Anda di halaman 1dari 3

Kebudayaan Makan Keluarga Membudayakan Generasi

Saat ini Indonesia mengalami tantangan serius mengenai kesehatan, satu diantaranya
mengenai gizi. Permasalahan gizi sudah menjadi hal yang harus dibahas sejak seseorang
berada di dalam kandungan dan terus berlanjut hingga memasuki uisa lanjut. Gizi juga
berkaitan dengan penyakit tidak menular dimana hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2007 menunjukkan bahwa dari 10 penyebab kematian tertinggi, 6 diantaranya disebabkan
oleh penyakit tidak menular seperti stroke, hipertensi, diabetes, tumor ganas, penyakit hati,
penyakit jantung istemik yang menyebabkan 44% kematian. Data kematian dari tahun 1995
sampai dengan tahun 2007 menunjukkan terjadinya perubahan pola penyebab kematian.
Proporsi peyakit infeksi atau penyakit menular serta kematian maternal dan neonatal sebagai
penyebab kematian cenderung menurun, sedangkan penyakit tidak menular meningkat.

Seringkali terdapat presepsi bahwa penyakit tidak menular adalah penyakit orang
kaya. Dari data prevalensi % PTM menurut status ekonomi tidak ada perbedaan bermakna
dari prevalensi stroke dan hipertensi antar 25% penduduk termiskin dan terkaya. Sementara
iu Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dan asma cenderung terjadi pada kelompok
dengan status ekonomi yang lebih rendah, hal ini mungkin terkait dengan tingkat merokok
dan lingkungan udara yang tercemar, perumahan yang tidak sehat di kelompok miskin.
Sebaliknya penyakit kanker dan diabetes mellitus lebih banyak terjadi pada kelompok
ekonomi yang lebih tinggi, mungkin disebabkan oleh akses layanan kesehatan yang lebih
baik pada kelompok kaya sehingga penyakit ini lebih banyak terdeteksi sebelum kematian.

Peran Keluarga dalam pembinaan kebiasaan makan anak merupakan salah satu hal
yang dapat berpengaruh pada kesehatan keluarga. Budaya memberikan peranan dan nilai
yang berbeda- beda terhadap makanan, misalnya bahan- bahan makanan tertentu oleh suatu
budaya masyarakat dapat dianggap tabu atau bersifat pantangan untuk dikonsumsi. Selain itu
ada jenis makanan tertentu yang di nilai dari segi ekonomi maupun sosial sangat tinggi
eksistentsinya tetapi karena mempunyai peranan yang penting dalam hidangan makanan pada
sesuatu perayaan yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat tertentu maka hidangan
makanan itu tidak diperbolehkan untuk dikonsumsinya bagi golongan masyarakat tersebut.

Anggapan lain muncul dari sistem budaya dalam keluarga seperti hidangan makanan
yang biasanya sang ayah sebagai kepala keluarga akan diprioritaskan mengkonsumsi lebih
banyak dan pada bagian bagian makanan yang menganddung nilai cita rasa tinggi. Sedangkan
anggota keluarga lainnya seperti sang ibu dan anak- anak mengkonsumsi pada bagian-bagian
hidangan makanan yang secara cita rasa maupun fisiknya rendah. Sebagai contoh pada
system budaya di masyarakat Timor yaitu: Jika dihidangkan makanan daging ayam, maka
sang ayah akan mendapatkan bagian paha atau dada sementara sang ibu dan anak-anaknya
akan mendapatkan bagian sayap atau lainnya. Hal ini menurut (Suhardjo, 1996) dapat
menimbulkan konsumsi pangan yang tidak baik atau maldistributor diantara keluarga apalagi
pengetahuan gizi belum dipahami oleh keluarga.

Pada contoh kasus lain yang sering juga terjadi pada kelompok keluarga di perkotaan
yang mempunyai gaya hidup budaya dengan tingkkat kesibukan yang tinggi karena alasan
pekerjaan sehingga ibu- ibu di daerah perkotaan yang kurang memiliki waktu untuk
menyusui bayinya dengan ASI atau Air Susu Ibu yang digantikan dengan susu formula bayi
instan. Padahal kita tahu bahwa ASI sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
fisik bayi. Tak hanya itu gaya hidup mereka yang berasal dari golongan ekonomi atau
masyarakat elite kota yang mengikuti kebudayaan luar seperti sering mengkonsumsi makanan
yang berasal dari produk luar negeri atau makanan instan lainnya karena soal “gengsi”. Trend
kebudayaan luar yang terus menerus masuk ke Indonesia seperti makanan makanan fastfood
tinggi lemak yang dibandrol harga tinggi menjadi hal yang lama kelamaan dibudayakan oleh
masyarakat perkotaan, belum lagi kemunculan beberapa jasa antar makanan dengan cepat
yang tanpa disadari mengubah kebiasaan makan keluarga di era yang serba canggih ini. Para
ibu rumah tangga tidak perlu lagi repot- repot memasak untuk keluarganya, para anak yang
akan lebih senang makan bersama teman- teman sepergaulannya di berbagai mall atau café
modern.

Kasus yang paling sering terjadi adalah Keluarga Obesitas. Bila salah satu orang
tuanya obesitas, maka peluang anak- anak menjadi obesitas sebesar 40-50%. Dan bila kedua
orang tuanya menderita obesitas maka peluang faktor keturunan menjadi 70-80%. Selain
faktor genetik tersebut faktor lingkungan juga menjadi penyebab seseorang Obesitas. Pola
makan dengan jenis makanan dengan kepadatan energy yang tinggi lemak, gula, serta kurang
serat menyebabkan ketidakseimbangan energy. Pola aktivitas fisik sedentary atau kurang
gerak menyebabkan energi yang dikeluarkan tidak maksimal sehingga meningkatkan risiko
obesitas.

Masalah budaya makanan memang dapat menyebabkan masalah gizi yang berdampak
pada kesehatan, sehingga kita perlu cermat untuk memberdayakan masyarakat lokal dengan
kearifan dan kecerdasan lolal. Disamping itu para tenaga kesehatan harus terus melaksanakan
penyuluhan gizi sebagai alternative mengatasi masalah budaya makanan. Dengan pendekatan
yang paling utama melalui perbaikan struktur social masyarakat tentang pandangan mereka
terhadap bahan makanan local tetapi kaya akan nilai gizi. Perbaikan gizi keluarga, perbaikan
budaya masyarakat dengan pengaruh utama gender terutama di tingkat keluarga, pemberian
makanan tambahan yang bernilai gizi bagi balita, penyuluhan gizi terpadu dan konsultan gizi
bagi masyarakat, mensosialisasikan berbagai program yang dianjurkan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes 2018) salah satunya yaitu Piring Makan Model T
dimana piring makan berisi jumlah sayur 2 kali lipat jumlah bahan makanan sumber
karbohidrat seperti nasi, mie, roti, pasta, singkong, dll. Jumlah bahan makanan sumber
protein setara dengan jumlah bahan makanan karbohidrat. Sayur atau buah minimal harus
sama dengan jumlah karbohidrat ditambah protein. Jika hal itu dilakukan dengan baik secara
menyeluruh yang terjalin kerjasama antara kedua belapihak dari departemen kesehatan dan
juga para keluarga atau semua golongan masyarakat, maka akan terjadi perubahan
kebudayaan mulai dari pola makan yang mencakup jumlah, jenis, jadwal makan, dan
pengolahan bahan makanan. Semua problematika pasti akan dapat diselesaikan dengan
berbagai cara. Siapapun kamu, apapun peranmu kamu bisa menjadi salah satu orang dari
generasi perubahan, sebaik- baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi
lingkungannya, mari sama- sama membangkitkan kesejahteaan keluarga dengan memulai
dari hal kecil, sadar diri dahulu sadar lingkungan kemudian.

Terimakasih

Sumber ; FactSheet Obesitas. 2018. Kemenkes RI

Sosiologi dan Antropologi Gizi. 2017. Dr. La. Banudi, SST, M.Kes, Imanuddin,SP, M.Kes.
Penerbit: Forum Ilmiah Kesehatan (FORIKES)

Data Riskesdas 2007. Angka Kematian penyakit tidak menular.

Ilmu Gizi teori&aplikasi. 2019. EGC

Anda mungkin juga menyukai