Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Ijarah adalah perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang memperbolehkan
penyewa memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan
kedua belah pihak. Setelah masa sewa berakhir, maka barang akan dikembalikan kepada
pemilik.
Landasan syariah dari ijarah adalah Alquran, surat Al-Baqarah: 233, “Dan jika kamu ingin
anakmu disusunkan oleh orang lain, tidak ada dosa bagimu, apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kau kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan. ”Sedangkan Al-Ta’jiri yaitu perjanjian antara pemilik
barang dengan yang membolehkan penyewa untuk memanfaatkan barang tersebut dengan
membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Setelah berakhir masa
sewanya, maka pemilik barang menjual barang tersebut kepada penyewa dengan harga yang
disetujui kedua belah pihak.
Ijarah adalah akad pemindahan hak/manfaat atas suatu asset dalam waktu tertentu, dengan
pembayaran sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikkan assset sendiri
(PAPSI).
Ijarah sesuai jenisnya dapat dibedakan menjadi:
1. Ijarah fee.
2. Ijarah asset.
Ijarah fee antara lain:
1. Ijarah SDB.
2. Ijarah pemeliharaan rahn emas.
3. Ijarah penyimpanan rahn emas.
Ijarah asset dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Asset berwujud.
2. Asset tidak berwujud.
Ijarah asset berwujud dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Ijarah.
2. Ijarah mintabiyah bittamlik.Jual ijarah.
Ijarah asset tidak berwujud, antara
1. Ijarah berlanjut.
2. Multi jasa.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan karya ilmiah ini, kami merumuskan permasalahan didalamnya. Berikut ini
rumusan masalahnya:
1. Apakah pengertian dari ijarah?
2. Bagaimana landasan transaksi ijarah?
3. Bagaimana hak dan kewajiban kedua belah pihak?
4. Bagaimana kesempatan mengenai harga sewa?
5. Bagaimana Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT)?
6. Apa persamaan dan perbedaan antara ijarah dan leasing?
7. Bagaimana alur transaksi ijarah dan IMBT?
8. Bagaimana sukuk ijarah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah
Transaksi ijarah dilandasi dengan adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan
perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi, pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip
jual beli. Perbedaan terletak pada objek transaksinya. Pada jual beli, objek transaksinya
barang, sedangkan pada ijarah, objek transaksinya adalah barang maupun jasa. Ijarah
didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan
tertentu. (Sarkhasi, al-Mabshut, 15:74; Al-Umm, 3:250). Menurut fatwa Dewan Syariah
Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa
dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang itu sendiri (2001). Dengan demikian, dalam akad ijarah tidak ada
perubuhan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna dari yang menyewakan kepada
penyewa.(1)
Jadi, ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas
suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan
sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan
kepemilikan barang itu sendiri.
B. Landasan Transaksi Ijarah
Landasan syariah akad ini adalah Fatwa DSN-MUI No.09 /DSN-MUI/IV/2000 tentang
ijarah. Beberapa ketentuan yang diatur dalam fatwa ini, antara lain sebagai berikut:
1. Rukun dan Syarat Ijarah
a. Singhat ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak
yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
b. Pihak-pihak yang berakad terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan
penyewa/ pengguna jasa.
c. Objek akad ijarah adalah manfaat dan sewa, dan manfaat jasa dan upah.
2. Ketentuan Objek Ijarah
a. Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
b. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
c. Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
d. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
e. Manfaat harrus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan
jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
f. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya.
Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
g. Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS
sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli
dapat pula dijadikan sewaatau upah dalam ijarah.
h. Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang
sama dengan objek kontrak.
i. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan
dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
Perlakuan akuntansi terhadap ijarah, apabila LKS sebagai pemilik objek ijarah
berkaitan dengan perolehan asset ijarah, penerimaan asset ijarah, penyusutan sewa
ijarah dan perbaikan asset ijarah.
3. Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah
a. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang dan jasa:
1. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan.
2. Menanggung biaya pemeliharaan barang.
3. Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
b. Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang dan atau jasa:
1. Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keuthan
barang serta menggunakannya sesuai kontrak.
2. Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil)
3. Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan
yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam
menjaganya, dan ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut
C. Hak dan Kewajiban Kedua Belah Pihak

Apa saja kewajiban penyewa dan pihak yang menyewakan? Pihak yang menyewakan
wajib mempersiapkan barang yang disewakan untuk dapat digunakan secara optimal oleh
penyewa. Misalnya, mobil yang disewa ternyata tidak dapat digunakan karena akinya lemah,
maka yang menyewakan wajib menggantinya. Bila yang menyewakan tidak dapat
memperbaikinya, penyewa mempunyai pilihan untuk membatalkan akad atau menerima
manfaat yang rusak. Bila demikian keadaannya, apakah harga sewa masih harus dibayar
penuh? Sebagian ulama berpendapat, bila penyewa tidak membatalkan akad, harga sewa
harus dibayar penuh (Mula
Khasra, Syarh Al-Durr, 3:278-279, dan Al-Muhattab, 2:405). Sebagian ulama lain
berpendapat, harga sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan kerusakan.
Penyewa wajib menggunakan barang yang disewakan menurut syarat-syarat akad atau
menurut kalaziman penggunaannya. Penyewa juga wajib menjaga barang yang disewakan
agar tetap utuh. Bagaimana dengan perawatan barang yang disewa? Secara prinsip tidak
boleh dinyatakan dalam akad bahwa penyewa bertanggung jawab atas perawatan karena ini
berarti penyewa bertanggung jawab atas jumlah yang tidak pasti (gharar). Oleh karena itu,
ulama berpendapat bahwa bila penyewa diminta untuk melakukan perawatan, ia berhak untuk
mendapatkan upada dan biaya yang wajar untuk pekerjaannya itu. Bila penyewa melakukan
perawatan atas kehendaknya sendiri, ini dianggap sebagai hadiah dari penyewa dan ia tidak
dapat meminta pembayaran apapun (Al-Fatawa Al-Hindiyah, 4:443; Al-Buhuti, Kasyful
Qina’, 4;416; Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, 5:264-256).

D. Kesepakatan Mengenai Harga Sewa


Misalnya, dikatakan, “Saya sewakan mobil ini selama satu bulan dengan harga sewa Rp
X.” Bila penyewa ingin memperpanjang masa sewa, dapat saja harga sewanya berubah.
Bahkan, “pihak yang menyewakan dapat saja meminta harga sewa dua kali lipat daripada
sebelumnya. Sebaliknya, penyewa dapat saja menawar setengah harga sewa sebelumnya.
Semuanya tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak: penyewa dan pihak yang
menyewakan. Namun, dalam periode pertama telah disepakati harga sewanya, itulah
kesepakatannya. Mayoritas ulama mengatakan, “Syarat-syarat yang berlaku bagi harga jual
berlaku juga bagi harga sewa” (Al-Dardir, Syarh Al-Shagir, 4:59; Al-Ramli, Nihayatul
Muhtaj, 5:322, Ibnu Qudhamah, Al-Mughni,5:327).
Bagaimana dengan praktik para penjahit, misalnya menjelang lebaran, yang menentukan
harga jahit makin tinggi? Ulama mazhab memberikan keleluasaan dalam menentukan harga
sewa semacam itu. Al-Jaziri mencontohkan, “Jika Anda menjahitkan bajuku hari ini, upahnya
satu dirham; jika Anda menjahit bajuku besok, upahnya setengah dirham. Jika Anda tinggal
di rumahini sebagai tukang besi, sewanya sepuluh dirham; jika Anda tinggal di rumah ini
sebagai penjual minyak wangi, sewanya lima dirham.”
E. Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT)
Bai’u wal Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT) merupakan rangkaian dua buah akad,
yakni bai’u merupakan akad jual beli, dan IMBT merupakan kombinasi antara sewa-
menyewa (ijarah) dan jual atau hibah pada akhir masa sewa. Dalam ijarah muntahia bit
tamlik, perpindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut ini.
1. Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada
akhir masa sewa;
2. Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan
tersebut pada akhir masa sewa.
Pilihan untuk menjual barang pada akhir masa sewa (alternati 1) biasanya diambil bila
kemapuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Pilihan untuk
menghibahkan barang pada akhir masa sewa (alternatif 2) biasanya diambil bila kemapuan
finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar.
Pada Bai’u wal Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT) dengan sumber pembiayaan dari
Unrestricted Investment Account (URIA), pembayaran oleh nasabah dilakukan secara
bulanan. Hal ini karena pihak bank harus mempunyai cash in setiap bulan untuk memberikan
bagi hasil kepada para nasabah yang dilakukan serta bulanan juga.
Fatwa MUI tentang IMBT, antara lain:
1. Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad
ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau
pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.
2. Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’ad yang
hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad
pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.
Pembiayaan IMBT tidak sama dengan IMBT, begitupun IMBT tidak sama dengan sewa
beli dan tidak sama pula dengan financial leasing. Ada pun berbagai persamaan dan
perbedaan tersebut, antara lain:
1. Dalam sewa beli, lease tomatis jadi pemilik barang di akhir masa sewa, sedangkan
pada IMBT, janji pemindahan kepemilikan dilakukan awal akad ijarah adalah wa’ad
(janji) yang hukumnya tidak mengikat. Bila jani itu ingin dilaksanakan, maka harus
ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai. Pada
financial leasing, kepemilikan lease tersebut hanya terjadi bila hak opsinya
dilaksanakan oleh lease.
2. Angsuran bulanan IMBT yang dibayarkan nasabah dengan prinsip pembiayaan IMBT
paling tidak mempunyai dua pilihan, sebagai berikut:
a. Memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa
ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa telah nihil.
b. Tidak memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir
masa ijarah, nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa tidak nihil (nilai
residu).
3. Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai perolehan barang
modal oleh lease dan barang tersebut tidak berasal dari pihak lessor, tetapi dari pihak
ketiga atau dari pihak lease sendiri. Pada sewa beli, lessor bermaksud melakukan
semacam investasi dengan barang yang disewakannya itu dengan uang sewa sebagai
keuntunganya.
4. Pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang untuk membiayai transaksi dengan
prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu sendiri.
5. Financial leasing boleh dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sedangkan sewa beli
tidak termasuk kegiatan lembaga pembiayaan.
Penyajian objek sewa yang dibeli untuk disewakan kembali disajikan dalam neraca pada
pos aktiva ijarah. Aktiva ijarah merupakan aktiva yang menjadi objek transaksi sewa (ijarah)
dan dicatat di neraca sebesar harga perolehan dikurangi akumulasi penyusutan.
Penyusutan IMBT atau amortasi untuk pembiayaan IMBT mengacu pada standar
akuntansi keuangan yang berlaku pada Bank Syariah. Kebijakan penyusutan atau amortasi
yang dipilih harus konsisten dan mencerminkan pola konsumsi yang diharapkan dari manfaat
ekonomi di masa depan dari objek ijarah.
Asset pada IMBT selama maa sewa masih dicatat pada neraca mua’jir, tetapi mua’jir
tidak membebankan beban penyusutan pada laba ruginya, sama seperti fiscal. Pengakuan
asset yang disewakan pada IMBT berbeda dengan Financial Leasing, dimana pada financial
leasing asset yang disewakan telah diakui pada lease (penyewa) dan penyusutan dilakukan
oleh lease. Uang muka pembayaran sewa aktiva ijarah disajikan dalam pos aktiva lain-lain.
Tunggakan pendapatn sewa disajikan dalam pos piutang pendapatan ijarah. Piutang ijarah
adalah tagihan yang timbul karena adanya pendapatan sewa yang belum diterima oleh LKS
sebagai pemilik objek sewa dari transaksi ijarah atau ijarah Muntahiyah Bittamlik.
Pemindahan objek sewa dapat terjadi LKS dan Bank Syariah dengan posisi sebagai pemilik
objek sewa dan pemakai objek sewa.
F. Ijarah dan Leasing
Karena ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan
kepemilikan, maka banyak orang yang menyamakan ijarah ini dengan leasing. Ini terjadi
karena kedua istilah tersebuut sama-sama mengacu kepada hal sewa-menyewa. Menyamakan
ijarah dengan leasing, ada beberapa karakteristik yang membedakannya.
Berikut ini persamaan ijarah dan leasing:
1. Memindahkan hak guna sampai waktu tertentu.
2. Tidak mengalihkan kepemilikan barang.
3. Tujuannya mengharapkan keuntungan.
4. Perhitungan ujrah pada ijarah hampir sama dengan perhitungan Lease Payment pada
operating lease.
Adapun perbedaan diantara ijarah dan leasing, yaitu sebagai berikut:
1. Akad atau niat pada operating lease hanyalah dapat menggunakan aktiva tertentu
dengan pembayaran sewa tertentu.
2. Akad pada ijarah terdiri dari Qardh dan bagi hasil.

G. Alur Transaksi Ijarah dan IMBT


Alur transaksi ijarah dan IMBT yaitu; pertama, nasabah mengajukann permohonan ijarah
dengan mengisi formulir permohonan. Berbagai informasi yang diberikan selanjutnya
diverifikasi kebenarannya dan analisis kelayakannya oleh bank syariah. Bagi nasabah yang
dianggap layak, selanjutnya diadakan perikatan dalam bentuk penandatanganan kontrak
ijarah atau IMBT. Kedua, sebagaimana difatwakan oleh DSN, bank selanjutnya menyediakan
objek sewa yang akan digunakan oleh kepada nasabah. Bank dapat mewakilkan kepada
nasabah untuk mencarikan barang atau jasa yang akan disewa nasabah untuk selanjutnya
dibeli atau dibayar oleh bank syariah. Ketiga, nasabah menggunakan barang atau jasa yang
disewakan sebagaimana yang telah disepakati dalam kontrak. Selama penggunaan objek
sewa, nasabah menjaga dan menanggung biaya pemeliharaan barang yang disewa sesuai
kesepakatan. Sekiranya terjadi kerusakan bukan karena kesalahan penyewa, maka bank
syariah sebagai pemberi sewa akan menanggung biaya perbaikannya. Keempat, nasabah
penyewa membayar fee sewa kepada bank syariah sesuai dengan kesepakatan akad sewa.
Kelima, pada transaksi IMBT, setelah masa ijarah selesai, bank sebagai pemilik barang dapat
melakukan pengalihan hak milik kepada penyewa.
H. Sukuk Ijarah
Sukuk ijarah merupakan surat berharga yang merepresentasikan kepemilikan penyertaan
atas asset yang disewakan. Sukuk ini memberikan hak kepada para pemegangnya untuk
mendapatkan uang sewa, serta hak untuk mengalihkan kepemilikan berdasarkan penyertaan
yang mereka miliki tanpa memengaruhi hak si penyewa, dengan kata lain sukuk ini dapat
dijualbelikan.
Para pemilik sukuk menanggung seluruh biaya perawatan dan kerusakan dari asset yang
dimiliki berdasarkan proporsi kepemilikan mereka. Sukuk adalah sertifikat partisipasi islami
yang dapat diperdagangkan berdasarkan kepemilikan dan pertukaran dari asset yang
disepakati bersama. Suku ijarah, kontrak yang mendasarinya adalah ijarah yaitu sewa
menyewa (leasing) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sukuk ijarah tidak boleh bertentangan dengan syariah, seperti
1. Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
2. Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi
konvensional.
3. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan
minuman haram.
4. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang
ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat (Fatwa No. 20 DSN-
MUI/IV/2001).
5. Keuntungan yang akan dibagikan oleh penerbit sukuk ijarah harus bersumber dari
hasil usaha/pengelolaan suku ijarah itu sendiri.
Untuk dapat melakukan kontrak sukuk berbasisi ijarah, para investor, penerbit sukuk, dan
pihak terkait lainnya wajib memenuhi sejumlah persyaratan tertentu.
1. Pertama, kedua belah pihak yang akan melakukan akad harus berkemampuan dan
berakal.
2. Kedua, akil baligh sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Asy Syafi’i dan
Hambali, sehingga berakad dengan anak kecil dinyatakan tidak sah.
Selanjutnya, agar transaksi berbasis ijarah tersebut menjadi sah (valid), diperlukan pula
sejumlah ketentuan tambahan.
1. Adanya kerelaan kedua belah pihak yang melakukan akad sebagaimana Firman Allah
SWT pada Surat An-Nisa ayat 29.
2. Mengetahui secara sempurrna manfaat dari barang yang menjadi objek akad, antara
lain untuk mencegah terjadinya perselisihan.
3. Barang atau asset yang menjadi objek akad dapat dimanfaatkan sesuai dengan kriteria,
realita dan syara.
4. Asset tersebut sudah jelas, nyata, dan dimiliki penerbit sukuk sehingga dapat
disewakan untuk diambil manfaatnya.
5. Sewa-menyewa yang dilakukan bukan untuk sesuatu yang diharamkan.
Sukuk ijarah dapat diperjualbelikan di pasar modal dengan harga yang ditentukan oleh
kekuatan pasar. Kegiatan ekonomi, investasi, dan resiko yang berhubungan dengan
kesanggupan penyewa untuk membayar harga sewa sera biaya penjaminan dan pemeliharaan
asset menentukan harga sukuk ijarah di pasar keuangan. Namun demikian, sukuk ijarah
menawarkan suatu bentuk surat berharga yang fleksible dan marketable dibandingkan jenis
sukuk lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Definisi akad Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa
diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu. Para fuqaha sepakat bahwa ijarah
merupakan akad yang diperbolehkan oleh syara’, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar
Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan.
Mereka tidak memperbolehkan Ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan
manfaat pada saat dilakukan akad, tidak bisa diserahterimakan. Rukun ijarah ada 4 yaitu:
‘Aqid ( orang yang akad), Shigat akad, Ujrah (upah), Manfaat.
Syarat ijarah terdiri dari empat macam , sebagaimana syarat dalam jual beli , yaitu syarat
Al-inqad ( terjadinya akad), syarat an-nafadz ( syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan
syarat lazim Al Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik (financial leasing with purchase option) atau
Akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan. Definisinya : Istilah ini tersusun
dari dua kata : At-ta’jiir / al-ijaaroh (sewa), At-tamliik (kepemilikan).

B. Saran
Dalam pelaksanaan ijarah harus ada akadnya. Antara pemberi sewa dan menyewa harus
mengikuti perjanjiannya satu sama lain dan orang yang menyewa barang harus bertanggung
jawab atas barang yang ia sewa. Kegiatan ijarah harus memenuhi rukun dan syarat yang telah
ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyono, Djoko. 2015. Perbankan dan Lembaga Keuangan. Yogyakarta: ANDI
Rizal Yaya, dkk. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer. Jakarta:
Salemba Empat.
Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal. 2008. Islamic Financial Management. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
Veithzal Rivai, Islamic Financial Management, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.
176. Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta,
2015, hlm. 279-282. Veithzal Rivai, Islamic Financial Management, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2008, hlm. 177-178. Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan
Syariah, ANDI, Yogyakarta, 2015, hlm. 288. Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga
Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta, 2015, hlm. 290-295. Veithzal Rivai, Islamic
Financial Management, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 179. Djoko Mulyono,
Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta, 2015, hlm. 282-283.Yaya
Rizal, Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer, Salemba Empat,
Jakarta, 2009, hlm. 289-290. Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah,
ANDI, Yogyakarta, 2015, hlm. 307-
308. Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta,
2015, hlm. 309-310.

Anda mungkin juga menyukai