Anda di halaman 1dari 13

Teori Akuntansi Positif dan Normatif + Prinsip dan Hioptesis | Di dalam teori akuntansi terdapat dua

jenis teori yang dikenal dengan Teori Akuntansi Positif dan Teori Akuntansi Normatif. Berikut penjelasan
oleh AkuntansiLengkap.com mengenai Pengertian, Prinsip dan Hipotesisnya.

Teori Akuntansi Positif

Prinsip teori akuntansi positif

Teori Normatif

Share this:

Teori Akuntansi Positif

Teori akuntansi positif adalah teori akuntansi yang berupaya menjelaskan suatu proses dengan
menggunakan kemampuan pemahaman serta pengetahuan akuntansi saat menentukan kebijakan
akuntansi yang sesuai dalam menghadapi kondisi di masa yang akan datang.

Prinsip teori akuntansi positif

Prinsip dari teori akuntansi positif beranggapan bahwa tujuan dari teori akuntansi bermaksud untuk
memprediksi dan menjelaskan praktik akuntansi. Teori akuntansi positif merupakan studi lanjutan dari
teori akuntansi normatif karena kegagalan dari teori normatif dalam menjabarkan fenomena praktik
yang terjadi secara real (nyata).

Teori normatif merupakan pendapat subyektif (pribadi) sehingga tidak dapat diterima secara mentah,
harus dapat diuji secara empiris supaya memiliki dasar teori yang kuat.

Terdapat tiga hipotesis oleh Watts dan Zimmerman, 1990 yang menjadi asumsi pada teori akuntansi
positif diantaranya adalah:

1. Hipotesis Rencana Bonus (Bonus Plan Hypothesis)


Manajer perusahaan cenderung lebih menyukai metode yang dapat meningkatkan laba periode berjalan
dengan bonus tertentu. Pilihan diharapkan dapat meningkatkan nilai bonus yang akan diterima tidak
dapat menyesuaikan dengan metode yang dipilih.

2. Hipotesis hutang atau ekuitas (Debt/Equity Hypothesis)

Semakin tinggi rasio ekuitas atau hutang perusahaan maka makin besar para manajer untuk memilih
metode akuntansi yang data efektif untuk menaikkan laba. Semakin tinggi rasio hutang dan ekuitas akan
mendekatkan perusahaan dengan batas perjanjian atau peraturan kredit dan makin besar kemungkinan
penyimpangan perjanjian kredit dan pengeluaran biaya.

3. Hipotesis Cost Politik (Political Cost Hypothesis)

Hipotesis ini didasari asumsi bahwa sangat mahalnya nilai informasi bagi individu untuk menentukan
kondisi laba akuntansi apakah betul-betul menunjukkan monopoli laba.

Selain itu, mahalnya bagi individu untuk melaksanakan kontrak dengan berbagai pihak dalam proses
politik untuk menegakkan regulasi dan aturan hukum, yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

PELAJARI LEBIH

Pada umumnya individu yang rasional tidak mengetahui informasi yang lengkap tentang proses politik
dan proses pasar. Dengan dasar cost informasi dan cost monitoring, manajer mempunyai insentif untuk
memiliki laba pada periode akuntansi dalam proses politik tersebut.

Teori Normatif

Teori normatif didasarkan atas upaya pembenaran tentang apa yang seharusnya dipraktekkan. Teori
normatif disebut juga Teori Apriori (bersifat deduktif) karena bukan hasil dari penelitian empiris.
Hal ini disebabkan oleh pengalaman praktek langsung yang telah dilakukan misalnya pernyataan tentang
laporan keuangan yang seharusnya didasarkan pada metode pengukuran tertentu atau dihasilkan
melalui kegiatan “semi – research”. (Baca juga:

Teori normatif diketahui lebih berkonsentrasi pada :

1. Penciptaan laba sesungguhnya (true income)

Teori ini lebih berkonsentrasi pada pengukuran tunggal yang benar untuk aktiva dan laba.

2. Pengambilan keputusan (decision usefulness)

Teori ini menganggap bahwa tujuan dasar akuntansi adalah untuk membantu proses pengambilan
keputusan dengan menyediakan data akuntansi yang relevan dan bermanfaat.

Di beberapa kasus, teori ini didasarkan pada konsep ekonomi tentang laba dan kemakmuran atau
konsep ekonomi pengambilan keputusan rasional. Konsep tersebut didasarkan pada penyesuaian
rekening karena pengaruh inflasi atau dari nilai pasar dari aktiva.

Teori normatif ini didasarkan pada anggapan bahwa:

Akuntansi seharusnya merupakan sistem pengukuran.

Laba dan nilai dapat diukur secara tepat.

Akuntansi keuangan bermanfaat untuk pengambilan keputusan ekonomi.

Pasar tidak efisien (dalam pengertian ekonomi).


Ada beberapa pengukur laba yang unik.

Pada praktiknya teori normatif adalah pendapat subyektif (pribadi) maka sulit untuk diterima begitu saja
karena harus dapat diuji secara empiris supaya dapat dikatakan sistem akuntansi yang dihasilkan sebagai
sesuatu yang ideal.

Para ahli bidang akuntansi telah menyatakan bahwa teori akuntansi positif lebih diterapkan
dibandingkan teori akuntansi normatif.

Demikianlah artikel tentang Teori Akuntansi Positif dan Normatif. Semoga dapat membantu dan
bermanfaat bagi pembaca. Sekian dan terimakasih.

hestanto.web.id 2020

BerandaManajemen Bisnis

hestanto di Manajemen Bisnis

Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori Agensi Dalam Teori Akuntansi

Teori Agensi Dalam Teori Akuntansi

Dalam teori keagenan menjelaskan tentang dua pelaku ekonomi yang saling bertentangan yaitu
prinsipal dan agen. Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang
(prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi
wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal (Ichsan, 2013). Jika prinsipal
dan agen memiliki tujuan yang sama maka agen akan mendukung dan melaksanakan semua yang
diperintahkan oleh prinsipal.
Pertentangan terjadi apabila agen tidak menjalankan perintah prinsipal untuk kepentingannya sendiri.
Dalam penelitian ini, pemerintah adalah prinsipal sedangkan perusahaan adalah agen. Pemerintah yang
bertindak sebagai prinsipal memerintahkan kepada perusahaan untuk membayar pajak sesuai dengan
perundang-undangan pajak. Hal yang terjadi adalah perusahaan sebagai agen lebih mengutamakan
kepentingannya dalam mengoptimalkan laba perusahaan sehingga meminimalisir beban, termasuk
beban pajak dengan melakukan penghindaran pajak. Manajer perusahaan yang berkuasa dalam
perusahaan untuk pengambilan keputusan sebagai agen memiliki kepentingan untuk memaksimalkan
labanya dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Karakter manajer perusahaan tentunya
mempengaruhi keputusan manajer untuk memutuskan kebijakannya untuk meminimalkan beban
termasuk beban pajak dengan mempertimbangkan berbagai macam hal seperti sales growth atau
leverage.

Sales growth yang semakin meningkat tentunya menggambarkan laba yang semakin meningkat pula
sehingga manajer akan berfikir untuk memaksimalkan labanya dengan cara apapun. Begitu juga dengan
leverage, kebijakan leverage yang digunakan oleh para manajer untuk memperoleh pendanaan dari
eksternal demi kelangsungan operasional akan meningkatkan bunga namun memperkecil beban pajak
karena semakin besar perlindungan pajak. Kedua hal tersebut menjadi pertimbangan manajer dalam
memutuskan kebijakan untuk memaksimalkan labanya.

Hal inilah yang menjadikan adanya konflik keagenan. Konflik keagenan yang terjadi antara agen dan
prinsipal dapat diminimalkan dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan pengungkapan
corporate governance (Evianisa, 2014). Menurut Forum for Corporate Governance In Indonesia (FCGI)
dalam Evianisa (2014) mengenai pengertian corporate governance adalah seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antara pemegeng saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan serta para pemegeng kepentingan intern dan eksteren lainnya yang berkaitan
dengan hak-hak dan kewajiban mereka. Corporate governance yang digunakan dalam penelitian ini
adalah ukuran perusahaan, komite audit, dan kualitas audit.

Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan sebagai:

“agency relationship as a contract under which one or more person (the principals) engage another
person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision
making authority to the agent”.
Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal) memerintah
orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada
agen membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Jika kedua belah pihak tersebut mempunyai
tujuan yang sama untuk memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak dengan
cara yang sesuai dengan kepentingan prinsipal. Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara
pemegang saham (shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen
merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang
saham. Karena mereka dipilih, maka pihak manejemen harus mempertanggungjawabkan semua
pekerjaannya kepada pemegang saham.

Karena unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi hubungan antara prinsipal dan
agen, maka fokus dari teori ini adalah pada penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari
hubungan antara prinsipal dan agen. Untuk memotivasi agen maka prinsipal merancang suatu kontrak
agar dapat mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak
yang efisien adalah kontrak yang memenuhi dua faktor, yaitu (1) Agen dan pinsipal memiliki informasi
yang simetris artinya baik agen maupun majikan memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama
sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan dirinya sendiri,
dan (2) Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti agen
mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimanya.

hestanto.web.id 2020

BerandaManajemen Bisnis

hestanto di Manajemen Bisnis

Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori Agensi Dalam Teori Akuntansi

Teori Agensi Dalam Teori Akuntansi

Dalam teori keagenan menjelaskan tentang dua pelaku ekonomi yang saling bertentangan yaitu
prinsipal dan agen. Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang
(prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi
wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal (Ichsan, 2013). Jika prinsipal
dan agen memiliki tujuan yang sama maka agen akan mendukung dan melaksanakan semua yang
diperintahkan oleh prinsipal.

Pertentangan terjadi apabila agen tidak menjalankan perintah prinsipal untuk kepentingannya sendiri.
Dalam penelitian ini, pemerintah adalah prinsipal sedangkan perusahaan adalah agen. Pemerintah yang
bertindak sebagai prinsipal memerintahkan kepada perusahaan untuk membayar pajak sesuai dengan
perundang-undangan pajak. Hal yang terjadi adalah perusahaan sebagai agen lebih mengutamakan
kepentingannya dalam mengoptimalkan laba perusahaan sehingga meminimalisir beban, termasuk
beban pajak dengan melakukan penghindaran pajak. Manajer perusahaan yang berkuasa dalam
perusahaan untuk pengambilan keputusan sebagai agen memiliki kepentingan untuk memaksimalkan
labanya dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Karakter manajer perusahaan tentunya
mempengaruhi keputusan manajer untuk memutuskan kebijakannya untuk meminimalkan beban
termasuk beban pajak dengan mempertimbangkan berbagai macam hal seperti sales growth atau
leverage.

Sales growth yang semakin meningkat tentunya menggambarkan laba yang semakin meningkat pula
sehingga manajer akan berfikir untuk memaksimalkan labanya dengan cara apapun. Begitu juga dengan
leverage, kebijakan leverage yang digunakan oleh para manajer untuk memperoleh pendanaan dari
eksternal demi kelangsungan operasional akan meningkatkan bunga namun memperkecil beban pajak
karena semakin besar perlindungan pajak. Kedua hal tersebut menjadi pertimbangan manajer dalam
memutuskan kebijakan untuk memaksimalkan labanya.

Hal inilah yang menjadikan adanya konflik keagenan. Konflik keagenan yang terjadi antara agen dan
prinsipal dapat diminimalkan dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan pengungkapan
corporate governance (Evianisa, 2014). Menurut Forum for Corporate Governance In Indonesia (FCGI)
dalam Evianisa (2014) mengenai pengertian corporate governance adalah seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antara pemegeng saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan serta para pemegeng kepentingan intern dan eksteren lainnya yang berkaitan
dengan hak-hak dan kewajiban mereka. Corporate governance yang digunakan dalam penelitian ini
adalah ukuran perusahaan, komite audit, dan kualitas audit.

Baca : Privasi dan Keamanan Memberikan Kepercayaan Bertransaksi Online


Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan sebagai:

“agency relationship as a contract under which one or more person (the principals) engage another
person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision
making authority to the agent”.

Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal) memerintah
orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada
agen membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Jika kedua belah pihak tersebut mempunyai
tujuan yang sama untuk memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak dengan
cara yang sesuai dengan kepentingan prinsipal. Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara
pemegang saham (shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen
merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang
saham. Karena mereka dipilih, maka pihak manejemen harus mempertanggungjawabkan semua
pekerjaannya kepada pemegang saham.

Hendriksen dan Van Breda (2002) dalam Setyawati (2010), hal yang mendasari konsep teori keagenan
muncul dari perluasan dari satu individu pelaku ekonomi informasi menjadi dua individu. Salah satu
individu ini menjadi agent untuk yang lain yang disebut principal. Agent membuat kontrak untuk
melakukan tugas-tugas tertentu bagi principal, principal membuat kontrak untuk memberi imbalan pada
agent. Principal mempekerjakan agent untuk melakukan tugas untuk kepentingan principal, termasuk
pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dari principal ke agent. Analoginya mungkin seperti
antara pemilik perusahaan dan manajemen perusahaan itu. Para pemilik disebut evaluator informasi
dan agen-agen mereka disebut pengambil keputusan. Hubungan agensi dikatakan terjadi ketika terdapat
sebuah kontrak antara seseorang (atau beberapa orang), seorang prinsipal dan seseorang (atau
beberapa orang) lain, seorang agen untuk melakukan pelayanan bagi kepentingan prinsipal mencakup
sebuah pendelegasian wewenang pembuatan keputusan kepada agen.
Baca : Privasi dan Keamanan Memberikan Kepercayaan Bertransaksi Online

Jensen dan Meckling (1976), menyatakan bahwa teori keagenan mendeskripsikan pemegang saham
sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh
pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu manajemen diberikan
sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham. Oleh karena
itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada pemegang saham.

Karena unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi hubungan antara prinsipal dan
agen, maka fokus dari teori ini adalah pada penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari
hubungan antara prinsipal dan agen. Untuk memotivasi agen maka prinsipal merancang suatu kontrak
agar dapat mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak
yang efisien adalah kontrak yang memenuhi dua faktor, yaitu (1) Agen dan pinsipal memiliki informasi
yang simetris artinya baik agen maupun majikan memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama
sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan dirinya sendiri,
dan (2) Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti agen
mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimanya.

Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak pernah terjadi, karena manajer berada didalam
perusahaan sehingga manajer mempunyai banyak informasi mengenai perusahaan, sedangkan prinsipal
sangat jarang atau bahkan tidak pernah datang ke perusahaan sehingga informasi yang diperoleh sangat
sedikit (Yushita, 2010). Hal ini menyebabkan kontrak efisien tidak pernah terlaksana sehingga hubungan
agen dan prinsipal selalu dilandasi oleh asimetri informasi. Agen sebagai pengendali perusahaan pasti
memiliki informasi yang lebih baik dan lebih banyak dibandingkan dengan prinsipal. Di samping itu,
karena verifikasi sangat sulit dilakukan, maka tindakan agen pun sangat sulit untuk diamati. Dengan
demikian, membuka peluang agen untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri dengan melakukan
tindakan yang tidak semestinya atau sering disebut disfunctional behaviour, dimana tindakan ini dapat
merugikan prinsipal, baik memanfaatkan aset perusahaan untuk kepentingan pribadi, maupun
perekayasaan kinerja perusahaan.

Baik prinsipal maupun agen diasumsikan mementingkan diri sendiri yaitu, untuk memaksimumkan
utilitas subjektif mereka, tetapi juga menyadari kepentingan umum mereka (Yushita, 2010). Efeknya,
perusahaan dipandang sebagai sebuah tim yang terdiri dari individu-individu yang anggotanya bertindak
demi kepentingan sendiri tetapi menyadari bahwa nasib mereka tergantung sampai tingkat tertentu
pada kemampuan tim untuk bertahan dalam kompetisinya dengan tim lain. Agen berusaha
memaksimumkan fee kontraktual yang diterimanya tergantung pada tingkat upaya yang diperlukan.
Prinsipal berusaha untuk memaksimumkan returns dari penggunaan sumber dayanya tergantung pada
fee yang dibayarkan kepada agen.

Baca : Karakter Eksekutif dan Indikatornya

Masalah keagenan (agency problem) muncul ketika principal kesulitan untuk memastikan bahwa agent
bertindak untuk memaksimalkan kesejahteraan principal (Yushita, 2010). Manajemen bersikap tidak
membedakan terhadap risiko, sedangkan pemilik menghindari risiko, tetapi manajemen dan bukan
pemilik yang menanggung risiko dengan bayaran tertentu. Konflik kepentingan semakin meningkat
terutama karena prinsipal tidak dapat memonitor aktivitas manajemen sehari-hari secara terus menerus
untuk memastikan bahwa manajemen bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal.

Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat
sesuai dengan prinsipal sehingga memicu biaya keagenan (agency cost). Jensen dan Meckling (1976)
mendefinisikan:

“agency cost as the sum of (1) the monitoring expenditures by the principal; (2) the bonding expeditures
by the agent; (3) the residual loss”.

Accounting Information System atau Sistem Informasi Akuntansi merupakan suatu komponen organisasi
(sumber daya manusia dan modal) yang mengumpulkan, mengklasifikasikan, mengolah, menganalisa,
dan mengkomunikasikan informasi keuangan dan pengambilan keputusan yang relevan, akurat, dan
efisien bagi pihak internal dan eksternal perusahaan.

Sistem Informasi Akuntansi (SIA) mencakup sistem informasi yang menunjukkan proses pencatatan,
pengolahan, pengikhtisaran informasi keuangan menjadi suatu laporan keuangan yang dilakukan secara
manual dan sistem informasi akuntansi yang menggunakan komputer dalam pengolahan informasi
keuangan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa SIA mencakup seluruh kegiatan yang berkenaan dengan
akuntansi, dan akuntansi itu sendiri adalah suatu sistem informasi. Dengan SIA yang berbasis komputer
dapat mempermudah dan meningkatkan kualitas proses pengolahan informasi keuangan menjadi lebih
relevan, akurat, dan efisien sehingga mempermudah proses pengambilan keputusan pihak manajemen.

Perkembangan teori akuntansi di dunia telah melalui beberapa tahap seperti yang dipaparkan oleh
Godfrey (1992), pada tahun 1492—1800 yang dikenal sebagai pre-theory period yaitu masa ketika
belum ada satupun teori akuntansi yang berkembang sampai pada awal abad ke-19, dan kalaupun ada
hanya sebatas saran-saran atau pertanyaan-pertanyaan yang belum dapat digolongkan sebagai teori
atau pernyataan yang sistematis. Perioda perkembangan teori akuntansi yang kedua dikenal sebagai
general scientific period pada tahun 1800—1955, yang sudah ada pengimbangan teori yang
penekanannya baru berupa penjelasan terhadap praktik akuntansi. Pada masa ini sudah ada kerangka
kerja untuk menjelaskan dan mengembangkan praktik akuntansi. Akuntansi dikembangkan berdasarkan
metoda empiris yang mengutamakan pengamatan atas kenyataan sehari-hari atau realitas bukan
didasarkan pada logika. Laporan American Accounting Association (AAA) ”A Tentative Statement of
Accounting Principles Affecting Corporate Reports pada tahun 1938 serta laporan American Institute of
Certified Public Accountants (AICPA) tentang “A Statement of Accounting Principle” (Sanders, Hatfield,
dan Moore, ….) merupakan dua contoh perumusan teori akuntansi berdasarkan metoda empiris atau
disebut era general scientific ini.

Perioda yang selanjutnya dikenal sebagai normative period pada tahun 1956—1970. Awal
perkembangan teori akuntansi pada tahun 1960-an tersebut menghasilkan teori akuntansi normatif
yang didefinisikan sebagai teori yang mengharuskan dan menggunakan kebijakan nilai (value
judgement) yang mengandung minimum sebuah premis (Wolk, Tearney, dan Dodd, 2001). Dalam
perioda ini pembuat rumusan teori akuntansi mencoba merumuskan “norma-norma” atau “praktik
akuntansi yang baik”. Kalau dalam perioda sebelumnya menekankan kepada ”Apa yang terjadi”, dalam
perioda perkembangan teori akuntansi normatif menekankan pada ”Apa yang seharusnya seharusnya
dilakukan”, ”what should be” dalam praktik akuntansi. Pada perioda ini muncul kritik terhadap konsep
”historical cost” dan mendukung adanya ”conceptual framework”. Beberapa terbitan laporan pada era
ini adalah buku yang berjudul“An Inquiry into the Nature of Accounting” oleh Goldberg yang diterbitkan
pada tahun 1965, AAA menerbitkan “A Statement of Basic Accounting Theory”. Buku yang diterbitkan
oleh Goldberg pada tahun 1965 tersebut berisi mengenai konsep-konsep yang digunakan sebagai
landasan praktik akuntansi.
Namun pada perkembangannya, pada tahun 1970-an terjadi pergeseran pendekatan dalam penelitian
akuntansi karena pendekatan normatif yang telah berjaya selama satu dekade tidak dapat menghasilkan
teori akuntansi yang siap dipakai didalam praktik sehari-hari. Oleh karena kurangnya kontribusi yang
diberikan oleh teori akuntansi normatif tersebut mengakibatkan munculnya anjuran untuk memahami
secara deskriptif berfungsinya sistem akuntansi didalam praktik nyata. Harapannya dengan pemahaman
dari praktik langsung akan muncul design sistem akuntansi yang lebih berarti (Gozhali, 2000). Pada
tahun 1970 sampai dengan saat ini, perkembangan teori akuntansi di dunia memasuki masa specific
scientific period. Perioda ini disebut juga “positive era”. Di sini teori akuntansi tidak cukup hanya dengan
sifat normatif tetapi harus bisa diuji kebenarannya.

Teori normatif pada awalnya belum menggunakan pendekatan investigasi formal, sedangkan pada
perkembangannya mulai digunakan pendekatan investigasi terstruktur formal, yaitu pendekatan
deduktif (dimulai dari proposisi akuntansi dasar sampai dengan dihasilkan prinsip akuntansi yang
rasional sebagai dasar untuk mengembangkan teknik-teknik akuntansi (Chariri dan Gozhali, 2003)). Di
samping perkembangan perubahan pendekatan penalaran, perkembangan akuntansi juga mengarah
pada teori akuntansi positif atau deskriptif yang investigasinya sudah lebih terstruktur dengan
menggunakan pendekatan induktif (didasarkan pada konklusi yang digeneralisasikan berdasarkan hasil
observasi dan pengukuran yang terinci (Chariri dan Gozhali, 2003). Norma dinilai subyektif, jadi harus
diuji secara positif untuk menghasilkan teori akuntansi yang lebih aplikatif untuk menjawab kebutuhan
para pelaku ekonomi mengenai informasi akuntansi. Salah satu penyebab pendekatan normatif dikritik
adalah karena tidak melibatkan pengujian hipotesa dan karena teori normatif didasarkan pada
pertimbangan subyektif. Perkembangan teori mengarah pada teori positif (deskriptif) ini didampingi
dengan perubahan fokus teori akuntansi yang digunakan oleh lembaga akuntansi, misalnya Financial
Accounting Standards Board (FASB) yang menekankan pada kegunaan dalam pengambilan keputusan
dan tidak lagi terfokus pada postulate seperti yang terlihat pada kerangka konseptual yang diterbitkan
oleh FASB mulai tahun 1979 yang dimulai dengan perumusan tujuan pelaporan keuangan (SFAC 1, 1979
dalam Chariri dan Gozhali, 2003).

Perkembangan 2 (dua) jenis pendekatan teori akuntannsi yang berjalan saling berdampingan tersebut
tentu membawa berbagai perbedaan paradigma dan pandangan dalam akuntansi. Watts dan
Zimmerman (1986) menjelaskan teori normatif berusaha menjelaskan informasi apa yang seharusnya
dikomunikasikan kepada para pemakai informasi akuntansi dan bagaimana akuntansi tersebut akan
disajikan. Menurut Nelson dalam Chariri dan Gozhali (2003) teori normatif sering dinamakan teori a
priori (dari sebab ke akibat dan bersifat deduktif). Teori normatif tidak dihasilkan melalui proses
penelitian empiris melainkan hanya sebatas proses semi penelitian tanpa adanya pengujian terhadap
teori akuntansi yang telah dikemukakan dapat atau tidak menjelaskan praktik akuntansi yang telah
berlaku. Sebaliknya teori positif sangat menekankan pentingnya penelitian empiris untuk menguji
apakah teori akuntansi yang telah dikemukakan dalam banyak literatur teori akuntansi dapat
menjelaskan praktik akuntansi yang berlaku (Arif, 1999). Berbeda dengan tujuan dari pendekatan teori
normatif, pendekatan teori positif (deskriptif) berusaha menjelaskan apa dan bagaimana informasi
keuangan disajikan serta dikomunikasikan kepada para pemakai informasi akuntansi atau dengan kata
lain pendekatan teori positif bukanlah untuk memberikan anjuran mengenai bagaimana praktik
akuntansi seharusnya, tetapi untuk menjelaskan mengapa praktik akuntansi mencapai bentuk seperti
keadaannya sekarang.

Teori akuntansi muncul sebagai akibat adanya penalaran-penalaran dari para ahli yang kemudian
mewarnai dunia akuntansi dengan berbagai kontroversi dan kritik yang berkembang. Masalah praktis
memang dapat diatasi atau dipecahkan dengan berdasarkan pengalaman praktis, tetapi pengalaman
praktis saja tidaklah cukup, melainkan harus dilandasi oleh pemahaman yang kuat terhadap teori
akuntansi. Kam (1986: 38) mengatakan bahwa “Behind every practice is a rationale…Good practice is
based on good theory whether we are aware of the theory or not. If we can formulate “good” theory,
then we will have “good” practices if the theory is followed

https://www.google.co.id/amp/s/selinsetiana.wordpress.com/2015/11/05/pengertian-accounting-
information-system/amp/

https://www.jurnal.id/id/blog/teori-akuntansi/

https://www.google.co.id/amp/s/www.hestanto.web.id/teori-keagenan-agency-theory/amp/

Anda mungkin juga menyukai