“ MASTITIS ”
Disusun Oleh :
Naila Isyatir Rodhiyah ( P1337424220033)
KELAS CHAMOMILE
1. Definisi
Mastitis adalah infeksi peradangan pada mammae, terutama pada primipara yang
biasanya disebabkan oleh staphylococcus aureus, infeksi terjadi melalui luka pada putting
susu, tetapi mungkin juga melalui peredaran darah. Penyebab ini biasanya menyertai laktasi,
sehingga disebut juga mastitis laktasional atau mastitis puerperalis. Infeksi terjadi melalui
luka pada putting susu, tetapi mungkin juga melalui peredaran darah. Kadang-kadang
keadaan ini bisa menjadi fatal bila tidak diberi tindakan yang adekuat. Abses payudara,
penggumpalan nanah local di dalam payudara, merupakan komplikasi berat dari mastitis.
Mastitis adalah infeksi payudara. Mastitis terjadi akibat invasi jaringan payudara oleh
organisme infeksius atau adanya cedera payudara. Cedera payudara mungkin disebabkan
memar karena manipulasi yang kasar, pembesaran payudara, stasis air susu ibu dalam duktus,
atau pecahnya atau fisura putting susu.
Infeksi payudara (mastitis) adalah suatu infeksi pada jaringan payudara. Biasanya
terjadi karena adanya bakteri jenis staphylococcus aureus. Bakteri biasanya masuk melalui
puting susu yang pecah-pecah atau terluka. Pada infeksi yang berat atau tidak diobati, dapat
terbentuk abses payudara (penimbunan nanah di dalam payudara). Mastitis adalah reaksi
sistemik seperti demam, terjadi 1-3 minggu setelah melahirkan sebagai komplikasi sumbatan
saluran air susu (Masjoer, 2011).
Mastitis adalah infeksi yang disebabkan karena adanya sumbatan pada duktus hingga
puting susu mengalami sumbatan. Mastitis paling sering terjadi pada minggu kedua dan
ketiga pasca kelahiran. Penyebab penting dari mastitis ini adalah pengeluaran ASI yang tidak
efisien akibat teknik menyusui yang buruk. Untuk menghambat terjadinya mastitis ini
dianjurkan untuk menggunakan bra atau pakaian dalam yang memiliki penyangga yang baik
pada payudaranya (Sally I, 2003 dalam Anonim, 2013).
2. Klasifikasi
A. Mastitis puerparalis epidemik
Mastitis puerparalis epidemik ini biasanya timbul apabila pertama kali bayi dan
ibunya terpajan pada organisme yang tidak dikenal atau virulen. Masalah ini paling sering
terjadi di rumah sakit, yaitu dari infeksi silang atau berkesinambungan strain resisten.
B. Mastitis noninfeksiosa
Mastitis noninfeksiosa terjadi apabila ASI tidak keluar dari sebagian atau seluruh
payudara produksi ASI melambat dan aliran terhenti. Namun proses ini membutuhkan waktu
beberapa hari dan tidak akan selesai dalam 2-3 minggu. Untuk sementara waktu, akumulasi
dapat menyebabkan respons peradangan.
C. Mastitis subklinis
Mastitis subklinis telah diuraikan sebagai sebuah kondisi yang dapat disertai dengan
pengeluaran asi yang tidak adekuat, sehingga produksi ASI sangat berkurang yaitu kira-kira
hanya sampai di bawah 400 ml/hari (< 400 ml/hari).
D. Mastitis infeksiosa
Mastaitis infeksiosa terjadi apabila siasis ASI tidak sembuh dan proteksi oleh faktor imun
dalam asi dan oleh respon respon inflamasi. Secara normal, ASI segar bukan merupakan
media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
3. Faktor Resiko
Faktor-faktor yang bisa diduga dapat meningkatkan resiko mastitis, yaitu sebagai berikut :
1) Umur, wanita berumur 21-35 tahun lebih sering menderita mastitis dari pada wanita
dibawah usia 21 tahun atau diatas 35 tahun.
2) Paritas, mastitis lebih banyak diderita oleh primipara.
3) Serangan sebelumnya, serangan mastitis pertama cenderung berulang, hal ini
merupakan akibat teknik menyusui yang buruk yang tidak diperbaiki.
4) Komplikasi melahirkan dapat meningkatkan resiko mastitis, walaupun penggunaan
oksitosin tidak meningkatkan resiko.
5) Gizi, asupan garam dan lemak tinggi serta anemia menjadi faktor predisposisi
terjadinya mastitis. Wanita yang mengalami anemia akan beresiko mengalami mastitis
karena kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga hal itu akan memudahkan tubuh
mengalami infeksi (mastitis). Antioksidan dari vitamin E, vitamin A dan selenium
dapat mengurangi resiko mastitis.
6) Faktor kekebalan dalam ASI, faktor kekebalan dalam ASI dapat memberikan
mekanisme pertahanan dalam payudara.
7) Pekerjaan di luar rumah, interval antar menyusui yang panjang dan kekurangan
waktu dalam pengeluaran ASI yang adekuat sehingga akan memicu terjadinya stasis
asi.
8) Trauma, trauma pada payudara yang disebabkan oleh apapun dapat merusak jaringan
kelenjar dan saluran susu dan hal tersebut dapat menyebabkan mastitis.
4. Tanda dan Gejala
Tanda gejala mastitis biasanya tidak ada sebelum akhir minggu pertama post partum. Nyeri
ringan pada salah satu lobus payudara, yang diperberat jika bayi menyusu dan gejala seperti
flu: nyeri otot, sakit kepala dan keletihan. Mastitis hampir selalu terbatas pada satu payudara.
Tanda dan gejala actual mastitis meliputi :
3. Menggigil
6. ASI tidak mengalir dengan mudah, dan bayi sulit mengenyut untuk menghisap ASI
sampai pembengkakan berkurang.
7. Payudara yang terbendung membesar, membengkak, keras dan kadang terasa nyeri
8. Ibu akan tampak seperti sedang mengalami flu, dengan gejala demam, rasa dingin dan
tubuh terasa pegal dan sakit.
9. Terjadi pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi yang sama dengan payudara
yang terkena.
5. Etiologi
Mastitis biasanya disebabkan oleh bakteri yang banyak ditemukan pada kulit yang
normal yaitu staphylococcus aureus. Bakteri ini seringkali berasal dari mulut bayi yang
masuk ke dalam saluran air susu melalui dobekan atau retakan di kulit pada puting susu.
Mastitis biasanya terjadi pada wanita yang menyusui dan paling sering terjadi dalam
waktu 1-3 bulan setelah melahirkan. Sekitar 1-3% wanita menyusui mengalami mastitis
pada beberapa minggu pertama setelah melahirkan.
Penyebab utama mastitis adalah statis ASI dan infeksi. Statis ASI biasanya
merupakan penyebab primer yang dapat disertai atau menyebabkan infeksi.
1. Statis ASI
Statis ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan dengan efisien dari payudara. Hal ini terjadi jika
payudara terbendung segera setelah melahirkan, atau setiap saat bayi tidak mengisap ASI,
kenyutan bayi yang buruk pada payudara, pengisapan yang tidak efektif, pembatasan
frekuensi / durasi menyusui, sumbatan pada saluran ASI, suplai ASI yang sangat berlebihan
dan menyusui untuk kembar dua/lebih.
2. Infeksi
Organisme yang paling sering ditemukan pada mastitis dan abses payudara adalah
organismekoagulase-positif Staphylococcus Aureus dan Staphylococcus albus, Escherichia
coli dan Streptococcus kadang-kadang juga ditemukan. Mastitis jarang ditemukan sebagai
komplikasi demam tifoid.
6. Patofisiologi
Secara garis besar, mastitis atau peradangan pada payudara dapat terjadi karena proses
infeksi ataupun noninfeksi. Namun semuanya bermuara pada proses infeksi. Mastitis akibat
proses noninfeksi berawal dari proses laktasi yang normal. Namun karena sebab-sebab
tertentu maka dapat menyebabkan terjadinya gangguan pengeluaran ASI atau yang biasa
disebut sebagai stasis ASI. Hal ini membuat ASI terperangkap di dalam ductus dan tidak
dapat keluar dengan lancar. Akibatnya mammae menjadi tegang. Sehingga sel epitel yang
memproduksi ASI menjadi datar dan tertekan. Permeabilitas jaringan ikat meningkat,
beberapa komponen(terutama protein dan kekebalan tubuh dan natrium) dari plasma masuk
ke dalam ASI dan jaringan sekitar sel memicu respon imun. Terjadi inflmasi hingga sehingga
mempermudah terjadinya infeksi. Kondisi ini membuat lubang duktus laktiferus menjadi port
de entry bakteri, terutama bakteri Staphylococcus aureus dan Strepcococcus sp.
Hampir sama dengan kejadian pada mastitis noninfeksi, mastitis yang terjadi akibat
proses infeksi terjadi secara langsung, yaitu saat timbul fisura/robekan/perlukaan pada puting
yang terbentuk saat awal laktasi akan menjadikan tempat masuknya bakteri. Proses
selanjutnya adalah infeksi pada jaringan mammae.
7. Komplikasi
a) Abses payudara
c) Infeksi jamur
Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur seperti
candida albicans. Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu mendapat terapi antibiotik.
Infeksi jamur biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri berupa rasa terbakar yang menjalar di
sepanjang saluran ASI. Diantara waktu menyusui permukaan payudara terasa gatal. Puting
mungkin tidak nampak kelainan. Pada kasus ini, ibu dan bayi perlu mendapatkan pengobatan.
Pengobatan terbaik adalah mengoles nistatin krim yang juga mengandung kortison ke puting
dan areola setiap selesai bayi menyusu dan bayi juga harus diberi nistatin oral pada saat yang
sama.
8. Pemeriksaan penunjang
1. Pengobatan dengan antibiotik tidak memperlihatkan respon yang baik dalam 2 hari.
Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan tangan yang langsung
ditampung menggunakan penampung urine steril. Puting susu harus dibersihkan terlebih
dahulu dan bibir penampung diusahakan tidak menyentuh puting untuk mengurangi
kontaminasi dari kuman yang terdapat dikulit yang dapat memberikan hasil positif palsu dari
kultur.
9. Penatalaksanaan
Setelah diagnosa mastitis dipastikan, yang harus segera dilakukan adalah pemberian
susu kepada bayi dari mammae yang sakit dihentikan dan diberi antibiotik. Dengan tindakan
ini terjadinya abses seringkali dapat dicegah, karena biasanya infeksi disebabkan oleh
staphylococcus aureus. Penisilin dalam dosis cukup tinggi dapat diberikan sebagai antibiotik.
Sebelum pemberian penisilin dapat dilakukan pembiakan atau kultur air susu, supaya
penyebab mastitis benar-benar diketahui. Apabila ada abses maka nanah dikeluarkan,
kemudian dipasang pipa ketengah abses agar nanah dapat keluar terus. Untuk mencegah
kerusakan pada duktus laktiferus, sayatan dibuat sejajar dengan jalannya duktus duktus
tersebut.
a. Konseling suportif
Mastitis merupakan pengalaman yang paling banyak wanita merasa sakit, nyeri dan
membuat frustasi. Selain dalam penanganan yang efektif dan pengendalian nyeri, wanita
membutuhkan dukungan emosional. Ibu harus diyakinkan kembali tentang nilai menyusui,
yang aman untuk diteruskan, bahwa ASI dari payudara yang terkena tidak akan
membahayakan bayinya dan bahwa payudaranya akan pulih, baik bentuk maupun fungsinya.
Klien membutuhkan bimbingan yang jelas tentang semua tindakan yang dibutuhkan untuk
penanganan, dan bagaimana meneruskan menyusui/memeras ASI dari payudara yang sakit.
Klien akan membutuhkan tindak lanjut untuk mendapat dukungan terus menerus dan
bimbingan sampai kondisinya benar-benar pulih.
2). Dorong untuk sering menyusui, sesering dan selama bayi menghendaki, tanpa
pembatasan.
3). Bila perlu peras ASI dengan tangan /pompa /botol panas, sampai menyusui dapat dimulai
lagi.
c. Terapi antibiotik
1). Hitung sel darah dan koloni bakteri dan biakkan yang ada serta menunjukkan infeksi.
4). Gejala tidak membaik setelah 12-24 jam setelah pengeluaran ASI diperbaiki.
Dosis antibiotik :
1. Berikan antibiotik kloksasilin 500 mg peroral 4 kali sehari setiap 6 jam selama 10 hari
atau eritromisin 250 mg peroral 3 kali sehari selama 10 hari.
2. Bantulah ibu agar tetap menyusui
3. Bebat atau sangga payudara
4. Kompres hangat sebelum menyusui untuk mengurangi bengkak dan nyeri yaitu
dengan memberikan paracetamol 500mg per oral setiap 4 jam dan lakukan evaluasi
secara rutin.
Pengobatan yang tepat dalam pemberian antibiotik, mintalah pada dokter antibiotik
yang baik dan aman untuk ibu yang menyusui, selain itu bila badan terasa panas ibu dapat
minum obat turun panas kemudian untuk bagian payudara yang terasa keras dan nyeri dapat
dikompres dengan menggunakan air hangat untuk mengurangi nyeri. Bila tidak tahan nyeri
dapat minum obat penghilang rasa sakit, istirahat yang cukup amat perlu untuk
mengembalikan kondisi tubuh menjadi sehat kembali. Disamping itu makan dan minum yang
bergizi, minum banyak air putih juga akan membantu menurunkan demam, biasanya rasa
demam dan nyeri itu akan hilang dalam dua atau tiga hari dan ibu akan mampu beraktivitas
seperti semula.
d. Terapi simtomatik
Jika terjadi abses biasanya dilakukan penyayatan dan membuang nanah, serta
dianjurkan untuk berhenti menyusui. Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan obat perada
nyeri (misalnya acetaminophen atatu ibuprofen). Kedua obat tersebut aman untuk ibu
menyusui dan bayinya.
10. Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya mastitis dapat dilakukan beberapa tindakan sebagai berikut
(Soetjiningsih, 1997):
Petugas kesehatan dan ibu perlu mencuci tangan secara menyeluruh dan sering
sebelum dan setelah kontak dengan bayi. Kontak kulit dini, diikuti dengan rawat gabung bayi
dengan ibu merupakan jalan penting untuk mengurangi infeksi rumah sakit.