Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Syariat Islam

DOSEN PENGAJAR
Hendri Mulyadi, SH.,MH

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4


1.Resti Ameliani

2. M. Yadi yunus

3. Rama M AL-Mujadid

4.hendriana nuralam

5.muhammad Abdul ghani

6.Zizan N

7.Mileon M

8.Yusril M Pangestu

9.Fajar nugraha
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-
Nya, kita dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Syariat Islam

dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran pancasila. Selain


itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Syariat Islam.

kita mengucapkan terima kasih kepada BAPA Dosen Mata Pelajaran


pancasila. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Kita menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Tasikmalaya, 15 oktober 2021.

BAB I. PENDAHULUAN
1.1Pendahuluan

Keistemewaan ajaran Islam daripada ajaran agama lainnya adalah sisi


universalitasnya. Ajaran-ajaran samawi terdahulu, selalu ditujakan kepada
kaum tertentu. Sedangkan ajaran Islam diturunkan untuk seluruh umat,
baik manusia ataupun jin (kaffah li al-alamin). Telah dimaklumi, bahwa
perundang-undangan manapun harus selaras dengan kondisi dan relevansi
pihak yang dibebani undang-undang tersebut. Umat Nabi Adam as bisa
merasakan kelonggaran syari’at berupa kebolehan menikahi saudara sendiri,
karena pada saat itu populasi manusia baru dari satu keturunan. Sedangkan
umat Nabi Musa as harus merasakan ketatnya syariat, karena dalam
menghadapi Bani Israel yang terkenal keras kepala, membutuhkan langkah-
langkah preventif dengan menerapkan undang-undang yang sekiranya dapat
membuat mereka jera. Sedangkan syari’at Nabi Muhammad saw (Islam)
yang ditujukan untuk seluruh makhluk di dunia ini, baik manusia atau jin,
tentunya harus membentuk undang-undang (syari’at) yang bisa diterima
oleh semua kalangan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian syariat ?..
2. Apa prinsip-prinsip syariat ?..
3. Bagaimana pandangan liberal mengenai syariat ?
4. Apa tujuan syariat ?
1.3 Tujuan
1. Dapat mengetahui dan memahami tentang syariat islam.
2. Dapat mengatahui penetapan dan prinsip-prinsip syariar islam.
3. Agar dapat mengetahui dan paham akan tujuan ditetapkannya syariat islam.

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN SYARIAT

Pengertian Syariat menurut bahasa : Secara bahasa syariat berasal dari


kata syara’ yang berarti menjelaskan dan menyatakan sesuatu atau dari
kata Asy-Syir dan Asy Syari’atu yang berarti suatu tempat yang dapat
menghubungkan sesuatu untuk sampai pada sumber air yang tak ada habis-
habisnya sehingga orang membutuhkannya tidak lagi butuh alat untuk
mengambilnya. Pengertian syariat secara istilah : Menurut istilah, syariah
berarti aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah untuk mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia,
dan hubungan manusia dengan alam semesta. Syariah mengatur hidup
manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan
patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah
dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur
sedemikian rupa oleh syariah Islam. Syariah Islam mengatur pula tata
hubungan antara seseorang dengan dirinya sendiri untuk mewujudkan sosok
individu yang saleh.
Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at
Islam (asy-syari’atul islaamiyatu),berarti Syari’at Islam adalah hukum-
hukum atau peraturan-peraturan yang diturunkan Allah Subhaanahu
wata’ala. untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad Salallohu alaihi
wassalam, baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang berwujud
perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.Oleh sebab itu
secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang
Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam
dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini
didukung oleh ayat dalam Firman Alloh Subhaanahu wata’ala : “Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu
menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan
kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun.

Allah Subhaanahu wata’ala berfirman :


”Kemudian Kami jadikan kamu berada diatas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti
hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”

mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak di izinkan Allah?sekiranya


tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah
dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan
memperoleh azab yang sangat pedih.”

At Thahanawi juga mengemukakan definisi syariat yaitu : “Syari’at ialah


hukum-hukum yang disyari’atkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya yang
disampaikan oleh salah seorang nabi dari nabi-nabi (sallallahu ‘alaihim dan
sallallahu ‘ala nabiyyina wa sallam), baik hukum-hukum tersebut mengenai
amal perbuatan, maupun mengenai akidah.’’
Syariat Islam mempunyai beberapa keistimewaan yaitu :

1. Rabbaniyah yang bermaksud bercirikan ketuhanan. ( Hukum/Peraturan


ini datangnya dari Tuhan Pencipta yang sudah semestinya yang terbaik
untuk diikuti oleh makhluk ciptaanNya )
2. Syumuliyah yang bermaksud lengkap. ( Peraturannya merangkumi
segenap aspek kehidupan tanpa ada kekurangan )
3. Alamiyah yang bermaksud sejagat. ( Peraturannya sesuai untuk semua
lapisan manusia tanpa batasan masa atau geografi )
4. Kekal. ( Peraturannya dijamin terpelihara sehingga ke hari Kiamat )
5. Balasan duniawi dan ukhrawi.

2.2 PRINSIP-PRINSIP SYARIAT ISLAM


PRINSIP-PRINSIP SYARIAT (TASYRI’) DALAM AL-QURAN :

Tidak Mempersulit (‘Adam al-Haraj)


Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa memperhitungkan
kemampuan manusia dalam melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan
mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada
mansusia, agar menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang
dimiliknya.

ً ‫ّللاُ نَ ْف‬
‫سا إِال ُو ْسعَ َها‬ َُ ‫ف‬ ُُ ِّ‫… ال يُ َك ِل‬
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya… (QS. Al-Baqarah: 286)

Al-Syatibi mengatakan bahwa kesanggupan manusia merupakan syari’at


hukum mutlak dalam menerima ketetapan hukum syari’at. Ketetapan
hukum yang tidak terjangkau oleh kemampuan manusia melihat prinsip
ini tidak sah ditetapkan kepada manusia. Hal ini telah menjadi
kesepakatan mayoritas ulama, baik dari kalangan Mu’tazilah (rasionalis)
maupun sebagian pengikut Asy’ariah (Sunni tradisionalis).
Dalam menetapkan hukum, Allah Subhaanahu wata’ala. Senantiasa
memperhitungkan kemampuan manusia dan memperhitungkan manfaat
dan madlarat yang mungkin ditimbulkan sebagai konsekwensi logis dari
pelaksanannya. Karena itu, Abu al-A’la al-Maududi menyebutkan, “Allah
membuat undang-undang syari’at untuk mengharamkan sesuatu atas
manusia yang membawa ekses negatif (madlarat) dan menghalalkan
sesuatu yang mendatangkan dampak positif (manfa’at)”.
Namun bukan berarti dalam al-Quran tidak ada ketetapan hukum yang
sulit dalam pelaksanaannya. Sebab menurut al-Syatibi, hukum sendiri
merupakan beban, sehingga kesulitan umum yang biasa dialami
masyarakat, misalnya sulit mencari nafkah, tidak termasuk dalam
kategori ‘adam al-haraj diatas.Karena kesulitan yang sifatnya seperti itu
tidak lain timbul dari kemalasan atau belum adanya keberuntungan
Disinilah pentingnya pembedaan antara musyaqqah (kesulitan) ditinjau
dari kacamata syari’at dan musyaqqah menurut kebiasaan umum. Sebab
musyaqqah versi masyarakat seringakli dijadikan dalih untuk
meremehkan kewajiban agama, sikap mencari-cari kemudahan dalam
bearamal.
Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklif)
Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif (penanggulangan)
terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan dalam kewajiban
agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia
menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap
wajar menurut kacamata sosial. Hal ini guna memperingan dan menjaga
nilai-nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu
pelaksanaan hukum tanpa didasari parasaan terbebani yang berujung
pada kesulitan.

ُُ ‫ل ْالقُ ْرآ‬
ُ‫ن ت ُ ْب َُد لَ ُك ْم‬ َ ‫ن ت َ ْسأَلُوا‬
ُُ ‫ع ْن َها حِ ينَُ يُن ََز‬ ُْ ِ‫ن أ َ ْشيَا َُء إ‬
ُ َ‫ن ت ُ ْب َُد لَ ُك ُْم ت‬
ُْ ِ‫سؤْ ُك ُْم َوإ‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَذِينَُ آ َمنُوا ال ت َ ْسأَلُوا‬
ُْ ‫ع‬
ُ‫غفُورُ َحلِيم‬ ُ َ ‫ع ْن َها َو‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ّللا‬ َ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
َُُ ‫عفَا‬
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada
kalian, niscaya akan menyusahkan kalian....(QS. al-Maidah: 101)
Sebagian riwayat menjelaskan bahwa kronologi turunnya ayat ini
adalah ketika Nabi sedang berpidato di hadapan umatnya, tiba-tiba
seorang diantara mereka bertanya, “Siapakah bapakku?”. “Si Fulan!”
Jawab Nabi. Ada pula yang bertanya, “Siapakah nama ayahku?” atau “Di
mana untaku?” kemudian turunlah ayat di atas sebagai teguran atas
pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Bahkan mungkin bisa
menyusahkan si penanya sendiri. Karena, jawaban yang akan ia terima
merupakan baban dari si penanya sendiri. Padahal prinsip agama adalah
pengurangan terhadap beban. (taqlil al-taklif).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa Nabi ketika menerima ayat al-
Quran menafsirkan sesuai kebutuhan masyarakat pada saat tiu.
Sedangkan yang tidak dibutuhkan didiamkan saja, dengan maksud
nantinya ayat-ayat tersebut dapat ditafsiri sesuai dengan kondisi dan
situasi yang terjadi di masyarakat pada masa yang akan datang. Prinsip
ini telah disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya Allah telah
menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian menyia-
nyiakannya. Dan dia telah menetapkan ketentuan-ketentuan, maka
janganlah kalian melampauinya. Dia juga telah mengharamkan beberapa
hal, maka janganlah kalian merusaknya, serta telah mendiamkan
beberapa hal sebagai rahmat buat kalian, bukan karena lupa, maka
janganlah kalian membicaraknnya.”

Penetapan Hukum secara Periodik


Al-quran merupakan kitab suci yang dalam prosesi tarsi’(penetapan
hukum)’ sangat memperhatikan berbagai aspek, baik natural, spiritual,
kultural, maupun sosial umat. Dalam menetapkan hukum, al-Quran
selalu mempertimbangkan, apakah mental spiritual manusia telah siap
untuk menerima ketentuan yang akan dibebankan kepadanya?. Hal ini
terkait erat dengan prinsip kedua, yakni tidak memberatkan umat.
Karena itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak diturunkan secara
serta merta dengan format yang final, melainkan secara bertahap,
dengan maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan syariat yang
tiba-tiba. Karenanya, wahyu al-Quran senantiasa turun sesuai dengan
kondisi dan realita yang terjadi pada waktu itu. Untuk lebih jelasnya,
berikut ini akan kami kemukakan tiga periode tasryi’ al-Quran;

Pertama, mendiamkan, yakni ketika al-Quran hendak melarang sesuatu,


maka sebelumnya tidak menetapkan hukum apa-apa tapi memberikan
contoh yang sebaliknya. Sebagai contoh, untuk menetapkan keharaman
minuman khamr. Sebagai langkah pertama, yang dilakukan syari’ (Nabi
Muhammad Sallahu alaihi wassalam) adalah mendiamkan kebiasaan
buruk, akan tetapi Nabi sendiri menghindarinya.
Kedua, menyinggung manfat ataupun madlaratnya secara global. Dalam
contoh khamr di atas, sebagai langkah kedua, turun ayat yang
menerangkan tentang manfaat dan madlarat minum khamr. Dalam ayat
tersebut, Allah menunjukkan bahwa efek sampingnya lbih besar
daripada kemanfaatannya (QS. Al-Baqarah: 219) yang kemudian segera
disusul dengan menyinggung efek khamr bagi pelaksanaan ibadah (al-
Nisa: 43)
Ketiga, menetapkan hukum tegas. Dalam contoh tersebut, Syari’ (Allah
dan Rasul-Nya) menetapkan hukum haram minum khamr secara tegas,
sebagai langkah yang paling akhir (QS.al-Maidah: 90)
Demikian juga dalam menetapkan hukum yang bersifat perintah.
Kewajiban shalat misalnya. Tahap pertama terjadi permulaan Islam (di
Mekah), di saat umat Islam banyak menuai siksaan dan penindasan dari
penduduk Mekah, kewajiban shalat hanya dua raka’at, yaitu pada pagi
dan sore. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, khawatir terjadi
penghinaan yang semakin menjadi-jadi dari suku Qurasy.
ِ ‫ل ْالغُ ُرو‬
ُ‫ب‬ َُ ‫ش ْم ِسُ َوقَ ْب‬ ُِ ُ‫طل‬
َ ‫وع ال‬ ُ ‫ل‬
َُ ‫ح ِب َح ْم ُِد َر ِبِّكَُ قَ ْب‬ َ ‫علَى َما َيقُولُونَُ َو‬
ُْ ‫س ِِّب‬ ْ ‫فَا‬
َ ‫ص ِب ُْر‬
(٣٩)
“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan
bertasbihlah (shalatlah) sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit
matahari dan sebelum terbenam(nya)”)Q.S Qaf : 39)

ِّ ‫ح بِ َح ْم ُِد َربِِّكَُ بِ ْالعَ ِش‬


dir="RTL" lang="AR-SA">ُِ ‫ي‬ َ ‫ِر ِلذَ ْنبِكَُ َو‬
ُْ ِِّ‫سب‬ ُْ ‫ّللا َحقُ َوا ْست َ ُْغف‬ ْ ‫فَا‬
َُ ِ‫صبِ ُْر إ‬
َُِ ‫ن َو ْع َُد‬
ُِ ‫َواإل ْبك‬
‫َار‬

“Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji Allah itu benar,


dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah (shalatlah)
seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi” (Q.S al-Mu’min:
55)

Ketika penderitaan umat telah menyurut dengan dicabutnya


pemboikotan atas Bani Hasyim, dumulailah tahap kedua pelaksanaan
shalat. Hal itu dimulai setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj dimana Nabi
membawa perintah dari Allah swt. Untuk melaksanakan shalat lima
waktu. Dalam hal ini Nabi bersabda, “Pada Malam Isra’ Allah swt,
mewajibkan kepada umatku lima puluh shalat. Tak henti-hentinya aku
meminta keringanan, hingga kemudian kewajiban itu menjadi lima (kali)
dalam sehari semalam.

Perintah dalam ayat tersebut kemudian dijabarkan secara jelas oleh


Nabi sebagai kewajiban shalat lima waktu, sebagaimana perintah Nabi
ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman, “Kabarkan kepada mereka
(penduduk Yaman), bahwasannya Allah swt telah mewajibkan kepada
mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam.” Akkhirnya ketika
umat Islam telah mulai merasakan ketenangan di negeri baru mereka,
Madinah, turunlah kewajiban-kewajiban yang sifatnya lebih terperinci,
yaitu dimulai dengan syarat-syarat shalat berupa wudlu dan tayamum
(QS. Al-Maidah: 6), serta rukun-rukn (teknis) pelaksanaan shalat. Teknis
pelaksanaan shalat sendiri merupakan cara yang diajarkan oleh Nabi
saw. Beliau bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
shalat.

Sejalan dengan Kemaslahatan Universal


Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum al-Quran. Seluruh
hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan
dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan,
gama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya
al-Quran senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah
terdapat syariat Islam. Islam bukan hanya doktrin belaka yang identik
dengan pembebanan, tetapi juga ajaran yang bertujuan untuk
menyejahterakan manusia. Karenanya, segala sesuatu ini merupakan
fasilitas yang berguna bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
‘Abd al-Wahab Khalaf berkata, “Dalam membentuk hukum, Syari’
(Allah dan Rasul-Nya) selalu membuat illat (ratio logis) yang berkaitan
dengan kemaslahatan manusia, juga menunjukkan bebrapa bukti bahwa
tujuan legislasi hukum tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia. Di samping itu, Syar’i menetapkan hukum-hukum itu sejalan
dengan tiadanya illat yang mengiringinya. Oleh karena itu, Allah
mensyariatkan sebagian hukum kemudian merevisinya karena ada
kemaslahatan yang sebanding Dengan hukum tersebut.

Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah)


Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip utama syariat Islam,
baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah.

ُ‫ن ت َ ْح ُك ُموا ِب ْال َع ْد ِل‬


ُْ َ ‫اس أ‬
ُ ِ َ‫…و ِإذَا َح َك ْمت ُُْم بَيْنَُ الن‬
َ …

Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu


menetapkan dengan adil.... (QS. Al-Nisa: 58)

Prinsip persamaan hak dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan dalam menetapkan hukum Islam. Keduanya harus diwujudkan
demi pemeliharaan martabat manusia (basyariyah insaniyah)

2.3 PANDANGAN ORANG LIBERAL MENGENAI SYARIAT ISLAM


Faraj Fawdah, seorang tokoh liberal Mesir, dalam salah satu acara
debat pernah menyatakan: “Secara sederhana saya menolak penerapan
Syariat Islam, apakah ia dilakukan sekaligus atau step by step… karena
saya melihat dalam penerapan Syariat Islam terkandung (konsep) dawlah
diniyah (negara agama)… barang siapa menerima negara agama maka ia
dengan sendirinya dapat menerima applikasi Syariat Islam… dan
barangsiapa menolaknya maka dia menolak penerapan Syariat Islam.”
(Ahmad Jawdah, Hiwarat Hawla al-Syari’ah, h.14).
Bagi kaum Muslim, penerapan Syariat Islam menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, keluarga, masyarakat,
maupun negara. Ibadah shalat, zakat, haji, pernikahan, perdagangan,
dan sebagainya, adalah sebagian aspek kehidupan yang terikat erat
dengan syariat. Namun, harus diakui, ada saja sementara orang Muslim
sendiri yang syariat-fobia.
Diantara sebagian argumen yang dikemukakan untuk menolak syariat
Islam adalah bahwa hukum Islam yang ada sekarang tidak sensitif dan
responsif terhadap perkembangan zaman. Hukum-hukum Islam
dikandung dalam al-Qur’an dan dielaborasi oleh oleh para faqih dan
mufassir sudah ketinggalan zaman; ia tidak dapat menciptakan kebaikan
dan kemaslahatan bagi umat manusia hari ini. Padahal, kata mereka
‘kemaslahatan’ merupakan tujuan dan asas dari Syariat itu sendiri.
Apabila sesuatu hukum itu tidak lagi mampu menciptakan kemaslahatan,
maka sudah selayaknya ditinggalkan saja dan diganti dengan hukum lain
yang lebih dapat mewujudkan kemaslahatan. Untuk memperkuat
argumen ini mereka gunakan teori ‘Maqasid syariah’ yang dikembangkan
dan dipopularkan oleh al-Syatibi.
Dengan kata lain hukum-hukum yang terkadung dalam al-Qur’an itu
sangat dipengaruhi dan dipenuhi oleh nuansa masyarakat Arab ketika
itu. Sistem hukum yang dibangunnya pun adalah merefleksikan sturuktur
sosial-budaya, serta ekonomi dan politik masyarakat abad ketujuh.
Berdasarkan hal ini, katanya, maka adalah salah besar bagi mereka
untuk mengadopsi dan selanjutnya mengaplikasikan hukum ini pada
zaman sekarang, karena ia sudah tidak sesuai lagi.
Kedua, — masih berhubungan dengan argumen pertama – digunakannya
prinsip Maqasid Syari’ah. Banyak kaum liberal berpendapat bahwa setiap
hukum yang diperintahkan Allah mempunyai tujuan/maqasid utama.
Tujuan itu adalah kemaslahatan manusia. Kata Fazlur Rahman: “The
Qur’an always explicates the objectives or principles that are the
essence of its law.” (1979:154).
Seorang cendekiawan Indonesia, murid Fazlur Rahman pernah
berendapat, bahwa bagi mayarakat Arab, hukum potong tangan bagi
pencuri dan rajam bagi penzina dapat menciptakan kemasalahatan bagi
masyarakat ketika itu. Karena dalam masyarakat yang kasar dan ganas,
katanya, hukuman seperti itulah yang pantas dan layak untuk
dilaksanakan. (Abdullah Saeed, 1997:286). Muhammad ‘Abid al-Jabiri
menulis, bahwa “(hukum) potong tangan merupakan peraturan rasional
yang sangat tepat untuk masyarakat baduwi padang pasir yang
penduduknya hidup tanpa ikatan dan nomadik.” (1996:171).

2.4 Nash dan Tujuan Syariat


Ulama bersepakat, bahwa antara nash dan tujuan (maqasid), tidak
dapat dipisahkan. Imam al-Ghazali yang kemudian mensistemasikan
Maqasid Syariah ini menjadi tiga kategori: daruriyyat, hajiyyat, dan
tahsiniyyat. (Shifa’ al-Ghalil, h. 161-172). Teori ini kemudian dilanjutkan
oleh Fakhruddin al-Razi. Dalam tulisannya, dia menyatakan bahwa: “Hal
ini (maksudnya maslahah) mestilah menjadi bagian dari Syariat, karena
tujuan utama seluruh hukum yang diperintahkan Allah adalah untuk
memelihara dan menjaga kemaslahatan (masalih).” (Al-Mahsul, 1992,
6:165). Ibn Taymiyah juga menekankan hal yang sama: “Bahwa Shariat
hadir untuk menjamin kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan.”
(Majmu’ Fatawa, t.t., 20: 48).
Pergantian masa tidak lantas menjadikan konsep kemaslahatan ini
berubah. Ia tetap menjadi pegangan para ahli hukum Islam dan aktivis
Islam kontemporer dalam menjabarkan kandungan Syariat Islam.
Disinilah letak kekeliruan kaum esensialis yang secara membabi buta
menuduh kelompok pro-Syariat sebagai literalis yang mengorbankan
prinsip maqasid. Muhammad Qutb menulis: “Pemimpin yang dipercaya
mestilah berbuat sesuai dengan (prinsip) mashalih al-mursalah agar
supaya dia tidak mengetepikan tujuan akhir Syariat (Maqashid al-
Syari’ah). Pemimpin berhak untuk beradaptasi dengan berbagai isu yang
berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Akan tetapi dia
hendaklah berpegang pada (prinsip) maqasid sebagai standar hukum
dalam membuat keputusan.” (1991:39).
Menurut al-Qaradawi: “Adapun nas yang secara transmisi dan makna
qath’iy tidak mungkin bertabrakan dengan maslahah qath’iyah. Karena
sesama qath’iyyat tidak mungkin berlaku kontradiksi” . Berdasarkan
keyakinan inilah tak seorang ulama pun yang berani mengatakan hukum
hudud, qisas, waris, jilbab, dan seterusnya tidak relevan lagi pada saat
sekarang ini karena bertentangan dengan maslahah manusia.
Anggapan bahwa hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan
bagi manusia hari ini telah ditepis oleh banyak penulis. Sa’id Ramadan
al-Buti menjelaskan bahwa salah satu unsur penting dari sesuatu
hukuman adalah al-qaswah (keras). Kalaulah unsur ini hilang niscaya
hilanglah makna sesuatu hukuman. Perlu diingat bahwa kekejaman
hukuman itu sesuai dengan kekejaman yang dilakukan oleh si kriminal
(the principle of retribution). Dengan begitu prinsip keadilan yang
merupakan salah satu maqasid Syari’ah sudah terpenuhi.
Imam Syatibi, tokoh yang mempopularkan teori Maqasid, dalam al-
Muwafaqat, menyatakan: “Tidak ada perubahan padanya (pada hukum
yang diperintahkan Allah secara jelas dan kategorikal), meskipun
pandangan para mukallaf (orang dewasa) berbeda-beda. Maka tidak sah
sesuatu yang baik berubah buruk dan buruk menjadi baik sehingga
dikatakan misalnya: bahwa membuka aurat sekarang ini bukan lagi aib
atau sesuatu yang buruk, dan oleh sebab itu wajar untuk dibolehkan.
Atau semisal ini. Andaikan hal ini diterima, maka ia merupakan
penasakhan (penghapusan) terhadap hukum yang sudah tetap dan
kontiniu. Dan nasakh sesudah wafatnya Rasullah adalah sesuatu yang
batil.” (Al-Muwafaqat, ed. Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, 2:209)
Itulah prinsip-prinsip pemikiran syariat Islam. Tentu, dalam aplikasinya,
banyak syarat-syarat dan kebijakan yang harus dipenuhi, sesuai dengan
ketentuan syariat itu sendiri. Kadangkala, karena salah paham, muncul
syariat-fobia, ketakutan yang berlebihan terhadap syariat. Hukum
qishas, misalnya, meskipun tegas dan keras, tetapi disertai dengan
konsep ampunan dari ahli waris – konsep yang tidak dijumpai dalam
hukum Barat. Hukum potong tangan, hanya bisa diterapkan dengan
syarat-syarat dan batas yang ketat. Orang yang mencuri karena
keterpaksaan akibat lapar, tidak dikenai sanksi hukum. Hukum rajam,
mensyaratkan adanya empat saksi yang langsung menyaksikan peristiwa
zina, dan ini teramat sulit dipenuhi.

Yang lebih penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan konsep


keadilan, dan pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya,
sukses-tidaknya suatu penerapan hukum, juga ditentukan oleh kualitas
takwa para hakim, penguasa, dan juga rakyat. Wallahu a’lam bil-
shawab.
BAB III PENUTUP 3.1
Kesimpulan Syariat adalah hukum-hukum (peraturan) yang
diturunkan Allah Subhaanahu wata’ala. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk
manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terangnya cahaya hidayah,
dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.
Prinsip dalam syariat diantaranya adalah :
a. Tidak Mempersulit (‘Adam al-Haraj)
b. Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklif)
c. Penetapan Hukum secara Periodik
d. Sejalan dengan Kemaslahatan Universal
e. Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah)
Pandangan orang liberal bahwa hukum Islam yang ada sekarang tidak sensitif
dan responsif terhadap perkembangan zaman. Berdasarkan hal ini, katanya, maka
adalah salah besar bagi mereka untuk mengadopsi dan selanjutnya
mengaplikasikan hukum ini pada zaman sekarang, karena ia sudah tidak sesuai
lagi.
Pandangan orang liberal tersebut adalah bathil karena Tujuan syariat
menurut Fakhruddin al-Razi dalam tulisannya, dia menyatakan bahwa: “ tujuan
utama seluruh hukum yang diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan
menjaga kemaslahatan (masalih).” (Al-Mahsul, 1992, 6:165). Ibn Taymiyah juga
menekankan hal yang sama: “Bahwa Shariat hadir untuk menjamin kemaslahatan
dan menghindarkan kerusakan.” (Majmu’ Fatawa, t.t., 20: 48).
Yang lebih penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan konsep keadilan,
dan pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya, sukses-tidaknya suatu
penerapan hukum, juga ditentukan oleh kualitas takwa para hakim, penguasa, dan
juga rakyat. Wallahu a’lam bil-shawab.

DAFTAR PUSTAKA
http://ustwan77.blogspot.com/2012/02/21-konsep-syariat.html. 21.00 / 01
november 2012
http://www.sentra-edukasi.com/2010/04/pengertian-syariat-
islam.html#.UJSpO2M0_qA
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat
-islam-dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin 21.05 01/ november 2012
http://ustwan77.blogspot.com/2012/02/21-konsep-syariat.html. 14.03/ 21
oktober 2012
http://milaisma.blogspot.com/2009/12/prinsip-prinsip-syariat-tasyri-dalam-
al.html 01 november 2012
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat
-islam-dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin. 21.05 / 01 November 2012
http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2071352-pengertian-syariah
/#ixzz2BXl2KqoQ 20.40 / 8 november 2012

Anda mungkin juga menyukai