Anda di halaman 1dari 19

MAHAR DAN UANG PANAI’ DALAM PERNIKAHAN

Diajukan sebagai Tugas Mata Kuliah


Metode Penulisan Karya Tulis Ilmiah
(Suhartina, S. Pd., M. Pd.)

Oleh

SRI WULANDARI AHMAD : 2020203874230001

NUR AWALIYAH : 2020203874230029

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

PAREPARE

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah Swt.


yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat dan Salam tetap tercurah
kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Sebagai penutup para nabi.
Atas izin Allah, penulis berhasil menyelesaikan makalah yang
berjudul “MAHAR DAN UANG PANAI’ DALAM PERNIKAHAN”
dengan tepat waktu.
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih perlu saran
dan kritikan dari para pembaca agar kedepannya makalah ini dapat
disempurnakan dengan baik. Dan semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca dan menjadi pembelajaran khususnya bagi penulis.

Parepare, 30 Mei 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................7
A. Tradisi Mahar di Indonesia........................................................................7
B. Tinjauan Mahar dalam Perspektif Islam...................................................9
C. Perwujudan Uang Panaik Suku Bugis dalam Pernikahan......................11
BAB III PENUTUP..............................................................................................13
A. Simpulan..............................................................................................13
B. Saran....................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah anjuran dari Rasulullah Saw. guna membentuk


keluarga dan meneruskan keturunan serta memelihara diri dari
perbuatan yang melanggar syariat Islam. Undang-undang No.1 tahun
1974 menyatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Kompilasi hukum Islam
(KHI) pasal 2 dinyatakan bahwa “Perkawinan menurut hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah”. Selanjutnya pasal 3 mengatakan bahwa
“pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. Perkawinan baru dianggap sah
apabila memenuhi rukun dan syarat nikah. Salah satu syarat nikah
tersebut adalah adanya mahar dalam pernikahan.
Mahar atau maskawin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah seserahan berupa uang atau barang yang diberikan kepada
mempelai wanita dari mempelai pria ketika hendak melangsungkan
pernikahan. Kamal Mukhtar mendefinisikan bahwa mahar secara
etimologi adalah maskawin. Adapun mahar secara terminologi adalah
pemberian wajib dari calon suami kepada isteri sebagai ketulusan hati
calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri
kepada calon suaminya dalam kaitannya dengan pernikahan.1
Di dalam perkawinan, salah satu prioritas utamanya adalah Mahar.
Meskipun mahar tidak termasuk dalam kategori rukun nikah. Mahar

1
Rusdaya Basri, Fiqh Munakahat: 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah (Parepare: CV. Kaaffah
Learning Center(Anggota IKAPI), 2019). h. 84.

iv
disebut juga maskawin, sadag, nihlah dan faridah. Menurut istilah
syarak, maskawin adalah suatu yang diberikan oleh laki-laki sebagai
tukaran atau jaminan bagi suatu apa yang diterima darinya.
Mahar atau maskawin merupakan hak pribadi seorang istri. Orang
lain, termasuk suami, wali ataupun orang lain tidak berhak atas barang
atau uang yang menjadi mahar dan tidak boleh digunakan kecuali
dengan izin dari isteri.
Tradisi pernikahan masyarakat bugis dikenal masyarakat dengan
uang panai’nya. Uang panai’ adalah salah satu tradisi masyarakat
bugis berupa sejumlah uang yang yang diberikan kepada pihak
mempelai wanita dari mempelai pria sebagai bentuk kesungguhan laki-
laki terhadap wanita yang dipinangnya. Uang panai’ merupakan
sebuah penghargaan terhadap wanita yang dijadikan motivasi bagi
laki-laki untuk dijadikan simbol ketulusannya terhadap sang wanita.2
Lebih lanjut, di daerah Sulawesi Selatan, ciri khas lainnya dalam
pernikahan masyarakat bugis adalah dui’ balanca atau uang belanja.
Dui’ balanca ini diberikan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon
mempelai perempuan untuk digunakan sebagai biaya pesta pernikahan
(resepsi) di kediaman mempelai perempuan. Biasanya, dui’ balanca ini
diserahkan kepada orangtua atau perwakilan pihak perempuan untuk
keperluan pesta pernikahan.
Uang panai’ seperti yang kita ketahui merupakan sebuah
penghargaan terhadap wanita karena wanita memang sangat dihormati.
Sejarah uang panai’ bermula pada zaman Kerajaan Bone dan Gowa
Tallo. Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya pada abad ke
XVII di bawah pimpinan masa Sultan Muhammad Said Tumenangari
Balla Pangkana yang memegang hegemoni dan supremasi di daerah
Sulawesi Selatan, hingga Indonesia bagian timur. Ketika laki-laki
diharuskan membawa sesrahan ketika ingin meminang wanita dari
kerajaan atau yang merupakan keturunan raja untuk menunjukkan

2
Iqbal Ardianto, Makkunrai (Perempuan Bugis), (Purbalingga: Mazafa Jaya,2018), h.52-53.

v
bahwa ia mampu memberikan kesejahteraan dan kenyamanan bagi istri
dan anak-anaknya setelah menikah. Seserahan itu berupa uang panai’
yang merupakan syarat mutlak untuk mereka penuhi yang kemudian
berkembang hingga lapisan masyarakat kasta bawah ketika ingin
menikahi anak gadis dari masyarakat suku bugis. Mereka beranggapan
bahwa uang panai’ yang tinggi bermaksud untuk mengetahui
kesungguhan laki-laki yang ingin menikahi anak gadisnya.3
Persyaratan yang diajukan (uang panai’) bertujuan untuk
menghargai para wanita. Selain itu, uang panai’ juga bertujuan untuk
melihat keseriusan seorang laki-laki terhadap sang wanita. Namun
sejatinya, uang panai’ tidak selamanya dipatok dengan harga tinggi,
tergantung faktor yang mendasarinya. Kemampuan ekonomi,
keturunan kebangsawanan, tingkat pendidikan dan kecantikan paras
menjadi variabel berubahnya nilai uang panai’ si wanita. Semakin
tinggi derajat yang dimiliki seorang wanita, maka semakin tinggi nilai
uang panai’ yang ditetapkan oleh keluarganya. Tapi jika dilihat
berdasarkan realitas yang ada, uang panai’ sudah bergeser dari makna
yang sesungguhnya. Di era modern ini, uang panai’ sudah menjadi
ajang pamer gengsi dan pamer kekayaan.
Tak jarang ditemukan di media sosial pemberitaan yang bertajuk
uang panai’ dengan nilai yang fenomenal sehingga membuat penikmat
media online terpukau. Tingginya uang panai’ saat hendak menikah,
terkadang menjadi kendala tersendiri dari mereka yang merasakan hal
tersebut.
Dikutip dari news.detik.com, panai’ atau panaik merupakan uang
yang wajib untuk dari mempelai laki-laki kepada pihak mempelai
perempuan yang hendak diperistri. Ketika pihak mempelai laki-laki
tidak mampu memenuhi besaran nominal uang panai’ yang ditentukan
oleh pihak mempelai wanita, akan menjadi masalah dalam pernikahan

3
Andi Aminah Riski dkk, “Money Shopping (Uang Panaik) In Marriage Bugis Reteh District
Community Indragiri Hilir”, (Jom.unri.ac.id 2017), h.4.

vi
hingga menimbulkan kejadian miris seperti bunuh diri hingga kawin
lari karena tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut. Kejadian ini
pernah terjadi di Jeneponto, Sulawesi Selatan yang menjadi akhir bagi
hubungan Ramli dan Isa. Sang wanita meninggal setelah nekat
menenggak racun sehingga menjadi akhir kisah cinta keduanya.
Bahkan sebelumnya, kedua pasangan ini sempat nekat kawin lari dan
menikah siri lantaran Ramli hanya sanggup memberikan uang Rp10
juta yang dianggap belum memenuhi uang panai’ yang telah
ditetapkan oleh pihak mempelai wanita sebesar Rp15 juta.
Perkawinan dini juga terjadi karena tergiur besarnya uang panai’
yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai
wanita. Kejadian ini terjadi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Dikutip dari news.okezone.com, diketahui perempuan tersebut ternyata
masih duduk di bangku kelas 2 SMK dan mempelai laki-laki baru saja
lulus SD. Mempelai pria memberikan uang belanja atau uang panai’
sebesar Rp56.500,000. Ustadz Muhammad Syukri yang merupakan
penyuluh fungsional Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Uluere Kab.
Bantaeng mengatakan bahwa besarnya uang panai’ menjadi faktor
yang menggiurkan dan juga masih kentalnya hubungan kekerabatan.
“Orang-orang di sini rata-rata tergiur dengan dengan mahar yang
tinggi dan mereka jalla appa’bunting (bangga menikahkan anaknya).”
Tuturnya.
Kejadian yang bertajuk uang panai’ mahal juga terjadi di
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Informasi ini pertama kali
diunggah di instagram pada hari Senin, 25 Maret 2019. Menurut
sumber, pernikahan ini sudah dilaksanakan pada hari Minggu, 24
Maret 2019 di Pattene, Kabupaten Maros. Ternyata, mempelai wanita
adalah seorang janda yang memang diberi uang panai’ sebanyak
Rp200 juta oleh sang suami. Selain uang, suami juga memberikan satu
set perhiasan emas serta satu unit ruko.

vii
Hingga sekarang, penghambat bagi mereka yang bersuku bugis-
Makassar adalah tingginya nominal uang panai’ yang ditentukan pihak
mempelai wanita ketika hendak melangsungkan pernikahan hingga
berujung pada kegagalan pernikahan. Meski ada filosofi penting di
balik tingginya uang panai’ yang diminta dalam pernikahan adat bugis,
namun tidak seharusnya menjadi penghalang dalam melangsungkan
sebuah pernikahan.
Mahar dan uang panai’ mempunyai arti yang berbeda. Mahar
merupakan pemberian harta atau barang yang merupakan salah satu
syarat dalam melangsungkan pernikahan. Sedangkan uang panai’
adalah sejumlah uang yang diberikan kepada calon mempelai wanita
sebagai motivasi bagi laki-laki untuk memenuhi permintaan uang
panai’ dari pihak perempuan yang dijadikan simbol ketulusannya dan
penghargaan terhadap wanita yang dicintainya. Mahar merupakan
syarat dari ajaran agama, sedangkan uang panai’ merupakan
persyaratan dalam adat bugis saat meminang seorang wanita.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mengambil judul “MAHAR
DAN UANG PANAI’ DALAM ISLAM” untuk membahas
bagaimana tradisi mahar yang berlaku di Indonesia dan bagaimana
tinjauan mahar dalam perspektif Islam. Dan penulis juga akan
membahas tentang bagaimana perwujudan uang panai suku Bugis
dalam pernikahan serta apa kaitan uang panai’ dengan mahar sebagai
syarat pernikahan. Kami berharap pembahasan ini bisa memberikan
kontribusi dalam hal informasi terkait bagaimana perspektif mahar
dalam islam dan bagaimana tradisi uang panai’ masyarakat suku Bugis
dalam melaksanakan pernikahan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka


penulis merumuskan batasan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tradisi mahar di Indonesia?

viii
2. Bagaimana tinjauan mahar dalam perspektif islam?
3. Bagaimana perwujudan uang panaik suku bugis dalam pernikahan?

ix
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tradisi Mahar di Indonesia

Dalam pernikahan, salah satu yang menjadi syarat adalah mahar.


Di dalam islam sendiri, jumlah dan jenis mahar tidak pernah ditentukan
dan selalu berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi sosial,
ekonomi, dan kultural. Di Indonesia sendiri, mahar tidak bisa dipisahkan
dari dinamika kehidupan umat Islam yang titik singgungnya tidak bisa
dimungkiri. Istilah mahar sendiri menjadi beragam di dalam tradisi
masyarakat Indonesia seperti jujuran dalam istilah Banjar, pisuka dan
ajikrama dalam istilah masyarakat Sasak, istilah maskawin dalam
masyarakat Jawa, serta istilah sompa, dui’ menre’, dan uang panaik dalam
masyarakat suku Bugis-Makassar.
Pernikahan di Indonesia terkadang lebih kental dengan nuansa
budayanya dibanding dengan nuansa agama. Banyak masyarakat yang
lebih mendahulukan adat-istiadat yang telah membudaya daripada ajaran
agama Islam. Jika budaya yang berhubungan dengan pernikahan tidak
bertentangan dengan ajaran atau syariat Islam, maka tentu saja
diperbolehkan dalam agama. Namun, sejak awal Islam telah menganjurkan
kesederhanaan dalam proses pernikahan agar tidak memberatkan bagi
kedua mempelai.
Kesederhaan juga berlaku pada mahar dalam prosesi pernikahan
yang menjadi salah satu syarat berlangsungnya sebuah pernikahan. Mahar
adalah pemberian sukarela yang merupakan simbol dari ketulusan,
kejujuran, dan komitmen seorang laki-laki terhadap perempuan yang
4
dicintainya. Mahar dalam Al-Qur’an disebutkan dengan kata shaduqah
yang memiliki arti kejujuran dan ketulusan seperti yang termaktub Dalam
QS An-Nisa/4:4:

4
Adib Machrus dkk, Fondasi Keluarga Sakinah: Bacaan Mandiri Calon Pengantin. (Jakarta:
Subdit Bina Keluarga Sakinah, 2017), hal. 35.

x
‫سا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِ ۤ ْيـئًـا َّم ِر ۤ ْیـئًـا‬
ً ‫صد ُٰقتِ ِهنَّ نِ ْحلَةً ۗ فَا ِ نْ ِطبْنَ لَـ ُك ْم عَنْ ش َْي ٍء ِّم ْنهُ نَ ْف‬ َ ِّ‫َو ٰا تُوا الن‬
َ ‫سٓا َء‬
Terjemahannya:
Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang
hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.

Dalam tinjauan sosial, jika dikaitkan dalam struktur sosial pada


komunitas tertentu, mahar menjadi ungkapan strata sosial suatu keluarga.
Geertz menuturkan bahwa sejak dahulu hingga sekarang, dalam
masyarakat Jawa orang tua sering menggunakan tradisi mahar untuk
menentukan status sosialnya pada publik.5 Untuk itu, orang tua
kebanyakan merayakan pernikahan anak gadisnya secara mewah yang
biayanya tidak jarang dibebankan kepada calon mempelai laki-laki dalam
bentuk maskawin atau mahar dalam pemaknaan adat setempat.6
Mahar dalam Islam sendiri bertujuan untuk pemberdayaan
perempuan. Berbeda dengan Islam yang tidak menitikberatkan nilai mahar
dalam pernikahan, tokoh fikih sangat menghargai unsur moral serta
komponen sosial-ekonomi dan budaya mengenai mahar. Di Indonesia
sendiri, penetapan jumlah mahar bisa menimbulkan permasalahan yang
cukup alot dan berakhir tidak berakhir seperti yang diinginkan. Dalam
tradisi masyarakat muslim Banjar yang disebut bapintaan atau proses
tawar menawar mahar ketika proses lamaran misalnya, tidak sedikit
lamaran batal hanya karena pihak laki-laki tidak mampu memenuhi jumlah
mahar yang ditentukan oleh pihak perempuan. Sebagaimana dalam QS.
An-Nisa ayat 4 yang menyebutkan bahwa mahar adalah pemberian dengan
penuh sukarela, maka seharusnya mahar tidak memberatkan seorang pria
apalagi sampai membuat sang pria terhalang untuk menikahi perempuan
yang ia cintai. Meskipun begitu, mahar juga tidak boleh merendahkan

5
Geertz, The Javanese Family: A Study of Kindship and Socialization, (New York: The Free Press
of Glencoe, 1961), h. 45.
6

xi
harga diri perempuan. Karena mahar merupakan jaminan masa depan bagi
dirinya dan bagi keluarganya kelak.

B. Tinjauan Mahar dalam Perspektif Islam

Mahar memiliki derajat yang cukup penting dalam pernikahan


Islam. Sebagian ahli fikih menjadikan mahar sebagai rukun dalam
pernikahan. Selain dianggap sebagai rukun, sebagian fukaha adapula yang
mengatakan bahwa mahar hanya merupakan syarat pelengkap dalam
sebuah pernikahan. Dalam bahasa Arab, mahar diistilahkan sebagai Sadaq
yang bisa juga diartikan sebagai maskawin bagi calon isteri. 7 Dalam al-
Fiqh Ala al-Madazhib al-Arba’ah karya Abdurrahman Al-Jaziri
mengartikan mahar benda yang wajib diberikan dari pihak mempelai pria
kepada pihak mempelai wanita yang disebut dalam akad nikah sebagai
pernyataan persetujuan antara pria dan wanita untuk hidup sebagai suami
isteri. 8
Pengertian mahar secara terminologi dalam konteks ke Indonesiaan
diuraikan dalam pasal 1 sub d Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa
mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai
wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam.9 dari beberapa definisi mahar tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa mahar dalam perspektif fikih merupakan pemberian
wajib yang diberikan dari calon suami kepada calon istri yang merupakan
hak penuh isteri.
Dasar hukum mahar terdapat dalam QS. An-nisa/4: 4 :

‫سا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِ ۤ ْيـئًـا َّم ِر ۤ ْیـئًـا‬


ً ‫صد ُٰقتِ ِهنَّ نِ ْحلَةً ۗ فَا ِ نْ ِطبْنَ لَـ ُك ْم عَنْ ش َْي ٍء ِّم ْنهُ نَ ْف‬ َ ِّ‫َو ٰا تُوا الن‬
َ ‫سٓا َء‬

Terjemahannya:
7
Muhammad Zuhaily, Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif Madzhab
Syafi’i, terj. Mohammad Kholison (Surabaya: CV. Imtiyaz, 2013), hal.235.
8
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala al-Madazhib al-Arba’ah (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah,
1990), hal.76.
9
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam. (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), hal.10.

xii
Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang
hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.

Dalam QS. An-nisa/4:4 mahar diistilahkan sebagai sadaq yang


berarti kerelaan. Jumhur fukaha sepakat bahwa objek dalam ayat ini adalah
calon suami. Dalam ayat yang lain, Allah berfirman dalam QS. An-nisa/4:
25:

‫ت فَ ِمنْ َّما َملَـ َكتْ اَ ْي َما نُ ُك ْم ِّمنْ فَتَ ٰيـتِ ُك ُم‬ِ ‫ت ا ْل ُمؤْ ِم ٰن‬
ِ ‫ص ٰن‬
َ ‫ستَ ِط ْع ِم ْن ُك ْم طَ ْواًل اَنْ يَّ ْن ِك َح ا ْل ُم ْح‬ْ َ‫َو َمنْ لَّ ْم ي‬
‫هّٰلل‬
‫ض ۚ فَا ْن ِك ُح ْوهُنَّ بِا ِ ْذ ِن اَ ْهلِ ِهنَّ َو ٰا ت ُْوهُنَّ اُ ُج ْو َرهُنَّ بِا‬ ٍ ‫ض ُك ْم ِّم ۢنْ بَ ْع‬
ُ ‫ت ۗ  َوا ُ اَ ْعلَ ُم بِا ِ ْي َما نِ ُك ْم ۗ بَ ْع‬ ِ ‫ا ْل ُمؤْ ِم ٰن‬
َّ‫ش ٍة فَ َعلَ ْي ِهن‬ َ ‫صنَّ فَا ِ نْ اَ تَيْنَ بِفَا ِح‬ ِ ‫ت َّواَل ُمتَّ ِخ ٰذ‬
ِ ‫ت اَ ْخدَا ٍن ۗ فَا ِ َذ ۤا اُ ْح‬ ٍ ‫ت َغ ْي َر ُم ٰسفِ ٰح‬ ٍ ‫ص ٰن‬
َ ‫ف ُم ْح‬ ِ ‫ْل َم ْع ُر ْو‬
‫هّٰلل‬
ِ ‫ب  ٰۗ ذلِ َك لِ َمنْ َخ‬
ْ ‫ش َي ا ْل َعنَتَ ِم ْن ُك ْم ۗ  َواَ نْ ت‬
ُ ‫َصبِ ُر ْوا َخ ْي ٌر لَّ ُك ْم ۗ  َوا‬ ِ ‫ص ٰن‬
ِ ‫ت ِمنَ ا ْل َع َذا‬ َ ‫صفُ َما َعلَى ا ْل ُم ْح‬ ْ ِ‫ن‬
‫َغفُ ْو ٌر َّر ِح ْي ٌم‬
Terjemahannya:
Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi
perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi
perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang
lain (sama-sama keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka
dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena
mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan
pezina, dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain
sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami),
tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka
setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak
bersuami). (Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-
orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan
zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 25)

Dalam QS. An-nisa/4: 25 mahar diistilahkan dengan kata ajrun


atau ujurahun yang arti sebenarnya adalah upah, namun dalam konteks
ayat berarti mahar atau maskawin untuk hamba sahaya perempuan yang
ingin dinikahi. Selain izin dari orang tuanya, mahar juga harus dibayar
oleh calon suami dengan tujuan untuk tidak membedakan antara hamba
sahaya dan perempuan merdeka. Hal ini merupakan salah satu bentuk

xiii
keadilan dalam Islam dengan upaya membebaskan kaum wanita dari
penindasan sosial-budaya.

C. Perwujudan Uang Panaik Suku Bugis dalam Pernikahan

Dalam suku Bugis-Makassar, uang panaik bukan merupakan hal


yang baru bagi masyarakat. Definisi uang panaik secara sederhana hampir
sama dengan pengertian mahar, yaitu sejumlah uang yang diberikan dari
calon mempelai pria kepada pihak calon mempelai wanita. Uang panaik
sering juga diistilahkan dengan dui’ menre (Bugis) atau doi’ balanca
(Makassar) yang berarti uang yang diberikan kepada pihak calon
mempelai wanita yang digunakan untuk kebutuhan pesta pernikahan.
Uang panaik biasanya dipegang oleh keluarga sang mempelai wanita
untuk memenuhi kebutuhan seperti penyewaan gedung, tenda, kebutuhan
konsumsi untuk para tamu, dan segala kebutuhan pernikahan lainnya.
Uang panaik yang diberikan kepada calon mempelai wanita
merupakan kesepakatan yang telah dibicarakan sebelum dilakukan
lamaran. Biasanya, sebelum melangsungkan acara lamaran atau putus kata
(mappettuada) keluarga pihak laki-laki datang ke kediaman mempelai
perempuan untuk menanyakan berapa jumlah mahar dan uang panaik yang
ditetapkan oleh pihak atau keluarga calon mempelai wanita. Jika besaran
uang panaik yang diberikan dipatok jumlah yang tinggi, maka pihak
mempelai laki-laki bisa melakukan negosiasi sampai pihak calon
mempelai laki-laki sanggup memenuhinya.
Dalam menentukan besaran nominal uang panaik yang diberikan
kepada calon mempelai wanita, biasanya dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya:
1. Status ekonomi keluarga calon istri.
2. Jenjang pendidikan calon istri.
3. Kondisi fisik calon istri.
4. Perbedaan antara janda dan perawan.

xiv
Uang panaik dengan harga yang cukup tinggi bisa menjadi motivasi
bagi laki-laki yang ingin melangsungkan pernikahan untuk semangat
bekerja demi menikahi wanita pujaannya. Uang panaik sendiri dalam suku
bugis-makassar dipandang sebagai budaya siri’(malu), karena jika
mempelai pria tidak sanggup memenuhi besaran uang panaik yang
ditetapkan oleh pihak mempelai wanita maka ia harus menanggung rasa
malu.

Adapun proses pemberian uang panaik adalah sebagai berikut.

1. Pihak keluarga laki-laki mengirimkan utusan kepada pihak


keluarga perempuan untuk membicarakan perihal jumlah nominal
uang panaik. Pada umumnya yang menjadi utusan adalah tomatoa
(orang yang dituakan) dalam garis keluarga dekat seperti ayah,
kakek, paman, dan kakak mertua.
2. Setelah utusan pihak keluarga laki-laki sampai di rumah tujuan,
pihak keluarga perempuan mengutus orang yang dituakan dalam
garis keluarganya untuk menemui utusan dari pihak laki-laki.
Setelah itu, pihak perempuan menyebutkan besaran uang panaik.
Jika calon keluarga pria menyanggupi maka selesailah proses
tersebut. Akan tetapi, jika pihak pria tidak menyanggupinya,
mereka bisa melakukan proses tawar-menawar sampai tercapai
kesepakatan antara kedua belah pihak.
3. Setelah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, maka tahap
selanjutnya adalah membicarakan tanggal kedatangan pihak
keluarga laki-laki untuk menyerahkan uang panaik tersebut.
4. Selanjutnya, adalah pihak keluarga laki-laki datang kerumah
mempelai wanita pada waktu yang telah disepakati sebelumnya.

xv
5. Setelah uang panaik diberikan kepada pihak mempelai
perempuan, proses selanjutnya adalah penentuan mahar untuk
calon istri.10

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Tradisi mahar di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari dinamika


kehidupan masyarakat muslim. Mahar yang merupakan salah satu syarat
dalam melangsungkan pernikahan mempunyai beragam istilah yang
dikenal dalam masyarakat indonesia seperti jujuran (banjar), maskawin
(jawa), pisuka dan ajikrama (Sasak), sompa, dui’ menre, uang panaik
(bugis-makassar). Nominal mahar sendiri selalu berubah dari waktu ke
waktu sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan kultural.
Dalam perspektif islam, mahar dipandang sebagai sesuatu yang
memiliki kedudukan yang cukup penting dalam pernikahan. Para fukaha
menjadikan mahar sebagai rukun pernikahan, namun sebagian lagi
menganggap mahar sebagai syarat pelemngkap dalam sebuah pernikahan.
dalam QS. An-nisa ayat 4, mahar diistilahkan sebagai sadaq yang berarti
kerelaan. Sedangkan dalam QS. An-nisa ayat 25 mahar diistilaahkan
dengan kata ajrun atau ujurahun.
Adapun uang panaik dalam suku bugis makassar hampir
mempunyai arti yang sama dengan mahar. Uang panaik biasanya dipegang
oleh keluarga sang mempelai wanita untuk memenuhi kebutuhan seperti
penyewaan gedung, tenda, kebutuhan konsumsi untuk para tamu, dan
segala kebutuhan pernikahan lainnya. Uang panaik yang diberikan kepada
calon mempelai wanita merupakan kesepakatan yang telah dibicarakan
sebelum dilakukan lamaran. Biasanya, sebelum melangsungkan acara
lamaran atau putus kata (mappettuada) keluarga pihak laki-laki datang ke

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Adat dan Upacara Perkawinan
10

Daerah Sulawesi Selatan. Hal.37.

xvi
kediaman mempelai perempuan untuk menanyakan berapa jumlah mahar
dan uang panaik yang ditetapkan oleh pihak atau keluarga calon mempelai
wanita. Jika besaran uang panaik yang diberikan dipatok jumlah yang
tinggi, maka pihak mempelai laki-laki bisa melakukan negosiasi sampai
pihak calon mempelai laki-laki sanggup memenuhinya.

B. Saran
Mahar dan uang panaik merupakan dua hal yang berbeda dalam
pernikahan masyarakat bugis. Meski menjadi syarat penting dalam sebuah
pernikahan, Jumlah mahar dan uang panaik seharusnya tidak menjadi
penghalang dalam melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu,
masyarakat perlu memahami bagaimana sebenarnya esensi sebuah mahar
atau uang panaik dalam pernikahan agar masyarakat dapat memahami
bahwa mahar tidak seharusnya tidak memberatkan bagi pihak mempelai
laki-laki tetapi tidak pula merendahkan wanita. Pemerintah bisa
memberikan penyuluhan kepada masyarakat khususnya dalam suku Bugis-
Makassar tentang bagaimana definisi mahar dalam perspektif islam serta
jumlah mahar atau uang panaik yang tidak seharusnya menjadi penghalang
dalam sebuah pernikahan dalam suku Bugis-Makassar.

xvii
DAFTAR PUSTAKA

Riski, Andi A., et al. "Uang Belanja (Uang Panaik) dalam Perkawinan Suku Bugis
pada Masyarakat Reteh Kabupaten Indragiri Hilir." Jurnal Online Mahasiswa
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, vol. 4, no. 1, Feb.
2017, pp. 1-9. https://www.neliti.com/ (Diakses 03 Juni 2021)

Iqbal, M., & Sudirman, L. (2020). MAHAR DAN UANG PANAIK


PERKAWINAN PADA TRADISI MASYARAKAT DALAM PANDANGAN
HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Kelurahan Limpomajang Kacamatan
Marioriawa Kabupaten Soppeng). Inspiratif Pendidikan, 9(2), 128-148.
http://103.55.216.56/index.php/Inspiratif-Pendidikan/article/view/16787 (Diakses
6 juni 2021)

Aspandi, A. (2020). MAHAR DALAM PERKAWINAN ISLAM. Al-'Adalah:


Jurnal Syariah dan Hukum Islam, 5(2), 244-257. http://e-
journal.ikhac.ac.id/index.php/adlh/article/view/1103 (Diakses 10 Juni 2021)

Ikbal, M., & Enrekang, P. P. M. R. A. M. (2016). Uang panaik” dalam


perkawinan adat suku Bugis Makassar. The Indonesian Journal of Islamic Family
Law, 6(01), 192.
http://jurnalfsh.uinsby.ac.id/index.php/alhukuma/article/view/314 (Diakses 14
Juni 2021)

Tang, M. (2017). Mahar Dalam Pernikahan Adat Bugis Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Islam. Jurnal Bimas Islam, 10(3), 539-564.
http://jurnalbimasislam.kemenag.go.id/index.php/jbi/article/view/34 (Diakses 14
Juni 2021)

Damis, M. (2020). MAKNA TRADISI DUI’MENRE’/UANG PANAI’DI KOTA


MANADO (Studi Kasus Perkawinan Eksogami Perantau Pria Bugis-Makassar di
Manado). HOLISTIK, Journal Of Social and Culture.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/holistik/article/view/31798 (Diakses 23
Juni 2021)

Halomoan, P. (2016). Penetapan Mahar Terhadap Kelangsungan Pernikahan


Ditinjau Menurut Hukum Islam. Juris (Jurnal Ilmiah Syariah), 14(2), 107-118.

xviii
http://ecampus.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/Juris/article/view/301 (Diakses
25 Juni 2021)

Kohar, A. (2016). Kedudukan Dan Hikmah Mahar Dalam


Perkawinan. ASAS, 8(2).
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/1245 (Diakses 25 Juni
2021)

Basri, Rusdaya. 2019. Fiqh Munakahat: 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah.


Parepare: CV. Kaaffah Learning Center.

xix

Anda mungkin juga menyukai