Interpretasi Ayat Qi Ā Dan Relevansinya Dengan Hukuman Mati Di Indonesia
Interpretasi Ayat Qi Ā Dan Relevansinya Dengan Hukuman Mati Di Indonesia
Makalah
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
NIM: 2017.01.01.709
Moh. Amar
NIM: 2017.01.01.910
A. Pendahuluan
Pembunuhan dan penganiayaan adalah perbuatan yang keji. Dalam Islam
hukuman terhadap pelaku pembunuhan dan penganiayaan disebut qiṣāṣ.
Hukum qiṣāṣ merupakan ajaran agama dan harus dilaksanakan sebagaimana
yang diperintahkan. Diakui bahwa pemberlakuan qiṣāṣ dalam Islam tidak
terlepas dari tradisi dan budaya masyarakat Arab Jahiliyah. Mereka hidup
dengan berperadaban nomaden berperilaku penuh dengan kekerasan dan
pendendam. Membunuh adalah sesuatu yang wajar bagi mereka. Akan tetapi
ada aturan yang berlaku, bagi siapa yang membunuh dia akan diqiṣāṣ atau
dibunuh. Qiṣāṣ dalam masyarakat Arab jahiliyah merupakan upaya balas
dendam terhadap tragedi pembunuhan. Terkadang balasan ini melebihi dari
pembunuhan yang terjadi. Melihat kebiasaan masyarakat Jahiliyah yang
menjadi sasaran dibunuh adalah selain si pembunuh, terkadang mereka
membunuh kepala suku sebagai balasan, atau membunuh lebih dari seorang
dari suku si pembunuh, terkadang meski korbannya satu orang mereka
menuntut balas terhadap sepuluh orang, kalau korbannya perempuan mereka
menuntut balas terhadap laki-laki, dan kalau korbannya budak mereka ingin
membunuh orang merdeka sebagai balasannya.1
Al-Qur’an sebagai kitab pedoman umat islam, memodifikasi keberlakuan
hukum qiṣāṣ dengan menggariskan prinsip pembalasan yang seimbang. Satu
nyawa hanya boleh dibalas dengan satu nyawa. Mengubah dasar pembalasan
hukum dari balas dendam menjadi pembalasan yang setimpal. Hukum qiṣāṣ
tidak hanya ditentukan oleh kepala suku, melainkan keluarga korban juga
memiliki hak untuk menuntut balas, tapi tidak boleh melampaui batas. Dalam
hal ini juga terdapat keringanan dari Yang Maha Kuasa, yang mana keluarga
korban berhak menentukan apakah balasannya berupa qiṣāṣ, diyat, atau
merelakannya.
Di sisi lain, sebagai Negara dengan mayoritas penduduknya muslim,
Indonesia semestinya memperlakukan hukum qiṣāṣ, sedangkan pada faktanya
Indonesia tidak memberlakukan hukum qiṣāṣ. Hal ini disebabkan karena
Indonesia tidak menjadikan hukum Islam sebagai dasar hukumnya. Jika
sebaliknya, maka qiṣāṣ wajib dilaksanakan. Sekalipun Indonesia tidak
mencantumkan qiṣāṣ dalam perundang-undangannya, namun Indonesia
menerapkan hukuman mati dalam hukum positifnya. Ini memang terlihat
semacam dengan qisas, akantapi jika diteliti lebih rinci hukum qiṣāṣ tentunya
tidak sama persis dengan hukuman mati, walaupun dalam qiṣāṣ juga ada
hukuman mati. Oleh karena itu, hal yang melatarbelakangi pemakalah dalam
1
Ali Sodiqin, Antropologi Al-Quran, Model Dialektika Wahyu dan Budaya (Yogyakarta: Ar-Ruz
Media, 2017), 110.
2
mengambil tema ini adalah karena dirasa sangat menarik untuk dikaji dan
diharap bisa menambah wawasan bagi pembaca.
B. Ayat al-Qur’an
اص يِف الْ َقْتلَى احْلُُّر بِاحْلُِّر َوالْ َعْب ُد بِالْ َعْب ِد َواأْل ُْنثَى
ُ ص
ِ
َ ب َعلَْي ُك ُم الْق
ِ ِ َّ
َ يَاأَيُّ َها الذ
َ ين َآمنُوا ُكت
ك ِ ٍ وف وأَداء إِلَي ِه بِِإحس ِ ِ ِِ ِ ِ ِ
َ ان َذل َ ْ ْ ٌ َ َ باأْل ُْنثَى فَ َم ْن عُف َي لَهُ م ْن أَخيه َش ْيءٌ فَاتِّبَاعٌ بالْ َم ْع ُر
﴾ َولَ ُك ْم يِف١٧٨﴿ يم ِ خَت ْ ِفيف ِمن ربِّ ُكم ورمْح ةٌ فَم ِن اعت َدى بع َد ذَلِك َفلَه ع َذ
ٌ اب أَل ٌ َُ َ ْ َ َْ َ َ َ َ ْ َ ْ ٌ
ِ اص حياةٌ ياأُويِل اأْل َلْب
١٧٩﴿ اب لَ َعلَّ ُك ْم َتَّت ُقو َن ِ
َ َ ََ ِ ص َ ﴾الْق
178. Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan)
qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan.
Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia
mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan
baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu.
Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang
sangat pedih. 179. Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai
orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.2
C. Syarah Mufrādah
2
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia,
2012), 33-34.
3
وفِ فَاتِّباع بِالْمعر Wajib mendatangkan diyat dengan baik, ramah,
ُْ َ ٌ َ dan lembut.
D. Munāsabah
Pada ayat di atas terdapat korelasi dengan ayat-ayat sebelumnya. Pada
surat al-Baqarah(2): 177, menerangkan bahwa hakikat kebajikan itu bukanlah
mempertengkarkan persoalan kiblat, ke timur atau ke barat, tetapi kebajikan itu
ialah beriman kepada Allah dengan sepenuhnya, dan dapat menerima
kebenaran dan mencegah diri dari segala macam dorongan nafsu dan
3
Abū Bakr Jābir al-Jazā’irī, Aysar al-Tafāsīr (Madinah: Maktabah al-‘Ulūm wa al-Ḥikam, 1997),
154-155.
4
kejahatan, maka pada ayat 178 ini, Allah menerangkan hukum qiṣāṣ dan
pengaruhnya, yaitu hukuman terhadap orang yang melakukan pembunuhan.4
E. Asbāb al-Nuzūl Makro
a. Potret Jahiliyah
Dalam masalah perlindungan nyawa atau kehidupan, al-Qur’an
membidik dua kebiasaan yang berlaku, yaitu pembunuhan bayi perempuan
dan pembunuhan umum. Dalam masyarakat Jahiliyah, dikenal praktik
mengubur anak perempuan yang baru lahir. Menurut Roberts, ada dua
alasan praktik ini dilakukan, yaitu ketakutan terhadap kemiskinan dan
menghindari malu yang menimpa keluarga. Praktik pembunuhan terhadap
bayi perempuan sebenarnya hanya terjadi di beberapa suku nomad arab.
Kebanyakan suku-suku nomad hidup dalam penderitaan, karena
ketergantungannya terhadap alam. Kekayaan mereka hanya cukup untuk
makan, sehingga pengaturan jumlah anggota suku sangat dijaga.
Pembunuhan terhadap anak perempuan adalah untuk menjaga stabilitas
jumlah anggota suku agar dapat bertahan hidup.
Di samping itu, setiap suku saling menjunjung tinggi harga diri dan
selalu berusaha melindunginya. Kekuatan dalam berperang menjadi
tumpuan utama untuk melindungi suku. Tugas ini diberikan kepada laki-laki
karena kemampuan fisiknya, sehingga jika harus terjadi pengurangan
penduduk maka perempuan yang menjadi sasaran.5
Masyarakat Arab Jahiliyah memiliki aturan-aturan yang berkaitan
dengan masalah pembunuhan atau kriminalitas lainnya. Mereka mengenal
qiṣāṣ dan diyat yang berlaku hampir disemua suku Arab. Qiṣāṣ dalam
masyarakat Arab jahiliyah merupakan upaya balas dendam terhadap perkara
pembunuhan. Terkadang balasan ini melebihi dari pembunuhan yang terjadi.
Penentuannya tergantung dari siapa yang terbunuh dan kedudukannya dalam
suku tersebut.6 Hal ini mengakibatkan persesilihan di antara kedua belah
pihak yang biasanya berakhir dengan peperangan.
b. Respon al-Qur’an
4
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan Al-Qur’an
Kementrian Agama, 2010), 261.
5
Ali Sodiqin, Antropologi Al-Quran, Model Dialektika Wahyu dan Budaya, 160-161.
6
Ibid. 110.
5
Dalam menyikapi qiṣāṣ dan diyat pada masyarakat Arab Jahiliyyah,
al-Qur’an menyikapinya dengan taghyīr. Taghyīr adalah sikap yang
menerima tradisi Arab, tetapi memodifikasi sedemikian rupa sehingga
berubah karakter dasarnya.
Al-Qur’an melegistimasi keberlakuan hukum qiṣāṣ dan diyat, dan
menggariskan prinsip pembalasan yang sepadan atau seimbang. Artinya,
satu nyawa hanya boleh dibalas dengan satu nyawa. Pembalasan dendam
yang berlaku di masa jahiliyah dianulir oleh al-Qur’an. Keluarga korban
tetap memiliki wewenang untuk menuntut balas, tetapi tidak boleh
melampaui batas. Mereka berhak menentukan apakah balasannya berupa
qiṣāṣ, diyat, atau bahkan memaafkannya.7
F. Nasikh wa al-Mansukh
Adapun poin yang menjadi subyek dari penasikhan tersebut adalah lafaḍ ا
أْل ُْنثَى, sedangkan lainya termasuk ayat yang muhkam. Akantetapi menurut
pendapat lain mengatakan, bahwa ayat yang menasikhnya adalah firman Allah
dalam surat al-Isra’ ayat 33:
7
Ibid. 135.
8
QS. Al-Ma’idah(5): 45.
6
Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh.9
9
QS. Al-Isra’(17): 33.
10
Jalāluddin al-Mahallī, dan Jalāluddin al-Suyūṭī, Tafsir Jalālain (Tnp: Maktabah al-Salām, Ttt),
37.
7
merasa pedih. Bagi si pemaaf dan orang lain wajib berlaku baik dalam
menuntut, tanpa memberatkan maupun mendamprat, dan bagi si pembayar
diyat harus membayar diyatnya tanpa mengulur-ulur waktu. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah mengambil diyat dan ia membunuh si pembunuh,
atau ia melampaui batas apa yang kami syariatkan dan kembali ke kebiasaan
Jahiliyah, maka baginya aẓab yang pedih di hari kiamat.11
H. Hikmah Qiṣāṣ
Diantara hikmah diperlakukannya qiṣāṣ12 adalah:
1) Membantu menyediakan khidupan yang tentram bagi masyarakat.
2) Membuat jerah si pembunuh dan orang-orang sepertinya.
3) Mencegah kelaliman.
4) Mengurangi terjadinya pembunuhan, sebab orang yang tahu bahwa kalau
dia membunuh orang lain maka ia akan dibunuh pula, tentu ia akan batal
membunuh.
5) Mencegah terjadinya kekacauan, pelampauan batas, dan kelaliman dalam
pembunuhan.
6) Membatasi kejahatan dalam ruang lingkup sesempit mungkin.
7) Mengobati kejengkelan hati wali korban, memadamkan api kemarahannya,
dan menumpas dari dirinya api kejahatan. Kedengkian, dan pikiran untuk
membalas dendam.
I. Kontekstualisasi Ayat
Hukum qiṣāṣ merupakan ajaran agama dan harus dilaksanakan
sebagaimana diperintahkan. Diakui bahwa pemberlakuan qiṣāṣ dalam Islam
tidak terlepas dari tradisi dan budaya masyarakat Arab pra-Islam. Hukuman
qiṣāṣ sangat efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang dapat
dikualifikasikan kejahatan yang berat. Hukuman qiṣāṣ akan menyebabkan
orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana, sehingga bisa
dijadikan pembelajaran bagi khalayak akan arti pentingnya menjaga hak asasi
manusia dan tidak melanggarnya.13
11
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Al-Munīr: Akidah, Syariah, Dan Manhaj, Terj. Abdul Hayyi al-
Kattani, Dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2013), 356-357.
12
Ibid.
13
Zikri Darussamin, Qisas dalam Islam dan Relevansinya Dengan Masa Kini (Jurnal Asy-Syirah,
Vol. 48, No. 1, 2014), 122.
8
Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya muslim yang
semestinya memberlakukan hukum qiṣāṣ, namun fakta menunjukkan Indonesia
tidak memberlakukan hukum qiṣāṣ. Sebabnya adalah karena negara ini tidak
menjadikan hukum Islam sebagai dasar hukumnya, maka dengan sendirinya
qisas tidak dapat dilaksanakan. Berbeda keadaannya apabila negara ini
menyatakan dalam konstitusinya hukum Islam sebagai dasar hukumnya, maka
qiṣāṣ wajib dilaksanakan. Karena pelaksanaan hukum qiṣāṣ melibatkan negara
dan tidak bisa dilaksanakan secara perorangan.
Sekalipun Indonesia tidak mencantumkan qiṣāṣ dalam perundang-
undangannya, namun Indonesia menerapkan hukuman mati dalam hukum
positifnya. Kalau kita perhatikan ancaman sanksi pidana mati dalam hukum
pidana positif, tidak kurang dari sebelas peraturan perundang-undangan
mencantumkan sanksi pidana mati. Dalam KUHP sendiri terdapat sembilan
jenis kejahatan yangdiancam pidana mati, antara lain:
1. Makar dengan maksud membunuh Presiden dan wakil Presiden (Pasal 104
KUHP).
2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal
111 ayat (2) KUHP).
3. Penghianatan memberitaukan kepada musuh diwaktu perang ( Pasal 124
ayat (3) KUHP).
4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis KUHP).
5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 ayat (3)
KUHP).
6. Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).
7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka beratatau
mati (Pasal 365 ayat (4) KUHP).
8. Pembajakan di laut yang menyebabkan kematian (Pasal 444 KUHP).
9. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K ayat (2), Pasal
149 O ayat (2) KUHP).
Sedangkan ancaman pidana mati yang terdapat di luar KUHP yang
merupakan tindak pidana khusus, antara lain:
9
1. Tindak Pidana tentang Senjata Api, Amunisi, atau sesuatu Bahan Peledak
(UU No. 12/DRT/1951).
2. Tindak Pidana Ekonomi (UU No.7 /DRT/1955).
3. Tindak Pidana tentang Tenaga Atom ( UU No. 3 Tahun 1964).
4. Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika (UU No. 22 Tahun 1997 dan UU
No. 5 Tahun 1997).
5. Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001).
6. Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia (UU No. 26 Tahun 2000).
7. Tindak Pidana Terorisme (Perpu No.1 Tahun 2002).14
Hukum qiṣāṣ tentunya tidak persis sama dengan hukuman mati,
walaupun dalam qiṣāṣ juga ada hukuman mati. Qiṣāṣ dalam pidana Islam
meliputi qiṣāṣ jiwa terhadap pelaku pembunuhan dan qiṣāṣ pelukaan, serta
terhadap tindak pidana menghilangkan anggota badan atau kemanfaatan
anggota badan. Dalam qiṣāṣ tidak mesti pelakunya dibunuh atau dilukai, tetapi
bisa dengan diyat sepanjang dapat memberikan rasa keadilan.
Perbedaan lainnya antara pidana mati dalam KUHP dengan qiṣāṣ dalam
hukum pidana Islam yaitu:
1) Pidana mati dalam KUHP masuk dalam jenis pidana pokok, sedangkan
qiṣāṣ dalam hukum pidana Islam termasuk jenis pidana pokok (aṣliyyah)
tetapi memungkinkan pidana pengganti (diyat).
2) Yang berhak menentukan hukuman mati dalam KUHP hanyalah hakim,
sedangkan qiṣāṣ di samping hakim juga ahli waris korban.
3) Tujuan pidana mati dalam KUHP bersifat retribusi dan pencegahan,
sedangkan qiṣāṣ dalam hukum pidana Islam bersifat reformasi, pencegahan,
keimanan, dan pemeliharaan.
4) Pidana mati dalam KUHP merupakan pidana pokok yang bersifat khusus
(hanya kepentingan pelaku), sedangkan qiṣāṣ dalam hukum pidana Islam
adalah untuk kepentingan korban dan keluarga korban.
14
Nandang Sambas, Penerapan Pidana Mati dalam Hukum Pidana Nasional dan Perlindungan
Hak Asasi Manusia, dalam https://media.neliti.com/media/publications/25220-ID-penerapan-
pidana-mati-dalam-hukum-pidana-nasional-dan-perlindungan-hak-azasi-man.pdf (diakses 29
November 2019, pukul 23:34).
10
5) Konsekuensi hukuman mati dalam KUHP hanya berlaku di dunia semata,
sedangkan qiṣāṣ dalam hukum pidana Islam ada pertanggungjawaban di
akhirat.
6) Eksekusi dalam KUHP dilakukan oleh satuan regu tembak atas perintah
Jaksa atau Oditur Militer, sedangkan dalam qiṣāṣ selain Kepala Negara,
boleh dilaksanakan ahli waris dengan pengawasan pemerintah.
7) Hukuman mati dalam KUHP dilakukan dengan cara ditembak mati,
sedangkan qiṣāṣ dapat dilakukan dengan potong leher, dipancung, dan
dirajam.
8) Tempat eksekusi pidana mati dalam KUHP dilaksanakan tidak dimuka
umum, sedangkan pelaksanaan qiṣāṣ dilakukan dimuka umum dan
disaksikan oleh masyarakat.
9) Pidana mati dalam KUHP tidak hanya terhadap pembunuhan tapi juga yang
lainnya, sedangkan qiṣāṣ dalam hukum pidana Islam dilakukan hanya
perhadap pelaku pembunuhan dan mencuri.15
J. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa Qiṣāṣ merupakan
ajaran agama dan harus dilaksanakan sebagaimana diperintahkan. Diakui
bahwa pemberlakuan qiṣāṣ dalam Islam tidak terlepas dari tradisi dan budaya
masyarakat Arab Jahiliyah. Al-Qur’an sebagai kitab pedoman umat islam,
memodifikasi keberlakuan hukum qiṣāṣ dengan menggariskan prinsip
pembalasan yang seimbang. Mengubah dasar pembalasan hukum dari balas
dendam menjadi pembalasan yang setimpal.
Di sisi lain, Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya
muslim yang semestinya memberlakukan hukum qiṣāṣ, namun faktanya
Indonesia tidak memberlakukan hukum qiṣāṣ. Sebabnya adalah karena negara
ini tidak menjadikan hukum Islam sebagai dasar hukumnya, maka dengan
sendirinya qisas tidak dapat dilaksanakan. Sekalipun Indonesia tidak
mencantumkan qiṣāṣ dalam perundang-undangannya, namun Indonesia
menerapkan hukuman mati dalam hukum positifnya. Hukum qiṣāṣ tentunya
15
Zikri Darussamin, Qisas dalam Islam dan Relevansinya Dengan Masa Kini (Jurnal Asy-Syirah,
Vol. 48, No. 1, 2014), 126.
11
tidak sama persis dengan hukuman mati, walaupun dalam qiṣāṣ juga terdapat
hukuman mati.
Daftar Pustaka
Darussamin, Zikri. Qisas dalam Islam dan Relevansinya Dengan Masa Kini.
Jurnal Asy-Syirah. Vol. 48. No. 1. 2014.
Jazā’irī (al), Abū Bakr Jābir. Aysar al-Tafāsīr. Madinah; Maktabah al-‘Ulūm wa
al-Ḥikam. 1997.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta; Lembaga Percetakan
Al-Qur’an Kementrian Agama. 2010.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta; PT. Sinergi Pustaka
Indonesia. 2012.
12
Mahallī (al), Jalāluddin. dan Jalāluddin al-Suyūṭī. Tafsir Jalālaīn. Tnp; Maktabah
al-Salām. Ttt.
Sambas, Nandang, Penerapan Pidana Mati dalam Hukum Pidana Nasional dan
Perlindungan Hak Asasi Manusia, dalam
https://media.neliti.com/media/publications/25220-ID-penerapan-pidana-
mati-dalam-hukum-pidana-nasional-dan-perlindungan-hak-azasi-man.pdf.
(diakses 29 November 2019, pukul 23:34).
Sodiqin, Ali. Antropologi Al-Quran, Model Dialektika Wahyu dan Budaya.
Yogyakarta; Ar-Ruz Media. 2017.
Zuhailī (al), Wahbah. Tafsir Al-Munīr: Akidah, Syariah, Dan Manhaj. Terj. Abdul
Hayyi Al-Kattani, Dkk. Jakarta; Gema Insani. 2013.
13