Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Teori konstruktivisme adalah salah satu dari banyak teori belajar yang telah didesain
dalam pelaksanaan pembelajaran matematika. Seperti halnya behaviorisme dan
kognitivisme, konstruktivisme dapat diterapkan dalam berbagai aktivitas belajar baik
pada ilmu-ilmu sosial maupun ilmu eksakta. Dalam matematika, konstruktivisme telah
banyak diteliti, diterapkan, dan diuji coba pada situasi ruangan kelas yang berbeda-
beda. Dari berbagai percobaan itu telah banyak menghasilkan berbagai pandangan yang
ikut mempengaruhi perkembangan, modifikasi, dan inovasi pembelajaran. Lahirnya
berbagai pendekatan seperti pembelajaran kooperatif, sosio-kultur, pembelajaran
kontekstual, dan lain-lain merupakan hasil inovasi dan modifikasi dari teori
pembelajaran.
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan
pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri
pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan
untuk proses ini, dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara
sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan
siswa anak tangga yang membawasiswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi
dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan kata – kata mereka
sendiri.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut konstruktivisme
adalah aktivitas yang aktif, dimana pesrta didik membina sendiri pengtahuannya,
mencari arti dari apa yang mereka pelajari dan merupakan proses menyelesaikan
konsep dan idea-idea baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya
(Shymansky,1992).
Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri
pertanyaannya.
Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut
teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut
berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap
perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan
intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi
ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan
atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam
mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme
ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan
Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal
Development (ZPD) dan scaffolding.
Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan
memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan,
menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan
tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Ratumanan (2004:45) mengemukakan bahwa karya Vygotsky didasarkan pada dua ide
utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari
konteks historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada
sistem-sistem isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk
membantu orang berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian
perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem komunikasi budaya dan belajar
menggunakan sistem-sistem ini untuk menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.
Menurut Slavin (Ratumanan, 2004:49) ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam
pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk
pembelajaran kooperatif antar kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang
berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit
dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam
daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-masing.Kedua, pendekatan Vygotsky
dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan scaffolding,
semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya
sendiri.
a. Pengelolaan pembelajaran
b. Pemberian bimbingan
Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-
tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah
perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di atas
peringkat perkembangannya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan
aktivitas di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat
diselesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan atau bantuan
orang lain.
1. Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia
sebenarnya.
2. Menggalakkan soalan/idea yang dimulakan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan
merancang pengajaran.
3. Menyokong pembelajaran secara koperatif mengambil kira sikap dan pembawaan murid.
4. Mengambil kira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide.
5. Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomi murid.
6. Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru.
7. Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
8. Menggalakkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.
Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
c) Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep ilmiah.
d) Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi
berjalan lancar.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh
hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun
pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini
dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan
sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar
menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat
memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat
membantu mereka mencapai tingkat penemuan.
Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang,
melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada
seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan
tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami
bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu
berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak berkaitan dengan anak dan
lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme.
Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik
sebagai berikut:
ü Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif. Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai
dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk
mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan
bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pembelajar dengan faktor
ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap
perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan:
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah sebagai berikut:
Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang
memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan
keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah
seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan
sehari-hari, dan
Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru
hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif
untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja
dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental
membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang
dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap
diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan
dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa
dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya
membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga
adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya
dengan pembelajaran, yaitu:
Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan
ilmu pengetahuan dengan temannya.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih
kreatif dan imajinatif.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang
mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan
siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam
refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain,
siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
1. A. Kelebihan
Berfikir : Dalam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah,
menjana idea dan membuat keputusan.
Faham : Oleh karena murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan
lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
Ingat : Oleh karena murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua
konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justru mereka
lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
Kemahiran sosial : Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam
membina pengetahuan baru.
Seronok : Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan
sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.
1. B. Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses
belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik sepertinya kurang begitu mendukung.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan
berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang
sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan
keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan
masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah
dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat
menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai
mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
BIODATA VYGOTSKY
Nama lengkap Vygotsky adalah Lev Semonovich Vygotsky lahir pada tahun 1896 di
Tsarist Russia, di suatu kota Orscha, Belorussia dari keluarga kelas menengah Keturunan
Yahudi. Dia tumbuh dan besar di Gomel, suatu kota sekitar 400 mil bagian barat
Moscow. Sewaktu dia masih muda, dia tertarik pada studi-studi kesusasteraan dan
analisis sastra, dan menjadi seorang penyair dan Filosof.
Memasuki usia 18 tahun, dia menulis suatu ulasan tentang Shakespeare’s Hamlet yang
kemudian dimasukkan dalam satu dari berbagai tulisannya mengenai psikologi. Dia
memasuki sekolah kedokteran di Universitas Moscow dan dalam waktu yang tidak lama
kemudian dia pindah ke sekolah hukum sambil mengambil studi kesusasteraan pada
salah satu universitas swasta. Dia menjadi tertarik pada psikologi pada umur 28 tahun.
Vygotsky bekerja kolaboratif bersama Alexander Luria and Alexei Leontiev dalam
membuat dan menyusun proposal penelitian yang sekarang ini dikenal dengan
pendekatan Vygotsky. Selama hidupnya Vygotsky mendapat tekanan yang begitu besar
dari pemegang kekuasaan dan para penganut idelogi politik di Rusia untuk
mengadaptasi dan mengembangkan teorinya.
Setelah dia meninggal pada usia yang masih dibilang sangat muda (38 tahun), pada
tahun 1934 akibat menderita penyakit tuberculosis (TBC), barulah seluruh ide dan
teorinya diterima oleh pemerintah dan tetap dianut dan dipelajari oleh mahasiswanya.
Kepeloporannya dalam meletakkan dasar tentang psikologi perkembangan telah banyak
mempengaruhi sekolah pendidikan di Rusia yang kemudian teorinya berkembang dan
dikenal luas di seluruh dunia hingga saat ini.
Dengan hadirnya teori konstruktivisme Vygotsky ini, banyak pemerhati pendidikan yang
megembangkan model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran peer interaction,
model pembelajaran kelompok, dan model pembelajaran problem poshing.
Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya.
Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara inter-psikologi
(interpsychological) melalui interaksi sosial dan intrapsikologi (intrapsychological) dalam
benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari kegiatan eksternal ke
internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan intra-
psikologi (dalam diri individu).
Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan dua
ide; Pertama, bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam
konteks budaya dan sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam Slavin,
2000), Kedua, Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung
pada sistem tanda (sign system) setiap individu selalu berkembang (Ratner dalam
Slavin, 2000: 43). Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan
untuk membantu seseorang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah,
misalnya budaya bahasa, system tulisan, dan sistem perhitungan. Berkaitan dengan
pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip seperti yang dikutip oleh (Slavin,
2000: 256) yaitu:
Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam
ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri,
tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau
temannya (peer); Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu untuk
mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari
pada tingkat perkembangan kognitif si anak.
Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan
intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman
yang lebih pandai;
Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan
realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.
Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari
pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori
Vigotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu
dalam konteks budaya. Vigotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa
bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut
masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of
proximal development mereka.
Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik Vygotsky
Berdasarkan teori Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat
dirancang/didesain dalam model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
Refleksi.
Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifatmiskonsepsi yang
muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah
dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan
kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah
ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan
melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik
kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong
untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak
mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan
dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada
kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator.
c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri
bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa
konsep ilmiah yang baru itu
Menimbulkan disequilibration
Pandangan yang mendorong individu Meningkatkan pemahaman yang
terhadap mengadaptasi skema-skema yang telah ada sebelumnya dari hasil
interaksi ada interaksi
a. Kelebihan :
1) Pembelajaran konstruktivistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri.
b. Kelemahan :
1) Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil
konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ahli sehingga menyebabkan
miskonsepsi.
3) Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki
sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.
Dalam interaksi sosial dikelas, ketika terjadi saling tukar pendapat antar siswa dalam
memecahkan suatu masalah, siswa yang lebih pandai memberi bantuan kepada siswa
yang mengalami kesulitan berupa petunjuk bagaimana cara memecahkan masalah
tersebut, maka terjadi scaffolding, siswa yang mengalami kesulitan tersebut terbantu
oleh teman yang lebih pandai. Ketika guru membantu secukupnya kepada siswa yang
mengalami kesulitan dalam belajarnya, maka terjadi scaffolding.
Konsep ZPD Vigotsky berdasar pada ide bahwa perkembangan pengetahuan siswa
ditentukan oleh keduanya yaitu apa yang dapat dilakukan oleh siswa sendiri dan apa
yang dilakukan oleh siswa ketika mendapat bantuan orang yang lebih dewasa atau
teman sebaya yang berkompeten (Daniels dan Wertsch dalam Slavin 2000: 47).
Pandangan Konstruktivistik tentang belajar dan pembelajaran
Pengtahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu.
Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas
kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si
belajar termotivasi dalam menggali makna seta menghargai ketidakmenentuan. Si
belajar akan memiliki pemahaman yag berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada
pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Mind
berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang ada
dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik.
Pandangan Konstruktivistik tentang penataan Lingkungan Belajar
Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan, Si belajar harus bebasKebebasan
menjadi unsur yang esensial dalam lingkungna belajar.Kegagalan atau keberhasilan,
kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu
dihargai.Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar.Si belajar adalah
subjek yang harus memapu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri
dalam belajar.Control belajar dipegang oleh si belajar.
Pandangan Konstruktivistik tentang Tujuan PembelajaranTujuan pembelajaran ditekankan pada
belajar bagaimana belajar (learn how to learn).
pandangan Konstruktivistik tentang strategi pembelajaran
Penyajian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti
urutan dari keseluruhan-ke-bagian.Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni
pertanyaan atau pandangan si belajar.Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada
data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir
kritis. Pembelajaran menekankan pada proses.
Pandangan Konstruktivistik tentang evaluasiEvaluasi menekankan pada penyusunan makna
secara aktif yang melibatkan keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah
dalam konsteks nyata. Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent,
pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar.Evaluasi merupakan bagian utuh
dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang
bermkana serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. evaluasi
menekankan pada keterampilan proses dalam kelompok.
Rancangan Pembelajaran KonstruktivistikBerdasarkan teori Vygotsky yang telah
dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat dirancang/didesain dalam model
pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
1. Identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang
mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan
munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan
dengan tes awal, interview
2. Penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan
pelajaran.
1. Orientasi dan elicitasi. situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu
diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topik
yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya
sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya
sehari-hari. Pengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar
dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana
pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan
ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak
menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan
sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
2. Refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang
muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring
pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan
kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
5. Resrtukturisasi ide, berupa: (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan
tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum.
Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk
mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt
melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk
menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka
akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka.
Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat
menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari
penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau
guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang
kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep
yang baru itu memiliki konsistensi internal.Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru
itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
6. Aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi
menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya
tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan
kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan
secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
1. Review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam
upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi
pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini
penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur
kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pakesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa
bersangkutan.
PENERAPAN TEORI BELAJAR VYGOTSKY DALAM INTERAKSI BELAJAR
MENGAJAR
Pendahuluan
Perkembangan manusia adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial
dan budaya, yang merupakan suatu proses-proses perkembangan mental seperti ingatan,
perhatian, dan penalaran yang melibatkan pembelajaran dengan menggunakan temuan-
temuan masyarakat. Perkembangan kognitif sosial anak merupakan hal penting untuk
diperhatikan, karena merupakan kawasan yang membutuhkan pemrosesan yang sangat serius
dalam membentuk karakter dalam rangka meningkatkan potensi ingatan dan penalaran yang
lebih baik. Untuk memaksimalkan perkembangan, seharusnya anak bekerja dengan teman
yang lebih terampil (lebih dewasa) yang dapat memimpin secara sistematis dalam
memecahkan masalah yang lebih kompleks.
Lev Vygotsky adalah tokoh pendidikan yang melihat bagaimana pembelajaran itu terjadi
dipandang dari sisi sosial. Perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang
dalam suatu situasi sosial yang hampa. Lev Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog
berkebangsaan Rusia, mengenal poin penting tentang pikiran anak ini lebih dari setengah
abad yang lalu. Teori Vygotsky mendapat perhatian yang makin besar ketika memasuki akhir
abad ke-20.
Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet selama 1920-an dan 1930-an.
Namun, karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat pada tahun 1960-an. Sejak saat itulah,
tulisan-tulisannya menjadi sangat berpengaruh. Vygotsky adalah pengagum Piaget.
Walaupun setuju dengan Piaget bahwa perkembangan kognitif terjadi secara bertahap dan
dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, tetapi Vygotsky tidak setuju dengan
pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambaran
realitas batinnya sendiri.
Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak
terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky menekankan bagaimana
proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan
pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika,
dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan
bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Vygotsky
lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan
perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif
dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun,
anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan
menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat
kebudayaan” tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu
diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua selama
pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur
menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Karena
itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota lain dalam
kebudayaannya.
Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui
pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika
berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran
operasional formal tanpa bantuan orang lain.
Menurut teori Vygotsky, Zone of proximal developmnet merupakan celah antara actual
development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat
melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan
sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan
perkembangan anak. Ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri,
perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan
perkembangan, siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat
memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks.
Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding merupakan suatu istilah pada
proses yang digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui Zone of proximal
developmentnya.
Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap
- tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan
kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera
setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk,
peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa
dapat mandiri
1. Walaupun anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif
mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti anak-anak
bekerja dalam Zone of proximal developmnet dan guru menyediakan scaffolding bagi
anak selama melalui ZPD.
2. Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga
berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak, kerja kelompok secara kooperatif
tampaknya mempercepat perkembangan anak.
3. Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluas menjadi pengajaran pribadi oleh
teman sebaya (peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak
tertinggal dalam pelajaran. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya
melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bisa dengan
mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding
yang sesuai.
Pembelajaran Kooperatif
Metode Pembelajaran Kooperatif adalah suatu metode pembelajaran yang menekankan pada
sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur
kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. Pembelajaran
kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham sosial.
Pembelajaran kooperatif merupakan metode pembelajaran dengan sejumlah siswa sebagai
anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas
kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling
membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar
dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan
pelajaran.
Menurut Anita Lie dalam bukunya “Cooperative Learning”, bahwa metode pembelajaran
kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang
membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan, untuk itu harus
diterapkan lima unsur metode pembelajaran kooperatif yaitu :
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk
menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian
rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang
lain dapat mencapai tujuan mereka.
3.Tatap muka.
Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan
berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan
para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk
mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga
merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat
dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan
perkembangan mental dan emosional para siswa.
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses
kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan
lebih efektif.
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki
prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat
bahwa metode ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit.
Tujuan lain metode pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-
orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan
ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai
latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas
akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai
satu sama lain.
Tujuan penting ketiga dari metode pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada
siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial,
penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam
keterampilan sosial.
Peer Tutoring atau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah tutor sebaya, ada
beberapa ahli ada yang meneliti masalah ini diantaranya, adalah Edward L. Dejnozken dan
David E. Kopel dalam American Education Encyclopedia menyebutkan pengertian tutor
sebaya adalah sebuah prosedur siswa mengajar siswa lainnya. Tipe pertama adalah pengajar
dan pembelajar dari usia yang sama. Tipe kedua adalah pengajar yang lebih tua usianya dari
pembelajar. Tipe yang lain kadang dimunculkan pertukaran usia pengajar.
Pembelajaran dengan tutor sebaya dilakukan atas dasar bahwa ada sekelompok siswa yang
lebih mudah bertanya, lebih terbuka dengan teman sendiri dibandingkan dengan gurunya.
Dengan adanya tutor sebaya siswa yang kurang aktif menjadi aktf karena tidak malu lagi
untuk bertanya dan mengeluarkan pendapat secara bebas, sebagaimana diungkapkan oleh M.
Saleh Muntasir bahwa dengan pergaulan antara para tutor dengan siswa-siswanya mereka
dapat mewujudkan apa yang terpendam dalam hatinya, dan khayalannya. Pembelajaran
dengan tutor sebaya tampaknya memudahkan siswa untuk mengeluarkan pendapat atau
pikiran dan kesulitan kepada temannya sendiri ketimbang kepada guru, siswa lebih sungkan
dan malu. Hal tersebut dimungkinkan karena diantara siswa telah terbentuk bahasa mereka
sendiri, tingkah laku, dan juga pertanyaan perasaaan yang dapat diterima oleh semua siswa.
Jadi, pembelajaran dengan tutor sebaya akan membantu siswa yang kurang mampu atau
kurang cepat menerima pelajaran dari gurunya. Kegiatan tutor sebaya bagi siswa merupakan
kegiatan yang kaya akan pengalaman yang sebenarnya merupakan kebutuhan siswa itu
sendiri. Tutor maupun yang ditutori sama-sama diuntungkan, bagi tutor akan mendapat
pengalaman, sedang yang ditutori akan lebih kreatif dalam menerima pelajaran.
Kelebihan pembelajaran dengan tutor sebaya dapat meminimalisir kesenjangan yang terjadi
antara siswa yang prestasinya rendah dengan siswa yang prestasinya lebih tinggi dalam suatu
kelas. Selanjutnya siswa termotivasi dalam menyelesaikan tugas dan motivasi itu diharapkan
tumbuh dari terciptanya hubungan yang saling menentukan dan membutuhkan antara guru,
siswa yang prestasinya tergolong tinggi dan siswa yang prestasinya rendah. Dampak
semuanya ini, seorang guru dituntut untuk mempersiapkan, memaksimalkan kemampuannya
tanpa harus menjadi informatory (pemberi informasi) saja tetapi guru juga berfungsi sebagai
mediator, komunikator, dan fasilitator sehingga guru mampu memberikan tugas yang sesuai
dengan tingkat kematangan siswa yang pada akhirnya dapat memotivasi siswa dalam
peningkatan prestasi belajar.
Kesimpulan
2.Teori Vigotsky dalam kegiatan pembelajaran juga dikenal apa yang dikatakan
scaffolding yaitu memberikan sejumlah besar dukungan kepada anak selama tahap-tahap
awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan
kepada anak itu untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia
mampu melakukannya sendiri
5.Pembelajaran dengan tutor sebaya adalah sebuah prosedur siswa mengajar siswa
lainnya. Pembelajaran dengan tutor sebaya dilakukan atas dasar bahwa ada sekelompok
siswa yang lebih mudah bertanya, lebih terbuka dengan teman sendiri dibandingkan
dengan gurunya.
Daftar Pustaka