OLEH:
PURWO SUBEKTI/ F361150141, Universitas Pasir Pengaraian
ACENG KURNIAWAN/ F361150021, Universitas Negeri Papua
UNTUNG TRIMO LAKSONO/ F361150011, Politeknik Negeri Pontianak
RAHMAD FADHIL/ F361150061, Universitas Syah Kuala
DEDI DWI HARYADI/ F361150031, Politeknik Negeri Jakarta
MUJI PARAMUJI/ F361150111, Universitas Islam Sumatera Utara
1. PENDAHULUAN
1
nenek moyang mereka. masyarakat melakukan aktivitas pertanian mengikuti musim,
teknologi yang turun-temurun serta cenderung tidak berkehendak mendapatkan hasil
yang lebih banyak. Adanya mitos dan kepercayaan masyarakat dalam bidang pertanian
juga menjadikan perkembangan pertanian di Indonesia relatif lambat setidaknya hingga
tahun 1969 (awal Orde Baru). Selanjutnya pemerintah Indonesia melakukan berbagai
kajian dan perbaikan dalam bidang pertanian baik dari teknologi, sumberdaya manusia,
lahan, bibit, dan lainnya guna meningkatkan produkstivitas hasil pertanian.
Pemerintah Indonesia pada waktu itu melaksanakan modernisasi pertanian
dengan melakukan intensifikasi yang dikenal dengan sebutan ‘revolusi hijau’.
Pemerintah Indonesia menterjemahkannya menjadi istilah Bimbingan Massal (Bimas),
sebagai strateginya. Motivasi dibelakang strategi ini sederhana yaitu adanya
kompleksitas masalah jumlah penduduk, kemiskinan, dan penyediaan pangan adalah
tantangan paling besar yang dihadapi pemerintah saat itu. Jumlah penduduk Indonesia
pada waktu itu sekitar 120 juta jiwa dengan pertumbuhan rata-rata 2,3% per tahun, dan
sebagian besar di Jawa, yang merupakan pusat produksi beras nasional. Juga pada awal-
awal pemerintahan Orde Baru, produksi pertanian, khususnya beras, sangat rendah.
Pada tahun 1968, misalnya, produksi beras nasional rata-rata 1,27 juta ton per hektar
(ha) dengan luas tanam sekitar 8,02 juta ha (Pambudy 2008).
Strategi intensifikasi pertanian yang dilakukan ditandai dengan pemakaian
input-input yang lebih baik atau sering disebut “input pertanian modern” seperti pupuk
buatan pabrik atau nonorganik, insektisida, dan bibit unggul, teknologi baru (termasuk
sistem irigasi teknis), cara pemasaran yang modern, dan proses produksi dengan tingkat
mekanisasi yang tinggi. Strategi ini yang juga diikuti dengan penggunaan benih
monokultur. Intensifikasi ini juga dilaksanakan bersama-sama dengan investasi publik
yang masif di pedesaan, termasuk pendidikan, pembangunan jalan raya dan fasilitas-
fasilitas listrik dan telekomunikasi. Tujuan utama dari strategi ini ada dua, yakni
meningkatkan produktivitas di sektor tersebut untuk mencapai swasembada pangan,
khususnya beras, dan meningkatkan pendapatan riil per kapita di sektor itu pada
khususnya dan di pedesaan pada umumnya yang selanjutnya bisa mengurangi
kemiskinan. Selain itu modernisasi di bidang pertanian juga bertujuan untuk
mendukung pembangunan industri nasional, terutama industri yang menggunakan
komoditas pertanian sebagai bahan baku utama, seperti industri makanan dan minuman.
Dampak dari strategi revolusi hijau yang dilakukan pemerintah Indonesia baru
mulai berkembang sekitar tahun 1975. Model pertanian yang dilakukan dalam strategi
tersebut terbagi ke dalam tiga generasi. Generasi I yaitu generasi pertanian yang
menghasilkan bibit. Generasi II yaitu generasi penghasil komoditas pertanian. Generasi
III yaitu generasi yang meningkatkan nilai tambah hasil pertanian atau dengan kata lain
agroindustri. Ketiga generasi tersebut tidak dapat berjalan sendiri-sendiri karena
ketiganya saling mendukung.
2
semua ukuran, baik yang dua maupun empat ban (diukur dalam tenaga kuda yang
tersedia), mengalami suatu peningkatan dari sekitar 7,5% per tahun sebelum era
revolusi hijau ke sekitar 14,3% per tahun selama pelaksanaan strategi tersebut. Namun
demikian, pemakaian input ini per hektarnya di Indonesia tetap kecil dibandingkan di
negara-negara Asia lainnya tersebut.
Relatif rendahnya jumlah traktor per ha di Indonesia memang memunculkan
pertanyaan seputar penyebab utamanya. Sayangnya, sulit sekali menemukan studi-studi
kasus yang meneliti persoalan ini. Namun demikian, kemungkinan bisa disebabkan oleh
beberapa hal berikut ini. Pertama, biaya pemakaian dan pemeliharaannya yang mahal
seperti biaya penggantian onderdil dan bahan bakar. Alasan ini bisa dianggap sangat
memungkinkan karena menurut data dari Sensus Pertanian, sebagian besar petani di
Indonesia adalah dari kategori gurem yakni petani miskin tanpa atau dengan lahan
sendiri yang sangat kecil. Mungkin banyak petani akan menganggap pupuk dan
pestisida jauh lebih penting daripada traktor. Dengan kata lain, mereka lebih bersedia
mengeluarkan uang untuk membeli pupuk dan pestisida daripada membeli atau
menyewa sebuah traktor. Bertani tanpa pupuk dan pestisida dianggap tidak mungkin
oleh petani Indonesia, tetapi pemakaian traktor bisa diganti dengan cara lain, seperti
pemakaian tenaga binatang. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa akses petani ke
kredit bank sangat sulit, khususnya bagi petani-petani dari komoditas–komoditas
dengan tingkat komersial atau nilai pasar yang rendah seperti padi, yang oleh perbankan
dianggap sebagai usaha pertanian yang sama sekali tidak menguntungkan jika
dibandingkan dengan misalnya pengusaha/petani kelapa sawit. Kemungkinan kedua
adalah lahan yang kecil. Data dari Sensus Pertanian menunjukkan bahwa distribusi
lahan pertanian di Indonesia sangat timpang dengan mayoritas petani berlahan sempit
dari kelompok petani yang punya lahan sendiri. Tentu dengan lahan sempit, traktorisasi
menjadi tidak efisien; jauh lebih murah menggunakan binatang hidup (kerbau) yang
menghasilkan output yang tetap sama dengan yang dihasilkan dengan memakai traktor,
ceteris paribus, faktor-faktor lain konstan Ketiga, budaya dan pendidikan. Pemakaian
binatang hidup merupakan cara tradisional dalam mengerjakan lahan pertanian yang
sudah berlangsung lama secara turun temurun. Budaya ini yang sudah melekat pada
masyarakat pertanian dan ditambah lagi dengan tingkat pendidikan petani yang rendah
memperkuat keengganan banyak petani untuk mensubstitusi binatang hidup dengan
traktor.
Sedangkan dalam hal pupuk non-organik, pemakaiannya di pertanian Indonesia
sangat tinggi dibandingkan dengan di negara-negara Asia lainnya itu. Dalam 10 hingga
20 tahun, laju pertumbuhannya rata-rata per tahun meningkat dari sekitar 1,7% dalam
dekade 60an ke 16% selama periode 1970an-1980an, yang membuat pemakaian pupuk
modern ini per hektar juga mengalami suatu peningkatan dari sekitar 1,3% ke 13,6%
rata-rata per tahun selama periode yang sama (Gambar 1).
3
Gambar 1. Grafik pemakaian pupuk (Kg/ha) di pertanian beberapa negara di Asia.
Tabel 1 Biaya dari pemakaian pupuk, pestisida, dan bibit dalam penanaman padi
(sawah dan ladang) di Indonesia periode 1998-1999
4
Peran Teknologi Dalam Pembangunan Pertanian
Kemajuan dan pembangunan dalam bidang apapun tidak dapat dilepaskan dari
kemajuan teknologi. Revolusi pertanian didorong oleh penemuan mesin-mesin dan
cara-cara baru dalam bidang pertanian. Teknologi yang senantiasa berubah merupakan
syarat mutlak adanya pembangunan pertanian. Apabila tidak ada perubahan dalam
teknologi maka pembangunan pertanian pun terhenti. Produksi terhenti kenaikannya,
bahkan dapat menurun karena merosotnya kesuburan tanah atau karena kerusakan yang
makin meningkat oleh hama penyakit yang semakin merajalela.
Teknologi sering diartikan sebagai ilmu yang berhubungan dengan keterampilan
di bidang industri. Teknologi pertanian dapat juga diartikan sebagai cara-cara untuk
melakukan pekerjaan usaha tani. Di dalamnya termasuk cara-cara bagaimana petani
menyebarkan benih, memelihara tanaman dan memungut hasil serta memelihara ternak.
Termasuk pula didalamnya benih, pupuk, pestisida, obat-obatan serta makanan ternak
yang dipergunakan, perkakas, alat dan sumber tenaga. Termasuk juga didalamnya
berbagai kombinasi cabang usaha, agar tenaga petani dan tanahnya dapat digunakan
sebaik mungkin. Teknologi baru yang diterapkan dalam bidang pertanian selalu
dimaksudkan untuk menaikkan produktivitas, apakah untuk produktivitas tanah, modal
atau tenaga kerja. Seperti halnya traktor lebih produktif daripada cangkul, pupuk buatan
lebih produktif daripada pupuk hijau dan pupuk kandang, menanam padi dengan baris
lebih produktif daripada menanamnya tidak teratur. Demikianlah masih banyak lagi
cara-cara bertani baru dimana petani setiap waktu dapat meningkatkan produktivitas
pertanian.
Dalam menganalisa peranan teknologi baru dalam pembangunan pertanian,
digunakan dua istilah lain yang sebenarnya berbeda namun dapat dianggap sama yaitu
perubahan teknik (technical change) dan inovasi (inovation). Istilah perubahan teknik
jelas menunjukkan unsur perubahan suatu cara baik dalam produksi maupun dalam
distribusi barang-barang dan jasa-jasa yang menjurus ke arah perbaikan dan
peningkatan produktivitas. Misalnya ada petani yang berhasil mendapatkan hasil yang
lebih tinggi daripada rekan-rekannya karena ia menggunakan sistem pengairan yang
lebih teratur. Caranya hanya dengan menggenangi sawah pada saat-saat tertentu pada
waktu menyebarkan pupuk dan sesudah itu mengeringkannya untuk memberikan
kesempatan kepada tanaman untuk mengisapnya. Sedangkan inovasi berarti pula suatu
penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya,
artinya selalu bersifat baru. Sebagai contoh, penerapan bibit karet yang unggul dalam
penanaman baru adalah inovasi.
Bila petani telah terangsang untuk membangun dan menaikkan produksi maka ia
tidak boleh dikecewakan. Kalau pada suatu daerah petani telah diyakinkan akan
kebaikan mutu suatu jenis bibit unggul atau oleh efektivitas penggunaan pupuk tertentu
atau oleh mujarabnya obat pemberantas hama dan penyakit, maka bibit unggul, pupuk
dan obat-obatan yang telah didemonstrasikan itu harus benar-benar tersedia secara lokal
didekat petani, dimana petani dapat membelinya.
Kebanyakan metode baru yang dapat meningkatkan produksi pertanian,
memerlukan penggunaan bahan-bahan dan alat-alat produksi khusus oleh petani.
Diantaranya termasuk bibit, pupuk, pestisida, makanan dan obat ternak serta perkakas.
Pembangunan pertanian menghendaki kesemuanya itu tersedia di dekat lokasi usaha
tani dalam jumlah yang cukup banyak untuk memenuhi keperluan tiap petani yang
membutuhkan dan menggunakannya dalam usaha taninya.
5
Cara-cara kerja usaha tani yang lebih baik, pasar yang mudah dijangkau dan
tersedianya sarana dan alat produksi memberi kesempatan kepada petani untuk
menaikkan produksi. Begitu pula dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
menjadi perangsang produksi bagi petani. Pemerintah menciptakan kebijak-kebijakan
khusus yang dapat merangsang pembangunan pertanian. Misalnya kebijakan harga
beras minimum, subsidi harga pupuk, kegiatan-kegiatan penyuluhan pertanian yang
intensif dll. Pendidikan pembangunan pada petani-petani di desa, baik mengenai teknik-
teknik baru dalam pertanian maupun mengenai keterampilan-keterampilan lainnya juga
sangat membantu menciptakan iklim yang menggiatkan usaha pembangunan.
Akhirnya kebijaksanaan harga pada umumnya yang menjamin stabilitas harga-
harga hasil pertanian merupakan contoh yang dapat meningkatkan rangsangan pada
petani untuk bekerja lebih giat dan mereka akan lebih pasti dalam usaha untuk
meningkatkan produksi. Dalam pembangunan pertanian terdapat unsur perangkutan.
Tanpa perangkutan yang efisien dan murah maka pembangunan pertanian tidak dapat
diadakan secara efektif. Pentingnya perangkutan adalah bahwa produksi pertanian harus
tersebar meluas, sehingga diperlukan jaringan perangkutan yang menyebar luas, untuk
membawa sarana dan alat produksi ke tiap usaha tani dan membawa hasil usaha tani ke
pasaran konsumen baik di kota besar dan/atau kota kecil. Selanjutnya, perangkutan
haruslah diusahakan semurah mungkin. Bagi petani, harga suatu input seperti pupuk
adalah harga pabrik ditambah biaya angkut ke usaha taninya. Uang yang diterimanya
dari penjualan hasil pertanian adalah harga di pasar pusat dikurangi dengan biaya
angkut hasil pertanian tersebut dari usaha tani ke pasar. Jika biaya angkut terlalu tinggi,
maka pupuk akan menjadi terlalu mahal bagi petani dan uang yang diterimanya dari
penjualan hasil pertanian tersebut akan menjadi terlalu sedikit. Sebaliknya, jika biaya
angkut rendah, maka uang yang diterima oleh petani akan menjadi tinggi.
Berbagai sarana angkutan dekat maupun jarak jauh, harus membentuk sistem
pengangkutan yang merupakan satu kesatuan yang harmonis. Tidak hanya jalan raya
yang diaspal, jalan setapak, jalan tanah, saluran air, jalan raya, sungai dan jalan kereta
api semuanya ikut memperlancar perangkutan. Beberapa diantaranya dapat dibuat dan
dipelihara oleh usaha setempat, termasuk pemerintah setempat. Beberapa lagi perlu
dibangun dan dipelihara oleh pemerintah propinsi dan pusat.
Kesemuanya harus dihubungkan dan diintegrasikan satu dengan yang lainnya,
sehingga hasil pertanian dapat diangkut dengan lancar dari usaha tani ke pasar-pasar
pusat. Demikian pula sarana dan alat produksi serta berbagai jasa tidak hanya perlu
sampai ke kota kecil dan desa, melainkan juga sampai ke usaha tani itu sendiri.
6
Berikut adalah daftar beberapa contoh penggunaan alat/bahan dari hasil perkembangan
teknologi di bidang pertanian (tabel 2).
Tabel 2 Beberapa contoh alat mekanisasi pertanian pada revolusi hijau di Indonesia.
7
Hammermill adalah jenis
mesin penepung yang
digunakan untuk
menghacurkan dan
4. Hammer
menghaluskan bahan - bahan
mill
yang keras sampai menjadi
tepung. Bahan-bahan yang
bisa dijadikan tepung dengan
mesin ini antara lain biji
jagung, tulang ikan dan
sebagainya.
8
3. TEKNOLOGI PENGOLAHAN PALM OIL MILL EFFLUENT
(POME)
9
Aplikasi tanah (land application), sistem ini tidak disarankan karena
memerlukan biaya yang cukup besar. Selain itu teknologi ini masih memerlukan
kolam tanpa udara dan masih menghasilkan gas metan.
Penggunaan tandan kosong kelapa sawit menjadi kompos, POME digunakan
sebagai bahan penyiram pada proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit
seperti pada Gambar 3. Teknologi ini bagus untuk dilaksanakan. Teknologi ini
memerlukan sedikit investasi yang tinggi tetapi mendapat keuntungan dengan
hasil penjualan kompos.
Penggunaan POME untuk menghasilkan energi. Teknologi untuk menghasilkan
energi adalah dengan cara menangkap gas metana. Teknologi penangkapan gas
metana ada yang membangun tangki (biogas reactor) baru yang berada diatas
permukaan (Gambar 4) atau dengan menutup kolam limbah yang ada dengan
menggunakan penutup dengan bahan parasut tebal (covered lagoon).
Selain menghasilkan gas Metana sebagai energi, saat ini POME juga dapat
menghasilkan gas Hidrogen sebagai energi. POME menghasilkan gas hidrogen dengan
menggunakan teknologi elektrokoagulasi. Teknologi pengolahan limbah kelapa sawit
saat ini sudah bermacam-macam dan memiliki tujuan yang berlainan. Ada teknologi
yang mengharuskan untuk berinvestasi lebih, tetapi akan mendapatkan keuntungan dari
penjualan produk ataupun hasil dari teknologi pengolahan limbah tersebut. Masing-
masing teknologi memiliki kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu, jika kita ingin
memilih teknologi mana yang akan digunakan haruslah disesuaikan dengan kondisi
PKS dan juga kemampuan finansial.
Pada saat ini ada beberapa pabrik kelapa sawit yang telah berinvestasi untuk
listrik dari POME. Tak banyak pabrik minyak sawit yang berinvestasi untuk listrik dari
POME karena kurang memahami proses penjualan listrik yang dapat dihasilkan,
dibandingkan dengan keuntungan yang cepat diperoleh dari perkebunan dan pengolahan
sawit. Selain itu, pabrik dan pihak perbankan belum memahami teknologi dan peluang
usaha POME, tabel 3 dan gambar 2 memperlihatkan potensi listrik dan prosesproduksi
metana dari POME untuk konversi energi listrik dan lainnya.
10
Tabel 3. Potensi listrik dari limbah cair kelapa sawit berdasarkan kapasitas pabrik
11
4. DAMPAK PERKEMBANGAN TEKNOLOGI
Revolusi Hijau pada era orde baru memang telah menghantarkan Indonesia
berswasembada beras dan mampu meningkatkan produksi padi nasional hampir tiga
kali lipat (289 persen) selama 30 tahun. Dalam dua dasawarsa terakhir disadari adanya
beberapa kelemahan dan dampak negatif dan Revolusi hijau yang patut dikoreksi.
Pertama, perhatian saat itu lebih terfokus dan terlalu menghandalkan lahan sawah
irigasi sebagai media produksi padi, sementara lahan suboptimal kurang mendapat
perhatian.
Kedua, intensifikasi padi cenderung pada penggunaan input (agrokimia) tinggi yang
menyebabkan rendahnya kelenturan Sistem Usaha Tani (SUT) padi.
Ketiga, kelestarian sumber daya (lahan dan lingkungan), kearifan dan sumber daya lokal
kurang mendapat perhatian.
Keempat, upaya peningkatan produksi padi belum sepenuhnya berhasil meningkatkan
kesejahteraan petani.
Gejala pelandaian produktivitas dan produksi padi nasional sejak beberapa
dasawarsa terakhir akibat makin tipisnya perbedaan daya hasil berbagai Varietas
Unggul Hibrida (VUB) terhadap potensi genetiknya, makin mendorong perlunya
koreksi terhadap revolusi hijau pertama. Apalagi makin mengemukanya isu lingkungan,
perubahan iklim (global warming), konversi dan degradasi lahan, serta makin
menggemanya tuntutan terhadap keamanan pangan (food savety). Koreksi terhadap
revolusi hijau mulai mengemuka pada Science Academic Summit pada tahun 1996 di
Madras, India, dengan istilah Evergreen Revolution (Revolusi Hijau Lestari, RHL), dan
pada World Food Summit tahun 1996 di FAO, Roma, dengan istilah New Green
Revolution atau New Generation of Green Revolution. Strategi utama dari koreksi
tersebut adalah untuk memacu kembali laju kenaikan produksi pangan tanpa merusak
lingkungan dan dengan menggunakan teknologi yang padat IPTEK dengan sebutan
greener food production growth.
Di era globalisasi pada masa sekarang ini, memaksa kita khususnya masayarakat
Indonesia untuk bisa mengenal dan memahami berbagai perkembangan teknologi,
namun demikian tidak sedikit dari kita yang serba ketinggalan dengan perkembangan
teknologi. Secara jangka panjang, perkembangan teknologi memberikan arti yang
sangat positif, namun di sisi lain tidak sedikit pula yang membawa dampak negatif.
12
2. Mempermudah meluasnya berbagai informasi
Informasi merupakan hal yang sangat penting bagi kita, terlebih lagi ketika
berbagai media cetak dan elektronik berkembang pesat. Hal ini memaksa kita untuk
mau tidak mau harus bias dan selalu mendapatkan berbagai informasi. Pada masa
dahulu, kegiatan pengiriman berita sangat lambat, hal ini dikarenakan kegiatan tersebut
masih dilakukan secara tradisional baik itu secara lisan maupun dengan menggunakan
sepucuk surat. Namun sekarang kegiatan semacam ini sudah hampir punah, dimana
perkembangan IPTEK telah merubah segalanya, dan kitapun tidak perlu menunggu
lama untuk mengirim atau menerima berita.
13
lumpuh, hutan gundul sehingga banyak menimbulkan berbagai macam bencana seperti
banjir, tanah longsor serta polusi tejadi di mana-mana.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
6. DAFTAR PUSTAKA
Kuhn, Thomas., 2005. The structure of scientific revolutions (peran paradigma dalam
revolusi sains), Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Las I. 2009. Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan ke Depan. Badan Litbang
Pertanian. Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, 14 Januari 2009.
Mellinium Challenge Account, 2014, Pembangkit Listrik dari Limbah Cair Pabrik
Kelapa Sawit . Jakarta Indonesia
Pambudy NM. 2008. Kebijakan Orde Baru. Belajar dari Pembangunan Pertanian
Soeharto. Kompas, Bisnis & Keuangan, Kamis, 31 Januari 2011.
Surajiyo, 2008. Filsafat dan perkembangan di indonesia, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Sadar, Ziauddin., 2002. Thomas Khun dan Perang Ilmu, Yogyakarta: Penerbit Jendela
http://www.sawitindonesia.com/inovasi/teknologi-pengolahan-limbah-pabrik-kelapa-
sawit , 22/11/2015
14