Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

ِA. Latar Belakang

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dengan berbagai macam bentuk, kekuatan,
kecerdasan yang berbeda-beda. Sehingga ada beberapa amalan yang tidak mampu dilakukan oleh
seluruh orang, dan ada pula amalan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kuat tertentu saja.

Begitu juga halnya dalam kemampuan berfikirpun ada hal-hal yang dipahami oleh semua orang dan ada
hal-hal yang hanya bisa dipahami oleh ulama tertentu. Serta ada juga yang sama sekali tidak bisa
dipahami oleh seluruh insan.

Terkait itu pula Allah jadikan didalam al-Qur’an hal-hal yang bisa dipahami secara menyeluruh, juga hal-
hal yang hanya dipahami oleh orang tertentu dan hal-hal yang hanya Allah sajalah yang memahami
maknanya. Hal yang semacam ini disebut oleh para ulama sebagai pembahasan al-Muhkam dan al-
Mutasyaabih yang in syaa Allah akan menjadi pembahasan makalah kita dalam kesempatan ini.

Menimbang pentingnya pembahasan meski banyak kendala dalam penulisan makalah ini yang mendasar
terutama banyaknya istilah-istilah syar’i yang sulit untuk dituangkan maknanya kedalam bahasa
Indonesia secara sempurna. Namun tiada pilihan lain kecuali tetap kita upayakan untuk menyajikannya
sebatas kemampuan dalam sebuah pengabdian, mohon maaf atas segala kekeliruan dan semoga bisa
bermanfaat serta dicatat oleh Allah sebagai sebuah amal shalih amin Ya Rabbal ‘Alamin.

B. Poin Pembahasan

1. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih

2. Macam-macam al-Mutasyabih

3. Al-Mutasyabihat dalam ayat-ayat tentang sifat Allah

4. Perdebatan ulama seputar al-mutasyabihat

5. Hikmah mengetahui al-Muhkam dan al-Mutasyabih

PEMBAHASAN
A. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih

1. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih Secara Bahasa.

Al-Muhkam secara bahasa berasal dari kata dasar ‫ َح َك َم‬yang mana Ibnu Faris –rahimahullah -
mengatakan:

‫الظ ْل ِم‬
ُّ َ‫ك اَ ْل ُح ْك ُم َوهُ َو اَ ْل َم ْن ُع ِمن‬
َ ِ‫ َوأَ َّو ُل َذل‬.ُ‫ َوهُ َو اَ ْل َم ْنع‬,‫اَ ْل َحا ُء َو ْالكَافُ َو ْال ِم ْي ُم أَصْ ٌل َوا ِح ٌد‬

“Huruf al-Ha’, al-Kaf dan al-Mim adalah sebuah asal kata yang bermakna larangan. Kata pertama yang
berakar dari tiga huruf tersebut adalah Hukum yang berarti melarang dari sebuah kedzhaliman.”[2]

Dikatakan juga: “ ‫” َح َك ْمتُهُ َعلَ ْي ِه بِ َك َذا إِ َذا َمنَ ْعتُهُ ِم ْن ِخاَل فِ ِه‬, “aku menghukuminya dengan begini, jika aku
melarangnya untuk tidak menyelisihi sesuatu tersebut”.[3]

Maka makna hukum pada kalimat diatas adalah melarang, yaitu makna secara bahasa. Dari sini pulalah
tali yang mengikat kepala dan leher binatang dinamakan dengan ]4[ٌ‫ َح َك َمة‬atau tali kekang, karena
berfungsi untuk melarangnya bergerak agar terkendali.

Kemudian maknanya berubah dengan bertambahnya huruf alif jika dikatakan ‫ أَحْ َك َم – إِحْ كَا ًما‬yang
bermakna ‫ أَ ْتقَنَ – إِ ْتقَانًا‬artinya adalah menguatkan atau mengokohkan, seperti jika dikatakan: ‫ت ال َّش ْي َئ أَي‬ ُ ‫أَحْ َك ْم‬
‫ أَ ْتقَ ْنتُهُ فَ َمنَ ْعتُهُ ع َْن ْالفَ َسا ِد‬artinya aku menguatkan sesuatu dan melarangnya dari kerusakan.[5] Abu Hilal
al-‘Askariy –rahimahullah- berkata:

‫ َواإْل ِ حْ كَا ُم إِي َْجا ُد ْالفِع ِْل‬,ُ‫“ أَ َّن إِ ْتقَانَ ال َّشي ِْئ إِصْ اَل ُحه‬itqhannya sesuatu maksudnya adalah memperbaikinya, dan ihkam
adalah menyempurnakan perbuatan dan menguasinya dengan baik”.[6]

Maka al-Muhkam ‫ اَ ْل ُمحْ َك ُم‬secara bahasa adalah bentuk isim maf’ul dari ‫ أَحْ َك َم‬yang bermakna sesuatu yang
dikokohkan atau dikuatkan atau disempurnakan.

2. Pengertian al-Mutasyabih secara bahasa

Al-Mutasyabih secara bahasa berasal dari kata dasar ‫ شبه‬yang mana dikatakan oleh Ibnu Faris –
ِ ‫“ اَل ِّشيْنُ َو ْالبَا ُء َو ْالهَا ُء أَصْ ٌل َو‬bahwa huruf asy-Syin, al-Ba’ dan al-Ha’ satu
rahimahullah- : ‫اح ٌد يَدُلُّ َعلَى تَشَابُ ِه ال َّشي ِْئ‬
dasar kata yang menunjukkan kemiripan sesuatu”[7].

Ar-Raghib al-Asfahaniy –rahimahullah- menjelaskan bahwasanya al-mutasyabih sebuah kata turunan


dari ]8[ ُ‫ اَل َّش ْبهُ وال َّشبَهُ وال َّشبِ ْيه‬yang maknanya adalah sebuah kemiripan, beliau berkata:

ُ‫ { َوأُتُوا بِ ِه ُمتَشَابِهَا } أَيْ يُ ْشبِه‬:‫ قَا َل هللا تعالى‬، ‫َوال ُّش ْبهَةُ هُ َو أَ ْن اَل يَتَ َميَّ ُز أَ َح ُد ال َّش ْيئَي ِْن ِمنَ اآْل خَ ِر لِ َما بَ ْينَهُ َما ِمنَ التَّشَابُ ِه َع ْينًا َكانَ أَوْ َم ْعنًى‬
ً‫ضهُ بَ ْعضًا لَوْ نًا اَل طَ ْع ُما َو َحقِ ْيقَة‬
ُ ‫بَ ْع‬

Asy-Syubhah adalah tidak bisa membedakan antara satu dengan yang lain disebabkan adanya kemiripan
antara keduanya secara kasat mata ataupun makna, Allah Ta’ala berfirman: “mereka diberi buah-
buahan yang serupa…”, maksudnya adalah sebagiannya menyerupai warna sebagian yang lain, bukan
rasa atau hakikatnya.[9]

Maka al-Mutasyabih secara bahasa adalah “sesuatu yang memiliki kemiripan satu dengan yang lain”.

3. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih Secara Istilah.

Para ulama berbeda pendapat atau bermacam-macam dalam mengungkapkan pengertian al-
Muhkam ataupun al-Mutasyabih.

Imam az-Zarkasyiy –rahimahullah- berkata:

‫والح َر ِام‬
َ ‫ح فَهُ َو َما أَحْ َك َم ْتهُ بِاألَ ْم ِر َوالنَّه ِْي وبَيَا ِن ْال َحاَل ِل‬
ِ ‫َوأَ َّما فِ ْي ا ِالصْ ِطاَل‬
“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau dikuatkan dengan perintah
dan larangan dan penjelasan tentang halal dan haram.”

‫ف ْال َم َعانِي‬ ْ ‫وأما ال َمتَشَابِهُ فأَصْ لُهُ أن يَ ْشتَبِهَ اللَ ْفظُ في الظَا ِه ِر مع‬
ِ ‫اختِاَل‬

“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz secara dhzahir sementara maknanya
berbeda.”[10]

Kemudian beliau memaparkan pendapat ulama seputar al-Muhkam dan al-Mutasyabih, kurang lebihnya
seperti yang diikuti oleh Imam as-Suyuthiy dalam ungkapannya sebagai berikut; [11]

Al-Muhkam Al-Mutasyabih

Sesuatu yang diketahui maksudnya baik secara apa saja yang hanya diketahui oleh Allah seperti
dzhahir atau ta’wil hari kiamat, keluarnya dajjal dan huruf-huruf
muqatta’ah diawal-awal surat

adalah yang jelas maknanya ayat yang tidak jelas maknanya

sesuatu yang tidak memiliki kemungkinan ta’wil sesuatu yang berkemungkinan lebih dari satu
lebih dari satu penta’wilan

Apa saja yang termasuk ma’qulu al-ma’na Apa saja yang termasuk ghairu ma’quli al-ma’na

Apa saja yang berdiri sendiri tanpa butuh yang lain Apa saja yang tidak berdiri sendiri dan
sebagai penjelas membutuhkan kepada yang lain sebagai penjelas

Apa saja yang penta’wilannya sesuai dengan nash Apa saja yang tidak dapat diketahui kecuali dengan
turunnya(teksnya). ta’wil

Yang tidak berulang-ulang lafadznya Yang berulang-ulang lafadzny

Al-Faraid, janji dan ancaman Kisah dan permisalan

An-Nasikh, halal dan haram, hudud dan faraid Mansukh, aqsam (sumpah) dan apa saja yang kita
serta apa yang kita wajib mengimaninya dan wajib mengimaninya namun tidak untuk
mengamalkannya diamalkan.

Halal dan haram Selain halal dan haram

Sementara Syaikh Muhammad Abdul’adzim –rahimahullah- mengelompok pendapat-pendapat tersebut


dengan menyandarkan kepada ulamanya, sebagaimana yang beliau tuliskan dalam kitabnya sebagai
berikut:

Tokoh Pendalilan yang jelas yang tidak Sesuatu yang samar yang tidak
berkemungkinan terkena naskh bisa dimengerti maknanya baik
al-Hanafiyah secara akal atau penukilan nash
syar’i. Hanya Allah yang
mengetahuinya seperti hari
kiamat, huruf muqatta’ah
diawal-awal surat.

Ahlusunnah Yang diketahui maksud yang Sesuatu yang hanya Allah saja
diinginkan baik secara dzhahir yang mengetahuinya seperti
atau ta’wil kiamat, keluarnya dajjal, huruf
muqatta’ah diawal surat.

Ulama usulfiqih Sesuatu yang hanya Yang berkemungkinan lebih dari


berkemungkinan ta’wil dari satu satu penta’wilan
sisi saja.

al-Imam Ahmad Sesuatu yang berdiri sendiri dan Yang tidak berdiri sendiri bahkan
tidak membutuhkan penjelas membutuhkan penjelasan
terkadang dengan penjelasan ini
dan terkadang dengan
penjelasan yang lainnya
disebabkan khilaf dalam
penta’wilannya

Al-Imam Tekstual yang bagus dan Sesuatu yang jika ditinjau dari
tersusun yang berkonsekwensi segi bahasa tidak dapat
al-Haramain memberikan makna yang lurus dimengerti, kecuali didampingi
atau benar tanpa penafian dengan tanda atau pendukung.
Seperti satu kata yang memiliki
banyak makna

Ath-Thayyibiy Makna yang jelas yang tidak Makna yang tidak jelas yang
menimbulkan kesamaran menimbulkan kesamaran

B. Macam-macam Mutasyabih

Berkait tentang pengelompokan macam-macam mutasyabih ini ada beberapa pendapat ulama
didalamnya, seperti pada kedelapan hijriyah Imam asy-Syatibiy menuliskan bahwasanya al-Mutasyabih
itu ada tiga: haqiqiy dan idhafiy sert al-Mutasyabih yang terdapat dalam istinbatnya bukan nash dalilnya.

1. Al-Mutasyabih al-Haqiqiy adalah bagian dari al-Qur’an yang mana kita tidak dapat memahami
maknanya, bahkan seorang mujtahidpun saat menelitinya tidak bisa mendapatkan maknanya yang
muhkam.

2. Al-Mutasyabih al-Idhafiy adalah bagian dari al-Qur’an yang sebenarnya maknanya bisa dimengerti
dalam syariat akan tetapi terkadang dirancukan oleh kejahilan atau hawa nafsu sehingga dalam
pandangannya menjadi mutasyabih yang sebenarnya lebih condong kepada muhkam.[16] Jenis kedua
ini disebut juga dengan istilah al-Mutasyabih an-Nisbiy yang relative dan hanya ulama tertentu saja yang
dapat memahami maknanya.

3. Al-Mutasyabih dalam istinbat hukum bukan pada ayat atau dalilnya akan tetapi pada ‘illahnya.
Contoh; ayat tentang haramnya bangkai dan halalnya hewan yang disembelih secara syari sangatlah
jelas, namun timbul syubhat saat kedua daging tersebut tercampur apakah halal untuk dikonsumsi atau
menjadi haram

Sementara Imam as-Suyuthiy membagi al-Mutasyabih dari tiga sudut pandang; dari segi lafadz saja, dari
segi makna saja dan dari segi lafadz dan makna secara bersamaan:

1. Dari segi lafadz saja:

a. Terdapat pada satu lafadz saja, seperti al-Abb ( ّ‫)اَأْل َب‬.

b. Terdapat pada lafadz yang tersusun lebih dari satu, seperti ‫ ليس كمثله شيء‬karena seandainya diucapkan
‫ ليس مثله شيء‬maka ini lebih jelas untuk dipahami oleh yang mendengarnya.

2. Dari segi makna saja, seperti makna dari sifat-sifat Allah Ta’ala. Karena sifat-sifat ini tidak dapat kita
pahami gambaran hakikatnya.

3. Dari segi lafadz dan makan terbagi menjadi lima macam al-Mutasyabih;

a. Dari segi populasinya, seperti pada permasalahan al-umum dan al-khusus.

Contoh: َ‫فَا ْقتُلُوا ْال ُم ْش ِر ِكين‬, dalam surat at-Taubah ayat 5.


b. Dari segi tatacaranya, seperti wajib atau sunnah dalam firman Allah Ta’ala surat an-Nisa’

ayat 3:

َ َ‫فَا ْن ِكحُوا َما ط‬


‫اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء‬

c. Dari segi waktu, seperti an-Naskh dan al-Mansukh.

d. Dari segi tempat turunnya ayat tersebut.

e. Dari segi syarat yang menjadi standar sah tidaknya ibadah seperti syarat shalat dan nikah.

Kemudian beliau menyimpulkan bahwa dari penjelasan diatas maka bisa dipahami bahwasanya secara
umum al-Mutasyabih terbagi menjadi tiga:

 Al-Mutasyabih yang sama sekali tidak bisa kita pahami.


 Al-Mutasyabih yang bisa dipahami dengan indikasi-indikasi lainnya.
 Al-Mutasyabih yang hanya bisa dipahami oleh ulama tertentu.

C. Al-Mutasyabihat Dalam Ayat-ayat Tentang Sifat-sifat Allah

Sebagaimana telah kita jelaskan bahwa diantara yang termasuk mutasyabih adalah ayat tentang sifat-
sifat Allah Ta’ala, seperti:

]21[‫ق أَ ْي ِدي ِه ْم‬ ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


َ ْ‫يَ ُد هَّللا ِ فَو‬, ]20[ َ‫ َويَ ْبقَى َوجْ هُ َربِّك‬, ]19[‫ش ا ْست ََوى‬

Dan lainnya yang mana para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi ayat tentang sifat-sifat menjadi
bebera madzhab sebagaimana yang paparkan oleh Imam as-Suyutihiy:

1. Madzhab jumhur ahli sunnah dari kalangan salaf dan ahli hadits.

Yang berpendapat dengan mengimani sifat-sifat tersebut dengan mengembalikan makna yang dimaksud
kepada Allah tanpa mentafsirkan sebagai bentuk tadzih atau mensucikan hakikatnya.

2. Madzhab khalaf yaitu sebagian kalangan dari ahlusunnah.

Dengan berpendapat membolehkan ta’wil sifat-sifat sesuai dengan kemuliaan Allah Ta’ala. Dahulunya
Imam al-Haramain termasuk yang berpendapat seperti ini, namun kemudian beliau rujuk kepada
pendapat salaf seraya berkata didalam kitab ar-Risalah an-Nidzamiyah: Yang aku rela dalam beragama
kepada Allah dengan penuh keyakinan adalah mengikuti salaf al-ummah, sesungguhnya mereka meniti
sebuah jalan yang meninggalkan pertentangan antara makna-makna sifat tersebut.

3. Madzhab Mutawassith.
Disini Imam as-Suyuthiy menukil perkataan Ibnu Daqiq al-‘Id yang mana beliau berkata: jika penta’wilan
itu dekat pengertiannya dalam bahasa arab maka kami tidak mengingkarinya, jika jauh dari pengertian
bahasa arab maka kami tawaqquf darinya dan mengimani maknanya sesuai dengan yang diinginkan oleh
Allah dengan menjaga kesucian maknanya

D. Perdebatan Ulama Seputar Mutasyabihat

Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang makna al-muhkam dan al-
mutasyabih, maka demikian pula mereka berselisih pendapat dalam permasalahan siapakah yang dapat
memahami ayat al-mutasyabihah.

Yang menjadi dasar perdebatan mereka adalah letak waqf atau berhentinya tanda baca pada ayat:

‫ات فَأ َ َّما الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم زَ ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما تَشَابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء ْالفِ ْتنَ ِة‬ٌ َ‫ب َوأُخَ ُر ُمتَشَابِه‬
ِ ‫ات ه َُّن أُ ُّم ْال ِكتَا‬ ٌ ‫ات ُمحْ َك َم‬ ٌ َ‫َاب ِم ْنهُ آي‬ َ ‫ك ْال ِكت‬
َ ‫ه َُو الَّ ِذي أَ ْن َز َل َعلَ ْي‬
‫ب‬ ْ َ ‫أْل‬ ُ ُ ‫اَّل‬ َّ َّ ْ ُ ُ
ِ ‫َّاس ُخونَ فِي ال ِعل ِم يَقولونَ آ َمنَّا بِ ِه ُك ٌّل ِم ْن ِعن ِد َربِّنَا َو َما يَذك ُر إِ أولو ا لبَا‬ ْ ْ ِ ‫ُ َوالر‬ ‫هَّللا‬ ‫اَّل‬ ْ ْ
ِ‫َوا ْبتِغَا َء تَأ ِويلِ ِه َو َما يَ ْعلَ ُم تَأ ِويلَهُ إ‬

“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang
muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-
orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat
yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, Padahal
tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (Q.S Ali Imran
[3]:7)

Pendapat pertama:

Firman Allah ‫َّاس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬ ِ ‫ َوالر‬adalah mubtada dan َ‫ يَقُولُون‬sebagai khabarnya, sehingga huruf ‫ و‬pada
‫ َوالرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬bermakna isti’naf yang menandakan sebagai kalimat permulaan dan waqf bacaan
terhenti pada ُ ‫ َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ إِاَّل هَّللا‬yang berkonsekwensi bahwa hanya Allah sajalah yang tahu makna ayat-
ayat al-mutasyabihah tersebut.

Pendapat kedua:

Huruf ‫ و‬pada firman Allah ‫ َوالرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬bermakna al-athfu sebagai huruf atau kata sambung dan َ‫يَقُولُون‬
menjadi keterangan hal, sehingga waqf bacaan terhenti pada ‫َّاس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬ ِ ‫ َوالر‬sehingga berkonsekwensi
maknanya bahwa yang memahami al-mutasyaabih adalah Allah dan orang-orang yang diberi kekokohan
dalam ilmu.

Imam as-Suyuthiy berkata:


“bahwa yang berpendapat seperti pendapat kedua sangatlah sedikit diantaranya Mujahid yang
membawakan riwayat gurunya Ibnu Abbas yang mana beliau berkata dalam ayat:

‫“و َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ إِاَّل هَّللا ُ َوالرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬aku
َ adalah salah satu yang mengetahui ta’wilnya”. Pendapat ini
berdalil bahwasannya tidaklah layak bagi Allah menyeru hambanya dengan sesuatu yang tidak bisa
dimengerti.

Adapun mayoritas sahabat, tabi’in dan pengikut setelahnya terkhusus ahlusunnah maka mereka
berpendapat seperti pendapat pertama yaitu hanya Allahlah yang mengetahui al-Mutasyaabih dan ini
riwayat yang paling shahih dari Ibnu Abbas”.

Pendapat jumhur ini diperkuat oleh qiraat Ibnu Abbas:

‫َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ إِاَّل هَّللا ُ َويَقُوْ ُل الرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم آ َمنَّا بِ ِه‬

“Dan tidaklah ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah, dan berkatalah orang yang kokoh
keilmuanya; kami beriman dengannya”

Muhyiddin ad-Darwisy dalam kitabnya I’rab al-Qur’an membawakan perkataan wajibnya waqf pada
kalimat ُ ‫ إِاَّل هَّللا‬sehingga kalimat ‫ َوالرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْلم‬menjadi kalimat permulaan.

Imam ar-Raziy memberikan enam dalil bahwa waqf yang shahih adalah pada kalimat ُ ‫إِاَّل هَّللا‬, diantara
argumen beliau adalah:

1. Ayat ini menunjukkan bahwa mencari-cari ta’wil adalah tercela, Allah berfirman:

‫ الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم َز ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما تَشَابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَأْ ِويلِه‬w‫ِ فَأ َ َّما‬

Kalau seandainya ta’wil itu boleh maka Allah takkan mencelannya

2. Kalau seandainya kalimat َ‫ َوالرَّا ِس ُخون‬mengikut atau athfu kepada lafadz Allah maka kedudukan
kalimat ‫ يَقُولُونَ آ َمنَّا بِ ِه‬menjadi mubtada’ dan ini jauh dari kefasihan atau kebenaran dari segi kaidah bahasa
arab.

Dari sinilah lahir kaidah tafsir ‫“ يَ ِجبُ ال َع َم ُل بِال ُمحْ ك َِم وا ِإل ْي َمانُ بال ُمتَشَابِ ِه‬wajib beramal dengan yang muhkam dan
beriman dengan yang mutasyaabih”.

E. Hikmah Mengetahui Muhkam dan Mutasyabih

Jika dikatakan apa hikmah mengetahui atau penyebutan masalah al-muhkam dan al-mutasyaabih, maka
sesungguhnya ada beberapa hikmah didalamnya antara lain:

1.Merupakan sebuah rahmat bagi manusia saat manusia tidak mengetahui hal-hal yang mutasyaabih
seperti perkara hari kiamat supaya mereka bersemangat dalam hidup ini dan tidak bermasalas
malasan sekedar duduk ibadah mempersiapkan datangnya hari kiamat, hal ini juga membuat manusia
tidak stress, gundah dan selalu gelisah ketika mereka mengetahui hakikat kematian, kiamat dan lain-
lain.

2.Sebagai ujian bagi manusia apakah mereka beriman dengan sesuatu yang ghaib hanya dengan
berita yang dibawa syariat?

3.Mengambil pelajaran bahwa dakwah haruslah dengan bahasa dan kadar kemampuan yang sesuai
dengan yang didakwahi.

4.Penegakan dalil akan kelemahan dan kebodohan manusia.

5.Beragamnya pendapat yang bisa ditoleran, sehingga tak bisa kita bayangkan kalaulah semua ayat itu
muhkam maka tidak akan ada madzhab kecuali hanya satu pendapat saja.

KESIMPULAN

1.Pengertian Muhkam dan Mutasyabih diantaranya adalah apa yang disimpulkan oleh Imam az-
Zarkasyiy –rahimahullah- berkata:
‫والح َر ِام‬
َ ‫ح فَهُ َو َما أَحْ َك َم ْتهُ ِباألَ ْم ِر َوالنَّه ِْي وبَيَا ِن ْال َحاَل ِل‬
ِ ‫َوأَ َّما فِ ْي ا ِالصْ ِطاَل‬

“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau dikuatkan dengan perintah
dan larangan dan penjelasan tentang halal dan haram.”

‫ف ْال َم َعانِي‬ ْ ‫وأما ال َمتَشَابِهُ فأَصْ لُهُ أن يَ ْشتَبِهَ اللَ ْفظُ في الظَا ِه ِر مع‬
ِ ‫اختِاَل‬

“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz secara dhzahir sementara maknanya
berbeda.”

2.Macam-macam al-mutasyabih antara lain al-Mutasyabih al-Haqiqiy dan al-Idhafiy

3.diantara yang termasuk al-Mutasyabihat adalah Ayat-ayat Tentang Sifat-sifat Allah

4.Perdebatan Ulama Seputar Mutasyabihat yang penulis lebih cenderung kepada pendapat jumhur
ahlusunnah dari kalangan salaf.

5.Terdapat banyak hikmah saat mengetahui permasalahan muhkam dan mutasyabih diantaranya
sebagai ujian bagi kita apakah kita beriman kepada hal yang ghaib, atau juga menjelaskan tentang
hakikat lemah dan bodohnya kita sebagai insan.

Anda mungkin juga menyukai