Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN KELAUTAN

DISUSUN OLEH:

RANY VERONIKA FUTWEMBUN


19142010065

UNIVERSITAS PEBANGUNAN INDONESIA MANADO


FAKULTAS KEPERAWATAN
2021/2022

1
1. DEFINISI
Pengertian tenggelam sangat luas. Sebelumnya, tenggelam didefiniskan
sebagai kematian sekunder akibat asfiksia ketika di dalam cairan, biasanya air,
dalam 24 jam. Hasil konsensus dari World Congress on Drowning tahun 2002,
tenggelam diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kerusakan
respirasi primer di dalam media cair. Sementara World Health Organization
mendefinisikan tenggelam sebagai suatu proses kerusakan pernapasan akibat
masuknya sebagian atau seluruhnya air ke dalam sistem pernapasan. Hampir
tenggelam (near drowning) adalah keadaan gangguan fisiologi tubuh akibat
tenggelam tetapi tidak terjadi kematian (Onyekwelu, 2008).

Near drowning didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang masih


bertahan hidup setelah mengalami sufokasi (kekurangan napas) akibat
tenggelam dalam air atau cairan lain. Sedangkan drowning sendiri didefinisikan
sebagai kematian sekunder karena asfiksia (sesak nafas) saat tenggelam dalam
cairan, biasanya air, dalam 24 jam setelah kejadian (Banerjee dalam Rauuf
(2008))

Konsensus terbaru menyatakan definisi terbaru dari tenggelam harus


mencakup kasus fatal dan non fatal. Dampak tenggelam dapat berupa kematian,
morbiditas, dan non morbiditas.

2. KLASIFIKASI
Klasifikasi tenggelam menurut Levin (dalam Arovah, 2009) adalah :
2.1 Berdasarkan Kondisi Paru-Paru Korban
A. Typical Drowning
Kondisi ketika cairan masuk ke dalam saluran pernapasan saat korban
tenggelam.
B. Atypical Drowning
a. Dry Drowning
Cairan yang masuk ke dalam saluran pernapasan hanya sedikit
bahkan tidak ada.
b. Immersion Syndrom
Terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam air
dingin (suhu < 20 °C), menyebabkan terpicunya reflex vagal
sehingga mengakibatkan apneu, bradikardia, dan

2
vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan mengarah ke
terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebaral. c)
Submersion of the Unconscious

Sering terjadi pada korban yang menderita epilepsy atau


penyakit jantung khususnya coronary atheroma, hipertensi
atau peminum yang mengalami trauma kepala saat masuk ke
air.

c. Delayed Dead
Kondisi ketika seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24
jam setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam.

2.2 Berdasarkan Kondisi Kejadian


a. Tenggelam (Drowning)
Penderita meneguk air dalam jumlah yang banyak hingga air masuk ke
dalam saluran pernapasan. Bagian apiglotis akan mengalami spasme
yang mengakibatkan saluran nafas menjadi tertutup dan hanya dapat
dilalui oleh udara yang sangat sedikit.

b. Hampir Tenggelam (Near Drowning)


Kondisi korban masih bernafas dan membatukkan air keluar.

3. ETIOLOGI
Tenggelam bisa merupakan kejadian utama atau sekunder dari beberapa
kejadian, misalnya kejang, trauma kepala atau spinal, aritmia jantung,
hipotermia, konsumsi obat atau alkohol, pingsan, apneu, hiperventilasi,
bunuh diri atau hipoglikemia.

Proses tenggelam terjadi secara diam-diam dan cepat. Gambaran klasik


dari korban adalah helplessly gasping (terengah-engah dengan pasrah) and
thrashing di dalam air sering dilaporkan. The more ominous scenario of
motionless individual floating in the water or quietly disappearing beneath
the surface is more typical. Terdapat beberapa penyebab tenggelam antara
lain (Levin dalam Arovah, 2009) :

3
• Kemampuan fisik yang terganggu akibat pengaruh obat
• Ketidakmampuan fisik akibat hipotermia, syok, cedera, atau
kelelahan
• Ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenang

4. PATOFISIOLOGI
Pada semua runtutuan peristiwa tenggelam di mulai dengan kepanikan
dan keinginan bernapas karena terlalu lama menahan napas. Refleks
keinginan bernapas menyebabkan air tertelan dan sebagian kecil air masuk
ke paru. Aspirasi air menyebabkan spasme laring yang menyebabkan
asfiksia, diikuti dengan henti nafas (apnea) volunter dan laringospasme.
Kehilangan kesadaran menyebabkan relaksasi otot dan membiarkan air
masuk ke paru-paru. Adanya air di dalam paru menyebabkan
berkembangnya ketidakcocokan ventilasi/perfusi yang menyebabkan
hipoksemia sistemik. Hipoksemia dan asidosis yang persisten dapat
menyebabkan korban beresiko terhadap henti jantung dan kerusakan sistem
syaraf pusat. Laringospasme menyebabkan keadaan paru yang kering,
namun karena asfiksia membuat relaksi otot polos, air dapat masuk ke
dalam paru dan menyebabkan edema paru.

Hipoksia merupakan salah satu akibat dari tenggelam, dan merupakan


faktor yang penting dalam menentukan kelangsungan hidup korban
tenggelam. Karena itu, ventilasi, perfusi, dan oksigenasi yang cepat
dibutuhkan untuk meningkatkan tingkat survival korban.

4
4.1 Perubahan Pada Paru-Paru
Aspirasi paru terjadi pada sekitar 90% korban tenggelam dan 80 – 90%
pada korban hamper tenggelam. Jumlah dan komposisi aspirat dapat
mempengaruhi perjalanan klinis penderita, isi lambung, organism
pathogen, bahan kimia toksisk dan bahan asing lain dapat memberi
cedera pada paru dan atau menimbulkan obstruksi jalan nafas.

4.2 Perubahan Pada Kardiovaskuler


Pada korban hampir tenggelam kadang-kadang menunjukkan bradikardi
berat. Bradikardi dapat timbul karena refleks fisiologis saat berenang di
air dingin atau karena hipoksia. Perubahan pada fungsi kardiovaskuler
yang terjadi pada hampir tenggelam sebagian besar akibat perubahan
tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) dan gangguan keseimbangan
asam-basa.

5
4.3 Perubahan Pada Susunan Saraf Pusat
Iskemia terjadi akibat tenggelam dapat mempengaruhi semua organ
tetapi penyebab kesakitan dan kematian terutama terjadi karena iskemi
otak. Iskemi otak dapat berlanjut akibat hipotensi, hipoksia, reperfusi
dan peningkatan tekanan intra kranial akibat edema serebral.Kesadaran
korban yang tenggelam dapat mengalami penurunan. Biasanya
penurunan kesadaran terjadi 2 – 3 menit setelah apnoe dan hipoksia.
Kerusakan otak irreversibel mulai terjadi 4 – 10 menit setelah anoksia
dan fungsi normotermik otak tidak akan kembali setelah 8 – 10 menit
anoksia. Penderita yang tetap koma selama selang waktu tertentu tapi
kemudian bangun dalam.

4.4 Perubahan Pada Ginjal


Fungsi ginjal penderita tenggelam yang telah mendapat resusitasi
biasanya tidak menunjukkan kelainan, tetapi dapat terjadi albuminuria,
hemoglobonuria, oliguria dan anuria. Kerusakan ginjal progresif akan
mengakibatkan tubular nekrosis akut akibat terjadinya hipoksia berat,
asidosis laktat dan perubahan aliran darah ke ginjal.

4.5 Perubahan Cairan dan Elektrolit


Pada korban tenggelam tidak mengaspirasi sebagian besar cairan tetapi
selalu menelan banyak cairan. Air yang tertelan, aspirasi paru, cairan
intravena yang diberikan selama resusitasi dapat menimbulkan
perubahan keadaan cairan dan elektrolit. Aspirasi air laut dapat
menimbulkan perubahan elektrolit dan perubahancairan karena
tingginya kadar Na dan Osmolaritasnya. Hipernatremia dan
hipovolemia dapat terjadi setelah aspirasi air laut yang banyak.
Sedangkan aspirasi air tawar yang banyak dapat mengakibatkan
hipervolemia dan hipernatremia. Hiperkalemia dapat terjadi karena
kerusakan jaringan akibat hipoksia yang luas.

5. MANIFESTASI KLINIK

6
Tanda dan gejala yang sering muncul ialah tanda dan gejala sistem
kardiorespiratori dan neurologi. Distres respiratori awalnya tidak
terlihat, hanya terlihat adanya perpanjangan nilai RR tanpa hipoksemia.
Pasien yang lebih parah biasanya menunjukkan tanda hipoksemia,
retraksi dinding dada, dan suara paru abnormal. Manifestasi neurologi
yang muncul seperti penurunan kesadaran, pasien mulai meracau,
iskemik-hipoksia pada sistem saraf pusat sehingga menunjukkan tanda
peningkatan ICP (Elzouki, 2012).

Sedangkan menurut sumber lain, manifestasi drowningyang muncul antara


lain :
• Frekuensi pernafasan berkisar dari pernapasan yang cepat dan
dangkal sampai apneu.

• Syanosis
• Peningkatan edema paru
• Kolaps sirkulasi
• Hipoksemia
• Asidosis
• Timbulnya hiperkapnia
• Lunglai
• Postur tubuh deserebrasi atau dekortikasi
• Koma dengan cedera otak yang irreversible
Tanda dan gejala neardrowning berbeda-beda pada setiap individu
tergantung pada durasi dari tenggelamnya. Manifestasi klinis yang biasa
muncul antara lain (Raoof, 2008) :

a. Asimtomatik
b. Simtomatik
c. Pasien sadar namun gelisah dan sesak nafas.Insufisiensi pulmonar dapat
berkembang cepat bersamaan dengan takipnea, takikardia, batuk dengan
sputum berwana pink serta berbusa, dan sianosis.

7
d. Cardiopulmonary arrest : Pasien mengalami apnea, bradikardi, ventricular
tachycardia/fibrilation, asistole, dan nampak seperti tidak sadar. Tanda-
tanda yang memperkuat diagnosis mati tenggelam (drowning) , yaitu :

a) Kulit tubuh mayat terasa basah, dingin, pucat dan pakaian basah
b) Lebam mayat biasanya sianotrik kecuali mati tenggelam di air dingin
berwarna merah muda
c) Kulit telapak tangan/telapak kaki mayat pucat (bleached) dan keriput
(washer woman’s hands/feet)
d) Kadang terdapat cutis anserine/goose skin pada lengan, paha dan bahu
mayat
e) Terdapat buih putih halus pada hidung atau mulut mayat (scheumfilz
froth) yang bersifat melekat
f) Bila mayat dimiringkan, cairan akan keluar dari mulut/hidung
g) Bila terdapat cadaveric spasme maka kotoran air/bahan setempat berada
dalam genggaman tangan mayat
h) Paru-paru mayat membesar dan mengalami kongesti
i) Saluran napas mayat berisi buih, kadang berisi lumpur, pasir.
j) Lambung mayat berisi banyak cairan
k) Benda asing dalam saluran napas masuk sampai ke alveoli
l) Organ dalam mayat mengalami kongesti

8
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pasien dengan drowning harus melakukan X-ray dada dan monitoring
saturasi oksigen.Radiografi dada mungkin menunjukkan perubahan akut,
seperti infiltrasi alveolar bilateral.Selain itu, pemeriksaan sistem saraf pusat,
EKG, dan analisis gas darah juga diperlukan (Elzouki, 2012). Berikut
pemeriksaan diagnostic lainnya yaitu:

• Laboratorium
• ABG + oksimetri, methemoglobinemia dan carboxyhemoglobinemia
CBC prothrombin time, partial thromboplastin time, fibrinogen, D-dimer,
fibrin  Serum elektrolit, glukosa, laktat, factor koagulasi

• Liver enzymes :
• Aspartate aminotransferase dan alanine minotransferase,
• Renal function tests (BUN, creatinine)
• Drug screen and ethanol level
• Continuous pulse oximetry and cardiorespiratory monitoring
• Cardiac troponin I testing
• Urinalisis  Imaging:

• Foto thoraks : bukti aspirasi, edema pulmo, atelektasis, benda asing,


evaluasi penempatan endotrakea tube

• CT scan kepala dan servikal bila curiga trauma


• Extremity, abdominal, pelvic imaging bila ada indikasi
• Echocardiography jika ada disfungsi miokard
• EKG
• Kateter swan-ganz untuk monitor cardiac output dan hemodinamik pada
pasien dg status CV tidak stabil atau pasien yang membutuhkan
pengobatan inotropic multiple dan vasoaktif.

9
7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaannya sebagai berikut :

7.1 Bantuan Hidup Dasar


Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan,
dengan fokus utama pada perbaikan jalan nafas dan oksigenesasi buatan.
Penilaian pernapasan dilakukan dengan tiga langkah, yaitu :

a. Look yaitu melihat adanya pergerakan dada


b. Listen yaitu mendengar suara nafas
c. Feel yaitu merasakan ada tidaknya hembusan nafas

Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak


bernafas dengan normal setelah pembersihan jalan napas yaitu kompresi
dada lalu pemberian napas buatan dengan rasio 30:2. Terdapat tiga cara
pemberian napas buatan, yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth to
neck stoma.

Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian napas


buatan untuk mengurangi hipoksemia. Melakuakn pernapasan buatan dari
mulut ke hidung lebih disarankan karena sulit untuk menutup hidung korban
saat pemberian napas mulut ke mulut. Pemberian napas buatan dianjurkan
hingga 1015 kali sekitar 1 menit. Kompresi dada diindikasikan pada korban
yang tidak sadar dan tidak bernapas dengan normal, karena kebanyakan
korban tenggelam mengalami henti jantung akibat hipoksia.

7.2 Bantuan hidup lanjut


Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian

oksigen dengan tekanan lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM
(Bag Valve Mask) atau tabung oksigen. Oksigen yang diberikan memiliki
saturasi 100%. Jika setelah pemberian oksigen ini keadaan korban belum
membaik maka dapat dilakukan intubasi trakeal.

10
Dalam Raoof (2008), penatalaksanaan pasien dengan neardrowning
umumnya terbagi menjadi tiga fase, antara lain perawatan prehospital,
perawatan unit gawat darurat, penatalaksanaan rawat inap.

a. Perawatan pre hospital


Pada fase ini, penatalaksanaan difokuskan pada Airway (A),
Breathing (B), dan Circulation (C).Pasien harus dipindahkan dari
air secepatnya, namun menyelamatkan pernafasan dapat dimulai
walau korban masih berada di air.Cara memindahkan pasien harus
benar dengan meminimalkan gerakan pada leher pasien untuk
menghindari terjadinya cedera medula spinal.Ketika pasien telah
berada di permukaan yang datar, segera dilakukan CPR ketika nadi
tidak teraba.Akan tetapi, nadi mungkin lemah dan sulit teraba pada
korban yang mengalami hipotermia karena bradikardi dan atrial
fibrilation (AF).Heimlich Maneuver tidak banyak menguntungkan
bila digunakan untuk mengeluarkan air yang tertelan, teknik ini
seharusnya hanya digunakan saat penyebab obstruksi jalan nafas
adalah benda asing. Oksigen tambahan (100%) dapat diberikan jika
tersedia.Pasien yang mengalami apneu harus dilakukan intubasi
sesegera mungkin.

b. Perawatan di unit gawat darurat


Ketika pasien sudah dipindah ke unit gawat darurat, harus
dilakukan pengkajian ulang secara hati-hati untuk mengetahui
adanya tanda-tanda trauma seperti trauma spinal, trauma dada, atau
trauma abdomen.Pengkajian status neurologi termasuk reflek
batang otak dan GCS diperlukan untuk memastikan prognosis
pasien.

c. Pakaian yang basah harus dilepas, pasien dengan hipotermia harus


dihangatkan dengan menggunakan berbagai cara. Seperti selimut hangat,
bantalan pemanas, mandi air hangat, teknik forced warm

11
air.Kadangkadang peritoneal lavage dan pleural lavagedengan larutan
hangat juga digunakan.

d. Oksimetri nadi dan EKG digunakan untuk mendeteksi hipoksia dan


aritmia jantung. Analisis gas darah arteri, serum elektrolit, level etanol,
pemeriksaan urin biasanya dilakukan. Cervical spine imaging, radiografi
dada, CT scan dilakukan jika dicurigai adanya trauma.Pasien yang sudah
terlihat membaik dapat dipulangkan setelah dilakukan monitoring
selama 7 sampai 12 jam.Pasien dengan distres respiratori berat dan
perubahan status mental diperlukan intubasi dan ventilasi mekanik.

e. Perawatan rawat inap


Tujuan dari penatalaksanaan di rumah sakit ialah untuk mencegah
cedera neurologi sekunder, iskemia yang menetap, hipoksemia,
edema serebral, asidosis, dan abnormalitas elektrolit.Pasien dengan
hipotermia diperlukan resusitasi sampai suhu mencapai 32 atau
35oC. Pasien dengan hipotensi dilakukan resusitasi cairan dan
diberikan obat inotropik bila perlu. Radiografi dada biasanya
menunjukkan gambaran normal sampai edema pulmonar yang
menyebar. Pneumonia pada pasien diobati dengan antibiotik
spektrum luas.

8. KOMPLIKASI
Menurut Flags (2008) dan Szpilman (2012), setelah kejadian near-
drowning, seorang pasien beresiko terjadinya komplikasi seperti :

a. Hipoksia atau iskemik injuri cerebral


b. ARDS (acute respiratory distress syndrome)
c. Kerusakan pulomal sekunder akibat respirasi
d. Cardiak arrest
e. Anoksia
f. Shock
g. Myoglubinuria
h. Insufisiensi ginjal

12
i. Infeksi Sistemik dan intravaskuler koagulasi juga dapat terjadi selama 72 jam
pertama setelah resusitasi.

9. ASUHAN KEPERAWATAN
9.1 Pengkajian
a. Primary Survey
1) Airway : Kaji adanya sumbatan jalan nafas akibat paru-paru yang
terisi cairan. Manajemen : Kontrol servikal, bebaskan jalan nafas
2) Breathing : Periksa adanya peningkatan frekuensi nafas, nafas
dangkal dan cepat, klien sulit bernafas. Manajemen : Berikan bantuan
ventilasi
3) Circulation : Kaji penurunan curah jantung. Manajemen : Lakukan
kompresi dada
4) Disability : Cek kesadaran klien, apakah terjadi penurunan kesadaran.
Manajemen : Kaji GCS, periksa pupil dan gerakan ektremitas
5) Exposure : Kaji apakah terdapat jejas.

b. Secondary Survey
1. Identitas Klien : meliputi nama, umur, pekerjaan, jenis
kelamin, alamat
2. Keluhan Utama : Kaji hal yang dirasakan klien saat itu,
biasanya klien mengeluh sesak nafas
3. Riwayat Penyakit Sekarang : Bagaimana awal mula klien
dibawa ke pelayanan kesehatan sampai munculnya keluhan
yang dirasakan klien
4. Riwayat Penyakit Dahulu : Kaji apakah sebelumnya klien
pernah tenggelam, dan kaji apakah klien mempunyai penyakit
asma
5. Pengkajian Fisik

13
Keadaan Umum : Klien biasanya tampak lemah, pucat, sesak,
dan kesulitan bernafas.
Pemeriksaan per – system B1-B6 :

B1 (Breathing) : Klien mengeluh sesak dan sulit bernafas,


pernafasan cepat dan dangkal, RR meningkat

B2 (Blood) : Tekanan darah klien menurun, klien tampak


pucat, sianosis dan nadi meningkat (takikardi)

B3 (Brain) : Klien mengalami penurunan kesadaran, GCS


menurun
B4 (Bladder) : Tidak ditemukan kelainan
B5 (Bowel) : Tidak ditemukan kelainan
B6 (Bone) : Kaji adanya fraktur karena terbentur benda keras

14
9.2 Analisa Data

No Data etiologi Problem


1. DS : pasien mengatakan refraktori dan kebocoran Gangguan
kesulitan untuk bernafas interstitial pulmonal / pertukaran gas
alveolar pada status cedera
DO : terdapat tanda-
kapiler paru/ kelebihan atau
tanda hipoksia (pucat, crt
kekurangan oksigen
> 2dtk, terdapat
pernafasan cuping
hidung, terlihat otot
bantu nafas)
2. DS : – peningkatan kerja ventrikel/ Penurunan curah
ketidak mampuan jantung jantung
DO : penurunan TD,
memompa
akral dingin pucat, suhu
tubuh menurun
3. DS : – kurangnya suplai oksigen Risiko perfusi
cerebral tidak efektif
DO : penurunan
kesadaran
4. DS : Klien mengeluh hipoksia akibat penurunan Pola nafas tidak
sesak kadar oksigen dalam efektif
tubuh/masuknya benda cair
DO : RR meningkat,
nafas cepat dan dangkal,
penggunaan otot bantu
pernafasan

15
9.3 Diagnosa keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas b.d kelebihan atau kekurangan oksigen


2. Penurunan curah jantung b.d ketidak mampuan jantung memompa
3. Risiko perfusi cerebral tidak efektif b.d kurangnya suplai oksigen
4. Pola nafas tidak efektif b.d masuknya benda cair

9.4 Intervensi keperawatn

Diagnosa Tujuan dn Intervensi Rasional


kriteria hasil
Gangguan Tujuan : OBSERVASI 1.Takipneu
pertukaran adalah
gas b.d
Setelah  Monitor frekuensi,irama,kedalaman mekanisme
dilakukan dan upaya napas
kelebihan kompensasi
tindakan  Monitor pola napas
atau untuk
keperawatan  Monitor adanya sumbatan jalan
kekurangan hipoksemia dan
1×24 jam tidak napas
oksigen peningkatan
terjadi gangguan  Palpasi kesimetrisan ekspansi paru usaha napas
pertukaran gas  Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen 2. Tanda
Kriteria Hasil :
sianosis dapat
meningkat  Monitor nilai AGD
dinilai pada
 Monitor x-ray torakz
a. Oksigenasi mulut, bibir
adekuat TERAPEUTIK: yang berindikasi
b. Saturasi adanya
oksigen  Atur interval pemantauan respirasi hipoksemua
dalam sesuai kondisi pasien sistemik,

16
rentang  Dokumentasi hasil pemantauan sianosis perifer
normal seperti pada
EDUKASI: kuku dan
 Jelaskan tujuan dan prosedur ekstremitas
pemanatuan vasookontriksi
 Informasi hasil pemantauan 3. Hipoksemia
dapat
,enyebabkan
iritabilitas dari
miokardium
4.
Memaksimalkan
pertukaran
oksigen secara
terus menerus
dengan tekanan
yang sesuai
Penurunan Tujuan : OBSERVASI: 1.Perbedaan
curah frekuensi,
jantung b.d
Setelah  Idetifikasi tanda/gejala primer kesamaan dan
dilakukan penurunan jantung
ketidak keteraturan nadi
tindakan  Idetifikasi tanda/gejala sekunder
mampuan menunjukkan
keperawatan penurunan jantung
jantung efek gangguan
selama 1×24  Monitor tekanan darah
memompa curah jantung
jam, tidak terjadi  Monitor intake dan autput cairan pada sirkulasi
penurunan curah  Monitor keluhan nyerri dada sistemik/perifer
jantung  Monitor aritmia
2. Pendengaran
Kriteria TERAPEUTIK: terhadap bunyi
Hasil
jantung ekstra
:meningkat  Posisikan pasien dengan semi-fowler
atau penurunan
dan fawler dengan kaki kebawah
nadi membantu
atau posisi nyaman
mengidentifikasi
KOLABORASI: disritmua pada
pasien tak
 Rujuk ke program rehabilitas terpantau
jantung
3. Meskipun
tidak semua
disritmia
mengancam
hidup,
penanganan
cepat untuk
mengakhiri
disritmia

17
diperlukan pada
adanya
gangguan curah
jantung dan
perfusi jaringan
4. Penurunan
rangsang dan
penghilangan
stress akibat
katekolamin
yang
menyebabkan
atau
meningkatkan
disritmia dan
vasokontriksi
serta
meningkatkan
kerja miokard
Risiko Tujuan : OBSERVASI: 1.Tingkat
perfusi kesadaran
cerebral
Setelah  Identifikasi penyebab peningkatan merupakan
dilakukan TIK
tidak indikator terbaik
tindakan  Monitor tanda dan gejala
efektif b.d adanya
keperawatan peningkatan TIK
kurangnya perubahan
1×24 jam tidak  Monitor MAP(mean arterial perssur)
suplai neurologi
terjadi gangguan  Monitor gelombong ICP
oksigen
perfusi serebral  Monitor status pernapasan 2. Indikasi
Kriteria  Monitor intake dan output cairan adanya fraktur
Hasil basilar
:meningkat TERAPEUTIK:
3. Pada keadaan
a. Klien  Minimalkan stimulus denagan normal
menunjukka menyediakan lingkungan yang autoregulasi
n perhatian, tenang mempertahankan
konsentrasi  Berikan posisi semi fowler aliran darah otak
dan orientasi  Hindari maneuver valsava yang konstan
b. Klien  Cegah terjadinya kejang pada saat
menunjukka  Pertahankan suhu tubuh normal fluktuasi tekanan
n memori darah sistemik
jangka lama KOLABORASI:
4.Adanya
dan saat ini,  Kolaborasi pemberian sedasi dan perubahan tanda
membuat anti kunvulsan,jika perlu vital seperti
keputusan
 Kolaborasi pemberian diuretic respirasi
yang benar
osmosis,jika perlu menunukkan
kerusakan pada

18
 Kolaborsi pemberian pelunak batang otak
tinja,jika perlu
Pola nafas Tujuan : OBSERVASI: 1.Pucat dan
tidak sianosis
efektif b.d
Setelah  Monitor pla napas merupakan
dilakukan  Monitor bunyi napas tambahan
masuknya tanda hipoksia
tindakan  Monitor sputum
benda cair
keperawatan 2. Posisi untuk
selama 1×24 TERAPEUTIK: memperoleh
jam, pola nafas  Pertahankan kepatenan jalan napas ventilasi
klien adekuat dengan head-tilt dan chin-lift maksimum
dan efektif.  Posisika semi fowler atau fowler 3. Untuk
Kriteria  Berikan minum hangat membebaskan
Hasil :membaik  Lakukan fisioterapi dada jalan nafas
 Berikan oksigen
a. RR 4. Untuk
dalam KOLABORASI: memberi jalan
batas nafas pada klien
normal  Kolaborasi pemberian
16- bronkodilator,ekspektoran,mukolitik,
22x/meni jika perlu
t
b. Nafas
regular

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdul M. I. (1997) . Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta Bara : Binarupa


Aksara Budiyanto. (1997) . Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik
FKUI Dolinak, D., Matshes, E. & Lew, E. O., (2005) . Forensic Pathology:
Principles and Practice. s.l.:Elsevier. Levin, D. L. et al., (1993) . Drowning and
Near-Drowning. Pediatric clinics of North America, Volume 2. Onyekwelu, E.,
(2008) . Drowning and Near Drowning. Internal Journal of Health 8, Volume 2.
Raoof, Suhail. (2008) . Manual of Critical Care. New York: Brooklyn. Rastogi, P. &
Rao, J., (2011). Accidental Mechanical Asphyxia At Work Site By Mud. J Punjab
Acad Forensic Med Toxicol, Volume 11, pp. 52-54. Somantri, irman, (2007) .
Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem pernapasan, Salemba
Medika, Jakarta Sorrentino, S., (2010) . Mosby’s Textbok for Long-Term Care
Nursing Assistants. 6th penyunt. s.l.:Mosby. Wilianto, W., (2012) . Pemeriksaan
Diatom pada Korban Diduga Tenggelam. Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia,
Volume 14, pp. 39-46. Wilkinson & Ahern. (2011) . Buku Saku Diagnosis
Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC . Ed. 9.
Jakarta: EGC.

20
21

Anda mungkin juga menyukai