Anda di halaman 1dari 563

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

BIORESOURCES UNTUK PEMBANGUNAN EKONOMI


HIJAU

Bogor, 24 September 2014

Peran Bioteknologi dalam Peningkatan Populasi dan


Mutu Genetik Ternak Mendukung Kemandirian
Daging dan Susu Nasional

Diselenggarakan oleh
Pusat Penelitian Bioteknologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesa

i
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
BIORESOURCES UNTUK PEMBANGUNAN EKONOMI
HIJAU
Peran Bioteknologi dalam Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik
Ternak Mendukung Kemandirian Daging dan Susu Nasional

Kepala Editor :
Ekayanti Mulyawati Kaiin

Tim Editor :
Baharuddin Tappa
Yantyati Widyastuti
Syahruddin Said
Paskah Partogi Agung

Editor Teknis :
Fifi Afiati
Tulus Maulana
Ari Sulistyo Wulandari
Warda Tuharea

ISBN : 978-602-98275-7-6

Cetakan pertama, Desember 2015

Diterbitkan Oleh :
Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI
Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong, Kab. Bogor 16911
Telp. (021) 8754627 Fax. (021) 8754588
Website : htpp://biotek.lipi.go.id

ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur keharibaan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
perkenanNya maka Prosiding Seminar Nasional Peternakan dengan tema
“Peran Bioteknologi dalam Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik
Ternak Mendukung Kemandirian Daging dan Susu Nasional” telah selesai.
Prosiding ini memuat sebanyak 51 makalah dari peserta yang
menyampaikan presentasi poster. Adapun menurut bidangnya terdiri dari
18 makalah pakan/nutrisi ternak, 17 makalah reproduksi ternak dan lain-
lain yang merupakan gabungan dari genetika ternak , kesehatan ternak
dan pasca panen 16 makalah.

Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih kepada


peserta seminar yang telah menyampaikan makalahnya dan atas
kerjasama yang baik selama perbaikan makalah untuk prosiding ini,
sehingga akhirnya prosiding dapat selesai. Terima kasih kami sampaikan
juga kepada para sponsor atas bantuan pada saat pelaksanaan seminar
dan para penyunting yang bekerja keras selama penyusunan prosiding ini.

Akhir kata semoga informasi yang disampaikan dalam prosiding


ini dapat bermanfaat untuk kemajuan peternakan di Indonesia dan dapat
memberikan arah penelitian peternakan yang lebih baik di masa yang
akan datang.

Bogor, Desember 2015

Ketua Panitia,

Dr. Yantyati Widyastuti

iii
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
SAMBUTAN
DAFTAR ISI

MAKALAH UTAMA
PENERAPAN MODEL INDUSTRI PETERNAKAN BERBASIS IPTEK MENUJU 1
KEDAULATAN PANGAN BERKELANJUTAN
Syahruddin Said

KUMPULAN MAKALAH BIDANG PAKAN


PRODUKTIVITAS GULMA AIR (Duckweed) SEBAGAI SUMBER PAKAN 19
Achmad Jaelani, Syarif Djaya dan Tintin Rostini

PENENTUAN KADAR ANTINUTRISI PADA TANAMAN LEGUME 27


Bustanussalam, Yatri Hapsari, Fauzy Rachman dan Eris Septiana

PENGARUH SILASE JERAMI JAGUNG TERHADAP PRODUKSI GAS 42


METANA DENGAN METODE IN VITRO PRODUKSI GAS PADA TERNAK
RUMINANSIA
Crhisterra Ellen Kusumaningrum, Teguh Wahyono dan Irawan Sugoro

FERMENTASI RUMEN DOMBA YANG MENDAPAT PAKAN DASAR 50


RUMPUT ATAU SILASE TONGKOL JAGUNG YANG DIPERKAYA DENGAN
TEPUNG JAGUNG ATAU MOLASES
Dwi Yulistiani dan Wisri Puastuti

PENGARUH IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP PERTUMBUHAN 57


TUNAS KULTUR IN VITRO Pennisetum purpureum
Erwin Al Hafiizh dan Tri Muji Ermayanti

MANFAAT JERAMI PADI FERMENTASI DI DALAM PAKAN KOMPLIT 70


SECARA IN-VITRO
Firsoni

UJI LAPANG PROBIOTIK BIOS K2 UNTUK SUPLEMENTASI PAKAN SAPI 80


PERANAKAN ONGOLE (PO)
Irawan Sugoro dan Teguh Wahyono

KUALITAS FISIK DAN KIMIA PAKAN BERBAHAN DASAR KANGKUNG 87


(Ipomoea Aquatica) FERMENTASI PROBIOTIK DALAM RANSUM ITIK
PEDAGING
Muhammad Daud, Muhammad Aman Yaman dan Zulfan

PENGGUNAAN ADITIF PROBIOTIK DAN MINERAL ORGANIK PADA 98


PENGGEMUKAN SAPI PERANAKAN ONGOLE
Roni Ridwan, Wulansih Dwi Astuti, Yantyati Widyastuti dan Baharuddin Tappa

v
PENGARUH INTERVAL PANEN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS 110
RUMPUT Panicum maximum CV PURPLEGUINEA SEBAGAI PAKAN
TERNAK DI KABUPATEN BLORA
Sajimin, dan Sri Nastiti Jarmani

RESPON FISIOLOGI DAN PROFIL GEN P5CS GENOTIPE RUMPUT 118


TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
Siti Kurniawati, N. Sri Hartati dan Enny Sudarmonowati
METODE STERILISASI DAN MEDIA PERBANYAKAN Pennisetum 134
purpureum SECARA IN VITRO
Siti Noorrohmah, Erwin Al Hafiizh dan Tri Muji Ermayanti

TRANSFORMASI DAN REGENERASI RUMPUT GAJAH (Pennisetum 154


purpureum schumach) DENGAN FAKTOR TRANSKRIPSI 35S-OSHOX 4
UNTUK KETAHANAN TERHADAP KEKERINGAN
N. Sri Hartati, Pramesti Dwi Aryaningrum dan Enny Sudarmonowati

KUMPULAN MAKALAH REPRODUKSI PETERNAKAN


UPAYA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DALAM MEMPERTAHANKAN 165
KABUPATEN BLORA SEBAGAI WILAYAH SUMBER SAPI POTONG : Suatu
Kajian
Sri Nastiti Jarmani dan Sajimin

KUALITAS KUMPAI MINYAK (Hymenache amplexicaulis Haes ) DAN 175


KUMPAI BATU (Ischaemum polystachyum J Presl) YANG DIENSILASE
DENGAN EKSTRAK RUMPUT FERMENTASI
Tintin Rostini

SUPLEMEN UREA DAN TEPUNG IKAN DALAM RANSUM BERBASIS KULIT 185
BUAH KAKAO: EVALUASI NERACA NITROGEN
Wisri Puastuti dan Dwi Yulistiani

MONITORING NON-INVASIF SIKLUS ESTRUS MELALUI ANALISIS 195


METABOLIT ESTROGEN DALAM FESES DAN PEMERIKSAAN SITOLOGI
VAGINA PADA MUNCAK (Muntiacus muntjak muntjak) DI PENANGKARAN
Asri Pudjirahaju, Iman Supriatna, Srihadi Agungpriyono, Muhammad Agil

BIOAKTIF ALAMI CITRONELLA DAN PAPAIN DALAM RANSUM UNTUK 208


PENINGKATAN KUALITAS PRODUK DAGING BROILER ORGANIK
Wisje Lusia Toar, Selvie Anis, Laurentius Rumokoy, Cherly Pontoh dan Freddy
Dompas

APLIKASI TEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN PADA SAPI BALI DI NUSA 217


PENIDA
Edy Sophian dan Paskah Partogi

APLIKASI JARINGAN MATERNAL PADA PERKEMBANGAN EMBRIO SAPI 223


BALI HASIL FERTILISASI IN VITRO DENGAN SPERMATOZOA SEXING
Enny Yuliani,Yufika Dewi Muksin, I Wayan Lanus Sumadiasa dan Lukman HY

vi
UJICOBA PRODUKSI SPERMA SEXING SAPI SIMMENTAL DI UPTD-IB 234
PUCAK SULAWESI SELATAN
Ekayanti Mulyawati Kaiin dan Muhammad Gunawan

MORFOMETRI DAN ABNORMALITAS PRIMER SPERMATOZOA SAPI FH 243


HASIL PEMISAHAN
Fifi Afiati, Tulus Maulana dan Syahruddin Said

EVALUASI LIBIDO DAN KEMAMPUAN KAWIN SAPI JANTAN 251


PERSILANGAN FRIESIAN HOLSTEIN DAN PERANAKAN ONGOLE
Hastono dan Lisa Praharani

PERANAN DEXTROSA DALAM MEMPERTAHANKAN DAYA HIDUP 256


SPERMATOZOA DALAM PROSES PEMBEKUAN SEMEN DOMBA
Herdis, I. Wayan Angga D. dan Nur Adianto
MODEL KELEMBAGAAN DAN KONSERVASI SAPI BALI DI PROPINSI BALI 266
I-G.M. Budiarsana dan Lisa Praharani

PENGARUH JENIS KELAMIN TERHADAP KARAKTERISTIK DAN 279


PRODUKTIVITAS KARKAS SAPI BALI DARI PEMELIHARAAN
TRADISIONAL DI SULAWESI TENGGARA
La Ode Muhammad Iqbal Qalbi, Harapin Hafid dan Rahim Aka

PENINGKATAN POTENSI REPRODUKSI TERNAK KAMBING MELALUI 290


APLIKASI TEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN DENGAN WAKTU YANG
BERBEDA
Lentji Rinny Ngangi, Endang Pudjihastuti, Santie Helfien Turangan, Manopo
Jouke Hendrik dan Sahrun Dalie

OPTIMALISASI PELAKSANAAN IB DENGAN MENGGUNAKAN SPERMA 296


BEKU KEMASAN MINI STRAW DAN MEDIUM STRAW PADA SAPI PERAH
Muhammad Gunawan dan Ekayanti Mulyawati Kaiin

PRIMORDIAL GERM CELL (PGC): PROSES DAN APLIKASINYA 302


Tatan Kostaman

FERTILITAS DAN DAYA TETAS ITIK PERSILANGAN PEKING JANTAN 317


DENGAN BETINA MOJOSARI PUTIH (PMp)
Triana Susanti

ABNORMALITAS DAN MORFOMETRI SPERMATOZOA KERBAU BELANG 325


YANG DIKOLEKSI DI UPT-IB PUCA SULSEL & BIBD BANJARBARU
KALSEL
Tulus Maulana, Muhammad Gunawan dan Ekayanti Mulyawati Kaiin

PENGARUH PAKAN YANG MENGANDUNG LEVEL PROTEIN BYPASS 336


BERBEDA TERHADAP KUALITAS SEMEN LIMA GENOTIP DOMBA
PUBERTAS
Umi Adiati dan Dwi Yulistiani

vii
PENENTUAN KEBUNTINGAN DOMBA LOKAL SUMATERA DENGAN 343
METODA ULTRASONOGRAFI
Umi Adiati dan Eko Handiwirawan

KONSENTRASI SEMEN AYAM TOLAKI BERDASARKAN BOBOT BADAN 352


Yunna, Achmad Selamet Aku, Takdir Saili

PENGARUH SUPLEMENTASI MINYAK JAGUNG TERHADAP DIAMETER 363


FOLIKEL DAN PANJANG PULPA MERAH ORGAN LIMPA AYAM BROILER
SEBELUM VAKSINASI TETELO
Ade Erma Suryani, Thomas Valentinus Widiyatno, Hana Eliyani dan Soeharsono
KUMPULAN MAKALAHGENETIKA DAN LAINNYA
EVALUASI PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BERDASARKAN 375
PRODUKSI RIIL DAN TERSTANDAR: STUDI KASUS KUD GIRI TANI,
CIPANAS, BOGOR
Anneke Anggraeni, Tati Herawati, Santi Ananda Asmarasari dan Bess
Tiesnamurti

KERAGAMAN GEN PROLAKTIN EKSON III PADA SAPI FRIESIAN


HOLSTEIN 388
Ari Sulistyo Wulandari, Saiful Anwar, Baharuddin Tappa, dan Paskah Partogi
Agung

KAJIAN KUALITAS MIKROBIOLOGIS SUSU ASAL SAPI MASTITIS 399


SUBKLINIS DI KUD TASIKMALAYA
Fifi Afiati, Nina Herlina, Tulus Maulana dan Baharuddin Tappa

AKTIVITAS ANTIRADIKAL DPPH SENYAWA EKSOPOLISAKARIDA (EPS) 408


BAKTERI ASAM LAKTAT YANG DIISOLASI DARI PRODUK FERMENTASI
Kusmiati, Eka S. Setioningrum dan Fifi Afiati

UPAYA PENINGKATAN KUALITAS DAGING MELALUI STUDI PREKURSOR 420


ADIPOSA
Laurentius J.M. Rumokoy, Charles L. Kaunang, Wisje Lusia Toar, Ivonne M.
Untu dan Nurhalan Bawole

PENGARUH HETEROSIS PERTUMBUHAN PRA-PUBERTAS PADA 427


KAMBING ANGLO NUBIAN, PERANAKAN ETAWAH DAN
PERSILANGANNYA
Lisa Praharani, IGM. Budiarsana dan Rantan Krisnan

ANALISIS BIOAKUSTIK SUARA KOKOK AYAM TOLAKI, KAMPUNG DAN 435


AYAM KETAWA
Muh. Rusdin, La Ode Nafiu dan Abdul Rizal

PROFIL PROTEIN SUSU SAPI TERINFEKSI MASTITIS SUBKLINIS 450


Nina Herlina, Edy Sophian, Aditia Dwi Cahyo dan Baharuddin Tappa

viii
ASPEK MIKROBIOLOGIS DAN PROFIL PROTEIN PADA SUSU SAPI 457
PERAH MASTITIS SUBKLINIS
Nova Dilla Yanthi, Nina Herlina dan Baharuddin Tappa

PENAPISAN DAN KARAKTERISASI MILK CLOTTING ENZYME DARI 464


BAKTERI ASAM LAKTAT
Rohmatussolihat, Miranti Nurindah Sari, Nuryati, Puspita Lisdiyanti, Ruth
Meliawati, Yantyati Widyastuti dan Endang Sukara

PEMBENTUKAN CENTRAL MILK TESTING LABORATORY DI INDONESIA 476


Syahruddin Said

PEMANFAATAN PUPUK KANDANG SEBAGAI TITIK UNGKIT 486


PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI LAHAN KELAPA SAWIT (STUDI
KASUS DI KELOMPOK MAJU BERSAMA II DI KABUPATEN SIAK,
PROVINSI RIAU)
Sumanto

PERFORMA EKONOMI KAMBING PERAH ANGLO NUBIAN, SAANEN X 496


PERANAKAN ETAWAH (SAPERA) DAN PERANAKAN ETAWAH (PE)
Supardi Rusdiana dan Lisa Praharani

PERTAMBAHAN BOBOT BADAN, GAMBARAN SEL EOSINOFIL, DAN 510


JUMLAH TELUR CACING PADA SAPI FRIES HOLLAND (FH) YANG
DIINFEKSI METASERKARIA Fasciola gigantica IRADIASI
Tri Handayani, Boky Jeanne Tuasikal, Dadang Priyoatmojo, dan Afi Candra
Trinugraha

VARIASI GENETIK GEN OXIDIZED LOW-DENSITY LIPOPROTEIN 520


RECEPTOR 1 (OLR1|PstI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DENGAN
TEKNIK PCR-RFLP
Yan Partap Nadapdap, Cece Sumantri dan Anneke Anggraeni

PERAN TEH HIJAU DALAM PENANGGULANGAN 533


KERACUNAN PARAQUAT PADA TERNAK KAMBING
Yuningsih, Rini Damayanti dan Prima Mei Widiyanti

LAMPIRAN. DAFTAR PESERTA 545

ix
MAKALAH UTAMA
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
PENERAPAN MODEL INDUSTRI PETERNAKAN
BERBASIS IPTEK MENUJU KEDAULATAN PANGAN
BERKELANJUTAN
Syahruddin Said

Pusat Penelitian Bioteknologi - LIPI


Jalan Raya Bogor Km. 46 Cibinong 16911
Telp. 021-8754587, Fax. 021-8754588
Email : syahruddinsaid01@gmail.com

ABSTRAK
Salah satu persyaratan yang mutlak harus dipenuhi oleh negara yang merdeka
dan berdaulat adalah berdaulat dibidang pangan. Kedaulatan pangan ini nampak
semakin jauh karena pangan dan pakan kita masih banyak dari impor. Dimasa
depan impor semakin sukar dilakukan karena perubahan iklim telah membuat
produksi pangan dibanyak negara semakin tidak terduga. Karena itu konsep
kedaulatan pangan mensyaratkan kurangnya impor yang bisa menyebabkan
keterjebakan pangan. Kondisi saat ini bangsa Indonesia masih mengimpor 30%
daging dan sekitar 70% susu, impor sapi, daging dan susu yang semakin besar
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri akan mengakibatkan
ketergantungan bangsa Indonesia dengan bangsa lain dan dapat mengancam
kedaulatan pangan bangsa. Puslit Bioteknologi LIPI telah melakukan riset
peternakan mendasar namun dapat diaplikasikan di masyarakat. Selama lebih
dari 20 tahun, sejak wal 1990-an, kegiatan penelitian peternakan LIPI telah
dilakukan di 21 provinsi dan tidak kurang dari 77 Kabupaten di Indonesia. Dalam
tulisan ini akan dibahas peran Puslit Bioteknologi LIPI dalam mengembangkan
teknologi peternakan khususnya penerapatan teknologi dan pengembangan
model industri peternakan di daerah guna mendukung terwujudnya kedaulatan
pangan hewani.

Kata Kunci : bioteknologi, peternakan, kedaulatan pangan, model industri


peternakan.

PENDAHULUAN
Ketersediaan daging sapi, baik impor maupun lokal, sangat terkait
dengan ketahanan pangan nasional. Ketersediaan daging sapi sama
pentingnya dengan ketersediaan beras, gula, jagung, telur, unggas,
kedelai dan sebagainya yang merupakan kebutuhan manusia yang paling
asasi. Pada kondisi krisis dan kritis kebutuhan lain masih dapat ditunda,
tetapi kebutuhan ini tidak bisa ditawar-tawar. Terpenuhinya kebutuhan
pangan bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis
semata, tetapi terkait dengan harkat dan martabat kemanusiaan kita

1
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

dalam perspektif sosial (Hafsah, 2011). Sulit rasanya membayangkan


suatu bangsa akan maju dan berdiri tangguh jika tidak memiliki pijakan
yang kuat dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan.
Rawan pangan tidak hanya berdampak pada bencana
kemanusiaan berupa kelaparan tetapi lebih jauh dari itu rawan pangan
akan mengakibatkan kerawanan gizi yang pada gilirannya akan berakibat
pada kehilangan generasi (losing generation). Dalam declaration of
human right tahun 1948 dan world conference of human right tahun 1993
telah disepakati bahwa setiap individu berhak memperoleh pangan yang
cukup, artinya akses atas pangan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Peran pangan begitu besar sebagai bahan makanan, sumber
mata pencaharian, berperan dalam perekonomian, perdagangan, bahan
baku industri, sosial, budaya, termasuk politik. Karena vitalnya peran
pangan dalam suatu negara sehingga pangan dikategorikan sebagai
komoditi politik strategis.
Dalam suatu negara yang merdeka dan berdaulat, salah satu
persyaratan yang mutlak harus dipenuhi adalah berdaulat dibidang
pangan. Kedaulatan merupakan substansi dari suatu kemerdekaan.
Kedaulatan terkandung didalamnya kemandirian, harga diri, harkat dan
martabat. Mengutip pernyataan founding father Muhammad Hatta
“...hanya suatu bangsa yang telah menyingkirkan perasaan tergantung
saja yang tidak takut akan hari depan. Hanya suatu bangsa yang faham
akan harga dirinya maka cakrawalanya akan terang benderang...”.
Terkait dengan pentingnya pangan terhadap kelangsungan suatu bangsa
yang berdaulat, Presiden George W. Bush dalam Future Farmers of
America, 27 Juli 2001 di Washington DC menegaskan, It’s important for
our nation to build – to grow foodstuff, to feed our people. Can you
imagine a country that was enable to grow enough food to feed the
people? It would be a nation subject to international pressure. It would be
a nation risk. So when we are talking about American Agriculture, we are
really talking about a nation security issue.

2
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Konsumsi Protein Hewani
Protein hewani memiliki manfaat yang cukup besar dalam
membangun ketahanan pangan maupun menciptakan SDM yang sehat
dan cerdas. UNICEF mengakui bahwa perbaikan gizi yang didasarkan
pada pemenuhan kebutuhan protein memiliki kontribusi sekitar 50%
dalam pertumbuhan ekonomi negara-negara maju. Kandungan gizi yang
dimiliki protein hewani, baik telur maupun daging lebih tinggi
dibandingkan makanan yang paling digemari masyarakat Indonesia yaitu
tempe dan susu. Protein telur sekitar 12,5%, daging ayam mencapai
18,5%, sedangkan protein nabati seperti tempe dan tahu masing-masing
hanya 11% dan 7,5% (Daryanto, 2009).
Dibandingkan beberapa negara di dunia, konsumsi protein hewani
penduduk Indonesia jauh diurutan bawah. Menurut data FAO tahun 2010
rata-rata konsumsi protein hewani penduduk Indonesia tahun 2005-2007
sekitar 56 gr/kap/hari, Malaysia (79), Thailand (57), Filipina (59), Vietnam
(72). Apalagi jika dibandingkan dengan beberapa negara Eropa, misalnya
Denmark (111), Prancis (113), dan Amerika (114).
Rendahnya konsumsi protein hewani Masyarakat Indonesia
antara lain diakibatkan oleh masih lemahnya daya beli masyarakat
Indonesia. Secara ilmu ekonomi, lemahnya daya beli masyarakat
Indonesia karena tingkat pendapatan masyarakat yang rendah ditambah
lagi dengan kondisi ekonomi yang tidak menentu akibat gejolak harga
internasional. Terdapat faktor lain yang juga harus diperhatikan, yaitu
rendahnya sosialisasi sadar gizi sehingga tidak heran jika kesadaran
masyarakat terhadap pemenuhan gizi protein hewani rendah. Oleh
karena itu, pemerintah harus terus mendorong peningkatan konsumsi
protein hewani sejalan dengan program perbaikan gizi masyarakat.
Rendahnya asupan protein hewani pada tingkat rumah tangga beresiko
terhadap munculnya kasus malnutrisi, gangguan pertumbuhan otak anak
balita, peningkatan resiko sakit, terganggunya perkembangan mental,
dan penurunan produktivitas pekerja.

3
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Mengingat cukup besarnya peran pangan asal hewan bagi


peningkatan kualitas dan produktivitas SDM, maka peningkatan
konsumsinya bukan hanya tanggungjawab stakeholder peternakan
melainkan berbagai stakeholder. Untuk itu perlu dikembangkan komitmen
dan kerjasama diantara semua pihak terutama dalam bentuk kerjasama
antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga litbang, perguruan
tinggi dan pelaku usaha.

Tabel 1. Konsumsi protein hewani beberapa negara di dunia


Konsumsi Protein (g/kapita/hari)
Negara 1990-92 1995-97 2000-02 2005-07
Bangladesh 42 42 47 49
Brazil 68 77 80 84
Brunei Darussalam 78 89 88 87
China 67 81 86 89
Denmark 100 104 107 111
Egypt 82 88 90 91
France 117 115 119 113
Germany 97 94 99 99
India 56 56 55 56
Indonesia 50 56 54 56
Iran (Islamic Republic of) 79 81 83 84
Israel 113 114 122 126
Italy 111 109 115 112
Japan 96 96 95 92
Malaysia 67 77 76 79
New Zealand 98 100 90 94
Pakistan 56 60 59 57
Philippines 52 54 56 59
South Africa 74 73 76 81
Spain 106 108 112 108
Sri Lanka 48 51 54 55
Thailand 53 58 57 57
United Arab Emirates 102 103 102 104
United Kingdom 93 95 101 104
United States of America 109 111 113 114
Viet Nam 49 55 62 72
Sumber : Statistik FAO 2010

Kegiatan Litbang Peternakan dan Ketahanan Pangan


Teknologi hanya akan memberikan kontribusi jika digunakan
dalam proses produksi barang/jasa untuk meningkatkan kualitas hidup
umat manusia, termasuk dalam upaya penyediaan pangan yang cukup,
bergizi, aman, dan sesuai selera konsumen serta terjangkau secara fisik
dan ekonomi bagi setiap individu sehingga ketahanan pangan dapat

4
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
dicapai. Untuk dapat digunakan, teknologi harus dikembangkan dengan
mengenali terlebih dahulu pengguna potensialnya. Dalam konteks upaya
pencapaian ketahanan pangan, maka pengguna primer teknologi
tersebut adalah peternak. Pengguna sekundernya adalah pengolah
bahan pangan segar menjadi produk pangan olahan. Kebutuhan dan
persoalan nyata yang dihadapi oleh para pengguna perlu dipahami
secara komprehensif terlebih dahulu, agar solusi teknologi yang
ditawarkan diminati oleh para pengguna.
Kapasitas adopsi para pengguna teknologi peternakan harus
setara dengan teknologi yang dikembangkan agar proses adopsi dapat
berlangsung. Kapasitas adopsi pengguna tersebut perlu dilihat dari
kemampuan teknis, manajerial, finansial, dan sosiokultural. Banyak
teknologi peternakan di masa lalu yang diintroduksikan kepada para
pengguna (terutama pengguna primer) tetapi tidak digunakan dalam
proses produksi pangan sebagai akibat dari tidak padunya antara
teknologi yang diintroduksikan dengan kebutuhan dan/atau kapasitas
adopsi pihak pengguna.
Faktor penyebab kondisi ketahanan pangan sulit dicapai salah
satunya adalah karena teknologi belum berkontribusi secara efektif. Hal
ini terutama disebabkan karena teknologi yang dikembangkan belum
selaras dengan kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi para
penggunanya, atau karena tidak mempertimbangkan kapasitas adopsi
para penggunanya. Ketahanan pangan berbasis peternakan tercapai jika
seluruh individu rakyat Indonesia mempunyai akses (secara fisik dan
finansial) untuk mendapatkan pangan asal hewan untuk memenuhi
konsumsi protein hewani mereka agar dapat hidup sehat dan produktif.
Jika konsisten dengan ini, maka pembangunan peternakan harus lebih
berorientasi pada upaya pemenuhan permintaan pasar domestik.
Kemandirian dalam pemenuhan pangan domestik merupakan modal
dasar dalam menangkal dampak krisis global.

5
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Aktor produsen pangan asal ternak sejati adalah peternak, pembudidaya


ternak. Peningkatan produksi pangan nasional tidak pernah akan tercapai
jika tanpa kontribusi nyata dari para pelaku ini. Demikian pula status
swasembada dan ketahanan pangan tidak akan pernah dapat dicapai jika
tanpa kontrbusi dari para pelaku nyata di lapangan ini. Oleh sebab itu,
teknologi yang dikembangkan perlu ‘lebih bersahabat’ dan diarahkan
untuk memudahkan para peternak atau pembudidaya ternak dalam
memproduksi pangan.
Teknologi yang lebih bersahabat dalam persepsi peternak dan
pelaku produksi pangan lainnya adalah teknologi yang secara teknis
mudah dioperasikan dan secara ekonomis lebih menguntungkan
dibandingkan dengan cara tradisional. Faktor penyebab kegagalan dalam
introduksi teknologi pertanian/pangan yang paling umum adalah bukan
karena kendala teknis, tetapi sering disebabkan karena biaya
operasionalnya yang tinggi sehingga tidak menguntungkan bagi petani.
Harga komoditas pangan yang rendah menjadi tantangan berat bagi para
pengembang teknologi untuk menghasilkan teknologi yang sesuai bagi
petani atau pengguna primer teknologi pertanian/pangan lainnya.
Tantangannya adalah menciptakan teknologi yang lebih efisien, tidak
menyebabkan ongkos produksi lebih mahal dibandingkan dengan cara-
cara tradisional yang telah diterapkan, dan menjamin peningkatan
keuntungan bagi pengguna primer yang mengadopsinya.

Kontribusi Puslit Bioteknologi – LIPI Dalam Pembangunan


Peternakan Nasional
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyadari, bahwa praktek
peternakan yang tidak dilandasi ilmu pengetahuan mendasar akan terus
menurunkan populasi dan memperburuk kualitas genetika ternak di
Indonesia yang pada akhirnya akan semakin tergantung kepada pihak
asing dalam rangka memenuhi kebutuhan protein hewani bagi rakyat
Indonesia. Keadaan ini jika dibiarkan terus menerus juga akan

6
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
menurunkan konsumsi protein dan dapat berakibat pada penurunan
kualitas dan kecerdasan rakyat Indonesia.
Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI pada tahun 1993 telah
mendapat kepercayaan oleh pemerintah dengan dikukukannya sebagai
pusat unggulan bioteknologi pertanian II oleh Menteri Negara Riset dan
Teknologi. Dalam perkembangannya Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI
telah turut aktif dan terlibat dalam pembangunan peternakan di Indonesia
dengan membentuk Forum Komunikasi Industri Peternakan Modern
dengan visi menjembatani berbagai kepentingan pengguna (stakeholders)
bidang peternakan dalam upaya mendukung terwujudnya Industri
Peternakan Modern Berbasis Sumberdaya Lokal.
Dengan SDM yang dimiliki ini, Puslit Bioteknologi LIPI telah
mampu melakukan kegiatan riset peternakan yang strategis, riset yang
dikerjakan adalah riset yang cukup mendasar namun dapat diaplikasikan
di masyarakat yang didanai dari dana APBN dan dana kerjasama luar
negeri. Dalam perkembangannya Puslit Bioteknologi LIPI telah
melakukan kegiatan penelitian peternakan tersebar di 21 provinsi dan
tidak kurang dari 77 Kabupaten di Indonesia. Sejak tahun 1992, Puslit
Bioteknologi LIPI telah melakukan kerjasama riset dengan Peternakan Tri
“S” Tapos untuk meningkatkan populasi dan mutu genetic ternak melalui
aplikasi teknologi reproduksi inseminasi buatan (IB) dan transfer embrio
(TE) di Indonesia. Kegiatan ini menjadi cikal bakal kegiatan transfer
embrio di daerah dan telah tercatat berbagai keberhasilan kelahiran sapi
unggul hasil embrio transfer. Puslit Bioteknologi LIPI juga turut berperan
dalam pembentukan Balai Embrio Ternak Cipelang, balai dibawah
koordinasi Direktorat Jenderal Peternakan. Setahun kemudian tepatnya
tahun 1993, Puslit Bioteknologi LIPI dikukuhkan sebagai Pusat Unggulan
Bioteknologi Pertanian II oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi.
Kelompok peneliti hewan telah turut memberikan kontribusi nyata dalam
pengukuhan ini.

7
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Sebagai salah satu tanggungjawab LIPI terhadap masyarakat,


sejak tahun 2003 Puslit Bioteknologi LIPI telah melaksanakan kegiatan
pemberdayaan masyarakat melalui program IPTEKDA LIPI. Kegiatan
IPTEKDA LIPI dalam bidang peternakan ini fokus terhadap aplikasi hasil
riset bioteknologi peternakan di masyarakat. Kegiatan aplikasi IB sexing,
teknologi transfer embrio, teknologi pakan, teknologi pengolahan susu
adalah bagian kegiatan dari IPTEKDA LIPI di bidang peternakan. Selain
itu, juga dikembangkan sistim produksi peternakan, pengembangan
pertanian terpadu berbasis peternakan. Dalam kegiatan ini diperkenalkan
suatu model peternakan dengan sistim zero waste.
Berbekal dari kegiatan dan pengalaman Puslit Bioteknologi LIPI
mengembangkan riset dan teknologi dibidang peternakan di Indonesia,
masyarakat dan pemerintah Indonesia memberikan kepercayaan untuk
mendapatkan bantuan soft loan dari Pemerintah Spanyol. Soft loan ini
akan digunakan untuk mempercepat pembangunan peternakan di
Indonesia. Dengan perbaikan dan peningkatan sarana laboratorium
peternakan di LIPI di Universitas dan Balai IB Daerah di 3 Provinsi (Puslit
Bioteknologi LIPI, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan)
diharapkan mampu meningkatkan kapasitas peneliti Indonesia di bidang
peternakan, meningkatkan kerjasama riset dan aplikasi teknologi
peternakan baik nasional maupun internasional sehingga swasembada
dan kecukupan pemenuhi konsumsi protein hewani dapat tercapai.

Bioteknologi Perternakan Modern (Meat-Milk Pro)


Indonesia memiliki kesempatan dan tantangan besar untuk
mewujudkan industri peternakan. Indonesia yang terletak di garis
khatulistiwa, di daerah tropis, memiliki energi cahaya matahari yang
cukup, lahan vulkanik yang subur, dan keanekaragaman hayati yang
tinggi sebagai sumber bahan genetika untuk perbaikan bangsa ternak,
sumber dari berbagai bahan pakan alternatif, sumber agen mikroba untuk
perbaikan produk-produk daging dan susu. Akan tetapi terdapat

8
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
permasalahan yang sangat besar dalam pengembangan pertanian
termasuk bisnis sapi potong dan sapi perah, Indonesia belum
memberikan perhatian khusus terhadap pentingnya IPTEK sebagai faktor
penentu dalam mewujudkan kemandirian pangan asal ternak. Input riset
dan pengembangan di bidang peternakan masih rendah dan inovasi
masih sangat kurang yang dapat diaplikasikan di masyarakat. Karena
kondisi ini, bisnis sapi potong dan sapi perah menjadi tidak menarik dan
Indonesia semakin tergantung dengan impor.
Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI mengembangkan kegiatan
peternakan melalui Proyek Meat-Milk Pro mencoba mengambil peran
untuk mendorong pencapaian pembangunan peternakan nasional.
Secara umum Proyek Meat-Milk Pro bertujuan meningkatkan kapasitas
peneliti dan penelitian di bidang peternakan, peningkatan kemampuan
SDM masyarakat peternak, peningkatan sarana peralatan dan fasilitas,
kemampuan teknologi dan infrastruktur untuk mendukung program
pengembangan peternakan sapi potong dan sapi perah.
Dalam kurung waktu 2010-2013 proyek Meat-Milk Pro telah
melakukan kegiatan berupa :
1. Pembangunan sarana fisik :
a. Gedung laboratorium Bioteknologi Peternakan di CSC Bogor
b. Bangunan unit prosesing pakan dan susu di CSC Bogor
c. Sarana pendukung berupa jalan, listrik
2. Pengadaan peralatan laboratorium :
a. Peralatan laboratorium di Puslit Bioteknologi LIPI, Univ Andalas
Padang, Univ Padjadjaran Bandung dan Univ Hasanuddin
Makassar
b. Peralatan Unit Prosesing pakan dan susu di CSC Bogor,
prosesing daging di Payakumbuh Sumbar, prosesing susu di
Taskmalaya Jabar, prosesing spermatozoa di Makassar Sulsel

9
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

3. Penelitian, kajian dan intermediasi, meliputi :


a. Produksi Sperma dan Embrio Sapi serta Pengembangan Teknik
In Vitro dan Mikrofertilisasi Sel Telur;
b. Aplikasi Teknologi Inseminasi Buatan dengan Sperma Sexing dan
Transfer Embrio dalam Rangka Peningkatan Populasi dan Mutu
Genetik Ternak Sapi;
c. Analisis Ekspresi Gen Koagulase Mastitis pada Sapi Perah;
d. Identifikasi Sapi Simental Sumatera Barat sebagai Peranakan
Simental Indonesia dengan Pendekatan Teknologi DNA;
e. Pengembangan Silase Rumput dan Legum Untuk Meningkatkan
Efisiensi Produktivitas Ruminansia Melalui Emisi Metan di Rumen;
f. Pemanfaatan Enzim Protease Untuk Mendukung Proses
Pengolahan Susu;
g. Peningkatan Adaptasi Kekeringan Pakan Ternak dengan
Pendekatan Molekuler;
h. Peningkatan Produktivitas Hijauan Pakan Ternak Dengan
Manipulasi Sel Somatik;
i. Pengembangan Model Agribisnis Peternakan Sapi Perah Modern
Dalam Upaya Peningkatan Produksi dan Kualitas Susu Nasional;
j. Pengembangan Model Pertanian Terpadu Berbasis Peternakan
Dalam Upaya Membangun Peternakan Sistem Zero Waste;
k. Intermediasi Teknologi dan Sinergitas Program Bioteknologi Antar
Stakeholder Dalam rangka Mendukung Program Meat Milk Pro;
l. Kajian Sumber Bahan Baku Pakan Ternak Ruminansia Dalam
Rangka Pembentukan Pusat Pengolahan Pakan Ternak
Ruminansia (P3TR) di Indonesia.

Sinergitas Program
Dalam menjalankan proram Meat-Milk Pro, melibatkan beberapa
stakeholder terkait dengan tugas dan fungsi masing-masing seperti
terlihat pada Tabel 2.

10
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Tabel 2. Stakeholder proyek Meat-Milk Pro

NO INSTITUSI TUGAS KETERANGAN


1. Puslit Bioteknologi - LIPI Executing Agency Pemilik Program
2. Institut Pertanian Bogor (IPB)
Riset dan
3. Universitas Padjadjaran (UNPAD)
Pengembangan
4. Universitas Hasanuddin (UNHAS)
Peternakan
5. Universitas Andalas (UNAND)
6. Dinas Peternakan Prov Jawa Tim teknis dan
Barat tim pengarah
Dukungan
7. Dinas Peternakan Prov Sulawesi proyek
regulasi dalam
Selatan
pelaksanaan
8. Dinas Peternakan Prov Sumatera
kegiatan di
Barat
lapangan
9. Dirjen Peternakan dan Kesehtan
Hewan, Kementan
10. Badan Litbang Pertanian
Kerjasama
11. BPTP Jawa Barat
diseminasi hasil
12. BPTP Sulawesi Selatan
riset Kerjasama
13 BPTP Sumatera Barat
implementasi
14. BIBD Lembang, Jawa Barat Kerjasama kegiatan di
15. BIBD Tuah Sakato, Sumatera produksi bibit lapangan
Barat unggul (sperma
16. BIBD Puca, Sulawesi Selatan Embrio dan
pedet)
17. PT. Karya Anugerah Rumpin Penerapan hasil
Bogor riset perbibitan di
swasta
18. PT. Berdikari (BUMN Peternakan) Kerjasama Penerapan hasil
penyediaan bibit riset di swasta
sapi
19. PT. Pupuk Indonesia (BUMN) Penyediaan bibit
unggul
20. Business Innovation Centre Mediasi hasil riset Lembaga
ke swasta intermediasi

Model Industri Peternakan


Melalui proyek Meat-Milk Pro, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
mengembangkan model-model industry peternakan di Indonesia.
1. LIPI : Pusat Unggulan IPTEK Peternakan

11
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

2. Sumatera Barat : model industry peternakanberbasis unit prosesing


daging
3. Jawa Barat : Model industry peternakan berbasis unit prosesing
susu
4. Sulawesi Selatan : Model industry peternakan berbasis unit
prosesing sperm
Selain itu juga telah dibangun Lab Uji Bioteknologi di UNPAD, UNHAS
dan UNAND.

Pusat Unggulan IPTEK Peternakan di CSC LIPI


Kemampuan pengembangan, pemanfaatan, dan penguasaan
Iptek bangsa Indonesia dari tahun ke tahun dirasakan terus meningkat.
Hal ini di antaranya dapat dilihat dari meningkatnya peringkat daya saing
Indonesia pada tahun 2013 dibandingkan tahun sebelumnya seperti yang
diterbitkan oleh World Economic Forum. Berdasarkan survei tersebut
pada tahun 2012 Indonesia menempati peringkat ke-50 dari 144 negara
dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 38 dari 148 negara (Schwab
and Sala-i-Martín, 2013).
Salah satu dari 12 pilar daya saing yang diukur adalah daya
inovasi suatu bangsa, yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-33
meningkat dari tahun sebelumnya yaitu urutan ke-39. Namun
peringkatnya masih rendah dibandingkan dengan Negara-negara lain,
seperti Jepang (peringkat ke-5), Singapura (peringkat ke-9), Korea
Selatan (17), Malaysia (25), dan China (32). Ada tujuh unsur yang diukur
dari pilar tersebut, salah satunya adalah kualitas lembaga litbang yang
menempatkan Indonesia pada peringkat ke-46 (Schwab and Sala-i-
Martín, 2013).
Dalam menjalankan program dan kegiatan Meat-Milk Pro, sejak
tahun 2011 telah melakukan peningkatan capacity building dengan
pembangunan sarana fisik berupa gedung laboratorium peternakan,
sarana fisik unit processing pakan dan susu dan sarana pendukung

12
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
lainnya melalui pendanaan APBN. Melalui pembangunan sarana
prasarana fisik ini ditambah dengan sarana peralatan laboratorium dari
PHLN diharapkan LIPI mampu meningkatkan kapasitas rpenelitian
bidang peternakan dan penelitinya.

Model Industri Peternakan di Sumatera Barat


Rumah Potong Hewan (RPH) memegang peranan penting
sebagai sarana atau piranti yang diperlukan untuk meningkatkan
pelayanan masyarakat dalam usaha penyediaan daging aman, sehat,
utuh dan halal (ASUH) dan berdaya saing tinggi. Menurut Diwyanto dkk.
(2005) salah satu kebijakan pemerintah untuk mendorong
pengembangan usaha peternakan adalah menjamin agar produk yang
dihasilkan mempunyai daya saing, sesuai dengan kebutuhan pasar.
Pasar menghendaki produk yang memenuhi kriteria ASUH, ramah
lingkungan dan mampu menjamin keberlanjutan usaha.
Proyek Meat-Milk Pro di Sumatera Barat dikembangkan model
industry peternakan berbasis Rumah Potong Hewan. Dengan dukungan
teknologi peternakan dari LIPI, Univ Andalas dan Dinas Peternakan
Provinsi Suamtera Barat, mendorong BIBD Tuah Sakato untuk
memperoduksi bibit unggul selanjutnya diaplikasikan dimasyarakat dalam
rangka peningkatan populasi dan mutu genetic ternak. Pemerintah
daerah dengan dukungan regulasi dan insentif yang diberikan akan
semakin mendorong penciptaan ternak-ternak unggul sebagai produsen
ternak yang akan dijadikan ternak potong di RPH. Daging yang dihasilkan
dari RPH yang ASUH (aman, sehat, utuh dan halal) kemudian dipasarkan
untuk konsumsi masyarakat.
Dalam perkembangannya, model industry ini telah menarik minat
PT. Berdikari untuk berinvestasi melakukan kegiatan breeding dan
penggemukan untuk suplay ternak potong ke RPH guna menghasilkan
daging yang ASUH. Pada tanggal 9 Oktober 2013, Kepala LIPI telah

13
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

meresmikan Laboratorium Bioteknologi Peternakan di Fakultas


Peternakan Universitas Andalas.

Model Industri Peternakan di Jawa Barat


Saat ini produk susu dalam negeri masih belum mampu
memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar yang terus meningkat
sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk yang mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga kebutuhan susu nasional
masih harus dipenuhi oleh impor susu bubuk. Produksi dalam negeri saat
ini baru bisa memenuhi tidak lebih dari 30% dari permintaan nasional,
sisanya 70% dari impor.
Dalam era pasar bebas, produktivitas dan daya saing peternakan
khususnya sapi perah harus ditingkatkan, agar Indonesia tidak terjebak
pada ketergantungan terhadap produk-produk protein hewani khususnya
daging dan susu import.
Puslit Bioteknologi LIPI melalui Proyek Meat-Milk Pro
bekerjasama dengan Univ Padjadjaran dan pihak swasta melakukan
upaya mencari solusi terhadap masalah persusuan nasional. LIPI
mencoba menginisiasi membentuk Central Milk Testing Laboratory (CMT).
CMT akan menjadi laboratorium pembanding (advokasi dan rujukan) dan
diharapkan menjadi lembaga independen tidak hanya berpihak kepada
peternak, Juga dapat membantu Industri Pengolahan Susu (IPS) untuk
mendapatkan bahan baku sesuai standar. Dewan Susu Nasional
mengharapkan LIPI mampu menjadi pihak ketiga yang memiliki otoritas
dalam menganalisa susu.
Tujuan dari CMT adalah :
1. Menganalisa sampel susu sebagai dasar pembayaran
2. Menganalisa sampel sapi secara individu untuk optimilasasi
produksi, reproduksi, culling, breeding dan kontrol penyakit (mastitis
dll).

14
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Model Industri Peternakan di Sulawesi Selatan
Hingga saat ini salah satu kendala yang dihadapi dalam sektor
peternakan sapi potong adalah laju pertumbuhan yang masih rendah
(Gatenby, 1986; Diwyanto & Inounu, 2009) sehingga menyebabkan
tingkat importasi daging dan susu terus meningkat seiring pertumbuhan
populasi penduduk Indonesia. Rendahnya produktivitas sapi-sapi lokal
yang tercermin dari tingkat pertumbuhan dan ukuran tubuh merupakan
salah satu akibat dari rendahnya mutu genetik yang dimiliki. Di Sulawesi
Selatan juga terjadi penuruan kualitas ternak sapi, bukan hanya terjadi
pada berat badan, tetapi juga terlihat pada aspek reproduksi, berat lahir
dan ukuran dimensi tubuh (Sonjaya, 1991).
Model industry peternakan yang dikembangkan di Sulawesi
Selatan berbasis unit processing sperma untuk produksi bibit-bibit unggul
ternak sapi dan kerbau menuju swasembada daging nasional.
Adapun fokus kegiatan proyek Meat-Milk Pro di Sumatera Barat adalah :
1. Produksi sperma mengikuti standar SNI.
2. Mendorong peningkatan populasi dan mutu genetic ternak sapi dan
kerbau
3. Mengembangkan model kerjasama riset

Pembentukan Pusat Pengolahan Pakan Ternak Ruminansia (P3TR)


Disadari bahwa tantangan pembangunan peternakan menuju
swasembada daging dan susu nasional sangat besar. Berdasarkan
analisis para pakar bahwa salah satu kritikal point pembangunan
peternakan adalah masalah ketersediaan pakan berkualitas. Lahan
pengembalaan dan HMT semakin terbatas, disisi lain limbah pertanian
dan agroindustry pertanian dan pangan sangat besar, melihat hal
tersebut, LIPI berinisiasi membentuk Pusat Pengolahan Pakan Ternak
Ruminansia (P3TR).
P3TR ini diharapkan mampu menyediakan pakan ternak
berkualitas berbasis limbah pertanian. Pada tahun ini (2013) P3TR telah

15
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

diterima dan menjadi eselon III dibawah Dinas Peternakan dan


Kesehatan Hewan Prov Nusa Tenggara Barat.

Penerapan Hasil Riset Peternakan LIPI Dalam Industri Peternakan


Sapi (Prinsip A-B-G)
Puslit Bioteknologi LIPI menandatangani MOU dengan PT. Karya
Anugerah Rumpin 29 September 2011 tentang Pengembangan Produksi
Benih Sapi unggul. Setahun kemudian tepatnya 15 Oktober 2012
membuat KSO tentang Pengembangan Produksi Benih Sapi unggul
dengan Joint riset perbaikan genetik sapi dan penyebarannya.
Kerjasama ini dimaksudkan mensinergikan kompetensi iptek dari
peneliti Puslit Bioteknologi LIPI dengan kapasitas produksi, modal
pejantan unggul, induk betina, kapital dan management PT KAR untuk
kerjasama peningkatan mutu genetik bibit dan populasi ternak sapi lokal
dalam rangka mendorong tercapainya swasembada daging dan susu
nasional. Dalam menjalankan KSO telah didatangkan pejantan-pejantan
unggul yang lahir dan beradaptasi baik di Indonesia baik sapi asli
Indonesia maupun sapi-sapi eksotik. Sapi simental unggul dari
Padangmangatas didatangkan sebanyak 4 ekor, sapi local Madura, Bali,
Sapi Sumba Ongol. Ratusan ekor anak sapi unggul telah berhasil
dilahirkan dan diharapkan akan menjadi percontohan breeding sapi
nasional.

PENUTUP
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi memegang peran yang sangat
penting dan strategis dalam pembangunan peternakan guna mewujudkan
kedaulatan pangan hewani. Puslit Bioteknologi-LIPI telah mengambil
peran dalam pembangunan peternakan nasional melalui proyek Meta-
Milk Pro. Beberapa yang telah dihasilkan adalah sebagai berikut :
1. Membangun 3 model industri peternakan di daerah (Jabar, Sumbar,
Sulsel) dan 1 kawasan Iptek peternakan di csc Bogor.

16
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
2. Peningkatan sarana laboratorium bioteknologi peternakan di Puslit
Bioteknologi LIPI, Fapet Unand, Fapet Unhas dan Fapet Unpad.
3. Membangun lab lapangan perbibitan sapi unggul nasional kerjasama
dengan PT. Karya Anugerah Rumpin (diresmikan oleh menristek dan
kepala LIPI 15 November 2013)
4. Mengkaji dan mendorong terbentuknya Pusat Pengolahan Pakan
Ternak Ruminansia di Indonesia (telah terbentuk di NTB; Peraturan
Gubernur NTB nomor 48 tahun 2012)
5. Melakukan inisiasi pembentukan central milk testing laboratory di
Indonesia

DAFTRA PUSTAKA
Anonimous. 1993. World Conference on Human Rights, 14-25 June 1993,
Vienna, Austria. http://www.ohchr.org/EN/ABOUTUS/Pages/ViennaWC.
Aspx. 16 Agustus 2014.
Anonimous. 2006. Revitalisasi pertanian dan dialog peradaban. Penerbit Buku
Kompas. Jakarta, Agustus 2006.
Anonimous. 2014. The Universal Declaration of Human Rights.http://www.un.org/
en/documents/udhr/. 16 Agustus 2014.
Daryanto A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Pres. Bogor
2009.
Diwyanto K dan I Inounu. 2009. Dampak crossbreeding dalam program
inseminasi buatan terhadap kinerja reproduksi dan budidaya sapi potong.
Wartazoa 19(2): 93-102.
Diwyanto, K., A. Priyanti & Ismeth Inounu. 2005. Prospek dan arah
pengembangan komoditas peternakan : Unggas, Sapid an Kambing-
Domba. Wartazoa. Vol. 16 No 1. Hal : 11-25
FAO Statistik. 2010. Food and Agriculture Organization of The United Nation.
http://www.fao.org/home/en/. 16 Agustus 2014.
Gatenby RM. 1986. Sheep Production in The Tropics and Subtropics. Tropical
Agriculture Series. London: Longman Group Limited.
Hafsah MJ. 2011. Mewujudkan Indonesia berdaulat pangan. PT. Pustaka Sinar
Harapan. Hal: 23.
Kemenristek. 2014. Pedoman Insentif Pengembangan Pusat Unggulan. Edisi ke-
4. Hal : 3.
Schwab K and Sala-i-Martín X. 2013. The Global Competitiveness Report 2012–
2013. Worl Economic Forum. Full data edition. http://www3.weforum.
org/docs/WEF_ GlobalCompetitivenessReport_2012-13.pdf. 21 Agustus
2014.
Sonjaya H, Bustam E, Jufri M, Toleng AL dan Sudirman. 1991. Survei ternak
sapi Bali di daerah pedesaan Propinsi Sulawesi Selatan. Proyek
Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Universitas Hasanuddin.

17
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

KUMPULAN MAKALAH
BIDANG PAKAN

18
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
PRODUKTIVITAS GULMA AIR (Duckweed) SEBAGAI
SUMBER PAKAN

Achmad Jaelani, Syarif Djaya dan Tintin Rostini

Fakultas Pertanian, Jurusan Peternakan Universitas Islam


Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjary
Jln. Adyaksa no 2 Kayu Tangi Banjarmasin 70123
E-mail : ach_jaelaniborneo@yahoo.com

ABSTRAK
Upaya pemanfaatan sumber pakan lokal sangat penting untuk meningkatkan
efisiensi produksi dan mengurangi ketergantungan kepada impor pakan. Salah
satu sumber hijauan pakan yang banyak di daerah perairan Indonesia dan belum
banyak dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak adalah gulma air (duckweed)
Lemnacea. Tujuan penelitian untuk mengetahui dan mengevaluasi potensi
gulma air sebagai bahan pakan ternak dan mengetahui tingkat pertumbuhan
dan tingkat produksi duckweed. Bibit gulma air sebanyak 1 kg ditaburkan diatas
kolam berukuran 5x5m, bibit diambil dari sungai Martapura, selanjutnya
dibiarkan tumbuh dalam petak percobaan selama 7, 10, 13 dan 16 hari. Peubah
yang diamati berat kering biomasa, tingkat pertumbuhan gulma air dan
kandungan nutrisi. Hasil menunjukkan pada pertumbuhan 10 hari menghasilkan
produksi dan kualitas nutrisi yang optimal. Tanaman gulma air dapat dijadikan
sebagai sumber protein pakan.

Kata Kunci : berat kering, biomassa, gulma air, protein , pakan

PENDAHULUAN
Ketersediaan pakan ternak menjadi problematika dalam
pengembangan usaha peternakan di Indonesia dewasa ini, disebabkan
harga pakan yang semakin tinggi dan ketersediaan bahan pakan
semakin berkurang, baik dari aspek kualitas maupun penyediaan pakan
secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena adanya peralihan fungsi
lahan pertanian menjadi pemukiman industri yang dapat mengurangi
peluang penanaman rumput sebagai pakan utama bagi ternak. Upaya
pemanfaatan sumber pakan lokal menjadi sangat penting untuk
meningkatkan efisiensi produksi dan mengurangi ketergantungan kepada
impor. Salah satu sumber hijauan pakan yang banyak di daerah perairan
Indonesia dan belum banyak dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak
adalah gulma air ( duckweed)

19
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Gulma air merupakan salah satu jenis tanaman air yang banyak
tumbuh di sungai, pematang sawah, waduk atau rawa-rawa. Keberadaan
tanaman ini lebih sering dianggap sebagai gulma yang sangat merugikan
manusia karena tanaman ini dapat menyebabkan pendangkalan sungai
atau waduk serta menyebabkan pengurangan/penguapan air dan unsure
hara yang besar.
Alternatif yang ditempuh untuk mengurangi penggunaan pakan
konsentrat dengan mengembangkan pakan hijauan yang berasal dari
gulma air yaitu tanaman duckweed. karena protein duckweed dapat
digunakan secara efektif sebagai suplemen protein yang
rendah .Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa duckweed lebih
kaya asam amino lisin dengan arginin jika dibandingkan dengan alfalfa,
selain itu protein duckweed lebih menyerupai protein hewani daripada
protein tanaman lainnya, sehingga duckweed dapat dimanfaatkan
sebagai sumber protein yang mempunyai kualitas tinggi untuk
peningkatan produksi ternak. Rusoff et al. (1990) menyatakan bahwa
duckweed dapat digunakan sebagai pakan ternak yang kaya protein
hewani pada domba muda, akan tetapi ada kelemahan dari penelitian
terdahulu belum dilakukan teknologi pakan sehingga bersifat bulk,
dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat menjawab
permasalahan tersebut yaitu dibuat silase dan hay sehingga
ketersediaannya kontinyu dan kualitas nutrisi terjaga dan dapat
mengurangi keberadaan gulma air yang menganggu kebersihan
lingkungan sungai
Penggunaan gulma air sebagai sumber pakan adalah
ketersediaan dan perkembangan tanaman ini cukup banyak sepanjang
tahun disamping kandungan nutrisi yang cukup baik juga tidak bersaing
dengan manusia. Kandungan protein duckweed kering adalah 25.2 –
36.5 % dan protein konsentrat berkisar antara 37.5- 44.7 %, Kandungan
asam amino esensialnya dari protein konsentrat lebih baik jika
dibandingkan standar FAO kecuali asam amino methionin (Rusoff et al,

20
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
1990). Produksi bahan kering duckweed dengan system panen 2 – 3 kali
seminggu menghasilkan 44 ton/ha/thn (leng et al, 1998). Dengan
demikian duckweed berpotensi sebagai sumber protein pakan bagi ternak
ruminansia terutama ternak kambing. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui dan mengevaluasi potensi duckweed sebagai bahan
pakan ternak dan mengetahui tingkat pertumbuhan dan tingkat produksi
duckweed
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium lapangan Fakultas
Pertanian Uniska Banjarmasin. Kalimantan Selatan, Selama 4 bulan.
Bahan yang digunakan adalah kolam air rawa dengan luasan per petak
lebar 5 m panjang 5m sebanyak 20 petak. bibit gulma air .

Penyemaian bibit gulma air


Bibit duckweed sebanyak 1 kg ditaburkan diatas kolam berukuran
5x5m, bibit diambil dari sungai Martapura, selanjutnya dibiarkan tumbuh
dalam petak percobaan selama 7 hari, 10, hari 13 hari dan 16 hari. Baru
dilakukan pemanenan, kemudian dianalisa
Peubah yang diamati adalah Berat kering biomasa, Tingkat
Pertumbuhan duckweed, Menghitung Produksi biomasa duckweed,
Kandungan nutrisi dan fraksi serat tanaman duckweed .
Pengukur tingkat pertumbuhan relatif dihitung dengan
menggunakan rumus menurut Badjoeri & Lukman (2002) yaitu :
RGR = (ln B2 – ln B1) /(t2 – t1)
Dimana : RGR = Tingkat Pertumbuhan relative
ln = Natural log
B = Parameter yang diukur
T = Waktu dalam hari

Menghitung produksi duckweed baik dalam bentuk segar maupun


dalam bentuk kering per satuan luas dan waktu tertentu dapat
menggunakan rumus sebagai berikut:

21
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

P = (B2-B1) / la (t2- t1)


Dimana :
P = Produksi
B = Parameter yang diukur
la = Luas area
T = Waktu

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tingkat pertumbuhan dan produksi duckweed
Tingkat pertumbuhan dan produksi duckweed dari beberapa
tingkat hari panen bervariasi (Tabel 1) .
Tabel 1. Tingkat pertumbuhan dan produksi duckweed
hari
rataan
0 7 10 13 16
g.hari-1
Rataan pertumbuhan
relatif 0.32 2.26 6.80 20.41 61.23 0.32
Produksi (g.m-2,hari-1
BK) 60 180 540 1620 4860 12

Dari Tabel 1 terlihat bahwa tingkat pertumbuhan tanaman


duckweed relative pada minggu pertama cukup tinggi yaitu 2.26 g. Hal ini
menunjukkan bahwa tiap satu gram keesekon harinya akan bertambah
sebanyak 0.32 g per hari, hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan
hasil penelitian Setyawan et al. (2006) yang melaporkan bahwa
pertumbuhan relative per hari sebanyak 0.381 g/hari. Leng et al., (1998),
mengemukakan bahwa biomasa mencapai dua kali lipat dari bobot panen
7 hari dalam jangka waktu tertentu sedangkan Mbagwu dan Adeniji
(1988) melaporkan bahwa per ha dapat diperoleh 129 kg BK dalam
waktu 3 – 7 hari.
Produksi tanaman duckweed yang dihasilkan dalam penelitian
ini berkisar antara 60-4860 g BK, produksi ini lebih rendah dibandingkan
hasil penelitian Syamsu et al. (2003) yang melaporkan bahwa produksi
bahan kering duckweed sebesar 12-15 g. m-2, hari-1, sehingga mencapai

22
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
±55 ton, ha-1.tahun-1 dengan panen 2-3 kali per minggu. Sedangkan
Setyawan et al., (2006) yang melaporkan bahwa tanaman duckweed
yang tumbuh pada kondisi optimal menghasilkan bobot kering sebesar
27-79 ton. Ha-1.tahun-1. Perbedaan tingkat pertumbuhan dan produksi
tanaman duckweed disebabkan adanya perbedaan kandungan nutrient
tempat tumbuh tanaman tersebut, Hal ini sejalan dengan pendapat
Setiana (2011) bahwa perumbuhan duckweed sangat dipengaruhi oleh
keseimbangan nutrient, pH, dan temperature serta intensitas matahari.
Intensitas cahaya berinterkasi dengan temperature, dimana temperature
optimum akan meningkatkan pertumbuhan tanaman.

Kandungan nutrisi duckweed


Kandungan nutrisi tanaman duckweed yang dilakukan
pemanenan yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda, tersaji pada
Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi nutrisi tanaman gulma air yang dipanen dengan waktu yang
berbeda
hari
7 10 13 16 SEM
Protein kasar(%) 22.14 25.43 21.32 19.54 2.47
Serat Kasar (%) 11.34 12.13 13.54 14.43 1.39
Lemak (%) 2.65 2.42 2.86 2.98 0.25
Abu (%) 25.65 23.76 24.65 21.16 1.92
BETN (%) 22.12 25.65 21.43 24.64 2.01
NDF (%) 62.3 63.67 64.86 64.98 1.25
ADF(%) 37.32 37.67 37.43 38.64 0.60
Hemiselulosa 24.98 26 27.43 26.34 1.01
Selulosa 12.34 11.67 10 12.3 1.10

Secara umum kandungan nutrisi duckweed dengan tingkat


panen tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun ada
kecenderungan semakin lama waktu panen menunjukkan penurunan
kualitas terutama kandungan nutrisi tanaman gulma air (duckweed).
Kandungan nutrisi gulma air menunjukkan hasil yang terbaik pada waktu
panen 10 hari yaitu protein sebesar 25.43 % dan kandungan serta kasar

23
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

sebesar 12.13% sedangkan pada waktu panen 16 hari menunjukkan


penurunan kandungan protein yaitu menjadi 19.54 dan peningkatan
kandungan serat kasar menjadi 14.43%. Hasil ini lebih rendah
dibandingkan dengan hasil penelitian Leng et, al,.(1998) yaitu berkisar
40-43%. (Rusoff, 1990) berkisar 25-36% dan Setiana (2011) yang
melaorkan kandungan nutrisi duckweed berkisar antaar 22.84-27.06%.
Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena tempat tumbuh dan cara
budidaya yang berbeda. Sedangkan Syamsu et al. (2003) yang
melaporkan bahwa nutisi duckweed tergantung pada kandungan nutrient
tempat tumbuh dan duckweed mempunyai kemampuan menyerap NH3
dan mengasimilasikan menjadi protein. Leng et al. (1998) melaporkan
bahwa tanaman duckweed mempunyai kemampuan menyerap nutrisi
melalui seluruh permukaan daun.
Syamy et al. (2000) yang melaporkan bahwa kandungan protein
duckweed sebesar 37% mendekati protein bungkil kedele dan lebih tinggi
dari kandungan protein eceng gondok dan rumput Alfalfa. Anggorodi
(1990) mengemukakan tumbuhan yang memiliki kandungan protein yang
tinggi cenderun mempunyai kandungan serat kasar rendah salah satunya
tanaan duckweed.
Kandungan NDF dan ADF pada hijauan rawa ini dipengaruhi oleh
musim, pada saat keadaan surut dimana tanaman kekurangan air maka
tanaman cepat tua sehingga kandungan serat kasar menjadi tinggi
sehingga berpengaruh terhadap komponen serat. Hal ini sesuai dengan
pendapat Susetyo (1980) bahwa Kandungan fraksi serat suatu tanaman
dipengaruhi oleh spesies tanaman, iklim, kesuburan tanah, dan
manajemen. (Hendrik dan Zeeman 2009) Faktor genetis, spesies hijauan
dan faktor lingkungan yaitu tanah dan iklim, sedangkan Taiz dan Zeiger
(2002) melaporkan bahwa kandungan struktural setiap komponen serat
yang terdapat pada tanaman berbeda tergantung pada kemampuan
tanaman memetabolisme terhadap nutrisi dan hubungannya antar
komponen (Tilman et al., 1998). komponen fraksi serat dipegaruhi jumlah

24
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
kandungan serat tanaman dan kesuburan tanah dimana tanaman itu
tumbuh. Kualitas dan kuantitas dari rumput dipengaruhi oleh suhu dan
curah hujan (Reksohadiprodjo 1985) Kandungan ADF dan NDF hijauan
rawa ini masih dalam area batas normal rumput tropika menurut

KESIMPULAN
Tanaman gulma air memiliki potensi sebagai bahan pakan ternak
berdasarkan kemampuan produksi, kualitas nutrisi dan kecernaan bahan
kering maupun bahan organik.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi, departemen Penelitian dan Pengabdian melalui
Program Hibah Bersaing tahun anggaran 2014

DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: Gramedia.
Adeniji M. 1988. Pemanfaatan tumbuhan kumpai dari danau semayang sebagai
pakan sapi. Jurnal tropic Animal agriculture. 27 (2) : 125-133.
Hendrik ATWM and Zeeman G. 2009. Pretreatment to enhance the digestibilty of
lignocellulosic biomass. Bioresour teknol 110:10-18
Leng RA, Stambolie JH, and Bell R. 1998. Duckweed - a potential high-protein
feed resource for domestic animals and fish. Nutritional Research
Reviews. 3:277-303
Reksohardiprojo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik.
BPT, Yogyakarta.
Rusoff L L, Blackeney EW and Culley DD. 1990 Duckweeds (Lemnaceae Family):
a potential source of protein and amino acids. Journal of Agriculture and
Food Chemistry. 28:848-850
Setiana MA. 2011. Pola Penyediaaan Tanaman Pakan Ternak sapi Pedaging di
Kampung Cikoang. Kecamatan ujung Jaya Sumedang. Seminar
Nasional Pengembangan Sistem Produksi dan Pemanfaatan
Sumberdaya Lokal untuk Kemandirian Pangan asal Ternak. Fakultas
Peternakan Unpad. Bandung.
Setyawan AD, Setyaningsih S, dan Sugiyarto. 2006. Pengaruh jenis dan
kombinasi tanaman Sela terhadap Diversitas dan Biomasa Gulma di
bawah tegakan Sengon (Paraserienthes falcataria L. Nielsen) di resort
Pemangkuan hutan jatirejo Kediri. J. Biosmart. 8:27-32
Syamsu JA, Lily AS, Mudikdjo JH, dan Said EG. 2003. Daya dukung limbah
pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia.
wartazoa. 13(1):30-37

25
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Steel RGD, dan Torrie JH. 1999. Statistics Principles and


Procedures.2ED.Translation: B. Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Susetyo S. 1980. Tata Laksana Padang Pengembalaaan. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Taiz L, dan Zeiger E. 2002. Plant Physiology. 3 rd ED. Sinauer Association,Inc
Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo R, Prawirokusumo S,
dan .Lebdosoekojo S. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Fak
Peternakan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta

26
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
PENENTUAN KADAR ANTINUTRISI PADA TANAMAN
LEGUME

Bustanussalam, Yatri Hapsari, Fauzy Rachman dan


Eris Septiana

Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Jl. Raya Bogor-Jakarta Km. 46, Cibinong


16911, Jawa Barat
E-mail :bustanussalam@lipi.go.id

ABSTRAK
Legume adalah salah satu hijauan pakan ternak yang mengandung protein lebih
tinggi daripada rumput. Lamtoro (Leucaeana leucocephala (Lam.) de Wit),
kedelai (Glycine max (L.) Merr.), kelor (Moringa oleifera Lam.) dan gamal
(Gliricidia sepium Jack Walp.) merupakan contoh legume yang umumnya
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Akan tetapi, pemanfaatan legume yang
tinggi sebagai pakan perlu dibatasi dikarenakan adanya senyawa antinutrisi yang
terkandung dalam legume, yang akan mengurangi nilai nutrisi dari tanaman
legume sendiri. Karena itu perlu diketahui kadar senyawa kimia antinutrisi seperti,
tanin, saponin dan kumarin dalam tanaman legume yang umum dimanfaatkan
sebagai pakan ternak dengan metode titrasi, spektrofotometri dan kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT) serta kandungan antioksidan dengan metode
peredaman radikal bebas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kadar
antinutrisi tersebut mengalami penurunan setelah melalui proses pengeringan
walaupun tidak terlalu signifikan, sehingga diperlukan penelitian lain untuk
mengetahui proses yang terbaik guna mengoptimalkan penurunan kadar
antinutrisi tersebut. Selain itu, tanaman Legume memiliki kandungan antioksidan
yang bervariatif yang menjadi nilai lebih.

Kata kunci: legume, pakan ternak, antinutrisi, antioksidan

PENDAHULUAN
Peternakan merupakan salah satu bidang penting dalam kehidupan
manusia. Kebutuhan akan produk hasil peternakan merupakan faktor
penting dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Kesehatan hewan
ternak menjadi salah satu parameter keberhasilan majunya bidang
peternakan. Hewan ternak yang sehat akan menghasilkan produk yang
sehat, unggul dan higienis sehingga disenangi masyarakat. Produk dari
hewan ternak yang sehat juga dapat memenuhi kebutuhan manusia akan
gizi yang terkandung di dalamnya. Kesehatan ternak tak lepas dari apa
yang dikonsumsi oleh ternak itu sendiri. Asupan nutrisi untuk hewan
27
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

diperoleh dari pakan yang dikonsumsinya. Pakan hewan ternak yang


unggul akan menyediakan nutrisi yang baik sehingga hewan dapat
tumbuh dan berkembang dengan sehat, khususnya hewan ternak dari
golongan ruminansia. Hewan ini memakan berbagai jenis rumput-
rumputan atau tanaman gulma yang tumbuh bebas disekitar lahan
kosong. Rumput-rumputan inilah yang menjadi tolak ukur kandungan
senyawa-senyawa yang berperan dalam pertumbuhan hewan ternak
golongan ruminansia (Jayanti 2011).
Pakan ternak mengandung berbagai jenis zat, mulai dari yang
menguntungkan hingga merugikan bagi hewan ternak. Zat yang
merugikan atau yang biasa disebut antinutrisi dapat bersifat racun
maupun menghambat pertumbuhan hewan ternak itu sendiri. Zat-zat
tersebut menghambat pertumbuhan hewan dengan cara mengontaminasi
senyawa-senyawa penting dalam pakan sehingga hewan ternak tidak
dapat tumbuh dengan baik (Widodo 2010).
Pada dasarnya banyak bahan pakan berpotensi mengandung satu
atau beberapa jenis zat antinutrisi. Hal ini dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan pertumbuhan dan kesehatan, apabila kandungan
antinutrisi dalam bahan pakan yang dikonsumsi ternak cukup tinggi.
Beberapa metode prosesing telah dikembangkan, baik secara fisik,
mekanik, maupun kimiawi yang dapat digunakan untuk menghilangkan
atau mengurangi kadar senyawa antinutrisi dalam bahan pakan (Wahju
2004).
Tanaman Legume diberikan sebagai pakan untuk menyiasati
tambahan rumput sebagai pakan utama. Beberapa tanaman Legume
yang sering dijadikan pakan ternak oleh peternak diantaranya tanaman
Lamtoro (Leucaeana leucocephala (Lam.) de Wit), kedelai (Glycine max
(L.) Merr.), kelor (Moringa oleifera Lam.) dan gamal (Gliricidia sepium
Jack Walp.) sehingga perlu diketahui kadar senyawa antinutrisi tanaman
tersebut yang meliputi kadar tannin, saponin dan kumarin serta kadar

28
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
antioksidan. Hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan untuk
pemberian pakan ternak.
Lamtoro (Leucaeana leucocephala (Lam.) de Wit) dikenal di
Indonesia dengan nama petai cina. Lamtoro merupakan salah satu
hijauan bernilai gizi tinggi yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak,
namun pemberiannya terhadap ternak perlu dibatasi karena lamtoro
mengandung zat antinutrisi yaitu asam amino non protein yang disebut
mimosin. Zat ini dapat menimbulkan keracunan serta gangguan
kesehatan jika dikonsumsi dalam jumlah banyak dan terus-menerus
dalam jangka waktu yang cukup lama. Zat antinutrisi lain yang
terkandung dalam lamtoro yaitu asam sianida (HCN) yang dapat
menurunkan kesehatan ternak bahkan sampai menyebabkan keracunan
akut dan keracunan kronis. Selain itu lamtoro juga mengandung tanin
yang dapat menurunkan palatabilitas pakan dan penurunan kecernaan
protein (Siregar 1994). Senyawa lain di dalam lamtoro yang diperkirakan
sebagai senyawa antinutrisi adalah tanin, saponin, dan kumarin.
Kedelai merupakan salah satu sumber protein yang baik untuk
ternak, karena kedelai mengandung asam amino yang lengkap. Koswara
(1992), menyatakan komposisi kimia kedelai adalah 331 kkal kalori; 34,9
g protein; 18,1 g lemak; 34,8 g karbohidrat; 227 mg kalsium; 585 mg
fosfor; 8,0 mg besi; 110 SI vitamin A; 1,1 mg vitamin B1; dan 7,5 g air.
Selain itu, kedelai mengandung senyawa-senyawa antioksidan,
diantaranya vitamin E, vitamin A, provitamin A, vitamin C dan senyawa
flavonoid golongan isoflavon, genistein dan daidzein (Asih 2009).
Kelor adalah tanaman yang sangat baik diberikan kepada ternak,
karena merupakan tanaman jenis sayuran yang sarat nutrisi. Nutrisi yang
dimiliki daun kelor, seperti karbohidrat, vitamin C, protein, mineral, dan
lemak. Kandungan mineral pada daun kelor adalah kalium, kalsium,
magnesium, sodium, phosphor, tembaga, seng, dan besi. Daun kelor
juga mengandung sejumlah asam amino, yaitu serin, glisin, treonin,
alanin, valina, leusina, isoleusina, histidina, lisina, arginina, dan metionina

29
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

(Mustafa 2003). Selain mengandung nutrisi yang baik, daun kelor juga
mengandung senyawa antinutrisi yang dapat mengganggu pertumbuhan
hewan ternak dan dapat menurunkan nilai gizi bahan pakan. Pada
umumnya faktor-faktor antinutrisi dalam bahan pangan dapat
dinonaktifkan melalui proses pengolahan. Namun, sering proses
pengolahan tidak dilakukan dengan cara yang benar, sehingga ada
kemungkinan senyawa tersebut belum hilang, terutama untuk senyawa-
senyawa yang tahan terhadap proses pemanasan (Palupi et al. 2007).
Adapun berbagai senyawa antinutrisi yang telah banyak diteliti antara lain
adalah hemaglutinin, fitat, oligosakarida, saponin, kumarin, dan tanin
Gamal merupakan salah satu tanaman perdu yang biasa digunakan
sebagai pakan ternak. Khusus sebagai pakan ternak hewan ruminansia
terutama sapi, gamal adalah kombinasi dan partner yang baik bagi
rumput gajah (Pennisetum purpureum). Keunggulan lain dari gamal
adalah kemampuan adaptasi yang sangat luas terhadap berbagai kondisi
tanah dan iklim, mudah ditanam, dan mampu memproduksi biomasa
yang cukup besar, selaras dengan kandungan nutrisi dan protein yang
sangat tinggi. Sebagai pakan ternak ruminansia, gamal memiliki nilai gizi
yang cukup baik yaitu mengandung 22.1 % bahan kering, 23.5 % protein,
dan energi 4200 Kcal/Kg (Kushartono dan Nani 2004).
Selain dari keunggulan yang telah disebutkan, tumbuhan gamal
memiliki beberapa kandungan zat yang sifatnya beracun di antaranya
dicoumerol, senyawaan nitrit, dan beberapa senyawa turunan seperti
tanin, saponin dan kumarin. Dicoumerol merupakan senyawa hasil
konversi kumarin yang bersifat menggumpalkan darah karena
menghambat aktivitas vitamin K. Senyawa senyawa tersebut
menyebabkan dampak yang mengganggu terutama untuk ternak
monogastrik. Walaupun sangat bermanfaat bagi ternak, tingkat racun
dalam gamal juga sudah dikenal sejak lama. Di Amerika Tengah, daun
dan kulit kayu gamal yang ditumbuk dicampur dengan rebusan biji jagung
digunakan sebagai racun tikus dan racun binatang rodenticidal (pengerat).

30
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Di beberapa daerah pesisir Jawa Barat juga ditemukan penggunaan kulit
batang dan biji gamal sebagai campuran bahan pembuat racun ikan.
Sekurangnya ada beberapa jenis komponen racun dalam tanaman gamal
(Lowry 1990).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar antinutrisi pada
tanaman Legume yang biasa dipergunakan sebagai pakan ternak baik
pada keadaan segar (basah) maupun hasil pengeringan (kering) serta
mengetahui kadar anrioksidan yang dikandungnya sebagai nilai tambah.

MATERI DAN METODE


Koleksi sampel tanaman legume
Sebagai sumber penelitian, tanaman Legume diperoleh dari
Kawasan CSC-LIPI dan Kampung Sampora, Cibinong. Determinasi
dilakukan di Herbarium Bogoriensis, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong.
Pembuatan ekstrak
Ekstrak sampel basah dan kering dimaserasi dengan etanol 96%
kemudian dikeringkan dengan vakum evaporator sehingga diperoleh
ekstrak sampel kering (ESK) dan ekstrak sampel basah (ESB).
Uji penapisan fitokimia
Uji golongan tanin. Ekstrak sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
ditambahkan akuades dan dipanaskan dalam penangas air selama 5
menit, ditambahkan beberapa tetes FeCl3 1 %. Terbentuknya warna hijau
kebiruan atau kehitaman indikasi adanya senyawa golongan tanin.

Uji golongan saponin. Ekstrak sampel dimasukkan ke dalam tabung


reaksi, ditambahkan akuades dan dipanaskan dalam penangas air
selama 5 menit lalu dikocok kuat arah vertikal selama 10 detik. Busa
yang terbentuk diamati stabilitasnya selama 10 menit dan ditambahkan
setetes HCl 1 %. Jika busa tidak hilang, sampel positif mengandung
saponin.

31
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Uji golongan kumarin. Ekstrak sampel dimasukkan ke dalam tabung


reaksi dan ditambahkan eter dan divortex. Larutan kemudian disaring
dengan kertas saring dan diuapkan dalam lemari asam lalu ditambahkan
air panas ditunggu sampai dingin dan ditambahkan larutan amoniak 10 %
kemudian diamati di bawah sinar lampu ultraviolet pada panjang
gelombang 366 nm. Fluoresensi warna biru atau hijau membuktikan
adanya golongan senyawa kumarin.

Uji aktivitas antioksidan


Berdasarkan pada penangkapan radikal bebas dengan pereaksi
DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) dengan mengukur serapan (absorbansi)
pada panjang gelombang 517 nm menggunakan spektrofotometer
sehingga diperoleh nilai IC50 (Yen 1998)

Penentuan kadar antinutrisi


Uji Kadar Tanin. Dilakukan dengan metode titrasi dengan menggunakan
larutan indigokarmin. Kemudian dititrasi dengan KMnO4 0.1 N. Titrasi
dilakukan terhadap sampel dan blanko secara duplo dan kadar tanin
ditentukan dengan persamaan :
Kadar tanin = (A-B) × 0,004157 × 250 × 100 %
Bobot ekstrak × 5
Keterangan :
A = jumlah KMnO4 untuk titrasi sampel
B = jumlah KMnO4 untuk titrasi blangko

Uji Kadar Saponin. Dilakukan dengan metode spektrofotometer dengan


mengukur absorbasi pada panjang gelombang 544 nm menggunakan
perekasi vanilin. Pengukuran dilakukan terhadap standar saponin dan
sampel. Kadar saponin ditentukan dengan persamaan :

Kadar saponin = ((Absorbansi – a)/b) × (Fp × 10 × 100)) x (Bobot ekstrak × 106)


dengan :
a = Intersep
b = Slope/Kemiringan
Fp= Faktor Pengenceran.

32
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P

Uji Kadar Kumarin. Dilakukan dengan metode HPLC dengan kondisi


alat menggunakan HPLC Shimadzu, kolom YMC Packed Column A313
S-5 120A ODS, isokratik, eluen metanol : air akuabides (10:1,v/v) dengan
laju alir 1 mL/menit, volume injeksi 20 µL, detektor UV-Vis dengan
panjang gelombang 254 nm dan suhu 30 ºC. Kadar kumarin ditentukan
berdasarkan persamaan :
Kadar kumarin = Luas area sampel × Konsentrasi standar
Luas area standar

HASIL DAN PEMBAHASAN


Koleksi sampel tanaman legume
Nama spesies Tanaman yang digunakan pada penelitian ini
sebagai berikut Lamtoro (Leucaeana leucocephala (Lam.) de Wit),
Kedelai (Glycine max (L.) Merr.), Kelor (Moringa oleifera Lam.) dan
Gamal (Gliricidia sepium Jack Walp.)
Penapisan fitokimia
Hasil uji penapisan fitokimia terhadap ekstrak sampel kering (ESK)
dan ekstrak sampel basah (ESB) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Uji Penapisan Fitokimia
Jenis Uji
Jenis Ekstrak
Tanin Saponin Kumarin
ESK Lamtoro + + +
ESB Lamtoro + + +
ESK Kelor + + +
ESB Kelor + + +
ESK Gamal + + +
ESB Gamal + + +
Kedelai + + -
Keterangan : ESK = esktrak sampel kering ; ESB = ekstrak sampel basah

Penapisan fitokimia pada ESB dan ESK Lamtoro menunjukkan hasil


positif untuk golongan senyawa tanin, saponin, dan kumarin. Selain itu
untuk ESB Lamtoro juga mengandung senyawa flavonoid sedangkan
untuk uji lainnya menunjukkan hasil negatif.

33
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Hasil penapisan didapat bahwa ekstrak Gamal baik ESB maupun ESK
mengandung senyawa tanin, saponin, dan kumarin. Saponin dan tanin
menghasilkan uji positif pada ekstrak gamal menunjukkan kesesuaian
dengan penelitian sebelumnya bahwa gamal mengandung senyawa
fenolik yang merupakan larut dalam pelarut polar dan dapat membentuk
kompleks. Gamal juga mengandung senyawa dicoumerol, senyawa yang
dapat mengikat vitamin K dan menggumpalkan darah. Senyawa ini
didapat dari hasil konversi kumarin oleh bakteri melalui proses fermentasi.
Hasil pengamatan terhadap ekstrak kedelai menunjukkan hasil positif
tanin sesuai dengan penelitian Becker dan Siddhuraju (2006), yang
menyatakan kacang-kacangan mengandung senyawa fenolik dalam
beberapa bentuk. Tanin dan kumarin merupakan salah satu bentuk
senyawa fenolik. Namun hasil pengamatan kumarin menunjukkan negatif
atau tidak terdapat kumarin pada kacang kedelai. Hasil pengamatan juga
menunjukkan kacang kedelai positif mengandung saponin sesuai dengan
penelitian Koswara (1992).
Antioksidan
Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak sampel kering (ESK) dan ekstrak
sampel basah (ESB) tanaman Legume dapat dilihat pada Gambar 1.
Prinsip metode penangkapan radikal adalah pengukuran
penangkapan radikal bebas sintetik dalam pelarut organik polar seperti
etanol atau metanol pada suhu kamar oleh suatu senyawa yang
mempunyai aktivitas antioksidan. Radikal bebas sintetik yang digunakan
adalah DPPH. Senyawa DPPH bereaksi dengan senyawa antioksidan
melalui pengambilan atom hidrogen dari senyawa antioksidan untuk
mendapatkan pasangan elektron (Pokorni 2001).

34
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P

A B

C D

Gambar 1. Hasil uji aktivitas antioksidan tanaman Legume : (A) Lamtoro, (B)
Kelor, (C) Gamal, dan (D) Kedelai.

Dari hasil uji aktivitas antioksidan tersebut diperoleh nilai IC50 seperti
yang terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai IC50


Jenis Ekstrak IC50 (µg/mL)
Vitamin C 4,23
ESK Lamtoro 47,65
ESB Lamtoro 33,56
ESK Kelor 124,00
ESB Kelor 68,00
ESK Gamal 167,02
ESB Gamal 196,86
Kedelai 554,00

Senyawa yang bereaksi sebagai penangkap radikal akan mereduksi


DPPH yang dapat diamati dengan adanya perubahan warna DPPH dari
ungu menjadi kuning ketika elektron ganjil dari radikal DPPH telah
berpasangan dengan hidrogen dari senyawa penangkap radikal bebas
yang akan membentuk DPPH-H tereduksi (Molyneux 2004) dengan
reaksi sebagai berikut:

35
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Gambar 2. Reaksi reduksi radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolik

Uji antioksidan dengan metode peredaman radikal bebas DPPH


bertujuan untuk memantau sifat antioksidan ekstrak suatu tumbuhan
karena adanya korelasi positif antara nilai % inhibisi radikal bebas
dengan nilai aktivitas antioksidan yang didasari oleh prinsip adanya
reaksi penangkapan hidrogen dari antioksidan oleh DPPH. Daya hambat
terhadap radikal bebas DPPH diukur menggunakan spektrofotometri
cahaya tampak berdasarkan perubahan warna yang terjadi.
Pada Lamtoro menunjukkan bahwa ESK mempunyai IC50 47,65 µg/mL,
ESB 33,56 µg/mL, dan vitamin C 4,23µg/mL. Semakin kecil nilai IC50
maka semakin tinggi aktivitas antioksidan sebagai peredam radikal bebas.
Aktivitas antioksidan suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan
sangat kuat jika memiliki nilai IC50 <50 µg/mL; kuat apabila nilai IC50
antara 50-100 µg/mL; sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 100-150
µg/mL; dan lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 150-200 µg/mL
(Molyneux 2004). Dari hasil pengujian maka senyawa dalam ESB dan
ESK Lamtoro memiliki aktivitas sangat kuat sebagai antioksidan.
Pada kelor menunjukkan bahwa ESK mempunyai IC50 sebesar 124,00
µg/mL dan ESB sebesar 68,00 µg/mL, sehingga dapat disimpulkan
bahwa ESK kelor memiliki aktivitas antioksidan yang sedang sedangkan
ESB kelor memiliki aktivitas antioksidan yang kuat. Sedangkan pada
gamal menunjukkan ESB mempunyai IC50 sebesar 196,86 µg/mL dan
ESK sebesar 167,02 µg/mL sehingga kedua ekstrak tersebut memiliki
aktivitas antioksidan yang lemah. Adapun aktivitas antioksidan kedelai
sangat lemah dengan nilai IC50 sebesar 554,00 µg/mL.

36
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Kadar Antinutrisi
Hasil analisis kuantitatif zat antinutrisi pada sampel tamanan Legume
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai kadar antinutrisi
Kadar (%)
Jenis Ekstrak
Tanin Saponin Kumarin
ESK Lamtoro 7,87 0,80 4,335×10-5
ESB Lamtoro 10,22 1,42 5,850×10-5
ESK Kelor 3,20 0,76 0,00006
ESB Kelor 3,21 1,17 0,00001
ESK Gamal 4,00 1,43 0,0023
ESB Gamal 4,16 1,44 0,0035
Kedelai 1,2226 1,1174 0,0002

Tanin
Titrasi dengan KMnO4, menyebabkan gugus fenol pada tanin
teroksidasi. Jumlah gugus fenol berbanding lurus dengan jumlah KMnO4
yang diperlukan untuk titrasi. Indigokarmin digunakan sebagai indikator
redoks yang berwarna biru (Chaerunnisa 2013) yang bersifat basa
kisaran pH 11,6 - 13. KMnO4 diketahui sebagai oksidator kuat yang
digunakan sebagai titran. Dalam suasana basa, tanin dalam sampel dan
indigokarmin akan bereaksi dengan KMnO4, sehingga ion permanganat
akan mengalami reduksi dan kadar tanin dapat dihitung. Perubahan
warna yang terjadi adalah dari biru menjadi kuning.
Hasil pengujian yang dilakukan didapatkan untuk kadar tanin ESK
lamtoro sebesar 7,87% sedangkan ESB lamtoro sebesar 10,22%. Kadar
tanin untuk ESK ekstrak lamtoro menunjukkan nilai yang lebih kecil
dibandingkan dengan ESB lamtoro, hal ini disebabkan karena proses
pengeringan yang menyebabkan senyawaan tanin terdegradasi.
Kandungan tanin dalam pakan ternak memiliki pengaruh terhadap daya
cerna ternak, namun dampak negatif ini dapat terlihat jika kadar tanin
dalam bahan pakan lebih dari 10% (Hangerman 2002) hal ini
menunjukkan daun petai cina dengan proses pengeringan lebih baik
untuk dijadikan sebagai pakan ternak.

37
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Kadar tanin yang didapatkan pada ESK sebesar 3,20%, dan pada
ESB kelor sebesar 3,21%. Hasil ini menunjukkan bahwa pengeringan
tidak terlalu berpengaruh pada kadar tanin pada tanaman kelor hal ini
bisa disebabkan karena proses pengeringan yang kurang sempurna,
suhu yang tidak optimum atau durasi pengeringan yang relatif singkat.
Kadar tanin yang diperoleh pada ESK gamal sedikit lebih rendah
dibanding ESB yaitu 4,00 % dan 4,16 %. Semakin kecil kadar tanin,
semakin baik penggunaannya sebagai pakan ternak karena
pengendapan beberapa protein oleh senyawa tanin menjadi lebih sedikit.
Akan tetapi kadar yang didapat sedikit di atas batas kadar tanin dalam
pakan ruminansia yang baik, yaitu 2-4 % sehingga diperlukan
pengolahan lanjutan untuk meminimalisir kadar tanin dalam pakan
(Preston & Leng 1987). Perbedaan hasil yang tidak terlalu signifikan
menunjukkan bahwa pengeringan tidak terlalu berpengaruh terhadap
kandungan tanin dalam sampel.
Adapun hasil dari pengujian menunjukkan kacang kedelai
mengandung tanin sebesar 1,2226% masih dibawah ambang batas untuk
penggunaan sebagai pakan.
Saponin
Berdasarkan hasil uji kadar saponin pada ESK lamtoro sebesar 0,80%
sedangkan ESB lamtoro sebesar 1,42%. Hasil ini menunjukkan pada
daun lamtoro kering memiliki kandungan saponin lebih rendah sehingga
lebih aman untuk digunakan sebagai pakan. Kadar saponin yang
didapatkan pada ESK kelor sebesar 0,76% dan ESB kelor sebesar
1,17%. Kadar saponin pada ESK kelor lebih rendah, karena mengalami
proses pengeringan yang senyawa metabolitnya terdegradasi, walaupun
ada perbedaan kadar saponin antara ESK dan ESB namun tidak terlalu
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pengeringan tidak terlalu
berpengaruh terhadap kadar saponin dalam tanaman kelor.
Berdasarkan hasil perhitungan didapat bahwa kadar saponin dalam
ESB gamal sedikit lebih tinggi dibanding ESK yaitu 1,44 % dan 1,43 %.

38
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Sedangkan untuk hasil kacang kedelai yang diuji mengandung saponin
sebesar 1,12%. Menurut FAO (2005), kadar tanin di atas 0,5 % dapat
menghambat pertumbuhan hewan ternak, khususnya hewan ruminansia
bahkan dapat menyebabkan kematian jika kadarnya melebihi 4 %. Kadar
yang didapat pada percobaan melebihi batas aman pemberian pakan
sehingga diperlukan penanganan khusus sebelum pakan diberikan
langsung ke hewan ternak. Perbedaan hasil yang tidak terlalu nyata
menunjukkan bahwa proses pengeringan sebelum dijadikan ekstrak tidak
terlalu berpengaruh terhadap kadar saponin yang terkandung.
Kumarin
Dari hasil kromatogram diperoleh kadar kumarin pada ESK kelor
sebesar 0,00006% dan ESB kelor sebesar 0,00001%. Untuk gamal
didapat bahwa kadar kumarin ESB yaitu 0,00035 % dan ESK yaitu
0,00023 %. Sedangkan untuk kacang kedelai mengandung kumarin
dengan kadar sebesar 0,0002%.
Hasil ini menunjukkan kadar yang sangat kecil, artinya pada tanaman
lamtoro memiliki kandungan antinutrisi kumarin dengan kadar aman
untuk dikonsumsi oleh ternak. Pemberian pakan ternak dengan kadar
kumarin di bawah 0,3 % menurut Tangendjaja et al. (1991) dianggap
masih dapat memberikan efek yang baik bagi pertumbuhan ternak. Kadar
kumarin ESK lebih kecil dibanding ESB karena senyawaan dicoumerol
hasil konversi kumarin dapat terdegradasi selama pengeringan ataupun
penyimpanan sebelum dilakukan analisis (Susanti 2000).

KESIMPULAN
Tamanan Legume yang biasa digunakan sebagai pakan ternak
memiliki kandungan senyawa antinutrisi yang dapat menghambat
pertumbuhan ternak. Rata-rata kadar antinutrisi tersebut mengalami
penurunan setelah melalui proses pengeringan walaupun tidak terlalu
signifikan, sehingga diperlukan penelitian lain untuk mengetahui proses
yang terbaik guna mengoptimalkan penurunan kadar antinutrisi tersebut.
39
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Selain itu, tanaman Legume memiliki kandungan antioksidan yang


bervariatif yang menjadi nilai lebih.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih kami sampaikan untuk Titi Parwati, Yadi dan
Rahmat atas asistensinya. Kegiatan DIPA Tematik Puslit Bioteknologi-
LIPI tahun 2013 atas dana penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Asih IARA. (2009). Isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid dari kacang kedelai
(Glycine max). J Kim. 3(1):33-40.
Astuti S. (2008). Isoflavon kedelai dan potensinya sebagai penangkap radikal
bebas. Jurnal Teknologi & Industri Hasil Penelitian. 13(2).
Becker K, Siddhuraju P. (2006). The antioxidant and free radical scavenging
activities of processed cowpea (Vigna unguiculata (L) Walp.) seed
extracts. Food Chemistry. 101:10-19.
Chaerunnisa LA. (2013). Ekstraksi kasar tanin dari daun belimbing wuluh
sebagai inhibitor enzim xantin oksidase (skripsi). Universitas Indonesia.
[FAO] Food and Agricultural Organization. (2005). Sorghum and millet in human
nutrition. FAO food and Nutrition Series, No.27. ISBN 92-5-103381-1.
Diakses 18 November 2013 dari http://www.fao.org/DOCREP/T0818E00.
Hangerman AE. (2002). Tannin-Protein Interaction, Phenolic Compounds In
Food and Their Effects on Health 1. Washington D.C(US): American
Chemical Society.
Hiai S, Oura H, Nakajima T. (1976). Color Reaction of Some Sapogenins and
Saponin with vanillin and Sulfuric Acid. Planta Medica 29: 116-122.
Harborne JB. (1996). Metode Fitokimia :Penuntun Cara Moderen Menaganalisis
Tumbuhan. Terbitan Kedua. Bandung. Institut Teknologi Bandung.
Jayanti R. (2011). Alternatif menjaga ketersediaan pakan ternak. Diakses 18
November 2013 dari http://banten.litbang.deptan.go.id.
Kushartono B, Nani I. (2004). Inventarisasi keanekaragaman pakan hijauan guna
mendukung sumber pakan ruminansia. Prosiding Temu Teknis Nasional
Fungsional Pertanian. Diakses 18 November 2013 dari
http://balitnak.litbang.deptan.go.id/ptek04-11.pdf.
Koswara S. (1992). Teknologi Pengolahan Kedelai. Jakarta. Pustaka Sinar
Harapan.
Lowry JB. (1990). Toxic factors and problems: methods of alleviating them in
animals. Proceedings of a workshop in Denpasar, Indonesia, 24-29 July
1989.
Molyneux P. (2004). The use of stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH)
for estimating antioksidan activity. J Sci Technol. 26(2): 211-219
Mustafa J. (2003). Kajian toksikopatologi pemberian ekstrak etanol daun kelor
(Moringa oleifera Lam.) pada mencit (Mus musculus). (skripsi). Institut
Pertanian Bogor.
Palupi NS, Prangdimurti E, Zakaria FR. (2007). Metode Evaluasi Efek Negatif
Komponen Non Gizi. (Modul e-Learning ENBP). Institut Pertanian Bogor.

40
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Preston, T.R. dan R.A. Leng. (1987). Matching Ruminants Production System
With Available Resources In The Tropic. Armidale : Penambul Books.
Pokorni. (2001). Antioxidant in Food: Practical Applications. New York(US) : CRC
Press.
Susanti MCE. (2000). Autokondensat tanin dan penggunaan sebagai perekat
kayu lamina. (Tesis). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Siregar B. (1994). Ransum Ternak Ruminansia. Jakarta. Penebar Swadaya.
Tangendjaja B, Wina E, Susana IWR. (1991). Komposisi dan Sifat Kimia Daun
Gamal. Dalam : Gliricidia sepium dan Pemanfaatannya. Bogor. Balai
Penelitian Ternak.
Widodo W. (2010). Tanaman Beracun dalam Kehidupan Ternak. Malang.
Universitas Muhammadiyah Malang.
Wahju J. (2004). Ilmu Nutrisi Ternak Unggas. Cetakan ke-4. Yogyakarta. Gadjah
Mada University Press.
Yen, Gow-Chin and Jun-Yi Wu. (1998). Antioxidant and Radical Scavenging
Properties of Extracts from Ganoderma tsugae. Food Chemistry 65. 375-
379.

41
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

PENGARUH SILASE JERAMI JAGUNG TERHADAP


PRODUKSI GAS METANA DENGAN METODE IN
VITRO PRODUKSI GAS PADA TERNAK RUMINANSIA
Crhisterra Ellen Kusumaningrum, Teguh Wahyono dan Irawan
Sugoro

Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional


Jl. Lebak Bulus Raya 49, PO Box 7002 JKSKL, Jakarta 12440
Telp. 62-021 7690709, Fax. 62-021 7691607
ellen@batan.go.id

ABSTRAK
Gas metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang menjadi salah satu
penyebab terjadinya pemanasan global dimana jumlahnya telah melebihi
ambang batas kewajaran. Sebagian emisi gas metana merupakan hasil aktivitas
manusia yang berasal dari kegiatan pertanian, salah satunya dari ternak
ruminansia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh silase jerami
jagung terhadap produksi gas metan secara in vitro. Perlakuan dalam penelitian
ini adalah A. kontrol (silase jerami jagung), B. silase jerami jagung + 5% probiotik,
C. silase jerami jagung + 5% stimulan dan D. silase jerami jagung + 2,5%
probiotik + 2,5 % stimulan. Parameter yang diamati antara lain pH, volume gas
total dan volume gas metana. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan
silase jerami jagung dengan penambahan 5 % stimulan menghasilkan gas
metana yang paling rendah yaitu sebesar 0,0045 ml/200 mg dibandingkan
dengan perlakuan lainnya.

Kata Kunci: Silase jerami jagung, gas metan, in vitro produksi gas

PENDAHULUAN
Pemanasan global atau global warming merupakan salah satu
masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Salah satu
akibat yang ditimbulkan dari pemanasan global yaitu perubahan iklim dan
ketidakseimbangan alam sehingga terjadi beberapa bencana alam. Gas
efek rumah kaca yang dihasilkan dari gas pembakaran ataupun hasil
metabolisme merupakan salah satu yang menjadi penyebab terjadinya
global warming. Jumlah gas tersebut di atmosfer bumi telah melebihi
ambang batas kewajaran. Gas metan sebagai salah satu contoh dari gas
efek rumah kaca, dihasilkan sebagai produk samping dari proses
metanogenesis oleh bakteri – bakteri metanogen, contohnya adalah

42
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Methanobacterium formicium, Methanobrevibacter ruminantium.
Meskipun posisi filogenetik dari metanogen dalam rumen beragam,
mikroorganisme ini hanya memanfaatkan tiga jalur utama untuk
metanogenesis, yaitu jalur pengurangan CO2, konversi senyawa C1
(misalnya, metanol dan methylamine) dan jalur fermentasi asetat (Zhou et
al., 2010). Pada ternak ruminansia, dari jalur metanogenesis ini akan
terbentuk gas metana (CH4) yang keluar melalui eruktasi (sekitar 83%),
pernapasan (sekitar 16%) dan anus (sekitar 1%). Sekitar 50 % emisi gas
metana merupakan hasil aktivitas manusia yang berasal dari kegiatan
pertanian, dan 60 % dari kegiatan pertanian tersebut berasal dari
peternakan terutama ternak ruminansia (Martin et al., 2010). Secara
khusus, dampak dari gas metan pada ternak yaitu dapat menyebabkan
kehilangan energi hingga 15% dari total energi kimia yang tercerna.
Beberapa penelitian untuk melakukan mitigasi gas metan dari
ternak telah dilakukan. Thalib (2008) melaporkan bahwa dengan
pemberian zat kimia, seperti senyawa-senyawa metana terhalogenasi,
sulfit, nitrat, dan trikhloroetilpivalat, atau berdasarkan reaksi hidrogenasi
sehingga mengurangi reduksi CO2 oleh hidrogen, seperti senyawa asam
lemak berantai panjang tidak jenuh dan pemberian zat defaunator seperti
saponin mampu menekan produksi gas metan. Widiawati dan
Tiesnamurti (2012) menyebutkan dengan pemberian silase dan pakan
additif juga menjadi teknologi untuk mitigasi ternak.
Silase jerami jagung merupakan salah satu teknologi pengolahan
pakan yang dapat diaplikasikan oleh seluruh petani ternak di Indonesia.
Prinsip pembuatan silase adalah fermentasi hijauan oleh mikroba yang
banyak menghasilkan asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan selama
proses fermentasi akan berperan sebagai zat pengawet sehingga dapat
menghindarkan pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Dengan
teknologi pengolahan pakan ini maka dapat mengawetkan dan
mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijauan untuk dimanfaatkan
pada masa mendatang. Tujuan dari percobaan ini adalah mengetahui

43
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

pengaruh pemberian pakan silase jerami jagung terhadap produksi gas


metan pada ternak ruminansia secara in vitro produksi gas.

MATERI DAN METODE


Pembuatan Silase Jerami Jagung
Bahan silase jerami jagung adalah jerami jagung yang telah
mengalami pencacahan dan diangin-anginkan. Setelah mencapai kadar
air yang optimal untuk pembuatan silase, sekitar 60 %, jerami jagung
dicampur dengan probiotik ataupun stimulan (silase sinambung) sesuai
dengan perlakuan sebagai berikut : A. kontrol (silase jerami jagung), B.
silase jerami jagung + 5% probiotik, C. silase jerami jagung + 5% stimula
dan D. silase jerami jagung + 2,5% probiotik + 2,5 % stimulan. Jerami
jagung yang telah dicampur, kemudian diinkubasi dalam suatu silo
berukuran 50 kg selama 21 hari.
Uji In Vitro Produksi Gas
Uji in vitro produksi gas dilakukan berdasarkan metode Menke dan
Steingass (1998). Langkah pertama dalam in vitro gas production adalah
pembuatan media yang mengandung unsur makromineral, mikromineral
dan buffer. Media tersebut diletakkan diatas water heater pada suhu 390C
dan dialiri gas CO2 serta diaduk dengan menggunakan magnetic stirer.
Sebelum ditambahkan cairan rumen, ditambahkan larutan pereduksi dan
resazurin sebagai indikator. Dimana warna media akan berubah dari biru
menjadi merah muda. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi reduksi sudah
lengkap yang berarti sudah tidak mengandung O2 lagi.
Pengambilan cairan rumen dilakukan dari vistula ternak ruminansia.
Substrat yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan perlakuan
yaitu A, B, C dan D sebanyak 200 mg dan cairan rumen 30 ml kemudian
diinkubasi pada suhu 390C selama 24 jam dan diamati pruduksi gasnya
yaitu volume gas total dan volume gas metan. Substrat tersebut
kemudian digunakan untuk menentukan nilai nutrisi, salah satunya
adalah nilai pH.

44
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P

HASIL DAN PEMBAHASAN


pH
Pada Grafik 1 ditunjukkan nilai pH dari masing-masing perlakuan,
dimana nilainya berkisar antara 7,41-8,32. Perubahan nilai pH ini terjadi
akibat adanya metabolisme mikroba dalam memanfaatkan medium yang
ada. Nilai tersebut berada diatas batas nilai yang ditentukan dan
cenderung bersifat basa.

Grafik 1. Nilai pH Cairan Rumen Sampel Perlakuan

Salah satu faktor yang menyebabkan pH cairan rumen menjadi


basa adalah adanya degradasi protein dan non protein (NPN) dalam
pakan. Pada saat metabolisme protein dan asam amino terjadi pelepasan
ion ammonium (NH3) dan gas CO2 yang mengakibatkan pH meningkat
menjadi basa.
Nilai pH pada cairan rumen akan mempengaruhi kinerja dari
mikroba yang ada di dalam rumen. Mikroba yang ada di dalam rumen
sangat bervariasi, dimana mempunyai fungsi yang penting untuk
pemenuhan kebutuhan protein dari ternak itu sendiri. Sebagai contoh
untuk mikroba selulolitik, akan mengalami pertumbuhan yang optimal
pada pH >6,5. Sedangkan untuk bakteri methanogen akan tumbuh
optimal pada kisaran nilai pH 6,0-6,5 (Poulsen, et al., 2012). Secara
umum pH cairan rumen yang baik untuk pertumbuhan,

45
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

perkembangbiakan, dan aktivitas bakteri rumen terutama pencerna serat


kasar adalah pada pH 6,0-7,0 dengan suhu 38° - 40°C. Suhu in vitro
diusahakan tidak melebihi 40°C, karena bakteri dalam rumen sangat
sensitif terhadap suhu tinggi.
Volume Gas Total
Volume gas total pada masing-masing perlakuan ditunjukkan pada
Grafik 2. Dimana nilainya berkisar antara 50,00-54,17 ml/200mg. Produk
gas yang dihasilkan terjadi dari proses fermentasi pakan oleh mikroba
yang ada di dalam rumen, yaitu hidrolisis karbohidrat menjadi
monosakarida dan disakarida yang kemudian difermentasi menjadi
volatille fatty acid (VFA), terutama asam asetat, propionat dan butirat, dan
gas berupa gas metan CH4 dan CO2 (Mc Donald et al., 2002). Gas dalam
rumen terdiri dari 56% CO2; 32% CH4; 8,5% N2; dan 3,5% O2. Persentase
dari masing-masing gas dipengaruhi dari ternak, jenis pakan dan waktu
setelah diberi pakan. Gas CO2 dan CH4 akan diserap melalui dinding
rumen ke darah dan dikeluarkan melalui pernapasan, sendawa, dan urin.
Selain itu Gas CO2 hasil fermentasi pakan di dalam rumen akan
dimanfaatkan oleh mikroba rumen yang bersifat anaerob, salah satunya
adalah bakteri metanogen untuk pertumbuhannya.

Grafik 2. Volume Gas Total Sampel Perlakuan

Produksi gas merupakan parameter aktivitas mikroba rumen dalam


mendegradasi pakan. Apabila produksi gas tinggi maka aktivitas mikroba

46
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
dalam rumen juga tinggi (Ella et al., 1997). Pada penelitian ini, nilai
volume gas tertinggi terdapat pada perlakuan silase jerami jagung yang
dikombinasikan dengan probiotik. Produksi gas ini juga dapat memberi
gambaran banyaknya bahan organik yang dapat dicerna di dalam rumen
(Firsoni, 2005).
Volume Gas Metan
Grafik 3 menunjukkan volume gas metan dari masing-masing
perlakuan. Dimana nilainya berkisar antara 0,0045-0,0587 ml/200mg.
Dengan nilai terendah pada perlakuan silase jerami jagung yang
dikombinasikan dengan 5 % stimulan. Stimulan yang dilakukan pada
penelitian ini berupa silase yang telah matang dan siap digunakan.
Metanogenesis yang terjadi didalam pencernaan ternak ruminansia
menghasilkan CH4 melalui reduksi CO2 dengan gas H2 dengan bantuan
beberapa enzim yang dihasilkan oleh bakteri metanogen. Sekitar 25
persen dari gas yang diproduksi didalam rumen adalah gas metan.
Bakteri pembentuk gas metan, yaitu bakteri metanogen, termasuk salah
satu golongan Archaebacteria yang bersifat anaerob obligat dan terbagi
menjadi tiga group. Group I Methanobacterium dan Methanobrevibacter ,
Group II meliputi Methanococcus, dan Group III termasuk genera
Methanospirillum dan Methanosarcina.

Grafik 3. Volume Gas Metan Sampel Perlakuan

47
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Pembentukan gas metan di dalam rumen berkaitan dengan


pembentukan produk akhir fermentasi di dalam rumen, terutama jumlah
mol ATP. Sehingga akan mempengaruhi efisiensi produksi mikroba
rumen. Oleh karena itu untuk meningkatkan efisiensi pakan pada ternak
ruminansia maka dilakukan mitigasi produksi gas metan dengan prinsip
mengurangi produksi gas H2 yang terbentuk dan mengurangi populasi
bakteri metanogen di dalam rumen.

KESIMPULAN
Hasil dari penelitian disimpulkan bahwa silase jerami jagung yang
dikombinasikan dengan stimulan menghasilkan volume gas metan yang
paling rendah diantara perlakuan lainnya, sehingga mempunyai potensi
sebagai pakan yang mampu menurunkan produksi gas metan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Nuniek Lelananingtyas,
Bapak Edi Irawan Kosasih, Bapak Adul dan Bapak Dedi yang telah
membantu dalam analisa di laboratorium dan perawatan ternak selama
penelitian berlangsung. Juga kepada Bapak Suharyono dan seluruh rekan-
rekan peneliti yang ada di Kelompok Nutrisi Ternak yang telah memberikan
bantuan dan kerja samanya sehingga penelitian dan penulisan makalah ini
dapat diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Ella, A. S. Hardjosoewignya, T. R. Wiradaryadan dan M. Winugroho. 1997.


Pengukuran Produksi Gas dari Hasil Proses Fermentasi Beberapa Jenis
Leguminosa Pakan. Dalam : Prosiding Sem. Nas II-INMT Ciawi, Bogor.
Firsoni. 2005. Manfaat Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera, Lam) dan Glirisidia
(Gliciridia sepium, Jacq) sebagai Sumber Protein dalam Urea Molases Blok
(UMB) terhadap Metabolisme Pakan Secara in-vitro dan Produksi Susu Sapi
Perah. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Brawijaya, Malang.
Mc Donald, P., R. Edwards and J. Greenhalgh. 2002. Animal Nutrition. Sixth
Edition. New York.

48
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Martin, C., D. P. Morgavi dan M. Doreau. 2010. Methane mitigation in ruminants:
from microbe to the farm scale. Animal 4:3, pp 351–365 & The Animal
Consortium 2009. INRA, UR 1213, Herbivores Research Unit, Research
Centre of Clermont-Ferrand-Theix, F-63122 St Gene`s Champanelle,
France.
Poulsen, M., B. B. Jensen, R. M. Engberg. 2012.The effect of pectin, corn and
wheat starch, inulin and pH on in vitro production of methane, short chain
fatty acids and on the microbial community composition in rumen fluid.
Volume 18, Issue 1, February 2012, Pages 83–90.
http://dx.doi.org/10.1016/j.anaerobe.2011.12.009.
Thalib, A. 2008. Buah Lerak Mengurangi Emisi Gas Metana pada Hewan
Ruminansia. Warta Penelitian dan Pengembanganpertanian Vol 30 N0 2.
Widiawati Y,Tiesnamurti B. 2012. Pengolahan pakan sebagai salah
satu strategi untuk mitigasi gas rumah kaca dari ternak ruminansia. Potensi
bahan pakan lokal untuk menurunkan gas metana ternak ruminansia.hal1-
22.
Zhou, Mi., Emma Hernandez-Sanabria, dan Le Luo Guan. 2010. Characterization
of Variation in Rumen Metanogenic Communities under Different Dietary
and Host Feed Efficiency Conditions, as Determined by PCR-Denaturing
Gradient Gel Elektroforesis Analysis. Department of Agricultural, Food and
Nutritional Science, University of Alberta, Edmonton, Alberta, Canada
T6G2P5. Applied And Environmental Microbiology, June 2010, p. 3776–
3786 Vol. 76, No. 12 0099-2240/10/$12.00 doi:10.1128/AEM.00010-10
Copyright © 2010, American Society for Microbiology.

49
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

FERMENTASI RUMEN DOMBA YANG MENDAPAT


PAKAN DASAR RUMPUT ATAU SILASE TONGKOL
JAGUNG YANG DIPERKAYA DENGAN TEPUNG
JAGUNG ATAU MOLASES
Dwi Yulistiani* dan Wisri Puastuti

Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. PO Box 221. Telp 0251-8240753, Fax
0251-8240574
*email: dwiyulistiani@yahoo.com

ABSTRAK
Tongkol jagung merupakan limbah tanaman jagung yang potensial dijadikan
pakan alternatif pengganti rumput terutama musim kemarau. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengevaluasi pemanfaatan pakan dasar silase tongkol jagung
sebagai pengganti rumput. Penelitian menggunakan 15 ekor domba sedang
tumbuh dikelompokkan menjadi 3 perlakukan pakan dasar yaitu 1. Kontrol
(Rumput/RPT); 2.) Silase tongkol jagung diperkaya dengan tepung jagung
(SiJG); 3). Silase tongkol jagung diperkaya dengan molases (SiM). Silase
tongkol jagung dibuat dengan mencampurkan tongkol jagung giling dengan
tepung jagung atau molases sebanyak 2% bahan kering (BK) tongkol jagung
selanjutnya ditambahkan air untuk mendapatkan BK 30-40%, kemudian
disimpan secara kedap udara selama 21 hari, Pakan dasar dan konsentrat
diberikan dengan rasio 40:60% dalam total mixed ration yang disusun secara iso
energi dan iso protein mengandung protein kasar 14% dan energi metabolis 9
MJ/kg. Pakan diberikan secara adlibitum selama 2 minggu untuk adaptasi rumen
terhadap pakan percobaan. Peubah yang diukur adalah produksi asam lemak
volatil (VFA), konsentrasi rumen amonia (NH3N) dan rumen pH. Tidak ada
pengaruh perlakukan terhadap total produksi VFA dengan rataan 119,5 mMol.
Sedangkan proporsi asam asetat pada pakan SiJG maupun SiM nyata (P<0,05)
lebih tinggi dibanding RPT. Sebaliknya, produksi asam propionat RPT lebih tinggi
dibanding silase. Konsentrasi rumen ammonia pakan RPT lebih tinggi (P<0,05)
dibanding SiJG maupun SiM. Namun demikian konsentrasi rumen NH3N
semuanya dalam kondisi optimal. pH rumen pakan SiM lebih tinggi (P<0,05)
dibanding pakan lainnya. Dapat disimpulkan bahwa dalam ransum iso energi dan
iso protein, silase tongkol jagung dapat menggantikan rumput dengan
memberikan kondisi fermentasi rumen yang optimal untuk terjadinya aktifitas
mikroba rumen pada domba.

Kata kunci: silase, tongkol jagung, fermentasi rumen, domba

50
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
PENDAHULUAN
Limbah pertanian seperti tongkol jagung sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai bahan pakan ternak ruminansia sumber serat
sebagai pengganti rumput. Akan tetapi tongkol jagung mempunyai
kualitas yang rendah dengan kadar protein 2,94%, kadar lignin 5.2% dan
selulose 30% dan sangat mudah terkontaminasi oleh kapang aspergilus
flavus yang memproduksi senyawa beracun. Oleh karena itu perlu dicari
cara pengawetannya sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu lama
sebagai persediaan pakan saat rumput sulit didapatkan terutama saat
musim kemarau dan sekaligus meningkatkan nilai nutrisinya. Silase
merupakan salah satu cara pengawetan yang sudah lama dikembangkan
terutama untuk bahan pakan dari tanaman yang mengandung kadar air
yang tinggi yang dimana tidak memungkinkan untuk dikeringkan (rumput
dan hijauan lain) atau tanaman yang mudah rusak kualitasnya bila
dibiarkan mengering (jagung dan sorghum). Salah satu faktor yang
mempengaruhi kualitas silase adalah ketersediaan sumber karbohidrat
terlarut. Karbohidrat terlarut ini dalam proses fermentasi diubah oleh
bakteri lactobacillus menjadi asam laktat, dengan terbentuknya asam
laktat ini pH silase turun mencapai pH 4 atau lebih kecil, dengan
terbentuknya asam laktat dan pH yang rendah ini silase yang dibuat
mempunyai palatabilitas yang tinggi dan silase mempunyai daya simpan
yang lama. Sehingga untuk bahan pakan yang rendah kandungan
karbohidrat terlarut dalam proses pembuatannya perlu ditambahkan
karbohidrat terlarut seperti molases ataupun sumber karbohidrat yang
lain. Nkosi et al (2009) melaporkan penambahan molases pada
pembuatan silase tanaman jagung meningkatkan kandungan karbohidrat
terlarut dan asam laktat serta menurunkan pH silase.
Belum banyak dilaporkan di Indonesia tentang pemanfaatan
silase tongkol jagung yang diperkaya sebagai bahan pakan ternak
ruminansia, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pengolahan silase
tongkol jagung dengan penambahan sumber karbohidrat terlarut dan

51
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

pemnfaatannya sebagai pakan ternak ruminansia. Tujuan dari penelitian


ini adalah untuk mengevaluasi pemanfaatan pakan dasar silase tongkol
jagung sebagai pengganti rumput pada pakan domba.

MATERI DAN METODA


Penelitian dilakukan dengan menggunakan 15 ekor domba
sedang tumbuh yang ditempatkan dalam kandang individu dan
dikelompokkan menjadi 5 kelompok berdasarkan bobot badan dimana
tiap kelompok domba diacak untuk mendapatkan salah satu dari tiga
perlakukan pakan. Perlakuan pakan yang diberikan adalah perbedaan
pakan dasar domba yaitu 1. Pakan dasar kontrol (cacahan rumput
gajah/RPT); 2.) Silase tongkol jagung yang diperkaya dengan tepung
jagung (SiJg); 3). Silase tongkol jagung yang diperkaya dengan molases
(SiM). Pakan dasar dan konsentrat diberikan dengan rasio 40:60%
diberikan secara total mixed ration yang disusun secara iso energi dan
iso protein dengan kandungan protein kasar 14% dan energi metabolis 9
MJ/kg. Pakan konsentrat disusun dengan menggunakan bahan pakan
yang terdiri dari bungkil kelapa, dedak padi, jagung giling, bungkil kedele,
molasses, premix dan garam. Pakan diberikan secara adlibitum selama
2 minggu untuk adaptasi rumen terhadap pakan percobaan. Silase
tongkol jagung dibuat dengan mencampurkan tongkol jagung yang sudah
digiling dengan molases atau jagung giling sebanyak 2% BK tongkol
jagung. Campuran ini kemudian dicampur dengan air untuk mendapatkan
bahan kering 30-40%. Campuran ini kemudian disimpan secara kedap
udara selama 21 hari, sebelum digunakan sebagai pakan dasar. Peubah
yang diukur adalah: konsumsi bahan kering pakan, produksi asam lemak
volatil (VFA), konsentrasi rumen amonia (NH3N) dan rumen pH. Data
komposisi bahan pakan ditampilkan secara deskriptif sedangkan data
peubah VFA, rumen ammonia dan rumen pH dianalisa dengan Anova
untuk rancangan acak kelompok menggunakan program SAS 9.1.

52
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai nutrisi bahan pakan dasar yang dipergunakan dalam
penelitian ini diekspresikan dalam kandungan BO, PK, NDF, ADF lignin
serta nilai kecernaan in vitronya dan ditampilkan pada Tabel 1. Dari table
1 terlihat bahwa rumput gajah mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi
dibanding dengan silase tongkol jagung yang dicampur molasses (SiM)
ataupun dicampur jagung giling (SiJg). Dari komposisi kimianya, rumput
gajah ini mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi serta
kandungan NDF yang lebih rendah. Demikian juga dengan kecernaannya
secara in vitro, rumput gajah mempunyai kecernaan bahan kering lebih
tinggi dibanding silase tongkol jagung.

Tabel 1. Nilai nutrisi (komposisi kimia dan kecernaan invitro) bahan pakan
yang digunakan untuk penelitian

Variable RPT SiM SiJg

Bahan organik 89,4 98 98


Protein kasar 6,56 3,51 4,8
Serat deterjen netral 68,32 79,98 75,78
Serat deterjen asam 48,67 42,7 43,94
Lignin 7,35 5,98 5,71
Kecernaan bahan kering 54,68 51,94 46,5
Kecernaan bahan organik 51,51 51,2 48,76
RPT: rumput gajah, SiM: silase tongkol jagung diperkaya dengan molases, SiJg:
silase tongkol jagung diperkaya dengan tepung jagung.

Rataan konsumsi konsumsi pakan dan karakteristik fermentasi


rumen domba yang mendapatkan pakan basal yang berbeda ditampilkan
pada table 2. Terlihat bahwa perbedaan pakan dasar tidak nyata
berpengaruh terhadap total konsumsi pakan yang menunjukan bahwa
silase tongkol jagung mempunyai palatabilitas yang sama dengan pakan
dasar rumput. Hal ini terlihat dari proporsi konsusmi pakan dasar yang
tidak bebeda nyata antar perlakuan dengan rataan 45,30%. Proporsi ini
lebih tinggi dari yang ditentukan pada awal penyusunan ransum lengkap

53
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

dimana proporsi pakan dasarnya adalah 40%. Meningkatnya konsumsi


pakan dasar terutama silase mengindikasikan bahwa perlakuan ensilase
baik dengan penambahan molasses maupun jagung giling sebagai
sumber karbohidrat pada proses ensilase mampu meningkatkan
palatabilitas tongkol jagung. Hal sama juga dilaporkan oleh Yulistiani dan
Puastuti (2012), dimana domba yang diberi pakan dasar silase tongkol
jagung mempunyai konsumsi yang lebih tinggi dibanding tongkol jagung
yang digiling saja.
Rumen pH pada domba dengan pakan dasar SiJg nyata lebih
tinggi dibanding pakan dasar yang lain. Namun rumen pH ini masih lebih
rendah dari yang dilaporkan oleh Abdelahadi dan Santini (2006) pada
sapi yang digembala ataupun digembala dan disupelmentasi dengan
silase tanaman jagung, rumen pHnya antara 6,69-6,74. Namun demikian
rumen pH pada penelitian yang dilaporkan disini masih pada kisaran
yang optimal untuk terjadinya sintesa mikroba dalam rumen.
Konsentrasi rumen ammonia domba yang mendapatkan pakan
dasar rumput gajah nyata (P<0,05) lebih tinggi dari pada pakan dasar
SiM maupun SiJg lebih tingginya rumen ammonia ini kemungkinan
disebabkan oleh kandungan protein pada rumput lebih tinggi dibanding
silase tongkol jagung (Tabel 1). Sebagai akibatnya konsentrasi rumen
ammonia domba dengan pakan rumput gajah lebih tinggi. Meskipun
konsentrasi rumen ammonia domba dengan pakan dasar SiM maupun
SiJg lebih rendah dibanding pakan dasar rumput, namun konsentrasi ini
masih dalam kondisi ideal untuk terjadinya fermentasi di dalam rumen,
dimana menurut Satter dan Slyter (1974) diperlukan konsentrasi rumen
amonia diatas 5 mg/dl untuk mendukung pertumbuhan mikroba yang
optimal.

54
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Tabel 2. Karakteristik fermentasi rumen domba yang mendapatkan pakan
basal yang berbeda

Pakan dasar
Variable RPT SiM Si Jg Nilai P
Konsumsi total BK 785,4 898,4 721,1 0.0631
(g/e/h)
Proporsi konsumsi 46,9 41,4 47,6 0.200
pakan dasar (%
konsumsi total BK)
Rumen pH 6,23b 6,25b 6,48a 0,0429
Rumen Amonia (mg/dL) 20,53b 10,88a 10,47a 0,0042
VFA total (mMol) 128,48 111,47 118,71 0,441
Proporsi VFA parsial (%)
Acetat 64,17a 68,53b 68,26b 0,037
Propionat 26,12 20,37 21,67 0,0843
Butyrat 8,16 10,13 9,19 0,229
VFA lainnya 1,55a 0,95b 0,87b 0,022
Rasio asetat:propionat 2,523a 3,37b 3,21ab 0,0493
Huruf yang berbeda dalam satu baris menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05); VFA lainnya: iso butyrate, valerat dan iso valerat. RPT: rumput gajah,
SiM: silase tongkol jagung diperkaya dengan molases, SiJg: silase tongkol
jagung diperkaya dengan tepung jagung.

Produksi VFA total tidak nyata dipengaruhi oleh perbedaan pakan


dasar. Namun proporsi asam asetat pada pakan dasar SiM dan SiJg
nyata lebih tinggi dibanding pakan dasar rumput. Fermentasi pakan serat
menghasilkan asam asetat (Firkins et al., 2006). dengan demikian lebih
tingginya proporsi asam asetat pada pada pakan dasar SiM dan SiJg
mungkin disebabkan oleh SiM dan SiJg mempunyai kandungan NDF
yang lebih tinggi dibanding rumput. Sedangkan asam propionat pada
pakan dasar rumput cenderung (P=0843) lebih tinggi dibanding pakan
dasar silase tongkol jagung. Sebagai akibatnya rasio asetat propionate
pada pakan dasar rumput lebih rendah dibanding pakan dasar silase
tongkol jagung. Apabila dilihat dari rasio ini terlihat bahwa pakan dasar
rumput lebih menguntungkan untuk pakan penggemukan karena asam
propionate merupakan precursor glukosa yang diperlukan untuk
pembentukan jaringan untuk pertumbuhan (Wolin et al., 1997). Proporsi
VFA lainnya (iso butyrate, valerat dan iso valerat) pada pakan dasar

55
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

rumput mendukung data konsentrasi ammonia yang lebih tinggi dari


pakan dasar rumput karena iso valerat merupakan hasil dari perombakan
dari asam amino rantai cabang di dalam rumen.

KESIMPULAN
Silase tongkol jagung yang diperkaya dengan molasses ataupun jagung
giling sebagai sumber karbohidrat mempunyai nilai nutrisi yang sama dan
dapat digunakan sebagai bahan pakan sumber serat pengganti rumput
tanpa memberikan pengaruh negatif pada fermentasi di dalam rumen
domba.

DAFTAR PUSTAKA
Abdelhadi, L.O. dan F.J. Santini, 2006. Corn silage versus grain sorghum silage
as a supplement to growing steers grazing high quality pastures: Effects
on performance and ruminal fermentation. Animal Feed Science and
Technology 127: 33d S.
Firkins, J. L., A. N. Hristov, M. B. Hall, G. A. Varga and N. R. St-Pierre. 2006.
Integration of ruminal metabolism in dairy cattle. J. Dairy Sci. 89 (E.
Suppl.):E31–E51.
Nkosi, B.D. , R. Meeske, D. Palic, T. Langa, 2009. Laboratory evaluation of an
inoculant for ensiling whole crop maize in South Africa. Animal Feed
Science and Technology 150: 144–150.
Satter, L.D., Slyter, L.L., 1974. Effect of ammonia concentration on rumen
microbial protein production in vitro. Br. J. Nutr. 32, 199–208.
Wolin, M.J., Miller, T.L. and Stewart, C.S. 1997. Microbe-microbe interaction. In:
The Rumen Microbial Ecosystem. 2nd ed. Eds. Hobson, P.N. and Steward,
C.S. pp 467-491. London: Blackie Academic and Professional.
Yulistiani, D and Puastuti, W. 2012. Feed consumption and growth response of
lambs fed on different basal diet. Proc. Of the 15th AAAP Animal Science
Congress. Bangkok 26-30 November 2012. Eds: Skorn Koonavootrittriron,
Thanathip Suwanasopee, Teerapong Jaichansukkit, Danai Jattawa,
Kalaya Boonyanuwat, Pakapun Skunmun. Pp. 733-736

56
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
PENGARUH IRADIASI SINAR GAMMA
TERHADAP PERTUMBUHAN TUNAS KULTUR
IN VITRO Pennisetum purpureum

Erwin Al Hafiizh dan Tri Muji Ermayanti

Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI


Jalan Raya Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor-16911
Email : erwin075@gmail.com

ABSTRAK
Pennisetum purpureum merupakan sumber hijauan pakan ternak yang potensial
untuk dikembangkan. Produktivitas rumput gajah kultivar Hawaii dapat mencapai
525 ton/ha/tahun. Pada musim kemarau yang panjang, rumput ini kurang tahan.
Salah satu usaha untuk mendapatkan keragaman rumput gajah bisa melalui
teknik kultur jaringan dan dapat ditingkatkan dengan pemberian induksi mutasi
dengan iradiasi sinar Gamma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh iiradiasi sinar Gamma terhadap peningkatan pertumbuhan rumput
gajah secara in vitro. Induksi mutasi dengan iradiasi sinar Gamma dilakukan
pada dosis 0, 10, 30, 50 dan 70 gray. Tunas diregenerasikan pada media MS
dengan penambahan 0,5 mg/l BAP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
semakin tinggi dosis iradiasi yang digunakan mempengaruhi pertumbuhan tunas
dengan daya tahan hidup yang rendah, terhambatnya pembentukan tunas
majemuk, daun dan akar. Nilai LD50 yang diperoleh sebesar 28,42 Gray. Setelah
umur 8 minggu planlet disubkultur dan subkultur ke 1 sampai ke 3, planlet masih
mengalami kematian. Sehingga persentase jumlah tunas yang dapat bertahan
hidup pada perlakuan 10 Gray mencapai 75%, 30 gray mencapai 65,6%, dan 50
Gray mencapai 3%.

Kata kunci: Pennisetum purpureum, iradiasi sinar Gamma, in vitro.

PENDAHULUAN
Hijauan pakan ternak merupakan salah satu faktor penentu dalam
pengembangan usaha peternakan khususnya untuk ternak ruminansia.
Ketersediaan hijauan pakan ternak yang tidak memadai baik kualitas
maupun kuantitas dan berkelanjutan menjadi salah satu kendala dalam
pengembangan usaha peternakan (Lasamadi et al., 2013). Hal ini
disebabkan hampir 90% pakan ternak ruminansia berasal dari hijauan
dengan konsumsi segar perhari 10-15% dari berat badan, sedangkan
sisanya adalah konsentrat dan pakan tambahan (Sirait et al., 2005).

57
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Pakan yang baik adalah pakan yang memenuhi kualitas, kuantitas, dan
kecernaan.
Sumber hijauan yang potensial untuk dikembangkan adalah rumput
gajah cv Hawaii. Produktivitas rumput gajah cv Hawaii dapat mencapai
525 ton/ha/tahun. Rumput ini membentuk rumpun, satu tanaman
mempunyai 20-50 batang dengan diameter sekitar 2,3 cm, tumbuh tegak
dengan daun lebat, batang diliputi oleh perisai daun yang agak berbulu
dan perakaran dalam. Perbanyakan dapat dilakukan dengan stek batang
dengan 2-3 mata tunas atau bagian dari rumpunnya (Lugiyo dan Sumarto,
2000). Rumput ini kurang tahan pada musim kemarau yang panjang.
Tanaman ini dapat digunakan sebagai tanaman konservasi lahan,
terutama di daerah bertopografi pegunungan dan berlereng (Prasetyo,
2003) dan sumber bioetanol (Sari, 2009).
Pengembangan teknologi terkait penyediaan bibit pakan ternak
untuk menjamin ketersediaan pakan sepanjang tahun sangat penting.
Aspek penting yang perlu dikembangkan adalah peningkatan
produktivitas dan ketahanan terhadap cekaman abiotik terutama
kekeringan. Perakitan bibit unggul rumput pakan ternak dapat dilakukan
melalui teknik in vitro dan rekayasa genetika. Teknik in vitro yang dapat
diaplikasikan adalah mutasi induksi dengan iradiasi sinar Gamma. Mutasi
induksi ini dapat dilakukan pada bagian organ reproduksi tanaman seperti
biji, stek batang, serbuk sari, akar rhizome, kultur jaringan dan
sebagainya (BATAN, 2006). Iradiasi dapat menginduksi perubahan
struktur kromosom yaitu terjadi pematahan kromosom. Pada dosis yang
rendah dapat menyebabkan terjadinya delesi, semakin tinggi dosis dapat
menimbulkan duplikasi, inversi dan translokasi (Soeranto, 2003). Iradiasi
sinar Gamma sering digunakan dalam usaha pemuliaan tanaman karena
dapat meningkatkan variabilitas, sehingga dapat menghasilkan mutan
baru sebagai sumber keragaman untuk peningkatan kualitas genetik
tanaman (Wattimena, 1992; AlSafadi et al., 2000). Tanaman tahan
kekeringan yang dihasilkan dari induksi mutasi iradiasi sinar Gamma

58
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
secara in vitro diantaranya padi (Lestari, 2006), kedelai (Lestarina, 2011),
sugar beet (Sen & Alikamanoglu, 2014). Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh iradiasi sinar Gamma terhadap
pertumbuhan rumput gajah secara in vitro.

MATERI DAN METODE


Tunas dan buku (internodus) rumput gajah (P. purpureum) yang
berasal dari kebun percobaan Puslit Bioteknologi LIPI dipergunakan
sebagai bahan untuk induksi kultur tunas. Sterilisasi bahan dilakukan
dengan cara membersihkannya dari kotoran yang menempel dan
mencucinya dengan air mengalir selama 30 menit, selanjutnya bahan
direndam dalam larutan deterjen 5% selama 5 menit, kemudian
dibersihkan dengan air mengalir selama 15 menit. Setelah dibilas dengan
air mengalir, bahan direndam dalam larutan dithane 3% selama 30 menit.
Bahan yang direndam dalam larutan dithane dibilas dengan air steril
sebanyak 3 kali dan dilakukan di dalam laminar air flow. Setelah dibilas
dengan akuades steril, bahan direndam dalam larutan HgCl2 0,05%
selama 15 menit, kemudian dibilas kembali sebanyak 3 kali. Setelah
dibilas, bahan ditanam pada media MS tanpa penambahan zat pengatur
tumbuh.
Tunas P. purpureum in vitro yang telah berhasil tumbuh
digunakan sebagai sumber eksplan untuk iradiasi sinar Gamma.Tunas in
vitro yang berumur 1 minggu ditumbuhkan dalam petri dish pada media
MS (Murashige and Skoog, 1962) padat tanpa zat pengatur tumbuh (ZPT)
sebagai sumber eksplan. Tunas yang berukuran 1-1,5 cm diiradiasi sinar
Gamma di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Pasar Jumat,
Jakarta. Dosis iradiasi sinar Gamma yang digunakan adalah dosis 0, 10,
30, 50 dan 70 Gray.
Tunas diregenerasikan pada media MS padat dengan
penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT) 0,5 mg/l BA. Media kultur
mengandung 3 g/l sukrosa dan bahan pemadat fitagel sebanyak 3 g/l.

59
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Kultur diinkubasi pada ruang bersuhu 26±2°C dengan penyinaran


kontinyu. Tiap perlakuan dengan 3 ulangan, tiap botol berisi 4 eksplan.
Pengamatan pertumbuhan (jumlah tunas yang hidup, jumlah tunas
majemuk yang terbentuk, jumlah daun dan pertumbuhan akar) diamati
setiap minggu sampai dengan umur 8 minggu. Dosis letal (LD50) juga
diamati dengan cara membuat regresi linier dengan menggunakan
program Curve Expert 1.3.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. LD50 pada Planlet Pennisetum purpureum
Pada penelitian ini dilakukan iradiasi sinar Gamma tunas pucuk P.
purpureum dengan dosis 0-70 Gray. Nilai Lethal Dosis (LD50) dapat
diperoleh dengan mengetahui pola respon kematian tanaman terhadap
dosis iradiasi. LD50 digunakan untuk mengetahui tingkat radiosensivitas
suatu tanaman terhadap iradiasi sinar Gamma (Herison et al., 2008).
Semakin rendah LD50 suatu tanaman, maka semakin tinggi tingkat
radiosensitivitasnya. Gambar 1 menunjukkan bahwa pola respon
persentase tanaman hidup yang dihasilkan oleh planlet P. purpureum
berupa respon Linier : y=a+bx, dengan a = 112,65 dan b = -1.68. Nilai
LD50 planlet P. purpureum yang diperoleh adalah sebesar 28,42 Gray.
Pola respon hasil iradiasi pada umumnya berbeda antar jenis
tanaman, bahkan antar varietas tanaman (Hasbullah et al., 2012).
Tanaman yang memiliki kandungan air yang tinggi, biasanya memiliki
tingkat radiosensitivitas yang tinggi. Semakin banyak kadar oksigen dan
molekul air (H2O) dalam materi yang diiiradiasi, maka semakin banyak
pula radikal bebas yang terbentuk sehingga tanaman menjadi lebih
sensitif (Herison et al., 2008).

60
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P

.00
110

67
91.
Axis (units)

33
73.
Tunas yangYhidup (%)

00
55.

67
36.

33
18.

0
0.0
0.0 12.8 25.7 38.5 51.3 64.2 77.0

X Axis (units)

Dosis iradiasi (Gray)


Gambar 1.Kurva linear untuk menghitung LD50 berdasarkan data pada
Tabel 1.LD50 = 28,42 Gray.

2. Pertumbuhan Tunas P. purpureum setelah diiradiasi


Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis iradiasi sinar
Gamma yang digunakan, semakin menurun persentase tunas hidup
planlet P. purpureum. Persentase tunas hidup terkecil dihasilkan pada
dosis iradiasi 70 Gray. Kematian tunas mulai terjadi pada minggu ke-2
pada perlakuan dosis iradiasi 50 dan 70 Gray. Pada minggu ke-4
kematian tunas mencapai lebih dari 50% pada perlakuan dosis 50 dan 70
Gray. Kematian tunas 100% dihasilkan oleh dosis iradiasi 70 Gray pada
minggu ke-7. Kematian tanaman setelah iradiasi dapat terjadi karena
adanya efek deterministik akibat iradiasi sinar Gamma. Efek deterministik
adalah efek yang disebabkan karena kematian sel akibat paparan iradiasi
(PPIN BATAN, 2008). Efek deterministik timbul bila dosis yang diterima
tanaman di atas dosis ambang (threshold dose) dan umumnya timbul
beberapa saat setelah iradiasi. Tingkat keparahan efek deterministik akan
meningkat bila dosis yang diterima lebih besar dari dosis ambang.

61
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Tabel 1. Persentase tunas P. purpureum hidup setelah diiradiasi 0-70


Gray
Dosis Jumlah tunas yang hidup (%)/minggu
iradiasi
I II III IV V VI VII VIII
(Gray)
0 Gray 100 100 100 100 100 100 100 100
10 Gray 100 100 100 100 100 100 100 100
30 Gray 100 100 100 100 96,9 90,6 90,6 90,6
50 Gray 100 96,9 90,6 34,4 15,6 3,1 3,1 3,1
70 Gray 100 93,8 90,6 21,9 9,4 6,3 0 0

Gambar 2. Kultur tunas P. purpureum umur 4 minggu pada media MS


+ 0,5 mg/l BA setelah iradiasi berbagai dosis, A. 0 Gray; B.
10 Gray; C. 30 Gray; D. 50 Gray dan E. 70 Gray.

Gambar 2 menunjukkan kultur tunas P. purpureum umur 4 minggu


setelah perlakuan iradiasi dengan dosis 0-70 Gray. Iradiasi dengan dosis
0-30 Gray menunjukkan tunas yang bertahan hidup sebesar 100%,
sedangkan pada dosis 50 dan 70 Gray tunas yang bertahan hidup
sebesar 21,9 dan 34,4%. Eksplan dari berbagai spesies tanaman
memiliki tingkat sensitivitas yang berbeda terhadap dosis iradiasi yang

62
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
berbeda. Selain itu, kegiatan hormon eksogen dalam media kultur juga
dipengaruhi oleh iradiasi sinar Gamma. Dosis iradiasi juga berpengaruh
terhadap efektivitas hormon dan dengan demikian, akan mempengaruhi
pembentukan tunas (Hasbullah et al., 2012).
3. Pertumbuhan daun P. purpureum setelah diiradiasi
Pertumbuhan jumlah daun tunas P. purpureum pada media MS
dengan penambahan 0,5 mg/l BA setelah pemberian berbagai dosis
iradiasi sinar Gamma disajikan pada Tabel 2. Seiring dengan
peningkatan dosis iradiasi, jumlah daun pada planlet yang tumbuh
semakin menurun. Penurunan jumlah daun tersebut mulai terlihat dan
berbeda nyata dengan kontrol mulai minggu ke-1. Pada kontrol sebanyak
4 helai daun sedangkan pada dosis 10-70 Gray iradiasi jumlah helai daun
berkisar 1,5 sampai 2,6 helai daun. Menurut Sigurbjornsson (1983)
bahwa iradiasi dapat menyebabkan pembelahan sel yang dapat
menghambat proses pembentukan organ. Hal tersebut dapat terjadi
karena adanya kerusakan seluler pada meristem yang menghasilkan
organ tanaman.
Tabel 2. Rerata jumlah daun P. purpureum yang terbentuk pada media
MS+0,5 mg/l BA setelah diiradiasi dengan sinar Gamma pada
dosis 0 - 70 Gray.
Dosis Rerata jumlah daun yang terbentuk/minggu
iradiasi
I II III IV V VI VII VIII
(Gray)
0 Gray 4 7,6 8,9 10,4 11,1 9,8 9,4 8,7
10 Gray 2,1 2,8 3,9 5,9 7,4 8,0 8,3 8,6
30 Gray 2,6 3,7 4,5 5,5 6,5 7,3 7,6 7,9
50 Gray 1,7 1,5 1,3 0,4 0,2 0,1 0,1 0,1
70 Gray 1,5 1,5 1,1 0,3 0,1 0,1 0 0

Iradiasi sinar Gamma dengan dosis 10 Gray merupakan dosis


paling optimal memacu pertumbuhan daun dengan rerata jumlah daun
8,6 helai, sedangkan rerata pertumbuhan daun terkecil terjadi pada dosis
50 Gray yaitu sebesar 0,1 helai. Hasil yang diperoleh menunjukkan

63
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

bahwa semakin tinggi dosis iradiasi sinar Gamma, jumlah daun yang
tumbuh semakin sedikit. Soedjono (2003) juga menjelaskan bahwa
perlakuan dosis tinggi iradiasi akan mematikan bahan yang dimutasi atau
mengakibatkan sterilitas, sedangkan pada dosis iradiasi yang rendah
pada umumnya dapat mempertahankan daya hidup tunas tanaman.

4. Pertumbuhan tunas majemuk P. purpureum setelah diiradiasi


Pertumbuhan tunas majemuk P. purpureum pada media MS
dengan penambahan 0,5 mg/l BA setelah pemberian berbagai dosis
iradiasi sinar Gamma disajikan pada Tabel 3. Pertumbuhan tunas
menurun seiring dengan semakin besar dosis iradiasi yang diberikan, ini
sudah terlihat pada minggu ke-1 setelah iradiasi. Tunas majemuk yang
terbentuk pada perlakuan kontrol mencapai rerata pertumbuhan sebesar
1,9 tunas, sedangkan pada perlakuan iradiasi tunas majemuk yang
terbentuk berkisar 0,4-0,7 tunas. Pertambahan tunas majemuk terus
menurun pada perlakuan dosis 50 dan 70 Gray sampai minggu ke-8,
sedangkan pada perlakuan dosis 10 dan 30 Gray pertambahan tunas
majemuk meningkat, tetapi pertambahannya lambat dibandingkan
dengan kontrol.
Perlakuan iradiasi dapat menyebabkan enzim yang merangsang
pertunasan menjadi tidak aktif, sehingga berhubungan dengan
pertumbuhan tanaman. Menurut Boertjes dan Van Harten (1988),
perlakuan setelah iradiasi terjadi kerusakan fisiologis dan kerusakan
genetik. Kerusakan fisiologis tersebut dapat berupa kematian sel,
terhambatnya pembelahan sel, pengaruh pertumbuhan rata-rata,
peningkatan frekuensi pembentukan jaringan dan perubahan pada
kapasitas bereproduksi. Boertjes dan Van Harten (1988) menyatakan
bahwa kerusakan fisiologis biasanya tidak diturunkan dan biasanya
hanya terjadi pada generasi pertama dari populasi tanaman yang
diiradiasi (M1). Pengaruh buruk iradiasi adalah terjadinya penghambatan

64
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
pada pembelahan dan pertambahan jumlah sel (Charbaji dan Nabulsi
1999).
Tabel 3. Jumlah tunas majemuk P. purpureum yang terbentuk pada
media MS+0,5 mg/l BA setelah diiradiasi dengan sinar Gamma
pada dosis 0 - 70 Gray.
Dosis Rerata jumlah tunas yang terbentuk/minggu
iradiasi
I II III IV V VI VII VIII
(Gray)
0 Gray 1,9 2,8 3,1 3,8 4,6 4,9 5,5 6,1
10 Gray 0,5 1,0 1,5 2,1 2,5 2,6 2,7 2,7
30 Gray 0,7 0,9 1,4 1,7 2,2 2,2 2,3 2,3
50 Gray 0,6 0,7 0,7 0,2 0,1 0,1 0,1 0,1
70 Gray 0,4 0,5 0,5 0,1 0,1 0 0 0

5. Pertumbuhan akar P. purpureum setelah diiradiasi


Pada Tabel 4 dapat dilihat pengaruh perlakuan iradiasi terhadap
persentase pembentukan akar. Sama halnya dengan persentase tunas
yang hidup, jumlah daun dan jumlah tunas majemuk yang terbentuk,
perlakuan iradiasi juga menghambat pembentukan akar. Semakin tinggi
dosis iradiasi yang diberikan akan semakin menghambat pembentukan
akar. Pembentukan akar terjadi pada perlakuan dosis iradiasi 0 sampai
30 Gray, sedangkan pada dosis 30 dan 50 Gray pembentukan akar
terjadi pada minggu ke-2, tetapi selanjutnya mengalami kematian.
Iradiasi sinar Gamma dapat menyebabkan kematian sel yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan seperti terhambatnya pembelahan sel,
pembentukan jaringan, dan kemampuan bereproduksi (Boertjes dan Van
Harten, 1988). Iradiasi sinar Gamma juga dapat menyebabkan
perubahan genetik di dalam sel somatik (mutasi somatik) dan dapat
menyebabkan terjadinya perubahan fenotip. Perubahan tersebut dapat
terjadi secara lokal pada tingkat sel atau kelompok sel sehingga individu
dapat menjadi kimera (Soeranto, 2003).

65
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Tabel 4. Persentase pembentukan akar P. purpureum pada media


MS+0,5 mg/l BA setelah diiradiasi dengan sinar Gamma pada
dosis 0 - 70 Gray.
Dosis iradiasi Pembentukan akar (%)/minggu
(Gray) I II III IV V VI VII VIII
0 12,5 25 33,3 37,5 58,3 83,3 91,7 100
10 31,3 37,5 56,3 56,3 56,3 56,3 56,3 56,3
30 3,1 6,3 12,5 9,4 6,3 6,3 6,3 6,3
50 0 0,7 0 0 0 0 0 0
70 0 0,5 0,1 0 0 0 0 0

6. Pertumbuhan tunas P. purpureum hasil iradiasi setelah


disubkultur
Tunas P. purpreum hasil iradiasi setelah subkultur 1-3 kali
menunjukkan masih adanya tunas yang mati yaitu pada tunas hasil
iradiasi dengan dosis 10 dan 30 Gray. Kematian tunas disebabkan masih
adanya pengaruh iradiasi. Tabel 5 menunjukkan persentase jumlah tunas
P. purpureum yang hidup setelah subkultur 1-3 kali. Iradiasi dapat
menghambat pembelahan sel sehingga proses pembentukan organ
terganggu. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya kerusakan seluler
pada meristem yang menghasilkan organ tanaman. Selain itu, iradiasi
juga mempengaruhi kegiatan hormon eksogen dalam media kultur,
sehingga mempengaruhi efektivitas hormon dan mempengaruhi
pembentukan tunas (Hasbullah et al., 2012)

Tabel 5. Jumlah tunas P. purpureum hidup setelah subkultur 3 kali


Dosis iradiasi Tunas yang hidup (%)/subkultur
(Gray) I II III
0 100 100 100
10 100 81,3 75
30 90,6 68,8 65,6
50 3,1 3,1 3,1

Gambar 3 menunjukkan bahwa tunas P. purpureum hasil iradiasi


setelah disubkultur 3 kali dapat membentuk tunas majemuk. Tunas hasil

66
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
perlakuan iradiasi dosis 50 Gray menunjukkan morfologi yang berbeda
dengan kontrol, perlakuan dosis 10 dan 30 Gray. Morfologi daun yang
lebih hijau dan tunas majemuk yang lebih banyak. Tunas ini diharapkan
menjadi tanaman kandidat mutan.

A B

C D

Gambar 3. Tunas P. purpureum hasil iradiasi sinar Gamma umur 4


minggu setelah disubkultur 3 kali A) kontrol, B) 10 Gray, C) 30
Gray dan D) 50 Gray.

KESIMPULAN
Semakin tinggi dosis iradiasi sinar Gamma yang digunakan akan
menurunkan pertumbuhan tunas, daun dan akar rumput gajah P.
purpureum. Nilai LD50 yang diperoleh sebesar 28,42 Gray. Kandidat
mutan dapat terlihat setelah planlet disubkultur selama 3 kali pada dosis
50 Gray.

67
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Siti Zahiroh, S.Si dan Sri
Laksmi Dewi, S.Si yang telah membantu dalam pengamatan dan
perbanyakan kultur P. purpureum. Penelitian ini didanai oleh DIPA PN
Meatpro Puslit Bioteknologi LIPI dengan judul “Peningkatan produktivitas
hijauan pakan ternak dengan manipulasi sel somatik” tahun 2014.

DAFTAR PUSTAKA

AlSafadi, B, N. MirAli dan M.T.E. Arabi. 2000. Improvement of garlic (Allium


sativum L.) resistence to white rot and storability using Gamma irradiation
induced mutation. J. Amer Soc. Hort. Sci. 121: 599603.
BATAN. 2006. Mutasi dalam Pemuliaan Tanaman
http://www.batan.go.id/patir/pert/pemuliaan/pemuliaan.html (15 Juli 2007).
Broertjes C, and AM van Harten. 1988. Applied Mutation Breeding for
Vegetatively Propagated Crops. Elsevier, Amsterdam. 345 p.
Charbaji & I. Nabulsi. 1999. Effect of Low Doses of Gamma Irradiation on In Vitro
Growth of Grapevine. Journal Plant Cell Tiss. Org. Cult. 57:129-132.
Hasbullah NA; Taha RM; Saleh A; Mahmad N. 2012. Irradiation effect on in vitro
organogenesis, callus growth and plantlet development of Gerbera
jamesonii. Horticultura Brasileira 30: 252-257
Herison, C., Rustikawati, Sujono H. S., Syarifah I. A. 2008. Induksi mutasi
melalui sinar Gamma terhadap benih untuk meningkatkan keragaman
populasi dasar jagung (Zea mays L.). Akta Agrosia 11(1):57-62.
Lasamadi, D.R., Malalantang, S.S., Rustandi., Anis, D.S. 2013. Pertumbuhan
dan Perkembangan rumput Gajah Dwarf (Pennisetum purpureum cv. Mott)
yang diberi pupuk organik hasil fermentasi EM4. Jurnal Zootek, 32(5) :
158-171
Lestari, E.G., 2006. Identifikasi somaklon padi Gajahmungkur, Towoti dan IR 64
tahan kekeringan menggunakan Polyethylene glycol. Bol. Agron 34(2):
71-78.
Lestarina, L. 2011. Uji Daya Hasil Galur-Galur Harapan Kedelai Hitam (Glycine
max (L.) Merr.) Pada Lahan Sawah Di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat
[Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Lugiyo dan Sumarto. 2000. Teknik Budidaya Rumput Gajah Cv.Hawaii
(Pennisetum Purpureum) .Proseding, Temu Teknis Fungsional Non
Peneliti 2000.
Murashige T. and F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and
bioassays with tobacco tissue cultures. Physiol Plant 15, pp. 473–497.
PPIN BATAN. 2008. Iradiasi. http://www.batan.go.id/FAQ/faq_iradiasi. php.
[31Oktober 2009]
Prasetyo, A. 2003. Model usaha rumput gajah sebagai pakan sapi perah di
Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Lokakarya Nasional
Tanaman Pakan Ternak. Semarang.

68
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Sari, N.K. 2009. Produksi bioethanol dari rumput gajah secara kimia. Jurnal
Teknik Kimia, 4(1): 265-273
Sen & Alikamanoglu. 2014. Characterization of drought-tolerant sugar beet
mutants induced with Gamma radiation using biochemical analysis and
isozyme variations. J Sci Food Agric, 94(2): 367-72.
Sigurbjornsson, B. 1983. Induce Mutations. In D.R. Wood, K.M. Rawal and M.N.
Wood (Eds.). Crop Breeding. The American Society of Agronomy, Inc.
and The Crop Science Society of America, Inc. Wisconsin. p 153 – 176.
Sirait J., N.D Purwantari dan K. Simanihuruk. 2005. Produksi dan serapan
Nitrogen rumput pada naungan dan pemupukan yang berbeda. Jurnal
Ilmu Ternak dan Veteriner, 10(3): 175-181
Soedjono, S. 2003. Aplikasi mutasi induksi dan variasi somaklonal dalam
pemuliaan tanaman. Jurnal Litbang Pertanian. 22(2): 70-78
Soeranto, . 2003. Peran iptek nuklir dalam pemuliaan tanaman untuk mendukung
industri pertanian. Puslitbang Teknologi Isotop dan Iradiasi, Badan
Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) p. 12 hal.
Wattimena, G.A. 1992. Bioteknologi Tanaman I. Pusat Antar Universitas
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, Bogor. p. 309 hal.

69
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

MANFAAT JERAMI PADI FERMENTASI DI DALAM


PAKAN KOMPLIT SECARA IN-VITRO

Firsoni
Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi BATAN, Jakarta. Jl. Lebak Bulus Raya
No. 49, Pasar Jumat. Jakarta Selatan 12070, 021-7690709
email: firsoni@batan.go.id

ABSTRAK
Pemanfaatan jerami padi yang difermentasi untuk menggantikan rumput di
dalam pakan komplit terhadap metabolisme rumen diuji secara in-vitro,
menggunakan rancangan acak kelompok, dengan 3 perlakuan dan 7 kelompok.
Perlakuan yang diujikan adalah F1= 60% rumput lapang (RL) + 40% konsentrat
pasar (KP), F2= 10% jerami padi fermentasi (JPF) + 50% RL + 40% KP, dan F3=
20% JPF + 40% RL + 40% KP. Sampel ditimbang 375±5 mg, dimasukkan ke
dalam syringe glass 100 ml ditambah 30 ml media campuran cairan rumen
dengan buffer bicarbonat dan diinkubasi pada suhu 390C selama 48 jam. Peubah
yang diukur adalah produksi gas setelah inkubasi 0, 2, 4, 6, 12, 24 dan 48 jam,
degradasi bahan kering (DBK) dan organik (DBO), ammoniak, volatile fatty acid
(VFA) dan biomassa mikroba cairan rumen setelah 48 jam inkubasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jerami padi fermentasi sampai 20%
di dalam pakan komplit secara siginifikan (P<0,05) dapat meningkatkan
degradabilitas bahan kering dan bahan organik (DBO) dari 58,44% dan 57,92%
menjadi 61,52 dan 61,14% secara berturut-turut, tetapi produksi gas, konsentrasi
VFA total, ammonia dan biomassa mikroba setelah 48 jam inkubasi in-vitro tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05).

Kata Kunci: jerami padi fermentasi, pakan komplit, in-vitro

PENDAHULUAN
Krisis suplai daging nasional yang rendah dewasa ini menjadi
salah satu tantangan untuk penelitian pakan ternak ruminansia di
Indonesia terutama menyangkut efisiensi dan ketersediaan pakan yang
bermutu untuk peningkatan produksi. Pemanfaatan lahan yang semakin
banyak belakangan ini menyebabkan potensi lahan untuk menghasilkan
rumput sebagai pakan ternak menjadi semakin berkurang. Pakan
merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu usaha

70
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
peternakan, karena komponen biaya produksi yang paling besar yaitu
sekitar 60-80% dari total biaya produksi.
Bahan pakan ruminansia dibagi ke dalam dua kelompok yaitu;
pakan sumber nitrogen dan pakan sumber energi (Leng, 1991). Ternak
ruminansia tergantung pada peran mikroba di dalam rumen untuk
pencernaan utama. Mikroba di dalam rumen sangat tergantung pada
kualitas pakan yang dikonsumsi ternak untuk berkembang (Czerkawski,
1986). Keseimbangan protein dan karbohidrat dibutuhkan untuk
meningkatkan metabolisme rumen dan sintesis protein mikroba.
Pemanfaatan bahan pakan asal limbah pertanian dan perkebunan
yang potensial merupakan salah satu solusi untuk mengatasi
keterbatasan pakan di Indonesia. Sumber pakan di Indonesia cukup
banyak yaitu hasil samping pertanian dan industri kecil. Jerami padi
merupakan salah satu sumber pakan utama yang potensial di seluruh
Indonesia. Hambatan utama pada jerami padi adalah kandungan serat
kasar yang tinggi sehingga lebih lama dicerna oleh ternak. Menurut
Komar (1984), hanya sekitar 31% produksi jerami padi yang digunakan
sebagai pakan, sedangkan 62% dibakar dan 7% untuk keperluan industri.
Pemanfaatan jerami padi untuk memenuhi kebutuhan rumput yang
semakin berkurang ketersediaannya, bisa dilakukan dengan teknik
fermentasi untuk dapat menurunkan serat kasar yang dikandungnya.
Dalam hal ini telah dihasilkan bermacam-macam starter dan metode
untuk fermentasi jerami.
Pemakaian jerami padi yang sudah difermentasi diharapkan
dapat menggantikan rumput sebagai pakan basal, maka dilakukan
pengujian pemakaian jerami padi yang di fermentasi dengan starter
MikroStar LA2, menggantikan rumput sebagai pakan basal secara in-vitro.

MATERI DAN METODE


Bahan yang dipakai di dalam penelitian ini yaitu jerami padi yang
difermentasi dengan starter MikroStar LA2 yang dihasilkan BATAN

71
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

(Andini, 2013). Jerami padi diperoleh dari daerah sekitar Jonggol


kabupaten Bogor, dipilih yang kering dan segar dicacah kasar (± 4 – 10
cm), kemudian diaduk merata dengan campuran starter dan dedak serta
terakhir disiram merata dengan larutan campuran air, urea dan molasess,
diinkubasi secara anaerob selama 18 -20 hari (Andini, 2013). Rumput
diperoleh disekitar laboratorium nutrisi ternak BATAN. Jerami padi
fermentasi dan rumput dikeringkan pada suhu 55oC, selama 1 minggu
selanjutnya digiling.
Alat yang digunakan adalah waterbath 38oC, syringe glass ukuran
100 ml, pH meter, oven 105 oC dan furnece 500 oC, timbangan digital
serta peralatan destilasi dan alat refluks Neutral Detergent Fibre (NDF).
Cairan rumen diambil dari rumen kerbau melalui cannulae, diaduk dan
disaring dengan kain kasa yang bersih, lalu dicampurkan dengan larutan
buffer bicarbonat sebagai media (Khrisnamoorthy, 2001). Sampel
ditimbang 375±5 mg dan dimasukkan ke dalam syringe glass ukuran 100
ml, kemudian ditambahkan 30 ml larutan media dan diinkubasi di dalam
waterbath pada suhu 39,5oC. Peubah yang diamati adalah produksi gas
selama inkubasi 0, 2, 4, 6, 12, 24 dan 48 jam, degradabilitas bahan
kering dan bahan organik, NH3 dan VFA total dan biomassa mikroba
setelah 48 jam inkubasi.
Cairan rumen setelah diinkubasi 48 jam, direfluk dengan larutan
NDS (Neutral Detergent Solution) selama 1 jam dan disaring dengan
crucible glass dalam keadaan mendidih, dikeringkan di dalam oven
105oC semalam dan ditimbang, diperoleh pakan yang tidak terdegradasi
sebenarnya (true degradability residu). Untuk mengetahui massa mikroba,
cairan rumen dipusingkan 19.000 g. Supernatan diambil untuk diukur
NH3 dan VFA, sedangkan substratnya dimasukkan ke dalam cawan
selanjutnya dikeringkan di oven pada suhu 60oC selama beberapa hari,
kemudian ditimbang dan diperoleh residu degradasi semu (apparent
degradability residu). Massa mikroba dapat dihitung dari kedua cara ini
(Makkar et al., 1995; Blummel et al., 1997)

72
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan dan 7 kelompok. Perlakuan yang
diuji yaitu F1= 60% rumput lapang (RL) + 40% konsentrat pasar (KP),
F2= 10% jerami padi fermentasi (JPF) + 50% RL + 40% KP, dan F3=
20% JPF + 40% RL + 40% KP. Jika terdapat perbedaan yang signifikan
(P<0,05) pada analysis of variance (ANOVA), maka dilakukan uji lanjutan
Least Significant Different (LSD) untuk melihat pengaruh di antara
perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil produksi gas setelah 8, 10 dan 12 jam inkubasi
menunjukkan perberbedaan yang nyata (P<0,05) diantara perlakuan.
Produksi gas tertinggi dihasilkan perlakuan F1 yang hanya diberikan
rumput dan konsentrat tanpa jerami padi fermentasi, secara berturut-turut
yaitu 11,36, 14,39 dan 18,71 ml/375 mg BK dan terendah dihasilkan
perlakuan F3 yaitu 9,87, 12,39 dan 16,36 ml/375 mg BK. Pada saat ini
terlihat ada perlambatan aktifitas mikroba rumen akibat pemakaian jerami
padi yang difermentasi di dalam pakan F2 dan F3. Hal ini disebabkan
kandungan serat kasar F2 dan F3 yang masih tinggi yaitu 28,94 dan
29,56%, akibat pemakaian jerami padi fermentasi (Tabel 2).
Perbedaan terlihat setelah 24 jam inkubasi, produksi gas yang
dihasilkan masing-masing perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata
(P>0,05) (Tabel 1). Hal ini disebabkan oleh jumlah bahan organik yang
tercerna dan aktifitas mikroba setelah 24 jam hampir sama (Tabel 1).
Dengan teknik fermentasi, kandungan protein kasar jerami padi yang
semula 4,50% dapat ditingkatkan menjadi 5,85% dalam bentuk jerami
padi fermentasi (Andini, 2013).

Tabel 1. Rataan Volume Produksi Gas (ml/375 mg BK) selama 48 jam


Inkubasi In-vitro.
Lama Inkubasi (jam)
Perlakuan
2 4 6 8 10 12 24 48
a a a
F1 2.87 5.52 8.52 11.36 14.39 18.71 25.67 38.77

73
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

F2 2.62 5.72 7.97 10.72ab 13.39ab 17.56ab 23.48 37.53


F3 2.72 5.02 7.72 9.87b 12.39b 16.36b 23.38 39.71
Keterangan: a-b
= Huruf superskrip yang berbeda nyata pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Pada gambar 1 dapat dilihat terjadi peningkatan produksi gas


pada perlakuan F1 yang lebih besar kenaikannya dibandingkan dengan
perlakuan F2 dan F3, hal ini terlihat dari hasil analisis statistik yang
berbeda nyata (P<0,05). Setelah 24 jam terlihat hasil yang hampir sama
pada semua perlakuan, dan hasil analisis statistik menunjukkan produksi
gas setelah 24 dan 48 jam tidak berbeda nyata (P>0,05) (Tabel 1).
Jerami padi yang difermentasi menghasilkan produksi gas yang tidak
berbeda nyata (P>0,05), disebabkan oleh ikatan lignosellulosa yang
sudah putus atau renggang oleh aktifitas mikroba di dalam rumen.
Penggunaan molases dan urea pada saat fermentasi jerami padi, dapat
memicu aktifitas mikroba untuk berkembang biak di dalam rumen.
Keuntungan lain dari penggunaan urea selain meningkatkan kandungan
nitrogen melalui penambahan urea, reaksi basanya dapat merusak dan
memutus ikatan komplek lignin-hemisellulosa (Schiere & Nell, 1993).

Gambar 1. Laju Produksi Gas selama 48 jam In-vitro


Pemakaian sebagian jerami padi fermentasi di dalam pakan
menurunkan kandungan protein kasar pakan dan meningkatkan
kandungan serat kasar pakan (Tabel 2). Hal ini disebabkan oleh
perbedaan kandungan protein kasar rumput segar yang lebih tinggi

74
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
dibandingkan jerami padi yang difermentasi, sebaliknya peningkatan
serat kasar disebabkan oleh kandungan serat kasar jerami padi yang
difermentasi. Pemanfaatan jerami padi fermentasi di dalam pakan ternak
ruminansia dilakukan terutama untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak
akan rumput segar yang semakin terbatas.
Tabel 2. Kandungan Nutrisi Pakan Perlakuan

Perlakuan F1 F2 F3
Bahan kering (%) 91.14 91.50 91.45
Abu (%) 12.56 11.82 11.88
Protein kasar (%) 11.14 10.81 10.48
Serat kasar (%)*) 28.36 28.94 29.56
Gros Energi (Kkal/kg)*) 3415.44 3481.62 3511.21
Keterangan: - F1= 60% rumput lapang (RL) + 40% konsentrat pasar (KP), F2=
10% jerami padi fermentasi (JPF) + 50% RL + 40% KP, dan F3=
20% JPF + 40% RL + 40% KP
- *) Dianalisis di Laboratorium Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak
(BPMPT), Bekasi

Berdasarkan hasil pengujian secara in-vitro diperoleh rata-rata


konsentrasi NH3, VFA dan biomassa mikroba rumen total pada setiap
perlakuan setelah inkubasi 48 jam, menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata (P>0.05) (Tabel 3). Ammonia di dalam rumen sangat
dibutuhkan untuk dimanfaatkan sebagai prekursor perkembangbiakan
mikroba dan sintesis protein (Ørskov, 1988). Protein yang didegradasi
menjadi asam amino mengalami deaminasi dan menghasilkan amonia
yang berfungsi sebagai sumber nitrogen utama dan penting untuk
sintesis protein mikroba. Sekitar 82% spesies mikroba mampu
menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen (Sutardi, 1980).
VFA adalah asam lemak rantai pendek yang merupakan salah
satu hasil fermentasi di dalam rumen, disamping biomassa mikroba, gas
dan panas (Taminga & William, 1998). Hasil uji anova menunjukkan
bahwa pemakaian jerami padi yang difermentasi menggantikan sebagian
rumput segar tidak dapat meningkatkan kandungan VFA total cairan
rumen secara nyata (P>0,05). VFA merupakan produk akhir dari
fermentasi bahan organik yang dimanfaatkan sebagai sumber energi

75
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

utama bagi ruminansia dan perkembangan mikroba rumen (Sutardi,


1980), sedangkan asam lemak terbang berantai cabang sebagai sumber
rantai karbon yang berinteraksi dengan radikal amonia digunakan oleh
mikroba untuk mensintesis asam amino tertentu (Arora, 1989).

Tabel 3. Hasil Pengukuran Konsentrasi NH3, VFA Total, Degradabilitas


Bahan Kering dan Organik serta Produksi Mikroba Rumen
setelah 48 jam Inkubasi.
Perlakuan
Variabel
F1 F2 F3
Produksi gas (ml/375 mg BK) 38.77 37.53 39.71
NH3 (mg/100 ml) 32.10 33.42 34.58
VFA total (mM) 48.00 48.43 51.00
Degradabilitas BK (%) 58.44a 59.41b 61.52c
Degradabilitas BO (%) 57.92a 59.29b 61.14c
Mikroba rumen (mg) 129.88 132.12 132.66
a-c
Keterangan: = Rataan dengan huruf superskrip berbeda dalam baris yang
sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Nilai degradabilitas bahan kering dan bahan organik yang
diperoleh berbeda nyata (P<0,05) dimana nilai degradabilitas bahan
kering dan organik tertinggi dihasilkan perlakuan F3 yaitu 61,52 dan
61,14%, sedangkan yang terendah pada perlakuan F1 yaitu 58,44 dan
57,92%. Fermentasi jerami padi yang sempurna dapat menghasilkan
jerami fermentasi yang berkualitas baik dan lebih mudah dicerna. Hal ini
terlihat dengan pemakaian jerami padi fermentasi yang lebih banyak
semakin meningkatkan nilai kecernaan bahan kering dan organik,
walaupun dari produksi biomassa mikroba tidak berbeda nyata (P>0,05).
Nilai dari degradasi pakan menunjukkan seberapa besar zat nutrisi dalam
pakan dapat dimanfaatkan oleh mikroba di dalam rumen (Sutardi, 1980)

76
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P

Gambar 2. Hubungan Biomassa Mikroba dengan Degradabilitas Bahan


Kering dan Organik secara In-vitro.

Hubungan atau korelasi biomassa mikroba dengan degradabilitas


bahan kering (DBK) dan organik (DBO) secara berturut turut 0,725 dan
0,829 (Gambar 2). Jumlah pakan yang didegradasi berbanding lurus
biomassa mikroba secara in-vitro. Biomassa mikroba merupakan salah
satu hasil dari proses fermentasi yang dapat dijadikan sebagai sumber
protein bagi ternak (Leng, 1991). Produksi biomassa mikroba merupakan
gambaran tingkat fermentasi bahan pakan di dalam rumen, semakin
tinggi aktivitas fermentasi maka produksi mikroba juga tinggi (Blummel et
al., 1997). Ørskov (1988) menyatakan bahwa faktor utama yang
mempengaruhi sintesis mikroba di dalam rumen adalah ketersediaan
prekursor pembentukkan sel mikroba seperti glukosa, asam amino,
amonia, peptida, dan mineral dalam cairan rumen, kebutuhan energi
mikroba (dalam bentuk ATP), siklus pembentukan sel mikroba, dan
penghancuran bakteri oleh protozoa.

77
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

KESIMPULAN
Penggunaan jerami padi fermentasi sampai 20% di dalam pakan
komplit secara siginifikan (P<0,05) dapat meningkatkan degradabilitas
bahan kering dan bahan organik (DBO) dari 58,44% dan 57,92% menjadi
61,52 dan 61,14% secara berturut-turut, tetapi produksi gas, konsentrasi
VFA total, ammonia dan biomassa mikroba setelah 48 jam inkubasi in-
vitro tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05).

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terimakasih kepada ibu Dra. Lydia Andini,
Msi atas panduan dan bimbingannya selama penelitian, bapak Nanang
Suryana ka. UPT Peternakan dan Perikanan desa Sirna Galih, Jonggol,
kabupaten Bogor, Edi I Kosasih, dan Dedi Ansori, serta pihak lain atas
bantuannya sehingga tulisan ini terwujud.

DAFTAR PUSTAKA
Andini L. 2013. Teknologi Bioproses Fermentasi Jerami sebagai Pakan Ternak
Ruminansia yang Ramah Lingkungan dengan MikroStar LA2., CV.
Writing Revolution, Yogyakarta 55281. ISBN 978-602-7858-12-1 p 19-23
Arora. 1989. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Terjemahan dari Microbial
Digestion In Ruminants. Oleh Retno Murwani. Cetakan pertama. Gadjah
Mada University Press. Jakarta.
Blummel M, Makkar HPS dan Becker K. 1997. The Invitro Gas Production: A
Technique Revisited. J, Anim. Phys. And Nutr. 77:24-34.
Czerkawski JW. 1986. An Introduction Rumen Studies. Pergamon Press. New
York.
Komar A. 1984. Teknologi Pengolahan Jerami sebagai Bahan Makanan Ternak.
Bandung. Dian Grahita
Krishnamoorthy U. 2001. RCA Training Workshop on In-vitro Techniques for
Feed Evaluation”. The International Atomic Energy Agency, Vienna,
Austria. P 8 – 26
Leng RA. 1991. Application of Biotechnology to Nutrition of Animals In
Developing Countries. FAO Animal Production and Health Paper 90.
Rome.
Makkar HPS, Blummel M dan Becker K. 1995. Formation of Complexes between
Polyvinyl Pyrolidones on Polyethyleneglycol and Tannin and Their
Implication in Gas Production and True Digestibility. British J. of Nutr. 73 :
893-913
Ørskov. 1988. Protein Nutrition in Ruminants. 2nd Edition. Academic Press
Limited. London.

78
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Schiere JB dan Nell AJ. 1993. Feeding of urea treated straw in in the tropics. 1.
Review of its technical principles and economics. Anim. Feed Sci. Tech.
43: 135–147.
Sutardi T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid I. Dep. Ilmu Makanan. Fakultas
Peternakan. IPB:Bogor.
Taminga S dan William BA. 1998. In vitro Techniques as Tools to Predict
Nutrient Supply in Ruminants. In. in vitro Techniques for Measuring
Nutrient Supply to Ruminants. Edited by. Deaville ER, Owen E, Adesogan
AT, Rymer C, Huntington JA dan Lawrence TIJ. British Society of Animal
Science Pub. 22 : 1-11

79
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

UJI LAPANG PROBIOTIK BIOS K2 UNTUK


SUPLEMENTASI PAKAN SAPI
PERANAKAN ONGOLE (PO)

Irawan Sugoro dan Teguh Wahyono

Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi BATAN


Jalan Lebak Bulus Raya 49 Jakarta Selatan, Indonesia
Telp. 62-021 7690709, Fax. 62-021 7691607
why.tguh@gmail.com

ABSTRAK
Probiotik BIOS K2 adalah suplemen pakan untuk ruminansia hasil penelitian dan
pengembangan Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional
(BATAN). Probiotik BIOS K2 merupakan hasil isolasi khamir cairan rumen
kerbau yang telah diuji secara in vitro dengan menggunakan teknik radioisotop.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui produktivitas sapi PO yang
diberikan suplemen pakan probiotik BIOS K2. Penelitian ini menggunakan 12
ekor sapi PO. Perlakuan pakan terdiri atas dua kelompok yaitu: Kontrol (rumput
lapangan adlibitum + konsentrat 2 kg) dan BIOS (kontrol + BIOS K2 100 g).
Suplemen pakan diberikan selama satu minggu awal pada perlakuan BIOS.
Pengamatan uji lapang dilakukan selama dua bulan. Peubah yang diamati
adalah Pertambahan Berat Badan Harian (PBBH) dan koefisien cerna pakan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa probiotik BIOS K2 dapat meningkatkan
PBBh sebesar 49,6% dan meningkatkan koefisien cerna sebesar 30,7%.
Probiotik BIOS K2 mampu meningkatkan produktivitas sapi PO untuk
mendukung kemandirian daging nasional.

Kata kunci: Probiotik, BIOS K2, Sapi PO, Produktivitas

PENDAHULUAN
Perbaikan produktivitas ruminansia dari segi manajemen pakan
dapat dilakukan dengan penambahan suplemen pada ransum pakannya.
Menurut Sugoro dan Pikoli (2004), pemberian suplemen pakan
merupakan strategi untuk meningkatkan konsumsi pakan oleh ternak
pada kondisi pemeliharaan tradisional maupun komersial. Suplemen
pakan secara efisien dapat mendukung pertumbuhan, perkembangan
dan aktivitas mikroba rumen. Ekosistem mikroba rumen yang optimal
akan berpengaruh positif terhadap produktivitas ternak. Mikroba yang
dimanfaatkan sebagai suplemen pakan dapat berasal dari bakteri, jamur,
khamir atau campurannya (Wina, 2005).

80
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Suplemen pakan paling banyak diaplikasikan adalah dalam
bentuk probiotik. Menurut Krisnan et al. (2009), penggunaan probiotik
semakin meningkat seiring dengan kesadaran para konsumen dan
pengusaha peternakan akan resiko antibiotik sehingga beralih pada
probiotik. Berbeda dengan penggunaan antibiotik, prinsip penggunaan
probiotik bertujuan untuk membuat keseimbangan mikroba rumen agar
bermanfaat dalam proses degradasi komponen zat gizi didalam rumen.
Salah satu jenis probiotik yang sedang dikembangkan sebagai suplemen
pakan ruminansia adalah BIOS K2. Probiotik BIOS K2 merupakan hasil
isolasi khamir cairan rumen kerbau yang telah diuji secara in vitro dengan
32
menggunakan teknik radioisotop P. Penggunaan teknik radioisotop
pada pengujian awal adalah untuk mengetahui sintesis protein mikroba
rumen yang disuplementasi BIOS K2.
Penelitian dengan topik probiotik sudah banyak dilakukan pada
berbagai bangsa sapi lokal diantaranya pada sapi bali (Hau et al., 2005),
sapi sumba ongole (Nugroho, 2008), sapi madura (Ngadiyono et al., 2001)
dan sapi peranakan ongole (PO) (Ngadiyono & Baliarti, 2001). Menurut
Hartati et al., (2009), sapi PO merupakan salah satu sapi potong lokal
yang diisukan mengalami penurunan populasi dan mutu genetik sehingga
harus dipertahankan eksistensi genetik dan produksinya. Produktivitas
sapi PO perlu ditingkatkan untuk mendukung kemandirian daging
nasional tanpa menurunkan secara drastis populasinya. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui produktivitas sapi PO yang
diberikan suplemen pakan probiotik BIOS K2.

MATERI DAN METODE


Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-April 2014 di lokasi
peternakan sapi Ciseeng, Bogor Jawa Barat. Ternak yang digunakan
adalah 12 ekor sapi PO jantan dengan umur 2-3 tahun dan rerata bobot
badan awal 200 ± 7 kg. Perlakuan pakan terdiri atas dua kelompok yaitu:
1. kontrol : rumput lapangan (adlibitum) + konsentrat 2 kg

81
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

2. Perlakuan : kontrol + BIOS K2 100g

Setiap perlakuan pakan menggunakan 6 ekor sapi sebagai ulangan.


Pemberian BIOS K2 pada kelompok perlakuan dilakukan hanya satu
minggu pertama perlakuan pakan. Selebihnya (7 minggu) pakan
diberikan sama dengan kontrol. Peubah yang diamati adalah
Pertambahan Berat Badan Harian (PBBH) dan koefisien cerna pakan.
Penimbangan sapi dilakukan dua minggu sekali sedangkan pengambilan
sampel koefisien cerna pakan dilakukan pada satu minggu pada akhir
perlakuan pakan. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 6 ulangan (Mattjik & Sumertajaya, 2006). Data
yang diperoleh dianalisis dengan analisis variansi (ANOVA). Analisis
statistik menggunakan software SPSS 19.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pemberian probiotik BIOS K2 meningkatkan PBBH sebesar 0,745
kg/ekor/h atau lebih tinggi 49,6% dibandingkan kontrol (0,498 kg/ekor/h)
(Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa probiotik BIOS K2 mampu
mengoptimalkan pencernaan pakan terutama kandungan serat kasar
yang banyak terkandung dalam rumput lapangan. Pemberian BIOS K2
hanya dilakukan pada 1 minggu awal perlakuan. Metode pemberian
suplemen tersebut menunjukkan bahwa mekanisme kerja BIOS K2 dapat
mempertahankan pengaruhnya didalam pencernaan ternak selama 2
bulan perlakuan pakan. Probiotik BIOS K2 merupakan probiotik yang
berasal dari khamir. Dalam penelitian Sugoro et al. (2005) dijelaskan
bahwa probiotik khamir mampu meningkatkan fermentasi dalam cairan
rumen secara in vitro.

82
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P

Gambar 1. PBBH sapi PO Hasil Uji Lapang

Menurut Wina (2005), peningkatan bobot badan ternak oleh


probiotik dapat disebabkan oleh konsumsi bahan kering yang meningkat,
kondisi rumen yang cenderung lebih baik, kecernaan pakan meningkat
serta retensi nitrogen yang lebih tinggi. Peningkatan kinerja saluran
pencernaan dapat disebabkan oleh mikroba dari probiotik yang ikut
bekerja didalam rumen atau senyawa-senyawa tertentu di dalam probiotik
yang memacu pertumbuhan mikroba rumen. Dalam Penelitian Hau et al.,
(2005) dijelaskan bahwa penggunaan probiotik dalam hal ini probion dan
bioplus, dapat meningkatkan peluang peningkatan produktivitas ternak
ruminansia melalui proses optimalisasi dan fermentasi di dalam rumen.
Pada Gambar 2 dapat terlihat bahwa koefisien cerna bahan kering
pada pemberian probiotik BIOS K2 lebih tinggi sebesar 30,7.%
dibandingkan kontrol. Kecernaan merupakan indeks kualitas suatu bahan
pakan dimana bahan pakan dengan kandungan zat-zat makanan yang
mudah dicerna pada umumnya tinggi nilai gizinya. Kecernaan bahan
pakan mencerminkan tingkat ketersediaan energi bagi ternak, sehingga
sering juga digunakan untuk menilai kualitas pakan (Van Soest, 1994).
Suplementasi probiotik BIOS K2 dapat meningkatkan koefisien
cerna bahan kering pada sapi. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh

83
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

probiotik yang mampu mengoptimalkan fermentasi dalam rumen sapi.


Probiotik BIOS K2 merupakan hasil isolasi khamir yang berasal dari
cairan rumen kerbau. Menurut Suryahadi et al., (1996) dalam Krisnan et
al., (2009) disebutkan bahwa mikroba cairan rumen kerbau memiliki daya
degradasi selulosa yang lebih baik dibandingkan mikroba cairan rumen
sapi. Kondisi tersebut dapat meningkatkan koefisien cerna selulosa yang
ada didalam pakan sehingga akan meningkatkan koefisien cerna bahan
kering secara total.

ab
superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05
Gambar 2. Koefisien Cerna BK Hasil Uji Lapang

Peningkatan koefisien cerna bahan kering juga membuktikan


bahwa BIOS K2 mampu menjaga kestabilan pH rumen. Hal ini akan
mendukung pertumbuhan bakteri selulolitik. Dalam Sniffen et al., (2004)
dijelaskan bahwa probiotik khamir mampu meningkatkan populasi
mikroba yang dibutuhkan dengan memproduksi faktor pertumbuhan
bakteri seperti asam malat dan menambah kestabilan pH rumen yang
mendukung pertumbuhan bakteri selulolitik. Menurut Hau et al., (2005)
dijelaskan bahwa terdapat hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan antara populasi mikroba rumen dalam hal ini produksi

84
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
protein mikroba dengan kecernaan zat-zat pakan dalam rumen. semakin
meningkat jumlah populasi mikroba rumen dengan aktivitasnya yang
tinggi menyebabkan banyak zat pakan yang tercerna.

KESIMPULAN
Probiotik BIOS K2 dapat meningkatkan PBBh sebesar 49,6% dan
meningkatkan koefisien cerna sebesar 30,7%. Probiotik BIOS K2 mampu
meningkatkan produktivitas sapi PO untuk mendukung kemandirian
daging nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Hartati, Sumadi dan Hartatik T. 2009. Identifikasi karakteristik genetik sapi
peranakan ongole di peternakan rakyat. Buletin Peternakan Vol. 33(2): 64-
73.
Hau DK, Nenobais M, Nulik J dan Katipana NGF. 2005. Pengaruh probiotik
terhadap kemampuan cerna mikroba rumen sapi bali. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005: 171-180.
Krisnan R, Haryanto B dan Wiryawan KG. 2009. Pengaruh kombinasi
penggunaan probiotik mikroba rumen dengan suplemen katalitik dalam
pakan terhadap kecernaan dan karakteristik rumen domba. JITV Vol.
14(4):262-269.
Mattjik AA dan Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan. IPB Press.
Bogor.
Ngadiyono N dan Baliarti E. 2001 . Laju pertumbuhan dan produksi karkas sapi
Peranakan Ongole jantan dengan penambahan probiotik starbio pada
pakannya. Media Peternakan 24(2) : 63-67.
Ngadiyono N, Hartadi H, Winugroho M, Siswansyah DD dan Ahmad SN. 2001 .
Pengaruh pemberian bioplus terhadap kinerja sapi Madura di Kalimantan
Tengah. JITV 6 : 69-75 .
Nugroho AW. 2008. Produktivitas karkas dan kualitas daging sapi Sumba
Ongole dengan pakan yang mengandung probiotik, kunyit dan temulawak.
Skripsi. Fakultas Peternakan IPB.
Sniffen, Durand, Ordanza and Donaldson. 2004. Predicting the Impact Of a Live
Yeast Strain on Rumen Kinetics and Ration Formulation. Global Dairy
Consultancy.Co.http://www.animal,cals,arizona,edu/swnmc/papers.
Nugoro, I., Gobel, I dan Lelananingtyas, N. 2005. Probiotik Khamir terhadap
Fermentasi dalam Cairan Rumen secara In Vitro. Prosiding Aplikasi Isotop
dan Radiasi ​ ​ P3TIR-BATAN. Jakarta: 110-116.
Sugoro I dan Pikoli M. 2004. Isolasi dan Seleksi Khamir Mutan dari Cairan
Rumen Kerbau sebagai Bahan Probiotik, Laporan Penelitian Prodi Biologi
Jurusan MIPA, FST, UIN Syarif Hidayatullah.
Suryahadi, Piliang WG, Djuwita I dan Widyastuti Y. 1996. DNA recombinant
technique for producing transgenic rumen microbes in order to improve
fiber utilization; 1. Isolation and characterization of cellulolytic bacteria.
Indonesian J. Trop. Agric. 7 (1).

85
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Van soest PJ. 1994. Nutritional Ecology of The Ruminant. 2nd Ed. University
Press, Cornell Ithaca and London.
Wina E. 2005. Teknologi pemanfaatan mikroorganisme dalam pakan untuk
meningkatkan produktivitas ternak ruminansia di indonesia: sebuah review.
Wartazoa Vol. l5(4): 173-186.

86
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
KUALITAS FISIK DAN KIMIA PAKAN BERBAHAN
DASAR KANGKUNG (Ipomoea Aquatica)
FERMENTASI PROBIOTIK DALAM RANSUM ITIK
PEDAGING
Muhammad Daud, Muhammad Aman Yaman dan Zulfan

Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala,


Darussalam-Banda Aceh
Email: daewood_vt@yahoo.co.id

ABSTRAK
Kangkung (Ipomoea aquatica) merupakan salah satu bahan pakan asal
tumbuhan. Bahan pakan ini berharga murah, mudah didapat, dan memiliki
kandungan nutrisi yang cukup serta menguntungkan, namun sampai saat ini
kangkung belum dimanfaatkan secara optimal dan hanya sebagian kecil
digunakan sebagai bahan baku pakan ternak, padahal potensinya cukup besar
dan mempunyai prospek yang sangat baik, jika mendapat perlakuan yang tepat
seperti dengan cara fermentasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kualitas fisik dan kimia pakan berbahan dasar kangkung fermentasi probiotik
yang dibuat dengan formulasi yang berbeda. Pengamatan fisik dilakukan secara
visual dengan membandingkan masing-masing formula pakan yang terdiri dari
tekstur, warna dan aroma pakan. Tekstur dilihat dari perubahan bentuk pakan.
Warna pakan diamati dengan membandingkan dengan warna pakan awal
produksi. Aroma juga diamati dengan membandingkan dengan aroma pakan
awal produksi. Pengamatan secara kimiawi dilakukan untuk melihat perubahan
kandungan nutrisi pakan yang meliputi bahan kering, serat kasar, lemak kasar
dan kadar protein kasar. Perlakuan pakan penelitian ini adalah: 1). 5% kangkung
fermentasi dalam ransum, 2). 10% kangkung fermentasi dalam ransum, 3). 15%
kangkung fermentasi dalam ransum, dan 4). 20% kangkung fermentasi dalam
ransum. Data hasil pengujian sifat fisik dianalisis secara deskriptif sedangkan
hasil pengujian sifat kimia pakan diuji dengan ANOVA dan uji lanjut beda nyata
terkecil (BNT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat fisik pakan berbahan
dasar kangkung fermentasi 20% mengalami tingkat kerusakan yang paling
rendah dibanding perlakuan lainnya ditinjau dari tekstur yang tidak mengumpal,
warna masih tetap coklat dan bau harum. Sifat kimia pakan dengan bahan dasar
kangkung fermentasi probiotik dengan formulasi yang berbeda berpengaruh
nyata (P<0.05) terhadap peningkatan kadar protein kasar. Kadar protein kasar
cenderung meningkat dengan penggunaan kangkung fermentasi sebesar 20%
dalam ransum. Kandungan Protein kasar yang meningkat disebabkan oleh
adanya peningkatan jumlah biomasa mikroba. Dapat disimpulkan bahwa
penggunaan kangkung fermentasi probiotik sampai taraf 20% dalam ransum
dapat memperbaiki kualitas fisik dan kimia pakan.

Kata kunci: fermentasi, Ipomoea aquatica, probiotik, itik pedaging

87
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

PENDAHULUAN
Pakan ternak unggas/ternak itik pada umumnya diformulasikan
dari berbagai bahan pakan yang memiliki kandungan nutrisi yang lengkap
dan mudah dicerna. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan
ternak unggas (ternak itik) dalam mencerna serat kasar. Disisi lain, usaha
untuk mencari bahan pakan alternatif seperti limbah pertanian, limbah
industri, limbah pasar tradisional dan limbah pengolahan bahan pangan
perlu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan pakan
impor. Pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal merupakan
langkah strategis dalam upaya mencapai efisiensi usaha produksi ternak
unggas. Hal ini akan semakin nyata, apabila sumberdaya tersebut bukan
merupakan kebutuhan langsung bagi kompetitor, seperti manusia atau
jenis ternak lain. Oleh karena pakan sangat erat kaitannya dengan
produktivitas dan biaya produksi, maka pemanfaatan bahan baku lokal
secara efisien akan berpengaruh nyata terhadap perkembangan ternak.
Penetapan prioritas bahan baku lokal perlu didasarkan pada
pertimbangan efisiensi dan daya kompetisi secara ekonomi dan kualitas.
Kriteria yang perlu menjadi perhatian dalam kaitannya dengan efisiensi
dan kompetisi adalah jumlah dan ketersediaan bahan pakan. Agar efisien,
bahan tersebut harusnya tersedia dalam jumlah yang besar, ada
sepanjang tahun dan terkonsentrasi. Bahan baku yang mempunyai
karakter tersebut umumnya terkait dengan industri, hasil pertanian dan
ikutannya yang menghasilkan berbagai produk baik yang bersifat
sampingan maupun limbah seperti limbah sayuran (hijauan kangkung).
Kangkung (Ipomoea aquatica) merupakan salah satu jenis
sayuran yang telah banyak dikenal oleh manusia terutama di kawasan
Asia. Tanaman ini banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis,
beberapa tumbuh di daerah beriklim sedang dan mudah dibudidayakan
serta berumur pendek (Djuariah 1997; Suratman et al. 2000). Tanaman
ini umumnya tumbuh secara alami di sawah, rawa dan danau serta dapat

88
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan dengan kisaran
toleransi kualitas yang luas.Kangkung mampu mendapatkan nitrogen,
meskipun kondisi nitrogen sangat kecil (Djukri 2005).
Kangkung dapat juga digunakan sebagai salah satu bahan
campuran pakan ternak asal tumbuhan. Bahan pakan ini berharga murah,
mudah didapat. Hijauan kangkung memiliki nilai gizi rendah yang
ditunjukkan dengan kandungan serat kasar tinggi, dengan kadar air yang
tinggi, walaupun (dalam basis kering) kandungan protein kasarnya cukup
tinggi, yaitu berkisar antara 15-24 persen. Menurut Sudirman (2011)
kangkung juga banyak mengandung vitamin dan mineral. Vitamin yang
banyak terkandung dalam kangkung antara lain adalah vitamin A 7400 IU,
vitamin C dan mengandung pigmen karotenoid. Mineral yang ada
didalam kangkung antara lain adalah kalsium sebanyak 72 mg/ 100 g dan
phospor 28 mg/ 100 g yang bermanfaat dalam pembentukan cangkang
telur.
Secara fisik, hijauan kangkung mudah busuk karena berkadar air
tinggi, namun secara kimiawi mengandung protein, serta vitamin dan
mineral relatif tinggi dan dibutuhkan oleh ternak unggas. Potensi limbah
hasil pertanian dan ikutannya termasuk limbah sayuran /hijauan
kangkung yang berasal dari pasar tradisional dapat dijadikan sebagai
bahan pakan alternatif untuk ternak unggas terutama untuk usaha
peternakan itik pedaging dengan menggunakan teknik fermentasi.
Fermentasi merupakan kemajuan bioteknologi dengan memanfaatkan
mikroba dan merupakan cara alternatif optimalisasi daur ulang limbah
pertanian (Muis dkk., 2008). Teknik fermentasi merupakan salah satu
alternatif dalam upaya memaksimalkan penggunaan bahan baku pakan,
melalui proses metabolisme dimana enzim dari mikroorganisme
melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis dan reaksi kimia lainnya terjadi
perubahan kimia pada subtrat organik dengan menghasilkan produk
tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas fisik dan kimia

89
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

pakan berbahan dasar kangkung fermentasi probiotik yang dibuat dengan


formulasi yang berbeda.

MATERI DAN METODE

Formulasi Ransum
Ransum yang dibuat adalah ransum itik pedaging yang
diformulasi sesuai dengan kebutuhan nutrien itik pedaging fase starter
dengan kandungan protein 15 % dan energi metabolis 2900 kkal/kg.
Komposisi bahan pakan dan nutrien ransum itik pedaging ditunjukkan
pada Tabel 1. Komposisi ransum dibuat dengan mensubtitusi kangkung
fermentasi dengan taraf 5% (R1), 10% (R2), 15% (R3) dan 20% (R4).

Tabel 1. Komposisi bahan pakan dan nutrien ransum


No. Bahan Pakan Perlakuan ransum
R1 R2 R3 R4
1. Jagung 45 40 38 35
2. Dedak halus 15 16 15,5 15
3. Bungkil kelapa 15 14 13 11,5
4. Sagu 15 16 15 15
5. Molases 1,5 1,0 1,0 1,0
6. Minyak kelapa 1,0 1,0 1,0 1,0
7. Mineral 1,5 1,0 0,5 0,5
8. Premix 1,0 1,0 1,0 1,0
9. Kangkung fermentasi 5 10 15 20
Jumlah 100 100 100 100
Kandungan Nutrien
Energi Metabolis (kkal /kg) 2940 2911 2952 2930
Protein kasar (%) 15,4 15,7 15,1 15,9
Serat kasar (%) 6,00 5,90 6,30 6,10
Lemak kasar (%) 4,00 3,98 4,20 3,99
Ca (%) 1,40 1,01 1,20 1,05
P (%) 0,89 0,98 1,00 1,08

90
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Prosedur Pembuatan Kangkung Fermentasi

Hijauan kangkung dicincang-cincang

Di angin-anginkan selama 1-2 jam

dicampur dengan dedak padi,


air, molases dan probiotik

Dimasukkan dalam
drum plastik dan
disimpan selama 1-
2 minggu

Kangkung Fermentasi

Gambar 1. Skema proses pembuatan kangkung fermentasi

Analisis Fisik dan Kimia Pakan


Pengamatan kualitas fisik ransum dilakukan secara visual dengan
membandingkan keempat formula ransum yang terdiri dari tekstur, warna
dan aroma ransum. Tekstur dilihat dari perubahan bentuk ransum (ada
tidaknya penggumpalan ransum). Warna ransum diamati dengan
membandingkan dengan warna ransum awal produksi. Aroma juga
diamati dengan membandingkan dengan aroma ransum awal produksi.
Pengamatan secara kimiawi dilakukan untuk melihat perubahan
kandungan nutrisi pada ransum yang meliputi bahan kering, kadar abu,
protein kasar, serat kasar, dan lemak kasar.

91
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Rancangan percobaan dan analisis data


Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap. Data hasil pengujian kualitas fisik dianalisis secara deskriptif
sedangkan untuk kimia ransum dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA)
(Steel dan Torrie 1980) dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil
(BNT).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kualitas Fisik Ransum
Kualitas fisik ransum yang diukur pada penelitian ini adalah
tekstur, warna, dan aroma ransum berbahan dasar kangkung fermentasi,
penentuan standar pakan hasil penelitian ini mengacu pada penelitian-
penelitian sebelumnya. Secara umum kualitas pakan berbahan dasar
kangkung fermentasi memiliki karakteristik fisik yang sama baik tekstur
(tidak mengumpal), warna (coklat), dan bau khas pakan (wangi/harum).
Hasil pengamatan kualitas fisik dari pakan berbahan dasar kangkung
fermentasi hasil penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kualitas fisik pakan berbahan dasar kangkung fermentasi


Peubah Perlakuan ransum
R1 R2 R3 R4
Tekstur Tidak Tidak Tidak Sebagian
menggumpal menggum menggumpal menggumpal
pal
Warna Coklat Coklat Coklat Coklat
kehijauan
Aroma Agak wangi Wangi Wangi Wangi

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kualitas fisik ransum


berbahan dasar kangkung fermentasi (Tabel 2) memperlihatkan bahwa
pakan yang mengandung 5-10% kangkung fermentasi (R4) mengalami
tingkat kerusakan yang paling rendah ditinjau dari tekstur yang tidak
mengumpal, warna masih tetap coklat dan bau wangi. Produk pakan
kangkung fermentasi probiotik hasil penelitian ini menunjukkan aroma

92
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
agak wangi dan wangi. Pakan yang di tambah 20% kangkung fermentasi
(R4) memiliki aroma dan wangi fermentasi yang lebih tajam di
bandingkan pakan kontrol (R1), dengan demikian penggunaan bakteri
probiotik pada penelitian ini dapat memperbaiki aroma pada bahan pakan.
Perubahan aroma ini terjadi akibat reaksi enzimatis dalam bahan pakan
tersebut. Hemme & Scheunemann (2004) menyatakan bahwa bakteri
mempunyai peranan penting dalam memperbaiki aroma dan tekstur
suatu produk. Aroma fermentasi perlakuan termasuk kedalam kriteria
kualitas fermentasi yang baik. Fermentasi yang baik memiliki aroma
asam dan wangi (Abdelhadi et al., 2005). Ada empat kriteria penilaian
aroma fermentasi yaitu sangat wangi, wangi, asam, dan bau tidak sedap
(Wilkins, 1988).
Warna fermentasi mengalami perubahan yang berbeda-beda,
mulai dari warna coklat (perlakuan R1, R2 dan R3) hingga warna coklat
kehijauan (R4) yang difermentasi selama 1 minggu. Perubahan warna
fermentasi perlakuan selain disebabkan oleh adanya pengaruh suhu
selama proses fermentasi, juga dipengaruhi oleh jenis bahan baku
fermentasi. Suhu yang tinggi selama proses fermentasi dapat
menyebabkan perubahan warna fermentasi, sebagai akibat dari
terjadinya reaksi Maillard yang berwarna kecoklatan (Gonzalez et al.,
2007). Fermentasi yang baik memiliki warna yang tidak jauh berbeda
dengan warna bahan bakunya, memiliki pH rendah dan beraroma asam
(Abdelhadi et al., 2005), bertekstur lembut, tidak berjamur dan tidak
berlendir (Ridla et al., 2007).
Tekstur pakan pada perlakuan R4 (20% kangkung fermentasi)
sebagian menggumpal, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan
kadar air yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Kadar air bahan
pangan dapat dipengaruhi oleh habitat atau lingkungan bahan tersebut
(Suastuti 2009). Sifat fisik bahan pakan banyak dipengaruhi oleh kadar
air dan ukuran partikel suatu bahan, juga dipengaruhi oleh distribusi
ukuran partikel, bentuk dan karakteristik permukaan suatu bahan

93
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

(Wirakartakusumah, 1992). Sifat fisik pakan juga sangat dipengaruhi


oleh kerapatan tumpukan, dan kerapatan pemadatan tumpukan.
Kerapatan adalah suatu ukuran kekompakan ukuran partikel dalam
lembaran dan sangat tergantung pada kerapatan bahan baku yang
digunakan dan besarnya tekanan yang diberikan selama proses
pembuatan pakan.
Kualitas Kimia Ransum
Berdasarkan hasil analisis laboratorium kangkung fermentasi
diperoleh hasil analisis kandungan nutrisi yang disajikan pada Tabel 3.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kangkung fermentasi menggunakan
probiotik selama 7 hari secara umum memperlihatkan terjadi peningkatan
terhadap bahan kering. Peningkatan kandungan BK ini disebabkan
karena kangkung yang difermentasi mengalami pertumbuhan populasi
bakteri akibat proses fermentasi sehingga dengan meningkatnya populasi
bakteri tersebut akan mengakibatkan kangkung mengalami kehilangan
sejumlah air yang terikat dalam hijauan kangkung sehingga akan
berakibat terhadap peningkatan bahan kering hijauan kangkung.

Tabel 3. Kualitas kimia pakan kangkung fermentasi


Peubah Perlakuan ransum
R1 R2 R3 R4
Bahan Kering (%) 81,39 85,43 87,01 87,17l
Abu (%) 18,89 15,07 15,32 14,07
Protein kasar (%) 8,15 8,46 8,70 8,93
Serat kasar (%) 16,92 12,20 12,01 10,20
Lemak kasar (%) 4,55 3,45 2,62 2,23

Kandungan protein kasar hasil penelitian ini terjadi peningkatan


dari 8,15% (R1) menjadi 8,93% (R4) (Tabel 3). Kandungan Protein kasar
yang meningkat disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah biomasa
mikroba. Hal ini sesuai dengan (Hau et al., 2005) peningkatan nilai
protein berdampak positif terhadap produksi protein mikroba. Kadar
protein kasar cenderung meningkat pada penggunaan kangkung

94
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
fermentasi10-20%. Peningkatan tertinggi terjadi pada perlakuan R4 (20%
kangkung fermentasi) yaitu sebesar 8,93%. Peningkatan protein
kangkung fermentasi terjadi diduga karena terjadi proses fermentasi, oleh
mikroorganisme melalui proses metabolisme dimana enzim dari
mikroorganisme melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis dan reaksi kimia
lainnya terjadi perubahan kimia pada subtrat organik dengan
menghasilkan produk tertentu. Mikroba proteolitik yang terdapat dalam
probiotik adalah Bacillus sp dan Streptomyces. Menurut Thomas et al,
(1987) mikroba ini mampu menghasilkan enzim protease yang akan
merombak protein. Anggorodi (1994) menambahkan perombakan protein
diubah menjadi polipeptida, selanjutnya menjadi peptida sederhana,
kemudian peptida ini akan dirombak menjadi asam-asam amino. Asam-
asam amino ini yang akan dimanfaatkan oleh mikroba untuk
memperbanyak diri. Jumlah koloni mikroba yang merupakan sumber
protein tunggal menjadi meningkat selama proses fermentasi. Proses
tersebut secara tidak langsung dapat meningkatkan kandungan protein
kasar (Wuryantoro, 2000).
Adanya mikroba proteolitik yang mampu menghasilkan enzim
protease menyebabkan pemecahan protein berlangsung lebih cepat
(Priskila, 2007). Dijelaskan kembali menurut Afrianti (2009) proses
metabolisme yang dilakukan bakteri membutuhkan sumber energi berupa
karbohidrat, protein, lemak, yang terdapat pada pakan. Aktifitas mikroba
dalam proses fermentasi mengarah pada karbohidrat kemudian protein
dan lemak. Peningkatan kandungan protein pada perlakuan menunjukkan
bahwa terdapat peningkatan aktifitas bakteri proteolitik dalam mengikat N.
Matthewman (1994) menyatakan bahwa nitrogen adalah bahan dasar
untuk sintesis protein bakteri. Bakteri yang tumbuh dapat digunakan
untuk membantu mengoptimalkan pakan yang digunakan untuk ternak
(Buckle et al, 1987).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan
kandungan serat kasar kangkung fermentasi (Tabel 3). Menurunnya

95
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

kandungan serat kasar pada penelitian ini disebabkan oleh penggunaan


bakteri probiotik pada proses fermentasi yaitu bakteri selulolitik
(Cellulomonas sp). Mikroba ini dapat mendegradasi bahan organik
seperti serat kasar. Serat kasar merupakan selulosa yang digunakan
sebagai penyusun dinding sel tanaman yang sukar didegradasi karena
monomer glukosa dihubungkan pada suatu ikatan. Beberapa bakteri ada
yang dapat melakukan pemecahan ikatan tersebut yaitu mikroba
selulolitik (Heriyanto, 2008). Adanya degradasi karbohidrat membuat
adanya penyederhanaan perubahan dari selulosa menjadi selubiosa
dengan bantuan enzim selulase, selanjutnya selubiosa disederhanakan
menjadi glukosa (Wiria, 1996).
KESIMPULAN
Penggunaan kangkung fermentasi probiotik sampai 20% dalam
ransum menunjukkan ketahanan dari kerusakan fisik dan memperbaiki
kualitas kimia pakan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Artikel ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang dibiayai
oleh Hibah Penelitian Fundamental Direktorat Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat Ditjen Pendidikan Tinggi tahun anggaran 2014.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat Ditjen Pendidikan Tinggi atas bantuan
hibah penelitian dan kepada semua tim pelaksana penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Abdelhadi, L. O., F. J. Santini, & G. A. Gagliostro. 2005. Corn fermentasi of high
moisture corn supplements for beef heifers grazing temperate pasture; eff
ects on performance ruminal fermentation and in situ pasture digestion.
Anim. Feed Sci. Technol. 118: 63-78
Afrianti, LH. 2009. Excellence Of Food Ferment (Keunggulan Makanan
Fermentasi). http://www.wordpress.com. 19/7/2014.
Anggorodi, 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia Pustaka Utama
Jakarta.
Buckle, K.A., R.A, Edward., G.H. Fleet and M.Wotton. 1987. Ilmu Pangan.
Penerjemah : Hari Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia. Jakarta.
Djuariah D. 1997.Evaluasi plasma nutfah kangkung di dataran medium
Rancaekek. Journal of Horticultural 7(3):756-762.

96
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Djukri. 2005. Pertumbuhan dan produksi kangkung pada berbagai dosis hara
makro dan mikro. Environmental 5(1):34-37.
Gonzalez, J., J. Farıa-M armol, C. A. Rodrıguez, & A. Mart ınez. 2007. Eff ects of
ensiling on ruminal degradabilityand intestinal digestibility of Italian
ryegrass Anim. Feed Sci. Technol. 136: 38-50.
Hau, D.K., M. Nenobais., J. Nulik., N. Athan dan G.F. Katipana. 2005. Pengaruh
Probiotik Terhadap Kemampuan Cerna Mikroba Rumen Sapi Bali.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian. Nusa Tenggara Timur. Universitas Nusa Cendana.
Kupang.
Heriyanto. 2008. Probiotik (Migrosuplemen/MIG Ternak) Departemen Pertanian
Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan Balai Besar Pengujian Mutu
& Sertifikasi Obat Hewan No B.0264. Bogor. Indonesia.
Hemme, D. & C. F. Scheunemann. 2004. Leuconostoc characteristics, use in
dairy technology and prospects in functional foods. Int. Dairy J. 14: 467–
494.
Mathewman R. 1994. A manual of Tropical Ruminant Nutrition And Feeding.
CTUM. Scotland. UK.
Muis, A, Khairani, C, Sukarjo, Rahardjo,Y.P. 2008. Petunjuk Teknis Teknologi
Pendukung Pengembangan Agribisnis di Desa P4MI. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Sulawesi Tengah.
Sudirman, S. 2011. Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif Kangkung Air
(Ipomoea Aquatica Forsk.). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suratman, Priyanto D, Setyawan AD. 2000. Analisiskeragaman genus Ipomoea
berdasarkan karakter morfologi. Biodiversitas1(2):72-79. Wang KS,
Huang LC, Lee HS, Chen PY, Chang SH. 2008. Phytoextraction of
cadmium by Ipomoea aquatica (water spinach) in hydroponic solution:
Effects of cadmium speciation. Chemosphere 72:666-672.
Suastuti DA. 2009. Kadar air dan bilangan asam dari minyak kelapa yang dibuat
dengan cara tradisional dan fermentasi. Jurnal Kimia 3(2):69-74.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1980. Principle and Procedures of Statistics. Edisi
2. Singapore: McGraw-Hill. International Book Co.
Priskila, F. 2007. Pengaruh Penggunaan Kombucha Terhadap Kandungan
Protein Kasar dan Serat Kasar pada Fermentasi Daun Talas (Colocasia
esculenta). Skripsi. Program Studi S-1 Budidaya Perairan. Fakultas
Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
Ridla, M., N. Ramli, L. Abdullah, & T. Toharmat. 2007. Milk yield quality and
satety of dairy catle fed silage composed of organic components of
garbage. J. Ferment. Bioen. 77: 572-574.
Thomas TD and Pritchard GG. 1987. Proteolytic Enzymes From Dairy Starter
Cultures. Fed. Eur. Microbiol. Soc. Microbiol. Rev. 46 :245.
Wiria, U.S. 1996. Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengolahan Buangan Secara
Biologis. Penerbit Alumni. Bandung.
Wirakartakusumah, M. A., K. Abdullah & A. M. Syarif. 1992. Sifat Fisik Pangan.
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wuryantoro, S. 2000. Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar Hay Padi
Teramonisasi yang difermentasi dengan cairan Rumen. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.

97
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

PENGGUNAAN ADITIF PROBIOTIK DAN MINERAL


ORGANIK PADA PENGGEMUKAN SAPI PERANAKAN
ONGOLE
Roni Ridwan, Wulansih Dwi Astuti, Yantyati Widyastuti dan
Baharuddin Tappa

Pusat Penelitian Bioteknoogi-Lipi


Jalan Raya Bogor Km 46 16911 Cibinong, Bogor
Telp. (021) 8754587 ext 107, FAX (021) 8754588
Email: roni001@lipi.go.id

ABSTRAK
Pemberian bahan aditif organik banyak digunakan sebagai bahan pakan yang
efisien dan aman. Probiotik dan mineral organik digunakan untuk peningkatan
produktivitas dan menjaga kesehatan sapi dari gangguan mikroorganisme yang
merugikan dalam saluran pencernaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh penambahan aditif probiotik dan mineral organik Cr terhadap
produktivitas sapi potong. Sapi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
peranakan ongole (PO) jantan dengan rataan bobot badan sebesar 226 kg.
Penelitian dilaksanakan selama 120 hari menggunakan rancangan acak lengkap
dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan pakan terdiri atas A). Pakan Basal
(konsentrat, rumput lapang, dan ampas tahu), B). A + probiotik Lactobacillus
plantarum TSD 10, C). B + Cr organik, D). A + probiotik campuran, dan E). D +
Cr organik. Parameter yang diamati adalah pertambahan bobot badan (PBB)
total, PBB harian, dan kadar glukosa darah. Hasil penelitian menunjukkan
pemberian pakan B mendapatkan PBB total 135 kg dan PBB harian tertinggi
sebesar 1,13 kg/hari. Pemberian pakan C cenderung menghasilkan kadar
glukosa darah paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pemberian
probiotik tunggal menghasilkan peningkatan produktivitas paling tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Secara umum, perlakuan pemberian probiotik dan
penambahan mineral organik Cr dapat meningkatkan produktivitas sapi PO.

Kata kunci: aditif, probiotik, mineral organik, Lactobacillus plantarum,


produktivitas

PENDAHULUAN
Produktivitas sapi potong di Indonesia pada saat ini belum optimal.
Peningkatan produktivitas ternak dapat tercapai dengan ketersediaan
pakan, baik kuantitas maupun kualitas, yang kontinyu sepanjang
pemeliharaan. Untuk memaksimumkan pasokan nutrien pada sapi potong,

98
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
digunakan bahan aditif berupa probiotik dan mineral organik yang dapat
meningkatkan produktivitas, kualitas dan menjaga kesehatan ternak.
Untuk menggunakan antibiotik dan hormon pertumbuhan pada
ternak ruminansia, saat ini terkendala dengan adanya regulasi
pembatasan sehingga harus beralih pada bahan aditif alternatif yang
aman, salah satunya probiotik. Trend penggunaan probiotik di luar negeri
seperti di negara Eropa semakin berkembang dan dituangkan dalam
regulasi (EC) No 1831/2003, yaitu mikroorganisme yang termasuk dalam
kategori aditif ‘zootechnical' dan sebagai kelompok fungsional dalam
'stabilisator’ flora usus. Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme
ketika diberikan kepada ternak memiliki dampak yang positif pada flora
usus (Anadon et al., 2006). Seo et al. (2010) menyatakan bahwa peranan
probiotik dapat menguntungkan dalam mengefisienkan penggunaan
pakan dalam meningkatkan produktifitas ternak, menghambat infeksi dan
mendukung regulasi lingkungan mikroba dalam saluran pencernaan.
Aditif mineral organik Cr mempunyai ketersediaan biologis lebih
baik dan toksisitas lebih rendah dibanding dengan mineral anorganik.
Peran mineral ini adalah untuk meningkatkan masuknya glukosa ke
dalam sel. Batas maksimum toleransi konsentrasi Cr dalam pakan adalah
3000 mg/kg dalam bentuk oksida dan 1000 mg/kg dalam bentuk klorida
(Underwood & Suttle, 2001). Pada sapi potong dan pedet, peningkatan
glukosa ke dalam sel akan memberikan energi tambahan bagi
metabolisme tubuh, sehingga pertumbuhan menjadi lebih baik dan
menurunkan persentase lemak karkas. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penambahan aditif probiotik dan mineral organik
terhadap produktivitas sapi potong.

MATERI DAN METODE


Probiotik
Probiotik yang digunakan berasal dari BTCC (Biotechnology Culture
Colection-Puslit Bioteknologi LIPI) yaitu terdiri atas 6 isolat bakteri; L.
99
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

plantarum TSD-10., L. plantarum 1A-2, Bacillus 55, L. bulgaricus, L.


acidophilus, Pediococcus pentosus-DSS-21, dan kamir Saccharomyces
cerevisiae. Untuk membuktikan bahwa isolat tersebut cukup baik
dijadikan sebagai probiotik maka dilakukan pengujian aktivitas
penghambatan dengan melihat adanya zona penghambatan
pertumbuhan terhadap mikroba uji menggunakan metode difusi sumur
agar. Mikroba uji yang digunakan adalah Micrococcus luteus, Bacillus
subtilis, E. coli, Sthaphylococcus aureus yang beasal dari BTCC .
Probiotik di produksi dengan menggunakan metode fermentasi skala
laboratorium yaitu dengan menumbuhkan isolat bakteri asam laktat pada
medium produksi spesifik MRS, yeast dengan medium YMB dan untuk
bakteri non BAL dengan medium NA menggunakan Erlenmyer 1000 ml,
diinkubasikan pada suhu yang sesuai untuk masing-masing isolat
mikroba di dalam inkubator. Biomasa sel dari setiap isolat mikroba
dikoleksi dengan sentrifugasi pada kecepatan 8000-10.000 rpm,
kemudian dicampurkan dengan karier komersil 10% - 30% sampai
homogen. Campuran biomasa dan carier selanjutnya dibekukan pada
deep freezer -70 oC selama satu malam. Tahap terakhir dilakukan
pengeringbekuan menggunakan freezer dryer pada suhu –50 oC dan
dilakukan dalam kondisi vacum selama 48 jam. Probiotik yang sudah
kering dilakukan perhitungan jumlah populasi dengan metode total plate
count. Probiotik yang sudah kering dihaluskan menjadi bentuk tepung
dan dicampurkan secara merata untuk probiotik campuran dilakukan.
Mineral organik Cr
Mineral organik dibuat dengan menginkorporasikan Cr ke dalam sel
fungi yang digunakan sebagai carrier melalui proses fermentasi
menggunakan substrat yang diperkaya dengan Cr. Substrat yang
digunakan adalah singkong segar yang telah dikupas dan diiris tipis-tipis.
Singkong tersebut dicampur dengan medium selektif, Cr dan triptophan
kemudian sterilkan. Singkong tersebut kemudian diratakan dalam
nampan plastik, setelah dingin, ditambahkan inokulum ragi tape

100
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
kemudian difermentasi selama 4 hari dalam suhu ruang. Produk yang
diperoleh dikeringkan menggunakan oven pada suhu 40-50oC. Setelah
kering kemudian digiling menjadi butiran halus dan siap digunakan (Astuti
et al., 2007
Perlakuan in vivo
Penelitian ini menggunakan 15 sapi PO jantan dengan kisaran
bobot badan 226 kg. Seluruh sapi diberikan masa adaptasi selama 2
minggu dan dilakukan penimbangan bobot awal. Setiap sapi ditempatkan
pada masing-masing kandang perlakuan. Penimbangan bobot badan
sapi dilakukan setiap satu bulan sekali di pagi hari sebelum diberi makan
dan minum. Pakan yang diberikan adalah rumput lapang, konsentrat dan
ampas tahu. Rumput lapang diberikan sebanyak 20 kg/ekor/hari,
konsentrat diberikan sebanyak 4 kg/ekor/hari, sedangkan ampas tahu
segar diberikan sebanyak 10 kg/ekor/hari. Probiotik dan mineral organik
yang berbentuk tepung dimasukan ke dalam sebuah kapsul dan diberikan
sebanyak 1 kapsul per ekor setiap hari selama penelitian.
Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap
dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Waktu pelaksanaan penelitian
selama 120 hari. Pakan perlakuan yang digunakan terdiri atas A) Pakan
basal (konsentrat, rumput lapang, dan ampas tahu), B) A + probiotik L.
plantarum TSD-10, C) B + mineral organik, D) A + probiotik campuran,
dan E) D + mineral organik. Parameter yang diamati adalah
pertambahan bobot badan (PBB) total, PBB harian, dan kadar glukosa
darah pada akhir penelitian.

Tabel 1. Komposisi nutrien bahan pakan*


Komposisi (%) Rumput Lapang Konsentrat
Bahan Kering 90.66 83.35
Abu 6.98 10.88
Protein Kasar 8.41 12.07
Serat Kasar 39.26 16.34
Lemak Kasar 1.42 3.9

101
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Kalsium 1.14 1.82


Fosfor 0.56 0.61
NDF 69.98 -
ADF 51.43 -
Hemiselulosa 18.55 -
Selulosa 40.55 -
Lignin 7.96 -
Silika 2.91 -
*Hasil analisa Laboratorim Fisiologi dan Nutrisi Bidang Zoologi Puslit Biologi-LIPI
dan Ilmu Teknologi Pakan Fapet IPB

Tabel 2. Formulasi dan komposisi nutrien pakan basal


No. Bahan Pakan Formulasi PK SK LK
(%)
1 Konsentrat 44 6.37 8.63 2.06
2 Ampas tahu 11 2.66 2.99 1.15
3 Rumput lapang 45 4.17 19.49 0.70
Total 100 13.20 31.11 3.91
Keterangan: PK; Protein Kasar, SK; Serat Kasar, LK; Lemak Kasar

Gambar 1. Kapsul probiotik dan mineral organik

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh positif dari pemberian probiotik harus dapat dikontrol
secara konsisten terhadap respon yang diamatinya. Pada Tabel 3.
disajikan hasil bioassay dari isolat probiotik terhadap 4 bakteri uji. Isolat
bakteri yang digunakan sebagai probiotik terbukti dapat menghambat
pertumbuhan bakteri uji. Lima isolat bakteri tidak memiliki aktivitas
penghambatan terhadap B. subtilis, kecuali L. bulgaricus. Kamir
Saccharomyces cereviceae tidak memiliki aktivitas penghambatan
terhadap seluruh bakteri uji. Meskipun demikian harapan penggunaan

102
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
kamir disini untuk menstimulasi pertumbuhan bakteri rumen. Pasokan
faktor pertumbuhan bakteri seperti asam organik, vitamin B dan asam
amino dapat disediakan dari kamir (Chiquette, 2009). Kamir berkembang
di awal dan memberikan kontribusi terhadap suasana anaerob dengan
memanfatkan O2 sehingga menciptakan lingkungan rumen lebih sesuai
untuk mikroba rumen.
McAllister et al. (2011) mengatakan bahwa persyaratan
mikroorganisme yang digunakan sebagai probiotik yaitu dapat hidup dan
perperan pada target organ. Ducluzeau et al. (1991) menyatakan bahwa
konsep probiotik didasarkan pada terbentuknya kolonisasi mikroba yang
menguntungkan yang masuk ke saluran pencernaan, mencegah
perkembangan bakteri patogen, netralisasi racun pada saluran
pencernaan, mengatur aktivitas enzim bakteri tertentu, dan menguatkan
pengaruh substansi yang merangsang sintesis antibodi pada sistem
kekebalan.
Pengaruh positif dari pemberian probiotik terhadap ternak melalui
peningkatan fungsi, stimulasi pertumbuhan mikroba, pengaturan pH, dan
perubahan pola fermentasi rumen (Ridwan et al., 2009). Adanya
penambahan mineral organik membuat sistem fermentasi rumen
mengarah ke sintesis propionat dan valerat (Astuti et al., 2007).
Peningkatan kandungan asam propionat dan valerat akan lebih baik
digunakan pada pemberian sapi penggemukan. Propionat secara tidak
langsung dapat berguna dalam penyusunan energi otot atau sel daging
dan dapat tersimpan pada otot tubuh.

Tabel 3. Uji aktivitas daya hambat probiotik terhadap beberapa bakteri uji
M.luteus B. subtilis E. coli S. aureus
Isolat
(mm)
L. plantarum TSD-10 18 - 10 9
L. bulgaricus Lb 20 14 9 9
L. acidophilus La 11 - 9 10

103
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

L. plantarum 1A-2 15 - 10 9
Pediococcus pentosus DSS 2-1 9 - 9 -
Saccharomyces cereviceae - - - -
Bacillus pumilus 55 22 - 9 9

Pada Tabel 4. terlihat L. plantarum TSD 10 menghasilkan jumlah


koloni yang terbanyak (1,9 x 1012 cfu/g) pada pembuatan probiotik skala
Laboratorium. Jumlah koloni yang tinggi menyebabkan kepadatan yang
tinggi pula, ditunjukkan dengan hasil optical density (OD) sebesar 1.72
pada panjang gelombang 600 nm. Probiotik yang digunakan sebagai feed
additif berasal saluran pencernaan dan memberi keuntungan serta
memegang peranan penting sebagai jenis mikroba yang spesifik pada
target organ. Beberapa probiotik dari golongan bakteri asam laktat yang
sudah umum digunakan adalah berasal dari genus Lactobacillus,
Bifidobacterium, Streptococcus, dan Enterococcus (Seo et al., 2010).
Penggunaan probiotik pada ternak harus memenuhi kriteria umum
seperti aspek bilogis, aspek produksi dan prosesing, metode pengaturan
probiotik, dan tempat target organ dalam tubuh ternak dimana
mikroorganisme produk probiotik harus diaktifkan. Produksi probiotik
skala laboratorium menunjukan bahwa secara umum isolat probiotik
dapat tumbuh dengan baik pada medium produksi sebagai penghasil
biomasa probiotik.
Tabel 4. Pertumbuhan isolat probiotik pada produksi skala laboratorium
Populasi
Nama Isolat pH OD 600 nm
cfu/g
L. plantarum TSD-10 3.98 1.72 1.9 x 10 12
L. bulgaricus 4.23 1.45 4.1 x 10 10
L. acidophilus 4.05 1.47 3.3 x 10 11
L. plantarum 1A-2 3.95 1.66 4.1 x 10 10
Pediococcus pentosus DSS 2-1 4.26 1.26 2.0 x 10 10
Saccharomyces cereviceae 4.51 0.95 5.0 x 10 9
Bacillus pumilus 55 4.71 0.95 6.0 x 10 9

104
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P

Rataan populasi koloni dari semua isolat probiotik sekitar 3.34 x


1011 cfu/g. Setiap produksi atau produk tertentu harus diuji keberadaan
mikroorganisme tersebut dengan menggunkan metode uji yang sesuai
(Flint & Angert 2005). Populasi koloni yang tinggi sangat baik untuk
digunakan sebagai probiotik karena penggunaan sebagai feed aditif
persentasenya kecil akan tetapi manfaat kandungannya besar. Artinya
penggunaan probiotik yang sedikit, sudah mengandung mikroorganisme
hidup yang cukup banyak untuk meningkatkan aktivitas fermentasi rumen.
Pertumbuhan probiotik pada medium menunjukan bahwa probiotik
tersebut dapat hidup dan memberikan pengaruh langsung terhadap
produktivitas dengan memperlihatkan PBB (Tabel 5). Probiotik yang
efektif harus dapat digunakan pada kondisi lingkungan yang berbeda,
dapat bertahan hidup pada kondisi tersebut, dan mempunyai karakteristik
sebagai berikut: 1) Harus dapat dikemas dalam keadaan hidup dalam
skala industri, 2) Stabil dan hidup dalam kurun waktu yang lama pada
penyimpanan kondisi lapangan, 3) Dapat bertahan hidup dalam sluran
pencernaan, dan 4) Menguntungkan bagi ternak. Apabila keseluruhan
faktor tersebut dapat dipenuhi sacara optimal maka probiotik tersebut
sudah dapat dikembangkan dalam sklala industri untuk tujuan komersial.

Tabel 5. Rataan pertambahan bobot badan (PBB) selama penelitian


Perlakuan Bobot awal Bobot akhir PBB total PBB harian
kg kg (kg) (kg/hari)
A 212.5 295 82.5 0.69
B 235 370 135 1.13
C 230 347 117 0.98
D 200 302.5 100 0.83
E 252.5 350 97.5 0.81

Pada Tabel. 5 diperlihatkan PBB total dan harian yang diperoleh


selama penelitian. Pemberian aditif probiotik dan mineral organik dapat
meningkatkan PBB selama penelitian. Pakan basal (A) memberikan PBB

105
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

total paling rendah 26.6% dibandingkan dengan rataan perlakuan lainnya,


sedangkan paling tinggi diperoleh pada pemberian probitoik L. plantarum
TSD 10 (B). Pakan basal (A) juga memberikan PBB harian paling rendah
38.93% dibandingkan dengan penambahan probiotik L. plantarum TSD
10 (B). Penggunaan probiotik L. plantarum TSD 10 (B) lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Santoso et al.
(1995) dan Ahmad et al. (2004) menggunakan probiotik starbio dan
bioplus.
Peningkatan PBB total dan harian menunjukkan bahwa probiotik
dan mineral organik mampu meningkatkan aktivitas fermentasi rumen
sehingga meningkatkan produktivitas ternak (Astuti et al., 2007). Aktivitas
mikroba rumen yang tinggi akan memberikan asupan nutrien yang lebih
baik bagi hewan inang. Penggunaan probiotik juga telah menunjukan
penurunan resiko acidosis, peningkatan efesiensi pakan, PBB (sekitar 2.5
%), menurunkan kandungan E. coli O157:H7 feses dari infeksi, dan
memperbaiki respon imun dalam keadaan stress (Frizzo et al., 2010,
2011).

Gambar 2. Kadar glukosa darah sapi PO pada akhir penelitian

Pada akhir penelitian dilakukan pengambilan darah dari seluruh


sapi perlakuan. Pengambilan dilakukan 1 jam setelah pemberian pakan
pada bagian ekor. Kadar glukosa darah sapi pada akhir penelitian
menunjukkan adanya perbedaan antara sapi yang diberi bahan pakan

106
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
aditif dengan sapi yang tidak diberikan aditif (Gambar 2). Sapi yang tidak
diberikan bahan pakan aditif cenderung mempunyai kadar glukosa darah
yang paling rendah. Pemberian aditif probiotik L. plantarum TSD-10
meningkatkan kadar glukosa darah lebih baik dibandingkan pemberian
probiotik campuran. Pemberian mineral organik dan L. plantarum TSD 10
memberikan kadar glukosa darah paling tinggi dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Pemberian mineral organik menunjukkan dapat
meningkatkan glukosa darah yang selanjutnya dapat masuk ke dalam sel.
Dalam beberapa kasus mineral anorganik yang dikonsumsi lewat
makanan sekitar 98% tidak diserap dan dikeluarkan melalui feses.
Sebaliknya ketersediaan mineral Cr organik cukup tinggi yaitu 25-30%
(Mordenti et al., 1997). Pembentukan mineral organik ini merupakan
mineral yang berasal dari proses “chelate” garam mineral yang terlarut
dengan asam amino atau protein yang terhidrolisis. Absorpsi logam pada
fungi terjadi melalui proses difusi pasif melewati dinding sel. Komponen
sel yang berperan pada transpor nutrien selanjutnya adalah sitoplasma.
Pemberian konsentrat yang tinggi pada pengemukan sapi
merupakan suatu pola yang umum. Namun pola tersebut perlu dilakukan
proses adaptasi pemberian terkait dengan resiko asidosis. Pada
penggemukan sapi dewasa terjadi pola perubahan populasi komunitas
mikroba rumen terkait dengan fase transisi dalam program adaptasi tinggi
konsentrat merupakan titik kritis dalam mencegah terjadinya asidosis
rumen (Fernando et al., 2010; Khafipour et al., 2009; Chen et al., 2011).
Populasi Megasphaera elsdenii meningkat 11 kali lipat pada pola tingggi
konsentrat, mikroorganisme ini dapat memanfaatkan asam laktat yang
diproduksi di rumen dan membantu mencegah akumulasi asam laktat
serta asidosis (Khafipour et al., 2009). Peningkatan populasi M. elsdenii
adalah mekanisme mempertahankan pH rumen dengan memanfaatkan
asam laktat yang meningkat diproduksi dalam rumen pada pakan tinggi
energi. Probiotik yang diberikan memberikan pengaruh terhadap
keseimbangan mikroba di rumen dan pada saluran pencernaan.

107
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

KESIMPULAN
Pemberian probiotik tunggal L. plantarum TSD-10 memberikan hasil
yang lebih baik dibanding probiotik campuran yang terdiri dari 7 jenis
mikroorganisme. Probiotik tunggal TSD-10 menghasilkan produktivitas
sapi PO paling tinggi dengan mendapatkan PBB tertinggi. Pemberian
mineral organik Cr meningkatkan kandungan glukosa darah dibandingkan
dengan kontrol. Secara umum, perlakuan yang diberikan baik probiotik
maupun mineral organik dapat meningkatkan produktivitas sapi PO
dibandingkan dengan kontrol.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad SN, Siswansyah DD dan Swastika DKS. 2004. Kajian sistem usaha
ternak sapi potong di Kalimantann Tengah. J. BPTP. 7(2):155-170.
Anadón A, Larrañaga MRM and Martínez MA. 2006. Probiotics for animal
nutrition in the European Union. Regulation and safety assessment.
Regulatory Toxicology and Pharmacology 45:91–95.
Astuti WD, Ridwan R dan Tappa B. 2007. Penggunaan probiotik dan kromium
organik terhadap kondisi lingkungan rumen in vitro. Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner 12(4):262-267.
Chen Y, Penner GB, Li M and Oba M. 2011. Changes in Bacterial Diversity
Associated with Epithelial Tissue in the Beef Cow Rumen during the
Transition to a High-Grain Diet. Appl. Environ. Microbiol. 77(16):5770-
5781.
Chiquette J. 2009. The Role of Probiotics in Promoting Dairy Production. WCDS
Advances in Dairy Technology 21: 143-157.
Ducluzeau R, Gouet P and Williams PEV. 1991. Probiotics in Ruminants. In. J.P.
Jouany (Ed.). Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion.
INRA, Paris.
Fernando SC, Purvis HT, Najar FZ, Sukharnikov LO, Krehbiel CR, Nagaraja TG,
Roe BA and DeSilva U. 2010. Rumen Microbial Population Dynamics
during Adaptation to a High-Grain Diet. Appl. Environ. Microbiol. 76
(22):7482–7490.
Flint JF and Angert ER. 2005. Development of a strain-specific assay for
detection of viable Lactobacillus sp. HOFG1 after application to cattle
feed. Journal of Microbiological Methods 61:235–243.
Frizzo LS, Soto LP, Zbrun MV, Bertozzi E, Sequeira G, Armesto RR and Rosmini
MR. 2010. Lactic acid bacteria to improve growth performance in young
calves fed milk replacer and spray-dried whey powder. Animal Feed
Science and Technology 157:159–167.

108
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Frizzo LS, Zbrun MV, Soto LP, and Signorini ML. 2011. Effects of probiotics on
growth performance in young calves: A meta-analysis of randomized
controlled trials. Animal Feed Science and Technology 169:147–156.
Khafipour E, Li S, Plaizier JC and Krause DO. 2009. Rumen Microbiome
Composition of Subacute Ruminal Acidosis Determined Using Two
Nutritional Models. Appl. Environ. Microbiol. 75(22):7115-7124.
McAllister TA, Beauchemin KA, Alazzeh AY, Baah J, Teather RM, and K
Stanford. 2011. The use of direct fed microbials to mitigate pathogens
and enhance production in cattle. Can. J. Anim. Sci. 91:193-211.
Mordenti A, Piva A, and Piva G. 1997. The European perspective on organic
chromium in animal nutrition. In: Lyons TP, Jacques KA, (Eds).
Biotechnlogy in The Feed Industry. Proc. of Alltech 13th Annual
Symposium. Nottingham University Press. p.227-240.
Ridwan R, Widyastuti Y, Budiarti S and Dinoto A. 2009. Analysis of Rumen
Microbial Population of Cattle Given Silage and Probiotics using Terminal
Restriction Fragment Length Polymorphism. Microbiol Indonesia.
3(3):126-132.
Santoso TD, Chaniago dan Winugroho M. 1995. Pengaruh pemberian Bioplus
pada kinerja sapi potong PO pola PIR di Lampung. Balai Penelitian
Ternak, Bogor.
Seo JK, Kim SW, Kim MH, Upadhaya SD, Kam DK and Ha JK. 2010. Direct-fed
Microbials for Ruminant Animals. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 23(12):1657-
1667.
Underwood EJ and Suttle NF. 2001. The Mineral Nutrition of Livestock. 3rd Ed.
CABI Publishing.

109
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

PENGARUH INTERVAL PANEN TERHADAP


PRODUKSI DAN KUALITAS RUMPUT Panicum
maximum CV PURPLEGUINEA SEBAGAI PAKAN
TERNAK DI KABUPATEN BLORA

Sajimin, dan Sri Nastiti Jarmani

Balai Penelitian Ternak P.O.BOX 221 Bogor 16002

ABSTRAK
Rumput Panicum maximum CV Purpleguinea adalah hijauan pakan ternak
dengan batang kecil yang toleran kekeringan. Tujuan penelitian untuk
mengetahui produktivitas dan kualitas hijauan Rumput P. maximum CV
Purpleguinea. Rancangan percobaan adalah acak kelompok dengan perlakuan
umur potong: a). 40 hari, B). 50 hari dan c) 60 hari dan diulang 5 kali ditanam
dilahan petani ternak pada ukuran plot 20 m2. Parameter yang diamati
produktivitas hijauan, pertumbuhan, tinggi tanaman, jumlah tunas dan analisa
hijauan kandungan protein, kalsium dan fospor. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa produktivitas hijauan berat kering tertinggi pada umur potong 50 hari
(296,33 t/ha/tahun) kemudian diikuti umur potong 40 hari (268.74 t/ha/th) dan
terendah 60 hari (168,96 t/ha/th). Selanjutnya kualitas hijauan dengan
kandungan protein kasar rata-rata tertinggi 8,88 % pada umur potong 40 hari dan
terendah pada umur potong 60 hari 7,36 %. Kandungan mineral Ca tertinggi
pada umur potong 50 hari dan diikuti umur potong 60 hari dan 40 hari. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa kualitas hijauan dengan produksi tertinggi
pada umur potong 50 hari dengan kapasitas tampung ternak 1,62 satuan ternak
per ha.

Kata kunci: Panicum maximum CV Purpleguine, produktivitas, kualitas, umur


potong.

PEND AHULUAN
Rumput P.maximum yang dikenal dengan nama Guinea grass,
buffalo grass, green panic (Inggris), Herbe de Guinee, panic eleve
(Perancis), rumput benggala (Indonesia), suket londo (Jawa), rebha luh-
buluhan (Madura), rumput kuda, rumput benggala (Malaysia), yakinni
(Thailand) dan Co ke to (Vietnam). Rumput ini berasal dari Afrika Tropik
dan telah dibudidayakan disemua daerah tropis maupun subtropik,
karena nilainya sangat tinggi sebagai pakan ternak dan telah beradaptasi
baik di Asia Tenggara. Menurut Hayne (1950) P. maximum masuk ke

110
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Indonesia pertama yaitu di Jawa yang dikoleksikan pada tahun 1865.
Karakteristik rumput benggala adalah tanaman tumbuh tegak membentuk
rumpun mirip padi. Termasuk rumput tahunan, kuat, berkembang biak
yang berupa rumpun/pols yang sangat besar, dengan akar serabut
menembus dalam tanah, batangnya tegak, berongga tak berbulu. Tahun
1974 Balai Penelitian Ternak mengintroduksikan kembali dari Australia.
Walaupun telah dikoleksi cukup lama namun pemanfaatannya masih
kurang populer dibanding dengan rumput gajah. Peternak umumnya
menanam rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan rumput raja
(Pennisetum purpupoides) berproduksi bahan kering antara 40 – 63 ton
ha-1 tahun-1 (Siregar, 1989). Namun kedua jenis rumput tersebut
memiliki kelemahan yaitu memerlukan kesuburan tanah yang tinggi dan
harus selalu tersedia air karena tidak tahan kekeringan yang panjang.
Oleh karena itu perlu diupayakan jenis rumput dengan
kemampuan produksi dan kualitas mendekati rumput gajah. Dari hasil
seleksi yang dilakukan di Balitnak, saat ini sebagai alternatif adalah jenis
Panicum maximum yang telah tersebar di daerah tropis. Rumput ini tidak
diragukan lagi yang terbaik di AsiaTenggara sebagai rumput pastura
(L.’Tmannetje dan Jones, 1992). Horne dan Stur (1995)
merekomendasikan rumput ini untuk rumput potong maupun rumput
gembala. Manidool (1989) menganjurkan menanam rumput benggala
sebagai rumput pastura dibawah perkebunan kelapa di Thailand Selatan.
Kabupaten Blora merupakan daerah populasi ternak sapi ongole
namun sering kekurangan pakan terutama musim kemarau dan
kekurangan selalu berulang setiap tahun. Menurut Subiharta et al. (2005)
peternak di Blora mengalami kekurangan pakan pada musim kemarau
sampai 90,5 %. Hal ini karena Kabupaten Blora termasuk daerah
beriklim kering dengan curah hujan 1752 mm/th dengan bulan kering dari
April – Oktober. Makalah ini mempelajari produktivitas P.maximum cv
Purpleguinea pada perbedaan interval potong di lahan kering beriklim
kering.

111
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Blora merupakan daerah
dengan tipe iklim D ( Schmith dan Ferguson, 1951). Curah hujan
terendah (musim kering) pada bulan April sampai Oktober dengan rata-
rata tahunan 1946 mm tahun-1. Tinggi tempat 100 m dari muka laut
dengan jenis tanah vertisol. Penelitian menggunakan rumput panicum
(Panicum maximum cv Purpleguinea) yang ditanam dengan pols.
Rancangan percobaan acak kelompok dengan perlakuan umur potong 40,
50 dan 60 hari dan ditanam di lahan lima petani koperator sebagai
ulangan,
Ukuran petak percobaan adalah 4 X 5 m, jarak tanam 0.5 x 1,0 m
atau per ha 15000 tanaman. Pengolahan tanah menggunakan cangkul
dilakukan seminggu sebelum penanaman dan setelah tanah bersih dari
gulma diberi pupuk kandang 10 ton ha-1. Tektur tanah pasir 72 %, liat 11
% dan debu 7 %, pH tanah 8,2. Kandungan bahan organik C/N ratio 12
%, kandungan P2O5 9 ppm, K2O 89 ppm, Ca 8,34 % dan Zn 85 ppm.
Parameter yang diamati tinggi tanaman, jumlah tunas produksi
hijauan berat segar dan berat kering. Pengambilan sampel secara
komposit untuk analisa kualitas hijauan dilaboratorium meliputi protein
kasar, serat kasar, Ca, dan P.
Tabel 1.Jumlah hari hujan dan curah hujan di lokasi penelitian Kec Jepon
Kabupaten Blora tahun 2012
Bulan
Parameter
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Curah
132 42 97 7 18 3 0 0 0 27 181 149
hujan (mm)
Hari hujan 25 16 14 8 8 3 0 0 0 6 15 14
Sumber : Data curah hujan di BPP Blora

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pertumbuhan
Hasil pengamatan morfologi rumput Panicum maximum cv
purpleguinea meliputi tinggi tanaman dan jumlah tunas per rumpun

112
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
dilakukan sebelum pemanenan hijauan pada perbedaan umur potong
seperti pada Gambar 1, 2 dan Tabel 1.

Gambar 1 : Rataan pertumbuhan tanaman per rumpun sebelum


pemotongan

Gambar 2. Rataan jumlah tunas per panen sebelum panen

Pada gambar 1 terlihat rataan tinggi tanaman dari panen


pertama – panen kedelapan tidak banyak perbedaan tinggi tanaman
walaupun umur potong berbeda. Kecuali panen ke empat pada interval
panen 60 hari tertinggi. Kemudian pada panen berikutnya pada semua
perlakuan menurun.
Selanjutnya pada Gambar 2 jumlah tunas dari panen pertama
sampai panen kedelapan pada umur potong 50 hari paling rendah dan
tertinggi pada umur potong 60 hari. Hal ini nampaknya rumput panicum
dengan interval potong lebih lama rata-rata pertumbuhan tunas tertinggi.
Karena kesempatan tumbuh lebih lama sehingga proses fotosintesa lebih
baik dan menghasilkan energi untuk pertumbuhan. Hal ini juga seperti

113
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

yang dilaporkan oleh Siregar et al (1980) pada rumput P. maximum


dengan interval panen lebih lama produksinya lebih tinggi. Hasil hijauan
seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan tinggi tanaman, jumlah tunas dan produksi hijauan


dengan perbedaan umur potong
Interval panen (hari)
Parameter
40 50 60
Tinggi tanaman (cm) 43.59 a 43.50 a 44.19 a
Jumlah tunas/rumpun (buah) 49.09 a 46.15 a 51.38 b
Produksi berat kering (g/rumpun) 56,35 a 67.61 b 53.50 a
Produksi kg/ ha/th/panen 845,25 1014,15 802,50

Angka yang diikuti huruf sama dalam baris sama tidak beda nyata (P<0,05)

Pada Tabel 2 diatas terlihat hasil pengamatan komponen produksi


hijauan perlakuan beda umur potong rata-rata hasil bahan kering
tertinggi pada interval panen 50 hari (1,01 t/ha/panen), kemudian diikuti
umur 40 hari (0,85 t/ha/panen) dan terendah pada umur 60 hari (0,80
t/ha/panen). Lebih rendahnya pada umur 60 hari disebabkan jumlah
tunasnya yang lebih banyak sehingga pertumbuhan juga rendah dan
batangnya kecil. Hasil penelitian ini masih lebih rendah dari yang
dilaporkan Sajimin et al (2004) dan Sajimin et al (2005) yang ditanam di
Bogor. Kemudian hasil penelitian Purwantari et al., (2002) produksi
rumput Panicum tidak beda banyak dari yang di laporkan produksinya
rumput panicum mencapai 11,1 - 13,8 t/ha/th.
Rendahnya produksi hijauan dalam penelitian ini nampaknya
Blora merupakan daerah iklim kering dengan curah hujan rendah (Tabel
1). Rata-rata musim kering mencapai enam bulan dan sebaran hujan juga
tidak merata sehingga menyebabkan pertumbuhan tanaman kekurangan
air untuk pertumbuhan. Seperti yang kemukakan Heryani et al (1998)
pertumbuhan tanaman yang kekurangan air mempengaruhi pertumbuhan
vegetatif. Pengaruh kekeringan ini nampaknya juga terjadi pada
P.maximum Cv Purpleguinea yang ditanam di Blora. Walaupun
produksinya rendah masih dapat digunakan sebagai sumber hijauan

114
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
pada musim kering. Karena rataan produksi setiap panen tetap setabil
seperti pada Gambar 3.

A: umur panen 40 hari B. Umur panen 50 hari

C. Umur panen 60 hari


Gambar 3. Rataan produksi hijauan pada perbedaan interval panen
rumput P.maximum cv Purpleguinea

Pada Gambar 3, dengan perbedaan umur potong rata-rata


produksi hijauan tiap panen naik turun kecuali yang umur panen 60 hari
produksi tertingga pada panen keempat kemudian menurun. Sedangkan
pada umur panen 50 hari penurunan produksi dari panen ke empat
sampai ke delapan tidak banyak. Berdasarkan hasil tersebut
mengindikasikan produktivitas hijauan tetap stabil sehingga dapat
digunakan sebagai sumber hijauan pakan sepanjang tahun yang
berkualitas dengan nilai nutrisi yang dapat memenuhi standar pakan
ternak ruminansia (Tabel 3)

Kandungan nutrisi hijauan rumput


Hasil analisa kualitas hijauan secara komposit seperti yang tertera
pada Tabel 3.

Tabel 3: Hasil analisa nilai nutrisi hijauan rumput P.maximum cv


purpleguinea pada umur potong berbeda

115
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Perlakuan Protein
Serat fosfor Calsium Energi
Umur kasar Abu
kasar (%) (%) (%) (kkal)
potong (%)
40 (hari) 8,88 35,06 0,09 0,51 11,12 3825
50 (hari) 8,24 42,22 0,06 0,88 12,36 3863
60 (hari) 7,26 33,12 0,05 0,63 12,63 3599

Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai nutrisi rumput yang


diintroduksikan di lahan kering mempunyai kandungan protein kasar rata-
rata tertinggi pada umur potong 40 hari (8,88 %), kemudian diikuti umur
potong 50 hari (8,24 %) dan terendah pada umur potong 60 hari (7,26 %)
Sedangkan kandungan serat kasar dengan perbedaan umur potong tidak
berbeda banyak 33,12 % - 42,22 %, demikian juga kandungan fosfor
maupun abu. . Jika dibandingkan dengan standar NRC sebagai pakan
ternak ruminansia, hasil analisa rumput yang diintroduksikan masih
dapat untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. (Rayburn, 2009). Selain
itu kelebihan rumput P.maximum Cv Purpleguinea adalah jenis ini tidak
berbatang sehingga hampir semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan
secara maksimal, selain itu memiliki kandungan protein kasar 9,2–18,7%
(Thomas, 1976)
Walaupun kandungan nutrisi hijauan memenuhi syarat tapi untuk
kebutuhan ternaknya harus sesuai dengan kebutuhan hidup pokoknya
sehingga daya dukung pakan ternak perlu ditingkatkan.

KESIMPULAN
Introduksi tanaman pakan ternak di lahan kering menunjukkan
pertumbuhan yang baik dengan produksi berat kering yang stabil pada
rumput P.maximum cv Purpleguinea rata-rata perpanen ha tertinggi pada
interval panen 50 hari mencapai 1,04 t/ha/th dengan kandungan protein
kasar hijauan tertinggi 8,88 %. Sedangkan serat kasar 42,22 %.

116
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
DAFTAR PUSTAKA
Heryani, N., Darmiyati. S, H. Syahbudin, Y. Apriyana dan Irsal Las. 1998.
Pengaruh curah hujan terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai pada
tanah vertisols dan Entisols. J. Agroklimat 13: (1) : 55 – 70.
Hayne, K. 1950. De nuttige plantea van Indonesi. (Tumbuhan Berguna Indonesia.
Jilid I. Terj. Cetakan ke I. 1987. Badan Litbang Kehutanan. Jakartaa.
Yayasan Sarana wanaJaya. Jakarta.
Horne, P. M and W. W. Stur. 1995. Developing forage technologies with
smallholder farmers: How to select the best varieties to offer farmers in
southeast Asia. ACIAR monograph. No. 62.
L.T’Mannetje and R. M. Jones., 1992. Forages (Edi). Plant Resource of South-
East Asia (PROSEA). No.4. Wageningen, Netherlands and Bogor
Indonesia.
Manidool, C. 1989. Pastures under coconut in Thailand. ACIAR Forage News
letter. No.12.
Purwantari, N.D., B.R. Prawiradiputra dan Sajimin. 2002. Teknologi hijauan
Pakan Ternak dengan sistem Alley Croping. Temu Profesi Agribisnis
Peternakan. Tasikmalaya.
Rayburn, E.B., 2009. Nutrient Requirments for Beef Cattle. Forage management.
West Virginia University. 6p. www:wvu.edu/aqexten. 2/7/2011
Sajimin, Y. C. Rahardjo dan N. D. Purwantari. 2004. Evaluasi produksi tanaman
pakan ternak P. maximum cv Riversdale dengan penggunaan manure
kelinci. Makalah dibawakan pada acara Seminar Nasional Klinik
Teknologi pertanian sebagai basis pertumbuhan usaha agribisnis menuju
petani nelayan mandiri yang diselenggarakan oleh BPTP Sulut di
Menado tanggal 9–10 Juni 2004.
Sajimin, E.Sutedi, N.D. Purwantari dan B.R. Prawiradiputra. 2005. Agronomi
rumput Benggala (P. Maximum Jacq) dan pemanfaatannya sebagai
rumput potong. Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak.
Puslitbangnak Bogor . P: 121-129.
Siregar, M. E. 1989. Produksi hijauan dan nilai nutrisi tiga jenis rumput
Pennisetum dengan sistem potong angkut. Prosiding Pertemuan Ilmiah
Ruminansia. Pusliotbangnak. Bogor. P 1-4.
Siregar, M. E., M. Martawijaya dan T. Herawati. 1980. Pengaruh tatalaksana
interval panen terhadap kuantitas dan kualitas produksi rumput benggala
(P. maximum cv Guinea). Bulletin Lembaga Penelitian Peternakan. No.
26.
Subiharta. 2005 IN. B.Sudaryanto, K.Subagyono, Subiharta, Ernawati, B.Utomo,
R.N. Hayati A.Rivai, A.S.Romdan. Laporan akhir. Pemetaan wilayah sapi
berpotensi beranak kembar dan identifikasi pakan yang berpengaruh
terhadap kelahiran kembar di Provinsi Jawa Tengah. BPTP. Jawa
Tengah. 93p.
Thomas. D. 1976. Evaluation of cultivar of Panicum on the Lilongwe Plain,
Malawi. Trop. Agric. Trinidad Vol 53 (3). p 223 –230.

117
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

RESPON FISIOLOGI DAN PROFIL GEN P5CS


GENOTIPE RUMPUT TERHADAP CEKAMAN
KEKERINGAN
Siti Kurniawati, N. Sri Hartati dan Enny Sudarmonowati

Pusat Penelitian Bioteknologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia


Jl. Raya Bogor Km.46, Cibinong 16911
Email: siti.kurniawati@lipi.go.id

ABSTRAK
Rumput merupakan pakan utama ternak ruminansia yang dibutuhkan untuk
kelangsungan hidupnya sehingga dapat berproduksi dan bereproduksi.
Ketersediaan pakan ternak yang baik secara kualitas maupun kuantitas
merupakan aspek penting dalam menjaga kestabilan produktivitas ternak.
Kemarau merupakan kendala utama yang dihadapi peternak dalam penyediaan
pakan hijauan karena ketersediaan air di tanah merupakan faktor pembatas bagi
pertumbuhan tanaman. Prolin adalah osmoprotektan penting pada tanaman
dalam merespon cekaman abiotik terutama kekeringan. Δ 1-pyroline-5-
carboxylate synthetase (P5CS) merupakan enzim kunci dalam biosintesis prolin.
Pada penelitian ini dilakukan perlakuan cekaman kekeringan pada 11 genotipe
rumput selama 39 hari cekaman. Pada 19 HSP cekaman kekeringan, genotipe
rumput gajah menunjukkan peningkatan kandungan prolin yang sangat nyata
sebesar 414,18 µmol g-1 dan meningkat pada 39 HSP menjadi 606,83 µmol g-1.
Pada 39 HSP, peningkatan yang tajam juga terjadi pada genotipe rumput codot
yaitu sebesar 745,70 µmol g-1. Tiga fragmen gen P5CS putative berhasil
diamplifikasi dari genotipe rumput terinduksi 39 HSP cekaman kekeringan
dengan ukuran ± 500, 700 dan 1.000 pb.

Kata kunci : Rumput, kekeringan, prolin, pakan, P5CS

PENDAHULUAN
Pengembangan sektor peternakan terutama ternak ruminansia
besar seperti sapi, 80% faktor yang mempengaruhi produktivitasnya
adalah pakan (Soesetyo, 1980). Rumput merupakan pakan hijauan segar
utama yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup ternak agar dapat
berproduksi dan bereproduksi. Pakan yang cukup secara kuantitas dan
kualitas tidak akan merubah sifat genetik dari ternak akan membentuk
sifat-sifat baik seperti pertumbuhan menjadi lebih sempurna dan

118
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
berkembang lebih cepat, persentase karkasnya menjadi lebih tinggi dan
lebih tahan terhadap penyakit.
Keterbatasan penyediaan pakan hijauan segar secara
berkesinambungan sering dihadapi oleh peternak terutama pada musim
kemarau. Untuk mengatasi ketersediaan pakan terutama jenis rumput-
rumputan melalui seleksi atau perakitan bibit unggul, maka perlu
dilakukan serangkaian penelitian terhadap beberapa genotipe tanaman
rumput yang memiliki toleransi lebih baik terhadap cekaman kekeringan.
Cekaman kekeringan merupakan salah satu cekaman abiotik yang paling
berpengaruh dalam pertumbuhan dan penurunan produktivitas tanaman.
Ketika tanaman mengalami cekaman maka terjadi pengalihan
penggunaan senyawa penting yang semula digunakan untuk
pertumbuhan kemudian digunakan untuk memproduksi senyawa yang
dapat mengatur tekanan osmotik sel (osmotic adjustment) sehingga
retensi air dan turgor sel meningkat (Achard et al., 2006).
Prolin merupakan salah satu asam amino proteinogenic yang
sangat berperan dalam penyesuaian tekanan osmotik dan inisiasi
metabolisme (Szabados & Savouré, 2009). Fungsi lain prolin yaitu diduga
berhubungan dengan kemampuan prolin bertindak sebagai
osmoregulator, agen pelindung bagi enzim-enzim sitoplasma dan enzim-
enzim membrane (Sopandie, 2006), menjaga kelarutan protein,
kestabilan membrane fosfolipid dan sebagai sumber cadangan karbon,
nitrogen dan energy (Walton et al., 1998).
Kemble & McPherson (1954) pertama kali mengamati fenomena
akumulasi senyawa prolin sebagai respon fisiologi tanaman tingkat tinggi,
yaitu tanaman gandum ketika mengalami cekaman kekeringan. Tingkat
akumulasi senyawa prolin saat kondisi cekaman kekeringan berbeda
antar spesies tanaman (Verbruggen & Hermans, 2008). Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang tercekam kekeringan
mengakumulasi prolin lebih tinggi dibandingkan tanaman kontrolnya
(Kishor et al., 2005; Hien et al., 2003, Amini et al., 2014). Menurut Sairam
119
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

et al. (2002), pengukuran akumulasi senyawa prolin merupakan kriteria


penting penentuan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dan
menyarankan untuk menggunakan akumulasi prolin sebagai karakter
dalam seleksi cekaman kekeringan. Prolin juga ditranspor ke bagian
ujung akar terutama pada zona pemanjangan akar untuk merangsang
pertumbuhan akar sebagai respon awal ketika terjadi defisit air (Voetberg
& Sharp, 1991).
Pada tanaman tingkat tinggi, prolin dapat disintesis melalui dua
jalur yaitu glutamate dan ornithine/arginine sebagai prekusor (Ekchaweng
et al., 2012; Su et al., 2012; Li et al., 2014). Jalur glutamate merupakan
jalur utama pada kondisi cekaman. Pada jalur glutamate, sintesis prolin
dikatalisis oleh dua enzim, yaitu pyrroline-5-carboxylate synthetase
(P5CS; EC 2.7.2.11) dan pyrroline-5-carboxylate reductase (P5CR; EC
1.5.1.2) (Ekchaweng et al., 2012).
Hasil penelitian Jiang et al. (2010) menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan ekspresi gen P5CS dan gen P5CR pada tanaman rumput
(Lolium perenne L.) genotipe toleran yang mengalami cekaman
kekeringan selama 7 hari. Menurut Sharma et al. (2011), Ketika potensial
air rendah, sintesis prolin meningkat terutama pada jaringan fotosintesis
dari tajuk (Pro-source), di-tunjukkan dengan meningkatnya ekspresi dari
Δ1-pyrroline-5-carboxylate synthetase1 (P5CS1) dan Δ1-pyrroline-5-
carboxylatereductase (P5CR).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat akumulasi
senyawa prolin pada beberapa genotipe rumput sebagai respon fisiologi
terhadap cekaman kekeringan dan mengisolasi gen P5CS yang berperan
dalam biosintesis senyawa prolin sehingga dapat digunakan dalam
perakitan tanaman rumput toleran terhadap cekaman kekeringan.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai dengan
September 2014 di Rumah Kaca dan Laboratorium Genetika Molekuler
Tanaman dan Modifikasi Jalur Biosintesis, Pusat Penelitian Bioteknologi-

120
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor. Bahan
tanaman yang digunakan adalah delapan (8) genotipe rumput yang
berasal dari daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) , Indonesia dan tiga (3)
genotipe merupakan koleksi Puslit Bioteknologi LIPI - Cibinong (Tabel 1).
Media perbanyakan tanaman terdiri atas campuran tanah dan pasir
dengan perbandingan 1:1 (v/v), dan media tanam terdiri atas campuran
tanah, pasir dan kompos dengan perbandingan 1:1:1 (v/v/v). Media
dimasukkan ke dalam polybag berdiameter 30 cm dan tinggi 20 cm.
Setiap wadah berisi 8 kg campuran media. Perlakuan cekaman
kekeringan dilakukan selama 39 hari menggunakan rancangan acak
kelompok terdiri dari 2 perlakuan dan 3 ulangan. Data dianalisis dengan
analisis statistik sidik ragam (ANOVA), bila berbeda nyata maka
dilanjutkan dengan uji Duncan.

Tabel 1. Genotipe rumput dan lokasi asalnya.


No. Nama Genotipe Asal
1 Raja Puslit Bioteknologi LIPI
2 Codot Puslit Bioteknologi LIPI
3 Gajah Puslit Bioteknologi LIPI
4 Kakumi1 NTB
5 Kakumi2 NTB
6 Kakumi3 NTB
7 Pataha NTB
8 Kawio1 NTB
9 Kawio2 NTB
10 Kabisa NTB
11 Ngame NTB

Pengukuran Kadar Air Media (KAM)


Pengukuran KAM dilakukan secara gravimetri dengan mengambil
sampel tanah ± 10 gram (di bagian atas, tengah dan bawah). Sampel
tanah ditimbang untuk memperoleh bobot basah (BB), kemudian dioven
pada suhu 80ºC selama 48 jam untuk mendapatkan bobot kering (BK).
KAM diperoleh dengan persamaan sebagai berikut :
BB  BK
KAM(%)  x100%
BB

121
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Pengukuran Kadar Air Relatif (KAR) daun


KAR daun ditetapkan mengikuti metode Barr & Weatherley (1962)
yang dimodifikasi. Sampel daun ditimbang untuk memperoleh bobot
segar (BS), kemudian dilakukan hidrasi selama 24 jam di dalam botol vial
untuk memperoleh bobot jenuh (BJ). Sebelum pengukuran BJ, sampel
terlebih dahulu ditiriskan menggunakan kertas tissue. Sampel daun
selanjutnya dioven pada suhu 80ºC selama 48 jam untuk mendapatkan
bobot kering (BK), sebelum penimbangan telah didinginkan di dalam
desikator. KAR daun diperoleh dengan persamaan sebagai berikut :
BS  BK
KAR(%)  x100%
BJ  BK

Analisis Prolin
Kandungan prolin dianalisis mengikuti metode Bates et al. (1973)
yang dimodifikasi. Untuk menentukan konsentrasi prolin dalam sampel
digunakan prolin murni sebagai larutan standart. Asam ninhidrin
disiapkan sebagai pereaksi dengan menghangatkan 1,25 g ninhidrin
dalam 30 ml asam asetat glasial dan 20 ml 6 M asam fosfat dengan suhu
80ºC sampai larut. Sampel daun diekstraksi dalam 10 ml asam
sulfosalisilik 3% dan disentrifugasi selama 10 menit pada suhu 4ºC
dengan kecepatan 12.000 rpm. Dua ml filtrate direaksikan dengan 2 ml
asam ninhidrin dan 2 ml asam asetat glasial pada tabung reaksi selama 1
jam pada suhu 100ºC. Reaksi dihentikan dengan mendinginkan larutan
dalam ice-bath. Campuran kemudian diekstraksi dengan 4 ml toluene,
divorteks selama 20 detik. Hasil pemisahan larutan fase atas kemudian
diabsorbansi pada λ 520 nm dengan spektrofotometer. Sebagai blangko
digunakan toluene. Konsentrasi prolin ditentukan dari kurva standar dan
dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut :
( g prolin / ml toluen ) / 115 .5 g / mol
( g sampel ) / 5
= µmol prolin / g bobot segar sampel

122
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Isolasi RNA total Daun dan Sintetis first strand cDNA
Bahan tanaman yang digunakan untuk isolasi gen P5CS adalah
daun rumput yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan 39 Hari,
Perancangan primer berdasarkan dua fragmen complete cDNA
(GenBank aksesi KC896627.1 dan HQ637435.1). Isolasi RNA total
dilakukan menggunakan kit trizol dan prosedur yang sama dengan
protokol reagen Trizol (Invitrogen, US). Sintesis cDNA dilakukan dengan
metode RT-PCR menggunakan RevertAid First Strand cDNA Synthesis
Kit (Fermentas) sesuai prosedur. Komposisi sintesis cDNA total adalah 5
μg RNA total, 1x reaction buffer, 1 u Ribolock RNAse Inhibitor, 1 mM
dNTP mix, 5 μM Oligo(dT)18 Primer, 10 u RevertAid M Reverse
Transcriptase, dan nuclease free water dengan volume reaksi 20 μl. RT-
PCR dilakukan dengan menginkubasi campuran reaksi pada suhu 42°C
selama 60 menit dan suhu 70°C selama 5 menit.

Amplifikasi Fragmen cDNA Gen P5CS


Amplifikasi fragmen cDNA gen P5CS parsial dilakukan
menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan cDNA sebagai
cetakan dan primer hasil degenerate yaitu P5CS-Fw (5’-
ATGGCSMCCGCCGACCCCAA-3’) dan P5CS-Rv (5’-
TCATTGCAAAGGAAGRYTCT-3’). Optimasi kondisi PCR dilakukan untuk
menghasilkan fragmen DNA target, yang meliputi suhu annealing, jumlah
siklus dan konsentrasi ion Mg2+.
Hasil reaksi PCR divisualisasikan menggunakan elektroforesis
pada gel agarose konsentrasi 1.5% dengan buffer TAE 1X . Produk
elektroforesis kemudian direndam dalam larutan Ethidium Bromide
selama 15 menit dan visualisasi pita DNA selanjutnya dilakukan
menggunakan GelDoc.

123
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kadar Air Mineral (KAM) beberapa genotipe tanaman rumput
berbeda nyata pada 39 hari setelah perlakuan (HSP) cekaman
kekeringan. Penurunan KAM terjadi sekitar 41% - 60% (Gambar 1).
Status KAM pada genotipe Codot hanya 12,38%, dimana kondisi tersebut
sudah berada dibawah ambang batas tanaman untuk tumbuh baik jika
menggunakan jenis media tanam tanah berpasir. Tanaman pada media
tanah berpasir harus memiliki kadar air kisaran 15%, jika kadar air kurang
dari kisaran tersebut maka kebutuhan tanaman tidak terpenuhi (Hanafiah,
2005). Kadar air media menggambarkan besarnya air tersedia yang
diserap oleh tanaman untuk pertumbuhan hingga batas air tidak tersedia
akan menyebabkan kelayuan.

Gambar 1. Status kadar air media 11 genotipe rumput antara kondisi


optimum dan perlakuan cekaman kekeringan pada 39 HSP.

Penurunan KAM diiringi dengan penurunan KAR daun.


Penurunan KAR daun pada 39 HSP tertinggi terjadi pada genotipe Gajah
(81,27%) dan Codot (66,94%) dibandingkan dengan rata-rata penurunan
KAR genotipe rumput liar lainnya (9,02%) (Gambar 2). Genotipe Kawio1
mengalami penurunan KAR terkecil (3,07%). Berdasarkan analisis sidik
ragam, penurunan KAR 11 genotipe rumput berbeda nyata antara kondisi
optimum dengan perlakuan cekaman kekeringan pada 39 HSP.

124
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P

Gambar 2. Status kadar air relative daun 11 genotipe rumput antara


kondisi optimum dan perlakuan cekaman kekeringan pada
39 HSP.

Menurut Rampino et al. (2006), KAR daun menunjukkan status air


tanaman dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi genotipe toleran
terhadap cekaman. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa genotipe
rumput liar yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan selama 39
hari tidak berbeda nyata dengan kondisi optimum, sehingga diduga
genotipe rumput liar yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
genotipe toleran. Hal tersebut teramati pada keragaan tanaman antara
kondisi optimum dan perlakuan yang tetap bugar (Gambar 3).
Haryadi & Yahya (1988) menyatakan bahwa kemampuan sel-sel
daun untuk menjaga tegangan air tetap tinggi merupakan salah satu
mekanisme tanaman untuk menghindari pengaruh kekeringan. Menurut
Ahmadizadeh (2013), kultivar yang memiliki kadar air relatif daun lebih
tinggi merupakan kultivar yang lebih toleran.

125
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

A B

KONTROL CEKAMAN KONTROL CEKAMAN

Gambar 3. Keragaan tanaman rumput genotipe Codot (A) dan genotipe


Pataha (B) pada kondisi optimum dan perlakuan cekaman
kekeringan 39 HSP.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan cekaman


kekeringan berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan senyawa
prolin dibandingkan kondisi optimum pada 39 hari setelah perlakuan
(HSP). Peningkatan kandungan senyawa prolin sudah terjadi pada 19
HSP cekaman kekeringan. Peningkatan senyawa prolin berkorelasi
negative dengan KAM (0,596).
Genotipe Gajah merupakan genotipe yang lebih awal mengalami
peningkatan kandungan prolin dengan nilai tertinggi pada 19 HSP yaitu
sebesar 414,18 µmol g-1(Gambar 4A). Pada 39 HSP, genotipe Codot
mengalami peningkatan kandungan prolin sangat tajam (745,70 µmol g-1)
diikuti oleh genotipe Gajah (606,83 µmol g-1), Kakumi3 (282,51 µmol g-1),
Kawio2 (101,07 µmol g-1) dan Ngame (100,46 µmol g-1) (Gambar 4B).
Peningkatan prolin secara tajam pada 39 HSP cekaman kekeringan
menunjukkan bahwa tanaman dalam keadaan tercekam sangat berat.

126
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
A

Gambar 4. Kandungan prolin dari jaringan daun 11 genotipe rumput


antara kondisi optimum ( ) dan cekaman kekeringan ( )
pada 19 HSP (A) dan 39 HSP (B).

Menurut Alcázar et al. (2011), defisit air dapat memodulasi sinyal


kimia salah satunya adalah asam absisat (ABA) dari akar yang dikirim ke
tajuk, sehingga menginduksi akumulasi prolin di daun. Prolin yang
terakumulasi di daun sebagian digunakan sebagai senyawa pelindung
terhadap senyawa makromolekul dan enzim dari kerusakan akibat
cekaman kekeringan dan sebagian ditanspor ke akar untuk merangsang
pertumbuhan akar (Ekchaweng et al., 2012). Peningkatan senyawa prolin

127
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

genotipe Gajah dan Codot disertai dengan peningkatan panjang akar


yang lebih besar pada tanaman yang mendapat perlakuan cekaman
kekeringan selama 39 hari dibandingkan dengan tanaman pada kondisi
optimum, walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
(Gambar 5).
Peningkatan kandungan senyawa prolin genotipe Codot pada 39
HSP cekaman kekeringan hampir mencapai 76 kali lipat dibandingkan
kandungan prolin pada kondisi optimumnya. Hasil penelitian Bandurska
et al. (2010) menyebutkan bahwa kandungan prolin pada rumput
genotipe toleran red fescue meningkat 2 kali lipat jika dibandingkan
dengan genotipe peka perennial ryegrass setelah 18 hari perlakuan
cekaman kekeringan dan peningkatan kandungan prolin sudah terjadi
setelah hari ke-5 HSP.

a b

CEKAMAN KONTROL CEKAMAN KONTROL

Gambar 5. Profil panjang akar genotipe Gajah (a) dan Codot (b) pada
kondisi optimum dan cekaman kekeringan 39 HSP.
Jika dikaitkan dengan tingginya penurunan nilai KAR daun pada
cekaman kekeringan 39 HSP dibandingkan dengan tanaman pada
kondisi optimumnya, peningkatan kandungan prolin yang tinggi pada
genotipe Codot dan genotipe Gajah bukan berarti menunjukkan bahwa
kedua genotipe merupakan genotipe toleran terhadap cekaman

128
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
kekeringan. Menurut Akram et al. (2007) akumulasi senyawa compatible
solute antara lain prolin merupakan salah satu mekanisme adaptasi
tanaman untuk dapat tetap tumbuh pada kondisi cekaman kekeringan.
Hal tersebut ditandai dengan terakumulasinya senyawa prolin yang lebih
tinggi pada kondisi cekaman 50% dibandingkan pada kondisi cekaman
75% populasi rumput genotipe peka C. ciliaris. Sedangkan pada populasi
rumput genotipe toleran Cynodon dactylon tidak terdapat perbedaan
diantara dua kondisi cekaman. Akumulasi prolin dapat terjadi melalui dua
mekanisme, yaitu peningkatan ekspresi enzim-enzim yang terkait dengan
sintesis prolin dan penurunan aktivitas degradasi prolin (Mohammadkhani
& Heidari (2008).
Akumulasi senyawa prolin berkorelasi negatif dengan status KAR
daun. Peningkatan prolin yang tinggi pada genotipe Gajah dan Codot
diduga karena kemampuannya yang rendah dalam menjaga kehilangan
air dalam sel. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan KAR yang sangat
besar pada kedua genotipe. Pada beberapa genotip seperti Kawio2,
Kakumi3 dan Ngame yang memiliki perbedaan KAR yang rendah antara
tanaman perlakuan dan kontrol (kondisi optimum) menunjukkan adanya
peningkatan kadar prolin pada kondisi cekaman. Data tersebut
menunjukkan bahwa pada genotipe rumput yang diuji akumulasi senyawa
prolin merupakan salah satu respon terhadap cekaman kekeringan. Jika
dikelompokkan berdasarkan nilai KAR dan akumulasi prolin, seluruh
genotipe yang diuji dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu,
tanaman dengan penurunan KAR yang tinggi disertai peningkatan prolin
sangat tinggi dan tanaman dengan penurunan KAR rendah dengan
peningkatan prolin yang tidak terlalu tinggi. Peningkatan prolin yang tidak
terlalu signifikan pada tanaman yang responsif terhadap cekaman
kekeringan atau yang memiliki nilai KAR tetap tinggi (Kawio2, Kakumi3
dan Ngame), diduga karena memiliki tingkat toleransi terhadap cekaman
yang lebih tinggi sehingga nilai akumulasi prolin tidak setinggi
dibandingkan kelompok pertama.

129
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Hasil isolasi RNA total daun 11 genotipe rumput

RNA total dari daun 11 genotipe rumput telah berhasil diisolasi.


Analisis keutuhan RNA total dilakukan dengan elektroforesis di gel
agarosa. Hasil elektroforesis RNA total menunjukkan adanya dua pita
RNA yang dominan yaitu RNA ribosomal (rRNA) 28S dan 18S (Gambar
5a). Hal ini mengindikasikan kondisi keutuhan RNA total yang telah
diisolasi adalah utuh, sehingga diduga mRNA yang terdapat di dalam
RNA total juga utuh. Keutuhan mRNA sangat penting dalam sintesis
cDNA.
Gen P5CS tanaman rumput diisolasi menggunakan primer hasil
degenerate yang dirancang berdasarkan dua aksesi gen P5CS rumput
yang sudah terdeposit pada GenBank dengan nomor aksesi KC896627.1
dan HQ637435.1. Primer diharapkan dapat mengamplifikasi gen P5CS
tanaman rumput pada daerah terkonservasi dan daerah sekuen penuh
gen (full-length gene) dengan ukuran 2.200 pasang basa.
Hasil visualisasi elektroforesis cDNA memperlihatkan bahwa PCR
dengan primer P5CS hasil degenerate menghasilkan sedikitnya tiga pita
DNA, yaitu kisaran 500, 700 dan 1.000 pb (Gambar 5b). Pada tahapan
optimasi suhu annealing, diharapkan terbentuknya satu pita spesifik pada
gel agarosa dengan ukuran kisaran 2.200 pb, namum berdasarkan hasil
uji kuantitatif diperoleh pita lebih dari satu dan berukuran lebih kecil dari
gen P5CS target. Menurut Yuwono (2006), suhu annealing yang rendah
menyebabkan primer menempel kurang spesifik pada DNA cetakan.
1 2 3 4 5 6 7 8 Ladder 1 Kb
a b

Gambar 5. Elektroforegram RNA total daun 11 genotipe rumput hasil


isolasi (a); elektroforegram hasil PCR dengan optimasi suhu
54°C [line 1,2,3,4] dan suhu 55°C [line 5,6,7,8] serta

130
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
konsentrasi MgCl2 2,0 mM [line 1,3,5,7] dan MgCl2 8.0 mM
[line 2,4,6,8] gen P5CS parsial putative(b)

KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan cekaman
kekeringan berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap status kadar air media,
kadar air relative daun dan kandungan senyawa prolin daun. Setiap
genotipe tanaman rumput yang digunakan memiliki peningkatan senyawa
prolin yang berbeda. Genotipe Codot dan Gajah yang merupakan
genotipe koleksi budidaya mengalami peningkatan kandungan senyawa
prolin paling tinggi setelah 39 hari cekaman kekeringan. Peningkatan
senyawa prolin mencapai hingga 76 kali lipat dari kondisi optimumnya.
Genotipe rumput liar yang berasal dari NTT yang mengalami peningkatan
senyawa prolin hanya pada genotipe Kawio2, Kakumi3 dan Ngame.
Peningkatan senyawa prolin hanya mencapai 9 kali lipat antara kondisi
cekaman kekeringan dan kondisi optimum. Fragmen gen P5CS putative
telah berhasil diisolasi dari tanaman rumput dengan ukuran ± 500, 700
dan 1000 pb lebih kecil dari ukuran gen P5CS target yang diharapkan
yaitu sebesar 2.200 pb.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Program Prioritas
Nasional Milk Meat-Pro LIPI 2014. Terima kasih disampaikan kepada
Bapak Nanang Taryana dan M. Ussen atas bantuan teknis di lapangan
dan di laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA
Achard P, Cheng H, De-Grauwe L, Dect J, Schoutteten H, Moritz T, VanDer
Straeten D, Peng J dan Harberd NP. 2006. Integration of plant responses
to environmentally activated phytohormonal signals. Science 311(5757):
91-94.
Ahmadizadeh M. 2013. Physiological and agro-morphological response to
drought stress. Middle-east J Sci Res. 13 (8): 998-1009.
Akram NA, Shahbaz M dan Ashraf M. 2007. Relationship of photosynthetic
capacity and proline accumulation with the growth of differently adapted
populations of two potential grasses (Cynodon dactylon (L.) Pers. and
Cenchrus ciliaris L.) to drought stress. Pak. J. Bot 39(3): 777-786.

131
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Alcázar R, Bitrián M, Bartels D, Koncz C, Altabella T, Tiburcio AF. 2011.


Polyamine metabolic canalization in response to drought stress in
Arabidopsis and the resurrection plant Craterostigma plantagineum. Plant
Signal Behav. 6: 243-250.
Amini H, Arzani A, Karami M. 2008. Effect of water deficiency on seed quality
and physiological traits of different safflower genotypes. Turkish Journal
of Biology 38: 1-12.
Bandurska H dan Jóźwiak W. 2010. A comparison of the effects of drought on
proline accumulation and peroxidases activity in leaves of Festuca rubra L.
and Lolium perenne L.. Acta Societatis Botanicorum Poloniae 79(2): 111-
116.
Barr HD, Weatherley PE. 1962. A re-examination of the relative turgidity
techniques for estimating water deficits in leaves. Biol Sci 15: 4 13-428.
Bates LS, Waldorn RP, Teare ID. 1973. Rapid determination of free proline for
water stress studies. Plant Soil 39: 205-208.
Hanafiah KA. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Raja Grafindo
Persada.
Haryadi SS dan Yahya S. 1988. Fisiologi Stres Lingkungan. Bogor: PAU Biotek
IPB.
Jiang Y, Watkins E, Liu S, Yu X dan Luo N. 2010. Antioxidative responses and
candidate gene expression in Prairie junegrass under drought stress. J.
Amer. Soc. Hort. Sci. 135(4): 303–309.
Kemble AR dan MacPherson HT. 1954. Liberation of amino acids in perennial
rye grass during wilting. Biochem J 58: 46-59.
Kishor KPB, Hong Z, Miao GH, A. Chein-An A, Hu CA dan Verma DPS. 1995.
Overexpression of Δ1-pyrroline-5-carboxylatesynthetase increases proline
production and confers osmotolerance in transgenic plants. Plant Physiol
108: 1387–1394.
Li H, Guo H, Zhang X dan Fu J. 2014. Expression profile of Pr5CS1 and Pr5CS2
genes and proline accumulation under salinity stress in perennial ryegrass
(Lolium perenne L.). Plant Breeding doi:10.1111/pbr.12140
Mohammadkhani N, Heidari R. 2008. Drought-induced accumulation of soluble
sugars and proline in two maize varieties. World Applied Sciences Journal
3 (3): 448-453.
Rampino P, Pataleo S, Gerardi C, Perotta C. 2006. Drought stress responses in
wheat: physiological and molecular analysis of resistant and sensitive
genotypes. Plant Cell Envir. 29: 2143-2152.
Sairam RK, Rao KV dan Srivastava GC. 2002. Different response of wheat
genotypes to long term stress in relation to oxidative stress, antioxidant
activity and osmolyte concentration. Plant Science 163: 1037-1046
Sharma S, Villamor JG dan Verslues PE. 2011. Essential role of tissue-spesific
proline synthesis and catabolism in growth and redox balance at water
potential. Plant Physiology 157: 292-304.
Soesetiyo S. 1980. Padang penggembalaan. Departemen Ilmu Makanan Ternak.
Fakultas Peternakan. IPB. Bogor.
Sopandie D. 2006. Perspektif fisiologi dalam pengembangan tanaman pangan di
lahan marginal. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisiologi Tanaman.
Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

132
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Su M, Li XF, Ma XY, Peng XJ, Zhao AG, Cheng LQ, Chen SY dan Liu GS. 2011.
Cloning two P5CS genes from bioenergy sorghum and their expression
profiles under abiotic stresses and MeJA treatment. Plant Science 181:
652-659.
Szabados L dan Savouré A. 2009. Proline: a multifunctional amino acid. Trends
in Plant Science 15(2): 89-97.
Verbruggen N dan Hermans C. 2008. Proline accumulation in plants: a review.
Amino Acids 35(4): 753-759.
Voetberg GS dan Sharp RE. 1991. Growth of the maize primary root at low water
potentials. III. Role of increase proline deposition in osmotic adjustment.
Plant Physiol 96:1125-1130.
Walton EF, Podivinsky E, Wu RM, Reynolds PHS dan Young LW. 1998.
Regulation of proline biosynthesis on kiwifruit buds with and without
hydrogen cyanamide treatment. Physiol Plant 102: 171-178.
Yuwono T. 2006. Biologi Molekular. Amalia S, editor. Jakarta: Erlangga.

133
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

METODE STERILISASI DAN MEDIA PERBANYAKAN


Pennisetum purpureum SECARA IN VITRO

Siti Noorrohmah, Erwin Al Hafiizh dan Tri Muji Ermayanti

Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI


Jalan Raya Bogor Km 46 Cibinong, 16911
E-mail : noorrohmah@gmail.com

ABSTRAK
Tersedianya hijauan pakan ternak yang berkualitas dan dalam jumlah banyak
merupakan salah satu faktor keberhasilan dari usaha peternakan, khususnya
ternak ruminansia. Hijauan pakan ternak yang mempunyai produktivitas tinggi
antara lain rumput gajah kultivar Hawai (P. purpureum cv.Hawai) dan rumput
gajah kultivar Odot (P. purpureum cv.Mott). Tujuan penelitian ini adalah untuk
memperoleh metode sterilisasi yang tepat dan media untuk perbanyakan P.
purpureum secara in vitro. Eksplan yang dipergunakan berupa mata tunas
disterilisasi menggunakan detergen;1,575% NaClO; 0,05% HgCl2 selama (10; 20;
dan 30) menit; dan 10% Rifampicin selama (5; 10; dan 15) menit. Perlakuan
media perbanyakan tunas adalah media dasar MS konsentrasi 33 g/l NH4NO3
(konsentrasi normal) dan konsentrasi 49,5 g/l NH4NO3 (1,5 kali konsentrasi
normal). Masing masing media dasar ditambahkan sitokinin (0,5; 1,0; 2,0) mg/l
BAP; kombinasi antara 60 mg/l adenin sulfat dengan 1 mg/l thiamin; dan (0,5; 1,0;
2,0) mg/l BAP. Parameter yang diamati yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, dan
total tunas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode sterilisasi dengan
menggunakan 1,575% NaClO; dan kombinasi perendaman eksplan dengan
menggunakan 0,05% HgCl2 selama 30 menit dilanjutkan dengan 10% Rifampicin
selama 5 menit paling efektif menekan tingkat kontaminasi. Media terbaik untuk
perbanyakan adalah media dasar MS konsentrasi 33 g/l NH4NO3 (konsentrasi
normal) dengan penambahan 2 mg/l BAP; 60 mg/l adenin sulfat; dan 1 mg/l
thiamin.

Kata kunci : Pennisetum purpureum, sterilisasi, BAP, multiplikasi tunas, kultur in


vitro.

PENDAHULUAN
Meningkatnya usaha peternakan sapi potong mendorong
penyediaan sumber pakan terutama hijauan pakan dalam jumlah lebih
besar dan berkelanjutan. Salah satu hijauan pakan yang memiliki kualitas
nutrisi yang tinggi dan disukai ternak adalah rumput gajah (Pennisetum
purpureum). Tanaman ini dapat hidup pada ketinggian 0 – 3000 m dpl
dan membutuhkan curah hujan 1000 mm/th. Rumput gajah terdiri dari

134
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
beberapa kultivar antara lain kultivar Hawai (P. purpureum cv. Hawai) dan
kultivar Odot (P.purpureum cv. Mott). Menurut Sulistya & Mariyono (2013)
P. purpureum cv. Hawai memiliki tinggi tanaman antara 53,2 – 130,8 cm
dan berat kering 1,159 ton/ha. Sedangkan P. purpureum cv. Mott memiliki
tinggi tanaman antara 44,2 – 74,8 cm dan berat kering 2,036 ton/ha.
Menurut Simatupang (2013) tanaman ini dapat berkembang biak dengan
biji namun jumlahnya terbatas, dan biasanya dikembangbiakkan dengan
stek batang dari stolon.
Perakitan kultivar rumput toleran kekeringan sangat diperlukan,
mengingat Indonesia memiliki lahan kering yang luas yang belum
termanfaatkan. Kultivar hibrida rumput toleran kekeringan sampai saat ini
belum ada. Salah satu alternatif perakitan bibit unggul toleran kekeringan
adalah dengan melakukan fusi protoplas rumput gajah produksi tinggi
dengan rumput tahan kering dengan aplikasi teknologi kultur jaringan.
Melalui teknik kultur jaringan dapat diperbanyak setiap waktu sesuai
kebutuhan. Kendala utama yang sering terjadi pada kultur jaringan
adalah kontaminasi. Media yang mengandung sukrosa dan hara yang
cukup memungkinkan mikroorganisme seperti jamur dan bakteri tumbuh
dan berkembang dengan pesat. Studi metode sterilisasi yang tepat
sangat diperlukan untuk mendapatkan eksplan aseptik. Perbanyakan
secara in vitro dibutuhkan untuk mendapatkan bahan bebas hama dalam
jumlah banyak untuk selanjutnya dipergunakan sebagai bahan kegiatan
perakitan kultivar rumput toleran kekeringan.
Keberhasilan pengembangan aplikasi kultur jaringan pada
tanaman sangat dipengaruhi oleh media kultur dan tingkat kesesuaiannya
dengan eksplan yang ditanam. Media Murashige & Skoog (1962)
merupakan salah satu media yang memiliki tingkat kesesuain tinggi pada
berbagai eksplan (George et al., 2008). Media dasar dan modifikasinya
juga telah berhasil diaplikasikan dalam kultur jaringan pembentukan kalus
Anthurium maupun regenerasinya (Winarto, 2013), proliferasi tunas dan

135
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

akar pada tanaman Calendula officinalis (Victorio et al., 2012), dan


perbanyakan tanaman kentang (Rahman et al., 2011).
Berbagai komposisi media telah diformulasikan untuk
meningkatkan proliferasi tunas salah satunya adalah dengan
penambahan zat pengatur tumbuh BAP (Benzil Amino Purin). BAP
adalah sitokinin yang sering digunakan karena paling efektif merangsang
pembelahan tunas, lebih stabil, dan tahan terhadap oksidasi (Bhojwani &
Razdan, 1983). Penggunaan 2 ppm BAP telah berhasil pada tanaman
jarak pada media WPM (Lizawati et al., 2009), pada tanaman belimbing
dengan konsentrasi 2 mg/l BAP pada media WPM (Supriati et al., 2006).
Selain BAP, untuk mengoptimalkan proliferasi tunas ditambahkan adenin
sulfat dan thiamin. Adenin sulfat dikenal sebagai purin atau 6-aminopurin
hemisulfat salt adalah hormon pertumbuhan (Bonner & Smit et al., 1939).
Keberhasilan penggunaan BAP dan adenin telah dicoba pada tanaman
Carissa carandas (L.) dengan konsentrasi 1.5 mg/l BAP dan 15 mg/l
adenin sulfat (Imran et al., 2012), pada tanaman Stereospermum
suaveloens dengan konsentrasi 0.44 µM BAP dan 25 mg/l adenin sulfat
(Sukhla et al., 2012) dan tanaman Aloe vera dengan konsentrasi 2 mg/l
BAP dan 20 mg/l adenin sulfat (Sari, 2005). Thiamin dikenal sebagai
vitamin B1 yang diperlukan untuk pertumbuhan sell (Ohira et al., 1976).
Menurut Saad & Elshaheb (2012), konsentrasi penggunaan thiamin
sebaiknya pada kisaran 0.1-10 mg/l. Penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh metode sterilisasi yang tepat dan media perbanyakan P.
purpureum secara in vitro.

BAHAN DAN METODE


BAHAN
Bahan tanaman yang digunakan adalah rumput gajah kultivar
kultivar Odot (P. purpureum cv. Mott) dan Hawai (P.purpureum cv. Hawai)
berumur 50-60 hari dengan tinggi tanaman 60-70 cm yang merupakan
koleksi Puslit Bioteknologi LIPI. Media dasar yang digunakan adalah

136
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
media Murashige & Skoog (1962) yang mengandung 30 g/l sukrosa dan
3 g/l agar Gelzan. Zat pengatur tumbuh yang digunakan untuk media
perbanyakan yaitu Benzil Amino Purin (BAP), adenin sulfat, dan vitamin
B1 (thiamin).

METODE
Penelitian terdiri atas dua tahap, yaitu inisiasi dan multiplikasi
tunas. Tahap inisiasi tunas diawali dengan sterilisasi eksplan. Proses
sterilisasi eksplan menggunakan dua kombinasi perlakuan yaitu jenis
bahan sterillan dan lama sterilisasi. Prosedur kerja sterilisasi sebagai
berikut, batang rumput yang berumur 50-60 hari, dipotong sepanjang 5
cm terdapat dua buku dengan dua mata tunas, dibersihkan dengan
detergen; dikocok dengan 1,575% NaClO selama 30 menit dan dibilas
beberapa kali dengan akuades steril. Kemudian diambil mata tunas dan
direndam dalam (1) 0,05% HgCl2 saja selama (10; 20; dan 30) menit, (2)
10% Rifampicin saja selama (5; 10; dan 15) menit dan (3) 0,05% HgCl2
dilanjutkan dengan 10% Rifampicin selama (20 dan 5); (20 dan 10); (30
dan 5) dan (30 dan 10) menit lalu dibilas dengan air steril kemudian
ditanam dalam media MS0. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak
tiga kali dan dalam satu botol terdapat dua eksplan. Kemudian kultur
diinkubasikan di ruang terang pada suhu 25±20C selama 1 minggu.
Parameter yang diamati yaitu persentase kontaminasi yang nampak pada
media 1 Minggu Setelah Tanam (MST).
Tahap multiplikasi tunas menggunakan eksplan steril berupa
tunas dengan panjang 1 cm. Media multiplikasi tunas menggunakan
media dasar MS dengan 30 g/l sukrosa; 0,1 g/l myoinositol. Perlakuan
nitrat dilakukan dengan konsentrasi 33 g/l l NH4NO3 (konsentrasi normal)
dan konsentrasi yang ditingkatkan menjadi 49,5 g/l NH4NO3 (1,5 kali
konsentrasi normal). Masing masing media dasar ditambahkan 0,5; 1,0;
2,0 mg/l BAP secara terpisah atau dikombinasikan dengan 60 mg/l
adenin sulfat dan 1 mg/l thiamin. Setelah media disiapkan sesuai

137
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

perlakuan, dilakukan pengukuran pH sampai 5,8 kemudian ditambahkan


agar Gelzan sebanyak 3 g/l. Media dipanaskan dengan hot plate dan
diaduk dengan magnetic stirrer sampai larut. Larutan media dimasukkan
dalam botol-botol kultur dan ditutup. Media dalam botol disterilisasi
dengan autoklaf pada suhu 1200C, tekanan 18-20 psi. Tunas rumput
ditanam dalam media perlakuan dengan dua kali ulangan dan satu botol
berisi satu tanaman. Kemudian tanaman diinkubasikan di ruang terang
pada suhu 25±20C selama 4 minggu.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua
faktor, yaitu perlakuan media sebagai faktor pertama dan kultivar rumput
sebagai faktor kedua. Pengamatan pertumbuhan dilakukan pada 4
Minggu Setelah Tanam (MST). Parameter yang diamati yaitu tinggi
tanaman (cm), jumlah daun (helai), dan total tunas. Analisis data berupa
ANOVA dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT. Pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan program SAS 9.1.3.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tahap inisiasi tunas
Kontaminasi eksplan mulai terjadi pada 3 Hari Setelah Tanam
(HST). Banyak faktor penyebab kontaminasi antara lain waktu dan
kondisi eksplan saat diambil, mikroorganismeyang masuk dalam media,
botol kultur dan alat-alat yang tidak steril, dan laboratorium yang kotor.
Berdasarkan pengamatan, semua kontaminasi disebabkan oleh
cendawan dan bakteri.
Hasil pengamatan (Tabel 1) menunjukkan bahwa lama
perendaman dengan menggunakan bahan sterilan 0,05% HgCl2 dan 10%
Rifampicin saja mampu mengurangi kontaminasi pada eksplan.
Kombinasi kedua bahan sterilan efektif mampu menekan kontaminasi.
Proses sterilisasi dengan menggunakan perendaman 0,05% HgCl2 saja
selama 30 menit tingkat kontaminasi masih tinggi. Sedangkan
perendaman 10% Rifampicin selama 15 menit mampu menekan

138
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
terjadinya kontaminasi sampai 12,5% yang disebabkan oleh bakteri.
Proses sterilisasi dengan kombinasi perendaman antara 0,05% HgCl2
selama 20 menit dilanjutkan dengan 10% Rifampicin selama perendaman
5 - 10 menit menunjukkan tingkat kontaminasi masih cukup tinggi. Teknik
sterilisasi dengan menggunakan perendaman 0,05% HgCl2 selama 30
menit dilanjutkan dengan 10% Rifampicin selama perendaman 5 - 10
menit mampu menekan angka kontaminasi lebih tinggi.

Tabel 1. Persentase kontaminasi media tanam dengan bahan sterilan


selama 1 MST.
Konsentrasi Waktu sterilisasi Kontaminasi
Bahan Sterilan
(%) (menit) (%)
HgCl2 0,05 10 100,0
20 87,5
30 62,5
Rifampicin 10 5 100,0
10 75,0
15 12,5
HgCl2 dan 0,05 HgCl2
Rifampicin dilanjutkan 10 20 dan 5 25,0
Rifampicin 20 dan 10 15,0
30 dan 5 12,5
30 dan 10 12,5
Selain tingginya angka kontaminasi pada proses sterilisasi
eksplan awal, terdapat tingkat kematian kultur yang cukup tinggi yang
disebabkan oleh pencoklatan (browning). Eksplan mulai menguning sejak
1 MST dan selanjutnya menjadi coklat pada 2 MST. Browning terjadi
pada bagian tepi eksplan yang mengalami pelukaan. Pencoklatan
jaringan terjadi karena aktivitas jaringan enzim oksidase yang
mengandung tembaga seperti polifenol oksidase dan tirosinase yang
dilepaskan atau disintesis dan tersedia pada kondisi oksidatif ketika
jaringan dilukai (Lerch, 1981). Menurut George & Sherrington (1984),
beberapa tanaman khususnya tanaman tropika mempunyai kandungan
senyawa fenol yang tinggi yang teroksidasi ketika sel dilukai. Hal yang

139
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

sama juga terjadi browning pada kultur anter tanaman anyelir


(Kartikaningrum et al., 2011) dan browning pada kalus jarak (Andaryani,
2010).

Tahap multiplikasi tunas


Hasil analisis ragam pada subkultur 0 terhadap tinggi tanaman,
jumlah daun hidup, dan total tunas (Tabel 2) menunjukkan bahwa tidak
terdapat pengaruh nyata pada kultivar, media perbanyakan dan interakasi
keduanya untuk semua peubah yang diamati kecuali peubah total tunas
pada media perbanyakan. Pada subkultur 1, terdapat pengaruh nyata
pada kultivar, media perbanyakan, dan interaksi keduanya pada semua
peubah kecuali peubah jumlah daun hidup pada media perbanyakan.

Tabel 2. Analisis ragam pengaruh kultivar, media perbanyakan dan


interaksi keduanya terhadap tinggi tanaman, jumlah daun
hidup, dan total tunas setelah 4MST pada subkultur 0 dan 1.
Sumber
Peubah Subkultur 0 Subkultur 1
Keragaman
Kultivar Tinggi tanaman tn *
Jumlah daun hidup tn *
Total tunas tn *
Media perbanyakan Tinggi tanaman tn *
Jumlah daun hidup tn tn
Total tunas * *
Kultivar x Media
Tinggi tanaman tn *
perbanyakan
Jumlah daun hidup tn *
Total tunas tn *
Keterangan tn : tidak berbeda nyata pada analisis ragam 5%
* : berbeda nyata pada analisis ragam 5%

Tinggi tanaman (cm)


Hasil pengamatan setelah 4 MST kultivar Odot pada subkultur 0
(Tabel 3) menunjukkan bahwa penambahan 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP
pada media MS konsenstrasi 33 g/l NH4NO3 tidak berpengaruh terhadap

140
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
tinggi tanaman. Pada subkultur 1, penambahan 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l
BAP dan 33 g/l NH4NO3 pada media MS berpengaruh terhadap tinggi
tanaman. Nilai tertinggi pada subkultur 1 diperoleh dari media yang
mengandung 0,5 – 1,0 mg/l BAP dan 33 g/l NH4NO3 pada media MS.
Pada subkultur 0 dan 1, penambahan 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP; 60 mg/l
adenin sulfat; 1 mg/l thiamin dan 33 g/l NH4NO3 pada media MS tidak
berpengaruh terhadap tinggi tanaman.

Tabel 3. Pengaruh media perbanyakan terhadap tinggi tanaman (cm)


kultivar Odot (P. purpureum cv. Mott) setelah 4 MST pada
subkultur 0 dan 1.
NH4NO3 Rata-rata tinggi tanaman (cm) pada
(mg/l) Adenin
BAP Thiamin
dalam sulfat
(mg/l) (mg/l) Subkultur 0 Subkultur 1
media (mg/l)
MS
33.0 0.5 0 0 8.0 ± 3.0 a 11.4 ± 1.3 a
33.0 1.0 0 0 7.3 ± 1.8 a 11.4 ± 0.8 a
33.0 2.0 0 0 7.8 ± 1.8 a 9.1 ± 1.5 c
33.0 0.5 60 1 11.3 ± 0.3 a 11.3 ± 2.0 a
33.0 1.0 60 1 10.5 ± 1.0 a 11.5 ± 0.3 a
33.0 2.0 60 1 11.3 ± 0.3 a 10.7 ± 1.0 ab
49.5 0.5 0 0 8.8 ± 2.8 a 11.4 ± 1.5 a
49.5 1.0 0 0 9.5 ± 2.0 a 11.1 ± 0.9 a
49.5 2.0 0 0 10.8 ± 0.8 a 11.3 ± 0.5 a
49.5 0.5 60 1 7.8 ± 1.8 a 10.7 ± 1.3 ab
49.5 1.0 60 1 7.0 ± 2.5 a 10.2 ± 0.5 b
49.5 2.0 60 1 9.3 ± 1.3 a 10.1 ± 1.0 b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada uji taraf 5% (DMRT)

Pada subkultur 0 dan 1 kultivar Odot (Tabel 3), media MS yang


mengandung 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP dan 49,5 g/l NH4NO3 tidak
berpengaruh terhadap peningkatan tinggi tanaman. Penambahan 60 mg/l
adenin sulfat, 1 mg/l thiamin, 49,5 g/l NH4NO3 serta 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l
BAPpada subkultur 0 dan 1 juga tidak berpengaruh terhadap tinggi
tanaman.

141
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Berdasarkan hasil pengamatan pada subkultur 0 kultivar Hawai


setelah 4 MST (Tabel 4) menunjukkan bahwa penambahan 0,5; 1,0; dan
2,0 mg/l BAP dan 33 g/l NH4NO3 tidak berpengaruh terhadap tinggi
tanaman. Pada subkultur 1, penambahan 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP
serta 33 g/l NH4NO3 berpengaruh terhadap tinggi tanaman. Nilai tertinggi
pada subkultur 1 diperoleh pada media MS yang mengandung 0,5 mg/l
BAP dan 33 g/l NH4NO3. Pada subkultur 0, penambahan 60 mg/l adenin
sulfat; 1 mg/l thiamin; 33 g/l NH4NO3 serta 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP
tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman. Penambahan 60 mg/l adenin
sulfat; 1 mg/l thiamin; 33 g/l NH4NO3 serta 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP
berpengaruh terhadap tinggi tanaman pada subkultur 1. Nilai tertinggi
pada subkultur 1 adalah diperoleh dari media MS yang mengandung 1,0
mg/l BAP; 33 g/l NH4NO3 dengan penambahan 60 mg/l adenin sulfat dan
1 mg/l thiamin.
Respon kultivar Hawai pada subkultur 0 pada media MS yang
mengandung 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP dan 49,5 g/l NH4NO3 tidak
berpengaruh terhadap tinggi tanaman. Pada subkultur 1, media MS yang
mengandung 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP dan 49,5 g/l NH4NO3
berpengaruh terhadap tinggi tanaman (Tabel 4). Nilai tertinggi pada
subkultur 1 adalah diperoleh pada media MS yang mengandung 0,5 - 1,0
mg/l BAP dan 49,5 g/l NH4NO3. Pada subkultur 0, penambahan 60 mg/l
adenin sulfat;1 mg/l thiamin;49,5 g/l NH4NO3 serta 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l
BAP tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman sedangkan pada
subkultur 1, penambahan 60 mg/l adenin sulfat; 1 mg/l thiamin; 49,5 g/l
NH4NO3 serta 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP berpengaruh terhadap tinggi
tanaman (Tabel 4). Nilai tertinggi pada subkultur 1 diperoleh pada media
MS yang mengandung 0,5 - 1,0 mg/l BAP; 60 mg/l adenin sulfat; 1 mg/l
thiamin serta 49,5 g/l NH4NO3.

142
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Tabel 4. Pengaruh media perbanyakan terhadap tinggi tanaman (cm)
kultivar Hawai (P. purpureum cv. Hawai) setelah 4 MST pada
subkultur 0 dan 1.
NH4NO3 Rata-rata tinggi tanaman (cm)
Adenin
(mg/l) BAP Thiamin pada
sulfat
dalam (mg/l) (mg/l)
(mg/l) Subkultur 0 Subkultur 1
media MS
33.0 0.5 0 0 6.3 ± 0.1 a 7.9 ± 0.1 a
33.0 1.0 0 0 4.3 ± 0.2 a 5.2 ± 0.3 e
33.0 2.0 0 0 5.5 ± 0.1 a 5.2 ± 0.4 e
33.0 0.5 60 1 7.0 ± 0.3 a 5.7 ± 0.1 d
33.0 1.0 60 1 6.2 ± 0.0 a 7.9 ± 0.1 a
33.0 2.0 60 1 5.0 ± 0.7 a 5.0 ± 0.1 f
49.5 0.5 0 0 6.0 ± 0.2 a 8.2 ± 0.1 a
49.5 1.0 0 0 6.4 ± 0.1 a 7.9 ± 0.1 a
49.5 2.0 0 0 5.0 ± 0.3 a 6.9 ± 0.3 b
49.5 0.5 60 1 6.3 ± 0.3 a 8.2 ± 0.1 a
49.5 1.0 60 1 6.5 ± 0.2 a 7.9 ± 0.1 a
49.5 2.0 60 1 5.5 ± 0.0 a 6.4 ± 0.4 c
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada uji taraf 5% (DMRT)

Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT, kedua kultivar baik Odot


maupun Hawai menunjukkan beda nyata antar perlakuan untuk peubah
tinggi tanaman hanya pada subkultur 1. Kultivar Odot memiliki tanaman
lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar Hawai (Tabel 3 dan 4).
Penambahan adenin sulfat dan thiamin pada media MS yang
mengandung 33 g/l NH4NO3 meningkatkan tinggi tanaman hanya pada
kultivar Odot. Menurut Gabriela (2011), penambahan 2 mg/l BAP dan 40
mg/l adenin sulfat pada Trifolium repensi L. menghambat pertumbuhan
dibandingkan tanpa pemberian ZPT. Hal ini berarti peningkatan tinggi
tanaman pada kultur rumput ini disebabkan adanya penambahan thiamin.
Menurut Ohira et al., (1976), thiamin berperan dalam mempercepat
pertumbuhan tanaman dengan konsentrasi penggunaan kedelai 0,6 mg/l;
tembakau 0,5 mg/l; dan 0,2 mg/l padi. Sebaliknya penambahan adenin
sulfat dan thiamin pada kultivar Odot dalam media MS konsentrasi 49,5
g/l NH4NO3 menurunkan tinggi tanaman. Hal ini disebabkan tingginya

143
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

konsentrasi ammonium nitrat yang ditambahkan pada media MS.


Menurut Mukaromah et al., (2013), penambahan ammonium nitrat
sebanyak 63,75 mg/l menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan
tertinggi pada Dendrobium laxiflorum.
Jumlah daun hidup (helai)
Berdasarkan hasil pengamatan kultivar Odot pada subkultur 0 dan
1 setelah 4 MST (Tabel 5) menunjukkan bahwa penambahan 0,5; 1,0;
dan 2,0 mg/l BAP dan 33 g/l NH4NO3 pada media MS tidak berpengaruh
terhadap peubah jumlah daun hidup. Nilai tertinggi subkultur 0 dan 1
diperoleh pada media MS yang mengandung 2 mg/l BAP dan 33 g/l
NH4NO3. Pada subkultur 0 dan 1, penambahan 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l
BAP; 60 mg/l adenin sulfat; 1 mg/l thiamin serta33 g/l NH4NO3 pada
media MS tidak berpengaruh terhadap jumlah daun hidup.
Respon kultivar Odot pada subkultur 0 dan 1 pada media MS
yang mengandung 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP dan 49,5 g/l NH4NO3 tidak
berpengaruh terhadap jumlah daun hidup (Tabel 5). Pada subkultur 0 dan
1, penambahan 60 mg/l adenin sulfat;1 mg/l thiamin; 49,5 g/l NH4NO3
serta 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP pada media MS juga tidak berpengaruh
terhadap jumlah daun hidup.
Hasil pengamatan pada subkultur 0 dan 1 kultivar Hawai setelah 4
MST (Tabel 6), media MS yang mengandung 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP
dan 33 g/l NH4NO3 tidak berpengaruh terhadap jumlah daun hidup. Pada
subkultur 0 penambahan 60 mg/l adenin sulfat;1 mg/l thiamin; 33 g/l
NH4NO3, serta 0,5; 1,0; 2,0 mg/l BAP pada media MS tidak berpengaruh
terhadap jumlah daun hidup, sedangkan pada subkultur 1 penambahan
60 mg/l adenin sulfat;1 mg/l thiamin; 33 g/l NH4NO3; serta 0,5; 1,0; 2,0
mg/l BAP pada media MS berpengaruh terhadap jumlah daun hidup.
Jumlah daun hidup terbanyak kultivar Hawai pada subkultur 1 diperoleh
pada media MS yang mengandung 1.0 – 2,0 mg/l BAP; 33 g/l NH4NO3;,
60 mg/l adenin sulfat; dan 1 mg/l thiamin.

144
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Tabel 5. Pengaruh media perbanyakan terhadap jumlah daun (helai)
hidup kultivar Odot (P. purpureum cv. Mott) setelah 4 MST
pada subkultur 0 dan 1.
NH4NO3 Rata-rata jumlah daun hidup (helai)
Adenin
(mg/l) BAP Thiamin
sulfat
dalam (mg/l) (mg/l) Subkultur 0 Subkultur 1
(mg/l)
media MS
33.0 0.5 0 0 2.0 ± 0.0 a 3.0 ± 0.5 ab
33.0 1.0 0 0 2.5 ± 0.5 a 2.5 ± 0.5 b
33.0 2.0 0 0 3.0 ± 0.0 a 3.0 ± 0.5 ab
33.0 0.5 60 1 2.5 ± 0.5 a 3.5 ± 0.5 ab
33.0 1.0 60 1 2.0 ± 0.0 a 3.5 ± 0.5 ab
33.0 2.0 60 1 3.5 ± 0.5 a 3.0 ± 0.5 ab
49.5 0.5 0 0 3.0 ± 1.0 a 3.0 ± 0.0 ab
49.5 1.0 0 0 3.0 ± 1.0 a 4.0 ± 0.0 a
49.5 2.0 0 0 2.0 ± 1.0 a 3.5 ± 0.5 ab
49.5 0.5 60 1 3.0 ± 1.0 a 3.0 ± 0.0 ab
49.5 1.0 60 1 3.0 ± 1.0 a 4.0 ± 0.0 a
49.5 2.0 60 1 3.0 ± 1.0 a 3.5 ± 0.5 ab
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada uji taraf 5% (DMRT)

Respon kultivar Hawai pada subkultur 0 media MS yang


mengandung 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP dan 49,5 g/l NH4NO3 tidak
berpengaruh terhadap jumlah daun hidup, sedangkan pada subkultur 1
media MS yang mengandung 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP dan 49,5 g/l
NH4NO3 berpengaruh terhadap jumlah daun hidup (Tabel 6). Nilai
tertinggi pada subkultur 1 diperoleh pada media MS yang mengandung
2,0 mg/l BAP dan 49,5 g/l NH4NO3. Pada subkultur 0 dan 1, penambahan
60 mg/l adenin sulfat; 1 mg/l thiamin; 49,5 g/l NH4NO3 serta 0,5; 1,0; dan
2,0 mg/l BAP pada media MS tidak berpengaruh terhadap jumlah daun
hidup.
Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT (Tabel 5 dan 6), respon
terhadap jumlah daun hidup menunjukkan beda nyata antar perlakuan
hanya pada kultivar Hawai subkultur 1. Kedua kultivar memiliki jumlah
daun hidup yang tidak berbeda. Penambahan adenin sulfat dan thiamin

145
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

mampu meningkatkan jumlah daun hidup baik pada kultivar Odot maupun
Hawai jika dibandingkan hanya dengan menggunakan BAP.

Tabel 6. Pengaruh media perbanyakan terhadap jumlah daun hidup (helai)


kultivar Hawai (P. purpureum cv. Hawai) setelah 4 MST pada
subkultur 0 dan 1.
Rata-rata jumlah daun hidup
NH4NO3 (helai)
Adenin
(mg/l) BAP Thiamin
sulfat
dalam (mg/l) (mg/l)
(mg/l) Subkultur 0 Subkultur 1
media MS

0.
33.0 0.5 0 0 4.5 ± 1.0 a 3.0 ± ab
0
0.
33.0 1.0 0 0 2.5 ± 0.5 a 3.0 ± ab
0
0.
33.0 2.0 0 0 3.5 ± 0.0 a 3.5 ± a
5
0.
33.0 0.5 60 1 2.5 ± 0.5 a 2.0 ± c
0
0.
33.0 1.0 60 1 2.5 ± 0.5 a 3.0 ± ab
0
0.
33.0 2.0 60 1 2.5 ± 1.0 a 3.0 ± ab
0
0.
49.5 0.5 0 0 2.0 ± 0.0 a 3.0 ± ab
0
0.
49.5 1.0 0 0 2.0 ± 0.0 a 2.0 ± c
0
0.
49.5 2.0 0 0 2.5 ± 0.5 a 3.5 ± ab
5
0.
49.5 0.5 60 1 3.0 ± 0.0 a 3.0 ± ab
0
0.
49.5 1.0 60 1 2.0 ± 0.0 a 2.5 ± bc
5
0.
49.5 2.0 60 1 3.5 ± 0.5 a 3.0 ± ab
0
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada uji taraf 5% (DMRT)

Menurut Beach and Smith (1979) dan Xian –can et al., (1989)
adenin sulfat berperan dalam mempercepat pembelahan sel sehingga
meningkatkan pembentukan tunas adventif. Peningkatan jumlah daun
juga terlihat dengan penambahan 40 mg/l adenin sulfat pada tanaman
Zizihpus spina –christi diperoleh nilai rata-rata 3,3 helai daun (Sulaeman,
2012). Penggunaan 2 mg/l BAP dan 20 mg/l adenin sulfat pada tanaman

146
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Aloe vera memiliki nilai rata-rata tertinggi 7,8 helai daun (Sari, 2005).
Sedangkan penggunaan 1,5 kali konsentrasi umum NH4NO3 pada media
MS kurang terlihat pengaruhnya terhadap jumlah daun hidup.
Konsentrasi NH4NO3 yang terlalu tinggi tidak berkorelasi positif dengan
peningkatan nilai rata-rata jumlah daun hidup. Bahkan pengaruhnya
berakibat toksik bagi tanaman. Menurut Rasmia et al., (2011), pemberian
206,25 mg/l NH4NO3 menghasilkan 3,7 daun/planlet Tanacetum
parthenium L.
Total tunas
Berdasarkan hasil pengamatan setelah 4 MST pada kultivar Odot
subkultur 0 dan 1 (Tabel 7) menunjukkan bahwa penambahan 0,5; 1,0;
dan 2,0 mg/l BAP dan 33 g/l NH4NO3 pada media MS tidak berpengaruh
terhadap total tunas. Pada subkultur 0 penambahan 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l
BAP; 60 mg/l adenin sulfat; 1 mg/l thiamin; 33 g/l NH4NO3 pada media
MS tidak berpengaruh terhadap total tunas, sedangkan pada subkultur 1
penambahan 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP; 60 mg/l adenin sulfat; 1 mg/l
thiamin serta 33 g/l NH4NO3 pada media MS berpengaruh terhadap total
tunas. Nilai tertinggi total tunas pada subkultur 1 diperoleh dari media
yang mengandung 2,0 mg/l BAP; 60 mg/l adenin sulfat ;1 mg/l thiamin;
serta 33 g/l NH4NO3 pada media MS.
Respon kultivar Odot pada subkultur 0 setelah 4 MST (Tabel 7),
penambahan 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP dan 49,5 g/l NH4NO3 pada media
MS tidak berpengaruh terhadap total tunas, sedangkan pada subkultur 1
penambahan 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP dan 49,5 g/l NH4NO3 pada media
MS berpengaruh terhadap total tunas. Nilai tertinggi pada subkultur 1
diperoleh pada media MS yang mengandung 0,5 mg/l BAP dan 49,5 g/l
NH4NO3. Pada subkultur 0 dan 1, penambahan 60 mg/l adenin sulfat;1
mg/l thiamin; 49,5 g/l NH4NO3, serta 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP pada
media MS tidak berpengaruh terhadap total tunas.
Hasil pengamatan setelah 4 MST kultivar Hawai pada subkultur 0
(Tabel 8), penambahan 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP dan 33 g/l NH4NO3

147
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

pada media MS tidak berpengaruh terhadap total tunas, sedangkan pada


subkultur 1 penambahan 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP dan 33 g/l NH4NO3
pada media MS berpengaruh terhadap total tunas. Nilai tertinggi total
tunas pada subkultur 1 diperoleh pada media MS yang mengandung 0,5
mg/l BAP dan 33 g/l NH4NO3. Pada subkultur 0 dan 1, penambahan 60
mg/l adenin sulfat;1 mg/l thiamin; 33 g/l NH4NO3 serta 0,5; 1,0; 2,0 mg/l
BAP pada media MS berpengaruh terhadap total tunas. Nilai tertinggi
total tunas pada subkultur 0 dan 1 diperoleh pada media MS yang
mengandung 2,0 mg/l BAP; 33 g/l NH4NO3;60 mg/l adenin sulfat dan 1
mg/l thiamin.
Tabel 7. Pengaruh media perbanyakan terhadap total tunas kultivar Odot
(P. purpureum cv. Mott) setelah 4 MST pada subkultur 0 dan
1.
NH4NO3 Rata-rata total tunas
(mg/l) Adenin
BAP Thiamin
dalam sulfat
(mg/l) (mg/l) Subkultur 0 Subkultur 1
media (mg/l)
MS
1. b
33.0 0.5 0 0 5.0 ± 0.0 abc 4.5 ±
2 c
0.
33.0 1.0 0 0 4.0 ± 0.6 abc 5.0 ± b
6
1. c
33.0 2.0 0 0 3.0 ± 0.0 abc 4.0 ±
2 d
0. c
33.0 0.5 60 1 4.5 ± 0.3 abc 4.0 ±
0 d
0.
33.0 1.0 60 1 6.5 ± 0.9 ab 5.0 ± b
9
0.
33.0 2.0 60 1 7.0 ± 0.6 a 6.5 ± a
0
0. c
49.5 0.5 0 0 4.0 ± 1.2 abc 4.0 ±
3 d
0.
49.5 1.0 0 0 3.0 ± 0.0 abc 3.5 ± e
3
1. c
49.5 2.0 0 0 3.5 ± 1.4 abc 4.0 ±
4 d
0. b
49.5 0.5 60 1 2.5 ± 0.9 bc 4.5 ±
3 c
1. c
49.5 1.0 60 1 5.5 ± 0.3 ab 4.0 ±
2 d
1. d
49.5 2.0 60 1 5.0 ± 0.6 abc 3.5 ±
2 e

148
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada uji taraf 5% (DMRT)

Pada subkultur 0 kultivar Hawai (Tabel 8), media MS yang


mengandung 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP dan 49,5 g/l NH4NO3 tidak
berpengaruh terhadap total tunas, sedangkan pada subkultur 1 media MS
yang mengandung 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP dan 49,5 g/l NH4NO3
berpengaruh terhadap total tunas. Nilai tertinggi pada subkultur 1
diperoleh pada media MS yang mengandung 0,5 mg/l BAP dan 49,5 g/l
NH4NO3. Penambahan 60 mg/l adenin sulfat;1 mg/l thiamin; 49,5 g/l
NH4NO3 serta 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP pada media MS tidak
berpengaruh pada subkultur 0, sedangkan penambahan 60 mg/l adenin
sulfat ; 1 mg/l thiamin; 49,5 g/l NH4NO3 serta 0,5; 1,0; dan 2,0 mg/l BAP
pada media MS berpengaruh terhadap total tunas pada subkultur 1. Nilai
tertinggi total tunas pada subkultur 1 diperoleh pada media MS yang
mengandung 0,5 mg/l BAP; 49,5 g/l NH4NO3; 60 mg/l adenin sulfat; dan
1 mg/l thiamin.
Tabel 8. Pengaruh media perbanyakan terhadap total tunas kultivar
Hawai (P. purpureum cv. Hawai) setelah 4 MST pada
subkultur 0 dan 1.
NH4NO3 Rata-rata total tunas
Adenin
(mg/l) BAP Thiamin
sulfat
dalam (mg/l) (mg/l) Subkultur 0 Subkultur 1
(mg/l)
media MS
1. b
33.0 0.5 0 0 6.0 ± 0.5 ab 8.0 ±
0
0. b
33.0 1.0 0 0 6.0 ± 0.0 ab 7.5 ±
5 c
0. ef
33.0 2.0 0 0 4.0 ± 0.0 bc 3.0 ±
0
0. fg
33.0 0.5 60 1 4.0 ± 0.0 bc 2.0 ±
0
0. b
33.0 1.0 60 1 4.5 ± 0.0 bc 7.0 ±
0 c
0. a
33.0 2.0 60 1 7.0 ± 0.5 a 9.5 ±
5
0. c
49.5 0.5 0 0 2.5 ± 0.0 cd 6.5 ±
5
0. fg
49.5 1.0 0 0 4.5 ± 0.0 bc 2.0 ±
0

149
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

0. d
49.5 2.0 0 0 5.5 ± 0.0 ab 5.0 ±
0
0. c
49.5 0.5 60 1 4.5 ± 0.5 bc 6.5 ±
5
0. d
49.5 1.0 60 1 4.0 ± 0.0 bc 4.0 ±
0 e
0. e
49.5 2.0 60 1 5.0 ± 0.5 ab 3.5 ±
5
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada uji taraf 5% (DMRT)

Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT (Tabel 7 dan 8), respon kedua
kultivar terhadap total tunas menunjukkan beda nyata antar perlakuan
pada subkultur 1. Kultivar Hawai memiliki total tunas lebih banyak
dibandingkan kultivar Odot. Penambahan adenin sulfat dan thiamin
mampu meningkatkan total tunas dibandingkan hanya dengan
menggunakan BAP saja. Penambahan adenin sulfat dan thiamin
memberikan respon kenaikan total tunas pada media MS konsentrasi 33
g/l NH4NO3 dan tidak berlaku pada media MS dengan konsentrasi 49,5
g/l NH4NO3. Menurut Nitsch et al., (1967) dan Imran et al., (2012) adenin
sulfat bersinergi dengan sitokinin membantu meningkatkan multiplikasi
tunas. Keberhasilan adenin sulfat dalam meningkatkan multiplikasi tunas
telah dibuktikan antara lain penelitian Imran et al., (2012), dengan
kombinasi 1,5 mg/l BAP dan 15 mg/l adenin mampu meningkatkan
multiplikasi tunas Carissa carandas L. sampai 14 tunas, kombinasi 2 mg/l
BA dan 40 mg/l adenin sulfat mampu menghasilkan 20 tunas
baru/eksplan pada tanaman Trifolium repend L. (Gabriela, 2012) dan
kombinasi 1 mg/l BAP dan 20 mg/l adenin sulfat mampu menghasilkan
jumlah rata-rata tunas Aloe vera 40 tunas (Sari, 2005). Thiamin
berfungsi untuk meningkatkan pertumbuahan secara vertikal sehingga
didapatkan adanya keseimbangan pertumbuhan. Penggunaan
konsentrasi NH4NO3 yang tinggi ternyata tidak berkorelasi positif dengan
meningkatkan pembentukan tunas. Penggunaan 2 mg/l BAP pada media
MS dengan konsentrasi 800 mg/l NH4NO3 mampu meningkatkan
pembentukan tunas lateral sebanyak 5 tunas tanaman kentang

150
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
(Motallebi-Azar et al., 2011). Media terbaik untuk peubah total tunas
kultivar Odot dan Hawai adalah media MS konsentrasi 33 g/l NH4NO3
dengan penambahan 2,0 mg/l BAP; 60 mg/l adenin sulfat; dan 1 mg/l
thiamin.
KESIMPULAN
Metode sterilisasi dengan menggunakan 1,575% NaClO, dan
kombinasi perendaman eksplan dengan menggunakan 0,05% HgCl2
selama 30 menit dilanjutkan dengan 10% Rifampicin selama 5 menit
paling efektif menekan tingkat kontaminasi. Media terbaik untuk
perbanyakan tunas adalah media dasar MS konsentrasi 33 g/l NH4NO3
(konsentrasi normal) dengan penambahan 2 mg/l BAP; 60 mg/l adenin
sulfat dan 1 mg/l thiamin.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini dibiayai oleh kegiatan DIPA PN Meat and Milk Pro
tahun 2014, Puslit Bioteknologi LIPI. Ucapan terima kasih kepada
Mulyana, Heru Wibowo, A.Md, Nana Burhana dan Meta Irlianti atas
bantuannya dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Andaryani, S. 2010. Kajian penggunaan berbagai konsentrasi BAP dan 2.4-D
terhadap induksi kalus jarak pagar (Jatropha curcas L.) secara in vitro.
Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.
Beach, H. and Smith, R.R. 1979. Plant regeneration from callus of red crimson
clover. Plant Sc. Lett. 16:231-237.
Bhojwani, S.S and Razdan, M.K. 1983. Plant tissue culture theory and practice.
Elsevier Science Publishers, Netherlands.
Bonner, D.M and HaagenSmit, A.J. 1939. Leaf growth factors II. The activity of
pure subtances in leaf growth. Proc. Nat.Aciad.Sci.U.S.A. 25 : 184-188.
Gabriela, V. 2011. Effect of adenin sulfate (ADSO4) on the in vitro evolution of
white clover variety (Trifolium repend L.). Anallee Universitatii din Oradea,
frascicula protectia mediului. 17:203-210.
George, E.F, Hall, M.A and De Klerk, G.J. 2008. The component of plant tissue
culture medium I:macro and micro nutrients in eds. George, E.F, Hall,
M.A and De Klerk, G.J, Plant propagation by tissue culture: the
background, Vol 3rd Ed. Springer, Netherlands.

151
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

George, E.F. and Sherrington, P.D. 1984. Plant propagation by tissue culture.
Hand book and directory of commercial laboratories. Eastern Press,
Reading, Berks. England. 9-44 p.
Imran, M.A, Begum, G., Sujatha, K. and malliah, B. 2012. Effect of adenin
sulphate (Ads) with cytokinins on multiple shoot production in Carissa
carandas (L.). International journal of Pharma and Bio Sciences
3(1):473-480.
Kartikaningrum, S., Purwito, A., Wattimena, G.A., Marwoto, B., dan Sukma, D.
2011. Teknologi haploid anyelir : studi tahap perkembangan mikrospora
dan seleksi tanaman donor anyelir. J. Hort. 21(2):101-112.

Lerch, K. 1981. Tyrosinase kinetics: a semi-quantitative model of the mechanism


of oxidation of monohydric and dihydric phenolic substrates. In Sigel,
H.(Ed.) Metal lons in Biology system. 13 Marcel Dekker Inc., New York,
bassel. 143-186 p.
Lizawati, Norita, T. dan Purnamaningsih, R. 2009. Induksi dan multiplikasi tunas
jarak pagar (jatropha curcas L.) secara in vitro. J.Agron. Indonesia 37(1):
27-85.
Motallebi-Azar, A., Kazemiani,S., Kumarsie, F and Mohaddas, N. 2011. Shoot
proliferation from node explants of potato (Solanum tuberosun cv. Agria).
II Effect of different concentration of NH4NO3, Hydrolyzed casein, and
BAP. Romanian Biotecnological Letters 16(3) : 6181-6186.
Mukaromah,L., Nurhidayati, T., dan Nurfadilah, S. 2013. Pengaruh sumber dan
konsentrasi nitrogen terhdap pertumbuhan dan perkembangan biji
Dendrodium faxiflorum J.J Smith secara in vitro. Journal Sains dan Seni
pomits 2(1) : 2337 – 3520.
Murashige, T. and Skoog, F. 1962. A Rivesed medium for rapid growth and
bioassays with tobacco tissue culture. Physiol. Plantarum 15:473-497.
Nitsch, J.P., Nitsch, C., Rossini, L.M.E and Bui dang Had. 1967. The role of
adenin in bud differention. Phytomorph 17:446-453.
Ohira, K., Ikeda, M., and Ojima, K. 1976. Thiamine requirements of various plant
cells in suspension culture. Plant & Cell Physiol 17 : 583-590.
Rahman, M.H, Haidar, S.A, Hossain, M and Islam, R. 2011. Effect of potassium
and ammonium nitrate media on in vtro growth response of potato
(Solanum tuberosun L.). IJB 1(2): 54-57.
Rasmia, Darwesh, S.S., Zeinab, Said, E. and Sidky, R.A. 2011. Effect of
ammonium nitrate and GA3 on growth and development of date palm
plantlets in vitro acclimatization stage. Research Journal of Agricultural
and Biological Science 7(1) : 17-22.
Saad, A.I.M and Elshahed, A.M. 2012. Plant tissue culture media. Intech. 29-40 p.
Sari, L. 2005. Optimalisasi media untuk jumlah daun dan multiplikasi tunas lidah
buaya (Aloe vera) dengan pemberian BAP dan Adenim. Biodiversitas
6(3): 178-180.
Simatupang, B. 2013. Rumput gajah (Pennisetum purpureum) jenis rumput
unggul bernutrisi tinggi tahan kering. http://www.bbppkupang.info/berita-
99-rumput-gajah-html.
Sukhla, S., Sukhla, S.K., and Mishra, S.K, 2012. In virto regeneration of
multipurpose medicinal tree Stereospermun suaveolens, factor
controlling the in vitro regeneration. J. Biotechnol Biomaterial S13:001

152
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Sulaeman, M.A. 2010. Clonal propagation of Ziziphus spina-christi by shoot tip
culture: I. Improved Inorganic and organic media constituents for in vitro
shoot multiplications. JKAU Met & Arid land Agric.Sci. 21(2):3-17.
Sulistya, A.G dan Mariyono. 2013. Produktivitas rumput unngul diarea tambang.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013.
hal 455-460.
Supriati, Y., Mariska, I., dan Mujiman. 2006. Multiplikasi tunas belimbing Dewi
(Averrhoa carambola) melalui kultur in vitro. Buletin Plasma Nutfah 12(2):
50-55.
Victorio, C.P, Lage, S.C.L, and Sato, A. 2012. Tissue culture techniques in the
proliferation of shoots and roots of Calendula officinalis. Revista Ciercia
Agronomica 43(3):539-545.
Winarto, B. 2013. Pengaruh medium dasar dan ammonium nitrat terhadap
pembentukan, regenerasi kalus dan penggandaan tunas hasil kultur
anther anthurium. J. Hort. 23(1): 9-20.
Xian-Can, Jones,D.A., and Kera, A. 1989. Regeneration of shoot on roots
explants of flax. Ann.Bot. 63:297-299.

153
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

TRANSFORMASI DAN REGENERASI RUMPUT GAJAH


(Pennisetum purpureum schumach) DENGAN FAKTOR
TRANSKRIPSI 35S-OSHOX 4 UNTUK KETAHANAN
TERHADAP KEKERINGAN

N. Sri Hartati, Pramesti Dwi Aryaningrum dan Enny Sudarmonowati

Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI


Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong 16911
Telp. 021-8754587 Fax. 021-8754588
Email: Hartati12@yahoo.com

ABSTRAK
Peningkatan ketahanan kekeringan pakan ternak untuk mempertahankan
produktivitas hijauan perlu dilakukan. Salah satu cara perakitan varietas unggul
tanaman yang bisa dilakukan adalah melalui rekayasa genetika melalui
transformasi dengan gen ketahanan kekeringan. Pada penelitian ini dilakukan
transformasi rumput gajah (P. purpureum) dengan faktor transkripsi 35S-oshox4.
Bahan tanaman yang digunakan adalah pangkal batang kultur in vitro rumput
gajah. Transformasi dilakukan dengan cara merendam bahan tanaman dalam
larutan bakteri Agrobacterium tumefaciens yang mengandung plasmid oshox4
selama 5 menit dan dikokultivasi selama 1 hari pada media ½ MS dan
selanjutnya ditumbuhkan pada 2 jenis media seleksi yaitu MS yang
mengandung 1 mg/L 2,4D, 5 mg/l higromisin, 100 mg/l cefotaxim serta media
MS yang mengandung 1 mg/l BAP, 5 mg/l higromisin, 100 mg/l cefotaxim.
Kondisi eksplan pada hari ke 15 setelah transformasi menunjukkan
perkembangan eksplan melalui tahapan organogenesis kalus secara langsung
dan pembentukan kalus embriogenik. Persentase eksplan yang tumbuh dan
tahan pada media seleksi yang melalui organogenesis tunas secara langsung
adalah 58% pada media seleksi yang mengandung BAP dan 10% pada media
seleksi yang mengandung 2,4D, sedangkan regenerasi melalui kalus
embriogenik adalah 8% pada media seleksi yang mengandung 2,4D. Uji
integrasi gen dilakukan dengan PCR menggunakan primer hpt (gen penyeleksi
ketahanan terhadap higromisin) dan primer spesifik oshox4. Pertumbuhan dan
morfologi plantlet yang tahan pada media seleksi yang mengandung higromisin
sama dengan tanaman kontrolnya.

Kata kunci: Pennisetum purpureum, faktor transkripsi, oshox4

PENDAHULUAN
Ketersediaan bibit unggul tanaman yang memiliki respon adaptasi
yang tinggi terhadap cekaman kekeringan yang merupakan faktor
pembatas pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan sangat
berguna untuk menjamin produktivitas tanaman. Terkait dengan

154
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
produksi peternakan yang sangat tergantung pada ketersediaan pakan
memerlukan bibit tanaman pakan ternak tahan cekaman kekeringan yang
dapat dikembangkan untuk mendukung pertanian dan peternakan di
lahan kering ataupun mengatasi dampak perubahan iklim global. Rumput
gajah (Pennisetum purpureum Schumach) merupakan pakan ternak yang
banyak dibudidayakan karena produktivitasnya tinggi dan tahan hama.
Secara umum strategi untuk perakitan tanaman transgenik tahan
kekeringan yang telah dikembangkan adalah transformasi gen P5CS (Δ1-
pirolin-5-karboksilat sintetase) pada tebu (Fitranty et al., 2003), rekayasa
gen yang terlibat dalam metabolism osmoprotektan, gen transporter dan
gen pendetoksifikasi (Jewell et al., 2010). Gen-gen terkait ketahanan
terhadap kekeringan yang telah diintroduksikan atau overekspresi pada
tanaman diantaranya overekspresi gen late embryogenesis abundant
(LEA) proteins pada padi (Xiao et al. 2007), faktor transkripsi OSHOX
pada padi (Mulyaningsih et al. 2009), gen nicotiana protein kinase (NPK1)
pada jagung (Shou et al., 2004), gen β carotene hydroxylase pada
arabidopsis (Davison et al., 2002) dan tomat (D'Ambrosio et al., 2011).
Transformasi genetik pada rumput yang telah dilakukan
diantaranya pada Brachypodium distachyon menggunakan gen
pelapor GUS (Vogel et al., 2006) dan green fluorescent protein
(Vain et al., 2008). Selain itu transformasi faktor transkripsi HvWRKY38
gandum pada Paspalum notatum Flugge dengan teknik biolistic dapat
meningkatkan toleransi kekeringan (Xiong et al., 2009). Upaya untuk
meningkatkan toleransi pakan ternak budidaya yaitu rumput gajah
terhadap kekeringan dilakukan melalui pendekatan molekuler yaitu
melalui teknik transformasi genetik menggunakan gen faktor transkripsi
Oshox4 yang responsif terhadap kekeringan. Tujuan penelitian ini adalah
mengembangkan metoda transformasi genetik rumput gajah dengan
konstruk gen tahan kekeringan faktor transkripsi 35S-oshox 4 untuk
meningkatkan toleransi terhadap kekeringan.

155
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

MATERI DAN METODE


Persiapan Kultur Bakteri
Koloni tunggal dari Agrobacterium tumefaciens OSHOX 4
diinokulasikan pada media LB cair yang mengandung 50 mg/l kanamisin
dan 20 mg/l rifampisin dan diinkubasi pada incubator shaker pada
kecepatan 150 rpm dengan suhu 28oC selama 24 jam. Selanjutnya
disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Endapan
bakteri yang diperoleh dicuci dengan air steril dan disentrifugasi kembali
dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Pelet kemudian ditambah
akuades steril hingga mencapai volume 20 ml (OD 0,7) dan ditambah
dengan 20% asetosiringon sebanyak 40 µl dan digunakan untuk
transfromasi kalus embriogenik rumput.
Transformasi
Bahan transformasi yang digunakan adalah pangkal batang kultur
in vitro rumput gajah. Kultur bakteri A. tumefaciens yang mengandung
plasmid OSHOX 4 ditransformasikan pada dengan cara merendam
eksplan dengan larutan bakteri selama 5 menit dan dikokultivasi selama 1
hari pada media ½ MS. Selanjutnya eksplan dicuci larutan cefotaxim (150
mg/L) dan aquadest. Eksplan yang telah dicuci kemudian ditanam pada 2
jenis media seleksi yaitu MS + 1 mg/L 2,4D (2,4-Dichlorophenoxyacetic-
acid) + 5 mg/l higromisin + 100 mg/L cefotaxim (media A) dan MS + 1
mg/L BAP (6-benzyl aminopurine) + 5 mg/l higromisin + 100 mg/L
cefotaxim (Media B). Pada percobaan ini dilakukan induksi dan
regenerasi tunas melalui kalus embriogenik pada media yang
mengandung 2,4D (media A) dan melalui pembentukan tunas langsung
pada media yang mengandung BAP (media B). Regenerasi kalus
embriogenik yang berasal dari media B dilakukan pada media MS + 0,5
mg/L BAP + 5 mg/l higromisin + 100 mg/L cefotaxim (media C).
Pengamatan hasil transformasi dilakukan setiap 3 hari.
Uji integrasi gen

156
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Planlet putatif transgenik yang beregenerasi pada media seleksi
dilakukan uji integrasi gen dengan PCR menggunakan primer gen
ketahanan terhadap higromisisn (hptF : 5’- GATGCCTCCGCTCGAAG
TAGCG-3’; hptR :5’-GCATCTCCCGCCCGT GCAC-3’). Kondisi PCR
untuk primer hpt adalah 95oC, 10 menit (pra PCR), 95oC, 1 menit
(denaturasi), 55oC, 1 menit (annealing), 72oC, 1 menit (elongasi) dan
72oC, 10 menit (post PCR). Selain itu digunakan pula primer spesifik
Oshox4 (OSHOX4F: 5’ GCTCGAGGGATCCGGCGGCGGCGAGCT
TCACGTCGGTG-3’;OSHOX4R:5’-GGGGAATTCAAGCTTTAGT GTTTT
CCAACTCTCTCTCTCG-3’). Kondisi PCR untuk primer Oshox4 adalah
95oC, 5 menit (pra PCR), 95oC, 30 detik (denaturasi), 55oC, 45 detik
(annealing), 72oC, 3 menit (elongasi) dan 72oC, 7 menit (post PCR).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Seleksi dan regenerasi eksplan hasil transformasi
Transformasi rumput gajah dengan dengan konstruk gen tahan
kekeringan Oshox4 dilakukan terhadap pangkal batang kultur in vitro
rumput gajah dan selanjutnya dikultur pada dua jenis media seleksi untuk
induksi kalus ataupun tunas yaitu media A yang mengandung 2,4D dan
media B yang mengandung BAP. Pada kedua media tersebut eksplan
menunjukkan respon pembentukan kalus dan tunas. Pembentukan tunas
pada media A terjadi pada hari ke 7 setelah transformasi, sedangkan
pada media B lebih cepat yaitu pada hari ke 3. Pada awal pembentukan
tunas, pada media A persentase pembentukan tunas lebih tinggi (18%)
dibanding pada media B (16%), tetapi eksplan yang dapat berkembang
lebih lanjut persentasenya lebih tinggi pada media B (58%) dibanding
media A (16%) (Tabel 1.).
Pada kedua media yang dicoba eksplan menunjukkan
pembentukan kalus pada hari ke 15 setelah transformasi. Jenis kalus
yang terbentuk berbeda, pada media A (2,4D) kalus yang terbentuk
adalah kalus embriogenik (Gambar 1.) sedangkan pada media B (BAP)
157
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

jenis kalusnya adalah kalus organogenik yang dapat secara langsung


beregenerasi pada media yang sama dengan efisiensi regenerasi
sebesar 2% (Tabel 1) (Gambar 2). Kalus embriogenik yang terbentuk
pada media B selanjutnya ditransfer pada media C (media seleksi yang
mengandung 0.5 mg/l BAP) dan menunjukkan efisiensi regenerasi
sebesar 10% (Tabel 1) (Gambar 3). Fenotifik regeneran hasil
transfromasi menunjukkan perkembangan yang sama dengan kontrol
baik yang berasal dari media A maupun dari media B (Gambar 4.).
Transformasi rumput dari kelompok spesies Cynodon dengan
teknik particle bombardement dengan efiesiensi transformasi 0.9%
(Parco, 2000). Teknik transformasi genetik rumput dengan menggunakan
A. tumefacien telah dilakukan pada beberapa jenis rumput diantaranya
switchgrass (Panicum virgatum L.) dengan gen GFP (green fluorescence
protein) dengan cara di vakum dan menghasilkan efisiensi transformasi
mencapai 90% (Li & Qu, 2010). Peningkatan efisiensi transformasi pada
percobaan transformasi dengan gen Oshox 4 perlu dilakukan lebih lanjut
dengan cara tersebut (divakum).
Tabel 1. Persentase eksplan yang tahan atau dapat beregerasi pada
media seleksi MS + 1 mg/L 2,4 D + 5 mg/l higromisin + 100
mg/L cefotaxim dan MS + 1 mg/L BAP + 5 mg/l higromisin + 100
mg/L cefotaxim.
Jenis media Jumlah Eksplan Eksplan Regenera Tunas Tingkat
eksplan berkalus berkalus dan si kalus berkem- multiplikasi
awal (%) bertunas (%) (%) bang (%) tunas pada
hingga
umur 4
bulan
Media A dan
media C 50 60 18 8 10 9.6 kali

Media B 50 28 16 2 58 20,31 kali

158
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P

Kontrol Transforman

Kontrol Transforman

Gambar 1. Perkembangan eksplan hasil transformasi pada media MS +


1 mg/L 2,4 D + 5 mg/l higromisin + 100 mg/L cefotaxim.

Kontrol Transforman

Kontrol Transforman

Gambar 2. Perkembangan eksplan hasil transformasi pada media MS +


1 mg/L BAP + 5 mg/l higromisin + 100 mg/L cefotaxim.

159
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Gambar 3. Regenerasi kalus embriogenik hasil transformasi asal media A


pada MS + 0.5 mg/L BAP + 0.5 mg/l higromisin + 100 mg/L
cefotaxim.
A B

Kontrol Transformasi Kontrol Transformasi

Gambar 4. Perkembangan tunas umur 21 setelah transformasi


transformasi pada media MS + 1 mg/L BAP + 5 mg/l
higromisin + 100 mg/L cefotaxim (A) dan MS + 1 mg/L 2,4
D + 5 mg/l higromisin + 100 mg/L cefotaxim (B).

Uji integrasi gen


Konstruk gen uji integrasi gen 35S-oshox4 memiliki gen penanda
ketahanan terhadap antibiotik higromisin (gen hpt) serta gen target faktor
transkripsi Oshox4. Uji integrasi gen dengan PCR menggunakan primer
hpt dan Oshox4 menunjukkan bahwa konstruk gen dapat terintegrasi
pada plantlet rumput gajah yang ditunjukkan dengan adanya produk
amplifikasi genom dengan kisaran ukuran basa 600 bp untuk gen
penanda hpt dan 1100 bp untuk gen faktor transkripsi Oshox4 (Gambar
5.). Pada tanaman yang tidak ditransformasi (Kontrol) (lane 1) tidak
tamapak adanya produk PCR.

160
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Untuk mengetahui ekspresi gen Oshox4 pada plantlet hasil seleksi
yang menunjukkan uji positif integrasi gen selanjutnya dapat dilakukan
skrining pada media yang mengandung poly ethylene glycol (PEG). Uji
toleransi kekeringan tanaman pada tahap in vitro telah dilakukan
diantaranya pada Heliantus annus (Manuhara et al., 2013), padi (Wani et
al., 2010) dan pada gandum (Soliman & Handawy, 2013). Upaya
perakitan rumput gajah untuk peningkatan toleransi terhadap kekeringan
melalui transgenesis dengan gen faktor transkripsi Oshox4 perlu dapat
dikembangkan lebih lanjut untuk mendukung produktivitas pakan ternak
yang berkelanjutan .

Gambar 5. Hasil Amplifikasi PCR DNA genom rumput gajah hasil


transformasi dengan primer hpt (A) dan Oshox4 (B).

KESIMPULAN
Konstruk gen 35S-Oshox4 dapat diintroduksikan pada rumput
gajah yang ditunjukkan dengan kemampuan eksplan beregenerasi pada
media seleksi yang mengandung higromisin serta uji integrasi gen
dengan primer spesifik Oshox4. Efisiensi regenerasi eksplan hasil
transformasi melalui jalur embryogenesis somatik adalah sebesar 8% dan
sebagian besar berkembang menjadi plantlet putatif transgenik.

161
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan program nasional
MEAT-MILK PRO 2014, “Peningkatan Produktivitas Ternak Sapi Melalui
Pengembangan Pakan Yang Berkualitas”. Ucapan terimakasih
disampaikan Laboratorium Genomik dan Perbaikan Mutu Tanaman. yang
telah menyediakan konstruk gen 35S-oshox 4, Sdr. Muhamad Usen dan
Suwinaryani untuk batuan teknis di laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA
D'Ambrosio C, Stigliani A, Giorio G. 2011. Overexpression of CrtR-b2 (carotene
beta hydroxylase 2) from S. lycopersicum L. differentially affects
xanthophyll synthesis and accumulation in transgenic tomato plants.
Transgenic Res Vol. 20(1):47-60.
Davison P, Hunter C, Horton P. 2002. Overexpression of beta-carotene
hydroxylase enhances stress tolerance in Arabidopsis. Nature Vol.
418(6894): 203-206.
Fitranty N, Nurilmala R, Santoso D, Minarsih H. 2003.Efektivitas Agrobacterium
mentransfer gen P5CSke dalam kalus tebu klon PS 851. Menara
Perkebunan Vol.71 (1), 16-27.
Jewell M, Campbell B, Godwin I. 2010. Transgenic Plants for Abiotic Stress
Resistance. In : Transgenic Crop Plants ( Kole C, et al. (eds.). Springer –
Verlag. Berlin. Pp: 67-132.
Li R, Qu R. 2010. High throughtput Agrobacterium-mediated Switchgrass
transformation. Biomass and bioenergy Vol. XXX: 1-9.
Manuhara Y, Depari T, Pristantho T. 2013. Effect of drought stress induced by
polyethylene glycol (PEG 6000) on callus of Helianthus annus L.).
Journal of Applied Phytotechnology in Environmental Sanitation, 2 (3): 73-
78.
Mulyaningsih E, Hermawan R, Loedin I. Genetic Transformation of Transcription
Factor (35S-oshox4) Gene into Rice Genome and Transformant Analysis
of hpt Gene by PCR and Hygromycin Resistance Test. 2010.
Biodiversitas Vol.10(2): 63-69.
Parco A. 2000. Bermudagrass tissue culture and genetic transformation through
agrobacterium and particle bombardment methods. Thesis Master of
Science Oklahoma State University Stillwater, Oklahoma.
Shou H, Bordallo P, Wang K. 2004. Expression of the Nicotiana protein kinase
(NPK1) enhanced drought tolerance in transgenic maize. Exp. Bot Vol.
55(399): 1013-1019.
Soliman H, Hendawy M. 2013. selection for drought tolerance genotypes in
durum wheat Ttriticum durum desf.) under in vitro conditions. Middle-East
Journal of Scientific Research 14 (1): 69-78, 2013.
Vain P, Worland B, Thole V, McKenzie N, Alves SC, Opanowicz M, Fish LJ,
Bevan MW, Snape JW. 2008. Agrobacterium-mediated transformation of

162
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
the temperate grass Brachypodium distachyon (genotype Bd21) for T-
DNA insertional mutagenesis. Plant Biotechnol J. Vol 6(3):236-45.
Vogel JP, Garvin DF, Leong OM, Hayden DM. 2006. Agrobacterium -mediated
transformation and inbred line development in the model grass
Brachypodium distachyon. Plant Cell, Tissue and Organ Culture Vol. 84:
199–211.
Wani S, Sofi P, Gosal S, Singh N. 2010. In vitro screening of rice (Oryza sativa L)
callus for drought Tolerance. Communications in Biometry and Crop
Science Vol. 5(2): 108-115.
Xiao B, Huang Y, Tang N, Xiong L. 2007. Over-expression of a LEA gene in rice
improves drought resistance under the Weld conditions. Theor Appl
Genet Vol. 115:35–46
Xiong X, James V, Zhang Z, Altpeter F. 2009. Constitutive expression of the
barley HVWRK38t for enhance drought tolerance in turf grass and forage
grass (Paspalum notatum Flugge). Mol. Breeding Vol. 25: 419-432.

163
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

KUMPULAN MAKALAH
REPRODUKSI PETERNAKAN

164
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
UPAYA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DALAM
MEMPERTAHANKAN KABUPATEN BLORA SEBAGAI
WILAYAH SUMBER SAPI POTONG: Suatu Kajian

Sri Nastiti Jarmani dan Sajimin

Balai Penelitian Ternak


Jl. Veteran III, Ciawi, Bogor 16720 Jawa Barat PO Box 221 Bogor 16002. Jawa
Barat, Telp: 02512 – 8240751, 8240753 Fax: 0251 - 8240754
E-mail : srinastitijarmani@yahoo.com

ABSTRAK
Wilayah Kabupaten Blora hampir 50% nya merupakan lahan kering dan hutan
jati yang terluas di pulau Jawa. Produksi kayunya adalah jati glondong kualitas
dunia. Populasi sapi potong Peranakan Ongole (PO) terbanyak di propinsi Jawa
Tengah dan merupakan sumber bibit sapi potong karena sebagian besar
populasinya adalah sapi betina dewasa. Sapi PO merupakan plasma nutfah sapi
potong dan sudah sangat adaptif dengan kondisi kering namun produktivitasnya
rendah. Ketersediaan pakan yang tidak mencukupi kebutuhan sepanjang tahun
merupakan masalah utama selain manajemen pemeliharaan dan manajemen
pemberian pakan masih tradisional. Pemanfaatan lahan diantara tanaman jati
muda di kawasan hutan jati sangat berpotensi menjadi daerah sumber hijauan
pakan. Produksi bahan kering Panicum maximum cv purpleguinea, Pennisetum
purpureum cv Taiwan dan Pennisetum purpureum lokal sekitar 1,033; 1,042
ton/ha dan 0,900 ton/ha/panen. Produksi bahan kering legume herba Clitoria
ternatea lebih rendah dari legume Centrosema pubescens yaitu 0,502 vs 0,586
ton/ha sedangkan leguminosa pohon Sesbania grandiflora produksi bahan kering
lebih tinggi dari Leucaena leucocephala cv taramba yaitu 0,167 vs 0,086 ton/ha.
Produksi biomas padi per tahun rata-rata 4,59 ton/ha atau setara dengan 2,25
ton/ha/tahun biomas padi yang sudah diperkaya nilai nutrisinya sehingga mampu
untuk mencukupi kebutuhan 1-2 ekor sapi. Potensi integrasi tanaman hijauan
pakan dengan kawasan hutan jati diperkirakan menghasilkan 8 ribu ton/tahun
bahan kering hijauan pakan yang mampu mendukung kebutuhan 3-4 ribu ekor
sapi sepanjang tahun. Disimpulkan bahwa integrasi hutan jati dengan hijauan
pakan ternak akan mampu meningkatkan produktivitas dan mempertahankan
sapi potong di kabupaten Blora.

Kata kunci: sapi, hijauan, pakan, hutan jati, integrasi.


.

PENDAHULUAN
Wilayah Kabupaten Blora sebagian besar merupakan lahan kering
dan hampir 50% nya adalah kawasan hutan jati dengan produksi utama
kayu jati glondong kualitas dunia (BPS. 2013). Dinas Peternakan Propinsi

165
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Jawa Tengah (BPS. 2012) menyatakan bahwa Kabupaten Blora juga


dikenal sebagai wilayah dengan populasi sapi potong jenis Peranakan
Ongole terbanyak dan sebagai sumber bibit sapi di Jawa Tengah karena
sebagian besar populasinya adalah sapi betina dewasa. Populasi sapi
terbanyak tersebar di kawasan hutan jati yang dipelihara masyarakat
secara tradisional, digembalakan di kawasan hutan jati pada pagi hingga
sore dan dikandangkan didalam rumah pada malam hari dengan pakan
jerami padi atau “tebon/brangkasan jagung” meneruskan para
pendahulunya. Sapi PO merupakan plasma nutfah dan sudah sangat
adaptif dengan kondisi kering di kawasan hutan jati Kabupaten Blora,
namun karena pemeliharaannya tradisional menyebabkan
produktivitasnya rendah. Untuk mempertahankan keberadaannya perlu
ditingkatkan produktivitasnya dengan memberikan pakan yang
berkualitas. Jarmani et al. (2008) melaporkan bahwa perbaikan tatacara
pemberian pakan yang berkualitas dapat meningkatkan pertambahan
bobot badan sapi PO 4,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
pemeliharaan yang biasa dilakukan oleh masyarakat dan Haryanto et al.
(2005) melaporkan bahwa pemberian 6 kg jerami yang difermentasi dan
2 kg konsentrat dapat meningkatkan bobot badan 0,7 – 1,0 kg per hari
dbandingkan dengan pemeliharaan tradisional. Anggraeni et al. (2005)
dan Rohaeni et al. (2006) melaporkan bawa pemberian limbah tanaman
jagung dalam bentuk hay, silase atau fermentasi dapat meningkatkan
bobot harian sapi. Ahmad Subhan (2006) melaporkan bahwa tongkol
jagung yang difermentasi dapat meningkatkan bobot hidup sapi dan lebih
menguntungkan dibandingkan dengan sapi yang diberi tongkol jagung
tanpa difermentasi meskipun biayanya lebih tinggi. Permasalahannya
adalah ketersediaan pakan yang tidak mencukupi sepanjang tahun
terutama pada musim kemarau, sehingga perlu mengoptimalkan biomas
pertanian dan memberdayakan secara optimal lahan di kawasan hutan
jati yang berpotensi sebagai sumber hijauan pakan ternak yaitu lahan

166
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
dibawah tegakan tanaman jati muda karena sinar matahari masih cukup
sehingga tanaman pakan masih dapat tumbuh dengan baik.
Biomas tanaman pangan (padi dan jagung) meskipun kandungan
nutriennya rendah tetapi sangat berpotensi untuk pakan sapi sebagai
sumber serat dan protein. Angraeni et al. (2006) melaporkan bahwa
proporsi biomas tanaman jagung terdiri atas jerami jagung yaitu bagian
batang dan daun yang telah mengering (55,38 – 62,29%), daun jagung
(22,57 – 27,38%) dan kulit buah jagung (11,88 – 16,41%) dan selebihnya
adalah tongkol jagung. Jerami padi, brangkasan jagung dan daun jagung
sudah biasa dimanfaatkan sebagai pakan sapi namun pemanfaatannya
belum optimal. Sementara itu karena keterbatasan pengetahuan
masyarakat kulit buah dan tongkol jagung tidak dimanfaatkan sebagai
pakan dan dibuang atau dibakar sehingga mengotori udara. Optimalisasi
pemanfaatan biomas padi dan jagung dapat dilakukan dengan
meningkatkan nilai nutriennya dengan cara difermentasi menggunakan
probiotik probion sebagai starter (Jarmani et al., 2013). Penggembalaan
sapi di kawasan hutan jati mengganggu program reboisasi hutan
sehingga penanaman pakan ternak di bawah tegakan tanaman jati muda
di Kabupaten Blora merupakan satu pilihan terbaik untuk mensukseskan
program tersebut. Kewenangan Masyarakat Desa Hutan (MDH) sangat
terbatas dibandingkan dengan institusi kehutanan yang menguasai lahan
hutan dengan segala kepentingannya sehingga banyak kawasan hutan
yang sebenarnya masih dapat dimanfaatkan oleh MDH untuk ditanami
tanaman pakan ternak sehingga tidak akan terjadi lagi penggembalaan di
kawasan hutan. Jarmani et al. (2013) melaporkan bahwa beberapa
tanaman pakan ternak jenis rumput Panicum maximum cv purpleguinea,
Pennisetum purpureum cv Taiwan dan Pennisetum purpureum lokal,
leguminosa herba Clitoria ternatea dan Centrosema pubescens dan
leguminosa pohon Sesbania grandiflora dan Leucaena leucocephala cv
taramba, yang ditanam diantara tegakan tanaman jati muda dapat
beradaptasi dengan baik dan produktivitasnya tinggi di lahan kering di

167
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

kawasan hutan jati Kabupaten Blora. Oleh karena itu untuk menjaga
Kabupaten Blora sebagai sumber sapi PO dan meningkatkan
produktivitasnya, ketersediaan pakan sepanjang tahun perlu diupayakan
yakni dengan memanfaatkan lahan dibawah tegakan jati muda sebagai
sumber pakan hijauan untuk sapi.
Kegiatan integrasi sapi dikawasan hutan jati di Kabupaten Blora
telah dilakukan pada Tahun 2011 hingga 2013 di wilayah KPH Cepu,
pada kelompok Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Jati Bagus
desa Jomblang Kecamatan Jepon. Tujuannya adalah untuk memperbaiki
produktivitas sapi melalui penerapan teknologi budidaya yang baik dan
benar dengan memanfaatkan biomas tanaman pangan (jerami padi,
brangkasan, janggel jagung dan klobot) dan lahan dibawah tegakan
tanaman jati muda sebagai sumber pakan sapi yang berkualitas.
Teknologi yang digunakan adalah fermentasi aerob sesuai Haryanto et al.
(2002) dan penanaman hijauan pakan ternak (HPT) yang tahan terhadap
kondisi lahan kering diantaranya adalah rumput Panicum maximum cv
purpleguinea, Pennisetum purpureum cv Taiwan dan Pennisetum
purpureum lokal, leguminosa herba Clitoria ternatea dan Centrosema
pubescens dan leguminosa pohon sesbania gradiflora dan Leucaena
leucocephala cv taramba yang ditanam di lahan dibawah tegakan
tanaman jati muda dalam lajur berjarak 2 meter dari tanaman utama.
Jarak tanam antar tanaman 50 x 50 cm. Pemotongan dilakukan setiap
30, 45 dan 60 hari.

Potensi Sumberdaya Pertanian Kabupaten Blora


Sebagian besar (49,69%) luas Kabupaten Blora merupakan
kawasan hutan jati yang terbagi dalam 3 wilayah Kawasan Pangkuan
hutan (KPH) yaitu KPH Blora, KPH Randublatung dan KPH Cepu
sedangkan untuk lahan pertanian hanya 25,29% berupa sawah dan
tegalan 14,39% dari total luas 182.058,797 ha (BPS. 2013). Meskipun
demikian dari hasil sensus pertanian tahun 2013 sebanyak 153.251

168
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
rumah tangga masih bergantung pada subsektor tanaman pangan
meskipun produktivitas lahannya rendah dibandingkan daerah lain di
Jawa Tengah karena kondisi lahannya kering dan curah hujannya rendah
sehingga dalam setahun hanya dapat panen satu kali (Tabel 1).
Sementara itu sapi merupakan sumber pendapatan kedua setelah
tanaman pangan dimana sebanyak 126.380 rumah tangga memelihara
sapi potong dan sebgain besar adalah sapi PO. Sapi PO merupakan
plasma nutfah sapi asli Indonesia yang sudah sangat adaptif dengan
kondisi daerah kering di kawasan hutan jati sehingga sangat perlu untuk
dijaga keberadaannya. Dari hasil sensus tahun pertanian tahun 2013,
dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Tengah populasi sapi di
Kabupaten Blora adalah terbanyak dan mencapai 272.910 ekor pada
tahun 2012 atau naik 1,25% dari tahun 2011 yang sebagian besar
tersebar di kawasan hutan jati. Rendahnya laju peningkatan populasi
karena pemeliharaan tradisional dan pakan yang kurang tercukupi jumlah
maupun kualitasnya sehingga mempengaruhi perkembangan organ
reproduksi. Sapi dipelihara secara tradisional, dikandangkan didalam
rumah pada malam hari dan digembalakan di kawasan hutan jati pada
siang hingga sore hari. Hal ini karena tidak tercukupinya kebutuhan
pakan dan bagi pesanggem (masyarakat penggarap) hutan masih
menyimpan hijauan pakan sapi yang melimpah sehingga bagi institusi
kehutanan sapi adalah musuh karena mengganggu program reboisasi
hutan. Oleh karena itu untuk mensukseskan program reboisasi adalah
dengan memanfaatkan potensi lahan hutan dan pertanian yang tersedia
sebagai sumber pakan sapi.
Tabel 1, biomas yang dihasilkan dari tanaman pangan (padi dan
jagung) masih cukup untuk menyediakan pakan berserat untuk sekitar
43.390 ekor sapi sepanjang tahun. Angka kecukupan ini dapat
terrealisasi bila masyarakat peternak dibekali dengan teknologi
penyediaan pakan yang mudah diterapkan dengan bahan pakan yang
dihasilkan setempat serta penyadaran kepada masyarakat akan

169
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

pentingnya menjaga kawasan hutan jati dan penyelamatan sumber bibit


sapi.
Tabel 1. Luas panen dan produksi tanaman pangan di Kabupaten Blora
tahun 2012
Jenis tanaman Luas panen Produksi (ton) Perkiraan
(ha) Produksi
biomas (ton)*
Padi sawah 75.605 402.874 201.436
Padi ladang 3.955 19.221 9.611
Jagung 56.869 273.912 82.713
Kedele 6.428 12.339 3.701
Kacang tanah 3.261 3.888 972
Kacang hijau 4.816 4.749 1.187
Ubi jalar 169 1.948 974
Ubi kayu 1.900 35.600 3.204
Sumber: BPS. 2013 ; *) yang dapat dimanfaatkan untuk sapi
Tongkol dan kulit buah jagung adalah bahan pakan sumber serat
meskipun kandungan nutriennya rendah sehingga dianggap sebagai
bahan yang bernilai ekonomi rendah dibandingkan jerami dan daun
jagung, sehingga banyak terbuang dan menumpuk sebagai sampah yang
dapat menyebabkan banjir atau dibakar sehingga mengotori udara. Hal
ini karena tingkat pengetahuan pesanggem rendah sehingga kedua
biomas tersebut belum dimanfaatkan sebagai pakan. Oleh karena itu
bimbingan teknologi perlu diberikan kepada pesanggem untuk
pemanfaatan kedua biomas tersebut dengan meningkatkan nilai
nutrisinya sebelum diberikan sebagai pakan sehingga bernilai ekonomi
tinggi dan kebutuhan pakan dapat terpenuhi. Peningkatan nilai nutrisi
biomas dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kimia (Sundstol,
2008), biologis dengan menambahkan enzym (Lie et al., 2010) atau
secara phisik dan menambahkan urea (Chander, 2011) namun kesemua
cara tersebut sulit untuk diaplikasikan di petani karena terlalu teknis dan
enzym tidak tersedia di lokasi, sehingga yang termudah adalah dengan
cara fermentasi aerob yang salah satunya adalah menggunakan probiotik
(Haryanto et al., 2002). Pemanfaatan tanaman umbi-umbian ataupun
biomasnya dan biomas kacang-kacangan sangat perlu diintroduksikan ke

170
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
pesanggem. Hal ini karena masih adanya kepercayaan masyarakat
bahwa sapi yang diberi pakan umbi-umbian atau biomasnya dapat
menyebabkan kematian pada sapi, sehingga bahan pakan sumber energi
tersebut banyak terbuang. Bimbingan teknologi pemanfaatan ubi kayu
yang sudah di cacah dan dikeringkan dengan sinar matahari dan
diberikan sebagai pakan sapi dapat diterima oleh kelompok LMDH di
desa Jomblang (Jarmani et al., 2013) dan selanjutnya dikelola oleh
kelompok LMDH sebagai cadangan pakan pada musim kemarau.

Potensi sumberdaya hutan


Kawasan hutan jati yang hampir 50% dari luas wilayah kabupaten
Blora menyimpan banyak kawasan yang belum dioptimalkan
penggunaannya terutama dibawah tegakan tanaman jati muda. Padi
gogo, jagung, tanaman obat, porang, ubikayu, kacang tanah adalah
tanaman yang banyak diusahakan di kawasan hutan dan jumlahnya
kurang dari 10% dari jumlah tegakan tanaman jati muda. Sekitar 1200 ha
lahan hutan jati di Kabupaten Blora ditanami porang, namun sejak tahun
2011/2012 beberapa kawasan dimanfaatkan oleh pesanggem untuk
tanaman padi gogo, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan kacang
hijau serta tanaman obat. Hal ini merupakan bukti bahwa aspek sosial
yang dijanjikan kepada pesanggem atau masyarakat di kawasan hutan
tidak seluruhnya diberikan karena kepentingan dari pemilik lahan lebih
diutamakan.
Produksi bahan kering (BK) tanaman pakan ternak di bawah
tegakan tanaman jati muda berupa tanaman rumput, leguminosa herba
dan leguminosa pohon ditunjukkan pada Tabel 2.

171
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Tabel 2. Produksi BK tanaman pakan ternak di bawah tegakan tanaman


jati muda
Jenis tanaman pakan Umur panen (hari) Produksi BK
(ton/ha/panen)
Rumput:
Panicum Maximum cv 50 1,003
purpleguinea
Pennisetum purpureum 1,042
cv Taiwan
Pennisetum purpureum 0,900
lokal
Leguminosa herba:
Clitoria ternatea 60 0,502
Centrosema 0,586
pubescens
Leguminosa pohon:
Sesbania grandiflora 30 0,167
Leucaena 0,086
leucocephala

Apabila fungsi sosial dari institusi kehutanan dapat dilakukan


secara optimal sehingga memberikan kesempatan kepada pesanggem
untuk menanam hijauan pakan ternak dengan luas yang sama untuk
penanaman porang maka akan dihasilkan hijauan pakan yang mampu
untuk mencukupi kebutuhan pakan sepanjang tahun karena tanaman
tersebut sangat adaptif di lahan kering dan produksinya tinggi dan dapat
dipanen setiap 50 – 60 hari. Selain itu dari Tabel 1 dapat dihasilkan juga
pakan ternak dari biomas tanaman pangan yang sudah ditingkatkan nilai
nutrisinya sehingga program reboisasi hutan dapat berhasil karena tidak
ada penggembalaan sapi di kawasan hutan, kebutuhan pakan ternak
terjaga sepanjang tahun dan produktivitas sapi meningkat dan upaya
Kabupaten Blora mempertahankan keberadaannya sebagai sumber sapi
potong dapat terjaga.

172
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
KESIMPULAN
Integrasi hutan jati dengan tanaman pakan ternak dan tanaman
pangan akan membebaskan hutan dari penggembalaan, produktivitas
hutan terjaga, mampu menyediakan kebutuhan pakan sapi sepanjang
tahun dan mempertahankan keberadaan sapi potong di Kabupaten Blora.

SARAN
Kerjasama antara institusi kehutanan, dinas peternakan dan
pemerintah daerah Kabupaten Blora sangat diperlukan untuk menjaga
keberadaan sumberdaya hutan sebagai penghasil devisa negara dan
paru-paru dunia dan plasma nutfah sapi PO yang sangat adaptif di lahan
kering di Kabupaten Blora.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Subhan. 2006. Janggel jagung Fermentasi, pakan alternatif musim
kemarau. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 28 (4): 9-
10.
Anggraeni.Y.N., Umiyasih dan D. Pamungkas, 2005. Pegaruh suplementasi multi
nutrien terhadap peformans sapi potong yang memperoleh pakan basal
jerami jagung. Pros. Sem.Nas Tek Pet dan Vet. Hal 147 – 152
BPS. 2012. Statistik Peternakan Propinsi Jawa Tengah. 2012. Dinas Peternakan
Propinsi Jawa Tengah.
BPS. 2013. Kabupaten Blora Dalam Angka 2013 Kerjasama: Badan Pusat
Statistik dan BAPPEDA Kabupaten Blora
Chander, M. 2011. Urea Treatment of Straws: Hugely extolled rarely used. In:
FAO. 2011. Successes and failures with animal nutrition practices and
technologies in developing countries. Proceedings of the FAO Electronic
Conference, 1-30 September 2010, Rome, Italy. Edited by Harinder P.S.
Makkar. FAO Animal Production and Health Proceedings. No. 11. Rome,
Italy. pp 15-19.
Haryanto, B., I. Inounu.,I.G.M. Budiarsana dan K. Diwyanto. 2002. Panduan
Teknis Sistem Integrasi Padi-Ternak. 2002. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Haryanto, B., B. Hasan, D. Sisriyenni, A. Batubara dan Bestina. 2005.
Penerapan teknologi pemanfaatan jerami padi dan pembuatan pupuk
organik dari usaha pengembangan sapi potong di Kabupaten Kampar.
Pros. Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi
Pertanian. BPTP Riau. p. 45-53

173
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Jarmani, S.N., B.Haryanto, W.Puastuti, Hastono, S.A. sari, D. Pramono dan


K.Sumanto., 2008. Perbaikan Manajemen Budidaya Ternak Berwawasan
Lingkungan melalui Penerapan teknologi Bioproses Limbah Pertanian
dan Pemanfaatan Tanaman Berkhasiat Obat di Blora. Balitnak. Bogor.31
p.
Jarmani, S.N., Sajimin., A. Angraeni dan D. Pramono. 2013. Integrasi Budidaya
Sapi di Kawasan Hutan Jati di Kabupaten Blora (Pengawalan Teknologi).
Balai Penelitian Ternak. Laporan Penelitian 14.
Li, J., Y. Shen and Y. Cai. 2010. Improvement of Fermentation Quality of Rice
Straw Silage by Application of a Bacterial Inoculant and Glucose. Asian-
Aust. J. Anim. Sci. 23(7): 901-906.
Roheni, E.S., N. Amali dan A. Subhan. 2006. Janggel jagung fermentasi sebagai
pakan alternatif untuk ternak sapi pada musim kemarau. Pros.LokNas
Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung-Sapi Puslitbangnak
Sundstol, F. 1988. Improvement of Poor Quality Forages and Roughages. In
Feed Science. Orskov, E.R. (editor). World Animal Science, B4. Elsevier
Science Publishers B.V. Amsterdam. pp. 257-277.

174
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
KUALITAS KUMPAI MINYAK (Hymenache
amplexicaulis Haes ) DAN KUMPAI BATU (Ischaemum
polystachyum J Presl) YANG DIENSILASE DENGAN
EKSTRAK RUMPUT FERMENTASI
Tintin Rostini

Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan


Jln Adyaksa No 2 Kayu Tanggi Banjarmasin
Email : tintin_rostini@Yahoo.com

ABSTRAK
Ensilase adalah suatu cara pengawetan secara anaerob melalui proses
fermentasi pada kandungan air tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi kualitas, karakteristik fermentasi, in vitro dan kecernaan nutrien
silase Hymenache amplexicaulis Haes dan Ischaemum polystachyum J
Presl dengan ektrak rumput terfermentasi. Metode penelitian terdiri dari empat
perlakuan yang terdiri atas kumpai minyak tanpa aditif (A), kumpai minyak
dengan aditif rumput fermentasi(B); kumpai batu tanpa aditif (C) dan kumpai batu
dengan aditif rumput fermentasi (D). Peubah yang diamati adalah karakteristik
fisik (bau, tekstur, jamur dan warna), VFA, NH3, pH, jumlah BAL, kandungan
nutrisi dan kecernaan in vitro. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa silase
dengan penambahan ektrak rumput fermentasi menunjukkan kualitas silase yang
baik dilihat dari nilai pH, NH3 ,VFA dan kecernaan in vitro.

Kata kunci : aditif ,kumpai minyak, kumpai batu, silase

PENDAHULUAN

Silase adalah pakan produk fermentasi hijauan, hasil samping


pertanian dan agroindustri dengan kadar air tinggi yang diawetkan
dengan menggunakan asam, baik yang sengaja ditambahkan maupun
secara alami dihasilkan bahan selama peyimpanan dalam kondisi
anaerob. Pada pembuatan silase secara biologis sering ditambahkan
bahan aditif sebanyak kurang lebih 3% dari berat hijauan yang digunakan.
Menurut Bolsen et al. (1996) proses ensilase merupakan salah satu cara
untuk meminimumkan kehilangan nutrien dan perubahan nilai nutrisi
suatu bahan pakan hijauan.

175
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Proses ensilase pada dasarnya sama dengan proses fermentasi


di dalam rumen anaerob. Perbedaannya antara lain adalah bahwa dalam
silase hanya sekelompok/group bakteri pembentuk asam laktat yang aktif
dalam prosesnya, sedangkan proses di dalam rumen melibatkan lebih
banyak mikroorganisme dan beraneka ragam. Salah satu kelemahan
hijauan di daerah tropis adalah mempunyai pori-pori yang luas sehingga
pada saat pembuatan silase akan mempersulit pemadatan di dalam silo
yang akhirnya dapat berakibat kondisi anaerob tidak segera tercapai
dibanding dengan hijauan pada daerah terperate yang punya pori-pori
lebih kecil, sehingga pemotongan hijauan sebelum dibuat silase
merupakan upaya mengatasi hal tersebut (Mc Donald et al., 1991). Lebih
lanjut dikatakan bahwa hijauan tropis mempunyai kadar gula terlarut/
Water Soluble Carbohydrate (WSC) yang rendah, oleh karena itu perlu
penambahan aditif yang mempunyai kadar karbohidrat terlarut yang
cukup, sehingga bakteri asam laktat dapat memanfaatkan untuk
aktivitasnya. Namun menurut Ridwan et al. (2005), hijauan tropik/rumput
dapat diawetkan dengan proses ensilase baik dengan penambahan aditif
maupun tanpa aditif.
Karbohidrat yang larut didalam air (WSC) merupakan sumber
energi untuk memulai dan mempertahankan berlangsungnya fermentasi,
bakteri asam laktat dapat berkembang biak dengan cepat pada kondisi
dimana tersedia makanan yang kaya akan karbohidrat (Cullison, 1978).
Diantara komponen yang termasuk WSC tersebut antara lain
monosakarida (glukosa dan fruktosa), disakarida dan polimer fruktan
karbohidrat (Mc Donald et al., 1991). Lebih lanjut dinyatakan bahwa
fruktan pada hijauan terdiri dari ikatan unit fruktosa melalui ikatan β-2,6
atau β-2,1 membentuk rantai lurus. Tingkat dan panjang rantai tersebut
tergantung dari spesies hijauan. Ridwan et al. (2005) telah melakukan
penelitian silase dengan menggunakan aditif yang terdiri dari
Lactobacillus plantarum yang dilakukan selama 80 hari diperoleh data
bahwa pH dan WSC semakin turun seiring dengan lamanya waktu

176
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
inkubasi, sedangkan produksi asam laktat, asam asetat dan N-Amonia
terlihat semakin meningkat dengan meningkatnya waktu inkubasi
Bakteri asam laktat dalam pengawetan bahan pakan digunakan
dalam proses ensilase yang akan menghasilkan suatu produk yaitu silase.
Silase ini dapat dikategorikan sebagai probiotik yang bermanfaat sebagai
feed additive dengan beberapa kelebihan sebagai berikut : dapat
meningkatkan ketersediaan lemak dan protein bagi ternak,
mempertahankan konversi pakan, meningkatkan pertumbuhan berat
badan, mampu memperbaiki resistensi penyakit akibat stimulasi dan
peningkatan natural immunity, selain itu juga dapat meningkatkan
kandungan vitamin B komplek melalui proses fermentasi (McDonald et al.,
1991). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas, karakteristik
fermentasi, in vitro dan kecernaan nutrien silase Kumpai minyak
(Hymenache amplexicaulis Haes) dan Kumpai batu (Ischaemum
polystachyum J Presl) dengan ektrak rumput terfermentasi

MATERI DAN METODE


Hijauan rawa Kumpai minyak dan Kumpai batu, dipotong sekitar
5 – 10 cm dari permukaan air rawa pada umur 40 hari, kemudian
dilayukan sehari semalam untuk digunakan sebagai ekstrak rumput
fermentasi Ekstrak rumput fermentasi (ERF) dengan prosedur Bureenok
et al. (2006) sebanyak 100 g rumput segar yang telah dilayukan ditambah
dengan 500 ml aquades kemudian diblender untuk melembutkan
selama 30 menit, kemudian disaring dengan kertas saring sehingga
menghasilkan ekstrak rumput. Ekstrak yang dihasilkan kemudian
dicampur dengan glukosa sebanyak 10 g dan dicentrifius 1000 rpm
selama 15 menit, kemudian diinkubasi pada suhu 300C. Ekstrak rumput
digunakan untuk proses fermentasi rumput setelah diinkubasi selama 2
hari.

177
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Pembuatan Silase
Hijauan dipotong-potong menjadi ukuran 3-5 cm, dilayukan
selama 12 jam hingga kadar air mencapai 60 %, untuk silase dan
kemudian ditambah dedak sebanyak 5% dari BK bahan. Hijauan yang
telah tercampur dedak kemudian diaduk secara merata dan dibagi
menjadi 3 bagian masing-masing 1 kg. Empat perlakuan terdiri atas
rumput kumpai minyak tanpa aditif (KM); kumpai minyak + aditif; (KMA);
kumpai batu tanpa aditif (KB); kumpai batu + aditif (KBA); lalu diperam
selama 21 hari. Produk silase dipanen setelah 21 hari pemeraman.
Silase yang dipanen sebelum dievaluasi kualitasnya, terlebih dahulu
diangin-anginkan untuk menghilangkan gas yang berbahaya, setelah itu
diambil sampel dari setiap perlakuan untuk dianalisis di laboratorium.
Peubah yang diukur adalah karakteristik fisik (bau, tekstur, jamur dan
warna), VFA, NH3, pH, jumlah BAL, kandungan nutrisi dan kecernaan
in vitro. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
dan dianalisa dengan sidik ragam dan apabila terdapat perbedaan
dilakukan uji jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kualitas silase hijauan diperlihatkan dengan karaktersistik fisik yaitu
bau, tekstur, ada tidaknya jamur dan warna dari silase (Tabel 1).
Menunjukkan karakteristik fisik silase yang dihasilkan memiliki kualitas
baik yaitu warna hijau segar untuk rumput yang ditambah ekstrak rumput
fermetasi.
Tabel 1. Karakteristik fisik silase setelah 21 hari ensilase
KM KMA KB KBA
Bau kurang asam asam kurang asam asam
Tekstur Agak basah segar Agak basah segar
Warna hijau tua hijau segar hijau tua hijau segar
Jamur banyak jamur tidak ada banya jamur tidak ada
Keterangan : KM = rumput kumpai minyak tanpa aditif, KMA = rumput kumpai
minyak + aditif ERF. KB= rumput kumpai batu tanpa aditif, KBA=
rumput kumpai batu +aditif ERF

178
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Hasil pengamatan secara umum keempat perlakuan
memperlihatkan warna yang relatif sama. Warna hijau, sampai hijau tua,
pada perlakuan KMA dan KBA dengan penambahan ERF menunjukkan
warna yang lebih baik yaitu warna hijau segar dibandingkan dengan
tanpa penambahan ERF. Warna silase mengindikasikan permasalahan
yang mungkin terjadi selama fermentasi. Silase yang terlalu banyak
mengandung asam asetat akan berwarna kekuningan, sedangkan kalau
kelebihan asam butirat akan berlendir dan berwarna hijau-kebiruan dan
silase yang baik menunjukkan warna hampir sama dengan warna
asalnya. Saun dan Heinrichs (2008), sedangkan Rostini, (2004) bahwa
silase yang berkualitas baik akan berwarna hijau terang sampai kuning
atau hijau kecoklatan tergantung materi silase.
Bau asam yang dihasilkan pada perlakuan KMA dan KBA (Tabel 1)
disebabkan dalam proses pembuatan silase bakteri anaerobik aktif
bekerja menghasilkan asam organik. Proses ensilase terjadi apabila
oksigen telah habis dipakai, respirasi tanaman akan terhenti dan suasana
menjadi anaerob, sehingga jamur tidak dapat tumbuh dan bakteri
anaerob saja yang masih aktif terutama bakteri pembentuk asam .
Tekstur silase pada masing-masing perlakuan setelah 21 hari
ensilase menunjukkan tekstur yang basah dan segar. Hal ini disebabkan
semua perlakuan silase mempunyai kadar air yang sesuai untuk suatu
proses fermentasi berkisar 60% dan 30 %. Macaulay (2004) menyatakan
bahwa tekstur silase dipengaruhi oleh kadar air bahan pada awal
ensilase, silase dengan kadar air yang tinggi (>80%) akan
memperlihatkan tekstur yang berlendir, lunak dan berjamur. Sedangkan
silase berkadar air rendah (<30%) mempunyai tekstur kering dan
ditumbuhi jamur.
Kandungan bahan kering pasa silase KMA dan KBA yaitu silase
yang ditambahkan ERF relatif lebih tinggi dibandingkan tanpa
penambahan terutama pada kumpai batu (Tabel 2). Kandungan bahan
organik (BO) pada silase KMA dan KBA relatif lebih tinggi dibandingkan

179
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

KM dan KB disebabkan degradasi karbohidrat menjadi asam organik


seperti asetat, propionat dan butirat atau VFA total (Tabel 4) lebih rendah
dibandingkan pada silase tanpa penambahan ERF. Demikian pula
dengan kandungan PK yang relative lebih tinggi pada silase KMA dan
KBA disebabkan degradasi protein menjadi asam amino dan amonia
pada silase KM dan KB lebih tinggi dibandingkan dengan silase KMA dan
KBA. Hal ini didukung pula dengan kandungan NH3 (Tabel 4).
Tabel 2. Komposisi kimia silase setelah 21 hari ensilase (%BK)
KM KMA KB KBA SE
bahan organik 84.65 88.72 85.48 89.12 2.26
Protein 10.68 11.21 14.36 16.43 2.71
Serat kasar 16.37 14.01 17.35 15.17 1.45
NDF 62.6 62.92 40.38 43.65 12.05
ADF 36.75 34.64 39.26 35.52 2.01
Selulosa 33.95 33.41 25.77 25.62 4.62
Hemiselulosa 25.85 25.56 1.12 1.1 14.20
Keterangan : KM = rumput kumpai minyak tanpa aditif, KMA = rumput kumpai
minyak+aditif.ERF KB= rumput kumpai batu tanpa aditif, KBA=
rumput kumpai batu +aditif ERF

Kandungan NDF dan ADF silase KMA dan KBA lebih rendah
dibandingkan dengan KM dan KB, hal ini disebabkan adanya aktivitas
enzim selulase dan hemiselulase yang lebih tinggi selama ensilase
karena adanya penambahan ERF yang ditambahkan. Penurunan
konsentrasi NDF dan ADF memberikan keuntungan pada peningkatan
kualitas silase dan nilai kecernaan pakan (Yahaya et al., 2004; Santoso
et al., 2009).
Tabel 3. Nilai pH. populasi bakteri, NH3 dan VFA total silase
KM KMA KB KBA SE
pH 6.21 4.09 5.98 3.89 1.06
BAL ( 105 cfu/ml) 2.9 5.12 2.4 4.14 1.23
N-NH3 (g/kg N total) 115 52.12 94.43 39.54 5.39
VFA Total (g/kg BK) 102 60.53 128 57.34 4.09
Keterangan : KM = rumput kumpai minyak tanpa aditif, KMA= rumput kumpai
minyak + aditif ERF KB= rumput kumpai batu tanpa aditif, KBA=
rumput kumpai batu +aditif ERF

180
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Tingkat keasaman silase sangat penting untuk diperhatikan
karena merupakan penilaian yang utama terhadap keberhasilan silase.
Nilai PH pada perlakuan KMA dan KBA (Tabel 4) yang diperoleh
memenuhi kriteria silase yang baik yaitu sebesar 4.09 dan 3.89 yang
dapat menekan pertumbuhan jamur dan tidak menyebabkan busuk.
Rendahnya pH silase pada perlakuan ini disebabkan adanya
penambahan ERF dibandingkan dengan yang tanpa penambahan,
sehingga terjadi peningkatan jumlah BAL serta di didukung oleh cukup
ketersediaan kandungan WSC (3 dan 4 BK) yang berfungsi sebagai
substrat pendorong pertumbuhan bakteri asam laktat. Untuk
mendapatkan silase yang baik diperlukan jumlah minimal WSC yang
terdapat pada bahan ensilase sebesar 3−5% BK(McDonald et al. 1991).
Sedangkan Schroeder (2004) menyatakan bahwa silase yang berkualitas
tercapai apabila produksi asam didominasi oleh asam laktat, pH lebih
cepat turun dan proses fermentasi sempurna dalam waktu singkat,
sehingga lebih banyak nutrisi yang dapat dipertahankan. Dominasi
pertumbuhan bakteri asam laktat yang ditandai dengan rendahnya nilai
pH mampu menekan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan,
seperti Clostridia tidak mampu bertahan pada pH di bawah 4.6−4.8,
Kandungan N-NH3 berperan sebagai sumber nitrogen mikroba
rumen yang selanjutnya berguna dalam mencerna makanan. Konsentrasi
NH3 pada silase yang diberi ERF lebih rendah dibandingkan dengan
yang tanpa ekstrak rumput. Hal ini diduga karena protein dalam silase
yang ditambahkan ekstrak rumput (KMA dan KBA) cenderung tahan
degradasi dibandingkan silase tanpa ekstrak rumput (KM dan KB)
sehingga menurunkan konsentrasi amonia (McDonald et al., 1991).
Meskipun kumpai minyak dan kumpai batu tergolong mudah
difermentasi, namun pada silase sebagian besar fraksi protein
fermentabel sudah dirombak pada proses ensilase. Aktivitas
mikroorganisme selama proses ensilase membantu menguraikan
protein dalam hijauan yang ditambahkan pada silase sehingga lebih

181
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

fermentabel dan menghasilkan konsentrasi amonia yang lebih tinggi dari


pada tanpa ekstrak rumput. NH3 yang dihasilkan dari fermentabilitas
protein silase masih berada pada kisaran yang optimal untuk
pertumbuhan ternak dan tidak berlebihan. Menurut McDonald et al.
(2002), kisaran konsentrasi amonia yang optimal untuk sintesis protein
oleh mikroba rumen adalah 6-21 mM.
Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan produk akhir
fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama
ruminansia asal rumen. Kadar VFA pada penelitian ini berkisar antara
57.34 sampai 128 mM/L, hal ini menunjukkan mudah atau tidaknya
pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen. Hasil ini dalam area
normal untuk pertumbuhan mikroorganisme yaitu 6-12 mM/L dan 80-
160mM/L (Van Soest, 1982) Oleh sebab itu, produksi VFA di dalam
cairan rumen dapat digunakan sebagai tolok ukur fermentabilitas pakan
(Suparjo et al., 2011). Profil VFA (molar proporsi VFA) yang dihasilkan
dapat digunakan sebagai gambaran apakah suatu ransum dapat
dijadikan sumber energy pakan ternak ruminansia (McDonald et
al., .2002)
Tabel 4. Kecernaan bahan kering dan bahan organik silase secara in vitro
KM KMA KB KBA SE
KCBK (%) 59.45. 66.65 60.76 68.34 3.98
KCBO (%) 57.12 62.43 58.26 65.18 3.73
Keterangan : KM = rumput kumpai minyak tanpa aditif, KMA= rumput kumpai
minyak +aditif.ERF KB= rumput kumpai batu tanpa aditif, KBA=
rumput kumpai batu +aditif ERF KCBK = kecernaan bahan kering,
KCBO = kecernaan bahan organik

Kecernaan bahan kering dan bahan organik pada silase KMA dan
KBA (Tabel 4) menunjukkan nilai kecernaan yang lebih tinggi
dibandingkan silase KM dan KB. Nilai kecernaan lebih tingi pada
perlakuan KMA dan KBA, disebabkan bahan kering dan bahan organik
yang hilang selama enslase lebih sedikit. Disamping itu kandungan NDF
dan ADF pada kedua perlakuan tersebut rendah akibat adanya degradasi

182
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
fraksi serat selama ensilase menyebabkan kecernaan nutrien meningkat.
Hal ini didukung dengan penelitian Santoso et al, (2011) yang
melaporkan bahwa rumput yang ditambah ekstrak rumput fermentasi
menghasilkan kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa
penambahan. Sedangkan Weinberg et al. (2007) melaporkan bahwa
penambahan BAL dapat meningkatkan kecernaan secara invitro. Pada
penelitian lain Santoso et al. (2009) melaporkan bahwa nilai kecernaan
bahan kering dan bahan organik pada rumput gajah dan rumput raja
yang ditambah BAL lebih tinggi dibandingkan tanpa BAL.

KESIMPULAN
Penambahan ERF (ekstrak rumput fermentasi) pada rumput rawa
dapat meningkatkan kualitas fermentasi silase, dengan ditandai nilai pH,
nilai nutrisi dan kecernaan invitro lebih tinggi, sehingga dapat
meningkatkan kualitas nutrisi silase rumput

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menyampaikan terima kasih kepada Yayasan Universitas
Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-banjary yang telah mendanai
Penelitian ini dengan Dipa Uniska tahun 2013.

DAFTAR PUSTAKA
Bolsen KK, Ashbell G, Weinberg ZG. 1996. Silage fermentation and silage
additives. Review. AJAS. 9: 483–493.
Bureenok ST, Namihira T,Mizumachi S, Kawamoto Y dan Nakada T. 2006. The
effect of epiphytic lactic acid bacteria without different by product from
defated rice bran and green tea waste on napiergrass (pennisetum
purpurium shumach) silage fermentation. J. Sci food Agric. 86:1073-1077
Macaulay A. 2004. Evaluating silage quality .http://www1.agric.gov.ab.
ca/department/deptdocs.nsf/all/for4909. html [Feb 2012].
McDonald P, Henderson AR, Heron SJE. 1991. The Biochemistry of Silage. Ed
ke-2. Marlow: Chalcombe
McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition.
Ed ke-6. London: Prentice Hall.
Ridwan R, Ratnakomala S, Kartika G, Widyastuti Y. 2005. Pengaruh
Penambahan dedak padi dan lactobacillus plantarum 1BL-2 dalam

183
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Pembuatan Silase Rumput gajah. Jurnal Media peternakan, 28 (3) : 117-


123.
Rostini T . 2004. Kajian Mutu silase Ransum Komplit berbahan baku local untuk
memperbaiki peforma dan kualitas daging kambing. Laporan Penelitian.
Uniska KalSel.
Santoso B, Hariadi BT, Manik h dan Abubakar H. 2009. Kualitas rumput unggul
tropika hasil ensilase dengan aditif bakteri asam laktat dari ekstrak
rumput terfermentasi. Media Petern. 32:138-145
Santoso B, Hariadi BT, Alimuddin dan Seseray DY. 2011. Kualitas fermentasi
dan nilai nutrisi silase berbasis sisa tanaman padi yang diensilase dengan
penambahan inokulum bakteri asam laktat epifit. JITV. 16:1-8
Saun RJV, Heinrichs AJ. 2008. Troubleshooting silage problems: How to identify
potential problem. Di dalam: Proceedings of the Mid-Atlantic Conference;
Pennsylvania, 26−26 May 2008. Penn State’s Collage. hlm 2−10.
Schroeder JW. 2004. Silage fermentation and preservation. Extension Dairy
Speciaslist. AS-1254. www.ext.nodak.edu/extpubs/ansci/dairy/as 1254w.
htm. [June 2012].
Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Ed ke-2. Sumantri B,
penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: The
Principle and Procedure of Statistics.
Suparjo K, Wiryawan KG, Laconi EB, Mangunwidjaja D. 2011. Perubahan
komposisi kimia kulit buah kakao akibat penambahan mangn dan
kalsium dalam biokonversi dengan kapang Phanenruceta chrysesperium.
J. Media. Peternakan. 32:204-211
Van Soest PJ. 1991. Nutritional Ecology of Ruminant. Ruminant Metabolism,
Butritional Strategis, The Cellulolytic Fermentation and The Chemistry of
Forages and Plant Fibers. Cornel University
Weinberg ZG, Shazz O, Chen Y, Yosef E, Nikbahat M, Ben-Ghedalla D and
Miron J. 2007. Effect of lactic acid bacteria inoculants on in vitro
digestibility of wheat and corn silages. J. Dairy Sci. 90:4754-4762
Yahaya MS, Goro M, Yumiti W, Smeran B, dan Kawamoto . 2004. Evaluation of
fermentation quality of a tropical and temperate forage crops ensiled with
dditivies of fermented juice of epiphytic lctic acid bacteria (FLJB). Asian-
Aust..J. Anim Sci. 17:942-946

184
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
SUPLEMEN UREA DAN TEPUNG IKAN DALAM
RANSUM BERBASIS KULIT BUAH KAKAO:
EVALUASI NERACA NITROGEN
Wisri Puastuti dan Dwi Yulistiani

Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor


Jln. Veteran III Ciawi Bogor 16720.
Telf. 0251-8240752, Fax. 0251-8240754
Email: wisri_puast@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian dilakukan untuk mengevaluasi neraca nitrogen ransum berbasis silase
KBK dengan suplementasi sumber protein sebagai pakan alternatif pengganti
rumput. Digunakan 20 ekor kambing PE jantan muda dengan bobot 20,7 ± 2,03
kg. Pakan yang dievaluasi terdiri atas rumput atau silase KBK ditambah
konsentrat (50%:50%). Ransum perlakuan adalah: R = Rumput + konsentrat; S =
silase KBK + konsentrat; SU = sikase KBK + konsentrat-urea; SI = silase KBK +
konsentrat-tepung ikan; dan SUI = silase KBK + konsentrat-urea-tepung ikan.
Konsentrat R dan S disusun dengan PK 13,7%, GE 3800 Kkal dan konsentrat
SU, SI dan SUI mengandung PK 16,5% dan GE 3800 Kkal. Rumput Gajah
diberikan segar dan dicacah serta silase KBK diberikan segar. Percobaan
dilakukan menggunakan rancangan acak kelompok. Ransum perlakuan
diberikan sebanyak 3-4% dari bobot hidup selama 10 minggu. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dengan konsentrat kontrol, ransum R tidak berbeda dengan
S, dan adanya suplementasi urea, tepung ikan dan campurannya meningkatkan
(P<0,05) konsumsi N ransum (S vs SU, SI, SUI). Nilai kecernaan R berbeda
(P<0,05) dengan semua ransum berbasis silase KBK (76,2 vs 62,45%), sehingga
ransum R menghasilkan N tersedia yang lebih tinggi dari S (10,4 vs 9,6 g/h).
Adanya suplemen mampu meningkatkan N tersedia pada ransum SU, SI dan
SUI (rata-rata 10,7 g/h) sehingga menghasilkan N retensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ransum S (8,1 vs 5,3 g/h). Efisiensi penggunaan N pakan
serupa untuk semua ransum. Dapat disimpulkan bahwa ransum berbasis silase
KBK dengan suplementasi sumber protein mampu menggantikan rumput bahkan
lebih baik dalam hal menyediakan N untuk memenuhi kebutuhan tubuh.

Kata kunci: nitrogen, kulit buah kakao, urea, tepung ikan

PENDAHULUAN
Pemanfaatan kulit buah kakao (KBK) sebagai pakan dengan cara
diberikan dalam keadaan segar setelah dipisahkan dari biji coklat dengan
cara dicacah terlebih dahulu. Masyarakat memanfaatkan KBK sebagai
pakan sapi, kambing dan domba untuk menambah pakan rumput atau

185
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

menggantikan rumput pada musim kemarau. Dilihat dari komposisinya


kulit buah kakao memiliki nilai nutrisi yang setara dengan rumput, yakni
mengandung protein antara 6-10% (Smith, 1987; Munir, 2009; Puastuti &
Yulistiani, 2011), dan energi bruto 3900 Kkal/kg. KBK juga memiliki
kandungan lignin dan tanin yang tinggi (23,65% dan 0,84%) sehingga
kecernaan KBK menjadi rendah (29,27%) (Rinduwati & Ismartoyo, 2002)
atau nilai kecernaan KBK tanpa diolah sebesar 22% dan tidak berbeda
setelah diolah dengan beberapa taraf Aspergillus niger (18,6-25,1%)
(Hardana et al., 2013).
Keberadaan tanin seringkali mengikat protein dan karbohidrat
sehingga membatasi kecernaannnya dan ketersediaannya. Selain itu
KBK juga mengandung alkaloid theobromin (3,7-dimethyl xanthine)
sebanyak 0,17-0,22% (Wong & Hasan, 1988), dan kafein (1,3,7-
trimetilxanthine). Disamping faktor antinutrisi tersebut KBK segar juga
mengandung air yang tinggi (±75%) sehingga mudah membusuk oleh
tumbuhnya jamur, sehingga diperlukan pengolahan guna
memperpanjang masa simpan.
Pengolahan yang memerlukan tambahan biaya, waktu, tenaga,
peralatan dan keahlian tertentu kurang disukai peternak kecil (Saili et al.,
2011). Pengolahan KBK dengan cara yang sederhana dapat
mempermudah adopsi oleh peternak yang pada umumnya juga adalah
petani kakao. Silase dengan tambahan dedak padi atau sumber
karbohidrat yang tersedia di lokasi dapat membantu meningkatkan daya
simpan KBK. Hasil pengamatan di lapang daya simpan silase KBK
mencapai 3-4 bulan dalam kondisi anaerob. Proses ensilase dapat
menurunkan kadar theobromin sehingga kecernaan KBK dapat
ditingkatkan (Adamafio et al., 2011). Untuk meningkatkan kecernaan dan
mengoreksi ketidakcukupan nutrien KBK sebagai pakan terutama kadar
proteinnya diperlukan suplementasi pakan sumber protein.
Urea dapat digunakan dalam proses amoniasi bahan berserat
seperti kulit buah kakao (Afrijon, 2011). Selain itu urea juga digunakan

186
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
sebagai suplemen dalam ransum ruminansia karena dapat meningkatkan
kadar protein kasar ransum. Urea di dalam rumen akan didegradasi
dengan cepat untuk menyediakan N-NH3 bagi mikroba rumen.
Penggunaan urea sebanyak 0,4%-1% dalam ransum meningkatkan
kadar protein kasar ransum dari 15% menjadi 17,9% - 18,4% (Puastuti &
Mathius, 2008). Urea merupakan sumber nitrogen fermentabel yang
murah dan mudah didapat. Namun demikian penggunaan protein murni
asal bahan pakan dilaporkan tetap memiliki nilai hayati yang tinggi karena
selain mengandung protein yang mudah terdegradasi juga mengandung
asam amino berantai cabang untuk sintesis mikroba rumen. Pada
penelitian ini dilakukan suplementasi urea, tepung ikan dan kombinasinya
untuk meningkatkan ketersediaan protein kasar ransum berbasis KBK
sehingga mampu menghasilkan performa yang optimal. Tujuan penelitian
adalah untuk mengevaluasi efisiensi penggunaan nitrogen dari ransum
berbasis silase KBK yang disuplementasi urea, tepung ikan dan
campuran urea-tepung ikan dibandingkan dengan ransum berbasis
rumput.

MATERI DAN METODE


Materi
Penelitian pemanfaatan KBK sebagai pakan alternatif pengganti
rumput telah dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Ternak Bogor.
Materi berupa KBK segar dikumpulkan dari PTPN VIII Rajamandala
Bandung. Digunakan sejumlah 20 ekor kambing jantan Peranakan
Etawah (PE) berumur antara 7-9 bulan dengan rataan bobot hidup 20,7 ±
2,03 kg. Ternak dikelompokkan menjadi 4 kelompok perlakuan
berdasarkan bobot hidup dan setiap ternak mendapatkan salah satu
pakan perlakuan. Sebelum penelitian dimulai semua ternak diberi obat
cacing dan vitamin B, kemudian ternak ditempatkan pada kandang
individu.

187
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Pakan percobaan yang dievaluasi terdiri atas rumput atau silase


KBK ditambah konsentrat dengan imbangan 50%:50%. Konsentrat
standar disusun dari dedak halus, onggok, jagung, pollard, bungkil
kedelai, molases dan mineral dengan kadar PK 13,7% untuk perlakuan R
dan S. Dengan menambah urea, tepung ikan dan campuran urea-tepung
ikan menghasilkan peningkatan kadar PK standar menjadi berturut-turut
16,4; 16,2 dan 16,8% pada perlakuan SU; SI; dan SUI. Kadar energi
konsentrat setara untuk semua perlakuan yaitu sebesar 3790-3909
Kkal/kg. Rumput yang digunakan adalah rumput Gajah segar yang
dicacah dengan ukuran ±5 cm. Silase KBK diberikan dalam bentuk segar.
Silase KBK dibuat dengan cara mencampur antara KBK segar yang
dicacah dengan ukuran 1-2 cm dan dedak padi halus sebanyak 10%
sehingga diperoleh campuran dengan bahan kering sebesar 25-30%.
Campuran dimasukkan dalam kantong plastik tebal, dipadatkan dan diikat
rapat untuk menciptakan kondisi anaerob dan disimpan selama 3 minggu.
Pembukaan silase KBK dilakukan sesaat sebelum diberikan pada ternak.
Komposisi kimia silase KBK dan rumput disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi rumput dan silase KBK


Komposisi Rumput Silase KBK
BK (%) 91,69 93,32
PK (%) 7,88 7,59
SDA (%) 46,10 54,50
SDN (%) 66,30 59,57
Energi GE(Kkal/kg) 3635 4134
Keteranngan: SDA = serat deterjen asam; SDN = serat deterjen netral; BK =
bahan kering; PK = protein kasar; KBK = kulit buah coklat

Metode
Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak
kelompok (RAK). Pakan perlakuan yang diuji sebanyak 5 macam. Pakan
perlakuan diberikan berdasarkan kebutuhan bahan kering sebanyak 3-

188
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
4% dari bobot hidup dengan lama pemberian 10 minggu. Pemberian
pakan dilakukan dua kali sehari pada pagi hari jam 08.00 dan siang hari
jam 14.00. Air minum disediakan sepanjang hari di dalam kandang. Pada
minggu akhir pengumpulan data dilakukan pengukuran kecernaan nutrien
mengikuti metode koleksi total. Ternak ditempatkan di dalam kandang
metabolis yang dilengkapi tempat penampung feses dan urin.
Pengumpulan sampel pakan/sisa pakan, feses dan urine dilakukan
selama 24 jam x 7 hari berturut-turut. Parameter yang diamati meliputi
konsumsi nitrogen (N), N-feses, N-urine, kecernaan N, N tersedia dan N
retensi. pengunaan nitrogen. Kadar nitrogen sampel diukur dengan
destruksi auto analisis.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisa menggunakan model linier umum
dari soft ware SAS 9.1 dan perbedaan diantara perlakuan diuji kontras
orthogonal.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Substitusi hijauan rumput Gajah dengan silase KBK dengan
ataupun tanpa suplemen urea dan tepung ikan menghasilkan konsumsi N
total, nilai kecernaan dan nitrogen (N) teretensi seperti yang disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi, kecernaan dan retensi
nitrogen.
Parameter R S SU SI SUI
N Total (g/hari) 13,75a 14,42a 18,26c 15,53b 16,86c
N Feses (g/hari) 3,31a 5,84b 6,78b 6,26b 5,60b
Kecernaan N (%) 76,2b 59,4a 63,1a 60,5a 66,8a
N Tersedia (g/hari) 10,44b 8,58a 11,49c 9,27b 11,26c
N Urine (g/hari) 3,59a 3,32a 3,45a 2,14a 2,11a
N Retensi (g/hari) 6,86a 5,26a 8,04b 7,13b 9,15b
Keterangan: Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata
(P<0,05); R = Rumput + konsentrat; S = silase KBK + konsentrat;
SU = sikase KBK + konsentrat-urea; SI = silase KBK + konsentrat-
tepung ikan; dan SUI = silase KBK + konsentrat-urea-tepung ikan.

189
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Ransum berbasis rumput (R) menghasilkan konsumsi N total yang


paling sedikit namun tidak berbeda dengan ransum berbasis KBK tanpa
suplementasi protein (S). Suplementasi urea, tepung ikan dan
campurannya menghasilkan peningkatan kadar N sebesar 20% (dari
13,7% menjadi 16,4%) dalam konsentrat sehingga menyebabkan
peningkatan konsumsi N totalnya sebesar rata-rata 22% pada perlakuan
SU, SI dan SUI dibandingkan dengan R. Suplemen urea menghasilkan
konsumsi nitrogen total ransum yang lebih banyak dibandingkan dengan
suplemen tepung ikan (16,86 g/h vs 15,53 g/h), disebabkan oleh bau
tepung ikan (anyir) tidak disukai ternak kambing. Konsumsi N pada
penelitian ini lebih rendah dari yang dilaporkan Puastuti et al. (2010)
sebesar 20,2 g pada domba yang mendapatkan pakan berbasis KBK dan
21,6 g dengan berbasis KBK amoniasi.
Peningkatan konsumsi ini tidak diikuti oleh kecernaan N. Ransum
berbasis rumput (R), menghasilkan kecernaan N yang tertinggi
dibandingkan lainnya. Penurunan kecernaan N sebesar 22,0% juga
terjadi pada ransum berbasis silase KBK tanpa suplementasi (S) dan
16,7% bila dibandingkan dengan ransum berbasis silase KBK yang
disuplementasi protein (SU, SI, SUI) dibandingkan ransum berbasis
rumput (R). Terjadi perbedaan nilai kecernaan N dari ransum berbasis
silase KBK dengan suplementasi (SU, SI, SUI) sebesar 6,8% bila
dibandingkan tanpa suplementasi (S). Hal ini menunjukkan karakteristik
protein dari ransum berbasis KBK dibandingkan rumput lebih tahan
terhadap degradasi di dalam rumen. Keberadaan tanin dan lignin dalam
kulit buah kakao mengikat protein sehingga menurunkan kecernaannya.
Seperti halnya kandungan lignin dan silika yang tinggi dapat
menyebabkan rendahnya kecernaan sekam kacang tunggak (cowpea
husk) Oluokon (2005). Kulit buah kakao mengandung tanin sebanyak
0,84% (Rinduwati & Ismartoyo, 2002). Senyawa tanin dalam KBK
mempengaruhi kecernaan PK, karena tanin dapat mengikat nutrien

190
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
terutama protein (Sahoo et al., 2010) dan pada akhirnya mempengaruhi
ketersediaannya.
Menurunnya kecernaan bahan pakan yang mengandung tanin
karena tanin yang masuk ke rumen dapat menyebar secara merata pada
semua bagian campuran pakan, sehingga efek anti nutrisinya
menghambat kecernaan bahan pakan yang ada. Pembentukan komplek
tanin-protein menurunkan kemampuan kecernaan, baik oleh mikroba
rumen maupun enzim-enzim pencernaan. Pada penelitian ini ditunjukkan
oleh menurunnya jumlah N tersedia di dalam tubuh sebesar 17,3% pada
ternak yang mendapat ransum S dibandingkan R disebabkan oleh
rendahnya kecernaan N. Konsumsi N yang tinggi dengan kecernaan
yang rendah hanya meningkatkan jumlah N feses dari N konsumsi yaitu
R = 24,06% vs S = 40,52% (Tabel 1 dan Gambar 1). Pemberian
suplemen urea, tepung ikan dan campurannya (SU, SI dan SUI) mampu
meningkatkan jumlah N tersedia hingga 24,4% dari ransum S, namun
hanya 2,2% dari ransum R.
Ketersediaan N di dalam tubuh selanjutnya dimetabolisme untuk
dapat memenuhi kebutuhan fungsi fisiologis dan produksi ternak.
Tingginya jumlah N yang teretensi sangat dipengaruhi oleh jumlah
nitrogen yang dikonsumsi dan dikeluarkan melalui feses dan urine.
Banyak N yang teretensi menunjukkan semakin tinggi nilai biologis dari N
pakan. Sedangkan produk sisa metabolisme protein selanjutnya
dikeluarkan melalui urine dalam bentuk N-urea. Ransum berbasis rumput
(R) menghasilkan N teretensi yang tidak berbeda dengan ransum
berbasis KBK tanpa suplemen (S), namun penggunaan suplemen protein
mampu meingkatkan (P<0,05) N teretensi sebesar 54,1% pada SU, SI
dan SUI. Ransum berbasis rumput dan silase KBK baik dengan
suplemen maupun tidak pada penelitian ini menghasilkan neraca N yang
positif. Naumann et al. (2013) menyatakan bahwa keberadaan komplek
protein-tanin dapat mempengaruhi metabolisme dan absorbsi N. Retensi
dari ransum berbasis silase KBK yang rendah disebabkan oleh

191
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

kecernaan protein kasar yang rendah dibandingkan dengan ransum


berbasis rumput yaitu 59,2% vs 73,9% (Puastuti & Yulistiani, 2011).
Pada penelitian ini ransum berbasis rumput dan berbasis KBK baik tanpa
ataupun dengan suplementasi menghasilkan jumlah N urine yang tidak
berbeda.

Gambar 1. Efisiensi N pakan dalam memenuhi kebutuhan ternak

Bila dilihat dari jumlah N retensi terhadap konsumsi N totalnya


(Gambar 1) maka nilai efisiensi nitrogen dari R lebih tinggi dibandingkan
dengan S (49,86% vs 36,47%). Artinya nitrogen dari ransum berbasis
rumput lebih banyak yang dapat dimanfaatkan oleh ternak dibandingkan
dengan nitrogen asal ransum berbasis silase KBK. Adanya tanin pada
KBK mampu mengikat nutrien dan mempengaruhi ketersediaaan nitrogen.
Kemampuan condensed tannin membentuk ikatan komplek dengan
protein, lemak, karbohidrat dan mineral serta menghambat aktivitas
mikroba rumen (Smith et al., 2005). Setelah disuplementasi urea, tepung
ikan dan campurannya dalam ransum berbasis KBK mampu
menghasilkan nilai yang setaraf dengan ransum berbasis rumput. Hal ini
menunjukkan efisiensi pemanfaatan N ransum berbasis KBK menjadi
lebih baik. Efisiensi penggunaan N pakan yang tertinggi (54,3%)
dihasilkan dari perlakuan ransum berbasis KBK yang disuplementasi
campuran urea dan tepung ikan (SUI).

192
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Dari data ini dapat dirangkum bahwa konsumsi nitrogen
dipengaruhi oleh kandungan protein ransum, Sedangkan
ketersediaannya dipengaruhi oleh tingkat kecernaan proteinnya artinya
semakin banyak nitrogen yang dibuang lewat feses menunjukkan tingkat
kecernaannya rendah, dan semakin banyak nitrogen yang dibuang lewat
urine menghasilkan retensi nitrogen yang rendah, sehingga akan
dihasilkan tingkat efisiensi yang rendah pula.

KESIMPULAN
Konsumsi nitrogen dari ransum berbasis rumput setara dengan
ransum berbasis silase KBK dan meningkat dengan adanya suplemen
urea maupun tepung ikan. Ransum berbasis silase KBK dengan
suplementasi sumber protein mampu menggantikan rumput bahkan lebih
baik dalam hal menyediakan N untuk memenuhi kebutuhan tubuh.

DAFTAR PUSTAKA
Adamafio NA, Ayombil F and Tano-Debrah K. 2011. Microbial
Detheobromination of cocoa (Theobroma cacao) pod husk. Asian J. Of
Biochemistry 6(2): 200-2007.
Afrijon. 2011. Pengaruh pemakaian urea dalam amoniasi kulit buah coklat
terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik secara in vitro.
Jur.Embrio 4 (1): 1- 5.
Hardana NE, Suparwi dan Suhartati FM. 2013. Fermentasi kulit buah kakao
(Theobroma cacao L.) menggunakan Aspergillus niger pengaruhnya
terhadap kecernaan bahan kering (KBK) dan kecernaan bahan organik
KBO) secara in vitro. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 781-788.
Munier FF. 2009. Potensi ketersediaan kulit buah kakao (Theobroma cocoa L.)
sebagai sumber pakan alternatif untuk ternak ruminansia di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner, Bogor. pp 752-759.
Naumann DH, Muir JP and Lambert BD. 2013. Condensed tannins in the
ruminant environment: A perspective on biological activity. Journal of
Agricultural Sciences 1(1): 8-20.
Oluokun JA. 2005. Intake, digestion and nitrogen balance of diets blended with
urea treated cowpea husk by growing rabbit. Afr. J. of Biochemist. 4:
1203-1208.
Puastuti W and Yulistiani D. 2011. Utilization of urea and fish meal in cocoa pod
silage based rations to increase the growth of Etawah crossbred goats.
Proceeding The 2nd International Seminar Feed Safety for Healthy Food.

193
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Indonesian Association of Nutritional and Feed Science and Fakulty of


Animal Husbandry, Universitas Padjajaran. Jatinangor. P.463-469.
Puastuti W dan Mathius IW. 2008. Respon domba jantan muda pada berbagai
tingkat substitusi hidrolisat bulu ayam dalam ransum. JITV. Volume 13(2):
95 – 102.
Puastuti W, Yulistiani D, Mathius IW, Giyai F and Dihansih F. 2010. Ransum
berbasis kulit buah kakao yang disuplementasi Zn organik: Respon
pertumbuhan pada domba. JITV. 15(4): 269-277.
Rinduwati dan Ismartoyo. 2002. Karakteristik degradasi beberapa jenis pakan (in
sacco) dalam rumen ternak kambing. Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak
31: 1-14.
Sahoo A, Singh B and Bhat TK. 2010. Effect of tannins on in vitro ruminal protein
degradability of various tree forages. Livestock Research for Rural
Development, 22(7). http://www.lrrd.org/lrrd22/7/saho22119.htm. Diakses
tanggal 14/2/2010.
Saili T, Marsetyo, Poppi DP, Isherwood P, Nafiu L and Quigley SP. 2010. Effect
of treatment of cocoa pod with Aspergillus niger on liveweight gain and
cocoa poad intake of Bali (Bos sondaicus cattle in South-East Sulawesi.
Animal Production Science 50: 693-698.
Smith AH, Zoetendal E and Mackie RI. 2005. Bacterial mechanisms to overcome
inhibitory effects of dietary tannins. Microbial Ecol. 50: 197–205.
Smith OB. 1987. Solution to the practical problems of feeding cocoa-pods to
ruminants.
http://www.ilri.or/InfoServ/Webpub/Fulldocs/X5490e/x5490e0w.htm.
Diakses tanggal 29/01/2009
Wong H.K. dan Hasan OA. 1988. Nutritive value and rumen fermentation profile
of sheep fed of fresh or dried cocoa pod husk based diets. J. Mardi Res.
16(2): 147-154.

194
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
MONITORING NON-INVASIF SIKLUS ESTRUS
MELALUI ANALISIS METABOLIT ESTROGEN DALAM
FESES DAN PEMERIKSAAN SITOLOGI VAGINA
PADA MUNCAK (Muntiacus muntjak muntjak)
DI PENANGKARAN

Asri Pudjirahaju1), Iman Supriatna 2), Srihadi Agungpriyono 2),


Muhammad Agil 2)
1)
Fakultas Pertanian , Program Studi Peternakan
Universitas Palangka Raya
Jl. Yos Sudarso , Palangka Raya 73112 , Indonesia
E-mail: yayukhanipan@gmail.com, HP: 085204088686
2)
Departemen Klinik , Reproduksi dan Patologi , Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor (IPB)
Kampus Dramaga, Bogor 16680 , Indonesia

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui lama siklus estrus pada muncak melalui
analisis metabolit estrogen dalam feses dan pemeriksaan sitologi vagina.
Penelitian ini menggunakan 35 sampel feses dan 270 preparat yang dikoleksi
selama 90 hari dari seekor muncak. Sampel feses dikoleksi setiap 2-4 hari
sebanyak 10-20 g, dan sel epitel vagina setiap hari sebanyak tiga preparat.
Analisis metabolit estrogen menggunakan metode enzyme immunoassay dan
antibodi spesifik; sedangkan pemeriksaan sitologi vagina secara mikroskopis.
Data ditabulasikan dalam rataan dan standar deviasi; disajikan dengan grafik
dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan lama siklus estrus
berdasarkan jarak antar puncak konsentrasi estrogen adalah 26,3±2,5 hari
(kisaran 24-29 hari); antar puncak persentase tipe sel superfisial 25,7±2,1 hari
(kisaran 24-28 hari); dan antar puncak persentase tipe sel parabasal 25,0±4,4
hari (kisaran 20-28 hari) atau rataan ketiganya 25,7±3,0 hari (kisaran 20-29) hari.
Dari pemeriksaan preparat ulas vagina waktu optimal kawin ditandai dengan
meningkatnya jumlah sel epitel superfisial (>60 persen). Dapat disimpulkan
bahwa penentuan lama siklus estrus berdasarkan analisis metabolit estrogen
dalam feses dan pemeriksaan sitologi vagina dapat dilakukan pada muncak. Hal
tersebut juga ditunjang dengan adanya perubahan yang sangat signifikan pada
daerah vestibulum vulva yang memerah.

Kata kunci: muncak, enzyme immunoassay, siklus estrus, sitologi vagina

195
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

PENDAHULUAN

Muncak (Muntiacus muntjak muntjak) merupakan salah satu dari


empat spesies rusa cervidae di Indonesia, yakni rusa Sambar (C.
unicolor), rusa Timor (C. timorensis), dan rusa Bawean (Axis kuhli).
(Semiadi 2006), Keempat spesies rusa tersebut di atas tergolong
satwaliar endemik dan dilindungi (PHKA 2004). Penentuan status
reproduksi adalah salah satu faktor yang paling penting untuk
pemeliharaan hewan di penangkaran yang efektif. Monitoring non-invasif
merupakan suatu metode yang telah berkembang pesat dalam beberapa
tahun terakhir. Metabolit steroid feses membuka jendela baru untuk
monitoring non-invasif status reproduksi. Oleh karena itu, steroid feses
adalah pilihan yang paling praktis untuk tujuan ini (Schwarzenberger et al.,
1992). Studi hormon steroid feses pertama kali dilakukan terutama pada
metabolisme dan ekskresi (Adlercreutz et al., 1979). Penelitian lebih
lanjut dilakukan mengenai pubertas, siklus estrus, kebuntingan,
keguguran, perilaku reproduksi musiman dan monitoring perlakuan terapi
di kebun binatang dan hewan domestik (Schwarzenberger et al., 1996).
Metode yang dapat digunakan untuk penentuan lama siklus estrus
(status reproduksi) adalah berdasarkan pengukuran kadar estrogen dan
progesteron (Pereira et al., 2006; Mauget et al., 2007; Heisterman et al.,
2008; Nalley et al., 2011). Pada satwa liar seperti muncak pengukuran
kadar hormon dalam darah sangat sulit dilakukan karena satwa tersebut
sulit dikendalikan dan mudah tercekam (Schwarzenberger et al., 1996)
dan metode tersebut mempunyai resiko karena harus melalui prosedur
pembiusan dan perlakuan secara fisik (Hamasaki et al., 2001) sehingga
pendekatan non-invasif melalui feses merupakan cara yang paling
memungkinkan diterapkan pada satwaliar tersebut karena tidak
menimbulkan stres (Schwarzenberger et al., 1996). Hormon yang
diekskresikan melalui feses (dalam bentuk metabolit) merupakan
substansi dari hormon yang disekresikan oleh kelenjar endokrin,

196
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
sehingga profil hormon dalam feses tetap sesuai dengan profil hormon
aslinya dalam darah. Oleh karena itu, konsentrasi metabolit hormon
dalam feses dapat diukur dan dapat dipergunakan untuk penentuan
status reproduksi (Agil 1995). Teknik tersebut telah terbukti bermanfaat
untuk memantau fungsi gonad (siklus ovarium dan kebuntingan) pada
berbagai spesies cervidae, seperti rusa white tailed (Kapke et al.,
1999); rusa tule (Stoops et al., 1999); pudu (Blanvillain et al., 1997);
rusa sika (Hamasaki et al., 2001); rusa pere david’s (Li et al., 2001);
dan rusa pampas (Pereira et al., 2005).
Metode penentuan lama siklus estrus lainnya adalah dengan teknik
sitologi vagina (Durrant et al., 2003; Tsiligianni et al., 2004). Teknik ini
didasarkan pada perubahan tipe sel epitel saluran reproduksi terkait
perubahan level estrogen yang memicu perubahan tipe dan proporsi sel
epitel akibat dari proliferasi dan diferensiasi sel (Cooke et al., 1998).
Teknik sitologi vagina telah diterapkan pada beberapa spesies hewan,
antara lain: black-footed ferrets (Mustela nigripes), siberian polecats (M.
eversmanni), dan ferrets domestik (M. putorius furo) (Elizabeth et al.,
1992); anjing (Bowen 1998); kambing (Doi et al., 2000); gajah (Ola et al.,
2006); kancil (Najamudin et al. 2010); beruang (Helarctos malayanus)
(Frederick et al., 2010); rusa timor (Nalley et al., 2011) dan anoa
(Bubalus Sp.) (Judi 2012).
Penelitian ini bertujuan mengetahui siklus estrus pada muncak di
penangkaran melalui analisis metabolit estrogen dalam feses dan
pemeriksaan sitologi vagina.

MATERI DAN METODE


Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di dua tempat, yaitu 1) di kandang
percobaan Unit Rehabilitasi Reproduksi dan laboratorium analisis hormon
Fakultas Kedokteran Hewan IPB, meliputi kegiatan koleksi sampel feses
(Januari 2010-Desember 2011), pengeringan dan penghalusan sampel

197
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

feses (Januari-Mei 2012); 2) Laboratorium Biokimia University of


Veterinary Medicine Vienna Austria, meliputi kegiatan ekstraksi dan
analisis hormon (Oktober-Desember 2012).

Materi Penelitian
Materi penelitian menggunakan 35 sampel feses dan 270 preparat
sitologi vagina yang dikoleksi selama 90 hari dari satu ekor muncak
betina dewasa. Muncak tersebut berumur 3-4 tahun atau telah
melahirkan tiga kali dengan bobot badan ±25 kg, kondisi tubuh sehat,
tidak cacat dan dapat dikendalikan dengan baik. Penggunaan muncak
sebagai materi penelitian dengan izin dari Kepala BKSDA Provinsi Jawa
Tengah.
Sampel feses dikoleksi setiap 2-3 hari sekali selama 90 hari antara
pukul 06.00-07.00 WIB sebanyak 10-20 g dan dimasukkan dalam tabung
sampel. Tabung sampel kemudian diberi label, dicatat nama muncak,
tanggal dan waktu koleksi, dan nama kolektor. Selanjutnya sampel
disimpan dalam freezer dengan suhu -20oC sampai dilakukan tahap
pengeringan, penghalusan, ekstraksi dan analisis hormon.
Sedangkan pengambilan sampel sel epitel vagina dilakukan setiap
hari sekitar pukul 07.00 WIB selama 90 hari berturut-turut menggunakan
metode yang diuraikan oleh Bowen (1998) dan Rao et al. (1979).
Pewarnaan preparat dengan menggunakan Giemsa 10%.

Analisis Data
Data rataan ±SD, konsentrasi metabolit hormon disajikan dalam
bentuk tabel dan grafik. Satuan data konsentrasi metabolit estrogen
dalam ng/g feses kering. Analisis data dilakukan secara deskriptif.
Sedangkan evaluasi untuk mengetahui gambaran tipe sel epitel
selama siklus estrus dilakukan dengan melihat perubahan sel epitelnya
sebanyak minimum 200 sel setiap preparat (Zen 1983). Hasil evaluasi
disajikan dalam bentuk grafik atau gambar, dan dianalisis secara

198
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
deskriptif. Hasil pengamatan didokumentasikan dengan menggunakan
kamera. Penentuan satu siklus estrus didasarkan pada jarak antara dua
titik puncak persentase sel superfisial dan sel parabasal.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Profil Metabolit Estrogen selama Siklus Estrus
Informasi yang akurat mengenai hormon reproduksi selama masa
siklus estrus penting untuk diketahui, yaitu sebagai konsep dasar dalam
proses ovulasi, siklus regresi corpus luteum, kebutuhan hormon untuk
manifestasi estrus, kebuntingan, dan kelahiran (Akusu et al., 2006).
Hormon estrogen dan progesteron berperan penting dalam proses estrus
dan siklus estrus. Tinggi rendahnya konsentrasi hormon tersebut sejalan
dengan siklus estrus hewan yang bersangkutan. Apabila konsentrasi
estrogen meningkat maka estrus akan tetap dipertahankan, sedangkan
jika progesteron yang meningkat maka onset estrus tidak akan terjadi.
Profil metabolit estrogen dan pola sebaran tipe sel epitel vagina
muncak selama tiga siklus estrus dapat dilihat pada Gambar 1 A, B
berikut
A

Gambar 1 Profil metabolit estrogen dan pola sebaran tipe sel epitel
vagina muncak selama tiga siklus estrus.

199
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Profil metabolit estrogen pada muncak (Gambar 1A) menunjukkan,


adanya peningkatan konsentrasi yang besarnya fluktuatif. Hal ini
kemungkinan berkaitan dengan tipikal sekresi hormon pada muncak.
Tipikal sekresi hormon seperti ini menurut Senger (2005) termasuk dalam
pola episodik yaitu terjadi kenaikan dan penurunan konsentrasi hormon di
setiap periode tertentu. Rataan konsentrasi total estrogen (n=35) selama
90 hari sebesar 56,7±21,4 ng/g (kisaran 19,1-120 ng/g). Rerata
konsentrasi total estrogen tertinggi 91,5±20,5 ng/g (kisaran 71,2-120,0
ng/g) terjadi pada saat periode folikuler. Sedangkan rataan konsentrasi
total estrogen terendah 27,87±9,93 ng/g (kisaran 19,1-37,2 ng/g) terjadi
pada saat periode luteal. Penelitian pada spesies rusa lainnya dalam
plasma darah konsentrasi total estrogen saat periode estrus antara lain
pada rusa ekor putih kisaran 6,34-30 pg/mL (Plotka et al., 1976; Plotka et
al., 1977); rusa merah 12 pg/mL (Kelly et al., 1982); dan rusa timor 18,14
pg/mL (Nalley et al., 2011). Sedangkan pada kambing West African
Dwarfs (WAD) sebesar 152,62±31,6 pg/mL (Akusu et al., 2006). Hal ini
menunjukkan bahwa konsentrasi hormon reproduksi bervariasi antar
spesies hewan, bangsa (breed), antar individu dalam satu spesies, jenis
dan waktu koleksi sampel, dan metode analisis hormon yang digunakan.
Berdasarkan grafik analisis profil metabolit estrogen (Gambar 1A)
menunjukkan ada empat titik puncak periode estrus dimana konsentrasi
total estrogen mencapai maksimum, yaitu pada koleksi sampel hari ke-4
(89,3 ng/g); 30 (120,0 ng/g); 59 (71,2 ng/g); dan 83 (85,6 ng/g) dengan
rataan 91,5±20,5 ng/g (kisaran 71,2-120,0 ng/g). Jarak antar titik puncak
tersebut masing-masing 26 hari, 29 hari, dan 24 hari. Data ini
menunjukkan bahwa lama siklus estrus muncak berdasarkan selang
waktu atau jarak antara timbulnya satu periode estrus ke permulaan
periode estrus berikutnya adalah 26,3±2,5 hari (kisaran 24-29 hari).
Selain itu pada Gambar 1A menunjukkan ovulasi diperkirakan pada hari
koleksi sampel: hari ke 5, 31, 60, dan 84, sehingga waktu optimal kawin
pada muncak diperkirakan pada hari kedua periode estrus atau 36-48

200
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
jam dari awal estrus Menurut Anonim (2005) dan Anonim (2009) bahwa
pada rusa merah dan rusa wapiti ovulasi terjadi 24 jam setelah tanda-
tanda estrus pertama dan pembuahan terjadi sekitar 36 jam setelah
kawin.
Bila dibandingkan dengan spesies rusa lainnya, maka muncak
tergolong hewan bersiklus panjang. Lama siklus estrus di semua jenis
rusa adalah 10-18 hari (Woodford 1991) atau 17-22 hari (Gordon 1997);
pada rusa merah diketahui 21±1,3 hari (Adam et al. 1985); pada rusa
tropik 10-23 hari, rusa timor 10-18 hari; dan rusa totol 12-23 hari (Semiadi
1995). Laporan lainnya menyebutkan rataan lama siklus estrus pada rusa
sambar dan rusa axis 17 hari, rusa merah 18-20 hari, rusa elds 18-20 hari,
rusa fallow 21-23 hari, rusa moose dan rusa black tailed 24-27 (Asher
2011). Berdasarkan laporan tersebut dapat disimpulkan bahwa lama
siklus estrus pada spesies rusa (famili cervidae, termasuk muncak)
sangat bervariasi bergantung pada spesies rusa dan lingkungan
hidupnya.
Perubahan sitologi vagina selama periode siklus estrus
Lama siklus estrus berdasarkan pemeriksaan sitologi vagina, dapat
diketahui dari selang waktu atau jarak antara titik puncak pertama dan
titik puncak selanjutnya dari persentase tipe sel superfisial atau
persentase tipe sel parabasal. Berdasarkan grafik pola sebaran tipe sel
epitel vagina (Gambar 1B) menunjukkan bahwa ada empat titik puncak
persentase tipe sel superfisial, yaitu pada hari ke-5 (75%); 30 (66%); 58
(79%); dan 82 (85%) dengan jarak antar titik puncak masing-masing 25
hari, 28 hari dan 24 hari dengan rataan 25,7 hari. Hal ini menunjukkan
bahwa lama siklus estrus berdasarkan jarak antara titik puncak
persentase sel epitel superfisial adalah 25,7±2,1 hari (kisaran 24-28 hari).
Sedangkan berdasarkan sel epitel parabasal, terdapat empat titik puncak
persentase tipe sel parabasal, yaitu hari ke-13 (82%); 41 (86%); 68 (87%);
dan 88 (77%) dengan jarak antar titik puncak masing-masing 28 hari, 27
hari dan 20 hari dengan rataan 25,0 hari. Hal ini menunjukkan bahwa

201
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

lama siklus estrus berdasarkan jarak antara titik puncak persentase sel
epitel parabasal adalah 25,0±4,4 hari (kisaran 20-28 hari). Morfologi sel
epitel vagina dalam siklus estrus muncak dapat dilihat pada Gambar 2
A,B,C dan D berikut ini.

Gambar 2 Morfologi sel-sel epitel vagina dalam siklus estrus pada


muncak. Pewarnaan: Giemsa. Bar A, B, C = 20 µm dan D
= 10 µm)
Berdasarkan grafik pola sebaran tipe sel epitel vagina (Gambar 1B)
memperlihatkan adanya perubahan pola dominasi tipe sel-sel epitel.
Perubahan tipe sel yang menyusun mukosa vagina tersebut berkaitan
dengan perubahan rasio level estrogen dan progesteron dalam darah
selama siklus estrus (Hunter 1995; Bowen 1998; Blendinger 2007).
Berdasarkan persentase tipe sel diperkirakan periode proestrus terjadi
pada hari koleksi sampel: (hari 1-4); (hari 27-29); (hari 56-57); dan (hari
80-81). Pada periode tersebut rataan persentase sel-sel intermediet

202
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
(78,8±3,5%) lebih banyak dibandingkan sel parabasal (16,5±3,9%) dan
superfisial (4,8±2,5%). Hal ini berbeda dengan pengamatan pada ternak
domba, sel-sel parabasal sangat dominan selama periode sebelum
estrus, diikuti dengan sel-sel intermediet dan sel-sel superfisial (Solis et
al., 2008).
Pada Gambar 2A, sel parabasal adalah yang mendominasi, yaitu
sebesar (77,5±6,7%) dibandingkan dengan sel intermediet (15,0±6,8%)
dan sel superfisial (8,0±6.%), sehingga disebut periode luteal. Seier et al.
(1991) menyatakan bahwa pada periode luteal, dimana hewan tidak
estrus sebagian besar tipe sel epitel vagina adalah parabasal. Sel
parabasal (Gambar 2A) adalah sel-sel termuda yang terdapat pada siklus
estrus. Sel berbentuk bulat; mempunyai inti yang relatif besar
dibandingkan dengan sitoplasma; sitoplasma tampak tebal; dan dengan
pewarnaan berwarna gelap. Sel parabasal umumnya ditemukan pada
saat diestrus dan anestrus, dan tidak ditemukan pada awal proestrus
serta tidak terdapat selama masa estrus (Bowen 1998).
Tipe sel epitel intermediet (Gambar 2B) adalah sel yang berbentuk
bundar dan persegi yang tidak beraturan. Sel tersebut memiliki
sitoplasma yang luas dengan inti sel yang jelas, berbentuk oval, dan
terletak di tengah sel. Bentuk dan ukuran sel intermediet bervariasi tetapi
mempunyai diameter dua atau tiga kali lebih besar dibandingkan dengan
sel parabasal dan ditemukan pada semua periode siklus, kecuali pada
saat anestrus (McDonald 1989).
Sel superfisial terkornifikasi (Gambar 2D) adalah tipe sel epitel yang
paling tua dari sel parabasal, intermediet, superfisial, dan mempunyai ciri
inti yang tidak lengkap. Sel superfisial dengan persentase yang tinggi
menunjukkan bahwa pada periode tersebut muncak berada pada periode
estrus (McDonald 1989). Hal ini sesuai temuan Seier et al. (1991);
Johnston et al. (2001) dan Moxon et al. (2010) bahwa pada periode
estrus ditemukan sel superfisial yang dominan dibandingkan periode lain.
Pernyataan ini mendukung temuan sebelumnya bahwa fase estrus

203
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

banyak ditemukan tipe sel superfisial pada anjing/bitches (Ulutas et al.


2009) dan kancil (Najamudin et al., 2010). Sel superfisial yang tidak
berinti (Gambar 2C) sering mengalami kornifikasi atau keratinisasi yang
berfungsi untuk melindungi mukosa vagina dari iritasi saat kopulasi.

KESIMPULAN

Panjang siklus estrus muncak berdasarkan: jarak antar puncak


konsentrasi estrogen adalah 26,3±2,5 hari (kisaran 24-29 hari) dan jarak
antar puncak persentase tipe sel superfisial 25,7±2,1 hari (kisaran 24-28
hari); dan (3) jarak antar puncak persentase tipe sel parabasal 25,0±4,4
hari (kisaran 20-28 hari). Berdasarkan analisis dari ketiganya, maka
rataan panjang estrus muncak adalah 25,7±3,0 hari (kisaran 20-29) hari.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Franz


Schwazenberger Department of Biomedical Sciences-Biochemistry,
University of Veterinary Medicine, Vienna Austria yang telah membimbing,
menyediakan sarana dan prasarana untuk analisa hormon dan Ditjen
Pendidikan Tinggi DEPDIKNAS, yang telah memberikan bantuan dana
melalui Program Sandwich-like Tahun 2012 sehingga penelitian dapat
diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Adam Cl, Moir CE, Atkinson T. 1985. Plasma concentrations of progesterone in


female red deer (Cervus elaphus) during the breeding season, pregnancy
and anoestrus. J Reprod Fertil. 74: 631 - 636.
Adlerkreutz H, Martin F. 1976. Oestrogen in human pregnancy faeces. Acta
Endocr. 83: 410-419
Agil M. 1995. The Sumatran rhinoceros Dicerorhinus sumatrensis (fiscer 1814):
Reproductive biology and methods of assessing reproductive status
[thesis]. Germany: Faculty of Agriculture, Georg-August University of
Gottingen.
Akusu MO, Nduka E, Egbunike GN. 2006. Peripheral plasma levels of
progesterone and oestradiol-17 β during the reproductive cycle of West

204
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
African Dwarf Goats, http://www.ilri.cgiarorg/InfoServ/Webpub/ Fulldocs
/AnGenReCD/docs/x5520B/x5520bOp.htm.
Anonim. 2005. Mule Deer (Odocoileus hemionus). Fish and Wildlife Habitat
Manajemen Leaflet. Natural Resources Conservation Service. Wildlife
Habitat Council. Number 28. p.1-21
Anonim. 2009. Reproductive seasonility in deer. http://www.ansci.wisc.edu/jjp1/
ansci_repro/misc/websites09/thur/Deer%20Seasonality/Deer%20Seasonali
ty.htmL [Jumat 6 des 2013]
Asher GW. 2011. Reproductive cycles of deer. Anim Reprod Sci. 124: 170-175.
Blanvillain C, Berthier JL, Bomsel-Demontoy MC, Sempere AJ, Olbricht G.
1997. Analysis of reproductive data and measurement of fecal
progesterone metabolites to monitor the ovarian function in the Pudu, Pudu
pada Artiodactyla, Cervidae. J Mammal. 61: 589–602.
Blendinger K. 2007. Physiology and Pathology of the Estrous Cycle of the Bitch.
Proceedings of the 56th SCIVAC Congress, Rimini, Italy. hlm 73-77.
[Terhubung berkala]. http://www.ivis.org/.
Bowen R. 1998. Cytologic Changes Through the Canine Estrous Cycle.
[Terhubung berkala]. http://www.colostate.edu/. [6 Apr 2008].
Cooke PS, Buchana DL, Lubahn DB, Cunha GR. 1998. Mechanism of Estrogen
Action: Lessons from the Estrogen Receptor-α Knockout Mouse. J Biol
Reprod. 59: 470-475.
Craven SR, Hygnstrom SE. 1994. Deer. In: Prevention and control of wildlife
damage. USDA, USA.
Doi O, Komatsumoto M, Terazono M, Wada S, Akihisa N, Sakamoto H,
Hamasaki T, Yanagimoto H, Nakano K, Matsuoka K, Ito A, Kusunoki H,
Nakamura T. 2000. Exfoliative Cytology in Vaginal Vestibule of Female
Asian Elephants: Relation to Circulating Progesterone Concentrations. J
Zoo Sci 17: 1303-1309.
Durrant BS, Olson MA, Amodeo D, Anderson A, Russ KD, Campos-Morales R,
Gual-Sill Fand Ramos-Garza J. 2003. Vaginal cytology and vulvar swelling
as indicators of impending estrous and ovulation in giant panda
(Ailuropoda melanoleuca). J Zoo Biol. 22: 313-321.
Elizabeth S, Williams, Thorne ET, Kwiatkowski DR, Lutz K, Anderson SL. 1992.
Comparative vaginal cytology of the estrous cycle of black-footed ferrets
(Mustela nigripes), Siberian polecats (M. eversmanni), and domestic ferrets
(M. putorius furo). J Vet Diagnos Invest. 4: 38-44.
Frederick C, Kyes R, Hunt K, Collins D, Durrant B, Wasser SK. 2010. Methods
of estrous detection and correlates of the reproductive cycle in the sun
bear (Helarctos malayanus). Theriogenology 74: 1121-1135.
Gordon IAN. 1997. Controlled Reproduction in Horses, Deer, and Camelids.
Volume 4. Cab International, 1997.
Hamasaki SI, Yamauchi K, Ohki T, Murakami M, Takahara Y, Takeuchi Y, Mod Y.
2001. Comparison of various reproductive status in sika deer (Cervus
nippon) using fecal steroid analysis. J Vet Med Sci. 63(2): 195-198.
Heisterman H, Jones SM, Schwarzenberger F. 2008. Reproductive
endocrinology of the largest Dasyurids: characterization of ovarian cycles
by plasma and fecal steroid monitoring. Part II. The spotted-tailed quoll
(Dasyurus maculatus). Abstract. Gen Comp Endocr.
Hunter RHF. 1995. Fisiologi dan teknologi reproduksi hewan betina domestik.
Terjemahan DK Harya Putra. Bandung (ID). Penerbit ITB.

205
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Johnston SD, Kustritz MR, Olson P. 2001. Canine and Feline. WB Saunders
comp. Philadelphia. Theriogenology. pp. 32-40.
Judi. 2012. Kajian Perilaku Reproduksi, Preservasi Semen, dan Teknik
Inseminasi Buatan pada Muncak (Bubalus Sp.) di penangkaran. [disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kapke CA, Arcese P, Ziegler TE, Scheffler GR. 1999. Estradiol and
progesterone metabolite concentration in white-tailed deer (Odocoileus
virginianus) feces. J Zoo Wild Med. 30: 361–371.
Kelly RW, Natty KPMC, Moore GH, Ross DM Gibb. 1982. Plasma concentration
of LH, prolactin, oestradiol and progesterone in female red deer (Cervus
elaphus) during pregnancy. J Reprod Fertil. 64: 475-483..
Li C, Jiang Z, Jiang G, Fang J. 2001. Seasonal changes of reproductive and
fecal steroid concentrations in Pere David’s deer. Horm Behav. 40: 198-
215.
Mauget R, Mauget C, Dubost G, Charrron F. 2007. Non-invasive assessment of
reproductive status in Chinese water deer (Hydroptes inermis): correlation
with sexual behavior. J Mammal Biol. 72: 14-26.
McDonald LD. 1989. Reproductive patterns of dogs. In: McDonald LE. Ed.
Veterinary Endocrinology and Reproduction. 4th Ed. Lea and Febiger.
Philadelphia, London. pp.545-547.
Moxon, R, Copley D, England GCW. 2010. Quality assurance of canine vaginal
cytology: A preliminary study. Theriogenology 74:479-485
Najamudin, Rusdin, Sriyanto, Amrozi, S. Agungpriyono, Yusuf TL. 2010.
Penentuan siklus estrous pada Kancil (Tragulus javanicus) berdasarkan
perubahan sitologi vagina. Vet 11(2): 81-86.
Nalley WMM, Handarini R, Rizal M, Arifiantini RI, Yusuf TL, Purwantara B. 2011.
Penentuan siklus estrous berdasarkan gambaran sitologi vagina dan profil
hormon pada Rusa Timor. Vet 12 (2): 98-106.
Ola SI, Sanni WA.and Egbunike G. 2006. Exfoliative Vaginal Cytology during the
Oestrous Cycle of West African Dwarf Goats. Reprod Nutr Dev. 46: 87-95.
Pereira RJG, Duarte JMB, Negrao JA. 2005. Seasonal changes in fecal
testosterone concentrations and their relationship to the reproductive
behavior, antler cycle and grouping patterns in free-ranging male Pampas
deer (Ozotoceros bezoarticus bezoarticus). Theriogenology. 63: 2113–
2125.
Pereira RJG, Polegato BF, De Sauza S, Negrao JA, Duarte JMB. 2006.
Monitoring ovarian cycles and pregnancy in brown brocket deer (Mazama
gouazoubira) by measurement of fecal progesterone metabolites.
Theriogenology. 65: 387-399.
PHKA. 2004. Peraturan Perundang-undangan Bidang Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam. Jakarta (ID): Sekretaris Direktorat Jenderal PHKA
Departemen Kehutanan.
Plotka ED, Seal US, Schmoller GS, Karns PD, Keenlyne KD. 1976. Reproductive
steroids in the white tailed deer (Odocoileus virginianus borealis). I.
Seasonal changes in the female. Marshfield Medical Foundation inc.
Biology of Reproduction. 340-343.
Plotka ED, Seal US, Louis J, Verme, Ozoga JJ. 1977. Reproductive steroids in
the white tailed deer (Odocoileus virginianus borealis). II. Progesteron and
Estrogen Level in pheripheral plasma during prtotal estrogennancy. J Biol
Reprod. 17: 78-83.

206
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Rao PR, RAO AR, Sreeraman PK. 1979. A note on the utility of vaginal cytology
in detecting oestrous cycle and certain reproductive disorders in bovines. J
Anim Sci. 49:391-395.
Schwarzenberger F, Patzl M, Francke R, Ochs A, Buiter R, Schaftenaar W, de
Meurichy W. 1993. Fecal progestagen evaluations to monitor the estrous
cycle and pregnancy in the Okapi (Okapia johnstoni). Zoo Biol. 12: 549-
559.
Schwarzenberger F, Möstl E, Palme R, Bamberg E. 1996. Faecal steroid
analysis for non invasive monitoring of reproductive status in farm, wild and
zoo animals. Anim Reprod Sci. 42: 515–526. PII SO378-4320(96)01561-8.
Seier JV, Venter FS, Fincham, Jeand, Taljaard JJF. 1991. Hormonal vaginal
cytology of vervet monkeys. J Med Primat. 1(20):1-5.
Semiadi G. 1995. Biology of deer reproduction: A comparation between
temperate and tropical species. Review. Buletin Peternakan 19: 9 -18.
Semiadi G. 2006. Biologi Rusa Tropis. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Bidang Zoologi. Cibinong (ID). 182 hal.
Senger PL. 2005. Pathways to Pregnancy and Parturition. Washington, USA:
Current Conception Inc.
Solis G, Guilera JIA, Rincon RM, Banuelos R, Arechiga CF. 2008. Characterizing
cytology (ECV) in ewes from 60 d of age through parturition. J Anim Sci. 82.
(Suppl 1).
Stoops MA, Anderson GB, Lasley BL, Shideler SE. 1999. Use of fecal steroid
metabolites to estimate the pregnancy rate of a fecal sexual steroids in
water deer 25 free-ranging herd of tule elk. J Wildl Manag. 63: 561–569.
Thompson KV, Mashbura KL, Monfort SL. 1998. Characterization of estrous
cyclicity in the sable antelope (Hippotragus niger) through fecal
progestagen monitoring. Gen Comp Endocr. 112:129-137.
Tsiligianni TH, Saratsi A, Besenfelder U, Anastasiadis A, Vainas E, Saratsis PH,
Brem G. 2004. The use of cytological examination of vaginal smear (CEVS)
in the selection of rabbits for superovulation. Theriogenology. 61: 989-995.
Ulutas PA, Musal B, Kiral F, Bildik A. 2009. Acute phase protein levels in
pregnancy and oestrous cycle in bitches. J Research in Vet Sci. 86:373-
376
Woodford K. 1991. Reproductive cycles and performance of rusa deer in the
tropics and subtropics. In: Deer branch of the New Zealand Veterinary
Association. Proceeding of a deer course for veterinarians. Deer branch
course p 8:262-267.
Zen Z. 1983. Pengamatan perubahan sitologik hapusan vagina kerbau lumpur
(Bubalus bubalis) pada siklus estrus. [thesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian
Bogor.

207
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

BIOAKTIF ALAMI CITRONELLA DAN PAPAIN DALAM


RANSUM UNTUK PENINGKATAN KUALITAS
PRODUK DAGING BROILER ORGANIK
Wisje Lusia Toar, Selvie Anis, Laurentius Rumokoy, Cherly Pontoh
dan Freddy Dompas

Program Studi Ilmu Peternakan, Bagian Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak.
Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi
Email: wisje_toar@live.com

ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk mempresentasikan upaya peningkatan
produk daging ternak yang berkualitas dengan menggunakan
bahan alamiah yang tidak berbahaya bagi konsumen dan penting
dalam upaya pemenuhan daging ternak organik yang aman. Upaya
ini telah dilakukan melalui suatu penelitian ini yang dirancang
menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan disusun secara
faktorial 3X3, yaitu faktor 1 aras citronella, faktor 2 aras papain
dimana setiap faktor dibagi dalam tiga level dengan 3 ulangan.
Materi ternak menggunakan 96 ekor broiler mulai dari umur sehari
hingga akhir penelitian pada hari ke 35. Selama penelitian tidak
menggunakan makanan pelengkap seperti vitamin dan mineral,
selain itu tidak melakukan vaksinasi ataupun pemberian preparat
obat apapun. Hasil penelitian menujukkan tidak terdapat interaksi
antar faktor. Di sisi lain tidak ditemukan satu ekor ayam yang mati
selama penelitian ini. Dari sisi organoleptik, diperoleh informasi dari
semua responden bahwa produk daging dari hasil penelitian ini
yang menggunakan bioaktif alami citronella dan papain memberi
cita rasa yang lebih enak dari produk daging broiler yang umum
terdapat di pasaran. Kesimpulan bahwa penelitian ini telah
menghasilkan suatu produk daging ternak spesial yang
dikategorikan sebagai produk daging peternakan organik.

Kata kunci: daging peternakan organik; citronella; papain

208
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
PENDAHULUAN
Kualitas daging ternak unggas khsusnya ayam ras pedaging atau
yang biasa dikenal dengan nama broiler tidak terlepas dari materi dalam
bahan pakan yang dikonsumsi ternak tersebut. Kontaminasi agen
patogen dalam ransum dapat mempengaruhi kualitas ternak yang dapat
perparah ketika kondisi ini ditangani dengan menggunakan bahan
antibiotika ataupun preparat antimikroba lain. Untuk itu perlu dicari jalan
keluar melalui pengembangan peternakan broiler organik, yang bebas
dari penggunaan preparat obat-obatan termasuk dalam mengendalikan
lalat sebagai agen pentransmisi atau vektor penyakit di dalam peternakan
broiler. Vektor penyakit yang sering dijumpai pada peternakan adalah
lalat kandang atau Stomoxys calcitrans (Mullen and Durden, 2006).
Pengendalian vektor penyakit menggunakan produk alami sangat
penting dilakukan. Citronella dan papain merupakan repellent yang
diproduksi secara alamiah dari tanaman serai dan papaya (Muller et. al.,
2009 dan Suhartono, 1992). Aplikasinya dalam ransum pada penelitian
ini dikaitkan dengan penampilan dan produksi broiler ditinjau dari
berbagai parameter seperti: konsumsi ransum, pertambahan berat badan,
konversi ransum, diameter dada, glukosa darah. Pertambahan berat
badan berkaitan dengan perkembangan otot. Perkembangan otot post-
eclosion yang terjadi pada ayam-ayam broiler merupakan kelanjutan dari
proses miogenesis yang terjadi pada perioda pre-eclosion. Konsumsi
ransum merupakan cara bagi ternak untuk memenuhi kebutuhan zat
makanan.
Jumlah konsumsi ransum sangat berkaitan dengan palatabilitas
pakan dimana palatabilitas itu sendiri dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti kondisi kesehatan, keseimbangan nutrisi, spesies dan
kandungan zat-zat non nutritive. Citronella dan papain tidak lazim
digunakan sebagai bahan pakan, sehingga kedua bahan pakan ini
dianggap sebagai zat non nutritive. Kehadiran repellent pada citronella
dan papain dalam ransum dimaksudkan untuk memberi pengaruh

209
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

penolakan pada serangga vektor penyakit khususnya S. calcitrans


(Greenberg, 1971). Selain itu salah satu patokan kelayakan penggunaan
repellent yaitu agar tidak menurunkan konsumsi ransum serta tidak
mengganggu pertumbuhan ternak (Onu et al., 2010).

Papain dan citronela yang diberikan dalam penelitian ini merupakan


bahan yang berasal dari tanaman papaya dan serai yang dipakai untuk
mengkaji pengaruhnya terhadap penampilan broiler, termasuk glukosa
darah, lemak abdomen, dan diameter dada. Ritter (2006), melaporkan
bahwa citronella yang diproduksi tanaman Cymbopogon spp disebut
serai, di daerah Minahasa dikenal dengan nama gramakusu, memiliki
aroma khas yang dapat digunakan dalam berbagai kebutuhan termasuk
untuk aroma makanan. Papain sebagai enzim yang berasal dari getah
papaya telah banyak dikenal sebagai pemecah selubung protein
(Suhartono, 1992).

Walaupun belum banyak laporan ilmiah mengenai penggunaan


citronella dalam ransum namun kegunaan minyak citronella yang
digambarkan di atas menggambarkan pentingnya bahan tersebut dalam
kaitan dengan palatabilitas ransum, karena menurut Onu et. al (2010)
penampilan internal dan eksternal broiler sangat berkaitan dengan
aroma makanan yang mempengaruhi palatabilitas. Jika palatabilitas
makanan dari ransum baik, maka sangat mendukung pemenuhan zat-zat
makanan pada broiler terutama pemenuhan kebutuhan asam-asam
amino yang sangat penting pada masa pertumbuhan (Mukhtar et al,
2007). Tujuan penampilan dan produksi broiler dapat tercapai apabila
kebutuhan zat-zat makanan yang ada dalam ransum memenuhi
beberapa kriteria seperti tidak mengganggu kesehatan, disukai ternak,
ekonomis, mengandung zat-zat makanan yang diperlukan ternak ayam
secara seimbang.

210
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Selama masa pertumbuhan, penyerapan zat makanan dalam
saluran pencernaan broiler sebagaimana pada berbagai hewan lain
sangat berkaitan dengan kemampuan kecernaan zat-zat makanan.
Berbagai aktifitas yang terjadi dalam usus yang menentukan
kesanggupan penyerapan zat makanan yaitu berkaitan dengan : aktifitas
enzim, penyerapan, transit makanan. Kondisi ini memungkinkan
efektifitas penyerapan zat-zat makanan dan selanjutnya berkaitan
dengan efisiensi penggunaan makanan ketika berlangsung metabolisme
zat-zat makanan dalam tubuh apabila digestibilitas berlangsung dengan
baik (Yegani dan Korver, 2013), sehingga zat-zat makanan yang diserap
dalam usus ternak ayam seperti lipida, asam-asam amino, glukosa (Nain
et. al, 2012) dapat digunakan tubuh untuk pertumbuhan tulang dan
struktur fisik lainnya sekalipun ayam-ayam dipelihara dalam kandang
(Silversides et. al., 2012). Berdasarkan pernyataan di atas maka perlu
dilakukan suatu kajian pengaruh kombinasi citronella dan papain dalam
ransum terhadap penampilan broiler.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilaksanakan di Sentrum Agraris Lotta (SAL) Lotta
Pineleng, Kabupaten Minahasa. Pelaksanaan penelitian di bagi dalam 2
tahap. Saat ayam-ayam masuk dalam lokasi penelitian sudah dilakukan
pengambilan data untuk mengamati landing periodicity lalat kandang (S.
calcitrans). Selanjutnya tahap kedua, mengkaji pengaruh kombinasi
citronella dan papain dalam ransum terhadap penampilan broiler. . Broiler
yang digunakan sebanyak 108 ekor dengan bobot hidup awal dari anak
ayam rata-rata 43.45 + 2.63 gram. Kandang yang digunakan dalam
penelitian ini berupa kandang batere dengan ukuran 65 x 50 x 50 cm
sebanyak 27 petak. Setiap petak ditempatkan empat ekor ayam, yang
dilengkapi dengan lampu pemanas (lampu pijar 15 – 40 watt), tempat
makan dan minum. Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

211
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

‘ransum komersial’ BR1 produksi PT Comfeed. Citronella diekstrak dari


tanaman serai (Lat: Cymbopogon nardus L.) dalam kemasan yang
diproduksi PT Elang. Sedangkan papain diekstrak dari getah tanaman
papaya (Carica papaya L) yang diproduksi oleh Enzyme Development
Enterprise.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), yang disusun secara
faktorial 3X3 diulang 3 kali sehingga diperoleh 27 unit penelitian (Steel
dan Torrie, 1993). Penempatan ayam dan ransum perlakuan dilakukan
secara acak. Sebagai faktor pertama yaitu aras citronella (c) meliputi: c0
= tanpa penggunaan citronella ; c1 = 5 gram citronella/100kg ransum ; c2
= 10 gram citronella/100kg ransum ; Sedangkan faktor kedua adalah aras
papain (p) meliputi : p0 = tanpa penggunaan papain ; p1 = penggunaan
papain sebesar 0.05 persen ; p2 = penggunaan papain sebesar 0.06
persen. Variabel penelitian yang diamati meliputi: persentase karkas,
lemak abdomen, diameter dada, kasus penyakit dan mortalitas.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Jika dilihat dari penggunaan papain secara tunggal, maka perlakuan
papain pada tingkat 0.06 persen dalam ransum mencapai angka rataan
persentasi karkas yang mencapai 67.71 persen lebih tinggi dibandingkan
dengan level papain 0.05 persen yang hanya memberi respons karkas
sebesar 67.30 persen. Walau demikian memberi pengaruh tidak nyata
(P>0.05) dibanding dengan ransum tanpa menggunakan citronella dan
papain, dimana masih lebih rendah dari perlakuan tanpa menggunakan
citronella dikombinasikan dengan 0.05 persen maupun perlakuan tanpa
menggunakan citronella dikombinasikan dengan papain 0.06 persen yang
hanya berada pada angka rataan sebesar 66.90 persen. Tidak adanya
perbedaan ini disebabkan level kombinasi citronella dan papain yang
digunakan dalam ransum broiler belum memberikan pengaruh yang
nyata pada proporsi bobot karkas dan berat badan broiler.
212
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P

Gambar 1. Rataan Pengaruh Kombinasi Citronella dan


Papain Dalam Ransum Terhadap Persentasi Karkas
Broiler

Kandungan lemak abdomen dijadikan ukuran untuk menilai


kualitas karkas ayam broiler. Jika kandungan lemak abdomen terlalu
tinggi, maka karkas mempunyai kualitas yang rendah karena
mengandung lemak tinggi sehingga menjadi sangat lunak dan tidak
disukai konsumen. Secara umum terlihat data hasil penelitian
sebagaimana pada Gambar 2.

Gambar 2. Rataan Pengaruh Kombinasi


Citronela dan Papain Dalam Ransum Terhadap
Persentasi Lemak Abdomen Broiler

Rataan pengaruh kombinasi citronella dan papain dalam ransum


terhadap lemak abdomen broiler tertinggi dicapai pada kontrol, yaitu
tanpa citronella maupun papain yang mencapai 2.29 persen. Sebaliknya
presentasi lemak abdomen terendah dicapai perlakuan citronella
sebanyak 5 gram per 100 kg ransum yang mampu menekan sedikit
213
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

hingga angka 2.18 persen. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa


tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) pada kombinasi perlakuan
tersebut, yang berarti perlakuan yang diberikan secara statistik
memberikan efek yang sama dalam akumulasi lemak abdominal.
Perbedaan yang tidak signifikan ini dapat dipahami karena semua
perlakuan menggunakan kandungan energi dalam ransum yang sama.
Hal ini di dukung oleh Fathullah et al. (2013) yang melaporkan bahwa
jumlah energi metabolik ransum pada kisaran 3150 kcal/kg
menghasilkan lemak abdominal broiler sebesar 2.38 persen pada umur
35 hari. Kelebihan energi yang berasal dari zat-zat makanan akan
dirubah ke dalam bentuk lemak yang disimpan dalam jaringan adiposa,
pada broiler terutama disimpan dalam jaringan adiposa abdominal (Lu et
al., 2007; Anitha et al., 2006). Pengaruh tunggal level citronella yang
tertinggi pada penggunaan citronella 10 gram per 100 kg ransum tanpa
papain yaitu sebesar 2.27 persen yang masih lebih tinggi jika
dibandingkan pada perlakuan citronella 5 gram per 100 kg ransum tanpa
papain yang hanya 2.18 persen lemak abdomennya. Dari hasil analisa
statistik diperoleh hasil bahwa perbedaan-perbedaan tersebut dari
penggunaan citronella tidak signifikan (P>0.05) berpengaruh pada lemak
abdomen. Data rataan pengaruh level papain terhadap perkembangan
lemak abdomen menunjukkan bahwa perlakuan tanpa menggunakan
citronella dikombinasikan dengan papain 0.05 persen dalam ransum dan
perlakuan tanpa menggunakan citronella dikombinasikan dengan papain
0.06 persen dalam ransum memberi hasil yang relatif sama, yaitu
mencapai 2.26 persen lemak abdomen. Hasil ini berkaitan dengan
laporan Lotfi et al., (2011) bahwa perkembangan lemak abdomen
berkaitan dengan kandungan energi dalam ransum, serta sifat genetis
(Anita et al., 2006) dan kondisi hewan (Havenstein et al., 2007).
Hasil penelitian mengenai pengaruh kombinasi citronella dan
papain dalam ransum terhadap diameter dada broiler penelitian
cenderung menurun. Dari analisis keragaman diperoleh hasil bahwa tidak

214
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
terdapat pengaruh yang nyata (P>0.05) kombinasi level citronella dan
papain dalam ransum terhadap diameter dada broiler penelitian. Hal ini
berarti secara keseluruhan menunjukkan molekul repellent yang
digunakan tidak mempengaruhi perkembangan otot dada. Kondisi ini
didukung oleh proses myogenesis pada unggas yang telah berlangsung
sejak masa pre-eclosion yang selanjutnya perkembangan jaringan otot ini
dalam hal ukuran terjadi pada masa post-eclosion yang sangat
dipengaruhi oleh kandungan nutrien yang terkandung dalam ransum
sebagaimana yang dipergunakan dalam penelitian ini. Perlakuan
citronella dengan konsentrasi 10 gram per 100 kg ransum yang
dikombinasikan dengan papain sebesar 0.06 persen dalam ransum tidak
menghalangi secara signifikan terhadap proses perkembangan jaringan
otot dada. Perkembangan otot dada ini sangat berkaitan dengan serabut-
serabut otot rangka yang mengelilingi bagian toraks dan dorsal unggas,
dimana otot-otot ini mensekresi molekul-molekul makro yang disebut
extracellular matrix (Velleman, 2002). Selama pemberian perlakuan
citronella dan papain dalam penelitian ini tidak ditemukan ayam yang mati.

KESIMPULAN
Penampilan broiler yang diberi kombinasi citronella dan papain
dalam ransum memberikan hasil yang sama dengan tanpa pemberian
citronella dan papain. Pemberian citronella dan papain dalam ransum
menciptakan usaha peternak broiler yang ramah lingkungan serta
menghasilkan daging ayam organik bebas dari bahan-bahan kimia.

DAFTAR PUSTAKA
Anitha, B., M. Moorthy and K. Viswanathan. 2006. Production Performance of
Broilers Fed with Crude Rice Bran Oil. Int. Jour. of Poultry Sci. 5 (11):
1046-1052, 2006.
Fathullah, N Aryanti, dan I.H. Sulistiyawan. 2013. Penggunaan Pakan Dalam
Ransum Terhadap Bobot Lemak Abdomen dan Kadar Kolesterol Daging
Ayam Broiler. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):119 – 128.

215
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Greenberg, B. 1971. Flies and Disease. Vol. 1. Precenton University Press New
York.
Havenstein, G.B., P. R. Ferket, J. L. Grimes, M. A. Qureshi, and K. E. Nestor.
2007. Comparison of the Performance of 1966- Versus 2003-Type Turkeys
When Fed Representative 1966 and 2003 Turkey Diets: Growth Rate,
Livability, and Feed Conversion. Journal of Poultry Science 86:232–240.
Lotfi, E., S. Zerehdaran , and M. A. Azari. 2011. Genetic evaluation of carcass
composition and fat deposition in Japanese quail. Journal Poultry Science
90: 2202–2208.
Lu, L., X. G. Luo, C. Ji, B. Liu and S. X. Yu. 2007. Effect of manganese
supplementation and source on carcass traits, meat quality, and lipid
oxidation in broilers. J. Anim. Sci. 85:812-822
Mukhtar, A. M., Mekkawi, A. and M. ELTigani, M. 2007. The Effect of Feeding
Increasing Levels of Synthetic Lysine and Methionine in Broiler Chicks.
Research Journal of Animal and Veterinary Sciences. Vol. 2: 18-20
Mullen, G. and L.A. Durden. 2006. Medical and veterinary entomology. Academic
Press. New York.
Müller, G.C., A. Junnila, J. Butler, V. D. Kravchenko, E. E. Revay, R. W. Weiss,
and Y. Schlein. 2009. Efficacy of the Botanical Repellents Geraniol,
Linalool, and Citronella Against Mosquitoes. Journal of Vector Ecology
34(1):2-8.
Nain, S., R.A. Renema, M.J. Zuidof, and D.R. Korver. 2012. Effect of metabolic
efficiency and intestinal morphology on variability in n-3 polyunsaturated
fatty acid enrichment of eggs. Poult. Sci. April 2012 vol. 91 no. 4 888-898
Onu, P.N. Ayo-Enwerm M. C. and E.O. Ahaotu.. 2010. Evaluation of carcass
characteristics and cost effectiveness of broiler chicks fed synthetic lysine
and methionine supplemented soyabean-based diets. Int. Journal
of .Science and Nature., Vol. 1(1): 22-26.
Ritter, S.K. 2006. Citronella oil. Chemical Engineering News. Vol 84. Issue 44.
P.42. October 30. 2006.
Silversides, F.G., R. Singh, K.M. Cheng, and D.R. Korver. 2012. Comparison of
bones of 4 strains of laying hens kept in conventional cages and floor pens.
Poult Sci 2012 91:1-7; doi:10.3382/ps.2011-01453.
Suhartono, M.T. 1992. Protease. PAU Bioteknologi IPB. Bogor
Yegani, M. and D.R. Korver. 2013. Effects of corn source and exogenous
enzymes on growth performance and nutrient digestibility in broiler
chickens. Poult. Sci. May 2013 vol. 92 no. 5 pages: 1208-1220.

216
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
APLIKASI TEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN PADA
SAPI BALI DI NUSA PENIDA
Edy Sophian dan Paskah Partogi

Puslit Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,


Jl. Raya Bogor Km.46 Cibinong, 16911
Email : edy_sophian@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui tinggkat keberhasilan Teknologi Inseminasi
Buatan (IB) yang dilakukan di pulau Nusa penida Kabupaten Klungkung Bali,
Inseminasi dilakukan dengan menggunakan sperma/mani segar yang baru
ditampung dari pejantan sapi Bali unggul yang telah mengalami proses
pengenceran maupun pembekuan dengan kemasan dalam straw mini (0,25 cc)
atau straw medium (0,50 cc) yang diproduksi oleh Balai Inseminasi Buatan
Daerah (BIBD) Baturiti Denpasar, Bali. Parameter yang diamati antara lain Nilai
S/C (service per conception) serta CR (Conception Rate). Nilai optimum yang
didapat dari hasil aplikasi IB pada sapi bali di Nusa Penida adalah S/C 1.02 dan
nilai CR ( Conception Rate ) 90.13. sehingga dapat disimpulkan pelaksanaan IB
sapi bali di nusa penida berhasil dan cukup efektif.

Kata Kunci : sapi Bali, IB, Nusa Penida

PENDAHULUAN
Sapi Bali merupakan sapi asli Indonesia yang merupakan hasil
domestikasi dari banteng (Bos Sondaicus) yang dilakukan sekitar 3500
SM di wilayah pulau Jawa dan Bali serta Lombok. Habitat asli sapi ini
adalah di Pulau Bali. Populasinya di pulau Bali hingga tahun 2011 adalah
sekitar 637.463, (BPS, 2011). Kajian dan penelitian mengenai sapi Bali di
Indonesia telah banyak dilakukan baik untuk meningkatkan performa
maupun untuk menjaga kemurnian genetik sapi Bali. Dalam rangka
meningkatkan performa sapi Bali, telah banyak dilakukan program
persilangan sapi Bali dengan bangsa sapi Bos taurus ataupun Bos
indicus, namun program persilangan tersebut hanya dapat dilakukan di
luar pulau Bali. Dalam rangka menjaga kemurnian genetik sapi Bali, telah
dilakukan antisipasi masuknya sapi-sapi lain ke pulau Bali melalui

217
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

penerbitan Peraturan Gubernur Bali Nomor 45 Tahun 2004 dan Perda No


2/2003 yang melarang bibit sapi Bali betina keluar dari wilayah provinsi ini.
Salah satu pulau di provinsi Bali yang masih mempertahankan
kemurnian sapi Bali adalah pulau Nusa Penida. Pulau ini merupakan
sebuah pulau yang terpisah dengan daratan pulau Bali. Lokasinya
berjejer dengan Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Lembongan. Secara
administratif Nusa Penida masuk wilayah Kabupaten Klungkung.
Populasi sapi Bali di pulau Nusa Penida saat ini mencapai 24.000 ekor
(Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Bali, 2013), sementara itu
populasi sapi Bali di Kabupaten Klungkung adalah 46.615 (BPS, 2011).
Kemurnian sapi Bali akan terjaga dengan cara melakukan
perkawinan antara induk sapi Bali dengan pejantan sapi Bali, namun hal
ini tentu saja akan mengakibatkan terjadinya peningkatan nilai inbreeding
pada populasi sapi Bali di pulau Bali. Dalam rangka mengurangi
pengaruh buruk inbreeding pada populasi sapi Bali di Kabupaten
Klungkung, perlu dilakukan evaluasi secara berkala mengenai
penggunaan pejantan maupun semen beku yang digunakan untuk
inseminasi buatan (IB). Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian
mengenai aplikasi teknologi inseminasi buatan pada sapi Bali di pulau
Nusa Penida, diharapkan hasil kajian ini dapat memberikan informasi
sebagai dasar melakukan evaluasi terhadap penggunakan IB di pulau
Nusa Penida.

MATERI DAN METODE


Pelaksanaan Inseminasi Buatan
Inseminasi dilakukan dengan menggunakan sperma/mani segar
yang baru ditampung dari pejantan sapi Bali unggul yang telah
mengalami proses pengenceran maupun pembekuan dengan kemasan
dalam straw mini (0,25 cc) atau straw medium (0,50 cc) yang diproduksi
oleh Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIBD) Baturiti Denpasar, Bali.
Inseminasi Buatan Mengunakan Semen Beku Sapi Bali

218
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Semen beku (straw) yang di simpan dalam kontainer yang berisi
nitrogen Cair dengan suhu (-196OC). Bila melakukan inseminasi pada
lokasi yang jauh perlu disiapkan kontainer kecil atau termos berisi
nitrogen cair. Pengambilan straw harus dilakukan dengan cepat (kira-kira
5 detik) dan mengangkat kanister tidak boleh lebih tinggi dari leher
kontainer agar kualitas mani beku terjaga dengan baik. Sapi betina yang
sedang berahi disiapkan dalam kandang jepit, dilakukan dengan kondisi
sapi dalam keadaan tenang agar tidak stress. Thawing (pencairan), straw
yang di ambil dari kontainer/termos dengan mengunakan pinset
kemudian dicelupkan ke dalam air hangat dengan kisaran suhu 350-370 C
selama 30 detik. Selanjutnya straw dikeringkan dengan tissue atau lap
bersih kemudian masukan straw ke dalam kateter inseminasi
(insemination gun), ujung straw digunting, lalu masukan plastic sheet.
Tangan kiri yang sudah memakai sarung tangan (glove) dengan sedikit
dioleskan pelican/sabun masuk ke dalam rectum secara perlahan-lahan
(pastikan kuku tidak panjang, cincin, jam tangan sudah dilepas),
kemudian fiksir cervix dengan baik. Bersihkan bagian vulva, kemudian
masukan inseminasi gun kedalam cervix sampai posisi empat atau
sampai kebagian corpus uteri 1 cm dari biforcasio (control dengan ujung
telunjuk tangan kiri), deposisikan mani pada bagian Corpus uteri tersebut.

Gambar 1. Inseminasi buatan pada sapi Bali

219
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

HASIL DAN PEMBAHASAN


Data rekapitulasi hasil inseminasi buatan sapi Bali tahun 2013 di
kecamatan Nusa Penida kabupaten Klungkung disajikan dalam Tabel 1.
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa 16 desa yang ada di Nusa
Penida diisi oleh 16 petugas petugas inseminator yang artinya tiap
inseminator bertugas pada satu desa. Total pelayanan akseptor
inseminasi pada tahun 2103 sebanyak 5.864 akseptor dan rata-rata
pelayanan inseminasi 366 ekor.
Tabel 1. Rekapitulasi hasil inseminasi buatan sapi Bali tahun 2013 di
kecamatan Nusa Penida kabupaten Klungkung
Inseminator Jumlah Jumlah Jumlah
NO
Nama Desa IB Kebuntingan Kelahiran
1 I Nyoman Darmawan Batukandik 382 374 337
2 I Wayan Seleb Batumadeg 328 319 287
3 I Gede Sudandra Batununggul 438 429 386
4 I Made Sidar Bunga mekar 95 93 83
5 I Wayan Barata Jungutbatu 594 582 523
6 I Nengah Kasep Toya pakeh 583 571 513
7 I Made Yasa Klumpu 384 376 345
8 I Ketut Putra Kutampi 613 600 540
9 I Gede Sana Kutampi kaler 215 208 187
10 I Wayan Buayna Lembongan 344 333 299
11 I Nyoman Sutastra Ped 306 296 266
12 I Made Putrawan Pejukutan 514 498 448
13 I Made Rai Sakti 246 238 214
14 I Dewa Made Sedana Sekartaji 185 179 161
15 I Gede Made Darsana Suana 336 325 292
16 I Made Suarta Tanglad 295 286 257
Jumlah 5.864 5.707 5.144

Tingkat kebuntingan dari hasil inseminasi yang cukup baik dengan


indicator S/C (service per conception) 1.02 yang artinya setiap sekali
melakukan inseminasi buatan pada betina yang sedang berahi pada
siklus berikutnya tidak menunjukan gejala berahi atau bunting. Hasil ini

220
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
masih lebih baik dari hasil penelitian 1.54 S/C (Gunawan et al, 2013)
Jumlah kelahiran hasil inseminasi pada tahun 2013 di 16 desa yang ada
di Nusa Penida adalah sebanyak 5.144 ekor dari 5.707 ekor betina yang
bunting dari hasil palpasi rektal. Hasil tersebut menunjukan bahwa tingkat
kelahiran cukup baik dengan parameter nilai CR (Conception Rate) 90.13
% yang artinya setiap satu ekor betina bunting yang diinseminasi rata-
rata menjadi bunting dengan menggunakan satu straw / mani beku. Hasil
ini masih lebih baik dari hasil penelitian (Gunawan et al, 2013) 73.60 %
CR pada sapi perah.
Kemurnian sapi Bali di pulau Nusa Penida perlu tetap
dipertahankan dengan cara melakukan perkawinan antara induk sapi Bali
hanya dengan pejantan sapi Bali. Berdasarkan data dalam penelitian ini
memberi gambaran bahwa perkawinan menggunakan semen beku sapi
Bali dengan teknologi inseminasi buatan tetap memberikan hasil yang
baik dari segi jumlah kebuntingan maupun dari segi jumlah kelahiran sapi
Bali. Namun perlu menjadi perhatian untuk melakukan rotasi semen beku
yang digunakan agar pengaruh buruk dari inbreeding dapat ditekan.

Gambar 2. Anak hasil inseminasi buatan pada sapi Bali

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian dalam penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa aplikasi teknologi inseminasi buatan pada sapi Bali di pulau Nusa
Penida memberikan pengaruh yang baik terhadap jumlah kebuntingan
dan jumlah kelahiran sapi Bali. Tingkat kebuntingan pada sapi Bali di

221
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

pulau Nusa Penida cukup baik dengan parameter nilai S/C (service per
conception) 1.02 demikian pula tingkat kelahiran pedet yang cukup baik
dengan parameter nilai CR (Conception Rate) 90.13.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2011. Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau
Provinsi Sumatera Barat. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Gunawan, E.M. Kaiin, S. Said, B. Tappa 2013. Keberhasilan Kebuntingan
Hasil Inseminasi Buatan Menggunakan Sperma Sexing Di Kawasan
Peternakan Sapi Perah Bogor dan Tasikmalaya, Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan Mataram,11 Desember 2013, Hal 81- 85
Toelihere MR. 1985a. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa Bandung
Toelihare MR. 1985b. Ilmu Kebidanan Pada Ternak Sapi dan Kerbau.
Universitas Indonesia Press Jakarta

222
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
APLIKASI JARINGAN MATERNAL PADA
PERKEMBANGAN EMBRIO SAPI BALI HASIL
FERTILISASI IN VITRO DENGAN SPERMATOZOA
SEXING
Enny Yuliani 1),Yufika Dewi Muksin1), I Wayan Lanus Sumadiasa2)
dan Lukman HY 3)
1)
Laboratorium Imunobiologi Universitas Mataram, HP.087865661120, email
ennyyuliani@hotmail.com
2,3)
Laboratorium Reproduksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Mataram
(0370) 633603

ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji aplikasi jaringan maternal pada embrio
hasil fertilisasi in vitro dengan spermatozoa sexing pada sapi Bali. Desain
penelitian yang digunakan adalah The Posttest-Only Control Group Design. Data
kemampuan perkembangan embrio in vitro setelah pembekuan dan thawing
dianalisis dengan Khi-Kuadrat. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa oosit
yang dikultur dalam jaringan maternal (48 jam setelah inseminasi dengan
metode Swim Up) menghasilkan persentase embrio tahap cleavage pada sel
epitel oviduct, sel kumulus, sel uterus dan berturut-turut adalah 63,0%, 62,5 %,
dan 62,9 %. Perkembangan embrio pada tahap cleavage dengan metode
Sentrifugasi gradien densitas percoll pada sel epitel oviduct, sel kumulus dan sel
uterus berturut-turut adalah 50,0%, 53,8 %, dan 53,8 %. Perkembangan embrio
tahap morula dengan metode Swim Up diperoleh 49,4 %, 50,3 %, dan 50,2 %
pada sistim media tumbuh sel oviduct, sel kumulus, dan sel uterus, sedangkan
pada metode Sentrifugasi gradien densitas percoll pada sistim kultur sel oviduct,
sel cumulus dan sel uterus berturut-turut adalah 48,4 %, 50,5 %, 50,3 %.
Sedangkan perolehan blastosis dalam penelitian ini pada sistim kultur sel oviduct,
sel kumulus, sel uterus dengan metode Swim Up berturut-turut adalah 39,4 %,
42,5 %, 43,2 % dan pada metode Sentrifugasi gradien densitas percoll berturut-
turut sebagai berikut 38,6 %, 40,7 % dan 40,9 %. Jaringan maternal memberikan
dukungan yang positif terhadap perkembangan embrio sapi Bali, mulai dari tahap
cleavage sampai mencapai tahap blastosis. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa fenomena developmental block akibat lingkungan perkembangan embrio
yang tidak serasi dan faktor spesifik saluran reproduksi dapat teratasi.
Berdasarkan hasil yang diperoleh nampak bahwa jaringan maternal bertindak
secara sinergis untuk menunjang kelangsungan hidup embrio.

Kata Kunci : Jaringan maternal, embrio, sapi Bali, sperma sexing

223
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

PENDAHULUAN
Bioteknologi yang efektif dan efisien dalam meningkatkan
populasi dan mutu genetik dengan waktu yang relatif singkat adalah
Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio. Kedua teknologi tersebut dapat
ditingkatkan nilainya jika disertai dengan teknologi sexing spermatozoa
dan fertilisasi in vitro, sehingga dihasilkan produksi ternak yang maksimal
dari jenis kelamin yang dibutuhkan (Yuliani et al., 2014). Sampai saat ini
pelaksanaan Transfer Embrio dengan menggunakan embrio beku
dilapangan masih banyak ditemukan kendala, diantaranya ketersediaan
embrio beku yang siap transfer dengan kualitas baik masih sangat
terbatas dan tidak semua embrio yang dihasilkan secara in vitro
mempunyai potensi penuh untuk berkembang sampai tahap blastosis.
Walaupun pada stadium sensitif ini embrio berhasil berkembang, hal ini
tidak dapat menjamin kebuntingan akan berlanjut setelah Transfer
Embrio (Yuliani & Sumadiasa, 2005; Parikh et al., 2006; Duszewka et al.,
2012).
Suatu fenomena dalam perkembangan embrio secara in vitro
selalu terdapat “developmental block” yang bersifat genetis dan umum
terjadi pada beberapa spesies serta akan mengakibatkan embrio muda
tidak dapat berkembang ke tahap lebih lanjut sampai pada tahap morula
atau blastosis (Donnay et al., 1997; Yuliani, 2003; Camargo et al., 2006 ).
Developmental block yang terjadi pada perkembangan embrio akan
merupakan suatu kerugian yang sangat bermakna, sehingga
keberhasilan Fertilisasi in vitro (FIV) menjadi sangat rendah (Swanson et
al, 1996; Yuliani, 2003; Quinn, 2004). Untuk menanggulangi hal tersebut
perlu dikembangkan suatu sistem yang dapat meniru fenomena alam
(kondisi fisiologis oviduct) sedemikian rupa sehingga mirip bahkan lebih
baik. Co-culture dengan jaringan maternal dari berbagai jenis sel somatik
(sel epitel oviduct, sel granulosa atau sel kumulus dan sel uterus) yang
dibiakan diketahui banyak mengandung faktor penumbuh dalam oviduct
dan semua faktor tumbuh ini diduga diperlukan dalam perkembangan

224
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
embrio dengan memberikan lingkungan yang optimum dan sebagai
tempat persediaan nutrisi yang diperlukan untuk proses metabolisme dan
diferensiasi sel (Parikh et al, 2006; Farha & Marcela, 2010). Namun
dalam perkembangan atau pemeliharaan sel tumbuh sangat dipengaruhi
oleh terbentuknya zat radikal bebas (Iwata et al ,1998). Penambahan
bahan antioksidan ke dalam media biakan dapat meningkatkan
perkembangan embrio sampai pada tahap blastosis.
Kondisi krisis dalam perkembangan embrio terjadi pada saat akan
implantasi (preimplantasi), nampaknya terdapat berbagai faktor yang
bertindak secara sinergis untuk menunjang kelangsungan hidup embrio.
Jaringan induk dan embrionik saling berinteraksi dalam suatu periode
kebuntingan membentuk sinyal protein pada reaksi endometrium hingga
kebuntingan dapat dipertahankan. Besarnya tingkat kematian embrio
disebabkan kurangnya interaksi secara biokimiawi antara konseptus
dengan sistem maternalnya di dalam lingkungan uterus (Wolf. et al, 2003;
Vigneault. et al, 2004; Klein. et al, 2006).
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah aplikasi
jaringan maternal pada embrio hasil fertilisasi in vitro dengan
spermatozoa sexing pada sapi Bali.

MATERI DAN METODE


Materi penelitian yang digunakan adalah berupa bahan baku
untuk proses fertilisasi in vitro dan jaringan maternal didapatkan sebagai
berikut:
- Organ reproduksi betina sapi Bali yang diperoleh dari rumah
potong hewan di Lombok Barat.
- Semen sapi Bali yang diperoleh dari koleksi semen dari
epididimys testes (organ reproduksi jantan).
Bahan yang diperlukan untuk sexing sperma, maturasi in vitro,
fertilisasi in vitro dan co culture adalah : Earle’s Ballanced Salt
Solution/EBSS (Sigma), JT Baker, Percoll (Sigma), Tissue Culture

225
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Medium 199/TCM 199 (Sigma), Eosin, Sitrat, NaCl fisiologis steril, Foetal
Bovine Serum/FBS (Sigma), BSA (Sigma), Pyruvat (Sigma),
Rancangan penelitian yang digunakan adalah The posttest - only
Control Group Design (Pudjirahardjo,1993).

P1, P2, P3 X1,X2,X3 O1,O2, O3


P R

K O4

Gambar 1. Rancangan penelitian


Keterangan :
P = populasi embrio
R = sampel secara random
P1 = sel epitel oviduct
P2 = sel epitel kumulus
P3 = sel uterus
K = kelompok kontrol
X1,X2, X3 = perlakuan P1, P2, P3
O1,O2, O3 = data P1, P2, P3 dan K (angka cleavage, morula
dan blastosis)

Tahapan Penelitian
1. Sexing sperma
Semen sapi adalah semen segar yang diperoleh dari koleksi
sperma yang berasal dari epididymis. Kriteria penilaian kualitas yang
digunakan dalam penelitian ini adalah motilitas spermatozoa setelah
dikoleksi > 70%. Teknologi yang digunakan untuk sexing sperma adalah
dengan menggunakan metode Sentrifugasi gradien densitas percoll dan
metode Swim up.
2. Koleksi Ovarium, Aspirasi dan Maturasi Oosit
Ovarium yang berasal dari RPH dimasukkan ke dalam larutan NaCl
fisiologis pada suhu 37oC. Setiap folikel yang berpenampang 2-5 mm
diaspirasi melalui jaringan ovarium. Maturasi oosit dilakukan selama 24
jam di dalam inkubator 5% CO2 dengan suhu 38,5oC kelembaban 95-99%.

3. Fertilisasi in vitro

226
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Proses fertilisasi dilakukan dengan cara memasukkan suspensi
spermatozoa pada bagian tengah tetes sebanyak 50 µl. Observasi oosit
yang telah dibuahi dilakukan setelah 24 jam fertilisasi. Embrio hasil
fertilisasi in vitro dengan spermatozoa sexing di kultur dengan 3 sistem co
culture (sel epitel oviduct, sel epitel kumulus, sel uterus) masing-masing
dalam media TCM 199 yang telah dilengkapi dengan 10 % Fetal Calf
Serum (FCS). Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap angka
pembelahan (cleavage), jumlah embrio yang mencapai tahap morula dan
blastosis. Setiap perlakuan terdiri dari 10 kali ulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Persentase Perkembangan Embrio Sapi Bali Hasil Fertilisasi in
vitro dengan Spermatozoa Sexing pada Berbagai Jaringan
Maternal
Tahap Perkembangan Embrio (%)
Sistim Cleavage Morula Blastosis
kultur Swim Up Percoll Swim Up Percoll Swim Up Percoll
Epitel 63,0±0,4c 50,0±0,5a 49,4±0,5a 48,4±0,4a 39±0,6b 38±0,5b
oviduct
Sel 62,5±0,2d 53,8±0,2a 50,3±0,2b 50,5±0,3b 42±0,4c 40±0,4c
kumulus
Sel 62,9±0,5d 53,8±0,4b 50,2±0,3b 50,3±0,5b 43±0,4e 40±0,5e
uterus
Kontrol 34,8±0,2c 30,2±0,5b 24,7±0,2d 22,5±0,4d 23,0±0,3d 22,3±0,4d

Keterangan : nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama
menunjukkan beda nyata (P< 0,05)

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jaringan maternal


dapat meningkatkan angka cleavage, morula dan blastosis. Sel
monolayer jaringan maternal sel tuba, sel kumulus dan sel uterus yang
dibiakkan diketahui banyak mengandung faktor tumbuh seperti epithelial
growth factor (EGF), Transfering growth factor (TGF  dan ) atau Insulin
growth factor (IGF), semua faktor tumbuh ini diduga diperlukan dalam
perkembangan embrio (Keefer et al, 1999; Camargo et al., 2006)). Hasil
perkembangan cleavage in vitro menjadi morula ini tidak jauh berbeda

227
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

dengan hasil laporan Lonergan & Fair, 2008. Perolehan embrio dalam
hasil penelitian tersebut yang mencapai tahap morula sebanyak 44 %,
sebelumnya di dalam media biakan ditambahkan suplemen Bovine
Follicle Fluid sebesar 10 %. Hasil biakan embrio dini di dalam sel
monolayer baik sel oviduct, sel kumulus dan sel uterus memberikan
harapan yang baik hingga menjadi morula (16-32 sel).
Perolehan blastosis dalam media biakan bovine epithel cell
(BOEC) adalah 23-25 % dan sedikit meningkat menjadi 30 % jika
dibiakan hingga 8 hari (Donnay et al., 1997; Pegoraro et al., 2005).
Namun hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan angka
blastosis yang dicapai hingga 45 % dengan memakai media epithel tuba
hingga 7 hari perkembangannya (Lonergan et al., 2006). Sedangkan
dengan pemakaian media sintetis (SOF) pada embrio sapi diperoleh
embrio hingga stadium blastosis dalam kurun waktu 7 hari adalah 27,5 %
(Louschova, 2003).
Perkembangan embrio in vitro dibutuhkan media yang mampu
memberikan lingkungan yang optimum dan sebagai tempat persediaan
nutrisi yang diperlukan untuk metabolisme dan diferensiasi sel embrio.
Keberhasilan sistim biakan harus menyediakan segala sesuatu yang
diperlukan untuk embrio dalam menjalani pembelahan awal. Interaksi sel-
sel embrio sapi Bali dengan jaringan maternal (sel epitel oviduct, sel
epitel kumulus dan sel uterus) dalam media TCM 199 dapat diketahui
berdasarkan perkembangan embrio in vitro. Konsep dasar interaksi ini
adalah interaksi proliferasi sel monolayer pada sel epitel oviduct, sel
endometrium, dan sel kumulus sebagai sel “feeder” dan sel “helper” yang
akan menstimulasi perkembangan embrio melalui penghilangan
pengaruh toksin pada medium, menambah faktor penumbuh dan
beberapa pengaruh yang menguntungkan.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase
perkembangan embrio dalam jaringan maternal menunjukkan hasil yang
lebih tinggi pada ke dua metode sexing, jika dibandingkan kontrol. Hal

228
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: secara in vivo, yaitu pada awal
preimplantasi embrio dalam oviduct telah mencapai tahap 8-16 sel,
namun pada preimplantasi akhir (embrio pada tahap morula dan blastosis)
berada dalam uterus. Pada tahap tersebut sangat tergantung pada faktor
lingkungan yang kompleks. Kondisi inipun tercermin dalam media biakan
in vitro, saat ini sangat diperlukan media kultur yang lebih kompleks
(Leese, 2005; Yuliani & Sumadiasa, 2005). Di samping itu, saat ini terjadi
fenomena cell block, seperti pada embrio sapi terjadi pada tingkat 8-16
sel. Untuk mengatasi cell block digunakan sel-sel somatik dalam media
kultur. Peran jarngan maternal dapat memberikan kontribusi terhadap
perkembangan embrio dengan menghilangkan komponen embriotoksik
dari medium dasar dengan mensekresi faktor embriotropik. Beberapa
komponen yang dapat merusak seperti hypoxantine, nicotinamide,
glucosa dan phosphat dapat dihilangkan atau diaktivasi oleh sel
(Pinyopummintr dan Bavister, 1991; Trounson et al, 2003). Embrio
dikembangkan di atas satu lapisan (monolayer) kultur sel-sel saluran
reproduksi betina (sel kumulus, tuba Fallopii atau endometrium) untuk
meniru kondisi alamiah. Mekanisme sistem tersebut dalam program
fertilisasi in vitro memberikan efek positif, diduga melalui mekanisme
pengeluaran faktor-faktor penting dalam pengembangan embrio. Di
antaranya asam amino (terutama glisin) dan faktor-faktor pertumbuhan
spesifik lainnya seperti epidermal growth factor (EGF), transforming
growth factor, serta kemampuan detoksifikasi untuk menghilangkan faktor
yang tidak menguntungkan embrio dalam medium kultur.
Jaringan maternal dapat mempengaruhi perkembangan embrio
sapi yang dibiakan dalam 2 cara yaitu (1) dapat memperbaiki angka
perkembangan dari tahap 8-16 sel sampai tahap blastosis dan (2) dapat
meningkatkan pertumbuhan ukuran embrio sejak tahap 5-8 sel. Dalam
medium biakan terdapat kombinasi sekresi faktor-faktor yang
bertanggung jawab terhadap pengaruh positif terhadap embrio yang
dikultur dalam kelompok atau dalam sel somatik. Di samping itu faktor

229
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

penumbuh telah ada dalam awal perkembangan embrio di dalam saluran


reproduksi. Telah diketahui bahwa sekresi uterus (histotrophe) berfungsi
untuk mengatur kelengkapan, implantasi, nutrisi dan pertumbuhan
konseptus (Lauschova, 2003; Rizos et al., 2008). Selanjutnya diungkap
pula bahwa lingkungan uterus dengan kapasitas sebagai sumber nutrisi
dapat menyediakan faktor penumbuh dan protein secara teratur pada
pertumbuhan kritis dan kelangsungan hidup konseptus preimplantasi.
Kebutuhan jaringan maternal untuk mendukung perkembangan
embrio menjadi morula telah ditunjukkan dalam penelitian ini. Hal ini
dapat dihubungkan pada kebutuhan kompleks dan spesifik embrio pada
tahap awal perkembangan, khususnya pada saat diferensiasi inisiasi sel
menjadi morula kompak (Reischl & Judith, 2005). Semakin tinggi stadium
embrio diperlukan dukungan protein dan komponen lain seperti faktor
penumbuh yang terdapat dalam sel somatik yang penting untuk proses
proliferasi dan diferensiasi sel embrio. Pada kondisi ini terjadi
penambahan kecepatan metabolisme yang cukup tajam. Hal ini diperkuat
oleh hasil penelitian Camargo et al., 2006, dalam tiga hari pertama dari
perkembangan embrio terjadi perombakan protein secara tetap dengan
struktur protein yang sama. Perubahan diperlukan untuk pembelahan
sampai stadium morula, hasilnya setiap sel blastomer masih memiliki
struktur protein yang sama. Setelah tiga hari pertama, perkembangan
embrio stadium 8 sel membutuhkan energi (Tomioka et al., 2007). Salah
satunya adalah dengan mobilitas energi melalui reaksi deaminasi asam
amino yang telah digunakan kembali untuk pembentukan protein. Dalam
hal ini metabolisme energi serupa dengan metabolisme protein, terutama
untuk kebutuhan sintesa protein. Perkembangan embrio dalam proses
diferensiasi dan pembelahan sel blastomer (cleavage) akan diikuti
dengan aktivitas berupa kenaikan dan perubahan pada tahap replikasi,
transkripsi dan translasi dalam proses biosintesis protein. Pada
perkembangan embrio terjadi peristiwa sintesis protein terutama sintesis

230
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
mRNA menjadi aktif. Protein yang ada di dalam sel akan disintesa melalui
proses boisintesa protein (Rizos et al., 2008).

KESIMPULAN DAN SARAN


Jaringan maternal memberikan dukungan yang positif terhadap
perkembangan embrio sapi Bali, mulai dari tahap cleavage sampai
mencapai tahap blastosis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
fenomena developmental block akibat lingkungan perkembangan embrio
yang tidak serasi dan faktor spesifik saluran reproduksi dapat teratasi.
Nampak jaringan maternal berpengaruh positif dan bertindak secara
sinergis untuk menunjang kelangsungan hidup embrio hasil fertilisasi in
vitro dengan spermatozoa sexing. Selanjutnya perlu dilakukan penelitian
lanjutan untuk mengisolasi protein spesifik dan mengukur seberapa besar
sekresi protein spesifik embrio yang diperlukan untuk kelangsungan
hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA

Camargo LSA, Viana JHM, Sá1 WF, Ferreira AM, Ramos AA dan Vale F. 2006.
Factors influencing in vitro embryo production. Anim. Reprod., v.3, n.1,
p.19-28.
Camargo LSA, Viana JHM, Sá WF, Ferreira AM dan Vale Filho VR. 2006. In
vitro embryo production in bovine. Anim Reprod Sci.1: 19-28.
Camargo LSA, Viana JHM, Sá WF, Ferreira AM dan Vale Filho VR. 2005.
Developmental competence of oocytes from prepubertal Bos indicus
crossbred cattle. Anim Reprod Sci, 85:53-59.
Camargo LSA, Viana JHM, Sá WF, Ferreira AM, Ramos AA, Freitas C dan Vale
Filho VR. 2006. Developmental competence of oocytes obtained from
Bos taurus and Bos indicus dairy cows raised in tropical climate. Reprod
Fert Dev,18:243-244
Donnay I, Van Langendonckt A, Auquier P, Grisart B, Vansteenbrugge A dan
Massip. 1997. Effects of coculture and embryo number on the in vitro
development of bovine embryos. Theriogenology 47:1549–61.
Duszewska A M, Rąpała L, Trzeciak P, Dąbrowski S dan Piliszek. 2012.
Obtaining farm animal embryos in vitro. Journal of Animal and Feed
Sciences, 21:217–233
Farha N dan Marcela V. 2010. Optimal in vitro Culture Conditions for Sustainable
Development of Preimplantation Mouse Embryos during Prolonged
Culture Health and the Environment Journal. Vol. 1, No. 2.
Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 Lippincott Williams and
Wilkins, Philadelphia, 509 p.

231
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Iwata H S, Akamatsu N, Minami dan M Yamata. 1998. Effects of antioksidants on


the development of bovine IVM/IVF embryos in various concentrations of
glucose. Theriogenology 50 : 365-375.
Keefer CL, SL Stice dan AM Paprocki. 1999. Effect of follicle stimulating hormon
and luteinizing hormone during bovine in vitro maturation on development
following in vitro fertilization and nuclear transfer, Journal . Mol. Reprod.
And Dev. 36 : 469-474.
Klein C, Bauersachs S, Ulbrich SE, Einspanier R, Meyer HH, Schmidt SE,
Reichenbach HD, Vermehren M, Sinowatz F, Blum H dan Wolf E. 2006.
Monozygotic twin model reveals novel embryo-induced transcriptome
changes of bovine
Lauschova. 2003. Secretory Cell and Morphological Manifestation of
Secretion in The Mouse Oviduct. Scripta Medica (Berno)-76 (4) 203-
214.
Lesse H. 2005. Metabolic control during preimplantation mammalian
development. Journal Hum Reproduction 1:63-72.
Lonergan P, Fair T. 2008. In vitro-produced bovine embryos: dealing with the
warts. Theriogenology 69, 17-22
Parikh FR, Nadkarni, SG, Naik, NJ, Naik DJ dan Uttamchandani, SA. 2006.
Cumulus coculture and cumulus-aided embryo transfer increases
pregnancy rates in patients undergoingin vitro fertilization. Fertil. Steril.,
86: 839-847.
Pegoraro LMC, JMT hruad, B Geerin. 2005 Comparison of sex ratio and cell
number of IVM-IVF bovine blastocysts co-cultured with bovine oviduct
epitheliai cells or with vero cells. Theriogenology 49: 1579-1590.
Pinyopummintr T dan BD Bavister. 1991. Development of Bovine embryos in a
Cell-free culture medium effects of type of serum, timing of its inclution and
heat in activation. J. Theriogenology 41 : 1241-1249
Quinn P. 2004. The development and impact of culture media for assisted
reproductive technologies. Fertil Steril, 81:27-29
Reischl dan Judith Barbara. 2005. Establishment of a perfusion culture system
for bovine oviduct epithelial cells facilitating studies of early embryo-
maternal communication
Swanson WF, TL Roth dan RA Godke. 1996. Persistence of developmental block
of in vitro fertilized domestic cat embryos to temporal variations in culture
conditions. Journal Mol Reproductio Development .3: 297-305.
Rizos D, Clemente M, Bermejo-Alvarez, P de La Fuente, J Lonergan dan P
Gutiérrez-A. 2008. A Consequences of in vitro culture conditions on
embryo development and quality. Reprod. Domest. Anim. 43, 44–50.
Trounson A, Pushett D, Maclellan, Garner DK. 2003. Current status of IVM/IVF
and embryo culture in human and farm animals. Theriigenology 41:57-66.
Vigneault C, Serge M, Lyne M dan Marc A S. 2004. Transcription factor
expression patterns in bovine In vitro-derived embryos priorto maternal-
zygotic transition. Biology of Reproduction 70, 1701–1709.
Wolf E, Arnold GJ, Bauersachs S, Beier HM, Blum H, Einspanier R dan Fröhlich
T. 2003. Embryo-maternal communication in bovine – strategies for
deciphering a complex cross-talk Reproduction in Domestic Animals
Volume 38. 276
Yuliani. E. 2002. Peningkatan Rasio Spermatozoa Berkromosom Y pada Sapi
Bali . Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Vol 1 (2) Desember.

232
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Yuliani. E. 2003. Pengaruh Ko Kultur dan Jumlah oosit Terhadap Perkembangan
Embrio Sapi Hasil Fertilisasi in vitro. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan
Vol . 2(1) Juni.
Yuliani E, Lukman HY dan Eddy A. 2014. Ib-IKK Melalui Percepatan Produksi
Sapi Bali Bakalan. Program Ipteks Bagi Inovasi Dan Kretivitas Kampus.
Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud.
Yuliani E. dan I Wayan Lanus Sumadiasa. 2005. Kinerja co culture Sel Somatik
dan Antioksidan sebagai “ Penyelamat” Embrio Kambing Lokal Hasil
Fertilisasi in vitro dengan Spermatozoa Sexing. Dibiayai Proyek Penelitian
Dasar Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.

233
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

UJICOBA PRODUKSI SPERMA SEXING SAPI


SIMMENTAL DI UPTD-IB PUCAK SULAWESI
SELATAN

Ekayanti Mulyawati Kaiin dan Muhammad Gunawan


Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI
Jl. Raya Bogor km 46 Cibinong 16911
Telp.021-8754587, Fax.021-8754588.
Email: ekayantimk@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian dilakukan sebagai uji coba produksi sperma sexing di UPTD-IB Pucak,
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Selatan. Sapi
pejantan yang digunakan adalah sapi Simmental yang terdapat di lokasi. Sexing
sperma dilakukan dengan menggunakan metoda pemisahan sperma X dan Y
menggunakan kolom BSA. Semen dikoleksi dengan menggunakan vagina
buatan kemudian diperiksa kualitasnya secara makroskopis dan mikroskopis.
Semen yang memenuhi syarat kemudian dilakukan proses sexing sperma.
Sperma yang disexing kemudian dikemas dalam ministraw 0,25 ml, dibekukan
dan disimpan di dalam tangki nitrogen cair. Semen yang dikoleksi mempunyai
volume rata-rata sebesar 5,67 ml dengan konsentrasi 1.960 X 106 sel/ml dan
motilitas sebesar 75 %. Kualitas produk sperma sexing menghasilkan nilai Post
Thawing Motility (PTM) sebesar 40-45% baik sperma X maupun sperma Y. Hasil
tersebut memenuhi syarat SNI untuk kualitas sperma beku. Dapat disimpulkan
bahwa proses produksi sperma sexing terhadap sapi Simmental di UPTD-IB
Pucak menghasilkan straw sperma beku sexing yang layak IB.

Kata kunci : sexing sperma, kolom BSA, sapi Simmental, UPTD-IB Pucak, PTM

PENDAHULUAN
Produksi sapi potong dalam negeri belum mampu memenuhi
kebutuhan yang ada. Permintaan konsumsi daging sapi pada tahun 2011
sebesar 0,417 kg/kapita/tahun meningkat dari tahun sebelumnya 0,365
kg/kapita/tahun. Total produksi sapi potong pada tahun yang sama
adalah sebesar 2.554,20 ribu ton (Ditjennakkeswan, 2012). Meningkatnya
kebutuhan masyarakat akan protein hewani dan berbagai produk
olahannya menyebabkan tingginya permintaan akan ternak terutama sapi
potong. Supaya tidak terjadi pengurasan populasi sapi maka jumlah sapi

234
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
yang siap potong diperkirakan sebesar 13,3 juta ekor. Dalam kondisi
pasokan tersebut diperkirakan terjadi kekurangan sapi potong sebesar
681.740 ekor yang pengadaannya dilakukan dengan impor sapi potong
dari luar negeri. Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian
telah mencanangkan Program Swasembada Pangan Nasional 2014.
Program dalam bidang peternakan adalah usaha meningkatkan
populasi dan produksi peternakan dengan menciptakan dan membangun
sentra-sentra usaha peternakan di daerah (Ditjennakkeswan, 2010). Oleh
karena itu diperlukan upaya perbaikan breeding dan pengembangbiakan
populasi ternak yang dapat dilakukan dengan bantuan aplikasi teknologi
reproduksi, yaitu Inseminasi Buatan (IB) dan Transfer Embrio (TE).
Inseminasi buatan merupakan teknologi reproduksi yang digunakan
dalam program pemuliabiakan ternak dengan memanfaatkan pejantan
unggul secara maksimal untuk meningkatkan produktivitas ternak
(Supriatna, 2010). Pada saat ini, kebutuhan produk straw sperma beku
secara nasional di Indonesia disediakan oleh BIB Lembang, BIB
Singosari dan BIB Daerah. Penerapan teknologi IB di daerah sudah
berkembang dan menjadi kebutuhan pokok dalam manajemen
perkawinan ternak, sehingga produk semen beku sangat diperlukan
dalam jumlah yang lebih banyak (Maidaswar, 2010). Efisiensi IB dapat
ditingkatkan dengan penggunaan spermatozoa yang telah dipisahkan
dan diketahui jenis kromosom kelaminnya atau sperma sexing. Dalam
hal ini, budidaya peternakan sapi potong akan lebih efisien jika
menggunakan spermatozoa bakal jantan untuk mendapatkan anak sapi
jantan sebagai bakalan penggemukan, karena pertumbuhan bobot badan
yang relatif lebih cepat daripada sapi betina. Dengan adanya teknologi
pemisahan spermatozoa tersebut, maka jenis kelamin anak yang akan
dilahirkan dapat diketahui dan ditentukan sesuai dengan kebutuhan
peternak. Inseminasi buatan dengan sperma sexing dari pejantan unggul
akan mewariskan sifat genetik yang baik kepada keturunannya yang
dikenal dengan program up grading untuk meningkatkan kualitas ternak

235
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

melalui jalur induk jantan. Hasil penelitian IB pada sapi dengan


menggunakan sperma sexing segar telah dilakukan di Propinsi Sumatera
Barat pada tahun 2005 dan 2006 serta menghasilkan anak yang lahir
sesuai dengan jenis kelamin strawnya sebesar 80-90% berbeda untuk
setiap lokasi IB (Kaiin et al, 2007). Penggunaan straw sperma sexing
pada IB akan dengan mudah mengatur rasio jantan dan betina di suatu
lokasi sesuai kebutuhan peternak.
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu propinsi yang
mempunyai program peningkatan populasi ternaknya dalam rangka
program swasembada daging nasional. Untuk mendukung program
tersebut maka program Inseminasi Buatan (IB) perlu diintensifkan
sehingga target peningkatan populasi ternak sapi di sana dapat tercapai.
Program IB memerlukan ketersediaan stok straw sperma sapi beku yang
mencukupi sehingga UPTD-IB Pucak menargetkan produksi sperma
beku sebanyak 100.000 ribu straw sperma sapi beku setiap tahun
(Disnakkeswan Sulsel, 2014). Selain itu, untuk keperluan konsumsi
daging diperlukan peningkatan stok sapi pejantan untuk pemotongan
hewan di Rumah Potong Hewan. Pengembangan program IB
menggunakan sperma beku sexing diharapkan dapat meningkatkan
kelahiran anak dengan jenis kelamin jantan sehingga dapat
meningkatkan stok sapi pejantan.
Untuk keperluan tersebut maka Puslit Bioteknologi LIPI
bekerjasama dengan UPTD-IB Pucak melakukan uji coba produksi
sperma sapi beku sexing serta melatih SDM laboratorium untuk dapat
melaksanakan proses produksi sperma sapi beku sexing. Tujuan dari
penelitian ini adalah melakukan uji coba produksi sperma sapi Simmental
sexing dengan kondisi yang ada di UPTD-IB Pucak, Sulawesi Selatan.

MATERI DAN METODE


Penelitian dilakukan di UPTD-IB Pucak, Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Selatan. Sapi pejantan yang
236
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
digunakan adalah 3 ekor sapi pejantan Simmental yang dipelihara di
lokasi. Penampungan semen dilakukan dengan metoda vagina buatan.
Semen yang dikoleksi kemudian diperiksa kualitas makroskopis dan
mikroskopisnya. Parameter yang diamati untuk pemeriksaan makroskopis
adalah volume, warna, konsistensi, pH, konsentrasi, sedangkan
parameter yang diamati pada pemeriksaan mikroskopis adalah motilitas,
gerakan massa, persentase sperma hidup, persentase abnormalitas
sperma serta membran plasma utuh (MPU). Preparat untuk pemeriksaan
sperma hidup dan abnormalitas diwarnai dengan pewarna Eosin-Nigrosin,
sedangkan preparat pemeriksaan MPU dilakukan setelah perlakuan
sperma ke dalam medium HOS-Test. Pemeriksaan terhadap sampel
dilakukan dalam lima lapang pandang setiap 100 sel dengan
menggunakan mikroskop dengan perbesaran obyektif 20x dengan tiga
kali ulangan pada setiap sampel.
Proses sexing sperma dilakukan dengan menggunakan kolom
Bovine Serum Albumin (BSA) 5-10% (Kaiin et al. 2013). Semen yang
memenuhi kualitas kemudian diencerkan konsentrasinya menggunakan
medium sexing sehingga diperoleh konsentrasi 300 sampai 400x106
sel/ml. Setelah itu, masing-masing sebanyak 1 ml semen kemudian
dimasukkan ke dalam kolom BSA dan dibiarkan selama 45 menit.
Masing-masing kolom dari setiap tabung kemudian dimasukkan ke dalam
tabung sentrifus 15 ml terpisah yang berisi medium sexing untuk
menghilangkan BSA. Tabung kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
1800 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, sedangkan pellet
sperma X (betina) dan sperma Y (jantan) kemudian dihitung
konsentrasinya serta diberi tambahan medium pengencer untuk proses
pengemasan ke dalam straw. Medium pengencer yang digunakan adalah
medium Tris Kuning Telur modifikasi. Masing-masing straw mempunyai
konsentrasi sperma sebesar 25x 106 sel/ml. Straw kemudian diekulibrasi
pada temperatur 5 C selama 3 jam dan dibekukan di atas uap nitrogen
cair selama 10 menit sebelum disimpan di dalam tangki nitrogen cair.

237
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Evaluasi kualitas sperma pasca thawing (PTM) dilakukan dengan


cara menghangatkan straw beku ke dalam air dengan temperatur 37 C
selama 30 detik, kemudian dilakukan pemeriksaan mikroskopis. Data
tentang hasil evaluasi kualitas sperma dibuat dalam bentuk rataan,
selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas semen sapi Simmental yang dikoleksi di UPTD-IB Pucak
ditampilkan pada Tabel 1. Hasil menunjukkan bahwa kualitas semen
segar yang dikoleksi mempunyai kualitas yang layak untuk diproses
sexing sperma.
Tabel 1. Kualitas semen sapi Simmental hasil koleksi di UPTD-IB Pucak
dengan metode vagina buatan
Parameter
Jumlah sapi (ekor) 3
Volume semen (ml) 5,67 1,53
Warna Krem
Konsistensi Sedang-kental
Bau Khas
pH 6
Motilitas (%) 75
Gerakan massa ++/+++
Konsentrasi sperma (x 106 juta 1.960  297,15
sel/ml)

Volume semen yang dihasilkan oleh sapi pejantan Simmental


pada penelitian ini rata-rata sebanyak 5,67 ml dengan motilitas 75% dan
konsentrasi sperma sebesar 1.960 x 106 sel/ml. Kualitas semen yang
dihasilkan mempunyai kualitas yang layak untuk diproses untuk
menghasilkan sperma sexing. Proses sexing memerlukan waktu yang
lebih lama dibandingkan dengan proses pembekuan straw sperma non
sexing, untuk itu kualitas semen sapi yang akan diproses harus memiliki
kualitas yang baik sehingga pada saat sebelum pembekuan masih
mempunyai kualitas yang layak untuk pembekuan yaitu mempunyai
motilitas di atas 60% (BIB Nasional Lembang, 2012) . Konsentrasi sel

238
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
awal juga harus memiliki konsentrasi yang tinggi sehingga setelah sexing
masih mendapatkan jumlah sel sperma yang cukup untuk diproduksi
sebagai sperma beku sexing. Konsentrasi sperma sexing yang dikemas
di dalam mini straw adalah sebesar 25 x 106 sel /ml sesuai dengan SNI.
Setelah proses sexing dan pembekuan, maka sperma X (betina)
maupun sperma Y (jantan) kembali diperiksa kualitasnya. Hasil yang
diperoleh ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kualitas produk sperma sapi Simmental sexing setelah


pembekuan
Perlakuan Sperma
Parameter Sblm Sperma X Sperma Y
sexing
Motilitas (%) 75 40-50 40-45
Sperma hidup (%) 82,81 69,99 63,22
Sperma abnormal (%) 1,47 0,68 0,85
MPU (%) 67,20 52,82 47,50

Berdasarkan hasil, diperoleh motilitas sperma X maupun Y


setelah ekuilibrasi (sebelum pembekuan) mencapai 60-65%. Motilitas
sperma tersebut mencapai standar motilitas sperma yang layak untuk
pembekuan sesuai standar yang ditetapkan oleh BIB Nasional Lembang.
Setelah dilakukan pembekuan, kualitas sperma hasil sexing baik sperma
X maupun sperma Y kembali diperiksa. Hasil yang diperoleh setelah
pasca thawing (PTM) menghasilkan motilitas sperma X sebesar 40-50%,
sedangkan sperma Y sebesar 40-45%. Hasil ini memenuhi standar
sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk sperma beku.
Berdasarkan panduan SNI untuk produk sperma sapi beku menyatakan
bahwa produk sperma beku setelah dithawing kembali pada suhu 37 C,
harus mempunyai motilitas minimal sebesar 40% dengan derajat
gerakan individu spermatozoa minimal 2 (SNI 4869.1: 2008).
Persentase sel sperma yang hidup pada sperma X dan sperma Y
adalah sebesar 69,99% dan 63,22%. Walaupun persentase sel yang
hidup menurun dibandingkan dengan sperma pada saat sebelum sexing,

239
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

hal ini disebabkan karena proses pembekuan dapat menyebabkan


kerusakan pada sel. Hal tersebut juga mempengaruhi nilai Membran
Plasma Utuh (MPU) dari sel sperma yang diperiksa. Adanya kerusakan
pada membran sel pada saat proses pembekuan menghasilkan nilai
MPU pada sperma X dan sperma Y masing-masing sebesar 52,82% dan
47,5%, jika dibandingkan dengan nilai MPU pada saat sebelum sexing
yaitu sebesar 67,20%. Nilai MPU pada sperma sexing sapi Simmental X
yang diproduksi di BIB Tuah Sakato adalah sebesar 70,1%, sedangkan
sperma Y sebesar 68,7% dengan motilitas pasca thawing sebesar 40-
45% (Kaiin et al., 2013). Adanya perbedaan hasil ini kemungkinan
disebabkan perbedaan kondisi pejantan maupun cara pemeliharaannya.
Pembekuan sel dapat menyebabkan kerusakan membran sel
yang disebabkan oleh terbentuknya kristal es pada sitoplasma sel yang
merusak struktur sel (Mazur et al., 2008). Untuk mengatasi hal tersebut,
maka pada medium pengencer untuk pembekuan ditambahkan dengan
krioprotektan serta dilakukan proses ekuilibrasi. Krioprotektan yang
umum digunakan adalah gliserol (Toelihere, 1993).
Persentase sperma abnormal pada sperma sexing baik sperma X
(0,68%) maupun sperma Y (0,85%) menunjukkan penurunan
dibandingkan pada kondisi segar atau sebelum disexing (1,47%). Hasil ini
menunjukkan bahwa proses sexing sperma menggunakan kolom BSA 5-
10% juga berfungsi menseleksi sperma yang abnormal dan mati karena
sperma tersebut tidak mampu menembus kolom BSA. Abnormalitas
sperma yang ditemukan adalah ekor melingkar, ekor putus dan kepala
patah. Abnormalitas sperma dapat dijadikan sebagai indikator fertilitas
seekor pejantan (Bart et al., 1992). Pada penelitian ini, nilai abnormalitas
sperma cukup rendah berada di bawah nilai standar abnormalitas
menurut SNI yaitu di bawah 20%.

240
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P

a. b. c.
Gambar 1. Hasil pemeriksaan kualitas sperma setelah pasca thawing; a. sperma
hidup, b. membran plasma utuh, c. abnormalitas spermatozoa (ekor
melengkung). Keterangan :  sperma hidup; > sperma mati

Hasil pengamatan pada kualitas sperma pasca thawing


menunjukkan bahwa motilitas sperma sebesar 40-45 % memenuhi SNI
semen beku.
KESIMPULAN
Hasil produksi sperma sexing sapi Simmental di UPTD-IB Pucak
menghasilkan straw sperma beku sexing dengan motilitas pasca thawing
yang layak IB sesuai SNI.

SARAN
Proses produksi sperma sexing di UPTD-IB Pucak memerlukan
SDM yang terampil dan terlatih, manajemen ternak pejantan yang baik
serta sarana dan prasarana yang memadai.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari Kegiatan
Penelitian Proyek Penelitian DIPA PN Bioteknologi Peternakan Modern
tahun 2012 (Produksi sperma dan embrio sapi melalui teknologi
reproduksi dalam rangka mendukung penyediaan ternak sapi unggul
nasional). Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pimpinan dan
seluruh staf UPTD-IB Pucak terutama kepada Set Pasino, S Pt. atas
bantuan teknis yang diberikan, serta Riska Tabitha, AMd. atas
bantuannya dalam penelitian ini.

241
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

DAFTAR PUSTAKA
BIB Nasional Lembang. 2012. Tata kerja proses produksi semen sapi beku.BSN
Disnakkeswan Sulsel. 2014. FGD Pengembangan model Industri Peternakan
Modern berbasis unit prosesing sperma di Sulawesi Selatan.
http://www.biotek.lipi.go.id/index.php/news/umum/1149-pengembangan-
kapasitas-riset-peternakan
Ditjennakkeswan. 2010. Blue print persusuan nasional. Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementrian Pertanian RI.
Ditjennakkeswan. 2012. Statistik peternakan dan kesehatan hewan. Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementrian Pertanian RI.
Kaiin EM, Tappa B, Said S, Afiati F, Gunawan M dan Yanthi ND. 2003. Aplikasi
Bioteknologi untuk memproduksi sperma yang telah diketahui jenis
kelaminnya. Laporan Teknis Proyek Penelitian Bioteknologi. Hal. 97-116.
Kaiin EM, Said S dan Tappa B. 2004. Pengaruh penyimpanan spermatozoa sapi
hasil pemisahan dalam media Tris kuning telur pada temperatur 5 C
terhadap daya tahan hidup spermatozoa. Prosiding Seminar Nasional
Industri Peternakan Modern. Hal.90-98.
Kaiin EM, Gunawan M dan Tappa B. 2007. Aplikasi IB dengan sperma hasil
pemisahan di Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner.Hal.247-251.
Kaiin EM, Gunawan M, Afiati F, Said S dan Tappa B. 2013. Production of frozen
sexing sperm separated with BSA column method with standardized on
Artificial Center. Proceedings International Conference on Biotechnology
2012. Pp. 43-48.
Maidaswar dan Widyawati L. 2010. Strategi BIB Lembang dalam penyediaan
semen beku dalam rangka mendukung program swasembada daging
nasional. Prosiding Seminar Nasional “Peranan Teknologi Reproduksi
Hewan dalam Rangka Swasembada Pangan Nasional.” Hal 12-15
Mazur P, Leibo SP dan Seidel Jr. GE. 2008. Cryopreservation of germplasm of
animal used in biological and medical research : importance, impact,
status and future direction. Biology of Reproduction 78:2-12.
SNI 4869.1. 2008. Standar Nasional Indonesia semen beku - Bagian 1 : Sapi.
Badan Standarisasi Nasional (BSN).
Supriatna I. 2010. Penerapan Teknologi Reproduksi pada Ternak di Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional “Peranan Teknologi Reproduksi Hewan
dalam Rangka Swasembada Pangan Nasional.” Hal 4-7.
Toelihere MR.1993. Inseminasi buatan pada ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.

242
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
MORFOMETRI DAN ABNORMALITAS PRIMER
SPERMATOZOA SAPI FH HASIL PEMISAHAN

Fifi Afiati, Tulus Maulana dan Syahruddin Said


Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong 16911
Telp. 021-8754587 Fax. 021-8754588
E-mail : afiati_btk@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk memprediksi tingkat kesuburan pejantan berdasarkan
morfometri dan abnormalitas spermatozoa. Materi yang digunakan dalam
penelitian adalah sperma sapi FH hasil pemisahan (X dan Y), sedangkan
pengamatan morfometri dan abnormalitas spermatozoa dilakukan di bawah
mikroskop pembesaran 400x. Tidak terdapat perbedaan pada morfometri
(panjang, lebar dan luas kepala) sperma sapi FH baik pada spermatozoa tanpa
pemisahan ataupun spermatozoa yang telah dipisahkan. Abnormalitas abaxial
lebih rendah dari abnormalitas pear shape dan knobbed acrosome, baik pada
spermatozoa tanpa pemisahan, spermatozoa X ataupun spermatozoa Y.
Abnormalitas pear shape dan knobbeb acrosome mempunyai nilai tertinggi
berbeda nyata (P<0.05) dihasilkan oleh spermatozoa Y (53,33,0% dan 22,73%),
jika dibandingkan dengan spermatozoa tanpa pemisahan (33,33% dan 4,85%).
Hasil yang sama ditemui pada abnormalitas spermatozoa X (46,67% dan
17,27%). Disimpulkan bahwa proses pemisahan sperma sapi FH tidak
mempengaruhi ukuran sperma namun mempengaruhi abnormalitas
dibandingkan dengan tanpa pemisahan

Kata kunci: abnormalitas, morfometri, sapi FH, sperma, sexing

PENDAHULUAN
Metode yang telah dikembangkan untuk mengetahui potensi
seekor pejantan saat ini adalah Breeding Soundness Evaluation (BSE),
yang bertujuan untuk mengevaluasi dan mengklasifikasikan kemampuan
perkembang biakan seekor pejantan terhadap kondisi fisik dan semen
ditinjau dari aspek pemuliaan (Bagley, 2014). Penilaian BSE meliputi
volume, konsentrasi, motilitas, morfologi, index skrotum dan simetris
testis (Guaus, 2014).
Morfologi sperma dapat menggambarkan kondisi kesehatan
tubulus seminiferus dan epididimis terhadap kesuburan pejantan (Holroyd
et al., 2002). Analisa morfologi sekaligus dapat mengklasifikasikan tingkat

243
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

abnormalitas mayor dan abnormalitas minor serta dapat digunakan


sebagai dasar prognosis, dimana abnormalitas sperma mayor merupakan
indikator abnormal secara genetik (Chenoweth, 2005)
Morfometri merupakan ukuran-ukuran dari spermatozoa yang
masih jarang dilaporkan (Arifiantini et al., 2006). Pengkajian terhadap
morfometri spermatozoa perlu dilakukan untuk mengetahui karakteristik
ukuran-ukuran spermatozoa pada bagian hewan (Gizejewski et al., 2002).
Selain itu pengetahuan terhadap morfometri spermatozoa diperlukan
untuk pengkajian terhadap upaya kriopreservasi semen, mengingat
terdapat perbedaan yang signifikan terhadap ukuran spermatozoa semen
segar dengan semen yang telah mengalami kriopreservasi (Arruda et al.,
2002).
Abnormalitas spermatozoa berkaitan erat dengan kemampuan
membuahi sel telur dan kemandulan pada berbagai spesies. Struktur sel
yang abnormal dapat menyebabkan gangguan dan hambatan pada saat
fertilisasi, sehingga lebih jauh menyebabkan rendahnya angka implantasi
maupun kebuntingan (Hafez & Hafez., 2000).
Pemisahan sperma merupakan serangkaian kegiatan yang tidak
hanya dimulai dari proses ejakulasi pejantan menggunakan vagina
buatan namun juga harus melewati media pemisah berupa kolom Bovine
Serum Albumin dengan konsentrasi berbeda selama 45-60 menit juga
melalui proses pencucian dengan sentrifugasi pada kecepatan 1800 rpm
selama 10 menit pada suhu 30°C (Kaiin et al., 2003), sementara itu
menurut Toelihere (1993) segera setelah penampungan semen harus
diperlakukan dengan hati-hati untuk mencegah cold shock. Mengingat
banyaknya tahapan yang dibutuhkan untuk memisahkan sperma, maka
penelitian ini dilakukan untuk memprediksi tingkat kesuburan pejantan
berdasarkan morfometri dan abnormalitas spermatozoa sapi FH hasil
pemisahan.

244
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
MATERI DAN METODE
Persiapan sampel
Sampel semen beku sapi FH yang diproduksi di P2 Bioteknologi-
LIPI (sexing dan non sexing) diencerkan kembali (thawing) pada suhu
37°C selama 30 detik. Hasil yang menunjukkan motilitas spermatozoa
minimal 40% dengan derajat gerakan individu spermatozoa minimal dua
diperiksa pada lima lapangan pandang di bawah mikroskop dalam kondisi
hangat (SNI 2008). Pembuatan preparat spermatozoa dilakukan
menggunakan pewarnaan Eosin-Nigrosin (Toelihere, 1993). Sebanyak
25  l semen diteteskan diatas gelas objek kemudian ditambah dengan
50l larutan pewarna, selanjutnya difiksasi dengan melewatkan preparat
di atas api bunsen (Barth & Oko, 1989).

Morfometri spermatozoa
Pengukuran morfometri dilakukan menggunakan mikroskop pada
pembesaran 400x (Zeiss Company, Germany). Pengukuran dilakukan
terhadap 200 spermatozoa dari 5-10 lapangan pandang yang berbeda
dengan tiga ulangan. Pengukuran meliputi panjang kepala, lebar dengan
menggunakan fitur length, sedangkan luas kepala menggunakan fitur
outline seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagian-bagian pengukuran kepala spermatozoa


(a)= panjang kepala spermatozoa; (b)= lebar kepala spermatozoa

Abnormalitas spermatozoa
Klasifikasi abnormalitas dikelompokkan menjadi abnormalitas
mayor dan minor, dimana abnormalitas mayor meliputi underdeveloped,

245
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

double form, acrosome defect (knobbed acrosome), decapitated sperm


defect (active tails), diadem, pear shaped, narrow at the base, abnormal
contour, small abnormal heads, free pathological heads, corkscrew defect,
other midpiece defect (tail stump), proximal droplet, pseudodroplet dan
strongly coiled or folded tail (dag defect), sedangkan abnormalitas minor
meliputi narrow heads, small normal heads, giant and short broad heads,
free normal heads, detached acrosome membrane, abaxial implantation,
distal droplet, simple bent tail, terminally coiled tail dan round cells
(Chenoweth, 2005).
Pengamatan abnormalitas spermatozoa yang dikelompokkan
menjadi pear shape (bagian anterior akrosom membulat dan bagian
posterior akrosom mengecil dan mengalami elongasi seperti buah pir),
abaxial (terbentuk perlekatan fosa di bagian tengah ekor) dan knobbed
acrosome (kerusakan pada membran sel dan membran akrosom, terlihat
rata atau bergelombang) (Barth & Oko, 1989). Pengamatan abnormalitas
dilakukan menggunakan mikroskop pada pembesaran 400x (Zeiss
Company, Germany) terhadap 200 spermatozoa dari 5-10 lapangan
pandang yang berbeda dengan tiga ulangan.
Hasil pengamatan mormometri dan abnormalitas spermatozoa
sapi FH dianalisis menggunakan analisis uji-t. Jika terdapat perbedaan
dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (Steel & Torrie, 1989)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan pengamatan diperoleh bahwa tidak terdapat
perbedaan pada morfometri (panjang, lebar dan luas kepala) sperma sapi
FH baik pada spermatozoa tanpa pemisahan ataupun spermatozoa yang
telah dipisahkan (sperma X dan sperma Y). Panjang kepala (PK)
spermatozoa tanpa pemisahan, spermatozoa X dan spermatozoa Y
masing-masing sebesar 9,67 μm, 9,29 μm dan 9,24 μm. Lebar kepala
(LK) spermatozoa tanpa pemisahan, spermatozoa X dan spermatozoa Y
masing-masing sebesar 4,95 μm, 4,93 μm dan 4,93 μm, sedangkan luas

246
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
kepala spermatozoa (LKS) tanpa pemisahan, spermatozoa X dan
spermatozoa Y masing-masing sebesar 40,10 μm2, 39,00 μm2 dan
37,61 μm2, seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Morfometri spermatozoa tanpa pemisahan, sperma X


dan sperma Y (μm; μm2)
Keterangan : NS=non sexing, X=sperma X, Y= sperma Y,
PK=panjang kepala, LBK=lebar kepala, LKS=luas
kepala sperma

Hasil pengukuran spermatozoa ditentukan oleh jenis dan teknik


pewarnaan. Nilai yang dihasilkan dari penelitian ini hampir sama dengan
penelitian Ariafintini, et al., (2006), yaitu morfometri panjang dan lebar
kepala spermatozoa sapi Bali yang diberi pewarna Eosin nigrosin
mendapatkan nilai masing-masing 9,98 μm dan 4,92 μm. Sementara
Tappa et al., (2008) mendapatkan hasil pengukuran panjang dan lebar
kepala spermatozoa sapi Simmental masing-masing sebesar 8,94 μm
dan 4,59 μm berbeda dengan yang dihasilkan oleh Kondracki et al.,
(2006) dengan ukuran panjang dan lebar kepala spermatozoa sapi
sebesar 10,11 μm dan 5,21 μm. Namun demikian, ukuran panjang dan
lebar kepala spermatozoa hasil penelitian masih dalam kisaran normal,
karena menurut Toelihere (1993) panjang dan lebar kepala spermatozoa
sapi adalah 8,0-10,0 μm dan 4,0-4,5 μm dengan hasil kali panjang dan
lebar sebesar 32-45.

247
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Berdasarkan hasil pengamatan spermatozoa sapi, abnormalitas


abaxial lebih rendah dari abnormalitas pear shape dan knobbed
acrosome, baik pada spermatozoa tanpa pemisahan, spermatozoa X
ataupun spermatozoa Y. Abnormalitas abaxial sering diikuti oleh kelainan
lain berupa ekor aksesoris, disebabkan oleh kelainan genetik yang
herediter (Barth & Oko, 1989). Abnormalitas pear shape dan knobbeb
acrosome mempunyai nilai tertinggi berbeda nyata (P<0.05) dihasilkan
oleh spermatozoa Y (53,33,0% dan 22,73%), jika dibandingkan dengan
spermatozoa tanpa pemisahan (33,33% dan 4,85%). Hasil yang sama
ditemui pada abnormalitas spermatozoa X (46,67% dan 17,27%) seperti
terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Abnormalitas spermatozoa tanpa pemisahan, spermatozoa X


dan spermatozoa Y
Keterangan : NS=non sexing, X=sperma X, Y= sperma Y, PK=panjang
kepala, LBK=lebar kepala, LKS=luas kepala sperma

Abnormalitas spermatozoa primer seperti knobbed acrosome


defect, round head dan midpiece defect biasanya merupakan kelainan
genetik yang bersifat bawaan dan dapat diturunkan (Chenoweth 2005).
Penelitian yang dilakukan Yulnawati et al (2013) mendapatkan hasil
bahwa abnormalitas spermatozoa yang terjadi pada jenis sapi tropis dan
subtropis merupakan abnormalitas primer yang berhubungan erat dengan
fertilitas spermatozoa, berkaitan dengan genetik dan bersifat herediter,

248
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
yaitu berupa abnormalitas pyriform head, pear shaped, detached head
dan defect midpiece, sehingga disarankan untuk tidak digunakan dalam
kegiatan IB, karena dikhawatirkan abnormalitas spermatozoa tersebut
akan diturunkan kepada anak jantannya.

KESIMPULAN DAN SARAN


Disimpulkan bahwa proses pemisahan sperma sapi FH tidak
mempengaruhi ukuran sperma namun mempengaruhi abnormalitas
dibandingkan dengan tanpa pemisahan.
Selain pengujian tingkat laboratorium, disarankan untuk dapat
melakukan pengujian di lapangan melalui teknik inseminasi buatan untuk
menguji tingkat kesuburan spermatozoa.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari Kegiatan
Penelitian Proyek Penelitian DIPA PN Bioteknologi Peternakan Modern
tahun 2012 (Produksi sperma dan embrio sapi melalui teknologi
reproduksi dalam rangka mendukung penyediaan ternak sapi unggul
nasional).
DAFTAR PUSTAKA
Arifiantini RI, Wresdiyati T dan Retnani RE. 2006. Kaji banding morfometri
spermatozoa sapi Bali (Bos sondaicus) menggunakan pewarnaan Williams,
Eosin, Eosin Nigrosin dan Formal saline. Jurnal Sain dan Veteriner. 24(1):
65-70
Arruda RP, Ball BA, Gravance CG, Garcia AR dan Liv IKM. 2002. Effect of
extender and cryoprotectants on stallion sperm head morphometry.
Theriogenology 58:253-256
Bagley CV. 2009. Breeding soundness examination of rams cooperative
extention work. Utah State University.
http://extension.usu.edu/files/publications/factsheet/AH_Sheep_02.pdf (2
Nopember 2014)
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 4869.1:2008 tentang semen
beku-Bagian 1: Sapi. Jakarta. 12 hal.
Chenoweth PJ. 2005. Genetic sperm defects. Theriogenology 64:457–468.
Gizejewski Z, Marta W dan Jolanta P. 200. Seasonal changes in the dimensions
of red deer (Cervus elaphus) spermatozoa. M Polish acad Sci. Resc Stat
Ecol Agric Preserv Anin Breed. Pooland

249
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Guaus SJB. 2014. Overview of breeding soundness examination of the


male.http://www.merckmanuals.com/vet/management_and_nutrition/
breeding_soundness_examination_of_the_male/overview_of_breeding_so
undness_examination_of_the_male.html (2 Nopember 2014)
Hafez ESE dan Hafez B. 2000. Reproduction in farm animals 7th ed. Lipincott
and Wirley, New York, USA
Holroyd RG, Doogan VJ, De Faveri JD, Fordyce G, McGowan MR, Bertram JD,
Vankan DM, Fitzpatrick LA, Jayawardhana GA dan Miller RG. 2002. Bull
selection and use in northern Australia 4: cal output and predictors of
fertility of bulls inmultiple-sire herds. Animal Reproduction Science 71:67–
79.
Kaiin EM, Tappa B, Afiati F, Gunawan M dan Yanthi ND. 2003. Aplikasi
bioteknologi untuk produksi bibit yang sudah diketahui jenis kelaminnya.
Laporan Teknik Proyek Penelitian Bioteknologi. Puslit Bioteknologi LIPI.
Hal. 96-116
Steel RGD dan Torrie JH. 1989. Prinsip dan prosedur statistika. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Tappa B, Afiati F dan Said S. 2008. Identifikasi kepala spermatozoa kerbau,
sapid an domba secara morfometri. Protein 15(2):105-111
Toelihere MR. 1993. Inseminasi Buatan pada ternak. Penerbit Angkasa.
Bandung
Yulnawati, Afiati F, Riyadi M dan Arifiantini RI. 2013. Gambaran abnormalitas
spermatozoa sapi subtropics di lingkungan tropis. Prosiding Seminar
Nasional dan Forum Komunikasi Industri Peternakan. Bogor 18-19
September 2013. Hal 208-217 ISBN: 978-602-98275

250
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
EVALUASI LIBIDO DAN KEMAMPUAN KAWIN SAPI
JANTAN PERSILANGAN FRIESIAN HOLSTEIN DAN
PERANAKAN ONGOLE

Hastono dan Lisa Praharani

Balai Penelitian Ternak, Bogor


Jl. Raya Banjarwaru, Ciawi. Po Box. 221, 16002. Telp. 8240752
Email: lisa_praharani@yahoo.com

ABSTRAK
Persilangan sapi Friesian Holstein (FH) dengan Peranakan Ongole (PO)
bertujuan untuk membentuk rumpun sapi perah adaptif tropis. Penelitian
dilakukan untuk mengevaluasi libido dan kemampuan kawin pejantan sapi
persilangan FHxPO. Penelitian menggunakan 6 ekor sapi jantan FHxPO umur 2
tahun. Peubah yang diamati adalah waktu ejakulasi pertama sejak sapi jantan
bertemu betina berahi (reaction time), dan jumlah ejakulasi selama 20 menit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa libido dari 6 (enam) ekor sapi jantan FHxPO
adalah berturut–turut sebagai berikut : 24,2 detik dan kemampuan kawinnya 6,7
kali ejakulasi. Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi awal fertilitas jantan
sapi persilangan FHxPO dalam pembentukan rumpun sapi perah adaptif.

Kata kunci : libido, kemampuan kawin, sapi persilangan FH X PO.

PENDAHULUAN
Sapi jantan memiliki keinginan kawin ketika pubertas yakni sekitar
umur 12 - 18 bulan. Menurut Geske (2003) sapi jantan biasanya
mencapai pubertas sekitar umur 12 – 14 bulan. Keinginan kawin pada
sapi jantan ditandai dengan mencoba menaiki betina berahi tanpa disertai
ereksinya penis. Keadaan seperti ini dikatakan sapi jantan sedang belajar
kawin. Sapi jantan yang sedang belajar kawin tersebut biasanya menaiki
betina sampai berkali – kali tetapi tidak sampai terjadi perkawinan, karena
penis tidak ereksi. Mana kala penis sudah ereksi, maka sapi jantan
tersebut sudah siap kawin.
Libido dan kemampuan kawin pada sapi jantan merupakan salah
satu penentu keberhasilan perkawinan. Perkawinan dikatakan berhasil
bila penis dalam keadaan ereksi mampu melakukan interomisi ke dalam

251
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

vagina disertai dengan ejakulasi (Toelihere, 1981)). Libido dan


kemampuan kawin dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu:
bangsa, umur, jumlah kawin, jumlah betina berahi, status sosial dan
lingkungan. Lingkungan dimaksud adalah pakan, temperatur / cuaca, hari
gelap dan terang.
Efisiensi reproduksi tidak terlepas dari penampilan reproduksi
ternak jantan dengan mengetahui ada tidaknya libido dan kemampuan
kawin. Layak tidaknya sapi jantan dapat dijadikan sebagai pemacek yaitu
dengan mengetahui libido dan kemampuan kawinnya. Hal ini penting,
karena penampilan sapi jantan yang bagus namun, apabila tidak mau
kawin atau mau kawin tetapi tidak dapat membuahi, maka sebaiknya di
apkir.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi libido dan
kemampuan sapi jantan persilangan Frisian Holstein (FH) dan Peranakan
Ongole (PO).
MATERI DAN METODA

Tempat penelitian
Telah dilakukan pengamatan mengenai libido dan kemampuan kawin
sapi jantan hasil persilangan antara FH dengan PO di Kandang
Percobaan Cicadas.
Perlakuan
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah enam (6) ekor
umur dua (2) tahun. Masing – masing ternak ditempatkan dalam kandang
individu yang diberi makan rumput gajah secara adlibitum, dengan waktu
pemberian pakan sebanyak 2 kali per hari, yakni pagi dan sore. Pakan
tambahan berupa dedak diberikan sebanyak 2 kg per ekor per hari.
Peralatan
Peralatan dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut : stop watch,
vagina buatan, termos air panas

252
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Evaluasi Libido
Evaluasi libido dilakukan dengan cara mempertemukan masing – masing
pejantan dengan betina berahi, kemudian dihitung waktunya dengan
mengunakan stop watch sejak pertama kali sapi jantan ketemu betina
sampai ejakulasi pertama. Evaluasi kemampuan kawin berdasarkan
berapa kali jumlah ejakulasi selama 20 menit. Data yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Libido
Hasil penelitian mengenai libido dan kemampuan kawin sapi FH X
PO tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Libido dan Kemampuan kawin sapi jantan hasil persilangan
antara FH dengan PO
No Kemampuan kawin
Libido/reaction Time ( detik)
Pejantan /Jumlah ejakulasi (kali)
1 15, 33 8
2 17 8
3 37 5
4 126 5
5 25 9
6 19 5
Rataan 39,88 6,66

Hasil penelitian (Tabel 1) menunjukkan bahwa reaction time yang


paling cepat pada sapi persilangan antara FH PO adalah 15,33 detik dan
terlama 126 detik, dengan rataan 39,88 detik. Reaction time dari sapi
hasil persilangan ini tergolong cepat, karena kurang dari satu (1) menit.
Libido akan berbeda karena pengaruh bangsa, pejantan dari bangsa sapi
perah akan lebih aktif dalam melakukan perkawinan , hal ini disebabkan
karena bangsa sapi perah lebih cepat mencapai dewasa kelamin
dibanding dengan sapi pedaging (Chenoweth, 2000). Dikatakan lebih
lanjut bahwa Sapi jantan hasil persilangan antara sapi perah dan
pedaging memiliki nafsu dan kemampuan kawin yang tinggi.

253
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Tingginya libido pada sapi persilangan ini menandakan bahwa


sapi tersebut memiliki fertilitas yang tinggi pula dengan catatan apabila
sapi tersebut berhasil melaksanakan perkawinan dengan baik. Sprott et
al., (2003) bahwa 10 – 35 % sapi dengan libido tinggi tidak selalu sukses
dalam melakukan perkawinan karena beberapa cacat pada kaki, tidak
cukup ereksi dan gangguan pada organ reproduksi .
Pada kerbau pejantan hasil persilangan antara kerbau rawa
dengan kerbau sungai tidak memilih – milih dalam melakukan perkawinan
sampai terjadinya ejakulasi. Nafsu kawin kerbau jantan hasil persilangan
adalah yang terbaik bila dibandingkan dengan dengan kerbau lumpur dan
kerbau Sungai, dan kerbau Lumpur ternyata memiliki libido yang paling
rendah. Nafsu kawin dapat dilihat dari waktu yang dibutuhkan sejak
pejantan menaiki betina hingga terjadinya ejakulasi pertama. Untuk
masing – masing ( Kerbau jantan Persilangan, Sungai dan Lumpur)
waktu yang dibutuhkan paling cepat berturut – turut adalah 14, 47 dan 78
detik ( Putu, 2003).

Kemampuan kawin
Hasil penelitian (Tabel 1) menunjukkan bahwa kemampuan kawin
/ jumlah ejakulasi sapi jantan hasil persilangan antara FH X PO paling
banyak 9 kali dan terendah 5 kali, dengan rataan 6,66 kali. Sapi ini
termasuk memiliki kemampuan kawin yang tinggi karena dalam waktu 20
menit mampu ejakulasi sebanyak lebih dari 6 kali. Sprott et al., (2003)
telah melakukan penilaian kemampuan kawin pada sapi jantan Brahman
dengan hasil sebagai berikut : sapi jantan dikatakan memiliki kemampuna
kawin yang tinggi bila dia mampu ejakulasi lebih dari 3 kali selama 30
menit, dan kemampuan kawin sedang bila mampu ejakulasi antara 2 – 3
kali, kemudian bila hanya 1 kali atau sama sekali tidak ejakulasi, dinilai
rendah.
Frekuensi kawin bervariasi tergantung jenis, bangsa, tempat yang
sesuai, waktu istirahat, iklim, rangsangan sexual. Kemampuan kawin sapi

254
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
jantan dapat mencapai lebih dari 80 kali selama 24 jam, atau 60 kali
selama 6 jam dan rata – rata 21 kali kawin sebelum pengamatan berakhir
(Havez & Hafez, 2000). Sapi jantan perah lebih aktif dibanding Brahman.
Aktifitas sexual bertambah ketika ada betina baru. Pexton et al., (1989)
melaporkan bahwa kemampuan kawin sapi jantan Bos Taurus 45,1 kali
lebih tinggi bila dibanding dengan sapi jantan Bos Indikus yakni hanya
mencapai 23,6 kali.
KESIMPULAN
Sapi jantan hasil persilangan antara FH x PO memiliki libido dan
kemampuan kawin yang sangat tinggi dibandingkan dengan sapi FH
maupun PO.
DAFTAR PUSTAKA.
Hafez B dan Hafez ESE. 2000. Reproduction in farm animals 7 th Edition.
Kiawah island, South Carolina, USA. March 2000. Hal 293 – 306
Chenoweth PJ. 2000. Bull Sex drive and reproductive behavior. International
Veterinary Information service.
http://www.ivis.org/advances/Repro_Chenoweth/chenoweth/IVIS.pdf. [5
Oktiber 2004]
Geske J. 2003. Breeding management. University of Minnesota Extension
service. http://www.extension.umn.edu/beef/components/homestudy/less
on3h.PDF. Diunduh pada tanggal 5 Oktober 2004
Pexton JE, Farin PW, Gerlach RA, Sullins JL, Snoop MC dan Chenoweth PJ
1989. Efficiency of single-sire mating programs with beef bulls mated to
estrus synchronizefemales. Theriogen.32:705.
Putu IG. 2003. Aplikasi teknologi reproduksi untuk peningkatan performans
produksi ternak kerbau di Indonesia. Wartazoa Vol. 13 No. 4 Th. 2004.
Hal 172 – 180.
Sprott LR, Thrift TA dan BB. Carpenter. 2003 A Breeding Soundness of
Bulls. Texas Beef Cattle Management Handbook. Texas Agricultural
Extension Service. L-5051.
Toelihere MR. 1981. Inseminasi buatan pada ternak. Penerbit Angkasa Bandung.

255
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

PERANAN DEXTROSA DALAM MEMPERTAHANKAN


DAYA HIDUP SPERMATOZOA DALAM PROSES
PEMBEKUAN SEMEN DOMBA
Herdis, I Wayan Angga D. dan Nur Adianto

Pusat Teknologi Produksi Pertanian Badan Pengkajian dan Penerapan


Teknologi, LAPTIAB Gedung 612 Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang
Selatan Banten 15314
E-mail : kangherdis@yahoo.co.id

ABSTRAK
Ternak domba potensial dikembangkan untuk substitusi ternak sapi dan
kerbau dalam memenuhi kebutuhan daging nasional. Teknologi
Inseminasi Buatan dengan semen beku merupakan teknologi tepat
guna dalam pengembangan ternak domba. Penelitian dilakukan untuk
mengetahui pengaruh penambahan dextrosa kedalam pengencer Tris
kuning telur terhadap daya hidup spermatozoa pada semen beku
domba. Semen dikoleksi seminggu sekali dengan vagina buatan dari
enam domba jantan. Semen diekuilibrasi pada suhu 5 oC selama empat
jam kemudian dibekukan dan disimpan di dalam nitrogen cair. Metode
thawing dilakukan pada suhu 30oC selama 30 detik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa setelah pasca thawing rata-rata persentase
motilitas tertinggi dicapai pada perlakuan dextrosa dosis 0,4 g/100 ml
pengencer semen (52,00  4,47%) berbeda nyata (P<0,05)
dibandingkan kontrol (40,83  3,76%) namun tidak berbeda dengan
perlakuan dextrosa dosis 0,2 g/100 ml pengencer semen (46,67 
4,08%) dan perlakuan dextrosa dosis 0,6 g/100 ml pengencer semen
(49,17  4,92 %). Rata-rata persentase hidup pada perlakuan
penambahan dextrosa dosis 0,4 g/100 ml pengencer semen (69,80 
3,27%) nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan kontrol (52,67  1,51
%) dan perlakuan dextrosa dosis 0,2 g/100 ml pengencer semen
(63,33  3,08%) namun tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan
perlakuan dextrosa dosis 0,6 g/100 ml pengencer semen (66,00% 
5,43 %) Hasil penelitian menyimpulkan penambahan dextrosa 0,4
g/100 ml pengencer semen merupakan dosis yang optimal untuk
mempertahankan kualitas semen pada proses pembekuan semen
domba.

Kata kunci : dextrosa, semen beku, domba.

256
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
PENDAHULUAN
Dalam memenuhi kebutuhan daging nasional, ternak domba
sangat potensial dikembangkan sebagai substitusi ternak sapi dan
kerbau di Indonesia. Dalam pengembangan ternak domba,, aplikasi
teknologi reproduksi seperti inseminasi buatan (IB) merupakan teknologi
tepat guna untuk meningkatkan populasi ternak domba secara aktif
progresif. Banyak faktor yang berperan dalam keberhasilan IB ternak
domba. Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan adalah
kesulitan mendeposisikan semen pada alat repropduksi domba betina
karena ukuran reproduksi domba lebih kecil sehingga tidak bisa
dipalpasi seperti pada sapi atau kerbau. Oleh karena itu kualitas semen
beku yang akan di deposisikan harus mempunyai kualitas yang bagus.
Dalam proses pembekuan semen, masalah paling kritis adalah
saat perubahan suhu yang sangat rendah (-196 oC) akan terbentuk
kristal-kristal es dan perubahan konsentrasi elektrolit yang akan
menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel spermatozoa. Untuk
mengurangi efek tersebut, di dalam pengencer harus ditambahkan
senyawa krioprotektan. Jenis krioprotektan yang baik dan sudah sangat
lazim digunakan dalam proses pembekuan (kriopreservasi) semen
adalah gliserol. Selain gliserol sebagai krioprotektan intraseluler, dikenal
pula berbagai macam gula baik monosakarida maupun disakarida dan
polisakarida yang dapat berfungsi sebagai krioprotektan ekstraseluler.
Perpaduan antara kedua jenis krioprotektan ini diharapkan dapat
memberikan perlindungan yang lebih optimal terhadap spermatozoa
selama proses pembekuan semen (Rizal et al., 2006)
Beberapa laporan hasil penelitian membuktikan bahwa
penambahan berbagai jenis gula di dalam pengencer semen dapat
memperbaiki kualitas semen beku hasil ejakulasi. Penambahan
trehalosa dan EDTA (Aisen et al., 2000, 2002), laktosa (Rizal et al., 2003)
dan maltosa (Herdis, 2005) di dalam pengencer semen dapat
meningkatkan kualitas semen beku domba. Yulnawati et al., 2009

257
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

menggunakan beberapa jenis gula pada proses pembekuan semen


kerbau belang.
Melihat besarnya peranan gula pada proses pembekuan semen
ternak domba, serta melihat potensi ternak domba yang potensial untuk
dikembangkan melalui IB. Penelitian dilakukan untuk mengetahui
pengaruh penambahan dextrosa kedalam pengencer Tris kuning telur
terhadap kualitas semen beku ternak domba.

MATERI DAN METODE


Penelitian menggunakan enam ekor domba jantan unggul
sebagai sumber penghasil semen. Domba jantan berumur sekitar
4 tahun dengan berat badan sekitar 80 kg. Pakan yang diberikan
berupa hijauan rumput segar sekitar 8 kg per ekor per hari,
sedangkan konsentrat diberikan sekitar 0,8 kg per ekor per hari.
Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari semen domba,
dextrosa dan pengencer semen Tris-kuning telur dengan
komposisi pengencer : 2,42 g Tris (hydroxymethyl) aminomethan
(Merck, Germany, cat. K27219882003), 1,28 g asam sitrat
monohidrat (Merck, Germany, cat. K22939944632), 2,16 g D(-)
fruktosa (Merck, Germany, cat. K27917123038), gliserol 5%,
100.000 IU penisilin-G (Meiji, Japan, cat. APG 0598 J), 50 mg
streptomisin sulfat (Meiji, Japan, cat. SSL 1095 A), akuabidestilata
ad 100 ml (Supracointra, Indonesia).
Bahan lain yang digunakan adalah kuning telur ayam ras,
NaCl (Merck, Germany, cat. 3.9K19690004) fisiologis, NaCl 3%,
larutan hipoosmotik, eosin B (Merck, Germany, cat. 509
K5003834), negrosin (Merck, Germany), KY jelly (Johnson and
Johnson, Indonesia), nitrogen cair, alkohol dll.

258
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Semen ditampung sekali seminggu dengan menggunakan
vagina buatan. Semen segar yang diperoleh kemudian dievaluasi
secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis
meliputi pemeriksaan volume, warna dan kekentalan. Pemeriksaan
mikroskopis meliputi pemeriksaan gerakan massa, konsentrasi,
morfologi spermatozoa, persentase motilitas, persentase hidup dan
persentase membran plasma utuh (MPU).
Setelah dievaluasi, semen segar yang memenuhi syarat
diencerkan sesuai dengan perlakuan yang diberikan yakni :
1. Pengencer Tris kuning telur tanpa penambahan dextrosa.
2. Pengencer Tris kuning telur ditambah dextrosa 0,2 g/ 100 ml
pengencer.
3. Pengencer Tris kuning telur ditambah dextrosa 0,4 g/ 100 ml
pengencer.
4. Pengencer Tris kuning telur ditambah dextrosa 0,6 g/ 100 ml
pengencer.
Setelah diencerkan secara merata, sampel dikemas kedalam
straw yang berukuran 0,25 ml. Proses ekuilibrasi dilakukan dengan
menyimpan straw yang berisi semen di dalam lemari es dengan suhu
mendekati 50 C selama 4 jam. Pembekuan semen dilakukan dengan
menempatkan straw pada rak di dalam uap nitrogen cair sekitar 10 cm
diatas permukaan nitrogen cair selama 15 menit. Pencairan kembali
(thawing) dilakukan dengan memasukan straw pada air yang bersuhu
37oC selama 30 detik.
Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap daya hidup
spermatozoa, dilakukan evaluasi pada tahap semen segar, tahap
setelah pengenceran, tahap setelah ekuilibrasi dan tahap setelah
pencairan kembali (thawing). Parameter yang diukur untuk setiap tahap
evaluasi terdiri atas persentase motilitas (%M), dan persentase hidup
(%H).

259
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Persentase motilitas merupakan persentase spermatozoa yang


bergerak progresif ke depan. Evaluasi dilakukan dengan cara
mengamati spermatozoa pada delapan lapang pandang yang berbeda
dengan mikroskop cahaya pembesaran 400 kali. Angka yang diberikan
berkisar antara 0% hingga 100% dengan skala 5%.
Persentase hidup dievaluasi dengan menggunakan pewarnaan
eosin. Spermatozoa yang hidup ditandai oleh kepala yang tidak
menyerap zat warna, sedangkan yang mati ditandai oleh kepala yang
berwarna merah. Evaluasi dilakukan pada minimal 200 spermatozoa
diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 400 kali.
Persentase membran plasma utuh (MPU) spermatozoa
dievaluasi dengan menggunakan metode hypoosmotic swelling test
(HOS Test). Pengujian dilakukan dengan cara mencampur 0,1 ml
semen dengan 9,9 ml medium hipoosmotik. Medium hipoosmotik dibuat
dengan melarutkan 0,3 g fruktosa dan 0,7 g Na Citrat ke dalam 100 ml
aquabidestilata. Setelah dicampurkan, sediaan diinkubasi dalam
waterbath bersuhu 370C selama 30 menit. Evaluasi dilakukan di bawah
mikroskop cahaya pada pembesaran 400 kali. Penilaian dilakukan
dengan sistim skor 0% sampai 100%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Semen Segar
Kualitas semen segar yang diperoleh sangat menentukan
apakah semen tersebut layak untuk dilakukan proses pengenceran atau
pembekuan. Hasil penelitian menunjukkan volume semen domba garut
yang diperoleh rata-rata sebesar 0,67 ± 0,07 ml. Hasil yang diperoleh
lebih rendah dibandingkan Santoso & Herdis (2013) yang menyatakan
bahwa volume semen domba rata-rata berkisar antara 0,82 ± 0,16 ml.
Variasi volume semen yang diperoleh disebabkan karena adanya
perbedaan umur, ukuran tubuh, perubahan kesehatan reproduksi dan
frekuensi penampungan.
260
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Inounu et al. (2001) melaporkan volume semen domba Garut
rata-rata 0,76 ml (kisaran 0,3 – 2 ml), warna bening hingga krem,
konsistensi encer hingga kental, gerakan massa rata-rata 2,81 (kisaran
1 – 4), persentase spermatozoa motil rata-rata 58,08% (kisaran 10 –
80%), persentase spermatozoa hidup rata-rata 64,32% (kisaran 19 –
95%), dan konsentrasi spermatozoa rata-rata 2490,60 juta sel/ml (kisaran
950 – 4080 juta sel/ml). Selanjutnya dilaporkan pula bahwa persentase
spermatozoa motil, spermatozoa hidup, dan MPU semen domba Garut
masing-masing 74,7%, 83,00%, dan 85,50% (Yulnawati, 2002), 78,64%,
83,18%, dan 81,00% (Farhan, 2003), serta 75,00%, 84,80%, dan 81,20%
(Kristanto, 2004). Tabel 1 menunjukkan secara lengkap karakteristik
semen segar domba garut yang diperoleh pada penelitian.

Tabel 1. Karakteristisk semen segar domba garut usia


Karakteristik Semen Rata - rata

 Volume per ejakulat (ml) 0,67 ± 0,07


 Warna Krem
 Konsistensi Kental
 pH 7,03 ± 0,21
 Gerakan Massa 3,00 ± 0,00
 Konsentrasi (106 sperma/ml) 5.110 ± 1483
 Persentase Motilitas (%) 75 ± 0
 Persentase Hidup (%) 86,67 ± 1,53
 Persentase Abnormal (%) 2,33 ± 0,58
 Membran Plasma Utuh (%) 87 ± 1,41
Hasil penelitian menunjukkan pH semen domba yang
diperoleh sebesar 7,03 ± 0,21, hasil ini sesuai dengan pendapat
Garner & Hafez (2008) yang menyatakan bahwa pH semen normal
berkisar antara 6,4 sampai 7,8. Melihat parameter kualitas semen
segar yang dihasilkan, penelitian menunjukkan bahwa kualitas
semen domba pada penelitian memenuhi syrarat untuk dilakukan
pengolahan dan pembekuan semen karena mempunyai persentase

261
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

motil progresif minimal 65%, konsentrasi spermatozoa 700 juta/ml


dan abnormalitas kurang dari 20%.
A. Daya Hidup Spermatozoa Setelah Proses Pengolahan Semen
Motilitas spermatozoa merupakan salah satu ciri utama yang sering
dijadikan patokan paling sederhana dalam penilaian semen untuk
inseminasi buatan. Motilitas atau daya gerak spermatozoa biasanya
digunakan sebagai ukuran kesanggupan spermatozoa untuk membuahi
sel telur. Evaluasi setelah proses pembekuan menunjukkan bahwa
setelah pasca thawing rata-rata persentase motilitas pada perlakuan
penambahan dextrosa dosis 0,4 g/100 ml pengencer semen paling
tinggi (52,00  4,47%) berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan kontrol
(40,83  3,76%) namun tidak berbeda dengan perlakuan dextrosa dosis
0,2 g/100 ml pengencer semen (46,67  4,08%) dan perlakuan dextrosa
dosis 0,6 g/100 ml pengencer semen (49,17  4,92 %). Hasil
menunjukkan bahwa pemberian dextrosa dosis 0,4 g/100 ml pengencer
semen merupakan dosis optimal pada proses pembekuan semen domba.
Tabel 2 menunjukkan rata-rata motilitas spermatozoa domba pada
perlakuan penambahan dextrosa pada pengencer semen.

Tabel 2. Rata-rata persentase spermatozoa motil, spermatozoa hidup


domba garut setelah pengenceran, ekuilibrasi, dan thawing

Peubah Perlakuan Tahap pengolahan semen


Setelah Setelah Setelah
pengenceran ekuilibrasi thawing
Motilitas(%) Kontrol 71,67 ± 2,89 65,83 ± 4,92 40,83 ± 3,76a
Dextrosa 0,2 g 70,00 ± 0,00 66,67 ± 5,16 46,67 ± 4,08b
Dextrosa 0,4 g 71,67 ± 2,89 66,67 ± 5,16 52,00± 4,47b
Dextrosa 0,6 g 73,33 ± 2,89 66,67 ± 6,83 49,17 ± 4,92b

Hidup (%) Kontrol 82,67 ± 3,51 76,67 ± 2,80 52,67 ± 1,51a


Dextrosa 0,2 g 85,33 ± 2,08 75,67 ± 3,01 63,33 ± 3,08b
Dextrosa 0,4 g 81,67 ± 2,08 75,50 ± 3,27 69,80 ± 3,27c
Dextrosa 0,6 g 82,33 ± 2,31 77,50 ± 2,51 66,00 ±5,43bc
a,b,c
Superskrip dalam kolom yang sama masing-masing peubah menunjukkan
perbedaan nyata (P<0,05).

262
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Pada parameter persentase hidup, penelitian menunjukkan bahwa
pemberian dextrosa dosis 0,4 g/100 ml pengencer semen
menghasilkan persentase hidup sebesar (69,80  3,27%) nyata lebih
tinggi (P<0,05) dibandingkan kontrol (52,67  1,51 %) dan perlakuan
dextrosa dosis 0,2 g/100 ml pengencer semen (63,33  3,08%) namun
tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan perlakuan dextrosa dosis 0,6
g/100 ml pengencer semen (66,00%  5,43 %). Hasil ini memperkuat
parameter motilitas yang menunjukkan bahwa perlakuan dextrosa 0,4
g/100 ml pengencer merupakan dosis optimal pada proses pembekuan
semen domba.
Hasil penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan kualitas
semen beku dengan penambahan dextrosa di dalam pengencer semen
menunjukkan gula tersebut efektif melindungi spermatozoa dari
kerusakan selama proses pembekuan semen. Selain itu penelitian ini
menunjukkan bahwa dextrosa yang ditambahkan ke dalam pengencer
semen berfungsi sebagai substrat sumber energi dan sekaligus sebagai
krioprotektan ekstraseluler. Sebagai substrat sumber energi, gula
tersebut akan dimetabolisir melalui jalur glikolisis atau dilanjutkan dengan
reaksi asam trikarboksilat (siklus Krebs), sehingga dihasilkan energi
berupa ATP yang akan dimanfaatkan oleh spermatozoa dalam
pergerakan atau motilitas (Rizal et.al. 2006).
Menurut Santoso & Herdis (2013) pengaruh positif
perlakuan penambahan gula yang hanya nyata pada tahap
setelah thawing diduga karena pada saat pembekuan dan
thawing, terjadi tekanan yang berat terhadap sel spermatozoa
akibat penurunan suhu yang drastis saat pembekuan, dan
peningkatan suhu yang juga drastis saat thawing. Dalam
keadaan seperti ini, gula akan memberikan perlindungan yang
optimal terhadap integritas membran plasma sel dan sel
spermatozoa secara keseluruhan. Pada tahap pengenceran dan

263
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

ekuilibrasi, spermatozoa belum mendapatkan tekanan berat


seperti pada saat pembekuan dan thawing. Hal ini menjadi
petunjuk bahwa dalam proses kriopreservasi semen, gula yang
ditambahkan di dalam pengencer semen, lebih berperan sebagai
krioprotektan ekstraseluler daripada sebagai substrat sumber
energi. Gula dari golongan disakarida dan polisakarida dapat
digunakan sebagai substrat sumber energi oleh spermatozoa,
hanya jika di dalam plasma semen atau pengencer tersedia enzim
yang mengurainya menjadi beberapa unit monosakarida. Dari
penelitian yang dilakukan terbukti bahwa menambahkan dextrosa
dengan dosis 0,4 g/100 ml pengencer dalam pengencer semen
beku Tris-kuning telur gliserol 5% menghasilkan daya hidup yang
paling baik dan dapat di rokomendasikan pada proses
pembekuan semen domba.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
penambahan dextrosa 0,4 g/100 ml pengencer semen merupakan dosis
yang optimal untuk mempertahankan kualitas semen pada proses
pembekuan semen domba.
Guna mendapatkan kualitas semen beku domba yang
optimal disarankan menambahkan destrosa dengan dosis 0,4
g/100 ml pengencer dalam pengencer semen beku Tris-kuning
telur gliserol 5%.
DAFTAR PUSTAKA
Aisen, E.G., H.L. Alvarez, A. Venturino, and J.J. Garde. 2000. Effect of
trehalose and EDTA on cryoprotective action of ram semen diluents.
Theriogenology 53:1053-1061.
Aisen, E.G., V.H. Medina, and A. Venturino. 2002. Cryopreservation and post-
thawed fertility of ram frozen semen in different trehalose concentrations.
Theriogenology 57:1801-1808.

264
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Farhan. 2003. Kajian Nira Sebagai Pengencer Alternatif Semen Domba Garut.
Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Garner, DL dan Hafez ESE. 2008. Spermatozoa and Seminal Plasma in
Reproduction in farm Animals 7th edition, Ed by Hafez ESE, Lea and
Febiger. Philadelphia : 96-110.
Herdis. 2005. Optimalisasi Inseminasi Buatan Melalui Aplikasi Teknologi
Laserpunktur pada Domba Garut (Ovis aries). Disertasi. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Inounu, I., N. Hidajati, S.N. Jarmani, D. Priyanto, Hastono, B. Setiadi, Dan
Subandriyo. 2001. Pengaruh Interaksi Genetik Dan Lingkungan
Terhadap Produksi Domba Persilangan Dan Domba Lokal Pada Beberapa
Lokasi Pengamatan: Evaluasi Kualitas Semen Domba Hasil Persilangan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Bagian “Proyek Rekayasa Teknologi
Peternakan/Armp Ii”. Puslitbang Peternakan. 64-73.
Kristanto, T. 2004. Peranan Gliserol Dan Fetal Bovine Serum Dalam Pengencer
Tris Kuning Telur Terhadap Kualitas Semen Cair Domba Garut. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rizal, M., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, B. Purwantara, dan P. Situmorang. 2003.
Kriopreservasi semen domba Garut dalam pengencer Tris dengan
konsentrasi laktosa yang berbeda. Media Kedokteran Hewan 19:79-83.
Rizal M, Herdis, Budiono A, Aku AS dan Yulnawati. 2006. Peranan Beberapa
Jenis Gula dalam Meningkatkan Kualitas Semen Beku Domba Garut.
Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 11 No.2 Puslitbang Peternakan.
Balitbang Pertanian Departemen Pertanian. 123 – 130.
Santoso dan Herdis. 2013. Peranan Raffinosa Ke Dalam Mempertahankan
Kualitas Semen Beku Domba Garut Prosiding Seminar Nasional : Peran
Reproduksi dalam Penyelamatan & Pengembangan Plasma Nutfah
Hewan di Indonesia. Bogor Jawa Barat 18-19 November 2013. Asosiasi
Reproduksi Hewan Indonesia.110-114.
Yulnawati. 2002. Pemanfaatan Sari Buah Melon dan Sari Wortel Sebagai
Pengencer Alternatif Semen Domba Garut. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yulnawati, M. Gunawan, Herdis, Hera Maheshwari dan Muhammad Rizal. 2009.
Peranan Gula sebagai Krioprotektan Ekstraseluler dalam
Mempertahankan Kualitas Semen Beku Kerbau Lumpur. Prosiding
Seminar Nasional Potensi dan Pengembangan Peternakan Maluku Dalam
Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Ambon 2 Maret 2009. Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon. Hlm.236-
250.

265
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

MODEL KELEMBAGAAN DAN KONSERVASI SAPI


BALI DI PROPINSI BALI
I-G.M. Budiarsana dan Lisa Praharani

Balai Penelitian Ternak, Bogor


Jl. Raya Banjarwaru, Ciawi. Po Box. 221, 16002. Telp. 8240752
Email: budiarsana_99@yahoo.com

ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis model kelembagaan dalam
rangka konservasi sapi Bali sebagai dasar untuk meningkatkan produktivitas dan
pemberdayaan peternak sapi Bali. Penelitian dilakukan dengan metode survei.
Pengumpulan data dilakukan pada pertengahan tahun 2013, dengan metode
observasi, Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara yang dilengkapi
dengan kuesioner sebagai pedoman wawancara. Responden yang diwawancarai
adalah para peternak sapi di empat kelompok di Kabupaten yang berbeda di
Provinsi Bali yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung dan Bangli. Data
dikelompokkan dianalisa secara deskriptif menggunakan rataan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa skala pemilikan sapi Bali tertinggi ditemukan di Kabupaten
Bangli yaitu dengan rataan pemilikan sebanyak 5,5 ekor/peternak. Skala
pemilikan ternak di 3 lokasi lainnya yaitu 4,6 ekor, 3,8 ekor dan 2,4 ekor/peternak
masing-masing berturut-turut untuk Kabupaten Jembrana, Badung dan Tabanan.
Namun demikian sebanyak 10-15% peternak di masing-masing kabupaten
mengelola sapi gaduhan. Sistem perkawinan sapi milik peternak adalah
inseminasi buatan (IB) dengan menggunakan semen beku sapi Bali produksi
Dinas Peternakan Provinsi Bali dan kawin alam. Hasil observasi lapang
menunjukkan bahwa para peternak juga menggunakan kawin alam dengan
pejantan sapi, milik salah satu peternak di masing-masing kelompok. Pada
perkawinan IB layanan per konsepsi (S/C) 1,5 dan calving interval (CI) 18 bulan.
Berkaitan dengan persepsi, para peternak cenderung setuju dengan perkawinan
IB. Alasan yang mendasari yaitu aspek ekonomi, dimana sapi hasil perkawinan
IB memiliki nilai jual yang lebih mahal. Pengembangan model kelembagaan sapi
Bali berkaitan dengan konservasi, harus mempertimbangkan aspek ekonomi,
teknis dan sosial, sehingga disarankan bahwa pembinaan dan pemberdayaan
terhadap para peternak perlu dilakukan secara terus menerus. Pemberian
insentif sebagai imbalan harus menjadi pertimbangan utama dalam
pengembangan model.

Kata kunci: kelembagaan, konservasi dan sapi Bali

PENDAHULUAN
Bali merupakan salah satu provinsi yang populasi sapi
potongnya terdiri dari satu breed yaitu breed sapi Bali. Pulau Bali
ditetapkan sebagai wilayah tertutup untuk perkawinan silang dengan sapi

266
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
breed lain, hal ini untuk mempertahankan kemurnian sapi Bali sebagai
plasma nutfah sapi asli Indonesia. Permintaan ternak ini sangat tinggi
tidak hanya untuk Provinsi Bali namun juga dari luar Provinsi Bali.
Dari berbagai hasil penelitian, kajian maupun pengalaman
lapang, diketahui bahwa sapi Bali merupakan salah satu sapi potong
terbaik di dunia (ACIAR, 2003; Diwyanto dan Praharani, 2010). Daya
adaptasi, produktivitas dan kualitas karkas maupun daging sapi bali
sudah dikenal sangat unggul dibanding sapi lokal lainnya. Namun sapi
bali juga mempunyai kelemahan yaitu ADG rendah, bobot badan kecil,
dan rentan terhadap penyakit Malignant Cattaral Fever (MCF) dan
Jembrana.
Populasinya selama kurun waktu 2009-2013 terjadi penurunan
populasi rata-rata 7% setiap tahun. (BPS. 2014). Dari kondisi tersebut
maka perlu dicermati dan harus ada langkah-langkah kebijakan yang
mengarah pada konservasi. Konservasi dapat dimaknai sebagai upaya;
efisiensi penggunaan (pemotongan) untuk konsumsi sehingga kuantitas
(populasi) dapat dijaga, perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati
terhadap sapi Bali sehingga produktivitas dan kemurniannya tidak
menurun.
Penelitian ini diharapkan mampu menemukan model
kelembagaan konservasi sapi Bali di Provinsi Bali sebagai salah satu
strategi guna mempertahankan kemurnian sapi Bali dan sekaligus
mampu mempertahankan produktivitas dan pendapatan peternak.
Kelembagaan konservasi tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai
pedoman dalam aktivitas kegiatan budidaya ternak sapi Bali sehingga
akan berdampak pada peningkatan kualitas dan kuantitas bibit sapi Bali
itu sendiri.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan di provinsi Bali yaitu di 4 Kabupaten yaitu
Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung dan Bangli. Penetapan lokasi
didasarkan pada pertimbangan usaha peternakan merupakan usaha

267
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dan perkawinan IB


merupakan salah satu metode yang dilakukan peternak untuk
mengawinkan ternak sapinya. Sumber data dari penelitian ini yaitu para
peternak sapi sebagai respoden selain key informan. Para peternak
responden yaitu peternak sapi Bali yang tergabung sebagai anggota
kelompok dan yang telah berpengalaman minimal 3 tahun dalam
memelihara sapi Bali. Pemilihan sample dilakukan dengan menggunakan
teknik proporsional random sampling dan untuk key informan dilakukan
dengan teknik snow ball sampling. Pengumpulan data dilakukan pada
pertengahan tahun 2013, dengan metode observasi, Focus Group
Discussion (FGD) dan wawancara. Pada saat wawancara disediakan
kuesioner sebagai pedoman. Jenis data yang dikumpulkan yaitu berbagai
data tentang budidaya, peran, permasalahan dan hambatan
pemeliharaan sapi Bali. Analisis data menggunakan pendekatan
deskriptif analitis, yakni menguraikan hasil temuan lapang dan melakukan
interpretasi data serta menghubungkan fenomena sosial ekonomi dan
parameter teknis peternakan sapi potong.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sistem budidaya sapi Bali di Provinsi Bali
Hasil pengamatan lapang menujukkan bahwa sebagian besar
sapi dipelihara secara tradisionil, namun demikian terlihat ada upaya-
upaya untuk meningkatkan perbaikan manajemen pemeliharan sapi oleh
para peternak, yang dicirikan dari bentuk kandang dan perlengkapannya
(tempat pakan, tempat air minum dan saluran pembuangan kotoran).
Peternak masih mengandalkan rerumputan sebagai sumber pakan utama,
namun demikian penanaman rumput raja (King Grass) di pematang
sawah, pagar kebun, tepi jalan dan lereng bukit sudah cukup luas. Sistem
pemeliharaan sapi cukup beragam, yaitu dikandang terus menerus dan
diberi pakan dengan sistem cut and carry, digembalakan secara terbatas
di bawah pohon kelapa atau persawahan yang sedang dikeringkan dan

268
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
tidak ditanami (di-bera-kan), atau diikat secara berpindah di sekitar rumah.
Sistem pemeliharaan dan pengandangan juga cukup beragam, yaitu
sistem kandang individu di pinggir rumah, kandang individu di tengah
sawah, atau kandang kelompok yang dibangun secara swadaya dan/atau
bantuan pemerintah.
Secara umum 95% usaha budidaya sapi yang dilakoni petani
ditujukan menghasilkan bakalan namun saat ini sudah terdapat beberapa
perusahaan atau bisnis sapi yang sebagian besar untuk tujuan
penggemukkan. Pada tahun 2009 telah digulirkan program sistem
pertanian terintegrasi (SIMANTRI). Program SIMANTRI sudah
berkembang cukup luas yang digunakan sebagai salah satu wahana
untuk diseminasi teknologi Crop Livestock Sistem (CLS) oleh BPTP Bali
dan pengembangan Village Breeding Center (VBC) oleh Balai Pembibitan
Ternak Unggul (BPTU) Sapi Bali. Hal ini tidak terlepas dari program
Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengharapkan agar peternak sapi di
Provinsi Bali ke depan lebih maju, produktif dan sejahtera.
Program SIMANTRI telah dilengkapi dengan aplikasi teknologi
pengolahan limbah (manure dan urine) untuk menghasilkan pupuk cair,
kompos, biopestisida dan biogas. Bahkan pendapatan utama kelompok
peternak tersebut justru berasal dari penjualan pupuk cair, biopestisida
dan kompos; sementara itu pedet yang dihasilkan dari usaha pembibitan
hanya dianggap sebagai bonus. Selain itu masih ada produk tambahan
berupa biogas pengganti BBM untuk keperluan rumah tangga atau
keperluan lainnya. Teknologi yang digunakan petani sangat inovatif
karena adanya pendampingan oleh BPTP, BPTU Sapi Bali, dan bantuan
dari Pemda Propinsi maupun Pemda Kabupaten. Produk yang dihasilkan
(kompos, biopestisida dan biogas) telah berkontribusi nyata dalam
meningkatkan kesejahteraan peternak di beberapa lokasi SIMANTRI.
Skala pemilikan sapi di wilayah kajian sangat bervariasi. Skala
pemilikan tertinggi ditemui di kabupaten Bangli yaitu 5,5 ekor/peternak
dan terendah di kabupaten Tabanan yang hanya 2,4 ekor/peternak. Dari

269
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

skala pemilikan tersebut, ternyata jumlah pemilikan induk sapi menempati


urutan tertinggi. Rataan pemilikan sapi (induk) tertinggi terdapat di
kabupaten Bangli yaitu mencapai 63,6% dari total pemilikan per peternak.
Terendah di kabupaten Jembrana yaitu hanya 30,9% dari total pemilikan
per peternak. Tingginya rataan rasio induk sapi dibandingkan dengan
total pemilikan di setiap kabupaten menegaskan bahwa pola usaha yang
dijalankan oleh peternak di provinsi Bali yaitu pola breeding. Rataan
pemilikan sapi per peternak, rataan BSC induk sapi dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Rataan pemilikan sapi per peternak, rataan BCS induk sapi.
Lokasi Pengamatan (Kabupaten)
Status Fisiologis Ternak
Jembrana Badung Tabanan Bangli

Sapi betina dewasa 1,4 (30,9) 1,8 (46,7) 1,4(57,9) 3,5 (63,6)
Sapi pejantan dewasa - - - 0,3 (4,5)
Sapi jantan muda - - 0,1 (5,3) 0,3 (4,5)
Sapi betina muda 1,0 (21,6) 1,4 (36,6) 0,3 (10,5) 0,3 (4,5)
Sapi jantan anak 1,2 (25,9) 0,4 (10,0) 0,6 (26,3) 1,0 (18,2)
Sapi betina anak 1,0 (21,6) 0,3 (6,7) - 0,3 (4,5)
Total pemilikan/peternak 4,6 (100) 3,8 (100) 2,4 (100) 5,5 (100)
Jumlah Kelahiran
(%/tahun) 61,4 51,9 72,0 50,7
Rataan BCS Induk 3,7 3,1 3,4 4,6
Keterangan : BCS = Body Condition Score.

Walaupun pola usaha yang dijalankan adalah pola breeding,


namun terdapat kecenderungan peternak enggan dalam memelihara
pejantan. Kondisi ini dapat dilihat dari rendahnya tingkat pemilikan sapi
jantan dewasa sebagai pemacek yaitu <4,5% dari total pemilikan per
peternak (Tabel 1). Rendahnya tingkat pemilikan pejantan akan sangat
berpengaruh terhadap kinerja usaha pola breeding. Untuk mengatasi
masalah tersebut penting adanya dukungan program IB yang kuat dari
pemerintah.
Hasil pengamatan tentang kondisi tubuh sapi di lapangan
menunjukkan bahwa rataan kondisi induk sapi sangat baik. Rataan nilai

270
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
BCS sapi induk di berbagai lokasi yaitu pada kisaran nilai BCS 3,1- 4,6.
Penilaian kondisi induk yang digunakan pada penelitian ini yaitu dengan
melakukan penilaian secara kualitatif kondisi tubuh ternak sapi. Nilai yang
digunakan yaitu nilai 1-5. Nilai 1 adalah nilai terendah dan nilai 5
merupakan nilai tertinggi. Seekor sapi bali yang mendapatkan nilai 1
menggambarkan bahwa kondisi ternak sapi sangat kurus. Sementara itu
sapi Bali yang mendapat nilai 5 menunjukkan bahwa ternak tersebut
sangat gemuk. Kondisi sapi yang baik mengindikasikan bahwa kebutuhan
hidup ternak telah terpenuhi.

Kinerja budidaya sapi bali di Provinsi Bali


Dari Tabel 2. Dapat diketahui bahwa populasi sapi Bali di Provinsi
Bali yaitu sebanyak 478.146 ekor, yang tersebar di 8 Kabupaten/Kota.
Kabupaten dengan populasi sapi terbanyak adalah Kabupaten
Karangasem dengan populasi sapi sebanyak 109.486 ekor. Namun
demikian selama kurun waktu 2009-2013 terjadi penurunan populasi di
Provinsi Bali rata-rata sebanyak 7% setiap tahun (Tabel 3).
Tabel 2. Populasi sapi Bali menurut Kabupaten tahun 2013.
Populasi menurut sex Total
Kabupaten / Kota populasi
Jantan Betina (ekor)
Jembrana 2.665 33.416 36.081
Tabanan 21.720 26.088 47.808
Badung 13.310 23.352 36.662
Gianyar 16.691 23.729 40.420
Klungkung 7.554 26.404 33.958
Bangli 46.785 27.542 74.327
Karangasem 43.468 66.018 109.486
Buleleng 31.565 61.388 92.953
Denpasar 1.731 4.720 6.451
Total 185.489 292.657 478.146
Sumber: Bali dalam angka 2014.

271
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Penurunan tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu sebanyak lebih


dari 26,5%. Penurunan populasi terjadi di kedua sisi yaitu ternak jantan
dan betina yaitu masing-masing sebesar 30 dan 24%. Hal ini
mengindikasikan berbagai kemungkinan, diantaranya bahwa tidak saja
ternak sapi jantan yang dipotong namun juga sapi betina.
Budidaya ternak sapi potong di propinsi Bali kinerjanya dapat
ditingkatkan, baik untuk memperbaiki produktivitas dan produksi, maupun
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan peternak. Saat ini hanya sapi
bali yang berkembang dan mempunyai kontribusi signifikan dalam
memasok ”daging sapi” untuk keperluan konsumsi lokal maupun nasional.
Pada saat sensus tahun 2011 diketahui bahwa total populasi sapi sekitar
637 ribu ekor atau 4,3 persen dari total populasi nasional, dengan
proporsi betina 62 persen dan jantan 38 persen. Jumlah sapi betina muda
dan dewasa yang berpotensi menghasilkan anak sekitar 337 ribu ekor.
Sementara itu jumlah sapi jantan dewasa yang dapat digunakan sebagai
pemacek atau untuk dipotong hanya sekitar 82 ribu ekor.
Dari sisi pengurangan terlihat bahwa pemotongan sapi mencapai
36 ribu ekor/tahun. Sedangkan pengeluaran diperdagangkan ke luar
pulau sebanyak 70 ribu ekor/tahun. Dari data diatas terlihat bahwa telah
terjadi peluang pengurasan ternak betina baik untuk dipotong maupun
dikeluarkan secara ilegal.
Berdasarkan pengamatan di lapangan data pemotongan sapi di
RPH Pesanggaran terlihat jelas bahwa pemotongan sapi betina
mencapai lebih dari 95 persen. Bila kejadian ini terjadi di semua RPH,
maka diperkirakan sekitar 35 ribu sapi betina dipotong setiap tahunnya.
Dengan asumsi setiap tahun terdapat 20 persen sapi betina tua atau
majir yang harus di-culling, maka hanya tersedia 16 ribu ekor sapi betina
(20 % dari populasi sapi betina) yang layak dipotong. Oleh karena itu
terdapat kemungkinan terjadi pemotongan sapi betina produktif sekitar
19-20 ribu ekor/tahun. Angka ini mungkin terlalu besar bila dibandingkan
dengan realitas di lapang, namun indikasi ini harus dijadikan momentum

272
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
untuk melihat secara lebih cermat dalam menentukan kebijakan
pemotongan dan pengeluaran sapi.
Tabel 3. Perkembangan populasi sapi Bali tahun 2009 s/d 2013
Populasi (ekor) Perkembangan (%)
Tahun
Jantan Betina Jantan Betina
2009 286.774 388.645
2010 285.636 398.164 -0.40 2.45
2011 238.217 399.244 -16.60 0.27
2012 267.032 384.184 12.10 -3.77
2013 185.489 292.657 -30.54 -23.82
Pertumbuhan(rataan) -8.86 -6.22
Sumber: Bali dalam angka 2014.(diolah).

Upaya Peningkatan Produksi


Upaya pengingkatan produksi yang dilakukan Pemerintah (Dinas
Peternakan) di Provinsi Bali saat ini telah menerapkan teknologi IB
namun belum berkembang secara luas hanya sekitar 20-40 ribu
aseptor/tahun sehingga sebagian besar peternak masih mengandalkan
kawin alam. Seandainya perkawinan dilakukan dengan kawin Alam (KA),
maka dibutuhkan pemacek sekitar 10 ribu ekor dengan asumsi satu
jantan mengawini 30 ekor betina. Hal ini berarti hanya tersedia sapi
jantan untuk dipotong atau dikeluarkan sebanyak 70 ribu ekor.
Beberapa indikator teknis (produktivitas) yang dapat digunakan sebagai
dasar untuk menghitung kinerja sapi di propinsi Bali tercantum dalam
Tabel 4. Dalam tabel tersebut terlihat jelas bahwa calving rate
(persentase jumlah kelahiran dibanding jumlah induk dewasa), mortalitas
pedet pra sapih (%), calf crop (persentase pedet disapih dibanding jumlah
induk dewasa), mortalitas induk (%), nilai Service per Conception (S/C)
yang merupakan prosentase pelayanan IB untuk menjadi bunting , dan
calving interval (bulan) sapi yang dipelihara masyarakat masih dapat
ditingkatkan cukup signifikan bila dilakukan upaya yang sungguh-
sungguh dengan menerapkan Good Farming Practice (GFP). Perbaikan

273
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

pakan dan penerapan GFP merupakan syarat mutlak bila parameter


kinerja atau produktivitas induk akan ditingkat sesuai potensi idealnya.
Resiko dari perbaikan pakan dan penerapan GFP adalah meningkatnya
biaya pemeliharaan yang pada gilirannya dapat mengurangi keuntungan
usaha. Oleh sebab itu kegiatan pembibitan dan usaha cow calf operation
harus dilakukan secara terintegrasi seperti program SIMANTRI dengan
pendekatan zero waste dan zero cost. Kompos, biopestisida dan biogas
yang telah diproduksi pada beberapa kelompok peternak SIMANTRI
justru menjadi ouput utama, sedangkan pedet merupakan bonus yang
bernilai komersial tinggi.
Tabel 4. Kinerja reproduksi sapi bali berdasarkan informasi dalam FGD
dan konfirmasi di lapang
No Parameter Kondisi Lingkungan/Manajemen
Lapang Ideal
1. Calving rate (%) 70-80 80-90
2. Mortalitas pedet (%) 15-20 5
3. Calf crop (%) 50-60 70-80
4. Mortalitas induk (%) 2-3 <1
5. Nilai S/C pada IB 1,5-2,5 <1,5
6. Calving interval (bulan) 17-18 12-13

Perkiraan beberapa parameter yang mempengaruhi kinerja atau


produksi daging sapi potong (Tabel 4) juga masih dapat ditingkatkan
dengan penerapan teknologi pakan inovatif yang secara teknis dan
ekonomis layak. Average Daily Gain (ADG), bobot potong, perentase
karkas dan produksi daging setiap ekor sapi dipengaruhi oleh faktor
genetik dan faktor lingkungan yang meliputi: (i) kualitas dan kuantitas
pakan yang diberikan, (ii) pencegahan dan pemberantasan penyakit
sehingga kesehatan hewan terjamin, (iii) perbaikan manajemen
pemeliharaan, dan (iv) strategi pemotongan sapi sesuai potensi genetik
dan potensi ekonominya.

274
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Berbeda dengan kegiatan pembibitan dan usaha cow calf
operation, penggemukan sapi dapat dilakukan melalui pendekatan
agribisnis dengan menggunakan pakan rasional atau komersial. Analisa
ekonomi dilakukan dengan menghitung efisiensi dalam penggunaan
pakan atau income over feed cost. Pada usaha penggemukan juga
berpotensi besar menghasilkan kompos, biopestisida dan biogas yang
juga mempunyai nilai ekonomi tinggi. Kinerja atau rata-rata produksi
daging di tingkat lapang masih dapat diperbaiki dalam dua level, optimum
dan maksimum, dengan pemberian pakan rasional dan penggunaan sapi
bakalan dengan potensi genetik baik.
Tabel 5.Kinerja produksi ”sapi potong” berdasarkan Informasi dalam
FGD dan konfirmasi di lapang
Kondisi/Manajemen
No Parameter
Lapang Optimal Maksimal
1. ADG (kg/hari) 0,2-0,3 0,5-0,6 0,8-0,9
2. Bobot Potong, Jtn 270-300 350-375 400-450
3. (kg)
Karkas (%) 52-53 53-54 >55

Data yang ditampilkan dalam (Tabel 4) dan (Tabel 5) berasal dari:


(i) informasi yang disampaikan para narasumber ketika dilakukan FGD, (ii)
hasil wawancara dengan peternak pada beberapa kelompok SIMANTRI.
Keragaman kondisi lingkungan dan sosial budaya, serta perbedaan
waktu dan tempat penelitain/kajian tidak memungkinkan diperoleh angka
yang pasti dari kinerja atau produksi/produktivitas sapi di propinsi Bali.
Keragaman angka-angka tersebut terjadi pada kondisi lapang maupun
kondisi optimal/idealnya di laboratorium, BPTU atau kelompok peternak
maju. Namun dapat dipastikan bahwa kinerja sapi pada level peternak
sebagian besar masih di bawah potensi genetik maupun potensi
ekonominya, sehingga masih ada peluang untuk meningkatkan sampai
level 10-40 persen untuk beberapa parameter.

275
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Program IB dan Persepsinya oleh Peternak Sapi Bali.


Hasil pengamatan lapang dan eksplorasi pada ternak sapi Bali
menunjukkan bahwa persepsi peternak sapi terhadap perkawinan IB
memberikan pernyataan yang positif dan setuju.
Permasalahan ditemui di lapangan yang digali melalui wawancara
dengan para peternak dan key Informan yang berkaitan dengan masalah
IB maka dapat di formulasikan pusat permasalahan bahwa Dinas
Peternakan Provinsi Bali secara internal masih relatif lemah, karena tidak
mampu memanfaatkan kekuatan dan meminimalkan kelemahan yang
ada dalam program inseminasi buatan pada sapi Bali di Propinsi Bali.
Adapun kelemahan yang teridentifikasi dari hasil wawancara dan
eksplorasi di lapangan yaitu :
 Pekerjaan inseminator hanya sebagai pekerjaan sambilan.
 Kurangnya sarana dan prasarana peralatan IB.
 Kegiatan penyuluhan IB masih belum maksimal.
 Kurangnya koordinasi antar petugas di lapangan.
 Terbatasnya tenaga inseminator.
 Sistem informasi recording IB masih belum memadai
 Terbatasnya alokasi dana untuk kegiatan IB.
Sedangkan kekuatan yang dimiliki yaitu:
 Anak hasil IB (telah diakui peternak) mempunyai bobot badan
lebih berat bila dibandingkan dengan anak hasil kawin alam.
 Teknologi IB sebagai salah satu solusi untuk mengatasi
terbatasnya pejantan sapi Bali Teknologi IB kualitas anak sapi Bali
dapat ditingkatkan.
 Kebijakan Pemerintah Daerah telah mendukung program IB.
 Fertilitas sapi Bali cukup tinggi.
 Harga anak sapi hasil IB (diakui peternak) lebih tinggi dari hasil
kawan alam.

276
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Dari kekuatan dan kelemahan diatas maka prioritasdan alternatif
kebijakan yang dapat dilakukan seperti diuraikan dan disusun berdasar
skala prioritas ( prioritas pertama) merupakan perioritas lebih penting
dibandingkan dengan prioritas kedua dan selanjutnya :
1. Prioritas pertama yaitu peningkatan kualitas dan kuantitas sumber
daya manusia petugas IB maupun peternak sapi.
2. Prioritas kedua yaitu peningkatan sistem manajemen kinerja
pelayanan inseminasi buatan.
3. Prioritas ketiga yaitu peningkatan penyediakan sarana dan
prasarana operasional Inseminasi Buatan.
4. Prioritas keempat yaitu peningkatan kegiatan penyuluhan
inseminasi buatan.
5. Prioritas terakhir yaitu program insentif bagi para peternak
akseptor IB.

KESIMPULAN
Konservasi yang dapat dimaknai sebagai efisiensi penggunaan
(pemotongan) untuk konsumsi dan perlindungan dan pengelolaan yang
hati-hati untuk menjaga produktivitas dan kemurniannya dapat dilakukan
melalui kelembagaan yang terintegrasi seperti program SIMANTRI
dengan pendekatan zero waste dan zero cost. Kompos, biopestisida dan
biogas yang telah diproduksi pada beberapa kelompok peternak
SIMANTRI justru menjadi ouput utama, sedangkan pedet merupakan
bonus yang bernilai komersial tinggi. Untuk menjaga kemurniannya maka
program IB merupakan salah satu andalan. Masalah-masalah dalam
penerapan program IB di lapangan harus dianalisis dan dievaluasi secara
periodik berkesinambungan sehingga antusias peternak terhadap
program IB terus meningkat.

277
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

DAFTAR PUSTAKA

ACIAR. 2003. Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia.


Proceedings No. 110.
Bamualim, A dan Wirdahayati RB. 2003. Nutrition and management strategies to
improve Bali cattle productivity in Nusa Tenggara. Strategies to Improve
Bali Cattle in Eastern Indonesia. ACIAR Proceedings. No. 110. pp 17 –
22.
BPS. Bali dalam angka 2014.
BPTP Bali. 2011. Menelisik masa depan sapi potong di Bali. Disampaikan pada
FGD di BPTP Bali, tanggal 2 November 2011
Dinas Peternakan Propinsi Bali. 2011. Pengembangan sapi bali di Bali, dalam
rangka mendukung PSDSK-2014. Disampaikan pada FGD di BPTP Bali,
tanggal 2 November 2011
Diwyanto, K dan Praharani L. 2010. Reproduction management and breeding
strategies to improve productivity and quality of cattle. Proc: Conservation
and Improvement of World Indigenous Cattle. Bali, 3 – 4 September 2010.
Study Center for Bali Cattle. Udayana University Bali. pp. 189 – 208.

278
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
PENGARUH JENIS KELAMIN TERHADAP
KARAKTERISTIK DAN PRODUKTIVITAS KARKAS
SAPI BALI DARI PEMELIHARAAN TRADISIONAL
DI SULAWESI TENGGARA
La Ode Muhammad Iqbal Qalbi, Harapin Hafid dan Rahim Aka
Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo
Kampus Bumi Tridarma Anduonohu Jl. HEA. Mokodompit Kendari 93232
Telp/Fax. 0401-3190791
E-mail: harapinhafid@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas karkas sapi Bali jantan
dan betina yang berasal dari pemeliharaan tradisional di Sulawesi Tenggara.
Jumlah sapi Bali yang diamati sebanyak 60 ekor jantan dan betina dengan
kisaran umur 1-3,5 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah sapi Bali
yang dipotong di RPH Kota Kendari adalah jantan 61,67% dan betina 38,33%.
Ukuran tubuh yang meliputi tinggi pundak dan lingkar dada rata-rata 117,66 cm
dan 152,59 cm pada jantan, serta 112,71 cm dan 152,74 cm pada betina. Rata-
rata penyusutan berat badan sebelum dipotong setelah dilakukan pemuasaan
adalah sapi Bali jantan 0,41% dan pada betina 0,38%. Rata-rata berat karkas
ternak sapi Bali jantan 119,24 kg (56,40%) dan betina 113,01 kg (55,68%).
Rata-rata bobot total daging pada ternak sapi Bali jantan 77,22 kg (36.2%) dan
betina 73,82 kg (36,04%). Rata-rata bobot total tulang pada ternak sapi Bali
jantan 42 kg (19.69%) dan betina 39,28 kg (19,18%). Dapat disimpulkan bahwa
sapi Bali dari pemeliharaan tradisional di Sulawesi Tenggara tidak terdapat
perbedaan nyata antara bobot dan persentase karkas, daging dan tulang sapi
Bali jantan dan betina.

Kata kunci : Sapi Bali, jenis kelamin, karkas, RPH Kota Kendari.

PENDAHULUAN
Populasi ternak sapi di Sulawesi Tenggara pada tahun 2008 yaitu
sebesar 237.360 ekor dan tahun 2009 sebesar 253.171 ekor (mengalami
kenaikan 6,6%). Sementara jumlah pemotongan sapi sebesar 20.760
ekor (8,20%) dengan produksi daging 3.736.804 kg (Anonim, 2010). Hal
ini menunjukkan bahwa jumlah pemotongan ternak sapi lebih tinggi
dibandingkan dengan jumlah pertambahan populasi ternak sehingga hal
ini dapat mengakibatkan terjadinya pengurasan populasi sapi Bali di
Sulawesi Tenggara. Sapi-sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan

279
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

(RPH) di Kota Kendari tidak hanya berasal dari Kota Kendari tapi juga
berasal dari Kabupaten Konawe Selatan, Muna, Konawe, dan Bombana.
Jenis sapi yang dipotong di RPH Kota Kendari sebagian besar
adalah sapi Bali. Sapi Bali sebagai salah satu sapi asli Indonesia
merupakan plasma nutfah yang banyak dipelihara oleh peternak-peternak
kecil di pedesaan dan sistem pengelolaannya masih bersifat tradisional.
Sistem pemeliharaan tradisional menghasilkan produktivitas ternak yang
relatif rendah (Hafid, 2008).
Produktivitas ternak dapat diukur melalui penimbangan bobot
badan dan pengukuran bagian-bagian tertentu dari tubuh ternak seperti
lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak, bobot potong dan berat
karkas. Karkas merupakan produk yang dihasilkan setelah ternak
disembelih. Jenis kelamin ternak dapat menentukan cepat lambatnya
pertumbuhan yang secara langsung berpengaruh terhadap produksi
karkas. Ternak jantan akan lebih cepat tumbuh dan menghasilkan karkas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan ternak betina pada umur yang
sama. Keras lunaknya daging ditentukan dengan perototan yang
terdapat pada ternak. Umumnya ternak jantan memilki otot dengan
tekstur yang lebih kasar dibandingkan dengan otot ternak betina
(Soeprapto & Abidin, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
produksi karkas sapi Bali yang dipelihara secara tradisional di Rumah
Potong Hewan (RPH) Kota Kendari berdasarkan jenis kelamin.

MATERI DAN METODE


Penelitian ini dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH)
Kecamatan Poasia Kota Kendari. Penelitian ini dilaksanakan selama
satu bulan (April 2012). Sampel penelitian adalah ternak sapi Bali jantan
dan betina yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Kendari
sebanyak 60 ekor sapi Bali berumur 1 sampai 3,5 tahun.
Alat yang digunakan adalah timbangan sapi, timbangan gantung,
timbangan duduk, meteran, pita ukur, cat kayu, pisau jagal, dan alat tulis

280
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
menulis.
Pengambilan data dilakukan meliputi jenis kelamin, umur ternak,
lingkar dada, tinggi pundak bobot badan, penyusutan bobot badan, bobot
karkas dan bagian-bagiannya. Untuk menghindari kesalahan dalam
menandai ternak maka dilakukan penandaan dengan menggunakan cat
kayu pada ternak sapi Bali. Secara kronologis proses pemotongan hewan
yang dilakukan di RPH Kota Kendari adalah sebagai berikut:
1. Penimbangan bobot badan awal, lingkar dada dan tinggi pundak sapi
sebelum perlakuan pemuasaan.
2. Perlakuan lama pemuasaan 12 jam, waktu penimbangan bobot awal
dilakukan pada pukul 14.00 siang karena pemotongan akan
dilakukan pada pukul 02.00 dini hari.
3. Penimbangan sapi sebelum pemotongan untuk mendapatkan data
bobot sapi sebelum dipotong.
4. Proses penyembelihan sapi dilakukan secara halal menurut ajaran
agama Islam dengan menggunakan pisau tajam memutuskan vena
jugularis, arteri carotis, oesophagus dan trachea.
5. Selanjutnya dilakukan pengulitan, eviscerasi dan pengkarkasan
(dressing).
6. Data karkas diperoleh dari penjumlahan bagian-bagian karkas
yang terdiri dari paha depan kiri dan kanan, paha belakang,
daging punggung, daging perut, daging dada, tulang belakang, rusuk,
leher dan leher.
Variabel yang diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah :
1. Penentuan umur secara umum dengan melihat gigi seri pada ternak
sapi.
2. Lingkar dada dan tinggi pundak diperoleh dengan melakukan
pengukuran. Pengukuran lingkar dada mulai dari jarak yang diukur
melingkari tubuh didaerah belakang siku. Tinggi pundak yang
diletakkan pada bagian datar, dimana bagian yang diukur mulai dari

281
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

permukaan tanah tempat sapi berdiri mengikuti garis tegak lurus


sampai garis tertinggi pundak.
3. Bobot potong diperoleh dengan menimbang sapi Bali sebelum
dipotong. Penyusutan berat sebelum pemotongan diperoleh dari hasil
pengurangan bobot awal sewaktu datang di RPH dengan bobot akhir
sebelum dipotong dibagi bobot awal dikali 100%.
4. Bobot karkas yaitu hasil penimbangan karkas setelah dipisah dari offal.
persentase karkas diperoleh dari hasil pembagian antara berat karkas
dengan berat potong dikali 100%.
5. Bobot total daging diperoleh dari hasil pemisahan daging dengan
tulang, kemudian ditimbang. Bobot tulang diperoleh dari hasil
pemisahan tulang dengan daging, kemudian ditimbang.
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif terhadap rata-rata dan
standar deviasi berdasarkan pengelompokkan terhadap jenis kelamin
menurut Soeprapto dan Abidin (2006) sebagai berikut :
Perhitungan rata-rata :
x = ∑Xi / n
Perhitungan standar deviasi :
SD= √∑(Xi-x)2
n-1
dimana :
x = rata-rata
n = jumlah data
Xi = data ke i
SD = standar deviasi

HASIL DAN PEMBAHASAN


Umur dan jenis kelamin ternak sapi Bali
Rataan umur ternak sapi Bali yang dipotong di RPH Kota Kendari
selama penelitian berkisar 1-3,5 tahun terdiri dari 37 ekor berjenis
kelamin jantan (61,67%) dan betina 23 ekor (38,33%). Hal ini
menunjukkan bahwa ternak sapi Bali yang dipotong di RPH Kota Kendari

282
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
masih dalam kisaran umur produktif (Tabel 1). Adanya pemotongan
ternak yang masih berumur produktif karena para pedagang
beranggapan bahwa ternak yang dipotong pada umur tersebut
menghasilkan kualitas daging yang lebih baik (empuk). Menurut Murtidjo
(1993) bahwa sapi yang sudah tua mutu dagingnya sangat rendah,
apalagi sapi tersebut dipakai untuk bekerja atau menarik beban.
Sebaliknya, sapi yang masih muda dagingnya akan berwarna merah
terang, serabutnya halus dan lebih empuk bila dimasak.
Namun disisi lain, pemotongan terhadap ternak yang berumur
produktif merupakan suatu pelanggaran terhadap UU No. 18 Tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 18 ayat (2) bahwa
ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena merupakan
pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan dengan ketentuan
pidana untuk ternak ruminansia besar betina produktif yaitu kurungan
penjara 3-9 bulan atau denda 5.000.000 – 25.000.000.
Tabel 1. Rata-rata umur ternak sapi Bali jantan dan betina di RPH Kota
Kendari
Jumlah gigi Umur Jumlah ternak Persentase
Jenis kelamin
seri (Tahun) (Ekor) (%)
Belum ada ≤2 5 8,33
1 Pasang 2-2,5 20 33,33
Jantan
2 Pasang 2,5-3 11 18,33
3 Pasang 3-3,5 1 1,67
Belum ada ≤2 1 1,67
1 Pasang 1,5-2 7 11,67
Betina
2 Pasang 2-2,5 12 20
3 Pasang 2,5-3 3 5
Jumlah total 60 100

Lingkar dada dan tinggi pundak


Rataan lingkar dada dan tinggi pundak ternak sapi Bali yang
dipotong di RPH Kota Kendari selama penelitian dapat dilihat pada Tabel

283
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

2. Rata-rata lingkar dada dan tinggi pundak dada pada sapi Bali jantan di
RPH Kota Kendari adalah 117,66 cm dan 152,59 cm dengan rata-rata
bobot hidup yaitu 214,13 kg dan betina adalah 112,71 cm dan 152,74 cm
dengan rata-rata bobot hidup yaitu 214,13 kg.
Tabel 2. Rata-rata lingkar dada, tinggi pundak dan bobot hidup ternak
sapi Bali jantan dan betina di RPH Kota Kendari
Jenis Umur Lingkar dada Tinggi pundak Rata-rata bobot
kelamin (Tahun) (cm) (cm) hidup (kg)
≤2 112,6 138,8 136,6
2-2,5 113,95 147 176,2
Jantan
2,5-3 116,09 154,55 223,7
3-3,5 128 170 320
Rata-rata 117,66 152,59 214,13
Jenis Umur Lingkar dada Tinggi pundak Rata-rata bobot
kelamin (Tahun) (cm) (cm) hidup (kg)
≤2 106 138 150
2-2,5 113 149,29 188,6
Betina
2,5-3 116,50 155,33 219,1
3-3,5 115,33 168,33 264,67
Rata-rata 112,71 152,74 205,59

Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa ukuran-ukuran tubuh


sapi Bali jantan dewasa yang ideal adalah tinggi pundak 122,3 cm dan
lingkar dada 181,4 cm dengan bobot badan rata-rata 350 kg. Sedangkan
Djagra (1994) menyatakan bahwa tinggi pundak dan lingkar dada sapi
pejantan adalah masing-masing 112 cm dan 185 cm dengan berat 425
kg. Hal ini berarti bahwa ukuran-ukuran tubuh sapi Bali jantan di RPH
Kota Kendari lebih rendah dari literatur yang ada, hal ini menunjukkan
terjadinya penurunan mutu genetik sapi Bali di Sulawesi Tenggara.
Penurunan mutu genetik diduga disebabkan oleh kurangnya
intensifikasi kawin alam dengan pejantan unggul, program IB yang
kurang merata dan tingginya pemotongan pejantan unggul terutama pada
hari raya Idhul Adha. Hal ini sesuai dengan Darmono (1993) bahwa

284
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
ternak yang mengalami penurunan genetik diakibatkan adanya seleksi
negatif atau manajemen reproduksi yang tidak terarah dimana seleksi
pejantan kurang ketat serta terjadi perkawinan keluarga yang
mengakibatkan degradasi genetik.

Penyusutan bobot badan


Rataan penyusutan bobot badan ternak sapi Bali yang dipotong di
RPH Kota Kendari selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Rata-
rata penyusutan bobot badan ternak sapi Bali jantan di RPH Kota Kendari
yang dilakukan pemuasaan selama 12 jam rata-rata mengalami
penyusutan bobot badan pada ternak sapi Bali jantan yaitu 0,41% dan
betina yaitu 0,38%.
Tabel 3. Rata-rata bobot hidup, bobot potong dan penyusutan bobot
badan ternak sapi Bali jantan dan betina di RPH Kota Kendari
Jenis Umur Jumlah Bobot hidup Bobot potong Penyusutan
kelamin (Tahun) (Ekor) (kg) (kg) bobot badan (%)
≤2 5 136,6 135,8 0,58
2-2,5 20 176,2 175,55 0,37
Jantan
2,5-3 11 223,7 222,86 0,38
3-3,5 1 320 319 0,31
Rata-rata 214,13 213,30 0,41
≤2 1 150 149,5 0,33
2-2,5 7 188,6 187,9 0,40
Betina
2,5-3 12 219,1 218,21 0,40
3-3,5 3 264,67 263,67 0,38
Rata-rata 205,59 204,82 0,38

Penyusutan bobot badan sapi Bali antara jantan dan betina tidak
jauh berbeda (P>0,05). Penyusutan bobot badan disebabkan oleh bobot
isi saluran pencernaan dan kantung kemih dan tidak disebabkan oleh
penyusutan bobot jaringan tubuh. Menurut Stobo (1964) dalam Hafid
(2005) bahwa persentase isi saluran pencernaan dapat mencapai 30%
dari bobot hidup seekor sapi. Dengan demikian dapat berarti bahwa

285
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

penurunan bobot hidup dari seekor sapi sebesar 0,33% masih


merupakan bobot dari isi saluran pencernaan dan kantung kemih.
Shorthose dan Wythes dalam Dewi (2004) menyebutkan bahwa bobot
hidup seekor ternak terdiri atas bobot jaringan tubuh ditambah dengan isi
saluran pencernaan dan kantung kemih, sehingga apabila terjadi
penyusutan komponen-komponen tersebut dapat mengurangi bobot
hidupnya. Susut bobot hidup dipengaruhi oleh lamanya periode
pemuasaan (tanpa diberi air minum dan atau tanpa diberi pakan).

Bobot karkas dan persentase karkas


Rataan bobot karkas dan persentase karkas ternak sapi Bali yang
dipotong di RPH Kota Kendari tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
(P>0,05) yaitu pada ternak jantan 119,24 kg (56,80%) dan betina
113,01kg (55,68%) dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata bobot dan persentase karkas ternak sapi Bali jantan
dan betina di RPH Kota
Jenis kelamin Umur (Tahun) Bobot karkas (kg) Persentase karkas (%)
≤2 79.5 58.57
1,5-2 100.27 57.24
Jantan
2-2,5 123.18 55.24
2,5-3 174 54.55
Rata-rata 119.24 56.40
≤2 89 59.53
1,5-2 104.8 55.80
Betina
2-2,5 118.58 54.35
2,5-3 139.67 53.03
Rata-rata 113.01 55.68
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Allen & Kilkenny
(1984) bahwa kisaran normal persentase karkas sapi adalah 50 - 60%,
lebih lanjut Gerrard (1977) bahwa rata-rata persentase karkas sapi
adalah 56% dari bobot tubuh sapi tersebut, dan dari persentase karkas
yang dihasilkan tersebut terdiri dari 37,5% komponen daging dan sisanya

286
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
sebanyak 18,5% merupakan komponen tulang dan lemak. Sudarma et
al., (1992) dalam Yunus (2001) menyatakan bahwa sapi Bali memiliki
persentase karkas yang mencapai 56,6% dengan warna daging adalah
merah coklat tua.
Menurut Tulloh (1978), bahwa sapi Bali dengan bobot potong 100
kg mempunyai PBBH 1,0 kg dan laju pertumbuhan yaitu 1,0% sedangkan
pada sapi Bali yang memiliki bobot potong 300 kg memiliki PBBH 1,0 kg
dan laju pertumbuhan 0,3%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pada
ternak sapi Bali di RPH Kota Kendari pada ternak sapi Bali jantan yang
mempunyai bobot potong 135,8 kg mempunyai persentase karkas
58,57% sedangkan sapi Bali jantan yang mempunyai bobot potong 319
kg mempunyai persentase karkas 54,55%. Hal ini diduga karena laju
pertumbuhan mempengaruhi persentase karkas seekor ternak.

Bobot total daging dan tulang


Rataan bobot total daging dan total tulang ternak sapi Bali yang
dipotong di RPH Kota Kendari tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
(P>0.05) yaitu jantan 77,22 kg (36,20%) dan betina 73,82 kg (36,04%.)
dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil penelitian ini hampir sama dengan yang
dikemukakan oleh Jumiati (2013) bahwa rata-rata persentase daging
ternak sapi Bali dari umur ≤ 2–3 tahun yaitu berkisar antara 35,56% –
41,05%.

Tabel 5. Rata-rata berat dan persentase daging dan tulang dari karkas
ternak sapi Bali di RPH Kota
Jenis Umur Berat total Persentase Berat total Persentase
kelamin (Tahun) daging (kg) daging (%) tulang (kg) tulang (%)
≤2 48 22,50 31,5 14,77
1,5-2 64,20 30,10 36,18 16,96
Jantan
2-2,5 80,68 37,82 42,32 19,84
2,5-3 116 54,38 58 27,19
Rata-rata 77,22 36,20 42 19,69

287
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

≤2 58 28,32 31 15,14
1,5-2 67,70 33,05 37,10 18,11
Betina
2-2,5 78,58 38,37 40,00 19,53
2,5-3 91 44,43 49 23,92
Rata-rata 73,82 36,04 39,28 19,18

Rata-rata bobot total tulang pada ternak sapi Bali jantan dan
betina tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) masing-
masing yaitu 42 kg (19,69%) dan 39,28 kg (19,18%). Rata-rata
persentase tulang pada hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian
Gerrard (1977). Hal ini berarti persentase tulang sapi Bali di RPH Kota
Kendari lebih tinggi dari literatur yang ada. Hal ini diduga disebabkan oleh
faktor umur, pola pemeliharaan dan pakan yang diberikan yang berbeda
dengan sapi Bali yang digunakan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sapi Bali
dari pemeliharaan tradisional di Sulawesi Tenggara tidak terdapat
perbedaan nyata antara bobot dan persentase karkas, daging dan tulang sapi
Bali jantan dan betina.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, D. dan B. Kilkenny. 1984. Planned Beef Production. Granada Publishing:


Toronto, London, New York.
Anonim. 2010. Sulawesi Tenggara Dalam Angka. BPS Sulawesi Tenggara.
Kendari
Darmono. 1993. Tatalaksana Usaha Sapi Kereman. Kanisius, Yogyakarta.
Dewi, S.H.C. 2004. Pengaruh pemberian gula, insulin dan lama istirahat sebelum
pemotongan pada domba setelah pengangkutan terhadap fasilitas daging.
Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Djagra, IB. 1994. Pertumbuhan sapi bali: analisis berdasarkan dimensi tubuh.
Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar.
Gerrard, F. 1977. Meat Technology. 5th Ed. Northwood Publication Ltd. :
London.

288
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Hafid, H. 2005. Kajian pertumbuhan dan distribusi daging serta estimasi
produktivitas karkas sapi hasil penggemukan. Disertasi. Sekolah Pasca
Sarjana IPB, Bogor.
Hafid, H. 2008. Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Potong Di Sulawesi
Tenggara Dalam Mendukung Pencapaian Swasembada Daging Nasional.
Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar. Universitas Haluoleo, Kendari.
Hardjosubroto, W,. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak Di Lapangan.
Grasindo. Jakarta.
Jumiati. 2013. Pengaruh umur terhadap persentase karkas dan daging sapi bali
jantan yang dipelihara secara intensif. Skripsi. Fakultas Peternakan.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Murtidjo, B. A,. 1993. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta.
Soeprapto, dan Z. Abidin. 2006. Cara Tepat Penggemukan Sapi Potong.
Cetakan I. AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Tulloh, N.M. 1978. Growth, Development,Body, Composition, Breeding and
Management. A Course Manual in Beef Cattle Management and
Economics. Academy Press Pty., Ltd., Brisbane.
Yunus, R. 2001. Kualitas fisik dan organoleptik daging sapi bali dari
pemeliharaan secara tradisional dengan lama maturasi dan umur yang
berbeda. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari.

289
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

PENINGKATAN POTENSI REPRODUKSI TERNAK


KAMBING MELALUI APLIKASI TEKNOLOGI
INSEMINASI BUATAN DENGAN WAKTU YANG
BERBEDA

Lentji Rinny Ngangi, Endang Pudjihastuti,


Santie Helfien Turangan, Manopo Jouke Hendrik dan
Sahrun Dalie
Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado
Alamat : Kampus Unsrat Manado 95115
Tlp. (0431) 863186 Fax.863186
Email : lentjingangi@gmail.com

ABSTRAK
Rendahnya produktivitas ternak kambing diperkirakan karena kegiatan sub
sektor peternakan masih merupakan mata rantai dari kegiatan sistem pertanian
yang sebagian besar dikelola oleh petani peternak kecil dengan modal (ternak,
lahan, alat dan teknologi) yang terbatas. Penelitian bertujuan untuk
meningkatkan produksi ternak kambing sebagai sumberdaya alam yang memiliki
potensi keunggulan komparatif melalui penerapan program inseminasi buatan.
Penelitian ini menggunakan 30 ekor kambing betina yang dikelompokkan dalam
dua kelompok perlakuan inseminasi yaitu masing-masing dengan kisaran waktu
antara 14 sampai dengan 23 jam (W1) dan 27 sampai dengan 34 jam (W2)
setelah onset estrus dengan dosis IB 150 juta spermatozoa motil. Respons
menghasilkan angka kebuntingan yang relatif lebih tinggi (46,67%) dan berada di
atas angka memadai (40%) ditunjukkan oleh kelompok ternak yang waktu
inseminasinya pada kisaran waktu 14 sampai dengan 23 jam setelah onset
estrus, sedangkan kelompok W2 mencapai 26,67%. Dapat disimpulkan bahwa
program inseminasi buatan dapat diaplikasikan pada usaha peternakan kambing
sebagai upaya meningkatkan potensi reproduksi.

Kata kunci : kambing, peningkatan, potensi, Inseminasi Buatan

PENDAHULUAN
Saat ini masyarakat umum ingin mengembangkan budidaya
ternak kambing, karena melihat prospek dan potensi ternak kambing
sebagai sumber daya alam hayati sangat menjanjikan. Menurut
Tomaszewska et al (1991) dan Ngangi dkk (2012) ternak kambing
mempunyai potensi beranak lebih dari satu ekor per sekelahiran dan
apabila ditinjau dari segi sosial masyarakat, pemeliharaan ternak
kambing tidak memerlukan modal besar dibandingkan dengan lainnya,

290
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
dagingnya dapat dikonsumsi oleh seluruh masyarakat, mudah
beradaptasi dan mempunyai umur kebuntingan yang singkat serta
mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang biak pada
daerah-daerah yang relatif kering. Melihat potensi yang dimiliki ternak
kambing ini, maka diharapkan produk peternakan berupa daging kambing
akan turut memberikan nilai sumbangsih didalam mendukung progam
swasembada daging nasional. Tetapi bila usaha budidaya ternak
kambing ini tidak dilakukan dengan perencanaan dan pengaturan yang
tepat, berpotensi pada pengurasan populasi maupun sumberdaya genetik.
Produksi, produktivitas dan kualitas yang rendah merupakan
masalah fundamental yang melilit perkembangan industri peternakan di
Indonesia masa kini. Semua itu membutuhkan pemikiran dan gerak aksi
pemilihan solusi yang tepat untuk mengatasinya. Kelemahan ternak
kambing di Indonesia adalah rendahnya produktivitas ternak yang
diperkirakan karena pada umumnya kegiatan sub sector peternakan
masih merupakan mata rantai dari kegiatan sistem pertanian yang
sebagian besar dikelola oleh petani peternak kecil dengan modal (ternak,
lahan, alat dan teknologi) yang terbatas.
Dalam rangka usaha pengembangan populasi ternak kambing
tersebut, maka faktor-faktor yang berkaitan dengan reproduksi serta
upaya dan strategi peningkatan perlu mendapat perhatian. Untuk itu
perlu dilakukan pendekatan teknologi yang meliputi komponen yang
mempengaruhinya yaitu : mempercepat pubertas, memperpendek selang
beranak, menekan kematian anak pra sapih serta memperbanyak jumlah
anak perkelahiran.
Salah satu teknologi yang dapat mempercepat akselerasi
peningkatan populasi dan perbaikan mutu genetik ternak adalah
penerapan teknologi reproduksi. Untuk mendukung program tersebut
perlu dilakukan pengembangan teknologi di bidang reproduksi yang
aplikatif dan ekonomis bagi peternakan kambing di Indonesia.

291
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Teknologi inseminasi buatan pada kambing di Indonesia belum


begitu popular seperti halnya pada sapi potong. Penerapan IB kambing
di Indonesia sampai saat ini masih terbatas dalam taraf uji coba, tetapi
tidak menutupi kemungkinan aplikasi teknologi reproduksi inseminasi
reproduksi ternak kambing. Selain mutu dan penempatan semen dalam
saluran reproduksi, keberhasilan IB juga sangat tergantung dari
ketepatan waktu IB.
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan waktu IB yang terbaik
dalam pencapaian angka kebuntingan yang optimal.

METODE DAN METODA


Materi dan bahan penelitian
Ternak percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kambing betina berumur 1,5 tahun sebanyak 30 ekor dan dua ekor jantan
vasektomi sebagai pengusik. Ternak percobaan ditempatkan di kandang
koloni dengan ukuran 3 m x 4 m yang dilengkapi dengan tempat makan
dan air minum. Pemberian pakan berupa rumput gajah segar 4-5
kg/hari/ekor dan konsentrat 0,5 – 0,7 kg/hari/ekor. Bahan dan peralatan
yang digunakan adalah semen beku, CIDR-G yang mengandung
progesteron 0,33 gram buatan InterAg Selandia Baru, kateter uterus,
aplikator (gun CIDR), alat IB, thermometer dan alat thawing.

Metode
Pelaksanaan IB didahului dengan program sinkronisasi untuk
menyeragamkan estrus dai ke 30 ekor kambing. Sinkronisasi estrus
dilaksanakan dengan menggunakan CIDR-G yang mengandung
progesteron 0,33 mg metode implant intravaginal. Selanjutnya ke 30
ekor kambing betina yang digunakan ini dikelompokkan dalam dua
kelompok perlakuan inseminasi yaitu W1 dan W2 masing-masing dengan
kisaran waktu antara 14 sampai 23 jam dan 27 sampai dengan 34 jam
setelah onset estrus. IB dilaksanakan dengan menggunakan semen
beku dengan dosis 150 juta spermatozoa motil.

292
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Evaluasi hasil inseminasi identik dengan evaluasi kebuntingan
ternak-ternak kambing percobaan, dilakukan dengan melihat kembali
estrus tidaknya kambing-kambing betina akseptor pada siklus berikutnya
dan kelahiran yang terjadi pada akhir penelitian. Peubah yang diamati
yaitu : angka pesentase kebuntingan (NR%), angka persentase
melahirkan dan kidding size. Untuk membandingkan kedua perlakuan
dalam penelitian ini maka dipakai uji pasangan atau t-test (Steel dan
Torrie, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Perolehan rataan angka perkiraaan ternak yang bunting
atau non return rate (NR) dalam penelitian ini adalah sebesar 36,67% (11
dari 30 ekor betina yang tidak estrus pada siklus berikutnya dan
diperkirakan bunting) (Tabel 1).
Tabel 1. Respons angka kebuntingan kambing terhadap
perlakuan waktu inseminasi

Perlakuan ∑ ternak yang di IB Banyak ternak yang


Waktu Inseminasi (ekor) bunting (ekor,%)
W1 15 7 (46,67)
W2 15 4 (26,67)
Total (ekor) 30 11 (36,67)
Keterangan :
W1 = 14-23 jam setelah onset estrus
W2 = 27-34 jam setelah onset estrus

Perkiraan kebuntingan yang dicapai oleh kedua kelompok dalam


pelakuan tersebut pada akhirnya menjadi angka tetap. Dengan kata lain
bahwa ternak yang berhasil bunting pada IB pertama dari kedua
perlakuan berjumlah 11 ekor (CR 36,67%).
Tingkat kesulitan IB pada kambing relatif tinggi dibandingkan
dengan pada sapi, karena anatomi alat reproduksi kambing betina agak
kecil dan berbelok kearah bawah sehingga menyulitkan gun untuk
mencapai tempat yang baik selain posisi cincin satu (mulut cervix).
Rendahnya angka kebuntingan yang diperoleh pada deposisi semen

293
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

dimulut cevix dipengaruhi oleh terganggunya transport spermatozoa


waktu melewati cervix untuk mencapai uterus dan saluran telur
khususnya sampai ke tempat terjadinya fertilisasi di ampula tuba fallopii.
Hasil uji-t menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan
pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap angka kebuntingan pada ternak
kambing percobaan. Namun nampaknya kelompok ternak yang
memperoleh perlakuan waktu inseminasi dengan kisaran waktu 14
sampai dengan 23 jam setelah onset estrus cenderung menghasilkan
angka kebuntingan yang relatif lebih tinggi (46,67%) dibandingkan
dengan ternak yang diinseminasi dengan kisaran waktu 27 sampai
dengan 34 jam setelah onset estrus. Adanya kecenderungan respons
menghasilkan angka kebuntingan relatif lebih tinggi (46,67%) dan berada
diatas angka memadai (40%) ini ditunjukkan oleh kelompok ternak yang
waktu inseminasi pada kisaran waktu 14 sampai dengan 23 jam setelah
onset estrus. Secara khusus juga dapat dijelaskan bahwa kondisi ini
dapat terjadi karena kelompok tersebut dikawinkan pada kisaran waktu
yang mendekati ketepatan waktu untuk pelaksanaan inseminasi bagi
ternak-ternak yang estrusnya disinkronisasikan dengan progesteron.
Waktu inseminasi yang disarankan tersebut berkisar antara 12 sampai 18
jam setelah masuk periode estrus (Toelihere, 1981). Waktu ini ditetapkan
karena pada prinsipnya pelaksanaan inseminasi harus mendahului
ovulasi (24 sampai dengan 27 jam sesudah estrus) (Hafez, 1993).
Angka persentase melahirkan yang dicapai yaitu 11 (36,67%) dari
30 ekor betina yang di inseminasi pertama berhasil bunting dan
melahirkan anak sebanyak 11 ekor dengan kidding size sebesar satu dan
berada dalam kisaran angka yang dinyatakan Devendra dan Burns (1983)
dimana jumlah anak yang lahir dalam sekelahiran pada kambing-kambing
tropis berkisar antara 1,0 sampai dengan 2,1 ekor.

294
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
KESIMPULAN
Program inseminasi buatan dapat diaplikasikan pada usaha
peternakan kambing sebagai upaya peningkatkan potensi reproduksi.

DAFTAR PUSTAKA
Devendra, Burns M. 1983. Goat Reproduction in the Tropic. Commonwelth
Agricultural Bereaux Farmhan Royal Bucks, England.
Hafez, ESE. 1993. Reproductin in farm animals. 6th Ed. Lea and
Febiger.Philadelphia.
Murtidjo, B.A. 1993. Kambing Sebagai Ternak Potong dan Perah. Kanisius.
Yogyakarta
Ngangi LR, Turangan SH, Adiani S, Pudjihastuti E, dan Manoppo JH. 2012.
Kondisi Uterus Kambing betina Bunting yang di Potong (Studi kasus
pemotongan kambing betina bunting). Fakultas Peternakan Universitas
Sam Ratulangi. Manado
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta
Toelihere MR. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Mutiara. Bandung
Tomaszweska MW, Sutama IK, Putu IG, Chaniago TO. 1991. Reproduksi,
Tingkah Laku, dan Reproduksi Ternak di Indonesia. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.

295
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

OPTIMALISASI PELAKSANAAN IB DENGAN


MENGGUNAKAN SPERMA BEKU KEMASAN MINI
STRAW DAN MEDIUM STRAW PADA SAPI PERAH

Muhammad Gunawan dan Ekayanti Mulyawati Kaiin


Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911
Email: muhammadgunawan@ymail.com

ABSTRAK
Program inseminasi buatan (IB) telah dilaksanakan di Indonesia selama hampir
kurang 40 tahun. Kendala pada program IB yang sering terjadi di lapangan
adalah nilai efisiensi reproduksi yang masih rendah. Penelitian ini bertujuan
untuk mengoptimalkan pelaksanaan IB sehingga diperoleh tingkat kebuntingan
yang lebih baik. Perlakuan dilakukan dengan membandingkan IB menggunakan
semen beku sapi perah Frishian Holstein (FH) dalam kemasan mini straw
dengan konsentrasi 25 juta sel sperma dan medium straw dengan konsentrasi
30 juta sel sperma. Metode IB yang digunakan dengan melakukan pelayanan IB
pada sapi perah resipien yang birahi secara alami di kawasan peternakan sapi
perah yang berada di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Tasikmalaya.
Pemeriksaan keberhasilan kebuntingan dilakukan setelah resipien tidak
mengalami tiga kali siklus birahi. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini
menunjukkan nilai efisiensi reproduksi pada parameter service per conception
(S/C) sebesar 1,21 pada mini straw dan 1,10 pada medium straw. Parameter
conception rate (CR) sebesar 79,36 % pada mini straw dan 89,73 % pada
medium straw. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan medium straw
memperbaiki nilai efisiensi reproduksi pada program IB dengan sperma beku
sapi perah di peternakan rakyat.

Kata kunci: mini straw, medium straw, IB, efisiensi reproduksi

PENDAHULUAN
Percepatan produksi bibit ternak dengan aplikasi bioteknologi
reproduksi inseminasi buatan di peternakan rakyat telah tersebar luas
dan mengatasi kekurangan sumber bibit unggul. Sumbangan teknologi
inseminasi buatan cukup berarti dalam meningkatkan populasi dan mutu
genetik ternak sapi dalam negeri selama kurun waktu 40 tahun.
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian telah
mencanangkan Program Swasembada Pangan Nasional 2014. Program
dalam bidang peternakan adalah usaha meningkatkan populasi dan

296
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
produksi peternakan dengan menciptakan dan membangun sentra-sentra
usaha peternakan di daerah (Ditjennak, 2013). Oleh karena itu diperlukan
upaya perbaikan breeding dan pengembangbiakan populasi ternak
secara masal yang dapat dilakukan dengan bantuan aplikasi teknologi
reproduksi Inseminasi Buatan (IB). Inseminasi buatan merupakan
teknologi reproduksi yang digunakan dalam program pemuliabiakan
ternak dengan memanfaatkan pejantan unggul secara maksimal untuk
meningkatkan produktivitas ternak (Supriatna, 2010). Semen beku
dengan berbagai jenis bangsa sapi telah diproduksi oleh Balai Inseminasi
Buatan Nasional Lembang dan Singosari serta Balai Inseminasi Buatan
Daerah. Kualitas semen beku yang diproduksi telah terstandardisasi
dengan acuan dari Badan Standardisasi Nasional yaitu Standar Nasional
Indonesia (SNI) 4869.1:2008 tentang semen beku - bagian 1: sapi.
Kemasan semen beku di Indonesia menggunakan mini straw volume
0,25 ml dengan jumlah sel spermatozoa minimal 25 juta telah menjadi
standar baku yang digunakan di BIB. Berdasarkan SNI terdapat pula
ketentuan pengemasan semen beku dengan menggunakan medium
straw volume 0,5 ml dengan jumlah sel spermatozoa minimal 30 juta.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui tingkat efisiensi reproduksi
pada pelaksanaan Inseminasi Buatan dengan menggunakan semen beku
kemasan mini straw dibandingkan dengan kemasan medium straw untuk
mengoptimalkan program IB.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2012 sampai Mei
2014 dengan lokasi kegiatan peternakan sapi perah di Bogor (anggota
KPS Bogor) dan di Kabupaten Tasikmalaya (anggota KUD Mitrayasa).
Tahap pertama pembuatan sperma beku dari pejantan sapi perah
Frishian Holstein (FH) dalam kemasan mini straw dengan konsentrasi 25
juta sel sperma dan medium straw dengan konsentrasi 30 juta sel sperma
(SNI, 2008). Tahap kedua dilakukan seleksi sapi perah betina yang akan

297
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

digunakan yaitu sapi perah yang pernah beranak (untuk mengetahui


bahwa sapi tersebut tidak mengalami gangguan reproduksi). Nilai Body
Condition Score (BCS) sapi perah yang digunakan antara 3.5 sampai
dengan 4 (Gunawan, 2013a). Tahap ketiga pelaksanaan inseminasi
buatan dilakukan apabila birahi terjadi pada pagi hari maka IB pada sore
hari dan birahi terlihat pada sore hari maka IB pada pagi hari berikutnya
sebelum jam 12 siang (Toelihere, 1993). Parameter yang diamati dalam
penelitian ini adalah: Service per Conception (S/C) yaitu jumlah semen
(straw) yang digunakan dibagi dengan jumlah sapi yang berhasil bunting
dan Conception Rate (CR) yaitu jumlah sapi yang berhasil bunting pada
IB ke-1 dibagi dengan jumlah sapi aseptor IB dikalikan seratus persen.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Program inseminasi buatan atau kawin suntik yang lebih dikenal
masyarakat sudah hampir 40 tahun berjalan. Penelitian untuk optimalisasi
kegiatan IB terus dilakukan untuk meningkatkan nilai efisiensi reproduksi
ternak aseptor IB di peternakan rakyat. Dalam penelitian ini peningkatan
kualitas semen beku untuk program IB dengan membandingkan
penggunaan straw ukuran mini (0,25 ml) dengan medium (0,5 ml).
Berdasarkan SNI 2008, kemasan semen beku dibedakan menjadi dua
yaitu mini straw dengan konsentrasi 25 juta sel sperma dan medium
straw dengan konsentrasi 30 juta sel sperma. Aplikasi IB dilakukan pada
sapi induk FH yang mengalami birahi alami, dengan deteksi birahi dan
waktu pelaksanaan IB mengikuti metode Toelihere 1993. Deteksi birahi
alami nyata lebih baik dan akurat untuk program IB di peternakan rakyat,
dibandingkan dari birahi hasil sinkronisasi (Gunawan, 2013b). Hasil
tingkat efisiensi reproduksi berdasarkan nilai service per conception (S/C)
pada Tabel 1, dan nilai conception rate (CR) pada Tabel 2. Penilaian S/C
dan CR pada penelitian ini berdasarkan hasil pemeriksaan kebuntingan
yang dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu pemeriksaan
dengan alat Ultrasonografi (USG) dan dengan cara palpasi rektal.

298
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Pemeriksaan USG dilakukan pada kebuntingan 30 sampai 60 hari,
sedangkan pemeriksaan palpasi rektal dilakukan pada umur kebuntingan
90 hari (3 bulan).

Tabel 1. Tingkat service per conception (S/C) pada kemasan straw yang
berbeda
Kemasan Jumlah Straw Jumlah Sapi
Nilai S/C
Straw untuk IB Bunting
Mini Straw 263 218 1.21a
Medium Straw 161 146 1.10a
a, b
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda
nyata (P<0.05)

Hasil yang diperoleh menunjukkan nilai S/C pada kedua


perlakuan mini straw dan medium straw tidak berbeda nyata. Perbedaan
nilai S/C pada kemasan medium straw diperoleh hasil lebih tinggi
dibandingkan dengan kemasan mini straw, akan tetapi nilai S/C masih
dalam kisaran nilai normal kesuburan ternak. Menurut Toelihere (1985)
menyatakan bahwa nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6 sampai 2,0.
Semakin rendah nilai S/C, maka semakin tinggi nilai kesuburan ternak
betina. Sebaliknya semakin tinggi nilai S/C, maka semakin rendah nilai
kesuburan kelompok ternak betina tersebut.
Tabel 2. Tingkat conception rate (CR) pada kemasan straw yang berbeda
Jumlah Sapi
Kemasan Jumlah Sapi
Bunting pada IB Nilai CR
Straw Aseptor IB
pertama
Mini Straw 173 218 79.36b
Medium
131 146 89.73a
Straw
a, b
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda
nyata (P<0.05)

Hasil nilai CR atau nilai ternak berhasil bunting pada IB pertama


perlakuan IB dengan kemasan medium straw menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
kemasan mini straw. Penggunaan kemasan medium straw untuk program

299
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

IB pada penelitian ini dapat meningkatkan nilai efisiensi reproduksi


terutama nilai CR lebih tinggi dibandingkan kemasan mini straw. Nilai CR
pada perlakuan kemasan mini straw dalam penelitian ini menghasilkan
nilai 79,36. Perbandingan nilai CR dengan mini straw yang telah
dilaporkan pada penelitian sebelumnya mencapai 73,6 (Gunawan,
2013a). Meningkatnya nilai CR pada perlakuan IB menggunakan
kemasan medium straw dengan konsentrasi sperma 30 juta dalam
volume pengencer 0,5 ml menunjukkan perbaikan kualitas straw
dibandingkan kemasan mini straw.

KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa program
inseminasi buatan di peternakan sapi perah dapat dioptimalkan dengan
menggunakan medium straw dengan menunjukkan tingkat efisiensi
reproduksi yang lebih baik dari mini straw. Kajian kemasan medium straw
volume 0,5 ml dengan jumlah sel spermatozoa minimal 30 juta
berdasarkan SNI 4869.1:2008 meningkatkan keberhasilan IB.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dinas Peternakan,
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bogor dan Dinas Peternakan,
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tasikmalaya atas kerjasama dalam
penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Republik
Indonesia 2013. http://ditjennak.deptan.go.id.
Gunawan, M. Kaiin, E.M. Said, S. dan Tappa, B. 2013a. Keberhasilan
Kebuntingan Hasil Inseminasi Buatan Menggunakan Sperma Sexing di
Kawasan Peternakan Sapi Perah Bogor dan Tasikmalaya. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan. Hal: 81-85.
Gunawan M. dan E.M. Kaiin. 2013b. Respon Sinkronisasi Berahi dengan
Hormon Prostaglandin Dosis Tunggal di Kawasan Peternakan Sapi
Perah Bogor dan Tasikmalaya. Bogor. Prosiding Seminar Nasional dan

300
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Forum Komunikasi Industri Peternkan. PP : 264-271. ISBN : 978-602-
98275-4-5
Standar Nasional Indonesia (SNI) 4869.1:2008 tentang semen beku - bagian 1:
sapi
Supriatna, I. 2010. Penerapan Teknologi Reproduksi pada Ternak di Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional “Peranan Teknologi Reproduksi Hewan
dalam Rangka Swasembada Pangan Nasional.” Hal 4-7.
Toelihere, M.R. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Universitas
Indonesia Press: Bogor
Toelihere, M.R. 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Penerbit Angkasa.
Bandung.

301
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

PRIMORDIAL GERM CELL (PGC): PROSES


DAN APLIKASINYA

Tatan Kostaman

Balai Penelitian Ternak


PO Box 221, Bogor 16002
email:t_kostaman@yahoo.co.id

ABSTRAK
Primordial germ cell (PGC) adalah nenek moyang germ cell dan dapat
membawa informasi genetik tetua untuk keturunan mereka. PGC dapat
digunakan sebagai sumber daya genetik dan untuk menghasilkan keturunan
transgenik. Sebelum sampai kepada penggunaan PGC dari embrio ayam,
alangkah baiknya kita mengetahui perkembangan, identifikasi dan migrasi PGC
serta aplikasi dan teknologi yang terkait dengan PGC ayam. Sampai saat ini,
Balai Penelitian Ternak sudah berhasil mengisolasi, membekukan, dan
mentransfer PGC dari beberapa jenis ayam lokal yang ada di Indonesia. Akan
tetapi masih ada beberapa masalah yang belum terpecahkan dari PGC ayam
lokal Indonesia, seperti turunan dari germ cell ayam dan produksi hewan
transgenik. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk membahas lebih
mendalam tentang PGC ayam, sehingga akan mempermudah di dalam
penelitian dan aplikasinya di masa mendatang.

Kata kunci: ayam, PGC, aplikasinya

PENDAHULUAN

Primordial germ cell (PGC) adalah prekursor gamet dan berfungsi


untuk modifikasi genetik dari beberapa generasi berikutnya. Keadaan
yang unik ini, ditambah dengan penggunaan potensi germ cell untuk
rekayasa genetik, telah membuat PGC menjadi subjek penelitian yang
signifikan. Beberapa tahun terakhir telah terjadi kemajuan pesat dalam
biologi germ cell unggas.
Makalah ini menyajikan ulasan tentang studi perkembangan PGC
pada embrio ayam, metode yang digunakan dalam identifikasi PGC,
bersama dengan molekul yang diduga dapat mempengaruhi migrasi PGC
ke gonad. Juga telah dijelaskan, penerapan biologi germ cell dalam
produksi germ line chimera unggas.

302
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
PERKEMBANGAN PRIMORDIAL GERM CELL PADA EMBRIO AYAM

Studi tentang asal-usul primordial germ cell (PGC) pada embrio


unggas dapat dibedakan dari sel-sel somatik mulai dari tahap akhir
gastrula (Ginsburg, 1997). Identifikasi dan isolasi PGC ayam dari
primitive streak pada tahap somit telah dilaporkan. Pada tahap primitive
streak, PGC ayam dapat ditemukan di germinal crescent (Gambar 1),
bagian anterior embrio yang tidak memiliki sel-sel mesodermal. Migrasi
PGC ayam dari epiblas ke germinal crescent juga telah diteliti
(Tsunekawa et al., 2000).

Gambar 1. Asal primordial germ cell di bagian germinal crescent : A.


Daerah germinal crescent (ungu) yang mengandung PGC
pada tahap primitif streak (stage 4), B. PGC (coklat) di
daerah germinal crescent
Sumber: Tsunekawa et al. (2000)

Tahap paling awal PGC dapat ditemukan di embrio ayam adalah


pada tahap pre-primitive streak (Muniesa & Dominguez, 1990), bahkan
sebelum pembentukan hipoblas, yaitu PGC ayam berada di tengah-
tengah daerah pelusida (Naito et al., 2001). Untuk menguji secara
langsung, telah dilakukan sebuah percobaan in-vitro dengan memotong
bagian tengah disk fragmen dari blastoderm ayam pada tahap X dan di
kultur; PGC kemudian dideteksi menggunakan penanda reaksi PAS
(periodic acid-Schiff) (Ginsburg & Eyal-Giladi, 1989). Penelitian lain yang
menelusuri penampilan PGC di blastula embrio burung puyuh

303
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

menggunakan monoklonal antibodi QH1 sebagai penanda PGC burung


puyuh (Pardanaud et al., 1987). Hasilnya menunjukkan bahwa PGC
unggas yang berasal dari epiblas, konsisten dengan menggunakan
staining feulgen dan immunocytochemistry (Eyal-Giladi et al., 1981;
Pardanaud et al., 1987). Meskipun PAS atau staining feulgen bukanlah
penanda spesifik untuk mengidentifikasi PGC ayam, penanda germ cell,
seperti antibodi anti-CVH (chicken vasa homologue) untuk ayam
sekarang telah dihasilkan dan dapat digunakan untuk melacak ekspresi
protein sel-sel lebih awal selama perkembangan.

IDENTIFIKASI PRIMORDIAL GERM CELL PADA EMBRIO AYAM

Pada burung, sebelum antibodi anti-CVH tersedia, banyak peneliti


mencoba untuk mengidentifikasi PGC dengan cara lain, yang melibatkan
ciri morfologi yang bisa membedakan PGC dari sel-sel lain. Walaupun
PGC unggas bisa dengan mudah dibedakan berdasarkan bentuk selnya
yang lebih besar yang mengandung inti lebih besar daripada sel-sel
somatik (Singh & Meyer, 1967). Beberapa peneliti melaporkan bahwa
pada PGC burung puyuh tidak mengandung butiran glikogen di
sitoplasmanya, sementara PGC ayam mengandung banyak butiran
glikogen yang memungkinkan PGC ayam dapat dikenali oleh staining
PAS (Fujimoto et al., 1976). Percobaan lain yang mempelajari perilaku
donor PGC ayam setelah transfer ke dalam aliran darah embrio burung
puyuh (resipien atau penerima) dan sebaliknya (Nakamura et al., 1992).
PGC burung puyuh dibedakan dari PGC ayam dengan tidak ada reaksi
PAS di bagian gonad calon embrio ayam penerima. PGC burung puyuh
dan ayam juga dibedakan secara histokhemikal menggunakan double-
staining dengan lektin dari wistaria floribunda (WFA) dan reaksi PAS
(Nakamura et al., 1992). Sejak ada perbedaan dari selective-lectin yang
mengikat PGC, lektin WFA dan griffonia simplicifolia II (GS-II) digunakan
sebagai penanda untuk masing-masing PGC burung puyuh dan ayam

304
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
(Yoshinaga et al., 1992). Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam
mengikat gula protein antara spesies unggas.
Selain lektin, histochemistry yang digunakan untuk
mengidentifikasi PGC unggas, adalah alkali fosfatase, yaitu metabolisme
enzim yang digunakan untuk aktivitas PGC selama migrasi sel germ
(Swartz, 1982) atau immunohistochemistry menggunakan antibodi
monoklonal atau poliklonal termasuk QH-1(Pardanaud et al., 1987),
serum anti-gPGC (Ginsburg et al., 1989), QCR1/QB2 (Ono & Machida,
1999) telah dilaporkan untuk mendeteksi PGC burung puyuh, atau gen
CVH di kedua spesies (Tsunekawa et al., 2000). Pada ayam, vasa adalah
salah satu penanda khusus germline dan sebagian besar penelitian pada
PGC ayam telah difokuskan pada gen vasa (Tsunekawa et al., 2000).

MIGRASI PRIMORDIAL GERM CELL

Primordial germ cell (PGC) memiliki kemampuan untuk bermigrasi


dari daerah ekstra embrionik menuju gonad. Faktor-faktor yang terlibat
dalam mengatur ini di embrio unggas belum diketahui. Kuwana &
Rogulska (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor chemotactic terlibat
secara langsung pada migrasi PGC dari daerah ekstra embrionik ke arah
gonad; namun faktor chemotactic tersebut belum ditemukan, meskipun
kemudian dinamakan telopheron (Baker, 1972). Telopheron diproduksi
dan disekresikan oleh sel-sel somatik dalam gonad dan untuk
menginduksi migrasi PGC menuju gonad pada kedua sisi; namun, telah
dikenal sejak lama bahwa sisi kiri berisi PGC lebih dari 70% daripada sisi
kanan. Gonad kiri ayam mungkin memicu pembelahan aktivitas PGC
yang lebih tinggi dari gonad kanan (Swartz & Domm, 1972). Suatu
penelitian untuk mendukung teori tersebut telah dilakukan pada embrio
burung puyuh setelah engrafting, yaitu jumlah PGC burung puyuh
berbeda antara gonad kiri dan kanan di tahap ekstremitas (stage 18-24)
(Didier & Fargeix, 1976). Fenomena ini juga dapat dilihat pada tahap
selanjutnya, gonad yang dibedakan menjadi ovarium karena jumlah

305
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

oogonia di ovari kiri lebih tinggi daripada di kanan dan kematian sel germ
juga jauh lebih rendah (Ukeshima & Fujimoto, 1991). Kematian ini
disebabkan oleh apoptosis germ cell (Ukeshima, 1996).
Jenis molekul yang menarik PGC untuk bergerak ke arah gonad
kemungkinan adalah agen steroid chemotactic yang dikeluarkan oleh
gonad (Baillie et al., 1996). Salah satu hipotesis dari perlakuan ini adalah
dengan melihat kelebihan eksogen hormon steroid yang kemungkinan
mengganggu endogen steroid yang dikeluarkan oleh gonad selama
migrasi PGC; karena itu, eksogen steroid dapat mempengaruhi migrasi
PGC oleh rangsangan atau bahkan menghambat proses ini. Hipotesis ini
telah diuji secara eksperimental dengan menyuntikkan testosteron
cypionate (TC) ke embrio ayam umur 33 jam masa inkubasi; TC
menghambat migrasi PGC dan menurunkan jumlah PGC yang berada di
dalam gonad (Swartz, 1975). Forbes & Lehman (1999) melaporkan
bahwa gonad mensekresikan glikoprotein untuk menarik PGC bermigrasi.
Selain itu, TGF-might menjadi faktor chemotactic yang
dikeluarkan oleh gonad (Godin & Wylie, 1991). Selanjutnya, faktor
chemokine stromal cell-derived 1 alpha (SDF-1α) telah bertindak sebagai
faktor chemotactic yang meningkatkan PGC bermigrasi ke arah gonad
(Stebler et al., 2004). Selain itu, SDF-1/CXCR4, SDF-1/CXCL12 serta Kit
Steel Factor telah dilaporkan berperan sebagai petunjuk untuk sel-sel
germ (Stebler et al., 2004) dan gen Dnd (deadend) (Weidinger et al.,
2003).
Telah dijelaskan bahwa pada awal migrasi, PGC bermigrasi
secara pasif, khususnya PGC ayam. Di germincal crescent, PGC
bermigrasi melalui sel-sel endotel aorta dorsalis melalui diapedesis
(Gilbert, 2003) (Gambar 2B). Langkah ini disebut migrasi pasif yang
secara in-vivo termasuk tipe gerakan ameboid, terjadi dalam darah PGC
ayam yang memiliki pseudopodia (Fujimoto et al., 1976). PGC telah
terbukti menggunakan extra-embryonic pembuluh darah sebagai jalur
sirkulasi di seluruh embrio; karena itu, sel-sel ini disebut circulating-PGCs

306
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
(cPGC) (Clawson & Domm, 1969). Morfologi dari cPGC telah dijelaskan
yaitu bulat dan cytoplasmic endotel menonjol di antara sel untuk
bermigrasi keluar dari pembuluh darah embrio (Gilbert, 2003) (Gambar
2A). Telah dilaporkan bahwa cPGC yang telah meninggalkan peredaran
darah masuk ke dalam dan bermigrasi sepanjang sel-sel mesenchymal di
menstery dorsalis di tingkat mesonephros. Maka, PGC-nya disebut
tissue-PGCs (tPGC) (Clawson & Domm, 1969). Morfologi dari tPGC pada
langkah ini berbeda dari cPGC, karena menampilkan pseudopodia, juga
karakteristik sel menjalani gerakan ameboid (Kuwana et al., 1986). Maka,
proses yang memungkinkan tPGC untuk bermigrasi aktif di sepanjang
jalur migrasi disebut migrasi aktif (Fujimoto et al., 1976). PGC berhenti
migrasi aktif ketika mencapai genital ridges (Gambar 2C). Telah
dilaporkan bahwa pembentukan genital ridges berhubungan dengan
migrasi PGC. PGC yang telah sampai di genital ridges, disebut gonadal-
PGCs (gPGC) (Clawson & Domm, 1969). Selanjutnya, terbukti bahwa
vasculari di tingkat genital ridges krusial untuk implan PGC di genital
ridges karena kurangnya proses yang terlibat dalam migrasi PGC di
embrio ayam (Perez-Aparicio et al., 1998).
Tidak seperti PGC mamalia, PGC ayam menggunakan peredaran
darah sebagai jalur migrasi selama tahap migrasi pasif (Gambar 3).
Karakteristik ini memberi kemampuan PGC ayam untuk bermigrasi dari
gonad dan menetap di daerah extra-gonadal. Telah dilaporkan bahwa
persentase PGC ayam didistribusikan di daerah extra-gonadal adalah
20% dari total PGC ayam, sementara hingga 90% dari extra-gonadal
PGC dapat ditemukan di daerah kepala yang berdekatan dengan neural
tube (Nakamura et al., 1988).
Temuan ini diperkuat oleh sebuah eksperimen menggunakan
gonad embrio ayam yang memperlihatkan PGC di daerah kepala,
migrasi melalui sel-sel endotel kapiler dan bekerja sama dengan sel-sel
mesenchymal untuk mencapai suatu daerah (Nakamura et al., 1991).

307
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Penemuan-penemuan ini menunjukkan bahwa gonad mengirimkan sinyal


yang menarik PGC ayam ke arah gonad.

Gambar 2. Diagram yang menunjukkan PGC menjalani migrasi pasif dan


aktif: A.Scanning electron micrograph (SEM) mewakili PGC ayam
dan sel-sel darah merah (RBC) di dalam kapiler pada tahap
migrasi pasif. B. PGC ayam bergerak keluar dari sel-sel endotel
aorta dorsalis melalui diapedesis. C. Lokasi PGC ayam (anak
panah hitam) di genital ridges dengan anti-CVH
immuohistochemistry pada tahap migrasi aktif. Bar = 100 m
Sumber: Gilbert (2003)

308
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P

Gambar 3. Migrasi PGC pada tahap yang berbeda dari embrio ayam: PGC
berasal dari zona pusat blastoderm pada tahap X. PGC
kemudian bermigrasi ke anterior perbatasan antara area opaca
dan area pellucida pada tahap 1. PGC bisa dideteksi di bagian
anterior (germinal crescent) dari embrio, yang mana primitif
streak yang telah dibentuk pada tahap 5. PGC di daerah germinal
crescent masih ada karena lipat kepala dan somite telah dibentuk
pada tahap 7. PGC mulai bermigrasi dari daerah ekstra
embrionic ke daerah vasculosa (daerah pembuluh darah froming)
pada tahap 10. PGC bermigrasi pasif ke sirkulasi darah pada
tahap 15. PGC bermigrasi aktif sepanjang mesenterium dorsal
dalam embrio menuju daerah genital atau gonad yang terletak di
medioventral dari embrio pada tahap 21
Sumber: Niewkoop & Sutasurya (1979)

Sebagai pembanding, PGC pada mamalia berasal dari daerah


extra-embryonic (hari pertama kebuntingan) dan kemudian bermigrasi ke
daerah colonise di mana gonad berkembang. Membedakan PGC dari
endodermal yolk sac, yang berdekatan dengan kantung embrio (Gambar
4A). Struktur ini evaginates dan berkembang menjadi sebuah struktur
extra-embryonic, yaitu allantois (Gilbert, 2003). PGC bermigrasi dari
daerah genital extra-embryonic ke genital ridges melalui dorsal
mesenterium oleh gerakan ameboid (Gambar 4B). Genital ridges yang
dibentuk menonjol keluar dari mesoderm menengah dan berbaris di
sepanjang medioventral aspek dari mesonephros (Gambar 4B). Setelah
implan di genital ridges (Gambar 4C), PGC dan sel somatik di sekitar
genital ridges berkembang bersama untuk membentuk gonad yang
matang (Gambar 4D).

309
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Gambar 4. Jalur migrasi primordial germ cell pada embrio mamalia: A.


Lokasi PGC dekat yolk sac di daerah hindgut dan allantois.
B. PGC aktif bermigrasi sepanjang dorsal mesenterium
untuk implan di genital ridges. C. PGC berada di level
hindgut dekat dengan yolk sac dan allantois. D. PGC
menggunakan dorsal mesenterium sebagai jalur migrasi
Sumber: Gilbert (2003)

APLIKASI DAN TEKNOLOGI TERKAIT PRIMORDIAL GERM CELL

Isolasi dan Turunan dari Sel-Sel Germ Ayam

Ada beberapa upaya untuk mengisolasi dan menumbuhkan germ


cell ayam. Pertama kali PGC dapat di kultur dari tahap pre-streak embrio
(Karagenc et al., 1996). Karagenc & Petitte (2000) melaporkan bahwa sel
mouse fibroblast cell line embryonic (STO) dapat meningkatkan
pemeliharaan PGC secara in-vitro. Hal itu juga membuktikan bahwa PGC

310
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
dapat diperoleh dari germinal crescent dan berhasil ditransfer oleh
retrovirus. Selain itu, chimera telah dapat diproduksi setelah
menyuntikkan PGC ke embrio penerima yang tumbuh sampai matang
kelamin (Vick et al., 1993).
Primordial germ cell (PGC) ayam memiliki beberapa karakteristik
unik yang berbeda dari mamalia, seperti menggunakan sirkulasi darah
sebagai jalur migrasi. Hal ini memungkinkan PGC ayam dapat diisolasi
dari darah embrio. PGC yang berada di sirkulasi darah dikenal dengan
PGC-sirkulasi (cPGC), dapat diperoleh dari darah embrio pada stadium
13-15 dan dapat dimurnikan dengan menggunakan ficoll, filtrasi atau
nycodenz (Yasuda et al., 1992; Tajima et al., 2003; Zhao & Kuwana,
2003). Balitnak dari sejak tahun 2008 sampai sekarang sudah berhasil
mengisolasi cPGC dari ayam lokal Indonesia (Kostaman et al., 2011,
2013). Germline chimera dapat diproduksi dari ayam lokal dengan
menyuntikkan cPGC ke embrio penerima (Kuwana et al., 2006;
Nakamura et al., 2010; Kostaman et al., 2014).
Ada juga beberapa metode untuk mengisolasi sel-sel germ dari
gonad (Suraeva et al., 2008; Shiue et al., 2009; Wang et al., 2009, Wu et
al., 2010; Nakajima et al., 2011) dan populasi gPGC secara umum dapat
dimurnikan dengan ficoll dan MACS (magnetic-activated cell sorting) (Kim
et al., 2004, 2009). Namun, sangat sedikit germline chimera yang telah
dicapai dengan menyuntikkan sel-sel germ dari gonad yang di kultur ke
embrio penerima (Miyahara et al., 2014). Selanjutnya, produksi germline
chimera telah berhasil dari gonad yang dikultur dari semua faktor. Hasil
ini menyarankan bahwa terdapat perbedaan antara sel germ dari sirkulasi
darah dan gonad dalam kultur jangka panjang secara in-vitro untuk
produksi germline chimera.

Produksi Hewan Transgenik

Selain mampu membawa genetik pewaris dari tetua kepada


keturunannya, germ cell ayam dapat juga digunakan sebagai vektor

311
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

untuk menciptakan hewan transgenik. Germ cell-based transgenesis


pertama kali dijelaskan dengan menggunakan PGC dari germinal
crescent sebagai target bersama dengan vektor retroviral (Vick et al.,
1993). Vektor lentivirus juga telah digunakan dengan sukses untuk
transgenik, apalagi vektor ini dapat digunakan untuk transgenik ke gonad-
PGC (Shin et al., 2008).
Sirkulasi-PGC juga digambarkan sebagai target untuk membuat
transgenik ayam, menggunakan electroporation untuk transfer gen (van
de Lavoir et al., 2006). Metode menggunakan PGC untuk menciptakan
transgenik burung disebut sistem embryo-mediated (Han, 2009). Sistem
testis-mediated juga telah dijelaskan (Lee et al., 2006), metode ini
bermanfaat karena menghilangkan kebutuhan pengambilan PGC dan
mengurangi waktu untuk test cross (Han, 2009). Namun, perbandingan
antara sistem embryo-mediated dan testis-mediated untuk mendapatkan
hasil yang tinggi dan efisien produksi transgenik ayam membutuhkan
evaluasi lebih lanjut.

KESIMPULAN

Primordial germ cell (PGC) memainkan peran penting dalam


kelangsungan hidup spesies. PGC unggas mampu memasuki kembali
germ line ketika disuntikkan ke dalam embrio penerima. Blastoderm,
germinal crescent, darah dan PGC gonad semuanya telah berhasil
digunakan untuk menghasilkan germ line chimera. Penerapan
pengetahuan pada pengembangan sel germ akan membantu
meningkatkan efisiensi germ line chimera dan akhirnya produksi unggas
transgenik. Sejak tahun 2008 sampai sekarang, Balitnak sudah berhasil
mengisolasi, membekukan dan mentransfer cPGC dari beberapa ayam
lokal Indonesia.

312
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
DAFTAR PUSTAKA

Baillie AH, Ferguson MM dan Hart DM. 1996. Development in steroid


histochemistry. Academic Press, New York.
Baker TG. 1972. Reproduction in mammals. Cambridge University Press.
Clawson RC dan Domm LV. 1969. Origin and early migration of primordial germ
cells in the chick embryo: a study of the stages definitive primitive streak
through eight somites. American Journal Anatomy 125:87-111.
Didier E dan Fargeix N. 1976. Quantitative aspects of the colonization of the
gonads by germ cells in the quail embryo (Coturnix coturnix japonical).
Journal Embryology Experimen Morphology 35:637-648.
Eyal-Giladi H, Ginsburg M dan Farbarov A. 1981. Avian primordial germ cells are
of epiblastic origin. Journal Embryology Experimen Morphology 65:139-
147.
Forbes A dan Lehmann R. 1999. Cell migration in Drosophila. Current Opinion
Gen Development 9:473-481.
Fujimoto T, Ukeshima A dan Kiyofuji R. 1976. The origin, migration and
morphology of the primordial germ cells in the chick embryo. Anatomical
Record 185:139-145.
Gilbert SF. 2003. Developmental biology. Sinauer Associates. Inc. USA.
Ginsburg M. 1997. Primordial germ cells development in avians. Poultry Science
76:91-95.
Ginsburg M dan Eyal-Giladi H. 1989. Primordial germ cell development in
cultures of dispersed central disks of stage X chick blastoderms. Gamete
Research 23:421-428.
Ginsburg M, Hochman J dan Eyal-Giladi H. 1989. Immunohistochemical analysis
of the segregation process of the quail germ cell lineage. International
Journal Development Biology 33:389-395.
Godin I dan Wylie CC. 1991. TGF beta 1 inhibits proliferation and has a
chemotropic effect on mouse primordial germ cells in culture. Development
113:1451-1458.
Han JY. 2009. Germ cells and transgenesis in chickens. Comparative
Immunology Microbiology Infectious Diseases 32:61-80.
Karagenc L, Cinnamon Y, Ginsburg M dan Petitte JN. 1996. Origin of primordial
germ cells in the prestreak chick embryo. Development Genetic 19:290-
301.
Kim JN, Kim MA, Park TS, Kim DK, Park HJ, Ono T, Lim JM dan Han JY. 2004.
Enriched gonadal migration of donor-derived gonadal primordial germ cells
by immunomagnetic cell sorting in birds. Molecular Reproduction
Development 68:81-87.
Kim JN, Park TS, Park SH, Park KJ, Kim TM, Lee SK, Lim JM dan Han JY. 2009.
Migration and proliferation of intact and genetically modified primordial
germ cells and the generation of a transgenic chicken. Biology
Reproduction 82:257-262.
Kostaman T, Sopiyana S dan Setioko AR. 2011. Tingkat penurunan suhu pada
kriopreservasi primordial germ cell (PGC) dari tiga jenis ayam lokal
Indonesia. Jurnal Ilmu Ternak Veteriner 16:218-223.
Kostaman T, Yusuf TL, Fahrudin M dan Setiadi MA. 2013. Isolasi dan jumlah
primordial germ cell sirkulasi (PGC-sirkulasi) pada stadium perkembangan
embrio ayam Gaok. Jurnal Ilmu Ternak Veteriner 18:27-33.

313
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Kostaman T, Yusuf TL, Fahrudin M, Setiadi MA dan Setioko AR. 2014.


Pembentukan germline ghimera ayam Gaok menggunakan primordial
germ cell sirkulasi segar dan beku. Jurnal Ilmu Ternak Veteriner 19:17-25.
Kuwana T dan Rogulska T. 1999. Migratory mechanisms of chick primordial
germ cells toward gonadal anlage. Cell Molecular Biology 45:725-736.
Kuwana T, Maeda-Suga H dan Fujimoto T. 1986. Attraction of chick primordial
germ cells by gonadal anlage in vitro. Anatomical Record. 215:403-409.
Kuwana T, Kawashima T, Naito M, Yamashita H, Matsuzaki M dan Takano T.
2006. Conservation of a threatened indigenous fowl (Kureko dori) using
the germline chimera transplanted from primordial germ cells. Japan
Poultry Science 43:60-66.
Lee YM, Jung JG, Kim JN, Park TS, Kim TM, Shin SS, Kang DK, Lim JM dan
Han JY. 2006. A testis-mediated germline chimera production based on
transfer of chicken testicular cells directly into heterologous testes. Biology
Reproduction 75:380-386.
Miyahara D, Mori T, Makino R, Nakamura Y, Oishi I, OnoT, Nirasawa K, Tagami
T dan Kagami H. 2014. Culture conditions for maintain propagation, long-
term survival and germline transmission of chicken primordial germ cell-
like cells. Japan Poultry Science 51:87-95. doi:10.2141/ jpsa.0130077.
Muniesa P dan Dominguez L. 1990. A morphological study of primordial germ
cells at pregastrular stages in the chick embryo. Cell differentiation and
development. Official Journal International Society Development Biology
31:105-117.
Naito M, Sano A, Matsubara Y, Harumi T, Tagami T, Sakurai M dan Kuwana T.
2001. Localization of primordial germ cells or their precursors in stage X
blastoderm of chickens and their ability to differentiate into functional
gametes in opposite-sex recipient gonads. Reproduction 121:547-552.
Nakajima Y, Minematsu T, Naito M dan Tajima A. 2011. A new method for
isolating viable gonadal germ cells from 7-day-old chick embryos. Japan
Poultry Science 48:106-111. Doi.10.2141/jpsa.010094.
Nakamura M, Kuwana T, Miyayama Y dan Fujimoto T. 1988. Extragonadal
distribution of primordial germ cells in the early chick embryo. Anatomical
Record 222:90-94.
Nakamura M, Kuwana T, Miyayama Y, Yoshinaga K dan Fujimoto T. 1991.
Ectopic colonization of primordial germ cells in the chick embryo lacking
the gonads. Anatomical Record 229:109-115.
Nakamura M, Yoshinaga K dan Fujimoto T. 1992. Histochemical identification
and behavior of quail primordial germ cells injected into chick embryos by
the intravascular route. Journal Experimen Zoology 261:479-483.
Nakamura Y, Usui F, Miyahara D, Mori T, Ono T, Takeda K, Nirasawa K, Kagami
H dan Tagami T. 2010. Efficient system for preservation and regeneration
of genetic resources in chicken: concurrent storage of primordial germ
cells and live animal from early embryos of a rare indigenous fowl
(Gifujidori). Reproduction Fertility Development 22:1237-1246.
Niewkoop PD dan Sutasurya LA. 1979. Primordial germ cells in the chordates.
Cambridge University Press.
Ono T dan Machida Y. 1999. Immunomagnetic purification of viable primordial
germ cells of Japanese quail (Coturnix japonica). Comparative
biochemistry and physiology. Part A. Molecular Integration Physiology
122:255-264.

314
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Pardanaud L, Buck C dan Dieterlen-Lievre F. 1987. Early germ cell segregation
and distribution in the quail blastodisc. Cell Different 22:47-59.
Perez-Aparicio FJ, Carretero A, Navarro M dan Ruberte J. 1998. The lack of
genital ridge vascularization in the early chick embryo: implications in the
migration of the primordial germ cells. Anatomical Record 251:398-405.
Shin SS, Kim TM, Kim SY, Kim TW, Seo HW, Lee SK, Kwon SC, Lee GS, Kim H,
Lim JM dan Han JY. 2008. Generation of transgenic quail through germ
cell-mediated germline transmission. FASEB Journal 22:2435-2444.
Shiue YL, Tailiu JJ, Liou JF, Lu HT, Tai C, Shiau JW dan Chen LR. 2009.
Establishment of the long-term in vitro culture system for chicken
primordial germ cells. Reproduction Domestic Animal 44:55-61.
Singh RP dan Meyer DB. 1967. Primordial germ cells in blood smears from chick
embryos. Science 156:1503-1507.
Stebler J, Spieler D, Slanchev K, Molyneaux KA, Richter U, Cojocaru V,
Tarabykin V, Wylie C, Kessel M dan Raz E. 2004. Primordial germ cell
migration in the chick and mouse embryo: the role of the chemokine SDF-
1/CXCL12. Development Biology 272:351-361.
Suraeva NM, Vorotelyak EA, Prokofiev MI, Samoilov AV, Vasiliev AV, Terskikh
VV dan Baryshnikov AY. 2008. Isolation, characteristics, and long-term
culturing of chicken gonadal primordial germ cells and blastodermal cells.
Doklady biological sciences : proceedings of the Academy of Sciences of
the USSR, Biological sciences sections / translated from Russian.
423:461-464.
Swartz WJ dan Domm LV. 1972. A study on division of primordial germ cells in
the early chick embryo. American Journal Anatomy 135:51-70.
Swartz WJ. 1975. Effect of steroids on definitive localization of primordial germ
cells in the chick embryo. American Journal Anatomy 142:499-513.
Swartz WJ. 1982. Acid and alkaline phosphatase activity in migrating primordial
germ cells of the early chick embryo. Anatomical Record 202:379-385.
Tajima A, Barbato GF, Kuwana T dan Hammerstedt RH. 2003. Conservation of a
genetically selected broiler line (42L) using cryopreserved circulating
primordial germ cells (PGCs) isolated by filtration method. Japan Poultry
Science 40:53-61.
Tsunekawa N, Naito M, Sakai Y, Nishida T dan Noce T. 2000. Isolation of
chicken vasa homolog gene and tracing the origin of primordial germ cells.
Development 127:2741-2750.
Ukeshima A dan Fujimoto T. 1991. A fine morphological study of germ cells in
asymmetrically developing right and left ovaries of the chick. Anatomical
Record 230:378-386.
Ukeshima A. 1996. Germ cell death in the degenerating right ovary of the chick
embryo. Zoology Science 13:559-563.
van de Lavoir MC, Diamond JH, Leighton PA, Mather-Love C, Heyer BS,
Bradshaw R, Kerchner A, Hooi LT, Gessaro TM, Swanberg SE, Delany
ME dan Etches RJ. 2006. Germline transmission of genetically modified
primordial germ cells. Nature 441:766-775.
Vick L, Li Y dan Simkiss K. 1993. Transgenic birds from transformed primordial
germ cells. Proc Biology Science 251:179-82.
Wang J, Jiao F, Pan XH, Xie SY, Li ZL, Niu XH dan Du LX. 2009. Directed
differentiation of chick embryonic germ cells into neural cells using retinoic
acid induction in vitro. Journal Neuroscience Methods. 177:168-176.

315
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Weidinger G, Stebler J, Slanchev K, Dumstrei K, Wise C, Lovell-Badge R, Thisse


C, Thisse B dan Raz E. 2003. dead end, a novel vertebrate germ plasm
component, is required for zebrafish primordial germ cell migration and
survival. Current Biology 13:1429-1434.
Wu Y, Ge C, Zeng W dan Zhang C. 2010. Induced multilineage differentiation of
chicken embryonic germ cells via embryoid body formation. Stem Cells
Development 19:195-202.
Yasuda Y, Tajima A, Fujimoto T dan Kuwana T. 1992. A method to obtain avian
germ-line chimeras using isolated primordial germ cells. Journal
Reproduction Fertility 96:521-528.
Yoshinaga K, Fujimoto T, Nakamura M dan Terakura H. 1992. Selective lectin-
binding sites of primordial germ cells in chick and quail embryos.
Anatomical Record 233:625-632.
Zhao DF dan Kuwana T. 2003. Purification of avian circulating primordial germ
cells by nycodenz density gradient centrifugation. Britis Poultry Science 44:
30-35.

316
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
FERTILITAS DAN DAYA TETAS
ITIK PERSILANGAN PEKING JANTAN
DENGAN BETINA MOJOSARI PUTIH (PMp)
Triana Susanti

Balai Penelitian Ternak, Ciawi Bogor


PO Box 221 Bogor 16002
E-mail: triana_susie@yahoo.com

ABSTRAK
Kebutuhan masyarakat terhadap daging itik terus meningkat sepanjang waktu.
Hal ini mendorong peneliti Balitnak untuk merakit galur baru khusus itik tipe
pedaging. Dengan memanfaatkan itik lokal Mojosari putih yang dikawinkan
dengan itik Peking menghasilkan itik PMp, sebagai galur baru khusus tipe
pedaging. Karakteristik itik PMp adalah pertumbuhan relatif cepat dibandingkan
itik-itik lokal yang ada di Indonesia. Pada umur 10 minggu bobot badan itik PMp
mencapai 2.2- 2.5 kg, sementara itik lokal hanya mencapai 1-1.2 kg. Selain itu,
warna karkas itik PMp adalah putih bersih seperti warna karkas ayam broiler.
Dengan tingkat produksi telur lebih dari 65% per tahun, itik PMp diharapkan
mampu menjadi induk betina untuk menghasilkan final stock itik pedaging,
sehingga karakteristik penetasannya perlu diamati. Tujuan penelitian ini adalah
memperoleh informasi penetasan itik PMp untuk melengkapi data
karakteristiknya sebagai galur baru khusus tipe pedaging. Materi dalam
penelitian ini adalah telur itik PMp sebanyak 7.821 butir. Telur tetas tersebut
dimasukkan ke dalam mesin tetas dengan kurun waktu 6 bulan (Juni sampai
Desember 2013), sehingga terbagi menjadi 52 hatch. Analisis data dilakukan
secara deskriptif terhadap fertilitas, daya tetas dan kematian embryo. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa fertilitas itik PMp adalah 83.93% dengan daya
tetas sebesar 48.96% berdasarkan telur fertile atau 41.09% berdasarkan telur
masuk. Kematian embryo tertinggi sebesar 23.02% terjadi pada candling ke-3
yaitu pemindahan telur dari setter ke hatcher pada umur 25 hari dalam mesin
tetas. Kesimpulannya adalah karakteristik penetasan itik PMp telah diperoleh
dengan nilai fertilitas termasuk kategori tinggi, sedangkan daya tetasnya relatif
rendah.

Kata kunci : Itik PMp, fertilitas, daya tetas

PENDAHULUAN
Permintaan masyarakat terhadap daging itik terus meningkat
sepanjang tahun. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya restoran-
restoran besar maupun warung-warung tenda yang menjual menu
makanannya dengan bahan dasar daging itik. Namun kebutuhan yang
tinggi ini belum diimbangi dengan produksinya.

317
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Selama ini, yang menjadi sumber daging itik di Indonesia adalah


itik lokal dan itik impor. Biasanya itik lokal dimanfaatkan sebagai sumber
daging untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Jenis itik lokal yang
digunakan adalah itik jantan petelur yang digemukkan sebelum dipotong
pada umur muda yaitu sekitar 12 minggu dan itik betina petelur afkir yang
dipotong pada umur sekitar 24 bulan setelah berakhir masa bertelurnya.
Pada umumnya itik lokal adalah itik tipe petelur dengan salah satu cirinya
adalah berbadan ramping dengan perototannya kecil, sehingga
karkasnya juga menjadi sedikit.
Selain itik lokal, sumber daging itik di Indonesia adalah itik Peking
yang merupakan tipe pedaging unggulan dunia, namun bibitnya harus
diimpor dari luar negeri. Itik peking, di negeri China sebagai habitat
aslinya, telah mengalami seleksi dalam kurun waktu yang lama. Sehingga
itik Peking yang diekspor keluar dari negeri China sudah merupakan
strain atau galur pedaging dengan warna bulu putih dan bobot dewasa
2,7 sampai 3,8 kg per ekor (Cherry & Morris, 2008; Rouvier, 1999). Bobot
dewasa yang besar ini menghasilkan karkas yang banyak pula.
Sedangkan warna bulu yang putih menjadikan karkas itik Peking juga
berwarna putih bersih. Kedua hal ini menyebabkan karkas itik Peking
menjadi mahal. Oleh karena itu, konsumen itik Peking adalah masyarakat
kelas menengah atas.
Di Indonesia, dalam upaya membentuk galur khusus itik pedaging
yang berbasis sumber daya genetik lokal, maka dilakukan persilangan
antara Mojosari putih yang merupakan itik lokal dengan itik Peking yang
memiliki bobot badan besar. Melalui persilangan ini diharapkan
terbentuknya galur itik khusus pedaging yang memiliki bobot badan besar
dengan bahan dasar genetiknya adalah itik lokal. Di Taiwan, bahan dasar
itik pedaging atau Serati adalah hasil dari perkawinan antara itik Pekin
jantan dengan itik petelur Tsaiya, yang disebut itik Kaiya. Kemudian itik
Kaiya ini dikawinkan dengan entog jantan untuk menghasilkan itik Serati
(Tai & Tai, 1991).

318
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Program pemuliaan melalui persilangan antara itik Peking jantan
dengan Mojosari putih betina telah menghasilkan itik PMp. Adanya bibit
itik yang baru ini sebagai galur khusus tipe pedaging diharapkan dapat
mengurangi penggunaan itik tipe petelur dalam penyediaan daging itik
yang dapat berakibat pada terjadinya pengurasan sumberdaya genetik
itik petelur. Selain itu, dalam upaya memenuhi kebutuhan daging itik
untuk restoran kelas atas, adanya itik PMp ini juga merupakan substitusi
daging itik impor karena untuk memperbanyak itik ini tidak tergantung lagi
pada itik Peking yang keberadaannya harus selalu diimpor.
Karakteristik itik PMp yang dikembangkan di Balitnak memiliki ciri-
ciri antara lain warna bulu putih, sehingga warna kulit karkas juga bersih
dan cerah, bobot badan 2-2,5 kg pada umur 10 minggu, umur pertama
bertelur 5,5 – 6 bulan, dan rataan produksi telur 1 tahun mencapai lebih
dari 65%. Itik PMp ini merupakan tipe itik pedaging dengan ukuran bobot
potong yang sedang jika dibandingkan dengan itik Peking. Namun jika
dibutuhkan, itik PMp ini dapat disilangkan dengan entog jantan untuk
menghasilkan itik EPMp dengan ukuran bobot potong yang lebih besar
dan mendekati ukuran itik Peking.
Sebagai unggas yang perkembangbiakannya melalui penetasan,
maka karakteristik fertilitas dan daya tetas itik PMp perlu diamati.
Tujuannya adalah untuk mengevaluasi kemampuan itik PMp sebagai
galur induk betina untuk menghasilkan final stock itik pedaging, sekaligus
untuk melengkapi data karakteristiknya sebagai galur baru khusus tipe
pedaging.

MATERI DAN METODE


Materi dalam penelitian ini adalah telur tetas itik PMp yang
dikumpulkan setiap hari dari kandang. Jumlah telur tetas itik PMp yang
diamati adalah 7.821 butir. Telur-telur tersebut dikumpulkan dari 35 ekor
induk betina yang dikawinkan dengan 7 ekor jantan melalui perkawinan

319
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

inseminasi buatan (IB). Pengumpulan telur dilakukan selama kurun waktu


6 bulan yaitu pada bulan Juni sampai Desember 2013.
Penetasan dilakukan menggunakan mesin tetas otomatis dengan
suhu 37,5 - 38°C dan kelembaban 60- 65 % sesuai dengan prosedur
standar dari pabrik mesin tetas. Telur yang terkumpul dimasukkan dalam
mesin tetas setiap 7 hari pengumpulan. Pada hari ke-5 telur masuk mesin
tetas dilakukan pemeriksaan (candling) ke-1 terhadap telur yang tidak
fertil maupun embrio yang diduga mati. Candling ke-2 dilakukan pada hari
ke-12, untuk memastikan telur yang fertil hasil candling pertama kondisi
embrionya masih berkembang dengan normal. Candling ke-3 dilakukan
pada saat pemindahan telur tetas dari setter ke hatcher pada hari ke-25
telur dalam mesin tetas.
Parameter yang diukur meliputi persentase fertilitas, daya tetas,
dan kematian embryo. Persentase fertilitas dihitung dari jumlah telur fertil
(hasil candling) dibandingkan dengan jumlah telur yang masuk mesin
tetas. Sedangkan persentase daya tetas dihitung dari jumlah telur yang
menetas dibandingkan dengan jumlah telur yang fertile, atau
dibandingkan dengan jumlah telur yang masuk mesin tetas.
Analisis data dilakukan secara deskriptif terhadap fertilitas, daya
tetas dan kematian embrio.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian fertilitas berdasarkan telur yang masuk mesin
tetas dan daya tetasnya pada itik PMp tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah telur masuk, fertilitas dan daya tetas itik PMp
Variabel Nilai (butir) Nilai (%)
Jumlah telur masuk 7.821 100
Jumlah telur fertil 6.564 83,93
Jumlah telur infertil 1.257 16,07
Daya tetas 3.214 48,96 (dari telur fertil)
atau 41,09 (dari telur
masuk)
Berdasarkan Tabel 1 tampak bahwa fertilitas itik PMp dalam
penelitian ini relatif tinggi yaitu 83,93 %. Nilai fertilitas itik persilangan ini

320
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
lebih tinggi dibandingkan fertilitas pada induk-induknya, baik itik Mojosari
maupun itik Peking. Brahmantiyo & Prasetyo (2001) melaporkan bahwa
fertilitas itik Mojosari sebesar 80,15 %. Sedangkan fertilitas itik Peking
strain B adalah 78,4 % (Dupuy et al., 2002). Begitu pula dengan itik
Peking yang dipelihara tanpa mengalami seleksi strain memiliki nilai
fertilitas sebesar 80.96 % (Rashid et al., 2009).
Meskipun nilai fertilitas itik PMp dalam penelitian ini relatif tinggi,
namun hasil persilangan itik Peking dengan itik lokal lainnya memiliki nilai
fertilitas yang lebih tinggi. Persilangan itik Peking x Alabio dan Peking x
Mojosari coklat memperoleh nilai fertilitas masing-masing sebesar 92,5
dan 92,2 % (Suparyanto, 2005). Perbedaan nilai fertilitas ini kemungkinan
disebabkan oleh faktor sperma yang dihasilkan oleh pejantan Peking.
Dewanti et al. (2014) menyatakan bahwa kelincahan sperma yang
ditunjukkan dengan motilitas tinggi dapat meningkatkan fertilitas telur.
Begitu pula dengan persentase kenormalan sprema dapat mempengaruhi
fertilitas. Brammel et al. (1996) menyatakan bahwa persentase sperma
yang tidak normal dapat menurunkan tingkat fertilitas. Selain itu, faktor
pakan yang diberikan pada induk jantan maupun betina dapat pula
mempengaruhi nilai fertilitas. Faktor lain yang dapat mempengaruhi
fertilitas adalah imbangan jantan dan betina dalam proses perkawinan
untuk menghasilkan telur tetas dan metode penetasan yang berbeda
akan berdampak pada nilai fertlitas.
Ditinjau dari nilai daya tetas, secara umum nilai daya tetas dalam
penelitian ini relatif rendah yaitu hanya 48,96 % dari telur fertile. Hasil
penelitian ini memiliki daya tetas yang hampir sama dengan induk
betinanya Mojosari, namun lebih rendah dari induk pejantannya Peking.
Nilai daya tetas pada persilangan ini hampir mirip dengan galur induk
betinanya yaitu Mojosari yang memiliki daya tetas sebesar 48,98 %
(Brahmantiyo & Prasetyo, 2001). Namun hasil ini lebih rendah
dibandingkan induk pejantannya yaitu itik Peking. Rashid et al. (2009)

321
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

memperoleh nilai daya tetas itik Peking sebesar 54,21 % berdasarkan


telur fertil.
Telur-telur infertil dikeluarkan dari mesin tetas, sedangkan telur-
telur fertile dibiarkan dalam mesin untuk dilakukan pengamatan
berikutnya yaitu kematian embrio dan daya tetas. Hasil pengamatan
mengenai kematian embrio itik PMp tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Kematian embryo itik PMp yang diamati


Variabel Kematian embrio (butir) Kematian embrio (%)
Candling 1 (hari ke-5) 536 8,17
Candling 2 (hari ke-12) 429 6,54
Candling 3 (hari ke-25) 1.511 23,02

Berdasarkan Tabel 2 tampak bahwa pada kelompok telur yang


fertile, sebanyak 536 butir atau 8,17 % dari telur fertil ternyata telah
mengalami kematian embrio. Hasil pengamatan ini lebih kecil
dibandingkan Suparyanto (2005) yang memperoleh kematian embrio
pada candling pertama sebesar 11,5 dan 20,0 % masing-masing pada
hasil persilangan Peking x Mojosari dengan Peking x Alabio.
Pada candling ke-2, kematian embrio itik PMp mencapai 429 butir
atau 6,54 % dari telur fertile. Sedangkan kematian embrio pada candling
ke-3 mencapai 1.511 butir atau 23,02 %. Hasil ini tidak sejalan dengan
Suparyanto (2005) yang memperoleh hasil tingkat kematian embio pada
candling ke-2 dan ke-3 lebih rendah daripada candling pertama.
Kematian embrio yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh
kelembaban mesin tetas yang terlalu rendah dan suhu mesin yang tinggi
pada masa akhir pengeraman. Kelembaban udara berfungsi untuk
mengurangi atau menjaga cairan dalam telur dan merapuhkan kerabang
telur (Ningtyas et al., 2013). Namun, apabila kelembaban tidak optimal,
maka embrio tidak mampu memecahkan kerabang yang terlalu keras.
Kondisi mesin tetas dengan perubahan suhu yang drastis dan tidak
konsisten dapat menyebabkan kematian embrio, terutama pada hari ke-
16 akan mengurangi telur fertil yang menetas (Mc Daniel, 1979). Suhu di

322
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
ruang inkubasi berkisar antara 36- 39°C, dengan toleransi kenaikan atau
penurunan sekitar 2°C dari kisaran suhu standar (Hodgtts, 2000).
Selanjutnya, Hamdy et al., (1991) menyatakan bahwa apabila terjadi
penurunan suhu dalam kurun waktu yang cukup lama biasanya telur akan
menetas lebih lambat dari 28 hari, sedangkan apabila terjadi kenaikan
suhu melebihi dari suhu normal maka embrio akan mengalami dehidrasi
dan akan mati muda.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan dari hasil penelitian ini
adalah karakteristik penetasan itik PMp telah diperoleh dengan nilai
fertilitas termasuk kategori tinggi yaitu 83,93 % dan karakteristik daya
tetas itik PMp relatif rendah yaitu 48,96 % dari telur fertil atau 41,09 %
dari telur masuk.

DAFTAR PUSTAKA
Brahmantiyo B dan Prasetyo LH. 2001. Pengaruh bangsa itik Alabio dan
Mojosari terhadap performa reproduksi. Pros. Pengembangan
Agribrisnis Unggas Air sebagai Peluang Bisnis Baru. Lokakarya Nasional
Unggas Air. 6−7 Agustus 2001. Kerjasama Fakultas Peternakan IPB,
Balai Penelitian Ternak dan Yayasan Kehati, Bogor.
Brammel RK, Daniel CDMC, Wilson JL dan Howarth B. 1996. Age effect of male
and female broiler breeder on sperm penetration of periveithelline layer
overlying the germinal disc. Poultry Science 75: 755-762.
Cherry P dan Morris T. 2008. Domestic Duck Production Science and Practice.
London. United Kingdom. British Library.
Dewanti R, Yuhan dan Sudiyono. 2014. Pengaruh bobot dan frekuensi
pemutaran telur terhadap fertilitas, daya tetas, dan bobot tetas itik lokal.
Buletin Peternakan Vol. 38(1): 16-20
Dupuy V, Nersessian B dan Barkst MR. 2002. Embryonic development from
cleavage through seventy-two hours incubation in two strain of Peking
duck (Anas platyrhynchos). Poultry Science.. 81: 860- 868.

Hamdy AMM, Henken AM, Hel WVD, Galal AG dan Elmoty AKIA. 1991. Effect on
incubation humidy and hatching time on heat tolerance of neonatal chick :
growth performance after heat expo sure. Poultry Science 70: 1507-1515.
Hodgetts. 2000. Incubation the psichal requiments. Abor Acress service Bulletin
No 15, August 1.
Mc Daniel, G. R., D. A. Roland and. MA. Coleman. 1979. The Effeck of Eggs
Shell Quality on Hatchabillity and Embrionic Mortality. Poultry Science
58 : 10-13.

323
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Ningtyas MS, Ismoyowati dan Sulistyawan IH. 2013. Pengaruh temperatur


terhadap daya tetas dan hasil tetas telur itik (Anas plathyrinchos). Jurnal
Ilmiah Peternakan 1(1):347-352.
Rashid MA, Kawsar MH, Miah MY dan Howlider MAR. 2009. Fertility and
hatchability of pekin and muscovy duck eggs and performance of their
ducklings. Progress. Agric. 20(1 & 2) : 93 – 98.
Rouvier R. 1999. Genetics and physiology of waterfowl. In: Proceeding 1st World
Waterfowl Conference. December 1-4, 1999. Taichung, Taiwan,
Republic of China: p.1-18.
Suparyanto A. 2005. Peningkatan produktivitas daging itik Mandalung melalui
pembentukan galur induk. Disetasi. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Tai LJJ dan Tai C. 1991. Mule duck production in Taiwan. I. Artificial
Insemination of ducks. Food and Fertilizer Technology Center, Extension
Bulletin No. 328, 1–6.

324
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
ABNORMALITAS DAN MORFOMETRI
SPERMATOZOA KERBAU BELANG YANG
DIKOLEKSI DI UPT-IB PUCA SULSEL & BIBD
BANJARBARU KALSEL

Tulus Maulana, Muhammad Gunawan dan Ekayanti Mulyawati Kaiin

Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI


Jl. Raya Jakarta Bogor km. 46, Cibinong Bogor 16911
Telp. 021-8754587
E-mail : tuluz_em@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui morfologi dan morfometri (ukuran)
spermatozoa kerbau belang hasil ejakulat dengan menggunakan mikroskop
fluoresen Imager Z7. Ejakulat semen ditampung dari pejantan kerbau belang di
UPT- IB Puca, Sulawesi Selatan dan BIBD Banjar Baru, Kalimantan Selatan.
Semen yang ditampung kemudian diuji kualitas makroskopisnyameliputi motilitas,
konsentrasi, viabilitas, abnormalitas dan MPU, serta dibuat preparat ulas
menggunakan pewarna eosin-Nigrosin untuk pengamatan morfologi dan
morfometri. Evaluasi morfologi dan morfometri spermatozoa dilakukan dengan
menggunakan mikroskop fluoresen Imager Z7 dengan pembesaran 400x
sebanyak 200 sel untuk setiap pengamatan. Bagian yang diukur meliputi panjang
kepala, lebar kepala serta luas kepala spermatozoa, sedangkan morfologi yang
diamati adalah abnormalitas primer dan abnormalitas sekunder spermatozoa.
Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
abnormalitas spermatozoa kerbau belang di UPT-IB Puca sebesar 35%,
sedangkan di BIBD Banjarbaru sebesar 9%. Morfometri spermatozoa kerbau
belang dari 2 ekor pejantan yang digunakan pada penelitian ini memiliki rata-rata
panjang kepala sebesar 7,89 µm, lebar 4,45 µm, luas kepala 29,57 µm2, panjang
badan spermatozoa 12,53 µm serta panjang ekor sebesar 42,61 µm.

Kata kunci : spermatozoa, morfologi, morfometri, kerbau belang

PENDAHULUAN
Kerbau belang (Bubalus bubalis) termasuk tipe kerbau rawa/
lumpur dengan ciri khas warna kulit belang hitam dan putih (bule). Kerbau
belang berasal dari Tana Toraja Sulawesi Selatan dan merupakan
plasma nutfah hewanasli Indonesia yang perlu dipertahankan
eksistensinya. Kerbau belang,sama seperti halnya ternak kerbau lainnya
di Indonesia, kurang mendapat perhatian dalam hal penerapan teknologi
reproduksi. Untuk mengetahui potensi reproduksi pejantan digunakan

325
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

metode BSE (Breeding Soundness Evaluation) yang melakukan analisis


semen dengan penilaian konsentrasi spermatozoa/ml, motilitas dan
morfologi spermatozoa (Bagley, 2005) serta organ reproduksi umum dan
indeks lingkar skrotum (Riyadhi et al., 2012). Kajian mengenai morfologi
spermatozoa kerbau belang perlu dilakukan mengingat sudah cukup
banyak penelitian-penelitian yang membahas korelasi antara morfologi
dan fertilitas pada berbagai ternak. Menurut Chenoweth (2005),
abnormalitas spermatozoa diklasifikasikan sebagai abnormalitas primer
dan sekunder, serta abnormalitas mayor dan minor. Abnormalitas primer
terjadi pada saat spermatogenesis, sedangkan abnormalitas sekunder
terjadi pada saat proses pelepasan spermatid ke dalam tubulus
seminiferus (spermiasi) (Hafez, 2000). Abnormalitas mayor berdampak
terhadap fertilitas pejantan dibandingkan dengan abnormalitas minor.
Abnormalitas mayor diklasifikasikan merupakan abnormalitas primer yang
terjadi pada 5-10% populasi spermatozoa. Kejadian abnormalitas
tersebut konsisten dan berhubungan dengan infertilitas pejantan dan
diduga abnormalitas tersebut diturunkan secara genetik (Chenoweth,
2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui morfologi khususnya
abnormalitas dan morfometri (ukuran) spermatozoa kerbau belang hasil
ejakulat yang diamati menggunakan mikroskop fluoresens Imager Z7.

MATERI DAN METODE


Penampungan dan uji kualitas semen
Pejantan kerbau belang yang digunakan pada penelitian ini
dikoleksi semennya di UPT- IB Puca, Sulawesi Selatan dan BIBD Banjar
Baru, Kalimantan Selatan. Penampungan semen pejantandilakukan
dengan menggunakan metode vagina buatan (VB) (Gambar 1). Sesudah
ditampung, semen hasil koleksi sesegera mungkin dibawa ke
laboratorium untuk diuji karakteristik dan kualitasnya berdasarkan standar
di masing-masing BIB. Pengamatan analisis kualitas semen dilakukan di
laboratorium UPT-IB Puca dan BIBD Banjar Baru, Analisis semen

326
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
meliputi : volume, warna, bau, pH, konsistensi, motalitas, gerakan massa,
viabilitas, konsentrasi, abnormalitas serta membran plasma utuh (MPU).
Pengamatan mikroskopis (morfologi primer dan morfometri) dilakukan di
laboratorium Reproduksi, Pemuliaan dan Kultur Sel Hewan, Puslit
Bioteknologi LIPI.

Gambar 1. Penampungan semen kerbau belang


Preparasi preparat spermatozoa
Pembuatan preparat spermatozoa untuk pengamatan morfologi
dan morfometri kerbau belang dilakukan menggunakan pewarnaan eosin-
nigrosin (Barth & Oko, 1989). Sebanyak 25l semen diteteskan diatas
gelas objek kemudian ditambah dengan 50l larutan pewarna. Setelah itu,
preparat difiksasi dengan cara dilewatkan di dekat api Bunsen dan
kemudian dikering anginkan.

Pengamatan abnormalitas spermatozoa


Pengamatan preparat spermatozoa dilakukan dibawah mikroskop
fluoresence Imager Z dengan pembesaran obyektif 40 (400x). Evaluasi
morfologispermatozoa dilakukan dengan menghitung jumlah
spermatozoa normal dan abnormal. Penghitungan dilakukan setiap 200
sel untuk setiap pengamatan. Penilaian abnormalitas spermatozoa
kerbau belang diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu abnormalitas
primer dan abnormalitas sekunder (Tabel 1).

327
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Tabel 1. Abnormalitas primer dan sekunder spermatozoa


Abnormalitas spermatozoa
No
Primer Sekunder
1 Pear shape defect Ekor melipat
2 Abaxial Tanpa ekor
3 Knobe acrosome Tanpa kepala
4 Undevelope Kerusakan ekor
5 Abnormal coutour
6 Microsephalus
7 Macrosephalus

Pengamatan abnormalitas spermatozoa meliputi bagian kepala,


tudung akrosom, bagian tengah dan ekor. Hasil pengamatan tersebut
kemudian dianalisis dengan menggunakan program aplikasi Axio vision
rel 4.8, mencapai perbesaran maksimal 630x.
Persentase spermatozoa abnormal dihitung dengan cara:
Abnormalitas (Abn)= ∑ Spermatozoa abnormal x 100%
∑ Spermatozoa abnormal + normal
Morfometri spermatozoa
Pengukuran spermatozoa meliputi panjang kepala, lebar kepala,
luas kepala spermatozoa, panjang badan serta panjang ekor
spermatozoa dilakukan dengan menggunakan program aplikasi
Axiovision Rel 4.8. Pengukuran masing-masing parameter tersebut
dilakukan sesuai Gambar 2.

Gambar 2. Bagian-bagian spermatozoa yang diukur menggunakan


program aplikasi Axio Vision Rel 4.8.

328
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Analisis hasil
Hasil pengamatan diperoleh dari setiap 200 sel sperma yang
diamati, data tentang hasil evaluasi kualitas sperma dibuat dalam bentuk
rataan, selanjutnya dianalisis secara deskriptif untuk membandingkan
hasil koleksi semen di UPT IB Puca dengan BIBD Banjar Baru Kalsel.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kualitas semen segar kerbau belang hasil ejakulat ditampilkan
pada Tabel 2. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata volume
semen sebesar 3,25 ml, dengan warna krem, mempunyai konsistensi
kental, dengan gerakan massa sebesar ++. Motilitas spermatozoa kerbau
belang di Puca sebesar 75% dengan konsentrasi spermatozoa sebesar
1.179 x106 sel/ml, sedangkan motilitas spermatozoa kerbau belang di
BIBD Banjarbaru sebesar 70% dengan konsentrasi 1.738 x106 sel/ml.
Viabilitas dan MPU spermatozoa di Puca masing-masing sebesar 79,3%
dan 70,9%, sedangkan di BIBD Banjarbaru sebesar 89% dan 79%.

Tabel 2. Kualitas semen segar pejantan kerbau belang, asal UPT-IB


Puca Sulsel dan BIBD Banjar Baru Kalsel.
Kerbau belang pejantan
No Parameter
UPT-IB Puca BIBD Banjar Baru
1 Volume 4 2,5
2 Warna Krem Krem
3 Konsistensi Kental Kental
4 Gerakan massa ++ ++
5 Motilitas 75 70
6 Konsentrasi (10x6) 1.179 1.738
7 Viabilitas % 79.3 89
8 Membran plasma utuh (MPU) % 70.9 79

Toelihere (1975) melaporkan bahwa kerbau belang di Tana Toraja,


Sulawesi Selatan mempunyai kualitas yaitu : volume semen per ejakulat
rata-rata 2 ml; berwarna krem, krem keputihan dan putih; pH lakmus
menunjukkan agak basa; gerakan massa sperma antara + sampai +++;

329
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

konsentrasi sperma berkisar antara 600 sampai 1000 x 106 sel/ml semen
dengan rata-rata 800 juta sel dan persentase sperma hidup sebesar 48
sampai 80%.
Hasil pada penelitian ini menunjukkan kisaran yang sama dengan
semen segar yang ditampung dengan vagina buatan di Tana Toraja,
Sulawesi Selatan (Batosamma, 1985) yaitu: volume semen antara 0,3
sampai 3,8 ml dengan rata-rata sebesar 1,7 ± 0,8 ml dengan warna krem
dan putih susu (menunjukkan semen normal dan sehat), konsistensi
semen agak kental (sedang) dan pH di antara 6,9 sampai 7,2 dengan
rata-rata 7,0 ± 0,1.Rata-rata motilitas spermatozoa adalah 74 ± 4,8 %,
gerakan massa positif dua setengah (++/+), konsentrasi berkisar antara
200 sampai 2.500 x 106 sel/ml atau rata-rata sebesar (1.200 ± 0,5)x 106
sel/ml; dan abnormalitas antara 10 sampai 20% ( rata-rata 15,06 ± 4,93).
Hasil pengamatan terhadap morfologi spermatozoa kerbau belang
ditampilkan pada Tabel 3. Abnormalitas spermatozoa yang ditemukan
merupakan abnormalitas primer yaitu: pear shape, abaxial, knobe
acrosome, dan undevelop, sedangkan abnormalitas sekunder berupa
kepala putus, ekor melingkar (melipat) dan tanpa kepala.
Tabel 3. Abnormalitas primer dan sekunder pada kerbau belang
Pejantan kerbau belang
Morfologi Parameter UPT-IB BIBD Banjar
Puca Sulsel Baru Kalsel
Pear shape(%) 19.21 16.14
Abnormalitas Abaxial (%) 10.42 9.41
primer Knobe acrosome (%) 7.49 6.72
Undevelop (%) 4.88 0.44
Abnormalitas Kepala putus, ekor
sekunder melingkar, tanpa 35 9
kepala (%)

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh abnormalitas


spermatozoa primer berupa pear shape pada kerbau belang Puca dan
Banjarbaru masing-masing sebesar 19,21% dan 16,14%. Abnormalitas
abaxial, knobe acrosome, dan undevelop pada masing-masing pejantan
sebesar (10,42%; 9,41%), (7,49%; 6,72%) dan (4,88%; 0,44%),

330
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
sedangkan abnormalitas sekunder yang ditemukan masing-masing
sebesar 35% dan 9%. Berdasarkan hasil tersebut, tampak abnormalitas
spermatozoa kerbau belang Puca lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
koleksi semen kerbau belang di Banjarbaru. Hal tersebut kemungkinan
disebabkan proses penampungan sperma yang tidak kontinu (lama tidak
ditampung) sehingga sperma yang terkoleksi adalah sperma cadangan
yang sudah mengalami kerusakan. Penyebab lainnya kemungkinan
adalah pengaruh umur pejantan, sistem pemeliharaan serta pakan yang
diberikan. Berdasarkan informasi dari petugas UPT-IB Puca, kerbau
belang di Puca mengalami hambatan dalam proses penampungan
semen karena faktor stress yang cukup tinggi. di antaranya kondisi
lingkungan tempat penampungan. Faktor-faktor tersebut diduga dapat
menyebabkan terganggunya proses spermatogenesis dalam tubulus
seminiferus, sehingga spermatozoa yang diejakulasikan adalah sperma
yang sudah mengalami kerusakan baik pada saat spermatogenesis
maupun pada saat proses spermiasi.
Hasil penelitian Riyadi et al. (2012) yang memeriksa abnormalitas
pada sapi pejantan diperoleh abnormalitas pear shape sebesar 2,21%.
Hasil pada penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih tinggi. Barth et al.
(1992) menyatakan bahwa pada kondisi tertentu, abnormalitas tersebut
bersifat normal, sehingga walaupun ditemukan dalam persentase yang
cukup tinggi tapi tidak mempengaruhi fertilitas. Berdasarkan informasi
yang penulis peroleh tingginya abnormalitas spermatozoa tidak
mempengaruhi fertilitas pejantan tersebut sebab sperma pejantan kerbau
belang tersebut masih digunakan untuk IB dan menghasilkan induk yang
bunting

331
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

A B

a.1 a.2 b.1 b.2

a.3 a.4 b.3 b.4

Gambar 2. Abnormalitas primer (A) dan abnormalitas sekunder (B); (a1) Pear
shape, (a2) Knobe Acrosome, (a3) Abaxial, (a4) Undevelop, (b1)
ekor melingkar (b2) Kepala putus , (b3) badan putus, (b4) ekor
melipat. Perbesaran 400x

Menurut Arifiantini et al. (2006), abnormalitas spermatozoa kerbau


lumpur antara lain abnormalitas sekunder sebesar 21.93 ± 3.98% dan
abnormalitas primer sebesar 9.93 ± 6.68%. menurut Batosamma (1985),
abnormalitas spermatozoa pada kerbau lumpur 10-20%.
Morfometri spermatozoa atau pengukuran spermatozoa dapat
dilakukan dengan menggunakan mikroskop fase kontras dengan
dilakukan pewarnaan sebelumnya menggunakan pewarnaan sel standar.
Pewarnaan sperma bisa menggunakan Eosin, Eosin Nigrosin, pewarnaan
Williams dan Formol-saline (Arifiantini et al,. 2006). Hasil morfometri
spermatozoa kerbau belang dapat dilihat pada Tabel 4, dengan
parameter morfometri yaitu panjang, lebar, luas area, panjang badan
serta panjang ekor spermatozoa.

Tabel 4. Rataan morfometri spermatozoa


Parameter Pejantan kerbau belang
Morfometri ± SD BIBD Puca BIBD Banjar Baru
Panjang 8.09±0.84 7.7±0.4
Lebar 4.41±0.41 4.5±0.2
Luas area 30.19±5.69 28.96±1.76
Panjang badan 12.59 ±0.35 12.48 ±0.40
Panjang ekor 41.57±1.59 43.66±1.55

Berdasarkan hasil morfometri yang dilakukan terhadap spermatozoa


kerbau belang yang dikoleksi dari dua BIBD didapatkan hasil untuk
panjang kepala spermatozoa masing-masing 8.09 ± 0.84µm (UPT-IB

332
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Puca) dan 7.7 ± 0.4µm (BIBD Banjar Baru) dan lebar kepala spermatozoa
masing-masing, 4.41 ± 0.41 µm (UPT-IB Puca) dan 4.5 ± 0.2 µm (BIBD
Banjar Baru), luas kepala spermatozoa masing-masing 30.19 ± 5.69 µm
(UPT-IB Puca) dan 28.96 ± 1.76 µm (BIBD Banjar Baru), panjang badan
masing-masing 12.59 ± 0.35 µm (UPT-IB Puca) dan 12.48 ± 0.40 µm
(BIBD Banjar Baru), panjang ekor 41.57 ± 1.59 µm (UPT-IB Puca) dan
43.66 ± 1.55 µm (BIBD Banjar Baru). Hasil morfometri spermatozoa dari
masing-masing sampel tidak menunjukkan hasil yang berbeda jauh
dengan penelitian sebelumnya morfometri spermatozoa kerbau rawa
panjang kepala 6.24 µm dan 3.31 µm dengan panjang ekor total 52.02
µm (Arifiantini et al., 2006).
Sebagai pembanding, digunakan data morfometri spermatozoa
menggunakan program aplikasi analisa sperma seperti computer aided
sperm analyzer (CASA), sperm computer analyzer (SCA) dan computer
assisted sperm measurement analyzer (CASMA) yang ditampilkan pada
Tabel 5.
Tabel 5. Perbandingan morfometri spermatozoa menggunakan Aplikasi
Program (CASA, CASMA dan SCA).
Kerbau
Parameter Sapi2 Domba3
Murrah1 Crossbred1
Panjang Kepala (µm) 7.59±0.01 9.18±0.01 9.43±0.02 8.90±0.49
Lebar Kepala (µm) 4.91±0.01 5.11±0.01 5.13±0.01 4.79±0.33
Luas Area (µm2) 24.41±0.05 30.76±0.07 39.97±0.17 35.02±3.17
Perimeter (µm) 19.65±0.02 22.47±0.02 33.69±0.11 26.80±2.16
Sumber : Roy (2014)1; Rubio-Guillen et al (2007)2; Maroto-Morales et al (2010)3.

Data tersebut menghasilkan ukuran morfometri spermatozoa yang tidak


jauh berbeda dengan hasil rataan morfometri spermatozoa pada
penelitian ini (Tabel 4).
Penggunaan mikroskop fluoresens Imager Z dengan bantuan
aplikasi program Axio Vision rel 4.8 mempunyai fungsi yang sama
dengan aplikasi analisa sperma lainnya sehingga mampu menganalisa
sperma dengan akurasi yang baik. Menurut Arifiantini et al. (2006) hasil

333
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

rataan morfometri spermatozoa pada sapi Bali menggunakan pewarna


eosin nigrosin, panjang kepala 9.98 ± 0.04µm, lebar kepala 4.92 ±
0.04µm, panjang ekor tengah 12.92 ± 0.09µm dan panjang ekor utama
49.39 ± 0.29µm. Menurut Chantaraprateep & Bodhipaksha (1975)
panjang dan lebar kepala kerbau, 9.0 ± 0.5µm dan 6.3 ± 0.5µm, panjang
seluruh 69.0 ± 2.5 µm, sedangkan panjang dan lebar kepala spermatozoa
sapi 12.0 ± 0.5 µm dan 6.0 ± 0.7µm serta panjang seluruh 81.0 ± 2.5µm

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa abnormalitas spermatozoa
kerbau belang UPT-IB Puca lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
koleksi semen kerbau belang di BIBD Banjarbaru. Morfometri
spermatozoa kerbau belang dari 2 ekor pejantan yang digunakan pada
penelitian ini memiliki rata-rata panjang kepala sebesar 7,89 µm, lebar
kepala 4,45 µm, luas area kepala spermatozoa 29,57 µm2, dan panjang
badan spermatozoa 12,53 µm serta panjang ekor 42,61 µm.

DAFTAR PUSTAKA
Arifiantini RI dan Ferdian F. 2006. Tinjauan aspek morfologi dan morfometri
spermatozoa kerbau rawa (Bubalus bubalis) yang dikoleksi dengan teknik
masase. Jurnal Veteriner 7 (2): 83-91.
Arifiantini RI, Wresdiyati T dan Retnani EF. 2006. Kaji banding morfometri
spermatozoa sapi bali (Bos sondaicus) menggunakan pewarnaan wiliams,
eosin, eosin nigrosin dan formol saline. Jurnal Sain Veteriner 24 (1): 65-70.
Bagley CV dan Chapman CK. 2005. Breeding soundness evaluation of bulls
Cooperative extension. Utah State University. Agriculture November 2005
Barth AD dan Oko RJ. 1989. Abnormal morphology of bovine spermatozoa. Iowa:
Iowa State University Press (1st Edition).
Barth AD, Pamela AB, Gabriel A Bo dan Reuben JM. 1992. Effect of narrow
sperm head shape on fertility in cattle. The Canadian Veterinary Journal
33: 31-39
Batosamma JT. 1985. Penerapan teknologi inseminasi buatan untukpelestraian
sumberdaya ternak kerbau belang. Disertasi. Fakultas Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Chantaraprateep P dan Bodhipaksa P. 1975. Studies on semen of Thai swamp
buffalo for artificial insemination, The Thai Veterinary Medical Asociation.
Vol 26 (3): 37-62.
Chenoweth PJ. 2005. Genetic sperm defects. Theriogenology 64 : 457-468.

334
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Hafez ESE dan Hafez B. 2000. Reproduction in farm animals. 7th Ed. Lippincott
Williams & Wilkins, Baltimore.
Herdis. 1998. Metode pemberian gliserol dan lama ekuilibrasi pada proses
pembekuan semen kerbau lumpur. Thesis. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Maroto-Morales A, Ramon M, Garcia-Alvarez O, Soler AJ, Esteso MC, et al.
2010. Characterization of ram (Ovies aries) sperm head morphometry
using the sperm class analyzer. Theriogenology 73: 437-448
Riyadi M, Arifiantini RI dan Purwantara B. 2012. Korelasi morfologi abnormalitas
primer spermatozoa terhadap umur pada beberpa bangsa sapi potong.
Agroscientiae Vol 19 (2): 79-84.
Roy B. 2014. A comparative study on sperm morphometry of cross breed and
murrah buffalo bulls. International Journal of Agricultural Science
Veterinary Medicine Vol 2 (3).
Rubio-Guillen JL, Lopez Brea JJG, Estesso MC, Fernandez-Santos MR,
Villalobos DMG, et al. 2007. Head dimensions of Brahman and their
crossbred bull spermatozoa are affected by cryopreservation. Revista
Cientifica FCL-LUZ Vol XVII (5) : 508-513.
Said S dan Tappa B. 2008. Perkembangan kerbau belang (“Tedong Bonga”) di
Puslit Bioteknologi LIPI Cibinong, Jawa Barat Dengan Teknologi
Reproduksi. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008.
Toelihere M R. 1993. Inseminasi buatan pada ternak. Penerbit Angkasa.
Bandung.

335
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

PENGARUH PAKAN YANG MENGANDUNG LEVEL


PROTEIN BYPASS BERBEDA TERHADAP KUALITAS
SEMEN LIMA GENOTIP DOMBA PUBERTAS
Umi Adiati dan Dwi Yulistiani

Balai Penelitian Ternak Ciawi, PO. Box 221


E-mail: umiadiati@yahoo.co.id

ABSTRAK
Semen adalah hasil sekresi alat kelamin jantan yang terdiri dari dua bagian yaitu
spermatozoa dan plasma semen. Kualitas semen sangat tergantung dari kualitas
pakan yang diberikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
pakan yang mengandung protein bypass berbeda yang diberikan terhadap
kualitas semen dari lima genotip domba pubertas. Jumlah ternak yang digunakan
sebanyak 34 ekor yang terdiri dari 10 ekor domba Barbados Cross (BC), 5 ekor
domba Garut lokal (GL), 4 ekor domba Komposit Garut (KG), 8 ekor domba
Komposit Sumatera (KS) dan 7 ekor domba St. Croix (SC). Masing-masing dari
bangsa ternak tersebut dibagi menjadi dua kelompok perlakuan pakan. Ternak
diberi pakan selama 3 bulan yang terdiri dari rumput dan konsentrat yang
mengandung protein bypass berbeda yaitu: (1) pakan A : yang mengandung
4,5% bypass protein dan (2) pakan B yang mengandung 7,5% bypass protein.
Koleksi semen dilakukan dengan menggunakan vagina buatan dan
penampungan semen dilakukan sebanyak 2 kali ejakulasi. Setelah
penampungan segera dilakukan evaluasi secara makroskopik dan mikroskopik.
Peubah yang diamati volume per ejakulat, warna, pH, gerakan massa, gerakan
individu dan spermatozoa yang hidup. Hasil penelitian menunjukkan volume
semen dari kelima genotip domba bervariasi dari 0,2 sampai 1,2 ml/ejakulat
dengan warna krem. Pemberian pakan dengan kandungan protein bypass
berbeda tidak berpengaruh terhadap kualitas semen meliputi volume, gerakan
individu dan spermatozoa yang hidup (A= 78,26%; B = 74,87%), sedangkan
genotip ternak domba sangat berpengaruh terhadap kualitas semen (P<0,05).
Interaksi pemberian pakan dengan genotip domba tidak berpengaruh nyata
terhadap gerakan individu dan spermatozoa yang hidup, namun berpengaruh
nyata (P<0,05) pada volume ejakulat (pakan A, genotip KG = 1,1 ml dan pakan B
genotip KS= 1,1 ml).

Kata kunci: protein bypass, domba, semen, genotip

PENDAHULUAN
Semen merupakan cairan yang diejakulasikan oleh alat kelamin
jantan dan secara normal disekresikan ke dalam saluran kelamin betina
sewaktu kopulasi. Semen adalah hasil sekresi alat kelamin jantan yang

336
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
terdiri dari dua bagian yaitu spermatozoa dan plasma semen.
Keberhasilan aplikasi teknologi reproduksi sangat dipengaruhi oleh
kualitas spermatozoa yang dihasilkan untuk membantu program
inseminasi buatan (IB) baik menggunakan semen beku ataupun semen
cair. Kualitas spermatozoa secara fisiologis sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor salah satunya yaitu kandungan nutrisi pakan yang
diberikan. Ternak dengan masa produksi tinggi seperti masa
pertumbuhan mempunyai kebutuhan nutrisi yang lebih tinggi dibanding
untuk kebutuhan hidup pokok. Kebutuhan nutrisi yang tinggi ini dapat
dipenuhi melalui pemberian nutrisi yang lolos degradasi di dalam rumen.
Dengan pemberian by-pass protein diharapkan produktivitas ternak dapat
meningkat karena by-pass protein ini dapat langsung dimanfaatkan oleh
ternak untuk berproduksi yang salah satunya melalui percepatan dewasa
kelamin yang ditandai dengan peningkatan kualitas semen pada domba
pubertas.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pakan
yang mempunyai kadar protein bypass berbeda yang diberikan terhadap
kualitas semen dari lima genotip domba pubertas.

MATERI DAN METODE


Penelitian ini dilakukan di stasiun percobaan Balai Penelitian
Ternak Bogor, dengan menggunakan 5 genotip ternak domba unggul
Balitnak yang berjumlah 34 ekor yang terdiri dari 10 ekor domba
Barbados Cross (BC), 5 ekor domba Garut lokal (GL), 4 ekor domba
Komposit Garut (KG), 8 ekor domba Komposit Sumatera (KS) dan 7 ekor
domba St. Croix (SC).
Masing-masing dari bangsa ternak tersebut dibagi menjadi dua
kelompok perlakuan pakan. Ternak diberi pakan selama 3 bulan yang
terdiri dari rumput dan konsentrat yang mengandung protein bypass
berbeda yaitu:
pakan A : yang mengandung 4,5% bypass protein dan

337
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

pakan B : yang mengandung 7,5% bypass protein.


Setelah 3 bulan pemberian pakan perlakuan, kemudian dilakukan
pemeriksaan kualitas semen. Semen ditampung menggunakan vagina
buatan sebanyak 2 kali ejakulasi. Segera setelah ditampung, semen
dinilai secara makroskopik dan mikroskopik dari masing-masing individu.
Penilaian makroskopik meliputi: volume, warna, konsistensi (kekentalan),
dan derajat keasaman (pH). Penilaian mikroskopik meliputi: gerakan
massa, motilitas, jumlah spermatozoa hidup.
Gerakan massa. Untuk penilaian gerakan massa digunakan
mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Kualitas semen ditentukan
dengan kriteria sangat baik, baik dan lumayan (Toelihere, 1993). Untuk
kualitas semen yang sangat baik mendapat nilai +++, untuk kualitas yang
baik ++, sedangkan yang lumayan diberi nilai +.
Motilitas. Penilaian motilitas diamati dengan menggunakan
mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Gerakan individu ini dinilai
dengan persentase yaitu dengan cara melihat spermatozoa yang
bergerak progresif dan gesit.
Jumlah Spermatozoa hidup. Penghitungan persentase hidup
spermatozoa dapat dilakukan melalui pewarnaan diferensial. Zat warna
yang digunakan adalah eosin. Zat warna eosin akan mewarnai
spermatozoa yang mati menjadi merah atau merah muda sedangkan
spermatozoa yang hidup tidak berwarna.
Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan alat bantu
SAS ver 6.12. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan pakan dan
genotip domba digunakan uji beda nyata Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik spermatozoa dari berbagai genotip domba unggul
yang ada di Balitnak yang mendapat perlakuan pakan bypass protein
dapat diidentifikasi dengan cara mengevaluasi semen domba tersebut.
Pelaksanaannya dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis yang

338
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa
pemberian jenis pakan yang berbeda memberikan hasil rataan volume
semen yang tidak berbeda nyata.
Tabel 1. Pengaruh pemberian pakan terhadap kualitas semen
Jenis Pakan
Peubah
A B
Volume (ml) 0,84 + 0,28a 0,92 + 0,32a
Warna krem krem
Bau khas khas
Konsistensi encer encer
Derajat keasaman (pH) 7 7
Gerakan massa +++ +++
Motilitas (%) 78,68 + 13,14a 76,50 + 17,77a
a
Spermatozoa hidup (%) 78,26 + 9,43 74,86 + 15,44a
Ket: huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
(P>0,05)

Untuk warna dan konsistensi semen dengan pemberian pakan


yang berbeda ternyata memberikan hasil yang sama yaitu warna krem
dengan konsistensi encer. Warna krem semen hasil penampungan
memperlihatkan bahwa viscositas semen yang baik. Hal ini menunjukkan
bahwa semen yang diperoleh pada penelitian ini dalam keadaan normal,
hanya konsentrasi spermatozoa yang ada di dalam semen rendah bila
dilihat dari konsistensinya yang encer dan ini menunjukkan bahwa massa
spermatozoanya kurang padat, karena menurut Toelihere (1993) warna
dan konsistensi semen dapat dijadikan indikator konsentrasi spermatozoa
dan kelainan pada semen.
Derajat keasaman semen domba yang diberi pakan berbeda
adalah sekitar 7, dengan pH tersebut menunjukkan bahwa semen
tersebut derajat keasamannya netral. Gerakan massa dari semen yang
diberi pakan berbeda memberikan hasil kualitas semen yang sangat baik
yang ditandai dengan +++, ini terlihat dari gerakan massa dari
spermatozoa tersebut yang mempunyai kecenderungan untuk bergerak
bersama-sama ke satu arah membentuk gelombang yang tebal dan

339
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

bergerak cepat. Walaupun ternak diberi pakan yang berbeda, motilitas


dan spermatozoa yang hidup memberikan hasil yang sama (P>0,05).
Hasil evaluasi kualitas semen segar secara makroskopis dari ke lima
genotip domba menunjukkan bahwa rataan volume per ejakulat semen
yang diperiksa adalah 0,88 ± 0,30 ml, dengan kisaran 0,2 – 1,2
ml/ejakulasi. Hasil ini sebanding dengan hasil yang diperoleh oleh Herdis
(2005) pada domba Garut sebesar 0,82 ± 0,11 ml, Adiati et al., (2001).
Tabel 2. Pengaruh genotip domba terhadap kualitas semen
Genotip domba
Peubah
BC GL KG KS SC
Volume (ml) 0,86bc 0,67c 1,08a 1,03ab 0,77c
Warna krem krem krem krem krem
Bau khas khas khas khas khas
Konsistensi encer encer encer encer encer
Derajat keasaman (pH) 7 7 7 7 7
Gerakan massa +++ +++ +++ +++ +++
Motilitas (%) 79,25a 72,00a 78,75a 79,06a 77,50a
a b a
Spermatozoa hidup (%) 78,00 71,30 83,75 76,13ab 75,64ab
b

Ket: huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata
(P<0,05)

pada genotip domba BC, HG dan Komposit yang menghasilkan volume


semen sekitar 0,4 – 1,7/ejakulasi dan Hafez & Hafez (2000) menyatakan
bahwa volume per ejakulat pada domba adalah antara 0,20 sampai
dengan 1,20 ml. Volume tersebut lebih rendah dari hasil Bearden et al.,
(2004) adalah sebanyak 1,00 ml.
Pada Tabel 2. dapat dilihat bahwa volume semen domba
Komposit Garut (KG) nyata lebih tinggi dibanding genotip domba yang
lainnya (P<0,05), akan tetapi tidak berbeda nyata dengan genotip domba
Komposit Sumatera. Sedangkan warna, bau, konsistensi, derajat
keasaman (pH) dan gerakan massa dari ke lima genotip domba
memberikan hasil yang sama.
Dari hasil analisa statistik motilitas dari ke lima genotip domba
tidak berbeda nyata dengan rataan 77,62%. Hasil ini normal karena

340
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
menurut Hafez (2000) kisaran normal motilitas adalah 60-80%. Untuk
hasil analisa spermatozoa yang hidup diperoleh bahwa genotip domba
KG nyata lebih tinggi (P<0,05) dibanding genotip domba GL, tetapi sama
dengan genotip domba BC, KS dan SC.
Hasil pengujian interaksi perlakuan pakan dengan genotip domba
pada kualitas semen baik secara makroskopis dan mikroskopis
menunjukkan bahwa interaksi antara pakan yang diberikan dengan
genotip domba negatif, kecuali pada volume semen per ejakulat yang
positif (Tabel 3.), artinya banyak tidaknya volume ejakulat yang dihasilkan
pada genotip domba tertentu tergantung dari pakan yang diberikan.

Tabel 3. Pengaruh interaksi pakan dan genotip domba terhadap volume


semen.
Genotip domba
Pakan
BC GL KG KS SC
A 0,70b 0,83bcde 1,10f 0,95def 0,74bc
B 1,01f 0,43a 1,00ef 1,10f 0,82bcd
Ket: huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata (P<0,05)

KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa interaksi pemberian
pakan dengan genotip domba tidak berpengaruh terhadap gerakan
individu dan spermatozoa yang hidup, namun berpengaruh nyata (P<0,05)
pada volume ejakulat. Pemberian pakan A memberikan hasil volume
semen yang banyak pada genotip domba KG dan pakan B memberikan
hasil yang banyak volume semen pada genotip domba KS. Rataan
volume semen dari kelima genotip domba 0,88 + 0,30 ml/ejakulat dengan
kisaran 0,2 - 1,2 ml/ejakulat.

341
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

DAFTAR PUSTAKA
Adiati U, Subandriyo, Tiesnamurti B dan Aminah S. 2001. Karakteristik semen
segar tiga genotipe domba persilanngan. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Hal: 113-117.
Bearden HJ, Fuquay JW dan Willard ST. 2004. Applied animal reproduction 6th
Edition. New Jersey : Pearson Prentice Hall.
Hafez ESE. 1987. Reproduction in farm animals. 7th ed. Philadelphia : Lippicott
Williams & Wilkins.
Hafez ESE dan Hafez B. 2000. Reproduction in farm animals. 7th ed.
Philadelphia : Lippicott Williams & Wilkins.
Herdis. 2005. Optimalisasi jenis pengencer dan dosis gliserol pada proses
pembekuan semen domba Garut (Ovis aries). Di dalam : Optimalisasi
Inseminasi Buatan melalui Aplikasi Teknologi Laserpunktur pada Domba
Garut (Ovis aries). Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Toelihere MR. 1993. Fisiologi reproduksi pada ternak. Angkasa. Bandung.

342
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
PENENTUAN KEBUNTINGAN DOMBA LOKAL
SUMATERA DENGAN METODA ULTRASONOGRAFI

Umi Adiati1) dan Eko Handiwirawan2)


1)
Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor
2)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Jl. Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor
e-mail : umiadiati@yahoo.co.id

ABSTRAK
Pemeriksaan kebuntingan merupakan bagian dari manajemen reproduksi yang
dapat meningkatkan efisiensi reproduksi. Salah satu metode pemeriksaan
kebuntingan yang murah, cepat dan mudah dan biasa dilakukan dalam
manajemen ternak domba adalah metoda Ultrasonografi (USG). Tujuan
penelitian ini adalah melakukan penentuan kebuntingan pada domba dengan
metode USG. Penelitian dilakukan di kandang percobaan Balai Penelitian
Ternak Bogor, menggunakan 87 ekor domba lokal Sumatera betina yang
diperoleh dari lapang (diduga bunting). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sensitivitas pemeriksaan kebuntingan cukup tinggi (84%) namun mempunyai
spesifitas yang rendah (10 %) dan nilai prediksi positif dan negatif relatif rendah
(41% dan 45%). Uji Chi square yang membandingkan hasil pemeriksaan
kebuntingan dengan metode USG dan hasil nyata dari catatan kelahiran
menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,01). Hasil pemeriksaan kebuntingan
tidak berhubungan erat dengan umur kebuntingan domba pada saat diperiksa
(P>0,05) dan tipe kelahiran anak (P>0,05). Dapat disimpulkan bahwa ada
beberapa penyebab pemeriksaan kebuntingan dengan metode USG dalam
penelitian ini memiliki tingkat akurasi yang relatif rendah meskipun mempunyai
sensitivitas yang relatif tinggi. Hasil pemeriksaan kebuntingan tidak dipengaruhi
oleh umur kebuntingan dan tipe kelahiran. Meskipun demikian penentuan
kebuntingan pada umur kebuntingan muda (<3 bulan) mempunyai resiko
kesalahan hasil penentuan kebuntingan dan jumlah anak tunggal mempunyai
resiko kesalahan deteksi lebih rendah dibandingkan anak kembar.

Kata Kunci : domba, penentuan kebuntingan, ultrasonografi

PENDAHULUAN
Pemeriksaan kebuntingan merupakan bagian penting di dalam
manajemen reproduksi pada domba, khususnya pada pemeliharaan
intensif. Pada pemeliharaan ekstensif, pemeriksaan kebuntingan relatif

343
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

bukan aspek yang diperlukan karena akan terjadi kontak yang terus
menerus antara jantan dan betina sehingga perkawinan akan mudah
terjadi. Pada manajemen intensif, dimana perkawinan diatur secara
terjadwal maka pemeriksaan kebuntingan perlu dilakukan untuk
meningkatkan efisiensi reproduksi. Deteksi kebuntingan dini yang
sederhana, akurat, cepat, murah, praktis dan aman bagi operator dan
hewan akan dapat memperpendek jarak kelahiran, sehingga
pemeriksaan kebuntingan mempunyai peran ekonomis dalam
usahaternak domba.
Metode pemeriksaan kebuntingan paling praktis yang dapat
dilakukan pada domba telah dibahas oleh Karen et al. (2001) yaitu
radiografi, rectal abdominal palpation, hormonal assays, pregnancy
protein assays dan ultrasonografi. Karen et al. (2001) menyimpulkan
bahwa metode radiografi dan transabdominal B-mode ultrasonografi
adalah metode yang akurat dalam mendiagnosis kebuntingan dan jumlah
foetus pada domba, tetapi teknik kedua lebih murah daripada yang
pertama dan memiliki kelebihan dalam hal keamanan dan mampu
mendeteksi kehidupan foetus. Waktu optimum untuk menggunakan
transabdominal atau ultrasonografi transrectal pada domba dalam
rentang 25-100 hari kebuntingan.
Menurut Abdelghafar et al. (2010), real-time USG merupakan alat
yang efisien, dapat dipercaya dan tidak memakan banyak waktu dalam
mendiagnosis kebuntingan. Akurasi dari pemeriksaan kebuntingan
menggunakan USG adalah 100% dalam kasus positif dan negatif, selain
itu dapat digunakan untuk menentukan jumlah fetus (Abdelghafar et al.,
2007). Persentase dan akurasi penggunaan USG dalam pemeriksaan
kebuntingan pada domba adalah 95,5% dan 100% pada kasus positif
(Amer, 2008).
Metode ultrasonografi disamping telah digunakan dalam
mendiagnosis kebuntingan pada domba (Anwar et al., 2008), juga
dimanfaatkan dalam hal lain seperti mendiagnosis kematian foetal dan

344
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
embryo pada domba (Yotov, 2012), menentukan jumlah foetus pada
domba (Yotov, 2007) dan kambing (Abdelghafar et al., 2007), serta
digunakan dalam menduga umur foetus/umur kebuntingan pada domba
(Godfrey et al. 2010) dan kambing (Nwaogu et al., 2010; Airina et al.,
2011).
Dalam penelitian ini digunakan metode Ultrassonografi karena
kepraktisannya dalam mendeteksi induk domba Lokal Sumatera dari
lapang yang diduga dalam keadaan bunting. Domba Lokal Sumatera
merupakan salah satu rumpun domba lokal di Indonesia yang menurut
Iniguez et al. (1991) dapat beranak 1,82 kali dalam satu tahun dan dapat
memproduksi anak sapihan 2,2 ekor per tahun dengan bobot sapih 21 kg
per 22 kg induk.
Tujuan penelitian ini adalah melakukan penentuan kebuntingan
pada domba dengan metode USG.

MATERI DAN METODE


Penelitian dilakukan di Kandang Percobaan Domba Balai
Penelitian Ternak, Bogor. Domba yang diamati adalah induk domba
rumpun lokal Sumatera sebanyak 87 ekor yang baru dibeli dan
didatangkan dari lapang (Sumatera Utara) sehingga diduga dalam
keadaan bunting.
Pemeriksaan kebuntingan dilakukan dengan metode
Ultrasonografi menggunakan alat bantu USG portable merk Agroscan.
Prosedur dalam pemeriksaan kebuntingan dilakukan dengan
menempelkan alat scan pada bagian perut domba yang sebelumnya
dibersihkan terlebih dahulu dari wool dan kotoran yang menempel. Salah
satu kaki bagian belakang diangkat sedemikian rupa sehingga posisi
perut bagian belakang terlihat. Alat detektor yang berhubungan dengan
USG terlebih dahulu diberi jelly atau aquasonic dan ditempelkan pada
perut bagian bawah yang terdekat dengan posisi foetus. Teknik
penekanan detektor ke permukaan perut dilakukan agak kuat, dan

345
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

digerakkan dan digeser untuk mencari posisi yang paling tepat agar
termonitor keberadaan janin dalam kandungan. Pada umur kebuntingan
tua umumnya akan tampak bagian kepala atau tulang belakang,
sedangkan pada umur kebuntingan yang muda hanya termonitor
gugusan kotiledon-kotiledon dalam suatu rongga. Variabel yang diamati
adalah status kebuntingan, umur kebuntingan pada saat pengamatan dan
tipe kelahiran anak yang diketahui dari catatan kelahiran.
Analisis Chi square dengan menggunakan paket program SAS ver.
9 (SAS, 2002) dilakukan untuk melihat keakuratan pemeriksaan
kebuntingan menggunakan metode USG berdasarkan umur kebuntingan
dan tipe kelahiran. Kehandalan metode diagnostik dan keakuratan
diagnosis dievaluasi dengan menggunakan tabel tes diagnostik
kebuntingan 2 x 2 yang data semua sel harus diperoleh (Smith, 1991)
seperti terlihat pada Tabel 1. Dua parameter sederhana digunakan untuk
menggambarkan akurasi metode diagnostic (Hanzen et al., 2000).
1. Sensitivitas (Se) didefinisikan sebagai kemungkinan hasil tes positif
pada domba betina yang diketahui beranak, dihitung dengan rumus :
Se = 100 x a / (a + d).
2. Spesifitas/kekhususan (Sp) didefinisikan sebagai kemungkinan hasil
tes negatif pada domba betina yang diketahui tidak bunting yang
dihitung dengan persamaan : Sp = 100 x c / (c + b).
3. Selain parameter tersebut juga dihitung nilai prediktif dari tes
diagnostik yaitu probabilitas bahwa diagnosis mencerminkan status
kebuntingan benar. Nilai prediksi positif (+ PV) adalah peluang
adanya kebuntingan pada hewan betina yang didiagnosis bunting
yaitu 100 x a / (a + b). Nilai prediktif negatif (- PV) adalah peluang
tidak adanya kebuntingan pada hewan betina yang didiagnosis tidak
bunting yaitu 100 x c / (c + d).

346
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Tabel 1. Hasil tes pemeriksaan kebuntingan
Diagnosa Positif Negatif
Positif A (benar positif) B (salah positif)
Negatif C (salah negatif) D (benar negatif)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari 87 ekor ternak domba lokal Sumatera yang diperiksa
kebuntingannya dengan alat USG yang terdeteksi bunting sebanyak 77
ekor, sedangkan kenyataan bunting sesungguhnya berdasarkan dari
catatan kelahiran hanya 37 ekor yang bunting (Tabel 2). Hasil analisa
data perbandingan antara pemeriksaan kebuntingan dengan metode
USG dan catatan kelahiran menunjukkan bahwa pemeriksaan
kebuntingan dengan metode USG yang diperoleh dalam pengamatan ini
kurang akurat (P<0,01). Kekurangakuratan hasil pengamatan ini
disebabkan pergerakan ternak pada saat diperiksa yang cukup
mengganggu pengamatan gambar foetus dimonitor yang mengakibatkan
kesalahan dalam penentuan keberadaan foetus.
Tabel 2. Keakuratan pemeriksaan kebuntingan dengan metode USG
Jumlah domba hasil pemeriksaan USG
Hasil
USG Catatan Kelahiran
Bunting 77 37
Tidak bunting 10 50
Total 87 87

Hasil uji sederhana keakuratan pemeriksaan kebuntingan


ditunjukkan pada Tabel 3. Metode USG yang digunakan untuk
pemeriksaan kebuntingan pada pengamatan ini memberikan nilai
Sensitivitas yang cukup tinggi yaitu sebesar 84%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa alat yang digunakan dapat dengan cukup baik
membedakan antara domba betina yang bunting dan tidak bunting atau
mempunyai kepekaan yang tinggi, lebih rendah dari Sensitivitas yang
dilaporkan pemeriksaan kebuntingan pada ternak Kambing yaitu sebesar
76% (perkawinan alam) dan 56% (IB) (Wardani et al., 2013). Spesifitas

347
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

merupakan kebalikan dari sensitivitas, yang dalam pengamatan ini


memberikan nilai spesifitas yang tergolong rendah yaitu sebesar 10%.
Nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan diagnosis kebuntingan yang
dilaporkan pada Kambing yaitu sebesar 73% (perkawinan alam) dan 100
% (IB) (Wardani et al., 2013). Rendahnya nilai spesifitas menunjukkan
bahwa diagnosis domba yang benar-benar tidak bunting mengalami
banyak kesalahan.

Tabel 3. Keakuratan hasil diagnosis kebuntingan dengan metode


ultrasonografi
Jumlah
Domba A B C D Sensitivitas Spesifitas PRED + PRED -
87 31 45 5 6 84 10 41 45

Nilai Prediktif Positif dan Prediktif Negatif tidak jauh berbeda yaitu
di bawah 50% (41% dan 45%). Nilai ini menunjukkan bahwa peluang
adanya kebuntingan pada hewan betina yang didiagnosis bunting dan
peluang tidak adanya kebuntingan pada hewan betina yang didiagnosis
tidak bunting relative rendah.
Untuk melihat hubungan antara umur kebuntingan dengan hasil
pemeriksaan kebuntingan maka sebanyak 37 ekor domba betina sampel
yang tercatat beranak dikelompokkan ke dalam 4 kelompok umur
kebuntingan. Umur kebuntingan pada saat pengamatan diperoleh dari
data tanggal beranak yang dikurangi dengan tanggal pada saat
pemeriksaan. Tabel 4 menunjukkan hasil diagnosis kebuntingan dengan
metode USG berdasarkan umur kebuntingan.
Hasil analisa Chi square menunjukkan bahwa umur kebuntingan
pada saat pemeriksaan dengan metode USG tidak berhubungan dengan
hasil yang diperoleh. Hal tersebut menyebabkan keberhasilan
pemeriksaan kebuntingan pada umur kebuntingan kapan saja tidak
berbeda nyata.

348
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Tabel 4. Hubungan antara umur kebuntingan dan ketepatan penentuan
hasil kebuntingan dengan metode USG
Hasil Umur kebuntingan (bulan) Jumlah Keterangan
<2 2-3 3-4 4-5
Bunting 9 6 9 7 31
Tidak bunting 3 3 0 0 6
Total 12 9 9 7 37
% bunting dari 32,4 24,3 24,3 18,9 100 Nilai harapan
data lahir
% bunting data 24,3 16,2 24,3 18,9 Nilai
USG pengamatan

Hasil diagnosis USG menunjukkan bahwa pada umur


kebuntingan lebih tinggi, kesalahan diagnosis kebuntingan menurun.
Pada umur kebuntingan lebih dari 3 bulan tidak didapati kesalahan
diagnosa, betina yang didiagnosa bunting dengan USG keseluruhannya
beranak. Peluang kesalahan didapati pada umur kebuntingan di bawah 3
bulan, dimana terdapat betina yang didiagnosa tidak bunting dengan
metode USG namun ternyata beranak.
Hubungan antara tipe kelahiran dan ketepatan penentuan
kebuntingan dengan metode USG terlihat pada Tabel 5. Hasil analisa chi
square dari sebanyak 37 ekor induk yang tercatat beranak menunjukkan
bahwa jumlah anak yang dikandung tidak berhubungan dengan hasil
pemeriksaan kebuntingan dengan metoda USG. Kesalahan penentuan
kebuntingan pada tipe kelahiran kembar lebih tinggi (33%) (P>0,05)
dibandingkan pada kelahiran tunggal (13%). Hal tersebut diduga
berkaitan dengan ukuran foetus pada jumlah anak tunggal lebih besar
dibandingkan jumlah anak kembar sehingga lebih memudahkan didalam
mendeteksi foetus dan menetapkan status bunting. Dari hasil tersebut
menunjukkan bahwa ukuran foetus lebih menentukan dalam ketepatan
penentuan status kebuntingan dibandingkan jumlah foetus yang
dikandung induk.

349
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Tabel 5. Hubungan antara tipe kelahiran dan ketepatan penentuan hasil


kebuntingan dengan metode USG
Hasil Tipe kelahiran Jumlah Keterangan
1 2
Bunting 27 4 31
Tidak bunting 4 2 6
Total 31 6 37
% bunting dari data 83,8 16,2 Nilai harapan
lahir
% bunting data USG 73,0 10,8 Nilai
pengamatan

KESIMPULAN DAN SARAN


Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan kebuntingan dengan
metode USG dalam penelitian ini memiliki tingkat akurasi yang relatif
rendah meskipun mempunyai sensitivitas yang relatif tinggi. Hasil
pemeriksaan kebuntingan tidak dipengaruhi oleh umur kebuntingan dan
tipe kelahiran. Meskipun demikian penentuan kebuntingan pada umur
kebuntingan muda (<3 bulan) mempunyai resiko kesalahan hasil
penentuan kebuntingan dan jumlah anak tunggal mempunyai resiko
kesalahan deteksi lebih rendah dibandingkan anak kembar.

DAFTAR PUSTAKA
Abdelghafar RM, Bakhied AO dan Ahmed BH. 2007. B-mode real-time
ultrasonography for pregnancy diagnosis and fetal number in saanen
goats. Journal of Animal and Veterinary Advances 6 (5) 702-705.
Abdelghafar RM, Ibrahim MT, Abdelrahim SM dan Ahmed BH. 2010. Sensitivity
and specificity of real-time ultrasonography for pregnancy diagnosis and
litter size determination in saanen goats (Capra hircus). College of
Veterinary of Science and Technology.
http://sustech.edu/staff_publications/2012012509070852.pdf.
Airina RKRI, Nizam ARM, Abdullah RM and Khajijah WEW. 2011. Using fetal-
heart size measured from ultrasound scanner images to estimate age of
gestation in goat. Journal of Animal and Veterinary Advances 10(19) :
2528-2540.
Amer A. 2008. Determination of first pregnancy and foetal measuremants in
Egyptian Baladi goats (Capra hircus). Veterinaria Italiana 44(2): 429-437.

350
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Anwar M, Riaz A, Ullah N and Rafiq M. 2008. Use of ultrasonography for
pregnancy diagnosis in Balkhi sheep. Pakistan Veterinary Journal 28(3):
144-146.
Godfrey RW, Larson L, Weis AJ and Willard ST. 2010. Evaluation of
ultrasonography to measure fetal size and heart rate as predictors of
fetal age in hair sheep. Sheep & Goat Research Journal 25: 60-65.
Hanzen Ch, Pieterse M, Szenci O and Drost M. 2000. Relative accuracy of the
identification of ovarian structures in the cow by ultrasonography and
palpation per rectum. The Veterinary Journal 159:161-170.
Iniguez L, Sanchez M and Ginting S. 1991. Productivity of Sumatran sheep in a
system integrated with rubber plantation. Small Ruminant Research 5:303-
317.
Karen A, Kovacs P, Beckers JF and Szenci O. 2001. Review article pregnancy
diagnosis in sheep: review of the most practical methods. Acta Vet. Brno
70: 115–126.
Nwaogu IC, Anya KO and Agada PC. 2010. Estimation of foetal age using
ultrasonic measurements of different foetal parameters in red Sokoto
goats (Capra hircus). Veterinarski Arhiv. 80 (2) : 225-233.
SAS. 2002. SAS/STAT User’s Guide Release 9.0 Edition. North Carolina : SAS
Institute Inc., Cary.
Smith R.D. 1991. Evaluation of the diagnostic tests. In: Veternary Clinical
Epidemiology. Aproblem-oriented approach. Butterworth Heinemann, pp.
29-43.
Wardani M, Suyadi dan Nuryadi. 2013. Uji akurasi kebuntingan pada kambing
menggunakan ultrasonography. Skripsi. Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya. Malang. http://fapet.ub.ac.id/wp-
content/uploads/2013/04/Uji-Akurasi-Kebuntingan-Pada-Kambing-
Menggunakan-Ultrasonography.pdf.
Yotov S. 2007. Determination of the number of fetuses in sheep by means of
blood progesterone assay and ultrasonography. Bulgarian Journal of
Veterinary Medicine 10 (3) : 185-193.
Yotov SA. 2012. Ultrasound diagnostics of late embryonic and foetal death in
three sheep breeds. Journal Vet. Adv. 2(3): 120-125.

351
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

KONSENTRASI SEMEN AYAM TOLAKI


BERDASARKAN BOBOT BADAN
Yunna, Achmad Selamet Aku, Takdir Saili

Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo, Kendari


E-mail: takdir69@yahoo.com

ABSTRAK
Ayam Tolaki merupakan ayam lokal asli yang dipelihara di Sulawesi Tenggara
yang perlu dilestarikan. Perbaikan mutu genetik ternak ayam dapat dilakukan
melalui penerapan teknologi reproduksi dengan memanfaatkan semen dari
pejantan yang berkualitas secara genetik. Namun demikian, informasi mengenai
kualitas semen ayam Tolaki masih sangat terbatas. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi kualitas semen ayam Tolaki berdasarkan bobot badan.
Penelitian dilaksanakan di Kandang Pembibitan Ternak Unggas, Laboratorium
Peternakan, Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Halu Oleo,
Kendari mulai Februari sampai dengan Maret 2011. Semen yang digunakan
adalah semen dari 8 ekor ayam jantan Tolaki dengan kisaran bobot badan
antara 1,7-2,1 kg. Parameter yang diamati adalah volume semen, warna,
konsistensi dan pH semen serta gerakan massa spermatozoa, persentase
motilitas dan konsentrasi spermatozoa. Hubungan antara konsentrasi
spermatozoa dan bobot badan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi
sederhana. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa karakteristik semen
ayam Tolaki sebagai berikut volume (0,11 ± 0,03 ml per ejakulasi), warna semen
(putih), konsistensi (kental), pH (7,52 ± 0,39, gerakan massa (+++), motilitas
(80,63% ± 5,56%), dan konsentrasi spermatozoa (2640,83 ± 685,67 juta per ml).
Sedangkan hasil analisis regresi menunjukkan bahwa hanya 0,6% peluang
konsentrasi spermatozoa ayam Tolaki ditentukan oleh bobot badan dengan
koefisien determinasi (R2 = 0,006). Kesimpulan penelitian ini adalah peningkatan
bobot badan tidak diikuti oleh peningkatan konsentrasi spermatozoa ayam Tolaki
yang dihasilkan.

Kata kunci : semen, spermatozoa, ayam Tolaki, bobot badan.

PENDAHULUAN
Ayam Tolaki merupakan plasma nutfah asli Sulawesi Tenggara
yang perlu dijaga kelestariannya. Penyebutan ayam Tolaki didasarkan
atas perkembangan, pembentukan dan penyebarannya di daerah
Konawe oleh masyarakat suku Tolaki. Saat ini, ayam Tolaki tidak hanya
dipelihara oleh suku Tolaki, namun juga oleh suku-suku lain di Sulawesi

352
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Tenggara seperti Jawa dan Bugis. Hal ini dikarenakan, ayam Tolaki
mempunyai banyak manfaat di antaranya dapat digunakan sebagai
sumber daging dan telur. Selain itu, ayam Tolaki juga digunakan sebagai
ayam sabungan karena memiliki sifat pantang menyerah dan berani mati
(Sarwono, 2005). Namun demikian, informasi mengenai karakteristik
ayam Tolaki belum banyak dilaporkan, terutama dalam bidang reproduksi
sehingga perlu diteliti.
Perbaikan mutu genetik ternak ayam dapat dilakukan dengan
menerapkan teknologi reproduksi dengan memanfaatkan potensi ayam
jantan yang berkualitas. Salah satu aspek reproduksi ternak terutama
pada ternak jantan adalah semen. Semen adalah sekresi alat reproduksi
yang mengandung gamet jantan (spermatozoa) yang dideposisikan ke
dalam vagina betina selama kopulasi.
Produksi dan kualitas semen dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain pakan, genetik dan bangsa ayam. Pakan memegang peranan
sangat penting dalam kelangsungan hidup seekor ternak, baik untuk
menjaga kondisi tubuh atau kebutuhan hidup pokok maupun untuk
keperluan reproduksi. Kualitas dan kuantitas pakan yang baik dan sesuai
dengan kebutuhan merupakan prasyarat untuk mencapai pertumbuhan
dan produktivitas ternak yang tinggi. Pakan yang baik akan
mempengaruhi pertumbuhan ternak yang dimanifestasikan dalam bentuk
berat badan. Oleh karena itu, faktor bobot badan berpotensi dijadikan
sebagai variabel dalam memprediksi aspek reproduksi seekor ternak.
Berdasarkan uraian tersebut dilakukan penelitian tentang hubungan
antara bobot badan dan konsentrasi semen ayam Tolaki.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Pembibitan Ternak
Unggas, Laboratorium Peternakan, Jurusan Peternakan, Fakultas
Peternakan, Universitas Halu Oleo, Kendari, selama 2 bulan.

353
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu timbangan digital
(GSC) kapasitas 30 kg dengan tingkat ketelitian 0,002 kg, tabung
penampungan semen, mikroskop cahaya, haemocytometer, spoit, dan
kertas indikator pH. Sedangkan bahan yang digunakan adalah semen
dari 8 ekor ayam jantan Tolaki dengan kisaran berat badan 1,7-2,1 kg.

Pelaksanaan Penelitian

a. Tahap Pemeliharaan
Penelitian ini dilakukan dengan 2 tahapan, yaitu tahap
pemeliharaan ayam percobaan dan analisis sampel. Tahap
pemeliharaan dilakukan di Kandang Unggas Jurusan Peternakan,
Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo yang bertujuan untuk
membiasakan ayam jantan Tolaki dengan kondisi lingkungan
kandang dan pakan yang akan diberikan selama penelitian. Pakan
yang diberikan selama penelitian ini terdiri atas jagung, dedak
halus dan tepung ikan dengan perbandingan 5:3:2.
b. Tahap Penyiapan dan Analisis Semen Ayam Tolaki
Penyiapan semen ayam diawali dengan menimbang berat
ayam. Selanjutnya, dilakukan pembersihan kotoran yang
menempel pada bagian kloaka dan sekitarnya. Ayam jantan diapit
di antara lengan dan badan, lalu dilakukan rangsangan dengan
cara mengurut berulang kali pada bagian punggung yaitu dari
bagian pangkal leher sampai pangkal ekor. Rangsangan tersebut
ditandai dengan merenggangnya bulu ekor ke atas dan pada saat
yang bersamaan dilakukan penekanan bagian bawah ekor.
Selanjutnya, alat kelamin ayam akan mengeluarkan semen
berwarna putih agak kental dan semen tersebut langsung
ditampung dengan menggunakan tabung penampung semen.

354
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Semen tersebut selanjutnya dievaluasi kualitasnya baik secara
makroskopis maupun secara mikroskopis.

Variabel yang Diamati dan Cara Pengukurannya


Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah kualitas semen
baik secara makroskopis maupun secara mikroskopis.
a. Evaluasi semen secara makroskopis terdiri atas:
1. Volume
Volume semen dapat langsung dihitung pada skala tabung
penampungan semen setelah penampungan semen dilakukan.
2. Warna Semen
Warna semen juga dapat dilihat langsung pada tabung
penampungan semen tersebut setelah penampungan semen
dilakukan.
3. Konsistensi (Kekentalan) Semen
Konsistensi semen diketahui dengan mengamati laju aliran semen
pada dinding tabung. Aliran semen yang cepat digolongkan ke
dalam konsistensi semen yang encer. Sedangkan aliran semen
yang lambat digolongkan ke dalam konsistensi semen yang kental.
4. Derajat Keasaman (pH) Semen
Derajat keasaman (pH) semen dapat diketahui dengan cara
meneteskan semen di atas kertas indikator pH berskala 1-14.
Perubahan warna pada kertas pH tersebut disesuaikan dengan
standar warna pada kertas indikator pH.
b. Evaluasi semen dan spermatozoa secara mikroskopis terdiri
atas:
1. Gerakan Massa
Gerakan massa spermatozoa dikategorikan dalam 3 golongan,
yaitu pengerakan massa spermatozoa menyerupai awan tebal
dan bergerak cepat (+++), pengerakan massa spermatozoa
menyerupai awan tebal dan bergerak agak lambat (++), dan
355
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

pengerakan massa spermatozoa menyerupai awan tipis dan


bergerak lambat (+) (Toelihere, 1985b).
2. Persentase Motilitas
Persentase motilitas spermatozoa ditentukan melalui pengamatan
spermatozoa di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran
lensa objektif 40 X pada enam lapang pandang. Penilaian
diberikan mulai nol persen (tidak ada spermatozoa yang bergerak
ke depan) sampai 100% (semua spermatozoa bergerak ke depan).
3. Konsentrasi Spermatozoa
Perhitungan konsentrasi spermatozoa dilakukan dengan
menggunakan alat haemocytometer dan estimasi jumlah
spermatozoa per mililiter ditentukan dengan rumus: KS = SH
x FM x P, (Saili, 1999).
Keterangan:
KS = Konsentrasi Spermatozoa
SH =Jumlah spermatozoa yang terhitung pada
haemocytometer
FM = Faktor Multiplikasi
P = Faktor Pengenceran

Analisis Data
Data tentang kualitas semen dan spermatozoa ayam Tolaki
dikumpulkan dan dibuat dalam bentuk rataan, selanjutnya dianalisis
secara deskriptif. sedangkan hubungan antara bobot badan dan
konsentrasi spermatozoa dianalisis dengan menggunakan analisis
regresi sederhana (Garpersz, 1991).

356
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Semen Segar Ayam Tolaki


Karakteristik semen segar ayam Tolaki yang diperoleh pada
penelitian ini, baik secara makroskopis (volume, warna semen,
konsistensi atau kekentalan semen dan derajat keasaman atau pH
semen) maupun mikroskopis (gerakan massa, motilitas, dan konsentrasi
spermatozoa) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik semen segar ayam tolaki
Variabel Nilai ± SD
Makroskopis:
 Volume (ml) 0,11± 0,03
 Warna putih susu
 Konsistensi atau kekentalan kental
 pH 7,52 ± 0,39
Mikroskopis:
 Gerakan massa +++
 Persentase motilitas (%) 80,63 ± 5,56
Konsentrasi (juta/ml) 2640,83 ± 685,67

Rataan volume semen ayam Tolaki yang diperoleh pada


penelitian ini adalah 0,11 ml/ejakulat. Hasil tersebut lebih rendah
dibandingkan dengan volume ejakulat semen ayam yang dilaporkan
Supriatna (2006) yaitu sekitar 0,2-0,5 ml/ejakulat. Sedangkan Sopiyana
et al. (2006) menyatakan bahwa volume semen ayam Buras berkisar
antara 0,2-0,4 ml/ejakulasi. Demikian halnya dengan hasil penelitian
yang dilaporkan oleh Iskandar (2004) bahwa produksi semen ayam
Kampung rata-rata mencapai 0,32 ml/ejakulat.
Pada umumnya semen ayam yang normal berwarna putih susu
atau putih keruh. Pada penelitian ini warna semen ayam Tolaki yang
dihasilkan oleh masing-masing ayam adalah sama yaitu berwarna putih
susu. Hal ini sesuai dengan laporan Sopiyana et al. (2006) bahwa warna
semen ayam Kampung adalah putih susu atau putih keruh. Apabila
terjadi gangguan pada salah satu saluran reproduksi ayam jantan akan

357
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

menyebabkan perubahan warna semen ayam yang dihasilkan.


Perubahan tersebut dapat terjadi karena adanya radang dan luka pada
saluran reproduksi ayam, sehingga menyebabkan warna semen berubah
menjadi abu-abu akibat bercampur dengan nanah dan berwarna merah
karena bercampur dengan darah.
Rataan konsistensi semen ayam Tolaki yang diperoleh pada
penelitian ini adalah kental. Hasil ini sama dengan yang dilaporan
Sopiyana et al. (2006) bahwa konsistensi semen ayam kampung adalah
kental. Demikian halnya dengan hasil yang dilaporkan oleh Madi (2008)
bahwa rataan konsistensi ayam Kampung adalah kental.
Derajat keasaman semen ayam Tolaki yang diperoleh pada
penelitian ini adalah 7,5. Hasil ini menunjukkan bahwa semen berkualitas
baik karena memiliki kisaran pH yang netral dan sesuai dengan hasil
yang diperoleh Abdillah tahun 1996 (Sopiyana et al., 2006) bahwa
semen ayam lokal memiliki pH 7-7,5.
Derajat keasaman (pH) semen dipengaruhi adanya proses
metabolisme spermatozoa dalam keadaan anaerobik. Hasil akhir dari
proses metabolisme spermatozoa tersebut berupa asam laktat. Semakin
tinggi asam laktat yang dihasilkan akan menyebabkan penimbunan yang
pada akhirnya dapat menyebabkan meningkatkan derajat keasaman atau
menurunkan pH larutan tersebut. Derajat keasaman semen sangat
berpengaruh terhadap daya hidup spermatozoa. Semakin rendah nilai
pH maka spermatozoa yang hidup akan semakin rendah disebabkan oleh
produksi asam laktat dan proses metabolisme spermatozoa.
Spermatozoa dapat bertahan pada pH terendah dengan kisaran 6,8
(Johari et al., 2009).
Gerakan massa spermatozoa adalah kecenderungan
spermatozoa untuk bergerak bersama-sama ke satu arah sehingga
membentuk gelombang yang tebal dan tipis, bergerak cepat atau lambat
tergantung dari konsentrasi spermatozoa yang hidup di dalamnya.
Rataan gerakan massa spermatozoa ayam Tolaki yang diperoleh pada

358
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
penelitian ini adalah +++ dengan gerakan spermatozoa progresif dan
membentuk gelombang massa yang tebal dan bergerak baik (Toelihere,
1985b). Hal ini sama dengan percobaan Madi (2008) bahwa gerakan
massa spermatozoa ayam Kampung adalah +++.
Motilitas spermatozoa adalah salah satu kriteria penentu kualitas
semen yang dilihat dari banyaknya spermatozoa yang bergerak motil
progresif dibandingkan dengan seluruh spermatozoa yang ada dalam
satu lapang pandang pada mikroskop. Spermatozoa yang normal akan
bergerak progresif ke depan. Pada penelitian ini diperoleh rataan
persentase motilitas spermatozoa sebesar 80,63%. Hasil tersebut lebih
rendah dibandingkan dengan persentase motilitas ayam Kampung yang
dilaporkan Sopiyana et al. (2006) yaitu 81,13%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi motilitas spermatozoa adalah umur spermatozoa,
maturasi spermatozoa, penyimpanan energy (ATP), agen aktif, biofisik
dan fisiologik, cairan suspensi dan adanya rangsangan hambatan (Hafez,
2000).
Rataan konsentrasi spermatozoa yang dihasilkan pada penelitian
ini adalah 2640,83 juta per mililiter. Hasil ini lebih rendah dari laporan
Supriatna (2006) bahwa rataan konsentrasi spermatozoa ayam Kampung
berkisar 3-5 milyar sel per mililiter. Sedangkan, Toelihere (1985b)
melaporkan bahwa rataan konsentrasi spermatozoa ayam rata-rata 3,4
milyar per mililiter. Menurut Hafez (2000), rataan konsentrasi
spermatozoa ayam sebesar 3-7 milyar per mililiter.
Variasi hasil pengamatan konsentrasi spermatozoa pada ayam
dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain bangsa ayam, bobot
badan dan nutrisi yang dikonsumsi oleh ayam. Menurut Partodihardjo
(1987), konsentrasi spermatozoa tergantung pada umur, pakan, bangsa
ternak, bobot badan serta frekuensi penampungan.

359
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Hubungan antara Bobot Badan dengan Konsentrasi Spermatozoa


Ayam Tolaki
Penilaian konsentrasi spermatozoa atau jumlah spermatozoa per
mililiter semen sangat penting karena faktor inilah yang menggambarkan
sifat-sifat semen ayam dan dipakai sebagai salah satu kriteria penentuan
kualitas semen.
Tabel 2. Hubungan antara bobot badan dengan konsentrasi spermatozoa
ayam Tolaki
Variabel
Ayam Ke- Bobot Badan Konsentrasi Spermatozoa (106)
(Kg)
1 1,70 2890,00
2 1,71 2863,33
3 1,75 2283,33
4 1,77 1760,00
5 1,90 3530,00
6 1,92 2106,67
7 2,00 3593,33
8 2,10 2100,00

Berdasarkan data pada Tabel 2, peningkatan bobot badan ayam


Tolaki tidak diikuti oleh peningkatan konsentrasi spermatozoa yang
dihasilkan. Hal ini mungkin disebabkan karena konsentrasi spermatozoa
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain umur, pakan, bangsa ternak,
stress, serta frekuensi penampungan. Pola hubungan bobot badan dan
konsentrasi spermatozoakonsentrasi
ayamFitted Tolaki
Line Plotpada penelitian ini dapat dilihat
= 1995 + 348 berat badan (kg)

pada Gambar 3500


1. S
R-Sq
738,547
0,6%
R-Sq(adj) 0,0%

3000
k onsent ra si

2500

2000

1500
1,7 1,8 1,9 2,0 2,1
bera t ba da n (k g)

360
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P

Gambar 1. Hubungan antara bobot badan dengan konsentrasi spermatozoa


ayam Tolaki.

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa hanya 0,6% peluang


konsentrasi spermatozoa ditentukan oleh bobot badan. Hal ini
ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,006.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu; karakteristik semen ayam
Tolaki yang dihasilkan baik secara makroskopis maupun mikroskopis
masih dalam kisaran normal dan baik. Peningkatan bobot badan ayam
Tolaki tidak diikuti oleh peningkatan konsentrasi spermatozoa yang
dihasilkan.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pengawetan semen
ayam Tolaki dengan menggunakan berbagai jenis pengencer.

DAFTAR PUSTAKA
Garpersz V. 1991. Metode perancangan percobaan untuk ilmu-ilmu pertanian,
teknik dan biologi. Armico. Bandung.
Hafez ESE. 2000. Reproduction in farm animals. 7th Ed. Lea and Febiger.
Philadelphia.
Iskandar S. 2004. Fertilisasi yang terjadi pada telur dan IB pada ayam. Balai
Penelitian Ternak. Bogor.
Johari, Ondho S, Wuwuh YS, Henry S dan Ratnaningrum YB. 2009.
Karakteristik dan kualitas semen berbagai galur ayam Kedu
(Characteristic and Cemen Quality at Various Lines of Kedu Chicken).
Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Semarang.
Madi F. 2008. Perubahan kualitas semen cair ayam kampung (Gallus gallus)
selama penyimpanan pada suhu 3-50C. Skripsi Jurusan Peternakan,
Fakultas Pertanian. Universitas Halu Oleo. Kendari.
Partodihardjo S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan I. Mutiara. Jakarta.
Saili T. 1999. Efektivitas penggunaan albumen sebagai medium separasi dalam
upaya mengubah rasio alamiah spermatozoa pembawa kromosom X dan
Y pada sapi. Tesis, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Sarwono B. 2005. Ayam Aduan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sopiyana S, Iskandar S, Susanti T dan Yogaswara D. 2006. Pengaruh
krioprotektan Dma, Dmf dan glycerol pada proses Pembekuan Semen
Ayam Kampung (Effect of Dma, Dmf, and Glycerol Cryoprotectantpon

361
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

freezing of native chicken semen). Tesis, Fakultas MIPA. Universitas


Pakuan. Bogor.
Supriatna I. 2006. Inseminasi buatan pada unggas. Makmur. Bogor.
Toelihere MR. 1985a. Fisiologi reproduksi pada ternak. Angkasa. Bandung
Toelihere MR. 1985a. Inseminasi buatan pada ternak. Angkasa. Bandung

362
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
PENGARUH SUPLEMENTASI MINYAK JAGUNG
TERHADAP DIAMETER FOLIKEL DAN PANJANG
PULPA MERAH ORGAN LIMPA AYAM BROILER
SEBELUM VAKSINASI TETELO
Ade Erma Suryani1), Thomas Valentinus Widiyatno2), Hana
Eliyani3) dan Soeharsono3)
1)
UPT. Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jl. Jogja – Wonosari Km 31, Gading, Playen, Gunungkidul,
D.I.Yogyakarta
Telp/Faks : 0274-392570/391168. e-mail : deyan02@gmail.com
2)
Departemen Patologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Airlangga, Kampus C Unair, Jl. Mulyorejo, Surabaya
3)
Departemen Anatomi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Airlangga, Kampus C Unair, Jl. Mulyorejo, Surabaya

ABSTRAK
Newcastle disease (ND), merupakan salah satu penyakit pada ayam yang
sebenarnya tidak terlalu berbahaya apabila vaksinasi dilakukan dengan benar.
Penyakit ND (tetelo) menjadi bahaya dan menyebabkan kerugian bila terdapat
kesalahan dalam teknik vaksinasi. Minyak jagung diketahui berpengaruh
terhadap aktivitas organ limfoid, yaitu produksi dan proliferasi sel yang ada di
dalamnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui perubahan ukuran diameter folikel
limpa dan panjang pulpa merah limpa pada ayam yang diberi suplementasi
minyak jagung sebelum vaksinasi ND pada umur empat hari dan tujuh hari.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial. Faktor
pertama adalah umur vaksinasi yaitu 4 hari (K) dan 7 hari (L). Faktor kedua
adalah pakan percobaan, yang terdiri dari pakan kontrol (I) dan pakan dengan
perlakuan pemberian suplementasi minyak jagung sebesar 0 % (II); 3,5% (III);
7% (IV) dan 10,5% (V) yang diberikan sebelum vaksinasi ND. Pemberian pakan
percobaan dilakukan selama tiga hari sebelum vaksinasi umur empat hari dan
selama enam hari sebelum vaksinasi umur tujuh hari. Dua minggu setelah
vaksinasi, hewan coba dibunuh dan diambil organ limpa untuk dibuat sediaan
histologi. Dilakukan pengukuran terhadap diameter folikel limpa dan panjang
pulpa merah limpa dengan menggunakan mikroskop perbesaran 400x yang
dilengkapi mikrometer. Data dianalisis statistik menggunakan ANOVA dengan
level signifikansi 0,05. Hasil penelitian menunjukkan diameter folikel limpa ayam
tidak dipengaruhi secara nyata (P>0,05) oleh pemberian pakan percobaan
dengan suplementasi minyak jagung tetapi justru dipengaruhi secara nyata
(P<0,05) oleh perbedaan umur vaksinasi, untuk panjang pulpa merah limpa
ayam dipengaruhi secara nyata (P<0,05) oleh pemberian pakan percobaan
dengan suplementasi minyak jagung. Faktor perbedaan umur vaksinasi tidak
mempengaruhi secara nyata (P>0,05) terhadap panjang pulpa merah limpa.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa suplementasi

363
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

minyak jagung 3,5 % dapat mencegah penurunan aktivitas proliferasi sel limfosit
dalam pulpa merah limpa akibat vaksinasi pada anak ayam.

Kata kunci : minyak jagung, folikel limpa, vaksinasi

PENDAHULUAN

Penyakit tetelo merupakan penyakit yang banyak menyerang ayam


ras, ayam buras, bebek, itik, kalkun, burung merpati, burung puyuh,
burung jambul, burung kancil, burung hias dan ayam kate. Penyakit ini
sebenarnya tidak berbahaya selama vaksinasi dilakukan dengan benar
dan teliti. Penyakit tetelo dapat menjadi bahaya dan menyebabkan
kerugian yang besar bila terjadi kesalahan dalam melakukan teknik
vaksinasi atau salah memilih strain vaksin (Rasyaf, 1992). Proses
vaksinasi yang merupakan suatu tindakan pencegahan bagi para
peternak terhadap kejadian wabah ND, ternyata memiliki beberapa
dampak negatif yang dinilai tidak menguntungkan bagi peternak. Dampak
negatif yang pertama adalah bila proses vaksinasi dilakukan pada umur
yang terlalu dini atau pada umur yang tidak tepat, sehingga kurang
memberi respons kekebalan yang sempurna dikarenakan organ
pertahanan tubuh pada anak ayam belum mencapai pertumbuhan yang
optimal. Dampak negatif yang kedua adalah proses vaksinasi dapat
mengakibatkan respons stress yang ditunjukan melalui terhambatnya
penampilan tubuh. Penampilan tubuh dalam produksi ternak berkaitan
dengan pertambahan berat badan, konsumsi dan efisiensi penggunaan
pakan (van Eck, et al., 1991; Chamblee et al., 1993). Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Eliyani et al. (1997), diketahui bahwa pemberian
suplementasi minyak jagung dengan konsentrasi 0 ; 3,5 ; 7 dan 10,5 %
terhadap anak ayam sebelum divaksinasi ND pada umur empat hari dan
tujuh hari dapat menimbulkan peningkatan titer antibodi dengan nyata.
Peningkatan titer antibodi pada ayam yang mendapatkan suplementasi
minyak jagung sebelum vaksinasi ND pada umur empat hari dan tujuh
hari, kemungkinan akan berpengaruh pula terhadap struktur histologi dari

364
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
organ-organ limfoid yang ada di dalam tubuh ayam. Salah satu organ
limfoid yang berperan tersebut adalah limpa. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui perubahan histologi organ limpa pada anak ayam yang
mendapatkan suplementasi minyak jagung sebelum vaksinasi ND, dalam
hal ini meliputi perubahan pada folikel limpa dan pulpa merah limpa.

MATERI DAN METODE


Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima
puluh ekor anak ayam umur satu hari yang belum mendapatkan vaksinasi
apapun dan berasal dari galur CP 707. Vaksin yang digunakan untuk
penelitian ini adalah vaksin aktif ND galur F, produksi Pusvetma
Surabaya, dengan antigen ND produksi Pusvetma berupa antigen kering
beku berasal dari cairan chorioallantoin TAB (Telur Ayam Bertunas) yang
ditulari virus ND. Pakan yang digunakan adalah pakan broiler CP 511
produksi PT. Charoen Pokphand, dengan kadar lemak 5 %, serat kasar 4
% dan protein 21 %, sedangkan minyak jagung untuk suplementasi
berasal dari merk dagang Golden Drop produksi Finna PT. Pangan
Lestari, yang mencantumkan kandungan PUFA sebesar 5,5 gr/10 cc.
Tiga dari empat macam ransum percobaan dibuat dengan
mencampurkan sampai merata pakan basal dengan minyak jagung
masing-masing sebesar 0 ; 3,5 ; 7 ; 10,5 % dari jumlah pakan.
Penelitian ini termasuk eksperimental murni menggunakan
rancangan acak lengkap pola faktorial. Faktor pertama adalah umur
pelaksanaan vaksinasi, yang terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok
pertama yang divaksin pada umur 4 hari (K) dan kelompok kedua yang
divaksin pada umur 7 hari (L). Faktor kedua adalah pakan percobaan,
yang terdiri dari pakan kontrol (I) dan pakan dengan perlakuan pemberian
suplementasi minyak jagung sebesar 0 % (II); 3,5% (III); 7% (IV) dan
10,5% (V) yang diberikan sebelum vaksinasi ND. Sebagai kontrol (K I
dan L I) ditentukan sebagai kelompok yang tidak diberi minyak jagung

365
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

dan tidak divaksinasi. Untuk lebih jelas, dapat dilihat pola percobaan
faktorial dengan RAL pada Tabel 1.

Tabel 1.Pola percobaan faktorial dengan RAL terhadap 50 unit


percobaan
Faktor Faktor Kedua : Ulangan
Pertama: Pakan 1 2 3 4 5
Umur Percobaan
Vaksinasi
I K I1 K I2 K I3 K I4 K I5
II K II 1 K II 2 K II 3 K II 4 K II 5
K (umur 4 hari) III K III 1 K III 2 K III 3 K III 4 K III 5
IV K IV 1 K IV 2 K IV 3 K IV 4 K IV 5
V K V1 K V2 K V3 K V4 K V5
I L I1 L I2 L I3 L I4 L I5
II L II 1 L II 2 L II 3 L II 4 L II 5
L (umur 7 hari) III L III 1 L III 2 L III 3 L III 4 L III 5
IV L IV 1 L IV 2 L IV 3 L IV 4 L IV 5
V L V1 L V2 L V3 L V4 K V5

Hewan coba dipelihara dalam kandang individu selama pemberian


perlakuan percobaan. Pemberian pakan percobaan dilakukan selama tiga
hari sebelum vaksinasi umur empat hari dan selama enam hari sebelum
vaksinasi umur tujuh hari. Dua minggu setelah vaksinasi, hewan coba
tersebut dibunuh untuk kemudian diambil organ limpanya dan dibuat
sediaan histologi limpa. Terhadap sedian limpa tersebut dilakukan
pengukuran diameter folikel limpa dan panjang pulpa merah limpa
dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer.
Pengamatan secara mikroskopis ditujukan pada ukuran diameter folikel
limpa dan panjang pulpa merah limpa pada suatu lapangan pandang
dengan perbesaran 400X (Lamella, 1971).
Data yang diperoleh meliputi ukuran diameter folikel limpa dan
panjang pulpa merah limpa dianalisis menggunakan Analisis Of Variance
(ANOVA) yang dilanjutkan dengan Uji Jarak Bergada Duncan (Duncan's
Multiple Range Test) dengan level signifikansi 0,05 (Gomez dan Gomez,
2007).

366
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
HASIL DAN PEMBAHASAN

Diameter Folikel Limpa


Hasil pengukuran diameter folikel limpa anak ayam broiler yang
mendapatkan suplementasi minyak jagung dalam pakan percobaan dan
umur vaksinasi empat hari dan tujuh hari ditampilkan pada Tabel.2.
Tabel 2. Diameter folikel limpa (mikrometer) oleh pengaruh suplementasi
minyak jagung dalam pakan percobaan dan umur vaksinasi
empat hari dan tujuh hari.
Pakan Umur vaksinasi
percobaan Empat hari (K) Tujuh hari (L)
I 80,52a ± 9,68 74,96b ± 11,67
II 87,36a ± 7,09 73,12b ± 9,22
III 70,48a ± 14,11 68,93b ± 9,40
IV 81,12a ± 16,45 67,40b ± 11,59
V 69,48a ± 10,10 63,76b ± 9,49
keterangan : Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0,05)

Berdasarkan data diameter folikel limpa yang terlihat pada Tabel 2,


dapat diketahui bahwa suplementasi minyak jagung sebesar 0 ; 3,5 ; 7
dan 10,5 % dalam pakan percobaan tidak mempengaruhi secara nyata
terhadap aktifitas sel limfosit, monosit dan sel plasma yang terdapat
didalam folikel limpa. Aktifitas yang terjadi pada folikel limpa meliputi
proliferasi limfosit B, seleksi limfosit B, produksi antibodi dan
pembentukan sel B memori. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
aktifitas proliferasi sel B yang dominan terdapat pada folikel limpa tidak
mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Fritsche dan Cassity (1992) yang menyebutkan bahwa
suplementasi beberapa sumber asam lemak ω-3 dapat menurunkan
aktifitas proliferasi sel limfosit yang terdapat di dalam limpa. Eliyani et al
(1999) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pemberian
suplementasi minyak jagung sebelum vaksinasi tidak berpengaruh
terhadap berat limpa. Tidak terjadinya penambahan berat limpa pada

367
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

penelitian Eliyani dkk (1999) menunjukkan adanya korelasi positif bahwa


suplementasi minyak jagung tidak mempengaruhi aktivitas sel-sel limfosit
didalam limpa. Al-Khalifa et al. (2012) menyebutkan bahwa suplementasi
asam lemak ω-3 yang diberikan pada ayam broiler tidak mempengaruhi
terhadap pertumbuhan organ limpa.
Minyak jagung memiliki kaitan langsung dengan metabolisme asam
lemak, karena terdapat kandungan asam linoleat sebesar ± 57 %,
sedangkan asam linolenat hanya 1% (Liberty Vegetable Oil Company.,
2004). Asam linoleat merupakan prazat bagi asam arakhidonat. Bila
terjadi reaksi keradangan atau pemberian vaksinasi, akan menyebabkan
kerusakan membran sel. Asam arakhidonat yang terikat pada membran
sel akan terlepas dan masuk kedalam sitosol. Selanjutnya asam
arakhidonat akan dipacu untuk menghasilkan sejumlah metabolit dengan
peran yang berbeda-beda. Metabolit yang dihasilkan tersebut salah
satunya ada yang bersifat immunosupresan atau menekan kerja sel
immun, sehingga pasokan asam linoleat yang diberikan melalui minyak
jagung akan menekan aktifitas proliferasi sel limfosit dan aktifitas
produksi antibodi yang terdapat di dalam folikel limpa (Fritsche et al.,
1991).
Asam arakhidonat merupakan substrat penting dalam reaksi
pertahanan tubuh, tetapi metabolisme asam arakhidonat dapat dihambat
oleh asam α linolenat. Hal ini karena enzim yang bekerja pada kedua
jenis asam tersebut sama, sehingga secara tidak langsung antara asam
linoleat dan α linolenat berkompetisi dalam mempengaruhi proses
fisiologis tubuh (Smith dan Borgeat, 1985). Lepasnya asam arakhidonat
dari ikatanya pada membran sel disertai dengan aktifnya enzim
siklooksigenase dan lipooksigenase. Akibat aktifnya enzim
siklooksigenase tersebut akan menyebabkan asam arakhidonat
menghasilkan senyawa eikosanoat yang berupa prostaglandin seri dua
(PGD2, PGE2, PGI2), tromboksan seri dua (TXA2) dan melalui aktifnya
enzim lipooksigenase akan menghasilkan leukotrin (LTX4). Metabolit-

368
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
metabolit yang dihasilkan ini bersifat proinflamasi, agregasi dan
immunosupresif (Reinhart, 1995). Efek immunosupresif yang terjadi pada
organ limpa menyebabkan terhambatnya proses proliferasi sel limfosit
pada folikel limpa.
Hasil yang terlihat pada faktor umur vaksinasi, menunjukkan
vaksinasi umur empat hari menghasilkan diameter folikel limpa lebih
besar dibandingkan vaksinasi umur tujuh hari. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena pada kelompok ayam yang divaksin umur tujuh hari
akumulasi kandungan asam linoleat yang diperoleh dari minyak jagung
sebelum vaksinasi lebih tinggi dibanding kelompok yang divaksin umur
empat hari. Tingginya kandungan akumulasi asam linoleat ini
menyebabkan efek immunosupresif dari metabolit asam arakhidonat lebih
besar, hal ini ditunjukkan dengan lebih kecilnya diameter folikel limpa.
Menurut Husband (1995), aktivitas PGE2 yang merupakan salah satu
metabolit asam arakhidonat menyebabkan immunosupsesif dan secara
anatomis diperlihatkan oleh atrofi organ limfoid.

Panjang Pulpa Merah Limpa


Hasil pengukuran panjang pulpa merah limpa ayam yang
mendapatkan perlakuan pakan percobaan sebelum vaksinasi ND pada
umur empat hari dan tujuh hari dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Panjang pulpa merah limpa (mikrometer) oleh pengaruh
suplementasi minyak jagung dalam pakan percobaan dan
umur vaksinasi empat hari dan tujuh hari.

Pakan percobaan Umur vaksinasi


Empat hari (K) Tujuh hari (L)
a
I 84,12 ± 12,36 83,20a ± 9,04
bc
II 52,84 ± 11,82 50,36bc ± 5,70
III 65,16b ± 15,06 51,53b ± 3,14
IV 42,64c ± 12,61 38,40c ± 7,84
V 37,76c ± 4,84 41,68c ± 11,75
Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0,05)

369
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Berdasarkan data hasil pengukuran panjang pulpa merah limpa


yang terlihat pada Tabel 3, dapat diketahui bahwa pakan percobaan
dengan suplementasi minyak jagung sejumlah 0 ; 3,5 ; 7 ; 10,5 %
sebelum vaksinasi pada umur empat hari dan tujuh hari, memberikan
pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap panjang pulpa merah
limpa. Pengaruh yang nyata terlihat dari tingginya rata-rata panjang pulpa
merah limpa pada pada kelompok dengan suplementasi minyak jagung
3,5% dibandingkan kelompok dengan suplementasi 7 dan 10,5%,
sedangkan untuk kelompok dengan suplementasi 0% rata-rata panjang
pulpa merah limpa sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan
suplementasi 7 dan 10,5%. Apabila dilihat dari keseluruhan hasil analisis
panjang pulpa merah dalam penelitian ini, rata-rata panjang pulpa merah
limpa pada kelompok yang mendapatkan suplementasi minyak jagung
lebih rendah dibandingkan rata-rata pada kelompok yang tidak
mendapatkan suplementasi minyak jagung dan tanpa vaksinasi.
Meningkatnya rata-rata panjang pulpa merah limpa pada ayam
yang mendapatkan suplementasi minyak jagung 3,5 % sebelum
divaksinasi umur empat hari maupun tujuh hari tersebut memilki korelasi
positif dengan hasil penelitian yang dilakukan Eliyani (1999) yang
menyebutkan bahwa suplementasi minyak jagung 3,5 % dalam pakan
mampu mencegah penurunan berat limpa yang mencolok akibat
vaksinasi pada anak ayam. Penurunan berat limpa pasca vaksinasi pada
anak ayam dapat disebabkan oleh rendahnya aktivitas proliferasi sel
limfosit didalam parenkim limpa, baik pada folikel limpa maupun pulpa
merah limpa (Al-Khalifa et al., 2012).
Suplementasi minyak jagung yang merupakan sumber asam lemak
ω-3 dan asam lemak ω-6 tersebut dapat mengurangi respons proliferasi
sel limfosit, termasuk sel limfosit yang terdapat di dalam pulpa merah
limpa (Fritsche et al., 1991), sehingga dengan suplementasi minyak
jagung sebesar 7 % dan 10,5 % menjadikan pasokan asam lemak ω-3
370
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
dan asam lemak ω-6 didalam tubuh terlalu tinggi yang kemudian akan
menghasilkan metabolit yang menurunkan aktivitas proliferasi sel limfosit.
Melalui penelitian yang dilakukan oleh Fritsche dan Johnston (1990),
menyebutkan bahwa pemberian minyak jagung sebesar 7 % ke dalam
pakan ayam dapat menurunkan aktivitas limfosit T cytotoxic yang
terdapat di dalam limpa. Tahap proliferasi limfosit B pada limpa terjadi di
dalam folikel limpa, sedangkan proliferasi limfosit T dan sel plasma terjadi
dalam pulpa merah limpa, sehingga efek penurunan aktivitas limfosit T
cytotoxic tersebut akan sangat berpengaruh terhadap proses proliferasi
yang terjadi di dalam pulpa merah limpa. Efek penurunan respon
proliferasi inilah yang akan mempengaruhi perubahan panjang pulpa
merah limpa dari kelompok yang mendapatkan pakan percobaan.
Aktivitas lain yang terdapat pada pulpa merah limpa adalah
berperan dalam proses penyaringan darah yang masuk kedalam limpa.
Penyaringan tersebut dilakukan terhadap partikel-partikel asing atau
antigen dan bentuk-bentuk abnormal dari sel darah serta sel darah yang
sudah tua. Fungsi ini dilakukan oleh makrofag yang melekat pada
jaringan retikuler dari pulpa merah (Rusmana et al., 2008). Peningkatan
rata-rata panjang pulpa merah limpa pada ayam yang mendapatkan
suplementasi minyak jagung 3,5 % sebelum divaksinasi umur empat hari
maupun tujuh hari dapat disebabkan adanya agen asing atau antigen dan
adanya bentuk abnormal dari sel darah di dalam pulpa merah limpa,
sedangkan pada kelompok dengan suplementasi minyak jagung sebesar
7 % dan 10,5 % terjadi penurunan rata-rata panjang pulpa merah limpa
karena efek penurunan respons proliferasi dari metabolit asam
arakhidonat yang lebih menonjol.
Pengaruh faktor umur vaksinasi terhadap panjang pulpa merah
limpa, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara
kelompok yang divaksin umur empat hari dengan kelompok yang divaksin
umur tujuh hari. Akan tetapi bila dilihat dari angka rata-ratanya, diketahui
bahwa vaksinasi pada umur tujuh hari menghasilkan panjang pulpa

371
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

merah limpa yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan yang


divaksinasi umur empat hari. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil
pada diameter folikel limpa. Panjang pulpa merah limpa yang sedikit lebih
tinggi pada ayam yang divaksinasi umur tujuh hari diikuti dengan lebih
kecilnya diameter folikel limpa, hal ini menunjukkan adanya penurunan
aktivitas proliferasi limfosit B pada folikel limpa.

KESIMPULAN

Diameter folikel limpa ayam tidak dipengaruhi oleh pemberian


pakan percobaan dengan suplementasi minyak jagung, sedangkan
panjang pulpa merah limpa ayam dipengaruhi secara signifikan oleh
pemberian pakan percobaan dengan suplementasi minyak jagung.
Suplementasi minyak jagung 3,5 % dapat mencegah penurunan aktivitas
proliferasi sel limfosit dalam pulpa merah limpa akibat vaksinasi pada
anak ayam.
UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan penulis kepada Prof. Dr.


Bambang Sektiari Lukiswanto, DEA, drh atas bimbingannya dalam
penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Khalifa H., Givens D. I., Rymer C., and Yaqoob P. 2012. Effect of fatty acid on
immune function in broiler chickens. Poultry Science 91 : 74-88.
Chamblee, T. N., J. R. Thompson and J. P. Thaxton. 1993. Effect of day old
vacctination on broiler performance. Poultry. Sciene & 1 (abstract) :
144.
Eliyani, H., Soeharsono., dan T. V. Widiyatno. 1997. Manfaat suplementasi
minyak jagung untuk meningkatkan kekebalan serta mengantisipasi
terhambatnya pertambahan berat badan akibat vaksinasi tetelo pada
anak ayam ras. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Surabaya.
Eliyani, H. 1999. Pengaruh vaksinasi terhadap penampilan tubuh dan berat
organ limfoid ayam pedaging yang disuplementasi minyak jagung.
Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Surabaya.
Fritsche, K. L., and P.V. Johnston. 1990. Effect of dietary omega-3 fatty acids on
cell-mediated cytotoxic activity. Nutrition Reseach. J. 10: 577-588

372
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Fritsche, K. L., N. A. Cassity and S. C. Huang,. 1991. Effect of dietary fat source
on antibody production and lymphocyte proliferation in chicken.
Poultry Sciene. J. 70(3): 611-617
Fritsche, K. L., N. A. Cassity and S. C. Huang,. 1992. Dietary n-3 fatty reduce
anty-dependent cell cytotoxicity and alter eicosanoid release by
chicken immune cells. Poultry Sciene. J. 71(10): 1646-57
Gomez, K.A. and A.A. Gomez. 2007. Statistical procedures for agricultural
research. 2nded. Translation: Sjamsudin, E. and Baharsjah, J.S. UI
Press. Jakarta.
Husband A. J. 1995. The Immune system and integrated homeostatis. immunol.
and cell. Bil. 73 : 377-382
Lamella, A. 1971. Introduction to medical laboratory method 1st ed. Medical
Department Herper and Row Publisher. New York. 228-247
Liberty Vegetable Oil Company. 2004. Corn oil. santa fe springs. Ca 90670 USA.
Inc. http://www.liberty@libertyvegetableoil.com
Rasyaf, M. Pengelolaan peternakan unggas pedaging. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta. 250-253.
Reinhart, G. A. 1995. New concept in nutritional management of dogs and cats.
fatty acids and dietary fiber. The IAMS Company. Veterinary Learning
System Co. Inc. Orlando-Florida.
Rusmana D, Wiranda G.P., Agus S dan Slamet B. 2008. Minyak ikan lemuru dan
suplementasi vitamin E dalam ransum ayam broiler sebagai
imunomodulator. Animal Productions Vol. 10 No.2 hlm 110-116
Smith, W. L. and P. Borgeat. 1985. The eicosaenoid as prostaglandin,
thromboxane, leukotrine and hydroxyeicosanoid-acid. Pp : 235 – 360.
In Biochemistry of Lipid and Membranes. D. E. Vance and J. E.
Vance (editor). The Benjamin Cumming Publishing Company. Inc.
California.
Van Eck, J. H. H., N. V. Wittenburg and D. Jasper. 1991. An ulster 2c – strain
derived Newcastle disease vaccine : Efficacy and excretion in
maternally immune chicken. Avian Pathol. 20 : 481-495.

373
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

KUMPULAN MAKALAH
GENETIKA DAN LAINNYA

374
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
EVALUASI PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN
HOLSTEIN BERDASARKAN PRODUKSI RIIL DAN
TERSTANDAR: STUDI KASUS KUD GIRI TANI,
CIPANAS, BOGOR
Anneke Anggraeni1), Tati Herawati1), Santi Ananda Asmarasari1)
dan Bess Tiesnamurti 2)
1)
Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
2)
Puslitbang Peternakan, Kav. E 56, Jl. Raya Pajajaran, Bogor.
Tilp. 0251-240753. Fax. 0251-240754
Email: ria.anneke@yahoo.co.id

ABSTRAK
Sapi perah dengan kemampuan produksi susu tinggi perlu dipertahankan untuk
terus berproduksi selama masa produktifnya. Penelitian ini bertujuan
mengevaluasi produksi susu berdasarkan produksi riil dan terstandar pada sapi
Friesian Holstein (FH) di peternak rakyat binaan KUD Giri Tani, Cipanas, Bogor.
Produksi susu harian dari 203 ekor induk didata setiap bulan selama lima bulan
laktasi. Sapi sampel tersebut dengan kondisi laktasi hampir sama, yaitu pada
awal bulan laktasi 1-3 dan periode laktasi 1-3. Produksi susu riil dihitung untuk
produksi susu harian per bulan dan produksi susu kumulatif 5 bulan terstandar
(PSKu 5 bl), dengan cara menjumlahkan hasil perkalian setiap produksi susu
harian terkoreksi bulan laktasi (1-5 bulan) terhadap jumlah hari per bulan (30 hr).
Produksi susu harian dari bulan 1-8 berurutan 13,6±3,9, 12,5±3,0, 12,5±3,4,
12,3±3,5, 11,6±4,3, 11,0±3,8, 10,6±3,3 dan 10,3±2,6 lt/hr. Sapi FH pada
peringkat 30% diatas rataan mencapai PSKu 5 bl > 2.076 ltr. Ada 26 ekor
(12,8%) dengan PSKu 5 bl antara 2.100-3.093 ltr yang diperkirakan potensial
menghasilkan sapi pengganti berkualitas.
Kata kunci: sapi FH, produksi susu, standarisasi, sapi bibit

PENDAHULUAN
Produksi susu sapi perah di dalam negeri baru memenuhi sekitar
30-35% dari konsumsi susu masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan
produksi susu segar domestik, diperlukan peningkatan populasi dan
produktivitas sapi perah. Sapi perah eksotik rumpun Friesian Holstein
(FH) sudah lama dikembangkan dan dibudidayakan baik pada kondisi
pemeliharaan intensif seperti di perusahaan sapi perah dan balai bibit
sapi perah, maupun kondisi pemeliharaan semi intensif di peternak
rakyat. Pada kondisi pemeliharaan di peternakan rakyat, sapi perah Bos
taurus ini mengalami penurunan produksi susu secara signifikan

375
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

dibandingkan terhadap pemeliharaan intensif ataupun di daerah asalnya


dengan kondisi iklim sedang (McDowell, 1994). Infererioritas terjadi
misalnya dari lambatnya pertumbuhan, tertundanya umur dan bobot
badan beranak pertama, memanjangnya selang beranak, serta
memendeknya lama hidup produktif (Anggraeni dan Iskandar, 2008).
Pola budidaya semi intensif oleh peternak dan cekaman lingkungan
panas tropis seperti di Indonesia, menjadi pembatas dalam menghasilkan
anak dan dara untuk dijadikan sebagai sapi pengganti bagi sapi-sapi
induk yang perlu diafkir karena sudah sudah tua ataupun alasan lainnya
seperti terjangkit penyakit dan kasus majir.
Evaluasi berbagai indeks produktivitas sapi induk diperlukan
untuk dijadikan sebagai indikator dalam kegiatan seleksi sapi perah
(Berry et al., 2003). Meskipun demikian, disebabkan tujuan utama dalam
budidaya sapi perah adalah untuk memelihara sapi laktasi yang bisa
menghasilkan produksi susu seoptimal mungkin, maka produksi susu
merupakan kriteria utama untuk dijadikan pertimbangan dalam
menseleksi sapi bibit.
Evaluasi kemampuan produksi susu individual betina laktasi pada
dasarnya adalah ditujukan untuk mengevaluasi kemampuan daya
produksi susu dan nilai pemuliaan produksi susu per ekor sapi. Variasi
produksi susu yang disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan, dengan
demikian perlu dieliminasi, salah satu cara adalah dengan melakukan
standarisasi produksi susu. Standarisasi produksi susu perlu
dipertimbangkan terutama untuk perbedaan lama laktasi dan umur
beranak atau periode laktasi (Schmidt et. al., 1988).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi produksi susu sapi
FH laktasi berdasarkan produksi susu riil dan terstandar untuk dapat
diidentifikasi potensinya dalam menghasilkan sapi pengganti berkualitas
pada kondisi di peternakan rakyat di dataran tinggi Cipanas, Jawa Barat.

376
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Ternak
Evaluasi produksi susu untuk mengidentifikasi sapi pengganti
berkualitas dilakukan pada daerah sentra produksi sapi perah dengan
prospek baik untuk terus dikembangkan sebagai sentra bibit sapi FH di
peternak rakyat binaan KUD Giri Tani, Cipanas, Bogor. KUD Giri Tani
sudah memiliki pasar susu yang baik, karena sebagian besar produksi
susu segar mereka diserap oleh PT Cimori. Sapi FH sebagai sampel
adalah sapi-sapi pada status awal laktasi dalam bulan laktasi ke 1-3 dan
periode laktasi ke 1-3. Seorang recorder dari KUD diminta mendata
produksi susu secara berotasi dalam satu bulan penuh yang dilaku kan
selama lima bulan laktasi, antara Juni-Oktober, 2010. Pendataan
produksi susu dilakukan dengan cara recorder datang pada pagi dan sore
hari untuk mengukur produksi susu sapi laktasi, yang dilakukan pada
sejumlah sapi induk sesuai kemampuan mencatat per hari. Pencatatan
ini dilakukan secara berotasi sampai satu bulan, kemudian kembali pada
peternak awal yang di data selama lima bulan pengamatan.
Recorder mencatat produksi susu harian sapi yang merupakan
penjumlahan produksi pagi dan sore hari. Pencatatan dilakukan hanya
satu hari (pagi dan sore) per induk per bulan selama lima bulan laktasi.
Produksi harian yang terdistribusi pada bulan laktasi 1-3 menghasilkan
data produksi susu harian riil yang tersebar dalam kisaran bulan laktasi 1-
8. Produksi susu harian kemudian distandarisasi kepada bulan laktasi 1-5,
dengan cara mengestimasi kurva produksi setiap individu sapi
menerapkan persamaan regresi bersesuaian (linier atau kuadratik) untuk
memperoleh faktor koreksi yang tepat. Produksi susu harian terstandar
tersebut tidak dikoreksi terhadap periode laktasi disebabkan dari hasil
pemeriksaan sebelumnya, diketahui pengaruhnya tidak signifikan (>0,05).
Produksi susu kumulatif selama lima bulan (PSKu 5 bl) diestimasi
dengan cara menjumlahkan hasil perkalian setiap produksi susu harian
terkoreksi bulan laktasi dengan jumlah hari per bulan (30 hr). Sapi

377
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

diperingkat berdasarkan estimasi PSKu 5 bl dari mulai yang tertinggi


sampai terendah, kemudian diidentifikasi sapi dengan produksi 30% dari
rataan produksi susu di lokasi binaan KUG Giri Tani. Penetapan 30%
sapi laktasi terbaik adalah atas dasar pertimbangan bahwa jumlah sapi
yang akan diidentifikasi sebagai sapi pengganti memenuhi batas seleksi
yang cukup ketat sesuai dengan jumlah sapi yang bisa didata produksi
susunya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


KUD Giri Tani dan sejarah
Koperasi Unit Desa Giri Tani (KUD Giri Tani) terletak di Kp. Baru
Tegal, Desa Cibereum, Kec. Cisarua, Kab. Bogor. Menurut dokumen
KUD Giri Tani, dijelaskan bahwa sebelum KUD Giri Tani dibentuk,
semula merupakan Koperasi Sekolah yang berdomisil di Desa Tugu
Utara, Kec. Cisarua. Disebabkan saat itu tidak tersalurkan kegiatan
Koperasi Sekolah, sehingga pengelolaannya dilimpahkan kepada Desa
Tugu Selatan, Kec. Cisarua yang saat itu belum ada koperasi masyarakat
di Kec. Cisarua. KUD tersebut diberi nama disesuaikan dengan Bahasa
Sansekerta yang disesuaikan dengan kondisi daerah setempat, sehingga
muncul nama KUD Giri Tani, dengan arti Giri adalah gunung dan Tani
adalah daerah pertanian. Nama ini dimaksudkan untuk menggambarkan
daerah pertanian yang berada di daerah pegunungan. Antara tahun
1973-1982 KUD ini membawahi 12 wilayah kerja, tetapi masih belum
begitu berkembang. Namun pada tahun 1985 koperasi ini aktif kembali
dan merekrut cukup banyak masyarakat Kec. Cisarua untuk menjadi
anggota koperasi. Pada saat ini KUD Giri Tani membawahi enam
kelompok peternak, meliputi kelompok Baru Tegal, Baru Sireum, Tirta
Kencana, Bina Warga, Mekar Jaya, dan Banjar Baru.

378
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Produksi susu segar
Kapasitas produksi susu segar dari sapi FH peternak anggota KUD
Giri Tani setiap hari dapat mencapai lebih dari 20 ton per hari (KUD Giri
Tani, 2011). Lebih dari 50% susu segar yang dihasilkan diserap oleh PT
Cimori, berdasarkan kuota yang diberikan produksi susu segar yang
diserap mencapai 13 ton. Harga pembelian susu segar bervariasi, yang
ditentukan pula oleh kualitas susu segar. Pada dasarnya untuk 10 ton
susu mempunyai harga penjualan istimewa, sisanya diperhitungkan
berdasarkan kandungan TPC, kadar BKTL, dan lemak susu. Meskipun
demikian, penerimaan harga jual susu di peternak adalah sama.

Perkawinan IB
Perkawinan sapi-sapi FH betina di KUD Giri Tani menggunakan
perkawinan inseminasi buatan (IB) dengan sumber semen beku
diprogramkan berasal dari dua ekor pejantan per tahun. Semen beku
dibeli langsung dari BIB Lembang atau melalui GKSI baik semen beku
dari BIB Lembang maupun BBIB Singosari, dengan kapasitas
pemesanan sekitar 100 straw per bulan. Perkawinan IB dilakukan oleh
dua inseminator yang sekaligus juga sebagai pemeriksa kebuntingan
(PKB). Saat ini belum ada sistem pendataan peta penggunaan pejantan
pada sapi akseptor peternak.

Gambar 1. Kondisi pemeliharaan sapi perah FH di peternak rakyat


KUD Giri Tani

379
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

KUD juga dilengkapi dengan petugas peyanan kesehatan hewan.


Kasus penyakit yang sering dialami setelah sapi beranak adalah
berkurang nafsu makan dan lumpuh setelah beranak. Petugas keswan
datang dan melakukan pengobatan, jika ada pelaporan dari peternak,
dengan biaya pengobatan dibayar oleh peternak secara langsung
tergantung jenis dan banyak obat yang dipakai. Peternak biasa
melakukan pengobatan sendiri untuk penyakit cacing dan matitis.
Mastitis tidak banyak terjadi karena peternak sudah melakukan
pemerahan secara cukup baik dan bersih.

Pemeliharaan sapi
Pemeliharaan sapi perah di KUD Giri Tani sebagian besar oleh
peternak rakyat dengan skala pemilikan induk laktasi sekitar 4-5 ekor.
Pemeliharaan ternak untuk semua kondisi fisiologi adalah sekitar 11 ekor
sapi. Terdapat cukup banyak peternak dengan skala pemeliharaa sapi
yang cukup besar, sekitar 18-24 ekor, bahkan ada beberapa peternak
memelihara sapi lebih dari 40 ekor. Pengadaan sapi pengganti atau bibit
dibeli dari Lembang dan Cipanas, yang diinginkan biasanya adalah sapi
dara dan induk muda sedang bunting, juga sapi yang sedang laktasi.
Bibit diharapkan sejak saat lahir dapat dirawat secara baik dan
mengoptimalkan pemberian pakan. Untuk peternak dengan skala
pemeliharaan kecil, sering terjadi penjualan sapi dalam fase kering
kandang, kemudian dibeli kembali induk laktasi.
Pakan konsentrat disediakan dari KUD dengan pembelian oleh
peternak dipotong langsung dari hasil setoran susu. Untuk konsentrat
mengandung PK 14% dijual Rp 2000 per kg, sedangkan PK 17% dijual
Rp. 1.800 per kg. Ampas tahu biasa diberikan sebagai pakan tambahan
dengan jumlah sekitar 8-10 kg/ek/hr. Pengadaan konsentrat dari supplier
yang diformulasi di pabrik pakan di Cibinong, sedangkan KUD melakukan
kontrol dengan melakukan uji laboratorium.

380
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Pakan hijauan diberikan berupa rumput alam yang diambil dari
tegal dan lapangan, sedangkan legum yang biasa diberikan adalah
kaliandra dan gamal. Sisa hasil pertanian juga dipakai sebagai sumber
pakan hijauan, yang diperoleh peternak dengan membeli, seperti limbah
jagung, tanaman sayuran, dan kacang-kacangan. Pakan hijauan
mengalami kesulitan pada waktu musim kemarau. Peternak sering
mencari rumput sampai ketempat cukup jauh ke Gunung Paseban,
kemudian diangkut dengan mobil.

Produksi susu riil


Data produksi susu harian (pagi dan sore) per bulan per induk
selama lima bulan laktasi didata oleh seorang recorder dimulai bulan Juni
dan berakhir bulan Oktober 2011. Pencatatan produksi susu harian
dilakukan pada peternak rakyat di lokasi terpilih binaan KUD Giritani, Kab.
Cisarua, Bogor. Atas dasar kemampuan recorder untuk mencatat
produksi susu harian (pagi dan sore) sapi laktasi secara bergilir dalam
satu bulan, ada 203 ekor sapi laktasi yang dicatat produksi susunya.
Data produksi susu harian atau test day (TD) tersebut terdistribusi pada
awal bulan laktasi 1-3 dengan periode laktasi 1-3. Plot kurva dari rataan
produksi susu harian selama bulan laktasi 1-8 dari sapi FH pengamatan
cukup bersesuaian dengan kurva produksi susu normal. Produksi susu
secara perlahan menurun sampai bulan laktasi pengamatan terakhir,
akan tetapi tidak diperoleh punak produksi pada awal bulan laktasi
(Gambar 2).

381
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Gambar 2. Kurva produksi susu harian (liter) bulan laktasi 1-8


Deskripsi produksi susu harian sapi FH pengamatan dari bulan laktasi 1-8
untuk semua periode laktasi (1-3) tertera pada Tabel 1. Pola kurva
produksi susu menurun dengan berjalannya bulan laktasi juga diperoleh
pula dari hasil pengamatan sebelumnya pada sapi FH di peternak
KPSBU Lembang dan di peternak dan lokasi KUD Suka Makmur,
Pasuruan. Pengamatan terdahulu pada 184 ekor sapi FH laktasi di
KPSBU Lembang memperlihatkan produksi susu berangsur menurun
berurutan 18,2±4,5, 17,5±4,4, 16,6±3,5, 15,5±3,6, 14,3±3,1, 14,0±2,9,
13,1±2,8 dan 12,3±2,6 lt/hr (Anggraeni et al., 2012). Pola serupa terjadi
pada sapi FH dengan produksi susu harian dari bulan laktasi 1-8 dari 40
ekor sapi FH di KUD Suka Makmur berurutan 12,3±2,3, 10,9±2,1,
10,0±2,7, 8,6±2,6, 8,1±2,3, 7,7±2,0, 7,1±1,9 dan 6,5±2,2 lt/hr; serta dari
312 ekor sapi FH di peternak rakyat binaan berurutan 13,6±3,4, 11,9±2,8,
10,7±2,1, 10,8±1,9, 9,4±1,7, 8,6±1,6, 8,0±1,4 dan 7,0±1,7 lt/hr (Anggraeni
et al., 2012).

Tabel 1. Deskripsi produksi susu harian (liter) bulan laktasi 1-8


Produksi Susu Harian Riil (Liter)
Deskripsi
TD-1 TD-2 TD-3 TD-4 TD-5 TD-6 TD-7 TD-8
Rataan 13,6 12,5 12,5 12,3 11,6 11,0 10,6 10,3
SD 3,9 3,0 3,4 3,5 3,2 2,8 2,7 2,6
Min. 6,6 5,7 5,0 4,4 4,3 3,8 3,3 3,6
Maks. 23,4 21,1 22,7 20,7 19,6 19,7 19,1 16,6
Ket: TD adalah produksi susu harian

382
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Produksi susu harian sapi FH pada studi ini lebih rendah
dibandingkan sapi FH yang dipelihara di wilayah KPSBU Lembang, tetapi
hampir sama terhadap sapi FH KUD KUD Suka Makmur. Hal ini
dikarenakan sejumlah kondisi yang lebih mendukung pada pemeliharaan
di KPSBU Lembang. Lokasi KPSBU terletak di wilayah pegunungan
yang masih nyaman bagi sapi ini untuk hidup dan berproduksi susu,
sebaliknya KUD Suka Makmur terletak di wilayah dataran rendah di
Kabupaten Pasuruan, dengan kondisi suhu sangat panas dan curah
hujan sangat sedikit.
Pemeliharaan di daerah dataran tinggi akan memberikan kondisi
nyaman bagi sapi perah untuk melakukan proses biologis dan
berproduksi. Dengan semakin tingginya lokasi pemeliharaan sapi FH di
daerah KPSBU Lembang, maka akan meberikan kondisi suhu dan
kelembaban udara yang diinginkan yaitu pada suhu sekitar 18ºC dengan
kelembaban 55% (Berman, 2005). Kondisi sebaliknya terjadi pada sapi
FH di dataran rendah KUD Suka Makmur yang mengalami cekaman suhu
panas siang hari sangat serius, seperti ditunjukkan oleh pernapasanan
sapi yang tersengal. Pada situasi di koperasi yang menyediakan air
minum sapi dalam bak semen, terlihat sapi cenderung berupaya untuk
merendamkan kaki (depan) pada air minum.
Produksi susu harian sapi FH dari studi ini lebih rendah
dibandingkan di KPSBU lembang, juga dapat disebabkan kondisi
pemberian pakan, lingkungan pemeliharaan berbeda antara kedua lokasi.
Dijelaskan oleh Berman (2005) terkait penurunan produksi susu di daerah
rendah adalah adanya pengaruh langsung stres panas terhadap produksi
susu dikarenakan meningkatnya kebutuhan maintenance sebagai upaya
menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolis dan
konsumsi pakan dari ternak.

383
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Standarisasi produksi susu


Terdistribusinya pencatatan produksi susu harian sapi FH dalam
bulan laktasi 1-3 bulan dan periode laktasi 1-3, memerlukan pemeriksaan
pengaruh keduanya terhadap produksi susu harian. Perbedaan bulan
awal pencatatan produksi memberi pengaruh pada produksi susu harian
selama lima bulan laktasi berjalan antara individu sapi. Untuk itu
produksi susu harian setiap sapi distandarisasi kepada bulan laktasi 1-5.
Standarisasi dilakukan dengan cara mengembangkan persamaan kurva
ulanproduksi susu menggunakan persamaan regresi paling sesuai, linier
atau kuadratik, untuk setiap individu sapi. Standarisasi dilakukan
terhadap bulan laktasi 1-5 atas dasar evaluasi produksi susu ditargetkan
untuk produksi susu selama periode awalah 1-5 bulan lakasi. Dengan
demikian, sapi dengan bulan laktasi diantara 3-8 bulan perlu
distandarisasi kepada bulan laktasi bersesuaian. Hasil menunjukkan
sebagian standarisasi kurva produksi perlu dikembangkan dalam bentuk
persamaan kuadratik. Selanjutnya dilakukan estimasi produksi susu
harian yang disamakan untuk bulan laktasi 1-5 (TD1-TD5). Tabel 2
menunjukkan rataan produksi susu harian hasil standarisasi.

Tabel 2. Produksi susu harian terstandarisasi bulan laktasi 1-5 bulan


Prd Σ Produksi Susu Harian Terstandar (Liter) Rataan
Lakt. Sapi TDS-1 TDS-2 TDS-3 TDS-4 TDS-5 (Liter)
1 41 10,2±2.8 10,0±2,5 9,8±2,2 9,1±1,8 8,6±1,7 9,5±2,1
2 80 10,2±3,7 11,5±2,4 11,1±3,2 10,3±3,1 9,7±3,0 10,9±3,2
3 82 12,5±2,9 11,6±2,5 11,1±3,2 10,1±2,7 9,5±2,6 10,9±3,1
Signifikansi * ns ns ns ns ns
Ket: TDS adalah produksi susu harian terstandar; ns adalah nilai antara kolom
yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)
Pengaruh periode laktasi terhadap produksi susu harian
terstandar pada lama laktasi 1-5 bulan menunjukkan berpengaruh secara
nyata (P<0,05) hanya pada bulan laktasi pertama. Tahapan berikutnya
dilakukan pemeriksaan pengaruh periode laktasi terhadap produksi susu
yang sudah distandarisasi dalam bulan laktasi 1-5. Produksi susu
terstandar hampir semuanya tidak nyata dipengaruhi (P>0,05) periode
laktasi, kecuali pada bulan laktasi pertama yang berpengaruh nyata

384
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
(P<0,05). Produksi susu oleh karenanya tidak distandarisasi lebih jauh
terhadap pengaruh periode laktasi. Periode laktasi tidak memberi
pengaruh signifikan pada produksi susu sapi perah dilaporkan antara lain
oleh Sattar et al. (2005) pada sapi Frieisan Holstein di daerah panas
Pakistan.

Produksi susu kumulatif


Produksi susu kumulatif parsial pada studi ini didefinisikan
sebagai produksi susu kumulatif selama lima bulan laktasi (PSKu 5 bl)
seperti diuraikan sebelumnya. Estimasi PSKu 5 bl setiap individual sapi
dilakukan dengan cara menjumlahkan hasil perkalian setiap produksi
susu harian terkoreksi tahap laktasi (1-5 bulan) terhadap angka 30
sebagai jumlah hari per bulan. Hasil estimasi PSKu 5 bl setiap individu
sapi laktasi disusun mulai dari peringkat tertinggi. Nilai estimasi PSKu 5
bl dievaluasi dari 203 ekor sapi berkisar antara 648-3.093 lt per ekor
dengan rataan 1.597 lt per ekor.

Sapi Pengganti Berkualitas


Mendasarkan pertimbangan sapi FH pengganti berkualitas adalah
akan dihasilkan oleh sapi-sapi dengan kemampuan produksi susu tinggi,
dalam studi ini ditentukan dengan produksi susu lebih tinggi 30% dari
rataan. Sapi-sapi tersebut dengan demikian harus mencapai prestasi
PSKu 5 bl > 2.078 liter per ekor. Tabel 3 menunjukkan sapi-sapi FH induk
yang berpotensi ada sebanyak 26 ekor (12,6%). Sapi Maya berada
pada peringkat pertama memiliki PSKu 5 bl sebanyak 3.093 lt,
sedangkan untuk peringkat ke 26 adalah sapi Novi dengan PSKu 5 bl
sebanyak 2.100 lt.

385
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Tabel 3. Sapi laktasi dengan produksi susu kumulatif tertandar (liter)


pada 30% diatas rataan
PSKu PSKu
Nama Sapi Urutan Nama Sapi Urutan
5 Bulan 5 Bulan
Maya 3093 1 Mimi 2427 14
Mawar 2919 2 Nensi 2397 15
Mara 2835 3 Mini 2310 16
B-5 2688 4 B-6 2283 17
Ratna 2628 5 Rosa 2211 18
Nenok 2583 6 Lasmi 2199 19
Ayu 2559 7 Gede 2166 20
Reni 2517 8 Hitam-1 2154 21
Dede 2514 9 Hitam-2 2130 22
Denok 2502 10 Santi 2127 23
Ririn 2457 11 Nini 2121 24
Eti 2433 12 Nona 2118 25
Taurus 2427 13 Novi 2100 26
Keterangan: PSKu 5 bl adalah produksi susu kumulatif lima bulan
terstandar
Pada pengamatan sebelumnya, telah diidentifikasi pula sapi-sapi
FH laktasi di KPSBU Lembang dan di KUD Suka Makmur, Pasuruan.
Sapi-sapi FH dengan kemampuan produksi susu pada peringkat yang
sama (>30% dari rataan) untuk lokasi pertama adalah yang mencapai
PSKu 5 bl > 2.985 lt, yang teridentifikasi ada sejumlah 13 ekor sapi
dengan kisaran produksi susu antara 3015-3780 lt. Pada lokasi kedua,
hasil penggabungan data sapi laktasi di peternak dan di koperasi KUD
Suka Makmur, adalah yang memiliki PSKu 5 bl > 1.983 lt, yang
teridentifikasi sebanyak 18 ekor sapi laktasi dengan kisaran produksi
susu antara 1.995-2.730 lt.

KESIMPULAN
Evaluasi performans produksi susu riil dan terstandarisasi pada 203 sapi laktasi
di peternak rakyat dan di lokasi KUD Giri Tani, Cipanas, Bogor memperoleh
rataan produksi susu kumulatif terstandarisasi 5 bulan (PSKu 5 bl) adalah
sejumlah 1.597 ltr (648-3.093 ltr). Sapi laktasi dengan produktivitas > 30% diatas
rataan ada sebanyak 26 ekor (12,8%) dengan kisaran produksi susu 2.100-3.093
ltr, yang diharapkan akan memiliki potensi baik dalam menghasilkan sapi
pengganti berkualitas.

386
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, A., dan S. Iskandar. 2008. Peran budidaya sapi perah dalam
mendorong berkembangnya industry persusuan nasional. Wartazoa, Vol.
18, No. 2 Thn. 2008. Hal: 57-68.
Anggraeni, A., T. Herawati, K. Dwiyanto, Subandrio, C. Talib and S.A.
Asmarasari. 2012. Identification of Holstein-Friesian lactating cows as
good replacement stocks under small-scale dairy farming in a high land
of West Java, Indonesia. Proc. 2nd Int. Seminar on Anim. Industry:
Empowering Local Resouces for Sustainable Anim. Prod. In Adapting to
Climate Change. 5-6 July 2012. JCC, Jakarta, Indonesia. pp. 110-116
Berman, A. 2005. Estimates of heat stress relief needs for Holstein dairy cows. J.
Anim. Sci. 83:1377-1384.
Berry, D.P., F. Buckley, P. Dillon, R. D. Evans, M. Rath, and R. F. Veerkamp.
2003. Genetic relationships among body condition score, body weight,
milk yield, and fertility in dairy cows. J. Dairy Sci. 86:2193–2204.
KUD Giri Tani. 2011. Laporan produksi susu bulanan dan sejarah KUD Giri Tani,
Kec. Cisarua, Bogor.
MCDOWELL, R.E. 1994. Dairying with improved breeds in warm climates. Kinnic
Publishers, Raleigh, NC, USA.
Sattar, A. Mirza, R. H.. Niazi, A. A. K and Latif, M. 2005. Productive and
reproductive performance of Holstein-Friesian cows in Pakistan.
Pakistan Vet. J., 25: 75-81.
Schmidt, G.H., L.D. Van Vleck, and M.F. Hujens. 1988. Principles of Dairy Sci.
2nd ed. Prentice Hall, N.J. 07632.

387
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

KERAGAMAN GEN PROLAKTIN EKSON III


PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN
Ari Sulistyo Wulandari, Saiful Anwar, Baharuddin Tappa, dan
Paskah Partogi Agung

Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI


Jln. Raya Bogor Km 46, Cibinong, Bogor 16911
Telp: 0218754587, Fax: 0218754588
Email: ari.sulistyo.wulandari@lipi.go.id / ari.wulandari5487@gmail.com

ABSTRAK
Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas sapi perah adalah dengan
seleksi dan persilangan yang dapat dilakukan secara konvensional dan
molekuler. Aktivitas seleksi akan efektif bila sifat genetik yang diseleksi dalam
kondisi yang beragam. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman
gen prolaktin (PRL) pada ekson III sebagai pengontrol sifat produksi susu pada
sapi FH di Jawa Barat dengan metode PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-
Restristion Fragment Length Polymorphism). Sampel DNA sapi Friesian Holstein
(FH) sebanyak 52 sampel yang berasal dari dua lokasi yaitu 34 ekor dari PT.
KAR dan 18 ekor dari Puslit Bioteknologi LIPI digunakan dalam penelitian ini.
Keragaman gen dideteksi menggunakan metode PCR-RFLP dengan enzim
restriksi RsaI (PRL). Amplifikasi ekson III gen PRL menghasilkan fragmen
dengan panjang masing-masing 156 pasang basa (pb). Genotyping ekson III gen
prolaktin bersifat polimorfik dengan dua tipe alel, yaitu A (0,8846) dan B (0,1154)
serta diperoleh 3 tipe genotype, yaitu AA (0,8846), BB (0,0577) dan AB (0,0577).
Genotipe yang memiliki frekuensi tertinggi adalah AA. Gen prolaktin sapi FH
pengamatan berada pada keseimbangan Hardy-Weinberg (χ2 hit > χ2 tabel).
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dasar gen PRL serta
diharapkan dapat dijadikan penciri atau marker dalam metode Marker Assisted
Selection (MAS) sapi perah di Indonesia.
Kata kunci: Gen Prolaktin, PCR-RFLP, Genotipe, Sapi FH

PENDAHULUAN
Produksi susu di dalam negeri saat ini baru memenuhi sekitar 35%
dari kebutuhan nasional. Susu segar di dalam negeri diproduksi oleh
sekitar 495.089 ekor sapi perah bangsa Friesian Holstein (FH) (Ditjennak,
2010). Produksi dan kualitas susu merupakan faktor esensial dalam
menentukan keberhasilan usaha sapi perah, karena jumlah dan kualitas
susu akan menentukan pendapatan peternak.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi dan kualitas susu
adalah dengan melakukan seleksi sapi perah. Metode seleksi yang

388
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
berkembang saat ini adalah metode MAS (Marker Assisted Selection).
Metode MAS dilakukan berdasarkan penciri DNA yang mengontrol sifat-
sifat ekonomis. Aktivitas seleksi akan sangat efektif jika sifat yang
diseleksi berada dalam kondisi beragam.
Prolaktin (PRL) merupakan hormon yang dikenal memiliki banyak
pengaruh pada kelenjar susu. Beberapa pengaruh prolaktin pada kelenjar
susu yaitu pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu
(mammogenesis), sintesis susu (lactogenesis) dan pengendalian sekresi
air susu (galactogenesis). Oleh karena itu, gen PRL memiliki potensi
sebagai lokus sifat kuantitatif dan dapat dijadikan penanda genetik sifat
produksi pada sapi perah (Bry et al.,, 2005). Gen prolaktin pada sapi
perah terletak pada kromosom 23 serta terdiri dari 5 ekson dan 4 intron
dimana panjang seluruhnya sekitar 10 kb yang mengkode 199 asam
amino (Dybus et al., 2005). Variasi alel serta variasi genotif PRL pada
sapi perah menjadi menarik untuk diamati lebih dalam karena efek
langsung atau tidak langsung mereka pada produksi susu. Menurut
Balekcova et al. (2012) polimorfik alel G pada PRL berkorelasi positif
dengan produksi susu. Penelitian lain juga mengamati asosiasi PRL
dengan produksi susu dan hasil lemak (Alipanah et al., 2007 dan
Mehmannavaz et al., 2009). Efek negatif dari genotipe AA pada produksi
lemak ditunjukkan oleh Brym et al. (2005), dan alel A positif terkait
dengan susu dan protein susu (Daniela et al., 2008).
Berbagai metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi
keragaman dari suatu sifat pada tingkat DNA telah banyak berkembang.
Metode yang sering digunakan adalah metode PCR-RFLP (Polymerase
Chain Reaction-Restristion Fragment Length Polymorphism), yang
merupakan metode analisis lanjutan dari produk PCR. Metode PCR-
RFLP memanfaatkan perbedaan pola pemotongan oleh enzim restriksi.
Analisis RFLP sering digunakan untuk mendeteksi lokasi genetik dalam
kromosom (Anggraeni, 2012), serta keragaman pada gen yang
berhubungan dengan sifat ekonomis seperti produksi dan kualitas susu

389
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

(Kucerov et al., 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi


keragaman gen prolaktin menggunakan metode PCR-RFLP dengan
enzim restriksi RsaI (PRL). Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
informasi dasar gen PRL serta diharapkan dapat dijadikan penciri atau
marker dalam metode Marker Assisted Selection (MAS) sapi perah di
Indonesia.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2014
bertempat di Laboratorium Reproduksi, Pemuliaan dan Kultur Sel, Pusat
Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong, Bogor. Sampel darah yang
digunakan sebanyak 52 sampel sapi perah FH yang berasal dari dua
lokasi yaitu Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI (18) dan PT. KAR Rumpin
(34).
Ekstraksi DNA
Sampel darah diekstraksi untuk diambil DNA-nya dengan
menggunakan bahan yang bersifat sebagai agen katastropik yang dalam
hal ini adalah DNA extraction kit.
Primer
Primer merupakan DNA utas tunggal dengan ukuran pendek,
sekitar 18 sampai 25 yang akan menempel dilokasi spesifik pada DNA
cetakan. Primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen prolaktin
(PRL) pada ekson 3 mengikuti Lewin et al. (1992); Dybus et al. (2005);
Katarzyna et al. (2008); Saba et al. (2013) seperti pada tabel 1.

Tabel 1. Sekuens primer untuk amplifikasi gen prolaktin


Gen Sekuen Primer Panjang Enzim
Basa Restriksi
(Pb)
PRL Forward: 5’-CGAGTCCTTATGAGCTTGATTCTT-3’ 156 RsaI
Reverse: 5’-GCCTTCCAGAAGTCGT TTGTTTTC-
3’

390
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
PCR-RFLP
Reaksi PCR dilakukan memasukkan pada tabung volume 25 μl
bahan reaksi terdiri dari sampel sebanyak 1,68 μl dan pereaksi
amplifikasi DNA yang terdiri dari 12,6 μl DW, 1,96 μl primer, dan 9,8 μl
kappa. Amplifikasi DNA berlangsung di dalam mesin PCR Eppendof
dengan kondisi suhu predenaturasi 95 oC selama lima menit, 35 siklus
untuk tahapan denaturasi 95 oC selama 30 detik, annealing pada suhu 55
o
C selama 45 detik, dan elongasi pada suhu 72 oC selama 45 detik dan
elongasi akhir pada suhu 72 oC selama lima menit dalam satu siklus.
Produk PCR sebanyak 3 μl ditambahkan dengan 1,3 μl DW, 0,5 μl 10 x
buffer, serta 0,2 μl enzim restriksi RsaI, kemudian diinkubasi di dalam
inkubator pada suhu 37 °C selama 1 jam.
Elektorforesis DNA produk PCR-RFLP dilakukan pada gel agarose
4%. Produk PCR sebanyak 5 μl yang dihomogenkan dengan loading dye
dimasukkan ke dalam sumur-sumur gel agarose yang sudah digenangi
larutan 5 x TBE buffer kemudian elektroforesis dilakukan selama 60 menit.
Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan menggunakan UV-
transilluminator.
Analisis Data
Frekuensi genotipe dan frekuensi alel
Keragaman genotipe masing-masing sampel dilihat dari pita-pita
yang ditemukan. Frekuensi genotipe dan frekuensi alel dihitung dengan
rumus Nei & Kumar (2000).
Frekuensi genotipe (χii) diperoleh dengan menghitung perbandingan
jumlah genotipe tertentu pada sampel setiap lokasi pengamatan, dengan
rumus berikut:

Frekuensi alel (χi) merupakan rasio relatif suatu alel terhadap


keseluruhan alel pada suatu lokus dalam populasi, dengan rumus
sebagai berikut:

391
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Keterangan :
χii = frekuensi genotipe ke-ii
χi = frekuensi alel ke-i
nii = jumlah individu bergenotipe ii
nij = jumlah individu bergenotipe ij
N = jumlah individu sampel
Keseimbangan Hardy-Weinberg
Keseimbangan Hardy-Weinberg diuji dengan menggunakan
perhitungan Chi-Kuadrat (Hartl and Clark, 1997):

Keterangan:
x2 = uji Chi-kuadrat
O = jumlah pengamatan genotipe ke-i
E = jumlah harapan genotipe ke-i
Heterozigositas
Heterozigositas merupakan salah satu parameter yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat keragaman genetik dalam suatu
populasi. Hererozigositas dihitung dengan menggunakan rumus penduga
tidak bias (Nei, 1987).

Keterangan:
ĥ = heterozigositas
N = jumlah individu
x = frekuensi alel

HASIL DAN PEMBAHASAN


Amplifikasi Gen PRL
Amplifikasi fragmen gen PRL ekson III pada sapi perah FH dengan
menggunakan mesin Eppendof pada suhu annealing 55oC selama 45
detik menghasilkan panjang produk PCR 156 bp (base pair) pada gen
PRL (Gambar 1). Sebanyak 52 sampel sapi FH berhasil diamplifikasi
dengan tingkat keberhasilan 100%. Ukuran produk PCR yang sama juga

392
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
dilaporkan oleh Brym et al. (2005) pada sapi Jersey, Kumari et al. (2008)
pada sapi eksotik dan Zebu, Sacravarty et al. (2008) pada sapi
Montebeliard, Saba et al. (2013) pada sapi Frieswal.
Suhu optimum annealing adalah suhu untuk berlangsungnya
penempelan primer sesuai dengan sekuens DNA komplementer yang
akan diperbanyak selama proses amplifikasi DNA berlangsung. Suhu
penempelan pasangan primer yang digunakan berbeda dengan suhu
yang disarankan oleh Dybus et al. (2005) yaitu 59 oC selama 49 detik, hal
ini untuk menyesuaikan kondisi mesin PCR dan campuran komponen
pereaksi PCR. Viljoen et al. (2005) menyatakan bahwa suhu annealing
berkisar antara 55-72 oC. Hasil penelitian Pelt et al. (2008) menyatakan
bahwa waktu annealing yang dibutuhkan supaya primer dapat
berkomplemen dan menempel dengan targetnya bergantung pada
kapasitas pemanasan mesin thermocycler yang digunakan, volume
campuran PCR serta konsentrasi primer dan gen target.

156 bp

Gambar 1. Pita DNA hasil amplifikasi Gen prolaktin pada Gel Agarose
2%

Keragaman Gen PRL


Amplifikasi ekson III gen prolaktin menghasilkan panjang fragmen
156 pb. Proses pemotongan gen dilakukan dengan menggunakan enzim
restriksi RsaI yang mengenali daerah pemotongan empat basa pada
posisi 5’...GTAC...3’. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe AA
memiliki potongan satu fragmen, yaitu 156 pb; genotipe BB memiliki dua

393
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

fragmen, yaitu 82 dan 74 pb; sedangkan genotipe AB terdiri dari 3


fragmen yaitu 156, 82, 74 bp. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian
Dybus et al. (2005) pada sapi Black and White dan sapi Jersey .
Frekuensi Gen PRL
Dari sejumlah total 52 ekor sapi FH yang digenotyping dengan
teknik PCR-RFLP, diperoleh sapi dengan genotipe AA, BB, dan AB
berturut-turut sebanyak 46, 3 dan 3 ekor. Penelitian ini menghasilkan
frekuensi alel dan genotipe berbeda. Diperoleh frekuensi alel A sebesar
0,91 dan alel B 0,09; sedangkan frekuensi genotipe AA, AB, dan BB
berturut-turut 0,8846; 0,0577 dan 0,0577. Adanya 3 tipe genotipe yang
muncul menunjukkan bahwa gen prolaktin bersifat polimorfik (beragam),
yang sesuaian dengan hasil penelitian Nei (1987) yaitu suatu alel
dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang
dari 0,99. Nilai frekuensi alel dan genotipe sapi FH pengamatan dapat
dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Frekuensi alel dan frekuensi genotipe gen PRL


Jumlah Frekuensi Alel
52 A B
0,91 0,09
Frekuensi Genotipe
AA BB AB
0,8846 0,0577 0,0577
(46) (3) (3)

Hasil penelitian menunjukkan frekuensi alel A lebih tinggi dari alel


B, sedangkan frekuensi genotipe tertinggi adalah AA. Keragaman
genotipe gen prolaktin sapi perah FH penelitian ini dapat dibandingkan
dengan beberapa penelitian sebelumnya, seperti terlihat pada tabel 3.
Penelitian oleh Katarzyna et al. (2008) melaporkan bahwa sapi FH di
beberapa wilayah di Amerika memiliki tiga variasi genotip, yaitu AA, AB,
dan BB; dengan dua alel, yaitu A dan B. Frekuensi genotipe AA, AB, dan
BB dilaporkan berurutan sebesar 0,1846, 0,201, dan 0,7953. Saba et al.
(2013) mengamati pada sapi Frieswal, menemukan alel A dan B dengan

394
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
frekuensi masing-masing 0,630 dan 0,370; sedangkan frekuensi genotipe
diperoleh berurutan 0,315, 0,629 dan 0,056 untuk genotipe AA, AB, dan
BB. Penelitian Dybus5 pada sapi Jersey mendapatkan hasil yang berbeda
yaitu frekuensi alel B lebih tinggi terhadap alel A (0,6919 vs. 0,3081).

Tabel 3. Frekuensi alel dan frekuensi genotipe berbagai bangsa sapi


Bangsa Frekuensi Alel Frekuensi Genotipe Sumber
A B AA AB BB
Black and 0,8533 0,1467 0,7107 0,2851 0,0042 Dybus et al.,
White 2005
Jersey 0,3081 0,6919 0,0919 0,4324 0,4757
FH 0,5822 0,4178 0,1846 0,201 0,7953 Katarzyna et
al., 2008
Frieswal 0,630 0,370 0,315 0,629 0,056 Saba et al.,
2013

Distribusi Genotipe Gen PRL


Keseimbangan variasi genotipe yang muncul pada populasi sapi FH
diukur dengan menggunakan uji signifikansi chi-square test (x2). Hasil uji
x2 tertera pada tabel 4.
Tabel 4. Distribusi genotipe dari gen PRL
Genotipe Frekuensi Nilai Nilai χ2 Hitung χ2 Tabel
Genotipe observasi ekspektasi
AA 0,8846 46 43,06 19,64 5,99
AB 0,0577 3 8,52
BB 0,0577 3 0,42
Berdasarkan uji signifikansi tersebut diperoleh χ2 hitung > χ2 tabel,
artinya bahwa distribusi genotipe prolaktin pada populasi sapi FH berada
dalam keseimbangan Hardy-Weinberg. Keseimbangan genotipe pada
sapi FH dalam penelitian ini berarti tidak terjadinya seleksi, perkawinan
silang, mutasi, dan pergantian ternak.
Heterozigositas disebut juga sebagai keragaman genetik. Nilai
heterozigositas merupakan cara yang paling akurat untuk mengukur
keragaman suatu populasi (Nei, 1987). Populasi sapi perah di Puslit
Bioteknologi dan PT. KAR memiliki nilai heterozigositas sebesar 0,17, hal

395
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

ini berarti nilai keragaman genetik rendah. Hasil penelitian Nury &
Anggraeni (2014) mendapatkan nilai heterozigositas yang lebih tinggi
yaitu 0,48. Hal ini dikarenakan perbedaan jumlah sampel sapi serta
jumlah dan frekuensi alel. Baker & Manwell (1986) menyatakan bahwa
rendahnya heterozigositas disebabkan heterosis yang negatif (gen resesif)
dan perkawinan dengan kerabat dekat.
Hubungan antara keragaman gen prolaktin dengan produksi susu
dapat ditemukan pada beberapa penelitian. Hasil penelitian Brym et al.
(2005) mendapatkan asosiasi prolaktin dengan produksi susu, dimana
sapi perah dengan alel A memiliki produksi susu yang lebih tinggi.
Penelitian serupa juga oleh Dybus et al. (2005), dimana genotipe AA
memiliki produksi susu yang lebih tinggi.

KESIMPULAN
Identifikasi keragaman ekson 3 gen PRL pada dengan metode
PCR-RFLP menghasilkan produk amplikon sepanjang 156 pb.
Genotyping gen prolaktin bersifat polimorfik dengan dua tipe alel, yaitu A
dan B serta diperoleh 3 tipe genotype, yaitu AA, BB dan AB. Genotipe
yang memiliki frekuensi tertinggi adalah AA. Sifat polimorfik gen prolaktin
dapat digunakan sebagai informasi dasar data genetik gen PRL, serta
diharapkan dapat dijadikan penciri atau marker dalam metode MAS pada
sapi perah di Indonesia.
Inisiasi penelitian ini akan digunakan untuk model penelitian
keragaman gen prolaktin pada sapi perah di Indonesia dibeberapa lokasi
yang berbeda. Hasil penelitian ini dapat dikorelasikan dengan sifat
produksi dan kualitas susu sapi FH, untuk melihat potensi gen prolaktin
menjadi marker genetik pada sapi perah.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Rosichon
Ubaidillah atas bimbingan dan sarannya dalam penulisan karya tulis

396
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Lusiana dan
Andre Wike tenaga teknis Laboratorium Reproduksi, Pemuliaan dan
Kultur Sel Puslit Bioteknologi LIPI serta staf PT. KAR Rumpin yang telah
membantu pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Alipanah M., Kalashnikova L.A., dan Rodionov G.V. 2007. Polymorphism
prolactin loci in Russian cattle. Journal of Animal and Veterinary Advances,
(6): 813–815.
Anggraeni A. 2012. Perbaikan Genetik Sifat Produksi Susu dan Kualitas Susu
Sapi Friesian Holstein Melalui Seleksi. Wartazoa, (22): 1-11.
Baker dan Manwell. 1986. Population Genetics, Molecular Marker and Gene
Conservation of Bovine Breeds. In: Neimann and Hickman (Ed) .World
Animal Science. Elsevier Healt Sciences. London.
Boleckova J., Matejickova J., Stipkova M., dan Kyselova J. 2012. The
Association of Five Polymorphisms with Milk Production Traits in Czech
Fleckvieh Cattle. Czech J. Anim. Sci., 57 (2): 45–53.
Brym P., Kaminski S., dan Wojcik E. 2005. Nucleotide sequence polymorphism
within exon 4 of the bovine prolactin gene and its associations with milk
performance traits. Journal of Applied Genetics, 46, 179–185.
Daniela, I., S. Aurelia, M. Anuta, S. Claudia dan I. Vintila. 2008. Genetic
polymorphism at the β-lactoglobulin locus in a dairy herd of Romanian
Spotted and Brown of Maramures breeds. Zoo Biotech, (41): 104 – 107.
Ditjennak. 2010. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan,
Departemen Pertanian, Jakarta.
Dybus A., Grzesiak W., Kamieniecki H., Szatkowska I., Sobek Z., Błaszczyk P.,
Czernıawska-Pıątkowska E., Zych S., dan Muszyńska M. 2005.
Association of genetic variants of bovine prolactin with milk production
traits of Black-and-White and Jersey cattle. Archiv fur Tierzucht, (48): 149–
156.
Mehmannavaz Y., Amirinia C., Bonyadi M., dan Torshizi R.V. 2009. Effects of
bovine prolactin gene polymorphism within exon 4 on milk related traits and
genetic trends in Iranian Holstein bulls. African Journal of Biotechnology,
(8): 4797–4801.
Hartl D.L, danClark A.G. 1997. Principle of Population Genetic. Sunderland (MA).
Sinauer Associates.
Katarzyna W.M., M. Kmic dan J. Strzalaka. 2008. Prolactin Gene Polymorphism
and Somatic Cell Count in Dairy Cattle. Journal of Animal and Veterinary
Advances, 7 (1): 35-40.
Kucerov J., A. Matejck, O.M. Jandurov, P. Sensen, E. Nemcov, M. Stkov, T. Kott,
J. Bouska dan J. Frelich. 2006. Milk protein genes CSN1S1, CSN2, CSN3,
LGB and their relation to genetic values of milk production parameters in
Czech Fleckvieh. Czech J. Anim. Sci. 51 (6): 241-247.
Kumari AR, Singh KM., Soni KJ., Patel RK., Chauhan JB., dan Rao KS. 2008,
Genotyping of the polymorphism within exon 3 of prolactin gene in various
dairy breeds by PCR-RFLP, Archiv Tierzucht, 51 (3): 298-299.

397
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Lewin H. A., Schmitt K., Hubert R., Van Eijk M.J., dan Arnheim N. 1992. Close
linkage between bovine prolactin and BoLA-DRB3 genes: genetic mapping
in cattle by single sperm typing. Genomics, 13: 44-48.
Nei, M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Columbia University Press. New
York.
Nei, M, dan Kumar. S. 2000 Molecular Evolution and Phylogenetics. Oxford
University Press. Inc. New York.
Nury HS. dan Anggraeni A. 2014. Polimorfisme Genetik β-Laktoglobulin pada
Sapi Friesian Holstein.JITV 19 (1): 35-42.
Pelt-Verkuil, Elizabeth van, Alex van Velkum dan John PH. 2008. Principles and
Technical Aspects of PCR Amplification. Springer Science. Berlin.
Saba., N.N. Khan, P. Gupta, A. K. Das, G. A. Raher, D. Chakraborty, dan A.
Pandey. 2013. Prolactin Gene Polymorphism and its Association with Milk
Production Traits in Frieswal Cow. 2013. Journal of Moleculer Zoology. 3
(3): 10-13.
Sacravarty G, Vadodaria VP, Joshi CG, Brahmkhtri BP, Shah RR, dan Solanki
JV (2008) Prolactin gene polymorphism and its association with economic
traits in Kankerj cattle. Indian J Dairy Sci. 61(4):273–276
Viljoen GJ, Nel LH, dan Crowther JR. 2005. Molecular Diagnostic PCR
Handbook, Springer, Dordrecht, Netherland.

398
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
KAJIAN KUALITAS MIKROBIOLOGIS SUSU ASAL
SAPI MASTITIS SUBKLINIS DI KUD TASIKMALAYA

Fifi Afiati, Nina Herlina, Tulus Maulana


dan Baharuddin Tappa

Pusat Penelitian Bioteknologi


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911 Indonesia
Email : afiati_btk@yahoo.com

ABSTRAK
Mastitis merupakan salah satu penyakit yang paling banyak menimbulkan
kerugian ekonomi dikalangan peternak karena dapat menurunkan kualitas dan
kuantitas susu. Penyebab paling umum dari peradangan ambing tersebut
diantaranya mikroorganisme. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat
aspek mikrobiologis penyebab mastitis di wilayah Tasikmalaya, termasuk
didalamnya jumlah total bakteri dan jenis bakteri. Pengujian dilakukan dengan
terlebih dahulu melakukan California Mastitis Test (CMT) pada sapi yang diduga
mastitis subklinis dari 8 peternak dengan total sampel sebanyak 40 kuartir.
Metode untuk penghitungan total bakteri menggunakan Total Plate Count (TPC).
Hasil menunjukkan penghitungan total bakteri melebihi ambang batas SNI>106
CFU/ml, juga ditemukan bakteri Staphylococcus dan Coliform.

Kata Kunci: mastitis, susu, bakteri, TPC

PENDAHULUAN
Susu merupakan sumber pangan hewani yang bergizi tinggi
karena mengandung protein, lemak, laktosa, vitamin dan mineral untuk
kebutuhan tubuh. Namun susu juga sangat mudah mengalami kerusakan
akibat pencemaran mikrobia. Salah satu potensi bahaya yang terdapat
pada susu dan berbagai produk olahannya adalah bahaya mikrobiologis
(microbial hazard), khususnya keberadaan bakteri patogen (Winarso
2008). Penelitian yang dilakukan Sugiri dan Anri (2014) menunjukkan
83,56% sampel yang diperiksa di wilayah Jawa Barat (Lembang,

399
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Pangalengan, Cianjur) mengandung bakteri (S.aureus, S. agalactiae dan


bakteri lainya) penyebab mastitis.
Mastitis merupakan peradangan jaringan internal ambing
(Sudarwanto 2009) yang disebabkan adanya kuman patogen (infeksius)
seperti bakteri, kapang atau khamir, kerusakan fisik ambing (udder and
teat injury) serta akibat terpapar oleh bahan kimia yang iritan yang
mampu merusak jaringan interna ambing (Anri 2008). Disisi lain, mastitis
merupakan penyebab utama kerugian ekonomi pada peternakan sapi
perah akibat adanya infeksi pada ambing, kurangnya perawatan
hewan, kurangnya penanganan susu, seperti susu yang terkontaminasi
bakteri patogen dan/atau dengan residu antibiotik.
Kondisi ini sangat umum pada hampir semua peternakan,
walaupun telah menerapkan kontrol yang ketat terhadap program mastitis.
Mikroba patogen penyebab mastitis adalah Staphilococcus aureus,
Escherichia coli dan Streptococcus uberis karena dapat menurunkan
kesehatan dan kesejahteraan hewan serta menyebabkan kerugian
secara ekonomi, khususnya dalam produksi ternak (Peton dan Loir
2014). Biaya rata-rata tahunan pada penanggulangan mastitis terhadap
100 ekor sapi perah diperkirakan 4.896 € (Halasa et al., 2009) dan sangat
berpengaruh terhadap keberlangsungan ternak. S. aureus penyebab
mastitis juga menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang
potensial, karena hasil isolasi susu yang berasal dari kelenjar terinfeksi
memiliki gen enterotoksin (kurang dari 10000 CFU/mL) penyebab
keracunan sthaphylococcal (Le Marechal, et al 2011). Bagian yang paling
mudah terkontaminasi adalah ambing dan perlengkapan mesin pemerah
susu. Staphylococcus dapat ditularkan dari puting ke puting selama
pemerahan, melalui mesin pemerah susu atau tangan petugas.
Penularan dapat juga disebabkan antara ternak dan peternak
(Sakwinska et al 2011). Menurut Anri (2008) mastitis akibat S. aureus
sangat infeksius karena sangat mudah menular dari satu sapi ke sapi
yang lainnya. Pengobatan dengan antibiotika kurang efektif (tidak bisa

400
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
sembuh sendiri dan angka kesembuhan rendah) karena karakteristik dari
S. aureus adalah menginfeksi jaringan dalam ambing (deep site
infection) bukan di dalam kelenjar ambing dan membentuk mikro abses
sehingga mempersulit antibiotika untuk mencapai daerah terinfeksi dan
sebagian besar sudah resisten terhadap beberapa jenis antibiotika umum,
meningkatkan jumlah sel somatik (SCC) serta menurunkan kualitas dan
produksi susu secara signifikan. Selain itu dapat menimbulkan masalah
yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat, yaitu bakteri ini bisa
menghasilkan enterotoxin yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Banyaknya kasus kejadian mastitis subklinis di berbagai kondisi
peternakan menjadi alasan perlu dilakukan kajian mikrobiologis terhadap
susu sapi di KUD Tasikmalaya sebagai salah satu wilayah sentra susu di
Jawa Barat.
MATERI DAN METODA
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah inkubator,
petri dish, tabung steril, cool box, CMT reagent, CMT paddle, sheep
blood agar, Muller Hilton agar dan bahan penunjang dalam pengambilan
sampel serta isolasi dan identifikasi bakteri.
Persiapan sampel susu sapi
Susu berasal dari 15 ekor sapi yang dipelihara di KUD
Tasikmalaya dengan pemberian pakan rumput dan konsentrat. Limabelas
mililiter susu diperah langsung dari setiap puting dan dimasukkan ke
dalam tabung falcon steril yang sudah diberi identitas. Kemudian
dimasukkan ke dalam cool box yang berisi gel ice dan dibawa ke
laboratorium untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.
Pengukuran California Mastitis Test (CMT)
Pengukuran CMT dilakukan sesuai dengan metode Schalm dan
Noorlander (1957) dengan pemerikasaan sampel sesaat setelah susu
diperah. Setiap 2 ml susu dari masing-masing puting diperah pada paddle,
ditambahkan 2 ml reagen CMT (Bovivet, Kruuse, Denmark) dan digoyang
perlahan kemudian diamati reaksi yang terjadi setelah 10 detik. Hasil

401
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

pengujian negatif (bila campuran susu dan reagen CMT tetap homogen),
Trace (terbentuk sedikit endapan), (+, endapan terlihat jelas), (++,
campuran langsung mengental dan gel bergerak ke tengah paddle), dan
(+++, banyak terbentuk gel dan menyebabkan permukaan menjadi
cembung) (Setiawan et al. 2014), seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Reaksi susu yang diberi reagen CMT

Penghitungan Total Bakteri Metode Agar Sebar


Sebanyak 0.1 ml sampel dituang pada permukaan Plate Count Agar
(PCA) yang sudah memadat dalam cawan petri, lalu sampel diratakan di
atas permukaan media tersebut dengan bantuan alat perata/spread (Lay,
1994). Sampel diinkubasi pada suhu 30 – 37°C selama 24-48 jam.
Jumlah koloni dihitung berdasarkan Total Plate Count (TPC) menurut
BSN (1998).

Identifikasi Bakteri
Sebanyak 0.1 ml sampel dituang pada permukaan Mannitol Salt
Phenol Red Agar (MSPRA), Blood Agar dan MacConkey Agar yang
sudah memadat dalam cawan petri, lalu sampel diratakan di atas
permukaan media tersebut dengan bantuan alat perata/spread (Lay,
1994). Inkubasi pada suhu 37°C selama 24 - 48 jam.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengujian menggunakan CMT secara teratur merupakan tindakan
deteksi tahap awal terhadap kasus mastitis dengan tingkat sensitivitas
96,7% dan spesifisitas 100%, dimana sensitivitas menunjukkan
kemampuan suatu alat uji untuk menunjukkan hasil positif pada sapi yang
menderita mastitis subklinis, sedangkan spesifisitas menunjukkan

402
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
kemampuan alat uji untuk menunjukkan hasil negative pada sapi yang
menderita subklinis dengan tingkat keakuratan sebesar 0,983 AUC (area
under curve) (Setiawan et al. 2014). Pengujian terhadap sampel susu
sapi perah FH yang dikoleksi dari KUD Tasikmalaya terhadap mastitis
dan populasi mikroba menggunakan California Mastitis Test (CMT) dan
Total Plate Count (TPC) dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 2.

Tabel 1. Analisa California Mastitis Test (CMT) dan Total Plate Count
(TPC) pada sapi perah FH di KUD Tasikmalaya

Indikasi mastitis Rataan Jumlah koloni


Hasil CMT
(%) bakteri (CFU/ml)
+ 26,67 4,3 x 106
++ 66,67 8,3 x 106
+++ 6,67 2,2 x 107
Keterangan: +, ++ dan +++ = tingkat indikasi mastitis
CFU = Colony Forming Units

Gambar 2. Populasi total koloni mikroba pada media Plate Count Agar
Berdasarkan hasil California Mastitis Test (CMT) dan Total Plate

Count (TPC) pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa semakin tinggi


tingkat indikasi mastitis subklinis (+, ++ dan +++), semakin tinggi populasi
mikroba yang dihasilkan. Mastitis subklinis tingkat trace, tingkat 1 dan
tingkat 2 tidak berpengaruh terhadap kualitas susu sedangkan mastitis
subklinis tingkat 3 berpengaruh terhadap kualitas susu seperti kadar
lemak, protein, laktosa, bahan kering dan bahan kering tanpa lemak
(Firmansyah et al. 2014).

403
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Hal ini menunjukkan bahwa sapi-sapi tersebut mengalami mastitis,


karena jumlah koloni bakteri yang tumbuh melebihi ambang SNI 2011,
yaitu > 1 x106 CFU/ml (BSN 2011), sehingga susu sudah tidak layak
dikonsumsi. Tingginya angka TPC dapat disebabkan oleh adanya infeksi
mikroorganisme. Penyebab utama infeksi S. aureus pada peternakan
sapi perah berasal dari ambing, bulu dan puting yang terinfeksi. Sapi
yang terinfeksi sthaphylococci mengkontaminasi susu pada konsentrasi
yang bervariasi (<100 CFU/ml - >100000 CFU/ml) (Sakwinska et al 2011).
Identifikasi mikroorganisme penyebab mastitis dilakukan melalui
media selektif dan pewarnaan Gram. Ada 2 jenis bakteri yang dianalisis
lebih lanjut yaitu S. aureus dan E coli, seperti terlihat pada Gambar 3 dan
Gambar 4.

a b

Gambar 3. Identifikasi dengan media selektif (a= S. aureus; b= E. coli)

Staphylococcus aureus akan memfermentasi warna merah


mannitol menjadi kuning dan pada pewarnaan gram akan berbentuk
coccus berwarna ungu. Bakteri ini merupakan bakteri pembentuk
enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan pangan. Sedangkan E.
coli menggunakan MacConkey agar yang mampu membedakan
kemampuan memfermentasi laktosa, sehingga dapat diketahui bahwa
susu sapi yang terindikasi mastitis sub klinis mengandung bakteri S.
auereus dan E. coli. Lokasi tempat pemerahan ke laboratorium dapat
menjadi salah satu penyebab tingginya populasi mikroba pada susu,
seperti hasil penelitian Ahmadi et al (2004) yang menunjukkan bahwa
kualitas susu yang keluar dari puting sapi merupakan yang terbaik dan
akan mengalami penurunan selama proses pasca panen dan transportasi,

404
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
dimana kualitas susu terus menurun mulai dari tingkat petani, pengumpul,
KUD dan IPS yang diindikasikan dengan semakin tingginya jumlah TPC,
yaitu 22,9% pada tingkat petani dan 48,89% pada tingkat IPS (Winarso
2008).
Sugiri dan Anri (2014) menerangkan bahwa S. aureus memiliki
karakteristik ukuran sedang, warna putih kekuningan dan memiliki koloni
dengan pola hemolisis pada agar darah adalah α- dan β-hemolysis.
Dengan pewarnaan gram berwarna biru-ungu (+), bulat dan bergerombol
seperti anggur. Sebanyak 390 sampel susu dari 19 peternakan di wilayah
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun 2008-2010
seluruhnya terinfeksi Streptococcus agalactiae (100%) dan 42%
terinfeksi Staphylococcus aureus. Menurut Anri (2008), tingginya angka
infeksi (prevalensi) dari S. agalactiae dan S. aureus serta jenis bakteri
lainnya dalam susu menunjukkan bahwa peternak belum menerapkan
sistem manajemen pemerahan serta kesehatan pemerahan (Milking
Hygiene) yang baik dan benar. Tidak diterapkannya manajemen dan
kesehatan pemerahan yang baik dan benar tidak hanya ditemui pada
peternak skala kecil saja, bahkan di beberapa peternakan yang semi
modern (menggunakan mesin perah) juga masih ditemukan, seperti pada
saat proses pengambilan sampel, masih banyak peternak yang tidak
melakukan sterilisasi peralatan pemerahan sebelum pemerahan diumulai,
tidak menggunakan desinfektan dan air hangat untuk membersihkan
ambing dan puting pada saat sebelum pemerahan, menggunakan satu
lap ambing untuk beberapa ekor sapi, memerah masih menggunakan
pelicin (vaseline) yang kotor dan tidak disimpan sebagaimana mestinya,
ambing masih dalam keadaan basah saat pemerahan dimulai, memerah
tidak sampai tuntas, dan peternak tidak melakukan desinfeksi puting
secepatnya setelah pemerahan (melakukan teat dipping) menggunakan
desinfektan yang efektif seperti larutan yodium 0.5-1%, ada juga yang
menerapkan program celup puting tapi menggunakan desinfektan yang
kurang efektif seperti Benzalkonium Chloride (BKC). Langkah-langkah

405
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

tersebut tidak dilaksanakan pada proses pemerahan di lapangan,


padahal menurut Sudarwanto (2009) dan Anri (2008) pemberian
desinfektan yang paling efektif dan disarankan untuk celup puting adalah
yodium 0.5-2% karena yodium mampu membunuh bakteri dalam waktu
yang cukup singkat jika dibandingkan dengan desinfektan lainnya.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kualitas mikrobiologis pada sejumlah susu yang terindikasi
mastitis di KUD Tasikmalaya menunjukkan penghitungan total bakteri
melebihi ambang batas SNI >106 CFU/ml serta ditemukannya bakteri
Staphylococcus aureus dan E. coli.
Untuk menghindari kejadian mastitis subklinis, peternak harus
benar-benar menerapkan sistem manajemen yang ditaati oleh setiap
pekerja yang terlibat, seperti pemeliharaan kebersihan lingkungan
kandang dan ternak, penanganan sebelum, saat dan setelah pemerahan
serta pendistribusian sampai pada tingkat konsumen.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami ucapkan terima kasih atas dana penelitian DIPA PN Meat
and Milk Pro, Laboratorium Reproduksi, Pemuliaan dan Kultur Sel Hewan
serta Laboratorium Mikrobiologi Terapan, Pusat Penelitian Bioteknologi
LIPI. Terimakasih juga disampaikan kepada Adit, Popy dan Quro atas
segala bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Kustono, Soetarno dan Rustamadji T. 2004. Risalah simposium
penelitian persusuan nasional. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada. Jogyakarta
Anri, A. 2008. Manual on mastitis control. The Project for Improvement of
Countermeasures on the Productive Diseases on dairy Cattle in Indonesia.
Jica Indonesia Office, Jakarta.

406
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. Metoda pengujian susu segar. SNI
01-2782-1998. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. Susu segar Bagian 1: Sapi. SNI 01-
3141-2011. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta
Firmansyah D, Trisunuwati P dan Winarso D. 2014. Pengaruh tingkat mastitis
subklinis terhadap kualitas susu sapi perah PFH (peranakan Friesian
Holstein) pada berbagai bulan laktasi. http://pkh.ub.ac.id/. 28 Oktober
2014
Halasa T, Nielen M, De Roos AP, Van HR, ,Lam de JG, Van TJ, Hogeveen WT,
dan Van HR, 2009. Production loss due to new subclinical mastitis in
Dutch dairy cows estimated with a test-day model. J. Dairy Sci. 92, 599–
606
Lay BW. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: Grafindo. ISBN 979-
421-388-8. Hal110
Le Marechal C, Thiery R, Vautor E dan Le Loir Y. 2011d. Mastitis impact on
technological properties of milk and quality of milk products-a review. Dairy
Sci. Technol. 91, 247–282.
[NMC] National Mastitis Council Inc. 1999. Laboratory handbook on bovine
mastitis, revised edition. 2820 Walton Commons West, Madison, WI,
United States of America.
Peton V dan Loir YL. 2014. Staphylococcus aureus in veterinary medicine. Infect.
Gen. Evol. 21:602-615
Sakwinska O, Giddey M, Moreillon M, Morisset D, Waldvogel A dan Moreillon P,
2011. Staphylococcus aureus host range and human-bovine host shift.
Appl. Environ. Microbiol. 77, 5908–5915.
Schalm OW dan Noorlander DO. 1957. Experiments and observations leading to
development of the California mastitis test. Journal of the American
Veterinary Medical Association 130:199–204
Setiawan HP, Trisunuwati dan Winarso D. 2014. Kajian sensitivitas dan
spesifisitas reagen CMT, WST dan SFMT sebagai bahan uji mastitis
subklinis di peternakan sapi perah rakyat, KUD Sumber Makmur
Ngantang http://pkh.ub.ac.id/wp-content/. 28 Oktober 2014
Sudarwanto M. 2009. Mastitis dan kerugian ekonomi yang disebabkannya.
Makalah pada TOT JICA The 3rd. Oktober 2009, Cikole-Lembang,
Bandung Barat.
Sugiri YD dan Anri A. 2014. Prevalensi pathogen penyebab mastitis subklinis
(Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalatiae) dan patogen
penyebab mastitis subklinis lainnya pada pegternak skala kecil dan
menengah di beberapa sentra peternakan sapi perah di Pulau Jawa.
http://disnak.jabarprov.go.id/. 28 Oktober 2014.
Winarso D. 2008. Hubungan kualitas susu dengan keragaman genetic dan
prevalensi mastitis subklinis di daerah jalur susu Malang sampai Pasuruan.
J. Sain Vet. 26(2):58-65

407
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

AKTIVITAS ANTIRADIKAL DPPH SENYAWA


EKSOPOLISAKARIDA (EPS) BAKTERI ASAM LAKTAT
YANG DIISOLASI DARI PRODUK FERMENTASI
Kusmiati1), Eka S. Setioningrum2) dan Fifi Afiati1)
1)
Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Jl Raya Bogor Km 46 Cibinong 16911 Telp. 021-
8754587 Fax. 021-8754588
2)
Sekolah Tinggi Teknologi Industri dan Farmasi, Jl. Kumbang No. 23 Bogor
Email : kusmiati02@yahoo.com

ABSTRAK
Bakteri asam laktat (BAL) mampu menghasilkan eksopolisakarida (EPS),
senyawa ini berfungsi sebagai imunostimulan dan antitumor. Penambahan EPS
ke dalam produk fermentasi berperan sebagai penebal, penstabil, pengemulsi
dan pembentuk gel. Pada penelitian ini sebanyak 3 isolat BAL telah berhasil
diisolasi dari produk fermentasi yaitu dengan kode S-1 (yoghurt Bogor), S-2
(yoghurt Jakarta) dan S-7 (keju mozarella jakarta). Isolat tersebut dikultur dalam
media MRS cair pada suhu 37oC selama 48 jam. Kultur sel disentrifugasi dengan
kecepatan 10.000rpm selama 15 menit, sehingga biomasa sel terpisah dari
supernatannya. Selanjutnya dilakukan ekstraksi untuk memperoleh EPS yang
diuji potensinya sebagai antiradikal DPPH. Komponen EPS dikarakterisasi
menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Hasil menunjukkan bahwa
produksi EPS tertinggi sebesar 116,6 mg/L (S-1), diikuti 103,3 mg/L (S-7) dan
93,3 mg/L (S-2). Uji potensi antiradikal DPPH diperoleh IC50=88.95(S-1),
IC50=85.02 (S-2) dan IC50=84.54 (S-7). Hasil analisis komponen eksopolisakarida
dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) menunjukkan bahwa S1 dan S7
terdiri dari maltoheptaosa, sedangkan S-2 terdiri dari glukosa dan maltoheptaosa.

Kata kunci: Eksopolisakarida, Bakteri asam laktat, antiradikal DPPH.

PENDAHULUAN
Bakteri asam laktat (BAL) yaitu kelompok bakteri Gram Positif, tidak
berspora, katalase negatif, sumber energi karbohidrat untuk membentuk
asam laktat, bersifat aerob, fakultatif dan anaerob. BAL dikelompokan
berdasarkan metabolisme glukosa yaitu BAL homofermentatif yang
hanya memproduksi asam laktat dan BAL heterofermentatif, selain asam
laktat menghasilkan asam asetat, etanol dan CO2 (Maryam et al., 2012).
Bakteri asam laktat dapat menghasilkan Eksopolisakarida (EPS)
yaitu polisakarida yang dieksresikan keluar sel. Berdasarkan
komposisinya, EPS yang dihasilkan BAL digolongkan menjadi dua yaitu
homopolisakarida yang tersusun dari satu jenis monomer dan

408
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
heteropolisakarida terdiri lebih dari satu jenis monomer. Eksopolisakarida
yang dihasilkan bakteri asam laktat memiliki sifat-sifat fisik dan reologi
yang unik yang menguntungkan untuk aplikasi dalam industri pangan
sebagai bahan pengental, penstabil, pembentuk gel dan pengemulsi.
Eksopolisakarida berasal dari BAL sudah secara luas digunakan untuk
meningkatkan reologi, tekstur, dan rasa dari produk fermentasi susu yaitu
yoghurt dan keju. Penelitian ke arah EPS semakin meningkat karena
memiliki potensi aktifitas biologi yang tinggi sebagai antitumor,
imunostimulan, penurun kolesterol dan aktivitas antioksidan.
Eksopolisakarida dari BAL berpotensi sebagai bahan aditif atau sebagai
komponen pangan fungsional yang aman dikonsumsi, sehat dan
ekonomis (Zhang et al., 2013) atau sebagai antioksidan (Ganzle et al.,
2005).
Kerusakan oksidatif berkaitan dengan reaktifitas radikal bebas yang
memicu timbulnya berbagai penyakit seperti kanker, sirosis,
aterosklerosis dan arthritis (Halliwell & Gutteridge, 1984). Untuk
perlindungan terhadap kerusakan oksidatif dalam tubuh diperlukan
senyawa antioksidan. Sistem enzim dalam tubuh mampu menangkal
radikal bebas seperti superoksid dismutase dan katalase. Penggunaan
antioksidan sintetis seperti BHA, BHT dan n-propil galat (PG) memiliki
resiko secara in vivo, sehingga antioksidan alami menjadi alternatif
pilihan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh eksopolisakarida dari
bakteri asam laktat yang berpotensi sebagai antioksidan yang diuji
menggunakan senyawa DPPH.

MATERI DAN METODE


Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga isolat BAL
berasal dari produk fermentasi dengan kode S1 (yoghurt-Bogor), S2
(yoghurt-Jakarta) dan S7 (keju-Jakarta) yang merupakan koleksi Puslit
Bioteknologi – LIPI. Media untuk pertumbuhan BAL yaitu media De Mann

409
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Rogosa and Sharpe (MRS Oxoid), NaOH 1N, akuades steril, etanol 96 %,
metanol, larutan 1,1 – Difenil – 2- pikrihidrazil (DPPH) (Sigma).

Prosedur Penelitian
EPS hasil ekstraksi dari kultur BAL yang berasal dari produk
fermentasi, diuji potensinya sebagai antioksidan dengan menggunakan
radikal DPPH (1,1-diphenyl-2- picryldrazyl ) (Osuntoki & Korie, 2010).
Komponen EPS dianalisis menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.
Pembuatan Prekultur
Ditimbang MRS sebanyak 3,1 g ditambahkan akuades steril hingga
volume 60 mL bagi menjadi 3 labu Erlenmeyer masing – masing 20 ml.
Ditimbang kembali MRS sebanyak 5,2 g ditambahkan akuades steril
hingga volume 100 mL buat masing – masing 9 labu Erlenmeyer. Setelah
semua prekultur siap kemudian sterilkan dengan autoklaf pada suhu
1210C, tekanan 1 atmosfer selama 15 menit.
Peremajaan Bakteri Asam Laktat (BAL)
Stok isolat bakteri asam laktat kode S1, S2 dan S7 diinokulasi
2 ose kedalam Erlenmeyer berisi 20 ml media MRS cair, kocok
selama 24 jam. Kultur bakteri segar (OD±1) lalu diinokulasikan
masing–masing kedalam 100 ml MRS cair dalam 9 labu
Erlenmeyer. Inkubasi dengan pengocokan selama 48 jam pada
suhu 370C. Kultur bakteri asam laktat siap dipanen dengan
disentrifugasi.
Ekstraksi Eksopolisakarida (Savadogo et al., 2004).
Kultur Bakteri Asam Laktat dituang ke botol Valkon untuk disentrifus
pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit sehingga supernatan dan
biomassa terpisah. Biomassa sel dibuang, sedangkan supernatan
ditambah etanol 96 % dingin sebanyak 2 kali volume supernatan. Simpan
supernatan pada suhu 4oC selama 24 jam agar terjadi presipitasi
eksopolisakarida (EPS). Lakukan sentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm
selama 20 menit untuk mendapatkan pelet. Selanjutnya pelet dibilas
dengan akuades dan 2 kali volume etanol dingin. Sampel disentrifugasi
kembali dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit. Endapan yang
diperoleh dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 40oC dan timbang
bobot kering EPS tersebut (mg).
Pembuatan Larutan Uji EPS S1, S2, dan S7
Ditimbang ekstrak eksopolisakarida masing-masing dengan
kode EPS S1, EPS S2 dan EPS S7, sebanyak 5 mg dilarutkan

410
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
dalam 5 ml H2O. Dari larutan induk 1000 ppm masing–masing
diencerkan sehingga diperoleh konsentrasi 12.5 ppm, 25 ppm,
37.5 ppm, dan 50 ppm.
Uji aktivitas antioksidan dengan DPPH (Molyneux, 2004)
Ditimbang sebanyak 2 mg kristal DPPH, dilarutkan dalam 50 ml
metanol dalam botol gelap. Prinsip analisis antioksidan yaitu
senyawa antioksidan eksopolisakarida bereaksi dengan radikal
DPPH melalui mekanisme donasi atom hidrogen dan
menyebabkan terjadinya perubahan warna DPPH dari ungu ke
kuning, yang diukur dengan spektrofotometer UV– Vis pada
panjang gelombang 515 – 517 nm. Semakin pudar warna yang
dihasilkan, maka aktivitas antioksidan eksopolisakarida semakin
tinggi dan sebaliknya. (Blois, 1958 dalam Molyneux,2004).
Aktivitas antioksidan dihitung dengan rumus :

% hambatan = x 100%

Hidrolisis EPS (Savadogo et al., 2004).


Hidrolisis EPS dilakukan selama 2 jam menggunakan asam sulfat 1 M
pada suhu 100oC pada tabung reaksi tertutup. Pengujian komponen gula
dari hidrolisat ditetapkan menggunakan KCKT.
Analisis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Jhonson et al., 2007).
Ekstrak EPS dihidrolisis, kemudian sampel masing-masing
diinjeksikan pada KCKT dengan kondisi alat sebagai berikut:
Fase gerak : H2SO4 0.008 N
Kolom : Aminex® HPX- 87H, 300 mm x 7.8 mm
Detektor : Refractive Index
Flow rate : 1ml/min
Volume Injeksi : 20 µl
Suhu Kolom : 35o C
Back Pressure : 1388 psi
Sebagai pembanding digunakan standar glukosa. Panjang
gelombang yang digunakan adalah 254 nm. Hasil analisis sampel dengan
KCKT berupa kromatogram.

411
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

HASIL DAN PEMBAHASAN


Ekstraksi Eksopolisakarida
Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu komponen yang ada
dalam suatu bahan atau sampel. Kesempurnaan ekstraksi tergantung
pada banyaknya estraksi yang dilakukan dan pelarut yang digunakan.
Tabel 1. Hasil Bobot kering EPS S1, S2 dan S7
Bobot Kering Eksopolisakarida (mg/ml kultur)
Ulangan
EPS S1 EPS S2 EPS S7
1 0,1140 0,1196 0,1077
2 0,1345 0,1401 0,1160
3 0,1550 0,1606 0,1243
Rata -rata 0,1345 0,1401 0,1160
SD 0,0167 0,0167 0,0068

Tabel 1 menunjukkan hasil ekstrak EPS rata-rata yang diperoleh sebesar


0,1345 mg/ml(EPS S1), 0,1401 mg/ml (EPS S2), dan 0,1160 mg/ml(EPS
S7). Ketiga isolat BAL menghasilkan jumlah EPS yang berbeda. Jumlah
EPS rata–rata tertinggi diperoleh BAL S2 dan terendah BAL S7.
Perbedaan jumlah EPS dipengaruhi oleh perbedaan genetis karena dari
galur BAL yang berbeda. Kemampuan setiap galur bakteri untuk
beradaptasi dengan lingkungan berbeda-beda. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pada produksi EPS bakteri asam laktat, yaitu suhu, waktu
inkubasi, pH medium pertumbuhan, tipe medium pertumbuhan, sumber
karbon, dan sumber mikromineral. Hasil penelitian lain melaporkan
bahwa bakteri asam laktat genus Lactobacillus casei yang merupakan
starter kultur dalam pembuatan yoghurt memproduksi maksimal EPS
(0,121 mg/ml) diperoleh pada inkubasi 30oC selama 24 jam (Mozzi et al.,
1996). Hasil penelitian lain melaporkan bahwa Lactobacillus bulgaricus
yang merupakan starter yoghurt menghasilkan EPS optimal (0,3592
mg/ml medium) pada suhu 30oC dengan waktu inkubasi selama 16 jam
(Abustam, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan Nguyen&Nguyen (2014)

412
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
terhadap L. lactis NCR112 menunjukkan bahwa hasil EPS tertinggi
diperoleh pada fase stasioner sebesar 0,0479 ± 0,0022 gram/5 ml kultur.

Uji Aktivitas EPS Sebagai Antiradikal DPPH (Molyneux, 2004)


Senyawa 1,1–difenil–2–pikrilhidrazil (DPPH) merupakan radikal
sintetik yang larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol. Hasil
pengukuran uji antioksidan EPS S1, S2 dan S7 dengan menggunakan
metode DPPH diperoleh IC50 sebesar 88,9545 µg/ml (EPS S1) , 85,0167
µg/ml (EPS S2), 84,5427 µg/ml (EPS S7), dan antioksidan pembanding
yaitu vitamin C diperoleh IC50 sebesar 70,4253 µg/ml. Ketiga EPS
tersebut memiliki potensi antioksidan yang kuat karena dapat
menghambat 50% proses oksidasi dari radikal bebas DPPH. Menurut
Bios dalam Molyneux (2004), suatu senyawa dikatakan sebagai
antioksidan yang sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 50 bpj, kuat
apabila nilai IC50 50–100 bpj, sedang apabila nilai IC50 100–150 bpj, dan
lemah bila nilai IC50 antara 150–200 bpj.
Hasil pengukuran uji aktivitas antiradikal DPPH senyawa EPS
tercantum pada Tabel 2 dan Vitamin C pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 2. Hasil pengukuran aktifitas antiradikal DPPH EPS S1, S2 dan S7.
Kons.
Absorbansi % Pers. regresi
Sampel EPS
517nm Inhibisi dan IC50 (bpj)
(bpj)
12,5 0,5985 5,5993 y= 0,594x – 2,839
r²= 0,987
S1 25 0,5675 10,4889
IC 50 = 88,9545
37,5 0,5105 19,4795
50 0,4605 27,3659
12,5 0,5845 7,8075 y = 0,596x – 0,670
r² = 0,986
25 0,5535 12,6971
IC 50 =85,0167
S2 37,5 0,4960 21,7665
50 0,4460 29,6529

413
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

12,5 0,5830 8,0441 y = 0,597x – 0,472


r² = 0,986
25 0,5520 12,9337
IC 50 = 84,5427
S7 37,5 0,4950 21,9243
50 0,4440 29,9684

Tabel 3. Hasil pengukuran aktifitas antiradikal DPPH sampel vitamin C.


Vitamin C Absorbansi % Inhibisi Pers. regresi
(bpj) 517 nm dan IC50 (bpj)
12,5 0,6235 1,6561
y = 0,870x –
25 0,5855 7,6498
11,27
37,5 0,5015 20,8990
r² = 0,976
50 0,4215 33,5173 IC 50 = 70,4253

Gambar 1. Hubungan antara konsentrasi (bpj) EPS S1 (kiri), EPS S2


(kanan) terhadap % inhibisi DPPH.

Gambar 2. Hubungan antara konsentrasi (bpj) EPS S7 (kiri), Vitamin C


(kanan) terhadap % inhibisi DPPH.

414
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Dari hasil grafik diatas tiap sampel EPS S1, S2 ,S7 dan Vitamin-C
menunjukan bahwa semakin tinggi konsentrasi, semakin tinggi pula
persen inhibisi yang dapat menghambat oksidasi, maka aktivitas
antioksidan yang dihasilkan semakin baik. Hasil penelitian terhadap
Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium adolescentis menunjukkan
bahwa EPS crude (10 mg/ml) dapat menghambat aktivitas radikal DPPH
dengan persentase hambatan sebesar 52.86% ± 0.133 (Nguyen &
Nguyen, 2014).

Analisis EPS dengan KCKT (Jhonson et al., 1999)


Untuk analisis kualitatif komponen gula pada ekstrak EPS digunakan
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Identifikasi dilakukan terhadap
sampel EPS-S1, EPS-S2 dan EPS-S7. Pengujian diawali dengan
pembuatan sampel ekstrak konsentrasi 1000 ppm. Standar yang
digunakan adalah glukosa 500 ppm. Kemudian sampel diinjeksikan pada
KCKT. Hasil berupa kromatogram larutan standar (Gambar 3) dan
sampel EPS S1, S2 dan S7 (Gambar 4,5 dan 6) dibawah ini.

Maltoheptaosa

415
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

Glukosa

Gambar 3. Kromatogram larutan standar glukosa

20.00

18.00

16.00

14.00
4.122

12.00
maltoheptaosa
10.00
MV

8.00

6.00 8.508

4.00

2.00

0.00

-2.00
1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00
Minutes

Gambar 4. Kromatogram larutan EPS-S1

416
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
20.00

18.00

16.00

14.00

4.117
12.00
maltoheptaosa
10.00
MV

8.00

6.00

4.00

8.496
5.617
2.00
Glukosa
0.00

-2.00
1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00
Minutes

Gambar 5. Kromatogram larutan EPS-S2

20.00

18.00

16.00

14.00

12.00
4.123

10.00
maltoheptaosa
MV

8.00

6.00

4.00

2.00

0.00

-2.00
1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00
Minutes

Gambar 6. Kromatogram larutan EPS-S7

Kromatogram larutan standar maltoheptaosa menghasilkan puncak


pada waktu retensi 4.137 menit, sedangkan standar glukosa pada 5.686
menit. Hasil kromatogram sampel EPS dibandingkan terhadap
kromatogram larutan standar menunjukkan bahwa EPS-S1, S-2 dan S7
mengandung maltoheptaosa. Gambar 4 menunjukkan bahwa EPS-S1
terdapat 2 puncak yaitu pada 4.122 menit (maltoheptaosa) dan 8.508
menit (tidak ada pembanding). Pada sampel EPS-S2 selain
maltoheptaosa juga mengandung glukosa (Gambar 5). Dari hasil analisis
kualitatif terhadap EPS menggunakan KCKT diduga bahwa bakteri asam
laktat tersebut menghasil EPS bersifat heteropolisakarida (S1 dan S2),

417
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

sedangkan S7 bersifat homopolisakarida karena puncak kromatogram


yang muncul hanya satu yaitu maltoheptaosa (Gambar 6).

KESIMPULAN
Isolat bakteri asam laktat yang berbeda menghasilkan jumlah
eksopolisakarida (EPS) yang berbeda. Berdasarkan urutan produksi EPS
terbesar yang terbentuk berturut turut bakteri asam laktat S2 > S1 > S7.
EPS yang diekstraksi dari kultur bakteri asam laktat menunjukkan potensi
sebagai antioksidan yang diuji menggunakan radikal DPPH. Nilai IC50
berdasarkan urutan terbaik yaitu EPS- S7>S2>S1. Antioksidan baku
pembanding memiliki nilai IC50 sebesar 70.4253 bpj (Vitamin C).
Analisis kualitatif dengan Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)
menunjukkan bahwa komponen EPS S1 dan S7 yaitu senyawa
maltoheptaosa, sedangkan EPS - S2 terdiri dari glukosa dan
maltoheptaosa.

DAFTAR PUSTAKA

Abustam., 2004. Effect of curdlan, a bacteria polysaccharide on the physical


properties and microstructure of acid milk curd by lactic acid fermentation.
Master Thesis. Faculty of Agriculture, Miyazaki University. Japan.
Ganzle M. G. Michael., dan C. Schwab. 2005. Exopolysaccharide production by
intestinal lactobacilli. In: Tannock G. W, editors. Probiotics & Prebiotics:
Scientific Aspects. Norfolk: Caister Academic Press. Hal: 83-96.
Halliwell B. dan JMC.Gutteridge. 1984. Oxygen toxicity, oxygen radicals,
transition metals and disease. Biochem. J. 219 :1-4.
Jhonson, E.L. dan R. Stevenson. 1999. Dasar Kromatografi Cair. Alih Bahasa:
Kosasih Padmawinata. ITB Press, Bandung.
Li Zhang, C. Liu, Da Li, Y. Zhao, X. Zhang, X. Zeng, Z. Yang dan S. Li. 2013.
Antioxidant activity of an exopolysaccharide isolated from Lactobacillus
plantarum C88. International Journal of Biological Macromolecules 54:
270–275
Maryam A. S. Abubakr, Z. Hassan, M. Muftah. A. Imdakim dan Sharifah, N.R.S.A.
2012. Antioxidant activity of lactic acid bacteria (LAB) fermented skim milk
as determined by 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) and ferrous
chelating activity (FCA). African Journal of Microbiology Research Vol.
6(34) : 6358-6364.
Nguyen, D.T. dan T. H. Nguyen. 2014. Detection On Antioxidant And Cytotoxicity
Activities Of Exopolysaccharides Isolated In Plant Originated
Lactococcus Lactis. Biomedical & Pharmacology Journal Vol.7(1): 33-38.

418
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
Molyneux, P., 2004. The use of the stable free radical diphenyl picrylhydrazyl
(DPPH) for estimating antioxidant activity. J. Sci. Technol., 26(2): 211-219
Mozzi, F., G.S. de Giori, G. Oliver dan G.F. de Valdes. 1996. Exopolysaccharide
productoin by Lactobacillus casei in milk under different growth conditions.
Milchwissenchaft, 51 (12): 670-673.
Osuntoki A. dan I. Korie. 2010. Antioxidant Activity Of Whey From Milk
Fermented With Lactobacillus Species Isolated From Nigerian Fermented
Foods. Food Technol. Biotechnol. 48 (4): 505–511.
Savadogo, A., Cheik A. T. Ouattara, Paul W. S., Nicolas B., Aboubacar S.O., dan
Alfred S. T. 2004. Identification of exopolysaccharides-producing lactic
acid bacteria from Burkina Faso fermented milk samples. African Journal
of Biotechnology Vol. 3 (3): 189-194.

419
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”

UPAYA PENINGKATAN KUALITAS DAGING


MELALUI STUDI PREKURSOR ADIPOSA
Laurentius J.M. Rumokoy, Charles L. Kaunang, Wisje Lusia Toar,
Ivonne M. Untu dan Nurhalan Bawole

Program Studi Ilmu Peternakan, Fakultas Peternakan,


Universitas Sam Ratulangi
E-mail rumokoy@msn.com

ABSTRAK
Pengaturan nutrisi dan makanan yang disuplai pada ternak menjadi suatu
tindakan esensial dalam meningkatkan kualitas produk ternak. Tindakan ini perlu
dibarengi dengan strategi peningkatan kualitas daging ternak dilihat dari aspek
organoleptik yang aman bagi konsumen. Artikel ini bertujuan untuk
mempresentasikan suatu teknik dalam upaya peningkatan kualitas daging
melalui studi prekursor adiposa pada hewan ternak mamalia yang memiliki
prolifik tinggi. Metode pendekatan yang digunakan dalam studi prekursor adiposa
yaitu pendekatan morfologik dan biokimiawi. Melalui pendekatan morfologik akan
memberi informasi perubahan tampilan sel pada tahap proses multiplikasi hingga
diferensiasi. Sedangkan melalui pendekatan secara biokimiawi akan memberi
informasi mengenai aktifitas molekul pada proses sistesis lipida sel. Dengan
demikian salah satu upaya peningkatan kualitas daging yang dikaitkan dengan
fungsi adiposa dapat ditempuh melalui studi prekursor adiposa.

Kata kunci: kualitas daging; prekursor adiposa

PENDAHULUAN
Peningkatan populasi penduduk dunia yang begitu cepat harus
diimbangi dengan kemajuan produksi pangan hewani misalnya produk
daging ternak. Data jumlah hewan dipotong di rumah hewan yang
dilaporkan BPS (2014) sampai dengan tahun 2012, menunjukkan ada
penurunan dibanding yang terjadi pada tahun 2000. Hal ini tercermin dari
angka sapi potong di rumah potong pada tahun 2000 mencapai
1.538.420 ekor sedangkan pada tahun 2012 tinggal 1.421.319 ekor;
kerbau pada tahun 2000 berjumlah 137.470 ekor pada tahun 2012
menurun tajam yaitu 58.402 ekor saja; ternak kambing dari 688.047 ekor
pada tahun 2000 menurun menjadi 523.188 ekor pada tahun 2012;
sedangkan ternak babi dari 739.666 menurun sedikit menjadi 730.388
pada tahun 2012. Kondisi ini dapat disebabkan karena sebagian ternak

420
Prosiding Seminar Nasional
“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
P
penghasil daging tersebut dipotong di luar rumah potong hewan yang
tersedia. Jika dilihat dari pertumbuhan produksi daging ternak sapi global,
menunjukkan adanya penurunan produksi pada tahun 2008 dan nanti
berkembang kembali secara signifikan pada tahun 2013 dan 2014 ini
(USDA, 2014).

Sumber: USDA, 2014

Kenyataan ini merupakan suatu tantangan dalam dunia peternakan


nasional khususnya dalam memproduksi daging hewan untuk memenuhi
kebutuhan konsumen di tanah air untuk bisa mencapai angka konsumsi
sebesar 115 gram perhari yang saat ini baru mencapai 33 gram per hari
(Ngwenya dan Ray, 2007). Daging ternak yang ditawarkan pada
konsumen di pasaran bisa dalam bentuk segar, maupun daging yang
sudah diawetkan, dan sebagian telah mengalami pengolahan dan
trasformasi misalnya ke dalam bentuk daging kaleng, sosis, jambon dan
sebagainya.

Kriteria umum daging ternak berkualitas


Secara umum penilaian kualitas daging ternak segar berkaitan
dengan berbagai hal. Kontak langsung antara calon pembeli dengan
daging hewan sebagai objek pertama-tama adalah penilaian visual.
Penilaian ini berkaitan dengan warna. Warna dari dag