Anda di halaman 1dari 23

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

1. Kecerdasan

Istilah kecerdasan diturunkan dari kata intelegensi (Wahab,

2000:70), intelegensi merupakan suatu kata yang memiliki makna yang

sangat abstrak. Namun demikian, banyak ahli psikologi yang mencoba

mengembangkan iconnya dalam memahami intelegensi.

Dari berbagai macam pengertian yang dikemukakan oleh para ahli

psikologi, Wahab menyimpulkan bahwa kecerdasan adalah suatu konsep

abstrak yang diukur secara tidak langsung oleh para psikologi melalui tes

intelegensi untuk mengestimasikan proses intelektualnya.

Lebih lanjut Wahab (2000) mengatakan bahwa intelegensi

mempunyai beberapa komponen, antara lain kemampuan verbal,

keterampilan pemecahan masalah, kemampuan belajar, dan kemampuan

beradaptasi dengan lingkungan dan pengalaman sehari-hari. Intelegensi

adalah kesanggupan mental untuk memahami, menganalisis secara kritis,

cermat, dan teliti serta menghasilkan ide-ide baru secara efektif dan

efisien.

Tim Penulis Famili (2006:42) menambahkan bahwa seseorang

dikatakan cerdas apabila ia mampu mengakomodasi 4 aspek, yaitu

kecerdasan intelektual, emosional, moral dan spiritual. Konkretnya

7
8

seseorang dikatakan cerdas jika ia mampu berelasi dengan orang lain,

mampu mengendalikan suasana hatinya, dan mampu melihat dirinya

sedang dalam kondisi yang bagaimana. Apakah ia mampu melibatkan

unsur intelektualnya, kognisinya, afeksinya, ataukah unsur-unsur lainnya.

Namun pada dasarnya tidak ada definisi yang memuaskan untuk

kecerdasan itu sendiri. Apakah kecerdasan itu merupakan kemampuan

untuk memperoleh pengetahuan dan menggunakannya ataukah kecerdasan

yaitu apa yang diukur oleh sebuah tes kecerdasan.

a. Kecerdasan Bahasa

Gardner, Howard dalam bukunya yang berjudul “Multiple

Intelligences” (1993) mengatakan bahwa skala kecerdasan yang selama

ini dipakai ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang

dapat meramalkan kinerja yang sukses untuk masa depan seseorang.

Gambaran mengenai spektrum kecerdasan yang luas telah membuka

mata para orangtua maupun guru tentang adanya wilayah-wilayah yang

secara spontan akan diminati oleh anak-anak dengan semangat yang

tinggi. Dengan demikian, masing-masing anak tersebut akan merasa pas

menguasai bidangnya masing-masing. Bukan hanya cakap pada bidang

tersebut yang memang sesuai dengan minatnya, namun juga akan

sangat menguasainya sehingga menjadi amat ahli.lebih lanjut dikatakan

bahwa terdapat 8 unsur kecerdasan, salah satunya adalah kecerdasan

verbal linguistik atau yang lebih dikenal dengan istilah kecerdasan

bahasa. Kecerdasan bahasa ini berkaitan dengan kemampuan


9

menggunakan kata-kata dan memanfaatkan bahasa untuk

mengekspresikan pengertian yang kompleks secara efektif.

Kecerdasan bahasa tidak hanya sekedar bisa menulis dan bisa

membaca secara harfiah sesuatu yang seringkali kita banggakan pada

anak-anak kita di usia TK. Kecerdasan ini berkaitan dengan

kemampuan untuk mencerna apa yang dibaca dan menuangkan apa

yang dipikirkan. Anak-anak dengan kecerdasan ini biasanya senang

bercerita dan kaya kosakata (Tim Pustaka Famili, 2006:82).

Menurut Gardner (1993) Kecerdasan Bahasa memuat

kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-kata, baik

secara tertulis maupun lisan dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk

mengekspresikan gagasan-gagasannya.

Anak-anak dengan kecerdasan bahasa yang tinggi, umumnya

ditandai dengan kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan

penggunaan suatu bahasa seperti: membaca, menulis karangan,

membuat puisi, menyusun kata-kata mutiara, dan sebagainya. Anak-

anak seperti ini juga cenderung memiliki daya ingat yang kuat misalnya

terhadap nama-nama seseorang, istilah-istilah baru maupun hal-hal

yang sifatnya detail. Mereka cenderung lebih mudah belajar dengan

cara mendengarkan dan verbalisasi. Dalam hal penguasaan suatu bahasa

baru, anak-anak ini umumnya memiliki kemampuan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan anak-anak lainnya.


10

Hal in diperkuat oleh pernyataan Bambang Trimansyah yang

disardur dari koran Republika 30 September 2006 yang menyatakan

bahwa kecakapan dalam mengolah kata dan bercerita, boleh jadi

menjadi petunjuk penting bahwa anak tersebut punya kecerdasan

bahasa di atas rata-rata. Kelebihan ini bisa dilejitkan jika guru dan

orangtua pantai membimbingnya ke arah yang benar. Jika tidak, bisa

jadi kelebihan itu bisa tidak bermakna dibanding anak yang word

smart-nya biasa-biasa saja, tetapi mendapat latihan dan pengarahan

yang baik dan terus-menerus.

b. Kecerdasan Emosional

Goleman (1995)  mengatakan bahwa kecerdasan emosional

adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang untuk memotivasi

diri, ketahanan menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan

menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan

tersebut, seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang

tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan kecerdasan

emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara

selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi

dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut pemilikan

perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan

orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara

efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.


11

Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya,

kecerdasaan emosional  merupakan komponen yang membuat

seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut

dikatakannya bahwa emosi manusia berada pada wilayah  perasaan

lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila

diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional dapat menyediakan

pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri

dan orang lain.

Dari beberapa pendapat di atas, dapatlah dikatakan bahwa 

kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan

menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk

menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi

dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.

Mayer dan Salovey (1997) mengungkapkan ada lima ranah 

kecerdasan emosional di dalam bahasa, yaitu ( 1) mengenali emosi

sendiri, (2) mengatur emosi, dan (3) memotivasi (4) mengenali emosi

orang lain, (5) membina hubungan dengan orang lain.

(1) Mengenali Emosi Sendiri

Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu

terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional  Pada tahap ini

diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar

timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri.

Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya


12

membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka

akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi

pengambilan keputusan masalah.

(2) Mengatur Emosi

Mengatur emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat

terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat

bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola

apabila : mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat

melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit

kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk

kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung

melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang

merugikan dirinya sendiri. Mengatur emosi berarti menangani perasaan

agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan

kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi

dikatakan berhasil dikelola apabila : mampu menghibur diri ketika

ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau

ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu.

Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi

akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan

diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.


13

(3) Memotivasi Diri

Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui

hal-hal sebagai berikut : a) cara mengendalikan dorongan hati; b)

derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; c)

kekuatan berfikir positif; d) optimisme; dan e) keadaan flow (mengikuti

aliran), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah

ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada

satu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka

seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam

menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.

(4) Mengenali emosi orang lain

Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan

pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka

dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain.

Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan

emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati

perasaan orang lain.

(5) Membina hubungan dengan orang lain

Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan

keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan

dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan seseorang akan

mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.  Sesungguhnya karena

tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan semacam inilah yang 


14

menyebabkan seseroang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau

tidak berperasaan.

Hal yang hampir senada juga dikemukakan oleh Robert Coles

dalam bukunya yang berjudul “The Moral Intelligence of Children”,

1997, bahwa di samping IQ, ada suatu jenis kecerdasan yang juga

memegang peranan amat penting bagi kesuksesan seseorang dalam

hidupnya.

Hal ini ditandai dengan kemampuan seorang anak untuk bisa

menghargai dirinya sendiri maupun diri orang lain, memahami perasaan

terdalam orang-orang di sekelilingnya, mengikuti aturan-aturan yang

berlaku. Semua ini termasuk merupakan kunci keberhasilan bagi

seorang anak di masa depan.

2. Pendekatan Scientific

a. Pengertian Pendekatan Saintifik 

Pendekatan saintifik (scientific approach) adalah model

pembelajaran yang menggunakan kaidah-kaidah keilmuan yang memuat

serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi, menanya,

eksperimen, mengolah informasi atau data, kemudian mengkomunikasikan

(Kemendikbud, 2014).

Pendekatan saintifik telah dipergunakan dalam pendidikan di

Amerika akhir abad ke-19 di mana pada saat itu pembelajaran sains

menekankan pada metode laboratorium formalistik yang kemudian


15

diarahkan pada fakta-fakta ilmiah. Pendekatan saintifik sebenarnya sudah

digunakan dalam kurikulum di Indonesia dengan istilah learning by doing

yang dikenal dengan cara belajar siswa aktif dalam melaksanakan kegiatan

pembelajaran yang secara formal diadopsi dalam Kurikulum 1975.

Tujuan pendekatan saintifik dalam pembelajaran antara lain untuk

meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik, membentuk kemampuan

dalam menyelesaikan masalah secara sistematik, menciptakan kondisi

pembelajaran supaya peserta didik merasa bahwa belajar merupakan suatu

kebutuhan, melatih peserta didik dalam mengemukakan ide-ide,

meningkatkan hasil belajar peserta didik, dan mengembangkan karakter

peserta didik.

Proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik

diarahkan agar peserta didik mampu merumuskan masalah (dengan banyak

menanya), bukan hanya menyelesaikan masalah dengan menjawab saja.

Proses pembelajaran diharapkan diarahkan untuk melatih berpikir analitis

(peserta didik diajarkan bagaimana mengambil keputusan) bukan berpikir

mekanistis (rutin dengan haya mendengarkan dan menghafal semata

(Majid, 2014).

Menurut Rusman (2015), pendekatan saintifik merupakan

pendekatan pembelajaran yang memberikan kesempatan pada siswa secara

luas untuk melakukan eksplorasi dan elaborasi materi yang dipelajari, di

samping itu memberikan kesempatan pada peserta didik untuk


16

mengaktualisasikan kemampuan melalui kegiatan pembelajaran yang

dirancang oleh guru.

Menurut Hosnan (2014), pendekatan saintifik adalah suatu proses

pembelajaran yang dirancang supaya peserta didik secara aktif

mengkonstruk konsep, hukum, atau prinsip melalui kegiatan mengamati,

merumuskan masalah, mengajukan/merumuskan hipotesis, mengumpulkan

data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan, dan

mengkomunikasikan.

Menurut Karar dan Yenice (2012), pendekatan saintifik adalah

proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar pembelajar

secara aktif mengonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-

tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah),

merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan

berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan, dan

mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang ditemukan.

b. Tujuan dan Prinsip Pendekatan Saintifik 

Menurut Hosnan (2014) pendekatan saintifik memiliki karakteristik

sebagai berikut: 1) Berpusat pada siswa; 2) Melibatkan keterampilan

proses sains dalam mengonstruksi konsep, hukum atau prinsip; 3)

Melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang

perkembangan intelektual, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi

siswa, dan; 4) Dapat mengembangkan karakter siswa.


17

Tujuan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik

adalah untuk mengembangkan karakter siswa. Selain itu juga untuk

meningkatkan kemampuan berpikir siswa sehingga siswa memiliki

kemampuan untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapinya dan

memiliki hasil belajar yang tinggi.

Menurut Hosnan (2014), tujuan pembelajaran menggunakan

pendekatan saintifik adalah sebagai berikut:

1) Untuk meningkatkan kemampuan intelek, khususnya kemampuan

berpikir tingkat tinggi siswa. 

2) Untuk membentuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu

masalah secara sistematik.

3) Terciptanya kondisi pembelajaran di mana siswa merasa bahwa belajar

itu merupakan suatu kebutuhan. 

4) Diperolehnya hasil belajar yang tinggi.

5) Untuk melatih siswa dalam mengomunikasikan ide-ide, khususnya

dalam menulis artikel ilmiah.

6) Untuk mengembangkan karakter siswa.

Beberapa prinsip pendekatan Saintifik dalam kegiatan

pembelajaran adalah sebagai berikut (Hosnan, 2014):

1) Pembelajaran berpusat pada siswa.

2) Pembelajaran membentuk students self concept. 


18

3) Pembelajaran terhindar dari verbalisme.

4) Pembelajaran memberikan kesempatan pada siswa untuk mengasimilasi

dan mengakomodasi konsep, hukum, dan prinsip.

5) Pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan kemampuan berpikir

siswa.

6) Pembelajaran meningkatkan motivasi belajar siswa dan motivasi

mengajar guru.

7) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan

dalam komunikasi. 

8) Adanya proses validasi terhadap konsep, hukum, dan prinsip yang

dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya.

c. Langkah-Langkah Pendekatan Saintifik 

Langkah-langkah pendekatan saintifik dalam proses pembelajaran

meliputi mengamati (observing), menanya (questioning), mencoba

(experimenting), mengolah data atau informasi dilanjutkan dengan

menganalisis, menalar (associating), dan menyimpulkan, menyajikan data

atau informasi (mengomunikasikan), dan menciptakan serta membentuk

jaringan (networking). Menurut Daryanto (2014), langkah-langkah

pendekatan saintifik dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:


19

1) Mengamati (observasi) 

Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses

pembelajaran (meaningfull learning). Metode mengamati sangat

bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik, sehingga

proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan

metode observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan

antara objek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang

digunakan oleh guru.

2) Menanya

Pada kurikulum 2013 kegiatan menanya diharapkan muncul dari

siswa. Kegiatan belajar menanya dilakukan dengan cara mengajukan

pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang

diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan

tentang apa yang diamati.

3) Mengumpulkan informasi 

Kegiatan mengumpulkan informasi adalah tindak lanjut dari

bertanya. Kegiatan ini dilakukan dengan menggali dan mengumpulkan

informasi dari berbagai sumber melalui berbagai cara. Peserta didik

dapat membaca berbagai sumber, memperhatikan fenomena atau objek

yang lebih teliti, atau bahkan melakukan eksperimen.

4) Mengasosiasikan/mengolah informasi 

Dalam kegiatan mengasosiasi/mengolah informasi terdapat

kegiatan menalar dalam kerangka proses pembelajaran dengan


20

pendekatan ilmiah yang dianut dalam kurikulum 2013 untuk

menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif.

Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-

fakta empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan

berupa pengetahuan.

5) Mengkomunikasikan

Pada pendekatan saintifik guru diharapkan memberi kesempatan

kepada siswa untuk mengkomunikasikan apa yang telah mereka

pelajari. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui menuliskan atau

menceritakan apa yang ditemukan dalam kegiatan mencari informasi,

mengasosiasikan, dan menemukan pola.

3. Pembelajaran Cooperative Learning

Cooperative learning adalah model pembelajaran yang secara sadar

dan sistematis mengembangkan interaksi yang lebih silih asah, silih asih,

dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam

masyarakat nyata (Abdurahman dan Bintoro, 2000: 78).

Falsafah yang mendasari model cooperative learning dalam

pendidikan adalah Falsafah homo homini socio. Berlawanan dengan teori

Darwin, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial.

Tanpa kerjasama atau kooperatif, tidak akan ada individu, keluarga,

organisasi, atau sekolah (Lie, 1999: 28).


21

Dalam konteks di atas, Johnson dan Smith (1991) mengatakan

bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning.

Untuk mencapai hasil yang optimal, lima unsur model cooperative

learning yang harus diaplikasikan adalah: (1) saling ketergantungan

positif, (2) tanggung jawab perseorangan, (3) tatap muka, (4) komunikasi

antar anggota, dan (5) evaluasi proses kelompok.

Selanjutnya, Anam (2003: 3) mempertegas bahwa esensi

cooperative learning merupakan tanggung jawab individu dalam sekaligus

kelompok, sehingga dalam diri siswa terbentuk sikap kebergantungan

positif yang menjadikan kerja kelompok berjalan optimal. Keadaan ini

mendorong siswa dalam kelompoknya belajar, bekerja, dan bertanggung

jawab dengan sungguh-sungguh sampai selesai tugas-tugas individu dan

kelompok.

Beberapa alasan penggunaan belajar bekerja sama atau cooperative

dalam proses pembelajaran menurut Slavin yang dikutip Mustaji (2003:

43) adalah sebagai berikut: (1) untuk meningkatkan kemampuan siswa

dalam memperbaiki hubungan dalam satu grup, (2) mengatasi rintangan

sekelas secara akademik, (3) meningkatkan harga diri, (4) menumbuhkan

kesadaran bahwa siswa perlu belajar dengan berfikir, (5) memecahkan

masalah dan belajar untuk mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan

yang dimilikinya, (6) mendorong terbentuknya struktur kognitif pada diri

siswa dan menyumbangkan pengetahuan kepada anggota-anggotanya

dalam kelompoknya.
22

Pada bagian lain Slavin dalam Mustaji (2000: 44) mengidentifikasi

beberapa hasil penelitian tentang aplikasi cooperative learning dalam

pembelajaran. Beberapa temuan penelitian menunjukkan bahwa:

1). Model pembelajaran ini dapat meningkatkan kemampuan siswa secara

signifikan.

2). Siswa yang bekerja sama untuk menyelesaikan suatu tujuan kelompok,

mereka mununjukkan kemurahan hati mengerjakan apapun yang

diperlukan untuk keberhasilan kelompok.

3). Siswa dalam kelas belajar bekerja sama atau cooperative merasakan

bahwa teman-teman sekelas menginginkan mereka belajar bersama.

4). Siswa dalam kelompok bekerja sama atau cooperative diuntungkan

dalam peningkatan kemampuan status sosial mereka di kelas.

Sementara itu, Arends (1997: 20) mengemukakan belajar bekerja

sama atau cooperative dapat saling menguntungkan antara siswa yang

berprestasi rendah dan siswa yang berprestasi tinggi yang bekerja sama

dalam tugas-tugas akademik. Siswa berkemampuan lebih tinggi dapat

menjadi tutor bagi siswa yang berkemampuan rendah. Dalam proses ini,

siswa berkemampuan lebih tinggi secara akademik mendapat keuntungan

karena memberi bantuan sebagai tutor pada topik tertentu memerlukan

pemikiran lebih mendalam.


23

Dikutip dalam bukunya Johnson & Johnson (1991)

“Cooperative learning, a group and student-centered instructional

approach will promote problem-solving skills, social skills and thinking

skills of the learner than both individualised and competitive efforts”.

Hal ini berarti bahwa cooperative learning (CL) merupakan

pembelajaran dalam kelompok-kelompok kecil dimana siswa belajar dan

bekerjasama untuk mencapai tujuan seoptimal mungkin.

Lie (2000: 90) berpendapat bahwa cooperative learning bertujuan

untuk menghasilkan manusia yang bisa berdamai dan bekerja sama dengan

sesamanya. Selain itu, suasana yang positif timbul dari metode

cooperative learning bisa memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mencintai pekerjaan dan sekolah. Dalam kegiatan-kegiatan yang

menyenangkan ini, siswa merasa lebih terdorong untuk belajar dan

berpikir.

Dapat disimpulkan bahwa esensi dari cooperative learning terletak

pada tanggung jawab individu sekaligus kelompok, sehingga dalam diri

setiap siswa tumbuh dan berkembang sikap-laku saling ketergantungan

(independentsi) secara positif. Dengan demikian menjadikan belajar

melalui kerjasama dalam kelompok akan berjalan seoptimal mungkin.

Kondisi ini dapat mendorong siswa untuk belajar, bekerja dan bertanggung

jawab sampai tujuan dapat diwujudkan.


24

4. Pembelajaran Cooperative Learning tipe Group Investigation

Sharan tahun 1992 mengembangkan model pembelajaran

kooperatif tipe investigasi kelompok atau yang lebih populer dengan

istilah group investigation yang semula dirancang oleh Horbert Thelan.

Pembelajaran ini dimaksudkan untuk membina sikap tanggung jawab dan

bekerjasama dalam kelompok, dan membina sikap saling menghargai

pendapat anggota kelompok serta membiasakan untuk berani

mengungkapkan pendapat.

Basically, Group Investigation involves the integration of four

essential features: investigation, interaction, interpretation, and intrinsic

motivation (Sharan & Sharan, 1992).

Ciri-ciri dari pembelajaran group investigation adalah adanya

kegiatan penyelidikan, interaksi (hubungan timbal balik), interpretasi, dan

motivasi diri. Pembelajaran dengan menggunakan model group

investigation sangat sesuai dengan filosofi dari John Dewey yang

menyebutkan bahwa: the students would have experienced meaningful

learning if they have been exposed to the stages of scientific inquiry.

Sehingga melalui pembelajaran ini dapat membantu siswa untuk "learn

how to learn" (Sharan & Sharan, 1992).

Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran cooperative learning

tipe group investigation adalah sebagai berikut: (Nurhadi. 2002)


25

a. Seleksi topik.

Para siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah

umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa

selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang

berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2

hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis

kelamin, etnik, maupun kelompok akademik.

b. Merencanakan kerjasama.

Para siswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar

khusus, tugas, dan tujuan umum (goals) yang konsisten dengan

berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih pada langkah 1 di atas.

c. Implementasi.

Para siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah

2. Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan keterampilan

dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk

menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di

luar sekolah. Guru secara terus menerus mengikuti kemajuan tiap

kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.

d. Analisis dan sintesis.

Para siswa menganalisis dan mensintesiskan berbagai informasi yang

diperoleh pada langkah 3 dan merencanakan agar dapat diringkaskan

dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas.


26

e. Penyajian hasil akhir.

Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari

berbagai topik yang dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling

terlibat dan mencaai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut.

presentasi kelompok dikoordinasikan oleh guru.

f. Evaluasi

Selanjutnya, guru beserta para siswa melakukan evaluasi mengenai

kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu

keseluruhan. Evalusi dapat mencakup tiap siswa secra individual atau

kelompok, atau keduanya.

Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran group investigation

adalah salah satu tipe dari pembelajaran cooperative learning yang

mengajak siswa untuk berperan serta dalam penentuan topik, kebebasan

dalam mengemukakan pendapat, dan menuntut siswa untuk melakukan

kerjasama dengan anggota kelompoknya.

Agar dalam penerapan model pembelajaran tipe group

investigation maka seorang instruktor, dalam hal ini adalah pengajar atau

guru harus memahami tentang dasar-dasar dari cooperative learning. Guru

juga membutuhkan kemampuan dalam mengkondisikan situasi yang aktif,

agar bisa bersama-sama dengan siswa menentukan topik yang dibahas.

Guru juga harus mampu mengolah siswa untuk mengembangkan

keterampilan sosialnya, seperti dalam berkomunikasi, konflik manajemen,

pengambilan keputusan, kepemimpinan, dan membangun kepercayaan.


27

5. Imeplementasi Model Pembelajaran Cooperative Learning tipe Group

Investigation pada Kelompok B TK Aisyiyah Sikampuh Kroya

Dari uraian tentang pembelajaran cooperative learning tipe group

investigation dapat digambarkan bahwa metode pembelajaran ini mampu

mengakomodasi keempat aspek kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual,

emosional, moral dan spiritual pada lembaga TK. Pada penelitian ini akan

dikembangkan kecerdasan intelektual bahasa pada anak. Tanpa

mengesampingkan tiga aspek kecerdasan yang lainnya. Langkah-langkah

dalam menerapkan model pembelajaran cooperative learning tipe group

investigation disesuaikan dengan prinsip pembelajaran di TK.

Adapun langkah-langkah yang diterapkan pada proses

pembelajaran di lingkungan Kelompok B TK Aisyiyah Sikampuh Kroya

adalah sebagai berkut:

a. Guru membagi kelas menjadi 6 kelompok yang heterogen.

b. Guru menjelaskan langkah-langkah pembelajaran.

 Anak mengikuti guru bercerita

 Anak berdiskusi atau kerja kelompok untuk menyampaiakn ide yang

terdapat dalam gambar

 Anak yang dapat menyampaikan ide dari gambar tersebut akan

diberikan penghargaa atau hadiah

c. Guru memperlihatkan gambar kepad anak dan membacakan tulisan

sederhana yang ada, kemudian menceritakannya.


28

d. Guru membagikan gambar/alat peraga pada masing-masing kelompok

(satu kelompok, satu gambar).

e. Anak mendiskusikan ide/isi dari gambar untuk mendapatkan isi cerita

secara keseluruhan.

f. Guru sebagai motivator, guru membantu kelompok-kelompok yang

mengalami kesulitan melalui pertanyaan-pertanyaan.

g. Guru memberi kesempatan pada kelompok mana yang telah siap

menceritakan isi gambar yang telah didiskusikan (secara kelompok).

h. Secara bergiliran anak menceritakan isi gambar (secara individu).

i. Guru memberikan penghargaan/hadiah pada anak yang berani bercerita

di depan kelas.

j. Pada saat proses pembelajaran, guru mengobservasi dan mengadakan

penilaian dengan instrumen yang telah disediakan.

k. Anak dan guru menyimpulkan isi cerita pada gambar.

B. Kerangka Berpikir

Pada umumnya metode yang digunakan oleh guru dalam proses

pembelajaran adalah metode ceramah, sehingga menyebabkan anak

cenderung pasif karena pembelajaran yang monoton. Hal ini menyebabkan

kurangnya partisipasi anak dalam pembelajaran yang berakibat pada

kurangnya pemahaman siswa terhadap pelajaran tersebut sehingga hasil

belajar anak pun akan rendah.


29

Untuk dapat meningkatkan hasil pemahaman anak, guru harus

menciptakan suasana pembelajaran yang menarik. Salah satu upaya yang

dilakukan adalah dengan memilih metode pembelajaran yang memberikan

peluang pada anak untuk dapat berkembang dan maju sesuai dengan

kemampuan dan minat siswa. Metode yang akan peneliti gunakan adalah

pendekatan scientific berbantuan model Cooperative Learning

Berdasarkan uraian di atas dapat digambarkan kerangka berfikir

dengan skema seperti berikut :

Guru belum Pemahaman anak rendah


Kondisi menggunakan
Awal metode yang tepat

Guru menggunakan Siklus I


Tindakan
metode Perencanaan, pelaksanaan
pembelajaran
Cooperative
Learning

Kondisi Pemahaman anak Siklus II


Akhir meningkat Perencanaan, pelaksanaan

Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir

B. Hipotesis Tindakan

Penerapan pendekatan scientific berbantuan model cooperative learning

melalui proses kegiatan cerita bergambar pada siswa TK kelompok B akan

mampu meningkatkan kecerdasan bahasa.

Anda mungkin juga menyukai