Anda di halaman 1dari 14

KAJIAN TAFSIR MODERN KOMTEMPORER: STUDI PEMIKIRAN

DAN PENAFSIRAN MUHAMMAD ARKOUN

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Pemikiran Tafsir Kontemporer dan Modern

Dosen Pengampu:

Mohammad Luthfil Anshori, Lc,. M. Ud.

Disusun Oleh:

Najiyullah Shofuh Affandi

NIM: 2017.01.01.827

Moh. Maulidi Zaini Abdul Ghoniy

NIM: 2017.01.01.709

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS


USHULUDDIN SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANWAR
SARANG REMBANG
2019

A. Pendahuluan
Muhammad Arkoun sebagai salah satu tokoh diantara banyaknya pemikir
dan tokoh muslim yang memberikan tawaran dalam metodologi penafsiran al-
Qur’an. Teori-teori yang muncul dalam hal penafsiran al-Qur’an pun juga
sangat kaya.Muhammed Arkoun menawarkan kajian yang cukup menggingit
dan berani dalam pembacaannya terhadap al-Qur’an. Arkoun termasuk pemikir
yang serius dalam memberikan perhatianya terhadap al-Qur’an secara radikal
karena mempersoalkan kembali esensi wahyu sebagai kalam Allah yang
transenden dan wacana wahyu sebagai perwujudan kalam tersebut dalam
dataran imanen.
Oleh karenanya ia menekankan pembacaan al-Qur’an sebagai kajian
yang memungkinkan suatu pembacaan yang ideal bertepatan dengan maksud-
maksud pemaknaan yang asli dari al-Qur’an pada tahap wacana bukan pada
tahap teks.1
Keberanian Arkoun tersebut didorong oleh kegelisahannya terhadap
mereka yang dikatakan sebagai kalangan ortodok yang ia lihat telah melakukan
penyalahgunaan al-Qur’an untuk kepentingan mereka baik idiologis mapun
politis. Arkoun menengarai penyalahgunaan tersebut diakibatkan oleh
ketidakmampuan mereka untuk mengungkap secara jernih pesan al-Qur’an
sebagai man ia diturunkan dalam sebuah situasi sosial yang hidup. 2 Dia banyak
mengadopsi ilmu-ilmu barat kontemporer dalam menafsirkan al-Qur’an, baik
itu ilmu linguistik, sejarah, antropologi dan yang lainnya. Dengan demikian dia
mengharapkan akan menghasilkan penafsiran baru yang belum pernah
dilakukan oleh ilmuan muslim sebelumnya. Muhammad Arkoun termasuk
intelektual muslim yang telah mengangkat hermeneutika al-Qur’an dalam
terma-terma kontemporer modern.
Selain itu, akhir-akhir ini hermeneutika –yang awalnya sebagai alat dan
metode penafsiran bible sekarang semakin marak dikaji dan dicoba untuk
diterapkan dalam kajian al-Qur’an.Hal inilah yang dilakuakan Arkoun dalam
penafsiran al-Qur’an menggeser peran metode tafsir al-Qur’an bi al-ma’tsu>r
dengan metode baru yang dipakai oleh para pemikir kontemporer.
B. Biografi Muhammad Arkoun
Mohammad Arkoun lahir di Taourirt Mimoun Kabilia, suatu daerah
pegunungan yang berpenduduk Barber disebelah timur Aljir,3 pada tanggal 1
Februari 1928. Pendidikan dasarnya ia dapatkan di desa kelahirannya
1
Mohammad Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, Terj. Machasin (Jakarta, INIS, 1997), 7.
2
Mohammad Arkoun, “Gagasan tentang Wahyu : Dari Ahli Kitab sampai Masyarakat Kitab”
dalam HLM Chamert Loir dan NJG Kaptein (ed) Islam di Perancis : Gambaran Pertama,
(Jakarta : INIS, 1993). 38-39.
3
Baedhowi, Humanisme Islam: Kajian Terhadap Pemikiran Filosofis Muhammad Arkoun,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 25.

2
sedangkan pendidikan menengahnya didapatkan di Oran Aljazair Barat. Pada
tahun 1950-1954, ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Al-Jir
sembari mengajar di sebuah sekolah menengah di al-Herrach. Ia kemudian
meninggalkan Al-Jazair ketika negeri ini berperang menghadapi Perancis.
Akhirnya ia menetap di Perancis. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen
di Universitas Sorbonne, tempat ia memperoleh gelar Doktor Sastra pada tahun
1969 dengan desertasi tentang humanism dalam pemikiran Miskawaih.4
Selain di Perancis. Mohammad Arkoun juga menjadi dosen tamu di
Universitas California, Lembaga Kapausan untuk studi Arab dan Islam di
Roma, Universitas Katolik Louvain-La-Neuva di Belgia, Princeton University
dan Temple University di Philadelphia dan sejak tahun 1993 diangkat menjadi
guru besar tamu di Universitas Amsterdam.
Disamping bergulat dengan aktifitas pendidikan dan pengajaran di
beberapa Universitas, sebagai seorang ilmuan ia juga aktif menulis baik dalam
bentuk buku mapuan artikel ilmiah di jurnal. Ia bahkan menjadi direktur jurnal
ilmiah tentang studi Islam yaitu Arabica. Pengalaman hidupnya di Peranci juga
dialaminya dengan selalu menjalin hubungan secara aktif dengan minoritas
muslim yang tinggal di negeri ini. Dia senantiasa mengikuti seluruh konflik
mereka hidup dan berhadapan dengan masyarakat mayoritas Katolik yaitu
konflik antara tradisi Islam dan modernitas.
Sejak masa mudanya Arkoun bergaul secara intensif dengan tiga bahasa
yaitu bahasa kabilia, Perancis dan bahasa Arab. Bahasa Kabilia ia gunakan
dalam kehidupan sehari-hari, yang kedua digunakan dalam urusan administrasi
dan yang ketiga berkait erat dengan lingkungan masjid dan bahkan
mendalaminya di Universitas Al-Jir. Pergumulannnya dengan berapa bahasa
itulah yang membuatnya menambah keakrabannya dengan berbagai kajian
mutakhir tentang bahasa bersama ilmuan-ilmuan bahasa, filosof maupun teolog
Barat.
Dalam studi-studinya, Arkoun rnenggunakan pendekatan dan metodologi
ilmu-ilmu sosial dan humaniora modern, khususnya sejarah. antropologi dan
linguistik untuk memahami Islam sebagai suatu agama yang dianut oleh
4
Ahmad Munir, Kritik Nalar Islam: Analisis atas Pemikiran Muhammad Arkaoun, Al-Tahrir
Jurnal Pemikiran Islam Vol.8, no.21-40, 2008, 23.

3
masyarakat majemuk di zaman modern. Dalam studinya tentang kebudayaan
contoh-contoh yang diambil banyak dari realitas masyarakat negara-negara
Arab, terutama kawasan Maghribi. Berkat pengetahuanya yang cukup luas
tentang sejarah Barat (termasuk agama Katolik dan Kristen), dalam banyak
tulisannya, ia mampu membuat perbandingan dengan sejarah Islam.
Beberapa pemikiran dari filosof, antropolog dan linguistik kontemporer
cukup mewarnai pemikiran Arkoun Seperti Michel Foucault (1026-1904) yang
mengembangkan anggitan Wacana (Discourse). Manusia, menurut Foucault
salah seorang tokoh post modernisme, pada tiap-tiap zaman menangkap realitas
dengan cara tertentu, dan cara manusia rnenangkap (memandang dan
memahami) kenyataan itu disebut Episteme. Karena manusia menangkap
kenyataan dengan cara tertentu, maka ia juga membicarakannya dengan cara
tertentu pula. Cara manusia rnembicarakan kenyataan itulah yang disebut
wacana, ia selanjutnya mengajari kepada kita bahwa wacana adalah salah satu
bentuk kuasa yang menyusun suatu bentuk masyarakat, budaya dan
pemikiran4. Dalam kerangka pikir seperti inilah Arkoun memaksudkan teks-
teks Islam (termasuk al-Qur’an dan tafsir-tafsirnya), sebagaimana teks-teks
lain, lahir dari kebudayaan dan cara pemikiran tertentu dan pada gilirannya
memperkayanya, dan tidak sebagai hasil subyektifitas pengarang (author).5
C. Karya-Karya
Karya-karya Arkoun meliputi berbagai bidang, di sini hanya disebutkan
karya-karya yang berkaitan dengan kajian islam pada umumnya dan
metodologi al-Qur’annya pada khususnya.
1. Traduction Francaise Avec Introductin Et Du Tahdib al-Akhlaq (tulisan
tentang etika/terjemahan prancis dari kitab al-akhlaq ibnu miskawaih)
2. La Pensee Arabe (Pemikiran Arab)
3. Essais Sur La Pensee Islamique ( Essei-Essei Tentan Pemikiran Islam)
4. Discours Coranique Et Pensee Scientique (Wacan Al-Qur’an Dan
Pemikiran Ilmiah)
5. Lecture De Coran (Berbagai Pembacaan Al-Qur’an)
6. Pour Une Critique De La Raison Islamique ( Demi Kritik Nalar Islam).

5
Mohammad Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, terj. Machasin, (Jakarta : INIS, 1997), 5-6

4
Kebanyakan karya-karya Arkoun ditulis dalam bahasa prancis.6
D. Kerangka Pemikiran
Sebagai seorang guru besar pemikiran Islam di Sorboun University,
Perancis, pikiran-pikirannya banyak dipengaruhi oleh filosof-filosof Perancis
seperti Michael Foucault, Jacques Derrida, terutama tentang teori
dekonstruksinya3. Kritik yang ditawarkan oleh Arkoun adalah kritik nalar
pemikiran Islam yang masih didominasi oleh nalar Arab. Kritik ini tidak hanya
berpijak kepada penyelidikan pengetahuan dan pemikiran atau sekedar
meruntuhkan tesa, konsep, atau mazhab, tetapi lebih dari itu bagaimana
menyelidiki sistem pengetahuan, menyelidiki dasar-dasar pemikiran dan
mekanismenya serta melihat bagaimana cara memproduksi makna dan kaidah
yang membentuk wacana. Dari sinilah kemudian Arkoun melampaui tingkat
epistemologi tradisional, dan sudah menyentuh pada wilayah arkeologi
pemikiran Islam. Pada level ini, warisan pemikiran Islam dibongkar dan
selanjutnya menggali lapisan-lapisannya untuk menyingkap makna yang
mendalam dalam pemikiran Islam.7
Keberanian Arkoun tersebut didorong oleh kegelisahannya terhadap
mereka yang dikatakan sebagai kalangan ortodok yang ia lihat telah melakukan
penyalahgunaan al-Qur’an untuk kepentingan mereka baik idiologis mapun
politis. Arkoun menengarai penyalahgunaan tersebut diakibatkan oleh
ketidakmampuan mereka untuk mengungkap secara jernih pesan al-Qur’an
sebagai man ia diturunkan dalam sebuah situasi sosial yang hidup. Dia banyak
mengadopsi ilmu-ilmu barat kontemporer dalam menafsirkan Al-Qur‟an, baik
itu ilmu linguistik, sejarah, antropologi dan yang lainnya. Dengan demikian dia
mengharapkan akan menghasilkan penafsiran baru yang belum pernah
dilakukan oleh ilmuan muslim sebelumnya. Muhammad Arkoun termasuk
intelektual muslim yang telah mengangkat hermeneutika al-Qur’an dalam
terma-terma kontemporer modern dan juga merupakan salah seorang pemikir
muslim yang berpengaruh.8
6
Rizal al-kasyani, pemikiran muhammad arkoun,
https://www.slideshare.net/RizalAlkasyani/pemikiran-m-arkoun diakses pada 09-12-2019 pukul
15.00.
7
Muhaemin Latif, Membumikan Teologi Islam dalam Kehidupan Modern (Berkaca dari
Mohammad Arkoun), Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 14, No. 2, 2013, 171.
8
Nasrudin, Manhaj Tafsir Muhammad Arkoun, Jurnal Maghza, Vol. 1, No. 1, 2016, 86.

5
Apa yang diinginkan oleh Arkoun sebenarnya adalah bagaimana
menghadirkan wahyu dalam konteks sejarah. Dengan kata lain, ia ingin
membumikan teologi Islam dalam kerangka kekinian yang terkait dengan
kehidupan modern. Warisan pemikiran Islam bukanlah sesuatu yang ahistoris.
Ia berkait kelindan dengan realitas yang mengitarinya. Arkoun mengatakan
bahwa “kita harus mengetahui bahwa al-Qur‟an adalah wacana yang mengakar
dalam sebuah sejarah yang dinamis dan dapat dirasakan”. Artinya bahwa ia
terangkai dalam sejarah keseharian dan kebiasaan yang lebih besar. Hanya saja,
realitasnya menggambarkan bagaimana aspek kesejarahannya menjadi
terhalang dan berubah menjadi “sesuatu yang suci dan transenden”. Dengan
kata lain, pemikiran teologi Islam lebih sebagai dogma yang tidak perlu
disentuh apalagi dibongkar karena ia seakan-akan berada di luar sejarah.
E. Metodologi dan Pendekatan dalam Pemikiran Arkoun
Inti dari sebuah pemikiran Arkoun terletak pada kata kunci “kritik
epistemologi”. Pemikiran-pemikiran dan makna bercorak epistemologis dalam
konsepnya lebih tajam karena langsung terarah pada saintifik dari ilmu
pengetahuan agama secara menyeluruh. Ciri utama dari pemikiran Arkoun
terletak pada penggabungan antara dunia barat dan dunia Islam pada satu garis
dalam angannya, untuk membentuk kombinasi yang khusus dari berbagai jalan
pemikiran.9
Untuk menghilangkan semua halangan tersebut, perlu diberikan
perhatian lebih terhadap pengajaran dan studi sejarah sebagai antropologi masa
lalu dan tidak hanya sebagai pemaparan fakta-fakta sejarah yang naratif. Oleh
karena itu, Arkoun mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan
antropologis yang dilakukan bukan dengan tujuan untuk menghilangkan
pentingnya pendekatan teologis dan filosofis, namun dengan tujuan untuk
memperkaya pendekatan tersebut dengan memasukkan keadaan-keadaan
historis dan sosial yang selalu dipraktekkan di dalam Islam. Metode Arkoun ini
disebutnya sebagai salah satu bentuk metode dekonstruksi. Strategi

9
Siti Rohmah Soekarba, The Critique Of Arab Thought: Mohammad Arkoun’s Deconstruction
Method, Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10, No. 2, 2006, 80.

6
dekonstruksi tersebut hanya mungkin dilakukan dengan epistemologi modern
yang kritis.10
Arkoun memulai proyeknya dalam membedah problematika pembacaan
tradisi Islam Arab. Penelitiannya dimulai pada pembacaan historitis atau
problematika sejarah dan penafsiran (hermeneutics). Arkoun berusaha untuk
membedah fenomena sosio-budaya melalui perspektif sejarah, dimana masa
depan dapat dilihat melalui tahapan sejarahnya. Artinya, fungsi kesejarahan
dalam bingkai metode rekonstruksi melalui penghapusan relevansi antara teks
dan konteks. Jika metode ini digunakan dalam teks keagamaan, yang dicari
adalah arti baru yang tersembunyi dari teks.11
Metode Historitis dipakai Arkoun sebagai satu dari kombinasi Ilmu
Sosiologi barat yang dikembangkan oleh para pemikir poststrukturalis
Perancis. Rujukan utamanya adalah de Saussure (linguistik), Levi-Strauss
(antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi), Foucault (epistemologi)
and Derrida (grammatologi). Semua unsur diatas dia formulasikan menjadi apa
yang disebut “Kritik Nalar Islam”. Investigasinya pada teks-teks klasik untuk
mencari makna baru yang tersembunyi didalam teks, maka upaya rekonstruksi
(konteks) harus dilakukan dengan pembedahan teks (dekonstruksi). Arkoun
bukan hanya memperhatikan teks-teks klasik karya sarjana Islam tetapi juga
meneliti teks-teks Suci al-Qur’an.12
F. Wahyu dan Posisinya di Era Modern

Arkoun membedakan wahyu dalam tiga tingkatan, pertama, wahyu


sebagai firman Allah yang transenden, tak terbatas, yang tidak diketahui oleh
manusia secara umum. Untuk menunjuk realitas wahyu pada tingkatan ini, al-
Qur'an menggunakan term "al-Lauh al-Mahfudz atau "Umm al-Kitab." Kedua,
menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah yakni seperti yang diwahyukan
kepada Rasul SAW dalam bahasa Arab.Ketiga, menunjuk pada wahyu
sebagaimana sudah tertulis dalam mushaf, yang olehnya disebut sebagai

10
Sulhani Hermawan, Mohammad Arkoun dan Kajian Ulang Pemikiran Islam, DINIKA, Vol. 3,
No. 1, 2004, 101-121
11
Mohammad Arkoun, Tari>khiyyah al-Fikr al-'Arabi> al-Isla>mi>, terj. Hasyim Shalih, (Beirut,
Marka>z al-Inma' al-Qawmi, 1986), 14.
12
Siti Rohmah Soekarba, The Critique Of Arab Thought: Mohammad Arkoun’s Deconstruction
Method, Makara, Sosial Humaniora, 81.

7
Korpus Resmi Tertutup.13 Sebagai sebuah teks, al-Qur’an adalah teks yang
terbuka sehingga melahirkan banyak iterpretasi, dari al-qur’an telah lahir
banyak doktrin baik dalam bidang teologi, hokum, filsafat, social maupun
politik. Arkoun juga meyakini al-Qur’an sebagai teks pertama dan pemikiran
islam sebagai teks kedua.
Pendapat yang diutarakan Arkoun:14
1. Al-Qur'an adalah sejumlah makna potensial yang diusulkan kepada seluruh
manusia, jadi sesuai untuk mendorong pembangunan doktrin yang sama
beragamnya dengan keadaan sejarah pemunculannya.
2. Pada tahap maknanya yang potensial, al-Qur'an mengacu pada agama
transsejarah, atau dengan kata lain, pada transendensi (kesadaran
ketuhanan). Pada tahap makna yang diaktualisasi dalam doktrin teologis,
juridis, filsafat, politis, etis dan sebagainya. al-Qur'an menjadi mitologi 15
dan ideologi yang kurang lebih dirasuki oleh makna transendensi.
3. Al-Qur'an adalah sebuah teks terbuka. Tak satupun penafsiran dapat
menutupnya secara tetap dan "ortodoks".
Al-Qur'an sebagai wahyu ilahi merupakan amanat yang sangat kaya dan
luas, sehingga kepadanya dapat diberikan makna konkret dalam berbagai
macam keadaan yang berbeda yang dilalui umat manusia. Itulah yang
dimaksudkan dengan "pemaknaan" (signification) atau "aktualisasi". Istilah
"aktualisasi" dalam hal ini dipakai dalam arti proses menjadikan aktual, yakni
mengembangkan sesuai yang nyata dari suatu yang sebelumnya hanya bersifat
potensial.16
Dengan kata lain dapat dinyatakan, bahwa pemikiran Islam, baik itu
dalam bidang teologi, hukum, filsafat, maupuan lainnya adalah aktualisasi dari
al-Qur’an sebagai wahyu illahi. Meskipun pemikiran Islam telah dimasuki
makna transenden tetaplah tidak sama dengan wahyu illahi, karena dala proses

13
Moh. Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern : Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj.
Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), 261.
14
Ibid, 194-195.
15
Ilmu tentang bentuk sastra yg mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan
dewa dan makhluk halus dalam suatu kebudayaan. kbbi offline. apk
16
Ibid, Nalar Islam…. 97.

8
aktualisasi itu terdapat berbagai macam pengaruh baik oleh situasi poltik,
social maupun kultural.17
Menurut Arkoun, wahyu terbagi dalam 3 ranah yakni wilayah yang
terpikirkan, tidak terpikirkan dan belum terpikirkan. Dalam memaknai wahyu
seharusnya lebih diawali dari tahap historisitas (al-tarikhiyyah) untuk sedapat
mungkin membebaskan dirinya sendiri dan kajian historis dari seluruh bentuk
pengaruh ideologis.18 Dengan historisitas, masyarakat Arab kontemporer tidak
hanya akan memperoleh pemahaman yang jernih tentang masa lalu dan masa
sekarang, tetapi juga memberi kontribusi terhadap ilmu modern itu sendiri,
mengoreksi dan memajukannya dengan menguji validitasnya. Dengan
demikian, ia telah melakukan kritik ideologi.
Menurutnya, bahasa mempunyai keterikatan erat dengan masyarakat dan
pemikiran. Hubungan antara bahasa, pemikiran, sejarah dan kekuasaan telah
membentuk pemaknaan bahasa itu sendiri. Artinya, pembentukan rasio bukan
hanya terjadi secara intrinsik, tapi juga ekstrinsik yakni melalui faktor-faktor
sosial politik dan relasi-relasi historis.
Titik tolak tulisan-tulisan Arkoun adalah dekonstruksi konsepsi sejarah
dan kebudayaan Arab-Islam, yang tidak lain kecuali sebagai produk aktivitas
manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Tujuan metode analisisnya yang
merasuk dibalik konsepsi-konsepsi itu adalah ingin membongkar realitas
sejarah dan kebudayaan Arab, semata-mata sebagai konstruksi pemikiran
manusia yang menanggapi kondisi-kondisi tertentu dalam suatu periode dan
waktu tertentu pula. Dalam berbagai kesempatan, tulisan-tulisan Arkoun
berusaha menunjukkan fondasi epistemologi pikiran manusia itu sendiri,
dengan tujuan menunjukkan keterbatasan dan sifatnya karena didasarkan pada
suatu bahasa dan lingkungan sosiohistoris tertentu.
Tujuan akhir yang hendak dicapai Arkoun bukan suatu sikap "Solipsistik"
(yang ada hanya diri kita sendiri) terhadap pengetahuan,19 tetapi historisitas
pengetahuan. Arkoun yakin bahwa hal ini memungkinkan muslim mencapai

17
Muhammad Arkoun, Al-Fikr al-Isla>mi> Naqd wa Ijtiha>d, terj. Hasyim Shalih (London: Dar
as-Saqi, 1990), 23
18
Mohammad Arkoun, Tari>khiyyah al-Fikr al-'Arabi> al-Isla>mi>, terj, Hasyim Shalih
(Beirut : Marka>z al-Inma' al-Qawmi>, 1986), 28
19
Ibid, 78

9
suatu pemahaman yang sesungguhnya terhadap kebudayaan mereka sebagai
produk generasi sebelumnya dan kemudian mendorong mereka agar memberi
kontribusi terhadap kebudayaan dan mengubahnya untuk merespon kebutuhan-
kebutuhan modern sebagai dilakukan periode sebelumnya.
Tujuan Arkoun dalam hal ini adalah menetapkan metode pemikiran
ilmiah dalam kajian Islam sebagaimana dimanifestasikan dalam sejarah.
Keterbukaan intelektualnya pada metodologi-metodologi baru dalam ilmu
sosial dan humaniora, bukan suatu adopsi yang tergesa-gesa terhadap cara-cara
"yang paling mutakhir", tetapi lebih merupakan upaya memberikan contoh
ijtihad yang mesti dilakukan sekarang ini.
Arkoun yakin bahwa korpus pengetahuan Islam tradisional yang bertahan
hingga saat sekarang dibangun berdasarkan sistem kognitif secara gradual, dan
dikembangkan sebagai respon terhadap kondisi sosio ekonomi dan politik pada
abad awal Islam. Bertahannya sistem kognitif ini, karena adanya kondisi sosio
ekonomi dan politik yang telah membangun pemikiran dalam masyarakat
Arab. Sistem kognitif ini dapat menetapkan parameter-parameter yang
"terpikirkan", dan membentuk perangkat mental dan mekanisme linguistik
untuk mengungkapkannya secara jelas. Arkoun mendefinisikan pemikiran
"yang terpikirkan" sebagai berikut:20
"Yang terpikirkan (thinkable) dari suatu komunitas linguistik dalam suatu
periode tertentu adalah apa yang mungkin dipikirkan dan menjadikannya
eksplisit dengan bantuan perangkat mental yang tersedia."
Akhirnya ijtiha>d menjadi mungkin sebagaimana di era modern, tetapi
dia yakin didunia Arab saat ini, kehendak politik dan keyakinan masyarakat
yang telah berakar kuat telah menghalangi pemikiran bebas. Wilayah "yang
tidak terpikirkan" merupakan suatu wilayah yang luas serta penting yang harus
dieksplorasi oleh pemikir-pemikir modern. Pemikir-pemikir modern inilah
yang sekarang memiliki pendekatan metodologis dan konseptual baru untuk
mencapai cakrawala baru dalam memahami kebudayaan Arab-Islam dan
sejarah.
G. Semiotika dan Penafsiran al-Qur’an

20
Ibid, 28

10
Al-Qur’an, sebagaimana yang ditegaskan Arkoun, merupakan kitab
wahyu yang berisi sejumlah pemaknaan (penandaan) potensial yang diusulkan
(Tuhan) kepada segenap manusia.21 Ia adalah korpus ujaran-ujaran
(affirmation) yang terbatas dan terbuka dalam bentuk bahasa Arab, dimana
jalan menuju kepadanya hanya dimungkinkan melalui teks yang diturunkan
menjadi tulisan sejak abad ke-4 H (abad ke-10 M). 22 Itu berarti teks al-Qur’an
secara keseluruhan itu tak henti-hentinya dapat dibaca (ditafsirkan) kembali
dan terus menuntut suatu penafsiran kembali atau dengan jalan optimalisasi
produksi makna tanpa keharusan bahwa pemaknaan-pemaknaan yang potensial
sudah atau dapat diungkap secara total. Optimalisasi itu tidak akan dapat
dilaksanakan kecuali dengan melihat berbagai macam tanda dan simbol yang
terdapat pada teks tersebut sedemikian rupa, sehingga pembaca menjadi akrab
dengan tanda-tanda dan simbol-simbol tadi.
Dengan demikian, sebagai proposisi yang diinterpretasikan, ayat-ayat al-
Qur’an adalah sebuah sistem tanda dalam makna linguistik dan semiotik. Oleh
karenanya, Arkoun dalam beberapa tulisannya menawarkan analisis semiotis
sebagai suatu bentuk metode alternatif bagi penafsiran al-Qur’an.
Secara ringkas metode analisis semiotis itu dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1. Proses Linguistis
Pada tahap ini dilakukan analisis linguistik terhadap proses pengajaran
dalam teks al-Qur’an, yang mencakup data-data linguistik, yakni tanda-
tanda bahasa, termasuk bentuk determinan, kata ganti, kata kerja, kata
benda, susunan sistaksis, persajakan dan lain-lain.23 Karena setiap bahasa
mempunyai tanda-tanda bahasa yang ikut mempengaruhi proses produksi
makna. Analisis ini diantaranya dimaksudkan untuk mengetahui aktan-
aktan, yakni pelaku-pelaku yang melaksanakan suatu tindakan yang ada
dalam teks.
2. Analisis hubungan Kritis Ujaran-ujaran dalam Teks

21
Moh. Arkoun, Pour un Rememberement, h. 132, Sebagaimana dikutip J. H. Meuleman, dalam
Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, (Yogyakarta: LkiS, 1996), h.49.
22
Mohammad Arkoun, Pemikiran Arab, terj. Yudian W. Asmin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), 5.
23
Mohammad Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, terj. Machasin, (Jakarta : INIS, 1997), 98

11
Sebagaimana dikatakan bahwa al-Qur’an juga sebagai Kourpus
Terbuka.Karena itu teks Qur’an mesti dipahami sebagai sesuatu yang
mengatakan sesuatu, mengungkapkan suatu komunikasi dan memberikan
sesuatu untuk dipikirkan. Isi komunikasi inilah yang harus dicari terus
menerus, dan ia tidak cukup kalau hanya dicari lewat analisis linguistik
(tahap 1), melainkan harus dilanjutkan dengan tahap pembacaan hubungan
kritis, dimana pembaca harus menggunakan pengetahuannya tentang tanda
untuk mencari hubungan-hubungan antara satu tanda dengan tanda yang lain
berdasarkan “subyektivitas yang imanen dalam karya”. Namun demikian,
untuk menghindari kesewenang-wenangan, pembaca/penafsir harus melihat
secara adil terhadap karya-karya terdahulu, seperti tentang definisi-definisi
sistem bahasa Arab.24
3. Pembacaan Historis
Pembacaan pada tahap ini dimaksudkan untuk mengenali kode-kode
(simbol-simbol) linguistis, keagamaan, budaya, yang sepanjang ini telah
dipakai dalam pemaknaan dan penafsiran.
4. Pembacaan Antropologis
Pada tahap ini, pembacaan dilakukan dengan menanyakan apakah
diluar batas kekhasan-kekhasan (kode-kode) dogmatis, budaya, dan lain
sebagainya, teks yang hendak kita tafsirkan (baik parsial maupun
menyeluruh) mengandung rujukan asal muasal. Lalu apa
kaitannya/kekhasan-kekhasannya sehubungan dengan teks-teks al-Qur’an
tersebut. Lewat eksplorasi antropologis ini Arkoun memaksudkan untuk
sampai pada petanda trasendental, termasuk penggunaan konsep mitos yang
dapat memperlihatkan bagaimana bahasa dipakai dalam berbagai simbol.25
Penafsiran yang demikian menurut Arkoun ditujukan untuk
memahami makna agar dengan pemahaman tersebut dapat mengatasi
problem absolut, yaitu manusia itu sendiri sebagaimana pengandaian dasar
pertama yang ia berikan terhadap model penafsiran ini. Manusia adalah
problem kongkrit bagi dirinya sendiri.

Ibid, 84.
24

Ibid, 107
25

12
Daftar Pustaka

Arkoun, Mohammad. "Pengantar" dalam Mohamad Arkoun, Nalar Islami dan


Nalar Modern : berbagai tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S.
Hidayat. Jakarta: INIS, 1994.

Arkoun, Mohammad. Al-Fikr al-Isla>mi> Naqd wa Ijtiha>d, terj. Hasyim Shalih.


London: Dar as-Saqi. 1990.

Arkoun, Mohammad. Berbagai Pembacaan Al-Qur’an, tej. Machasin. Jakarta:


INSIS. 1997.

13
Arkoun, Mohammad. Tari>khiyyah al-Fikr al-'Arabi> al-Isla>mi>, terj. Hasyim
Shalih. Beirut: Marka>z al-Inma' al-Qawmi. 1986.

Arkoun, Mohammad. Berbagai Pembacaan Al-Qur’an, terj. Machasin. Jakarta:


INSIS. 1997.

Arkoun, Mohammad. Pemikiran Arab, terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar. 1996.

Baedhowi. Humanisme Islam: Kajian Terhadap Pemikiran Filosofis Muhammad


Arkoun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.

Hermawan, Sulhani. Mohammed Arkoun dan Kajian Ulang Pemikiran Islam.


DINIKA. Vol. 3, No. 1. 2004.

HLM Chamert Loir dan NJG Kaptein,(ed) Islam di Perancis: Gambaran


Pertama. Jakarta: INSIS. 1993.

J. H. Meuleman. Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme. Yogyakarta: LkiS.


1996.

Kasyani (al), Rizal, pemikiran muhammad arkoun,


https://www.slideshare.net/RizalAlkasyani/pemikiran-m-arkoun diakses
pada 09-12-2019, pukul 15.00.

Latif, Muhaemin, Membumikan Teologi Islam dalam Kehidupan Modern


(Berkaca dari Mohammed Arkoun), Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 14, No. 2,
2013.

Nasrudin. Manhaj Tafsir Muhammad Arkoun. Jurnal Maghza. Vol. 1, No. 1. 2016.

Soekarba, Siti Rohmah. The Critique Of Arab Thought: Mohammed Arkoun’s


Deconstruction Method, Makara, Sosial Humaniora. Vol. 10, No. 2. 2006.

14

Anda mungkin juga menyukai