dari keselamatan pelayaran.
48. Pemanduan adalah kegiatan pandu dalam membantu, memberikan saran, dan
informasi kepada Nakhoda tentang keadaan perairan setempat yang penting agar
navigasi-pelayaran dapat dilaksanakan dengan selamat, tertib, dan lancar demi
keselamatan kapal dan lingkungan.
49. Perairan Wajib Pandu adalah wilayah perairan yang karena kondisi perairannya
mewajibkan dilakukan pemanduan kepada kapal yang melayarinya.
50. Pandu adalah pelaut yang mempunyai keahlian di bidang nautika yang telah
memenuhi persyaratan untuk melaksanakan pemanduan kapal.
51. Pekerjaan Bawah Air adalah pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi,
konstruksi, atau kapal yang dilakukan di bawah air dan/atau pekerjaan di bawah air
yang bersifat khusus, yaitu penggunaan peralatan bawah air yang dioperasikan dari
permukaan air.
52. Pengerukan adalah pekerjaan mengubah bentuk dasar perairan untuk mencapai
kedalaman dan lebar yang dikehendaki atau untuk mengambil material dasar perairan
yang dipergunakan untuk keperluan tertentu.
53. Reklamasi adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah
garis pantai dan/atau kontur kedalaman perairan.
54. Kerangka Kapal adalah setiap kapal yang tenggelam atau kandas atau terdampar
dan telah ditinggalkan.
55. Salvage adalah pekerjaan untuk memberikan pertolongan terhadap kapal
dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan kapal atau dalam keadaan bahaya di
perairan termasuk mengangkat kerangka kapal atau rintangan bawah air atau benda
lainnya.
56. Syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri
dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan
terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin
keselamatan dan keamanan pelayaran.
57. Perlindungan Lingkungan Maritim adalah setiap upaya untuk mencegah dan
menanggulangi pencemaran lingkungan perairan yang bersumber dari kegiatan yang
terkait dengan pelayaran.
58. Mahkamah Pelayaran adalah panel ahli yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Menteri yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan lanjutan kecelakaan
kapal.
59. Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) adalah lembaga yang
melaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut
dan pantai yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis
operasional dilaksanakan oleh Menteri.
60. Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,
atau badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk pelayaran.
61. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
62. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
63. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah
penyelenggara pemerintahan daerah.
64. Menteri adalah Menteri yang tugas jawabnya di bidang pelayaran.
Pengantar
Dalam beberapa pertemuan, Negara anggota IMO berunding untuk membahas
isu terkait keselamatan dan keamanan pelayaran, termasuk memutuskan sebuah
peraturan baru maupun membuat amandemen. Indonesia saat ini merupakan Negara
anggota IMO dengan jabatan sebagai anggota dewan dalam kategori “C” yang memiliki
kepentingan khusus dalam navigasi pelayaran internasional serta memiliki kewenangan
dalam menentukan rancangan program kerja kedepan.2 Sebagai Negara kepulauan yang
telah meratifikasi United Nations Conventions on the Law of The Sea (UNCLOS)
Tahun 1982, Indonesia berkewajiban membuat jalur laut kepulauan sebagai jalur lintas
pelayaran asing atau biasa disebut dengan istilah Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI).
Pelayaran asing dapat memasuki perairan Indonesia melalui ALKI secara terus-
menerus tanpa harus meminta izin terlebih dahulu.3 Wilayah perairan Indonesia
merupakan jalur penghubung pelayaran internasional dari Asia Timur, Asia Tenggra,
Asia Tengah menuju Australia ataupun sebaliknya. Saat ini aktivitas perdagangan dunia
70% berlangsung dikawasan Asia-Pasifik, dimana 75% komoditas barang yang
diperdagangkan dikirim melewati wilayah perairan Indonesia seiring dengan dengan
pergeseran pusat perekonomian dunia dari kawasan Atlantik ke AsiaPasifik.4 Posisi
strategis Indonesia yang berada diantara dua samudera yakni samudera Pasifik dan
Hindia serta berada diantara dua benua yakni Benua Asia dan Australia menjadikan
Indonesia sebagai pusat dari aktivitas pelayaran global.
Kepadatan lalu lintas diperairan indonesia juga meningkat dengan adanya
aktivitas pelayaran nasional yang melayani rute-rute dari satu pulau ke pulau lainnya.
Pelayaran merupakan transportasi pilihan dari sarana transportasi lainnya, transportasi
laut memiliki kelebihan karena dapat mengangkut lebih banyak barang dari pada
transportasi lain. Sarana transportasi ini dapat menjangkau wilayah satu dengan yang
lain melalui perairan. sehingga memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan peranannya
baik nasional maupun internasional, sekaligus dapat mendorong. pembangunan
perekonomian nasional demi meningkatkan kesejahteraan warga Negara. Sehubungan
dengan hal tersebut, terjaganya keselamatan dan keamanan maritim harus menjadi
perhatian utama dalam menunjang kelancaran aktivitas pelayaran diperairan Indonesia.
Ada 5 Upaya Indonesia untuk menjaga keselamatan pelayaran dituangkan dalam
UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. Adapun beberapa poin ketentuan umum
terkait undang-undang tersebut yakni, pertama keselamatan dan keamanan pelayaran
adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang
menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan dan lingkungan maritim. Kedua,
kelaiklautan kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan
kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan,
kesejahteraan awak kapal dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen
keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal dan manajemen keamanan kapal
untuk berlayar di perairan tertentu.
Berangkat dari penjelasan diatas dapat kita katakan, Indonesia melakukan
upayanya dalam menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran serta menjaga
lingkungan maritimnya yang tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2008 Tentang
Pelayaran. Namun diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana tindakan
Indonesia dalam mengelola regulasi kesemalatan pelayaran yang efektif serta
menyiapkan insfrastruktur pendukungnya. Lebih lanjut pada pemerintahan sekarang,
Presiden Joko Widodo berkeingin menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia
(PMD), dimana dalam salah satu pilar PMD mengatakan akan melakukan
pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim.
Salah satunya melalui tol laut, deep seaport, industri maritim dan pariwisata
maritim. Kemudian pilar PMD juga menyatakan pentingnya diplomasi maritim untuk
mengajak mitramitra Indonesia untuk bekerjasama dibidang maritim, tidak terkecuali
mengenai keselamatan dan keamanan pelayaran.7 Tantangan keselamatan dan
keamanan pelayaran diwilayah perairan Indonesia tidak mungkin hanya berpedoman
pada peraturan pelayaran nasional saja. Hal ini mengingat aktivitas pelayaran
internasional juga melewati perairan Indonesia melalui ALKI. Lalu bagaimana menata
manejemen keselamatan yang efektif bagi pelayaran secara global? Hal inilah yang
melatar belakangi peneliti untuk mengambil judul Peran Indonesia sebagai anggota
dewan IMO terhadap keamanan maritim Indonesia.
Pembahasan
International Maritime Organization (IMO) merupakan badan khusus
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab dalam menjaga
keselamatan dan keamanan pelayaran serta mencegah terjadinya pencemaran
lingkungan laut akibat aktivitas penggunaan laut. IMO memiliki kewenangan dalam
menentukan peraturan internasional tentang standar keselamatan, keamanan dalam
mengatur segala aktivitas pelayaran internasional.1 IMO terdiri dari 174 negara anggota
yang memiliki kepentingan dalam aktivitas pelayaran internasional. Dimana masing-
masing anggota memiliki jabatan serta tugasnya sendiri. Keselamatan dan keamanan
pelayaran serta terjaganya lingkungan laut dari pencemaran erat kaitannya dengan
keamanan maritim atau maritime security. Keamanan maritim memiliki definisi bahwa
laut bisa dikendalikan dalam keadaan damai dan aman oleh para pengguna dan bebas
dari ancaman atau gangguan terhadap segala aktivitas yang berkenaan dengan laut.
IMO dijalankan oleh sebuah majelis dan dibiayai oleh sebuah dewan yang
beranggotakan badan-badan yang tergabung di dalam majelis tadi. Dalam melaksanakan
tugasnya, IMO memiliki lima komite. Kelima komite ini dibantu oleh beberapa sub-
komite teknis. Organisasi-organisasi anggota PBB boleh meninjau cara kerja IMO.
Status peninjau (observer) bisa diberikan juga kepada LSM yang memenuhi syarat
tertentu.
IMO didukung oleh sebuah kantor sekretariat yang para pegawainya adalah
wakil-wakil dari para anggota IMO sendiri. Sekretariat terdiri atas seorang Sekretaris
Jendral yang secara berkala dipilih oleh Majelis, dan berbagai divisi termasuk Inter-
Alia, Keselamatan Laut (Marine Safety), Perlindungan Lingkungan dan sebuah seksi
Konferensi.
Tujuan IMO
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan dan memelihara kerangka
peraturan yang komprehensif untuk pengiriman dan pengirimannya saat ini mencakup
keselamatan, masalah lingkungan, masalah hukum, kerja sama teknis, keamanan
maritim, dan efisiensi pengiriman. untuk memberikan penggerak kerjasama antar
Negara (States) dalam bidang peraturan pemerintah dan pelaksanaannya yang
berhubungan dengan masalah-masalah teknis dari segala bentuk yang berkaitan dengan
pelayaran.
Tujuan utama konvensi ini adalah untuk menentukan standar minimum
konstruksi, perlengkapan, dan operasi kapal yang sesuai dengan keselamatan. Salah satu
ketentuan dalam konvensi juga mengatur tentang Search and Rescue (SAR) di laut.
IMO meminta pemerintah untuk menjamin ketersediaan pelayanan SAR untuk
merespon permintaan pertolongan di laut sekitar negaranya. Mengatur industri
pelayaran internasional yang melibatkan banyak negara hanya dapat dilakukan dengan
efektif jika berdasarkan regulasi dan standar yang telah mereka sepakati bersama.
Dengan demikian, beranggotakan 172 negara, IMO menjadi forum penting di mana
seluruh pelaku industri pelayaran internasional dapat bertemu dan menyepakati bersama
aturan yang akan mengatur mereka.
Terdapat sepuluh elemen yang menjadi panutan cara kerja IMO agar dapat
mencapai tujuan dari organisasi ini, diantanya: Keselamatan maritim, Keamanan
maritim, Lingkungan laut, Human element, Legal affairs, Technical cooperation,
Conferences, Facilitation, Skema audit negara- negara anggota dan dukungan
implementasi, Communication and outreach sendiri (http://www.imo.org/ diakses pada
tanggal 09/08/2019). Dengan kata lain, IMO bertujuan untuk menciptakan keamanan
dan keselamatan dalam pelayaran dan perdagangan tanpa merusak lingkungan laut
sekitar. Dengan ketentuan – ketentuan tersebut, IMO memiliki fokus dalam pengiriman
melalui jalur laut. Hal ini merupakan sebuah metode khusus yang digunakan oleh
masyarakat global, dikarenakan dianggap lebih efektif dan terjangkau jika di
bandingkan dengan alat transportasi lainnya. IMO adalah forum di mana proses ini
berlangsung untuk mengangkut barang secara global, memfasilitasi perdagangan dan
membantu menciptakan kemakmuran di antara bangsa dan masyarakat. Langkah-
langkah IMO mencakup semua aspek pelayaran internasional - termasuk desain kapal,
konstruksi, peralatan, manning, operasi dan pembuangan - untuk memastikan bahwa
sektor vital ini tetap aman, ramah lingkungan, hemat energi, dan aman. Melalui IMO
negara-negara anggota organisasi, masyarakat sipil dan industri perkapalan telah bekerja
bersama.
Peranan IMO
Peranan INTERNATIONAL MARITIME ORGANIZATION (IMO) dalam
penyelesaian sengketa pencemaran laut oleh minyak dari kapal dalam kaitannya dengan
pencemaran laut, IMO memegang peranan sebagai organisasi internasional yang banyak
mengeluarkan ketentuan tentang perlindungan laut. Oleh karena itu, sebagai organisasi
internasional, IMO juga dapat merumuskan atau mengeluarkan ketentuan ketentuan
tentang pencemaran laut dan penyelesaian sengketa pencemaran laut internasional atau
yang terkait beberapa Negara.
pengaturan tentangkewenangan IMO dalam penyelesaian sengketa pencemaran
lautberdasarkan Konvensi IMO adalah sesuai dengan tujuan dan fungsinyasebagai
organisasi internasional sebagaimana diatur dalam Artikel 1 danArtikel 2 Konvensi
IMO. Peranan IMO dalam penyelesaian sengketapencemaran laut adalah sebagai
regulator yang membuat ketentuan-ketentuaninternasional mengenai pencegahan dan
penanganan terhadap pencemaran laut oleh kapal. IMO dimungkinkan sebagai mediator
dalampenyelesaian sengketa pencemaran laut oleh kapal berdasarkanketentuan Artikel 2
huruf b dan huruf d Konvensi IMO. IMO bertindaksebagai mediator dalam
penyelesaian sengketa pencemaran laut olehkapal sebelum di bawa ke lembaga arbitrase
sesuai dengan Artikel 10Protokol II Konvensi MARPOL.
BAB VI
SAFETY OF LIFE SEA
Pengantar
SOLAS adalah akronim dari Safety Of Life At Sea, merupakan konvensi paling
penting dari seluruh konvensi internasional tentang kemaritiman. SOLAS menjadi
standar keselamatan maritim yang wajib diterapkan pada kapal niaga (merchant vessel)
berukuran tertentu dan menjadi induk bagi terbitnya berbagai standar (code) bagi
kontruksi kapal, peralatan, dan pengoperasian. Konvensi Internasional Untuk
Keselamatan Penumpang di Laut (SOLAS) amendemen tahun 1974 diratifikasi oleh
Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 17 Desember 1980 dengan Keputusan
Presiden Nomor 65 Tahun 1980. Kemudian pada tanggal 12 Desember 2002,
Konferensi Diplomatik yang dilaksanakan oleh Maritime Safety Committee dari IMO
mengadopsi amendemen Konvensi Internasional Untuk Keselamatan Penumpang di
Laut (SOLAS) yang dikenal dengan sebutan International Ship and Port Facility
Security (ISPS) Code, 2002.
Sejarah SOLAS
Peristiwa menabrak gunung es pada 14 April 1912, yang menewaskan lebih dari
1.500 penumpang dan awak kapal, telah menimbulkan begitu banyak pertanyaan
tentang standar keamanan pelayaran. Tragedi Titanic menginspirasi berbagai upaya
mengevaluasi standar keselamatan pelayaran hingga diselenggarakannya konfrensi
pertama SOLAS di tahun 1914. Konfrensi yang dipelopori Kerajaan Inggris dihadiri
oleh perwakilan dari 13 negara, memperkenalkan persyaratan keselamatan pelayaran
bagi kapal niaga, yang terdiri atas: penyediaan sekat kedap air, penggunaan material
tahan api; peralatan keselamatan, peralatan pencegahan dan pemadam kebakaran,
termasuk kewajiban penggunaan radio/telegraf bagi kapal yang membawa lebih dari 50
orang. Konferensi juga menyetujui pembentukan gugus tugas ice patrol di Atlantik
Utara.
SOLAS diadopsi pada 20 Januari 1914 dan ditandatangani oleh hanya 5 negara.
Namun SOLAS generasi pertama ini batal diberlakukan karena pecah perang dunia
pertama di eropa. Walau demikian, SOLAS 1914 diaplikasikan cukup masif di Inggris,
Prancis, Amerika Serikat dan beberapa negara Skandinavia. Pada tahun 1929 kembali
digelar konferensi di London yang dihadiri 18 negara. Menyepakati sekitar 60 pasal
yang meliputi pembangunan kapal, peralatan keselamatan, pencegahan dan pemadaman
kebakaran, peralatan telegrafi nirkabel, alat bantu navigasi, dan aturan pencegahan
tabrakan (Collision Regulations). SOLAS versi 1929 ini mulai berlaku pada tahun 1933.
Pada tahun 1948, Inggris tetap menjadi tuan rumah konfrensi SOLAS yang
ketiga, dan menghasilkan beberapa perubahan dalam format SOLAS 1929 namun lebih
detil dan lebih luas cakupannya. Konfrensi SOLAS 1960 – yang hasilnya diadopsi pada
17 Juni 1960 dan mulai berlaku pada 26 Mei 1965 – menjadi tugas pertama bagi IMCO
yang baru terbentuk pada 1958. IMCO adalah Inter-Governmental Maritime
Consultative Organization kemudian berganti nama menjadi IMO pada tahun 1982.
IMCO (IMO) dibentuk di Geneva Swiss oleh PBB dan berkantor di London Inggris
hingga hari ini.
SOLAS 1974
Konferensi SOLAS di tahun 1974 diadakan di markas IMO di London sejak 21 Oktober
hingga 1 November, dan dihadiri oleh 71 negara. Menghasilkan konvensi SOLAS 1974
yang formatnya berlaku hingga saat ini. Selain berisi tentang persyaratan keselamatan,
SOLAS 1974 juga menetapkan prosedur penerimaan terhadap sebuah perubahan
(amandemen) atau disebut the tacit acceptance. Prosedur ini dirancang untuk memberi
kepastian bahwa perubahan terhadap konvensi dapat dilakukan dan diterima dalam
jangka waktu yang ditentukan.
Prosedur acceptance menetapkan bahwa suatu amandemen akan mulai berlaku (enter
into force) pada tanggal tertentu, kecuali dalam kurun waktu sebelum enter into force,
ada penolakan dari sejumlah tertentu negara anggota. Konvensi SOLAS sendiri, walau
diadopsi pada 1 November 1974, namun baru diberlakukan (enter into force) pada 25
Mei 1980.
Dengan adanya pemberlakuan prosedur acceptance di atas, IMO dapat bekerja secara
sistematis membahas usulan perbaikan konvensi sesuai perkembangan industri
pelayaran. Itulah mengapa konvensi SOLAS 1974 pada perjalanannya mengalami
beberapa kali amandemen. Hampir setiap dua tahun sekali terjadi perubahan terhadap
SOLAS 1974. Usulan perubahan dibahas di MSC (Marine Safety Commitee) yang
merupakan badan kelengkapan IMO. (Daftar amandemen SOLAS 1974 dapat dilihat di
sini).
Implementasi
Standar-standar dalam IMO dapat mengikat bila sebelumnya telah diratifikasi oleh
sejumlah negara-negara anggota yang penggabungan tonase kotornya setidaknya
mencakup 50% jumlah tonase kotor dunia. Keenam lampiran teknis MARPOL 73/78
memenuhi persyaratan minimum tersebut dengan diratifikasinya konvensi beserta
lampirannya oleh negara-negara anggota yang mencakup lebih dari 90% tonase dunia.
Negara tempat kapal terdaftar bertanggung jawab untuk menyertifikasi dokumen
kepatuhan kapal dengan standar pencegahan polusi dalam MARPOL 73/78. Setiap
negara yang menandatangani konvensi ini bertanggung jawab untuk memberlakukan
peraturan domestik sebagai implementasi konvensi dan berkomitmen untuk mematuhi
konvensi beserta lampirannya dan peraturan negara lain yang terkait. Sebagai contoh, di
Amerika Serikat, legislasi yang relevan dengan implementasi ini ialah Undang-Undang
tentang Pencegahan Polusi dari Kapal.
BAB VIII
Standard of Training Certification and Watchkeeping for
Seafarers (STCW)
Pengantar
Konvensi Internasional tentang standar latihan, sertifikasi dan dinas jaga untuk
pelaut (atau STCW), 1978 menetapkan kualifikasi standar untuk kapten, perwira dan
petugas penjaga diatas kapal niaga yang berlayar. STCW dilahirkan pada 1978 dari
konferensi Organisasi Maritim Internasional (IMO) di London, dan mulai diterapkan
pada tahun 1984. Konvensi ini mengalami perubahan yang besar pada tahun 1995.
Konvensi STCW 1978 merupakan yang pertama dalam menetapkan persyaratan
dasar dalam latihan, sertifikasi dan dinas jaga dalam tingkat internasional. Sebelumnya
standar latihan, sertifikasi dan dinas jaga untuk perwira dan anak buah kapal hanya
ditetapkan oleh pemerintahan masing-masing, biasanya tanpa referensi dan penerapan
dari negara lain. Sebagai hasilnya standar dan prosedurnya sangat bervariasi, meskipun
pengapalan adalah masalah internasional yang mendasar. Konvensi ini menetapkan
standar minimum yang berhubungan pada latihan, sertifikasi, dan dinas jaga untuk
pelaut yang mewajibkan negara-negaranya untuk memenuhi atau melampauinya.
Konvensi ini tidak berurusan dengan tingkatan awak kapal: IMO menetapkan
pada area ini untuk di cakupi oleh peraturan 14 bab V tentang Konvensi Internasional
Tentang Keselamatan Jiwa di Laut (SOLAS), 1974, yang persyaratannya disokong oleh
resolusi A.890(21) asas dari keselamatan awak, yang diadopsi oleh sidang IMO pada
tahun 1999, yang menggantikan resolusi yang sebelumnya yaitu resolusi A.481(XII)
yang diadopsi pada tahun 1981. Salah satu hal yang paling penting dari konvensi ini
yaitu memberlakukan kapal-kapal yang berasal dari negara yang tidak tergabung dalam
negara bagian ketika mendatangi pelabuhan-pelabuhan dari negara yang tergabung
dalam negara bagian yang merupakan anggota dari konvensi. Artikel ke-X
membutuhkan anggota-anggota untuk menerapkan langkah-langkah kontrol dari semua
bendera pada tingkatan kebutuhan untuk memastikan bahwa tidak ada lagi perlakuan
yang menguntungkan yang diberikan untuk kapal yang berhak untuk mengibarkan
bendera dari negara bagian yang tidak tergabung dalam anggota daripada yang
diberikan pada kapal kapal yang berhak untuk mengibarkan bendera dari negara bagian
yang tergabung dalam anggota. Kesulitan-kesulitan yang dapat timbul untuk kapal kapal
dari negara bagian yang tidak tergabung dalam anggota dari konvensi ini adalah salah
satu alasan mengapa konvensi ini telah diterima oleh banyak negara. Sejak 2014,
Konvensi STCW telah mempunyai 158 anggota, yang mewakilkan 98.8 persen dari
tonase pengapalan dunia.
Regulasi Terkait Teknis STCW 1978
Aturan teknis dari konveksi STCW 1978 dalam anneks yang berbagai dalam 6
chapter, sebagai berikut:
1. Chapter 1. : General provisions
Memuat rangkaian definisi dari istilah yg dipakai dalam anneks, dimana semua
sertifikasi wajib menyertakan terjemahan dalam b Inggris, apabila negara penerbit
sertifikasi tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi
Chapter 2 : Master deck departemen
Memuat aturan berbagai prinsip dasar yg harus dilaksanakan pada saat tugas jaga
navigasi, yang mencangkup kelengkapan tugas jaga, kebugaran dalam bertuga,
kenavigasian, tugas dan tanggung jawab dengan pandu di kapal dan perlindungan
lingkungan laut
Chapter 3 : engine departemen
Memuat aturan mengenai berbagai prinsip dasar yang harus dilakukan pada saat tugas
jaga permesinan, persyaratan minimum wajib untuk sertifikasi" chief engineer officer"
dan "second engginer officer" persyaratan yang wajib untuk sertifikasi" engginer
officer" yang bertugas mengawasi ruang mesin.
Chapter 4 : radio departemen
Memuat persyaratan minimum wajib untuk pelaksanaan sertifikasi " radio officer"
ketentuan mengenai kesimbungan profesiensi dan peningkatan pengetahuan bagi " radio
officer" sebagai catatan bahwa ketentuan wajib yang berkaitan dengan tugas jaga radio
berdasarkan" ITU radio officer"
Chapter 5 : spesial requirement for tangkers
Memuat ketentuan pelatihan bagi " officer dan rating" yang mempunyai tugas khusus
memuat dan peralatan bongkar muat di kapal tanker yang wajib menyelesaikan kursus
pemadaman di darat dan bekerja di kapal tanker dalam jangka waktu tertentu terlah
menyelesaikan kursus familiarisasi yang diakui
Chapter 6 : proficiency in survival craft
Menetapkan persyaratan yang mengatur penerbitan sertifikat untuk " survival craft"
dalam appendiks dimuat daftar minimum pengetahuan yang harus dikuasai dalam"
Certificates of Proficiency".
BAB IX
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)
Sumber Hukum
1. Hukum Laut
Laut beserta kandungan/potensi yang ada didalamnya sebagai milik bersama
(Common heritage of Mankind) Hukum Laut sebagaimana yang tercantum dalam The
United National Convention on The Law of The Sea 1982 adalah hukum yang mengatur
laut sebagai obyek dengan mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan dan
kepentingan seluruh Negara termasuk yang tidak berbatasan dengan Laut (Land -Lock
Countries) guna pemanfaatan laut dengan seluruh potensi yang terkandung didalamnya
bagi ummat manusia sebagaimana yang tercantum dalam UNCLOS 1982 beserta
Konvensi Internasional yang terkait dengannya.
2. Hukum Maritim
Adalah hukum yang mengatur Pelayaran dalam arti pengangkutan barang dan
atau orang melalui laut, kegiatan kenavigasian dan perkapalan sebagai sarana/modal
transportasi laut termasuk aspek keselamatan maupun kegiatan-kegiatan yang terkait
langsung dengan perdagangan melalui laut yang diatur dalam hukum Perdata/Dagang
maupun Publik.
Pengertian UNCLOS
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on The Law of
the Sea) Negara Kepulauan menurut UNCLOS 1982 adalah suatu negara yang
seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-
pulau lain. Negara Kepulauan dapat menarik garis dasar/pangkal lurus kepulauan yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) adalah
perjanjian internasional yang diadopsi dan ditandatangani pada tahun 1982 di Teluk
Montego (Jamaika), pada akhir hampir sepuluh tahun negosiasi (1973-1982). Ini
menggantikan empat Konvensi Jenewa April 1958, yang masing-masing menyangkut
laut teritorial dan zona tambahan, landas kontinen, laut lepas, perikanan dan konservasi
sumber daya hayati di laut lepas.
Teks baru yaitu UNCLOS memiliki panggilan yang lebih global karena
membahas semua berbagai aspek, wilayah maritim serta aktivitas dan konsekuensinya
(berbagai jenis polusi, misalnya). UNCLOS menggabungkan semua fakta yang telah
ditetapkan dalam empat konvensi sebelumnya dalam perspektif yang lebih global
sambil mengembangkan aturan baru. Konvensimenegaskan wilayah laut yang sudah
ada, dari pantai hingga laut lepas, dan dari permukaan ke dasar laut atau, seperti dalam
kasus Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), tercipta dalam perkembangannya.
Seiring waktu, Konvensi telah menjadi kerangka hukum untuk kegiatan kelautan
dan maritim. Badan politik yang tepat untuk menanganinya adalah Majelis Umum
Persatuan negara-negara. Prinsip ini diingat setiap tahun dalam resolusi hukum laut
diadopsi oleh United Nation General Assembly (UNGA).
Konvensi tersebut telah menciptakan tiga lembaga baru di ruang lingkup internasional,
yaitu:
– Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut, yang berkantor pusat di Hamburg
(Jerman),
– Otoritas Dasar Laut Internasional, yang berkantor pusat di Kingston (Jamaika),
– Komisi Batas Landas Kontinen, yang berbasis di Perserikatan Bangsa-Bangsa
Pasal 8
AMENDEMEN LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi ini, amendemen
terhadap Lampiran-lampiran dapat dilakukan oleh Konferensi Perburuhan Internasional,
atas saran dari suatu badan maritim tripartit di bawah Organisasi Perburuhan
Internasional. Keputusan [untuk menerima dan mengesahkan amendemen] tersebut
harus mendapat dukungan dua per tiga mayoritas suara yang diberikan oleh utusan-
utusan yang hadir dalam Konferensi tersebut, yang termasuk sekurang-kurangnya
setengah jumlah Anggota yang telah meratifi kasi Konvensi ini.
2. Setiap Anggota yang telah meratifi kasi Konvensi ini dapat memberikan
pemberitahuan tertulis kepada Direktur Jenderal, dalam waktu 6 (enam) bulan setelah
diterima dan ditetapkannya suatu amendemen, yang menyatakan bahwa amandemen
tersebut tidak mengikat Anggota yang bersangkutan, atau bahwa Anggota tersebut
hanya akan terikat [pada amandemen tersebut] melalui pemberitahuan tertulis lebih
lanjut.
Pasal 9
KETENTUAN PERALIHAN
Setiap Anggota yang menjadi Pihak pada Konvensi Dokumen Identitas Pelaut tahun
1958, yang sedang melakukan tindakan-tindakan berdasarkan pasal 19 Konstitusi
Organisasi Perburuhan Internasional, dengan maksud untuk meratifi kasi Konvensi ini
dapat memberitahu Direktur Jenderal mengenai maksudnya untuk memberlakukan
Konvensi ini untuk sementara waktu. Untuk itu, dokumen identitas pelaut yang
diterbitkan oleh Anggota tersebut (berdasarkan Konvensi Dokumen Identitas Pelaut
tahun 1958) harus diperlakukan sebagai dokumen identitas pelaut yang diterbitkan
berdasarkan Konvensi ini sepanjang ketentuan-ketentuan Pasal 2 hingga Pasal 5
Konvensi ini dipenuhi dan sepanjang Anggota yang bersangkutan bersedia menerima
dokumen-dokumen identitas pelaut yang diterbitkan menurut Konvensi ini.
KETENTUAN-KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Konvensi ini merevisi Konvensi Dokumen Identitas Pelaut tahun 1958.
Pasal 11
Ratifi kasi-ratifi kasi resmi atas Konvensi ini harus disampaikan kepada Direktur
Jenderal Kantor Perburuhan Internasional untuk didaftar.
Pasal 12
1. Konvensi ini mengikat Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang ratifi
kasinya telah terdaftar pada Direktur Jendral.
2. Konvensi ini mulai berlaku enam bulan setelah tanggal didaftarkannya ratifi kasi dua
Anggota pada Direktur Jenderal.
3. Selanjutnya, Konvensi ini berlaku bagi setiap Anggota enam bulan setelah tanggal
didaftarnya ratifi kasi masing-masing.
Pasal 13
1. Anggota yang telah meratifi kasi Konvensi ini dapat membatalkannya setelah
habisnya masa sepuluh tahun terhitung sejak tanggal Konvensi ini mulai berlaku,
dengan menyampaikan keterangan kepada Direktur Jenderal untuk didaftar. Pembatalan
itu berlaku dua belas bulan setelah tanggal pendaftarannya.
2. Setiap Anggota yang telah meratifi kasi Konvensi ini dan yang tidak, dalam tahun
setelah habisnya masa sepuluh tahun yang disebutkan dalam ayat di atas, menggunakan
hak pembatalan menurut ketentuan Pasal ini, akan terikat untuk sepuluh tahun
berikutnya, dan sesudah itu, dapat membatalkan Konvensi ini pada waktu berakhirnya
tiap-tiap masa sepuluh tahun menurut ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal ini.
Pasal 14
1. Direktur Jenderal harus memberitahu seluruh Anggota tentang pendaftaran semua
ratifikasi, deklarasi dan tindakan pembatalan yang disampaikan Anggota.
2. Sewaktu memberitahu Anggota tentang pendaftaran ratifi kasi kedua Konvensi ini,
Direktur Jenderal harus meminta Anggota memperhatikan tanggal berlakunya
Konvensi.
3. Direktur Jenderal harus memberitahu seluruh Anggota tentang pendaftaran setiap
amendemen yang dilakukan terhadap Lampiranlampiran sesuai dengan Pasal 8, dan
juga tentang pemberitahuanpemberitahuan yang berkaitan dengan itu.
Pasal 15
Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional harus menyampaikan kepada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk didaftar sesuai dengan pasal 102
Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, rincian lengkap atas semua ratifi kasi, deklarasi
dan tindakan pembatalan yang didaftar oleh Direktur Jenderal sesuai dengan ketentuan
Pasal-pasal sebelumnya.
Pasal 16
Pada waktu-waktu yang dianggap perlu, Badan Eksekutif Kantor Perburuhan
Internasional harus memberikan laporan kepada Konferensi Umum perihal pelaksanaan
Konvensi ini dan harus mengkaji perlunya memasukkan masalah revisi Konvensi, baik
sebagian maupun seluruhnya, ke dalam agenda Konferensi, dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan Pasal 8.
Pasal 17
1. Apabila Konferensi secara resmi menerima dan menetapkan suatu Konvensi baru
yang merevisi Konvensi ini baik sebagian maupun seluruhnya maka, kecuali Konvensi
baru tersebut menentukan lain:
a. ratifikasi yang dilakukan oleh Anggota dari Konvensi yang baru yang merevisi
Konvensi ini akan secara hukum mengakibatkan dibatalkannya Konvensi ini dengan
serta merta, sekalipun terdapat ketentuan-ketentuan Pasal 13, jika dan bilamana
Konvensi baru yang merevisi Konvensi ini telah berlaku;
b. terhitung sejak tanggal berlakunya Konvensi baru yang merevisi Konvensi ini,
Konvensi ini tidak terbuka lagi untuk diratifi kasi oleh Anggota.
2. Konvensi ini bagaimanapun juga tetap berlaku dalam bentuk dan isi aslinya bagi
Negara Anggota yang telah meratifi kasinya, namun belum meratifikasi Konvensi
revisinya.
Pasal 18
Naskah bahasa Inggris dan bahasa Perancis Konvensi ini sama-sama
Konvensi yang Telah Diratifikasi Indonesia
Konvensi ILO merupakan perjanjian-perjanjian internasional, tunduk pada ratifiksi
negara-negara anggota. Indonesia merupakan negara pertama di Asian ke-lima di dunia
yang telah meratifikasi seluruh konvensi pokok ILO. Sejak menjadi anggota tahun
1950, Indonesia telah meratifikasi 17 konvensi.
Konvensi Inti
1. Konvensi ILO No. 29 tahun 1930 Tentang Penghapusan Kerja Paksa, meminta semua
negara anggota ILO melarang semua bentuk kerja paksa atau wajib kerja kecuali
melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan wajib militer, wajib kerja dalam rangka
pengabdian sebagai warga negara, wajib kerja menurut keputusan pengadilan, wajib
melakukan pekerjaan dalam keadaan darurat atau wajib kerja sebagai bentuk kerja
gotong royong. Peraturan ini atur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 19
Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Kerja
Paksa.
2. Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949 Tentang Hak Berorganisasi dan Melakukan
Perundingan Bersama diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 18
tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional
mengenai berlakunya dasar-dasar daripada hak untuk berorganisasi dan untuk berunding
bersama
3. Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 tentang Pemberian Upah Yang Sama Bagi Para
Pekerja Pria dan Wanita. Diratifikasi oleh pemerintah Indonesia yang tertuang dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 87 tahun 1958 tentang Persetujuan
Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 100 mengenai Pengupahan yang
Sama Bagi Buruh Laki-Laki dan Perempuan Untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya.
4. Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan
Hak untuk Berorganisasi, tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No.
83 tahun 1998. Untuk memaksimalkan peranan dari serikat pekerja atau serikat buruh,
maka pada tahun 2000, pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang Nomor 21
tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
5. Konvensi ILO No. 105 Tahun 1957 Tentang Penghapusan Semua Bentuk Kerja
Paksa. ILO Convention No. 105 concerning the Abolition of Forced Labour (Konvensi
ILO mengenai Penghapusan Kerja Paksa). Didalam peraturan nasional tertuang dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO
Convention No. 105, mengenai Penghapusan Kerja Paksa.
6. Konvensi ILO No. 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan
Jabatan. Konvensi ini dalam perundang-undangan di Indonesia tertuang dalam UU
Nomor 21 Tahun 1999 Tentang Pengesahan ILO Convention No. 111 Concerning
Discrimination in Respect of Employment and Occupation (Konvensi ILO mengenai
diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan). Ketentuan ini selaras dengan keinginan
bangsa Indonesia untuk secara terus menerus menegakkan dan meningkatkan
pelaksanaan hak-hak dasar pekerja dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara.
7. Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan
Bekerja. Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi tersebut dan tertuang dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO
Convention Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO
mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja).19
8. Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Dan kemudian
ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2000 tentang Pelarangan dan
Tindakan Segera Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Konvensi-konvensi Lain
K. 19: Persamaan dan Perlakuan bagi Pekerja Nasional dan Asing dalam hal Ganti
Rugi atas Kecelakaan Kerja (1925);
K. 27: Pemberian Tanda atas Berat BArang yang Diangkut Kapal Laut (1929);
K. 45: Mempekerjakan Perempuan di Bawah Tanah dalam Berbagai Macam Pekerjaan
Tambang;
K. 69: Sertifikasi Juru Masak Kapal (1946);
K. 81: Inspeksi Ketenagakerjaan (1947);
K. 88: Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja (1948);
K. 120: Kebersihan di Tempat Dagang dan Kantor;
K. 106: Istirahat Mingguan di Perdagangan dan Kantor (1957);
K. 144: Konsultasi Tripartit untuk Mempromosikan Pelaksanaan Standar Perburuhan
Internasional (1976).
BAB XI
Maritime Labour Convention (MCL) 2006
Pengantar
Maritim Labour Convention (MLC) 2006 adalah konvensi yang diselenggarkan
oleh International Labour Organization (ILO) pada tahun 2006 di Genewa, Swiss. MLC
2006 bertujuan untuk memastikan hak-hak para pelaut di seluruh dunia dilindungi dan
memberikan standar pedoman bagi setiap negara dan pemilik kapal untuk menyediakan
lingkungan kerja yang nyaman bagi pelaut. Ini dilakukan karena pelaut bekerja lintas
negara sehingga perlu diatur suatu standar bekerja yang berlaku secara internasional.
MLC 2006 pada mulanya hanya bersifat anjuran untuk diterapkan oleh semua pihak
yang berkaitan dengan pekerjaan di dunia maritim. Namun, per 20 Agustus 2013,
standar MLC 2006 mulai diwajibkan untuk diterapkan meskipun sayangnya sampai saat
ini Indonesia belum meratifikasi MLC 2006.
Konvensi ketenagakerjaan Maritim (Maritime Labour Convention 2006)
merupakan perjanjian internasional yang dibentuk pada tanggal 7 Februari 2006 di
Jenewa, Swiss. Konvensi ini dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang
menyadari bahwa pelaut memiliki hak yang sama seperti pekerja disektor lain. Dengan
adanya konvensi tersebut merupakan awal di bukanya lembaran baru akan hak-hak
pekerja yang bekerja pada sektor kelautan dan persaingan yang adil bagi para pemilik
kapal dalam industri perkapalan global.14 MLC ini sangat detail mengatur bagaimana
sehatusnya hubungan antara pekerja dalam sebuah kapal dengan pengusaha kapal
tersebut, apa hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tujuan terjadi sinergi
yang baik dalam proses bisnis. MLC lebih memperhatikan perjanjian kerjasama, apa
kewajiban sebuah perusahaan agency, masa kerja, K3 serta kejelasan terhadap standard
operational prosedur kerja yang jelas dan terarah.
MLC berusaha mewujudkan semua konvensi buruh maritim global yang ada dan
terekomendasi. Konvensi ini berkaitan dengan semua kapal yang dioperasikan secara
komersial dari 500gt atau lebih yang mengatasnamakan salah satu negara dengan
ratifikasi efektif. Kapal-kapal akan diminta harus sesuai dengan konvensi, termasuk
bidang-bidang seperti usia minimum, perjanjian kerja pelaut, jam kerja atau istirahat,
pembayaran upah, layanan perawatan medis, penggunaan perekrutan swasta berlisensi
dan layanan penempatan, akomodasi, makanan dan perlindungan katering, kesehatan
dan keselamatan dan pencegahan kecelakaan.
MLC merupakan kemajuan yang signifikan dalam kampanye serikat buruh
global untuk meningkatkan hak-hak tenaga kerja dan standar tenaga kerja pelaut. Ini
adalah dasar yang benar dalam pelayaran internasional, yang menambahkan dasar hak
buruh untuk standar yang ada (standar keselamatan dan keamanan). MLC yang
merupakan pilar keempat resmi pada hukum maritim internasional, setelah Konvensi
Internasional untuk Keselamatan Jiwa di laut, ada juga Konvensi Internasional tentang
Standar pelatihan, Sertifikasi dan Pengawasan untuk pelaut, dan konvensi Internasional
untuk Pencegahan Pencemaran di laut. Federasi Buruh Transport Internasional telah
menyetujui berlakunya Konvensi Buruh Maritim 2006, FTI mengakui MLC sebagai
pelopor Undang-Undang yang melindungi hak bagi mereka yang bekerja di laut dan
berkomitmen untuk memantau dan membantu pelaksanaan dan mengajak lebih banyak
negara untuk meratifikasinya.
2. Kondisi Kerja
Klausul ini mengatur tentang kontrak, gaji, dan kondisi kerja pelaut selama di kapal. Ini
mencakup kontrak yang jelas, waktu istirahat, hak cuti, pemulangan ke negara asal, dan
sebagainya. Ringkasnya adalah sebagai berikut :
• Kontrak Kerja: Kontrak harus jelas, legal, dan mengikat
• Gaji: Pelaut Gaji harus dibayar sekurang-kurangnya setiap bulan dan harus
ditransfer secara berkala ke keluarga bila dibutuhkan.
• Waktu Istirahat: Waktu istirahat harus diterapkan sesuai dengan peraturan
negara yang berlaku. Maksimal jam kerja adalah 14 jam dalam sehari atau 72 jam
dalam seminggu atau jam istirahat minimal adalah 10 jam dalam sehari atau 77 jam
dalam seminggu. Selanjutnya, waktu istirahat tidak boleh dibagi menjadi lebih dari 2
periode dimana setidaknya 6 jam waktu istirahat harus diberikan secara berurutan dalam
satu dari dua periode.
• Cuti : Pelaut memiliki hak cuti tahunan serta cuti di daratan.
• Pemulangan : Pemulangan pelaut ke negara asalanya haruslah gratis
• Kandas / Hilang : Bila kapal hilang atau kandas, pelaut memiliki hak pesangon
• Karir : Setiap kapal harus punya jenjang karir yang jelas
3. Akomodasi, Fasilitas Rekreasi, Makan, dan Catering
Klausul ini berisi tentang hak-hak yang berkaitan dengan makan, akomodasi dan
fasilitas yang wajib diberikan kepada para pelaut. Secara garis besar persyaratan yang
diminta adalah :
• Akomodasi : Akomodasi untuk tempat tinggal dan bekerja harus memperhatikan
kesehatan dan kenyamanan pelaut. Ada beberapa persyaratan minimal ruang tidur,
ruang hiburan, dan asrama
• Makan dan Catering : Kualitas maupun kuantitas makanan harus diatur
mengikuti negara sesuai bendera kapal (Flag State). Koki juga harus memiliki pelatihan
yang tepat.
4. Perlindungan dan Perawatan Kesehatan, Kesejahteraan, dan Perlindungan
Keamanan Sosial
• Perawatan Medis di kapal dan di darat : pelaut harus mendapatkan akses ke
fasilitas kesehatan selama di kapal tanpa biaya dan dengan kualitas pelayanan kesehatan
yang sama dengan yang ada di darat.
• Kewajiban Pemilik Kapal : Pelaut harus dilindungi dari dampak keuangan akibat
sakit, cidera, atau kematian yang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Pelaut juga
harus tetap mendapatkan gaji setidaknya 16 minggu semenjak mulai sakit.
• Perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja : Lingkungan kerja yang aman
dan higienis harus diberikan selama bekerja maupun istirahat. Pengukuran tingkat
kemanan (identifikasi bahaya dan pengendalian resiko) harus dilakukan untuk
mencegah kecelakaan kerja.
• Akses ke Fasilitas di daratan: Port States harus menyediakan fasilitas budaya,
rekreasi dan informasi yang cukup di daratan dan semua fasilitas tersebut terbuka untuk
semua pelaut tanpa membedakan ras, kelamin, agama dan pandangan politik.
• Kemanan Sosial : Perlindungan sosial harus dibelikan ke semua pelaut.
• Social security coverage should be available to seafarers (and in case it is
customary in the flag state: their relatives).
5. Penerapan dan Pelaksanaan
• Flag states : Flag states (Negara dimana bendera kapal beroperasi) bertanggung
jawab memastikan penerapan aturan untuk kapal yang menggunakan benderanya. Setiap
kapal harus dilengkapi “Certificate of Maritime Compliance”. Setiap kapal juga
diwajibkan memiliki prosedur keluhan untuk semua kru kapal dan harus
menginvestigasi keluhan yang terjadi.
• Port States : Port States (negara dimana kapal bersandar) harus melakukan
inspeksi tergantung pada keberadaan “Certificate of Maritime Compliance”. Bila
sertifikat telah dimiliki (dan bendera kapal berasal dari negara yang telah meratifikasi
MLC 2006) , maka investigasi hanya dilakukan sekedar untuk memeriksa adanya
indikasi ketidakpatuhan terhadap standar. Bila kapal belum memiliki sertifikat, maka
investigasi harus dilakukan secara menyeluruh dan harus memastikan kapal telah
memenuhi ketentuan MLC 2006. Dengan demikian, MLC 2006 secara tidak langsung
juga berlaku untuk negara yang belum meratifikasi MLC 2006 bila mereka ingin
berlabuh di negara yang sudah meratifikasi MLC 2006.
• Agen Pelaut : Agen yang menyediakan pekerja untuk kapal juga harus
diinspeksi untuk memastikan mereka menerapkan MLC 2006 (juga peraturan lain yang
terkait keamanan sosial).
YOTA REYNANDO
Adalah seorang kelahiran Banyuwangi, 8 Maret 2001 berumur 20 tahun
Yang sedang menyelasikan studinya di POLTEKPEL SURABAYA. Mengambil
jurusan D-IV Transportasi Laut dari jalur Non Pola Pembibitan.
Untuk sebelumnya pernah mengeyam Pendidikan di :
SDN 4 Genteng Wetan
MTSN Genteng
MAN 2 Banyuwangi
Bertempat tinggal di Jl. Temuguruh RT 1 RW 3 Kecamatan Genteng Desa Genteng
Kabupaten Banyuwangi
YUDA SETIAWAN
Adalah seorang kelahiran Bojonegoro, 13 Januari 2001 berumur 20 tahun
Yang sedang menyelasikan studinya di POLTEKPEL SURABAYA. Mengambil
jurusan D-IV Transportasi Laut dari jalur Non Pola Pembibitan.
Untuk sebelumnya pernah mengeyam Pendidikan di :
SDN Sembung
SMPN PGRI 1 Bojonegoro
SMAN 4 Bojonegoro
Bertempat tinggal di Desa Sembung Rt 01/Rw 01, Kecamatan Kapas, Kabupaten
Bojonegoro
RIZAL ARDIANSYAH
Adalah seorang kelahiran Gresik, 26 Desember 2001 berumur 19 tahun
Yang sedang menyelasikan studinya di POLTEKPEL SURABAYA. Mengambil
jurusan D-IV Transportasi Laut dari jalur Non Pola Pembibitan.
Untuk sebelumnya pernah mengeyam Pendidikan di :
MI MIFTAHUL ULUM
SMPN 16 SURABAYA
SMAN 13 SURABAYA
Bertempat tinggal di Jl. Mastrip Warugunung Karangpilang Surabaya.
RIVAL ARDI NAGA
Adalah seorang kelahiran Banyuwangi, 23 April 2000 berumur 21 tahun.
Yang sedang menyelasikan studinya di POLTEKPEL SURABAYA. Mengambil
jurusan D-IV Transportasi Laut dari jalur Non Pola Pembibitan.
Untuk sebelumnya pernah mengeyam Pendidikan di :
SDN 2 KARANGSARI
SMPN 1 GENTENG
SMAN 2 GENTENG
Bertempat tinggal di Jl. Parijatah, Dusun Tuko, Desa Karangasi, Kecamatan Sempu,
Kabupaten Banyuwangi.