Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN REKAYASA IDE

MK. PENDIDIKAN MASYARAKAT


PRODI S1 PENDIDIKAN BK - FIP

SKOR NILAI :

PENDIDIKAN MASYARAKAT PESISIR

Ade Aulia Putri Nurelisnah Sanji Sitanggang


1211151002 121115004 1212451007

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Yang


Diampu Oleh Dosen Mata Kuliah Pendidikan
Masyarakat
Dra. ROSDIANA M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
SEPTEMBER 2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Setelah kita mengetahui bagaimana kondisi pedidikan masyarakat pesisir yang ternyata masih
buruk, apa sebenarnya yang menjadi penyebab buruknya kondisi ataupun taraf pendidikan masyarkat
pesisir?. Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan buruknya kondisi pendidikan masyarakat
pesisir, baik faktor ekonomi, faktor sosial, dan juga faktor lainnya.
Dari sisi ekonomi, mata pencaharian dari masyarakat pesisir sebagian besar adalah nelayan, dan
beberapa lagi bekerja dibidang industri laut lainnya seperti buruh rumput laut atau alga misalnya.
Nelayan bukanlah kelompok masyarakat yang selalu hidup berkecukupan. Kehidupan nelayan secara
aspek ekonomi masih jauh dari kelayakan yang diharapkan. Hal ini adalah faktor dari sistem bagi
hasil dari jenis nelayan atau tingkatan yang mereka emban. Karena dalam mata pencaharian mereka
yang kebanyakan adalah nelayan terdapat klasifikasi atas jenis nelayan. Nelayan dengan jenis
pengarap (buruh) merupakan nelayan yang bekerja dengan nelayan punggawa (juragan) dengan
ketentuan pembagian pendapatan antara 30%-40% pendapatan yang akan dimiliki buruh, sementara
50%-70% milik juragan. Sekilas pembagian tersebut terlihat adil, namun pada kenyataannya banyak
ketimpangan yang melingkupi penghasilan mereka. Sebagai contoh, nelayan buruh dengan nelayan
juragan memiliki pendapatan yang rentang rupiahnya cukup jauh yakni 60% nelayan juragan dan
40% bagi nelayan buruh, belum dibagi lagi dengan anggota melautnya yang terdiri dari beberapa
orang dan jika ada kerusakan pada kapal dan peralatan maka itu adalah tanggung jawab nelayan
buruh. Dengan kondisi ekonomi seperti ini ditambah dengan tanggungan rumah tangga yang tidak
sedikit, tentu sangat sulit bagi sebagian besar masyarakat pesisir untuk dapat membiayai pendidikan
anak-anaknya, apalagi untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi tentu sangat sulit.
Faktor sosial tentu memiliki peran besar dalam memengaruhi pola pikir dan kebiasaan
orangorang yang bersosialisasi di dalam suatu komunitas masyarakat. Demikian juga yang terjadi
pada komunitas masyarakat pesisir mengenai pola pikir atau sudut pandang mereka terhadap
pendidikan. Bagi orang tua tidak ada pilihan lain anak sebagai tumpuan harapan untuk membantu
mendapatkan nafkah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, di sisi lain anak perlu waktu untuk
menyelesaikan tugas-tugas belajar yang diberikan oleh guru dari sekolah. Orang tua kurang memberi
perhatian terhadap perkembangan pendidikan anak di sekolah, kalaupun ada itu hanya sekedar
bagaimana anak itu pulang dari sekolah kemudian turut serta ikut melaut, atau mengerjakan
pekerjaan lain yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Bagi para nelayan memang tidak ada
pilihan lain, karena pekerjaan yang berhadapan dengan ancaman gelombang laut, ombak cuaca, dan
kemungkinan terjadi karam saat akan melaut ke tengah lautan untuk menangkap ikan adalah
merupakan pekerjaan turun temurun tanpa pernah belajar sebagai nelayan yang moden. Pada usia
meningkat remaja anak nelayan mulai diajak berlayar dan ikut melaut. Anak nelayan turun melaut
pada pagi dan sore hari sesuai kondisi yang ditentukan juragan laut. Disini dapat dinilai bahwa
kesadaran masyarakat pesisir terhadap pendidikan anak dinilai masih rendah. Bahkan beberapa dari
mereka memiliki anggapa bahwa untuk menjadi nelayan tidak perlu ijazah atau sekolah tinggi-tinggi.
Kemudian untuk bekerja menjadi nelayan tak perlu juga repot-repot melamar membawa map yang
berisikan riwayat hidup atau ijazah bahkan tak sekolah pun bisa bekerja menjadi nelayan. Ini
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang tua yang sangat minim sekali sehingga tidak pernah
terpikirkan bagi mereka untuk menyekolahkan anaknya sampai kejenjang yang lebih tinggi, dan
karena orang tua juga kurang memahami arti pentingnya pendidikan bagi anak, hal ini dapat
dibuktikan dari sikap orang tua yang kurang memperhatikan pendidikan bagi anak dengan
membiarkan anaknya ikut bekerja dilaut padahal seharusnya anak duduk dibangku sekolah bukan
malah disibukkan untuk ikut bekerja mencari uang. Hal-hal seperti inilah yang membuat fokus
mereka terhadap pendidikan menjadi terpecah, bahkan tidak lagi menganggap pendidikan menjadi
hal yang utama bagi mereka generasi-generasi baru dalam komunitas masyarakat pesisir.

1.2 Tujuan dan manfaat


Adapun tujuan dalam rekayasa ide ini adalah untuk mengetahu Tujuan :
 Untuk mengetahui dan membahas tentang Bagaimana kondisi pendidikan masyarakat pesisir!
 Menguraikan Apa yang menjadi permasalahan & yang menjadi penyebab buruknya kondisi
pendidikan masyarakat
pesisir!
 Menguraikan berbagai solusi atau alternatif untuk mengatasi permasalahan pendidikanbagi
masyarakat pesisir

Adapun manfaat dalam rekayasa ide ini yaitu:


a. Agar kita dapat memahami dan menyerap dalam kepribadian setiap org bagaimana pernanan
Pendidikan dan bagaimana arti sesungguhnya Pendidikan.Pendidikan sejatinya merupakan hak
dasar bagi setiap individu. Pendidikan adalah sarana penumbuhan dan pengembangan dimensi-
dimensi kemanusiaan menuju terwujudnya kehidupan yang memposisikan manusia pada derajat
kemanusiaan yang baik.
b. Dengan mengetahui Berbagai faktor penyebab buruknya kondisi pendidikan masyarakat
pesisir,kita dapat mengatasinya dengan berbagai metode penelitian yg telah di uraikan dalam
makalh ini,baik dalam faktor ekonomi,sosial,budaya, maupun faktor lainnya.

c. Dalam memperbaiki taraf pendidikan masyarakat pesisir,Setidaknya ada beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk setidaknya memperbaiki taraf pendidikan masyarakat pesisir, diantaranya :
peningkatan kualitas guru, peningkatan materi, dan program pendidikan lifeskill. Materi harus
disesuaikan dengan kondisi masyarakat pesisir, yakni materi tentang kemaritiman. Program
pendidikan lifeskill merupakan pendidikan yang dapat memberikan bekal ketrampilan yang
praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan proses kerja peluang usaha dan potensi ekonomi atau
industri yang ada di masyarakat. Solusi ini bisa menjadi alternatif pendidikan yang dapat mereka
tempuh sehingga walaupun tidak memiliki biaya untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi,
mereka tetap bisa menerapkan hasil belajarnya di dalam kehidupannya.
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN

Sesuai dengan pemikiran dari kerarangkaian masalah dalam jurnal, Penddikan


menjadi perhatian penting dalam masyarakat yang sesuai dengan tujuan Millenium
Development Goal’s adalah program yang seharusnya dipriotitaskan pada masyarakat
pesisir,namun yang terjadi pada masyarakat pesisir pantai menjadi tujuan sampingan
yang ada pada pola atau pemikiran masing-masing keluarga.
Dan disimpulkan dalam Rangkaian Pendidikan dalam pendidikan masyarakat
pesisir,Rata-rata tingkat Pendidikan masyarakat pesisir berhenti sampai SMP atau SMA
saja, apalagi kendati Indonesia adalah negara maritim dengan belasan ribu pulau yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke dan surga bagi ribuan spesies laut, sayangnya di
tanah air tak ada sekolah tingkat dasar yang mengajarkan tentang ilmu kemaritiman dan
kelautan. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Ben Scmidt, Direktur Regional Asia
Tenggara dan Pasific Cambridge International Examinations. “Laut dan maritim
Indonesia begitu hebat. Namun sayang tidak diseimbangi dengan pelajaran maritime
science yang seharusnya sudah mulai dikenalkan sejak di sekolah tingkat dasar,” papar
Ben yang menilai ilmu maritim hanya diajarkan pada jenjang kuliah atau di perguruan
tinggi kemaritiman.
Selain dari itu, juga terdapat beberapa jurnal yang menunjukkan kondisi atau
gambaran pendidikan masyarakat pesisir diantaranya jurnal tulisan Sitti Aminah yang
dipublikasikan pada tahun 2016 yang menjelaskan angka partisipasi sekolah (aps) pada
masyarakat pesisir dan peran orang tua dalam pendidikan anak di Kecamatan Semarang
Utara, Kota Semarang tahun 2015, yang memperlihatkan bahwa angka partisipasi
sekolah di wilayah tersebut masih rendah dan sekaligus memperlihatkan bahwa dalam
hal pendidikan di wilayah tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, orang
tua memiliki pengaruh yang tinggi. Jurnal yang ditulis oleh Amiruddin Masri pada
tahun 2017 yang berjudul “Pendidikan Anak Nelayan Pesisir Pantai Donggala” juga
menyebutkan bahwa pada masyarakat pesisir yakni nelayan angka putus sekolah dinilai
tinggi. Anak-anak pesisir pantai umumnya menempuh pendidikan formal yang tersebar
di sepanjang pesisir panta. Sekolah-sekolah formal dijadikan sebagai sarana pendidikan
yang utama untuk mendapatkan ilmu yang lebih layak bagi mereka. Orang tua kurang
memberi perhatian terhadap perkembangan pendidikan anak di sekolah, kalaupun ada
itu hanya sekedar bagaimana anak itu pulang dari sekolah kemudian turut serta ikut
melaut atau mengerjakan pekerjaan lain yang umum dilakukan oleh masyarakat pesisir.
Bahkan, kondisi pendidikan masyarakat pesisir telah menjadi masalah sosial dalam
kehidupan masyarakat pesisir itu sendiri.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pendidikan Masyarakat Pesisir


a. Kondisi Pendidikan Masyarakat Pesisir
Kondisi pendidikan anak-anak di kawasan pesisir sejumlah pulau di Indonesia yang sangat
memprihatinkan. Penddikan menjadi perhatian penting dalam masyarakat yang sesuai dengan
tujuan Millenium Development Goal’s adalah program yang seharusnya dipriotitaskan pada
masyarakat pesisir,namun yang terjadi pada masyarakat pesisir pantai menjadi tujuan sampingan
yang ada pada pola atau pemikiran masing-masing keluarga. Hal ini terbukti dengan tingkat
Pendidikan yang rendah. Rata-rata tingkat Pendidikan masyarakat pesisir berhenti sampai SMP
atau SMA saja, apalagi kendati Indonesia adalah negara maritim dengan belasan ribu pulau yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke dan surga bagi ribuan spesies laut, sayangnya di tanah air
tak ada sekolah tingkat dasar yang mengajarkan tentang ilmu kemaritiman dan kelautan. Hal
tersebut disampaikan oleh Dr. Ben Scmidt, Direktur Regional Asia Tenggara dan Pasific
Cambridge International Examinations. “Laut dan maritim Indonesia begitu hebat. Namun sayang
tidak diseimbangi dengan pelajaran maritime science yang seharusnya sudah mulai dikenalkan
sejak di sekolah tingkat dasar,” papar Ben yang menilai ilmu maritim hanya diajarkan pada
jenjang kuliah atau di perguruan tinggi kemaritiman. Selain dari itu, juga terdapat beberapa jurnal
yang menunjukkan kondisi atau gambaran pendidikan masyarakat pesisir diantaranya jurnal
tulisan Sitti Aminah yang dipublikasikan pada tahun 2016 yang menjelaskan angka partisipasi
sekolah (aps) pada masyarakat pesisir dan peran orang tua dalam pendidikan anak di Kecamatan
Semarang Utara, Kota Semarang tahun 2015, yang memperlihatkan bahwa angka partisipasi
sekolah di wilayah tersebut masih rendah dan sekaligus memperlihatkan bahwa dalam hal
pendidikan di wilayah tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, orang tua memiliki
pengaruh yang tinggi. Jurnal yang ditulis oleh Amiruddin Masri pada tahun 2017 yang berjudul
“Pendidikan Anak Nelayan Pesisir Pantai Donggala” juga menyebutkan bahwa pada masyarakat
pesisir yakni nelayan angka putus sekolah dinilai tinggi. Anak-anak pesisir pantai umumnya
menempuh pendidikan formal yang tersebar di sepanjang pesisir panta. Sekolah-sekolah formal
dijadikan sebagai sarana pendidikan yang utama untuk mendapatkan ilmu yang lebih layak bagi
mereka. Orang tua kurang memberi perhatian terhadap perkembangan pendidikan anak di sekolah,
kalaupun ada itu hanya sekedar bagaimana anak itu pulang dari sekolah kemudian turut serta ikut
melaut atau mengerjakan pekerjaan lain yang umum dilakukan oleh masyarakat pesisir. Bahkan,
kondisi pendidikan masyarakat pesisir telah menjadi masalah sosial dalam kehidupan masyarakat
pesisir itu sendiri. Dari dua jurnal yang sama membahas pendidikan menyangkut masyarakat
pesisir namun di tempat yang berbeda tersebut, telah memberikan gambaran yang mirip satu sama
lain dimana kondisi pendidikan dalam komunitas masyarakat pesisir masih memprihatinkan.
Setidaknya gambaran kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan masyarakat pesisir di daerah
yang lainnya mengingat pola kehidupan masyarakat pesisir pada umumnya hampir mirip satu
sama lain.

3.2. Masalah Pendidikan Masyarakat Pesisir


Setelah kita mengetahui bagaimana kondisi pedidikan masyarakat pesisir yang ternyata masih
buruk, apa sebenarnya yang menjadi penyebab buruknya kondisi ataupun taraf pendidikan
masyarkat pesisir?. Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan buruknya kondisi pendidikan
masyarakat pesisir, baik faktor ekonomi, faktor sosial, dan juga faktor lainnya. Dari sisi ekonomi,
mata pencaharian dari masyarakat pesisir sebagian besar adalah nelayan, dan beberapa lagi bekerja
dibidang industri laut lainnya seperti buruh rumput laut atau alga misalnya. Nelayan bukanlah
kelompok masyarakat yang selalu hidup berkecukupan. Kehidupan nelayan secara aspek ekonomi
masih jauh dari kelayakan yang diharapkan. Hal ini adalah faktor dari sistem bagi hasil dari jenis
nelayan atau tingkatan yang mereka emban. Karena dalam mata pencaharian mereka yang
kebanyakan adalah nelayan terdapat klasifikasi atas jenis nelayan. Nelayan dengan jenis pengarap
(buruh) merupakan nelayan yang bekerja dengan nelayan punggawa (juragan) dengan ketentuan
pembagian pendapatan antara 30%-40% pendapatan yang akan dimiliki buruh, sementara 50%-
70% milik juragan. Sekilas pembagian tersebut terlihat adil, namun pada kenyataannya banyak
ketimpangan yang melingkupi penghasilan mereka. Sebagai contoh, nelayan buruh dengan
nelayan juragan memiliki pendapatan yang rentang rupiahnya cukup jauh yakni 60% nelayan
juragan dan 40% bagi nelayan buruh, belum dibagi lagi dengan anggota melautnya yang terdiri
dari beberapa orang dan jika ada kerusakan pada kapal dan peralatan maka itu adalah tanggung
jawab nelayan buruh. Dengan kondisi ekonomi seperti ini ditambah dengan tanggungan rumah
tangga yang tidak sedikit, tentu sangat sulit bagi sebagian besar masyarakat pesisir untuk dapat
membiayai pendidikan anak-anaknya, apalagi untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi
tentu sangat sulit.
Faktor sosial tentu memiliki peran besar dalam memengaruhi pola pikir dan kebiasaan orangorang
yang bersosialisasi di dalam suatu komunitas masyarakat. Demikian juga yang terjadi pada
komunitas masyarakat pesisir mengenai pola pikir atau sudut pandang mereka terhadap
pendidikan. Bagi orang tua tidak ada pilihan lain anak sebagai tumpuan harapan untuk membantu
mendapatkan nafkah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, di sisi lain anak perlu waktu
untuk menyelesaikan tugas-tugas belajar yang diberikan oleh guru dari sekolah. Orang tua kurang
memberi perhatian terhadap perkembangan pendidikan anak di sekolah, kalaupun ada itu hanya
sekedar bagaimana anak itu pulang dari sekolah kemudian turut serta ikut melaut, atau
mengerjakan pekerjaan lain yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Bagi para nelayan
memang tidak ada pilihan lain, karena pekerjaan yang berhadapan dengan ancaman gelombang
laut, ombak cuaca, dan kemungkinan terjadi karam saat akan melaut ke tengah lautan untuk
menangkap ikan adalah merupakan pekerjaan turun temurun tanpa pernah belajar sebagai nelayan
yang moden. Pada usia meningkat remaja anak nelayan mulai diajak berlayar dan ikut melaut.
Anak nelayan turun melaut pada pagi dan sore hari sesuai kondisi yang ditentukan juragan laut.
Disini dapat dinilai bahwa kesadaran masyarakat pesisir terhadap pendidikan anak dinilai masih
rendah. Bahkan beberapa dari mereka memiliki anggapa bahwa untuk menjadi nelayan tidak perlu
ijazah atau sekolah tinggi-tinggi. Kemudian untuk bekerja menjadi nelayan tak perlu juga repot-
repot melamar membawa map yang berisikan riwayat hidup atau ijazah bahkan tak sekolah pun
bisa bekerja menjadi nelayan. Ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang tua yang sangat
minim sekali sehingga tidak pernah terpikirkan bagi mereka untuk menyekolahkan anaknya
sampai kejenjang yang lebih tinggi, dan karena orang tua juga kurang memahami arti pentingnya
pendidikan bagi anak, hal ini dapat dibuktikan dari sikap orang tua yang kurang memperhatikan
pendidikan bagi anak dengan membiarkan anaknya ikut bekerja dilaut padahal seharusnya anak
duduk dibangku sekolah bukan malah disibukkan untuk ikut bekerja mencari uang. Hal-hal seperti
inilah yang membuat fokus mereka terhadap pendidikan menjadi terpecah, bahkan tidak lagi
menganggap pendidikan menjadi hal yang utama bagi mereka generasi-generasi baru dalam
komunitas masyarakat pesisir. Selain itu, rendahnya mutu dan relevansi pendidikan yang
dipengaruhi oleh ketidakmampuan menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas. Hasil-hasil
pendidikan belum didukung oleh sistem pengujian dan penilaian yang melembaga dan
independent, sehingga mutu pendidikan belum dapat dimonitor secara objektif dan teratur.
Distribusi guru tidak merata, pendayagunaannya tidak efesien menyebabkan kinerja guru tidak
optimal. Profesionalisme guru masih dirasakan rendah, terutama karena rendahnya komitmen
penyiapan pendidik guru dan pengelolaannya. Kinerja guru yang hanya berorientasi pada
penguasaan teori dan hafalan menyebabkan kemampuan siswa tidak berkembang secara optimal
dan utuh. Evaluasi kinerja belum ditata dalam suatu sistem akuntabilitas publik, sehingga output
pendidikan belum akuntabel dan belum mencapai kualitas pendidikan yang diinginkan.

3.3. Solusi Terhadap Masalah Pedidikan Masyarakat Pesisir


Melihat segala macam masalah yang menjadi penyebab buruknya kondisi pendidikan di
komunitas masyarakat pesisir, tentu sangat perlu untuk kita bisa mencari jalan keluar atau
alternatif yang dapat mengatasi permasalahan pendidikan yang ada. Setidaknya ada beberapa hal
yang dapat dilakukan oleh pemerintah walaupun sampai saat ini belum maksimal dan belum
memperlihatkan hasil yang begitu signifikan untuk setidaknya memperbaiki taraf pendidikan
masyarakat pesisir, diantaranya :
1. Peningkatan Kualitas Guru
Guru yang memiliki posisi yang sangat penting dan strategi dalam pengembangan potensi yang
dimiliki peerta didik. Pada diri gurulah kejayaan dan keselamatan masa depan bangsa dengan
penanaman nilai-nilai dasar yang luhur sebagai cita-cita pendidikan nasional dengan membentuk
kepribadian sejahtera lahir dan bathin, yang ditempuh melalui pendidikan agama dan pendidikan
umum. Oleh karena itu harus mampu mendidik diperbagai hal, agar ia menjadi seorang pendidik
yang proposional. Sehingga mampu mendidik peserta didik dalam kreativitas dan kehidupan
sehari-harinya. Untuk meningkatkan profesionalisme pendidik dalam pembelajaran, dapat
dilakukan dengan cara seperti misalnya: 1). Mengikuti penataran, untuk meningkatkan keahlian
guru menyelarasikan pengetahuan dan keterampilan mereka sesuai dengan kemajuan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang-bidang masing-masing. 2). Mengikuti kursus-
kursus, misalnya mengenai teknologi keterbaruan agar dapat menambah wawasan dan
diaplikasikan dalam pengajarannya. 3). Memperbanyak Membaca Menjadi guru professional tidak
hanya menguasai atau membaca dan hanya berpedoman pada satu atau beberapa buku saja, guru
yang berprofesional haruslah banyak membaca berbagai macam buku untuk menambah bahan
materi yang akan disampaikan sehingga sebagai pendidik tidak akan kekurangab pengetahuan-
pengetahuan dan informasi-informasi yang muncul dan berkembang di dalam mayarakat. 4).
Mengadakan Kunjungan Kesekolah Lain (studi komperatif). Suatu hal yang sangat penting
seorang guru mengadakan kunjungan antar sekolah sehingga akan menambah wawasan
pengetahuan, bertukar pikiran dan informasi tentang kemajuan sekolah. Ini akan menambah dan
melengkapi pengetahuan yang dimilikinya serta mengatai permasalahan-permasalahan dan
kekurangan yang terjadi sehingga peningkatan pendidikan akan bisa tercapai dengan cepat. 5).
Mengadakan Hubungan Dengan Wali Siswa, karena dengan ini guru dan orang tua akan dapat
saling berkomunikasi, mengetahui dan menjaga peserta didik serta bisa mengarahkan pada
perbuatan yang positif. Karena jam pendidikan yang diberikan di sekolah lebih sedikit apabila
dibandingkan jam pendidikan di dalam keluarga.
2. Penigkatan Materi
Dalam rangka peningkatan pendidikan maka peningkatan materi perlu sekali mendapat perhatian
karena dengan lengkapnya meteri yang diberikan tentu akan menambah lebih luas akan
pengetahuan, utamanya pengetahuan yang berhubungan dengan tempat mereka hidup dan
keseharian mereka, sehingga peserta didik tertarik dan termotivasi mempelajari pelajaran. Materi
juga harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat pesisir, misalnya materi tentang kemaritiman,
produksi hasil laut, pentingnya menjaga ekosistem laut, dan lain-lain.
3. Program Pendidikan Lifeskill
Sesuai dengan permasalahan yang terlah kita jabarkan pada sub sebelumnya, maka sangat perlu
dilakukan perubahan metode belajar yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat pesisir.
Program pendidikan lifeskill merupakan pendidikan yang dapat memberikan bekal ketrampilan
yang praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan proses kerja peluang usaha dan potensi ekonomi
atau industri yang ada di masyarakat. Pada masyarakat pesisir pendidikan kecakapan hidup yang
diajarkan adalah berupa cara menangkap ikan yang baik tanpa merusak ekosistem laut. Solusi ini
bisa menjadi alternatif pendidikan yang dapat mereka tempuh sehingga walaupun tidak memiliki
biaya untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi, mereka tetap bisa menerapkan hasil
belajarnya di dalam kehidupannya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pendidikan sejatinya merupakan hak dasar bagi setiap individu. Pendidikan adalah sarana
penumbuhan dan pengembangan dimensi-dimensi kemanusiaan menuju terwujudnya kehidupan yang
memposisikan manusia pada derajat kemanusiaan yang baik. Pemerintah Indonesia sudah beberapa
kali membentuk program wajib belajar, diantaranya pada tahun 1950 pemerintah melakukan
percobaan wajib belajar 6 Tahun, pada tahun 1984 pemerintah mencanangkan Gerakan Wajib Belajar
6 Tahun, pada tahun 1994 pemeritah mencanangkan gerakan wajib belajar 9 tahun lalu pada 2015
pemerintah mencanangkan gerakan wajib belajar 12 tahun.
Data dari United Nation Development Project (2020) tentang peringkat Indeks Pengembangan
Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan,
kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia
Indonesia masih sangat rendah, bahkan cukup jauh lebih rendah dibanding dengan beberapa negara
ASEAN lainnya. Di antara 185 negara yang ada di dunia, Indonesia menempati urutan ke-111(2019)
dengan rata-rata lama pendidikan masyarakatnya yaitu 8 tahun yang berarti jika jika dirata-ratakan,
masyarakat Indonesia hanya menempuh pendidikan hingga kelas 2 SMP.
Rata-rata tingkat Pendidikan masyarakat pesisir berhenti sampai SMP atau SMA saja, apalagi
kendati Indonesia adalah negara maritim dengan belasan ribu pulau yang tersebar dari Sabang sampai
Merauke dan surga bagi ribuan spesies laut, sayangnya di tanah air tak ada sekolah tingkat dasar yang
mengajarkan tentang ilmu kemaritiman dan kelautan. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Ben Scmidt,
Direktur Regional Asia Tenggara dan Pasific Cambridge International Examinations. “Laut dan
maritim Indonesia begitu hebat. Namun sayang tidak diseimbangi dengan pelajaran maritime science
yang seharusnya sudah mulai dikenalkan sejak di sekolah tingkat dasar,” papar Ben yang menilai
ilmu maritim hanya diajarkan pada jenjang kuliah atau di perguruan tinggi kemaritiman.
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan buruknya kondisi pendidikan masyarakat pesisir,
baik faktor ekonomi, faktor sosial, dan juga faktor lainnya. Kehidupan nelayan secara aspek ekonomi
masih jauh dari kelayakan yang diharapkan. Dengan kondisi ekonomi seperti ini ditambah dengan
tanggungan rumah tangga yang tidak sedikit, tentu sangat sulit bagi sebagian besar masyarakat pesisir
untuk dapat membiayai pendidikan anak-anaknya, apalagi untuk menempuh pendidikan di perguruan
tinggi. Faktor sosial tentu memiliki peran besar dalam memengaruhi pola pikir dan kebiasaan orang-
orang yang bersosialisasi di dalam suatu komunitas masyarakat. Demikian juga yang terjadi pada
komunitas masyarakat pesisir. Orang tua kurang memberi perhatian terhadap perkembangan
pendidikan anak di sekolah, kalaupun ada itu hanya sekedar bagaimana anak itu pulang dari sekolah
kemudian turut serta ikut melaut, atau mengerjakan pekerjaan lain yang dapat memenuhi kebutuhan
keluarga. Hal-hal seperti inilah yang membuat fokus mereka terhadap pendidikan menjadi terpecah,
bahkan tidak lagi menganggap pendidikan menjadi hal yang utama bagi mereka generasi-generasi
baru dalam komunitas masyarakat pesisir. Selain itu, mutu dan relevansi pendidikan juga masih
rendah yang dipengaruhi oleh ketidakmampuan menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas.

4.2 Saran
Maka saran yang yang dapat diajukan untuk peningkatan kualitas guru, peningkatan materi, dan
program pendidikan lifeskill. Materi harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat pesisir, yakni
materi tentang kemaritiman. Program pendidikan lifeskill merupakan pendidikan yang dapat
memberikan bekal ketrampilan yang praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan proses kerja peluang
usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat. Solusi ini bisa menjadi alternatif
pendidikan yang dapat mereka tempuh sehingga walaupun tidak memiliki biaya untuk menempuh
pendidikan di perguruan tinggi, mereka tetap bisa menerapkan hasil belajarnya di dalam
kehidupannya.
Daftar Pustaka

Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini Dan Pendidikan Masyarakat Kalimantan Barat
https://pauddikmaskalbar.kemdikbud.go.id/berita/pendidikan-luar-sekolah-dalam-kerangka-
pendidikan-.html. 12.00 wib, 26 oktober 2021.

Anda mungkin juga menyukai