Jurnal Pip
Jurnal Pip
LIPI
KONSTELASI POLITIK
DI TAHUN ELEKTORAL
Koalisi “Nano-Nano” Pilkada Serentak 2018
Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal
Dampak Elektoral Kasus Dugaan Penistaan Agama
terhadap Preferensi Politik Warga Banten pada Pilgub 2017
Pilkada, Peran Partai Politik, dan Konstelasi Pragmatis:
Kajian atas Pilgub Banten, DKI Jakarta, Jateng dan Jatim (2017-2018)
Kemunculan dan Tantangan Partai Politik Baru pada Pemilu 2019
Konstituensi dalam Persepsi Wakil di Tingkat Lokal Era Reformasi
Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia
Marketing Isu Agama dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia 2015-2018
RESUME PENELITIAN
Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan Politisi dalam Kandidasi Pilkada Langsung
Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi
REVIEW BUKU
Mitos dan Realita Perempuan dalam Pemilu: Pelajaran dari Situasi Politik
Amerika di Era Polarisasi Politik
DAFTAR ISI
Daftar Isi i
Catatan Redaksi
iii
Artikel
• Koalisi “Nano-Nano” Pilkada Serentak 2018
Moch. Nurhasim 129–142
• Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan
Demokrasi Lokal
Lili Romli 143–160
• Dampak Elektoral Kasus Dugaan Penistaan Agama
terhadap Preferensi Politik Warga Banten pada Pilgub 2017
Agus Sutisna dan Idil Akbar 161–178
• Pilkada, Peran Partai Politik, dan Konstelasi Pragmatis:
Kajian atas Pilgub Banten, DKI Jakarta, Jateng dan Jatim (2017-2018)
Firman Noor 179–196
• Kemunculan dan Tantangan Partai Politik Baru
pada Pemilu 2019
Ridho Imawan Hanafi 197–213
• Konstituensi dalam Persepsi Wakil di Tingkat Lokal Era Reformasi
Sri Budi Eko Wardani 215–231
• Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia
Sri Yanuarti 233–248
• Marketing Isu Agama dalam Pemilihan Kepala Daerah
di Indonesia 2015-2018
M. Fajar Shodiq Ramadlan dan Romel Masykuri 249–265
Resume Penelitian
• Modal, Strategi dan Jaringan Perempuan Politisi
dalam Kandidasi Pilkada Langsung
Kurniawati Hastuti Dewi, dkk 267–288
• Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi
Aisah Putri Budiatri, dkk 289–306
Review Buku
• Mitos dan Realita Perempuan dalam Pemilu:
Pelajaran dari Situasi Politik Amerika di Era Polarisasi Politik
Mouliza K.D Sweinstani 307–317
| i
CATATAN REDAKSI
Konstelasi politik menjelang tahun elektoral Artikel berikutnya ditulis oleh Agus Sutisna
menjadikan dinamika politik baik di tingkat dan Idil Akbar berjudul “Dampak Elektoral
nasional maupun lokal menarik untuk dikaji. Kasus Dugaan Penistaan Agama Terhadap
Jurnal Penelitian Politik nomor ini Preferensi Politik Warga Banten Pada Pilgub
menyajikan 8 artikel yang membahas topik-topik 2017” membahas mengenai kasus penistaan
yang terkait dengan isu elektoral. Artikel pertama agama oleh Ahok sebagai kandidat Gubernur
berjudul “Koalisi Nano-Nano Pilkada Serentak DKI Jakarta telah melahirkan dampak elektoral
2018” yang ditulis oleh Moch. Nurhasim. Artikel terhadap Pilgub Banten 2017 berupa terjadinya
ini membahas tentang Pilkada serentak 2018 perubahan preferensi politik warga Banten.
yang menghasilkan pola koalisi yang tidak Pasangan Rano Karno-Embay Mulya Syarief
berubah dari pilkada-pilkada sebelumnya dan yang diusung oleh koalisi PDIP, Nasdem dan
bahkan menjadi pola yang berulang. Koalisi PPP, yang semula mendapat dukungan luas dari
nano-nano adalah sebuah koalisi yang variatif, masyarakat karena dianggap merepresentasikan
campuran koalisi ideologis antara partai yang semangat perubahan untuk keluar dari jeratan
berideologi nasionalis-religus dengan berbagai dinasti politik keluarga Ratu Atut Chosiyah yang
pola pertarungan yang bisa berbeda-beda. korup, secara perlahan mengalami degradasi
campuran koalisi seperti itu pun tidak sama dukungan seiring dengan pemberitaan negatif
atau linear antara pada Pilkada Gubernur/Wakil seputar kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok
Gubernur dengan pola koalisi pada Pilkada yang secara terus menerus mengalami perluasan
Bupati/Wakil Bupat--Walikota/Wakil Walikota. dan penajaman hingga memasuki masa tenang
Akibatnya, intra-koalisi sendiri terjadi kompetisi Pilkada.
yang tidak sehat. Pola koalisi yang muncul Artikel keempat yakni “Pilkada, Peran
cenderung lebih pada ukuran jumlah partai Partai dan Konstelasi Pragmatis: Kajian Atas
dan kursi partai sebagai konsekuensi syarat Pilgub Banten, DKI Jakarta, Jateng dan Jatim
mengusung calon yang telah ditetapkan oleh Tahun 2017-2018” ditulis oleh Firman Noor.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2016. Artikel ini membahas beberapa fenomena yang
Artikel kedua ditulis oleh Lili Romli,” mengindikasikan adanya kondisi negatif dari
Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa eksistensi partai politik terkait dengan pilkada.
Depan Demokrasi Lokal”, memperlihatkan Fenomena ini adalah tidak hadirnya sosok
tentang fenomena munculnya calon tunggal kepala daerah yang merupakan pimpinan partai
dalam pemilihan kepala daerah. Para calon di daerah itu, masih kuatnya peran jaringan
tunggal tersebut sebagian besar menang dalam non-partai dalam kontestasi politik, hingga
pemilihan kepala daerah, hanya calon tunggal di dominasi pragmatisme dalam menentukan
Kota Makassar yang mengalami kekalahan. Ada koalisi yang kerap menyingkirkan idealisme
beberapa faktor yang menyebabkan munculnya atau ideologi partai yang secara keseluruhannya
calon tunggal, yaitu pragmatisme partai politik; memperlihatkan kerentanan partai di Indonesia.
kegagalan kaderisasi, persyaratan sebagai calon Tulisan ini menunjukkan hal-hal yang
yang semakin berat, dan “mahar politik” yang menyebabkan itu semua. Selain itu tulisan ini
semakin mahal. Kemenangan para calon tunggal menawarakan beberapa solusi agar berbagai
dalam pilkada tersebut bisa menghambat proses kelemahan itu dapat teratasi dan sekaligus
demokrasi lokal karena mekanisme check and diharapkan dapat meningkatkan kualitas pilkada
balances tidak berjalan. di kemudian hari.
Catatan Redaksi | v
RESUME PENELITIAN
Aisah Putri Budiatri, Syamsuddin Haris, Lili Romli, Sri Nuryanti, Moch. Nurhasim, Luky
Sandra Amalia, Devi Darmawan, Ridho Imawan Hanafi
Abstract
The majority of political parties in Indonesia in the reform era have been trapped in the issue of political
personalization. Party elites become the image of the party and become a very influential person in party policy
making for a long period of time. In fact, political parties already have a mechanism of succession, but one elite
figure is still able to personalize his party. This research sees that there are causes of party personalization,
including the history of party establishment, charismatic leadership and party funding. Moreover, presidentialism,
party systems, and the electoral system are factors that also facilitate the emergence of party personalization. The
party personalization must be avoided because in the long run it will have a negative impact not only on political
parties, but also on efforts to uphold democracy in Indonesia.
Abstrak
Mayoritas partai politik di Indonesia pada era reformasi telah terjebak pada persoalan personalisasi politik. Individu
elite partai menjadi image partai sekaligus orang yang sangat berpengaruh dalam pembuatan kebijakan partai
dalam jangka waktu yang lama. Padahal, partai politik telah memiliki mekanisme suksesi, namun satu sosok elite
tetap mampu mempersonalkan partainya. Penelitian ini melihat ada beberapa aspek yang menjadi penyebabnya,
termasuk sejarah pendirian partai, kepemimpinan karismatik dan pendanaan partai. Di luar itu, presidensialisme,
sistem kepartaian dan sistem pemilu menjadi faktor yang turut memfasilitasi munculnya personalisasi partai.
Personalisasi partai ini harus dihindari karena dalam jangka panjang akan berdampak negatif tidak hanya kepada
partai politik, tetapi juga pada upaya penegakan demokrasi di Indonesia.
1
Resume riset ini berdasarkan pada laporan penelitian Tim Sistem Kepartaian, Pemilu dan Perwakilan, Pusat Penelitian Politik, LIPI,
yang diselenggarakan pada tahun 2017 berjudul “Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi.” Substansi pokok di dalam
tulisan ini sudah diterbitkan dalam Aisah Putri Budiatri (ed), Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2018).
Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 289
Pendahuluan Pada tabel 1 di bawah, tergambarkan
Membicarakan tentang kepemimpinan partai, bagaimana setidaknya ada tujuh partai yang
personalisasi politik menjadi salah satu isu utama dinilai menggejala personalisasi politik. Setiap
yang saat ini seringkali dikaji. Personalisasi partai tersebut memiliki seorang individu yang
politik pada partai atau diistilahkan juga menjadi identik dan berpengaruh kuat terhadap partai,
personalisasi partai politik (parpol) dapat misalnya sosok Megawati di PDIP dan SBY
didefinisikan sebagai kondisi dimana individu dalam Partai Demokrat. Umumnya, selain
elite memiliki posisi lebih penting dibandingkan menjadi pemimpin partai, sosok elite tersebut
organisasi partainya atau identitas kolektif adalah para pendiri partai politik.6 Tokoh sentral
lainnya. 2 Elite menjadi sangat berpengaruh menduduki posisi-posisi puncak kepengurusan,
dalam segala proses pembuatan kebijakan partai, termasuk ketua umum, ketua dewan kehormatan
bahkan ia juga menjadi image dan/atau identitas atau jabatan lain yang setara/lebih tinggi, selama
partai.3 Hal ini menjadikan elite tersebut mampu lebih dari lima tahun. Megawati, bahkan, telah
menjadi penguasa partai dalam periode waktu menjadi Ketua Umum PDIP sejak berdiri hingga
yang lama.4 hari ini, atau sekitar dua dekade lamanya.
Pada era reformasi, personalisasi partai Adanya tujuh partai yang menghadapi
politik menjadi hal yang kerap muncul dalam personalisasi politik merupakan hal yang
dinamika perpolitikan di Indonesia. Mayoritas signifikan, mengingat saat ini hanya ada sepuluh
partai politik besar yang memiliki kursi di partai politik yang memiliki kursi di parlemen
parlemen saat ini memiliki seorang elite yang nasional dan mampu berkompetisi dalam
menduduki posisi-posisi penting dalam struktur perpolitikan nasional di Indonesia. Sepuluh
partai, serta menjadi sosok yang dicalonkan nama partai itu diantaranya adalah PDIP, Partai
dalam pemilihan presiden berulang kali. Tabel 1 Golkar, Partai Demokrat, PKB, PAN, PKS, Partai
memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Gerindra,
partai-partai politik di era reformasi yang paling Partai Hanura, dan Partai Nasdem.7 Dalam hal
memperlihatkan gejala personalisasi politik.5 ini, artinya personalisasi politik adalah hal yang
menjadi fenomena umum dan menggejala pada
mayoritas parpol di Indonesia. Walaupun begitu,
perlu dipahami bahwa derajat personalisasi
2
Lauri Karvonen, The Personalization of Politics: A Study of
Parliamentary Democracies (Colchester, UK: ECPR Press, ini berbeda-beda antar partai dan antar masa.
2010), hlm 4.
3
Diadaptasi ulang dari berbagai definisi yang disampaikan 6
Semua individu elite yang disebutkan di dalam tabel 1 adalah
oleh Karvonen (2010), Balmas (2014), Langer (2007), Mughan pendiri partai, kecuali Susilo Bambang Yudhoyono yang bukan
(2000), Aarts (2011), Blais (2011), dan lainnya. Penjelasan merupakan pendiri melainkan penggagas Partai Demokrat.
lebih lengkap dari definisi ‘personalisasi partai politik’ akan SBY yang memiliki inisiatif untuk mendirikan Partai Demokrat
dipaparkan lebih dalam pada bagian kerangka pemikiran. setelah kekalahannya dalam pemilihan Calon Wakil Presiden
William Cross dan Jean-Benoit Pilet, “Uncovering the Politics Republik Indonesia oleh Sidang Majelis Permusyawaratan
of Party Leadership” dalam The Politics of Party Leadership: A Rakyat Tahun 2001. Namun, SBY tidak termasuk ke dalam Tim
Cross National Perspective, ed. William Cross dan Jean-Benoit Pendiri Partai Demokrat yang disebut Tim 9. Lihat: “Sejarah
Pilet (Oxford, UK: Oxford University Press, 2015), hlm. 23-24. Pembentukan dan Berdirinya Partai Demokrat,” 15 Februari
2017, http://www.demokrat.or.id/sejarah/, diakses pada 15
4
Giulia Sandri, Antonella Seddone, dan Fulvio Venturino, Februari 2017.
“Understanding Leadership Profile Renewal,” dalam The
Politics of Party Leadership: A Cross National Perspective, 7
Dari sepuluh partai, hanya satu partai yang sempat berganti
ed. William Cross dan Jean-Benoit Pilet (Oxford, UK: Oxford nama dan berdiri menjadi partai baru, yakni Partai Keadilan
University Press, 2015), hlm. 146. (PK) -peserta Pemilu 1999- yang berubah menjadi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) –peserta Pemilu 2004, 2009 dan
5
Partai-partai politik yang dicantumkan di dalam Tabel 1 adalah 2014-. Partai Keadilan harus mengubah namanya menjadi Parti
partai-partai besar di Indonesia yang sampai saat ini memiliki Keadilan Sejahtera agar dapat mengikuti kembali Pemilu pada
kursi di parlemen (DPR RI Periode 2014-2019). Partai-partai ini tahun 2004, karena sesuai dengan UU Pemilu No. 3 Tahun 1999
memiliki seorang tokoh sentral yang menjadi identitas melekat tentang Pemilu, maka hanya partai yang memenuhi minimum
pada partai, serta berpengaruh dan menempati posisi tertinggi 2% dari jumlah kursi di DPR yang dapat mengikuti kembali
(kuat) di dalam partai selama lebih dari lima tahun berturut- pemilu selanjutnya. Saat itu PK hanya memiliki 1,51% dari
turut. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan ada partai total kursi di DPR. Dalam Ganjar Razuni, Sebuah Koreksi
politik lain yang tidak tercantum di dalam tabel 1 juga pernah Konstruksi Reformasi Hasil Pemilu 1999 (Jakarta: Labsospol
dan/atau sedang menghadapi persoalan personalisasi politik. FISIP UNAS, 2001), hlm 123.
Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 291
Tabel 2. Mekanisme Suksesi Kepemimpinan 7 Partai Politik di Indonesia
Partai Bentuk Pertemuan Periode Suksesi Mekanisme Suksesi Ketentuan lain
PDIP Kongres Setiap 5 tahun Mufakat, aklamasi, Kuorum 2/3
& voting peserta
Demokrat Kongres Setiap 5 tahun Mufakat & voting Kuorum 50%+1
PAN Kongres Setiap 5 tahun Mufakat, aklamasi, Kuorum 50%+1
& voting
PKB Muktamar Setiap 5 tahun Mufakat & voting Kuorum 50%+1
Hanura Munas Setiap 5 tahun Mufakat, aklamasi, Kuorum 50%+1
& voting
Gerindra Kongres Setiap 5 tahun Mufakat & voting Kuorum 50%+1
Nasdem Rapat Terbatas dalam Setiap 5 tahun Keputusan oleh Majelis -
kongres Nasional
Sumber: diolah dari AD/ART PDIP, Partai Demokrat, PAN, PKB, Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Partai
Nasdem.
Pada tabel 2 terlihat bahwa partai telah sekaligus mulai sejak tahun 1999 hingga saat ini.
memiliki mekanisme pergantian kepemimpinan Adapun kajian ini berfokus pada dua pertanyaan
partai yang dibuat secara reguler setiap penelitian, yakni: (1) Mengapa kepemimpinan
lima tahun sekali. Dengan demikian, partai partai politik di Indonesia cenderung terperangkap
sesungguhnya memiliki kesempatan untuk kedalam fenomena personalisasi politik? Apa
mengubah pimpinan partai dan mampu mencegah saja faktor yang menyebabkan munculnya
partainya terpersonalkan oleh satu individu elite fenomena personalisasi politik? serta (2)
saja. Namun, mengapa mereka tetap terjebak Bagaimana dampak personalisasi politik terhadap
pada persoalan personalisasi partai? Pertanyaan pelembagaan partai politik dan sistem kepartaian
ini penting dan menarik untuk dikaji karena di Indonesia?
belum ada kajian akademik sebelumnya yang
mampu menjawabnya secara komprehensif. Personalisasi Politik pada Partai, Partai
Kalaupun ada, maka kajiannya hanya berupa Personal dan Partai Personalistik
tulisan pendek atau bagian kecil dari sebuah Personalisasi politik diartikan oleh Karvonen
tulisan utuh.9 sebagai sebuah situasi dimana aktor individu
Melihat adanya kekosongan kajian tersebut, politik menjadi lebih utama dan penting perannya
maka Tim Pemilu P2P LIPI mengkaji persoalan dibandingkan partai politik atau identitas
personalisasi partai politik secara komprehensif kolektif lainnya. Aktor politik ini dapat dimaknai
dengan membandingkan beberapa partai secara spesifik sebagai pemimpin politik/
partai atau politisi pada umumnya. Dalam
9
Syamsuddin Haris, “Partai dan Personalisasi Kekuasaan,” konteks personalisasi partai, Renwick dan Pilet
Harian Kompas, (Jakarta), 31 Maret, 2005; A. Rahman menyatakan bahwa aktor dalam personalisasi
Tolleng, “Selamat Datang Personalisasi Politik,” Harian
Tempo, (Jakarta), 24 November 2003; Donny Gahral Adian,
adalah pimpinan parpol.10
“Personalisasi Politik,” Harian Kompas, (Jakarta), 27 Untuk menyatakan apakah sebuah partai
September 2012; Halili Hasan, “Partai Politik, Ornamen
Demokrasi,” Jawa Pos, (Jakarta), 19 April 2016; Eko Prasojo,
mengalami personalisasi politik atau tidak,
“Pemilihan Presiden, Personalisasi Politik?” Harian Kompas, maka dapat dilihat tanda-tandanya dari
(Jakarta), 20 April 2004; Eko Prasojo, Demokrasi di Negeri beberapa karakteristik personalisasi partai.
Mimpi (Depok: FISIP UI, 2005); Ikhsan Ahmad, Pilar
Demokrasi Kelima: Politik Uang: Realitas Konstruksi Politik
Karakteristik pertama adalah lekatnya identitas
Uang di Kota Serang, Banten (Yogyakarta: Deepublish, 2015);
Eep Saefulloh Fatah, Mencintai Indonesia dengan Amal, 10
Untuk mengklarifikasi ini, Renwick dan Pilet mengacu pada
(Jakarta: Penerbit Republika, 2004); M. Nurhasim, “Kegagalan berbagai kajian akademik yang ditulis oleh Karvonen, Clarke,
Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi,” Jurnal Penelitian Kornberg, Scotto, Aarts, Bittner, Costa Lobo dan Curtice. Lihat:
Politik, 10, no. 1 (2013): 17-28; Hanta Yudha, Presidensialisme Alan Renwick dan Jean-Benoit Pilet, Faces on the Ballot: The
Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi (Jakarta: PT Personalization of Electoral Systems in Europe (Oxford, UK:
Gramedia Pustaka, 2010). Oxford University Press, 2016), hlm. 4-5.
11
Jean-Benoit Pilet dan William Cross, “Uncovering The Jean Blondel dan Jean-Louis Thiebault, Political Leadership,
17
Politics of Party Leadership.” Dalam The Politics of Party Parties and Citizens: The Personalisation of Leadership (New
Leadership: A Cross National Perspective, ed. oleh William York: Routledge, 2010), hlm. 30.
Cross dan Jean-Benoit Pilet (Oxford, UK: Oxford University
Press, 2015), hlm. 20-34.
18
James Scott, “Patron-Client Politics and Political Change in
Southeast Asia,” The American Political Science Review 66,
12
Sandri, Seddone, dan Venturino, “Understanding Leadership,” no. 1, (1972), hlm.92.
hlm. 149.
19
David J. Samuels, “Presidentialized Parties: The Separation
13
Sandri, Seddone, dan Venturino, “Understanding Leadership,” of Powers and Party Organization and Behavior,” Comparative
hlm. 146. Political Studies 35, no. 4, (2002), hlm. 462-463, 471, 480-481.
14
Mauro Calise, “The Personal Party: An Analytical 20
Firman Noor, “Menimbang Masa Depan Sistem Presidensial
Framework,” dalam Scienze Politica, 45, no.3, (2015): 303-306. di Indonesia Problematika Demokrasi dan Kebutuhan Perbaikan
Sistemik,” dalam Sistem Presidensial dan Sosok Presiden
15
Richard Gunther dan Larry Diamond, “Species of Political Ideal, ed. Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti (Yogyakarta:
Parties,” dalam Party Politics, 9, no. 2 (2003): 187-188. Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 56.
Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 293
Hanta Yudha melihat sistem multipartai kepemimpinan partai yang kuat akan berdampak
berkontribusi dalam melahirkan banyak figur pada kondisi partai politik yang lemah karena
yang kemudian berpengaruh kuat pada partai. segala kegiatan partai ditujukan bukan untuk
Situasi ini berlangsung karena konvergensi kepentingan publik, melainkan kepentingan elite
politik akibat masifnya perpecahan partai dan pimpinannya. Kedua, besarnya kekuasaan elite
kelahiran partai baru. Secara sederhana, sistem atas partai akan berdampak pada lemahnya peran
multipartai dianggap memberikan peluang yang dan posisi negara. Hal ini karena partai politik
besar bagi individu elite untuk mendirikan memiliki peran penting dalam proses pembuatan
partai baru dan menguasainya.21 Pendirian partai kebijakan negara, sehingga personalisasi partai
kemudian menjadi bersifat top-down, karena pada akhirnya akan berakibat pada melemahnya
didasarkan pada kehendak elite partai bukan fungsi negara untuk melindungi rakyatnya.
karena gagasan kelompok di dalam masyarakat.22 Sebaliknya, negara justru akan dimanfaatkan
Peluang pendirian partai baru yang terbuka untuk mengelola kekuasaan satu orang elite
dalam sistem multi partai membuat personalisasi saja.24
partai semakin menjadi-jadi diakibatkan juga Berkaca dari pengalaman di tiga Negara
oleh biaya pembentukan partai saat ini yang Skandinavia, termasuk Denmark, Norwegia,
sangat mahal, dimana partai harus memiliki dan Swedia di akhir abad XX., Blondel menilai
kepengurusan dari tingkat nasional sampai bahwa personalisasi partai akan berakibat
daerah. Pihak yang sangat mungkin mendirikan pada melemahnya sistem partai politik. Hal
partai adalah individu-individu elite yang ini karena partai kemudian akan menghadapi
memiliki sumber daya material dan finansial. persoalan persoalan patronase dan klientelistik.25
Faktor sumber pendanaan ekonomi menjadi Personalisasi parpol ini juga bertolak belakang
hal yang akan memengaruhi terbentuknya dengan upaya melembagakan sistem kepartaian
personalisasi politik pada partai karena si pemilik karena manajemen partai cenderung dijalankan
modal lah yang kemudian menjadi tokoh sentral secara tidak demokratis dan independen terhadap
partai dan menjadi sangat berpengaruh terhadap individu elite. Padahal, sesuai teori sistem
partai. Mauro Calise juga menjelaskan bahwa kepartaian Mainwaring dan Scully, sistem
aspek finansial ini menjadi salah satu sumber kepartaian yang terlembaga mensyaratkan partai
terbentuknya kultur patronase di dalam partai, terkelola secara profesional, bergantung pada
yang lambat laun mendorong terbentuknya partai sistem demokratis yang ajeg dan tidak dikuasai
personal. 23 oleh hanya elitenya.26
Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 295
presidensial menekankan pada pentinya proses oleh individu elite agar mereka kemudian
pemilihan presiden, bukan pemilihan anggota dicalonkan oleh partai sebagai kandidat presiden.
legislatif; sehingga, partai pada akhirnya Pada era reformasi ini, ada dua bentuk pola
berfokus pada memenangkan calon presidennya personalisasi partai yang terbentuk akibat adanya
agar mendapatkan sumber daya dan dukungan dua bentuk pemilihan presiden yang berlaku,
politik yang kuat.29 Ketiga, presidensialisme, yakni pemilihan tidak langsung dan langsung.
terutama yang dikombinasikan dengan pemilihan Pola ini terbagi karena model pemilihan presiden
langsung, mendorong munculnya sosok populer mau tak mau akan berpengaruh pada strategi
dan kharismatik yang menarik perhatian publik partai memenangkan kandidatnya dalam pemilu.
untuk memenangkan kekuasaan politik dalam Pada Pilpres 1999, proses pemilihan secara
pemilu.30 Ketiga hal ini menjadikan peluang tidak langsung mendorong partai membuat
partai menjadi personal begitu kuat akibat koalisi partai anggota parlemen untuk mampu
difasilitasi oleh penerapan sistem presidensial. memenangkan pilpres. Dampaknya, tokoh kuat
Tiga karakteristik presidensialisme yang muncul dalam politik Indonesia saat itu
yang mendorong personalisasi terjadi secara tidak hanya calon presiden saja tetapi juga aktor
nyata di Indonesia. Pada masa sebelum era yang terlibat di balik pembuatan koalisi partai,
reformasi, presidensialisme menjadi faktor yakni Megawati, Gus Dur dan Amien Rais.
kuat mengapa Soekarno dan Soeharto mampu Personalisasi menjadi semakin
mempersonalisasikan dunia politik Indonesia di menguat, khususnya personalisasi partai,
masa lalu. Presiden dapat bekerja secara otonom pascaditerapkannya pilpres langsung. Karena
dan independen tanpa harus bergantung dengan pemilihan ditentukan oleh rakyat, maka setiap
partai atau parlemen dalam membuat kebijakan elite politik merasa memiliki peluang menjadi
dan keputusan politiknya. Kasus penyederhanaan presiden. Akibatnya, setiap partai terdorong untuk
partai oleh Soekarno, yakni melalui Penetapan mencalonkan tokoh sentralnya yang populer dan
Presiden No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat- berkarisma dalam pemilu (lihat tabel 1). Mereka
Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian, dan tidak lagi melakukan rekrutmen dan seleksi
oleh Soeharto melalui kebijakan fusi partainya kandidat karena berasumsi dengan popularitas
pada tahun 1975, memperlihatkan bagaimana tokoh sentralnya dan kerja keras partai akan dapat
personalisasi dunia politik di Indonesia pada memenangkan pemilu.31Pemberlakuan pilpres
saat itu. langsung juga berdampak pada munculnya
Personalisasi yang berlangsung pada masa fenomena pembentukan partai baru oleh elite
sebelum era reformasi menjangkit kehidupan partai yang populer dan berfinansial kuat dengan
politik dalam kerangka yang luas, sementara tujuan agar partainya kemudian menjadikan ia
pada masa kini, personalisasi secara khusus sebagai kandidat presiden. Hal ini dicontohkan
menghinggapi partai-partai politik. Artinya, saat pada kasus digagasnya Partai Demokrat oleh
ini personalisasi berlangsung di dalam tubuh SBY yang kemudian sukses menjadikannya
partai. Hal ini karena pascareformasi, peran presiden dua periode berturut-turut. Selain SBY
partai politik menguat dan dikombinasikan dan demokrat, ada juga Partai Gerindra yang
dengan sistem presidensial yang juga diperkuat. didirikan oleh Prabowo, Partai Hanura oleh
Partai politik menjadi satu-satunya kendaraan Wiranto, dan Partai Nasdem oleh Surya Paloh.
politik yang terlegitimasi, dimana semua calon Semua tokoh sentral tersebut digadang-gadang
presiden wajib diusung oleh partai. Akibatnya, menjadi capres, meskipun pada akhirnya hanya
personalisasi kemudian tidak hanya dapat SBYdan Prabowo yang sungguh-sungguh pernah
dilakukan oleh presiden yang berkuasa, tetapi berkompetisi di dalam Pilpres (lihat tabel 1).
oleh banyak individu elite yang mau menjadi Selain terkait dengan sistem pemilu langsung
presiden. Personalisasi partai kerap dilakukan atau tidak langsung, beberapa aturan terkait
Croissant dan Merkel, “Political Party Formation..,,” hlm. 6;
29
Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 297
Faktor sejarah pendirian partai oleh pemimpin lebih bergantung pada pertimbangan personal
yang berkarisma menjadi hal penting yang dan koneksi askriptif dan loyalitas pada patron
menyebabkan personalisasi politik berlangsung daripada pertimbangan merit. Orang-orang yang
di dalam partai.32 Pemimpin yang berkarisma loyal pada Gus Dur dapat mencapai posisi puncak
selain mampu menjaga kontinuitas sejarah partai dalam kepemimpinan partai dengan mudah dan
juga mampu memobilisasi suara bagi partai cepat, seperti halnya yang terjadi pada Matori
dalam pemilihan umum.33 Dalam definisi Weber, Abdul Djalil dan keponakannya Muhaimin
karisma merujuk pada karunia seseorang yang Iskandar. 37
terkait dengan pengabdian kepada kesucian, Situasi serupa PKB juga terjadi di PAN,
kepahlawanan, atau karakter teladan seseorang dimana Amien Rais yang merupakan deklarator
yang luar biasa, dan pola normatif atau perintah partai dan ketua umum pertama menjadi
yang diturunkan atau ditahbiskan olehnya.34 sangat berpengaruh bagi partai.38 Amien Rais
Seorang tokoh berkarisma akan mampu menarik sebagai tokoh Muhammadiyah sekaligus
perhatian publik, sekaligus menjadi tokoh yang pendiri partai secara tidak langsung telah
didengar partai. Lambat laun tokoh karismatik merekatkan organisasi Islam ini dengan PAN.
ini akan menjadi identitas partai, seperti halnya Karenanya, Amien menjadi penarik dukungan
yang terjadi di PAN dan PKB.35 kuat bagi partai khususnya dari kalangan kader
Gus Dur sebagai pendiri PKB dan Amien Muhammadiyah.39 Amien menjadi tokoh yang
Rais sebagai pendiri PAN merupakan tokoh sangat kuat di PAN, tak hanya saat ia menjadi
berkarisma yang kemudian menjadi tokoh sentral ketua partai namun juga setelah ia melepaskan
dan mampu mempersonalisasikan partainya. jabatan itu. Ia sangat berpengaruh dalam segala
Gus Dur selain menjadi pendiri partai juga pembuatan kebijakan partai, termasuk ketika
berkedudukan sebagai penarik massa setia penentuan pemimpin PAN. Restu Amien menjadi
bagi PKB. Gus Dur, sebagai keturunan Kiai yang menentukan dalam keterpilihan Ketua
NU, memiliki banyak pengikut dari kalangan Umum PAN, baik itu pada keterpilihan Soetrisno
Nahdliyin, sehingga ia menjadi penarik dukungan Bachir untuk periode 2005-2010, Hatta Rajasa
bagi PKB saat pemilu. Ia kemudian menjabat pada tahun 2010, maupun Zulkifli Hasan pada
sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB yang tahun 2015. 40
dapat mempengaruhi seluruh kebijakan partai.36 Personalisasi politik yang kuat pada PKB
Ia, misalnya, menjadi penentu siapa yang dan PAN cenderung tidak cukup terlihat pada
menjadi ketua umum partai (Dewan Tanfidz). PKS dan PPP. PKS tidak dibangun dengan
Penentuan posisi ketua umum pada akhirnya figur elite yang personal dan berkharisma
tetapi oleh basis kedisiplinan maupun ideologi
32
Menurut Panebianco dalam Biezen (2003), struktur genetik
partai dinilai paling menentukan dalam perkembangan
37
Kikue Hamayotsu, The End of Political Islam? A Comparative
organisasi partai politik. Selanjutnya lihat: Inggrid van Biezen, Analysis of Religious Parties in the Muslim Democracy of
Political Parties in New Democracies Party Organization in Indonesia, Journal of Current Southeast Asian Affairs, 3
Southern and East-Central Europe (Hampshire and New York: (2011): 133-159.
Palgrave Macmillan, 2003), hlm. 16; Calise, “The Personal
Party.., hlm. 301–315
38
“Menjaga Sinar Politik Sang Matahari,” Harian Kompas,
(Jakarta), 2 Maret 2015.
33
Olli Hellmann, Political Parties and Electoral Strategy The
Development of Party Organization in East Asia (Hampshire
39
Eunsook Jung, “Islamic Organizations and Electoral Politics
and New York: Palgrave Macmillan, 2011), hlm. 126. in Indonesia: the Case of Muhammadiyah,” South East Asia
Research, 22, no. 1: 73–86.
34
Ulla Fionna, “The Trap of Pop-Charisma for the
Institutionalization of Indonesia’s Post-Suharto Parties,” Asian
40
Bastian Nainggolan dan Yohan Wahyu, Partai Politik
Journal of Political Science, 2016. Indonesia 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016), hlm. 171; “Menjaga
35
Robert Harmel and Lars Svasand, “Party Leadership and Sinar Politik Sang Matahari,” Harian Kompas, (Jakarta), 2
Party Institutionalisation: Three Phases of Development,” West Maret 2015. Lihat juga Sandra Amalia dan Ridho Imawan
European Politics, 16, no. 2, (2007): 67-88. Hanafi, “Masa Depan PAN: Merawat Stabilitas Dukungan di
Pemilu,” dalam Masa Depan Partai Islam di Indonesia: Studi
36
Firman Noor, Perpecahan dan Soliditas Partai Islam di tentang Volatilitas Elektoral dan Faktor-Faktor Penyebabnya,
Indonesia: Kasus PKB dan PKS di Awal Reformasi, (Jakarta: ed. Moch. Nurhasim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hlm.
LIPI Press, 2015). 129-131.
organisasi.41 Terdapat struktur organisasi yang partai personal yang menjalankan agenda dan
bisa menahan lebih jauh individu-individu elite kebijakan partai dengan berpusat pada figur
partai agar tak mampu mempersonalkan partai. karismatik. Dalam hal ini juga diperlihatkan
Meskipun ada juga spekulasi bahwa Hilmi dengan lemahnya manajemen organisasi seperti
Aminuddin berhasil menjadi tokoh yang sangat peraturan internal yang bisa dijadikan pijakan
pengaruh bagi PKS pasca-Pemilu 2004.42 Di dalam beberapa keputusan penting partai,
kalangan internal, Hilmi dinilai sebagai sosok maupun dalam menangani perpecahan internal.46
yang powerful, tetapi dinamika organisasi pada Perbedaan level pelembagaan partai ini yang
akhirnya tetap berlangsung dinamis.43 Absennya menjadikan level personalisasi kemudian berbeda
personalisasi partai juga berlangsung di PPP. antarpartai politik Islam. PKS yang mencoba
Pada era reformasi ini, tak ada satu orang figur disiplin dengan aturan dan ideologi partai,
kuat yang mampu mendominasi partai dalam misalnya, cenderung terhindar pada personalisasi
jangka waktu yang lama, apalagi menjadi patron partai.
atau image bagi PPP.44 Ada banyak figur yang Terkait dengan personalisasi partai Islam di
berpengaruh dalam partai namun tak cukup Indonesia era reformasi, maka penting dicatat
kuat untuk mampu mempersonalkan partai. bahwa level personalisasi partai Islam sejak
Beragamnya elite internal itu ditambah dengan 1999 hingga hari ini tidak bersifat stagnan dan
situasi partai yang belum sepenuhnya terlembaga mengalami pasang surut, khususnya pada PKB
justru memicu konflik internal antartokoh dan PAN. Tabel 3 menggambarkan kondisi
elite itu rentan terjadi. 45 Beberapa konflik personalisasi pada partai Islam saat ini. Informasi
internal PPP yang pernah terjadi di antaranya: pada tabel tersebut memperlihatkan bahwa
konflik antara kubu Hamzah Haz dengan kubu PKB dan PAN hari ini tak lagi melekat secara
Zainuddin MZ; konflik antara kubu Suryadharma sangat kuat atau kuat pada ketokohan individu.
Ali dan Romahurmuziy; serta konflik antara Perubahan ini terjadi setelah partai tak lagi
Romahurmuziy dengan Djan Faridz. dipimpin oleh Gus Dur (pada PKB) dan Amien
Berangkat dari pengalaman PKB, PAN, PKS Rais (pada PAN).
dan PPP, terlihat bagaimana derajat pelembagaan Sejak mundurnya Gus Dur dari tampuk
partai menentukan terbentuk dan tidaknya kepemimpinan partai, personalisasi PKB
personalisasi partai. Lemahnya pelembagaan cenderung melemah. Namun, personalisasi partai
partai membuka peluang besar bagi terbentuknya cenderung menguat kembali saat Muhaimin
41
Hamayotsu, “The End of Political.., hlm. 133-159. memegang kepemimpinan PKB. Hal ini ditandai
oleh tersingkirnya kelompok atau faksi yang
42
Hamayotsu, “The End of Political.., hlm.133-159.
berseberangan dengan Muhaimin pada saat
43
Hamayotsu, “The End of Political.., hlm. 235. Muhaimin menjadi ketua partai. Artinya,
44
Firman Noor, “Leadership and Ideological Bond: PPP and
Muhaimin berhasil membentuk faksi dominan
Internal Fragmentation in Indonesia,” Studia Islamika, 23, no. di dalam tubuh PKB dan tampil sebagai orang
1, (2016): 61-103. yang cukup kuat di PKB, terutama setelah dirinya
45
Firman Noor, “Leadership and Ideological Bond.., hlm.
61-103. 46
Tan, “Indonesia Seven Years.., hlm. 88-114.
Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 299
terpilih dalam Muktamar PKB di Surabaya, Jawa Nasional Demokrat (Nasdem). Mereka tidak
Timur, tahun 2014.47 hanya menjadi pendiri partai, tetapi juga menjadi
Pada PAN saat ini, pengaruh Amien sosok yang memimpin partai, pengumpul suara
Rais tidak lah sekuat dahulu seperti saat dalam pemilu, calon presiden partai, hingga
ia masih menjabat ketua umum. Restunya aktor di balik semua kebijakan penting partai.
masih berpengaruh terhadap penentuan siapa Personalisasi partai jelas nampak menjadi
calon ketua umum partai, namun ia tidak fenomena yang menggejala di tubuh partai
lagi bersifat sangat menentukan bagi seluruh nasionalis.
kebijakan partai seperti dahulu.48 Melemahnya Dibandingkan dengan partai Islam,
personalisasi partai ini dipengaruhi oleh personalisasi partai nasionalis dapat dikategorikan
ketegasan partai untuk menerapkan pembatasan memiliki kecenderungan personalisasi partai
periode kepemimpinan.49 Di tubuh PAN, adanya yang lebih kuat pada beberapa partainya. Hal
kesepakatan tak tertulis di internal partai bahwa ini diukur dari empat indikator yakni bagaimana
jabatan ketua umum hanya untuk satu periode tokoh menjadi image partai, dominasi tokoh
cukup mampu meredam munculnya tokoh elite sentral, individu elite sebagai vote getter partai
yang dominan dalam periode lama di dalam dan ketergantungan pada tokoh dalam pendanaan
partai. partai. Seperti terurai di dalam tabel 4, partai
Kondisi partai Islam yang saat ini cenderung nasionalis menunjukan beberapa indikator di
minimal terpersonalisasi dipengaruhi juga oleh antaranya dalam level kuat dan sangat kuat.
tidak bergantungnya pendanaan partai pada tokoh Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa
sentral partai. PKS misalnya, lebih mengandalkan partai PDIP, Partai Demokrat, dan Partai
sumbangan dari para anggota atau internal kader Gerindra dapat dikategorikan partai dengan
mereka dan elite mereka yang duduk dalam personalisasi kuat. Sementara, Partai Nasdem
eksekutif atau legislatif.50 Hal ini juga terjadi memiliki kecenderungan personalisasi kuat
dengan partai-partai Islam lain. Mereka lebih tetapi belum dapat disimpulkan secara utuh
mengandalkan penerimaan dana partai dari iuran karena usia partai yang masih sangat muda.
anggota mereka (termasuk oleh anggota partai Sementara, Partai Hanura terkategori sedang,
yang menjadi bagian dari lembaga eksekutif dan meski pada perkembangan terakhirnya belum bisa
menjadi anggota parlemen), sumbangan yang diprediksikan karena ada suksesi kepemimpinan
dipersyaratkan sesuai regulasi, serta bantuan dari Wiranto ke Oesman Sapta Odang (OSO).
dari negara. Partai Golkar terkategori personalisasi lemah
karena kecenderungan yang terjadi pada partai
Golkar bukanlah personalisasi melainkan
Partai Nasionalis dan Personalisasi oligarki. Hal yang menjadi catatan penting
Politik dalam kasus personalisasi partai nasionalis
Pada era reformasi, berbagai partai nasionalis adalah pola personalisasi yang cenderung
muncul lekat dengan image para elite yang bersifat stagnan, atau tidak terlihat dinamika
mendirikan atau menggagasnya. Hal ini seperti perubahan yang signifikan selama era reformasi
terlihat pada Megawati di PDIP, Soesilo Bambang seperti berlangsung pada PKB dan PAN yang
Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat, Prabowo personalisasinya cenderung melemah.
Subianto di Gerindra, Wiranto di Partai Hati
Nurani Rakyat (Hanura), Surya Paloh di Partai
47
“Muhaimin Terpilih Aklamasi Pimpin PKB,” Harian Kompas
(Jakarta), 2 September 2014.
48
Hellmann, Political Parties and Electoral, hlm.127-128.
49
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PAN.
50
Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), hlm. 152-153.
Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu SBY juga dianggap sebagai tokoh yang dapat
berlangsungnya personalisasi partai nasionalis, di memimpin dan menyatukan Partai Demokrat. Hal
antaranya sejarah pendirian partai, karisma tokoh, ini terlihat saat Anas Urbaningrum menjadi Ketua
hubungan patronase, dan sumber pendanaan Umum Partai Demokrat hingga akhirnya menjadi
partai. Tokoh sentral yang mempersonalisasikan tersangka korupsi, Partai Demokrat terancam
partai nasionalis umumnya adalah pendiri partai perpecahan internal. Namun, SBY berhasil
yang kemudian ditetapkan sebagai ketua umum mengambil alih kepemimpinan dan menjadikan
atau menempati jabatan struktural strategis partai tetap utuh dan berfungsi. Hal yang sama
lainnya (lihat tabel 1). Misalnya, Megawati terjadi juga di PDIP, dimana Megawati diyakini
yang mendirikan PDIP, SBY yang menggagas kuat oleh kadernya sebagai pemimpin partai yang
PD, Prabowo yang mendirikan Partai Gerindra, berkarisma dan merupakan penyebab partai tetap
Wiranto yang membentuk Partai Hanura dan solid. Hal ini irasional, namun terjadi.
Surya Paloh sebagai pendiri Partai Nasdem. Aspek penting lainnya yang melatarbelakangi
Hampir dari semua nama-nama pendiri-pendiri personalisasi partai adalah sumber pendanaan
partai tersebut adalah juga ketua umum partai. partai. Besarnya kebutuhan dan biaya
Yang menarik, selain menjadi pendiri partai, yang dibutuhkan untuk menjalankan partai
mereka juga merupakan kandidat presiden dalam menyebabkan partai harus mencari berbagai
pemilu yang biasanya terpilih secara aklamasi sumber pendanaan. Pada partai nasionalis, tokoh
oleh partai. Hal ini karena partai didirikan sentral partai memegang pengaruh penting posisi
oleh para elite politik untuk dijadikan sebagai penting sebagai sumber pendanaan partai. Hal
media kandidasi mereka dalam pemilu. PD, ini pulalah yang menyebabkan partai menjadi
Partai Gerindra, Hanura dan Nasdem adalah sangat bergantung pada individu elite tersebut.
partai-partai dengan motif pendiriannya untuk Kultur patronase pun menjadi penjelas lain
mengusung para tokoh sentral dalam pilpres. mengapa tokoh sentral dapat menguasai partai,
Selain itu, karisma yang dimiliki oleh para yakni karena ia memainkan peran sebagai patron
tokoh sentral menjadi salah satu latar belakang dari para anggota partainya. Hal ini memberi
mengapa personalisasi politik pada partai terjadi. ruang bagi tokoh partai untuk melanggengkan
Kepemimpinan karismatik diklaim dimiliki kekuasaannya atas partai, dan pada akhirnya
oleh masing-masing ketua umum partai politik, menguatkan personalisasi partai.
diantaranya termasuk Megawati, SBY, dan Kasus bagaimana pengaruh sumber
Prabowo. Bagi para kader, para pemimpin partai pendanaan oleh tokoh sentral terhadap
tersebut memiliki karisma yang kuat sehingga personalisasi terlihat cukup kentara pada Partai
akhirnya terbentuk fanatisme atas kepemimpinan Gerindra dan Nasdem. Prabowo pada Gerindra
mereka. Sebagai contoh, bagi kader Partai dan Surya Paloh pada Nasdem merupakan
Demokrat, SBY adalah pimpinan berkarisma sumber finansial terbesar bagi partai, walau tak
yang menjadi teladan dalam berdemokrasi. dipungkiri ada sumber lain seperti sumbangan
Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 301
dan iuran anggota partai. Berbeda dengan Partai partai. Sayangnya, dampak-dampak positif ini
Gerindra dan Nasdem, pendanaan Partai Hanura hanya bersifat semu atau sementara.
tidak sepenuhnya bersumber dari Wiranto. Jika dikaitkan dengan perkembangkan partai
Namun, pendaan partai dipikul oleh Wiranto politik yang disebut oleh Harmel dan Svåsand,
dengan memanfaatkan jaringan sosialnya; baru maka pada tahap awal perkembangan partai,
setelah, OSO menjadi pemimpin baru Partai figur yang kuat dan kokoh memang diperlukan
Hanura, maka banyak alokasi finansial untuk untuk membangun partai. Apalagi bagi pola
kebutuhan partai bersumber dari ketua partai. kepartaian di Indonesia yang bersifat catch all
Pada Partai Golkar, seorang figur dapat menjadi parties, dan bukan partai kader. Oleh karena
yang paling berpengaruh di dalam partai tidak hadirnya tokoh sentral membawa dampak positif
hanya karena ia mendanai segala kebutuhan sebagai pembeda antar partai dan penting bagi
partai, tetapi juga karena mampu memenangkan perkembangan partai. Namun, hal ini hanya
“munas” atau suksesi kepemimpinan di internal bersifat semu dan sementara saja. Dalam jangka
partai golkar berkat seluruh modal kapital panjang, kehadiran figur itu dapat menimbulkan
(termasuk finansial) yang ia miliki.51 Berbeda ketergantungan partai yang sangat kuat terhadap
dengan partai nasionalis lainnya, Partai Demokrat tokoh sentral tersebut.
dan PDIP cenderung tidak bergantung secara
Pada partai yang proses pendiriannya
penuh pada tokoh sentral, melainkan secara
bergantung pada sesosok tokoh/individu
bersama dibebankan pada pengurus dan anggota
dan keluarga, disertai juga dengan adanya
partai, yang terutama telah memegang tampuk
ketergantungan pendaanan partai, maka
kekuasaan di pemerintahan atau di lembaga
kepemilikan partai menjadi mengarah pada
legislatif.
individu, keluarga atau korporasi. Ketergantungan
ini menyebabkan dampak negatif, karena partai
Dampak Personalisasi Partai Terhadap bukan saja “dikooptasi,” tetapi bekerja atau
Pelembagaan Partai Politik dan tidaknya organisasi partai juga bergantung
Demokrasi dari kekuatan ekonomi dan finansial yang
memimpinnya. Pola kepempinan partai yang
Personalisasi politik pada partai, sebagai sebuah menonjolkan pada ketokohan satu individu elite
proses individualisasi yang memengaruhi ini akan merugikan partai karena menyebabkan
seluruh proses kerja di dalam partai politik,52 de-institusionalisasi partai politik. Kelembagaan
akan berdampak kepada internal sekaligus partai politik tergerus karena hampir pasti
eksternal partai. Adapun dampak internal yang organisasi dan manajemen partai tak berjalan
disebabkannya dapat menguntungkan di satu baik.
sisi dan merugikan di sisi lainnya. Dampak
Selain itu, partai juga rentan mengalami
menguntungkan tersebut di antaranya adalah: (1)
pembelokan ideologis. Pembelokan ideologis ini
menghindari konflik internal partai; (2) stabilitas
terjadi karena yang kemudian berhak menafsirkan
internal partai; (3) memperpendek rentang
ideologi partai adalah hanya tokoh sentral dan
kendali partai; (4) memperpanjang usia partai--
lingkarannya, sementara kader-kader partai yang
dengan adanya tokoh yang kuat, partai bisa lolos
mungkin potensial—tidak dapat berkontribusi
pemilu dan memperoleh dukungan politik; dan
bagi perkembangan ideologi partai. Akibatnya,
(5) pada tahap akhirnya akan tercipta kohesi
monopoli identitas partai pun terjadi karena
ideologi partai dianggap sebagai “warisan” para
51
Meutya Hafid dalam FGD “Personalisasi Partai Politik tokoh sentral, hingga hanya mereka yang berhak
Era Reformasi, yang diadakan oleh P2P-LIPI di Jakarta, 28 menafsirkan dan meneruskannya. Dampak lebih
Agustus 2017.
buruknya adalah adanya kematian ideologi partai
52
Pengertian ini diadopsi dari pengertian personalisasi politik karena partai digerakan oleh kekuatan figur/orang
yang dikemukakan oleh Bauman, 2001 di mana personalisasi
politik diartikan sebagai bagian dari proses secara menyeluruh
dan bukan oleh kekuatan ide atau gagasan.
dari proses individualisasi kehidupan sosial. Dalam konteks Tidak hanya berdampak pada internal
ini personalisasi partai dapat dimaknai sebagai gejala adanya
proses individualisasi di dalam partai politik.
partai politik, personalisasi partai juga dapat
Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 303
yang berkuasa dan yang “tak pernah salah.” Hal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PAN
ini menjadi semakin buruk ketika proses sukses Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPP.
kepemimpinan tidak berjalan atau pola seleksinya Azra, Azyumardi. Indonesia, Islam, and Democracy:
didominasi oleh otoritas elite atau pimpinan Dynamic in a Global Context. Jakarta: Soltice
partai. Berbagai hal ini kemudian membentuk Publishing, 2006.
simpul yang memfasilitasi terlembaganya Van Biezen, Inggrid. Political Parties in New
personalisasi politik di dalam parpol. Democracies Party Organization in Southern
and East-Central Europe. Hampshire and New
Personalisasi politik pada partai York: Palgrave Macmillan, 2003.
sesungguhnya tidak dapat dipandang hanya Blondel, Jean, Jean-Louis Thiebault, et.al. Political
sebagai problem yang berdampak negatif, Leadership, Parties and Citizens: The
namun juga dapat berdampak positif. Dampak Personalisation of Leadership. Oxon, UK:
positif tersebut diantaranya adalah mampu Routledge, 2010.
menghindarkan partai dari konflik internal partai, Cross, William dan Jean-Benoit Pilet. The Politics
memberikan stabilitas partai, memperpendek of Party Leadership: A Cross National
rentang kendali partai, memperpanjang usia Perspective, Oxford, UK: Oxford University
partai, serta menciptakan kohesi partai. Namun Press, 2015.
demikian, dampak positif itu hanya bersifat Fatah, Eep Saefulloh. Mencintai Indonesia dengan
Amal. Jakarta: Penerbit Republika, 2004.
semu dan sementara. Dampak negatif dirasa
masih menjadi ancaman yang lebih besar bagi Firmanzah. Mengelola Partai Politik. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2008.
berlangsungnya personalisasi politik pada partai.
Ketergantungan partai terhadap tokoh sentral Hellmann, Olli. Political Parties and Electoral Strategy
The Development of Party Organization in East
mampu berakibat pada terkooptasinya partai Asia. Hampshire and New York: Palgrave
oleh kepentingan individu, bukan kepentingan Macmillan, 2011.
publik yang seharusnya diutamakan partai. Karvonen, Lauri. The Personalization of Politics:
Hal ini menandakan juga semakin terkikisnya A Study of Parliamentary Democracies.
partai secara kelembagaan dan memperlihatkan Colchester, UK: ECPR Press, 2010.
tidak berfungsinya institusi partai. Tidak hanya Mainwaring, S. & T. R. Scully. Building Democratic
itu, personalisasi partai juga berdampak buruk Institutions: Party Systems in Latin America.
terhadap upaya penegakan demokrasi, baik itu Stanford, CA: Stanford University Press, 1995.
untuk internal partai maupun untuk kehidupan Manning, Chris, dan Peter Van Diermen (eds.).
politik yang lebih luas. Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek
Sosial dari Reformasi dan Krisis. Yogyakarta:
LKiS Yogyakarta, 2000.
Muhtadi, Burhanuddin. Dilema PKS: Suara dan
Daftar Pustaka
Syariah. Jakarta: Kepustakaan Populer
Buku Gramedia, 2012.
Adian, Donny Gahral. “Personalisasi Politik.” Harian Nainggolan, Bastian dan Yohan Wahyu. Partai
Kompas. (Jakarta), 27 September 2012. Politik Indonesia 1999-2019: Konsentrasi dan
Ahmad, Ikhsan. Pilar Demokrasi Kelima: Politik Dekonsentrasi Kuasa. Jakarta: Penerbit Buku
Uang: Realitas Konstruksi Politik Uang di Kota Kompas, 2016.
Serang, Banten. Yogyakarta: Deepublish, 2015. Noor, Firman. “Menimbang Masa Depan Sistem
Amalia, Luky Sandra dan Ridho Imawan Hanafi. Presidensial di Indonesia Problematika
“Masa Depan PAN: Merawat Stabilitas Demokrasi dan Kebutuhan Perbaikan Sistemik.”
Dukungan di Pemilu,” dalam Moch. Nurhasim, Dalam Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti
Masa Depan Partai Islam di Indonesia: Studi (ed). Sistem Presidensial dan Sosok Presiden
tentang Volatilitas Elektoral dan Faktor-Faktor Ideal, . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Penyebabnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Noor, Firman. Perpecahan dan Soliditas Partai Islam
2016. di Indonesia: Kasus PKB dan PKS di Awal
Amir, Zainal Abidin. Peta Islam Politik Pasca- Reformasi. Jakarta: LIPI Press, 2015.
Soeharto. Jakarta: LP3ES, 2003.
Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi | Aisah Putri Budiatri, dkk | 305
Croissant, Aurel, dan Wolfgang Merkel. “Political Party Tolleng, A. Rahman. “Selamat Datang Personalisasi
Formation in Presidential and Parliamentary Politik.” Harian Tempo. 24 November 2003.
System” dalam http://library.fes.de/pdf-files/ Tribun Pontianak. “Amien Rais: Voting Lebih Bagus
bueros/philippinen/50072.pdf. Daripada Aklamasi.” dalam https://amp/
Haris, Syamsuddin. “Partai dan Personalisasi pontianak.tribunnews.com/amp/2015/03/01/
Kekuasaan.” Harian Kompas. 31 Maret, 2005. amien-rais-voting-lebih-bagus-daripada-
Hasan, Halili. “Partai Politik, Ornamen Demokrasi.” aklamasi?client=safari.
Jawa Pos. 19 April 2016. “Makna Angka 6 bagi Gerindra.” dalam http://
Hayati, Istiqomatul. “Sihir Amien Rais Bikin PAN partaigerindra.or.id/2013/01/14/makna-angka-
Hitam Putih.” Tempo Online. 3 Maret 2015. 6-bagi-gerindra.html.
dalam https://nasional.tempo.co/read/646568/ “Sejarah Pembentukan dan Berdirinya Partai
sihir-amien-rais-bikin-pan-hitam-putih. Demokrat.” dalam http://www.demokrat.or.id/
C N N . “ K e t u a U m u m Te t a p M e g a , P D I P : sejarah/.
Kepemimpinan Dibawa Sejak Lahir.” 4
April 2017 dalam http://m.cnnindonesia.com/ Wawancara dan FGD
politik/2015043025358-32-43988/ketua-
FGD “Personalisasi Partai Politik Pasca Reformasi”
umum-tetap-mega-pdip-kepemimpinan-
yang diselenggarakan oleh P2P-LIPI, 28
dibawa-sejak-lahir/.
Agustus 2017.
Kompas. “Masuknya Agus Harimurti Yudhoyono
Wawancara dengan kader PDIP Jawa Timur (tidak
Dinilai Persiapan SBY Regenerasi
dapat disebutkan namanya) pada Juni 2016 di
di Demokrat.” 23 September 2016
Surabaya.
dalam http://nasional.kompas.com/amp/
read/2016/09/23/09252571/masuknya.agus. Wawancara dengan Prof. Purwo Santoso, di UGM,
harimurti.yudhoyono.dinilai.persiapan.sby. Yogyakarta, Hari Rabu, 17 Mei 2017.
regenerasi.di.demokrat.?client=safari.
Redaksi. “Menjaga Sinar Politik Sang Matahari.”
Harian Kompas. 2 Maret 2015.
Redaksi. “Muhaimin Terpilih Aklamasi Pimpin PKB.”
Harian Kompas. 2 September 2014.
Redaksi. “Pengaruh Amien Rais di PAN Masih Sangat
Besar.” 19 Desember 2014 dalam http://m.
detik.com/news/berita/2782283/pengaruh-
amien-rais-di-pan-masih-sangat-besar.