Anda di halaman 1dari 35

TUGAS I

ETIKA ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

NAMA MAHASISWA : SHINTA WULANDARI LAY

NIM : 031483547

UPBJJ-UT : KUPANG

UNIVERSITAS TERBUKA

PROGRAM STUDY ILMU ADMINISTRASI NEGARA

TAHUN 2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka pemerintah memiliki fungsi memberikan
berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam
bentuk pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utilitas, dan lainnya. Pelayanan publik
dengan demikian merupakan segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar
sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan
atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan yang terkait
dengan kepentingan publik.
Fakta bahwa pelayanan publik di Indonesia belum menunjukan kinerja yang efektif
sering menjadi bahasan, baik dari segi tulisan maupun penelitian. Permasalahan pelayanan
publik yang tidak efektif ini dipicu oleh beberapa hal yang kompleks, mulai dari budaya
organisasi yang masih bersifat paternalistik, lingkungan kerja yang tidak kondusif
terhadap perubahan zaman, rendahya sistem reward dalam birokrasi Indonesia, lemahnya
mekanisme panishment, bagi aparat birokrasi, rendahnya kemampuan aparat birokrasi
untuk melakukan tindakan diskresi, serta kelangkaan komitmen pimpinan daerah untuk
menciptakan pelayanan publik yang responsif, akuntabel, dan transparan. Di masa
otonomi daerah yang memberi keleluasaan bagi setiap kabupaten/kota untuk menjalankan
pemerintahan atas dasar kebutuhan dan kepentingan daerah sendiri ternyata juga belum
mampu mewujudkan pelayanan publik yang efektif.
Kegagalan birokrasi pemerintahan dalam menyelenggarakan pelayanan publik
yang menghargai hak dan martabat warga negara sebagai pengguna pelayanan tidak hanya
melemahkan legitimasi pemerintahan di mata publiknya. Namun, hal itu juga berdampak
pada hal yang lebih luas, yaitu ketidak percayaan pihak swasta dan pihak asing untuk
menanamkan investasinya di suatu daerah karena ketidakpastian dalam pemberian
pelayanan publik.
Birokrasi, dunia usaha dan masyarakat adalah tiga pilar utama dalam upaya
mewujudkan pelaksanaan pemerintah yang baik dikenal dengan konsep  “good
governance”. Birokrasi sebagai organisasi formal memiliki kedudukan dan cara kerja yang
terikat dengan peraturan, memiliki kompetensi sesuai jabatan atau wewenang, semangat
pelayanan public, pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu serta sumber
daya organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal. Jika kondisi ini bias
terpenuhi maka harapan mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara yang demokratis akan
membawa kebaikan bagi Negara dan bangsa ini.
Karena itu birokrasi harus bisa dipahami, melalui peran dan kemampuannya,
menunjang pelaksanaan sistem pemerintahan, baik dalam merespon berbagai
permasalahan maupun dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Inti salah satu
kondisi birokrasi yang professional adalah memberikan pelayanan tewrhadap masyarakat
(public service), sehingga cita-cita, inisiatif dan upaya-upaya birokrasi perlu diarahkan
guna memiliki wawasan pelayanan public. Birokrasi hadir sebagai kreasi dari penguasa
untuk memberikan pelayanan kepada penguasa, dengan tujuan untuk memperluas dan
memperbesar serta mempertahankan kekkuasaan. Dengan reformasi birokrasi yang
dilakukan, konseppelayanan pun dilakukan perubahan, dari orientasi pelayanan penguasa
sampai saatnya menuju orientasi pelayanan public.

B. PERUMUSAN MASALAH
Jika dilihat dari keluhan masyarakat tentang kinerja birokrasi pemerintahan,
kenyataan tersebut telah lama ada sejak pemerintahan itu sendiri ada, dan jika dilihat dari
kurun waktu dalam upaya mem-perbaiki kinerja birokrasi, kenyataan terse -but usianya
juga sudah sangat tua. Meski-pun demikian, masalah kinerja birokrasi sampai den gan
dewasa ini, masih saja tetap hangat dipersoalkan oleh banyak pihak

C. TUJUAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk :
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan reformasi, birokrasi, dan pelayanan publik.
2. Mengetahui permasalahan ataupun kendala-kendala yang terjadi dalam pelayanan
publik.
3. Mengetahui tindakan yang sudah dilakukan dalam mereformasi pelayanan publik di
Indonesia.
4. Mengetahui tindakan apa saja yang perlu dilakukan dalam mereformasi pelayanan
publik.
5. Mengetahui solusi atas masalah pelayanan publik.
BAB II
PEMBAHANSAN

A. PENGERTIAN BIROKRASI
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia”
(cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk
pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui
kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa Inggris secara
umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan
public sector, public service atau public administration.
Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu
sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional
dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas
kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar
(disarikan dari Blau & Meyer, 1971; Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam
Setiwan,1998).

B. BIROKRASI DI INDONESIA : ERA 60AN DAN KONDISI SAAT KINI


Selama lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka, birokrasi telah berperan besar dalam
perjalanan hidup. Khususnya, setelah reformasi politik di tanah air tahun 1998, upaya-
upaya pembaharuan dalam manajemen pemerintahan terus dilakukan untuk
meningkatkan kinerja birokrasi. Selama orde baru, birokrasi memiliki andil besar dalam
proses pembangunan. Pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan seperti pelayanan public,
regulasi, proteksi, dan distribusi pada dasarnya di topang oleh demokrasi. Namun, peran
birokrasi pada masa itu tidak menunjukkan potret yang baik. Persepsi masyarakat
memperlihatkan bahwa citra dan kinerja birokrasi masih harus lebih ditingkatkan.
Bahkan, masyarakat terkesan enggan untuk berurusan dengan birokrasi, karena
berkonotasi dengan citra negative seperti redahnya kualitas pelayanan public, berprilaku
korup dan nepotism (KKN), memiliki kecenderunga untuk memusatkan kewenangan,
masih rendahnya profesionalisme, dan tidak terdapatnya budaya dan etika yang baik.
Tanggapan negative masih tertanam bahkan setelah lebih dari 16 tahun reformasi
1998 begulir perbaikan birokrasi yang dicanagkan pemerintah selama ini belum berjalan
secara optimal. Berbagai  upaya perbaikan telah diupayakan, namun belum dapat
menciptakan system birokrasi yang mantap dan membawa konsekwensi terlaksananya
agenda reformasi secara cepat dan tepat.   Perbaikan birokrasi belum juga menunjukkan
gejala perbaikan yang positif. Bahkan sebaliknya kelembagaan birokrasi semakin
transparan dalam melakukan korupsi dan akuntabilitas public menjadi pertanyaan besar.
Hasil penelitian lembaga Political and Economic Risk Consultansy (PERC) yang
dilakukan pada tahun 2002, Indonesia masuk Negara yang terpuruk birokrasinya., sampai
saat ini belum mengalami perubahan yang cukup signifikan. Laporan terakhir World
Economic Forum (WEF) tahun 2004 tentang Global Competitiveness Ranking (GCR)
bahkan menempatkan Indonesia berada di urutan ke-69 dari 104 negara yang diamati.
Salah satu aspek penilaian adalah birokrasi pemerintah (kelembagaan pemerintah) yang
mengindikasikan sejauh mana lembaga pemerintah memberikan kemampuan pelayanan
yang baik berorientasi pada pelanggan atau public, minjimya korupsi, atau berorientasi
pada kerangka hokum yang jelas.
Banyak factor yang signifikan menjelaskan kondisi keterpurukan birokrasi di tanah
air, dan beberapa dijelaskan dalam uraian sebagai berikut.
a. Masih lemahnya kesadaran dan kemampuan untuk melakukan prinsip-prinsip good
governance dengan baik. Jika hal ini dilakukan secara baik, maka masyarakat akan
dapat memahami dan merasakan peran dan fungsi birokrasi yang sesungguhnya
pada saat mendapatkan pelayanan. Di samping itu, masyarakat yang memahami
dengan baik akan peran fungsi birokrasi akan menjadi kekuatan yang baik dalam
melakukan perubahan secara efisien, namun juga bisa terjadi sebaliknya menjadi
kelemahan dan bahkan penghambat dalam melakukan perubahan. Di masa
reformasi banyak yang optimis bahwa kinerja birokrasi di Indonesia akan semakin
membaik. Hal ini diperkuat oleh adanya perubahan mendasar dalam administrasi
public dan pemerintahan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU
Nomor 22 Tahun 1999 (telah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah), pemerintah hanya mengelolah enam bidang saja,
yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanam, peradilan, moneter, fiscal dan
agama, serta beberapa bidang lainnya. Konsekwensinya adalah adanya perubahan
kelembagaan yang sangat berarti dalam konteks desentralisasi yang tentunya
membawa implikasi baru dalam manajemen public yang telih terfokus pada daerah
dan lebih menguasai persoalan dan kondisi budaya local.
b. Sistem pemerintahan desedntralisasi yang digulirkan sejak era reformasi merupakan
angin segar dalam pelaksanaan birokrasi, teritama di daerah. Daerah dengan
kewenagan dan tanggung jawab yang diembanya dapat merancang dan
melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan kondisi geografis dan
demografisnya. Hal ini juga mendorong banjgkitnya prakarsa dan kreativitas
pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakat dan swasta untuk
menciptakan kerjasama yang harmonis dalam rangka membangun pelayanan yang
baik. Namun, dalam pelaksanaan desentralisasi di era otonomi  daerah ini muncul
penafsiran yang beragam dan  bahkan  cenderung  kebablasan  sehingga terkesan
menciptakan penguasa-penguasa dan raja-raja kecil di daerah. Artinya, dalam
pelaksanaanya ada kecenderungan sebagian pemerintah daerah menafsirkan bahwa
mereka memiliki kekuasaan yang sangat tinggi dalam mengurus rumah tangganya
tanpa memperhatikan hubungan koordinasi dengan pemerintah pusat.
c. Konsekwensi dari otonomi daerah yang kebablasan inilah, tidak bisa dinafikkan
kondisinya saat ini banyak posisi atau jabatan di birokrasi di isi oelh orang-orang
yang tidak memiliki kemampuan dan keterampilan yang sesuai dengan
pekerjaannya. Hal tersebut terjadi karena lebih mengutamakan pada pengangkatan
posisi di dalam jabatan structural, yang lebih diutamakan katena ruang, pangkat,
golongan atau karena senioritas, bukan karena kopentensinya. Kondisi inilah yang
terkadang sering menimbulkan penyimpangan wewenang dan penyalahgunaan
kekuasaan. Birokrasi yang demikian, tentunya bukan menjadi harapan masyarakat.
Pemerintah sendiri sebenarnya telah menyediakan paying hokum untuk
menciptakan good governance sekaligus upaya untuk menunjukkan komitmenya
terhadap prakti-praktik penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaaan dalam
system birakrasi di tanah air. Contohnya saja, Tap MPR RI No. XI/MPR/1999 dan
UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan nepotisme, serta UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1999
tentang Komisi Pemeriksaan Kekayaan Negara, demikian pula  dengan UU No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Semua Payung
hokum ini di buat untuk menjaga aparatur birokrasi, sebagai garda terdepan
pelayanan public, menjadi bersih dan professional., sehingga harapannya
kepercayaan masyarakat akan berangsur menjadi positif.
d. Masih kurang efisiennya institusi birokrasi sendiri. Pada masa  sebelum reformasi
dilakukan, aparatur atau SDM birokrasi banyak yang tidak berkompeten  di bidang
pekerjaan dan tidak professional karena praktik-praktik nepotisme. Walaupun
sebenarnya saat ini kondisinya tidak banyak berubah secara dramatis. Birokrasi 
menjadi gemuk karena harus menampung sanak saudara dan keluarga para pejabat
atau penguasa dalam birokrasi. Rendahnya mutu aparatur atau SDM birokrasi bisa
dilihat dari beberapa indicator seperti kemampuan pelayanan yang tidak optimal,
sebagian besar waktu tidak digunakan secara produktif, dan belum optimalnya
peran-peran dalam menemukan terobosan menjalankan tugas sebagaimana
diamatkan.
e. Belum jelasnya standar kinerja yang dapat diukur untuk menentukan mutu output
yang dihasilkan aparatur. Hal tersebut terkait dengan asumsi bahwa seberapapun
kualitas dari output kegiatan  yang dilaksanakan tidak akan memberikan perubahan
terhadap penghargaan kepada aparatur yang bersangkutan. Kondisi ini terkait
dengan motivasi, yang akan berpengaruh terhadap sanksi baik reward maupun
punishment.
f. Pengawasan sebagai bagian dari proses interaksi pembelajaran sekaligus
memberikan wahana dijalankannya system sanksi, penghargaan tidak atau belum
berjalan sebagaimana diharapkan. Konsep pengawasan yang dijalankan saat ini
masih merupakan ritual administrative yang tidak memiliki banyak manfaat dalam
pengembangan SDM aparatur.
g. Kecenderungan lemahnya kompetensi terkait dengan penggunaan teknologi
informasi menuju e-government merupakan salah satu tantangan dan kebutuhan. 
Apabila ditambah dengan minimnya fasilitas hardware dan software teknologi
informasi dan komunikasi yang lebih canggih di lembaga-lembaga birokrasi,
terutama di daerah. Hal ini berakibat pada pelaksanaan system pelayanan public
yang masih manual dan lamban.
h. Hubungan dan komunikasi yang kurang terbuka diantara aparatur birokrasi yang
ada membawa dampak terhadap kondisi ketidakpercayaan atau distrust (Fukuyama,
1999), sehingga memberikan fasilitasi komunikasi dialog dan rendahnya gagasan
untuk pengembangan karena hubungan masih dilihat dalam konteks “siapa” yang
dibicarakan dan bukan “apa” yang dibicarakan.
i. Rendahnya kualitas SDM aparatur, yang tercermin dari kondisi kesejahteraan
pegawai,rekruitmen dan pembinaan karier, budaya kerja dan profesionalisme
sumber daya aparatur yang belum sepenuhnya mampu memberikan pengaruh
positif dalam proses perkembangan aparatur  Karena persoalan kesejahteraan inilah,
seringkali tindakan-tindakan yang tidak jujur atau tidak mengandalkan moralitas
menjadi mengedepankan. Pungutan liar, tindak penyuapan dan semacamnya
menjadi bagian yang membuat birokrasi semakin kompleks.
j. Selain mentalitas dan budaya kekuasaan masih merupakan karakter sebagian besar
aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk
semenjak masa pra-modern ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari prilaku aparat
atau pejabat birokrasi. Kultur seperti itu telah menyebabkan perilaku pejabat
birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat (Bagir, 2002).
Perilaku-perilaku tersebut telah menyebabkan antara lain budaya kerja yang tidak
disiplin, tidak tepat waktu, menunda-nunda pekerjaan, serta tidak ada kerjasama dan
koordinasi dengan rekan kerja.perilaku birokrasi yang demikian dapat ditemui pada
saat pengurusan pembuatan surat perizinan, yang tidak tepat waktu akibat
penundaan suatu pekerjaan, disamping kurang adanya kerjasama di antara pegawai
kerja untuk menyelesaikan surat perizinan sesuai waktunya.

Permasalahan dan kondisi seperti yang dijelaskan di atas, memang secara perlahan-
lahan telah diantisipasi dan diatasi oleh pemerintah sendiri. Beberapa kementerian telah
melakukan reformasi birokrasi sendiri diwilayah kerjanya. Memang jika tidak diperbaiki
hal-hal terjadi diatas, maka akan sulit untuk mewujudkan tujuan mencapai kondisi
reformasi birokrasi yang berorientasi pada pelayanan public atau public service.
C. PENGERTIAN PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan publik menurut UU Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik
adalah suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik. Menurut Departemen Dalam Negeri (Pengembangan
Kelembagaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu) bahwa pelayanan publik adalah suatu proses
bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kesepakatan dan
hunbungan interpersonal tercipta kepuasan dan keberhasilan, setiap pelayanan
menghasilkan produk baik berupa barang ataupun jasa.
Dari beberapa pengertian pelayanan publik yang telah diuraikan di atas dapat
disimpulkan bahwa pelayanan publik sebagai pemberian layanan atau melayani
keperluaan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan
pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tatacara yang ditentukan dan
ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan.

D. BIROKRASI DAN PELAYANAN PUBLIK


Rendahnya kualitas pelayanan public merupakan salah satu sorotan yang diarahkan
kepada birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perbaikan
pelayanan public di era-reformasi merupakan harapan seluruh masyarakat, nemun dalam
perjalanannya, ternyata tidak mengalami perubahan yang siknifikan. Berbagai tanggapan
masyarakat justru cenderung menunjukkan bahwa berbagai jenis pelayanan public
mengalami kemunduran yang sebagian di tandai dengan banyaknya penyimpangan dalam
layanan public tersebut. Sistem dan prosedur pelayanan yang  berbelit-belit dan sumber
daya manusia yang lamban dalam memberikana pelayanan juga merupakan aspek layanan
public yang banyak disoroti.
Dalam bidang pelayanan public, upaya-upaya telah dilakukan dengan menetapkan
standar pelayanan public untuk mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat, murah dan
transparan. Namun upaya tersebut belum banyak dinikmati masyarakat. Hal tersebut
terkait dengan pelaksanaan system dan prosedur pelayanan yang kurang efektif, berbelit-
belit, lamban, tidak merespon kepentingan pelanggan, dan lain-lain adalah sederetan
atribut negative yang ditimpakan kepada biroktasi.
Bahkan untuk meningkatkan pengawasan terhadap pelayanan public, pemerintah
telah menetapkan terbentuknya Komisi Pelayana Publik (KPP) yang independen dan
berada di tingkat pusat dan daerah. Akan tetapi, kenyataannya komisi ini tidak digunakan
masyarakat dan malah terpuruk dengan masalahnya sendiri, terutama para komisionernya
yang sibuk mengurusi tidak turunya gaji mereka.
Pelayanan public seringkali menjadi ukuran paling mudah dipahami sejauh mana
kinerja pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Pelayanan public adalah salah
satun fungsi penting pemerintah selain regulasi, proteksi dan distribusi. Pelayanan public
merupakan proses sekaligur output yang menunjukkan bagaimana fungsi pemerintah
dijalankan. Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan public  dapat dilihat dari keenggana
masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya  kesan
keinginan sejauh mungkin untuk menghindari dan bersentuhan dengan birokrasi
pemerintah apabila menghadapi urusan.
Fenomena  “high cost” ketika berhubungan dengan birokrasi pemerintah menjadi
suatu keniscayaan yang terpaksa diterima. Kondisi-kondisi seperti ini sebagian besar
ditemui pada keseluruhan level organisasi public yang memberikan pelayanan. Kondisi ini
menandakan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam menyelenggarakan
pelayanan terhadap public dinilai masih jauh dari optimal. Pemahaman terhadap fakta
lemahnya birokrasi dilihat sejauhmana kemampuan mengaktualisasikan fungsi-fungsi
pemerintah, yang berujung pada sejauh mana pelayanan public dapat dijalankan. Artinya,
sejauhmana pemerintah mampu dan dapat berprilaku transparan, akuntabel, dan
demokratis akan berdampak pada sejauh mana pelayanan public yang akan dan sudah
dilakukan.

E. DESENTRALISASI PELAYANAN PUBLIK


Upaya untuk mewujudkan system pemerintah yang demokratis dan tidak sentralistik
serta otoritarian telah diterapkan dengan konsep otonomi daerah yang diterapkan sejak
tahun 1999. Dari sisi manajemen pemerintahan, penerapan desentralisasi dan otonomi
daerah merupakan instrument utama untuk mencapai suatu Negara yang demokratis dan
pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Tetapi dalam pelaksanaanya
selama ini, kebijakan otonomi daerah masih menghadapi beberapa kelemahan, seperti
otonomi daerah hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institutional belaka,
perhatian dalam otonomi daerah hanya pada masalah pengalihan kewenangan dari pusat
ke daerah, tetapi mengabaikan esensi dan tujuan kebijakan terserbut, otonomi daerah tidak
dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan prakarsa manyarakat di daerah sesuai
tuntutan alam demokrasi.
Desentralisasi merupakan isu strategis lainnya yang menjadikan perhatian dalam
reformasi birokrasi. Desentralisasi adalah sebuah bentuk pemindahan tanggung jawab,
wewenang, dan sumber-sumber daya (dana, personel,dan lain-lain) dari pemerintah pusat
ketingkat pemerintahan dibawahnya.Dasar dari inisiatif ini adalah bahwa proses
desentralisasi dapat memindahkan proses pengambilan keputusan ke tingkat pemerintah
yang lebih dekat dengan masyarakat. Karena merekalah yang akan merasakan langsung
pengaruh program pelayanan yang dirancang dan klemudian dilaksanakan oleh
pemerintah.
Prinsip dasar dari inisiatif diberlakukann UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan UU 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemnerintah Daerah, yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
pemerintah daerah dan UU No 33 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu kepada mereka
yang merasakan efek langsung dari program dan perencanaan serta pelaksanaan pelayanan
yang dilakukan oleh pemerintah.
Namun demikian, pelimpahan kewenangan sebagai implikasi dari UU No 22 dan 25
Tahun 1999, yang kemudian digantikan dengan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 ini, belum
sepenuhnya diserahkan ke daerah. Pusat cenderung masih menarik ulur beberapa
kewenangannya karena dianggap dae5rah belum mampu menangani sebagian
kewenangan, seperti : kewenangan dalam pemberian perizinan, system perpajakan dan
perkreditan dan hal-hal lain yang berkaitan dalam rangka mengatur rumah tanggannya
masing-masing sehingga mengakibatkan belum efektif dan efisiensinya pelayanan public
di daerah.
Demikian juga di tingkat pemerintah daerah. Sebagai konsekuensi  UU 22/1999
yang di ubah dengan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah menyebabkan
adanya pemekaran ,pelebaran, dan pembentukan pemerintah daerah baru yang pada
gilirannys memiliki pengaruh terhadap peningkatan jumlah anggaran pemerintah untuk
membiayai operasianal lembaga-lembaga tersebut dan penambahan jumlah pejabat. Hal
ini mengakibat makin rumitnya persoalan birokrasi di daerah dan menjadi bhambatan lagi
bagi upaya mewujudkan pelayanan public daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah melalui UU No.
22 Tahun 1999 sesungguhnya dapat dilihat sebagai upaya pemerintah untuk lebih
meningkatkan pelayanan. Serangkaian pokok aturan dalam penyelenggaraan pelayanan
public oleh pemerintah daerah dinyatakan dalam beberapa pasal UU 22 Tahun 1999.
Dalam Pasal 7 UU 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa peranan pemerintah daerah dalam
pelayanan public mencakup seluruh bidang pemerinyah kecuali bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang
lainnya. Selanjutnya, dalam Pasal 11 UU 22 tahun 1999 menyatakan bahwa bidang
pemerintahan yang nwajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi
pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan,
industry dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan
tenaga kerja. Masih terkait dengan pasal-pasal tersebut, dalam padal 9 UU 22 tahun 1999
mengemukakan bahwa kewenangan provinsi.
Secara umum, Stakeholder menilai bahwa kualitas pelayanan public mengalami
perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah. Namun, hasil survey yang dilakukan
UGM pada tahun 2002 menyimpulkan bahwa dilihat dari sisi efisiensi dan efektifitas,
responsivitas, kesamaan perlakuan, dan besar kecilnya rente birokrasi masih jauh dari
yang diharapkan (Bapenas, 2004). Beberapa kajian lain juga membuktikan bahwa kualitas
dan mutu pelayanan public masih rendah, data tim Bapenas (2004) mengindikasikan hal-
hal berikut .
1. World Investment Report 2003 indeks Foreigan Direct Investment periode 1999-2001;
dari 140 negara, Indonesia urutan ke-138.
2. Human Development Report 2002, UNDP, dari 173 negara, Indonesia berada diurutan
ke- 110 di bawah Fhilipina, Cina dan Vietnam.
3. Country Risk (Marvin Zonish & Assciate) dari 185 negara, Indonesia ururtan ke-150 di
bawah kita Afganistan, Burundi dan Somalia.
4. Kepala Perwakilan Bank Dunia (Andrew Steer) 8 Juni 2004 :
a. Tingkat penggunaan listrik, Indonesia pad urutan terakhir dari  12 negara Asi
b. Pelanggan telapon seluler Indonesia urutan ke-9 (12 negara)
c. Akses sanitasi urutan ke-7
d. Akses jalan urutan ke-8
e. Air bersih urutan ke-7 (air bersih menjangkau 16% total populasi) dan
f. Word development Report 2004, akses rakyat terhadap pelayanan public masih
rendah (pendidikan, kesehatan dan air bersih).

Dengan melihat hasil-hasil kajian dari berbagai lembaga tersebut dapatr disimpulkan
betapa masih rendahnya kualitas pelayanan di Indonesia, padalah tuntutan kualitas dan
kuantitas jasa layanan public oleh penggunaan (User) semakin meningkat. Penggunaan
telah membayar jasa layanan public, tetapi kualitas dan kuantitas diinginkan belum
terpenuhi. Teransparansi akuntabilitas dalam pelayanan public diperlukan untuk mengatasi
kesenjangan pihak-pihak yang terikat dalam pelayanan public, sehingga dituntut pula
regulator yang mampu mengalokasikan sumber daya yang ada dan terjadfi keseimbangan
pihak-pihak yang terikat dalam pelayanan public. Diluar pengunaan pelayanan publik
(non-user) perlu diperhatikan kepentingannya, khususnya tuntutan lingkungan strategis.
Hingga saat ini pelayanan public masih memiliki berbagai kelemahan antara lain :
kurang responsive, kurang informative, kurang bisa diakses (accessible), kurang
koordinasi, dan birokrasi dimana pelayanan perizinan pada umumnya dilakukan melalui
proses yang terdiri dari berbagai level sehingga terlalu lama. Selain itu, pelayanan public
juga kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat dan inefisien.

F. KUALITAS PELAYANAN PUBLIK


Pelayanan publik erat kaitannya dengan kualitas pelayanan. Oleh karena itu,
konsep kualitas pelayanan sangatlah bersifat relatif, karena penilaian kualitas sangat
ditentukan oleh persepektif yang digunakan. Menurut Samapara 1994 (dalam Herdiansyah
2011:35) mengemukakan bahwa kualitas pelayanan adalah pelayanan yang diberikan
kepada pelanggan sesuai standar pelayanan yang telah dibakukan sebagai pedoman dalam
memberikan layanan.
Menurut Fandhy Tjiptono 1994 (dalam Herdiansyah 2011: 53) dalam bukunya
“Prinsip-Prinsip Total Quality Service,” menyebutkan bahwa terdapat lima dimensi atau
ukuran kualitas pelayanan, yang dapat menilai kepuasan pelanggan diantaranya :
1. Bukti langsung (tangibels), meliputi fasilitas fisik,
2. Perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi.
3. Keandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan
dengan segera, akurat, dan memuaskan.
4. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu para
pelanggan dalam memberikan pelayanan dengan tanggap.
5. Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan dapat
dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan.
6. Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik,
perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para pelanggan.
Intinya pelayanan dapat dikatakan berkualitas atau memuaskan apabila pelayanan
tersebut dapat memenuhi kebutuhan harapan masyarakat, dengan memperhatikan kelima
dimensi diatas. Sedangkan bila masyarakat tidak puas terhadap suatu pelayanan yang
disediakan maka pelayann tersebut dapat dipastikan tidak berkualitas dan tidak efisien.

G. KENDALA DALAM PELAYANAN PUBLIK


Kendala utama pelayanan publik sebenarnya adalah peningkatan kualitas
pelayanan publik itu sendiri. Pelayanan publik yang berkualitas dipengaruhi oleh berbagai
aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya,sumber daya manusia yang
mendukung,dan kelembagaan. Beberapa kelemahan pelayanan publik berkaitan dengan
pola penyelenggaraannya antara lain sebagai berikut :
1. Kurang Informatif, informasi yang disampaikan kepada masyarakat cenderung lambat
atau bahkan tidak diterima oleh masyarakat.
2. Sukar Diakses, unit pelaksana pelayanan publik terletak sangat jauh dari jangkauan
masyarakat, sehingga mempersulit mereka yang memerlukan pelayanan publil tersebut.
3. Kurang Responsif, kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan,
mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan
penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun
harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
4. Kurang Koordinasi, kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan,
mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan
penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun
harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
5. Kurang Empati, pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk
mendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya pelayanan dilaksanakan
dengan apa adanya tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
6. Inefisien, berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan)
seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.
7. Birokratis, pelayanan (khusunya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan
melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian
pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan,
kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah
sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan
penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika
pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan
memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan
dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan etika. Berbagai pandangan juga setuju
bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem
kompensasi yang tepat.
Dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada desain organisasi
yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat,
penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan
tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi
pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah,
yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
H. MENUJU BIROKRASI BERWAWASAN “PUBLIC SERVICE”
Hal yang membuat birokrasi lemah kinerja adalah mekanismenya yang sangat
hirarkis. Ini terlihat dari budaya kerja bahwa setiap pekerjaan/urusan harus menunggu
petunjuk, perintah, dan persetujuan dari atasan. Akibat dari kreativitas, inisiatif dan sikap
kemandirian para birokrat kurang berkembang.
Perubahan struktur politik di era reformasi mengakibatkan lemahnya dukungan
politik terhadap birokrasi. Perubahan struktur kepemimpinannya ternyata tidak serta merta
menjadikan kinerja birokrasi menjadi baik dan bahkan cenderung sebaliknya. Senagai
contoh, aparat birokrasi yang sejak semula tidak memiliki netralitas politik kemudian
menjadi semacam penghambat dari dalam terhadap kinerja birokrasi di bawah pimpinan
yang baru.
Kecenderungan orientasi birokrasi hanya kepada Negara “kepada penguasa saja”
dan mengabaikan pengabdiannya kepada masyarakat telah memberikan andil ketidak
seimbangan peran ketiga actor baik pemerintah sendiri, masyarakat dan sector swasta.
Kondisi yang tidak berimbang ini memfasilitasi munculnya pemerintah dengan perilaku
kurang bisa bersaing, hal in disebabkan pemegang monopoli tertentu pada administrasi
public tidak memberikan peluang untuk merespons terhadap kritik.
Demikian juga orientasi kepeda pelenggan internal yang berlebihan, member
kecenderungan yang kurang sehat di mana agak sulit masyarakat memberikan kriitik.
Gejala tersebut dapat dilihat dengan adanya kecenderungan pertumbuhan organisasi
dengan struktur yang semakin gemuk, sebaliknya operasinal dari setiap unit organisasi
tersebut semakin mengecil.
Peran birokrasi memberikan pelayanan kepada masyarakat masih belum sesuai
dengan harapan dan keinginan masyarakat. Akan tetapi, menguatnya iklim demokratisasi
di Indonesia saat ini berimplikasi pada semakin menguatnya tuntutan untuk memperoleh
pelayanan public yang lebih baik dari birokrasi. Keadaan ini banyak dilatarbelakangi oleh
kesadaran terhadap hak-hak sebagai konsumen yang telah melakukan kewajibannya dalam
hal ini membayar pajak. Kesadaran terhadap hak diartikulasikan dalam bentuk tuntutan
perbaikan pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah, yang diharapkan terdapat
pelayanan public yang lebih cepat, murah dan lebih baik atau faster, cheaper and better.
Oleh karena itu, orientasi pelayanan birokrasi harus berubah. Dari orientasi
pelayanan kepada penguasa, menjadi orientasi pelayanan kepada public. Aktivitas
pelayanan yang berorientasi kepada pelanggan, yang sesungguhnya adalah pelanggan
eksternal dalam hal ini masyarakat luas. Kemampuan memberikan pelayanan yang lebih
baik akan dapat dilakukan apabila pemerintah mampu untuk menilai secara saksama,
apakah sebenarnya kebutuhan para pelanggannya.
Dalam konteks pelayanan ini, upaya memberikan pelayanan yang lebih baik oleh
pemerintah salah satnya dengan melakukan desentralisasi sebagaimana diamatkan dalam
UU No, 32 dan No. 33 Tahun 2004. Dengan demikian, desentralisasi merupakan salah
satu jawaban untuk mendekatkan dan mengefektifkan pelayanan kepada pelanggan.
Asumsinya pemerintah daerah yang kemudian memiliki kewenangan, memiliki pelanggan
sendiri-sendiri dengan karakteristik yang berbeda-beda. Desentralisasi yang memberikan
kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah merupakan peluang yang
mengguntungkan dilihat dari perspektif upaya  mengoptimalkan  dan upaya  membuat
pelanggan   lebih tepat sasaran dan berdaya guna. Prinsip dasar yang terkandung dari
kedua UU tersebut adalah keinginan untuk meningkatkan pelayanan yang lebih tepat, dan
lebih responsive kepada masyarakat. Asumsinya adalah pemerintah daerah yang paling
mengetahui masalah dan kebutuhan masyarakatnya.
Dengan demikian, sesungguhnya birokrasi Indonesia saat ini harus direformulasi,
yakni kembali pada paradigm pengelolaan pelayanan kepada public. Reorientasi kepada
daerah sebagai ujung tombak pelayanan public dimaksudkan untuk menghadapi tuntutan
pelayanan secara menyeluruh yang tidak lagi dilakukan secara terpusat, tetapi telah dapat
dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Tambahan lagi, kecepatan teknologi informasi telah mengantarkan perubahan-
perubahan yang sangat cepat. Teknologi informasi juga telah mengubah perkembangan
global yang jauh berbeda disbanding sebelum era informatika lahir. Kejadian apapun
mengenai suatu pemerintahan di belahan bumi manapun dapat disaksikan pada saat yang
sama di belahan bumi lainnya. Era teknologi informasi yang semakin cepat telah 
memberikan suatu implikasi bahwa informasi menjadi sesuatu yang sangat penting.
Kondisi menguatnya teknologi informasi telah  memberikan ruang hidup tersendiri bagi
birokrasi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Teknologi informasi telah
menghantarkan kehidupan dunia yang semakin tidak ada batasnya.
Informasi yang cepat diterima akan menimbulkan pemaknaan atas informasi.
Apabila suatu informasi berkenaan dengan pemerintahan dan pelaksanaan birokrasi di
suatu Negara di nilai baik, maka akan memunculkan efek image yang baik terhadap
pemerintahan tersebut. Kondisi seperti ini mendatangkan implikasi lebih luas terkait
dengan persepsi terhadap bangsa, kualitas pemerintahan, stabilitas politik, dan aspek
lainnya. Pada gilirannya, informasi yang diterima oleh warga dunia akan berimplikasi
pada sejauh mana warga dunia merespons untuk menanamkan investasi, sejauh mana rasa
keamanan dapat tumbuh dan sejauh mana suatu pemerintahan dipercaya oleh warga dunia.
Pada perkembangan selanjutnya, tuntutan kinerja birokrasi diukur dengan indicator-
indikator yang sama dengan kinerja birokrasi di tempat lain.
Tersedianya TI dalam mendukung metode dan mekanisme kerja birokrasi seperti :
e-government, e-procurement, e-business, e-audit, atau tersedianya TI dalam mendukung
kerangka hokum dan kebijakan misalnya cyberlaw, telecoirt, dan sebagainya merupakan
bentuk-bentuk upaya menuju pada system pelayanan public yang lebih akuntabel dan
transparan.
Terkait dengan kondisi seperti ini, maka birokrasi Indonesia memiliki peluang
untuk mampu mendongkrak kinerja pemerintah dengan memanfaatkan teknologi yang
semakin berkembang. Teknologi informasi bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya
menyerap informasi dari pelanggan (masyarakat) secara cepat dan murah. Pengetahuan
yang tepat terhadap harapan dan kebutuhan pelanggan pada dasarnya diharapkan dapat
memberikan implikasi kemauan meningkatkan kompetensi, kemampuan untuk menggali
potensi dan cara baru guna meningkatkan daya saing, atau melakukan aliansi strategis
seiring dengan tuntutan perkembangan teknologi yang semakin cepat.
Birokrasi sebagai mesin dari pemerintah, pada dasarnya memproduksi barang baik
dalam bentuk benda maupun jasa untuk kepentingan seluruh warga tanpa kecuali. Namun
birokrasi yang monopoli memproduksi barang untuk kebutuhan dan kepentingan public,
kecenderungan mengalami kesulitan pada proses produk dan layanan sampai kepada
masyarakat. Apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus, maka
pelayanan yang berpihak pada golongan tertentu saja akan memunculkan potensi
kecemburuan, mempertajam jurang yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, dan
disintegritas dalam kehidupan berbangsa.
Kecenderungan birokrasi “yang berpihak” kepada salah satu sekmen pelanggan,
misalnya pada golongan yang memiliki uang atau yang mampu membeyar berpotensi
untuk merusak citra birokrasi secara institusional dan bisa berimplikasi luas terhadap
keutuhan bangsa. Selain itu akan semakin meruncingkan secara fisiologis perbedayaan
orang kaya dan orang miskin. Di samping harapan birokrasi secara institusi yang netral
sesuai amanah UU no. 43 Tahun 1999, relative belum dilaksanakan secara utuh. Itu dapat
dilihat bagaimana oknum tertentu untuk mendapatkan suatu jabatan tertentu. Di samping
itu, aparat birokrasi masih melakukan aktifitas ekonomi baik pada waktu jam kerja
maupun sesudah jam kerja, yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan
keluarganya.
Hal lain yang perlu dicermati dalam prilaku birokrasi kita adalah netralitas terhadap
pemimpin terpilih. Terdapat kecenderungan bahwa birokrasi umumnya cenderung
melakukan afiliasi politik terhadap pemerintah yang berkuasa. Gejala ini berdampak
negative terhadap sportifitas pelayanan kepada seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena
itu, salah satu pertimbangan penting yaitu perlunya memperkuat netralitas birokrasi adalah
untuk menjaga kemampuan melayani pelanggan internal (pemerintah) maupun eksternal
(masyarakat luas) tanpa diskriminatif. Karena apabila tidak demikian maka sesungguhnya
reformasi politik yangn sedang dijalankan akan menemui batu sandungan ketika birokrasi
belum mampu menempatkan dirinya dalam koridor netralitas. Pada saatnya lemahnya
kemampuan untuk bersikap netral akan menyebabkan terjadinya staknasi reformasi.
Lebih dari Itu, pemerintah harus mengupayakan fungsi pelayanan public yang
optimal. Pengelolaan pelayanan public cenderung lebih bersifat direktif yang hanya
memperhatikan/mengutamakan kepentingan pimpinan/organisasinya saja, harus diubah.
Pelayanan public harus dikelolah dengan paradikma yang bersifat supportif dimana lebih
memfokuskan diri kepada kepentingan masyarakatnya, pengelolaan pelayanan harus
mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar buntuk melayani dan bukan dilayani.
Dalam konteks desentralisasi, pelayanan public seharusnya menjadi lebih
responsive terhadap kepentingan public, dimana paradigm pelayanan public beralih dari
pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan focus pada
pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan.
Untuk menuju pada terwujudnya birokrasi yang berwawasan atau berorientasi pada
pelayanan public, beberapa criteria harus dipenuhi seperti berikut. (Mohamad, 2003 dalam
bapenas ,2004):
1. Lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang
mengfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada
masyarakat.
2. Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat
mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah
dibangun bersama.
3. Menerapkan sIstem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan public tertentu sehingga
masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas.
4. Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil
(outcome) sesuai dengan masukan yang digunakan.
5. Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
6. Pada hal tertuntu pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapat dari
masyarakat dari pelayanan yang dilaksanakan.
7. Lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan
8. Lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan.
9. Menerapkan system pasar dalam memberikan pelayanan.

Selain itu, pelayana public juga harus


1. Memiliki dasar hokum yang jelas dalam penyelenggaraannya
2. Memiliki stakeholder yang luas
3. Memiliki tujuan social
4. Dituntut untuk akuntabel kepada public,
5. Memiliki indicator performance (Mohamad, 2003 dalam Bapenas, 2004).

I. KOMPETENSI YANG HARUS DIMILIKI PIMPINAN SEBAGAI MANEJR


PELAYANANPUBLIK
Kompetensi berasal dari bahasa Inggris ³competence¥ yang berarti kecakapan,
kemampuan. Competency berarti cakap, mampu (Echols dan Shadily, 1993: 132).
Kompetensi memanage berarti kemampuan pimpinan dalam mengelola, mengatur dari
merencanakan, mengkoordinasi, meaktualisasikan dan mengawasi organisasi publik.
Kompetensi bagi pimpinan publik ini dimaksudkan supaya organisasi publik dapat
memecahkan masalah seperti pemborosan anggaran, arogansi, minta dilayani, senang
mengatur, tidak rasional, mental dapur, dan otoriter.
Adapun kompetensi yang harus dimiliki pimpinan publik adalah minimal tujuh
kompetensi, yaitu:

1. Kompetensi memanage diri sendiri


Kepemimpinan berkenaan mengatasi perubahan lebih menekankan pada visi
kepemimpinannya. Dengan demikian, pemimpin harus memberikan inovasi dari
sekedar melakukan tugas administrasi yang notabene dilakukan oleh seorang manajer.
Pimpinan publik yang memiliki kompetensi diri sendiri adalah pimpinan yang memiliki
pengetahuan luas, inkuisitif, kemampuan analisis yang mendalam, daya kognitif dan
penalaran di atas rata-rata. Sebuah aksioma yang diterima secara umum oleh teoritisi
dan praktisi adalah semakin tinggi kedudukan dalam hirarchi organisasi, ia dituntut
untuk mampu berfikir. Kemampuan berfikir ini tidaklah dapat dimiliki pimpinan tanpa
adanya pengetahuan yang luas terutama terkait dengan disiplin pengetahuan tentang
pencapaian tujuan organisasi. (Saraswati & Sholikin, n.d.) Inkuisitif artinya rasa ingin
tahu, yang merupakan sikap yang mencerminkan dua hal yaitu: pertama, tidak merasa
puas dengan pengetahuan yang dimiliki, kedua, kemampuan untuk mencari dan
menemukan hal-hal baru. (Solikhin, 2017) Ini merupakan cermin dari pimpinan yang
ingin tumbuh dan berkembang kemampuan analisis yang dimaksudkan disini adalah
cara dan kemampuan berfikir yang integralistik, strategik dan berorientasi pada
pemecahakan masalah.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana menerpakan kompetensi memanage diri
sendiri dalam organisasi publik? Minimal ada empat strategi yang harus dilakukan,
pertama, seorang pimpinan publik harus berfikir dan bertindak generalis. Artinya
pimpinan organisasi publik dituntut memiliki kemampuan untuk melihat dan
memberlakukan seluruh pegawai dan rakyat yang plural dengan persepsi dan
pendekatan holistik, bukan dengan persepsi dan pendekatan inkrementalistik apalagi
atomistik. (Saraswati & Sholikin, n.d.) Untuk memahami mengenai pendekatan holistik
ini, pimpinan publik dituntut untuk mencari pengetahuan yang luas yakni pemahaman
berbagai disiplin ilmu yang ada sangkut pautnya dengan tujuan, strategi, rencana dan
kegiatan organisasi publik yang dipimpinnya.
Bukankah latar belakang pendidikan dan pengalaman seseorang pegawai
cenderung terspesialisasi? Siagian (1999: 76-77) dengan tegas mengatakan
pengetahuan yang spesialistik itu hanya akan menjadi penghalang bagi efektifitas
pemimpin publik, apabila pengetahuan tersebut berakibat pada pemberian perhatian
yang tidak proporsional. Dengan kata lain pimpinan publik harus mengenali hutan di
mana dia berada, bukan mengenali pohon yang disukainya yang ada dalam hutan itu.
Misalnya seorang bupati yang berfikiran generalis akan melihat pegawai dan rakyat
secara keseluruhan, bukan hanya pegawai dan rakyat yang mendukung dia untuk
menjadi bupati. Kedua, terus belajar. Belajar dari pengalaman-pengalaman sendiri,
pengalaman-pengalaman orang lain maupun perkembangan ilmu pengetahuan dan
tehnologi yang terkait dengan tujuan dan strategi organisasi publik yang dipimpinnya.
Mengenai kemampuan belajar dan pengalaman, baik pengalaman sendiri maupun
pengalaman dari orang lain, memiliki dua makna yang sangat penting.
a. Dengan berusaha mengenali faktor-faktor penyebab keberhasilan, termasuk cara-
cara dalam pemecahan masalah, menghilangkan ancaman dan gangguan serta .
Pimpinan publik yang memiliki kompetensi diri sendiri adalah pimpinan yang
memiliki pengetahuan luas, inkuisitif, kemampuan analisis yang mendalam, daya
kognitif dan penalaran di atas rata-rata. Sebuah aksioma yang diterima secara
umum oleh teoritisi dan praktisi adalah semakin tinggi kedudukan dalam hirarchi
organisasi, ia dituntut untuk mampu berfikir. Kemampuan berfikir ini tidaklah dapat
dimiliki pimpinan tanpa adanya pengetahuan yang luas terutama terkait dengan
disiplin pengetahuan tentang pencapaian tujuan organisasi. (Saraswati & Sholikin,
n.d.) menghilangkan rintangan dan tetap memperhatian dalam situasi dan kondisi
yang bagaimana cara-cara yang efektif.
b. mengenali secara tepat faktor-faktor yang menghambat yang mengakibatkan
keberhasilan bahkan kegagalan di masa lalu. Ini dimaksudkan faktor penghalang
dapat dieliminasi atau paling tidak diminimalisasi.

Ketiga, mengedepankan cara berfikir yang integralistik, strategik dan berorientasi


pada pemecahan masalah. Dalam hal ini pimpinan publik harus menumbuhkan dan
memperlakukan dinas yang dipimpinnya sebagai satuan bulat meskipun di dalamnya
terdapat satuan kerja yang menyelenggarakan berbagai kegiatan dengan aneka ragam
spesialisasi. Untuk itu pendekatakan holistik adalah jalan keluar untuk memungkinkan
interaksi dan interralasi antara satuan kerja yang dapat ditumbuhkan dan dipelihara
sehingga menghasilkan hubungan yang sifatnya simbiosis mutualis. (Solikhin, 2017)
Cara berfikir strategik adalah pimpinan publik harus mampu menganalisis mana
prioritas program yang utama, mendesak, penting, mana program yang harus dikerjakan
sendiri, mana yang harus dikerjakan orang lain dan menganalisis dampak-dampak
alasannya secara mendalam.
Cara berfikir yang berorientasi pada pemecahan masalah jelas menuntut publik
memiliki kemampuan analitik, mulai dari identifikasi masalah, pengumpulan dan
penelaahan informasi yang diperlukan, alternatif pemecahan masalah yang mungkin
ditempuh, penentuan pilihan pemecahan sehingga implementasinya benar-benar
membawa kepada pemecahan yang tuntas dan akuntabel. Keempat, pimpinan publik
harus sepenuhnya memusatkan kepada organisasi publik yang dipimpinnya. Ini
dimaksudkan disamping optimalisasi kerja pimpinan, apabila pimpinan publik tidak
terfokus pada dinas yang dipimpinnya, akan berakibat pada daya kognitif dan penalaran
yang lemah.
Dari banyak literatur yang ada, terutama pimpinan publik, tidaklah harus seorang
yang jenius tetapi yang penting ada daya intelektualnya. Salah satu daya intelektual ini
adalah daya ingat yang kuat. Daya ingat bisa kuat apabila pimpinan hanya terpaku pada
satu pusat perhatian.

2. Kompetensi memanage komunikasi


Menurut Sujak (1990: 77) komunikasi diartikan sebagai transfer informasi beserta
pemahamannya dari suatu pihak ke pihak lain, melalui alat-alat berupa simbol yang
penuh arti. Ini berarti suatu komunikasi merupakan media tukar menukar ide, sikap,
nilai-nilai, opini-opini dan fakta. Kompetensi memanage komunikasi berarti
kemampuan seorang pimpinan publik dalam menyampaikan ide, sikap, nilai-nilai
kepada pegawainya. Peran kompetensi komunikasi tidak boleh dianggap kecil karena
paling tidak memiliki makna :
a. Sebagai motivasi para pegawai untuk bekerja secara tekun dan giat
b. Sebagai ekspresi emosi pimpinan
c. Sebagai penyampaian informasi
d. Sebagai pengendalian perilaku pegawai.
Untuk itu, perilaku yang harus dilakukan pimpinan publik dalam memanage
komunikasi adalah sebagai berikut:
pertama, hakekat komunikasi adalah mengalihkan suatu pesan dari satu ke pihak
lain. Agar pesan yang disampaikan pimpinan publik tidak mengalami distorsi maka
diperlukan kodenisasi (SHOLIKIN & Abdul Gaffar Karim, 2015) Kodenisasi berarti
menerjemahkan pesan yang hendak disampaikan dalam bentuk tertentu. Untuk itu
pimpinan publik harus memiliki ketrampilan dan menyusun pesan sehingga jelas bagi
aparatur pemerintah dan memudahkan kegiatan pemerintahan. Mc Gregor menyebutkan
komunikasi juga dapat diimplementasikan melalui reward atas tugas tertentu karena
teori X mengharuskan pemimpin menciptakan kontrol atas bawahan yang dianggap
lalai mengerjakan tugas yang dibebankan.
Kedua, pimpinan publik harus memiliki sikap yang tepat dalam penyampaian
pesan dan pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang, tingkat pendidikan dan
kedudukan aparatur pemerintah baik dalam organisasi publik maupun di luar.
Ketiga, pimpinan publik harus menggunakan dan mengembangkan sistem
komunikasi terbuka. Artinya secara obyektif pemimpin publik disamping
menyampaikan informasi kepada pegawai, pimpinan publik harus siap mendengarkan
informasi (tuntutan dan keluhan) maupun kritik dari pegawai bawahannya. Ini berarti
disamping pemimpin publik sebagai sender juga siap sebagai pendengar yang baik.
Keempat, pimpinan publik harus mengatur media informasi yang dibutuhkan
pegawai dan kelima, mendorong timbulnya feed back.

3. Kompetensi memanage kemajemukan


Kemajemukan dalam sebuah organisasi publik adalah merupakan hal yang wajar.
Yang tidak wajar adalah mereka tidak diperlakukan sama oleh pimpinan publik. Maka
dalam hal ini strategi yang mungkin bisa diterapkan pimpinan organisasi publik
adalah:
Pertama, pimpinan publik harus mampu sebagai koordinator dan intregator dari
berbagai komponen organisasi, sehingga dapat bergerak sebagai sebuah totalitas.
(Solikhin, 2016)
Oleh karena itu, pendekatan yang harus dipakai adalah pendekatan holistik dan
integralistik karena pimpinan publik mau tidak mau harus menyusun organisasi
sedemikian rupa sehingga menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan
kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan organisasi.
Kedua, tidak membiarkan cara berfikir dan bertindak yang terkotak-kotak.
Kemajemukan harus dipahami sebagai perbedaan dalam menjalankan tugas, bukan
perbedaan cara berfikir dan bertindak. Dengan bahasa lain kemajemukan merupakan
kenyataan hidup. Tetapi kebersamaan harus dijamin.

4. Kompetensi memanage etika


Etika secara sederhana dapat dipahami sebagai science of morality atau sesuatu
yang mendeskripsikan baik (Setiyono, 2005). Dalam organisasi privat lebih-lebih
organisasi sektor publik mutlak etika diperlukan, karena
a. Setiap profesi membutuhkan etika sebagai standard of conduct
b. Dapat menimbulkan public trust
c. Ketiadaan etika dapat menyebabkan weakened support for government,
distruisted public officials, reduced civic engangement (MC Carthy dalam
Setiyono, 2005).
Melihat hal ini, kemampuan seorang pimpinan publik dalam memanage etika
adalah suatu yang sangat dibutuhkan karena dengan etika keadilan yang merupakan
salah satu tujuan organisasi mungkin dapat diperlihatkan kepada publik. Untuk itu, ada
beberapa langkah yang harus dimiliki pimpinan di sektor publik dalam memanage etika
ini.
Pertama, pimpinan publik harus mengembangkan sistem yang terbuka
(transparan). (Sholikin, 2018a) Keterbukaan merupakan kata yang mudah untuk
diucapkan, tetapi sampai saat ini hampir semua pimpinan publik masih enggan bahwa
isi dapurnya diobok-obok oleh pegawainya, apalagi rakyat. Tetapi apabila pimpinan
publik tidak transparan, yang terjadi justru tingkat kepercayaan rakyat akan menurun
dan itu merugikan pemerintah.
Kedua, pimpinan publik harus mengedapankan pelayanan sebagai fokus utama
dalam sektor publik. Harus dipahami bahwa sektor publik tidaklah sematamata
mengejar keuntungan seperti sektor privat, tetapi lebih mengedepankan nilainilai
kemanusiaan. Maka dari itu sikap yang seringkali cenderung mengatur dan memerintah
hendaknya segera dieliminasi. Selain itu yang harus dipahami pimpinan organisasi
publik sekarang ini masyarakat sudah mulai sadar dan mengerti bahwa mereka
mengehendaki sikap egalitarianisme, rasional dan demokrasi (Setiyono, 2004: 170).
Ketiga, pimpinan publik harus akuntabel. Akuntabilitas pimpinan publik tidak
boleh hanya pada atasan (accountability up wards), juga pada staf (accountability staff)
lebih diarahkan pada accountability down wards yaitu akuntabilitas yang diarahkan
dengan proses konsultatif dan kerjasama antara wakil rakyat dengan masyarakat di
tingkat lokal (Kumorotomo, 2005: 4-5). Terkait dengan ini pimpinan harus mampu
memperluas alternatif penyedia pelayanan publik serta menunjang informasi atau
menetapkan standar yang dapat menjamin adanya akuntabilitas yang baik dalam
pelayanan publik. Juga konsep self accountability yang merupakan proses akuntabilitas
internal yang sangat tergantung pada penghayatan mengenai nilai-nilai moral atau etika
pimpinan publik dalam melaksanakan tugas pelayanan publik. Menurut Denhard (1998:
18) akuntabilitas ini harus lebih diarahkan pada pentingnya kualitas subyektif, rasa
tanggung jawab dan pentingnya kontrol struktural.
Keempat, pemimpin publik harus lebih responsif. Untuk itu menurut Haylan
dalam Kumorotomo (2005: 8) pemimpin publik harus membuka lebar partisipasi
masyarakat dan konsultasi publik, debat publik, mentolerir dan memfasilitasi lembaga-
lembaga advokasi, sering mengadakan pertemuan-pertemuan yang bersifat publik dan
mempelopori kebebasan berpendapat.
Kelima, tegas. Apabila ada pejabat yang melanggar aturan dan kode etik yang
telah ditetapkan, sikap ewuh pekewuh sungkanisme, hendaknya dieliminasi. Pemimpin
harus tegas dalam merumuskan sesuatu dan mengambil tindakan yang bersifat punitif
jika setelah dipahami secara seksama membahayakan kehidupan masyarakat sebagai
pemilik kedaulatan.

d. Kompetensi memanage tim


Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pimpinan publik minimal dua hal
yaitu:
1) Menjaga kohesi antara anggota yang satu dengan yang lain. Atau mungkin
menjaga kohesi antara masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang
lain, ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya konflik baik pada pejabat
bawahan juga masyarakat yang sangat paternalistik.
2) Sebagai mediator. Dalam kehidupan organisasi situasi konflik akan selalu ada
untuk itu pimpinan publik harus mampu sebagai mediator. (Saraswati & Sholikin,
n.d.) Sebagai mediator pemimpin publik harus memiliki keyakinan berbagai
kepentingan dalam organisasi meskipun sukar pasti bisa dipertemukan. Ini mutlak
diperlukan demi kekompakan tim, karena kalau dibiarkan berlarut-larut tujuan
organisasi akan terhambat.

e. Kompetensi memanage keragaman budaya


Sudah menjadi hukum alam, bahwa manusia diciptakan tidak sama. Maka
pluralisme (keragaman) budaya dalam sebuah organisasi adalah sebuah kenyataan.
Untuk itu, strategi yang harus dilakukan pemimpin organisasi publik adalah sebagai
berikut:
1) Perbedaan budaya harus dilihat sebagai sebuah kekayaan yang harus
dikembangkan bukan sebagai suatu ancaman. Karena setiap budaya pasti memiliki
nilai-nilai positif. Nilai-nilai positif inilah yang akan dijadikan input dalam
memajukan organisasi.
2) Sebagai integrator. Sikap mementingkan kelompok dan satuan kerja sering kali
mudah timbul dalam organisasi. Ini mungkin disebabkan karena dalam organisasi
tersebut menuntut adanya spesialisasi yang berlebihan, sistem alokasi dana dan
daya yang kurang atau tidak rasional dan kurangnya pendekatan pada kesisteman.
Keadaan ini seringkali biasanya terkait suasana kompetisi di kalangan kelompok
kerja yang ada yang diupayakan agar satuan kerja sendiri diperlakukan satuan kerja
strategic. Jika pimpinan publik membiarkan persepsi yang demikian berkembang, dapat
dipastikan bahwa satuan anggota kerja yang bersangkutan akan berjuang supaya satuan
kerja sendiri memperoleh alokasi dana, sarana dan prasarana dan tenaga yang lebih
besar dibandingkan dengan satuan kerja yang lain. Upaya yang demikian
konsekuensinya akan melahirkan cara berfikir dan bertindak yang terkotakkotak.
Oleh karena itu pimpinan publik yang efektif tentunya tidak akan membiarkan cara
berfikir dan bertindak yang demikian karena organisasi publik yang diterapkan mampu
meningkatkan kualitas pelayanan, hanyalah yang bergerak sebagai satu totalitas.
Meskipun tidak bisa disangkal suatu organisasi pemerintahan modern disusun dalam
suatu struktur yang menggambarkan fungsi, tugas dan kegiatan yang beraneka ragam.
Keragaman itu menghilangkan perlunya interaksi, interrelasi dan interpendensi yang
didasarkan pada prinsip simbiosis mutualis. Ini artinya tidak ada organisasi publik yang
tujuan dan sasarannya bersifat mutually exclusive. (Sholikin, 2018b)

f. Kompetensi memanage perubahan (Warella, 2005)


Perubahan dalam segala bidang kehidupan, termasuk sektor publik adalah
sebuah keniscayaan. Untuk itu sikap yang harus diaplikasikan oleh pimpinan publik
dalam memanage perubahan ini adalah: pertama, pemimpin publik harus mempunyai
sikap adaptabilitas yang tinggi, sikap adaptif mungkin bisa diwujudkan dalam beberapa
contoh
1) Seorang pemimpin publik tidak akan mudah melakukan generalisasi, melainkan
melihat setiap perkembangan situasi sebagai suatu yang khas.
2) Dalam memecahkan masalah, ia tidak akan terperangkap oleh cara pemecahan
tertentu hanya karena cara tersebut pernah dipergunakan di masa lalu dan dinilai
membuahkan pemecahan yang diharapkan.
3) Dalam berkomunikasi dengan orang lain gaya, teknik dan bahasa yang digunakan
disesuaikan dengan tingkat pengetahuan, kedewasaan, dan kondisi pihak dengan
siapa pimpinan publik berkomunikasi.
4) Menggunakan dan memakai sarana organisasi dengan tehnologi terniki, demi
menunjang efektifitas, efisiensi dan kualitas pelayanan. (Saraswati & Sholikin,
n.d.)
Kedua, pimpinan publik harus fleksibel. Sikap fleksibel berarti mampu melakukan
perubahan dalam cara berfikir, cara bertindak, sikap dan perilaku agar sesuai dengan
tuntutan dan situasi serta kondisi tertentu yang dihadapi tanpa mengorbankan prinsip
yang dianut oleh organisasi publik. Karena itu, fleksibilitas hendaknya tidak diidentikan
dengan tidak ada pendirian, sifat bunglon dan sifat yang sejenis yang sering kali dinilai
negatif.
Agar pemimpin publik terhindar dari sikap yang kaku, maka hendaknya organisasi
publik sebagaimana gagasan Osborne dan Gaebler (1996:21-27) harus digerakkan oleh
misi bukan peraturan. Lanjutnya menurut Osborne dan Gaebler dalam Salam
(2002:185) pemerintahan yang digerakkan oleh misi jauh lebih memperhatikan
kepentingan pelaksanaan misi yang diembanya dari pada pemerintahan yang
digerakkan oleh peraturan yang kaku dan mengikat (transforming rule-driven
organization). Organisasi publik yang digerakkan oleh misi, aturan dilaksanakan secara
luwes dan memberikan otonomi kepada birokrat secara proporsional, sehingga aparatur
pemerintah memanfaatkan sumber daya dan lingkungan dengan seefektif dan seefisien
mungkin tanpa melanggar aturan yang baku organisasi (Tankilisan, 2005: 105).
Seperti yang ditulis oleh Osborne dan Gaebler dalam Tankilisan (2005: 105)
organisasi yang dijalankan berdasarkan peraturan akan tidak efektif dan kurang efisien
karena kinerjanya lamban dan terkesan bertele-tele. Hal ini karena mendudukan misi
organisasi sebagai tujuan menjadikan organisasi publik yang bersangkutan
mengembangkan sistem anggaran dan peraturan sendiri yang memberi keleluasaan
kepada anggota organisasi untuk mencapai misi tersebut.
Adanya peraturan memang suatu kenyataan yang memiliki tujuan yang baik, tetapi
dalam praktiknya organisasi berjalan lamban dan kurang mampu merespon tuntutan
lingkungan yang berubah dengan cepat. Alasannya adalah pemimpin publik tidak akan
mampu melakukan apa yang menurut pandangannya baik, karena takut terkena sanksi
jika ternyata perbuatan maupun keputusannya dianggap melanggar peraturan. Kondisi
ini jika berlarut-larut akan menimbulkan sikap dan tindakan aparatur pemerintah
menjadi apatis dan kehilangan inovasi dalam memberikan pelayanan publik.
Konsekuensi organisasi publik yang digerakkan oleh peraturan (meski peraturan
mungkin bisa menekan penyimpangan dan korupsi) tetapi akibatnya terjadi
pemborosan. Sedang menurut Osborne dan Gaebler (1996: 133-134) organisasi publik
yang digerakkan oleh misi memiliki keunggulan nyata yaitu : lebih efisien, lebih
efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel dan lebih mempunyai semangat lebih tinggi
ketimbang digerakkan oleh peraturan. Untuk itu, maka syarat yang harus disediakan
oleh pimpinan publik adalah:
1) Menciptakan pernyataan misi yang jelas, konkrit dan terukur
2) Memecah organisasi besar menjadi kelompok-kelompok kecil dan menyatukan
beberapa tim dan organisasi baru
3) Menciptakan suatu budaya organisasi dalam misi.
Akhirnya, tawaran sederhana ini tetap perlu didiskusikan lebih lanjut demi
menciptakan pelayanan publik yang lebih berkualitas.

J. TUGAS PIMPINAN BIROKRASI SEBAGAI MANAJER PELAYANAN PUBLIK


Agar kepemimpinan dapat berhasil  mencapai tujuan, pelaksanaan kepemimpinan
yang baik dapat dilihat dari cara seorang pemimpin melakukan tugasnya, hal ini dapat
dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut;
1. Penglihatan sosial, suatu kemampuan untuk melihat dan mengerti gejala-gejala yang
timbul dalam masyarakat sehari-hari.
2. Kecakapan berfikir abstrak, dalam artian seorang pemimpin harus mempunyai  otak
yang cerdas, intelegensi yang tinggi, dalam menganalisa dan memutuskan adanya
gejala yang terjadi dalam kelompoknya, sehingga bermanfaat dalam tujuan organisasi.
3. Keseimbangan emosi dalam mengambil tindakan dan kebijakan dalam mengambil
keputusan.
4. Seorang pemimpin juga harus bisa memberikan motivasi, hal ini dimaksudkan untuk
memberikan dorongan semangat kepada para bawahan dalam pencapaian target yang
diharapkan. Menurut Malthis motivasi merupakan hasrat didalam diri seseorang yang
menyebabkan orang tersebut melakukan tindakan. Sedangkan Rivai berpendapat bahwa
motivasi adalah serangkaian sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi individu untuk
mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan individu. Motivasi adalah kesediaan
melakukan usaha tingkat tinggi guna mencapai sasaran organisasi yang dikondisikan
oleh kemampuan usaha tersebut memuaskan kebutuhan sejumlah individu. Motivasi
merupakan faktor psikologis yang menunjukan minat individu terhadap pekerjaan, rasa
puas dan ikut bertanggung jawab terhadap aktivitas atau pekerjaan yang
dilakukan.Sedangkan Hasibuan berpendapat bahwa motivasi adalah hal yang
menyebabkan, menyalurkan dan mendukung perilaku manusia, supaya mau bekerja giat
dan antusias mencapai hasil yang optimal. Motivasi merupakan sesuatu yang membuat
bertindak atau berperilaku dalam cara-cara tertentu.

PENUTUP

Dorongan kebutuhan untuk perubahan dalam rangka merespon dinamika lingkungan local
dan global yang semakin kompleks dan penuh persainagn memerlukan upaya serius yang harus
dilakuakn oleh birokrasi di tanah air. Permasalahan berkaitan dengan kondisi dan mentalitas
aparatur birokrasi, yang menjadi ujung tombak pelayanan public, sekaligus indicator
keberhasilan pelayanan harus ditingkatkan mutu kualitas pemahamannya akan tugas, mentalitas
melayani bukan dilayani, dan jujur dalam melaksanakan ugas menjadi ktusial untuk ditangani.
Keberhasilan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah akan sangat ditentukan seberapa
kompeten SDM aparatur dalam memegang jabatannya. Implikasinya diperlukan suatu upaya
untuk menjamin agar terjadi proses pembelajaran yang berkesinambungan dan peningkatan diri
terus menerus dan upaya terencana untuk mengidentifikasi kesenjangan kinerja dan merespon
dengan solusi yang tepat dan efektif.
Pelaksanan desentralisasi yang pada ujungnya adalah memeratakan kesejahteraan dan
keadilan serta semakin mendekatkan pelayanan masyarakat dengan upaya desentralisasi melalui
otonomi harus tetap menjaga kesatuan dalam bingkau NKRI yang mewujud pada otonomi
masyarakat dan bukan pada otonomi wilayah. Artinya, harus diupayakan dengan sungguh-
sungguh pemerintah daerah yang mampu menjalin sinergi dengan pemerintah daerah lainnya,
dan juga pemerintah pusat untuk mengupayakan orientasi pelayanan yang tepat terhadap
masyarakat. Dengan demikian, tidak di kenal lagi birokrasi pemerintah daerah yang menjalankan
fungsi-fungsi dengan hanya bersandar pada sentiment kedaeraha yang berujung pada egoisme
daerah dan menjebak birokrasi untuk hanya melayani kepentingan pemerintah daerah, tetapi
melupakan substansi dan esensi fungsi pemerintah yang melayani masyarakat.
Bukan rahasia negara ini masih sangat minim pemimpin publik yang kompeten. Mungkin
krisis bangsa ini yang sampai sekarang tidak kunjung redah ini salah satu faktor yang terpenting
adalah bangsa ini masih belum memiliki pemimpin publik yang kompeten. Dari tujuh
kompetensi di atas yakni kompetensi memanage diri sendiri, memanage komunikasi, memanage
kemajemukan, memanage etika, kompetensi memanage tim, memanage keragaman budaya, dan
kompetensi memanage perubahan belum dimiliki secara maksimal oleh putra-putra bangsa
indonesia. Lebih-lebih memanage etika dan memanage komunikasi masih menjadi masalah yang
serius. Moral pemimpin publik masih sangat rendah dibuktikan dengan praktek korupsi yang
merajalela. Pemimpin publik masih terlihat lebih mementingkan kepentingan pribadi dan
golongan sehingga akar masalah seperti kemiskinan, pengangguran, konflik, kesenjangan sosial
tidak megalami perubahan kualitas hidup yang signifikan.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana stratregi menghasilkan pemimpin publik yang
kompeten? Bangsa ini telah sepakat memilih dan menerapkan sistem politik demokratis.
Mungkinkhah sistem politik demokratis mampu menghasilkan pemimpin publik yang kompeten?
Bukankah pemimpin publik dipilih langsung oleh rakyat? Apakah ada korelasi yang signifikan
antara kehendak rakyat dengan kompetensi seorang pemimpin publik? Dalam iklim demokrasi
seperti sekarang bagaimana cara memilih pemimpin yang kompeten? Ini adalah masalah yang
perlu diskusi lebih lanjut, tetapi paling tidak untuk menghasilkan pemimpin publik non-politis
yang kompeten di dalam birokrasi pemerintahan langkah yang mendesak yang harus dilakukan
adalah reformasi system rekruitmen.
Sebuah sistem rekruitmen yang transparan (terbuka), mengedepankan kemampuan
pemimpin yang memiliki kemampuan kognitif yang mendalam dan skill bukan karena lamanya
kerja. Pada sisi lain untuk menghasilkan pemimpin publik yang kompeten di jabatan politik,
solusi yang bisa ditawarkan untuk dapat memilih pemimpin adalah rakyat minimal harus
mengetahui latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, etika dan track record dalam masyarakat.
Tanpa itu pemimpin publik hanya dipenuhi oleh elit ekonomi yang kompetensinya diragukan.

DAFTAR PUSTAKA

https://bengkulu.kemenag.go.id/opini/314-birokrasi-dan-upaya-meningkatkan-pelayanan-publik

Echol, John M, dan Shadily, Hasan, 1993, Kamus Bahasa Inggris Indonesia, PT Gramedia
Jakarta.

Kumorotomo, Wahyudi, 2005, Akuntabilitas Birokrasi Publik, Sketsa pada Masa Transisi,
Magister Administrasi Publik dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Osborne, David dan Tet Gaebler, 1996, Reiventing Government: How The Entrepreneurial Spirit
Is Transforming The Public Sector, Mewirausahakan Birokrasi (terj.) Abd Rosyid, Pustaka
Binaan Pressindo, Jakarta.
Saraswati, A., & Sholikin, A. (n.d.). Reposisi CSR (Corporate Social Responsibility) di
Indonesia.

Salam, Dharma Setyawan, 2002, Manajemen Pemerintahan Indonesia, Jambatan, Jakarta

Setiyono, Budi, 2004, Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi, Puskodak FISIP
Undip, Semarang.

Setiyono, Budi, 2005, Accountability and Ethic Management Morallity In Public Sector, Bahan
Mata Kuliah Manajemen Publik, Magister Ilmu Politik, Undip Semarang.

Siagian, Shondang, PS, 1999, Teori dan Praktik Kepemimpinan, Rineka Cipta Jakarta.

Sujak, Abu, 1990, Kepemimpinan Manager: Eksistensinya dalam Prilaku Organisasi, Rajawali,
Jakarta.

Syafi, Inu Kencana, 2006, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, PT Refika Aditama,


Bandung

Tangkilisan, Hessel Nogi S, 2005, Manajemen Publik, PT Gramedia Widiasarana Indonesia,


Jakarta.

Tim Pembina Mata Kuliah Teori Organisasi, 2000, Teori Organisasi, Pustitabnas, Universitas
Wijaya Putra, Surabaya. Warella, 2005, Kompetensi Pimpinan Publik, Bahan Mata Kuliah
Manajemen Publik, Magister Ilmu Politik, Undip Semarang.

Anda mungkin juga menyukai