Mahar Dan Uang Panaik Dalam Pernikahan
Mahar Dan Uang Panaik Dalam Pernikahan
Oleh
PAREPARE
2021
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................7
A. Tradisi Mahar di Indonesia........................................................................7
B. Tinjauan Mahar dalam Perspektif Islam...................................................9
C. Perwujudan Uang Panaik Suku Bugis dalam Pernikahan......................11
BAB III PENUTUP..............................................................................................13
A. Simpulan..............................................................................................13
B. Saran....................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Rusdaya Basri, Fiqh Munakahat: 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah (Parepare: CV. Kaaffah
Learning Center(Anggota IKAPI), 2019). h. 84.
iv
disebut juga maskawin, sadag, nihlah dan faridah. Menurut istilah
syarak, maskawin adalah suatu yang diberikan oleh laki-laki sebagai
tukaran atau jaminan bagi suatu apa yang diterima darinya.
Mahar atau maskawin merupakan hak pribadi seorang istri. Orang
lain, termasuk suami, wali ataupun orang lain tidak berhak atas barang
atau uang yang menjadi mahar dan tidak boleh digunakan kecuali
dengan izin dari isteri.
Tradisi pernikahan masyarakat bugis dikenal masyarakat dengan
uang panai’nya. Uang panai’ adalah salah satu tradisi masyarakat
bugis berupa sejumlah uang yang yang diberikan kepada pihak
mempelai wanita dari mempelai pria sebagai bentuk kesungguhan laki-
laki terhadap wanita yang dipinangnya. Uang panai’ merupakan
sebuah penghargaan terhadap wanita yang dijadikan motivasi bagi
laki-laki untuk dijadikan simbol ketulusannya terhadap sang wanita.2
Lebih lanjut, di daerah Sulawesi Selatan, ciri khas lainnya dalam
pernikahan masyarakat bugis adalah dui’ balanca atau uang belanja.
Dui’ balanca ini diberikan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon
mempelai perempuan untuk digunakan sebagai biaya pesta pernikahan
(resepsi) di kediaman mempelai perempuan. Biasanya, dui’ balanca ini
diserahkan kepada orangtua atau perwakilan pihak perempuan untuk
keperluan pesta pernikahan.
Uang panai’ seperti yang kita ketahui merupakan sebuah
penghargaan terhadap wanita karena wanita memang sangat dihormati.
Sejarah uang panai’ bermula pada zaman Kerajaan Bone dan Gowa
Tallo. Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya pada abad ke
XVII di bawah pimpinan masa Sultan Muhammad Said Tumenangari
Balla Pangkana yang memegang hegemoni dan supremasi di daerah
Sulawesi Selatan, hingga Indonesia bagian timur. Ketika laki-laki
diharuskan membawa sesrahan ketika ingin meminang wanita dari
kerajaan atau yang merupakan keturunan raja untuk menunjukkan
2
Iqbal Ardianto, Makkunrai (Perempuan Bugis), (Purbalingga: Mazafa Jaya,2018), h.52-53.
v
bahwa ia mampu memberikan kesejahteraan dan kenyamanan bagi istri
dan anak-anaknya setelah menikah. Seserahan itu berupa uang panai’
yang merupakan syarat mutlak untuk mereka penuhi yang kemudian
berkembang hingga lapisan masyarakat kasta bawah ketika ingin
menikahi anak gadis dari masyarakat suku bugis. Mereka beranggapan
bahwa uang panai’ yang tinggi bermaksud untuk mengetahui
kesungguhan laki-laki yang ingin menikahi anak gadisnya.3
Persyaratan yang diajukan (uang panai’) bertujuan untuk
menghargai para wanita. Selain itu, uang panai’ juga bertujuan untuk
melihat keseriusan seorang laki-laki terhadap sang wanita. Namun
sejatinya, uang panai’ tidak selamanya dipatok dengan harga tinggi,
tergantung faktor yang mendasarinya. Kemampuan ekonomi,
keturunan kebangsawanan, tingkat pendidikan dan kecantikan paras
menjadi variabel berubahnya nilai uang panai’ si wanita. Semakin
tinggi derajat yang dimiliki seorang wanita, maka semakin tinggi nilai
uang panai’ yang ditetapkan oleh keluarganya. Tapi jika dilihat
berdasarkan realitas yang ada, uang panai’ sudah bergeser dari makna
yang sesungguhnya. Di era modern ini, uang panai’ sudah menjadi
ajang pamer gengsi dan pamer kekayaan.
Tak jarang ditemukan di media sosial pemberitaan yang bertajuk
uang panai’ dengan nilai yang fenomenal sehingga membuat penikmat
media online terpukau. Tingginya uang panai’ saat hendak menikah,
terkadang menjadi kendala tersendiri dari mereka yang merasakan hal
tersebut.
Dikutip dari news.detik.com, panai’ atau panaik merupakan uang
yang wajib untuk dari mempelai laki-laki kepada pihak mempelai
perempuan yang hendak diperistri. Ketika pihak mempelai laki-laki
tidak mampu memenuhi besaran nominal uang panai’ yang ditentukan
oleh pihak mempelai wanita, akan menjadi masalah dalam pernikahan
3
Andi Aminah Riski dkk, “Money Shopping (Uang Panaik) In Marriage Bugis Reteh District
Community Indragiri Hilir”, (Jom.unri.ac.id 2017), h.4.
vi
hingga menimbulkan kejadian miris seperti bunuh diri hingga kawin
lari karena tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut. Kejadian ini
pernah terjadi di Jeneponto, Sulawesi Selatan yang menjadi akhir bagi
hubungan Ramli dan Isa. Sang wanita meninggal setelah nekat
menenggak racun sehingga menjadi akhir kisah cinta keduanya.
Bahkan sebelumnya, kedua pasangan ini sempat nekat kawin lari dan
menikah siri lantaran Ramli hanya sanggup memberikan uang Rp10
juta yang dianggap belum memenuhi uang panai’ yang telah
ditetapkan oleh pihak mempelai wanita sebesar Rp15 juta.
Perkawinan dini juga terjadi karena tergiur besarnya uang panai’
yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai
wanita. Kejadian ini terjadi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Dikutip dari news.okezone.com, diketahui perempuan tersebut ternyata
masih duduk di bangku kelas 2 SMK dan mempelai laki-laki baru saja
lulus SD. Mempelai pria memberikan uang belanja atau uang panai’
sebesar Rp56.500,000. Ustadz Muhammad Syukri yang merupakan
penyuluh fungsional Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Uluere Kab.
Bantaeng mengatakan bahwa besarnya uang panai’ menjadi faktor
yang menggiurkan dan juga masih kentalnya hubungan kekerabatan.
“Orang-orang di sini rata-rata tergiur dengan dengan mahar yang
tinggi dan mereka jalla appa’bunting (bangga menikahkan anaknya).”
Tuturnya.
Kejadian yang bertajuk uang panai’ mahal juga terjadi di
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Informasi ini pertama kali
diunggah di instagram pada hari Senin, 25 Maret 2019. Menurut
sumber, pernikahan ini sudah dilaksanakan pada hari Minggu, 24
Maret 2019 di Pattene, Kabupaten Maros. Ternyata, mempelai wanita
adalah seorang janda yang memang diberi uang panai’ sebanyak
Rp200 juta oleh sang suami. Selain uang, suami juga memberikan satu
set perhiasan emas serta satu unit ruko.
vii
Hingga sekarang, penghambat bagi mereka yang bersuku bugis-
Makassar adalah tingginya nominal uang panai’ yang ditentukan pihak
mempelai wanita ketika hendak melangsungkan pernikahan hingga
berujung pada kegagalan pernikahan. Meski ada filosofi penting di
balik tingginya uang panai’ yang diminta dalam pernikahan adat bugis,
namun tidak seharusnya menjadi penghalang dalam melangsungkan
sebuah pernikahan.
Mahar dan uang panai’ mempunyai arti yang berbeda. Mahar
merupakan pemberian harta atau barang yang merupakan salah satu
syarat dalam melangsungkan pernikahan. Sedangkan uang panai’
adalah sejumlah uang yang diberikan kepada calon mempelai wanita
sebagai motivasi bagi laki-laki untuk memenuhi permintaan uang
panai’ dari pihak perempuan yang dijadikan simbol ketulusannya dan
penghargaan terhadap wanita yang dicintainya. Mahar merupakan
syarat dari ajaran agama, sedangkan uang panai’ merupakan
persyaratan dalam adat bugis saat meminang seorang wanita.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mengambil judul “MAHAR
DAN UANG PANAI’ DALAM ISLAM” untuk membahas
bagaimana tradisi mahar yang berlaku di Indonesia dan bagaimana
tinjauan mahar dalam perspektif Islam. Dan penulis juga akan
membahas tentang bagaimana perwujudan uang panai suku Bugis
dalam pernikahan serta apa kaitan uang panai’ dengan mahar sebagai
syarat pernikahan. Kami berharap pembahasan ini bisa memberikan
kontribusi dalam hal informasi terkait bagaimana perspektif mahar
dalam islam dan bagaimana tradisi uang panai’ masyarakat suku Bugis
dalam melaksanakan pernikahan.
B. Rumusan Masalah
viii
2. Bagaimana tinjauan mahar dalam perspektif islam?
3. Bagaimana perwujudan uang panaik suku bugis dalam pernikahan?
ix
BAB II
PEMBAHASAN
4
Adib Machrus dkk, Fondasi Keluarga Sakinah: Bacaan Mandiri Calon Pengantin. (Jakarta:
Subdit Bina Keluarga Sakinah, 2017), hal. 35.
x
سا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِ ۤ ْيـئًـا َّم ِر ۤ ْیـئًـا
ً صد ُٰقتِ ِهنَّ نِ ْحلَةً ۗ فَا ِ نْ ِطبْنَ لَـ ُك ْم عَنْ ش َْي ٍء ِّم ْنهُ نَ ْف َ َِّو ٰا تُوا الن
َ سٓا َء
Terjemahannya:
Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang
hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.
5
Geertz, The Javanese Family: A Study of Kindship and Socialization, (New York: The Free Press
of Glencoe, 1961), h. 45.
6
xi
harga diri perempuan. Karena mahar merupakan jaminan masa depan bagi
dirinya dan bagi keluarganya kelak.
Terjemahannya:
7
Muhammad Zuhaily, Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif Madzhab
Syafi’i, terj. Mohammad Kholison (Surabaya: CV. Imtiyaz, 2013), hal.235.
8
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala al-Madazhib al-Arba’ah (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah,
1990), hal.76.
9
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam. (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), hal.10.
xii
Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang
hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.
ت فَ ِمنْ َّما َملَـ َكتْ اَ ْي َما نُ ُك ْم ِّمنْ فَتَ ٰيـتِ ُك ُمِ ت ا ْل ُمؤْ ِم ٰن
ِ ص ٰن
َ ستَ ِط ْع ِم ْن ُك ْم طَ ْواًل اَنْ يَّ ْن ِك َح ا ْل ُم ْحْ ََو َمنْ لَّ ْم ي
هّٰلل
ض ۚ فَا ْن ِك ُح ْوهُنَّ بِا ِ ْذ ِن اَ ْهلِ ِهنَّ َو ٰا ت ُْوهُنَّ اُ ُج ْو َرهُنَّ بِا ٍ ض ُك ْم ِّم ۢنْ بَ ْع
ُ ت ۗ َوا ُ اَ ْعلَ ُم بِا ِ ْي َما نِ ُك ْم ۗ بَ ْع ِ ا ْل ُمؤْ ِم ٰن
َّش ٍة فَ َعلَ ْي ِهن َ صنَّ فَا ِ نْ اَ تَيْنَ بِفَا ِح ِ ت َّواَل ُمتَّ ِخ ٰذ
ِ ت اَ ْخدَا ٍن ۗ فَا ِ َذ ۤا اُ ْح ٍ ت َغ ْي َر ُم ٰسفِ ٰح ٍ ص ٰن
َ ف ُم ْح ِ ْل َم ْع ُر ْو
هّٰلل
ِ ب ٰۗ ذلِ َك لِ َمنْ َخ
ْ ش َي ا ْل َعنَتَ ِم ْن ُك ْم ۗ َواَ نْ ت
ُ َصبِ ُر ْوا َخ ْي ٌر لَّ ُك ْم ۗ َوا ِ ص ٰن
ِ ت ِمنَ ا ْل َع َذا َ صفُ َما َعلَى ا ْل ُم ْح ْ ِن
َغفُ ْو ٌر َّر ِح ْي ٌم
Terjemahannya:
Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi
perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi
perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang
lain (sama-sama keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka
dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena
mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan
pezina, dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain
sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami),
tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka
setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak
bersuami). (Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-
orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan
zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 25)
xiii
keadilan dalam Islam dengan upaya membebaskan kaum wanita dari
penindasan sosial-budaya.
xiv
Uang panaik dengan harga yang cukup tinggi bisa menjadi motivasi
bagi laki-laki yang ingin melangsungkan pernikahan untuk semangat
bekerja demi menikahi wanita pujaannya. Uang panaik sendiri dalam suku
bugis-makassar dipandang sebagai budaya siri’(malu), karena jika
mempelai pria tidak sanggup memenuhi besaran uang panaik yang
ditetapkan oleh pihak mempelai wanita maka ia harus menanggung rasa
malu.
xv
5. Setelah uang panaik diberikan kepada pihak mempelai
perempuan, proses selanjutnya adalah penentuan mahar untuk
calon istri.10
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Adat dan Upacara Perkawinan
10
xvi
kediaman mempelai perempuan untuk menanyakan berapa jumlah mahar
dan uang panaik yang ditetapkan oleh pihak atau keluarga calon mempelai
wanita. Jika besaran uang panaik yang diberikan dipatok jumlah yang
tinggi, maka pihak mempelai laki-laki bisa melakukan negosiasi sampai
pihak calon mempelai laki-laki sanggup memenuhinya.
B. Saran
Mahar dan uang panaik merupakan dua hal yang berbeda dalam
pernikahan masyarakat bugis. Meski menjadi syarat penting dalam sebuah
pernikahan, Jumlah mahar dan uang panaik seharusnya tidak menjadi
penghalang dalam melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu,
masyarakat perlu memahami bagaimana sebenarnya esensi sebuah mahar
atau uang panaik dalam pernikahan agar masyarakat dapat memahami
bahwa mahar tidak seharusnya tidak memberatkan bagi pihak mempelai
laki-laki tetapi tidak pula merendahkan wanita. Pemerintah bisa
memberikan penyuluhan kepada masyarakat khususnya dalam suku Bugis-
Makassar tentang bagaimana definisi mahar dalam perspektif islam serta
jumlah mahar atau uang panaik yang tidak seharusnya menjadi penghalang
dalam sebuah pernikahan dalam suku Bugis-Makassar.
xvii
DAFTAR PUSTAKA
Riski, Andi A., et al. "Uang Belanja (Uang Panaik) dalam Perkawinan Suku Bugis
pada Masyarakat Reteh Kabupaten Indragiri Hilir." Jurnal Online Mahasiswa
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, vol. 4, no. 1, Feb.
2017, pp. 1-9. https://www.neliti.com/ (Diakses 03 Juni 2021)
Tang, M. (2017). Mahar Dalam Pernikahan Adat Bugis Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Islam. Jurnal Bimas Islam, 10(3), 539-564.
http://jurnalbimasislam.kemenag.go.id/index.php/jbi/article/view/34 (Diakses 14
Juni 2021)
xviii
http://ecampus.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/Juris/article/view/301 (Diakses
25 Juni 2021)
xix