Anda di halaman 1dari 17

Proses- proses Pengaruh Sosial

Pengertian Pengaruh dan Kekuasaan

Menurut Wiryanto. Pengaruh merupakan tokoh formal maupun informal di dalam masyarakat,
mempunyai ciri lebih kosmopolitan, inovatif,kompeten, dan aksesibel dibanding pihak yang dipengaruhi.

Pengertian Pengaruh Menurut Norman Barry. Pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan yang jika seorang
dipengaruhi agar bertindak dengan cara tertentu, dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian,
sekalipun ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang mendorongnya.

Pengertian Pengaruh Menurut Uwe Becker. Pengaruh adalah kemampuan yang terus berkembang yang
– berbeda dengan kekuasaan – tidak begitu terkait dengan usaha memperjuangkan dan memaksakan
kepentingan

Bentuk hasil dari pengaruh :

1. Persuasi Rasional : Pemimpin menggunakan argumentasi logis dan bukti faktual untuk mempersuasi
pengikut bahwa suatu usulan adalah masuk akal dan kemungkinan dapat mencapai sasaran.

2. Permintaan Inspirasional : Pemimpin membuat usulan yang membangkitkan antusiasme pada


pengikut dengan menunjuk pada nilai-nilai, ide dan aspirasi pengikut atau dengan meningkatkan rasa
percaya diri dari pengikut.

3. Konsultasi : Pemimpin mengajak partisipasi pengikut dalam merencanakan sasaran, aktivitas atau
perubahan yang untuk itu diperlukan dukungan dan bantuan pengikut atau pemimpin bersedia
memodifikasi usulan untuk menanggapi perhatian dan saran dari pengikut.

4. Menjilat : Pemimpin menggunakan pujian, rayuan, perilaku ramah tamah, atau perilaku yang
membantu agar pengikut berada dalam keadaan yang menyenangkan atau mempunyai pikiran yang
menguntungkan pemimpin tersebut sebelum meminta sesuatu.

5. Permintaan Pribadi : Pemimpin menggunakan perasaan pengikut mengenai kesetiaan dan


persahabatan terhadap dirinya ketika meminta sesuatu.

6. Pertukaran : Pemimpin menawarkan suatu pertukaran budi baik, memberi indikasi kesediaan untuk
membalasnya pada suatu saat nanti, atau menjanjikan bagian dari manfaat bila pengikut membantu
pencapaian tugas.

7. Taktik Koalisi : Pemimpin mencari bantuan dari orang lain untuk mempersuasi pengikut agar
melakukan sesuatu atau menggunakan dukungan orang lain sebagai suatu alasan bagi pengikut untuk
juga menyetujuinya.
8. Taktik Pengesahan : Pemimpin mencoba untuk menetapkan validitas permintaan dengan menyatakan
kewenangan atau hak untuk membuatnya atau dengan membuktikan bahwa hal itu adalah konsisten
dengan kebijakan, peraturan, praktik atau tradisi organisasi.

9. Menekan : Pemimpin menggunakan permintaan, ancaman, seringnya pemeriksaan, atau peringatan-


peringatan terus menerus untuk mempengaruhi pengikut melakukan apa yang diinginkan.

Jenis Sumber Kekuasaan

Teori yang dikemukakan oeh French dan Raven (1959) ini menyatakan bahwa kepemimpinan bersumber
pada kekuasaan dalam satu kelompok atau organisasi. Dengan perkataan lain, orang atau orang-orang
yang memiliki akses terhadap sumber kekuasaan dalam suatu kelompok atau organisasi tertentu akan
mengendalikan atau memimpin kelompok atau organisasi itu. Adapun sumber kekuasaan itu sendiri ada
tiga macam yaitu:

1. Kekuasaan bersumber pada kedudukan (Position) Kekuasaan yang bersumber pada kedudukan
terbagi lagi ke dalam beberapa jenis yaitu:

kekuasaan formal atau legal (French & Raven, 1959) termasuk dalam jenis ini adalah komandan tentara,
kepala dinas, presiden atau perdana mentri dan sebagainya yang mendapat kekuasaan karena ditunjuk
dan/atau diperkuat dengan peraturan atau perundangan yang resmi

kendali atas sumber dan ganjaran (French & Raven, 1959) majikan yang menggaji karyawan, majikan
yang mengupah buruh, kepala suku atau kepaa kantor yang dapat memberi ganjaran kepada
bawahannya, dan sebagainya, memimpin berdasarkan sumber kekuasaan seperti ini.

Kendali atas hokum (French & Raven, 1959) Ganjaran biasanya terkait dengan hukuman sehingga kendai
atas ganjaran biasa juga kendali atas hukuman. Walaupun dmikian, ada kepemimpinan yang sumbernya
hanya kendali atas hokum saja, ini merupakan kepemimpinan yang didasarkan pada rasa takut. Contoh
para preman yang memungut pajak kepada pedagang, pedagang akan tunduk kepada preman karena
takut akan mendapat perakuan kasar.

Kendali atas informasi (French & Raven, 1959) Informasi adalah ganjaran positif bagi orang yang
memerlukan, sehingga siapa pun yang menguasai informasi dapat menjadi pemimpin. Contohnya orang
yang paling tahu arah jalan maka otomatis dia akan menjadi pemimpin rombingan.

Kendali ekologi (Lingkungan) Sumber kekuasaan ini dinamakan juga perekayasa situasi (situational
sengineering). Contoh adalah kendali atas penempatan jabatan (Oldham, 1975). Seorang atasan,
manager, atau kepala bagian personality mempunyai kekuasaan atas bawahannya, kerena ia boleh
menentukan posisi anggotanya.

2. Kekuasaan yang bersumber pada pribadi (Personal) Berbeda dari kepemimpinan kekuasaan yang
bersumber pada kepribadian berawal dari sifat-sifat pribadi, yaitu sebagi berikut:
Keahlian atau ketrampilan (French & Raven 1959) Orang yang menjadi imam adalah orang yang paling
fasih membaca ayat Al-Qur’an. Demikian pula dalam pesawat atau kapal, orang yang paling ahli dalam
mengemudilah yang akan menjadi pemimpin.

Persahabatan atau kesetian (French & Raven 1959) Sifat dapat bergaul, setia kawan atau setia kepada
kelompok dapat merupakan sumber kekuasaan, sehingga seseorang dianggap sebagai pemimpin.

Karisma (House,1977) Ciri kepribadian yang menyebabkan timbulnya kewibawaan pribadi dari
pemimpin juga merupakan salah satu sumber kekuasaan dalam proses kepemimpinan. Mengenai hal ini
dibicarakantersendiri dalam teori bakat.

3. Kekuasaan yang bersumber pada politik (Political Power). Kekuasaan yang bersumber pada politik
terdiri atas bebrapa jenis (Preffer,1981)

Kendali atas proses pembuatan keputusan (Preffer & Salanick,1974) dalam organisasi, ketua
menentukan apakah suatu keputusan akan dibuat dan dilaksanakan atau tidak.

Koalisi (Stevenson, Perace & Porter, 1985), kepemimpinan atas dasar sumber kekuasaan politik
ditentukan juga atas hak atau kewenangan untuk membuat kerjasama dengan kelompok lain.

Pertisipasi (Pfeffer,1981) Pemimpin mengatur partisipasi anggotanya, siapa yang boleh berpartisipasi
dalam bentuk apa tiap anggotanya berpartisipasi dan sebagainya.

Pemimpin agama menikahkan pasangan suami istri, menentukan terbentuknya keluarga baru. Notaris
atau hakim menentukan berdirinya suatu yayasan atau perusahaan baru. Dan sebagainya, secara umum
ada dua bentuk kekuasaan: 1. Pertama kekuasaan pribadi, kekuasaan yang didapat dari para pengikut
dan didasarkan pada seberapa besar pengikut mengagumi, respek dan terkait pada pemimpin. 2. Kedua
kekuasaan posisi, kekuasaan yang didapat dari wewenang formal organisasi. Kekuasaan berkaitan erat
dengan pengaruh (influence) yaitu tindakan atau contoh tingkah laku yang menyebabkan perubahan
sikap atau tingkah laku orang lain atau kelompok

Kekuasaan Dalam Kelompok

Dahl (1957) menyatakan bahwa ”A memiliki kekuasaan atas B sehingga A dapat meminta B melakukan
sesuatu yang tanpa kekuasaan A tersebut tidak akan dilakukan B”. Definisi ini menyempitkan konsep
kekuasaan, juga menuntut seseorang untuk mengenali jenis-jenis perilaku khusus.
Riker (1964) berpendapat bahwa perbedaan dalam kekuasaan benar-benar didasarkan pada perbedaan
kausalitas (sebab-akibat). Kekuasaan adalah kemampuan untuk menggunakan pengaruh, sedangkan
alasan adalah penggunaan pengaruh yang sebenarnya.

Sedangkan Russel (1983) menyatakan bahwa power (kekuasaan) adalah konsep dasar dalam ilmu sosial.
Kekuasaan penting dalam kehidupan organisasi, dan bahwa kekuasaan dalam organisasi terikat dengan
status seseorang.

Boulding (1989) mengemukakan gagasan kekuasaan dalam arti luas, sampai tingkat mana dan
bagaimana kita memperoleh yang kita inginkan. Bila hal ini diterapkan pada lingkungan organisasi, ini
adalah masalah penentuan di seputar bagaimana organisasi memperoleh apa yang dinginkan dan
bagaimana para pemberi andil dalam organisasi itu memperoleh apa yang mereka inginkan. Kita
memandang kekuasaan sebagai kemampuan perorangan atau kelompok untuk mempengaruhi,
memberi perintah dan mengendalikan hasil-hasil organisasi.

Kekuasaan DalamKelompok Dan Beberapa Pendekatan

Orang-orang yang berada pad pucuk pimpinan suatu organisasi seperti manajer, direktur, kepala dan
sebagainya, memiliki kekuasaan power) dalam konteks mempengaruhi perilaku orang-orang yang secara
struktural organisator berada di bawahnya. Sebagian pimpinan menggunakan kekuasaan dengan efektif,
sehingga mampu menumbuhkan motivasi bawahan untuk bekerja dan melaksanakan tugas dengan lebih
baik. Namun, sebagian pimpinan lainnya tidak mampu memakai kekuasaan dengan efektif, sehingga
aktivitas untuk melaksanakan pekerjaan dan tugas tidak dapat dilakukan dengan baik. Oleh karena itu,
sebaiknya kita bahas secara erperinci tentang jenins-jenis kekuasaan yang sering digunakan dalam suatu
organisasi.

Dalam pengertiannya, kekuasaan adalah kualitas yang melekat dalam satu interaksi antara dua atau
lebih individu (a quality inherent in an interaction between two or more individuals). Jika setiap individu
mengadakan interaksi untuk mempengaruhi tindakan satu sama lain, maka yang muncul dalam interaksi
tersebut adalah pertukaran kekuasaan.

Menurut French dan Raven, ada lima tipe kekuasaan, yaitu :

. Reward power

Tipe kekuasaan ini memusatkan perhatian pada kemampuan untuk memberi ganjaran atau imbalan atas
pekerjaan atau tugas yang dilakukan orang lain. Kekuasaan ini akan terwujud melalui suatu kejadian
atau situasi yang memungkinkan orang lain menemukan kepuasan. Dalam deskripsi konkrit adalah ‘jika
anda dapat menjamin atau memberi kepastian gaji atau jabatan saya meningkat, anda dapat
menggunkan reward power anda kepada saya’. Pernyataan ini mengandung makna, bahwa seseorang
dapat melalukan reward power karena ia mampu memberi kepuasan kepada orang lain.

Coercive power

Kekuasaan yang bertipe paksaan ini, lebih memusatkan pandangan kemampuan untuk memberi
hukuman kepada orang lain. Tipe koersif ini berlaku jika bawahan merasakan bahwa atasannya yang
mempunyai ‘lisensi’ untuk menghukum dengan tugas-tugas yang sulit, mencaci maki sampai
kekuasaannya memotong gaji karyawan. Menurut David Lawless, jika tipe kekuasaan yang poersif ini
terlalu banyak digunakan akan membawa kemungkinan bawahan melakukan tindakan balas dendam
atas perlakuan atau hukuman yang dirasakannya tidak adil, bahkan sangat mungkin bawahan atau
karyawan akan meninggalkan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.

Referent power

Tipe kekuasaan ini didasarkan pada satu hubungan ‘kesukaan’ atau liking, dalam arti ketika seseorang
mengidentifikasi orang lain yang mempunyai kualitas atau persyaratan seperti yang diinginkannya.
Dalam uraian yang lebih konkrit, seorang pimpinan akan mempunyai referensi terhadap para
bawahannya yang mampu melaksanakan pekerjaan dan bertanggung jawab atas pekerjaan yang
diberikan atasannya.

Expert power

Kekuasaa yang berdasar pada keahlian ini, memfokuskan diripada suatu keyakinan bahwa seseorang
yang mempunyai kekuasaan, pastilah ia memiliki pengetahuan, keahlian dan informasi yang lebih
banyak dalam suatu persoalan. Seorang atasan akan dianggap memiliki expert power tentang
pemecahan suatu persoalan tertentu, kalau bawahannya selalu berkonsultasi dengan pimpinan tersebut
dan menerima jalan pemecahan yang diberikan pimpinan. Inilah indikasi dari munculnya expert power.

Legitimate power

Kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang sebenarnya (actual power), ketika seseorang melalui suatu
persetujuan dan kesepakatan diberi hak untuk mengatur dan menentukan perilaku orang lain dalam
suatu organisasi. Tipe kekuasaan ini bersandar pada struktur social suatu organisasi, dan terutama pada
nilai-nilai cultural. Dalam contoh yang nyata, jika seseorang dianggap lebih tua, memiliki senioritas
dalam organisasi, maka orang lain setuju untuk mengizinkan orang tersebut melaksanakan kekuasaan
yang sudah dilegitimasi tersebut.

Dari lima tipe kekuasaan di atas mana yang terbaik? Scott dan Mitchell menawarkan satu jawaban.
Harus dingat bahwa kekuasaan hampir selalu berkaitan dengan praktik-praktik seperti penggunaan
rangsangan (insentif) atau paksaan (coercion) guna mengamankan tindakan menuju tujuan yang telah
ditetapkan. Seharusnya orang-orang yang berada di pucuk pimpinan, mengupayakan untuk sedikit
menggunakan insentif dan koersif. Sebab secara alamiah cara yang paling efisien dan ekonomis supaya
bawahan secara sukarela dan patuh untuk melaksanakan pekerjaan adalah dengan cara mempersuasi
mereka. Cara-cara koersif dan insentif ini selalu lebih mahal, dibanding jika karyawan secara spontas
termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi yang mereka pahami berasal dari kewenangan yang sah
(legitimate authority).
PERIMBANGAN KEKUASAAN DALAM KEPEMIMPINAN ORGANISASIONAL

Dewasa ini tuntutan masyarakat dunia akan penegakkan hak asasi manusia semakin
menguat. Namun bagaimana hal tersebut dapat dimplementasikan dalam manajemen dan
organisasi, akan memerlukan terobosan pemikiran tersendiri. Titik terang telah mulai
nampak dengan bergulirnya berbagai pemikiran transformatif berkenaan dengan
perubahan “makna” paradigma kepemimpinan dan perubahan pandangan tentang esensi
pendistribusian kekuasaan. Sehingga bertiuplah angin kencang perubahan yang menuntut
orientasi pemikiran kepemimpinan ke arah yang lebih egaliter dan horisontal. Untuk dapat
membedakan pengertian antara “kepemimpinan vertikal” dan “kepemimpinan horisontal”
ada baiknya dilakukan pula pembedaan antara pengertian “leadership” dan “leadingship”.
Pengerian “ship” dalam leadership mengandung pengertian bahwa kekuasaan
kepemimpinan diperoleh karena status formal yang disandangnya termasuk prestise dan
previlegenya sehingga ia memiliki posisi dan otoritas (power-structure) yang tinggi dan
entitas pengaruh yang kuat. Adapun pengertian “ship” dalam “leadingship” adalah
pengaruh yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan pada kemampuan, kapasitas dan
keterampilan yang dimilikinya sekaligus karena otentisitas karakter dan otoritas pribadinya
yang unggul yang ditunjang oleh kompetensi yang otonom. Persepsi yang dominan
tentang kepemimpinan selama ini senantiasa didasari oleh pemisahan pengertian antara
adanya kekuasaan pemimpin dari pengikut. Atau dengan kata lain, persepsi demikian lebih
dipengaruhi oleh pandangan tentang prinsip kekuasaan vertikal (power structure vertical),
atas landasan hak untuk membuat keputusan pada orang lain. Prinsip kekuasaan vertikal
kemudian membentuk pandangan dan persepsi kebanyakan orang tentang
kepemimpinan, yang pada gilirannya membentuk konsepsi tentang pengertian
kepemimpinan itu sendiri. Konsep leadingship perlu diperkenalkan sebagai ide dan
pemikiran alternatif tentang kepemimpinan bersama dalam bentuk semacam mekanisme
pengarah (steering-mechanism). Dengan kata lain, leadingship merupakan landasan bagi
prinsip kekuasaan horisontal, yang menghilangkan sekat fungsi dan peran antara atasan
dan bawahan. Berdasarkan premis ini suatu tim kerja bekerjasama secara setara mandiri
dan berdaulat. Sedangkan aktivitas leadership diekspresikan oleh seseorang dalam
posisinya yang superior karena diserahi suatu kekuasaan, yaitu berupa wewenang untuk
membuat keputusan, komando, kontrol, memberi perintah, mengawasi, dan sanksi
kepada bawahannya berkenaan dengan posisi tertinggi mereka dalam hirarki organisasi.
Kepemimpinan adalah tentang otoritas pribadi dan otonomi untuk memutuskan apa yang
terbaik bagi dirinya dan bawahannya, dalam situasi dan hubungan mereka di tempat kerja.
Dalam hal ini, kebebasan manusia untuk menentukan nasib sendiri menjadi dibatasi pada
saat mereka bergabung dalam

kehidupan keorganisasian. Ketika seseorang memilih untuk menjadi seorang pekerja,


maka mereka tengah mentransaksikan hak asasi mereka sebagai orang-orang yang
mandiri dan bertanggung jawab. Dengan perkataan lain, perilaku kepatuhan menjadi
syarat utama bagi seseorang untuk menjadi seorang tenaga kerja dalam kehidupan
berorganisasi. Melalui sistem powerstructure kepemimpinan, para pekerja seolah
dirampas hak asasi manusianya di tempat kerja mengingat posisinya dalam hirarki
berperan sebagai bawahan. Dengan perkataan lain, suatu struktur telah mengharuskan
seseorang bersedia untuk diperlakukan berdasarkan posisi dan hirarki, tidak berdasarkan
individualitas dan identitas mereka sebagai manusia. Dengan demikian, kepemimpinan
sebenarnya adalah sistem terorganisir yang kurang beradab, karena sistem tersebut telah
mengabaikan hak asasi manusia yang prinsipil, yakni hak untuk menentukan nasib sendiri
bagi para pekerja di tempat kerja. Para pengikut atau bawahan harus mempersembahkan
loyalitas dan ketaatan mereka kepada sang pemberi perintah dan pengendali, sehingga
kepemimpinan mengandung arti juga sebagai upaya untuk mempertahankan dan
melindungi kekuasaan diri sendiri bersama-sama dengan sesama para pemimpin. Dengan
demikian, sifat leadingship secara diametral bersebrangan dengan sifat leadership.
Kontradiksi dari kedua fenomena tersebut masing-masing memiliki dasar dan
prinsipprinsip serta nilai-nilai yang sulit disandingkan dalam teori dan praktek. Leadership
mengesampingkan kemungkinan bahwa individu di tempat kerja dapat membuat
keputusan sendiri berdasarkan kepribadian individual mereka, dan mengesampingkan
kemungkinan adanya kesetaraan yang sama dalam menentukan suatu proses. Sebaliknya
melalui leadingship para pekerja diberi kesempatan untuk berupaya dan berkontribusi
terhadap tujuan umum organisasi, baik sebagai individu maupun dalam kerjasama tim.
Dengan cara demikian, kemerdekaan dan kebebasan para pekerja sebagai manusia yang
berdaulat dan otonom dapat terjaga, dan inilah esensi dari sifat leadingship sebagai suatu
sistem. Tentu saja suatu sistem membutuhkan powerstructure di mana semua orang
dalam organisasi memiliki hak yang sama sebagai manusia untuk membuat keputusan
sendiri dalam wilayah tugasnya masing-masing. Sistem ini memiliki karakter partisipatif,
yaitu membangun dan mempertahankan hak para pekerja untuk mempengaruhi dan
berkontribusi terhadap keputusan yang berdampak pada kondisi dan situasi kerja mereka
di tempat kerja. Inti dari leadingship adalah memberi kesempatan bagi setiap orang untuk
memimpin diri sendiri dan berkontribusi sesuai dengan kompetensi mereka dalam
jalannya proses suatu organisasi. Leadingship mensyaratkan bahwa setiap orang dihormati
sebagai manusia yang unik dan setara. Oleh karena itu, leadingship dapat dikatakan
sebagai sistem kemanusiaan terorganisir yang mengakui hak asasi individual, yang
berfungsi sebagai manusia berdaulat dan otonom dengan hak untuk menentukan nasib
sendiri di tempat kerja. Dengan demikian leadingship dapat didefinisikan sebagai:
“penentuan nasib sendiri dari individu untuk membuat keputusan di wilayah wewenang
dan tanggung jawabnya serta ikut berpartisipasi dalam menentukan keputusan
organisasional secara umum”. Dalam praktek, leadingship dapat dilukiskan sebagai upaya
menyelesaikan sesuatu secara

bekerjasama dalam mutualitas yang saling mempercayai. Maka dalam proses leadingship
setiap orang diperlakukan sebagai “manusia”, dalam arti bahwa semua individu
diperlakukan dengan landasan martabat dan kesopanan yang sama serta memiliki
kebebasan dan kepercayaan di tempat kerja. Dengan perkataan lain, leadingship
merupakan upaya untuk mengatur dan berbagi kekuasaan antara individu satu dengan
lainnya agar menjadi individu dan tim kerja yang kuat. Sementara dalam sistem leadership
orang-orang yang memiliki posisi pemimpin hanya akan memiliki pemahaman dan empati
terbatas terhadap posisi non-leaders atau bawahan, begitu sebaliknya orientasi bawahan
terhadap atasan. Adanya orientasi bertentangan dalam hubungan antara atasan dengan
bawahan, dapat menciptakan disfungsi serius dalam organisasi, antara lain tersumbatnya
hubungan komunikasi di tempat kerja, padahal komunikasi adalah unsur penting dalam
berkolaborasi ketika persepsi masing-masing terhadap realitas berbeda sebagai akibat dari
adanya posisi yang berbeda, baik dalam posisinya sebagai atasan maupun sebagai
bawahan. Adanya aspek disfungsional ini merupakan ciri dari organisasi yang memiliki
powerstructure yang vertikal. Adanya distorsi persepsi antara leaders dan non-leaders
dalam organisasi, telah menciptakan suasana perbedaan yang mendalam dan disorientasi
pada aliran komunikasi organisasi. Salah satu masalah utama dari powerstructure vertikal
dalam organisasi, adalah adanya ketidak merataan dalam distribusi kekuasaan, khususnya
otoritas dalam membuat keputusan. Garis pemisah antara mereka yang bertanggung
jawab dan mereka yang tidak bertanggung jawab, dapat digambarkan sebagai garis
demarkasi antara para pekerja yang memiliki posisi yang kuat dengan para pekerja yang
tak berdaya dalam suatu organisasi. Para pekerja dengan posisi dan jabatan yang lebih
unggul memiliki otoritas untuk menentukan kebenaran versinya sendiri terhadap setiap
jenis situasi di tempat kerja, sementara para bawahan seringkali terpaksa menerima
kebenaran versi atasan, yang jika tidak, akan dipertanyakan tentang ketaatan dan
loyalitasnya. Bagaimanapun orang dengan posisi yang lebih tinggi lebih berpeluang
memutar dan mendistorsi gambaran situasi dari suatu peristiwa, sementara para bawahan
akan menerima distorsi tersebut sebagai fakta dan realitas. Begitu pula para manajer di
tingkat menengah akan mencari dukungan bagi pembenaran persepsi mereka tentang
realitas dari lapisan yang lebih atas pada organisasi mereka, dan biasanya mereka akan
saling mengkonfirmasi dan saling melindungi satu sama lain karena adanya hubungan
kolegialitas dalam organisasi. Dengan perkataan lain, setiap orang akan memandang
realitas secara berbeda sesuai dengan posisi dan hirarki mereka dalam organisasi, baik
sebagai atasan maupun bawahan. Seringkali adanya perbedaan persepsi tersebut
menimbulkan pertentangan dalam memandang realitas bersama, dikarenakan masing-
masing mengejar kepentingan pribadi mereka sesuai dengan status masing-masing.
Konsekuensi dari adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara pekerja dengan status
tinggi dengan pekerja yang berstatus rendah dapat memicu perilaku provokatif yang dapat
memperlebar konflik antara kelompok yang satu dengan yang lain. Dengan demikian para
pemimpin dapat mengeksploitasi kepentingan pribadi

masing-masing untuk mempertahankan kekuasaan dan bila perlu mengorbankan


kepentingan bawahan, sementara bawahan akan melakukan adaptasi untuk menghindari
penindasan. Berdasarkan berbagai hasil observasi, adanya kesenjangan ini merupakan
pemicu utama dari konflik fundamental dan konfrontasi di tempat kerja sebagai akibat
berlangsungnya suatu pola komunikasi yang disfungsional. Adanya transformasi struktural
ini – dari powerstructure vertikal ke horisontal - telah menciptakan alternatif baru untuk
mengembangkan model mental dan kemandirian baru dimana masing-masing individu
akan memiliki tanggung jawab pribadi. Proses pembentukan powerstructure horisontal
dengan struktur organisasi egaliter telah menopang strategi leadingship dengan capaian
hasil yang luar biasa, baik secara kuantitas, kualitas dan efisiensi ketimbang organisasi
dengan struktur vertikal yang menggunakan matrik kinerja tradisional. Struktur horisontal
merupakan alternatif sistem bagi organisasi yang tengah melakukan restrukturisasi melalui
perampingan dan mengurangi jenjang hirarki yang terlalu terjal. Terdapat 5 (lima) tesis
fundamental untuk mengembangkan powerstructure horisontal dalam organisasi, yakni: 1.
Dalam organisasi, kita semua adalah pemimpin; 2. Para pemimpin akan memimpin melalui
leadingship; 3. Yang dimaksud leadingship berarti bahwa semua melakukan pekerjaan
secara independen dan bersama-sama; 4. Leadingship mengharuskan semua pekerja
berfungsi secara optimal, independen dan bertanggung jawab dalam wilayah
wewenangnya masing-masing; dan 5. Memimpin adalah fungsi dimana masing-masing
para pekerja mengambil bagian yang sama dan saling bekerjasama dalam proses
pengambilan keputusan. Setiap pribadi berdaulat dan otonom untuk bertindak sebagai
rekan setia dalam membuat keputusan bersama. Konsekuensi dari ke 5 (lima) tesis ini
menuntut cara pandang tertentu dalam melihat dan mempersepsikan manusia di tempat
kerja, yakni: 1. Adanya suatu keyakinan bahwa manusia secara individual mampu
mengarahkan dan mengatur dirinya sendiri dan mengambil tanggung jawab atas
tindakannya sendiri di tempat kerja. Dengan sendirinya para pemimpin rela memberikan
kebebasan pribadi dan menunjukkan kepercayaan tanpa syarat. Kebebasan pribadi dan
saling percaya merupakan wujud dari pelaksanaan hak asasi manusia yang merupakan
bagian dari sistem imbalan atau kompensasi. Setiap orang layak memperoleh kepercayaan
dan kebebasan dalam semua jenis situasi kerja yang membutuhkan kesadaran untuk
mengaktifkan-diri, baik secara pribadi maupun sebagai tim kerja; 2. Kehendak pribadi
untuk menentukan nasib sendiri dan menunjukkan kemauan dan kemampuan
individualnya dapat menciptakan kemandirian kerja pribadi yang disertai rasa tanggung
jawab yang penuh; 3. Bahwa semua perbedaan individual merupakan sumber kompetensi
unik yang dapat berkontribusi terhadap kinerja organisasi. Atas dasar konsepsi ini semua

pekerja perlu mengakui bahwa sumbangan pribadi dari semua orang diperlukan untuk
mencapai standar pelayanan dan kinerja. Pengembangan organisasi horisontal pada
akhirnya dapat menciptakan visi baru sebagai berikut: 1. Mengakui dan menerima
perbedaan individual, identitas dan kepribadian manusia yang unik; 2. Mengakui dan
menghormati hak asasi manusia diantara sesama para pekerja dengan berpegang pada
prinsip kebebasan pribadi dan saling percaya; 3. Mandiri, kompeten dan mampu
bekerjasama serta berkolaborasi dalam kegiatan yang berorientasi pada tujuan dan hasil;
4. Menyesuaikan gaya bekerja sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab serta
sanggup beradaptasi terhadap tantangan masalah yang spesifik yang tengah dihadapi; 5.
Bertanggung jawab penuh atas tindakan sendiri dalam rangka mencapai tujuan bersama,
sehingga upaya bersama tersebut mencapai hasil sesuai dengan tujuan tersebut; 6.
Bertanggung jawab untuk mengembangkan kompetensi pribadi secara konsisten sesuai
dengan tuntutan keahlian disyaratkan oleh organisasi; 7. Memiliki tanggung jawab
bersama dengan berbagi dan bertukar pengalaman antara satu dengan lainnya, dan
menyadari bahwa semuanya tengah melakukan kegiatan belajar secara terintegrasi,
dimana masing-masing merupakan bagian dari nilai-nilai kolektif yang ada dalam sebuah
organisasi; 8. Sebagai individu dan anggota tim kerja, setiap orang memiliki
ketergantungan satu dengan lainnya, dan dengan demikian tim kerja yang kohesif akan
membantu merealisasikan potensi masing-masing anggota tim kerja untuk menggunakan
sumber daya mereka dalam proses pekerjaan secara keseluruhan. Keadaan ini menuntut
kesetaraan, kebersamaan, keterbukaan, kepercayaan, keamanan dan keselamatan di
antara sesama anggota tim kerja sebagai rekan yang otonom dan mitra berdaulat serta
memberikan nilai tambah pada organisasi. Dengan kata lain, setiap anggota tim kerja
terlebih dahulu harus berfungsi dengan baik dan berkontribusi terhadap keberhasilan tim
kerja secara keseluruhan; dan 9. Kepemilikan pribadi merupakan faktor utama yang
memberi dorongan dan energi untuk memberikan pelayanan kelas tinggi setiap saat. Para
pekerja akan saling mendukung dan membantu bagi proses membentukan kembali
struktur kekuasaan dalam organisasi horisontal. Para pekerja sepakat bahwa kerjasama
dan keterlibatannya perlu dijadikan budaya organisasi dimana partisipasi nyata dari semua
anggota tim kerja perlu didukung oleh powerstructure dengan memberikan hak dan
keleluasan bagi setiap orang untuk berpartisipasi. Bentuk partisipasi ini mutlak harus
menjadi hak tanpa syarat sejalan dengan nilai wewenang dan tanggung jawab, kebebasan,
otonomi dan kepercayaan. Untuk menjamin keberhasilan proses transformasi dari struktur
hirarki vertikal ke hirarki struktur horizontal dan egaliter, maka setiap orang dalam unit
produksi perlu memahami esensi pengembangan ide dan visi baru tentang sistem
leadingship

untuk menggantikan visi lama dari powerstructure vertikal lama menuju ke


powerstructure horisontal baru. Dengan kata lain, para pekerja harus membebaskan diri
dari rasa ketakutan, intimidasi dan kecemasan sebagai “mentalitas” peninggalan
mekanisme lingkungan vertikal, dengan menumbuhkan rasa saling percaya, hubungan
yang setara antara sesama manusia dalam lingkungan pekerjaan untuk membentuk
mentalitas dan budaya organisasi yang berorientasi pada visi egaliter dan horisontal. Visi
egaliter atau kesetaraan ini menjadi penting khususnya ketika orang berkomunikasi pada
tingkat yang sejajar yang dapat menumbuhkan pandangan bersama tentang realitas yang
mereka hadapi dan terekspresi pada partisipasi nyata dari semua individu atau tim kerja
dalam organisasi. Berkembangnya konsepsi bersama melalui komunikasi dapat dipastikan
sanggup menciptakan kesadaran bersama dari seluruh anggota dan mitra kerja dalam
memahami konteks realitas yang sama. Dengan kata lain, adanya konsepsi kolektif tentang
realitas dapat difahami dan diterima sebagai realitas bersama yang benar dan milik
mereka. Hal ini adalah faktor fundamental dalam menciptakan usaha bersama yang
didasari oleh kesadaran umum di seluruh organisasi, sehingga setiap tindakan individu
menjadi terpadu, terkoordinasi dan kolaboratif. Perbedaan utama antara leadership dan
leadingship terletak pada bagaimana kita sebagai manusia memandang sifat manusia,
serta memilih strategi yang sesuai untuk mendukung pandangan dan nilai masing-masing.
Sebaliknya dalam kacamata leadership, konsepsi manusia dipandang sebagai seseorang
yang harus dikuasai dan dipimpin. Leadingship sebagai strategi dibangun atas landasan
konsepsi manusia sebagai seseorang yang mampu mengambil kendali dan memimpin
dirinya sendiri. Struktur organisasi dalam sebuah organisasi merupakan refleksi dari
powerstructure yang ada. Manakala powerstructure vertikal dipilih oleh organisasi maka
secara otomatis akan terbentuk struktur organisasi hirarkis dan otoriter. Sebaliknya, ketika
powerstructure horisontal dipilih oleh organisasi maka otomatis akan terbentuk struktur
organisasi egaliter dan kemanusiaan. Banyak pimpinan organisasi percaya bahwa mereka
sedang mengembangkan metode kerja baru dan cara baru untuk mengatur pekerjaan,
akan tetapi pada kenyataannya mereka hanya memodifikasi organisasi mereka dengan
garis hirarki baru. Demikian juga, meskipun jenjang hirarki telah dipangkas, sehingga
struktur hirarki menjadi lebih datar, belum menjamin terciptanya suatu proses leadingship
yang efektif. Terutama jika mereka masih terus mempraktikan cara-cara lama seperti
sebelumnya. Struktur organisasi dengan powerstructure horisontal harus mendasari
hubungan dan interaksinya dengan prinsip eqality dan mutualitas pada tingkat yang sama
antara individu yang satu dengan individu lainnya. Powerstructure horisontal dibangun
atas landasan distribusi kekuasaan sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing para
pekerja. Pembagian kekuasaan dilakukan menurut tanggung jawab dan kompetensi pada
wilayah masing-masing. Ketika powerstructure horisontal diterapkan, maka setiap orang di
tempat kerja memiliki kewenangan individual untuk membuat keputusan berdaulat dan
otonom di wilayah tanggung jawabnya masing-masing. Semua orang berfungsi secara

independen dan bertanggung jawab dalam kaitannya dengan tindakan sendiri sekaligus
ketika mereka bekerjasama dengan orang lain. Arti dari istilah struktur dalam sebuah
organisasi mencerminkan kegiatan sebagai berikut, yakni: 1. Adanya pengorganisasian
proses pekerjaan; 2. Adanya deskripsi berkenaan dengan wilayah atau lingkup kerja; 3.
Adanya deskripsi tugas kerja; 4. Adanya identifikasi kompetensi; dan 5. Adanya Identifikasi
kompetensi perorangan. Sebaliknya, Ketika powerstructure vertikal diimplementasikan,
maka struktur organisasi menjadi hirarkis dan otoriter. Perbedaan antara atasan dan
bawahan dibentuk oleh garis komando dan kendali, dimana proses pekerjaan dilimpahkan
melalui perintah dengan menggunakan hubungan antara atasan dan bawahan, dan
dengan gaya kepemimpinan yang otokratik. Struktur organisasi adalah powerstructure
dalam praktek. Oleh karena itu ketika mempertimbangkan bagaimana seharusnya
organisasi berfungsi, maka kita harus menyadari hubungan yang signifikan antara
powerstructure dan struktur organisasi. Hal ini menjadi penting terutama ketika hendak
merancang struktur dan menciptakan realitas baru di tempat kerja. Selama
powerstructure tidak berubah, maka kondisi organisasi pun akan tetap tidak berubah.
Mengubah powerstructure vertikal ke horizontal adalah satu-satunya pilihan nyata yang
akan memungkinkan transformasi substansial di tempat kerja. Seringkali organisasi
horisontal dicirikan oleh struktur dan hiairki relatif datar setelah dilakukan proses
reorganisasi dan restrukturisasi. Tidak ada pekerja yang buruk dan tidak ada tempat kerja
yang buruk, yang buruk adalah adanya ketidak sesuaian diantara keduanya. Kerjasama tim
merupakan alat yang sering diandalkan dalam proses transformasi organisasi, khususnya
dalam menghadapi pertanyaan mendasar tentang hubungan antar manusia dalam
kehidupan berorganisasi. Tim kerja dalam perspektif kekuasaan vertikal, tentunya akan
dilukiskan oleh struktur tim hirarkis dan otoritarian. Sebaliknya, jika kita menggunakan
istilah horisontal dalam konteks organisasi yang dibarengi oleh upaya penataan distribusi
kekuasaan secara horisontal, maka jelas bahwa kita tengah berbicara tentang sebuah
organisasi horisontal dengan kekuatan tim kerja yang sejati. Agar kita berhasil dalam
mengubah organisasi, terutama struktur dan budayanya, maka suatu organisasi harus
memperoleh persetujuan dari mayorotas pekerja dari organisasi itu sendiri. Transformasi
adalah hasil dari kemauan pribadi kita bersama untuk membuat perubahan mendasar
dalam realitas dan praktek kerja. Transformasi pribadi akan bergantung pada pemahaman
kita tentang apa yang terjadi di sekitar kita dan apa manfaat yang dapat diambil untuk
kita. Dengan demikian, kita secara pribadi perlu memahami kebutuhan dan konsekuensi
dari transformasi itu sendiri. Tanpa adanya pemahaman pribadi kita akan menjadi sulit
untuk membuat keputusan yang diperlukan dan memadai. Tanpa pemahaman pribadi dan
pembelajaran yang cukup kita tidak akan pernah memiliki pola pikir yang tepat bagi
dilakukannya suatu transformasi. Pemahaman pribadi, pembelajaran

individual, penyesuaian mental dan kekuatan kehendak untuk menjalani transformasi,


akan tergantung pada kebebasan pribadi kita untuk membuat suatu pilihan sendiri sebagai
individu yang berdaulat dan mandiri. Adanya pengakuan atas kemandirian untuk membuat
pilihan sendiri, adalah prasyarat mutlak dalam proses transformasi yang partisipatif.
Namun, jika perubahan yang dilakukan didasarkan pada perintah dari orang lain atau
atasan kita, maka kebanyakan orang akan menolak dan menentang tuntutan transformasi.
Sebuah proses transformasi hanya akan berhasil jika proses tersebut diaktifkan secara
sukarela dari dalam diri individu. Transformasi dapat menjadi kegagalan jika hal tersebut
diaktifkan dari luar individu sebagai nilai eksternal yang ditanamkan hanya berdasarkan
pada sudut pandang seorang pemimpin. Pada akhirnya, bagaimana kita mengatur tempat
kerja kita akan ditentukan oleh bagaimana kita menyusun distribusi dan menata
kekuasaan di tempat kerja kita. Dalam powerstructure horisontal intinya adalah individu.
Tim kerja sekalipun harus dipandang sebagai pertemuan antar individu untuk menciptakan
kondisi yang memungkinkan mereka dapat bekerja sama. Oleh karena itu perspektif
manusia sebagai individu merupakan pertimbangan utama untuk dilakukannya desain
organisasi dan kinerja dalam penataan kekuasaan horisontal. Dengan sendirinya, semua
sumber daya lainnya, seperti: teknologi, keuangan, administrasi, pemasaran, operasi, dan
fungsi-fungsi organisasi lainnya adalah aset tambahan bagi faktor inti dalam organisasi,
yakni individu atau manusia itu sendiri. Individu adalah satusatunya sumber daya dalam
organisasi yang bisa beroperasi sebagai entitas independen dan bertanggung jawab.
Sementara semua sumber daya lainnya dapat bergerak jika diarahkan, dipimpin dan
diatur, berbeda dengan manusia yang memiliki kemampuan dan kapasitas unik untuk
mengarahkan, memimpin dan mengatur dirinya sendiri dalam organisasi. Sumber daya
manusia memiliki kemampuan untuk merasa, berpikir dan bertindak merupakan identitas
otonom yang berdaulat. Tidak dapat diragukan lagi bahwa manusia menjadi faktor inti dari
sumber daya organisasi yang tak tergantikan. Organisasi vertikal memfokuskan
kegiatannya pada produksi yang berorientasi pada proses kerja. Proses tersebut dilakukan
berdasarkan pada sistem dan standar teknik murni. Adapun organisasi horisontal berfokus
pada proses hubungan antar manusia yang didasarkan pada standar hak asasi manusia
(HAM). Dalam paparan terdahulu ada dua istilah atau kata yang acapkali dipergunakan,
yakni kata “otoritas” dan kata “otoriter” dalam mengupas topik kepemimpinan vertikal
dan horisontal. Kedua istilah tersebut perlu dijernihkan pengertiannya sehingga makin
memperjelas dua aspek yang sedang dibahas. Otoritas pribadi adalah nilai dalam diri
individu (faktor internal) yang merupakan bagian dari sistem hati nurani. Sedangkan istilah
otoriter adalah nilai yang berasal dari luar individu (faktor eksternal) yang merupakan
bagian dari sistem ketaatan. Otoriterisme didasarkan pada mitos bahwa seseorang harus
menerima dan percaya tanpa kritik terhadap otoritas di luar diri mereka sendiri dan
mengadopsi sistem otoritatif eksternal sebagai milik mereka sendiri. Untuk tunduk pada
otoritarianisme

seorang individu terlebih dahulu harus menanggalkan kepercayaan dan hati nurani mereka
sendiri sebagai bukti loyalitas terhadap suatu tirani. Pengendalian yang dilakukan oleh
sistem otoriterisme dilakukan dengan menghilangkan kepercayaan diri orang lain agar
tunduk pada sistem yang ditanamkan. Para pemegang kekuasaan akan menolak adanya
kendali atas diri mereka sendiri, karena ini bararti mengurangi kekuasan pada para
pemegang kekuasaan otoriter, dan hal itu akan mengakibatkan kekacauan dan anarki di
kalangan masyarakat. Sementara otoritas pribadi merupakan kekuatan yang muncul dari
dalam diri pribadi, berupa kepercayaan akan kemampuan diri untuk bertindak dalam
kapasitas sebagai manusia yang berdaulat dan mandiri. Otoritas pribadi juga didasarkan
pada kepercayaan dan pengakuan atas otoritas orang lain, sehingga masing-masing akan
saling menghormati sebagai individu yang otonom dan berdaulat. Otoritas pribadi adalah
kekuatan dalam diri sendiri guna memberdayakan kekuatan pribadi untuk menjadi orang
yang unik dan pembuktian tentang siapa diri kita sebenarnya. Dengan memahami kedua
aspek ini, yakni perbedaan pengertian antara otoritas dan otoriter, maka kita semua
memiliki pegangan yang kokoh tentang prinsip-prinsip dasar dalam melakukan penataan
kekuasaan horisontal yang kontras dengan penataan kekuasaan vertikal di tempat kerja
dalam kehidupan suatu organisasi. Last but not least, ketika kita hendak
mengimplementasikan powerstructure horisontal sebagai realitas aktual dan formal dalam
suatu organisasi, maka pola hubungan antar manusia perlu ditata secara setara dan
bekerja sama. Setiap orang akan merasa bahwa mereka perlu berbagi dengan orang lain
tentang apa saja yang mereka miliki, tanpa takut terkena hukuman atau kehilangan
apapun. Keberhasilan dalam mengimplementasikan powestructure horisontal merupakan
kemenangan besar bagi umat manusia dalam mewujudkan kepemimpinan berasaskan
pada leadingship. Yaitu berdirinya struktur organisasi horisontal dan kepemimpinan
egalitarian yang dibangun diatas landasan kesetaraan hubungan antar manusia sekaligus
juga diatur oleh nilai-nilai kemanusiaan yang universal.

Anda mungkin juga menyukai