Anda di halaman 1dari 175

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/345325290

Multicultural & Keberagaman Sosial

Book · November 2019

CITATIONS READS
0 294

2 authors, including:

Abdul Sakban
University of Muhammadiyah Mataram
29 PUBLICATIONS   10 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN ANTROPOLOGI BUDAYA DENGAN PENDEKATAN DEEP DIALOGUE AND CRITICAL THINKING UNTUK MENINGKATKAN SIKAP
TOLERANSI MAHASISWA View project

PENGGUNAAN P2R (PREEMTIF, PREVENTIF DAN REPRESIF) SEBAGAI ALAT KEPOLISIAN UNTUK MENYELESAIKAN KEJAHATAN CYBER BULLYING DI INDONESIA View project

All content following this page was uploaded by Abdul Sakban on 05 November 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Multicultural & Keberagaman Sosial
i
ABDUL SAKBAN, S.PD.,M.PD

HAFSAH, S.PD.,M.PD

MULTIKULTURAL &
KEBERAGAMAN SOSIAL

Multicultural & Keberagaman Sosial


ii
PRAKATA

Luasnya materi pendidikan multikultural membuat mahasiswa kesulitan memahami


materi pendidikan multikultural, tidak adanya buku ajar pendidikan multikultural dan
keberagaman sosial yang penyajian materi yang dilengkapi latihan maupun tugas mahasiswa,
Indoensia merupakan Negara yang majemuk dengan memiliki berbagai budaya, adat istiadat,
suku, rasa, bahasa dan etnik yang tersebut di wilayah nusantara, selain itu Indonesia memiliki
semboyan Bhineka Tunggal Ika yang artinya meskipun kita berbeda-beda tetapi tetap satu juang
hidup di Negara kesatuan republic Indonesia.
Buku ajar ini dimaksudkan untuk bahan pembelajaran bagi mahasiswa di perguruan tinggi
baik mahasiswa eksakta dan non eksakta. Dengan buku ajar ini mahasiswa akan mampu
menjelaskan makna multikulturalisme, keragaman sosial budaya, konsep dasar pendidikan
multikultural, kondisi sosial masyarakat dan problematikanya, problem multikultural, pendidikan
multikultural di berbagai Negara. Struktur isi buku ajar ini dimulai dari Bab I
membahas makna multikulturalisme, keragaman sosial budaya. Kemudian di Bab II
membahas pengertian pendidikan multikultural, pendidikan multikultural sebagai pendekata,
pentingnya mempelajari pendidikan multicultural, istilah-istilah pendidikan multicultural, teori-
teori pendidikan multikultural menurut para ahli, 3 teori sosial: melting pot I, II dan cultural
pluralism. Bab III membahas tentang sistem sosial indonesia, heterogenitas dan homogenitas
masyarakat dan konsekuensi sosialnya, teori sistem dan strukturalis fungsional, teori konflik
sebagai proses social, Masyarakat dan kemajemukan, ciri dan faktor yang mengintegrasikan
masyarakat. Bab IV membahas masyarakat multikultural dan stratifikasi social, Bab V
membahas tentang problema kemasyarakatan pendidikan multikultural di indonesia, problema
budaya di indonesia (penyakit-penyakit budaya di masyarakat), membahas kasus-kasus
multikultural di dunia, pendekatan multikultural sebagai resolusi konflik, Bab VI menjelaskan
pendidikan multicultural di amerika, pendidikan multicultural di kanada, pendidikan
multicultural di inggris, pendidikan multicultural di negara-negara di Asia Tenggara, Bab VII
membahas karakteristik Indonesia dan etnis sebagai identitas sosial budaya. Tiap bab selalu
dilengkapi dengan evaluasi berupa latihan soal dan tugas mahasiswa. Selain itu dilengkapi juga
glosarium, indeks dan daftar pustaka.

Multicultural & Keberagaman Sosial


iii
Buku ajar ini dapat dipergunakan oleh mahasiswa ataupun dosen yang mengajar pada
mata kuliah pendidikan multikultural. Selain itu, bentuk penyajian materi ajar sangat mudah
untuk dipahami dan dipelajari bagi mahasiswa dan akademisi lainya karena diambil berbagai
sumber yang relevan dan berkompeten. Diterbitkan buku ini dengan harapan agar
mahasiswa semakin meningkat pemahamannya tentang materi pendidikan multikultural.
Selain itu, kemampuan mahasiswa mengimplementasikan nilai-nilai multikulural dalam
kehidupan sehari-hari merupakan output yang dihasilkan dalam buku pendidikan
multikulural ini, sehingga dengan materi yang disajikan didalamnya sungguh memang
membuat mahasiswa benar-benar memahami pancasila secara hirarki.
Bagi si pembaca, pendengar dan pemerhati buku pendidikan multikulural ini jika ada
bahasa ataupun kalimat dalam penyajian materi buku ajar ini serta pembahasan yang belum
sempurna, maka kami sangat mengharapkan masukan berupa kritikan maupun saran yang
sifatnya membangun demi kesempurnaan buku ajar yang kami susun.

Terima kasih

Multicultural & Keberagaman Sosial


iv
KATA PENGANTAR

Memuji kebesaran Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya sehingga penulisan
buku ini dapat terwujudkan. Salam dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
seorang pelopor bagi umat manusia yang hingga kini dikenang sebagai seorang revolusioner
sepanjang masa.
Diterbitkan buku pendidikan pancasila sebagai salah satu bentuk pengembangan
kemampuan dosen dalam membagikan ilmu pengetahuan yang dimiliki untuk disebarluaskan
kepada mahasiswa yang membutuhkannya. Materi yang disajikan dalam buku ini sangat mudah
dikuasai oleh pembaca dan mengantar pembaca benar-benar memahami esensi nilai-nilai
yang terkandung dalam pendidikan pancasila. Kajian materinya sangat kontekstual erat
kaitannya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam menerbitan buku ini. Kritik dan saran sangat kami harapkanuntuk perbaikan buku ini di
masa yang akan datang.
.

Mataram, Mei 2018


Penulis

Multicultural & Keberagaman Sosial


v
DAFTAR ISI
Hal
PRAKATA ........................................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ vi
BAB I MAKNA MULTIKULTURALISME, KERAGAMAN SOSIAL BUDAYA ..... 3
A. Kemampuan Akhir yang Direncanakan ................................................................... 1
B. Indikator ................................................................................................................... 1
C. Penyajian Materi ...................................................................................................... 1
D. Rangkuman .............................................................................................................. 12
E. Latihan ............................................................................................................................... 13
BAB II KONSEP DASAR PENDIDIKAN MULTIKULTURAL .................................. 14
A. Kemampuan Akhir yang Direncanakan .................................................................... 14
B. Indikator ..................................................................................................................... 14
C. Penyajian Materi ....................................................................................................... 14
D. Rangkuman ............................................................................................................... 45
E. Latihan ...................................................................................................................... 46
BAB III KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DAN PROBLEMATIKANYA ........... 48
A. Kemampuan Akhir yang Direncanakan ................................................................. 48
B. Indikator ................................................................................................................. 48
C. Penyajian Materi .................................................................................................... 48
D. Rangkuman ............................................................................................................ 68
E. Latihan .................................................................................................................... 69
BAB IV MASYARAKAT MULTIKULTURAL DAN STRATIFIKASI SOSIAL ....... 70
A. Capaian yang Diharapkan ........................................................................................ 70
B. Indikator ................................................................................................................... 70
C. Penyajian Materi ..................................................................................................... 70
D. Rangkuman ............................................................................................................. 103
E. Latihan .................................................................................................................... 104
BAB V PROBLEM MULTIKULTURAL ......................................................................... 105
A. Kemampuan Akhir yang Direncanakan .................................................................. 105
Multicultural & Keberagaman Sosial
vi
B. Indikator ................................................................................................................... 105
C. Penyajian Materi ..................................................................................................... 105
D. Rangkuman ............................................................................................................. 116
E. Latihan .................................................................................................................... 119
BAB VI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI BERBAGAI NEGARA .................... 120
A. Kemampuan Akhir yang Direncanakan .................................................................. 120
B. Indikator ................................................................................................................... 120
C. Penyajian Materi ..................................................................................................... 120
D. Rangkuman ............................................................................................................. 134
E. Latihan .................................................................................................................... 135
BAB VII KARAKTERISTIK INDONESIA SEBAGAI MASYARAKAT
MULTIKULTUR ................................................................................................................. 136
A. Kemampuan Akhir yang Direncanakan .................................................................. 136
B. Indikator ................................................................................................................... 136
C. Penyajian Materi ..................................................................................................... 136
D. Rangkuman ............................................................................................................. 157
E. Latihan .................................................................................................................... 158
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 159
GLOSARIUM ..................................................................................................................... 161
INDEKS ............................................................................................................................... 165

Multicultural & Keberagaman Sosial


vii
BAB I
MAKNA MULTIKULTURALISME, KERAGAMAN SOSIAL BUDAYA

A. Kemampuan Akhir yang Direncanakan


 Mahasiswa mampu menguraikan hakekat kebudayaan sebagai kekuatan dan stabilitas
masyarakat dan hakekat multikulturalisme, pluralitas budaya, gender, sosial ekonomi,
religi (agama)

B. Indikator
 Menjelaskan hakekat kebudayaan sebagai kekuatan dan stabilitas masyarakat
 Menjelaskan hakekat multikulturalisme, pluralitas budaya, gender, sosial ekonomi,
religi (agama)

C. Penyajian Materi
1. Hakekat Kebudayaan sebagai Kekuatan dan Stabilitas Masyarakat
Kata budaya/kultur (culture) dipandang penting karena kata ini membentuk dan
merupakan bagian dari istilah Pendidikan Multikultural. Bagaimana kita mendefinisikan
budaya akan menentukan arti dari istilah Pendidikan Multikultural. Tanpa kita mengetahui
apa arti budaya/kultur, kita akan sangat sulit memahami implikasi Pendidikan Multikultur
secara utuh. Misalnya, jika budaya didefinisikan sebagai warisan dan tradisi dari suatu
kelompok sosial, maka Pendidikan Multikultural berarti mempelajari tentang berbagai (multi)
warisan dan tradisi budaya. Namun jika budaya didefinsikan sebagai desain kelompok sosial
untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya, maka satu tujuan pendidikan
multikultural adalah untuk mempelajari tentang berbagai kelompok sosial dan desain yang
berbeda untuk hidup dalam masyarakat yang pluralis (Banks, 2014). Nah sekarang kita
lanjutkan dengan pembahasan mengenai budaya atau kebudayaan berikut ini.
Apa yang terlintas pada pikiran Anda bila istilah ‖budaya‖, ‖kultur‖ atau
‖kebudayaan‖ itu muncul. Mungkin di pikiran kita terlintas tentang tarian-tarian, adat istiadat
suatu daerah, pakaian adat, rumah adat, lagu-lagu daerah atau ritual peninggalan masa lalu.
Hal ini sangat mungkin berbeda dengan yang dipikirkan oleh orang Barat ketika mendengar
kata yang sama. Di dunia Barat istilah budaya juga digunakan dalam pengertian yang populer,

Multicultural & Keberagaman Sosial


1
yaitu budaya tinggi (high culture) untuk menyebut bidang estetik (keindahan) seperti seni,
drama, balet dan karya sastra dan budaya rendah (low cultur) untuk menyebut seni yang lebih
populer seperti musik pop, dan media massa. Namun ada beberapa ciri khas budaya yang
dapat dijadikan petunjuk untuk memperoleh gambaran tentang definisi budaya.
Dalam istilah Inggris, ‖budaya‖ adalah culture, yang berasal dari kata Latin colere
yang berarti ―mengolah, mengerjakan‖ terutama mengolah tanah atau bertani
(Koentjaraningrat, 2000). Hal ini berarti bahwa budaya merupakan aktivitas manusia, bukan
aktivitas makhluk yang lain dan menjadi ciri manusia. Dari sudut antropologi budaya,
mengkategorian temuan artifak yang disebut ‖Pithecanthropus Erectus‖, ‖Homo Soloensis‖
sebagai manusia atau bukan, didasarkan pada kemampuan artifak itu saat hidup dalam
menciptakan benda budaya. Misalnya Pithecanthropus Erectus (manusia kera yang berdiri
tegak) yang ditemukan di sungai Bengawan Solo, Sangiran, Solo oleh sebagian ahli sudah
dipandang sebagai ‖manusia‖ karena dipandang ada hubungan dengan diketemukannya kapak
di dekat Pithecanthroupus Pekinensis yang memiliki ciri sama yang diketemukan di Solo dan
dipandang satu jaman masa hidupnya.
Ibarat sebuah mobil yang dipandang dari berbagai sudut pandang (mesinnya,
harganya, atau potongan bodinya), manusia dapat dilihat dari kedudukannya sebagai homo
humanus, homo socius dan homo educandum. Humanus berasal dari bahasa Latin yang berarti
lebih halus, berbudaya dan manusiawi. Manusia akan selalu mencipta, menikmati dan
merasakan hal-hal yang bisa membuat dia lebih halus, berbudaya dan manusiawi. Manusia
menyukai musik, menari atau berperilaku sopan. Semua itu didorong oleh kodratnya sebagai
manusia sebagai homo humanus. Koentjaraningrat menjelaskan peradaban (civilization) itu
sebagai bagian dan merupakan bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti kesenian,
ilmu pengetahuan, sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat
dengan struktur yang kompleks. Sering juga peradaban dipakai untuk menyebut suatu
kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan
dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.
Selain sebagai makhluk yang berbudaya, manusia juga makhluk yang selalu
berinteraksi dan tidak terlepas dari orang lain (homo socius). Dalam berinteraksi dengan
lingkungannya, manusia menggunakan simbol (homo simbolicum). Manusia akan banyak
menggunakan benda-benda sebagai simbol untuk mengekspresikan sesuatu. Misalnya,

Multicultural & Keberagaman Sosial


2
penggunaan simbol berupa kalung salib bagi kelompok agama Nasrani. Nah sekarang cobalah
anda mencari benda-benda yang digunakan sebagai simbol untuk mengekspresikan sesuatu.
Mudah bukan? Anda dapat juga mengembangkannya dengan mencari contoh perilaku yang
didalamnya terdapat makna simbolik. Dalam berinteraksi dengan orang lain itu ada proses
pendidikan yang berlangsung karena manusia adalah makhluk yang mendidik dan terdidik
(homo educandum).
Menurut Margaret Mead (1901-1978) budaya adalah perilaku yang dipelajari dari
sebuah masyarakat atau sub kelompok. Ada banyak pengertian mengenai kebudayaan yang
dipergunakan. Kluckhohn dan Kroeber mencatat sekitar 175 definisi kebudayaan yang
berbeda. Koentjaraningrat mengartikan budaya dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit
budaya itu adalah kesenian (Koentjaraningrat, 2000). Secara luas, Koentjaraningrat
mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus
dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Kita lihat,
pengertian yang dibuat oleh Koentjaraningrat itu sangat luas yang mencakup seluruh aktivitas
manusia. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa budaya itu berkaitan dengan kata
kunci yang mencakup (1) gagasan, (2) perilaku dan (3) hasil karya manusia.
Sebagai pedoman pembahasan kita selanjutnya, pengertian kebudayaan ini difokuskan
pada pendapat Bullivant yang mendefinisikan budaya sebagai program bertahan hidup dan
adaptasi suatu kelompok dengan lingkungannya. Program budaya terdiri dari pengetahuan,
konsep, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota kelompok melalui sistem komunikasi.
(Banks, 1993: 8). Kebudayaan juga terdiri dari keyakinan, simbol, dan interpretasi dalam
kelompok manusia. Sebagian besar ilmuwan sosial saat ini memandang budaya terdiri dari
aspek simbolik, ideasional, dan tidak terlihat (intangible) dari masyarakat manusia. Esensi
budaya bukan pada benda, alat, atau elemen budaya yang terlihat lainnya namun bagaimana
kelompok menginterpretasikan, menggunakan, dan merasakannya. Nilai-nilai, simbol,
interpretasi, dan perspektiflah yang membedakan seseorang dari orang yang lain dari
masyarakat manusia, bukan obyek material dan aspek yang terlihat lainya dari masyarakat
manusia. Orang-orang di dalam suatu kebudayaan biasanya menginterpretasikan makna
simbol, benda dan perilaku menurut cara yang sama atau yang serupa (Banks, 1993: 8) dan
ada kemungkinan orang menginterpretasikan secara lain pada suatu perilaku yang sama.
Semua kebudayaan menggunakan bahasa tubuh (body language) untuk berkomunikasi. Ada

Multicultural & Keberagaman Sosial


3
kebudayaan yang lebih banyak menggunakan bahasa tubuh dibandingkan dengan yang
lainnya. Masalah dalam penggunakan bahasa tubuh untuk komunikasi dapat terjadi jika dua
makna yang bertentangan menggambarkan satu gerakan tubuh. Misalnya di Bulgaria,
menganggukkan berarti ―tidak‖ dan menggelengkan kepala berarti ―ya‖ (Axtel, 1995)
sedangkan di tempat lain umumnya mengartikan sebaliknya.

2. Unsur-Unsur Kebudayaan
E.B. Tylor (1832-1917) memandang budaya sebagai kompleksitas hal yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan
lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Raymond
Williams (1921-1988) budaya meliputi meliputi organisasi produksi, struktur keluarga,
struktur lembaga yang mengungkapkan atau mengatur hubungan-hubungan sosial, bentuk
komunikasi yang khas dalam anggota masyarakat. Menurut Claude Levi-Strauss, kebudayaan
harus dipandang dalam konteks teori komunikasi yaitu sebagai keseluruhan sistem simbol
(bahasa, kekerabatan, ekonomi, mitos, seni) yang pada berbagai tingkat memungkinkan dan
mengatur komunikasi (Cremers, 1997: 147). Hal ini karena manusia adalah homo
simbolicum. Kita lihat bahwa budaya diartikan selalu dalam konteks hubungannya sebagai
anggota masyarakat.
Koentjaraningrat lebih sistematis dalam memerinci unsur-unsur kebudayaan. Unsur-
unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2000: 2) adalah sebagai berikut:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan.
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup.
7. Sistem teknologi dan peralatan.
Secara garis besar unsur-unsur yang berada di urutan bagian atas merupakan unsur
yang lebih sukar berubah daripada unsur-unsur di bawahnya. Namun perlu diperhatikan,
karena ada kalanya sub unsur dari suatu unsur di bawahnya lebih sukar diubah dari pada sub
unsur dari sutau unsur yang tercantum di atasnya. Misalnya sub-sub unsur hukum waris yang

Multicultural & Keberagaman Sosial


4
merupakan sub unsur dari hukum (bagian dari unsur sistem dan organisasi kemasyarakatan)
lebih sukar berubah bila dibandingkan dengan sub-sub unsur arsitektur tempat pemujaan
(bagian dari sub unsur prasarana upacara yang menjadi bagian dari sistem religi).
Silakan Anda coba untuk mencari contoh kongkrit untuk masing-masing unsur
kebudayaan itu dengan hal-hal yang Anda temui di sekitar Anda. Lihatlah televisi atau jalan-
jalan dekat rumah Anda. Perhatikan sekeliling Anda. Sudah menemukan? Anda tentu akan
menemui masjid, gereja, tasbih, kitab suci, atau bau dupa. Benar itu merupakan contoh
kongkrit sistem religi dan upacara keagamaan.
Silahkan Anda cari lagi untuk menemukan contoh unsur-unsur yang lain.Ada
pembagian warisan di antara keluarga Anda, ada walikota, ada kantor dan tokoh politik, anak
SD memakai seragam merah putih yang kesemuanya itu merupakan contoh sistem dan
organisasi kemasyarakatan. Anda menemukan buku IPS anak SD, ada orang yang menghitung
uang kembalian atau Anda mengenal tentang astronot. Semua itu merupakan sistem
pengetahuan.
Silahkan berjalan-jalan lagi. Anda temukan ada orang yang berbahasa Madura, bahasa
Jawa dan ada yang berbahasa Indonesia. Itu merupakan bagian dari unsur bahasa. Kita jalan-
jalan lagi kita temukan panggung seni, ada lukisan, ada gambar reklame yang indah sebagai
perwujudan unsur kesenian. Anda perhatikan penjual sayuran, sopir angkot, seorang guru
berseragam abu-abu yang memasuki sekolah, remaja yang memakai seragam pertokoan
tertentu yang semuanya itu merupakan contoh kongkrit unsur sistem mata pencaharian hidup.
Silahkan cari lagi untuk hal-hal yang berkaitan dengan sistem teknologi dan peralatan. Anda
benar! Ada komputer, internet, ada cangkul dan sabit, ada Hand Phone. Itu semua merupakan
contoh sistem teknologi dan peralatan.
Unsur-unsur yang diurutkan di atas merupakan unsur budaya yang universal dalam arti
ada di manapun, kapan pun dan berlaku pada siapa pun. Artinya dibelahan dunia mana pun
ada ketujuh unsur itu. Dalam sejarah manusia baik yang primitif maupun yang modern ke
tujuh unsur itu berlaku pada siapapun yang dinamakan ―manusia‖.
Kebudayaan memberi pengetahuan dan ide tentang dan untuk berperilaku. Artinya,
orang harus mengetahui jenis pengetahuan dan ide yang harus digunakan pada jenis perilaku
tertentu yang sesuai (untuk berperilaku) dan juga untuk memahami perilaku tentang apa yang
dia lihat (tentang perilaku).

Multicultural & Keberagaman Sosial


5
Misalnya, Anda perhatikan ! Ada kebiasaan orang Tionghoa yang menggunakan
sumpit, yang terbuat dari batangan kayu atau bambu, sebagai alat pengganti senduk ketika
mereka makan. Kita perlu pengetahuan dan ide tentang apa artinya dan aturan apa yang
digunakan untuk menggunakannya. Jika kita adalah anggota kelompok sosial yang
menggunakan sumpit itu, kita akan tahu aturan yang mendasarinya. Kelompok asing lain
hanya dapat melihat perilaku orang Tionghoa yang menggunakan sumpit atau
menanyakannya bagaimana mereka memperoleh ketrampilan seperti itu dan apa maknanya.
Sekalipun demikian, orang asing itu mungkin tidak mempelajari segala hal tentang
penggunaan sumpit namun bila dia hidup dalam jangka waktu lama dengan kelompok sosial
itu maka ia akan menemukan aturan tentang kesabaran dan etiket sekitar proses sederhana
berupa makan dengan menggunakan sumpit. Ini menunjukkan pada kita bahwa kebutuhan
biologis instingtif untuk memuaskan perut lapar harus dilakukan menurut cara yang yang
terprogram secara berbudaya.
Contoh sumpit juga memperlihatkan bahwa dua jenis perilaku dapat tercakup dalam
rutinitas sehari-hari seperti makan. Pertama, perilaku instrumental (instrumental behavior),
yang dipakai untuk mendapatkan sesuatu dan yang diprogram oleh pengetahuan instrumental
dari budaya. Kedua adalah perilaku ekspresif (expressive behavior), yang lebih menekankan
pada pengekspresian keyakinan, ide, dan nilai-nilai yang penting. Kesabaran dan etiket bukan
hanya diperlukan jika makan dan jika menunjukkan perilaku instrumental yang relevan,
namun merupakan ekspresi dari petunjuk tentang cara makan, nilai yang ditempatkan pada
makan dan jenis-jenis nilai yang ada seputar makan.
Perilaku ekspresif merupakan bagian penting dari ritual keagamaan. Tidak mungkin
nampak melakukan sesuatu dalam pengertian instrumental, sekalipun mengekspresikan
keyakinan dan ide yang penting Namun sekalipun ritual itu tidak melakukan apa-apa, namun
memiliki fungsi penting dalam membawa kenyamanan psikhologis. Ritual dapat menjadi cara
penting untuk menghilangkan/mengurangi perasaan frustasi atau kegelisahan saat krisis
seperti banjir, gempa, Tsunami, atau bencana alamiah lainnya. Dengan demikian ritual
religius dapat dikatakan memiliki fungsi instrumental.
Akhirnya penting untuk diingat bahwa pada sebagian besar masyarakat, program yang
demikian memberi sejumlah pilihan dan orang akan mengubah dan berperilaku secara bebas.
Masing-masing individu dapat mengembangkan budaya pribadi. Kadang-kadang ―melakukan

Multicultural & Keberagaman Sosial


6
sesuatu semaunya sendiri‖ menjadi tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya
(maladaptive) untuk bertahan hidup dan mereka dapat terisolasi (ingat budaya terutama adalah
program bersama).

3. Wujud Kebudayaan
Kalau kita perhatikan definisi budaya seperti diuraikan di atas, maka wujud
kebudayaan (Koentjaraningrat, 2000: 5) bisa terdiri dari
a. Wujud idiil (adat tata kelakuan) yang bersifat abstrak, tak dapat diraba. Terletak di alam
pikiran dari warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup, yang
nampak pada karangan, lagu-lagu. Fungsinya adalah pengatur, penata, pengendali, dan
pemberi arah kelakuan manusia dalam masyarakat. Adat terdiri atas beberapa lapisan,
yaitu sistem nilai budaya (yang paling abstrak dan luas), sistem norma-norma (lebih
kongkrit), dan peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas sehari-hari (aturan sopan
santun) yang paling kongkrit dan terbatas ruang lingkupnya.
b. Wujud kedua adalah sistem sosial mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri.
Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi yang selalu mengikuti
pola tertentu. Sifatnya kongkrit, bisa diobservasi.
c. Wujud ketiga adalah kebudayaan fisik yang bersifat paling kongkrit dan berupa benda
yang dapat diraba dan dilihat.
Ketiga wujud dari kebudayaan di atas dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak
terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan idiil memberi arah pada perbuatan dan karya
manusia. Pikiran atau ide dan karya manusia menghasilkan benda kebudayaan fisik.
Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama
makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pola
perbuatan.

4. Budaya dan Lingkungan


Tentu Anda tahu bahwa pada dasarnya kita tidak bisa lepas dan terpisah dari
lingkungan kita. Pada dasarnya kelompok sosial merupakan kolektivitas manusia yang kurang
lebih permanen yang hidup bersama dan berinteraksi dengan berbagai lingkungan yang
mengitari dirinya. Kelompok sosial harus bertahan hidup dengan beradaptasi dengan dan

Multicultural & Keberagaman Sosial


7
mengubah lingkungannya. Pengetahuan, ide, dan ketrampilan yang memungkinkan suatu
kelompok untuk bertahan hidup dapat dipandang sebagai program bertahan hidup atau
budaya.
Keberhasilan bertahan hidup suatu kelompok tergantung pada jenis lingkungan yang
dihadapi kelompok. Pertama, ada lingkungan geografis, atau habitat fisik. Lingkungan ini
memberi berbagai keunikan alamiah di mana kelompok sosial itu beradaptasi dengan atau
mengubah lewat teknologinya.

Gambar 1. Lingkungan geografis


Kedua, anggota kelompok sosial harus hidup bersama dan berinteraksi. Kelompok
sosial sebagai satu keseluruhan memiliki kelompok lain sebagai tetangga yang akan
membentuk lingkungan sosial dengan mana mereka juga berinteraksi. Beberapa dari
kelompok ini ada interaksi lokal dan memungkinkan interaksi tatap muka, sedangkan yang
lain lebih berjarak. Dalam skala dunia, kelompok sosial utama seperti negara hidup dalam
lingkungan sosial regional dan global dan harus beradaptasi dengan negara lain. Bagian
budaya sebagian besar tersusun dari semua kebiasaan dan aturan yang memungkinkan semua
skala interaksi yang berbeda ini dilakukan.
Ketiga, ada suatu jenis lingkungan yang biasanya kita tidak memikirkannya karena
tidak terlihat atau berinteraksi di dalam dunia ini. Namun nyatanya jutaan manusia dan sangat
mempengaruhi hidup. Asalnya terletak pada apa yang dipikirkan terhadap dorongan manusia
yang mendasar (a basic human drive) atau kebutuhan universal untuk menemukan makna dan
penjelasan dalam hidupnya. Satu cara untuk memuaskan kebutuhan akan makna ini adalah
mengembangkan keyakinan bahwa hidup ditentukan oleh Sesuatu yang lebih tinggi, yang
adanya di luar umat manusia, seperti Tuhan atau hal-hal supernatural lainnya. Seringkali ada

Multicultural & Keberagaman Sosial


8
pemikiran tentang kehidupan surga. Karena lingkungan ini berlokasi di luar pengalaman
disini-dan-kini (outside here-and-now experience) atau transenden (melampaui dunia), kita
dapat menunjuk jenis dunia spiritual ini sebagai lingkungan metafisik (metaphysical
environment). Tanpa memasukkan lingkungan metafisik dalam pembahasan kita, sulit untuk
memahami secara utuh mengapa beberapa kelompok sosial hidup sebagaimana mereka
lakukan. Misalnya, kehidupan tradisional suku Indian Navajo di Arizona, Amerika. Kita tidak
akan dapat memahami secara utuh jika tidak mengetahui tentang keyakinan mereka tentang
lingkungan metafisik yang berbahaya yang di sekelilingnya terdapat dukun, santet dan
keberadaan hal-hal supernatural. Suku Navajo mempercayai bahwa ada sesuatu yang
mempengaruhi kesehatan dan keselamatan seseorang. Eksistensinya memerlukan adopsi
mantera untk menjauhkan pengaruh setan dan menggunakan berbagai praktek jampi-jampi
(ethnomedical) seperti upacara menyembuhan orang yang menderita sakit.
Desain rumah Navajo tradisional (hogans) dan adat tradisional berkembang
berdasarkan pandangan Navajo tentang bagaimana mereka mempertahankan hidup dalam
lingkungan metafisik mereka. Begitu juga suku Baduy di Jawa Barat yang lebih menghargai
kakinya untuk diberi bantal ketika sedang tidur daripada kepalanya karena memandang bahwa
kaki lebih digunakan untuk menopang seluruh anggota tubuh mereka. Hal esensial tentang
praktek ini dan berbagai tempat lain di dunia ini adalah bahwa lingkungan metafisik yang
demikian itu nyata bagi yang mempercayainya seperti halnya Allah bagi orang Islam dan
Yesus bagi orang Nasrani.

Gambar 2. Pemburu dari Suku Navajo

Multicultural & Keberagaman Sosial


9
Gambar 3. Tari Kancet Papatai / Tari
Perang Tarian pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian
ini sangat lincah, gesit, penuh semangat diikuti oleh pekikan si penari. Dalam tari Kancet
Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan
perlatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak
Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.

C B

Gambar 4. Manusia dan Lingkungan


Kita lihat bagan di atas, manusia ternyata berada dan merespon lingkungan fisik (B),
lingkungan social (B) dan lingkungan metafisik (C).

5. Budaya dan Non Budaya


Memperhatikan luasnya pengertian budaya di atas, maka pertanyaan selanjutnya
adalah apa yang membedakan antara budaya dan non budaya? Hal-hal yang non budaya
mencakup benda yang keberadaannya sudah ada dengan sendirinya atau ciptaan Tuhan yang
tidak/belum mendapat sentuhan aktivitas manusia (benda- benda alamiah seperti batu, pohon,
gunung, tanah, planet), sedangkan budaya mencakup sesuatu yang keberadaannya sudah
mendapat sentuhan tangan manusia (misal, patung marmer/onix, bonsai, bangunan, aturan
makan dan lain-lain). Jadi batu dan kayu dapat dipandang sebagai non budaya bila didapatkan
Multicultural & Keberagaman Sosial
10
apa adanya sebagai batu gunung dan pepohonan, namun menjadi sebuah benda budaya bila
mendapat campur tangan manusia.

Gambar 6. Non Budaya (benda yang belum disentuh aktivitas manusia)

Gambar 7. Budaya (benda alamiah yang sudah mendapat campur tangan manusia)

6. Pranata Budaya
Pranata (institution) yang ada dalam kebudayaan dikelompokkan berdasarkan
kebutuhan hidup manusia yang hidup dalam ruang dan waktu :
a. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan
(kinship atau domestic institutions). Misal: perkawinan, pengasuhan anak.
b. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk pencaharian
hidup, memproduksi, menimbun dan mendistribusi harta benda (economic
institutions). Contoh : pertanian, industri, koperasi, pasar.
c. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan pendidikan
manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna (educational
institutions). Contoh : pengasuhan anak, pendidikan dasar, menengah dan
Multicultural & Keberagaman Sosial
11
pendidikan tinggi, pendidikan keagamaan, pers.
d. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, menyelami
alam semesta (scientific institutions). Contoh : penjelajahan luar angkasa,
satelit
e. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan
keindahannya dan rekreasi (aesthetic and recreational institutions). Contoh:
batik, seni suara, seni gerak, seni drama, olah raga,.
f. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan
dengan Tuhan atau dengan alam gaib (religious institutions). Contoh :
masjid, do‘a, kenduri, upacara, pantangan, ilmu gaib.
g. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan jasmaniah manusia (somatic
institutions). Contoh : perawatan kecantikan, pemeliharaan kesehatan,
kedokteran. (Koentjaraningrat, 2000).

Gambar 8. Batik Corak Solo dan Jogja

D. Rangkuman
Dilihat dari segi bahasa, kebudayaan berasal dari bahasa Inggris yaitu culture. Culture
berasal dari bahasa Latin yaitu : colere artinya ‖mengolah, mengerjakan‖ terutama mengolah
tanah atau bertani. Koentjaraningrat membagi dua pengertian. Kebudayaan dalam arti sempit
yaitu kesenian dan kebudayaan dalam arti luas yaitu sebagai keseluruhan gagasan dan karya

Multicultural & Keberagaman Sosial


12
manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan
karyanya.
Unsur-unsur kebudayaan yang universal adalah :
1. Sistem religi dan upacara keagamaan.
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup.
7. Sistem teknologi dan peralatan.
Tiga wujud kebudayaan terdiri dari wujud idiil yang abstrak, sistem sosial yang berupa
kelakuan berpola manusia, kebudayaan fisik yang berupa benda kongkrit. Lingkungan yang
dapat mempengaruhi kelompok-kelompok sosial terdiri dari : lingkungan fisik, sosial dan
lingkungan metafisik.
Budaya adalah segala sesuatu yang ada campur tangan manusia, sedangkan non budaya
adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan yang belum mendapat sentuhan aktivitas
manusia. Pranata Budaya dikelompokkan berdasarkan kebutuhan hidup manusia yang hidup
dalam ruang dan waktu yaitu : Pranata domistik dan kekerabatan, ekonomi, pendidikan, ilmiah,
estetik dan rekreasi, religius, dan somatik/jasmaniah

E. Latihan
Sampai di sini dulu pembahasan mengenai pengertian kebudayaan. Sebelum dilanjutkan
pada Subunit 1.2 mengenai Hakikat Pendidikan Multikultural maka untuk lebih memantapkan
pemahaman dan daya analisis Anda terhadap beberapa pengertian kebudayaan, terlebih dahulu
silakan Anda mengerjakan beberapa latihan berikut ini.
1) Kemukakan pengertian kebudayaan dilihat dari segi asal kata (bahasa) ?
2) Sebutkan unsur-unsur kebudayaan kebudayaan ?
3) Cobalah anda identifikasi adanya tiga wujud kebudayaan ?
4) Bedakan antara budaya dan non budaya Lengkapi masing-masing dua contoh
sehingga nampak jelas perbedaan antara keduanya ?

Multicultural & Keberagaman Sosial


13
BAB II
KONSEP DASAR PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

A. Kemampuan Akhir yang Direncanakan


 Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menguraikan konsep dasar pendidikan
multikultural

B. Indikator
 Menjelaskan pengertian pendidikan multikultural
 Mengidentifikasi pendidikan multikultural sebagai pendekatan
 Menjelaskan pentingnya mempelajari pendidikan multicultural
 Menungkapkan istilah-istilah pendidikan multicultural
 Memahamai teori-teori pendidikan multikultural menurut para ahli
 Membedakan 3 teori sosial: melting plot I, II dan cultural pluralism

C. Penyajian Materi
1. Pengertian Pendidikan Multikultural
Pertama-tama kita perlu sepakat lebih dahulu tentang pengertian multikultural.
Pengertian ―Multikultural‖ secara luas mencakup pengalaman yang membentuk persepsi
umum terhadap usia, gender, agama, status sosial ekonomi, jenis identitas budaya, bahasa,
ras, dan berkebutuhan khusus.

Gender

Usia Religi/Agama

Perilaku
Berkebutuhan Siswa Status sosial
Khusus ekonomi

Ras Jenis identitas


budaya
Bahasa

Gambar 9. Titik Temu Variabel Multikultural pada Perilaku Siswa


Multicultural & Keberagaman Sosial
14
Ketika membahas multikultural atau studi budaya lainnya, maka konsep ethic dan
Emic akan selalu muncul. Ethic dan emic sebenarnya merupakan istilah anthropologi
yang dikembangkan Pike (1967). Istilah ini berasal dari kajian anthropologi bahasa, yaitu
Phonemics yang merupakan studi yang mempelajari suara unik pada bahasa tertentu dan
Phonetics atau studi yang mempelajari bunyi-bunyian yang ditemukan pada semua bahasa
(universal) pada semua budaya. Pike memakai istilah Emic dan Ethic untuk menjelaskan dua
sudut pandang dalam mempelajari perilaku multikultural. Ethic adalah sudut pandang dalam
mempelajari budaya dari luar sistem budaya itu, dan merupakan pendekatan awal dalam
mempelajari suatu sistem budaya yang asing. Sedangkan emic sebagai sudut pandang
merupakan studi perilaku dari dalam sistem budaya tersebut (Segall, 1990). Ethic adalah
aspek kehidupan yang muncul konsisten pada semua budaya, emic adalah aspek kehidupan
yang muncul dan benar hanya pada satu budaya tertentu. Jadi, Ethic menjelaskan
universalitas suatu konsep kehidupan sedangkan emic menjelaskan keunikan dari sebuah
konsep budaya (Matsumoto, 1996).
Pemahaman kedua konsep ini sangat penting dan menjadi dasar dalam memahami
budaya dalam Pendidikan Multikultural. Sebuah perilaku manusia kita akui kebenarannya
sebagai sebuah ethic, maka dapat dikatakan bahwa perilaku manusia tersebut adalah
universal, termasuk dalam kebenarannya. Hasil penelitian yang dapat dilakukan dapat
digeneralisasi dan dijadikan dasar dalam penelitian selanjutnya. Misalnya ekspresi tertawa
pada semua budaya untuk mengekspresikan rasa senang. Sebaliknya sebuah perilaku atau
nilai hanya diketemukan pada satu budaya dan hanya benar pada budaya tersebut, dalam
studi Pendidikan Multikultural tidak boleh digeneralisasi dan hanya berlaku pada satu
budaya tersebut saja. Misalnya suku Dayak di Kalimantan yang memenggal kepala
(perilaku) setiap musuh yang dibunuh atau suku Indian yang mengambil kulit kepala dari
musuhnya yang telah meninggal adalah satu perilaku emic yang khas dan benar hanya pada
budaya tersebut. Perilaku khas Suku Dayak itu tidak dapat digeneralisir dalam analisa untuk
menjelaskan perilaku seluruh suku di Indonesia.
Ada persepsi umum yang berlaku bahwa orang muda harus menghormati yang lebih
tua. Karena menjalani status sosial sebagai abdi dalem di keraton Jogja dan Solo, maka
orang akan dengan rela berjalan dengan posisi lebih rendah (seperti berjongkok) sebagai
wujud penghormatan terhadap rajanya. Di kalangan suku tertentu ada yang menempatkan

Multicultural & Keberagaman Sosial


15
posisi wanita di belakang laki-laki. Suku Jawa yang memandang wanita sebagai ‖tiyang
wingking‖ (tiyang = orang, wingking = belakang) harus dipersepsi sebagai pihak yang
memberi dukungan pada sang suami. Persepsi umum di suku lain melihat ada yang melihat
perilaku wanita Bali yang menjadi tukang batu dipandang sebagai melanggar emansipasi
wanita, tetapi justru di kalangan wanita Bali tindakan mereka itu dipandang membantu sang
suami dan bukan dipandang sebagai pelanggaran hak wanita. Suku Tracia di Bulgaria
(Eropah) dan sebuah suku di Costa Rica, Amerika Latin menyambut kelahiran bayi dengan
bersedih sementara di tempat lain justru di terima dengan penuh kebahagiaan. Warga Kolok,
Bengkala, Buleleng, Bali ada yang menggunakan bahasa isyarat.dalam pergaulannya karena
hampir 2 % (48 orang di antara 2.894 jiwa) penduduknya bisu tuli (ANTV, 24 Januari
2007). Nilai yang dipandang tinggi dari suku ini adalah kejujuran karena keterbatasan dalam
berbahasa ini. Bahasa Jawa terdiri dari bahasa Krama Inggil, Krama Madya dan Ngoko
sebagai wujud penghormatan terhadap kalangan tertentu. Misalnya untuk menyebut ‖tidur‖
bisa berbeda penerapan bahasa (Bapak Sare = krama inggil, Mas tilem = krama madya, adik
turu = ngoko).
Ada hubungan antara pandangan hidup dan gaya hidup dalam masyarakat tertentu di
tanah air ini. Kita ambil contoh, orang Tionghoa memiliki gaya hidup yang hemat demi
mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Orang tua kelompok ini selalu menasehati
anaknya agar selalu menabung 250 rupiah tiap 1000 rupiah uang yang didapatnya,
bagaimana pun caranya. Mereka memiliki gaya hidup yang hemat, bukan pelit.
Cobalah Anda cari contoh untuk variabel yang lain di berbagai daerah dan berbagai
suku di tanah air!
Pendidikan Multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan
penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam
membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari
individu, kelompok maupun negara (Banks, 2001). Di dalam pengertian ini terdapat adanya
pengakuan yang menilai penting aspek keragaman budaya dalam membentuk perilaku
manusia.
Lebih lanjut, James A. Banks dalam bukunya ‖Multicultural
Education,‖mendefinisikan Pendidikan Multikultural sebagai berikut:

Multicultural & Keberagaman Sosial


16
Multicultural education is an idea, an educational reform movement, and a process
whose major goal is to change the structure of educational institutions so that male
and female students, exceptional students, and students who are members of diverse
racial, ethnic, and cultural groups will have an equal chance to achieve academically
in school (Banks, 1993: 1)

Pendidikan Multikultural adalah ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses


pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan
supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang
merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam- macam itu akan
memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah.
Jadi Pendidikan Multikultural akan mencakup:
a. Ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya.
b. Gerakan pembaharuan pendidikan.
c. Proses pendidikan.
Sekarang, carilah contoh dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan di lingkungan
Anda.

2. Pendidikan Multikultural sebagai Pendekatan


Berdasarkan kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural, maka untuk
membentuk negara Indonesia yang kokoh perlu mengembangkan jenis pendidikan yang
cocok untuk bangsa yang multikultural. Jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang
multikultur ini adalah Pendidikan Multikultural.
Sebagaimana disebutkan di atas, Pendidikan Multikultural paling tidak menyangkut
tiga hal yaitu (1) ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya, (2) gerakan
pembaharuan pendidikan dan (3) proses. Berikut ini akan diuraikan dasar yang membentuk
perlunya Pendidikan Multikultur.
(1) kesadaran nilai penting keragaman budaya
Perlu peningkatan kesadaran bahwa semua siswa memiliki karakteristik khusus
karena usia, agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya
tertentu yang melekat pada diri masing-masing. Pendidikan Multikultural berkaitan
dengan ide bahwa semua siswa tanpa memandang karakteristik budayanya itu
seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah. Perbedaan

Multicultural & Keberagaman Sosial


17
yang ada itu merupakan keniscayaan atau kepastian adanya namun perbedaan itu
harus diterima secara wajar dan bukan untuk membedakan. Artinya perbedaan itu
perlu kita terima sebagai suatu kewajaran dan perlu sikap toleransi agar kita bisa
hidup berdampingan secara damai tanpa melihat unsur yang berbeda itu untuk
membeda-bedakan.
Matakuliah Pendidikan Multikultural ini memberikan pemahaman mengenai
berbagai jenis kegiatan pendidikan sebagai bagian integral dari kebudayaan
universal. Di dalamnya akan dibahas kebudayaan yang teraktualisasi secara
internasional, regional, dan lokal sepanjang sejarah kemanusiaan. Kegiatan
pendidikan sebagai interaksi sosio-kultural paedagogis di Indonesia bukan hanya
dilakukan oleh suku bangsa Indonesia, tapi berbagai bangsa. Di dalam Pendidikan
Multikultural ini akan diungkap pula aktivitas paedagogis masa lalu, masa kini dan
masa depan di berbagai belahan dunia dengan fokus kebudayaan Indonesia.
(2) Gerakan pembaharuan pendidikan
Ide penting yang lain dalam Pendidikan Multikultural adalah bahwa sebagian
siswa karena karakteristik tersebut di atas, ternyata ada yang memiliki kesempatan
yang lebih baik untuk belajar di sekolah favorit tertentu sedangkan siswa dengan
karakteristik budaya yang berbeda tidak memiliki kesempatan itu.
Beberapa karakteristik institusional dari sekolah secara sistematis menolak
kelompok siswa untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama, walaupun
itu dilakukan secara halus. Dalam arti, dibungkus dalam bentuk aturan yang hanya
bisa dipenuhi oleh segolongan tertentu dan tidak bisa dipenuhi oleh golongan yang
lain. Kita perhatikan di lingkungan sekitar kita. Ada kesenjangan ketika muncul
fenomena sekolah favorit yang didominasi oleh golongan orang kaya karena ada
kebijakan lembaga yang mengharuskan untuk membayar uang pangkal yang mahal
untuk bisa masuk dalam kelompok sekolah favorit itu. Ada kebijakan yang
dipandang tidak adil bagi golongan Tionghoa karena ada diskriminasi terhadap
kelompok mereka sehingga mereka hanya berkecimpung di bidang yang sangat
terbatas, misalnya dagang, pengacara, dokter dan mengalami kesulitan berkarier di
bidang ketentaraan dan pemerintahan. Mereka dan sebagian warga negara asing
lainnya sulit mendapatkan status kewarganegaraan bagi anak-anak mereka

Multicultural & Keberagaman Sosial


18
sebelum tahun 2006. Ada keluhan di kalangan atlit bulutangkis untuk dimasuki
golongan pribumi karena sudah didominasi oleh warga keturunan Cina. Warga dari
Suku Anak Dalam di Lampung kurang mendapat kesempatan memperoleh
pendidikan yang memadai karena karakteristik budaya mereka yang unik dan
tinggal di daerah pedalaman.
Pendidikan Multikultural bisa muncul berbentuk bidang studi, program, dan
praktek yang direncanakan lembaga pendidikan untuk merespon tuntutan,
kebutuhan dan aspirasi berbagai kelompok. Sebagaimana ditunjukkan Grant dan
Sleeter, Pendidikan Multikultur bukan sekedar merupakan praktek aktual satu
bidang studi atau program pendidikan semata, namun mencakup seluruh aspek
pendidikan. Pada unit selanjutnya, akan dibahas mengenai hal ini.
(3) proses pendidikan
Pendidikan Multikultural juga merupakan proses (pendidikan) yang tujuannya
tidak akan pernah terrealisasikan secara penuh. Pendidikan Multikultural adalah
proses menjadi. Pendidikan Multikultural harus dipandang sebagai suatu proses
yang terus-menerus (an ongonging process), dan bukan sebagai sesuatu yang
langsung bisa tercapai. Tujuan utama dari Pendidikan Multikultural adalah untuk
memperbaiki prestasi secara utuh bukan sekedar meningkatkan skor.
Persamaan pendidikan, seperti juga kebebasan dan keadilan, merupakan ide umat
manusia yang harus dicapai dengan perjuangan keras namun tidak pernah dapat
mencapainya secara penuh. Ras, gender, dan diskriminasi terhadap orang yang
berkebutuhan akan tetap ada sekalipun kita telah berusaha sekeras mungkin
menghilangkan masalah ini. Jika prasangka dan diskriminasi dikurangi pada suatu
kelompok, biasanya keduanya terarah pada kelompok lain atau mengambil bentuk
yang lain. Karena tujuan Pendidikan Multikultur tidak akan pernah tercapai secara
penuh, kita seharusnya bekerja secara kontinyu meningkatkan persamaan
pendidikan untuk semua siswa (educational equality for all students).
Sejalan dengan pemikiran dari Banks di atas, Gorski menyimpulkan bahwa sejak
konsep paling awal muncul pada tahun 1960-an, pendidikan multikultural telah
berubah, difokuskan kembali, dan dikonseptualisasikan kembali. Pendidikan
multikultural berada di dalam kondisi perubahan baik teoritis maupun praktek

Multicultural & Keberagaman Sosial


19
sehingga jarang ada dua pengajar atau ahli pendidikan yang memiliki definisi yang
sama tentang pendidikan multikultural. Seperti halnya dalam suatu dialog
pendidikan, individu cenderung mengubah konsep untuk disesuaikan dengan fokus
tertentu. Beberapa di antaranya membahas pendidikan multikultural sebagai suatu
perubahan kurikulum, mungkin dengan menambah materi dan perspektif baru.
Yang lain berbicara tentang isu iklim kelas dan gaya mengajar yang dipergunakan
kelompok tertentu. Yang lain berfokus pada isu sistem dan kelembagaan seperti
jurusan, tes baku, atau ketidak cocokan pendanaan antara golongan tertentu yang
mendapat jatah lebih sementara yang lain kurang mendapat perhatian. Yang lain
lagi melihat perubahan pendidikan sebagai bagian dari perubahan masyarakat yang
lebih besar di mana kita mengeksplorasi dan mengkritik dasar-dasar
kemasyarakatan yang menindas dan bagaimana pendidikan berfungsi untuk
memelihara status quo – seperti di Amerika Serikat yang terlalu berpihak pada
supremasi kulit putih, kapitalisme, situasi sosio-ekonomi global dan eksploitasi.
Sekalipun banyak perbedaan konsep pendidikan multikultural, ada sejumlah ide
yang dimiliki bersama dari semua pemikiran dan merupakan dasar bagi
pemahaman Pendidikan Multikultural:
 kesempatan yang sama bagi setiap siswa untuk mewujudkan potensi
sepenuhnya,
 penyiapan pelajar untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat antar budaya,
 penyiapan pengajar agar memudahkan belajar bagi setiap siswa secara efektif,
tanpa memperhatikan perbedaan atau persamaan budaya dengan dirinya,
 partisipasi aktif sekolah dalam menghilangkan penindasan dalam segala
bentuknya. Pertama-tama dengan menghilangkan penindasan di sekolahnya
sendiri, kemudian menghasilkan lulusan yang sadar dan aktif secara sosial
dan kritis
 pendidikan harus berpusat pada siswa dengan mendengarkan aspirasi dan
pengalaman siswa,
 pendidik, aktivis, dan yang lain harus mengambil peranan lebih aktif dalam
mengkaji kembali semua praktek pendidikan, termasuk teori belajar,

Multicultural & Keberagaman Sosial


20
pendekatan mengajar, evaluasi, psikhologi sekolah dan bimbingan, materi
pendidikan dan buku teks, dan lain-lain.
Menurut Paul Gorski pendidikan multikultural merupakan pendekatan progresif
untuk mengubah pendidikan secara holistik dengan mengkritik dan memusatkan
perhatian pada kelemahan, kegagalan, dan praktek diskriminatif di dalam
pendidikan akhir-akhir ini. Keadilan sosial, persamaan pendidikan, dan dedikasi
menjadi landasan Pendidikan Multikultural dalam memfasilitasi pengalaman
pendidikan agar semua siswa dapat mewujudkan semua potensinya secara penuh
dan menjadikannya sebagai manusia yang sadar dan aktif secara lokal, nasional,
dan global.

Ada empat pendekatan yang mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam
kurikulum:
Pertama, pendekatan kontribusi (the contributions approach).
Level 1 ini adalah satu dari yang paling sering dan paling luas dipakai dalam fase
pertama dari gerakan kebangkitan etnis (ethnic revival movement). Juga sering digunakan
jika sekolah mencoba mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum
aliran utama.
Ciri pendekatan kontribusi adalah dengan memasukkan pahlawan etnis dan benda-
benda budaya yang khas ke dalam kurikulum, yang dipilih dengan menggunakan kriteria
budaya aliaran utama. Jadi individu seperti Crispus Attucks, Benjamin Bannaker,
Sacajawea, Booker T. Washington, dan Cesar Chavez sebagai pahlawan dari kelompok
multikultural ditambahkan dalam kurikulum. Mereka dibahas saat pahlawan Amerika aliran
utama seperti Patrick Henry, George Washington, Thomas Jefferson, dan John F. Kennedy
dipelajari dalam kurikulum inti. Elemen budaya yang khas seperti makanan, tari, musik dan
benda kelompok etnis dipelajari, namun hanya sedikit memberi perhatian pada makna dan
pentingnya budaya khas itu bagi komunitas etnis.
Karakteristik penting dari pendekatan kontribusi adalah bahwa kurikulum aliran
utama tetap tidak berubah dalam struktur dasar, tujuan, dan karakteristik. Persyaratan
implementasi pendekatan ini adalah minimal yang hanya mencakup pengetahuan dasar
mengenai masyarakat AS dan pengetahuan tentang pahlawan etnis dan peranan dan

Multicultural & Keberagaman Sosial


21
kontribusinya terhadap masyarakat dan budaya AS. Individu yang menentang ideologi, nilai
dan konsepsi masyarakat yang dominan dan yang mendukung reformasi sosial, politik, dan
ekonomi radikal jarang dimasukkan dalam pendekatan kontribusi. Jadi Booker T.
Washington lebih mungkin dipilih untuk studi dibandingkan dengan W.E.B Du Bois, dan
Sacajawea lebih mungkin dipilih daripada Geronimo. Kriteria yang digunakan untuk
memilih pahlawan etnis untuk dipelajari dan penentuan keberhasilan perjuangannya berasal
dari masyarakat aliran utama dan bukan dari komunitas etnis. Akibatnya, pemakaian
pendekatan kontribusi biasanya menghasilkan studi tentang pahlawan etnis yang hanya
menggambarkan satu perspektif penting dalam komunitas etnis. Dalam pendekatan
kontribusi, individu yang lebih radikal dan kurang konformis yang hanya menjadi pahlawan
bagi komunitas etnis cenderung untuk diabaikan dalam buku teks, materi pembelajaran
dan aktivitas yang dipakai.
Pendekatan kepahlawanan dan hari libur adalah varian dari pendekatan kontribusi.
Dalam pendekatan ini, materi etnis terutama terbatas pada hari, minggu dan bulan spesial
yang berhubungan dengan peristiwa dan peringatan etnis. Cinco de Mayo, HUT Martin
Luther King, dan Minggu Sejarah Afrika Amerika merupakan contoh hari dan minggu etnis
yang diperingati di sekolah. Selama perayaan ini, pengajar melibatkan siswa dalam
pelajaran, pengalaman, dan pawai sejarah yang berkaitan dengan kelompok etnis yang
sedang diperingati. Ketika pendekatan ini digunakan, kelas mempelajari sedikit atau tidak
sama sekali tentang kelompok etnis sebelum atau sesudah peristiwa atau kesempatan
khusus itu.
Pendekatan kontribusi memberi kesempatan pada guru untuk mengintegrasikan materi
etnis ke dalam kurikulum secara cepat dengan memberi pengenalan tentang kontribusi etnis
terhadap masyarakat dan budaya AS. Pengajar yang komit untuk mengintegrasikan materi
etnis ke dalam kurikulum hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang kelompok etnis dan
hanya sedikit merevisi kurikulum. Akibatnya, mereka menggunakan pendekatan kontribusi
saat mengajarkan tentang kelompok etnis. Guru-guru ini seharusnya mendorong,
mendukung, dan memberi kesempatan untuk mempelajari pengetahuan dan ketrampilan
yang diperlukan untuk mereformasi kurikulumnya dengan menggunakan satu atau beberapa
pendekatan yang efektif.

Multicultural & Keberagaman Sosial


22
Seringkali ada tuntutan politik yang kuat dari komunitas etnis terhadap sekolah untuk
mencantumkan pahlawan, kontribusi dan budaya mereka ke dalam kurikulum sekolah.
Kekuatan politik ini dapat mengambil bentuk tuntutan atas pahlawan dan kontribusi
pahlawan dari kelompok mereka karena pahlawan aliran utama seperti Washington,
Jefferson, dan Lincoln sangat nampak dalam kurikulum sekolah. Masyarakat etnis kulit
berwarna ingin melihat pahlawan dan kontribusi mereka sendiri berdampingan dengan
masyarakat aliran utama. Kontribusi tersebut dapat membantu mereka merasa dicantumkan
(inklusi struktural), teruji, dan persamaan. Inklusi kurikulum juga memfasilitasi penelitian
tentang kelompok etnis dan budaya yang menjadi korban kekuatan dan kekuasaan yang ada
saat ini.
Pendekatan kontribusi juga merupakan pendekatan paling awal bagi pengajar untuk
digunakan untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum. Namun, pendekatan ini
memiliki beberapa kelemahan serius. Jika integrasi kurikulum dilengkapi terutama dengan
memasukkan pahlawan dan kontribusi etnis, siswa tidak memperoleh pandangan global
tentang peranan kelompok etnis dan budaya di masyarakat AS. Lebih dari itu, mereka
melihat isu dan peristiwa etnis terutama sebagai tambahan terhadap kurikulum dan
akibatnya budaya itu hanya berkedudukan sebagai tempelan terhadap sejarah utama
perkembangan bangsa dan terhadap kurikulum inti dari seni bahasa, studi sosial, seni, dan
bidang pelajaran yang lain.
Pengajaran isu etnis dengan menggunakan kepahlawanan dan kontribusi juga
cenderung untuk mengabaikan konsep dan isu penting yang berkaitan dengan korban dan
penindasan dari kelompok enis dan perjuangan melawan rasisme dan kekuasaan. Isu seperti
ras, kemiskinan, dan penindasan cenderung dijauhi dalam pendekatan kontribusi untuk
integrasi kurikulum. Cenderung berfokus pada suatu keberhasilan dan pengesahan dari mitos
Horatio Alger bahwa semua orang Amerika yang berkemauan untuk bekerja keras dapat
beranjak dari miskin menjadi kaya dan menaikkan sendiri dengan usaha mereka sendiri.
Kisah keberhasilan dari sejarah etnis seperti Booker T. Washington George
Washington Carver, dan Jackie Robinson, biasanya diceritakan dengan fokus pada
kesuksesan mereka, dengan sedikit perhatian pada rasisme dan hambatan lain yang mereka
hadapi dan bagaimana mereka berhasil mengatasi rintangan yang mereka hadapi. Siswa
seharusnya belajar tentang proses seseorang menjadi pahlawan di samping tentang status

Multicultural & Keberagaman Sosial


23
dan peranannya sebagai pahlawan. Hanya jika siswa mempelajari proses individu menjadi
pahlawan akan membuat mereka memahami secara utuh bagaimana individu, khususnya
individu kulit berwarna, mencapai dan mempertahankan status pahlawan dan proses menjadi
pahlawan apa yang berarti bagi kehidupan mereka sendiri.
Pendekatan kontribusi seringkali menghasilkan peremehan budaya etnis, studi
tentang karakteristik aneh dan eksotis mereka, dan penguatan stereotipe dan salah konsepsi.
Jika fokusnya adalah pada kontribusi dan aspek unik dari budaya etnis, siswa tidak terbantu
untuk memandangnya sebagai keseluruhan yang lengkap dan dinamis. Pendekatan
kontribusi juga cenderung berfokus pada gaya kelompok etnis daripada struktur
lembaga seperti rasisme dan diskriminasi, yang secara kuat mempengaruhi kesempatan
hidup mereka dan tetap membuatnya lemah dan terpinggirkan.
Pendekatan kontribusi terhadap integrasi materi dapat memberi siswa dengan
pengalaman sesaat yang dapat diingat dengan pahlawan etnis, namun seringkali gagal untuk
membantunya memahami peran dan pengaruh pahlawan itu dalam konteks keseluruhan dari
sejarah dan masyarakat Amerika. Jika pahlawan etnis dipelajari terpisah dan menjadi bagian
dari konteks sosial dan politis di mana mereka hidup dan bekerja, siswa hanya memperoleh
pemahaman parsial tentang peranan dan signifikannya dalam masyarakat. Jika Martin
Luther King, Jr. dipelajari di luar konteks sosial dan politik rasisme pelembagaan di AS
Selatan pada tahun 1940 dan 1950 an, dan tanpa perhatian yang lebih tajam dari rasisme
pelembagaan di Utara selama periode ini, signifikansi utuhnya sebagai pembaharu sosial
tidak ternyatakan ataupun dimengerti oleh siswa.

Kedua, Pendekatan Aditif (Additive Approach)


Tahap kedua Pendekatan penting lain terhadap integrasi materi etnis terhadap
kurikulum adalah penambahan materi, konsep, tema dan perspektif terhadap kurikulum
tanpa mengubah struktur, tujuan dan karateristik dasarnya. Pendekatan Aditif (Tahap 2) ini
sering dilengkapi dengan penambahan suatu buku, unit, atau bidang terhadap kurikulum
tanpa mengubahnya secara substansial. Contoh pendekatan ini meliputi penambahan buku
seperti The Color Purple pada suatu unit tentang abad duapuluh, penggunaan film Miss Jane
Patman selama unit tentang 1960-an, dan penambahan tentang suatu unit pada tawanan
Jepang Amerika selama studi Perang Dunia II di sebuah kelas sejarah Amerika Serikat.

Multicultural & Keberagaman Sosial


24
Pendekatan aditif memungkinkan pengajar untuk memasukkan materi etnis ke dalam
kurikulum tanpa restrukturisasi, suatu proses yang akan memakan waktu, usaha, latihan dan
pemikiran kembali dari maksud, sifat dan tujuan kurikulum yang substansial. Pendekatan
aditif dapat menjadi fase awal dalam upaya reformasi kurikulum transformatif yang
didesain untuk menyusun kembali kurikulum total dan untuk mengintegrasikannya dengan
materi, perspektif dan kerangka pikir etnis.
Namun pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan seperti dari pendekatan
kontribusi. Yang paling penting adalah pandangan tentang materi etnis dari perspektif
sejarawan, penulis, artis, dan ilmuwan aliran utama yang tidak memerlukan restrukturisasi
kurikulum. Peristiwa, konsep, isu, dan masalah yang diseleksi untuk studi diseleksi dengan
menggunakan kriteria dan perspektif Eurosentris dan aliran utama sentris. Jika mengajar
suatu unit seperti Gerakan Barat pada kelas sejarah di AS kelas 5, guru dapat
mengintegrasikan unit dengan menambahkan materi tentang Oglala Sioux Indian. Namun,
unit tetap berpusat dan difokuskan pada aliran utama. Suatu unit disebut Gerakan Barat dan
Eropah sentris sebagai aliran utama karena berfokus pada orang Eropah Amerika dari bagian
Timur ke Barat Amerika Serikat. Oglala Sioux telah ada di Barat dan akibatnya tidak
bergerak menuju ke barat. Unit mungkin menyebut Invasi dari Timur, dari sudut pandang
Oglala Sioux. Black Elk, orang suci Oglala Sioux, mengeluhkan pemusnahan orang-
orangnya yang berpuncak pada kekalahan mereka di Wounded Knee Creek pada 29
Desember 1890. Kurang lebih 200 laki, perempuan, dan anak Sioux terbunuh oleh
pasukan AS. Black Elk berkata,‖Ranting-ranting bangsa (Sioux) patah dan terpencar. Tidak
ada lagi pusat, dan pohon yang dikeramatkan telah mati.‖ Black Elk tidak memandang
tanahnya ―Barat,‖ tetapi lebih pada pusat dunia. Ia memandang arah utama secara
metafisik. Jika mengajar tentang gerakan orang Eropah melintasi Amerika Utara , pengajar
seharusnya membantu siswa memahami bahwa kelompok budaya, ras, dan etnis yang
berbeda sering memiliki konsepsi dan sudut pandang yang berbeda dan bertentangan atas
peristiwa sejarah, konsep, isu, dan perkembangan yang sama. Pemenang dan yang
ditundukkan seringkali memiliki konsep yang berlawanan atas peristiwa sejarah yang sama.
Namun, biasanya sudut pandang pemenang yang terlembagakan dalam sekolah dan
masyarakat aliran utama. Ini terjadi karena sejarah dan buku teks biasanya ditulis oleh orang
yang menang perang dan memperoleh keuntungan untuk mengontrol masyarakat, dan bukan

Multicultural & Keberagaman Sosial


25
oleh yang kalah – korban dan lemah. Perspektif dari kedua kelompok perlu untuk membantu
kita memahami secara penuh sejarah, budaya dan masyarakat kita.
Orang yang ditaklukkan dan orang yang menaklukkan memiliki sejarah dan budaya
yang saling menjalin dan saling berhubungan secara berbelit-belit. Mereka harus
mempelajari masing-masing sejarah dan budaya yang lain untuk memahaminya secara utuh.
Pendekatan aditif gagal membantu siswa melihat masyarakat dari perspektif budaya dan
etnis yang berbeda dan memahami cara yang saling berhubungan sejarah dan budaya dari
kelompok etnis, ras, budaya, dan religi yang berbeda.
Isi, materi, dan isu yang ditambahkan ke dalam kurikulum seperti embel-embel
daripada bagian integral dari unit pelajaran dapat menjadi problematis. Problem mungkin
muncul jika buku seperti The Color Purple atau film seperti Miss Jane Pittman ditambahkan
pada unit jika siswa kekurangan konsep, latar belakang materi, dan kematangan emosional
sehubungan dengan isu dan masalah dalam materi ini. Penggunaan efektif dari materi yang
kompleks dan bermuatan emosi biasanya memerlukan guru yang membantu siswa
mempelajari secara bertahap dan berkembang, memiliki latar belakang materi yang kuat
serta memiliki kematangan sikap. Penggunaan kedua materi ini di kelas dan sekolah yang
berbeda telah menimbulkan masalah utama bagi pengajar yang menggunakannya. Suatu
kontroversi masyarakat timbul. Masalah berkembang karena materi digunakan pada siswa
yang tidak memiliki latar belakang isi atau kepuasan sikap untuk meresponnya secara
memadai. Menambahkan materi etnis ke dalam kurikulum menurut cara yang sporadis dan
terpilah-piliah dapat menyebabkan masalah pedagogis, kesulitan bagi guru, kebingungan
siswa, dan kontroversi masyarakat.

Ketiga, Pendekatan Transformasi


Pendekatan transformasi (The transformation approach) berbeda secara mendasar dari
pendekatan kontribusi dan aditif. Pada kedua pendekatan, materi etnis ditambahkan pada
kurikukulum inti aliran utama tanpa mengubah asumsi dasar, sifat, dan strukturnya. Dalam
pendekatan transformasi ada perubahan dalam tujuan, struktur, dan perspektif fundamental
dari kurikulum.
Pendekatan transformasi (tahap 3) mengubah asumsi dasar kurikulum dan
menumbuhkan kompetensi siswa dalam melihat konsep, isu, tema dan problem dari

Multicultural & Keberagaman Sosial


26
beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Perspektif berpusat pada aliran utama adalah
hanya satu di antara beberapa perspektif darimana isu, masalah, konsep, dan isu dipandang.
Tidak mungkin dan tidak inginlah untuk melihat setiap isu, konsep, peristiwa atau masalah
dari sudut pandang setiap kelompok etnis AS. Lebih dari itu, tujuan seharusnya
memungkinkan siswa untuk melihat konsep dan isu lebih dari satu perspektif dan melihat
peristiwa, isu, atau konsep yang sedang dipelajari dari sudut pandang kelompok etnis,
budaya dan ras partisipan yang paling aktif, atau berpengaruh paling meyakinkan (Banks,
1993: 203). Isu kurikulum esensial yang terdapat dalam reformasi kurikulum multikultural
bukan penambahan dari daftar panjang dari kelompok, pahlawan, atau kontribusi etnis
namun pemasukan berbagai perspektif, kerangka pikir, dan materi dari berbagai kelompok
yang akan memperluas pemahaman siswa akan sifat, perkembangan, dan kompleksitas
masyarakat AS. Jika siswa sedang mempelajari revolusi dari koloni Inggris, perspektif dari
revolusi Anglo, loyalis Anglo, Afrika Amerika, India, dan Inggris adalah esensial bagi
mereka untuk memperoleh suatu pemahaman utuh tentang peristiwa yang signifikan dalam
sejarah Amerika. Siswa harus mempelajari revolusi dari berbagai kelompok yang berbeda
ini untuk dipahami secara utuh.
Dalam seni bahasa, jika siswa sedang mempelajari sifat bahasa Inggris Amerika,
mereka seharusnya dibantu untuk memahami perbedaan bahasa dan kekayaan linguistik di
Amerika Serikat dan hal-hal dari berbagai kelompok regional, kultural, dan etnis
mempengaruhi perkembangan bahasa Inggris AS. Siswa seharusnya juga mengkaji
bagaimana penggunaan bahasa normatif berbeda dalam konteks sosial, wilayah dan situasi.
Pemakaian bahasa Inggris orang kulit hitam sesuai untuk konteks sosial dan kultural
tertentu dan tidak cocok untuk yang lain. Ini juga benar bagi bahasa Inggris AS baku. AS
kaya bahasa dan dialek. Negara ini memiliki lebih dari 20 juta warga Hispanis. Spanyol
adalah bahasa pertama sebagian besar dari mereka. Sebagian besar dari sekitar 30 juta
bangsa Afrika Amerika berbicara baik dengan bahasa Inggris baku maupun bahasa Inggris
kulit hitam. Perbedaan bahasa yang kaya di Amerika Serikat mencakup lebih dari dua puluh
lima bahasa Eropah, Asia, Afrika, dan bahasa Timur Tengah, serta bahasa Indian Amerika.
Sejak tahun 1970-an, bahasa dari Indo China, digunakan berbicara oleh kelompok seperti
orang Hmong, Vietnam, Laos, dan Kamboja, lebih memperkaya perbedaan bahasa di
Amerika Serikat.

Multicultural & Keberagaman Sosial


27
Jika mempelajari musik, tari, dan sastra, guru seharusnya memperkenalkan siswa
dengan bentuk-bentuk seni di antara etnis AS yang amat berpengaruh dan memperkaya
tradisi seni dan sastra negara ini. Hal-hal yang berkaitan dengan musikus Afrika Amerika
seperti Bessie Smith, W.C. Handy, dan Leontyne Price yang telah mempengaruhi sifat dan
perkembangan musik AS seharusnya dikaji saat mempelajari perkembangan musik AS.
Orang Afrika Amerika dan Puerto Rico mempengaruhi perkembangan tarian orang
Amerika. Penulis dari orang kulit berwarna seperti Langston Hughes, N. Scott Momaday,
Carlos Bulosan dan lain-lain bukan hanya telah mempengaruhi secara signifikan
perkembangan sastra Amerika, namun juga memberikan perspektif unik dan menampakkan
sastra dan masyarakat Amerika.
Jika mempelajari sejarah, bahasa, musik, seni, sains, dan matematika AS, penekanan
seharusnya bukan pada cara-cara di mana berbagai kelompok etnis dan budaya itu telah
berkontribusi pada aliran utama budaya dan masyarakat AS. Lebih dari itu, penekanan
seharusnya pada bagaimana budaya dan masyarakat AS pada umumnya muncul dari sintesis
dan interaksi kompleks dari elemen budaya yang berbeda yang asalnya dari berbagai
kelompok budaya, ras, etnis, dan agama yang membentuk masayarakat Amerika. Banks
menyebut proses ini multiple acculturation dan berpendapat bahwa sekalipun Anglo-Saxon
Protestan adalah kelompok dominan di Amerika Serikat secara kultural, politis, dan
ekonomis, akan terjadi salah pengertian dan tidak akuratlah untuk menggambarkan budaya
dan masyarakat AS sebagai budaya Anglo-Saxon Protestan. Kelompok etnis dan budaya AS
yang lain amat mempengaruhi, membentuk, dan berpartisipasi dalam perkembangan dan
pembentukan masyarakat dan budaya AS. Orang Afrika Amerika, misalnya, amat
mempengaruhi perkembangan budaya AS selatan, sekalipun mereka hanya memiliki sedikit
kekuasaan politik dan ekonomi.
Konsepsi akulturasi ganda (a multiple acculturation conception) dari masyarakat dan
budaya AS mengarah pada perspektif bahwa memandang peristiwa etnis, sastra, musik, dan
seni sebagai bagian integral dari yang membentuk budaya AS secara umum. Budaya WASP
hanya dipandang sebagai bagian dari keseluruhan budaya yang lebih besar. Jadi mengajari
sastra Amerika tanpa melibatkan penulis kulit berwarna yang signifikan memberikan
pandangan yang parsial dan tidak lengkap tentang sastra, budaya, dan masyarakat AS.

Multicultural & Keberagaman Sosial


28
Keempat, Pendekatan Aksi Sosial
Pendekatan Aksi Sosial (the Social Action Approach) mencakup semua elemen dari
pendekatan transformasi namun menambahkan komponen yang mempersyaratkan siswa
membuat keputusan dan melakukan aksi yang berkaitan dengan konsep, isu, atau masalah
yang dipelajari dalam unit. Tujuan utama dari pengajaran dalam pendekatan ini adalah
mendidik siswa melakukan untuk kritik sosial dan perubahan sosial dan mengajari mereka
ketrampilan pembuatan keputusan. Untuk memperkuat siswa dan membantu mereka
memperoleh kemanjuran politis, sekolah seharusnya membantunya menjadi kritikus sosial
yang reflektif dan partisipan yang terlatih dalam perubahan sosial. Tujuan tradisional dari
persekolahan yang telah ada adalah untuk mensosialisasi siswa sehingga mereka menerima
tanpa bertanya ideologi, lembaga, dan praktek yang ada dalam masyarakat dan negara.
Pendidikan politik di Amerika Serikat secara tradisional meningkatkan kepasifan
politik daripada aksi politik. Tujuan utama dari pendekatan aksi sosial adalah untuk
membantu siswa memperoleh pengetahuan, nilai, dan ketrampilan yang mereka butuhkan
untuk berpartisipasi dalam perubahan sosial sehingga kelompok-kelompok ras dan etnis
yang terabaikan dan menjadi korban ini dapat menjadi berpartisipan penuh dalam
masyarakat AS dan negara akan lebih dekat dalam mencapai ide demokrasi. Untuk
berpartisipasi secara efektif dalam perubahan sosial yang demokratis, siswa harus diajar
kritik sosial dan harus dibantu untuk memahami inkonsistensi antara ideal dan realitas
sosial, kegiatan yang harus dilakukan untuk mendekatkan jurang pemisah ini, dan
bagaimana siswa, sebagai individu dan kelompok, dapat mempengaruhi sistem politik
dan sosial pada masyarakat AS. Dalam pendekatan ini, pengajar adalah agen perubahan
sosial (agents of social change) yang meningkatkan nilai-nilai demokratis dan kekuatan
siswa. Empat pendekatan untuk integrasi materi multikultural ke dalam kurikulum sering
dipadukan dalam situasi pengajaran aktual. Satu pendekatan, seperti pendekatan kontribusi,
dapat dipakai sebagai wahana untuk bergerak ke yang lain, yang lebih menantang secara
intelektual seperti pendekatan transformasi dan pendekatan aksi sosial. Tidak realistis untuk
mengharapkan guru berpindah secara langsung dari kurikulum yang amat berpusat pada
aliran utama ke pendekatan yang berfokus pada pembuatan keputusan dan aksi sosial.

Multicultural & Keberagaman Sosial


29
3. Pentingnya Mempelajari Pendidikan Multicultural
Pendidikan Multikultural dapat menjadi elemen yang kuat dalam kurikulum Indonesia
untuk mengembangkan kompetensi dan ketrampilan hidup (life skills). Masyarakat
Indonesia terdiri dari masyarakat multikultur yang mencakup berbagai macam perspektif
budaya yang berbeda. Jadi sangat relevanlah bagi sekolah di Indonesia untuk menerapkan
Pendidikan Multikultural. Pendidikan Multikultural dapat melatih siswa untuk menghormati
dan toleransi terhadap semua kebudayaan.
Pendidikan Multikultural sebagai kesadaran merupakan suatu pendekatan yang
didasarkan pada keyakinan bahwa budaya merupakan salah satu kekuatan yang dapat
menjelaskan perilaku manusia. Budaya memiliki peranan yang sangat besar di dalam
menentukan arah kerjasama maupun konflik antar sesama manusia. Huntington meramalkan
bahwa pertentangan manusia yang akan datang merupakan pertentangan budaya. Oleh sebab
itu kita perlu meneliti kekuatan yang tersimpan di dalam budaya masing-masing kelompok
manusia agar dapat dimanfaatkan bagi kebaikan bersama. Pendidikan Multikultural
dipersepsikan sebagai suatu jembatan untuk mencapai kehidupan bersama dari umat
manusia di dalam era globalisasi yang penuh tantangan baru. Pertemuan antarbudaya bisa
berpotensi memberi manfaat tetapi sekaligus menimbulkan salah paham. Itulah rasional
yang menunjukkan arti pentingnya keberadaan Pendidikan Multikultural.
Tujuan Pendidikan Multikultural mencakup:
1) Pengembangan Literasi Etnis dan Budaya
Salah satu alasan utama gerakan untuk memasukkan Pendidikan Multikultural dalam
program sekolah adalah untuk memperbaiki kelalaian dalam penyusunan kurikulum.
Pertama, kita harus memberi informasi pada siswa tentang sejarah dan kontribusi dari
kelompok etnis yang secara tradisional diabaikan dalam kurikulum dan materi
pembelajaran, kedua, kita harus menempatkan kembali citra kelompok ini secara lebih
akurat dan signifikan, menghilangkan bias dan informasi menyimpang yang terdapat
dalam kurikulum. Yang dimaksud dengan informasi menyimpang ini adalah informasi
yang salah tentang sistem nilai dan budaya dari etnis tertentu atau melihat sistem nilai
budaya mereka dari sudut pandang kelompok lain. Siswa masih terlalu sedikit
mengetahui tentang sejarah, pewarisan, budaya, bahasa, dan kontribusi kelompok
masyarakat yang beragam dari bangsanya sendiri.

Multicultural & Keberagaman Sosial


30
Jadi, tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah mempelajari tentang latar belakang
sejarah, bahasa, karakteristik budaya, sumbangan, peristiwa kritis, individu yang
berpengaruh, dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi dari berbagai kelompok etnis
mayoritas dan minoritas. Informasi ini harus komprehensif, analistis, dan komparatif,
dan harus memasukkan persamaan dan perbedaan di antara kelompok- kelompok yang
ada.
Tujuan ini cocok untuk mayoritas siswa maupun kelompok minoritas etnis. Kesalahan
yang sering dibuat adalah menganggap bahwa anggota kelompok etnis minoritas telah
mengetahui budaya dan sejarahnya atau bahwa jenis pengetahuan ini hanya relevan
untuk mereka, bukan untuk kami. Pendidikan Multikultural berargumentasi sebaliknya.
Keanggotaan kelompok etnis tidak menjamin pengetahuan diri atau pemilikan
pengetahuan tentang kelompok itu. Orang yang berasal dari Jawa tidak otomatis
mengetahui budaya Jawa. Orang Bali tidak otomatis mengetahui keyakinan dan budaya
yang ada di daerahnya. Mempelajari sejarah, kehidupan, dan budaya kelompok etnis
cocok untuk semua siswa karena mereka perlu belajar lebih akurat tentang warisan
budayanya sendiri maupun budaya orang lain. Lebih dari itu, pengetahuan tentang
pluralisme budaya merupakan dasar yang diperlukan untuk menghormati,
mengapresiasi, menilai dan memperingati keragaman, baik lokal, nasional dan
internasional.
2) Perkembangan Pribadi
Dasar psikhologis Pendidikan Multikultural menekankan pada pengembangan
pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang positif, dan kebanggaan pada
identitas pribadinya. Penekanan bidang ini merupakan bagian dari tujuan Pendidikan
Multikultural yang berkontribusi pada perkembangan pribadi siswa, yang berisi
pemahaman yang lebih baik tentang diri yang pada akhirnya berkontribusi terhadap
keseluruhan prestasi intelektual, akademis, dan sosial siswa.
Siswa merasa baik tentang dirinya sendiri karena lebih terbuka dan reseptif (menerima)
dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghormati budaya dan identitasnyanya.
Pendapat ini mendapat justifikasi lebih lanjut dengan temuan penelitian yang berkaitan
dengan adanya hubungan timbal balik antara konsep diri, prestasi akademis, identitas
individu, etnis dan budaya.

Multicultural & Keberagaman Sosial


31
Para siswa telah menginternalisasi konsep negatif dan salah tentang etnisnya sendiri dan
kelompok etnis lain. Siswa dari kelompok lain mungkin berpendirian bahwa warisan
budayanya hanya memiliki nilai tawar yang kecil, sedangkan nilai yang ada pada
kelompok dominan mungkin terlalu ditinggikan. Mengembangkan pemahaman yang
lebih baik tentang diri mereka sendiri dan pengalaman budaya dan kelompok etnis yang
lain dapat memperbaiki penyimpangan ini. Pendidikan Multikultural juga membantu
mencapai tujuan memaksimalkan potensi kemanusiaan, dengan memenuhi kebutuhan
individu, dan mengajar siswa seutuhnya dengan mempertinggi rasa penghargaan
pribadi, kepercayaan dan kompetensi dirinya. Pendidikan Multikultural menciptakan
kondisi kesiapan psikhososial dalam diri individu dan lingkungan belajar yang memiliki
efek positif pada upaya dan penguasaan tugas akademis.
3) Klarifikasi Nilai dan Sikap
Pendidikan Multikultural mengangkat nilai-nilai inti yang berasal dari prinsip martabat
manusia (human dignity), keadilan, persamaan, kebebasan, dan demokrasi. Maksudnya
adalah mengajari generasi muda untuk menghargai dan menerima pluralisme etnis,
menyadarkan bahwa perbedaan budaya tidak sama dengan kekurangan atau rendah diri,
dan untuk mengakui bahwa keragaman merupakan bagian integral dari kondisi manusia.
Pengklarifikasian sikap dan nilai etnis didesain untuk membantu siswa memahami
bahwa berbagai konflik nilai itu tidak dapat dielakkan dalam masyarakat pluralistik; dan
bahwa konflik tidak harus menghancurkan dan memecah belah. Jika kita mengelola
dengan baik hal itu akan dapat menjadi katalis kemajuan sosial dan ada kekuatan dalam
pluralisme etnis dan budaya; bahwa kesetiaan etnis (ethnic allegiance) dan loyalitas
nasional (national loyalty) bukan tidak dapat didamaikan; dan bahwa kerjasama dan
koalisi di antara kelompok etnis tidak tergantung pada pemilikan keyakinan, nilai, dan
perilaku yang sama. Menganalisa dan mengklarifikasi sikap dan nilai etnis merupakan
langkah kunci dalam proses melepaskan potensi kreatif individu untuk memperbarui diri
dan masyarakat untuk tumbuh-kembang lebih lanjut.
4) Kompetensi Multikultural
Penting sekali bagi siswa untuk mempelajari bagaimana berinteraksi dengan dan
memahami orang yang secara etnis, ras, dan kultural berbeda dari dirinya. Dunia kita
menjadi semakin lebih beragam, kompak, dan saling tergantung. Namun, bagi sebagian

Multicultural & Keberagaman Sosial


32
besar siswa, awal-awal pembentukan kehidupannya dihabiskan dengan isolasi atau
terkurung di daerah kantong secara etnis dan kultural. Kita biasa hidup dalam kantong-
kantong budaya yang sempit yang hanya mengenal budaya yang sempit pula. Peralihan
dari generasi ke generasi mengalami penurunan pemahaman akan budaya kita. Nenek
kita lebih mengenal budaya daerah kita. Orang tua kita mengalami sedikit pengurangan
dalam memahami budayanya. Akhirnya dia mengajarkan nilai-nilai budaya yang tidak
utuh itu pada kita. Akhirnya jadilah anak kita yang terkungkung oleh kepicikan budaya
yang serba kurang dan menyimpang dari akar budaya yang sesungguhnya. Mungkin kita
bukan orang Batak tulen atau Bali tulen yang benar-benar memahami budaya kita. Kita
tidak menyiapkan lingkungan dan latar belakang multikultural yang berbeda untuk
pembelajaran. Upaya interaksi lintas kultural seringkali terhalang oleh nilai, harapan
dan sikap negatif ; kesalahan budaya (cultural blunders); dan dengan mencoba
menentukan aturan etiket sosial (rules of social etiquette) dari satu sistem budaya
terhadap sistem budaya yang lain. Hasilnya seringkali adalah frustasi, kecemasan,
ketakutan, kegagalan dan permusuhan kelompok antarras dan antaretnik.
Pendidikan Multikultural dapat meredakan ketegangan ini dengan mengajarkan
ketrampilan dalam komunikasi lintas budaya, hubungan antar pribadi, pengambilan
perspektif, analisis kontekstual, pemahaman sudut pandang dan kerangka berpikir
alternatif, dan menganalisa bagaimana kondisi budaya mempengaruhi nilai, sikap,
harapan, dan perilaku. Pendidikan Multikultural dapat membantu siswa mempelajari
bagaimana memahami perbedaan budaya tanpa membuat pertimbangan nilai yang
semena-mena tentang nilai intrinsiknya. Untuk mencapai tujuan ini anak dapat diberi
pengalaman belajar dengan memberi berbagai kesempatan pada siswa untuk
mempraktekkan kompetensi budaya dan berinteraksi dengan orang, pengalaman, dan
situasi yang berbeda.
5) Kemampuan Ketrampilan Dasar
Tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah untuk memfasilitasi pembelajaran untuk
melatih kemampuan ketrampilan dasar dari siswa yang berbeda secara etnis. Pendidikan
Multikultural dapat memperbaiki penguasaan membaca, menulis dan ketrampilan
matematika; materi pelajaran; dan ketrampilan proses intelektual seperti pemecahan
masalah, berpikir kritis, dan pemecahan konflik dengan memberi materi dan teknik

Multicultural & Keberagaman Sosial


33
yang lebih bermakna untuk kehidupan dan kerangka berpikir dari siswa yang berbeda
secara etnis. Menggunakan materi, pengalaman, dan contoh-contoh sebagai konteks
mengajar, mempraktekkan, dan mendemonstrasikan penguasaan ketrampilan akademis
dan mata pelajaran dapat meningkatkan daya tarik pembelajaran, mempertinggi
relevansi praktis ketrampilan yang dipelajari, dan memperbaiki tempo siswa dalam
melaksanakan tugas. Kombinasi kondisi ini akan membimbing ke arah upya yang lebih
terfokus, penguasaan ketrampilan dan prestasi akademis. Misalnya, kita menggunakan
sempoa dari etnis Tionghoa untuk melatih ketrampilan di bidang aritmatika.
Aspek lain dari Pendidikan Multikultural yang berkontribusi secara langsung pada level
pencapaian ketrampilan dasar yang lebih tinggi adalah kesesuaian dengan gaya belajar
dan mengajar. Tidak adanya titik temu dalam bagaimana siswa yang berbeda
mempelajari masyarakat budayanya dan bagaimana mereka diharapkan belajar di
sekolah menyebabkan banyak waktu dan perhatian dicurahkan pada pemecahan konflik
daripada berkonsentrasi dalam tugas akademis itu sendiri. Mengajari siswa supaya biasa
belajar meminimalkan konflik ini dan menyalurkan energi dan upaya secara langsung
lebih diarahkan pada penyelesaikan tugas akademis. Jadi, pengajaran kontekstual secara
kultural dalam melakukan proses pendidikan lebih efektif untuk siswa yang beragam
secara etnis menjadi prinsip mendasar dari Pendidikan Multikultural.
Jenis iklim sosial yang ada di kelas juga mempengaruhi kinerja siswa adalam tugas
akademis. Pengaruh ini terutama benar untuk kelompok etnis yang mempertimbangkan
hubungan sosial dan latar belakang informal untuk proses belajar. Jika guru merespon
kebutuhan ini dengan memasukkan simbol, gambar, dan informasi etnis dalam dekorasi
ruang kelas, isi kurikulum dan interaksi interpersonal, maka siswa merasa nyaman dan
memiliki afiliasi yang lebih besar dengan sekolah. Perasaan nyaman ini menciptakan
latar belakang keterhubungan pribadi yang merupakan esensi rasa kepemilikan dalam
belajar yang pada gilirannya lebih membimbing ke arah perhatian, upaya, dan waktu
yang lebih terarah pada tugas, dan memperbaiki penguasaan tugas dan prestasi
akademik.
6) Persamaan dan Keunggulan Pendidikan
Tujuan persamaan multikultural berkaitan erat dengan tujuan penguasaan ketrampilan
dasar, namun lebih luas dan lebih filosofis. Untuk menentukan sumbangan komparatif

Multicultural & Keberagaman Sosial


34
terhadap kesempatan belajar, pendidik harus memahami secara keseluruhan bagaimana
budaya membentuk gaya belajar, perilaku mengajar, dan keputusan pendidikan. Mereka
harus mengembangkan berbagai alat untuk melengkapi hasil belajar yang
menggambarkan preferensi dan gaya dari berbagai kelompok dan individu. Dengan
memberi pilihan yang lebih pada semua siswa pilihan tentang bagaimana mereka akan
belajar, pilihan yang sesuai dengan gaya budaya mereka, tidak seorang pun akan terlalu
dirugikan atau diuntungkan pada level prosedural dari belajar. Pilihan ini akan
membimbing ke paralelisme (misalnya persamaan) dalam kesempatan belajar dan lebih
komparatif dalam prestasi maksimum siswa dalam kemampuan intelektualnya.
Aspek lain dari tujuan memasukkan informasi akurat dalam mengajarkan tentang
masyarakat adalah mengembangkan rasa kesadaran sosial (a sense of social
consciousness), keberanian moral, dan komitmen terhadap persamaan; dan memperoleh
ketrampilan dalam aktivitas politik untuk mereformasi masyarakat untuk membuatnya
lebih manusiawi, simpatik terhadap pluralisme kultural, keadilan moral, dan persamaan.
Oleh karena itu tujuan multikultural untuk mencapai persamaan dan keunggulan
pendidikan mencakup kognitif, afektif dan ketrampilan perilaku, di samping prinsip
demokrasi (Banks, 1993).
7) Memperkuat Pribadi untuk Reformasi Sosial
Tujuan terakhir dari Pendidikan multikultural adalah memulai proses perubahan di
sekolah yang pada akhirnya akan meluas ke masyarakat. Tujuan ini akan melengkapi
penanaman sikap, nilai, kebiasaan dan ketrampilan siswa sehingga mereka menjadi agen
perubahan sosial (social change agents) yang memiliki komitmen yang tinggi dengan
reformasi masyarakat untuk memberantas perbedaan (disparities) etnis dan rasial dalam
kesempatan dan kemauan untuk bertindak berdasarkan komitmen ini. Untuk melakukan
itu, mereka perlu memperbaiki pengetahuan mereka tentang isu etnis di samping
mengembangkan kemampuan pengambilan keputusan, ketrampilan tindakan sosial,
kemampuan kepemimpinan, dan komitmen moral atas harkat dan persamaan. Mereka
tidak hanya perlu memahami dan mengapresiasi mengapa pluralisme etnis dan budaya
itu ada, namun juga bagaimana menterjemahkan pengetahuan kepada keputusan dan
tindakan yang berhubungan dengan isu, peristiwa dan situasi sosiopolitis yang esensial.

Multicultural & Keberagaman Sosial


35
Tujuan dan pengembangan ketrampilan ini didesain untuk membuat masyarakat lebih
benar-benar egaliter dan lebih menerima pluralisme kultural. Juga dimaksudkan untuk
menjamin bahwa kelompok etnis dan budaya yang secara tradisional menjadi korban
dan terasingkan akan lebih berpartisipasi secara penuh pada semua level masyarakat,
dengan semua hak, dan tanggung jawab yang menyertainya. Pendidikan Multikultural
berkontribusi secara langsung terhadap warga negara yang demokratis di dalam global
village (Swiniarski, 1999). Fungsi multikulturalisme ini adalah apa yang dimaksudkan
Banks dengan pendekatan aksi sosial dari Pendidikan Multikultural, yang mengajari
siswa bagaimana menjadi kritikus sosial (social critics), aktivis politik (political
activists), agen perubahan (change agents), dan pemimpin yang berkompeten dalam
masyarakat dan yang berbeda secara etnis dan pluralistik secara kultural. Juga sama
dengan konsep Grant tentang Pendidikan multikultural untuk rekonstruksi sosial.
Pendekatan ini berfokus pada penindasan dan ketidak samaan struktur sosial, dengan
perhatian menciptakan suatu masyarakat yang lebih mampu dan melayani kebutuhan
dan kepentingan semua kelompok orang. Pendekatan ini membangun penguatan pribadi
dengan menetapkan relevansi antara pelajaran sekolah dengan kehidupan sosial, dengan
memberi latihan menerapkan pengetahuan dan pengambilan tindakan langsung dengan
kehidupannya sendiri, dan mendemonstrasikan kekuatan pengetahuan, upaya
kolaboratif, dan aksi politis dalam mempengaruhi perubahan sosial.
Pendidikan Multikultural akan membantu siswa dari berbagai kelompok budaya yang
berbeda dalam memperoleh ketrampilan akademik yang dibutuhkan untuk fungsinya di
dalam masyarakat yang berpengetahuan (a knowledge society). Pendidikan
Multikultural merupakan pendidikan untuk hidup (an education for life) dalam
masyarakat yang ber-Pancasila. Membantu siswa melampaui batas-batas budayanya dan
memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk
keterlibatannya di dalam wacana publik dengan orang yang berbeda dengan dirinya.
Pendidikan Multikultural juga membantu siswa mempelajari ketrampilan yang
dibutuhkan untuk berpartisipasi di dalam tindakan kewarganegaraan (a civic action),
yang merupakan bagian integral dari negara yang berlandaskan Pancasila. Pendidikan
Multikultural bukan hanya didasarkan pada tradisi demokratis negara, namun memiliki

Multicultural & Keberagaman Sosial


36
fungsi esensial bagi daya tahan dari suatu tradisi demokratis, pluralistis di abad
mendatang (for the survival of a democratic, pluralistic traditions in next century).
8) Memiliki wawasan kebangsaan/kenegaraan yang kokoh
Dengan mengetahui kekayaan budaya bangsa itu akan tumbuh rasa kebangsaan yang
kuat. Rasa kebangsaan itu akan tumbuh dan berkembang dalam wadah negara Indonesia
yang kokoh. Untuk itu Pendidikan Multikultural perlu menambahkan materi, program
dan pembelajaran yang memperkuat rasa kebangsaan dan kenegaraan dengan
menghilangkan etnosentrisme, prasangka, diskriminasi dan stereotipe.
9) memiliki wawasan hidup yang lintas budaya dan lintas bangsa sebagai warga dunia.
Hal ini berarti individu dituntut memiliki wawasan sebagai warga dunia (world citizen).
Namun siswa harus tetap dikenalkan dengan budaya lokal, harus diajak berpikir tentang
apa yang ada di sekitar lokalnya. Mahasiswa diajak berpikir secara internasional dengan
mengajak mereka untuk tetap peduli dengan situasi yang ada di sekitarnya – act locally
and globally.
10) Hidup berdampingan secara damai
Dengan melihat perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, dengan menjunjung tinggi nilai
kemanusian, dengan menghargai persamaan akan tumbuh sikap toleran terhadap
kelompok lain dan pada gilirannya dapat hidup berdampingan secara damai.

4. Istilah-istilah Pendidikan Multicultural


Istilah ―multicultural‖ dari aspek kebahasaan mengandung dua pengertian kompleks
yaitu ―multi‖ yang berarti plural, ―kultural‖ yang mengandung pengertian kultur atau budaya
(Mahfud, 2006: 75).
Dirunut daro asal muasalnya, multicultural memiliki kesinoniman dengan kata
―kebudayaan‖. Kultur berasal dari bahasa Latin cultura; la culture yang salah satu artinya
adalah serangkaian kegiatan intelektual dalam sebuah peradaban (Mahfud, 2006: 79). Istilah
budaya bermula datang dari disiplin antropologi social. Clifford Geertz mendefinisikan
makna kultur yang berarti sebuah cara yang dipakai semua anggota dalam sebuah kelompok
masyarakat untuk memahami siapa diri mereka dan untuk memberi arti pada kehidupan
mereka (Ainul Yakin, 2005: 27-28). Purwosito (2003: 95) berpendapat kultur merupakan

Multicultural & Keberagaman Sosial


37
hasil penciptaan, perasaan, dan prakarsa manusia berupa suatu karya yang bersifat fisik
maupun non fisik..
Abdullah (2005:1-2) cenderung lebih menyamakan istilah kultur dengan istilah
―tradisi‖. Dalam mebgkaji sebuah kultur tertentu harus ada ketegasan terlebih dahulu,
misalnya kultur wilayah mana atau kultur bagaimana yang dimaksud. Ada dua kategori
tradisi yang dimaksud, yaitu great tradition (tradisi besar), yaitu wilayah alam pikiran,
konsep, ide, teori, keyakinan, dan gagasan. Yang mana hal lain ini juga melibatkan proses
dialektika yang intensif dengan little tradition (tradisi kecil), yang merupakan wilayah
aplikasi praksis di lapangan dari teori, konsep, ide, keyakinan, dan gagasan, hal ini sejalan
dengan istilah yang digunakan Charles Adam dengan sebutan high tradition (tradisi agung)
dan low tradition (tradisi rendah).
Ahmadi (2003:50-51) mengklasifikasikan kebudayaan pada dua bagian yaitu
kebudayaan material (hasil cipta, yaitu sebuah karsa yang berwujud satu barang atau alat-
alat) dan kebudayaan non material (hasil cipta, yaitu sebuah karsa yang berwujud kebiasaan-
kebiasaan, adat istiadat, keyakinan, pengetahuan dan sebagainya).
Secara etimologis multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur
(budaya), dan isme (aliram/paham). Dengan demikian multikulturalisme dapat diartikan
sebagai sebuah paham yang mengakui adanya banyak kultur atau budaya. Secara hakiki,
dalam kata itu terkandung sebuah pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam
komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik (Mahfud, 2006: 75). Akar
kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Setiap individu merasa dihargai dan merasa
bertanggungjawab untuk hidup bersama komunitasnya. Sedangkan ketimpangan atau
gesekan dalam berbagai bidang kehidupan dapat terjadi akibat adanya pengingkaran suatu
masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politic of recognition) (Mahfud, 2006: 75).
Dari berbagai pandangan tokoh mengenai pengertian multikulturalisme, dapat kami
tarik kesimpilan bahwa multikulturalisme adalah suatu faham yang menyakini dan
membenarkan adanya relativisme kultur yang disebabkan adanya perbedaan ruang, dan
waktu, pola piker (paradigma), mata pencaharian, ekonomi, latar belakang endidikan,
agama, keragaman budaya, suku, dan golongan. Dasar kemunculan multikulturalisme
bermuara pada kajian atas kebudayaan. Sehingga mampu menimbulkan penghargaan atas

Multicultural & Keberagaman Sosial


38
perbedaan yang telah ada dan selanjutnya menumbuhkan rasa toleransi ditengah
kemajemukan bangsa.

5. Teori-teori Pendidikan Multikultural Menurut Para Ahli


Para pakar memiliki visi yang berbeda dalam memandang multikultural. Para pakar
memiliki tekanan yang beragam dalam memahami fenomena multikultural. Ada yang tetap
mempertahankan adanya dominasi kelompok tertentu hingga yang benar-benar menekankan
pada multikultural. Pada bagian ini mahasiswa akan diajak mengenali berbagai teori
Pendidikan Multikultural yang dikemukakan oleh para ahli. Pengenalan sudut pandang para
pakar teori Pendidikan Multikultural ini akan sangat membantu kita lebih mengenali
pelaksanaannya di lapangan.
a. Horace Kallen
Jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain; budaya itu
dapat disebut pluralisme budaya (cultural pluralism). Teori pluralisme budaya ini
dikembangkan oleh Horace Kallen. Ia menggambarkan pluralisme budaya itu dengan
definisi operasional sebagai menghargai berbagai tingkat perbedaaan, tetapi masih dalam
batas- batas menjaga persatuan nasional. Kallen mencoba mengekspresikan bahwa masing-
masing kelompok etnis dan budaya di Amerika Serikat itu penting dan masing-masing
berkontribusi unik menambah variasi dan kekayaan budaya, misalnya bangsa Amerika.
Teori Kallen mengakui bahwa budaya yang dominan harus juga diakui masyarakat. Dalam
konteks ini Kallen tetap mengakui bahwa budaya WASP di AS itu sebagai budaya
yang dominan, sementara budaya-budaya yang lain itu dipandang menambah variasi dan
kekayaan budaya Amerika. Apa budaya WASP?
Atau mungkin ada yang memandang bahwa budaya Cina yang mulai menampakkan
pengaruhnya? Penggunaan Feng Shui dan adanya Barongsai di berbagai acara dan di
berbagai tempat strategis di tanah air ini saat ini sangat mewarnai budaya bangsa kita.
Namun yang perlu kita perhatikan adalah posisi yang anda tentukan itu didasarkan atas teori
dari Horace Kallen yang belum tentu disetujui oleh kelompok lain.
Penghargaan atau pengakuan terhadap budaya yang dominan dari Horace Kallen oleh
kelompok yang lain ini dipandang bukan merupakan bagian dari teori multikultural. Nanti

Multicultural & Keberagaman Sosial


39
akan kita lihat dalam pembahasan teori dari Banks mengenai kelompok Afrosentris yang
antipati terhadap keberadaan kelompok dominan ini.

b. James A. Banks
Kalau Horace Kallen perintis teori multikultur, maka James A. Banks dikenal sebagai
perintis Pendidikan Multikultur. Jadi penekanan dan perhatiannya difokuskan pada
pendidikannya. Banks yakin bahwa sebagian dari pendidikan lebih mengarah pada
mengajari bagaimana berpikir daripada apa yang dipikirkan. Ia menjelaskan bahwa siswa
harus diajar memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi
pengetahuan (knowledge construction) dan interpretasi yang berbeda-beda. Siswa yang baik
adalah siswa yang selalu mempelajari semua pengetahuan dan turut serta secara aktif dalam
membicarakan konstruksi pengetahuan. Dia juga perlu disadarkan bahwa di dalam
pengetahuan yang dia terima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang sangat ditentukan
oleh kepentingan masing-masing. Bahkan interpretasi itu nampak bertentangan sesuai
dengan sudut pandangnya. Siswa seharusnya diajari juga dalam menginterpretasikan sejarah
masa lalu dan dalam pembentukan sejarah (interpretations of the history of the past and
history in the making) sesuai dengan sudut pandang mereka sendiri. Mereka perlu diajari
bahwa mereka sebenarnya memiliki interpretasi sendiri tentang peristiwa masa lalu yang
mungkin penafsiran itu berbeda dan bertentangan dengan penafsiran orang lain. Misalnya,
mengapa sampai terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825 – 1830. Salah satu sebab
kemunculannya adalah pembangunan jalan yang melintasi makam di daerah Tegal rejo,
Yogyakarta yang secara kultural sangat dihormati oleh masyarakat sekitar pada waktu itu.
Dari sudut pandang Belanda tindakan Diponegoro itu dianggap sebagai pemberontakan dan
sudut pandang penguasa waktu itu dianggap sebagai upaya perebutan kekuasaan dari
seorang putera selir yang dalam kultur Jawa kedudukannya tidak setinggi putera
permaisuri. Namun sudut pandang apa pun yang digunakan sebagai motif yang melatar
belakanginya perang Diponegoro, namun sebagai sebuah bangsa dan komitmen kita sebagai
putera bangsa, kita memandang perjuangan Pangeran Diponegoro itu sebagai perjuangan
seorang putra daerah yang ingin memerdekakan diri dari penjajahan bangsa asing. Siswa
harus belajar mengidentifikasi posisinya sendiri sebagai putera bangsa yang sedang dijajah,
kepentingannya yang ingin memerdekakan diri, asumsi dan filsafat idealnya. Dengan

Multicultural & Keberagaman Sosial


40
demikian dia akan mengetahui bagaimana sejarah itu terjadi dan menjadikan hal yang terjadi
itu sebagai sejarah. Singkatnya, mereka harus menjadi pemikir kritis (critical thinkers)
dengan selalu menambah pengetahuan dan ketrampilan, disertai komitmen yang tinggi.
Semuanya itu diperlukan untuk berpartisipasi dalam tindakan demokratis. Dengan landasan
ini, mereka dapat membantu bangsa ini mengakhiri kesenjangan antara ideal dan realitas
(Banks,1993). Di dalam The Canon Debate, Knowledge Construction, and
Multicultural Education, Banks mengidentifikasi tiga kelompok cendekiawan yang berbeda
dalam menyoroti keberadaan kelompok - kelompok budaya di Amerika Serikat : Pertama
adalah traditionalis Barat. Tradisionalis Barat, seperti halnya dengan kelompok pluralisme
budaya dari Horace Kallen, meyakini bahwa budaya yang dominan dari peradaban Barat
yaitu kelompok White, Anglo Saxon dan Protestan perlu dipresentasikan secara menonjol di
sekolah. Kelompok ini beranggapan bahwa mereka berada dalam posisi terancam dan
berbahaya karena mengenyampingkan kelompok feminis, minoritas dan reformasi
multikultural yang lain. Namun tidak seperti kelompok Pluralisme Budaya Horace Kallen,
tradisionalis Barat masih sedikit memberi perhatian pada pengajaran keanekaragaman atau
multikultur. Tetapi pertanyaan yang dapat dikemukakan terhadap kelompok ini, jika
peradaban Barat hanya mengajarkan sejarah dan budaya kelompok dominan, apakah tidak
akan mengecilkan pentingnya kelompok budaya lain yang turut serta dalam pembentukan
Amerika Serikat?
Kelompok kedua yaitu mereka yang menolak kebudayaan Barat secara berlebihan,
yaitu kelompok Afrosentris. Kelompok ini beranggapan bahwa pengabaian kelompok lain
itu memang benar terjadi dan kelompok ini berpendapat bahwa sejarah dan budaya orang
Afrika lah yang seharusnya menjadi sentral dari kurikulum agar semua siswa dapat
mempelajari peranan Afrika dalam perkembangan peradaban Barat. Afrosentris juga
meyakini bahwa sejarah dan budaya orang Afrika seharusnya menjadi sentral dalam
kurikulum untuk memotivasi siswa Afrika Amerika dalam belajar.
Namun pertanyaan yang dapat diajukan pada kelompok Afrosentris ini adalah jika
teori Afrosentris sebagai suatu budaya tertentu yang harus menjadi sentral bagi
pendidikan untuk semua siswa, apakah itu tidak diikuti orang Spanyol yang juga yakin
bahwa sejarah dan budaya Spanyol seharusnya yang menjadi sentral dari kurikulum? Tentu,
kita memahami peranan penting orang Spanyol dalam perkembangan Barat, khususnya

Multicultural & Keberagaman Sosial


41
dalam mengenal sejarah Amerika, penemuan Amerika, dan penguasaan seluruh Texas. Dan
bagaimana pula dengan keturunan orang Perancis, yang telah menyumbang banyak pada
bahasa Amerika dan khususnya terhadap budaya Louisiana, akankah mereka tidak merasa
bahwa sejarah mereka sama pentingnya dengan yang dimainkan oleh orang Afrika di
Selatan?
Kelompok ketiga, Multikulturalis yang percaya bahwa pendidikan seharusnya
direformasi untuk lebih memberi perhatian pada pengalaman orang kulit berwarna dan
wanita. Kelompok ini sekarang sedang berkembang dan sedang memperjuangkan posisinya
di tengah dominasi kelompok yang sudah mapan. Kita sebagai bangsa Indonesia boleh
berbangga karena bangsa kita pernah dipimpin oleh seorang presiden wanita sementara
negara superpower seperti AS yang memproklamasikan dirinya sebagai negara paling
demokratis ini masih sedang mempertanyakan posisi wanita dalam kancah pertarungan
politik di tingkat tertinggi, presiden wanita di Amerika Serikat.

c. Bill Martin
Dalam tulisannya yang berjudul Multiculturalism: Consumerist or Transformational?,
Bill Martin menulis, bahwa keseluruhan isu tentang multikulturalisme memunculkan
pertanyaan tentang "perbedaan" yang nampak sudah dilakukan berbagai teori filsafat atau
teori sosial. Sebagai agenda sosial dan politik, jika multikulturalisme lebih dari sekedar
tempat bernaung berbagai kelompok yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi
'pertemuan' dari berbagai kelompok itu yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal
bagi semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal (Martin, 1998: 128)
Seperti halnya Banks, Martin menentang tekanan dari Afrosentris dan tradisionalis
Barat. Martin menyebut Afrosentris dan tradisional Barat itu sebagai "consumerist
multiculturalism". Selanjutnya, Martin mengusulkan sesuatu yang baru. Multikulturalisme
bukan "konsumeris" tetapi "transformational", yang memerlukan kerangka kerja. Martin
mengatakan bahwa di samping isu tentang kelas sosial, ras, etnis dan pandangan lain yang
berbeda, diperlukan komunikasi tentang berbagai segi pandangan yang berbeda. Masyarakat
harus memiliki visi kolektif tipe baru dari perubahan sosial menuju multikulturalisme yaitu
visi yang muncul lewat transformasi.

Multicultural & Keberagaman Sosial


42
Martin memandang perlu adanya perubahan yang mendasar di antara kelompok-
kelompok budaya itu sampai diketemukan adanya visi baru yang dimiliki dan dikembangkan
bersama. Untuk mencapai tujuan itu sangatlah dibutuhkan adanya komunikasi antar
berbagai segi pandang yang berbeda. Mengapa ini penting? Karena selama ini masing-
masing kelompok bersikap tertutup terhadap kelompok yang lain dan tidak ada komunikasi
tanpa prasangka di antara kelompok-kelompok yang ada.

d. Martin J. Beck Matustik


Martin J. Beck Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang masyarakat
multikultural di masyarakat Barat berkaitan dengan norma/tatanan. Matustík mengatakan
"Semua segi dalam pembicaraan budaya saat ini mengarah pada pemikiran kembali norma
Barat (the western canon) yang mengakui bahwa dunia multikultural adalah benar-benar
nyata adanya " (Matustík, 1998). Dalam artikelnya, "Ludic, Corporate and Imperial
Multiculturalism: Impostors of Democracy and Cartographers of the New World Order,"
Matustik menulis, "perang budaya, politik dan ekonomi menyerang pada segi yang mana,
bagaimana dan lewat siapa sejarah multikultural dijelaskan."
Matustík mengatakan bahwa teori multikulturalisme meliputi berbagai hal yang
semuanya mengarah kembali ke liberalisasi pendidikan dan politik Plato, filsuf Yunani.
Sebuah karya Plato yang berjudul Republik, bukan hanya memberi norma politik dan
akademis klasik bagi pemimpin dari negara ideal yang dia cita-citakan, namun juga menjadi
petunjuk dalam pembahasan bersama tentang pendidikani bagi yang tertindas (Matustík,
1998). Ia yakin bahwa kita harus menciptakan pencerahan multikultural baru (a new
multicultural enlightenment) yaitu "multikulturalisme lokal yang saling berkaitan, secara
global sebagai lawan dari monokultur nasional" (Matustík, 1998).

e. Judith M. Green
Green menunjukkan bahwa multikulturalisme bukan hanya unik di A.S. Negara lain
pun harus mengakomodasi berbagai kelompok kecil dari budaya yang berbeda. Kelompok-
kelompok ini biasanya bertoleransi terhadap keuntungan budaya dominan. Secara unik,
Amerika memberi tempat perlindungan dan memungkinkan mereka mempengaruhi
kebudayaan yang ada. Dengan team, kelompok memperoleh kekuatan dan kekuasaan,

Multicultural & Keberagaman Sosial


43
membawa perubahan seperti peningkatan upah dan keamanan kerja. Wanita dan minoritas
(Hispanis, Afrika dan Amerika Asli) harus memperoleh kesempatan ekonomi yang lebih
baik, partisipasi politis yang lebih efektif, representasi media yang lebih disukai, dan
sebagainya. Namun akhir abad 20 telah membawa orang Amerika pada suatu tempat
"memerangi kebuntuan yang memerlukan pemikiran kembali yang baru dan lebih dalam
tentang tujuan dan materi pendidikan dalam suatu masyarakat yang masih terus diharapkan
dan dicita- citakan yang dibimbing oleh ide demokrasi" (Green, 1998). Bangsa ini selalu
memandang pendidikan sebagai cara perubahan yang efektif, baik secara personal maupun
sosial. Sehingga lewat pendidikan Amerika meraih kesuksesan terbesar dalam transformasi.
Beberapa kelompok tidak bisa melihat bahwa kita sekarang adalah apa yang selalu ada.
Yaitu, Amerika yang sejak kelahirannya, selalu memiliki masyarakat multikultural di mana
berbagai budaya telah bersatu lewat perjuangan, interaksi, dan kerjasama (Green, 1998).

6. 3 Teori Sosial: Melting Pot I, II dan Cultural Pluralism


Menurut Ricardo L. Garcia ketiga teori sosial tersebut adalah: (1) Melting Pot I: Anglo
Conformity, (2) Melting Pot II: Ethnic Synthesis, dan (3) Cultural Pluralism: Mosaic
Analogy. Ketiga teori tersebut populer dengan sebutan teori masyarakat majmuk
(communal theory) (Susi Yanti, 2012).
Teori pertama, Melting Pot I: Anglo Conformity, berpandangan bahwa masyarakat
yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang—seperti agama, etnik,
bahasa, dan budaya yang harus disatukan ke dalam satu wadah yang paling dominan. Teori
ini melihat individu dalam masyarakat secara hirarkis, yaitu kelompok mayoritas dan
minoritas. Bila mayoritas individu dalam suatu masyarakat adalah pemeluk agama Islam,
maka individu lain yang memeluk agama non-Islam harus melebur ke dalam Islam. Bila
yang mendominasi suatu masyarakat adalah individu yang beretnis Jawa, maka individu lain
yang beretnis lain harus mencair ke dalam etnis Jawa, dan demikian seterusnya. Teori ini
hanya memberikan peluang kepada kelompok mayoritas untuk menunjukkan identitasnya.
Sebaliknya, kelompok minoritas sama sekali tidak memperoleh hak untuk mengekspresikan
identitasnya. Identitas di sini bisa berupa agama, etnik, bahasa, dan budaya. Teori ini tampak
sangat tidak demokratis.

Multicultural & Keberagaman Sosial


44
Karena teori pertama tidak demokratis, maka muncullah teori kedua yaitu Melting Pot
II: Ethnic Synthesis. Teori yang dipopulerkan oleh Israel Zangwill ini memandang bahwa
individu-individu dalam suatu masyarakat yang beragam latar belakangnya, disatukan ke
dalam satu wadah, dan selanjutnya membentuk wadah baru, dengan memasukkan berbagai
unsur budaya yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam masyarakat tersebut.
Identitas para anggotanya melebur menjadi identitas yang baru, sehingga identitas lamanya
menjadi hilang. Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu-individu yang beretnis Jawa,
Sunda, dan Batak,maka identitas asli dari ketiga etnik tersebut menjadi hilang, selanjutnya
membentuk identitas baru. Islam Jawa di kraton dan masyarakat sekitarnya yang merupakan
perpaduan antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai kejawen adalah salah satu contohnya.
Teori, ini belum sepenuhnya demokratis, karena hanya mengambil sebagian unsur budaya
asli individu dalam masyarakat, dan membuang sebagian unsur budaya yang lain.
Melihat teori kedua belum sepenuhnya demokratis, maka muncullah teori ketiga, yaitu
Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Teori yang dikembangkan oleh Berkson ini,
berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar
belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas
budayanya secara demokratis. Teori ini sama sekali tidak meminggirkan identitas budaya
tertentu, termasuk identitas budaya kelompok minoritas.
Dari ketiga teori komunal di atas, teori ketigalah yang dijadikan dasar oleh pendidikan
multikultural, yaitu teori Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Untuk konteks Indonesia,
teori ini sejalan dengan semboyan negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Secara normatif,
semboyan tersebut memberi peluang kepada semua bangsa Indonesia untuk
mengekspresikan identitas bahasa, etnik, budaya, dan agama masing-masing, bahkan
diizinkan untuk mengembangkanya.

D. Rangkuman
Pengertian ―Multikultural‖ mencakup pengalaman yang membentuk persepsi umum
terhadap usia, gender, agama, status sosial ekonomi, jenis identitas budaya, bahasa, ras, dan
berkebutuhan khusus. Ethic merupakan titik pandang dalam mempelajari budaya dari luar sistem
budaya itu, dan merupakan pendekatan awal dalam mempelajari suatu sistem budaya yang asing.
Sedangkan emic merupakan titik pandang dari dalam sistem budaya tersebut. Ethic menjelaskan

Multicultural & Keberagaman Sosial


45
universalitas suatu konsep kehidupan sedangkan emic menjelaskan keunikan dari sebuah konsep
budaya. Pendidikan Multikultural merupakan ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses
pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya
siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota
dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam- macam itu akan memiliki kesempatan yang
sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah.
Berdasarkan kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural, maka untuk membentuk
negara Indonesia yang kokoh perlu mengembangkan jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa
yang multikultural. Jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang multikultur ini adalah
Pendidikan Multikultural.
Sekalipun banyak perbedaan konsep pendidikan multikultural, terdapat beberapa ide yang
dimiliki bersama dari semua pemikiran dan merupakan dasar bagi pemahaman pendidikan
multikultural.
Menurut Paul Gorski pendidikan multikultural merupakan pendekatan progresif untuk
mengubah pendidikan secara holistik dengan mengkritik dan memusatkan perhatian pada
kelemahan, kegagalan, dan praktek diskriminatif di dalam pendidikan akhir-akhir ini. Keadilan
sosial, persamaan pendidikan, dan dedikasi melandasi pemberian kemudahan pengalaman
pendidikan dalam mewujudkan semua potensinya secara penuh dan mewujudkan manusia yang
sadar dan aktif secara lokal, nasional, dan global.
Pendidikan Multikultural dapat menjadi elemen yang kuat dalam kurikulum Indonesia
untuk mengembangkan kompetensi dan ketrampilan hidup (life skills). Masyarakat Indonesia
terdiri dari masyarakat multikultur. Jadi sangat relevanlah bagi sekolah di Indonesia untuk
menerapkan Pendidikan Multikultural. Budaya merupakan salah satu kekuatan yang dapat
menjelaskan perilaku manusia. Budaya memiliki peranan yang sangat besar di dalam
menentukan arah perilaku manusia yang positif dan negatif. Oleh sebab itu kita perlu meneliti
kekuatan yang tersimpan di dalam budaya manusi demi kebaikan bersama. Pendidikan
Multikultural dipandang sebagai jembatan untuk mencapai kehidupan bersama dari umat
manusia di dalam era globalisasi yang penuh tantangan baru.
E. Latihan
Untuk lebih memantapkan pemahaman dan daya analisis Anda terhadap hakikat
Pendidikan Multikultural, terlebih dahulu silakan Anda mengerjakan beberapa latihan berikut ini.

Multicultural & Keberagaman Sosial


46
1. Kemukakan pengertian multikultural?
2. Kemukakan ide dasar yang dimiliki bersama dari seluruh pemikiran tentang Pendidikan
Multikultural?
3. Kemukakan rasional yang menunjukkan pentingnya orang mempelajari Pendidikan
Multikultural?
4. Sebutkan tujuan Pendidikan Multikultural ?
5. Apa yang menjadi fungsi Pendidikan Multikultural?

Multicultural & Keberagaman Sosial


47
BAB III
KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DAN PROBLEMATIKANYA

A. Kemampuan Akhir yang Direncanakan


 Mahasiswa mampu menganalisis kondisi sosial masyarakat dan problematikanya

B. Indikator
 Menjelaskan sistem sosial Indonesia
 Membedakan heterogenitas dan homogenitas masyarakat dan konsekuensi sosialnya
 Menguraikan dan menjelaskann teori sistem dan strukturalis fungsional
 Memahami teori konflik sebagai proses social
 Mengaplikasikan masyarakat dan kemajemukan, ciri dan faktor yang mengintegrasikan
masyarakat

C. Penyajian Materi
1. Sistem Sosial Indonesia
Sistem merupakan suatu kompleksitas dari saling ketergantungan antar bagian-
bagian,komponen-komponen, dan proses-proses yang melingkupi aturan-aturan tata
hubungan yang dapat dikenali. Suatu tipe serupa dari saling ketergantungan antar
kompleksitas tersebut dengan lingkungan sekitarnya.

Multicultural & Keberagaman Sosial


48
Sementara konsep dan pengertian sistem sosial lebih menekankan pada hubungan-
hubungan yang berlangsung antar manusia dan manusia, manusia dan masyarakat,
masyarakat dan masyarakat, yang hampir selalu atau bahkan selalu dalam kerangka suatu
satuan atau organisasi, sebagai satuan bersistem yang senantiasa berinteraksi, yakni interaksi
sosial – sehingga dapat disebutkan bahwa setiap (satuan) masyarakat adalah bersistem, yang
kemudian dikenal dengan sistem sosial (social system), yaitu satuan masyarakat yang
bersistem.
Sistem sosial dipahami sebagai ―any, especially a relatively persistent, patterning of
social relations across „time-space,‟ understood as reproduced practices‖ (Giddens, 1984).
Dalam pengertian umum demikian, suatu masyarakat atau organisasi sosial atau kelompok,
di mana dan kapan pun ia berada, merupakan suatu sistem sosial, yang di dalamnya dapat
mengandung subsistem sosial dan dalam pola sistematik yang sangat beragam. Dalam faham
fungsionalisme (Parsons, 1951) sistem sosial merupakan sistem interaksi yang berlangsung
antara 2 (dua) pelaku atau lebih, yang masing-masing mengandung fungsi dalam suatu
satuan masyarakat.
Sistem sosial dapat dipahami sebagai suatu sistem atau pemolaan dari hubungan-
hubungan sosial yang terdapat dan berkembang dalam masyarakat tertentu, sebagai wahana
fungsional dalam masyarakat tersebut. Dalam pengertian umum demikian, suatu masyarakat
atau organisasi sosial atau kelompok, di mana dan kapan pun ia berada, merupakan suatu
sistem sosial, yang di dalamnya dapat mengandung subsistem sosial dan dalam pola
sistematik yang sangat beragam. Sebagai satuan masyarakat, sistem sosial merupakan sistem
yang menjadi wadah bagi totalitas hubungan antara seorang manusia dan manusia lainnya,
manusia dan kelompoknya atau kelompok lain, kelompok manusia dan kelompok manusia
lainnya, untuk memenuhi hajat, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya, sesuai
fungsi masing-masing. Manusia dan kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing
secara relatif memiliki batas dan ikatan kewilayahan dan mengembangkan (unsur-unsur)
kebudayaannya, termasuk lembaga-lembaganya seperti organisasi-organisasi sosial beserta
peraturan-peraturannya yang tertulis dan tak tertulis.
Indonesia dikenal luas sebagai bangsa dengan realitas sosial yang begitu majemuk.
Hubungan sosial antar masyarakat di Indonesia merupakan produk sejarah yang panjang,
yang dari zaman ke zaman mengalami perkenalan dan pergaulan dengan bangsa-bangsa,

Multicultural & Keberagaman Sosial


49
agama-agama, dan kebudayaan-kebudayaan dunia. Demikian juga, nasionalisme Indonesia,
kebangsaan Indonesia pun terbentuk, terbangun dan teruji oleh sejarah panjang, dari hasil
interaksi ―bangsa Indonesia‖ dengan bangsa-bangsa, agama-agama, dan kebudayaan-
kebudayaan dunia. Pengalaman ini membentuk nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru dalam
masyarakat Indonesia. Sebagian nilai-nilai lama hendak ditinggalkan atau diperbaharui,
sedangkan nilai-nilai baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan peradaban
bangsa pada masa sekarang dan masa mendatang harus senantiasa dipahami, diwujudkan
dan diuji dalam pergaulan social Indonesia.

2. Heterogenitas dan Homogenitas Masyarakat dan Konsekuensi Sosialnya


Pendekatan historis tentang masyarakat Indonesia – yang sebagian besar di antaranya
menjadi unsur pembentuk bangsa Indonesia pada dewasa ini – dapat memberikan
pemahaman logis mengenai keadaan plural dan heterogen masyarakat ini. Sejarah merekam
bahwa wilayah Kepulauan Nusantara yang kini telah terwujud menjadi wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia telah kedatangan manusia – yang bukan saja berbeda dalam
dimensi etnik tetapi juga ras – dari beberapa belahan dunia. Kelompok-kelompok manusia
tersebut sudah tentu berperan besar dalam menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang
plural dan heterogen dalam bidang kultur. Untuk memperjelas pernyataan ini, menarik untuk
dikemukakan rekaman ucapan Clifford Geertz yang berikut ini.
―When one looks panoramically at Indonesia today it seems to form a dateless
synopsis of its own past, as when the artifacts from different levels of a long-occupied
archaeological site, scattered along a table, summarize at a glance thousands of years
of human history. All the cultural streams that, over the course of some three
millennia, have flowed, one after the other, into the archipelago – from India, from
China, from the Middle East, from Europe – find their contemporary representation
somewhere : in Hindu Bali; in the China – towns of Jakarta, Semarang, or Surabaya;
in the Moslem strongholds of Aceh, Makassar, or the Padang Highlands; in the
Calvinized regions of Minahasa and Ambon, or the Chatolicized ones of Flores and
Timor‖ (Geertz, 1980:3).

Gambaran yang telah dikemukakan memang lebih menekankan pada pluralitas dan
heterogenitas Indonesia dalam bidang kehidupan budaya sebagaimana tampak pada dewasa
ini. Namun, C. Geertz tidak mengingkari bahwa sebagai akibat kehadiran orang-orang dari
berbagai belahan dunia itu, yang masing-masing juga membawa serta sistem
kemasyarakatannya, telah menjadikan pula Indonesia sebagai negara yang memiliki struktur
Multicultural & Keberagaman Sosial
50
sosial yang bersifat plural dan heterogen. Kepluralitasan serta keheterogenitasan Indonesia
dalam bidang tersebut dikemukakan oleh C. Geertz dalam lanjutan gambarannya tentang
Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut.
―The range of social structure is equally wide, equally recapitulative: the Malayo-
Polynesian tribal systems of interior Borneo or the Celebes; the traditional peasant
village of Bali, West Java, and parts of Sumatra and the Celebes; the “post
traditional” rural proletarian villages of the Central and East Java river plains; the
market-minded fishing and smuggling villages of the Borneo and Celebes coasts; the
faded provincial capitals and small towns of interior Java and the Outer Islands; and
the huge, dislocated, half-modernized metropolises of Jakarta, Medan, Surabaya, and
Makassar. The range of economic forms, of systems of stratification, or of kinship
organization is as great: shifting cultivators in Borneo, castle in Bali, matriliny in
West Sumatra. Yet, in this whole vast array of cultural and social patterns, one of the
most important institutions (perhaps the most important) in shaping the basic
character of Indonesian civilization is, for all intents and purposes, absent, vanished
with a completeness that, in a perverse way, attests its historical centrality – the
negara, the classical state of precolonial Indonesia‖ (Geertz, 1980: 3 – 4).

Gambaran ringkas di atas ini kendati tidak mencakup seluruh wilayah Indonesia,
kiranya tetap dapat dikatakan bahwa Geertz telah berhasil memberikan gambaran umum
bahwa Indonesia memang negara yang sangat kompleks dalam bidang struktur sosial; begitu
pula dalam bidang budaya, sebagaimana telah digambarkan sebelumnya. Bahkan, mudah
dapat dipahami bahwa keadaan tersebut mengimplikasikan pula terjadinya kepelbagaian
pada aspek-aspek kehidupan yang lainnya, seperti bahasa, hukum, kecenderungan dalam
memilih lapangan pekerjaan, dan tata krama pergaulan.
Dilihat dari faktor-faktor pembentuknya, masyarakat Indonesia memiliki struktur yang
bercorak majemuk. Kusumohamidjojo (2000: 45) melihat masyarakat Indonesia dan
kompleks kebudayaan masing-masing bersifat plural (jamak) sekaligus juga heterogen
(aneka ragam). Pluralitas sebagai kontraposisi dari singularitas menunjukkan adanya suatu
situasi yang terdiri dari kejamakan, bukan ketunggalan. Artinya, dalam masyarakat
Indonesia dapat dijumpai berbagai subkelompok masyarakat yang tidak bisa
disatukelompokkan dengan lainnya. Tidak kurang dari 500 suku bangsa di Indonesia
menegaskan kenyataan itu. Demikian pula dengan kebudayaan mereka. Heterogenitas yang
merupakan kontraposisi dari homogenitas mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang
menyimpan ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya. Artinya, masing-masing subkelompok
masyarakat itu beserta kebudayaannya benar-benar berbeda satu dari yang lainnya.
Multicultural & Keberagaman Sosial
51
Menurut Nasikun (1993: 28), struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya
yang bersifat unik, yaitu: (1) secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-
kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan kedaerahan, (2) secara vertikal, struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas
dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Perbedaan-perbedaan secara horizontal dimaknai sebagai perbedaan yang tidak diukur
berdasarkan kualitas dari unsur-unsur yang membuat keragaman tersebut (Awan Mutakin,
dkk. 2004: 246–247). Sebagai contoh, perbedaan bahasa daerah tidak diartikan, bahwa
bahasa daerah (suku bangsa) tertentu lebih baik daripada bahasa daerah (suku bangsa)
lainnya.
Dalam perbedaan vertikal, perbedaan dari unsur-unsur yang membuat keragaman
tersebut dapat diukur berdasarkan kualitas atau kadarnya. Misalnya perbedaan karena aspek
ekonomi akan melahirkan kelompok masyarakat berekonomi tinggi, menengah, dan rendah.
Demikian pula muncul kelompok masyarakat berpendidikan tinggi, menengah, dan rendah.
Terbentuk pula masyarakat berpenghasilan tinggi, menengah, dan rendah.
Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat, dan kedaerahan dalam
struktur horizontal sering disebut sebagai ciri masyarakat majemuk (Nasikun, 1998: 28).
Istilah masyarakat majemuk pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall untuk
menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda. Masyarakat majemuk
pada masa Hindia Belanda menurut Furnivall dipahami sebagi suatu masyarakat yang terdiri
atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di
dalam suatu kesatuan politik (Nasikun, 1993: 29; Liliweri, 2001: 337). Sebagai masyarakat
majemuk, masyarakat Indonesia ia menyebutnya sebagai suatu tipe masyarakat daerah tropis
di mana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras. Orang-
orang Belanda sebagai golongan minoritas kendati jumlahnya semakin bertambah terutama
pada akhir abad ke-19 adalah penguasa yang memerintah sebagian besar orang Indonesia
pribumi (bumiputra) yang merupakan warga negara kelas tiga di negerinya sendiri.
Golongan timur asing baik Tionghoa maupun NonTionghoa menempati posisi kelas
menengah di antara kedua golongan di atas.
Dalam kehidupan politik, pertanda yang paling jelas dari masyarakat Indonesia yang
bersifat majemuk adalah tidak adanya kehendak bersama (common-will). Masyarakat

Multicultural & Keberagaman Sosial


52
Indonesia sebagai keseluruhan terdiri dari elemen-elemen yang terpisah satu dengan lainnya
karena perbedaan ras. Dalam hal ini, masing-masing elemen lebih merupakan kumpulan
individu-individu daripada sebagai suatu keseluruhan yang bersifat organis dan sebagai
individu kehidupan sosial mereka tidaklah utuh.
Orang-orang Belanda datang ke Indonesia untuk bekerja, tetapi mereka tidak tinggal
menetap di sana. Kehidupannya semata-mata berada di seputar pekerjaannya. Mereka
memandang masalah-masalah kemasyarakatan, politik, dan ekonomi yang tejadi di
Indonesia tidak sebagai warga negara melainkan sebagai kapitalis atau majikan dari buruh-
buruh mereka.
Orang-orang timur asing, terutama orang-orang Tionghoa seperti halnya orang-orang
Belanda datang ke Indonesia semata-mata untuk kepentingan ekonomi. Demikian pula,
orang-orang pribumi (bumiputra) seperti halnya orang-orang Belanda dan orang-orang
Tionghoa tidak utuh pula. Kehidupan mereka tidak lebih daripada kehidupan pelayan di
negerinya sendiri. Kerena hidup atas dasar pola pemikiran dan cara hidup sendiri-sendiri
terpisah dari lainnya, maka masyarakat Indonesia zaman kolonial tidak memiliki suatu
kehendak bersama (commonwill).
Dalam kehidupan ekonomi, tidak adanya kehendak bersama (commonwill)
menemukan wujud kongkrit dalam bentuk tidak adanya permintaan sosial yang dihayati
bersama oleh seluruh elemen masyarakat. Kebutuhan keagamaan, politik, seni, musik,
sastra, dan semua kebutuhan kultural memiliki aspek ekonomi, karenanya semua pada
akhirnya menyatakan diri secara terorganisasi hanya sebagai kebutuhan-kebutuhan ekonomi
dalam wujudnya yang paling nyata, yaitu permintaan (demand) masyarakat sebagai
keseluruhan. Akan tetapi, di dalam masyarakat majemuk Indonesia pada masa Hindia
Belanda, permintaan masyarakat tidak terorganisasi, melainkan bersifat seksional, sehingga
tidak ada permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat menjadi
sumber yang membedakan karakter ekonomi majemuk (plural-economy) dari suatu
masyarakat majemuk dengan ekonomi tunggal (unitary-economy) dari suatu masyarakat
yang bersifat homogen. Pada masa kolonial, pembagian masyarakat berdasarkan ras
memengaruhi pola-pola produksinya. Orang Belanda misalnya berproduksi di bidang
perkebunan, penduduk pribumi di bidang pertanian dan orang-orang Tionghoa sebagai kelas
pemasaran (marketing-class) menjadi perantara di antara keduanya. Konflik mudah terjadi

Multicultural & Keberagaman Sosial


53
pada masyarakat majemuk karena perbedaan ras yang secara alami sudah muncul ditambah
pula oleh perbedaan kepentingan ekonomi.
Uraian di atas merupakan deskripsi dari keadaan masyarakat Indonesia pada masa
Hindia Belanda sebagaimana dituturkan oleh Furnivall. Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa masyarakat majemuk menurut pandangan Furnivall adalah masyarakat
dalam sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya
adalah sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas
terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau
bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain (Nasikun, 1993:
32).
Suatu masyarakat dikatakan bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara
struktural memiliki sub-subkebudayaan yang bersifat diverse atau berbeda. Masyarakat
demikian ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang disepakati
oleh seluruh anggota masyarakat dan sering timbul konflik-konflik sosial atau setidak-
tidaknya oleh kurangnya integrasi dan saling ketergantungan di antara kesatuan-kesatuan
sosial yang menjadi bagian-bagiannya. Dengan meminjam konsep Clifford Geertz,
masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-subsistem yang
kurang lebih berdiri sendiri-sendiri dalam mana masing-masing subsistem terikat ke dalam
oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordal (Nasikun, 1993: 33).

3. Teori Sistem dan Strukturalis Fungsional


Istilah sistem paling sering digunakan untuk menunjuk pengertian metode atau cara
dan sesuatu himpunan unsur atau komponen yang saling berhubungan satu sama lain
menjadi satu kesatuan yang utuh. Sistem sosial adalah suatu sistem tindakan, terbentuk dari
interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang di
atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat
(Nasikun, 1995).
Standar penilaian umum yang paling penting adalah norma-norma sosial. Norma-
norma sosial inilah yang membentuk struktur sosial. Di dalam masyarakat, setiap anggota
masyarakat menganut dan mengikuti pengertian-pengertian yang sama mengenai situasi-
situasi tertentu dalam bentuk norma-norma sosial, maka tingkah laku setiap anggota

Multicultural & Keberagaman Sosial


54
masyarakat kemudian terjalin sedemikian rupa ke dalam bentuk suatu struktur sosial
tertentu. Pengaturan interaksi sosial di antara para anggota masyarakat tersebut dapat terjadi
karena komitmen mereka terhadap norma-norma sosial menghasilkan daya untuk mengatasi
perbedaan pendapat dan kepentingan di antara mereka, suatu hal yang memungkinkan
mereka menemukan keselarasan satu sama lain di dalam suatu tingkat integrasi sosial
tertentu.
Parson melihat sistem sosial sebagai satu dari tiga cara di mana tindakan sosial bisa
diorganisasikan. Di samping terdapat dua sistem tindakan lain yang saling melengkapi yaitu
sistem kultural yang mengandung nilai dan simbol-simbol serta sistem kepribadian para
pelaku individual. Masyarakat menurut Parson (dalam Nasikun, 1995) adalah sistem sosial
yang dilihat secara total. Jika sistem sosial dilihat sebagai sebuah sistem parsial, masyarakat
dapat berupa setiap jumlah dari sekian banyak sistem yang kecil-kecil, seperti keluarga,
sistem pendidikan, dan lembaga-lembaga keagamaan.
Pemikiran Talcott Parson (dalam Nasikun, 1995: 11–12) tentang pendekatan
fungsionalisme struktural memiliki tujuh anggapan.
Pertama, masyarakat dilihat sebagai suatu sistem yang mana bagian-bagian saling
berhubungan satu sama lain.
Kedua, hubungan tersebut saling memengaruhi di antara bagian-bagian tersebut dan
bersifat ganda dan timbal balik.
Ketiga, secara fundamental sistem sosial cenderung bergerak ke arah equilibrium
bersifat dinamis, menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar
dengan kecenderungan memelihara agar perubahan-perubahan yang terjadi
dalam sistem sebagai akibatnya hanya akan mencapai derajat minimal.
Keempat, walaupun mengalami disfungsi yaitu terjadinya ketegangan dan
penyimpangan, tetapi melalui berjalannya proses waktu keadaan tersebut
teratasi melalui penyesuaian dan proses institusionalisasi yaitu suatu proses
yang dilewati suatu norma kemasyarakatan yang baru, sehingga norma
tersebut oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai, dan ditaati.
Kelima, perubahan-perubahan dalam sistem sosial secara gradual, melalui penyesuaian
dan tidak revolusioner. Perubahan-perubahan yang terjadi secara drastis pada
umumnya hanya terjadi pada bentuk luar, sedangkan unsur-unsur sosial

Multicultural & Keberagaman Sosial


55
budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami
perubahan.
Keenam, perubahan-perubahan sosial tesebut melalui tiga kemungkinan, yaitu: (1)
penyesuaian sistem sosial tehadap perubahan-perubahan dari luar, (2)
pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional, dan (3)
adanya penemuan-penemuan baru.
Ketujuh, faktor penting yang memiliki daya mengintegrasikan sistem sosial adanya
konsensus di antara anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan
tertentu. Di dalam setiap masyarakat selalu terdapat tujuan-tujuan dan
prinsip-prinsip dasar tertentu, yang sebagian anggota masyarakat
menganggap serta menerima sebagai hal yang mutlak benar.
Individu dengan sistem sosial dapat dihubungkan dan dianalisis melalui konsep status
dan peranan. Status adalah kedudukan dalam sistem sosial, seperti guru, ibu, atau presiden,
sedangkan peranan adalah perilaku yang diharapkan atau perilaku normatif yang melekat
pada status guru, ibu, atau presiden tesebut. Dengan kata lain, di dalam sistem sosial,
individu menduduki suatu tempat (status), dan bertindak (peranan) sesuai dengan norma atau
aturan-aturan yang dibuat oleh sistem. Peranan bersifat timbal balik dalam arti mengandung
pengharapan yang sifatnya timbal balik pula. Status sebagai seorang suami mengandung
peranan normatif (misalnya sebagai pencari nafkah yang baik), namun ini bukan peranan
satu-satunya. Peranan sebagai seorang suami bersifat timbal balik dan saling ketergantungan
dengan peranan istri.
Menurut Parson, sistem sosial cenderung bergerak ke arah keseimbangan atau
stabilitas, dengan kata lain keteraturan merupakan norma dalam sebuah sistem. Apabila
terjadi kekacauan norma-norma, sistem akan mengadakan penyesuaian dan mencoba
kembali mencapai keadaan normal (Poloma, 2004: 172). Parson (dalam Poloma, 2004: 173–
174) mengembangkan pattern variables yang terkenal sebagai sarana untuk mengategorikan
tindakan atau untuk mengklasifikasikan tipe-tipe peranan dalam sistem sosial. Pattern
variables ini terdiri dari lima buah skema yang dapat dilihat sebagai kerangka teoretis utama
dalam analisis sistem sosial, yaitu:
Pertama, Affective versus Affective Neutrality, di mana suatu hubungan sosial
seseorang bisa bertindak untuk pemuasan afeksi atau kebutuhan emosional atau bertindak

Multicultural & Keberagaman Sosial


56
tanpa unsur afeksi (netral). Usaha memuaskan kebutuhan tersebut misalnya sesuai bagi
suami istri, tetapi tidak dalam hubungan yang terjadi antara pelanggan dan penjual.
Kedua, Self-Orientation versus Collective-Orientation, di mana hubungan yang
berorientasi hanya pada dirinya, seseorang mengejar kepentingan pribadi, sedangkan dalam
hubungan berorientasi kolektif, kepentingan tersebut sebelumnya telah didominasi oleh
kelompok. Misalnya dalam pembelian mobil baru, seorang pembeli yang menawar harga
mobil itu bertindak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, bukan demi kesejahteraan
ekonomi dealer mobil atau masyarakat ramai.
Ketiga, Universalism versus Particularism. Dalam hubungan yang universalistis, para
pelaku saling berhubungan menurut kriteria yang dapat diterapkan kepada semua orang,
sedang dalam hubungan partikularistik digunakan ukuran-ukuran tertentu. Misalnya
pemerintah yang akan mempekerjakan pegawai negeri dengan dasar kualifikasi pekerjaan,
termasuk lulus ujian pegawai negeri. Namun apabila pemerintah tidak menyertakan
seseorang karena termasuk anggota kelompok suku bangsa, jenis kelamin tertentu dan lain
sebagainya merupakan hubungan partikularistik.
Keempat, Quality versus Performance. Dalam hubungan ini, variabel quality
menunjuk pada status karena kelahiran (ascribed status), sedangkanperformance berarti
prestasi (achievement) atau apa yang telah dicapai oleh seseorang (achieved status). Sebagai
contoh, hubungan kualitas adalah seorang pemuda kaya yang hanya membina persahabatan
dengan pemuda kaya lainnya, sedangkan hubungan performance adalah berupa persahabatan
yang berdasarkan suka atau tidak suka secara timbal balik, terlepas dari perbedaan dalam
usia atau kelas sosial.
Kelima, Specifity versus Diffusness. Dalam hubungan yang spesifik, seseorang dengan
lainnya berhubungan dalam situasi yang terbatas atau segmented. Seorang penjual dan
pelanggan merupakan ilustrasi hubungan sangat terbatas yang berdasarkan jual beli. Di
pihak lain, hubungan keluarga adalah contoh dari hubungan diffuse, di mana seseorang yang
karena bukan status tertentu terlibat dalam proses interaksi.
Untuk menjelaskan setiap tindakan dalam sistem sosial, pattern variable bisa
digabungkan. Hubungan itu ditandai oleh efektivitas dan kualitas, seperti hubungan ayah
dan anak, memuaskan kebutuhan-kebutuhan afeksi. Dalam suatu hubungan yang kurang
intim, seperti antara sopir taksi dengan penumpangnya, terlihat ilustrasi hubungan spesifik

Multicultural & Keberagaman Sosial


57
dan hubungan yang secara afeksi netral. Pattern variable itu ditilik Parson sebagai landasan
pengukuhan teori bertindaknya dalam kompleksitas sistem sosial.
Pendekatan fungsionalisme struktural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh
Parsons dan para pengikutnya, dapat kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka
sebagai berikut :
1. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling
berhubungan satu sama lain.
2. Denagan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut
adalah bersifat ganda dan timbal balik.
3. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara
fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat
dinamis.
4. Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan
senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka yang panjang keadaan tersebut akan
teratasi dengan sendirinya pada akhirnya, melalui penyesuaian-penyesusaian dan proses
institusionalisasi.
5. Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual,
melalui penyesuaian-penyesuaian, dan tidak secara revolusioner.
6. Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam
kemungkinan: penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut, terhadap
perubahan-perubahan yang datang dari luar (extra systemic change): pertumbuhan
melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional: serta penemuan-penemuan baru
oleh anggota masyarakat.
7. Faktor paling penting yang memiliki daya menintegrasikan suatu sistem sosial adalah
konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan
tertentu.

Dengan cara lain dapat dikatakan, bahwa suatu sistem sosial, pada dasarnya, tidak
lain adalah suatu sistem daripada tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang
terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan,
melainkan tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama

Multicultural & Keberagaman Sosial


58
oleh para anggota masyarakat. Yang paling penting di antara berbagai standar penilaian
umum tersebut, adalah apa yang kita kenal sebagai norma-norma sosial. Norma-norma
sosial itulah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial. Equilibrium dari suatu sistem
sosial terjaga oleh beberapa proses dan mekanisme sosial. Dua macam mekanisme sosial
yang paling penting untuk mengendalikan hasrat masyarakat pada tingkat dan arah yang
menuju terpeliharanya kontinuitas sistem sosial, adalah mekanisme sosialisasi dan
pengawasan sosial (social control).
Parson dan para pengikutnya tidak dapat dikatakan telah berhasil membawa
pendekatan fungsionalisme struktural ketingkat perkembangan yang lebih berpengaruh pada
pertumbuhan teori-teori sosiologi hingga saat ini. David Lockwood mengritik pendapat
Parson, kita dapat menyaksikan betapa pendekatan fungsionalisme struktural terlalu
menekan berdasarkan pada peranan unsur normatif dan tingkah laku sosial, khususnya pada
proses-proses dimana keinginan seseorang diatur secara normatif untuk menjamin
kesetabilan sosial. Tata tertib dan konflik adalah dua kenyataan yang melekat bersama-sama
di dalam setiap sistem sosial. Adanya tata tertib sosial bukan berarti akan hilangnya konflik
di masyarakat. Sebaliknya, lahirnya tata tertib sosial justru menggambarkan adanya konflik
yang bersifat potensial di dalam setiap masyarakat.
Anggapan awal bahwa setiap sistem sosial memiliki kecenderungan untuk mencapai
stabilitas atau equilibrium di atas konsensus para anggota masyarakat akan nilai-nilai umum
tertentu, mengakibatkan para penganut pendekatan fungsionalisme struktural kemudian
menganggap bahwa disfungsi ketegangan,penyimpangan sosial yang mengakibatkan
terjadinya perubahan-perubahan kemasyarakatan dalam bentuk tumbuhnya diferensiasi
sosial yang semakin kompleks, adalah akibat daripada pengaruh faktor-faktor yang datng
dari luar. Pandapat seperti itu mengesampingkan kenyataan sebagai berikut:
1. Setiap struktur sosial, di dalam dirinya sendiri, mengandung konfli-konflik dan
kontradiksi yang bersifat internal, yang pada saatnya akan menjadi sumber terjadinya
perubahan sosial.
2. Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar ( extra-
systemic change ) tidak selalu bersifat adjustive.
3. Sistem sosial, dalam jangka panjang juga akan mengalami konflik sosial yang bersifat
visious circle.

Multicultural & Keberagaman Sosial


59
4. Perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui adaptasi yang lunak, akan
tetapi juga dapat terjadi secara revolusioner.
Oleh karena itu ia mengabaikan kenyataan itu, maka pendekatan fungsionalisme
struktural dipandang oleh para ahli sosioligi sebagai pendekatan yang bersifat reaksioner,
dan oleh karenanya dianggap kurang mampu menganalisis masalah perubahan
kemasyarakatan. Pendekatan tersebut dianggap mengabaikan kenyataan bahwa konflik dan
kontradiksi intern dapat merupakan sumber tejadinya perubahan dalam masyarakat, tetapi
sistem sosial terkadang tidak selalu mampu beradaptasi terhadap perubahan yang datang dari
luar. Terkadang sistem sosial memang dapat menyesuaikan terhadap perubahan-perubahan
yang datang dari luar tanpa terjadinya disintegrasi sosial. Namun tidak jarang, sistem sosial
akan menolak perubahan yang datang dari luar, baik secara status quo ataupun dengan
tindakan reaksioner. Keadaan tersebut berimbas akan terjadinya disfungsional pada bagian-
bagian tertentu, yang akan menimbulkan ketegangan sosial. Apabila faktor eksternal tersebut
berpengaruh kuat terhadap bagian-bagian sistem sosial, maka disfungsi dan ketegangan akan
tumbuh secara komulatif serta mengundang terjadinya perubahan sosial yang bersifat
revolusioner.
Sementara conflic approach masih dapat kita bedakan, yakni structuralist-Marxist
dan structural-Non-Marxist. Berdasarkan dari fungsionalisme struktural, maka pandangan
pendekatan konflik berpangkal pada anggapan-anggapn dasar sebagai berikut:
1. Setiap masyarakat selalu berada pada proses perubahan yang tak pernah berujung, bisa
dikatakan bahwa perubahn sosial merupakan gejala yang melekat pada masyarakat.
2. Konflik merupakan gejala yang identik dengan masyarakat.
3. Setiap unsur dalam masyarakat, memberikan potensi terjadinya integrasi dan perubahan
sosial.
4. Setiap masyarakat, didominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang lain.

4. Teori Konflik sebagai Proses Social


Di dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan beberapa teori tentang konflik
diantaranya (Sukardi, 2016):
a. Teori konflik Simon Fisher dan Deka Ibrahim dkk. Teori konflik Simon Fisher dan
Deka Ibrahim dkk antara lain adalah (Fisher, Dekka, dkk, 2002 ): Teori Kebutuhan

Multicultural & Keberagaman Sosial


60
dan teori identitas. Teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa ―konflik yang berakar
dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental dan sosial yang tidak
terpenuhi atau yang dihalangi‖. Menurut teori ini bahwa konflik terjadi disebabkan
oleh benturan kepentingan antar manusia dalam memperjuangkan pemenuhan
kebutuhan dasar baik fisik maupun mental dan sosial yang dalam kondisi tidak
terpenuhi.
Sedangkan Teori Identitas berasumsi bahwa: ―konflik disebabkan oleh karena identitas
yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan dimasa
lalu yang tidak terselesaikan‖. Menurut teori ini bahwa konflik lebih disebabkan oleh
ketidakpuasan kelompok tertentu terhadap kelompok lain atau pemerintah, atas
perlakukan tidak adil di masa lalu.
b. Teori fungsional Talcot Parson. Menurut teori ini bahwa ―Tertib sosial ditentukan
hubungan timbal balik antara sistem-sistem kebudayaan, sosial dan kepribadian.
Dengan demikian konflik dapat disebabkan oleh tidak harmonisnya hubungan timbal
balik anggota masyarakat sebagai unsur-unsur sistem kebudayaan, sosial dan
kepribadian. Berlakunya teori fungsional dari Talcott Parson karena konflik yang
terjadi selama ini karena longgarnya ikatan system-sistem yang ada. Ada 4 komponen
yang sudah longgar di wilayah rusuh: (1). Nilai-nilai dasar yang dianut masing-masing
warga etnis, tidak proporsional memasuki kebudayaan; (2). Status dan hak pribadi
tidak terjamin; (3). Prestise dijatuhkan; (4). Pemilikan dan pencaharian tidak terjamin
(Tumanggo, dkk 2010).
c. Teori kebudayaan dominan dari Edwar Bruner diketengahkan Parsudi Suparlan
Kemampuan penyesuaian terhadap kebudayaan yang telah mapan. Model Kebudayaan
Dominan yang dikembangkan Edwar Bruner dan digunakan Parsudi Suparlan
menganalisis kasus-kasus Bandung, Ambon dan Sambas menyatakan bahwa: Adanya
perbedaan dalam strategi beradaptasi orang Jawa di Bandung dengan strategi adaptasi
orang Buton, Bugis dan Makassar (BBM) di Ambon, serta orang Madura di Sambas
memperlihatkan mengapa konflik-konflik dapat muncul di kedua daerah terakhir.
Dengan kata lain, aturan-aturan dalam kehidupan sosial yang bersumber pada
kebudayaan dominan masyarakat setempat tidak diikuti oleh para pendatang dari
Buton, Bugis, Makassar dan Madura.

Multicultural & Keberagaman Sosial


61
d. Teori Penyimpangan Budaya (Cultural Deviance Theories). Cultural deviance
theories memandang kajahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower
class (kelas bawah). Baik strain maupun cultural deviance theories menempatkan
penyebab kejahatan pada ketidak beruntungan posisi orang-orang di strata bawah
dalam suatu masyarakat yang berbasiskan kelas. Penganut paham ini diantaranya
Thomas dan Florian Znaniecki dengan teorinya social disorganization, Robert Park
dan Ernest Burgess dengan Natural Urban Areas dan Clifford Shaw dan Henry McKay
dengan cultural Transmition.
e. Teori Kontrol Sosial. Teori-teori kontrol sosial tertarik pada pertanyaan mengapa
sebagian orang taat pada norma. Teori control sosial memfokuskan diri pada teknik-
teknik dan strategi-strategi yang mengatur tingkah laku manusia dan membawanya
kepada penyesuaian atau ketaatan kepada aturan-aturan masyarakat. Teori kontrol
sosial dikonseptualisasi sebagai: ―all-ancompassing, representing practically any
phenomenon that leads to conformity to norms‖ (semua yang mencakup, yang
mewakili hampir semua fenomena yang mengarah pada kesesuaian dengan norma-
norma). Penganut.24 Pengikut teori ini diantaranya adalah Jackson Toby (1957)
dengan ide tentang ―individual commitment‖, scott Briar dan Irving Piliavin (1965)
memperluas teory Toby, dan Hirschi (1969) dengan bukunya ―causes of Delinquency.‖
f. Teori-teori dari Perspektif Lainnya
1) Conflict Theory. Teori konflik lebih jauh mempertanyakan proses perbuatan hukum
itu sendiri. Menurut penganut teori ini bahwa pertarungan (strungle) untuk
kekuasaan merupakan suatu gambaran eksistensi manusia. Dalam pertarungan
kekuasaan itulah berbagai kelompok kepentingan berusaha mengontrol pembuatan
dan penegakan hukum.25
2) Radical (Critical) Criminology. Dalam buku ―The New Criminology‖, para
kriminolog Marxis dari Inggris yaitu Ian Taylor, Paul Walton dan Jack Young
menyatakan bahwa adalah kelas bawah kekuatan buruh dari masyarakat industri
dikontrol melalui hukum pidana para penegaknya, sementara ―pemilik buruh itu
sendiri‖ hanya terikat oleh hukum perdata yang mengatur persaingan antar
mereka. Institusi ekonomi kemudian merupakan sumber dari konflik; pertarungan

Multicultural & Keberagaman Sosial


62
antar kelas selalu berhubungan dengan distribusi sumber daya dan kekuasaan, dan
hanya apabila kapitalisme dimusnahkan maka kejahatan akan hilang.
Bentuk pengendalian konflik sosial yang pertama dan paling penting adalah apa yang
disebut konsiliasi (conciliation). Pengendalian tersebut terwujud dalam lembaga yang
memungkinkan tumbuhnya pola diskusi, dan pengambilan keputusan antar pihak yang
berlawanan mengenai persoalan yang dipertentangkan. Dalam hal itu,bermaksud agar
lembaga-lembaga tersebut harus memenuhi setidaknya empat hal, yaitu:
1. Lembaga tersebut harus bersifat otonom.
2. Lembaga tersebut harus berifat monopolistis didalam masyarakat.
3. Peranan lembaga harus mengikat dan memaksa, dapat dikatakan sebagai pengendali
sosial.
4. Lembaga yang bersangkutan harus bersifat demokratis.
Tanpa keempat hal tersebut,konflik akan menjadi semakin bertambah rumit,dan akan
semakin sulit untuk dipecahkan. Namun,hal tersebut dapat diatasi apabila kelompok yang
berkonflik memenuhi tiga macam persyaratan:
1. Masing-masing kelompok harus menyadari, bahwa mereka terlibat dalam suatu
konflik, dan menyadari perlunya dilaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur
bagi semua.
2. Penyelesaian konflik tersebut akan mudah dikendalikan apabila kelompok yang
berkonflik terorganisir dengan jelas.
3. Kelompok yang berkonflik harus mematuhi aturan-aturan tertentu, sehingga
memungkinkan hubungan sosial antar mereka kembali membaik.
Tanpa semua itu, lembaga diskusi macam apapun tidak akan berjalan dengan baik,
justru akan menimbulkan konflik. Cara pengendalian yang efekti adalah dengan mediasi (
mediation ), dimana kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai
penengah, yang akan memberi nasihat tentang bagaimana seharusnya mereka bertindak.
Walaupun nasihat tersebut tidak mengikat kedua belah pihak, namun cara ini terkadang
sering menghasilkan penyelesaian yang cukup efektif. Apabila tidak berhasil,kita dapat
menggunakan cara yang lain. Yaitu dengan perwasitan ( arbitration ), dalam hal ini pihak
yang bertikai terpaksa harus menerima keputusan dari pihak ketiga. Tetapi meraka berhak

Multicultural & Keberagaman Sosial


63
untuk mengajukan usulan, kendati mereka mau-tidak mau harus menerima keputusan pihak
ketiga.

5. Masyarakat dan Kemajemukan, Ciri dan Faktor yang Mengintegrasikan


Masyarakat
Struktur masyarakat Indonesia dibedakan menjadi dua. Yaitu, secara horisontal yang
ditandai oleh adanya kesatuan sosial berdasarkan atas perbedaan suku bangsa, agama, adat-
istiadat, serta kedaerahan. Secara vertikal, struktur sosial masyarakat indonesia ditandai
oleh adanya perbedaan sosial antara kelas atas dan kelas bawah yang sangat tajam.
Perbedaan suku-bangsa, agama, adat dan kedaerahan, merupakan ciri masyarakat
Indonesia yang bersifat majemuk. Istilah ini diperkenalkan oleh Furnivall sebagai
penggambaran masyarakat Indonesia dimasa Hindia Belanda. Masyarakat majemuk (
plural societies ), yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang
hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaruan satu sama lain yang berada pada satu kekuasaan
politik. Masyarakat Indonesia merupakan tipe masyarakat daerah tropis, dimana meraka
yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras.
Dalam kehidupan berpolitik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang
bersifat majemuk adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Dalam kehidupan
ekonomipun juga tidak ada kehendak bersama, sehingga disimpulkan tidak adanya
permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat (common social
demand). Menurut Furnivall, setiap masyarakat politik dari kelompok nomad sampai
bangsa yang berdaulat, berangsur-angsur melalui periode waktu tertentu membentuk
peradaban dan kebudayaan sendiri, membentuk kesenian, baik berupa sastra, seni lukis,
maupun musik, serta membentuk berbagai kebiasaan di dalam kehidupan sehari-hari.
Karakteristik masyarakat majemuk menurut Pierre L. Van den Berghe adalah:
1. Terjadinya segmentasi kedalam bentuk kelompok yang sering kali memiliki sub-
kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi kedalam lembaga yang bersifat non-
komplementer.
3. Kurang berkembangnya konsensus antar anggota terhadap nilai-nilai yang bersifat
dasar.

Multicultural & Keberagaman Sosial


64
4. Relatif sering terjadi konflik antar anggota kelompok.
5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan dalam
bidang ekonomi.
6. Terjadi domonasi politik oleh kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pluralitas masyarakat Indonesia.
Keadaan geografis wilayah Indonesian yang terdiri dari 3.000 lebih pulau yang tersebar di
daerah equator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat, lebih dari 1.000 mil
dari utara ke selatan, merupakan pengaruh besar terjadinya pluralitas suku bangsa
Indonesia.
Faktor kedua, yaitu letak Indonesia yang berada diantara samudera Indonesia dan
samudera Pasifik, sangat berpangur akan terjadinya pluralitas agama di dalam masyarakat.
Letak indonesia yang berada ditengah-tengah jalur persimpangan perdagangan dunia,
memungkinkan Indonesia menerima pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui pedagang
asing.
Iklim yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama antara daerah di
kepulauan Nusantara ini, merupakan faktor yang menciptakan pluralitas regional di
Indonesia. Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang
menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang berbeda di Indonesia, yakni: daerah
pertanian sawah (wet rice cultivation) yang terutama banyak dijumpai di pulau Jawa dan
Bali, serta daerah pertanian ladang (shifting cultivation) yang banyak kita jumpai di luar
pulau Jawa. Perbedaan tersebut menyebabakan terjadinya kontras perbedaan antara Jawa
dan Luar Jawa di dalam bidang kependudukan, ekonomi, dab sosial-budaya.
Segala macam perbedaan di atas merupakan dimensi horizontal strutur masyarakat
Indonesia. Sementara secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia dapat kita lihat dengan
semakin berkembangnya polaritas sosial berdasrkan kekuatan politik dan kekayaan.
Dengan semakin berkembangnya dalam sektor ekonomi modern beserta organanisasi
administrasi nasional yang mengikutinya, maka terjadi pelapisan sosial politis yang sangat
kontras antara golongan atas dan golongan bawah. Ketimpangan tersebut berakar dari
zaman Hindia-Belanda, oleh Boeke digambarkan dengan dual economi.
Dalam sisitem dual economi, dua sektor ekonomi yang berbeda saling berhadapan.
Yaitu sekotor ekonomi modern yang lebih bersifat canggih (sophisticated), banyak

Multicultural & Keberagaman Sosial


65
berkaitan dengan perdagangan Internasional, dimana motif mengeruk keuntungan yang
semaksimal mungkin. Sektor kedua yaitu sektor ekonomi pedesaan yang bersifat
tradisional, yang menjaga motif keamanan dan kelanggengan tidak berminat untuk
mengharap keuntungan yang maksimal. Perbedaan tersebut secara integral terjadi dalam
keseluruhan masyarakat Indonesia yang hidup di daerah pedesaan dan perkotaan.
Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk, melahirkan masyarakat yang bersifat
multi-dimensional yang menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia
terintegrasi secara horizontal, sementara stratifikasi sosial memberi bentuk integrasi
nasional yang bersifat vertikal. Van den Berghe membagi sifat dasar masyarakat majemuk
menjadi beberapa yaitu:
1. Memiliki sub-kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga non-komplementer.
3. Kurang berkembangnya konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang
besifat dasar.
4. Sering terjadi konflik.
5. Secara relatif integrasi terjadi karena paksaan, dan saling ketergantungan dalam bidang
ekonomi.
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok dengan kelompok lainnya.
Oleh karena sifat yang demikian, maka van den Berghe menyatakan bahwa
masyarakat majemuk tidak dapat digolongkan kedalam salah satu jenis masyarakat
menurut analisis Emile Durkheim. Masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan
masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmentasi, tetapi juga tidak
dapat digolongkan kedalam masyarakat yang memiliki diferensiasi dan spesialisasi tinggi.
Dalm keadan yang demikian, menggunakan terminologi Emil Durkheim, maka van den
Berghe menyatakan bahwa baik solidaritas mekanis yang diikat oleh kesadaran kolektif
maupun solidaritas organis yang diikat oleh saling ketergantungan di antara bagiab-bagian
dari suatu sistem sosial, tidak mudah dikembangkan atau ditumbuhkan di dalam
masyarakat yang bersifat majemuk. Hal yang demikian juga berarti bahwa pendapat para
penganut fungsionalisme struktural masih harus dipertimbangkan validitasinya untuk
menganalisis suatu masyarakat yang bersifat majemuk.

Multicultural & Keberagaman Sosial


66
Mengikuti pandangan mereka, suatu sistem sosial selalu terintegrasi di atas landasan
dua hal berikut. Pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya
konsensus di antara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan
yang bersifat fundamental. Dari sudut lain, masyarakat senantiasa terintegrasi karena setiap
anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota kesatuan sosial (cross-cutting affiliations).
Karena setiap konflik yang terjadi antar kesatuan sosialakan segera dinetralisir dengan
adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari para anggota masyarakat terhadap
berbagai kesatuan sosial.
Keduanya mendasari terjadinya integrasi sosial dalam masyarakat yang bersifat
majemuk, karena tanpa keduanya tidak akan terbentuk suatu masyarakat. Segmentasi
dalam bentuk kesatuan sosial yang terikat dalam primordial edengan su-kebudayaan yang
berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik antar kelompok sosial. Dalam
hal ini ada dua macam tingkatan konflik yang mungkun terjadi, yaitu:
1. Konflik ideologis.
Konflik tersebut terwujud di dalam bentuk konflik antar sistem nilai yang dianut oleh
berbagai kesatuan sosial.
2. Konflik politis.
Terjadi dalam bentuk pertentengan di dalam pembagian status kekuasan, dan sumber
ekonomi yang terbatas ketersediaannya di dalam masyarakat. Di dalam situasi konflik,
maka secara sadar atau tidak sadar, maka anggota kelompok akan mengabdikan diri
dengan cara memperkokoh solidaritas antar anggota.
Dengan adanya masyarakat yang majemuk, maka melahirkan keanggotan yang saling
menyilang. Cross-cutting affiliations yang telah menyebabkan konflik antar golongan tidak
terjadi terlalu tajam. Konflik suku bangsa misalnya, akan segera meredam oleh bertemunya
loyalitas agama. Demikian juga sebaliknya, apabila terjadi konflik agama, daerah, atau
lapisan sosial. Karena cross-cutting affiliations senantiasa menghasilkan cross-cutting
liyalities maka pada tingkat tertentu masyarakat Indonesia juga terintegrasi atas dasar
tumbuhnya perbedaan. Bersama dengan tumbuhnya konsensus nasional mengenai
nasionalisme Pancasila yang senantiasa beranggapan secara dinamis dengan mekanisme
pengendalian konflik yeng bersifat coercive, dengan struktur silang-menyilang itulah

Multicultural & Keberagaman Sosial


67
Indonesia tetap dapat lestari walau harus menghadapi permasalahan akibat dari
kemajemukan masyarakatnya.

D. Rangkuman
1. Konsep dan pengertian sistem sosial lebih menekankan pada hubungan-hubungan yang
berlangsung antar manusia dan manusia, manusia dan masyarakat, masyarakat dan
masyarakat, yang hampir selalu atau bahkan selalu dalam kerangka suatu satuan atau
organisasi, sebagai satuan bersistem yang senantiasa berinteraksi, yakni interaksi sosial –
sehingga dapat disebutkan bahwa setiap (satuan) masyarakat adalah bersistem, yang
kemudian dikenal dengan sistem sosial (social system), yaitu satuan masyarakat yang
bersistem.
2. Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik, yaitu: (1) secara
horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan
perbedaan-perbedaan kedaerahan, (2) secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai
oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup
tajam.
3. Sistem sosial adalah suatu sistem tindakan, terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di
antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum
yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat.
4. Konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental dan
sosial yang tidak terpenuhi atau yang dihalangi. Menurut teori ini bahwa konflik terjadi
disebabkan oleh benturan kepentingan antar manusia dalam memperjuangkan pemenuhan
kebutuhan dasar baik fisik maupun mental dan sosial yang dalam kondisi tidak terpenuhi.
5. Struktur masyarakat Indonesia dibedakan menjadi dua. Yaitu, secara horisontal yang
ditandai oleh adanya kesatuan sosial berdasarkan atas perbedaan suku bangsa, agama, adat-
istiadat, serta kedaerahan. Secara vertikal, struktur sosial masyarakat indonesia ditandai oleh
adanya perbedaan sosial antara kelas atas dan kelas bawah yang sangat tajam.

Multicultural & Keberagaman Sosial


68
E. Latihan
Untuk lebih memantapkan pemahaman dan daya analisis Anda terhadap kondisi sosial
masyarakat dan problematikanya, terlebih dahulu silakan Anda mengerjakan beberapa latihan
berikut ini.
1. Uarikan apa yang dimaksud dengan system social?
2. Deskripsikan salah satu contoh mengapa bangsa Indonesia dikatakan sebagai Negara
multicultural bila dibandingkan dengan Negara lain?
3. Uraikan beberapa teori konflik, dan berikan contoh dari masing-masing teori tersebut?
4. Struktur masyarakat Indonesia ada dua yakni masyarakat horizontal dan masyarakat
vertical, analisislah bagaimana kedua masyarakat Indonesia bisa hidup berdampingan,
namun hanya sedikit yang mengalami gangguan keamanan.

Multicultural & Keberagaman Sosial


69
BAB IV
MASYARAKAT MULTIKULTURAL DAN STRATIFIKASI SOSIAL

A. Kemampuan Akhir yang Direncanakan


 Mahasiswa mampu menganalisis masyarakat multikultural dan perbedaan stratifikasi
sosial

B. Indikator
 Menjelaskan konsep masyarakat multikultural
 Menjelaskan integrasi sosial
 Membedakan stratifikasi sosial
 Menjelaskan perspektif teori stratifikasi sosial
 Membedakn kelompok-kelompok social
 Menganalisis konflik sosial

C. Penyajian Materi
1. Konsep Masyarakat Multikultural
Istilah masyarakat majemuk pertama kali dikemukakan oleh J.S. Furnivall untuk
menggambarkan masyakarat Indonesia pada masa Hindia-Belanda. Menurut Furnivall,
masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang
hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik.
Indonesia sebagai masyarakat majemuk, Furnivall sebut sebagai suatu tipe masyarakat daerah
tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras.
Orang-orang Belanda yang minoritas adalah penguasa bagi sebagian besar orang Indonesia
pribumi yang menjadi warga negara kelas tiga di negeri sendiri. Orang-orang dari golongan
Timur Asing (Tionghoa, India, dan Arab) menduduki golongan menengah (Nasikun, 1987:
12).
Dalam kehidupan politik, ditandai oleh tidak adanya kehendak bersama (common will).
Masyarakat Indonesia pada masa itu merupakan suatu masyarakat yang tumbuh di atas dasar
sistem karta tanpa ikatan agama. Orang-orang Belanda, Timur Asing, dan Pribumi melalui
agama, kebudayaan, dan bahasa masing-masing, mempertahankan atau memelihara pola

Multicultural & Keberagaman Sosial


70
pikiran dan cara-cara hidup mereka masing-masing. Dalam kehidupan ekonomi, ditandai
tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat.
Kebutuhan-kebutuhan ekonomi tidaklah terorganisir, melainkan bersifat seksional dan tidak
ada permintaan sosial yang dihayati bersama.
Furnivall menyimpulkan bahwa masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat yang
sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial sedemikian rupa sehingga para anggota
masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang
memiliki homogenitas kebudayaan bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling
memahami satu sama lain. Suatu masyarakat adalah bersifat majemuk sejauh masyarakat itu
secara struktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse. Nasikun menjelaskan
struktur masyarakat Indonesia memiliki dua ciri yang unik. Secara horizontal, ditandai oleh
kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa,
agama, adat serta kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh
adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Perbedaan-perbedaan horizontal itulah yang menjadi ciri masyarakat Indonesia yang majemuk
(Nasikun, 1987: 15).
Clifford Geertz (dalam Nasikun, 1987: 20), mengartikan masyarakat majemuk sebagai
masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-
sendiri, dalam masing-masing sub sistem terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat
primordial. Pierre L. van den Berghe (dalam Nasikun, 1987: 31), menyebutkan beberapa
karakteristik sebagai sifat-sifat dasar suatu masyatakat majemuk. Pertama, terjadinya
segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang acapkali memiliki subkebudayaan
yang berbeda satu sama lain. Kedua, memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam
lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer. Ketiga, kurang mengembangkan
konsensus diantara para anggota masyarakat terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar. Keempat,
secara relatif acapkali mengalami konflik-konflik diantara kelomopok yang satu dengan yang
lain. Kelima, secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan. Keenam, adanya dominasi
politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain.
Sejak 17 Agustus 1945, kemajemukan masyarakat Indonesia terjadi diantara golongan
pribumi. Ditandai oleh golongan Eropa yang sebelumnya menempati kedudukan sangat
penting di masyarakat Indonesia terlempar keluar dari struktur masyarakat Indonesia.

Multicultural & Keberagaman Sosial


71
Menurut Nasikun (1987), ada tiga faktor yang menyebabkan kemajemukan masyarakat
Indonesia. Pertama, keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia atas kurang lebih
13.000 pulau. Keadaan geografis ini menyebabkan kemajemukan suku bangsa. Kedua,
kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara samudera Indonesia dan samudera Pasifik
sangat mempengaruhi terciptanya kemajemukan agama dalam masyarakat Indonesia. Ketiga,
iklim yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama diantara berbagai kepulauan di
Nusantara menyebabkan kemajemukan regional Indonesia.

Gambar 8.1 Keragaman Etnis Sebagai Bentuk Masyarakat Multikultur


Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan
seseorang tentang ragam kehidupan di dunia ataupun kebijakan kebudayaan yang
menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya
(multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya,
kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan
dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan
tertentu. ―Multikulturalisme‖ pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat
diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap
realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan
dalam kesadaran politik (Azra, 2007: 30).
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam
kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai

Multicultural & Keberagaman Sosial


72
dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (―A
Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their
overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values,
forms of social organizations, historis, customs and practices‖; Parekh, 1997 yang dikutip
dari Azra, 2007: 33). Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta
penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya
etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006: 174). Ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara
kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000).
Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan
tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan
sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang
sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai
Harahap, 2007, mengutip M. Atho‘ Muzhar). Berbagai macam pengertian dan kecenderungan
perkembangan konsep serta praktik multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli,
membuat seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam
multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh):
1. Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok
kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya
minimal satu sama lain.
2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang
membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum
minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan
ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada
kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka.
Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan.
3. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural
utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan
menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa
diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup
mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang

Multicultural & Keberagaman Sosial


73
kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua
kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-
kelompok kultural tidak terlalu terfokus dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih
membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-
perspektif distingtif mereka.
5. Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali
untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada
budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan
interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

2. Integrasi Sosial
Integrasi berasal dari bahasa Inggris "integration", yang berarti kesempurnaan atau
keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian diantara unsur-unsur yang
saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan
masyarakat yang memilki keserasian fungsi. Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu
keadaan dimana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap
kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka
masing-masing. Integrasi memiliki dua pengertian, pertama, bermakna pengendalian terhadap
konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu. Kedua, disebut integrasi
sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan satu sama lain itu adalah
unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan.
Suatu integrasi sosial diperlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi
berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial
budaya. Bagaimana masyarakat majemuk bisa diintegrasikan? Terdapat dua pendekatan
teoritis yang menjelaskan integrasi masyarakat. Dua pendekatan teoritis itu adalah:
pendekatan fungsionalisme structural dan pendekatan konflik. Pendekatan fungsionalisme
struktural (dalam Nasikun, 1987: 40) yang dikembangkan oleh Talcott Parsons dan para
pengikutnya mengembangkan anggapan dasar sebagai berikut:
a. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling
berhubungan;

Multicultural & Keberagaman Sosial


74
b. Hubungan pengaruh mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut adalah bersifat
timbale balik;
c. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara
fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah keseimbangan yang bersifat
dinamis;
d. Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan
senantiasa terjadi, namun dalam jangka panjang keadaan tersebut akan teratasi dengan
sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi;
e. Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual,
melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner;
f. Perubahan-perubahan social terjadi melaluitiga macam kemungkinan:
(1) penyesuaian-penyesuaian sistem sosial terhadap perubahan-perubahan dari luar;
(2) pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional; serta
(3) penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat;
g. Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah
konsensus diantara anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
Suatu sistem sosial pada dasarnya tidak lain adalah suatu sistem dari tindakan- tindakan.
Sistem sosial terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi diantara berbegai individu yang
tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, meliankan tumbuh dan berkembang di atas
standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat. Sedangkan
pendekatan konflik (dalam Nasikun, 1987: 43) mengembangkan anggapan-anggapan dasar
sebagai berikut:
a. Setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir
atau perubahan sosial merupakan gejala yang inheren dalam setiap masyarakat;
b. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya atau konflik merupakan
gejala yang inheren di dalam setiap masyarakat;
c. Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan kontribusi bagi terjadinya
disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial; dan
d. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas
sejumlah orang lain.

Multicultural & Keberagaman Sosial


75
3. Stratifikasi Sosial
a. Struktur social
Sebelum membahas tentang stratifikasi sosial, terlebih dahulu harus dipahami
tentang konsep struktur sosial. Secara umum struktur sosial dapat didefinisikan sebagai
cara suatu masyarakat terorganisasi ke dalam hubungan-hubungan yang dapat diprediksi
melalui pola perilaku yang berulang antar-individu dan antar-kelompok dalam masyarakat
tersebut. Struktur sosial juga dapat didefinisikan sebagai susuan status dan peran yang
terdapat dalam satuan sosial ditambah nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur
interaksi antar-status dan peran tersebut. Menurut Emile Durkheim (dalam Ritzer, 1992:
47), struktur sosial berwujud apa yang dia sebut sebagai fakta sosial. Fakta sosial diartikan
sebagai cara berpikir, cara berperasaan, dan cara bertindak yang berada di luar individu
manusia (exterior) dan mempunyai kekuatan memaksa individu manusia itu (constrain).
Dalam kehidupan sehari-hari fakta sosial ini merupakan apa yang disebut sebagai
kesadaran kolektif (collective consciousness). Durkheim (Ritzer, 1992: 50), membedakan
fakta sosial menjadi dua, yaitu fakta sosial yang material dan fakta sosial nonmaterial.
Fakta sosial yang material merupakan barang sesuatu yang nyata yang berada di luar
individu dan mempunyai kekuatan memaksa. Sementara itu, fakta sosial nonmaterial
diartikan sebagai barang sesuatu yang dianggap nyata yang berada di luar individu
manusia dan mempunyai kekuatan memaksa seperti norma-norma sosial.
Menurut Max Weber (Ritzer, 1992: 50), struktur sosial tidak lain adalah hanyalah
nama dari sekumpulan individu. Keberadaan struktur sosial sangat ditentukan oleh ada
atau tidak ada sekumpulan individu tersebut. Bagi Weber yang riil dalam kehidupan
masyarakat adalah individu. Individu yang melakukan tindakan sosial. Weber membagi
tindakan sosial menjadi empat, yaitu tindakan rasional instrumental, tindakan rasionalitas
nilai, tindakan afektual, dan tindakan tradisional. Sedangkan menurut Karl Marx, struktur
sosial adalah sebuah instrumen yang diciptakan untuk melindungi kepentingan-
kepentingan kelas borjuis. Bahkan Marx mengatakan, negara adalah sebuah komite yang
dibentuk untuk menjamin kepentingan-kepentingan kelas borjuis tersebut. Negara bukan
sebuah institusi yang independen, melainkan sebuah komite yang tidak indipenden.
Anthony Giddens (Priyono, 2002: 32), menjelaskan bahwa struktur sosial adalah
sebuah skemata yang berada dalam dunia kesadaran manusia yang akan berwujud menjadi

Multicultural & Keberagaman Sosial


76
struktur sosial apabila agen (individu pelaku tindakan) melakukan tindakan. Tidak seperti
Durkheim, Giddens menjelaskan bahwa hubungan antara struktur sosial dengan agen
bukan bersifat dualisme, melainkan bersifat dualitas. Struktur sosial selain bersifat
constraining juga bersifat enabling. Seperti telah dijelaskan pada definisi di atas, bahwa
struktur sosial adalah susunan status dan peran. Definisi ini menunjukkan bahwa status
dan peran menjadi unsur dari struktur sosial. Status adalah kedudukan atau posisi
seseorang atau kelompok orang dalam masyarakat. Status dapat diperoleh melalui
kelahiran atau keturunan, seperti laki-laki, perempuan, cantik, ganteng, anak, dan
keanggotaan kasta. Selain itu, status juga dapat diperoleh melalui prestasi seperti sarjana,
guru, dosen, dan presiden.
Sementara itu, yang dimaksudkan dengan peran adalah perilaku yang diharapkan dari
seseorang yang memgang status. Dalam peran ini seseorang tidak lain melaksakan hak
dan kewajiban sebagai konsekuensi dari status yang disandangnya. Dalam kehidupan
sehari-hari, seseorang memegang lebih dari satu status, yang mengharuskan melakukan
berbagai peran, apa yang disebut sebagai seperangkat peran (role set). Dalam menjalankan
peran acapkali terjadi apa yang disebut sebagai konflik peran. Ada dua macam konflik
peran, yaitu konflik peran tunggal dan konflik peran ganda. Konflik peran tunggal adalah
seseorang menyandang satu status tetapi memiliki beberapa peran yang antara satu peran
dengan peran lain bertentangan. Konflik peran ganda terjadi bila seseorang menyandang
lebih dari satu status, namun memiliki peran yang saling berlawanan. Kondisi ini
inkonsistensi status, yaitu seseorang memliki lebih dari satu status yang derajadnya tidak
sama (Horton dan Hunt, 1991: 15).
b. Definisi stratifikasi social
Acapkali terminologi stratifikasi sosial dicampuradukan dengan kelas sosial. Dua
terminologi itu merupakan dua hal yang berbeda, meskipun keduanya dipakai untuk
menggambarkan kondisi heterogenitas masyarakat secara vertikal. Stratifikasi sosial
adalah pengelompokkan masyarakat ke dalam strata-strata atau lapisan-lapisan secara
hirarkhis dalam satu sistem sosial berdasarkan dimensi kekuasaan, prestis, dan previles.
Terdapat beberapa konsep dalam definisi di atas yang masih membutuhkan penjelasan.
Anggota masyarakat berdasarkan status atau kedudukan yang tidak sederajat dalam
masyarakat dikelompokkan ke dalam strata-strata atau lapisan-lapisan secara hirarkhis.

Multicultural & Keberagaman Sosial


77
Menurut Robert M. Z. Lawang (1984: 32), pengelompokan harus dilihat sebagai
proses dan hasil dari proses tersebut. Sebagai proses, pengelompokan berarti setiap
inidividu menggolongkan atau mendefinisikan dirinya sebagai orang yang termasuk dalam
suatu strata sosial atau lapisan sosial tertentu atau menganggap bahwa dirinya berada lebih
rendah atau lebih tinggi daripada orang lain. Dengan demikian, stratifikasi sosial harus
dipahamami sebagai proses orang perorang menempatkan diri pada strata sosial tertentu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa stratifikasi itu erat kaitannya dengan diri
seseorang secara subjektif dan bukan sesuatu yang berada di luar individu. Oleh karena
itu, perilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang lain ditentukan sebagian besar
oleh definisi mengenai situasi yang dihadapi oleh seseorang.
Hasil dari proses seperti itu adalah anggota masyarakat dikelompokkan sekurang-
kurangnya ke dalam tiga strata, yaitu strata atas, strata menengah, dan strata bawah. Suatu
strata atau lapisan dalam masyarakat diduduki oleh orang-orang yang berkedudukan sama
dalam kontinum atau rangkaian kesatuan status sosial. Para anggota suatu strata sosial
tertentu acapkali memiliki jumlah pengahasilan, kekayaan, atau pendidikan yang relatif
sama. Namun, yang lebih penting daripada itu adalah mereka yang berada dalam satu
strata sosial tertentu memiliki sikap, nilai, dan gaya hidup yang relatif sama.
Penggolongan orang ke dalam beberapa lapisan seperti itu bersifat objektif (Lawang,
1984: 35). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stratifikasi sosial harus dilihat
sebagai kenyataan yang memiliki dua segi yaitu segi subjektif dan segi objektif.
Stratifikasi sosial sebagai kenyataan objektif sesuai dengan pendekatan yang
dikembangkan oleh Emile Durkheim, dan sebagai kenyataan subjektif sesuai dengan
pendekatan yang dikembangkan oleh Max Weber.
Kedua, pengelompokkan anggota masyarakat ke dalam strata-strata sosial tersebut
hanya berlaku untuk satu sistem sosial tertentu. Artinya, pengelompokkan tersebut tidak
dapat diberlakukan untuk seluruh sistem sosial dalam suatu masyarakat. Sistem sosial
dalam hubungannya dengan stratifikasi sosial dilihat sebagai sesuatu yang yang
membatasi penggolongan itu berlaku. Ketiga, lapisan-lapisan hirarkhis. Lapisan
memperlihatkan sifat dan kenyataan itu sendiri. Setiap lapisan memiliki sifat yang mampu
menghubungkan seseorang dengan orang lain yang berada di bawah atau di atasnya.
Dapat dikatakan bahwa tidak ada lapisan yang sama sekali tertutup. Artinya, lapisan

Multicultural & Keberagaman Sosial


78
bersifat terbuka. Sementara itu, kata hirarkhis yang terdapat di belakang lapisan itu berarti
bahwa lapisan yang lebih tinggi itu lebih bernilai atau lebih besar dibandingkan dengan
lapisan di bawahnya.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa anggota masyarakat dapat dkelompokkan ke
dalam lapsan atas (upper), lapisan menengah (middle), dan lapisan bawah (lower).
Namun, setiap lapisan masih dapat dibagi lagi ke dalam tiga lapisan sebagai berikut
(Lawang, 1984: 40-43):
Lapisan Atas (LAA=Lapisan Atas Atas)
Lapisan Menengah (LAM=Lapisan Atas Menengah)
Lapisan Bawah (LAB=Lapisan Atas Bawah)

Lapisan Atas (LMA=Lapisan Menengah Atas)


Lapisan Menengah (LMM=Lapisan Menengah Menengah)
Lapisan Bawah (LMB=Lapisan Menengah Bawah)

Lapisan Atas (LBA=Lapisan Bawah Atas)


Lapisan Menengah (LBM=Lapisan Bawah Menengah)
Lapisan Bawah (LBB=Lapisan Bawah Bawah)

Gejala stratifikasi sosial di masyarakat tidak selalu menampakan diri ke dalam


lapisan-lapisan hirarkhis dari atas ke bawah, dan sebaliknya. Gejala stratifikasi sosial juga
memperlihatkan seperti lingkaran kambiun. Apabila kita memotong pohon akan didapati
lapisan-lapisan yang disebut dengan lingkaran kambiun. Lingkaran yang paling dalam
disebut dengan teras, yang sangat keras. Semakin keluar lapisannya semakin kurang keras.
Seperti halnya lingkaran kambiun, stratifikasi sosial juga memperlihatkan adanya lapisan
atau lingkaran dalam, lingkaran tengah, dan lingkaran luar. Apabila kita menggunakan
dimensi stratifikasi sosial dapat dikatakan bahwa mereka yang berada pada lingkaran
dalam mempunyai kekuasaan lebih tinggi atau besar, lebih berprestis, dan lebih
berprevilese dibandingkan dengan mereka yang berada pada lingkaran tengah dan
lingkaran luar. Seperti halnya lapisan atas, menengah, dan bawah, lingkaran dalam,
tengah, dan luar juga dapat dibagi lagi menjadi tiga lingkaran seperti berikut ini (Lawang,
1984, 45):
Lingkaran Dalam (LDD=Lingkaran Dalam Dalam)
Lingkaran Tengah (LDT=Lingkaran Dalam Tengah)
Lingkaran Luar (LDL=Lingkaran Dalam Luar)

Multicultural & Keberagaman Sosial


79
Lingkaran Dalam (LTD=Lingkaran Tengah Dalam)
Lingkaran Tengah (LTT=Lingkaran Tengah Tengah)
Lingkaran Luar (LTL=Lingkaran Tengah Luar)

Lingkaran Dalam (LLD=Lingkaran Luar Dalam)


Lingkaran Tengah (LLT=Lingkaran Luar Tengah)
Lingkaran Luar (LLL=Lingkaran Luar Luar)

Keempat, dimensi kekuasaan, prestise, dan previlese. Kekuasaan adalah kemampuan


menggunakan sumber daya untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain agar
mengikuti atau mentaati apa yang menjadi keinginannya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa seseorang dikatakan mempunyai kekuasaan apabila orang tersebut
mempunyai kemampuan menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk
mempengaruhi orang atau kelompok lain agar orang atau kelompok lain itu mengikuti
atau mentaati apa yang menjadi keinginannya. Antarindividu terdapat perbedaan dalam
hal pemilikan dan kemampuan menggunakan sumber daya. Meskipun seseorang memiliki
sumberdaya yang banyak, namun bila tidak dipergunakan untuk mempengaruhi orang atau
kelompok lain, maka orang itu tidak memiliki kekuasaan. Orang yang mampu
mempergunakan sumber daya yang dimilikinya untuk mempengaruhi orang lain, maka
orang tersebut memiliki kekuasaan.
Sedangkan prestise adalah kehormatan. Namun, kehormatan bersifat relatif. Artinya,
kehormatan harus dikaitkan dengan suatu kebudayaan atau sistem sosial tertentu.
Sementara itu, yang dimaksud dengan previlese adalah hak istimewa, hak mendahului,
dan hak untuk memperoleh perlakuan khusus. Studi-studi tentang stratifikasi sosial
mengkaitkan dengan dua hal, yaitu: ekonomi dan kebudayaan. Di bidang ekonomi: uang,
penghasilan, dan kekayaan merupakan instrumen bagi seseorang untuk mendapatkan
previlese. Dalam kehidupan sehari-hari kita menyaksikan betapa uang, penghasilan, dan
kekayaan menjadi faktor yang dapat membedakan perlakuan antara mereka yang
mempunyai uang, penghasilan, dan kekayaan, dan meraka yang tidak memilikinya.
Konsep kelas sosial lebih sempit dari stratifikasi sosial. Konsep kelas sosial lebih
merujuk pada satu lapisan atau satu strata tertentu dalam sebuah stratifikasi sosial. Dengan
demikian yang dimaksudkan dengan kelas sosial adalah sebagai kelompok yang anggota-

Multicultural & Keberagaman Sosial


80
anggotanya memiliki orientasi politik, nilai budaya, sikap, dan perilaku sosial yang secara
umum sama.
c. Determinan stratifikasi social
Secara umum dapat dikatakan bahwa yang menjadi determinan stratifikasi sosial
bukanlah tunggal, malainkan beragam. Menurut Lawang (1984: 50), sekurang-kurangnya
ada lima faktor yang menjadi penyebab masyarakat terstratifikasi ke dalam lapisan-
lapisan atau strata-strata, yaitu faktor ekonomi, pendidikan, suku bangsa, seks, dan usia.
Lima faktor tersebut dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Namun, yang harus
disadari bahwa lima faktor itu, signifikansi atau kadar pengaruhnya dalam pembentukan
stratifikasi sosial, baik sebagai proses maupun hasil tidak sama kuat dan berbeda-beda
sangat tergantung pada tahap perkembangan masyarakat dan konteks sosialnya.
1) Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi dalam stratifikasi sosial merujuk pada tinggi rendahnya pekerjaan,
pendapatan, dan kekayaan. Tinggi rendahnya pekerjaan, pendapatan, dan kekayaan
mempengaruhi stratifikasi sosial baik sebagai proses maupun hasil. Pada bagian ini
terlebih dahulu akan diuraikan faktor pekerjaan. Pekerjaan merupakan faktor
determinan stratifikasi sosial. Segera setelah orang mengembangkan jenis-jenis
pekerjaan khusus mereka menyadari bahwa beberapa jenis pekerjaan tertentu lebih
terhormat daripada jenis pekerjaan lain. Artinya, ada beberapa jenis pekerjaan lebih
menawarkan kekuasaan, prestise, dan previlese lebih tinggi dibandingkan pekerjaan-
pekerjaan lain. Ada jenis pekerjaan yang lebih memperlihatkan dimensi kekuasaan
dibandingkan dimensi prestise atau previlese. Sebaliknya ada jenis pekerjaan yang
kebih memperlihatkan dimensi prestise dibandingkan dimensi kekuasaan atau
previlese.
Apabila seseorang ditanya: ‖Apa jenis pekerjaan Anda sekarang?.‖ Kemudian
menjawab: ‖Saya bekerja sebagai buruh tani di desa.‖ Secara umum di masyarakat
jenis pekerjaan sebagai buruh tani tidak memiliki kekuasaan, prestise, dan previlese.
Mungkin jenis pekerjaan ini memiliki prestise karena buruh tani tersebut adalah orang
yang jujur, namun, dia tidak memiliki sumber daya yang dapat dipakai untuk
mempengaruhi orang lain (kekuasaan) dan tidak memiliki hak istimewa (previlese).
Sebaliknya, bila pertanyaan yang sama dijawab: ‖Saya bekerja sebagai salah satu

Multicultural & Keberagaman Sosial


81
anggora Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan Jakarta,‖ maka orang tersebut sudah
tentu memiliki kekuasaan, prestise, dan previlese yang tinggi.
Namun, hubungan antardimensi dalam satu jenis pekerjaan tidak selalu konsisten. Ada
jenis pekerjaan yang memperlihatkan dimensi prestise, namun tidak memiliki dimensi
kekuasaan dan previlese. Misalnya bila diajukan pertanyaan: ‖Apa jenis pekerjaan
Anda sekarang?‖ Kemudian dijawab: ‖Saya bekerja sebagai seorang guru sekolah
dasar di daerah pedalaman di Papua?‖ Orang yang mengajukan pertanyaan akan
mengagumi orang itu. Artinya, jenis pekerjaan sebagai guru di daerah pedalaman lebih
memperlihatkan dimensi prestise dibandingkan dengan dimensi previlese dan
kekuasaan. Seseorang yang bekerja sebagai seorang guru sekolah dasar di daerah
pedalaman tidak memiliki kekuasaan dan previlese yang besar. Sebaliknya jika
pertanyaan yang sama kemudian dijawab: ‖Saya bekerja sebagai salah satu Direktur di
Bank Indonesia di Jakarta,‖ maka orang tersebut dikategorikan sebagai yang yang
memiliki kekuasaan dan previlese yang sangat besar.
Ada kecenderungan di masyarakat bahwa orang akan memilih jenis pekerjaan yang
prestise yang tinggi. Mengapa? Jenis pekerjaan yang berprestise tinggi pada umumnya
memberikan penghasilan lebih tinggi, meskipun terdapat pengecualian. Jenis
pekerjaan yang berprestise tinggi umumnya memerlukan tingkat pendidikan tinggi.
Pada semua masyarakat, baik tradisional maupun modern, kita melihat bahwa orang-
orang cenderung diberikan status sosial sesuai dengan jenis pekerjaan dan orang
dengan mudah memasuki lapangan kerja yang sesuai dengan status sosialnya. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pekerjaan merupakan aspek stratifikasi sosial yang
penting, karena begitu banyak segi kehidupan lain yang berkaitan dengan pekerjaan.
Apabila kita mngetahui jenis pekerjaan seseorang, maka kita bisa menduga tinggi
rendahnya pendidikan, standar hidup, teman-teman, jam kerja, dan kebiasaan sehari-
hari keluarga. Kita bahkan bisa menduga selera bacaan, selera rekreasi, standar moral,
dan orientasi keagamaannya. Dengan kata lain, setiap jenis pekerjaan merupakan
bagian edari cara hidup yang sangat berbeda dengan jenis pekerjaan lain.
Pendapatan merupakan konsep ekonomi. Pendapatan adalah semua yang diterima
seseorang selama satu bulan atau satu tahun yang dapat diukur dengan nilai ekonomi.
Berdasarkan ukuran ekonomi ini kita dapat membagi penduduk suatu daerah ke dalam

Multicultural & Keberagaman Sosial


82
tiga kategori: pendapatan tinggi, pendapatan menengah, dan pendapatan rendah.
Pengelompokan masyarakat ke dalam tiga kategori tersebut beru merupakan kategori
ekonomi, belum merupakan stratifikasi sosial. Tiga kategori itu menjadi stratifikasi
sosial bila secara sosiologis dikaitkan dengan dimensi kekuasaan, prestise, dan
previlese. Dengan kata lain, tinggi rendahnya pendeapatan itu berpengaruh terhadap
kehidupan sosial, seperti dijelaskan pada tabel berikut.

Tabel 1. Hubungan Potensi Tingkat Pendapatan dengan Dimensi Kekuasaan, Prestise, dan
Previlese

Tingkat Dimensi Stratifikasi Sosial


Pendapatan Kekuasaan Prestise Previlese
Tinggi (++) ++? ++? ++?
Sedang (+) +? +? +?
Rendah (-) -? -? -?
Sumber : Lawang, 1984: 60

Tanda tanya dalam tabel di atas berarti apakah bila seseorang mempunyai pendapatan
tinggi, juga mempunyai kekuasaan yang tinggi, prestise yang tinggi, dan previlese
yang tinggi dalam masyarakat? Tinggi rendahnya tingkat pendapatan tergambar dalam
tabel berikut.

Tabel 2. Hubungan Tingginya Tingkat Pendapatan dengan Dimensi Kekuasaan, Prestise,


dan Previlese

Tingkat Dimensi Stratifikasi Sosial


Pendapatan Kekuasaan Prestise Previlese
++ ++ ++ ++
+ + +
- - -
+ ++ ++ ++
+ + +
- - -

Multicultural & Keberagaman Sosial


83
- ++ ++ ++
+ + +
- - -
Sumber : Lawang, 1984: 62

Sebagai contoh di sebuah daerah ada seseorang yang mempunyai pendapatan besar
karena hasil korupsi. Dilihat dari dimensi kekuasaan, orang tersebut dapat
mempergunakan pendapatan tersebut untuk mempengaruhi orang lain agar orang lain
mengikuti atau mentaati apa yang menjadi keinginannya. Dengan kata lain,
pendapatan yang besar bisa dipergunakan untuk memperoleh kekuasaan. Dengan
pendapatan yang dimiliki, orang tersebut juga mempunyai hak-hak istimewa atau
perlakuan khusus. Misalnya, orang tersebut dapat memilih jenis pendidikan anak yang
berkualitas, baik di dalam maupun luar negeri. Bila sakit, orang tersebut mempunyai
peluang besar untuk menyembuhkan penyakitnya karena bisa berobat ke rumah sakit
yang berstandar internasional. Sebagian dari masyarakat kita yang mempunyai
pendapatan besar mempunyai kebiasaan berobat ke rumah sakit di Singapura, Jerman,
Cina, Amerika Serikat, dan negara lain. Namun dilihat dari dimensi prestise,
masyarakat yang mengetahui bahwa pendapatan yang besar merupakan hasil korupsi
akan mencemooh, mengolok-olok, bahkan mengucilkan orang tersebut. Dapat
disimpulkan bahwa pendapatan yang diperoleh dengan cara inkonstitusional (ilegal),
meskipun mempunyai dimensi kekuasaan dan previlese yang tinggi, namun dilihat dari
dimensi prestise sangat rendah. Sebaliknya, pendapatan yang diperoleh secara
konstitusional ketiga dimensi stratifikasi sosial tersebut mempunyai derajat yang
tinggi.

Tabel 3. Hubungan Potensi Tingkat Kekayaan dengan Dimensi Kekuasaan, Prestise, dan
Previlese

Tingkat Kekayaan Dimensi Stratifikasi Sosial


Kekuasaan Prestise Previlese
Tinggi (++) ++? ++? ++?
Sedang (+) +? +? +?

Multicultural & Keberagaman Sosial


84
Rendah (-) -? -? -?
Sumber : Lawang, 1984: 66

Tanda tanya dalam tabel dei atas berarti apakah bila seseorang dikatakan kaya, juga
mempunyai kekuasaan yang tinggi, prestise yang tinggi, dan previlese yang tinggi
dalam masyarakat? Tinggi rendahnya tingkat pendapatan tergambar dalam tabel
berikut.

Tabel 4. Hubungan Tingginya Tingkat Pendapatan dengan Dimensi Kekuasaan, Prestise,


dan Previlese

Tingkat Kekayaan Dimensi Stratifikasi Sosial


Kekuasaan Prestise Previlese
++ ++ ++ ++
+ + +
- - -
+ ++ ++ ++
+ + +
- - -
- ++ ++ ++
+ + +
- - -
Sumber : Lawang, 1984: 68

Sebagai contoh di sebuah daerah ada seseorang tuan tanah yang mempunyai kekayaan
besar, namun kekayaannya dihasilkan dari hasil kejahatan. Dilihat dari dimensi
kekuasaan, orang tersebut dapat mempergunakan kekayaan memberikan jaminan
hidup bagi semua buruh tani yang sehari-hari bekerja di sawah. Pemberian jaminan
hidup seperti itu, menurut Peter Blau, mengakibatkan tuan tanah memiliki kekuasaan.
Buruh tani yang telah mendapatkan jaminan hidup membalas dengan loyalitas,
ketaatan, dan kepatuhan kepada tuan tanah. Dengan kata lain, dilihat dari dimensi
kekuasaan, kekayaan merupakan sumberdaya yang dapat dipakai untuk mempengaruhi
Multicultural & Keberagaman Sosial
85
orang lain agar orang lain menataati apa yang menjadi keinginan dari pemilik sumber
daya tersebut. Dapat disimpulkan bahwa kekayaan yang diperoleh dengan cara
inkonstitusional (ilegal), meskipun mempunyai dimensi kekuasaan dan previlese yang
tinggi, namun dilihat dari dimensi prestise sangat rendah. Sebaliknya, pendapatan yang
diperoleh secara konstitusional ketiga dimensi stratifikasi sosial tersebut mempunyai
derajat yang tinggi.

2) Faktor pendidikan
Faktor lain yang menjadi determinan stratifikasi sosial adalah pendidikan. Masyarakat
Indonesia lebih mementingkan dan menghargai pendidikan formal daripada
pendidikan nonformal. Namun secara soiologis, pendidikan baik formal maupun
nonformal menjadi determinan stratifikasi sosial apabila mempengaruhi kehidupan
sosial. Pendidikan sebagai determinan stratifikasi sosial dikaitkan dengan dimensi
kekuasaan, previlese, dan prestise. Pembahasan undang-undang politik tentang
pemilihan presiden dan wakil presiden di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun
2008 sangat alot menyangkut tentang syarat-syarat calon presiden dan wakil presiden.
Salah satu syarat yang diperdebatkan adalah syarat tingkat pendidikan minimum
bergelar sarjana bagi calon presiden dan wakil presiden. Artinya, pendidikan memberi
peluang bagi setiap individu untuk memperoleh kekuasaan.
Secara teoritik dapat dikatakan bahwa seorang individu yang menggunakan
pengetahuan yang dimiliki untuk mempengaruhi orang lain dan orang lain mengikuti
dan mentaati keinginan pemilik pengetahuan, maka individu itu dikatakan memiliki
kekuasaan. Demikian sebaliknya, individu yang tidak memiliki pengetahuan kecil
kemungkinannya untuk memiliki kekuasaan. Pendidikan juga berkaitan dengan
pekerjaan, pendapatan, dan kekayaan. Tingkat pendidikan yang tinggi memungkinkan
bagi individu untuk mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan besar.
Dengan pengahsilan yang besar, individu dapat melakukan akumulasi kekayaan.
Sebaliknya, dengan pendidikan yang rendah, seorang individu mempunyai peluang
yang kecil untuk mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan penghasilan yang besar
dan melakukan akumulasi kekayaan. Individu dengan tingkat pendidikan rendah hanya

Multicultural & Keberagaman Sosial


86
bisa masuk pada jenis-jenis pekerjaan yang berpenghasilan kecil. Dengan penghasilan
yang kecil kecil kemungkinan untuk melakukan akumulasi kekayaan.
Dilihat dari dimensi previlese, seseorang berpendidikan tinggi yang bekerja di sektor-
sektor pekerjaan dengan penghasilan tinggi mempunyai previlese yang besar. Tidak
demikian dengan seseorang berpendidikan rendah yang bekerja sebagai buruh pabrik,
buruh bangunan, pembantu rumahtangga, dan sejenisnya. Masyarakat
mengembangkan sikap lebih menghargai orang yang memiliki tingkat pendidikan
tinggi dibandingkan yang berpendidikan rendah. Penghargaan tinggi seperti itu
mendorong setiap orang untuk menempuh jenjang pendidikan tertinggi dengan
berbagai cara, mulai dari cara legal hingga ilegal, cara yang sungguh-sungguh hingga
yang tidak sungguh- sungguh. Namun tinggi rendahnya penghargaan masyarakat
sangat tergantung dari cara seseorang memperoleh gelar. Media massa sering
mengungkap fakta perguruan tinggi mempratikkan jual beli ijasah atau gelar.

3) Faktor suku bangsa


Selama ini faktor suku bangsa dianggap bukan menjadi faktor determinan stratifikasi
sosial. Dilihat dari teknik atau suku bangsa, secara empirik di lapangan, masyarakat
tidak dalam kondisi homogen. Dengan kata lain, tidak ada masyarakat yang hanya
terdiri dari satu etnik atau suku bangsa. Sebuah keniscayaan bahwa sebagian besar
masyarakat memiliki heterogenitas etnik atau suku bangsa. Misalnya, Indonesia
dikenal sebagai negara yang multietnik. Sebelum membahas lebih lanjut tentang
pengaruh etnik terhadap stratifikasi sosial, terlebih dahulu marilah kita pahami
bersama apa yang dimaksudkan dengan etnik atau suku bangsa, dan apa pula bedanya
dengan ras. Yang dimaksudkan dengan etnik adalah pengelompokan manusia ke
dalam kelompok- kelompok yang berbeda berdasarkan persamaan kebudayaan.

4) Faktor gender
Apabila dilihat dari dimensi stratifikasi sosial (kekuasaan, previlese, dan prestise),
laki-laki memiliki kesempatan lebih banyak dibandingkan perempuan. Mengapa
demikian? Randal Collins menjawab bahwa manusia mempunyai dorongan yang
sangat kuat untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Walaupun laki-laki dan

Multicultural & Keberagaman Sosial


87
perempuan memiliki dorongan seksual yang sama, namun mereka berbeda dalam
kekuatan dan bentuk fisiknya. Laki-laki lebih kuat dan besar daripada perempuan.
Karena fisik laki-laki lebih kuat dan besar, maka kekuatan memaksa laki-laki lebih
besar kemungkinannya digunakan daripada perempuan. Hal ini yang menyebabkan
laki-laki lebih tinggi dalam tiga dimensi stratifikasi sosial daripada perempuan.
Pada masyarakat Jawa yang berbudaya patriarkhi, laki-laki yang sudah berkeluarga
diposisikan sebagai kepala keluarga. Suami diposisikan sebagai pencari nafkah utama
dalam keluarga. Masyarakat mengkonstruksi suami bekerja di sektor publik dan istri
bekerja di sektor domestik. Apabila istri juga bekerja di sektor publik, masyarakat
menganggap hanya membantu suami. Apabila dalam sebuah keluarga yang secara
ekonomi tidak mampu dihadapkan pada pilihan untuk menyekolahkan anak laki-laki
atau anak perempuan, keluarga yang hidup pada masyarakat yang berbudaya patriarkhi
memilih anak laki-laki yang disekolahkan. Mengapa anak laki-laki dan bukan anak
perempuan? Jawabannya sederhanya bahwa anak laki-laki kelak akan menjadi kepala
keluarga dan menjadi pencari nafkah utama. Sementara itu, perempuan dikonstruksi
sebagai konco wingking (teman belakang). Artinya, tidak perlu sekolah tinggi toh
nanti akhirnya ke dapur juga.

5) Faktor usia
Usia juga dapat mempengaruhi stratifikasi sosial. Dalam stratifikasi ini anggota
masyarakat yang berusia lebih muda mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda
dengan anggota masyarakat yang lebih tua. Pada masyarakat Jawa, misalnya, seorang
anak mempunyai kewajiban untuk menghormati orangtua. Tidak hanya menghormati,
seorang anak juga harus patuh dan berbakti kepada orangtuanya. Misalnya, ungkapan
Jawa yang berbunyi ‖mikul duwur mendem jero wong tuwo.‖ Artinya, seorang anak
harus menjunjung tinggi martabat orangtua. Bagaimana anak yang tidak sesuai dengan
ungkapan tersebut? Anak yang seperti itu akan diberi label sebagai anak durhaka.
Anak yang tidak menghormati dan berbakti kepada orangtua. Pada sistem
pemerintahan kerajaan, anak sulung dari seorang raja biasanya mempunyai hak untuk
mewarisi kekuasaan.

Multicultural & Keberagaman Sosial


88
Marilah kita lihat di dunia pekerjaan. Asas senioritas dipakai untuk mengangkat
seseorang dalam jabatan tertentu. Misalnya, dalam organisasi modern, kita sering
melihat adanya hubungan yang erat antara usia karyawan dengan pangkat atau jabatan
mereka. Dalam organisasi modern seorang karyawan hanya naik pangkat bila
karyawan itu telah berselang dalam jangka waktu tertentu. Apabila dikaitkan dengan
diimensi stratifikasi sosial, maka pegawai negeri yang memiliki pengalaman kerja
lama mempunyai peluang cukup besar untuk memiliki kekuasaan. Pegawai negeri sipil
senior mengisi jabatan-jabatan struktural di jajaran birokrasi. Sebaliknya, pegawai
negeri sipil yang masa kerjanya sedikit masih harus menunggu cukup lama untuk
dapat menduduki jabatan- jabatan struktural di jajaran birokrasi. Pengangkatan
seseorang dalam jabatan berdasarkan asas senioritas dalam bahasa Jawa dikatakan
sebagai urut kacang. Artinya, pegawai negeri sipil yang senior yang didahulukan,
kemudian baru yang lebih yunior).
Secara sosiologis, anak-anak selalu disosialisasi nilai-nilai pentingnya menghormati
orang yang usianya lebih tua, seperti orangtua, kakek, nenek, paman, bibi, kakak, dan
seterusnya. Masyarakat kita akan memberi label anak durhaka untuk menyebut anak
yang tidak menghormati dan berbhakti kepada orangtuanya. Sebaliknya, orang yang
usianya masih anak-anak dianggap rendah, karena seperti orang Jawa ungkapkan anak
belum banyak memakan asam-garam (belum berpengalaman). Orang yang usianya tua
dianggap telah banyak makan asam garam (berpengalaman). Anak yang baru lahir
merupakan individu yang paling tidak berdaya. Peter L. Berger membandingkan
manusia dengan binatang. Kalau ayam baru menetas dari telur, dia langsung dapat
mencotok beras dengan paruhnya. Begitu pula sapi, kuda, dan kambing, mereka
langsung berdiri begitu lahir dari rahim induknya.

4. Perspektif teori stratifikasi social


1) Perspektif fungsionalisme
Teori-teori fungsionalisme tentang stratifikasi sosial harus dilihat dalam konteks teori-
teori fungsionalisme tentang masyarakat. Ketika kaum fungsionalis mencoba
menjelaskan sistem stratifikasi sosial, mereka memiliki seperangkat penjelasan dalam
kerangka kerja teori-teori yang lebih besar yang mencoba menjelaskan bekerjanya

Multicultural & Keberagaman Sosial


89
masyarakat secara keseluruhan. Mereka berpendapat bahwa nasyarakat mempunyai
kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu atau prasyarat fungsional yang harus dipenuhi bila
ingin bertahan hidup. Kaum fungsionalis beranggapan bahwa bagian-bagian dari
masyarakat merupakan bentuk yang secara keseluruhan terintegrasi dan mereka
menjelaskan sistem stratifikasi sosial diintegrasikan dengan bagian-bagian lain
masyarakat. Menurut perspektif ini, mempertahankan derajat keteraturan dan stabilitas
tertentu merupakan hal yang esensial bagi bekerjanya sistem sosial. Perspektif ini
menjelaskan bagaimana sistem stratifikasi membantu mempertahankan keteraturan dan
stabilitas dalam masyarakat.
a) Talcott Parsons: nilai-nilai dan stratifikasi
Parsons, seperti kaum fungsionalis lain, mempercayai bahwa keteraturan,
stabilitas dan kerjasama dalam masyarakat didasarkan pada konsensus nilai. Dalam
istilah Parsons, stratifikasi adalah rangking unit-unit dalam sisitem sosial sesuai dengan
sistem nilai bersama. Dengan kata lain, orang yang menempati rangking tinggi akan
menerima berbagai reward. Paling tidak mereka akan memiliki prestise yang tinggi
sebab mereka memberi contoh dan mewujudkan nilai-nilai bersama. Karena masyarakat
yang berbeda- beda memiliki sistem nilai yang berbeda, cara-cara mencapai kedudukan
tinggi akan bervariasi dari masyarakat ke masyarakat. Parsons berargumentasi bahwa
masyarakat mempunyai nilai-nilai prestasi, efisiensi, dan menekankan pada kegiatan
produktif dalam ekonomi.
Pandangan Parsons mendorong bahwa stratifikasi adalah sebuah bagian yang tak
terelakkan dari semua masyarakat manusia. Jika konsensus nilai merupakan komponen
esensial dari semua masyarakat, konsensus nilai mengikuti beberapa bentuk stratifikasi
yang merupakan hasil dari ranking individu sesuai dengan nilai-nilai bersama. Juga
terdapat keyakinan umum bahwa sistem stratifikasi adalah benar dan tepat, karena
merupakan perwujudan dari nilai-nilai bersama. Kaum fungsionalis cenderung melihat
hubungan antarkelompok sosial dalam masyarakat sebagai sebuah kerjasama dan saling
ketergantungan. Dalam masyarakat industri yang kompleks, perbedaan kelompok-
kelompok spesialisasi dalam aktivitas-aktivitas khusus. Tak ada satu kelompokpun yang
dapat memenuhi kebutuhan sendiri, kelompok itu sendiri tidak dapat memenuhi
kebutuhannya dari anggotanya. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan pertukaran

Multicultural & Keberagaman Sosial


90
barang dan jasa dengan kelompok lain, dan karena itu hubungan antarkelompok social
adalah hubungan resprositas.
Hubungan-hubungan ini meluas ke strata dalam sebuah sistem stratifikasi. Setiap
kelas membutuhkan dan tergantung pada kelas lain, sejak saat itu tugas-tugas dalam
skala besar membutuhkan baik pelaksanaan dan organisasi. Dalam masyarakat dengan
spesialisasi pembagian pekerjaan yang tinggi, seperti masyarakat industri, banyak
anggota masyarakat akan terspesialisasi dalam dalam perencanaan dan organisasi
sementara lainnya akan mengikuti perintah mereka. Parsons berpendapat bahwa
kecenderungan ke arah ketidaksamaan ini tidak terelakkan sesuai kekuasaan dan
prestise. Parsons memberikan gambaran masyarakat Barat sebagai berikut:
―Organization on ever increasing scale is a fundamental feature of such a system.
Such organization naturally involves centralization and differentiation of
leadership and authority; so that those who take responsibility for coordinating
the action of many others must have a different status in important respect from
those who are essentially in the role of carrying out specifications laid down by
others‖

Jadi, orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengorganisasi dan


mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan akan mempunyai status sosial lebih tinggi
dibandingkan dengan yang mereka arahkan. Seperti perbedaan-perbedaan prestise,
Parsons berpendapat bahwa ketidaksamaan kekuasaan didasarkan pada pembagian nilai.
Kekuasaan adalah kewenangan yang mempunyai legitimasi di dalam mana kekuasaan
umumnya diterima sebagai adil dan patut oleh anggota masyarakat sebagai keseluruhan.
Kekuasaan diterima seperti itu sebab seseorang dalam posisi kewenangan menggunakan
kekuasaannya untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif yang diambil dari nilai-nilai
sentral masyarakat.

b) Perspektif teori Davis dan Moore


Menurut Davis dan Moore, kesenjangan sosial merupakan keadaan yang tumbuh
tanpa disadari, yang diamanfaatkan oleh masyarakat untuk lebih memberikan jaminan
bagi terisinya jabatan-jabatan penting oleh orang-orang yang paling cakap. Oleh karena
itu, setiap masyarakat harus membedakan orang dari segi prestise dan penghargaan.
Untuk itu, nasyarakat harus memiliki kadar kesenjangan social tertentu yang

Multicultural & Keberagaman Sosial


91
melembaga (dalam Horton dan Hunt, 1992: 27). Davis dan Moore (Horton dan Hunt,
1992: 28), berpendapat bahwa suatu jenis pekerjaan hendaknya diberi imbalan yang
lebih tinggi karena alasan tingginya tingkat kesulitan dan kepentingannya, sehingga
memerlukan bakat dan pendidikan yang lebih hebat pula. Mereka membenarkan bahwa
hal tersebut tidak berlaku pada masyarakat yang tidak bersifat kompetitif di mana
kebanyakan jabatan pekerjaan merupakan sesuatu yang diwariskan, bukannya sesuatu
yang dicapai melalui usaha. Walaupun imbalan mencakup prestise dan penghargaan
masyarakat, namun uang merupakan imbalan yang paling utama. Jadi, diperlukan
ketidaksamarataan penghasilan agar semua jenis pekerjaan dapat diduduki oleh orang-
orang yang kemampuannya cocok untuk jenis pekerjaan tersebut. Teori Davis dan
Moore didukung oleh beberapa penelitian empiris, yang menemukan bahwa memang
terdapat keragaman imlaban yang didadasarkan pada bakat dan latihan pendidikan,
namun bukti yang menyangkut kadar ―kepentingan‖ suatu jenis pekerjaan masih tetap
kabur.
Teori Davis dan Moore mendapatkan kritik dari para teoritisi konflik. Teori
konflik menyatakan bahwa pemberian kesempatan yang tidak sama dan diskriminasi
kelas sosial menghambat orang-orang kelas sosial rendah untuk mengembangkan bakat
alam mereka semaksimum mungkin. Di lain pihak, orang-orang yang berasal dari kelas
social atas yang tidak berbakat dapat bebas dari jenis pekerjaan yang berguna karena
sikap dan harapan mereka tidak bisa menerima jenis pekerjaan semacam itu. Para
kritikus menilai bahwa sistem kelas social merupakan sistem yang tidak berfungsi
dalam menditribusikan kesempatan kerja, sistem yang menyia-nyiakan bakat orang-
orang hebat dari kelas social yang tidak memiliki hak-hak istimewa dan juga menyia-
nyiakan potensi sedang orang yang tidak cakap dari kelas sosial yang memiliki banyak
hak istimewa (Sanderson, 1993: 279-280).

c) Perspektif Weberian
Max Weber percaya bahwa stratifikasi sosial merupakan hasil dari
memperebutkan sumber-sumber langka di masyarakat. Walaupun ia melihat bahwa
perjuangan ini berkaitan dengan sumber-sumber ekonomi, dapat juga meliputi
perjuangan untuk kekuasaan politik dan prestise. Weber, seperti Karl Marx, juga

Multicultural & Keberagaman Sosial


92
melihat kelas dalam terminologi ekonomi. Weber berpendapat bahwa kelas berkembang
dalam ekonomi pasar di mana individu-individu bersaing untuk memperoleh ekonomi.
Weber mendefinisikan kelas sebagai sebuah kelompok individu yang memiliki posisi
yang sama dalam sebuah ekonomi pasar, dan berdasarkan atas fakta itu menerima
reward yang sama. Dalam terminologi Weber, situasi kelas seseorang sesungguhnya
situasi pasar. Orang yang menjadi bagian dari situasi kelas yang sama juga menjadi
bagian dari kesempatan-kesempatan hidup yang sama. Posisi ekonomi mereka secara
langsung mempengaruhi kesempatan-kesempatan mereka untuk menghasilkan sesuatu
yang diinginkan dalam masyarakat, misalnya akses ke pendidikan yang lebih tinggi dan
kualitas perumahan yang baik.
Seperti Marx, Weber berpendapat bahwa pembagian kelas adalah mereka yang
memiliki sarana-saranan produksi dan yang tidak memiliki sarana-sarana produksi.
Siapa yang memiliki tanah akan menerima reward ekonomi tinggi dan menikmati
kesempatan- kesempatan kehidupan yang superior. Bagaimanapun Weber melihat
pentingnya perbedaan dalam situasi pasar dari kelompom pemilik dalam masyarakat.
Khususnya, berbagai ketrampilan dan pelayanan ditawarkan oleh perbedaan pekerjaan
yang mempunyai nilai-nilai pasar yang berbeda. Weber membedakan kelompok-
kelompok kelas dalam masyarakat kapitalis sebagai berikut:
1. the propertied upper class
2. the propertyless white-collar worker
3. the petty bourgeoisie
4. the manual working class
Dalam analisis kelasnya, Weber tidak sependapat dengan Marx dalam sejumlah
isu penting berikut ini:
1. Faktor-faktor lain yang signifikan daripada memiliki atau tidak memiliki tanah
dalam formasi kelas. Khususnya, nilai pasar ketrampilan berbagai the propertyless
groups dan hasil perbedaan-perbedaan dalam keuntungan ekonomi adalah cukup
untuk menghasilkan perbedaan kelas-kelas sosial.
2. Weber melihat tidak ada bukti untuk mendukung gagasan polarisasi kelas.
Walaupun ia melihat banyak penurunan dalam sejumlah hak the petty bourgeoisie
untuk berkompetisi dari perusahaan-perusaaan besar. Weber berpendapat bahwa the

Multicultural & Keberagaman Sosial


93
petty bourgeoisie memasuki perdagangan pekerja kulit putih atau pekerja manual
daripada menjadi menyedihkan dalam pekerja manual yang tidak memiliki
ketrampilan. Weber juga berpendapat bahwa kelas menengah kulit putih daripada
kontrak sebagai perkembangan kapitalisme. Menurut Weber, perusahaan-
perusahaan kapitalis dan negara bangsa modern membutuhkan administrasi
birokrasi rasional yang terdiri sejumlah administrator dan staf juru tulis.Weber
melihat sebuah diversifikasi kelas- kelas dan sebuah ekspansi kelas menengah kulit
putih, daripada sebuah polarisasi.
3. Weber menolak pandangan tentang tak terhindarkannya revolusi proletariat. Ia
tidak melihat ada alasan mengapa pembagian situasi kelas yang sama
mempersyaratkan pengembangan sebuah identitas bersama, mengakui kepentingan-
kepentingan dan menerima tindakan kolektif untuk kepentingan-kepentingan
bersama. Misalnya, Weber menganjurkan agar individu pekerja-pekerja manual
yang kecewa dengan situasi kelas mereka mungkin memberikan respon dalam
berbagai cara. Mereka mungkin mengeluh, sabotase mesin industri, dan sebagainya.
Weber mengakui bahwa sebuah situasi pasar bersama mungkin memberikan sebuah
dasar bagi tindakan kelas kolektif tetapi ia melihatnya hanya sebagai sebuah
kemungkinan.
4. Weber menolak pandangan Marxis kekuasaan politik diperoleh dari kekuasaan
ekonomi. Ia berpendapat bahwa bentuk-bentuk kelas hanya sebuah kemungkinan
bagi kekuasaan dan bahwa distribusi kekuasaan dalam masyarakat tidak
membutuhkan hubungan ke distribusi ketidaksamaan kelas.
Berdasarkan bentuk-bentuk kelas sebagai kemungkinan dasar bagi formasi
kelompok, tindakan kolektif dan kemahiran kekuasaan politik, Weber berpendapat
bahwa terdapat landasan lain bagi aktivitas kelompok. Khususnya, bentuk-betuk
kelompok menyebabkan anggotanya membagi situasi status yang sama. Sebaliknya,
kelas merujuk pada distribusi reward ekonomi yang tidak merata, status merujuk
distribusi ‖pendapatan sosial‖ yang tidak sama. Kelompok-kelompok okupasi, etnik,
dan agama, serta gaya hidup, oleh anggota masyarakat diberi derajat prestise dan
penghargaan yang berbeda. Sebuah kelompok status merupakan individu-individu yang
memiliki sejumlah social honour yang sama dan membagi situasi status yang sama.

Multicultural & Keberagaman Sosial


94
Tidak seperti kelas, anggota kelompok status hampir selalu menyadari situasi status
yang sama mereka. Mereka memiliki gaya hidup sama, identitas dengan dan merasa
memiliki kelompok status mereka, dan seringkali menempatkan pembatasan pada cara
dimana kelompok lain berinteraksi dengan mereka.
Weber mengatakan bahwa kelompok status sampai pada bentuk perkembangan
mereka dalam sisitem kasta masyarakat Hindu tradisional di India. Kasta dan sub-kasta
dibentuk dan dibedakan sesuai dengan ‖social honour‖; gaya hidup dibedakan dalam
berbagai derajat prestise. Kasta juga memberikan sebuah contoh baik tentang proses
yang digambarkan oleh Weber sebagai pengakhiran sosial. Pengakhiran sosial meliputi
eksklusi banyak orang dari keanggotaan sebuah kelompok status. Dalam sistem kasta
social closure dicapai melalui larangan yang menghalangi anggota suatu kasta menikah
dengan anggota kasta lain.
Dalam banyak masyarakat, kelas dan situasi status secara tertutup dikaitkan.
Weber mencatat bahwa kekayaan tidak selalu dianggap sebagai sebuah kualifikasi
status. Walaupun orang yang membagi situasi kelas yang sama tidak akan memiliki
kelompok status yang sama. Kelompok status mungkin menciptakan pembagian dalam
kelas-kelas. Magaret Stacy menemukan bahwa anggota kelas pekerja manual
membedakan tiga kelompok status ke dalam kelas: kelas pekerja terhormat, kelas
pekerja biasa, dan kelas pekerja kasar. Faktor ekonomi mempengaruhi formasi
kelompok-kelompok ini. Kelompok-kelompok status dapat juga melintasi pembagian
kelas.
Weber menyimpulkan bahwa stratifikasi sosial semata-mata bukan hanya oleh
dimensi stratifikasi ekonomi. Weber berpendapat, stratifikasi sosial tidak mudah
dijelaskan hanya melalui kelas. Pembedaan masyarakat dapat dilihat melalui kelompok
status, partai, dan kelas. Menurut Weber, kelas adalah sejumlah orang yang mempunyai
persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib. Peluang untuk hidup orang itu
ditentukan oleh kepentingan ekonomi berupa penguasaan atas barang serta kesempatan
untuk memperoleh penghasilan dalam pasaran komoditas atau pasaran kerja. Sebagai
akibat dari dipunyainya persamaan untuk menguasai barang dan jasa sehingga diperoleh
penghasilan tertentu, maka orang yang berada di kelas yang sama mempunyai
persamaan yang dinamakan situasi kelas. Situasi kelas adalah persamaan dalam hal

Multicultural & Keberagaman Sosial


95
peluang untuk menguasai persediaan barang, pengalaman hidup pribadi, atau cara
hidup. Kategori dasar untuk membedakan kelas ialah kekayaan yang dimilikinya, dan
faktor yang menciptakan kelas ialah kepentingan ekonomi, pada titik ini konsep kelas
Marx dan Weber adalah sama, yaitu pembedaan kelas dan faktor yang mendorong
terciptanya kelas.
Dimensi lain yang digunakan Weber ialah dimensi kehormatan. Manusia
dikelompokan dalam kelompok status. Kelompok status merupakan orang yang berada
dalam situasi status yang sama, dimana orang yang peluang hidupnya ditentukan oleh
ukuran kehormatan. Persamaan kehormatan status dinyatakan dalam persamaan gaya
hidup. Dalam bidang pergaulan hal ini dapat berupa pembatasan dalam pergaulan
dengan orang yang statusnya lebih rendah. Selain adanya pembatasan dalam pergaulan,
menurut Weber, kelompok status ditandai oleh adanya hak istimewa dan monopoli atas
barang dan kesempatan ideal maupun material. Dalam hal gaya hidup, hal ini bisa kita
lihat dari gaya konsumsi. Selain pembedaan melalui dimensi ekonomi dan kehormatan,
Weber menambahkan bahwa masyarakat juga dibedakan berdasarkan kekuasaan yang
dimilikinya. Menurut Weber, kekuasaan adalah peluang bagi seseorang atau sejumlah
orang untuk mewujudkan keinginan mereka sendiri melalui suatu tindakan komunal
meskipun mengalami tentangan dari orang lain yang ikut serta dalam tindakan komunal
itu. Bentuk dari tindakan komunal ini adalah partai yang diorientasikan pada
diperolehnya kekuasaan.

d) Perspektif konflik
Seluruh pemikiran Karl Marx berkaitan dengan kelas-kelas sosial. Meskipun
Marx sering berbicara tentang kelas-kelas sosial, namun ia tidak pernah mendefinisikan
apa yang dimaksud dengan istilah ―kelas‖. Justru Lenin, seorang marxis sekaligus
pemimpin revolusi Bolshevik 1917 yang termahsyur, yang mendefinisikan kelas sebagai
berikut:
―Classes are large groups of people differing from each other by the place they
occupy in a historically determined system of social production, by their relation
(in most cases fixed and formulated in law) to the means of production, by their
role in the social organization of labor, and, consequently, by the dimensions and
mode of acquiring the share of social wealth of which they dispose. Classes are

Multicultural & Keberagaman Sosial


96
groups of people one of which can appropriate the labor of another owing to the
different places they occupy in a definite system of social economy‖.

Kaum marxis membedakan kelas-kelas sosial berdasarkan posisinya dalam


produksi. Menurut kaum marxis, ―kriteria fundamental yang membedakan kelas-kelas
adalah posisi yang mereka duduki dalam produksi sosial, dan kosekuensinya
menentukan relasi mereka terhadap alat-alat produksi.‖ Relasi-relasi produksi di mana
kelas-kelas menempati posisi atas alat produksi menentukan peran mereka dalam
organisasi sosial kerja, sebab kelas- kelas memiliki fungsi-fungsi yang berbeda dalam
produksi sosial. Dalam masyarakat antagonis beberapa kelas mengatur produksi,
mengatur perekonomian dan mengatur seluruh urusan-urusan sosial, misalnya mereka
yang memiliki keunggulan dalam kerja mental. Sementara kelas-kelas lain menderita di
bawah beban kewajiban kerja fisik yang berat.
Biasanya, dalam masyarakat yang tebagi atas kelas-kelas, manajemen produksi
dijalankan oleh kelas yang memiliki alat produksi. Namun segera setelah beberapa
relasi produksi menjadi sebuah halangan bagi perkembangan tenaga-tenaga produktif,
kelas- kelas penguasa pun harus mulai memainkan peran yang berbeda dalam organisasi
sosial kerja. Ia berangsur-angsur kehilangan signifikansinya sebagai organisator
produksi, dan merosot posisinya menjadi sebuah sampah parasitis dalam tubuh
masyarakat dan hidup atas kerja keras orang lain. Seperti pada nasib tuan tanah feodal
dulu, hal inilah yang dialami oleh para borjuasi atau kapitalis kini.
Menurut Marx, kehancuran feodalisme dan lahirnya kapitalisme telah membuat
terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas yang sifatnya antagonistis, yaitu kelas
borjuis yang memiliki, menguasai dan mengendalikan alat-alat produksi dan kelas
proletar yang tidak mempunyai alat-alat produksi. Dua kelas inilah yang dalam
terminologi marxis disebut kelas fundamental karena sifatnya yang tak terdamaikan atau
antagonis. Penghancuran atas salah satunya merupakan gerak sejarah yang
dimanifestasikan melalui perjuangan kelas. Marx menggambarkan bahwa masyarakat
kapitalis seperti menggali lubang kuburnya sendiri. Masyarakat kapitalis adalah
masyarakat terakhir dalam sejarah manusia dengan kelas-kelas antagonistisnya. Jalan
yang mengarahkan kepada masyarakat tanpa kelas terletak pada perjuangan kelas

Multicultural & Keberagaman Sosial


97
proletariat melawan segala bentuk penindasan, demi membangun kekuatannya dalam
masyarakat yang diciptakan untuk melindungi kepentingan rakyat pekerja.
Marx memandang kelas pekerja sebagai kekuatan sosial utama di jaman
kapitalisme yang memiliki kemampuan untuk mengeleminasi sistem kapitalis dan
menciptakan sebuah masyarakat baru tanpa kelas yang terbebas dari eksploitasi. Dalam
hukum perkembangan masyarakat Marx berdasarkan salah satu jarannya tentang
materialisme histories, Pada awalnya tidak ada kelas dalam masyarakat yaitu pada
jaman komunal primitif. Pada jaman ini, orang harus saling tolong menolong dalam
rangka terus bertahan hidup dan melindungi diri berbagai macam binatang pemangsa.
Hal ini memaksa orang harus tinggal menetap, untuk bertahan hidup manusia saat itu
berburu hewan, mengumpulkan makanan (tanaman dan buah-buahan) yang dapat
dimakan bersama. Tempat tinggal mereka pun dibedakan, dan menjadi pembeda antara
kelompok manusia yang satu atas yang lainnya. Berbagai macam keterampilan, bahasa
muncul. Semua hal ini diidetifikasikan sebagai suku atau klan.
Pada saaat ini kerja awalnya dibedakan anatara laki-laki dan perempuan, lalu
dibedakan atas dasar kelompok-kelompok usia yang berbeda. Lalu berkembang pada
kakhasan pekerjaan rutin yang dilakukan oleh komunitas penanam, peternak dan
pemburu. Pembagian kerja merupakan hak prerogatif dari anggota komunitas yang
tertua dan paling berpengalaman. Namun demikian, mereka tidaklah dianggap sebagai
kelas yang memiliki privilese istimewa karena jumlah mereka yang sedikit jika
dibandingkan dengan mayoritas dewasa dikomunitas disamping hak mereka didapat
melalui persetujuan dari mayoritas dewasa. Posisi khusus mereka terletak pada
otoritasnya, bukan pada kepemilikan properti atau kekuatan mereka. Pada jaman ini
produksi yang dihasilkan orang dibuat hanya untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan
langsung, jadi tidak terdapat lahan untuk mengakarnya ketidakadilan sosial.
Setelah jaman komunal primitif berangsur-angsur pudar, banyak hal yang menjadi
penyebab hal ini terjadi, selain keharusan sejarah. Kemunculan kelas-kelas sosial ini
terjadi akibat dari pembagian kerja secara sosial, di saat kepemilikan pribadi atas alat
produksi menjadi sebuah kenyataan. Marx melakukan stratifikasi terhadap masyarakat
berdasarkan dimensi ekonomi, dimana hal yang paling pokok menurut ia adalah
kepemilikan atas alat produksi. Seperti yang selalu dia katakan dalam berbagai

Multicultural & Keberagaman Sosial


98
tulisannya, pembagian kerja yang merupakan sumber ketidakadilan sosial timbul saat
memudarnya masyarakat komunal primitif.
‖Salah satu dari pra kondisi yang paling general dari kehadiran masyarakat yang
terbagi atas kelas adalah perkembangan tenaga-tenaga produktif. Dalam
perjalanan panjangnya, proses ini menimbulkan tingkat produksi yang bergerak
jauh lebih tinggi dari yang dibutuhkan orang untuk melanjutkan hidupnya. Jadi
surplus produk memberikan kepada umat manusia lebih dari yang dibutuhkannya,
dan sebagai konsekuensinya, ketidakadilan sosial secara bertahap tumbuh dengan
sendirinya dalam masyarakat‖

Bersamaan dengan kepemilikan pribadi atas alat produksi yang menguasai


perkembangan tenaga-tenaga produktif, dan produksi individu atau keluarga telah
menghapuskan produksi komunal sebelumnya, ketidakadilan ekonomi menjadi tidak
terhindarkan lagi dan hal ini mengkondisikan masyarakat ke dalam kelas-kelas. Para
pemimpin dan tetua komunitas yang mempunyai otoritas dalam komunitas untuk
melindungi kepentingan bersama ini, termasuk dalam hal pengawasan dan pengambilan
putusan yang dianggap adil oleh komunitas. Hal demikian juga dapat disebut sebagai
kekuasaan negara elementer, namun pada dasarnya mereka tidak pernah berhenti
mengabdi pada komunitas.
Perkembangan tenaga-tenaga produktif dan penggabungan komunitas-komunitas
tersebut ke dalam entitas yang lebih besar mengarah pada pembagian kerja lebih lanjut.
Dalam perkembangnya terbentuklah badan-badan khusus yang berfungsi untuk
melindungi kepentingan bersama serta juri dalam perselisihan antar komunitas. Secara
bertahap badan-badan ini mendapat otonomi yang semakin besar dan memisahkan
dirinya dari masyarakat sekaligus merepresentasikan kepentingan kelompok sosial
utama. Otonomi ini dari pejabat urusan publik berubah menjadi bentuk dominasi
terhadap masyarakat yang membentuknya, dulunya abdi publik sekarang para pejabat
itu berubah menjadi tuan-tuan (lords). ―Pada umumnya, perkembangan produksi sosial
menuntut adanya tenaga kerja manusia yang lebih banyak guna terlibat dalam produksi
material. Tidak ada komunitas yang sanggup mnyediakan hal itu sendiri, dan tenaga
kerja manusia tambahan disediakan oleh peperangan‖. Cara lain pembentukan kelas
adalah melalui pembudakan terhadap bala tentara musuh yang tertangkap saat perang.
Para peserta perang mulai menyadari bahwa lebih bermanfaaat untuk membiarkan para

Multicultural & Keberagaman Sosial


99
tawanan mereka terus hidup dan memaksa mereka untuk bekerja. Jadi hak-hak mereka
sebagai manusia dicabut dan diperlakukan tak ubahnya seperti binatang pekerja.
Dalam perkembangan masyarakat selanjutnya, kita akan mengenal kelas-kelas
yang saling bertentangan. Hal ini disebabkan karena kepentingan mereka selalu tidak
dapat diketemukan. Dalam terminologi marxis kelas dibedakan menjadi dua macam
bentuk dan sifatnya yaitu kelas-kelas fundamental dan kelas-kelas nonfundamental.
Kelas-kelas fundamental adalah kelas-kelas yang keberadaannya ditentukan oleh corak
produksi (mode of production) yang mendominasi dalam formasi sosial ekonomi
tertentu. Setiap formasi sosial ekonomi yang antagonistis memilki dua kelas
fundamental. Kelas-kelas ini bisa berupa pemilik budak dan budak, tuan feudal dan
hambanya, ataupaun borjuasi dan proletar. Kontradiksi-kontradiksi antagonistis diantara
kelas-kelas tersebut berubah oleh penggantian sistem yang berlaku dengan sebuah
sistem baru yang progresif.
Kelas-kelas nonfundamental adalah bekas-bekas atau sisa-sisa dari kelas dalam
sistem yang lama dan masih bisa dilihat dalam sistem yang baru, biasanya kelas ini
menumbuhkan corak produksi yang baru dalam bentuk struktur ekonomi yang spesifik.
Sebagai contoh para pedagang, lintah darat, petani kecil dalam masyarakat kepemilikan
budak dengan kelas yang fundamental pemilik budak dan budak. Kelas-kelas
fundamental dan nonfundamental saling bergantung secara erat, karena dalam
perkembangan sejarahnya, kelas fundamental bisa menjadi non fundamental, dan
demikian pula sebaliknya. Sebuah kelas fundamental merosot menjadi sebuah kelas non
fundamental saaat corak produksi yang dominan yang mendasarinya secara bertahap
berubah menjadi sebuah struktur sosial ekonomi yang sekunder. Sebuah kelas non
fundamental menjadi fundamental saat sebuah struktur sosial ekonomi baru yang
terdapat di dalam sebuah formasi sosial ekonomi berubah menjadi corak produksi yang
dominan.
Masyarakat juga bisa memiliki lapisan orang-orang yang tidak termasuk ke dalam
kelas-kelas tertentu, yaitu elemen-elemen tak berkelas yang telah kehilangan ikatan-
ikatan dengan kelas asalnya. Hal ini berlaku bagi lumpen-lumpen kapitalisme yang
terdiri atas orang-orang tanpa pekerjaan tertentu atau yang biasa disebut sebagai
sampah- sampah masyarakat, seperti pengemis, pelacur, pencuri dan sejenisnya. Selain

Multicultural & Keberagaman Sosial


100
kelas, terdapat kelompok sosial besar lain yang garis pembatasnya terletak pada latar
yang berbeda dengan latar-latar pembagian kelas, ia munkin saja didasrkan pada usia,
jenis kelamin, ras, profesi, kebangsaaan, dan pembeda lainnya.

5. Kelompok-kelompok Sosial
Sosiolog Jerman bernama Ferdinand Tonnies membedakan kelompok sosial menjadi
gemeinschaft (paguyuban) dan gesselschaft (patembayan). Paguyuban adalah bentuk
kehidupan bersama yang anggotanya diikat oleh suatu hungan batin yang murni dan alamiah
serta bersifat kekal. Kehidupan bersama dalam paguyuban memiliki ciri-ciri, hubungan
sosial bersifat menyeluruh dan harmonis, bersifat pribadi, serta berlangsung untuk kalangan
sendiri, bukan untuk orang dari luar (eksklusif).
Menurut Tonnies, paguyuban mempunyai tiga bentuk, pertama, paguyuban karena
ikatan darah/keturunan (gemeinschaft by blood), yaitu merupakan ikatan yang didasarkan
pada ikatan darah atau keturunan. Contoh: keluarga dan kelompok kekerabatan. Kedua,
paguyuban karena tempat (gemeinschaft by place), yaitu paguyuban yang terdiri dari orang-
orang yang berdekatan tempat tinggal, sehingga saling dapat tolong menolong. Contoh:
rukun tetangga dan rukun warga. Ketiga, paguyuban karena jiwa pikiran (gemeinschaft by
mind), yaitu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tidak mempunyai
hubungan darah atau tempat tinggalnya tidak berdekatan, namun mereka mempunyai jiwa
dan pikiran yang sama, dan mempunyai ideologi yang sama. Tonnies mengartikan
patembayan sebagai ikatan lahiriah yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek.
Patembayan terbentuk oleh kemampuan pikiran (imajinasi) serta strukturnya bersifat
mekanis yang memiliki beberapa komponen. Contoh : ikatan antara pedagang dan organisasi
dalam suatu pabrik/industri.
Sedangkan pembedaan kelompok sosial ke dalam membership group dan reference
group dilakukan oleh Robert K. Merton. Membership group merupakan kelompok dimana
setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok. Reference group adalah kelompok
sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan anggota kelompok) untuk membentuk
pribadi dan perilakunya. Seseorang yang bukan anggota kelompok sosial itu
mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok tersebut.

Multicultural & Keberagaman Sosial


101
6. Konflik Sosial
Secara sosiologis, yang dimaksud dengan konflik sosial adalah proses sosial yang
berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok yang saling menantang dengan
ancaman kekerasan. Bahkan yang ekstrem, tidak hanya sekedar mempertahankan hidup atau
eksistensi, namun juga bertujuan untuk membinasakan eksistensi individu atau kelompok
yang dianggap menjadi lawan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan konflik sosial,
antara lain perbedaan kepentingan, perbedaan kebudayaan, perbedaan pendapat, perberdaan
aliran atau ideologi, dan perubahan nilai yang berlangsung cepat.
Menurut Samuel P. Huntington, konflik di masa depan tidak lagi disebabkan oleh
faktor ekonomi, ideologi, dan politik, melainkan disebabkan oleh faktor SARA. Konflik
SARA menjadi gejala yang semakin kuat seiring dengan runtuhnya polarisasi ideologi dunia
ke dalam komunisme dan liberalisme. Setidaknya ada enam alasan. Pertama, perbedaan
antarperadaban tidak hanya riil tetapi juga mendasar. Kedua, dunia sekarang semakin
menyimpit. Interaksi orang yang berbeda beradaban semakin meningkat. Ketiga, proses
modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari
identitas lokal. Keempat, tumbuhnya kesadaran perdaban karena peran ganda Barat. Kelima,
karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik
ekonomi dan politik. Keenam, regionalisme ekonomi semakin meningkat.
Karl Marx menjelaskan konflik sosial tidak dapat dilepaskan dari hubungan-
hubungan dalam proses produksi yang bersifat eksploitatif. Masyarakat yang terpolarisasi ke
dalam kelas borjuis dan kelas proletar seperti yang dialami masyarakat kapitalis akan
mengalami kehancuran akibat dari adanya revolusi sosial yang dilakukan oleh kelas proletar.
Masyarakat kapitalis digambarkan Marx sebagai masyarakat yang menggali lubang
kuburnya sendiri. Hubungan antara kelas borjuis dan kelas proletar bersifat eksploitatif.
Artinya, kela borjuis mengeksploitasi nilai lebih kelas proletar. Bahkan Marx mengatakan
sejarah dunia adalah sejarah perjuangan kelas. Selama masyarakat masih terpolarisasi ke
dalam kelas-kelas, maka akan selalu terjadi penindasan, ketidakadilan, dan eksploitasi.
Untuk mengatasi masalah itu, Marx menawarkan revolusi sosial untuk menciptakan
masyarakat tanpa kelas yang disebut dengan masyarakat komunis.
Sedangkan menurut Ralf Dahrendorf, konflik disebabkan adanya distribusi otoritas
yang tidak merata diantara individu atau kelompok. Sebagian individu memiliki dan

Multicultural & Keberagaman Sosial


102
menggunakan otoritas, sebagian besar lainnya tidak memiliki dan tunduk pada penggunaan
otoritas. Individu atau kelompok yang memiliki atau menggunakan otoritas merupakan kelas
penguasa, sedangkan yang tidak memiliki atau tunduk pada penggunaan otoritas merupakan
kelas bawah. Kedua kelompok tersebut memiliki kepentingan yang berbeda. Kepentingan
kelas yang berkuasa adalah mempertahankan legitimasi posisi yang dominan atau
mempertahankan status quo. Sementara itu, kepentingan kelas bawah adalah menantang
legitimasi struktur otoritas yang ada.
Lewis A. Coser memiliki perspektif yang berbeda, dimana Coser melihat bahwa
konflik tidak hanya berdimensi negatif, namun juga memiliki dimensi positif. Coser melihat
bahwa konflik mempunyai sumbangan dalam membentuk dan mempertahankan struktur
sosial. Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,
penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis
batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat
identitas kelompok dan menjaga agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.

D. Rangkuman
Menurut Furnivall, masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua
atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu
kesatuan politik. Indonesia sebagai masyarakat majemuk, Furnivall sebut sebagai suatu tipe
masyarakat daerah tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki
perbedaan ras. Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa
macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi
mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan
Lima macam multikulturalisme yaitu Multikulturalisme isolasionis, Multikulturalisme
akomodatif, Multikulturalisme otonomis, Multikulturalisme kritikal atau interaktif dan
Multikulturalisme cosmopolitan. Integrasi berasal dari bahasa Inggris "integration", yang berarti
kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian diantara
unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola
kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi. Definisi lain mengenai integrasi adalah
suatu keadaan dimana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap

Multicultural & Keberagaman Sosial


103
kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka
masing-masing.
Secara umum struktur sosial dapat didefinisikan sebagai cara suatu masyarakat
terorganisasi ke dalam hubungan-hubungan yang dapat diprediksi melalui pola perilaku yang
berulang antar-individu dan antar-kelompok dalam masyarakat tersebut. Terminologi stratifikasi
sosial dicampuradukan dengan kelas sosial. Dua terminologi itu merupakan dua hal yang
berbeda, meskipun keduanya dipakai untuk menggambarkan kondisi heterogenitas masyarakat
secara vertikal. Stratifikasi sosial adalah pengelompokkan masyarakat ke dalam strata-strata atau
lapisan-lapisan secara hirarkhis dalam satu sistem sosial berdasarkan dimensi kekuasaan, prestis,
dan previles. Secara umum dapat dikatakan bahwa yang menjadi determinan stratifikasi sosial
bukanlah tunggal, malainkan beragam. Sosiolog Jerman bernama Ferdinand Tonnies
membedakan kelompok sosial menjadi gemeinschaft (paguyuban) dan gesselschaft
(patembayan). Paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama yang anggotanya diikat oleh suatu
hungan batin yang murni dan alamiah serta bersifat kekal. Kehidupan bersama dalam paguyuban
memiliki ciri-ciri, hubungan sosial bersifat menyeluruh dan harmonis, bersifat pribadi, serta
berlangsung untuk kalangan sendiri, bukan untuk orang dari luar (eksklusif).
Secara sosiologis, yang dimaksud dengan konflik sosial adalah proses sosial yang
berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok yang saling menantang dengan
ancaman kekerasan. Bahkan yang ekstrem, tidak hanya sekedar mempertahankan hidup atau
eksistensi, namun juga bertujuan untuk membinasakan eksistensi individu atau kelompok yang
dianggap menjadi lawan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan konflik sosial, antara lain
perbedaan kepentingan, perbedaan kebudayaan, perbedaan pendapat, perberdaan aliran atau
ideologi, dan perubahan nilai yang berlangsung cepat.

E. Latihan
Untuk lebih memantapkan pemahaman dan daya analisis Anda terhadap hakikat
Pendidikan Multikultural, terlebih dahulu silakan Anda mengerjakan beberapa latihan berikut ini.
1. Mengapa multicultural dianggap sebagai ancaman bagi setiap bangsa?
2. Berikan contoh perilaku masyarakat yang multicultural, kemukakan pandangan Anda?
3. Uraikan klasifikasi social yang ada di Indonesia?
4. Uraikan pendapat anda tentang teori-teori konflik social?

Multicultural & Keberagaman Sosial


104
BAB V
PROBLEM MULTIKULTURAL

A. Kemampuan Akhir yang Direncanakan


 Mahasiswa mampu mengidentifikasi problema multikultural di Indonesia

B. Indikator
 Mengidentifikasi problema kemasyarakatan pendidikan multikultural di Indonesia
 Menganalisis problema budaya di Indonesia (penyakit-penyakit budaya di masyarakat)

C. Penyajian Materi
1. Problema Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Beberapa peristiwa budaya yang negatif dan sering muncul di tanah air seperti
peristiwa di Poso, Ambon, Papua, Sampit, Aceh, Bali, Jakarta, dan lain-lain ini disebabkan
oleh problema kemasyarakatan sebagai berikut:
1) Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah
memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun
Indonesia yang multikultural. Namun kondisi neka budaya itu sangat berpotensi memecah
belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul
jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman
pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Sebab dari
konflik- konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman
identitas etnis, agama dan ras. Misalnya peristiwa Sampit. Mengapa ? Keragaman ini dapat
digunakan oleh provokator untuk dijadikan isu yang memancing persoalan.
Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang
mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen
konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah
pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui Pendidikan Multikultural. Dengan adanya
Pendidikan Multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal,
memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.

Multicultural & Keberagaman Sosial


105
2) Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam
tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah
persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah
membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada
masa Orba, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak
lagi. Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan
pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing- masing. Ketika sesuatu
bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut
kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
Konsep ―putra daerah‖ untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan
sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu
diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting
memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif
dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan dan
persamaan. Namun bila isu ini terus menerus dihembuskan justru akan membuat orang
terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan.
Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik
yang destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra daerah
dan pendatang.
Konsep pembagian wilayah menjadi propinsi atau kabupaten baru yang marak terjadi
akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari
warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini.
Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas
dan kurang beruntung.
3) Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (―integrating
force‖) seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian
nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi
sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang
semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak

Multicultural & Keberagaman Sosial


106
dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang
harus ditinggalkan. Pada masa Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi.
Sehingga ketika Orde Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru
dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak
semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-
hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara
yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah
menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat
membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu
yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini.
4) Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme
sempit, yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling
baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan
korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di kalangan suporter
sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah
memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi
kelompok lain secara membabi buta maka hal ini justru tidak sehat. Terjadi pelemparan
terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar
stadion ketika tim kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini.
Kecintaan dan kebanggaan pada korps memang baik dan sangat diperlukan. Namun
kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok
lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang
destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan
oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan
contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama
(misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan
gejala ke arah disintegrasi bangsa.

Multicultural & Keberagaman Sosial


107
5) Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural.
Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas
nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini
dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan
Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional
ini berubah menjadi tekanan dan pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan
perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi
integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan
beradab. Kini, semua pihak yang bertikai sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama
membangun daerah yang porak poranda akibat peperangan yang berkepanjangan dan
terjangan Tsunami ini.
Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari
kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat
yang ada di Jawa ini. Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua.
Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan multikultural yang terjadi akhir-akhir ini.
Salah seorang panglima perang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap
negara kesatuan RI telah mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya.
6) Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu
setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang
memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di
tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan
ekonomi. Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun
kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan
hebat di bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas duapuluh ribu orang akan
ikut terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak
kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis
ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpah kekesalan
mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak

Multicultural & Keberagaman Sosial


108
mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah yang dirusak
oleh orang yang tidak bertanggung dalam berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah
menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok
tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam
kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan
paku ketika mobil itu diparkir di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak dari
kelompok tertindas ini.
7) Keberpihakan yang salah dari Media Massa, khususnya televisi swasta dalam
memberitakan peristiwa.
Di antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati.
Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi
dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai
adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan
tertentu,yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan
oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir media massa dan tidak mendapat ―hukuman
yang setimpal‖ baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat
menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam
itu sangat layak jual dan selalu mendapat perhatian publik, tetapi kalau terus- menerus
diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi
orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus
perceraian rumah tangga para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik
yang negatif. Sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi
trend yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan.
Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi tema sinetron karena dapat
mendidik orang untuk terlalu mengagungkan materi dan menghalalkan segala cara. Begitu
juga tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan modus kejahatan baru atau pun
iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi orang melakukan sesuatu yang tidak pantas
dilakukan. Televisi dan media massa harus membantu memberi bahan tontonan dan bacaan
yang mendidikkan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan membaca koran sudah
menjadi tradisi yang kuat di negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan
sekedar menjadi tontonan.

Multicultural & Keberagaman Sosial


109
Ketika penggusuran gubuk liar yang memilukan ditampilkan dalam bentuk tangisan
yang memilukan seorang anak atau orang tua yang dipadukan dengan tindakan aparat yang
menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan
adalah para preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong praja. Ironi itu
nampak bila yang disorot adalah tangisan bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di
lengan atau di punggung. Peristiwanya adalah penggusuran gubuk liar, tetapi simbol yang
digunakan berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan dan putus asa.
Tato sering dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan tindakan pemalakan.
Televisi sangat mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai peristiwa.
Nah, sekarang buatlah kliping tentang isu seputar problem yang dikemukakan di atas.
Kemudian dari kliping itu Anda catat peristiwa berdasarkan 5 W (what,when, where, who dan
why) dan 1 H (how). Anda kemukakan apa yang terjadi, kapan kejadiannya, dimana peristiwa
itu terjadi, antara siapa peristiwa itu terjadi, mengapa terjadi dan bagaimana kejadian itu.
Kemudian berikan analisis dan komentar Anda sekitar persoalan yang ada pada kliping
Anda itu. Kemudian Anda ketik dan kirimkan pada tutor. Atau dapat juga Anda serahkan
pada saat tutor kunjung.

2. Problema Budaya di Indonesia (Penyakit-Penyakit Budaya di Masyarakat)


Konflik bukan untuk dimusuhi, tapi dikelola secara arif dan bijaksana. Masing- masing
individu yang terlibat dalam konflik perlu menjernihkan pikiran dan hati dari prasangka,
stereotipe, etnosentrisme, rasisme dan diskriminasi dan scape goating terhadap pihak lain.
Karena pemahaman terhadap adanya penyakit budaya tersebut merupakan kunci utama
dalam proses resolusi dan manajemen konflik. Negara ini membutuhkan solusi yang
memuaskan dalam menghadapi ancaman konflik dan separatisme di daerah-daerah yang lebih
sering disebabkan oleh tumbuh berkembangnya berbagai penyakit budaya seperti
prasangka, stereotipe, etnosentrisme, rasisme dan diskriminasi ini.
1) Prasangka
Definisi klasik prasangka pertama kali dikemukakan oleh psikholog dari Universitas
Harvard, Gordon Allport yang menulis konsep itu dalam bukunya, The Nature of
Prejudice pada tahun 1954. Istilah ini berasal dari praejudicium, yakni pernyataan atau

Multicultural & Keberagaman Sosial


110
kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal
terhadap orang atau kelompok tertentu.
Menurut Allport, ―Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau
tidak luwes. Antipati itu dapat dirasakan atau dinyatakan. Antipati itu bisa langsung
ditujukan kepada kelompok atau individu dari kelompok tertentu.‖ Allport memang
sangat menekankan antipati bukan sekedar antipati pribadi tetapi antipati kelompok.
Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan
keyakinan stereotipe kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Prasangka meliputi
keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan
peringkat nilai yang kita berikan. Prasangka yang berbasis ras kita sebut rasisme,
sedangkan yang berbasis etnis diebut etnisisme.
Menurut John (1981) prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara
menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Kesalahan ini mungkin saja
diungkapkan secara langsung kepada orang yang menjadi anggota kelompok
tertentu. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar
perbandingan dengan kelompoknya sendiri.
Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi kegiatan komunikasi
karena orang yang berprasangka sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang
melancarkan komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik
kesimpulan atas dasar prasangka buruk tanpa memakai pikiran dan pandangan kita
terhadap fakta yang nyata. Karena itu, bila prasangka sudah menghinggapi seseorang,
orang tidak dapat berpikir logis dan obyektif dan segala apa yang dilihatnya akan dinilai
secara negatif.
Kata Allport, prasangka negatif terhadap etnik merupakan sikap antipati yang dilandasi
oleh kekeliruan atau generalisasi yang tidak fleksibel, hanya karena perasaan tertentu
dan pengalaman yang salah. Karena itu, sejak dulu sampai sekarang, pengertian
prasangka telah mengalami transformasi. Pada, mulanya prasangka merupakan
pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tidak teruji
terlebih dahulu. Pernyataan itu bergerak pada skala kontinum seperti suka/tidak suka atau
mendukung/tidak mendukung terhadap sifat- sifat tertentu (Liliweri, 201). Sekarang

Multicultural & Keberagaman Sosial


111
pengertian prasangka lebih diarahkan pada pandangan emosional dan negatif terhadap
seseorang atau sekelompok orang dibandingkan dengan kelompok sendiri.
Definisi Allport ini disanggah oleh psikholog Theodore Adorno. Adorno yang
menciptakan teori pribadi otoriter (authoritarian personality) mengemukakan
melalui riset atas pola rasisme yang dilakukan di wilayah selatan AS. Ia menemukan
bahwa pola-pola rasisme muncul dari kepribadian otoriter. Jadi pada dasarnya prasangka
merupakan salah satu tipe kepribadian. Dengan demikian, kita tidak perlu
mempermasalahkan tindakan rasisme karena tindakan itu muncul dari pribadi
berprasangka (prejudiced persons) yang diwarisi dari proses sosialisasi.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa prasangka mengandung sikap,
pengertian, keyakinan dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada di pikiran, sedangkan
diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi tindakan
nyata, maka prasangka sudah berubah menjadi diskriminasi yaitu tindakan
menyingkirkan status dan peranan seseorang dari hubungan, pergaulan, dan komunikasi
antar manusia. Secara umum kita dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif
(berkaitan dengan perasaan negatif), kognitif (selalu berpikir tentang suatu stereotipe) dan
konasi (kecenderungan perilaku diskriminatif).
Prasangka didasarkan atas sebab-sebab seperti :
- generalisasi yang keliru pada perasaan,
- stereotipe antaretnik,
- kesadaran ―in group‖ dan ―out group‖ yaitu kesadaran akan ras ―mereka‖ sebagai
kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan ―kami‖
2) Stereotipe
Stereotipe merupakan salah satu bentuk prasangka antar etnik/ras. Orang cenderung
membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori
ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan kounikasi verbal maupun non verbal.
Stereotipe merupakan salah satu bentuk utama prasangka yang menunjukkan perbedaan
―kami‖ (in group) yang selalu dikaitkan dengan superioritas kelompok in group dan yang
cenderung mengevaluasi orang lain yang dipandang inferior yaitu ‖mereka‖ (out group).
Apa stereotipe? Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang
berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanya karena dia berasal dari kelompok

Multicultural & Keberagaman Sosial


112
yang lain. Pemberian sifat itu bisa sifat positif maupun negatif. Verdeber (1986)
menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap dan juga karakter yang dimiliki seseorang
dalam menilai karakteristik, sifat negatif maupun positif orang lain, hanya
berdasarkan keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu. Sebagaimana halnya dengan
sikap, stereotipe memiliki valensi dari positif hingga negatif atas sesuatu yang
disukai/tidak (favorability). Allan G. Johnson (1986) menegaskan bahwa stereotipe
adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang
cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan
pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbulkan penilaian yang cenderung negatif atau
bahkan merendahkan kelompok lain. Ada kecenderungan untuk memberi ―label‖
atau cap tertentu pada kelompok tertentu dan yang termasuk problem yang perlu diatasi
adalah stereotipe yang negatif atau memandang rendah kelompok lain. Misalnya,
seseorang dari suku tertentu diberi ―label‖, pandai bicara untuk orang dari daerah Batak.
Seseorang menyimpulkan iini karena dari pengalaman dia mengetahui bahwa mereka
memang banyak bicara. Ditambah dengan pengetahuan yang dia dapatkan dari televisi
yang memperlihatkan bahwa sebagian besar mengacara yang terkenal di Indonesia dan
sering muncul dari pemberitaan di televisi itu ternyata berasal dari orang Batak. Kita
menggeneralisasikan secara salah dari informasi terbatas yang ada pada kita. Untuk
mengatasi masalah ini adalah kita perlu memberi informasi yang benar dan lebih
komprehensif tentang sesuatu hal sehingga stereotipe semacam ini tidak tumbuh. Di
dalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, kita perlu memberi
informasi yang benar tentang berbagai hal yang berkaitan dengan suku, ras, agama dan
antar golongan. Seringkali, keberadaan individu dalam suatu kelompok telah
dikategorisasi dan digeneralisasi. Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986)
mengemukakan tiga aspek esensial dari stereotipe:
a. karakter atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan
berperilaku, gender dan etnis. Misalnya wanita Priangan itu suka bersolek.
b. bentuk atau sifat perilaku turun temurun sehingga seolah-olah melekat pada
semua anggota kelompok. Misalnya orang Ambon itu keras.
c. penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompok pada
individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.

Multicultural & Keberagaman Sosial


113
Pemberian stereotipe merupakan gejala yang nampak alami dalam proses hubungan
antarras atau etnik sehingga tidak mungkin kita tidak melakukan stereotipe. Tajfel
(1981) membedakan bentuk atau jenis stereotipe itu dalam stereotipe individu dan
stereotipe sosial. Stereotipe individu adalah generalisasi yang dilakukan individu dengan
menggeneralisasi karakteristik orang lain dengan ukuran yang luas dan jarak tertentu
melalui proses kategori yang bersifat kognitif (berdasarkan pengalaman individu).
Sedangkan stereotipe sosial terjadi jika stereotipe itu telah menjadi evaluasi
kelompok tertentu, telah menyebar dan meluas pada kelompok sosial lain.
Stereotipe itu bersifat unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun kadang
merupakan hasil pengalaman dan pergaulan dengan orang lain maupun dengan
anggota kelompok kita sendiri. Adakah hubungan antara stereotipe dengan komunikasi.
Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotipe:
a) Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau
mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tertentu
berdasarkan sifat psikhologis yang dimiliki. Semakin negatif generalisasi itu kita
lakukan, semakin sulit kita berkomunikasi dengan sesama.
b) sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau
yang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap proses informasi
individu.
c) stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group) dan
kelompok lain (out group).
d) stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.

3) Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan paham-paham yang pertama kali diperkenalkan oleh William
Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Sumner
berpandangan bahwa manusia pada dasarnya individualistis yang cenderung
mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan manusia lain, maka
terbentuklah sifat hubungan yang antagonistik (pertentangan). Supaya pertentangan itu
dapat dicegah, perlu ada folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola
tertentu. Mereka yang mempunyai folkways yang sama cenderung berkelompok dalam

Multicultural & Keberagaman Sosial


114
suatu kelompok yang disebut etnis. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk
menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri.
4) Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa Perancis dan Italia ―razza‖. Pertama kali istilah ras
diperkenalkan Franqois Bernier, antropolog Perancis, untuk mengemukakan gagasan
tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan
bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarkhi manusia berdasarkan
karakteristik fisik atas orang Eropah berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga
masyarakat kelas atas berlawanan dengan orang Afrika yang berkulit hitam sebagai
warga kelas dua. Atau ada ideologi rasial yang berpandangan bahwa orang kulit putih
mempunyai misi suci untuk menyelamatkan orang kulit hitam yang dianggap sangat
primitif. Hal tersebut berpengaruh terhadap stratifikasi dalam berbagai bidang seperti
bidang sosial, ekonomi, politik, di amana orang kulit hitam merupakan subordinasi orang
kulit putih.
Ras sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi ―penggolongan manusia‖ oleh Buffon,
anthropolog Perancis, untuk menerangkan penduduk berdasarkan pembedaan biologis
sebagai parameter. Pada abad 19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga
kelompok, yaitu Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak ada ras yang benar-benar murni lagi. Secara biologis, konsep ras selalu
dikaitkan dengan pemberian karaktersitik seseorang atau sekelompok orang ke dalam
suatu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik seperti warna
kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah. Pembedaan seperti itu hanya
mewakili faktor tampilan luar. Nah sekarang, carilah ciri-ciri kelompok Kaukasoid,
Negroid dan Mongoloid. Kemudian cari contohnya. Mana negara yang mayoritas
penduduknya memiliki ciri-ciri ketiga kelompok itu.
Karena tidak ada ras yang benar-benar murni, maka konsep tentang ras seringkali
merupakan kategori yang bersifat non-biologis. Ras hanya merupakan konstruksi ideologi
yang menggambarkan gagasan rasis.
Secara kultural, Carus menghubungkan ciri ras dengan kondisi kultural. Ada empat jenis
ras: Eropah, Afrika, Mongol dan Amerika yang berturut-turut mencerminkan siang hari
(terang), malam hari (gelap), cerah pagi (kuning) dan sore (senja) yang merah.

Multicultural & Keberagaman Sosial


115
Namun konsep ras yang kita kenal lebih mengarah pada konsep kultural dan merupakan
kategori sosial, bukan biologis. Montagu, membedakan antara ―ide sosial dari ras‖ dan
―ide biologis dari ras‖. Definisi sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.
5) Diskriminasi
Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka diskriminasi mengarah pada
tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka
kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan, atau
hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan,
selama ada prasangka, di sana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai
keyakinan atau ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi
diskriminasi merupakan tindakan yang membeda- bedakan dan kurang bersahabat dari
kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya.
6) Kambing Hitam (Scape Goating)
Teori kambing hitam (scape goating) mengemukakan kalau individu tidak bisa menerima
perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu dapat ditanggungkan
kepada orang lain. Ketika terjadi depresi ekonomi di Jerman, Hitler mengkambing
hitamkan orang Yahudi sebagai penyebab rusaknya sistem politik dan ekonomi di negara
itu. Ada satu pabrik di Auschwitz, Polandia yang digunakan untuk membantai hampir 1,5
juta orang Yahudi. Tua muda, besar kecil laki-laki dan perempuan dikumpulkan. Kepala
digunduli dan rambut yang dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang
terkumpul itu akan dikirimkan ke Jerman untuk dibuat kain. Richard Chamberlain
berteori bahwa bangsa Aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang mempunyai misi
suci untuk membudayakan umat manusia. Bangsa Aria (Jerman) ini merasa bahwa
kekacauan ekonomi dan politik di Jerman ini disebabkan oleh bangsa Yahudi.

D. Rangkuman
Problema kemasyarakatan penyebab munculnya konflik budaya adalah :
1. Keragaman Identitas Budaya Daerah.
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah
dapat memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal membangun Indonesia yang

Multicultural & Keberagaman Sosial


116
multikultural. Namun kondisi neka budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan
menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial.
2. Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, terjadilah pergeseran
kekuasaan dari pusat ke daerah yang membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya
lokal dan keragamannya.
3. Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan
(―integrating force‖) seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa
ditawar lagi dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat
perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak.
4. Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme
sempit yang menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan
kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban
ini banyak terjadi di tanah air ini.
5. Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada konflik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan
multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada
stabilitas nasional dan adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat
dengan dasar pembenaran budaya.
6. Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata
Keterlibatan orang dalam berbagai peristiwa destruktif yang marak terjadi di tanah
air ini karena orang mengalami tekanan di bidang ekonomi.
7. Keberpihakan yang salah dari Media Massa, khususnya televisi swasta dalam
memberitakan peristiwa.
Apa yang menjadi obyek liputan dan cara meliputnya dapat membentuk opini
publik terutama bagi mereka yang kurang berpendidikan.
8. Prasangka berasal dari praejudicium

Multicultural & Keberagaman Sosial


117
Prasangka berasal dari praejudicium yakni pernyataan atau kesimpulan tentang
sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap orang atau
kelompok tertentu. Menurut Allport, ―Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi
yang salah atau tidak luwes. Allport memang sangat menekankan antipati bukan
sekedar antipati pribadi tetapi antipati kelompok. Adorno mengemukakan pola-pola
rasisme muncul dari kepribadian otoriter. Jadi pada dasarnya prasangka merupakan salah
satu tipe kepribadian. Prasangka mengandung sikap, pengertian, keyakinan dan bukan
tindakan. Prasangka didasarkan atas sebab-sebab : generalisasi yang keliru pada perasaan,
stereotipe antar etnik, dan kesadaran ―in group‖ dan ―out group‖.
9. Stereotipe merupakan salah satu bentuk prasangka antar etnik/ras.
Orang cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku orang lain
berdasarkan kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan komunikasi
verbal maupun non verbal. Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap
seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanya karena dia berasal dari
kelompok yang lain. Allan G. Johnson (1986) menegaskan bahwa stereotipe adalah
keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif
tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman.
10. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya
orang lain dengan standar budayanya sendiri.
11. Ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu Kaukasoid, Negroid dan
Mongoloid. Namun tidak ada ras yang murni. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan
dengan pemberian karaktersitik seseorang atau sekelompok orang ke dalam suatu
kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan. Pembedaan seperti itu hanya
mewakili faktor tampilan luar. Karena tidak ada ras yang benar-benar murni, maka konsep
tentang ras seringkali merupakan kategori yang bersifat non-biologis. Ras hanya
merupakan konstruksi ideologi yang menggambarkan gagasan rasis. Secara kultural, Carus
menghubungkan ciri ras dengan kondisi kultural. Ada empat jenis ras: Eropah, Afrika,
Mongol dan Amerika yang berturut-turut mencerminkan siang hari (terang), malam hari
(gelap), cerah pagi (kuning) dan sore (senja) yang merah. Konsep ras yang kita kenal lebih
mengarah pada konsep kultural dan merupakan kategori sosial, bukan biologis.

Multicultural & Keberagaman Sosial


118
12. Diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan
oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu.Antara prasangka dan
diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan. Jika prasangka dipandang sebagai
keyakinan atau ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi
diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari
kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya.
13. Teori kambing hitam (scape goating) mengemukakan kalau individu tidak bisa menerima
perlakuan tertentu yang

E. Latihan
Untuk lebih memantapkan pemahaman dan daya analisis Anda terhadap problema
Pendidikan Multikultural di Indonesia, terlebih dahulu silakan Anda mengerjakan beberapa
latihan berikut ini.
1) Sebutkan beberapa problema penyebab munculnya konflik budaya yang sering
muncul di tanah air ini ?
2) Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Jelaskan ?
3) Jelaskan dan berikan contoh tentang konflik yang terjadi antara yang mementingkan
kesatuan nasional dan multikultural.
4) Kemukakan pendapat Anda tentang peranan media massa dalam membentuk opini publik
yang negatif ?
5) Sebutkana beberapa problema penyakit budaya yang perlu dihilangkan dengan
adanya Pendidikan Multikultural ?
6) Jelaskan perbedaan pendapat antara Allport dan Adorno tentang prangka ?
7) Jelaskan perbedaan antara prasangka dan diskriminasi ?
8) Jelaskan perbedaan makna ras dari sudut biologis, ideologis dan kultural

Multicultural & Keberagaman Sosial


119
BAB VI
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI BERBAGAI NEGARA

A. Kemampuan Akhir yang Direncanakan


 Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengidentifikasi pendidikan multikultural di
berbagai negara

B. Indikator
 Menjelaskan pendidikan multicultural di Amerika Serikat
 Menjelaskan pendidikan multicultural di Kanada
 Menjelaskan pendidikan multicultural di Inggris
 Menjelaskan pendidikan multicultural di Negara-negara di Asia Tenggara

C. Penyajian Materi
1. Pendidikan Multikultural Amerika Serikat
Pendidikan di AS pada mulanya hanya dibatasi pada imigran berkulit putih, sejak
didirikan sekolah rendah pertama tahun 1633 oleh imigran Belanda dan berdirinya Universitas
Harvard di Cambridge, Boston tahun 1636. Baru tahun 1934 dikeluarkan Undang Undang
Indian Reservation Reorganization Act di daerah reservasi suku Indian.

Gambar 3.1 Suku Indian Apache Gambar 3.2 Reservasi Suku Indian Navajo di
Canyon de Chelly
Tujuan pendidikannya adalah proses Amerikanisasi. Di samping itu ada sekolah yang
di dalamnya terdapat imigran berbahasa Spanyol (Mexico, Puerto Rico, Kuba) yang disebut
Multicultural & Keberagaman Sosial
120
Hispanis. Sebelum membicarakan kelompok etnis yang ada di Amerika, perlu terlebih dahulu
dijelaskan pengertian kelompok etnis. Suatu kelompok etnis atau etnisitas adalah populasi
manusia yang anggotanya saling mengidentifikasi satu dengan yang lain, biasanya
berdasarkan keturunan (Smith, 1987). Pengakuan sebagai kelompok etnis oleh orang lain
seringkali merupakan faktor yang berkontribusi untuk mengembangkan ikatan identifikasi ini.
Kelompok etnis seringkali disatukan oleh ciri budaya, perilaku, bahasa, ritual, atau agama.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang kelompok etnis di Amerika
Serikat berikut ini akan disajikan masing-masing kelompok etnis yang hidup di Amerika
Serikat.
1) White Anglo Saxon Protestan (WASP)
Pendidikan di AS didominasi oleh budaya dominan yaitu budaya WASP artinya
dikhususkan untuk kelompok berkulit putih (White) yang kebanyakan berasal dari Inggris,
atau yang berbahasa Inggris (Anglo Saxon) dan beragama Protestan. WASP adalah sebuah
tradisi tentang siapa yang seharusnya menjadi penguasa di Amerika Serikat. Pada awalnya,
tradisi ini diperkenalkan dan dipertahankan oleh orang Inggris yang merasa superior karena
merekalah yang membangun AS dengan pengetahuan dan ketrampilan mereka. Keyakinan
orang Inggris itu dilandasi oleh moralitas agama Protestan yang diasumsikan sebagai
agama yang paling kuat mendorong orang bekerja keras dan produktif. Belakangan, WASP
tidak saja dianut oleh orang Inggris, tetapi semua White Americans karena dalam
kenyataannya kelompok kulit putih ini memiliki pendapatan tinggi, mempunyai prestasi kerja
yang tinggi, yang sebagian besar anggotanya didominasi oleh jemaat gereja Protestan.
2) Orang Amerika Keturunan Penduduk Asli Amerika (Native Americans)
Native Americans adalah penduduk asli Amerika yang kini populasinya diperkirakan
setengah juta orang. Bangsa India ini disebut penduduk asli karena telah ada di benua
Amerika sebelum terjadi gelombang migrasi dari kelompok etnik dari Eropah, Afrika,
maupun Asia selama lima ratus tahun. Sejarah mencatat bahwa hampir semua migran
memperlakukan mereka secara tidak adil. Baru tahun 1924, terjadi perubahan hubungan
antara white dan black Americans dengan native Americans.

Multicultural & Keberagaman Sosial


121
Gambar 3.3 Suku Apache (Native Americans)

3) Orang Amerika Keturunan Afrika (African Americans)


Orang Afrika Amerika merupakan kelompok etnik dari benua Afrika yang pertama
yang dijadikan budak oleh orang Spanyol dalam eksplorasi ke dunia baru, Amerika sejak
1619 sampai dengan abad 18. Kedatangan orang kulit hitam ini jumlahnya semakin membesar
dan hal ini mendorong pemerintah untuk mengakui kehadiran mereka sebagai budak dalam
The Thirteenth Amandment to the Constitution, yang mengatur perbudakan secara hukum
di tahun 1865. Jumlah mereka di AS diperkirakan 10 juta orang yang tinggal di bagian barat
benua. Kelompok etnik ini pada tahun 1960-an melakukan gerakan hak sipil yang
memenangkan secara legal berupa penghapusan diskriminasi ras, termasuk penghapusan
diskriminasi sekolah, hak sipil, serta penggunaan fasilitas umum. Masalah umum yang
dihadapi oleh kelompok ini adalah pendapatan yang rendah, bekerja pada jenis pekerjaan
kasar dengan jumlah pengangguran dua kali lebih besar dari orang kulit putih. Kini, makin
banyak orang African Americans yang mencapai kedudukan puncak kekuasaan sosial,
ekonomi, dan politik.
4) Orang Amerika Keturunan Asia (Asian Americans)
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah sekitar 4 persen dari penduduk Amerika
Serikat dengan mayoritas berasal dari Cina dan Jepang, di samping imigran dari Filipina,
Korea, disusul orang Vietnam yang baru masuk ke AS dalam beberapa tahun terakhir ini.
Tiga kelompok terakhir ini dikenal di As sebagai Recent Asian Immigrants. Orang Cina
Amerika (Chinese Americans) merupakan bagian dari Asian Americans yang tercatat
Multicultural & Keberagaman Sosial
122
memasuki Amerika ketika terjadi depresi ekonomi dunia tahun 1870-an. Mereka dikenal
sebagai pekerja keras di wilayah Barat AS. Pertumbuhan orang Cina di AS kini sangat cepat
dibandingkan pertumbuhan orang Cina di berbagai belahan dunia, termasuk Cina sendiri.
Orang Jepang Amerika (Japanese Americans) adalah imigran Jepang yang merupakan bagian
dari Asian Americans yang mulai berdatangan ke AS tahun 1860-an. Orang Jepang jumlahnya
sedikit dan dikenal selalu menghindari prasangka dan diskriminasi langsung sebagaimana
yang terjadi atas orang Cina. Hukum imigran tahun 1920-an menghentikan imigrasi orang
Jepang ke benua Amerika.

Gambar 3.4 Huruf Cina

5) Orang Amerika yang Berkebudayaan Spanyol (Hispanic Americans)


Secara etimologi Hispanis/Hispano berasal dari bahasa Latin Hispanus, yang merupakan
kata sifat dari Hispania, nama yang diberikan oleh orang Rowawi selama
periode Republik Romawi pada seluruh Iberian Peninsula. Untuk jaman modern Iberian
Peninsula mencakup Spanyol dan Portugal. Di dalam era modern, Hispanis/Hispano biasanya
hanya diterapkan pada Spanyol, orang-orang dan budayanya, sedangkan Portugal dan
orang-orangnya (meliputi Brazil dan Orang Brazil yang berbahasa Portugis) secara umum
disebut Luso/Lusitanis. Dalam bahasa Spanyol, kata ―Hispano‖ juga digunakan sebagai
elemen pertama yang menunjuk pada Spanyol dan orang Spanyol, sebagai pembeda dari
Anglo yang digunakan untuk menunjuk pada Inggris dan bahasa Inggris. Jadi, ―Spanyol
Amerika‖ adalah Hispano-amerika.
Dengan ekspansi Kerajaan Spanyol, orang-orang dari Spanyol menyebar ke seluruh
dunia dan menciptakan koloni baru. Ekspansi ini terutama berpusat pada benua Amerika,
khususnya pada apa yang disebut Hispanis Amerika (Hispanic America), yang terdiri dari
semua negara-negara benua Amerika yang menjadi bagian dari Kerajaan Spanyol. Negara-
negara ini, mewarisi budaya nenek moyang orang Spanyol, dan selanjutnya, orang-orang
mereka dan budayanya dipandang sebagai Hispanic.

Multicultural & Keberagaman Sosial


123
Hispanis Amerika merupakan kelompok etnik yang dapat dikatakan mewakili tiga
budaya. Mexican American (Meksiko), Puerto Rico dan Cuban American (Cuba).
Jumlah keturunan Hispanic Americans diperkirakan 12% dari jumlah penduduk AS.
Persentase ini cenderung meningkat cepat karena migrasi dan tingkat kelahiran yang tinggi.
Di antara hispanis ini kurang lebih 2/3 nya adalah Mexican American tinggal di Texas, New
Mexico, dan Chicago. Pada umumnya keturunan Mexico - Amerika merupakan orang miskin
yang jumlahnya diperkirakan dua kali lipat rata-rata dari kemiskinan nasional. Warga puerto
rico yang jumlahnya sekitar tiga juta orang di AS ini memiliki identitas etnis berupa
kemampuan berbahasa Spanyol dan status sosial ekonominya lebih tinggi. Cuban Americans
merupakan kelompok etnik orang Amerika keturunan Kuba yang berimigrasi ke AS setelah
tahun 1959 akibat revolusi sosial. Kini sekitar 1 juta orang Kuba hidup di AS dan rata-rata
berpendidikan tinggi, berpendapatan menengah dan tidak miskin jika dibandingkan dengan
Hispanis lainnya.

Gambar 3.5. Persebaran penduduk kelompok Hispanis di Amerika berdasar sensus tahun 2000

6) White Ethnic Americans


White Ethnic Americans merupakan kelompok orang Amerika berkulit putih yang
menyatakan dirinya ―tidak terikat‖ dengan WASP. Jadi, mereka digolongkan dalam kelompok
etnik non-WASP. Mereka yang termasuk golongan ini adalah orang Jerman, Irlandia, Italia
dan Polandia. Memang pernah terjadi kebijakan di AS untuk membatasi kuota imigran yang
berasal dari empat negara ini antara 1921 dan 1968 namun tidak berhasil.

Multicultural & Keberagaman Sosial


124
Masuknya etnis karena migrasi pekerja atau budak dari Afrika mengembangkan
budayanya yang khas, walaupun sudah dipengaruhi budaya Amerika. Sesudah perang saudara
meletus pertengahan abad 19, Presiden Abraham Lincoln memberikan pendidikan terhadap
veteran perang etnis Negro dan pendidikan bagi anak-anaknya. Sesudah Perang Dunia II
gerakan Civil Rights Movement (Gerakan Hak-hak Sipil) terutama di bawah Dr
Martin Luther King telah menghasilkan praktek pendidikan yang tidak membedakan
warna kulit.
Selain etnis di atas, akhir abad 19 dan awal 20 terjadi gelombang imigran Yahudi dari
Eropah Timur yang mengalami pengejaran. Selain itu masuk pula imigran Asia, terutama
Cina dan Jepang sebagai tenaga kerja dalam pembangunan jalan kereta api di Pantai Barat
(California). Kelompok ini ditambah imigran dari Hongkong, Taiwan, Cina, Vietnam dan
Korea. Ahli demografi memprediksikan bahwa siswa kulit berwarna berkisar 46 % dari
populasi usia sekolah negara menjelang tahun 2020. Siswa ini telah menjadi mayoritas di
distrik sebagian besar sekolah di dua puluh lima negara bagian seperti California. Bukan
hanya siswa menjadi meningkat ragamnya nanti, namun mereka juga menjadi semakin
miskin. Jurang pemisah antara 85 % masyarakat AS dan yang miskin 15 % dari penduduk
semakin neluas. Sekitar satu dari lima anak di AS yang keluar sekolah adalah karena miskin
dan 15 juta anak di negara hidup berada di tangan perempuan.
Demikianlah wajah pluralis AS yang disertai gelombang hak asasi manusia
membangkitkan semangat baru untuk menumbuhkan masyarakat yang lebih demokratis.
Kelompok etnis ini mendapat perlakuan yang sama. Kini, dalam bidang pendidikan,
pengaruh kesetaraan ini melahirkan pedagogik yang memberikan kesempatan dan
penghargaan yang sama terhadap semua anak tanpa membedakan asal usul serta agamanya.
Masalahnya bagaimana menghargai kebudayaannya masing-masing kelompok etnis agar
supaya kekayaan dari masing-masing budaya kelompok tersebut dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk masyarakat AS. Untuk mewujudkan tujuan tersebut muncullah
gagasan mengenai pendidikan yang cocok untuk masyarakat yang pluralistis itu. Diperlukan
perubahan di dalam tujuan pendidikan, kurikulum, proses belajar mengajar mengajar juga
kedudukan sekolah di dalam masyarakat yang pluralistik.
Sekalipun secara hukum, sistem pendidikan tidak mengenal perbedaan tetapi di dalam
kenyataan masih terdapat prasangka buruk terhadap etnis lain. Jika tahun 1990 an sekolah

Multicultural & Keberagaman Sosial


125
untuk semua rakyat (publik school) dibiayai oleh negara bagian, maka sekarang kelompok
etnis khusus, dengan kebudayaannya masing-masing diberi kesempatan untuk
menyelenggarakan pendidikannya sendiri atas biaya negara. Inilah yang dikenal dengan
Charter School. Ada kelompok minoritas Meksiko, etnis Cina yang bermigrasi sesudah
perang dingin, Vietnam (imigran gelap melalui perahu), dan Karibia.
Pendidikan Multikultural berkembang di dalam masyarakat multikultural Amerika yang
bersifat antarbudaya etnis yang besar yaitu budaya antarbangsa. Ada upaya untuk mengubah
Pendidikan Multikultural dari yang bersifat asimilasi (berupa penambahan materi
multikultural) menuju ke arah yang lebih radikal berupa Aksi Sosial.
Di Indonesia kita menghadapi masalah bukan terutama antar bangsa seperti di Amerika
melainkan antar suku bangsa atau sub etnis yang pluralistis. Namun pengalaman multikultural
antar bangsa juga dimanfaatkan sebagai bahan introspeksi untuk menyelesaikan masalah
Indonesia.

2. Pendidikan Multikultural di Inggris


Pendidikan Multikultural di Inggris terkait dengan perkembangan revolusi industri pada
tahun 1650-an. Pada awalnya Inggris terkenal sebagai masyarakat yang monokultur dan baru
sesudah PD II menjadi multikultur ketika kedatangan tenaga kerja untuk pembangunan dari
kepulauan Karibia dan India. Meskipun oleh pemerintah Inggris telah berusaha memperbaiki
taraf kehidupan kelompok kulit berwarna ini, ternyata di dalam masyarakat terlihat adanya
pembedaan-pembedaan di dalam perumahan, tenaga kerja, dan pendidikan. Gerakan wanita
bermula di akhir tahun 1700-an dan awal yahun 1800-an. Perubahan seperti revolusi
Amerika dan Prancis mendorong gagasan mengenai ‖kesamaan‖ dan ‖kebebasan‖.
Sekalipun demikian kaum wanita tidak diizinkan untuk memberikan suara, dan sebagian
besar mempunyai akses terbatas pada pendidikan.
Pada tahun 1792, seorang penulis Inggris bernama Mary Wollstonecraft menerbitkan A
Vindication of the Rights of Woman, mengemukakan keyakinannya dalam persamaan hak
untuk pria dan wanita. Ide ini mendapat dukungan kuat selama tahun 1800-an, dan banyak
wanita yang mulai melakukan kampanye menuntut reformasi.
Pendidikan Multikultural berkembang sejalan dengan banyaknya kaum imigran yang
memasuki Inggris, namun masih terdapat perlakuan yang diskriminatif sehingga

Multicultural & Keberagaman Sosial


126
memunculkan berbagai gerakan yang berlatar belakang budaya. Gerakan ini merupakan
gerakan politik yang didukung pandangan liberal, demokrasi dan gerakan kesetaraan manusia.
Hal ini tidak lepas dari pemikiran kelompok progresif di Universitas Birmingham yang
melahirkan studi budaya (cultural studies) pada tahun 1964 yang mengetengahkan pemikiran
progresif kaum terpinggirkan yang didukung oleh Kaum Buruh (Labor party). Pendidikan
Multikultural terjadi karena dorongan dari bawah, yaitu kelompok liberal (orang putih)
bersama dengan kelompok kulit berwarna. Hal ini diperkuat oleh politik imigrasi melalui
undang- undang Commonwealth Immigrant Act tahun 1962 yang mengubah status kelompok
kulit berwarna dari kelompok imigran menjadi ―shelter‖ (penghuni tetap).
Pada tahun 1968 didirikan Select Community on Race Relations and Immigration
(SCRRI) yang bertugas meninjau kebijakan imigrasi. Kesempatan ini digunakan oleh kaum
imigran terutama dari Hindia Barat dan Asia untuk mengetengahkan permasalahannya. Pada
tahun 1973 laporan SCRRI berkontribusi terhadap pendidikan kolompok imigran :
 bahasa Inggris sebagai bahasa kedua
 penggantian istilah imigran dengan masyarakat multirasial (multiracal society)
 menuntut pendidikan yang lebih baik
 meminta untuk memenuhi tuntutan National Union of Teachers (NUT) akan adanya
pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat multi rasial.
 Merumuskan bahwa pengertian seperti integrasi, asimilasi, pluralisme dapat
digunakan untuk menggambarkan hal yang sama. (Tilaar, 2004).
Pada tahun 1981 terjadi perubahan yang signifikan dengan terbitnya British Nationality
Act yang menghendaki agar Pendidikan Multikultural bukan hanya terlihat di bidang
pendidikan namun juga forum-forum pendidikan masyarakat seperti jaringan televise
BBC.
Pada tahun 1988 diundangkan Education Reform Act (ERA) yang mengandung dua arti,
yaitu paham neoliberalisme yang percaya pada kekuatan pasar, dan neokonservatisme yang
memberi kekuatan besar pada kontrol pusat. Paham neoliberalisme memberi kekuasaan yang
lebih besar pada masing-masing sekolah untuk mengurus dirinya sendiri demikian juga
kepada pemerintah lokal. Pandangan neokonservatisme mempertahankan kurikulum yang
terpusat dan mempertahankan pendidikan agama yang bersifat Kristiani. Namun pelaksanaan
kebijakan ini memungkinkan terjadinya diskriminasi. Penyerahan pendidikan pada kekuatan

Multicultural & Keberagaman Sosial


127
pasar berarti memperkecil kesempatan bagi kelompok kulit berwarna untuk mendapat
pendidikan yang layak. Kelompok kulit berwarna tidak kompetitif dengan budaya dominan
yang menguasai sumber pendidikan. Demikian juga dalam penulisan sejarah Inggris raya
yang kurang menguntungkan kelompok minoritas.

3. Pendidikan Multikultural di Kanada


Di Kanada ada konsep dan kebijakan multikultural yang harus memajukan bangsa
dengan membandingkannya dengan negara lain. Negara ini berusaha keras untuk tidak terlalu
menggantungkan ekonominya pada AS dan mencoba mempersatukan multikulturalnya demi
kemajuan bangsa. Pendidikan Multikultural di Kanada berbeda dengan negara tetangganya
AS karena perbedaan sejarah dan komposisi penduduknya. Etnis terbesar dari Perancis dan
Inggris selanjutnya dari etnis lain seperti Jerman, Cina, Italia, penduduk asli Indian, Asia
Selatan, Ukraina serta etnis lain.
Sejarah pertumbuhan penduduk Kanda dapat diidentifikasi atas empat
kelompok :
(1) Etnis asli ada sekitar 50 jenis dengan berbagai bahasa yang hidup secara nomaden
sebagai pemburu dan petani.
(2) Abad 16 sampai 1760 masuk etnis Perancis sebagai penjajah dan pedagang karena
perdagangan bulu binatang. Percampuran etnis Perancis dengan penduduk asli Indian
melahirkan penduduk Metis.
(3) Kedatangan Inggris setelah Treaty of Paris (1763) yang ditambah etnis
(4) Perancis yang terlibat Perang Kemerdekaan Amerika 1776..
(5) Imigran dari Eropah (terutama Belanda, Ukraina dan Jerman) dan Asia (Jepang, India,
Cina) dilatar belakangi kebutuhan pekerja di propinsi tengah dan barat.
Sesudah PD II terjadi banjir imigran dari Italia, Jerman, Belanda dan Polandia. Pada
tahun 1960-an terjadi perkembangan ekonomi Kanada yang membutuhkan tenaga terdidik
untuk memenuhi kebutuhan metropolitan. Toronto menjadi pusat konsentrasi imigran asing.
Berbeda dengan AS yang menerapkan politik asimilasi, Pemerintah Liberal Kanada
menerapkan politik multi kulturalisme (1971) yang memberlakukan status yang sama untuk
bahasa Perancis dan Inggris sebagai bahasa resmi.

Multicultural & Keberagaman Sosial


128
Pada tahun 1972 didirikanlah Direktorat Multikultural di dalam lingkungan Departemen
Luar Negeri untuk memajukan cita-cita multikultural, integrasi social, dan hubungan positif
antarras. Upaya tersebut melahirkan Canadian Multiculturalism Act (1988) yang isinya
antara lain :
- alokasi dana untuk memajukan hubungan harmonis antarras
- memperluas saling pengertian kebudayaan yang berbeda
- memelihara budaya dan bahasa asli
- kesempatan yang sama untuk berpartisipasi
- pengembangan kebijakan multikultural di semua kantor pemerintah federal.
Kanada merupakan negara pertama yang memberikan pengakuan legal terhadap
multikulturalisme. Sekalipun kebijakan multikultural merupakan kebijakan federal,
namun masing-masing negara bagian melaksanakan kebijakan sesuai dengan kebutuhannya.
Kebijakan multikultural dimasukkan dalam bentuk yang berbeda-beda di dalam program
sekolah, penataran guru. Kurikulum dikaji ulang untuk dilihat hal-hal yang mengandung
stereotipe dan prasangka antaretnis. Demikian pula di dalam pendidikan oleh Ontario
Heritage Language Programme yang didirikan tahun 1977 memberikan bantuan terhadap
pengajaran bahasa etnis yang bermacam-macam sesudah jam resmi sekolah. Diberikan
penataran guru untuk menyebarluaskan sumber-sumber yang bebas dari prasangka, terutama
kelompok kulit berwarna (black population). Di propinsi Manitoba, Alberta, Saskacthewan
diijinkan memberikan bahasa di luar bahasa Inggris dan Perancis sampai 50 % dari jumlah
jam di sekolah.
Kebijakan ini diterima dengan baik oleh kelompok imigran, terutama imigran
Ukraina dan Jerman. Sejak 1993, beberapa dewan pendidikan seperti Vancouver School
Board melaksanakan penataran guru-guru untuk Pendidikan Multikultural, mendirikan komite
penasehat untuk hubungan rasial, serta melembagakan hubungan rasial di distrik sekolah.
Secara terinci Magsino (1985) mengidentifikasi 6 jenis model Pendidikan Multikultural:
(1) Pendidikan ―emergent society‖. Model ini merupakan suatu upaya rekonstruksi dari
keanekaan budaya yang diarahkan kepada terbentuknya budaya nasional.
(2) Pendidikan kelompok budaya yang berbeda. Model ini merupakan suatu pendidikan
khusus pada anak dari kelompok budaya yang berbeda. Tujuannya adalah memberikan
kesempatan yang sama dengan mengurangi perbedaan antara sekolah dan keluarga, atau

Multicultural & Keberagaman Sosial


129
antara kebudayaan yang dikenalnya di rumah dengan kebudayaan di sekolah. Model ini
bertujuan membantu anak untuk menguasai bahasa resmi serta norma dominan dalam
masyarakat.
(3) Pendidikan untuk memperdalam saling pengertian budaya. Model ini bertujuan untuk
memupuk sikap menerima dan apresiasi terhadap kebudayaan kelompok yang berbeda.
Model ini merupakan pendekatan liberal pluralis yang melihat perbedaan budaya
sebagai hal yang berharga dalam masyarakat. Di dalam kaitan ini Pendidikan
Multikultural diarahkan kepada memperkuat keadilan sosial dengan menentang
berbagai jenis diskriminasi dan etnosentrisme.
(4) Pendidikan akomodasi kebudayaan. Tujuan model ini adalah mempertegas adanya
kesamaan dari kelompok yang bermacam-macam. Mengakui adanya partikularisme
dengan tetap mempertahankan kurikulum dominan.
(5) Pendidikan ―accomodation and reservation‖ yang berusaha untuk memelihara nilai-nilai
kebudayaan dan identitas kelompok yang terancam kepunahan.
(6) Pendidikan Multikultural yang bertujuan untuk adaptasi serta pendidikan untuk
memelihara kompetensi bikultural. Model ini mengatasi pendekatan kelompok spesifik,
identifikasi dan mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi secara cross-cultural
dengan mendapatkan pengetahuan tentang bahasa atau kebudayaan yang lain. (Tilaar,
2004).
Pengalaman di Kanada menunjukkan bahwa isi budaya (cultural content) di dalam
kurikulum sekolah menempati urutan kedua, sedangkan yang utama adalah bagaimana
mencapai kemajuan akademis. Pendidikan Multikultural di Kanada tergantung di mana
pendidikan multietnis itu berada di dalam kerangka struktur ekonomi, politik, dan sosial
masyarakatnya.

4. Pendidikan Multikultural Di Australia


Australia tidak dapat menahan masuknya orang Asia sehingga dia tidak dapat menutup
ekonominya bagi bangsa-bangsa Asia dan Pasifik, karena karena imigran dari kedua benua itu
masuk dengan jumlah dan waktu yang sangat cepat. Akibatnya, Australia mengubah
kebijakannya dari White Australia Policy ke multicultural policy. Dampak dari
perubahan kebijakan itu membuat orang Aborigin meningkatkan kepercayaan dirinya.

Multicultural & Keberagaman Sosial


130
Aborigin, penduduk asli Australia berasal dari benua Asia. Menyusul imigran dari
Eropah yang sebagian merupakan orang hukuman dibawa oleh kapten Arthur Philip. Pada
mulanya imigran pertama yang memasuki Australia berasal dari para narapidana serta
pembangkang politik Irlandia, kemudian berdatangan orang Jerman yang terusir dari
negerinya karena masalah agama. Menyusul orang India dan Cina sebagai pekerja kasar.
Ketika diketemukan emas di New South Wales dan Victoria mulai berdatangan para pekerja
dari berbagai bangsa.
Paham multikulturalisme di Australia berkaitan erat dengan perkembangan politik,
terutama Partai Buruh. Pelaksanaan Pendidikan Multikultural dapat dibedakan tiga
fase perkembangan yaitu dari politik pasif ke arah asimilasi aktif (1945-1972), pendidikan
untuk kaum migran bersifat pasif. Artinya anak kaum imigran menyesuaikan diri dengan
sistem pendidikan yang ada. Karena ada kesulitan dalam penggunaan bahasa Inggris bagi
anak imigran diberikanlah bantuan laboratorium bahasa. Hingga tahun 1970-an kurikulum
masih terpusat hingga menyulitkan di dalam menyesuaikan dengan kebutuhan multietnis
Australia. Kedua, dari pendidikan imigran ke Pendidikan Multikultural (1972-1986) semua
propinsi di Australia telah mengadopsi kebijakan Pendidikan Multikultural. Kebijakan
tersebut adalah sebagai berikut : ― Di dalam masyarakat multi budaya, masing-masing orang
memiliki hak atas integritas budaya; memiliki citra diri yang positif (a positif self image), dan
untuk pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan. Masing-masing orang tidak hanya
harus menyatakan perasaan yang psitif terhadap warisan budayanya sendiri tetapi juga
harus mengalami seperti perasaan terhadap warisan budaya orang lain.‖ Tujuan Pendidikan
Multikultural adalah :
a) Pengertian dan menghargai bahwa Australia pada hakekatnya adalah masyarakat
multibudaya di dalam sejarah, baik sebelum maupun sesudah kolonisasi bangsa Eropah.
b) Menemukan kesadaran dan kontribusi dari berbagai latar kebudayaan untuk membangun
Australia.
c) Pengertian antar budaya melalui kajian-kajian tentang tingkah laku, kepercayaan, nilai-
nilai yang berkaitan dengan multikulturalisme.
d) Tingkah laku yang memperkuat keselarasan antaretnis.

Multicultural & Keberagaman Sosial


131
e) Memperluas kesadaran akan penerimaannya sebagai seseorang yang mempunyai identitas
nasional Australia tetapi juga akan identitas yang spesifik di dalam masyarakat multi
budaya Australia.
Program Pendidikan Multikultural antara lain berbentuk bahasa Inggris sebagai bahasa
kedua, pendidikan ―community language‖ yaitu bahasa yang digunakan di dalam suatu
masyarakat tertentu. Ketiga, imperatif ekonomi dalam Pendidikan Multikultural (1986-1993).
Yaitu adanya bantuan dana dan masuknya Asian Studies Program yang berisi bahasa Asia dan
kebudayaannya. Bahkan informasi terakhir pelajaran Bahasa Indonesia sudah dimasukkan di
dalam kurikulum sekolah dasar. Dewasa ini hampir semua sekolah di Australia telah
melaksanakan Pendidikan Multikultural.
Pendidikan Multikultural Australia mempunyai wajah yang spesifik. Kebijakan imigrasi
dan masalah etnis dipecahkan secara konsensus dari seluruh masyarakat. Ada pakar yang
berpendapat bahwa Australia merupakan masyarakat yang polietnik bukan multi kultur dalam
arti Australia lebih bercorak Anglo Saxon yang menerima kebhinekaan selama tidak
mengganggu atau mengubah gaya hidup masyarakat Anglo Saxon tersebut.

5. Pendidikan Multikultural di Beberapa Negara di Asia


Bagaimana di Cina ? Cina menerapkan kebijakan khusus untuk melindungi kaum
minoritas. Cina menempuh kebijakan itu karena tidak bisa mengelak dari praktek
multikultural di negeri itu. Lalu bagaimana dengan Malaysia? Malaysia merupakan tipikal
bangsa dengan multietnik di Asia. Malaysia telah mengadopsi kebijakan asimilasi melalui
kebijakan ―Bumiputera policy‖. Jadi ada pembagian fasilitas kepada kaum bumi putera.
Tetapi sejak perkembangan ekonomi internasional berubah makin cepat, lahir
kecenderungan baru ke arah pluralisme budaya (cultural pluralization).
Jepang? Jepang telah berubah dari masyarakat multietnik menjadi multikultural.
Awalnya Jepang terdiri dari ras penduduk yang homogen tetapi kemudian berubah karena
banyak pekerja masuk dari luar. Nah, untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap
dan mendalam, sekarang tugas anda adalah mencari sumber di internet yang membicarakan
tentang Pendidikan Multikultural di negara Asia. Silahkan Anda buka beberapa situs yang
disarankan dalam inisiasi dan tugas web Anda.

Multicultural & Keberagaman Sosial


132
Tabel 2. Perbandingan Pola Budaya antara Orang Amerika, Jepang dan Arab dalam
Situasi Rapat Bersama
Norma Amerika Jepang Arab

Tujuan budaya Merumuskan rencana Mencari informasi; Membangun


tindakan tidak ada kesimpulan hubungan dan
menciptakan basis
kepercayaan
Pembukaan Langsung ke tujuan Menyadari senioritas; Untuk
saat diam untuk menghangatkan;
keselarasan ungkapan
keramahtama
han.
Pengikutsertaan Diharapkan dari Dipimpin oleh senior; Berdasarkan
semua yang hadir mencari rasa senioritas, ahli
kelompok; lebih dilibatkan tak
mendengarkan. langsung pada tugas
Gambaran diri Kesamaan; Bagian kelompok; Kebudayaaan
kemandirian; kesopanan yang kaya;
persaingan kemurahan hati.
Penggunaan Pernyataan langsung ‖Tidak‖ secara tidak Merayu, berputar-
bahasa pada perkaranya langsung. putar
Komunikasi non Informal, ungkapan Hierarkhi, pada waktu- Jenis pakaian, emosi
verbal emosi paling waktu tertentu diam
sedikit
Orientasi ruang Berhadap-hadapan Lingkaran; diatur Berdasarkan status
seberangan meja sebelumnya dan umum
Orientasi waktu Selalu tepat waktu; Pada waktunya untuk Konteks historis
berorientasi ke masa rapat pertama yang
depan penting

Pengambilan Berdasarkan fakta; Berdasarkan informasi; Intuisi, latar


keputusan ambil resiko; kesepakatan kelompok belakang
mengacu pada akal historis
Menutup Kesimpulan, rencana Akan membicarakan Berorientasi
tindakan; tanggung dengan yang lain, pada
jawab tanpa komitmen pertemuan di
masa
depan/terbuka
Nilai yang Budaya langsung; Mencari informasi; Keramahan,
diterapkan berorientasi pada hierarkhi; keselarasan kepercayaan
tindakan; perorangan; kelompok; religius,
berorientasi ke masa mendengarkan; umur/senioritas,
depan; ambil resiko; mengamati dan sanjungan/kekagu
prestasi; penyelesaian. kesabaran. man.
(Liliweri, 2005: 383)

Multicultural & Keberagaman Sosial


133
D. Rangkuman
Tujuan Pendidikan Multikultural AS lebih condong pada proses Amerikanisasi. Pendidikan
Multikultural AS berkembang di dalam masyarakat budaya antarbangsa. Ada upaya untuk
mengubah Pendidikan Multikultural dari yang bersifat asimilasi (berupa penambahan materi
multikultural) menuju ke arah yang lebih radikal berupa Aksi Sosial, walaupun masih mendapat
tentangan yang kuat dari kelompok yang dominan yaitu WASP yang menguasai sektor ekonomi,
sosial dan politik.
Pendidikan Multikultural di Inggris berkembang sejalan dengan banyaknya kaum
imigran yang memasuki negara itu, namun masih terdapat perlakuan yang dekriminatif sehingga
memunculkan gerakan yang berlatar belakang budaya. Gerakan ini merupakan gerakan
politik yang didukung pandangan liberal, demokrasi dan gerakan kesetaraan manusia. Paham
neoliberalisme memberi kekuasaan yang lebih besar pada masing-masing sekolah dan
pemerintah lokal untuk mengurus dirinya sendiri. Pandangan neokonservatisme
mempertahankan kurikulum yang terpusat dan pendidikan agama Kristiani. Namun pelaksanaan
kebijakan ini masih diskriminatif. Penyerahan pendidikan pada kekuatan pasar memperkecil
kesempatan kelompok minoritas mendapat pendidikan yang layak. Kelompok minoritas tidak
mampu berkompetitif dengan budaya dominan.
Konsep dan kebijakan Pendidikan Multikultural Kanada bertujuan memajukan bangsa
sebanding dengan negara lain. Negara ini berusaha memandirikan ekonominya dan
mencoba mempersatukan multikulturalnya demi kemajuan bangsa. Pengalaman di Kanada
menunjukkan bahwa materi budaya di dalam kurikulum sekolah menempati urutan kedua,
sedangkan yang utama adalah mencapai kemajuan akademis. Pendidikan Multikultural di
Kanada tergantung di mana pendidikan multietnis itu berada di dalam kerangka struktur
ekonomi, politik, dan sosial masyarakatnya.
Sejarah pertumbuhan penduduk Kanada dapat diidentifikasi atas empat kelompok:
Etnis asli yang hidup secara nomaden sebagai pemburu dan petani, etnis Perancis sebagai
penjajah dan pedagang, etnis Inggris, dan imigran dari Eropah dan Asia yang dilatar belakangi
kebutuhan pekerja di propinsi tengah dan barat. Berbeda dengan AS yang menerapkan politik
asimilasi, Pemerintah Liberal Kanada menerapkan politik multikulturalisme yang
memberlakukan status yang sama untuk bahasa Perancis dan Inggris sebagai bahasa resmi.
Kanada merupakan negara pertama yang memberikan pengakuan legal terhadap

Multicultural & Keberagaman Sosial


134
multikulturalisme. Sekalipun kebijakan multikultural merupakan kebijakan federal, namun
masing- masing negara bagian melaksanakan kebijakan sesuai dengan kebutuhannya. Kebijakan
multikultural dimasukkan dalam bentuk yang berbeda-beda di dalam program sekolah.
Australia mengalami problem dalam menghadapi jumlah dan cepatnya perkembangan
imigran dari bangsa-bangsa Asia dan Pasifik. Akibatnya, Australia mengubah kebijakannya dari
White Australia Policy ke multicultural policy. Imigran pertama berasal dari para narapidana
serta pembangkang politik Irlandia, kemudian berdatangan orang Jerman yang terusir karena
masalah agama. Menyusul orang India dan Cina sebagai pekerja kasar. Ketika diketemukan emas
di New South Wales dan Victoria mulai berdatangan para pekerja dari berbagai bangsa. Paham
multikulturalisme di Australia berkaitan erat dengan perkembangan politik, terutama Partai
Buruh. Kebijakan imigrasi dan masalah etnis dipecahkan secara konsensus dari seluruh
masyarakat. Australia merupakan masyarakat yang polietnik bukan multi kultur dalam arti
Australia lebih bercorak Anglo Saxon yang menerima kebhinekaan selama tidak mengganggu
atau mengubah gaya hidup masyarakat Anglo Saxon tersebut.

E. Latihan
Untuk lebih memantapkan pemahaman dan daya analisis Anda terhadap beberapa
pengertian kebudayaan, terlebih dahulu silakan Anda mengerjakan beberapa latihan berikut ini.
1. Kemukakan pendapat Anda mengenai karakteristik Pendidikan Multikultural di AS ?
2. Jelaskan perbedaan antara pandangan neoliberalisme dan neokonservatisme dalam
memandang Pendidikan Multikultural di Inggris?
3. Jelaskan perbedaan kebijakan politik antara Kanada dengan Amerika dalam menerapkan
Pendidikan Multikultural ?
4. Apa yang menjadi kebijakan pemerintah Australia dalam menerapkan Pendidikan
Multikultural?

Multicultural & Keberagaman Sosial


135
BAB VII
KARAKTERISTIK INDONESIA SEBAGAI MASYARAKAT MULTIKULTUR

A. Kemampuan Akhir yang Direncanakan


 Mahasiswa mampu mengidentifikasi karakteristik indonesia sebagai masyarakat
multikultur

B. Indikator
 Mengidentifikasi karakteristik Indonesia
 Mengidentifikasi etnis sebagai identitas sosial budaya

C. Penyajian Materi
1. Karakteristik Indonesia
Indonesia memiliki karakteristik yang perlu dipertimbangkan dalam segenap segi
kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Karakteristik itu bisa dalam bentuk:
1) Jumlah penduduk yang besar dengan ketrampilan yang rendah. Indonesia yang jumlah
penduduknya 203.456.000 jiwa dapat menjadi potensi yang besar dalam pengadaan
tenaga yang besar. Namun jumlah yang besar saja tidak mencukupi. Jumlah yang besar
itu perlu disertai dengan ketrampilan yang memadai. Negara Indonesia termasuk negara
yang tenaga kerjanya sangat dibutuhkan di negara lain dan lebih disukai di negara lain.
Karena tenaga kerja Indonesia memiliki budaya yang santun dan sabar dibandingkan
dengan tenaga kerja dari negara lain. Namun karena kemampuannya rendah maka tenaga
kerja Indonesia itu hanya berada pada sektor-sektor yang tidak begitu menguntungkan
dari segi upah. Sebagian besar tenaga kerja Indonesia, khususnya wanita banyak yang
bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Persebaran penduduk yang tidak merata.
2) Wilayah yang luas. Indonesia memiliki wilayah seluas 1.922.570 km persegi yang
menduduki urutan 15 terbesar dunia.
3) Posisi silang. Indonesia terletak di antara dua Samudra (Samudra Hindia dan Samudra
Pasifik) dan dua benua (Asia dan Australia) karena posisi silang ini, maka Indonesia
menjadi tempat pertemuan berbagai budaya dunia. Sehingga hal ini memunculkan varian
dari budaya dari berbagai negara. Sejarah membuktikan

Multicultural & Keberagaman Sosial


136
4) Kekayaan alam dan daerah tropis. Karena pada daerah tropis yang hanya mengenal
dua musim (penghujan dan kemarau) maka mungkin saja membuat masyarakat Indonesia
ini memiliki budaya yang santai dan kurang berwawasan ke depan. Ada pepatah budaya
Jawa yang mengatakan ―ono dino ono upo‖ (ada hari ada nasi artinya tiada hari yang
membuat kita tidak bisa makan). Indonesia memiliki kekayaan yang melimpah namun
kekayaan ini masih merupakan kekayaan yang potensial, belum bersifat efektif. Sehingga
Indonesia menduduki kelompok negara yang miskin dari segi pendapat perkapita
pertahun warganya. Sungguh ironis, negaranya memiliki kekayaan besar namun
warga masyarakatnya miskin. Hal ini karena pengetahuan dan ketrampilannya masih
rendah.
5) Jumlah pulau yang banyak. Amerika Serikat memang memiliki wilayah yang luas, namun
lebih berujud benua (kontinen), sedangkan pulau Indonesia itu berjumlah lebih dari
17.000 pulau. Jumlah yang banyak ini tentunya membutuhkan perjuangan pelayanan
yang ekstra keras dari pemerintah untuk dapat melayani seluruh masyarakat Indonesia.
6) Persebaran pulau. Persebaran pulau yang ‖terhalang‖ oleh air laut ini
menimbulkan kendala tersendiri dalam peningkatan taraf hidup maupun pembinaan
pendidikan. Bahkan warga masyarakat dari Talaud (Sulawesi) harus membutuhkan waktu
selama dua minggu hingga satu bulan perjalanan untuk mengurus surat nikah. Jadi ada
kendala geografis yang membuat masyarakat di berbagai tempat di Indonesia ini
kurang bisa mengatasi ketertinggalan dari daerah lain yang lebih maju.
7) Kualitas hidup yang tidak seimbang. Kesenjangan sosial ekonomi bukan saja antar daerah
namun antar masyarakat dalam wilayah yang sama. Kondisi ini dapat menimbulkan
kecemburuan sosial bagi kelompok yang tersisih dan tinggal di daerah-daerah kumuh dan
kantong-kantong kemiskinan. Sehingga kondisi ini sering membuat mereka mudah
tersulut dengan perkelahian, pertikaian dan bentrokan.
8) Perbedaan dan kekayaan etnis. Adanya perbedaan ini dapat memperkaya budaya antar
daerah dan dapat menjadi mosaik yang indah. Namun perlu diwaspadai bahwa perbedaan
ini dapat dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan politik
adu domba yang sudah terlalu sering kita alami selama sejarah panjang bangsa ini.

Multicultural & Keberagaman Sosial


137
Berikut ini akan disajikan beberapa etnis yang ada di Indonesia sekedar memberi
wawasan akan adanya berbagai karakteristik masyarakat multikultur Indonesia.
2. Etnis Sebagai Identitas Sosial Budaya
Sebagai bangsa yang akan budaya, maka berikut ini akan dibahas etnis sebagai identitas
sosial dan budaya. Dalam tulisan ini akan dibahas tiga contoh saja dan tentunya masih sangat
banyak yang dapat disajikan. Tiga contoh itu adalah tentang Cina, Jawa dan Bali. Mengapa ?
Karena sekalipun jumlah orang Cina itu Cuma sedikit, tetapi budaya Cina ini termasuk
budaya global yang hidup di Indonesia dan secara ekonomi kelompok ini menguasai
perekonomian Indonesia. Dengan mempelajari budaya Cina itu kita mengetahui cara
berpikir dan berperilaku kelompok ini sehingga bisa mengikuti pola budaya mereka dalam
pergaulan sosial dan pergaulan ekonomi. Mengapa Jawa yang dipelajari? Karena
mayoritas penduduk Indonesia banyak berasal dari Jawa dan tinggal di Jawa. Mengapa Bali
yang dikaji? Karena Bali merupakan salah satu tempat paling eksotis di dunia yang hampir
semua negara dan bangsa di dunia mengenal nama Bali. Jadi sewajarnyalah kita sebagai
bangsa Indonesia yang memiliki Bali mengenal lebih dekat dan lebih dalam dari yang lain.
Selain itu nanti akan selayang pandang dibeberkan beberapa budaya lain dari daerah lain.

Gambar 1. Tradisi Barongsai


Konsep Budaya Cina
Budaya Cina berkaitan erat dengan pandangan hidup orang Cina yang
mengutamakan - nilai kemakmuran dan kelimpahan harta,
- kedamaian dan ketenteraman,
- kesehatan dan
- umur panjang.
Multicultural & Keberagaman Sosial
138
Budaya Cina tidak lepas dari kepercayaan orang Cina tentang Feng Shui sebagai seni
hidup dalam keharmonisan dengan alam sehingga seseorang mendapatkan paling banyak
keuntungan, ketenangan, dan kemakmuran dari keseimbangan yang sempurna dengan alam.
Diyakini Feng Shui menjanjikan kehidupan yang berlimpah bagi mereka yang mengikuti
prinsip dan aturannya ketika membangun rumah, merancang kota, tempat kerja dan mengubur
keluarga yang meninggal. Feng shui ini telah dipraktekkan sejak dinasti Tang. Ahli seni ini
yang paling kuno adalah Yang Yun Sang yang diakui sebagai Penemu Feng Shui.
Mengapa kita mempelajari feng shui ? Karena feng shui dapat memberikan
sumbangan pada pemahaman kita tentang aspek filsafat Cina yang dewasa ini populer di
berbagai negara, dengan potensi untuk menjadi daya tarik universal. Feng shui telah beranjak
dari konsep identitas budaya nasional, Cina menjadi konsep identitas budaya universal/global.
Konsep feng shui adalah kebijakan kuno yang menyarankan adanya keseimbangan dan
keselarasan dengan alam, seperti dengan gunuung dan sungai, dengan angin dan airnya.
Praktek feng shui Cina menyatukan faktor-faktor ini dalam satu bentuk dasar yang
menjanjikan terpenuhinya keempat pandangan hidup orang Cina di atas. Bagi mereka,
membangun rumah, tempat usaha bahkan tempat tidur perlu memperhatikan keharmonisan
dan kseimbangan. Menurut Y.B. Datuk Seri Dr. Ling Liong Sik, Presiden Asosiasi Cina
Malaysia (Lilian Too, 2002: xiii) Feng shui merupakan komponen yang menguntungkan dari
kebudayaan Cina. Prinsip-prinsip Feng shui yang berorientasi pada lingkungan ini menjadi
dasar pemikiran Cina yang sampai sekarang masih kuat dipegang dan bahkan sekarang makin
berkembang ke luar budaya Cina.
Budaya Cina tidak lepas dari kepercayaan orang Cina tentang Feng Shui sebagai seni
hidup dalam keharmonisan dengan alam sehingga seseorang mendapatkan paling banyak
keuntungan, ketenangan, dan kemakmuran dari keseimbangan yang sempurna dengan alam.
Feng Shui adalah semua tindakan untuk menangkap serta menciptakan Chi dan
memasukkannya ke tempat tinggal dan tempat kerja (Lilian Too, 1995: 3 Diyakini Feng Shui
menjanjikan kehidupan yang berlimpah bagi mereka yang mengikuti prinsip dan aturannya
ketika membangun rumah, merancang kota, tempat kerja dan mengubur keluarga yang
meninggal. Feng shui ini telah dipraktekkan sejak dinasti Tang. Ahli seni yang paling kuno
adalah Yang Yun Sang, penasehat istana Kaisar Hi Tsang, yang diakui sebagai Penemu Feng
Shui dan mulai dicatat pada 888 sebelum masehi (Lilian Too, 2002: 2).

Multicultural & Keberagaman Sosial


139
Secara harfiah, feng shui berarti angin dan air. Ide dasarnya adalah penempatan posisi
yang baik (rumah, tempat usaha, dan tempat tidur, bahkan kuburan) akan memberi
pengaruh yang menguntungkan bagi kesehatan, kekayaan dan kebahagiaan. Secara
filosofis, feng shui adalah angin yang tidak dapat kamu mengerti dan air yang tidak dapat
kamu genggam. Orang akan melakukan berbagai upaya penyesuaian untuk mendapatkan
keharmonisan yang diinginkan agar pengaruh negatif dan nasib buruk tidak menimpa
seseorang. Faktor-faktor terpenting yang harus dipertimbangkan adalah bentuk bukit dan
lembah (bangunan gedung sekitar yang diumpamakan bukit dan lembah), arah aliran air dan
sungai (termasuk juga arah jalur jalan raya), akibat yang ditimbulkan angin (feng) dan air
(air), begitu juga bentuk dan tinggi bangunan.
Unsur angin dan air secara bersama-sama merupakan kekuatan unsur alam yang
mengalir dan mempengaruhi permukaan bumi. Feng shui mengakui bahwa permukaan tanah
diliputi oleh angin dan air. Feng shui menekankan bahwa manusia perlu hidup dalam
keselarasan dengan angin dan air di tanah, jika kita menginginkan unsur ini menciptakan
aliran energi positif yang menyebabkan kita mendapat keuntungan.
Di sini kita menembus budaya Cina yang khas dari penggunaan simbol, kepercayaan,
dan astrologi Cina yang meliputi seluruh spektrum ketertarikan orang Cina terhadap
hubungan antara manusia dan alam semesta yang menekankan kebutuhan mendesak akan
keseimbangan dan keselarasan. Konsep yang hampir sama dengan konsep budaya bangsa
Indonesia.
Ada beberapa konsep yang perlu dipahami dalam budaya Cina yaitu:
1. Chi (napas kosmis),
Chi adalah energi, daya hidup yang membantu keberadaan manusia. Chi tercipta di alam
oleh air yang mengalir dengan lembut atau oleh bentuk gunung dan oleh bentuk simetri dari
sekelilingnya. Chi kosmis dapat diciptakan dan dikumpulkan sehingga diyakini bisa
memberi pengaruh baik pada nasib seseorang. Chi kosmis adalah sumber ketenangan dan
kemakmuran, kekayaan yang berlimpah, kehormatan dan kesehatan yang baik.
Chi tidak boleh berhamburan atau tertiup. Jika hal itu terjadi tak akan baik nasibnya.
Chi terbawa angin dan menyebar sehingga tempay yang berangin dianggap tidak
menguntungkan. Sebaliknya Chi yang ada di tempat yang dikelilingi air tidak akan
berhamburan sehingga tetap berkumpul dan dianggap sebagai lokasi yang menguntungkan.

Multicultural & Keberagaman Sosial


140
Jenis air harus diperhitungkan. Aliran air yang deras atau yang lurus dapat menghanyutkan
Chi sehingga perlu dihindari.
Inti keyakinannya adalah menjebak energi Chi yang mengalir melewati suatu
tempat dan mengumpulkannya tanpa membiarkan energi itu berhenti. Teorinya adalah
mencari lokasi yang tidak terletak di bukit atau daerah vertikal lurus. Lokasi yang ideal adalah
yang terlindung dari angin yang kers dan ada aliran air dan sungai yang berkelok dan lambat.

2. Lima unsur : logam, air, kayu, api dan tanah.


Dalam budaya Cina, ada lima unsur utama yaitu logam, air, kayu, api dan tanah. Semua
perhitungan Cina, termasuk waktu, tahun, dan tanggal kelahiran dikelompokkan ke dalam
salah satu unsur ini. Kelima unsur ini juga diasosiasikan dengan warna, musim, arah mata
angin dan planet.
- API berwarna merah, musim panas dan arah selatan
- AIR dianggap berwarna hitam, musim dingin dan arah utara.
- KAYU berwarna hijau dan arah timur.
- LOGAM berwarna putih atau keemasan dan arah barat.
- TANAH berwarna kuning dan arah pusat.

Gambar 2. Siklus Positif


SIKLUS POSITIF: Api menghasilkan tanah, tanah menghasilkan logam, logam
menghasilkan air, air menghasilkan kayu dan kayu menghasilkan api. (Wong, 2004: 361-365).

Multicultural & Keberagaman Sosial


141
Gambar 3. Siklus merusak
SIKLUS MERUSAK: Kayu menghancurkan tanah, tanah menghancurkan air, air
menghancurkan api, api menghancurkan logam, dan logam menghancurkan kayu.
Dengan memahami kedua uunsur ini, pemakai memasukkan unsur itu agar tercipta
keseimbangan dan produktivitas dengan lingkungannya ketika sedang mengatur lokasi rumah
dan usahanya. Tidaklah menguntungkan orang yang dilahirkan pada tahun API mempunyai
rumah yang mengandung banyak AIR (atau benda yang berwarna hitam, kolam, air terjun
buatan) karena air menghancurkan api. Sebaliknya, banyak tanaman atau berwarna hijau
(KAYU) dan rumah yang terbuat dari kayu akan sangat menguntungkan karena kayu
menghasilkan api. Lebih menguntungkan lagi bila orang itu tidur di ruangan yang terletak di
bagian selatan rumah. Contoh lain, jika seseorang dilahirkan pada tahun tanah, memiliki
terlalu banyak tanaman tidak akan menguntungkan. Sebaliknya, akan sangat
menguntungkan jika orang itu memiliki benda berwarna merah terang dan bercahaya (api)
karena api menghasilkan tanah. Orang dari unsur tanah seharusnya tidur di bagian tengah
rumah. Dari contoh di atas, seseorang dapat mengetahui berbagai kombinasi yang akan
bekerja dari pandangan feng shui.

Multicultural & Keberagaman Sosial


142
Gambar 4. Siklus Positif dan Merusak
Kalau disatukan akan berbentuk gambar di atas. Tanda panah menguntungkan, tanda
arah bintang menghancurkan. Air menyuburkan kayu, kayu menimbulkan api, api
menimbulkan yanah (abu), tanah menimbulkan logam, dan logam mewadahi air. Sebaliknya
air mematikan api, api melelehkan logam, logam mematahkan kayu, kayu merusak tanah,
tanah menyerap air. (Lilian Too, 1995:15)
I-Ching
I Ching adalah naskah kuno yang menjadi dasar peradaban, yang menekankan
hubungan antara nasib manusia dan alam, memberikan pandangan mengenai Alam Semesta
sebagai satu kesatuan yang senantiasa berada dalam aliran konstan yaitu perubahan. I Ching
adalah sumber pemikiran dan perilaku semua orang Cina. Iching terdiri dari 64 heksagram,
yang masing-masing berisi kombinasi garis putus dan garis utuh yang mewakili tenaga
kutub alam semesta. Yang bersifat positif (garis utuh) dan Yin bersifat negatif (garis
putus).

Gambar 5. Trigram
Multicultural & Keberagaman Sosial
143
Masing-masing trigram menggambarkan arah, elemen, binatang dan lain-lain. Trigram
ini dikombinasikan untuk membentuk 64 heksagram. Makna kombinasi menyusun
sistem peramalan yang mendetail.

Gambar 7. Heksagram

Tahun kelahiran
Orang Cina biasa menggunakan simbol binatang untuk menggambarkan sifat dan tahun
kelahiran seseorang. Ada 12 nama binatang yang digunakan untuk menggamabarkan tahun
kelahiran. Berikut ini adalah tabel tahun kelahiran dan unsur yang dimiliki oleh oarng yang
terlahir pada tahun tertentu.

Gambar 8. Shio Anjing


Tabel 1. Shio
Shio Tahu Unsu
Tiku n
191 r
air
s 2
192 kay
4
193 u
Ap
6
194 i
Tana
8
196 h
loga
Kerba 0
191 m
air
u 3
192 kay
5
193 u
Ap
7
194 i
Tana
9
196 h
loga
Dan seterusnya 0 m

Multicultural & Keberagaman Sosial


144
Yin-yang (konsep keselarasan dan keseimbangan)

Gambar 9. Yin-Yang
Semua tradisi dan kepercayaan Cina didasarkan prinsip dualisme, yang begitu luas
dibahas dalam I Ching. Yin dan Yang adalah prinsip negatif dan positif yang menguasai alam
semesta dan kehidupannya. Yin dan yang digambarkan dengan lambang seperti sebuah telur
dengan warna hitam dan putih yang terpisah. Yin dan Yang bersama-sama melambangkan
keselarasan yang sempurna. Prinsipnya adalah keseimbangan antara dua kekuatan itu haru
seimbang. Terlalu banyak salah satu unsur dapat berakibat buruk.
Orang harus terus menerus mewaspadai perubahan lingkungan yang
mempengaruhi keseimbangan dan harus selalu menyelaraskan.
Tabel 2. Rincian Yin Yang
YIN Gelap, pasif, wanita, bulan, dingin, lembut, ganjil, negatif, diam

YANG Terang, aktif, pria, matahari, panas, keras, genap, positif, gerak

Yin dan yang saling melengkapi, saling tergantung yang bersama-sama membentuk
kekuatan. Yin dan Yang terus berinteraksi dan membuat perubahan. Musim panas
memberi jalan bagi musim dingin, malam mengikuti siang, bulan mengikuti matahari, gelap
mengikuti terang dan seterusnya.

Pa kua
Lambang berbentuk segi delapan yang menggambarkan empat titik mata angin utama
dan empat titik tambahan. Menurut mata angin Cina, titik selatan diletakkan di bagian atas.
Utara di bawah, timur di kiri dan Barat di kanan. Lambang Pa Kua berasal dari Delapan
Trigram I Ching yang diletakkan di sekitar sisi lambang itu. Bentuk Pa Kua memainkan
peranan penting dalam praktek Feng shui karena merupakan salah satu pemecahan paling

Multicultural & Keberagaman Sosial


145
penting yang digunakan para praktisi untuk melindungi diri dari pengaruh yang mengancam
rumah atau lokasi. (WongSeng Tian, 2004, Lilian Too, 1994)

Gambar 10. Pa kua

Tahayul dan Simbolisme


Feng shui berkaitan erat dengan kepercayaan akan takhayul dan lambang yang menjadi
karakter orang Cina. Di kalangan masyarakat Cina, ada beberapa kepercayaan takhayul yang
mengelilingi naga. Pada intinya, naga dipercayai membawa kemakmuran dan kekayaan ketika
naga itu sedang bersenang hati, seperti ketika naga langit membawa kehidupan dengan
menurunkan hujan sehingga tanaman dapat tumbuh dan panen berhasil. Atau sebaliknya
membawa bencana dan kematian.
Mereka menggunakan benda-benda takhayul yang menyimbolkan permohonan seperti
patung katak yang menggigit uang logam yang diletakkan di meja atau dekat kotak uang
sebagai simbol permohonan rejeki yang melimpah. Mereka menggunakan cermin dekat
makanan atau dekat uang supaya terlihat berlipat ganda sehingga diharapkan uang dan
rejeki yang bertambah. Mereka menggunakan mainan kucing yang melampai-lampaikan
tangan sebagai simbol menarik pembeli agar memasuki toko dan membeli barangnya.
Hal lain yang menjadi ciri budaya orang Cina adalah penghormatan pada leluhur,
penghargaan yang lebih tinggi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Sehingga ada
upacara pada hari Cing Bing untuk menghormati leluhur. Namun nampaknya dengan
beralihnya sebagian besar orang Cina ke agama besar yang ada, penghormatan semacam ini
mulai berkurang.

Multicultural & Keberagaman Sosial


146
Konsep Budaya Jawa
Ada beberapa konsep budaya Jawa yang akan diuraikan di bawah ini:
1. Religi Jawa : anismisme, dinamisme, sinkretisme dan agama Jawa
Masyarakat Jawa telah mengenal Tuhan dengan segala konsep dan bentuknya yang
khas. Pengenalan Tuhan yang tertua dilakukan dengan pemujaan pada roh dan kekuatan
benda-benda. Pemujaan pada roh disebut animisme dan pemujaan pada kekuatan benda-benda
disebut dinamisme. Religi semacam ini masih berlangsung dan mewarnai kehidupan sampai
sekarang, yaitu dengan adanya ritual dan sesaji. Ritual dan sesaji adalah bentuk penyelarasan
dengan lingkungan metafisik, agar kekuatan adikodrati itu selaras. Wujud nyata dalam
pemujaan keduanya adalah melalui permohonan berkah. Roh dan benda-benda (keris, batu
akik, jenis tanaman tertentu) di sekitar manusia dianggap memiliki kekuatan sakti dan dapat
mendatangkan kebahagiaan atau penderitaan bagi manusia. Misalnya keris peninggalan orang
tua yang diperuntukkan untuk petani tidak cocok untuk orang yang menduduki jabatan
tertentu karena dipercaya dapat menurunkan kedudukan orang tersebut. Begitu juga
sebaliknya keris untuk pejabat tidak boleh dipegang oleh petani karena akan mendatangkan
penyakit. Kepercayaan adanya orang sakti dan prewangan dipandang sebagai bantuan roh
leluhur atau nenek moyang.
Representasi pemujaan roh dapat dilihat dari tradisi budaya selamatan orang meninggal.
Ada penyatuan ajaran antara animisme, dinamisme yang berbaur dengan agama Hindu, Budha
bahkan dengan Kristen dan Islam sehingga terjadilah sinkretisme. Wujud sinkretisme yang
paling menonjol adalah perilaku mistik kejawen. Tampaknya mistik kejawen menjadi
sentral sinkretisme masa lalu sampai sekarang (Endraswara, 2003: 63). Di Jawa konsep
mistik lebih dikenal dengan paham panteisme atau manunggaling kawula dengan gusti. (anda
bisa mengkaji lebih lanjut dalam karya Zoetmulder, P.J. 1991. Manunggaling Kawula Gusti:
Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta : PT Gramedia). Karena itu Islam
di Jawa ada penggolongan Islam putihan (berasal dari muti‘an yang artinya patuh) dan Islam
abangan (berasal dari aba‘an artinya membangkang). Islam putih bisa diartikan Islam yang
sesuai dengan ajaran asli Arab yang biasanya diajarkan di pondok pesantren dan Islam
abangan (kejawen) yang lebih banyak diwarnai sinkretisme.

Multicultural & Keberagaman Sosial


147
2. Slametan (Selamatan)
Slametan atau selamatan adalah sebuah ritual yang dimaksudkan untuk memohon
keselamatan (Endrasana, 2003: 7). Selamatan yang diadakan secara turun temurun
dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan lahir dan batin dari gangguan makhluk halus
(Triyoga, 1991: 83). Fungsi utama dari selamatan yang diadakan adalah untuk menetralisir
bencana yang datangnya dari luar kekuasaan manusia. Dalam selamatan, selain diucapkan doa
dan matera, harus disediakan sesaji makanan, bunga dan kemenyan. Sesaji kemenyan dan
bunga adalah makanan utama makhluk halus yang harus ada pada setiap selamatan karena
benda-benda tersebut merupakan syarat utama agar perdamaian dapat diterima makhluk halus
(Triyoga, 1991: 83). Dengan memberi sedekah, diharapkan makhluk halus itu mau membantu
dan tidak menganggu manusia. Dalam tradisi Jawa muncul berbagai macam selamatan. Dari
selamatan sebelum kelahiran sang bayi, lahir, perkawinan hingga kematian sangat mewarnai
budaya Jawa. Ada tradisi peringatan dalam kandungan : neloni (tiga bulan peringatan bayi
dalam kandungan), mitoni (tujuh bulan karena dianggap pada usia tujuh bulan ini roh mulai
lengkap). Ada tradisi dalam perkawinan: midodareni (tradisi yang dilakukan pada malam
hari menjelang perkawinan), budaya upacara perkawinan yang sarat dengan aturan dan
simbol. Upacara kematian: slametan surtanah (geblag) yang dilakukan pada hari
meninggalnya seseorang, nelung dina (tiga hari), pitung dina (tujuh hari), patang puluh (empat
puluh), nyatus (seratus hari), mendhak pisan (satu tahun), mendhak pindho (dua tahun) dan
nyewu (seribu hari).
Sedangkan tradisi yang berkaitan dengan benda ―sakti‖ biasanya dilakukan pembersihan
benda tersebut setiap tahun sekali, pada bulan Sura (Muharram) dengan cara dicuci. Tindakan
lain adalah pemerian sesaji pada rumah, pohon besar, perempatan jalan dan tempat yang
dianggap angker lainnya. Dalam budaya mereka, penunggu tersebut harus diberi sesaji
agar mau membantu hidup manusia atau paling tidak, tidak menganggu kehidupan mereka.
Persyaratan selamatan bervariasi tergantung jenis selamatannya. Mulai dari menyediakan
jenang warna- warni (merah, kuning, putih, hitam dan abu-abu), hingga menyembelih kepala
kerbau. Slametan menjadi sebuah permohonan simbolik (Endrasana, 2003: 10). Lebih dari itu
Slametan adalah manifestasi kultur budaya asli (Endrasana, 2003:10).

Multicultural & Keberagaman Sosial


148
3. Primbon, suluk, dan wirid
Primbon, suluk dan wirid merupakan karya sastra yang banyak memuat ajaran
sinkretisme. Primbon antara lain memuat petung (perhitungan) untuk menentukan
perkawinan, mengetahui watak manusia (watak bayi lahir), pindah rumah atau persyaratan
hajat lainnya. Suluk dan wirid berisi wejangan atau petuah yang diyakini dari ajaran para
wali songo (wali sembilan) yang memuat ajaran Islam Isoteris. Karya sastra itu antara lain
seperti Serat Centhini, serat Cebolek, serat wirid Hidayat Jati, Babat Tanah Jawa dan
sebagainya. Bizawie mengemukakan terjadinya perlawanan kultural agama asli Jawa
(Endrasana, 2003: 64). Dengan munculnya Serat Cebolek, telah memunculkan sinkretisme
Islam Jawa yang luar biasa. Di dalamnya ada mistikisme Jawa dan neo tasawuf. Kehadiran
tokoh Syeh Ahmad al-Mutamakkin dianggap sebagai pembangkang terhadap ajaran syariah
dan dianggap sebagai pelanjut ajaran syeh Siti Jenar. Syeh Siti Jenar ini merupakan tokoh
sentral di luar wali songo yang dianggap mengabaikan ajaran syariah (hukum) dan
mengajarkan makrifah (pengetahuan tentang Allah) pada orang belum banyak mengenal
aturan hukum dalam Islam yang akhirnya harus menjalani hukuman mati.

4. Tata krama
Tata krama adalah adab sopan santun Jawa dalam berbahasa, bersikap dan bertingkah
laku yang sangat dijunjung tinggi dan menjadi ciri budaya Jawa. Dalam berbahasa mereka
membedakan dengan kategori ngoko, kromo madyo dan krama inggil. Misalnya untuk kata
‖makan‖ dalam bahasa Jawa ada tingkatan ‖madhang‖, atau ‖mangan‖ untuk ngoko,
tingkatan ‖nedho‖ untuk kromo madyo dan ‖dhahar‖ untuk kromo inggil. Ngoko untuk orang
yang sama kedudukannya dengan dirinya atau lebih rendah (misalnya sesama teman atau
kepada anak atau adik). Kromo madyo untuk membahasakan sedikit di atas dirinya (misalnya
mas nembe/taksih nedho = kakak laki-laki sedang makan). Kromo inggil ditujukan kepada
orang yang lebih tua atau lebih atas tingkatan sosialnya. Misalnya Ibu taksih dhahar.
Jadi kalau kita simpulkan, hal-hal yang terkait dengan religi, slametan, dan primbon,
suluk dan wirid di atas, lebih mengarah pada sisi vertikal budaya Jawa, sedangkan yang
adalah sisi horizontal. Artinya sisi vertikal berkaitan dengan orientasi Ketuhanan atau
penyesuaian dengan nilai- nilai Ketuhanan atau roh) sedangkan sisi horisontal berkaitan
dengan sisi hubungan antara manusia (yang masih hidup). Namun pembedaan itu hanya

Multicultural & Keberagaman Sosial


149
bersifat rasional ilmiah saja, sedangkan dalam kenyataannya sulit dipisahkan. Misalnya, ada
tata krama yang kuat di daerah Imogiri (makan raja-raja Jawa) yang harus dipatuhi oleh
seorang peziarah. Mereka harus menggunakan pakaian adat tertentu untuk berziarah pada
makan raja-raja Surakarta dan berganti pakaian bila berpindah ke makam raja Yogyakarta.
Padahal jaraknya hanya beberapa meter saja. (Baca karya Woodward, 1999. Islam Jawa:
Kesalehan Normatif versus Kebatinan. LkiS. Yogayakarta).

5. Petung
Petung atau perhitungan menduduki tempat yang sangat strategis dan urgen dalam
budaya Jawa. Karena setiap kegiatan apa pun orang Jawa tidak bisa meninggalkan tradisi
menggunakan perhitungan ini. Misalnya untuk mengetahui watak seseorang, menentukan hari
perkawinan atau menentukan arah rumah (mirip budaya Cina) harus memperhitungkan hari
kelahiran dan saat (waktu) yang tepat. Hari kelahiran dihitung: minggu = 5, senin = 4, selasa
= 3, rabu = 7. kamis = 8, jumat = 6, sabtu = 9. Sedangkan pasaran dihitung: paing = 9, pon =
7, wage = 4, kliwon = 8, legi = 5. Seseorang yang lahir pasti bisa ditentukan atas kombinasi
hari dan pasaran. Misalnya Jumat Paing berarti = 6 + 9 = 15. Jumlah yang 15 itu dapat
diketahui watak, perkawinan, arah rumahnya dan seterusnya.

Utara
Wage 4
hitam

Barat pon 7 Tengah Timur legi


kuning kliwon 8 5 putih
abu abu

Selatan
paing 9
merah

Gambar 11. Perhitungan Jawa

Multicultural & Keberagaman Sosial


150
Kita di sini sekedar mengetahui sekilas keyakinan dasar orang Jawa sehingga kita bisa
memahami mengapa orang Jawa tertentu tidak sembarangan menentukan hari perkawinan
atau bahkan menolak calon menantu karena perhitungan di atas yang tidak cocok.

6. Makanan
Nama dan jenis makanan dapat menjadi ciri penanda budaya suatu daerah termasuk
budaya Jawa. Di dalam masakan dan makanan Jawa ada yang bernama: rawon, gudeg,
lontong balap, urap-urap, gado-gado, sop buntut dan sebagainya.

Gambar 12. Masakan Rawon

Gambar 13. Bistik Jawa

7. Falsafah hidup
Selain hal-hal yang disebut di atas, falsafah hidup orang Jawa dapat menjadi ciri
penanda khas tradisi budaya Jawa. Falsafah ini menjadi pedoman hidup yang diikuti oleh
oang Jawa generasi dulu namun sekarang telah banyak ditinggalkan karena kurangnya
pemahaman dan kekurang mampuan dalam menafsirkan makna hakikinya. Di samping itu
munculnya nilai-nilai dari luar yang bersifat konsumeris dan materialis membuat nilai-nilai
budaya yang adiluhung (mulia) ini mulai ditinggalkan generasi muda kita. Oleh karena itu
dalam Pendidikan Multiklutural perlulah memahami dan memaknai kembali berbagai
falsafah hidup budaya Jawa ini. Misalnya ajining diri soko lathi, ajining awak soko tumindak,
Multicultural & Keberagaman Sosial
151
ajining sariro soko busono (kehormatan diri berasal dari tutur kata yang baik (lathi), dari
perbuatan baik yang kita lakukan (tumindak) dan dari pakaian yang kita sandang (busono),
ngundhuh wohing pakarti (menuai buah dari yang ditanam = hukum sebab akibat),
senajan mung sedumuk ning bathuk senajan mung senyari ning bumi, dibelani tohing
pati (walaupun hanya satu sentuhan jari tapi dahi, walaupun sejengkal namun tanah, akan
diperjuangkan dengan pertaruhan nyawa = harga diri), alon-alon waton kelakon (biar lambat
asal selamat/bisa terjadi = yang merupakan pedoman yang lebih mengutamakan keselamatan),
menang tanpa ngasorake (mengalahkan musuh tanpa merendahkan harga diri musuh), digdaya
tanpa aji (sakti tanpa memiliki aji-aji kesaktian = seseorang yang dapat menjaga
kewibawaan). Contoh-contoh di atas merupakan kearifan budaya yang ada pada budaya Jawa.

8. Produk budaya (keris, rumah/wisma, wayang, pakaian, peralatan)


Berbagai produk budaya seperti keris, wayang, rumah, pakaian dan peralatan lainnya
dapat menjadi ciri penanda yang ada pada budaya Jawa.

Gambar 14. Wayang Bima Gambar 15. Wayang Arjuno


Wayang Bima/Werkudoro (gambar 14) menyimbolkan seseorang yang memiliki
tanggung jawab dan pendirian yang teguh, sementara adiknya Arjuno (gambar 15)
menggambarkan seseorang yang gemar menuntut ilmu pengetahuan.
Benda-benda ini hanya bisa dimengerti kalau kita memahami lebih dalam makna yang
terdapat pada simbol-simbol yang terdapat di dalamnya.

Multicultural & Keberagaman Sosial


152
Gambar 16. Keris
Dalam budaya Jawa tradisional, keris bukan sekedar senjata yang unik bentuknya,
tetapi lebih merupakan kelengkapan budaya spiritual. Ada anggapan di kalangan Jawa
tradisional, seseorang baru bisa dianggap utuh dan lengkap sebagai lelaki sejati jika ia
sudah memiliki lima unsur simbolik: curiga, turangga, wisma, wanita, kukila.
Curiga, berarti keris, turangga artinya kuda atau kendaraan (motor atau mobil), wisma
adalah rumah untuk tempat tinggal, wanita berarti isteri, dan kukila arti harafiahnya
adalah burung arti simbolik dari keindahan. Keris, makna simboliknya adalah kehormatan,
kedewasaan, dan keperkasaan. Seorang pria Jawa tradisional, harus tangguh dan mampu
melindungi diri, keluarga atau membela bangsa dan negara.
Pada zaman dulu, penghargaan paling tinggi bukan harta benda berupa emas permata,
melainkan keris. Pada perkembangannya, keris menjadi simbol kepangkatan. Keris Raja
berbeda dengan bawahannya. Berbeda dari bahan keris, detil-detil perhiasan dan perabot
kelengkapannya. Tingkat kepangkatan dari pemilik keris, juga bisa dilihat dari warangka
(sarung) yang membungkus bilah keris. Warangka keris Raja, berbeda dengan warangka
bawahannya. Salah satu keunikan keris adalah kekuatannya pada unsur-unsur yang ada pada
keris. Dari ukiran atau pegangan keris pun, pada masa lalu orang bisa menilik derajat dan
kepangkatan. Varian ukiran keris Jawa pun, seperti halnya warangka, ada berbagai
macam varian. Di lingkungan keraton Surakarta, ukiran tunggak semi gaya Paku Buwono
hanya boleh dipakai oleh Raja. Pendhok (selongsong logam pada bungkus bilah) dengan

Multicultural & Keberagaman Sosial


153
warna kemalo (sejenis cat tradisional berwarna merah, hijau, coklat dan hitam), dulu
dimaksudkan untuk membedakan derajat dan kepangkatan penyandangnya. Warna merah
untuk Raja dan kerabatnya, atau bangsawan. Hijau, untuk para mantri (menteri, perwira
pembantu Raja). Coklat, untuk para bekel atau administratur menengah kebawah. Sedangkan
pendhok hitam, untuk para abdi dalem, atau rakyat jelata.
Selain tanda penghargaan, pada masa lalu juga dimaksudkan untuk menjadi peringatan
waktu dan tahun Jawa. Dalam khasanah budaya Jawa tradisional, disebut sebagai candra
sengkala atau sengkalan. Gambar atau wujud benda, binatang, tumbuhan yang dikinatahkan
juga bisa diartikan sebagai kronogram untuk menunjuk angka tahun. Keris juga dipakai
sebagai simbol identitas diri (Brahmana atau untuk Raja). Keris juga bisa berfungsi sebagai
pertanda atribut utusan Raja. Apabila seseorang mendapat tugas dari Raja, Raja meminjamkan
sebuah keris pusaka milik sang Raja yang ‗bobot spiritual‘nya sesuai dengan bobot tugas yang
disandangnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, keris berfungsi seremonial, menjadi lambang
persaudaraan, persahabatan, perkawinan. Salah satu simbol persaudaraan atau persahabatan,
dulu biasa ditandai dengan tukar-menukar keris. Bahkan akhir- akhir ini Presiden RI
menggunakan kersi sebagai cendera mata untuk diberikan kepada Presiden/kepala negara
tetangga sebagai simbol persahabatan negara Indonesia dengan negara lain. Keris sudah
menjadi identitas nasional.
Selain makna-makna duniawi di atas, keris dalam kehidupan Jawa tradisional juga
memiliki makna spiritual yaitu sebagai manifestasi pandangan hidup, wasiat atau pusaka.
Dalam lingkup spiritual, keris merupakan azimat, medium komunikasi serta tempat
bersemayamnya roh atau ―yoni‖ (ingat animisme dan dinamismisme). Sampai saat ini
orang modern masih banyak yang mempraktekkannya.

Multicultural & Keberagaman Sosial


154
Konsep budaya Bali

Gambar 17. Ngaben


1. Dharma :
Dharma artinya kebenaran (kebajikan) atau kewajiban dan hukum. Yaitu suatu jalan
yang halus dan sejuk yang dapat melindungi dan menjaga orang yang mengikuti dan
menjauhkan bencana sehingga menjadi orang yang gembira, tenteram dan bahagia. Mereka
melaksanakan dharma itu dalam perilaku kesehariannya. Dalam keseharian mereka tidak akan
pernah lupa melakukan upacara ritual yang menjadi kewajibannya. Sehingga khusus untuk
pulau Bali saja dibutuhkan berton-ton bunga setiap hari untuk kebutuhan pemujaan.
2. Tri hita karana : konsep keselarasan hubungan yang mendatangkan kebahagiaan.
Keselarasan hubungan tersebut meliputi :
- keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan
- keselarasan hubungan manusia dengan sesama manusia
- keselarasan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Yang pertama disebut hubungan Niskala (tidak nyata, rohani), yang kedua dan ketiga
disebut sekala (nyata, duniawi). Konsep sekala diwujudkan dalam pengertian Tri kaya (tiga
aspek) yaitu pikiran (manah), perkataan (wak) dan perbuatan (kaya). Prinsip keselarasan
masyarakat Bali yang dilandasi ajaran Hindu Bali ini mirip dengan keselarasan dari dari
budaya Cina dan Jawa. Jadi secara konseptual, keselarasan, keserasian dan kesimbangan
merupakan budaya khas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Seandainya prinsip ini benar-
benr dihayati dan diamalkan maka bencana di Sidoarjo oleh Lapindo Brantas ini tidak akan
terjadi. Karena pengeboran ini sama sekali tidak melihat keselarasan di atas.
3. Rwa Bhineda : Konsep dualistis yang mengekspresikan dua kategori yang berlawanan
dalam hidup (positif dan negatif, baik dan buruk).

Multicultural & Keberagaman Sosial


155
Segala sesuatu pasti ada kelebihan dan ada kekurangan. Ada bahagia dan ada derita.
Tidak ada hidup yang tidak diakhiri kematian. Prinsip rwa bhineda ini sama dengan prinsip
Yin-Yang dari budaya Cina.
4. Karmaphala. Satu dari lima sistem kepercayaan agama Hindu yaitu
- percaya adanya Tuhan,
- percaya adanya Atman (roh),
- percaya adanya Punarbawa (reinkarnasi),
- percaya adanya roh leluhur dan
- percaya adanya karmaphala (karma = perbuatan, phala = buah)
Karmaphala adalah hasil perbuatan seseorang. Ala gawe ala nemu, ayu gawe ayu nemu
(bila melakukan hal yang tidak benar maka kesengsaraan yang akan diperoleh, sebaliknya bila
melakukan hal yang benar maka kebahagiaan yang akan didapat). Karmaphala adalah
sesuatu sebab akan menghasilkan akibat sehingga sering disebut hukum karma. Oleh karena
itu berhati-hatilah dalam berbuat. Setalah kita kaji lebih dalam, ternyata prinsip ini sama
dengan prinsip dari budaya Jawa Ngundhuh wohing pakarti (Budiasa, 1997).

Selayang pandang berbagai konsep budaya daerah lain


Ada tradisi budaya di daerah Maluku yang mengorbankan nyawa orang untuk
pelantikan seorang kepala desa tertentu. Namun budaya ini nampaknya segera dihilangkan
karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban. Ada satu suku di
Kalimantan yang menghukum secara tegas perselingkuhan dengan cara mengikat pasangan
itu dan menenggelamkannya dengan memberi pemberat dari batu. Di Banyuwangi dan
sebagian daerah lain, ada tradisi kawin lari untuk menghindari kewajiban adat yang mungkin
sulit dipenuhi oleh mempelai laki-laki. Di pulau Nias, ada tradisi lompat batu. Seorang remaja
akan memasuki batas kedewasaan setelah dia melompati batu yang cukup tinggi. Di Papua,
peperangan antar suku baru dapat didamaikan bila korban antara pihak yang berperang itu
dalam jumlah yang seimbang. Di Tegal, Jawa Tengah, ada satu kampung yang jumlahnya
tidak lebih dari seratus orang dan bila lebih dari itu harus ada yang meninggalkan daerah itu.
Ada juga di Boyolali, seluruh penduduknya dilarang tidur di kasur karena takut mendapat
kutukan bila melanggarnya.

Multicultural & Keberagaman Sosial


156
Di Jawa Barat ada pantangan yang disebut pamali. Pamali tarung jeung dulur. Pamali
bengkah jeung dulur (pantangan berkelahi dengan saudara, pantangan merenggangkan
persaudaraan). Jadi konflik adalah pantangan yang jika dilanggar dapat mengakibatkan
sesuatu yang buruk. Istilah ini tergambar dalam kisah Hariang Banga dan Ciung Wanara.
Keduanya putra raja di tatar sunda. Mereka berkelahi untuk memperebutkan kerajaan
Galuh Pakuan. Terjadilah perang sehingga Hariang Banga terdesak ke timur dan sampai di
suatu sungai Pamali (Ci Pamali). Pamali artinya pantangan/tabu dalam bahasa Sunda. Ada
bentuk dari kearifan tradisional berupa pepatah silih asih, silih asah dan silih asuh (artinya
saling menyayangi, saling memberi pengalaman dan pengetahuan dan saling membantu).

D. Rangkuman
Konsep Budaya Cina berkaitan erat dengan pandangan hidup orang Cina yang
mengutamakan nilai kemakmuran dan kelimpahan harta, kedamaian dan ketenteraman,
kesehatan dan umur panjang.
Ada beberapa konsep yang perlu dipahami dalam budaya Cina yaitu :Chi yaitu energi
yang dapat diciptakan dan dikumpulkan sehingga memberi pengaruh baik pada nasib
seseorang. Lima unsur yaitu logam, air, kayu, api dan tanah. Masing- masing unsur
mempunyai siklus merusak dan siklus positif. I-Ching atau Buku tentang Perubahan yang
menekankan hubungan antara nasib manusia dan alam sebagai satu kesatuan yang senantiasa
berada dalam aliran konstan yaitu perubahan. Tahun kelahiran yang disimbolkan binatang
untuk menggambarkan sifat dan tahun kelahiran seseorang, yaitu shio tikus, kerbau, macan,
kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing dan babi. Yin-yang merupakan
konsep keselarasan
dan keseimbangan yang didasarkan prinsip dualisme yang saling melengkapi, saling
tergantung yang bersama-sama membentuk kekuatan. Pa kua yaitu lambang berbentuk
segi delapan yang menggambarkan empat titik mata angin utama dan empat titik tambahan
yang digunakan untuk melindungi diri dari pengaruh yang mengancam rumah atau lokasi.
Tahayul dan Simbolisme yang berkaitan erat dengan kepercayaan akan takhayul dan lambang
yang menjadi karakter orang Cina.
Beberapa konsep budaya Jawa adalah Religi Jawa : anismisme, dinamisme,
sinkretisme dan agama Jawa, selamatan, primbon, suluk, dan wirid yang memuat ajaran

Multicultural & Keberagaman Sosial


157
sinkretisme, tata krama, petung untuk menentukan perkawinan, mengetahui watak manusia,
pindah rumah atau persyaratan hajat lainnya, makanan, falsafah hidup, produk budaya (keris,
rumah/wisma, wayang, pakaian, peralatan). Hal-hal yang terkait dengan religi, slametan,
primbon, suluk dan wirid lebih mengarah pada sisi vertikal budaya Jawa, sedangkan tata
krama adalah sisi horisontal.
Konsep budaya Bali mencakup dharma artinya kebenaran (kebajikan) atau kewajiban
dan hukum, Tri hita karana yaitu konsep keselarasan hubungan yang mendatangkan
kebahagiaan. Keselarasan hubungan tersebut meliputi keselarasan hubungan manusia dengan
Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya.Rwa Bhineda yaitu konsep dualistis yang
mengekspresikan dua hal yang berlawanan (positif dan negatif), dan Karmaphala adalah hasil
perbuatan seseorang.

E. Latihan
Untuk lebih memantapkan pemahaman dan daya analisis Anda terhadap beberapa
karakteristik Indonesia sebagai masyarakat multikultur, terlebih dahulu silakan Anda
mengerjakan beberapa latihan berikut ini.
1) Berikan contoh budaya lokal yang telah menjadi budaya nasional?
2) Kemukakan 7 konsep budaya Cina ?
3) Kemukakan 6 konsep budaya Jawa ?
4) Kemukakan 3 konsep budaya Bali

Multicultural & Keberagaman Sosial


158
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi A. 2003. Ilmu Social Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.


Abdullah, A. 2005. Pendidikan Agama Era Multikultral Multireligius. Jakarta: PSAP.
Banks, James A. 2014. ―Developmnent Dimensions , and Callenges.‖ Phi Delta Kappa
International 75(1): 22–28.
Cremers & Santo. 1997. Mitos, Dukun, dan Sihir, Yogyakarta: Kanisius.
Fisher Simon, Ibrahim Dekka, dkk., ―Working With Conflict: Skill & Strategies for Action‖,
(New York: Responding To Conflict, 2002).
Koentaraningrat. 2000. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Lawang, R.M.Z.. (1984). Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas Terbuka.
Matsumoto, D. 1996. Culture and Psychology. New York: Brooks/Cole Publishing, Co.
Narwoko, J. D. dan Suyanto, B. (2004). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada
Media.
Nasikun. (1987). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Ritzer, G. (2002). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Terjemahan. Jakarta:
Rajawali Press.
Nasikun. 1993. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mahfud, C. 2006. Pendidikan Multicultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Purwato, A. 2003. Komunikasi Multicultural. Surakarta: muhammadiyah University Press.
Parsons, Talcott. 1951. The Social System. London: Routledge & Kegan Paul.
Poloma, Margareth M. 1984. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV. Rajawali.
Rusmin Tumanggor, Jaenal Aripin dan Imam Soeyoeti, 30 Oktober 2010, Analisa Terjadinya
Konflik Horizontal di Kalimantan Barat, ―Jurnal Konflik Kelompok‖,
<http://www.balitbangham.go.id/ Jurnal/Jurnal%20HAM%20I%20maria.pdf>, diakses
tanggal 12 September 2012.
Sukardi. 2016. Penanganan Konflik Sosial Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif. Jurnal
Hukum & Pembangunan 46 No. 1 (70-89).
Segall, M.H., Dasen, P.R., Berry, J.W., & Poortinga, Y.H., 1990. Human Behavior in Global
Perspective. New York : Pergamon Press.

Multicultural & Keberagaman Sosial


159
Sleeter, C., & Grant, C. 1993. Making choices for multicultural education: Five approaches to
race, class, and gender (2nd ed.). New York: Macmillan.
Smith, Anthony D. 1987. The Ethnic Origins of Nations. Oxford: Blackwell Swiniarski, L.,
Breitborde, M., & Murphy, J. 1999. Educating the global village: Including the young child
in the world. Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall.
Sanderson, S. K.. (1993). Sosiologi Makro. Edisi Kedua. Terjemahan. Jakarta: Rajawali Press.
Soekanto, S. (2002). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Susi Yanti. 2012. Teori Sosial. Artikel Online (http://susiyanti-
mencariilmu.blogspot.co.id/2012/12/uas-teori-sosial.html) di akses 12 Mei 2018.
Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme : Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi
Pendidikan Nasional. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Yunus, M. Firdaus. 2014. Konflik Agama di Indonesia Problem dan Solusi Pemecahannya.
Substantia, Volume 16 Nomor 2.
Yakin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multicultural Cross-Cultural Understanding. Yogyakarta:
Nuansa Aksara.

Multicultural & Keberagaman Sosial


160
GLOSARIUM

Authoritarian personality = pribadi otoriter


Aesthetic And Recreational Institutions = keindahannya dan rekreasi
Adik Turu = ngoko
African Americans = Orang Amerika Keturunan Afrika
Asian Americans = Orang Amerika Keturunan Asia
Bapak Sare = krama inggil
Budaya = benda alamiah yang sudah mendapat campur tangan manusia
Bonek = bondo nekat atau anak nekat
Civilization = peradaban
Culture = budaya
Cultural Blunders = kesalahan budaya
Civic Action = tindakan kewarganegaraan
Cultural Pluralism = pluralisme budaya
Collective Consciousness = kesadaran kolektif
Civil Rights Movement = Gerakan Hak-hak Sipil
Domestic Institutions = kehidupan kekerabatan
Diskriminasi = tindakan terhadap orang lain
Economic Institutions = pencaharian hidup, memproduksi, menimbun dan mendistribusi harta
benda
Educational Institutions = pendidikan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang
berguna
Ethic = sudut pandang dalam mempelajari budaya dari luar sistem budaya itu
Emic = sudut pandang merupakan studi perilaku dari dalam sistem budaya tersebut
Ethnic Revival Movement = gerakan kebangkitan etnis
Etnosentrisme = kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain
dengan standar budayanya sendiri.
Fungsionalisme = kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa
bertahan
Multicultural & Keberagaman Sosial
161
Gemeinschaft = paguyuban
Gesselschaft = patembayan
Gemeinschaft by blood = ikatan darah/keturunan
Gemeinschaft by place = paguyuban karena tempat
Gemeinschaft by mind = paguyuban karena jiwa pikiran
Geblag = slametan surtanah yang dilakukan pada hari meninggalnya seseorang
Great Tradition = tradisi besar
Hispanic Americans = Orang Amerika yang Berkebudayaan Spanyol
Humanus = lebih halus, berbudaya dan manusiawi
Homo Socius = tidak terlepas dari orang lain
Homo Simbolicum = manusia menggunakan simbol
High Culture = budaya tinggi
Hogans = rumah Navajo tradisional
Isme = aliram/paham
Integration = integrasi
Integrating force = kekuatan yang menyatukan
Literasi Etnis dan Budaya = pendidikan etnis budaya
Low Cultur = budaya rendah
Little Tradition = tradisi kecil
Kultural = budaya
Metaphysical Environment = lingkungan metafisik
Mas Tilem = krama madya
Multi = plural
Migrasi =masuknya etnis baru ke suatu tempat
Mitoni = tujuh bulan karena dianggap pada usia tujuh bulan ini roh mulai lengkap
Midodareni = tradisi yang dilakukan pada malam hari menjelang perkawinan),
Mendhak pisan = satu tahun
Mendhak pindho = dua tahun
Neloni = tiga bulan peringatan bayi dalam kandungan
Nelung dina = tiga hari
Nyatus = seratus hari

Multicultural & Keberagaman Sosial


162
Nyewu = seribu hari
Native Americans = Orang Amerika Keturunan Penduduk Asli Amerika
Non Budaya = benda yang belum disentuh aktivitas manusia
Pluralisme Kultural = paham bebas budaya
Prestise = kehormatan
Previlese = hak imunitas seseorang
Pithecanthropus Erectus = manusia kera yang berdiri tegak
Prasangka = perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap orang atau kelompok tertentu
Prejudiced Persons = pribadi berprasangka
Pitung dina = tujuh hari
Primbon = memuat petung /perhitungan
Patang puluh = empat puluh
Rasisme = pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk
wajah
Religious Institutions = Tuhan atau dengan alam gaib
Rules of Social Etiquette = aturan etiket sosial
Scientific Institutions = kebutuhan ilmiah manusia, menyelami alam semesta
Somatic Institutions = jasmaniah manusia
Sense of Social Consciousness = mengembangkan rasa kesadaran sosial
Stratifikasi Sosial = pembagian golongan masyarakat
Stratifikasi = kelompok social
Stereotipe = bentuk prasangka antar etnik/ras
Scape Goating = individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka
perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain.
Shelter = penghuni tetap
Slametan atau selamatan = sebuah ritual yang dimaksudkan untuk memohon keselamatan
Tata krama = adab sopan santun
Transenden = melampaui dunia
World Citizen = warga dunia
Weberian = paham Max Weber

Multicultural & Keberagaman Sosial


163
White Anglo Saxon Protestan (WASP) = sebuah tradisi tentang siapa yang seharusnya menjadi
penguasa di Amerika Serikat.

Multicultural & Keberagaman Sosial


164
INDEKS
A
Agama, 1, 3, 17, 28, 38, 44, 45, 50, 52, 53, 55, 64, 65, 67, 68, 70, 71, 72, 73, 79, 105, 107, 113,
121, 125, 127, 131, 134, 135, 146, 147, 149, 156.

B
Budaya, 117, 118, 119, 121, 123, 124, 125, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 136, 137,
138, 139, 140, 141, 151, 152,153, 154, 156, 157, 158

E
Etnosentris, 37, 110, 114, 115, 118, 130.
Etnis, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 43, 44, 46.

I
Islam, 9, 44, 45, 147, 149, 150.

K
Konflik, 31, 32, 33, 34, 48, 53, 54, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 74, 75, 77, 92,
96, 102, 103, 104, 105, 108, 110, 116, 117, 119.
Kelompok social, 7, 8, 13, 67, 90, 99, 101, 104, 114.
Kristiani, 127, 137.

M
Multicultural, 14, 16, 17, 30, 37, 41, 42, 43, 69, 73, 104, 120, 129, 130, 135.

O
Organisasi, 113, 128, 133, 138, 139, 163, 204.

P
Pluralitas, 1, 50, 51,65, 72, 106, 117.
Pranata, 11, 12, 13.
Pendekatan aditif, 24, 29, 42, 44, 111.
Problematika, 48, 69.
Perilaku, 2, 3, 5, 6, 14, 15, 16, 32, 33, 35, 45, 46, 56, 76, 77, 78, 81, 101, 104, 107, 112, 113,
114, 116, 118, 121, 138, 143, 147.

S
Stereotipe, 24, 110, 111, 112, 113, 114, 118, 129, 163.
Struktur Sosial, 36, 50, 54, 55, 59, 64, 66, 68, 71, 76, 77, 100, 104.

T
Transformasi, 26, 42.

Multicultural & Keberagaman Sosial


165
BIODATA

Abdul Sakban, S.Pd.,M.Pd. Lahir di Desa Nunggi tanggal 24 April


1984 di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima. Dari pasangan
kedua orang tua tercinta H. Zainudin M. Tayeb (Alm) dan Hj. Fatimah
Idris. Anak ketujuh dari tujuh bersaudara. Pendidikan: Sekolah Dasar
Inpres Nunggi (1991 - 1996) di Bima, Sekolah Menengah Pertama Negeri
3 Wera (1997 - 1999) di Bima, Madrasyah Aliyah Negeri 2 Bima (1999 -
2002) di Kota Bima. Sarjana pendidikan (S1) di Universitas Muhammadiyah Mataram (2006 -
2011) di Kota Mataram Nusa Tenggara Barat, kemudian melanjutkan pendidika magister (S2) di
Universitas Negeri Makassar (2013 - 2015) di bidang Ilmu Pengetahuan Sosial konsentrasi
Pendidikan Hukum dan Kewarganegaraan.
Pekerjaan: Dosen di Program Studi Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Mataram (2012 – sampai sekarang).
Organisasi Profesi: Anggota Bidang Humas di Assosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (AP3KnI) (2015-2020). Mata Kuliah yang Diampu: Pendidikan Pancasila,
Pendidikan Kewarganegaraan, Antropologi Budaya, Dasar-Dasar Konsep PKn, Geopolitik, dan
Wawasan Nusantara. Karya Ilmiah: (1) Pembentukan Persepsi Masyarakat Terhadap Kredibilitas
Partai Politik dan Anggota DPRD Berdasarkan Kinerjanya Pasca Terpilihnya Kepala Daerah di
Kabupaten Bima (Studi Kasus di Kecamatan Wera dan Sape) tahun 2012 yang diterbitkan pada
jurnal ilmiah CIVICUS tahun 2013. (2) Penerapan pendekatan deep dialog and critical thinking
terhadap berpikir kritis siswa pada pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang diterbitkan
pada jurnal ilmiah CIVICUS tahun 2015. Pertemuan Ilmiah: Pemakalah di Seminar Nasional,
judul makalah, ―Penerapan pendekatan deep dialog and critical thinking terhadap berpikir kritis
siswa pada pembelajaran pendidikan kewarganegaraan‖ di IKIP Mataram 2016. Seminar
Internasional, judul makalah ―Penggunaan Media Word Square Sebagai Upaya Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa Dengan Small Group Discussion (SGD) Pada Mata Pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan SMA‖ di Kampus IPDN Praya NTB tahun 2016, Seminar Nasional dengan
judul makalah ―Hukum Adat Samawa Sebagai Prinsip Hidup Masyarakat Multikultural‖ di
Gedung Srikandi, I6, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya tahun 2017.

Multicultural & Keberagaman Sosial


166
Hafsah, S.Pd.,M.Pd. Lahir di Desa Nggembe Bima, 06 Mei 1969
di Desa Nggembe Kecamatan Bolo Kabupaten Bima. Pendidikan:
Sarjana (S1) di Universitas Muhammadiyah Mataram (1990 – 1994) di
Kota Mataram Nusa Tenggara Barat, kemudian melanjutkan pendidika
magister (S2) di Universitas Negeri Surabaya (2005 – 2007) di bidang
Manajemen Pendidikan. Pekerjaan: Dosen PNS Kopertis Wilayah VIII di Universitas
Muhammadiyah Mataram.
Mata Kuliah yang Diampu: Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, Perencanaan
Pembelajaran PKn, Strategi Pembelajaran, Micro Teaching. Karya Ilmiah: (1) Pembentukan
Persepsi Masyarakat Terhadap Kredibilitas Partai Politik dan Anggota DPRD Berdasarkan
Kinerjanya Pasca Terpilihnya Kepala Daerah di Kabupaten Bima (Studi Kasus di Kecamatan
Wera dan Sape) tahun 2012 yang diterbitkan pada jurnal ilmiah CIVICUS tahun 2013. (2) Nilai-
nilai Karakter Bangsa dalam Upacara Boho Oi Ndeu Pada Perkawinan Masyarakat Malaju
Kabupaten Bima tahun 2013 yang diterbitkan pada jurnal ilmiah CIVICUS tahun 2014. (3)
Penerapan Metode Pembelajaran Value Clarification Technique Teknik Wawancara tahun 2014
yang diterbitkan pada jurnal ilmiah CIVICUS tahun 2014 (4) Memanfaatkan Media Lingkungan
sebagai Sumber Belajar IPS untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa di SDN 47 Mataram tahun
2015 yang diterbitkan pada jurnal ilmiah CIVICUS tahun 2015.

Multicultural & Keberagaman Sosial


167

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai