Anda di halaman 1dari 7

Dialektik Ulama Dalam Al-Muhkam 

Dan Al-Mutasyabih
25 July 2010 at 12:11 pm | Posted in AL-QURAN, Gen 5, Uncategorized | Leave a Comment
Tags: AL-QURAN, makalah, Tafsir

Oleh: Arina Amir Lc.

Pendahuluan

Allah  Swt. menurunkan  al-Quran ke muka bumi 


sebagai  petunjuk  bagi umat manusla.  al-Quran  dengan  ayat-ayatnya memberikan 
petunjuk  kepada seluruh  muslim  bagaimana  beriman dengan  akidah  yang  benar  dan 
beribadah  dengan  cara  yang  benar.  Diantara  ayat-ayat  tersebut  ada  yang  dengan
mudah  dipahami  tanpa  memerlukan penafsiran  yang  daqiq (mendalam) dan 
sebaliknya. Inilah  nantinya  yang  dikenal  dengan  al-Muhkam dan al-Mutasyabih.

Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih

Dari  segi  bahasa,  kata  al-muhkam berasal  dari kata al-ihkam yang  bermakna  al-
man’u. Sebagai  contoh  kalimat ahkama al-amr bermakna atqanahu wa mana’ahu ‘an   al-
fasad.

Sedangkan  kata al-mutasyabih bermakna  serupa  dari  segi  bentuk  dan sulit  untuk 
dibedakan.  Atau  dua  atau lebih  yang serupa  dari  segi  kata,  berbeda  dari segi makna. 
Seperti  firman Allah  Swt.  tentang  sifat  buah-buahan  di surga  “wa utu bihi
mutasyabiha” (penduduk syurga diberi buah-buahan yang serupa  bentuknya namun 
beda  rasanya).

Adapun  pemakaian  keduanya  dari segi  istilah,  terdapat  beberapa  pendapat ulama 
yaitu:
Pertama,  muhkam adalah sesuatu  yang diketahui  maknanya,  baik  secara  langsung 
maupun  melalui  takwil.  Sedangkan mutasyabih  adalah  sesuatu  yang maknanya  hanya 
diketahui  Allah  Swt saja,  seperti  hari  kiamat,  datangnya Dajal, ahruf al-muqaththa’ah
pada  permulaan  beberapa  surat  dalam  al-Quran. Ahlussunnah  menganggap  inilah 
pendapat  yang  benar.

Kedua,  muhkam adalah  sesuatu yang  hanya  mengandung  satu  makna  atau satu takwil
sedangkan mutasyabih mengandung banyak makna. Ibnu Abbas memilih pendapat ini,
begitu juga kebanyakan ahli ushul.

Ketiga, muhkan adalah sesuatu yang dipahami secara langsung tanpa perlu penjelasan.
Sedangkan mutasyabih adalah sesuatu yang membutuhkan penjelasan akibat berbedanya
penakwilan. Dengan artian mutasyabih bersifat kondisional. Pendapat ini diriwayatkan
oleh Imam Ahmad.

Keempat, muhkam adalah sesuatu yang bagus bentuk dan susunannya serta mengacu pada
satu makna jelas. Sedangkan mutasyabih adalah sesuatu yang maknanya hanya bisa
diketahui jika terdapat petunjuk yang mengacu pada makna yang dimaksud. Pendapat ini
disnisbahkan kepada Imam Haramain.

Kelima, muhkam adalah apa yang dalalahnya rajih yaitu nash dan zahir. Sedangka
mutasyabih adalah apa yang dalalahnya tidak rajih, yaitu mujmal, muawwal dan musykil.
Imam ar-Razy berpegang pada pendapat ini.

Semua pendapat di atas tidak bertentangan satu sama lain. Tetapi mayoritas ahli tahqiq
berpendapat bahwa pendapat terakhir adalah pendapat yang paling jelas.

Al-Quran dan Muhkam-Mutasyabih

Di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Al-Quran itu seluruhnya
muhkam, seperti firman Allah: ‫ كتاب أحكمت أياته‬Namun juga ada ayat yang menunjukkan
bahwa al-Quran itu seluruhnya mutasyabih, seperti firman Allah: ‫هللا نزل أحسن الحديث كتابا‬
‫ متشابها‬Namun di sisi lain terdapat ayat yang menunjukkan bahwa ayat al-Quran
sebagiannya muhkan dan sebaginnya mutasyabih, seperti firman Allah: ‫أنزل عليك الكتاب هن أم‬
‫الكتاب وأخر متشابهات‬

Muncul  pertanyaan  apakah  ayat-ayat  ini saling  bertentangan  satu  dengan  yang
lainnya?

Jawabannya adalah tidak. Penjelasannya adalah, maksud dari perkataan bahwa  al-
Quran  seluruhnya muhkam adalah, al-Quran tersusun dengan sangat  rapi  dan  teliti 
serta  tidak  terdapat kekurangan  dari  segi  lafaz maupun makna. Sedangkan yang
dimaksud dengan  al-Quran  seluruhnya mutasyabih adalah  bahwa  ayat-ayat al-Quran 
serupa dari segi  keindahan,  saling membenarkan  satu  dan yang  lainnya  dari segi
makna,  juga serupa  secara  lafaz  serta maknanya  sebagai  sebuah  mukjizat.
Adapun  pernyataan ketiga  bahwa  al-Quran  sebagiannya muhkam dan  sebagiannya 
lagi mutasyabih, maknanya  adalah  di dalam  al-Quran terdapat ayat-ayat yang  jelas
maknanya yaitu muhkam dan dan ada  ayat-ayat yang  tidak  jelas maknanya  serta butuh
penafsiran yaitu mutasyabih. Ulama  berbeda  pendapat  dalam  hal  ini sebagaimana 
dijelaskan  dalam  pengertian muhkam dan mutasyabih dari segi istilah.

Bentuk-Bentuk Mutasyabih

Ar-Raghib  mengatakan di dalam kitabnya Mufradat al-Quran bahwa  mutasyabih


mempunyai  tiga bentuk: mutasyabih dari segi lafaz, mutasyabih dari segi makna, dan
mutasyabih dari segi lafaz dan makna sekaligus.

l.  Mutasyabih dari segi  lafaz

a. Dari  segi  lafaz mufrad (tunggal) terbagi  dua:

-Disebabkan  keanehan  lafaznya, seperti  firman Allah  Swt. ‫ وفاكهة وأبا‬yang  artinya 
rumput-rumputan, dengan  dalil  ayat  setelahnya ‫متاعا لكم وألنعامكم‬

-Disebabkan  lafaznya  mengandung banyak  makna  seperti  firman Allah Swt.  ‫فراغ عليهم‬
‫ضربا باليمين‬.

b. Dari  segi  lafaz murakkab (majemuk) terbagi  tiga  bentuk:

-Karpna  disebabkan  oleh  ringkasnya perkataan  seperti  firman  Allah  Swt.

‫وإن خفتم أال تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم‬.

-Karena  disebabkan  oleh  panjangnya kalimat  seperti  firman Allah  Swt. ‫ليس كمثله شيء‬
mungkin  akan  lebih  jelas maknanya  seandainya  huruf  kaf  dihilangkan.

-Karena  disebabkan  oleh  susunan kalimatnya  seperti  firman Allah Swt.  ‫الحمد هلل الذي أنزل‬
‫على عبده الكتاب ولم يجعل له عوجا قيما‬

2.  Mutasyabih dari segi yaitu makna ayat-ayat tentang sifat Allah Swt, dan hari kiamat.
Mutasyabih  lafaz dan  makna.

3.  Dari segi sekaligus, hal ini bisa dilihat dari lima segi:

a. Dari segi umum  dan khusus seperti dalam  firman  Allah Swt. ‫فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم‬.

b. Dari  segi wajib dan  nadab seperti firman  Allah  Swt. ‫فانكحوا ما طاب لكم من النساء‬

c. Dari  segi  waktu seperti  nasikh dan mansukh,  firman Allah  Swt. ‫اتقوا هللا حق تقاته‬
d. Dari  segi  tempat  dan perkara  yang menyebabkan  turunnya  ayat seperti firman 
Allah  Swt.  ‫ إنما نسيء زيادة في الكفر‬akan  sulit mengetahui  makna ayat  ini  jika  tidak
mengetahui  adat dan  kebiasaan  orang-orang  jahiliyah.

e, Dari  segi  syarat-syarat  sah  atau  tidaknya  suatu  perbuatan  seperti syarat-syarat 
shalat  dan nikah.

Dari  bentuk-bentuk  mutasyabih  diatas  bisa  disimpulkan  bahwa  ayat-ayat


mutasyabihat  di dalam  al-Quran terbagi ke  dalam tiga bagian:

1. Apa yang tidak mungkin diketahui ilmunya  oleh manusia  seperti  ilmu tentang  zat
Allah Swt., sifatNya, ilmu tentang hari kiamat dan hal gaib lainnya  yang hanya diketahui
oleh Allah Swt.  ‫وعنده مفاتح الغيب ال يعلمها إال هللا‬

2. Apa yang  bisa diketahui  maknanya jalan oleh manusia  dengan  belajar dan  meneliti 
seperti  mutasyabih yang  disebabkan oleh  ringkasnya kalimat atau susunannya.

3. Apa yang hanya dapat diketahui  oleh para  ulama melalui  tadabur dan ijtihad.

Ayat-Ayat  Sifat

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa  ayat-ayat  mutasyabihat  di  dalam al-Quran
terbagi ke dalam beberapa bentuk.  Di antara  seluruh  bentuk  itu yang paling banyak 
diperbincangkan adalah ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah Swt (mutasyabih 
ash-shifat) dan  ayat-ayat  dipermulaan surat yang terdiri dari kumpulan huruf hijaiyah
(fawatih as-suwar). Ibnu al-Labban mengarang sebuah buku khusus  yang membahas
tentang  mutasyabih  ash-shifat berjudul ‫رد الشبهات إلى األيات المحكمات‬

Para  ulama sepakat dalam  tiga hal mengenai  mutasyabih  ash-shifat yaitu;

1. Untuk menjaga makna  ayat mutasyabih ash-shifat terhindar dari makna yang mustahil,
dengan meyakini bahwa Allah Swt. tidak mungkin memaknainya  dengan hal yang
mustahil  itu.

2. Seandainya  pembelaan  terhadap agama sangat  tergantung kepada penafsiran  ayat


mutasyabih ash-shifat maka diwajibkan untuk menafsirkannya dengan penafsiran  yang
menghilangkan  keraguan.

3. Jika sebuah ayat mutasyabih ash-shifat mempunyai  satu penakwilan yang dekat 
maknanya,  ulama sepakat untuk  memakai  penakwilan tersebut.

Seperti  fiman  Allah Swt. ‫ وهو معكم أين ما كنتم‬keberadaan Allah Swt. tidak mungkin sama
dengan makhluk, dan hal ini sangat mustahil. Sehingga  yang tersisa  hanya satu
penakwilan yaitu bahwa ilmu Allah Swt. melingkupi makhluk  dari  segi pendengaran,
penglihatan, keinginan,  dan kemampuan.
Selain  tiga  hal di atas  para ulama berbeda  pendapat  mengenal  mutasyabih ash-shifat
dalam  ayat-ayat  al-Quran, pendapat-pendapat ulama  terbagi  menjadi tiga:

Pertama, mazhab  salaf yang menyerahkan makna ayat-ayat  ini kepada Allah Swt. 
setelah menjauhkannya  dari makna-makna yang mustahil. Dalil mazhab ini adalah:

a. Dalil  aqli, bahwa penentuan makna dari  ayat-ayat  ini bergantung  kepada kaidah-
kaidah  bahasa  dan bagaimana orang Arab menggunakannya.  Hal  ini hanya  bersifat 
zhan dan  bukan  yaqin. Sementara  sifat-sifat  Allah Swt.  termasuk bagian  dari akidah
yang mengharuskan  dalil yang  qath’l  bukan zhanni.  Olen karena  itu  ayat-ayat  Ini
tidak  ditafsirkan  dan maknanya  diserahkan  kepada Allah Swt.

b. Dalil naqli, mazhab  ini berpegang kepada  beberapa  hal:

 Hadis Aisyah  ra. bahwa Rasulullah membaca ayat ini (Ali Imran:3)  lalu
Rasulullah  bersabda ‫فإذا رأيت الذين يتبعون ما تشابه منه فألئك الذين سمى هللا فاحذروهم‬.
 Ath-Thabrany  meriwayatkan  dari Abu Malik al-Asy’ary bahwa dia mendengar
Rasulullah  Saw. bersabda “Aku tidak  khawatir  terhadap  umatku  kecuali  atas 
tiga  perkara: mereka  mempunyai  banyak  harta  sehingga  saling iri  dan  saling 
bunuh  dan  dibukakan kepada  mereka  kitab  lalu seorang mukmin
menghendakinya dan ingin mentakwilkannya ‫ وما يعلم تأويله إال هللا‬.
 Imam  Malik  ra. pernah ditanya  tentang makna “istiwa” dalam  firman Allah Swt.
‫ الرحمان على العرش استوى‬lalu beliau menjawab  ‫االستواء معلوم والكيف مجهول واأليمان به واجب‬
‫والسؤال عنه بدعة وأظنك رجل سيء أخرجوه عني‬

Kedua,  mazhab  khalaf yang mencoba menakwilkan  ayat-ayat  sifat dengan makna  yang
pantas bagi zat Allah Swt.

Ketiga,  mazhab  netral  adalah pendapat dengan menoleransikan  kedua mazhab di atas. 
Ibn Daqiq al-Id  mengatakan2  “Kalau  ayat-ayat sifat  ditakwilkan  dengan  makna  yang 
tidak asing bagi  orang  Arab  maka  makna ini  diterima. Tetapi jika maknanya jauh  dari
makna yang dipahami orang Arab, maka tidak  perlu ditakwilkan.  Kewajiban kita cukup 
beriman dengan makna yang diinginkan Allah Swt.

Hikmah  Adanya  Ayat-ayat  Mutasyabihat

Sesungguhnya ayat-ayat mutasyabihat ini mengandung hikmah tersendiri.  Ketika


ditadaburi memberi-kan efek berupa penambahan rasa yakin bahwa al-Quran merupakan
suatu mukjizat  yang  tidak  ada tandingannya.
Diantara  hikmahnya  menurut 
ulama adalah:

-Ayat-ayat  mutasyabihat  yang  mungkin diketahul maknanya:

1. Mendorong seorang pembaca  lebih berusaha untuk  mengetahui makna apa yang 
dibacanya.  Semakin berusaha seseorang memahami maknanya  semakin  bertambah 
pahala yang  didapatnya.

2.  Seseorang  yang membaca arat  mutasyabihat dan  ingin mengetahui maknanya akan 
terdorong untuk mendalami  ilmu-ilmu yang lain, seperti  ilmu  bahasa, nahwu dan ilmu
ushul  fiqh.

3.  Memperlihatkan  kelebihan orang yang berilmu dengan selainnya. Seseorang  yang
telah mengetahui makna  satu  ayat mutasyabihat akan semakin bersemangat untuk
mengetahui  makna  lainnya.

4.  Adanya ayat mutasyabihat mendorong  pembacanya  untuk menggunakan  nalar  akal 
dalam  memahaminya.  Karena  seandainya  seluruh al-Quran  muhkam,  mungkin
pembaca  al-Quran  akan  cenderung untuk memahami  apa  adanya  tanpa perlu
mempelajari  dan meneliti makna ayat-ayat mutasyabih tersebut.

-Ayat-ayat  mutasyabihat yang maknanya  hanya  diketahui  Allah  swt.

1. Sebagai  rahmat  Allah  Swt.  bagi hamba-Nya  yang  tidak  mampu  mengetahui segala
sesuatu. Karena  itulah Allah Swt tidak mengatakan di dalam al-Quran  kapan  akan 
terjadinya kiamat sebagaimana Allah Swt tidak mengatakan  kapan  ajal  seseorang
manusia  akan  datang.  Sehingga manusia tidak malas untuk mempersiapkan bekal
menghadap-Nya.

2. Allah Swt. menurunkan  ayat-ayat mutasyabihat  sebagai ujian dan cobaan  bagi 
hamba-Nya.  Apakah beriman  dengan  apa yang  maknanya  dikaburkan  oleh  Allah 
Swt.dan  menyerahkan sepenuhnya  ke[ada-Nya atau  tetap bergelut  dengan ayat-ayat itu
untuk memahami  maknanya?

3. Sebagai  dalil  bahwa  pada hakikatnya manusia  adalah  makhluk yang  lemah dan
bodoh  walaupun memiliki ilmu  yang  banyak.  Juga  sebagai bukti akan kebesaran 
kuasa  Allah  Swt.  Dan keluasan  ilmu-Nya  yang  mencakup segala  sesuatu  di  langit dan 
di bumi.

Penutup

Dari  pembahasan  di atas  dapat dipahami  bahwa  mengetahui  muhkam dan mutasyabih 
yang  terdapat  di dalam al-Quran  adalah  sebuah  kemestian. Karena ayat mutasyabihat
harus  dipahami sesuai  dengan  bentuknya,  apakah ayat  tersebut  boleh  dipahami  apa
adanya  atau  wajib  mengembalikan maknanya  ke makna  muhkam atau maknanya 
diserahkan  sepenuhnya kepada  Allah  Swt. Wallahu A’lam.

*Pernah diterbitkan Buletin Menara

Anda mungkin juga menyukai