.Trashed 1637338575 Jiptummpp GDL Renitania2 50155 3 Babii
.Trashed 1637338575 Jiptummpp GDL Renitania2 50155 3 Babii
TINJAUAN PUSTAKA
6
7
Gambar 2.3 Dinding posterior abdomen, memperlihatkan ren dan ureter in situ.
(Snell, 2007)
10
Ginjal bagian kanan terletak sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal bagian kiri,
karena adanya lobus hepatis dexter yang besar. Setiap ginjal mendapat satu arteri
renalis dan satu vena renalis, yang masing-masing masuk dan keluar ginjal di indentasi
(cekungan) media ginjal yang menyebabkan organ ini berbentuk seperti kacang. Ginjal
bekerja pada plasma yang mengalir melaluinya untuk menghasilkan urin, menghemat
bahan-bahan yang akan dipertahankan di dalam tubuh dan mengeluarkan bahan-bahan
yang tidak diinginkan melalui urin.
menonjol dari gangguan metabolisme ini adalah pasien dengan IDDM dapat
berkembang cepat menjadi diabetik ketoasidosis dengan tidak adanya pemberian
insulin. Meskipun kekurangan insulin adalah masalah utama dalam IDDM, ada juga
masalah dalam pemberian insulin. Ada beberapa mekanisme biokimia yang
menjelaskan penurunan respon jaringan terhadap insulin. Kekurangan insulin
menyebabkan lipolisis yang tidak terkendali dan peningkatan kadar asam lemak bebas
dalam plasma yang menekan metabolisme glukosa di jaringan perifer seperti otot
skeletal. Hal ini mengganggu penggunaan glukosa dan kekurangan insulin juga
menurunkan tanggapan dari sejumlah gen yang diperlukan jaringan target untuk
memberikan respon secara normal terhadap insulin seperti glukokinase di hati dan
transporter glukosa GLUT 4 dalam jaringan adiposa (Ozougwu et al., 2013).
Pada individu dengan NIDDM, kadar insulin yang beredar dapat dideteksi tidak
seperti pasien dengan IDDM. Berdasarkan oral glucose tolerance test (OGTT),
elemen-elemen penting dari NIDDM dapat dibagi menjadi empat kelompok berbeda:
1. Penderita dengan toleransi glukosa normal
2. Chemical diabetes (disebut gangguan toleransi glukosa)
3. Diabetes dengan hiperglikemia puasa minimal (glukosa plasma puasa kurang
dari 140 mg/dL)
4. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan hiperglikemia puasa yang jelas
(glukosa plasma puasa lebih besar dari 140 mg/dL)
Individu dengan gangguan toleransi glukosa memiliki hiperglikemia meskipun
memiliki kadar insulin plasma paling tinggi, hal ini menunjukkan bahwa terjadi
resistensi terhadap aksi insulin. Dalam perkembangan dari gangguan toleransi glukosa
menuju diabetes mellitus, tingkat penurunan insulin menunjukkan bahwa pasien
dengan NIDDM mengalami penurunan sekresi insulin. Resistensi insulin dan defisiensi
insulin adalah hal umum yang terjadi pada rata-rata pasien NIDDM (Ozougwu et al.,
2013).
16
prekursor dari AGE dan jalur PKC yang dibahas pada bagian selanjutnya. Akhirnya,
produk akhir dari jalur poliol, fruktosa, juga baru-baru muncul sebagai nephrotoxin
potensial. Dalam murine model diabetes, produksi endogen dari fruktosa melalui jalur
poliol menyebabkan peningkatan proteinuria, mengurangi GFR, dan meningkatkan
cedera glomerulus dan tubulus proksimal bila dibandingkan dengan tikus dengan
tingkat fruktosa endogen yang lebih rendah (Toth-Manikowski & Atta., 2015).
Gambar 2.6 Reaksi pada kondisi hiperglikemia (Toth-Manikowski & Atta., 2015)
meningkatkan komponen matriks mesangial, dua ciri patologis dari DKD, sedangkan
TNF-α merupakan sitokin inflamasi (Toth-Manikowski & Atta., 2015).
Gambar 2.7 Gambaran jalur patologis pada nefropati diabetik (Lim., 2014)
placebo. Pada percobaan lain, losartan menurunkan resiko ESRD atau doubling serum
kreatinin 25% - 28% dibandingkan dengan placebo. Seperti studi penggunaan captopril
pada DM tipe 1, penurunan level albuminuria dihubungkan dengan penurunan resiko
ESRD. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa olmesartan lebih efektif dalam
menunda onset mikroalbuminuria dibandingkan dengan placebo. Namun, olmesartan
hanya sedikit menurunkan tekanan darah dan terdapat tingkat yang lebih tinggi dari
kejadian kardiovaskular fatal pada pasien dengan riwayat penyakit arteri koroner (Lim,
2014).
2.4.5.3. Anti-lipid Agent
Pada sebuah penelitian pada pasien DM tipe 2, level apolipoprotein B dan
kolesterol HDL adalah faktor risiko independen untuk progresi yang mengarah ke
nefropati dalam 7 tahun follow up. Menurut data Joslin Diabetes Center dari 439 DM
tipe 1 juga menunjukkan bahwa kadar kolesterol tinggi (>220 mg/dL) dikaitkan dengan
perkembangan nefropati diabetik. Saat ini, obat golongan statin sudah
direkomendasikan untuk nefropati diabetik di atas usia 40 tahun, terlepas dari tingkat
lipid dasar mereka. Hal ini terutama untuk kepentingan kardiovaskular daripada
penyakit ginjal (Lim, 2014).
2.4.5.4. Transplantasi
Transplantasi pankreas / ginjal simultan adalah treatment yang efektif untuk
penderita DM tipe 1 dengan ESRD, dengan sebagian besar mencapai insulin
independence dan mencegah kekambuhan nefropati diabetik pada allograft. Pada
pasien dengan CKD setelah 10 tahun transplantasi pankreas saja, pasien dengan
normoglikemia berkelanjutan menunjukkan penurunan albuminuria dan pembalikan
lesi nefropati diabetik pada biopsi serial, termasuk regresi penebalan membran basal
glomerulus dan deposisi matriks mesangial. Beberapa manfaat tersebut dapat
diimbangi dengan fibrosis interstisial fibrosis dan arteriol hyalinosis karena
penggunaan calcineurin inhibitor (misalnya, siklosporin). Namun, perlu dicatat bahwa
remodeling turbulointerstitial pada 10 tahun telah diperbaiki beberapa deposisi kolagen
interstitial dicatat pada 5 tahun, meskipun perubahan vaskular tidak terpengaruh (Lim,
2014).
33
Evedence
Rekomendasi Terapi
Level
Optimalkan kontrol glukosa untuk mengurangi risiko atau memperlambat
A
perkembangan penyakit Diabetic Kidney Disease
Optimalkan kontrol tekanan darah (< 140/90 mmHg) untuk mengurangi
A
risiko atau memperlambat perkembangan penyakit Diabetic Kidney Disease
Untuk pasien dengan Diabetic Kidney Disease nondialysis-dependent,
asupan protein harus 0,8 g/kg berat badan per hari. Untuk pasien yang
A
menjalani dialysis, asupan protein dengan tingkat yang lebih tinggi harus
dipertimbangkan.
Baik ACE inhibitor atau ARB direkomendasikan untuk terapi pada pasien
yang tidak hamil dengan diabetes dan peningkatan ekskresi albumin dalam B
urin (30-299 mg/hari)
Baik ACE inhibitor atau ARB sangat direkomendasikan untuk pasien
dengan ekskresi albumin dalam urin ≥ 300 mg/hari dan/atau taksiran GFR A
2
< 60 mL/min/1,73 m
Monitoring secara periodik serum kreatinin dan kadar kalium untuk
mengetahui adanya peningkatan kreatinin atau perubahan pada kadar E
kalium ketika ACE inhibitor, ARB atau diuretik digunakan.
Monitoring secara berkelanjutan rasio albumin-kreatinin urin pada pasien
dengan albuminuria yang diterapi dengan ACE inhibitor atau ARB adalah
E
hal yang rasional untuk menilai respon terhadap terapi dan perkembangan
penyakit Diabetic Kidney Disease
ACE inhibitor dan ARB tidak direkomendasikan untuk prevensi primer
pada DKD pada pasien dengan diabetes yang memiliki tekanan darah
B
normal, rasio albumin kreatini normal (< 30 mg/g) dan taksiran GFR yang
normal.
Ketika taksiran GFR < 60 mL/min/1,73 m2, mengevaluasi dan mengelola
E
potensi komplikasi DKD
Pasien harus dirujuk untuk evaluasi untuk terapi renal replacement jika
A
mereka memiliki taksiran GFR < 30 mL/min/1,73 m2.
Segera merujuk ke dokter berpengalaman dalam perawatan penyakit ginjal
untuk ketidakpastian tentang etiologi penyakit ginjal, masalah manajemen B
yang sulit dan perkembangan penyakit ginjal yang cepat
(American Diabetes Association., 2016)
34
2.5. Albumin
2.5.1. Informasi Umum dan Sifat Biologis Albumin
Yang dimaksud dengan albumin dalam skripsi ini adalah albumin (human) 5%,
albumin (human) 20%, albumin (human) 25%. Sinonim albumin adalah human
albumin dan normal human serum albumin. Albumin adalah protein plasma yang
paling banyak dalam darah manusia (35-50 g/L serum manusia) dengan berat molekul
66,5 kDa. Albumin disintesis dalam hepatosit hati dengan ~ 10-15 g albumin
diproduksi dan dilepaskan ke ruang vaskuler setiap harinya. Sirkulasi di dalam darah
diproses untuk jangka ~ 19 hari. Waktu paruh yang panjang ini diperkirakan terutama
karena neonatal Fc receptor (FcRn)-mediated recycling, dan pembebasan
Megalin/Cubilin-complex dari klirens ginjal. Penghentian sirkulasi biasanya
disebabkan oleh katabolisme albumin di organ seperti kulit dan otot. Modifikasi
albumin, misalnya dengan glikosilasi non-enzimatik, diperkirakan memicu degradasi
lisosomal. Albumin berisi beberapa kantong ikatan hidropobik dan secara alami
berfungsi sebagai transporter dari berbagai ligan yang berbeda seperti asam lemak dan
steroid serta obat-obatan yang berbeda. Selain itu, permukaan albumin bermuatan
negatif sehingga sangat larut dalam air (PPARSDS, 2003 dan Larsen et al, 2016).
2.5.2. Ekivalensi Albumin dengan Plasma
Berikut adalah nilai ekivalensi albumin dengan plasma (PPARSDS, 2003)
1) 25 g Albumin ekivalen osmotik dengan lebih kurang 2 unit (500 ml) plasma
beku segar (fresh frozen plasma).
2) 100 ml albumin 25% sama dengan yang dikandung oleh protein plasma dari
500 ml plasma atau 2 unit darah utuh (whole blood).
2.5.3. Penggunaan Albumin Dalam Klinik
Albumin dipakai sebagai terapi suplemen pada kejadian hipoproteinemia (yang
disebabkan oleh penurunan produksi maupun oleh peningkatan destruksi/kehilangan
albumin) yang membahayakan jiwa penderita akibat terjadinya gangguan
keseimbangan cairan/tekanan onkotik dan rangkaian penyakit atau kelainan yang
ditimbulkannya. Keadaan hipoproteinemia (hipoalbuminemia) saja bukan merupakan
indikasi pemberian albumin. Hal ini perlu dipertimbangkan sebelum memberikan
35
albumin, pada keadaan seperti: multitrauma dan sakit kritis, luka bakar, gangguan
peredaran darah otak, preeklamsia/eklamsia, asites, sindroma nefrotik, gagal ginjal
dengan asites, penyakit ginjal anak, penyakit hati anak, hipotensi saat hemodialisa,
pankreatitis akut (PPARSDS, 2003).
2.5.4. Fungsi dan Penggunaan Albumin
Fungsi fisiologis utama Albumin adalah membantu mempertahankan tekanan
osmotik koloid darah, namun beberapa fungsi lain juga telah ditemukan. Fungsi
tersebut termasuk sebagai protein transpor dari beberapa macam substansi, sebagai
antioksidan dan antiinflamasi. Berdasarkan fungsi tersebut, albumin dapat digunakan
pada beberapa kondisi klinis seperti pasien dengan sirosis dan pasien dengan End-stage
Liver Disease, sindroma nefrotik, kondisi luka bakar yang berat (Shargel et al., 2005
dan Lee, 2012).
Berkaitan dengan ikatan obat dengan protein, sebagian besar obat terikat protein
plasma secara reversibel sampai tingkat tertentu. Apabila seorang pasien mempunyai
konsentrasi protein plasma rendah, maka untuk setiap pemberian dosis obat,
konsentrasi, obat bioaktif bebas kemungkinan lebih tinggi dari yang diharapkan.
Konsentrasi protein plasma dikendalikan oleh sejumlah variable yang meliputi (1)
sintesis protein; (2) katabolisme protein; (3) distribusi albumin di antara ruang
intravaskuler dan ekstravaskuler dan (4) eliminasi protein plasma yang berlebihan
terutama albumin (Shargel et al., 2005).
Kekurangan albumin dalam serum dapat mempengaruhi pengikatan dan
pengangkutan senyawa-senyawa endogen dan eksogen, termasuk obat-obatan, karena
distribusi obat ke seluruh tubuh pengikatannya melalui fraksi albumin (Nugroho,
2012). Kurangnya albumin dari rentang normal disebut hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia adalah kondisi dimana level albumin dalam serum < 35 g/L
(Dziedzic et al., 2007). Hipoalbuminemia seringkali ditangani dengan pemberian
human albumin (HA). HA secara luas digunakan untuk penggantian volume atau
koreksi hipoalbuminemia. Peran HA masih kontroversial dan penggunaannya lebih
didasarkan pada kebiasaan dari pada dasar ilmiah (Boldt, 2010).
36
Gambar 2.8 Struktur kristal HAS (Human Serum Albumin) (Larsen et al, 2016)
37
IV administration Hanya untuk IV, digunakan dalam 4 jam setelah vial dibuka,
larutan yang telah dibuka lebih dari 4 jam harus dibuang.
Albumin 25% bisa diberikan tanpa dilarutkan atau dengan
dilarutkan pada NS (PPARSDS., 2003)
Dosis dan Laju infusi Rekomendasi laju infus secara umum adalah 2 ml/menit dalam
(infusion rate) 4 jam (Zhou et al., 2013).
beberapa efek metabolik selain ototoksisitas. Untuk alasan ini, banyak dokter meyakini
untuk menggabungkan loop diuretik dosis rendah sampai sedang dengan albumin
untuk menginduksi diuresis, natriuresis dan penurunan berat badan (Duffy et al., 2015).
Berdasarkan PPARSDS 2003, pada pasien dengan nefrotik sindrom albumin
dikombinasikan dengan furosemide (20 ml albumin 20% untuk 60 mg furosemide,
dicampur). Pada pasien CKD dengan hipoalbuminemia, kombinasi furosemide dan
albumin memiliki efikasi superior jangka pendek yang lebih dibandingkan dengan
furosemide saja dalam meningkatkan diuresis air dan natrium (Phakdeekitcharoen dan
Boonyawat, 2012). Loop diuretik seperti furosemide terikat kuat dengan albumin
(>90%) dan karena itu furosemide tidak disaring di glomerulus. Namun, disekresi di
tubulus proksimal melalui transporter asam organik ke dalam lumen. Pada pasien
dengan hipoalbuminemia (konsentrasi albumin serum <2 g/dL), furosemide kurang
terikat dengan albumin dan obat bebas berdifusi ke dalam jaringan dengan peningkatan
resultan volume distribusi. Hal ini menyebabkan kurangnya pengiriman ke tubulus
proksimal untuk sekresi ke dalam lumen. Dengan tujuan untuk mengirimkan jumlah
substansial obat ke tubulus proksimal, pencampuran furosemide dengan albumin
diasumsikan untuk meningkatkan pengiriman untuk sekresinya (Duffy et al., 2015).
Dengan alasan yang sama berdasarkan penelitian yang lain menyatakan bahwa setelah
pemberian resusitasi cairan pertama, diberikan infus albumin 20% (0,2 g/ml) iv diikuti
dengan furosemide setelah pemberian infus albumin (Marzuillo et al., 2016).
2.7. Alternatif Pengganti Albumin
Hipoalbuminemia menyebabkan 90% pasien rawat inap di rumah sakit lebih
lama di rumah sakit dibandingkan pasien dengan status gizi yang baik. Upaya untuk
mengobati hipoalbuminemia adalah pemberian Serum Albumin Manusia (HSA), yang
sampai saat ini masih merupakan pilihan yang mahal. Ekstraksi albumin ikan gabus
(Channa striatus) untuk memproduksi konsentrat protein albumin diharapkan menjadi
alternatif sumber albumin yang lebih murah untuk penggunaan klinis (Mustafa et al.,
2012 dan Asfar et al., 2014).
Ekstrak ikan gabus (Channa striatus) secara signifikan meningkatkan kadar
albumin pada kondisi hipoalbuminemia dan mempercepat proses penyembuhan luka
42
pada pasien pasca operasi. Potensi ekstrak dalam sintesis jaringan, penyembuhan luka,
dan menghambat produksi radikal bebas yang penting dalam pengobatan regeneratif
serta agen anti-penuaan. Topik ini baru-baru ini sebagian besar dibahas, termasuk
dalam "The 7 Konferensi Asia Pasifik Anti-Aging dan Regenerative Medicine", di Bali
Oktober 2008. Ekstrak ikan gabus mengandung protein dengan albumin sebagai fraksi
mayor, lemak, glukosa dan beberapa mineral (Zn, Cu dan Fe) (Gambar 2.9) (Mustafa
et al., 2012).
acid aman digunakan, tidak menyebabkan malnutrisi dan dapat memperbaiki kelainan
metabolik yang terkait dengan insufisiensi ginjal (Aparicio, 2005).
No Komposisi Jumlah
1 (RS)- -3-methyl-2-oxo-valerate
67 mg
(DL-a-isoleucine ketoanalog) the calcium salt
2 (DL-Izolosin a-ketoanalogu) kalsiyum tuzu 4-
methyl-2-oxo-valeric acid 101 mg
(A-ketoanalog Leucine), calcium salt
3 2-oxo-3-phenyl propionic acid
68 mg
(A-ketoanalog Phenylalanine), calcium salt
4 3-methyl-2-oxo-butyric acid
86 mg
(A-ketoanalog Valine), calcium salt
5 RS-2-hydroxy-4-(methylthio)-butyric acid
(Alpha-hydroxy analog of Methionine), 59 mg
calcium salt
6 L-lysine acetate
105 mg
(75 mg L-lysine-eq)
7 L-threonine 53 mg
8 L-tryptophan 23 mg
9 L-histidine 38 mg
10 L-tyrosine 30 mg
11 Total nitrogen content for each tablet 36 mg
12 The amount of calcium for each tablet 1.25 mmoL = 50 mg
(Sarikaya et al., 2015)