Anda di halaman 1dari 154

Lampiran : Keputusan BPK-RI

Nomor : 17/K/I-XIII.2/12/2008
Tanggal : 24 Desember 2008

301.000/2008

PETUNJUK TEKNIS
PEMERIKSAAN INVESTIGATIF
ATAS INDIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI
YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN


REPUBLIK INDONESIA

2008
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah

UUD 1945

Peraturan Per-UU-an Pemeriksaan Keuangan Negara

Pedoman Umum SPKN Kode Etik

PMP

Juklak 200 300


100 Pemeriksaan Kinerja Pemeriksaan Dengan Tujuan
Pemeriksaan Keuangan
Tertentu

400
Sistem Pemerolehan Keyakinan Mutu

500
Penatalaksanaan Kertas Kerja Pemeriksaan

600
Pemeriksaan Berperspektif Lingkungan Hidup

Juknis 100.001 200.001


301.000
Pemahaman dan Penilaian SPI Pemeriksaan Investigatif atas
Penentuan Area Kunci
Pemeriksaan Keuangan Indikasi TPK yang
Mengakibatkan Kerugian
Negara/Daerah
100.002 200.002
Pemahaman dan Penilaian Penentuan Kriteria
Risiko Pemeriksaan 302.000
Pemeriksaan Pengelolaan
100.003 Limbah RSUP/RSUD
Penetapan Batas Materialitas 201.000
Pemeriksaan Keuangan Pemeriksaan Atas Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (RHL) 303.000
Pemeriksaan Pengendalian
100.004 Pencemaran Udara Dari
Penentuan Metode Uji Petik Sumber Bergerak
Pemeriksaan Keuangan 203.000
Pemeriksaan Atas
304.000
Pengendalian dan
101.000 Pemeriksaan Pengadaan
Pengelolaan Limbah Industri
Pemeriksaan LKPP dan LKKL Barang/Jasa Pemerintah

102.000
Pemeriksaan LKPD

103.000
Pemeriksaan atas Laporan
Keuangan Bank Indonesia

400.001
Reviu Pemeriksaan

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Daftar Isi

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................................... i
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Tujuan ...................................................................................................... 2
C. Lingkup Bahasan....................................................................................... 3
D. Dasar Hukum Penyusunan......................................................................... 4
E. Sistematika Penulisan ................................................................................ 4

BAB II GAMBARAN UMUM .................................................................................... 5


A. Pengertian dan Tujuan Pemeriksaan Investigatif........................................ 5
B. Konsep Pemeriksaan Investigatif............................................................... 5
C. Jenis Penyimpangan .................................................................................. 6
D. Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif .......................................... 7
E. Peraturan Terkait Pemeriksaan Investigatif ................................................ 9
F. Sasaran dan Ruang Lingkup Pemeriksaan Investigatif ............................... 10
G. Kewajiban Pemeriksa Investigatif.............................................................. 10
H. Kualitas Pemeriksa Investigatif ................................................................. 10
I. Tahap Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif ............................................. 11

BAB III PRA PEMERIKSAAN INVESTIGATIF ......................................................... 15


A. Umum....................................................................................................... 15
B. Mekanisme Penanganan Informasi Awal................................................... 15
C. Penanganan Informasi Awal...................................................................... 20

BAB IV PERSIAPAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF............................................ 29


A. Umum....................................................................................................... 29
B. Pengembangan Hipotesa ........................................................................... 29
C. Penyusunan Program Pemeriksaan............................................................ 29
D. Penentuan Kebutuhan Sumber Daya ......................................................... 32
E. Penerbitan Surat Tugas ............................................................................. 32

BAB V PELAKSANAAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF .................................... 35


A. Umum....................................................................................................... 35
B. Pembicaraan Pendahuluan......................................................................... 35
C. Pengumpulan Bukti Pemeriksaan Berdasarkan Hipotesa ........................... 35

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan i


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Daftar Isi

D. Analisis dan Evaluasi Bukti ...................................................................... 44


E. Pemaparan Tim Pemeriksa di Lingkungan BPK ........................................ 46
F. Pemaparan Tim Pemeriksa dengan Instansi yang Berwenang .................... 46
G. Pembicaraan Akhir.................................................................................... 47

BAB VI PELAPORAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF.......................................... 49


A. Umum ...................................................................................................... 49
B. Prinsip Pelaporan Pemeriksaan Investigatif............................................... 49
C. Susunan Laporan Pemeriksaan Investigatif ............................................... 50
D. Reviu dan Tanda Tangan Laporan ............................................................ 52

BAB VII PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH................................... 53


A. Umum...................................................................................................... 53
B. Tujuan ..................................................................................................... 53
C. Ruang Lingkup ........................................................................................ 54
D. Tahap-Tahap Pemeriksaan ....................................................................... 54

BAB VIII PENUTUP....................................................................................................... 61


A. Pemberlakuan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif......................... 61
B. Pemutakhiran Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif ......................... 61
C. Pemantauan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif............................ 61

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM
GLOSARIUM JUKNIS PEMERIKSAAN INVESTIGATIF
KETERANGAN GAMBAR
LAMPIRAN
TIM PENYUSUN JUKNIS PEMERIKSAAN INVESTIGATIF

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan ii


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah

DAFTAR LAMPIRAN

III.1 Hasil Telahaan Informasi Awal


III.2 Mekanisme Penanganan Informasi Awal
III.3 Tabel Kehandalan Sumber dan Validitas Informasi
III.4 Tabel Akuntabilitas Penanganan Sumber Informasi Awal
III.5 Hasil Analisis Informasi Awal

IV.1 Contoh Langkah-langkah Pemeriksaan


IV.2 Program Kerja Perorangan
IV.3 Formulir Pengorganisasian Surat Tugas
IV.4 Matrik Komunikasi Kegiatan Persiapan Pemeriksaan

V.1 Bukti Pemeriksaan dan Bukti Hukum


V.2 Berita Acara Peminjaman Dokumen
V.3 Permintaan Informasi
V.4 Teknik Wawancara
V.5 Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK)
V.6 Berita Acara Pemeriksaan Fisik
V.7 Pengamanan Alat/Barang Bukti dan KKP
V.8 Matrik Unsur Tindak Pidana Korupsi

VI.1 Formulir Pengorganisasian Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif


VI.2 Matrik Komunikasi Kegiatan Pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif

VII.1 Mekanisme Permintaan Penghitungan Kerugian Negara

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah

BAB I

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab I

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
01 Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menyebabkan kerugian Kedudukan dan peran
BPK yang semakin kuat
bagi negara dan melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk mengakibatkan BPK
itu, KKN di Indonesia harus diperangi dengan usaha keras dan langkah perlu mengatur hal-hal
tegas secara konsep maupun sistematis. pokok yang memberikan
landasan yang seragam
bagi pemeriksa dalam
02 BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa melakukan pemeriksaan
pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, memiliki komitmen yang investigatif
kuat untuk memerangi KKN bersama – sama dengan semua pihak.
03 Kedudukan BPK dalam struktur kenegaraan semakin kuat pasca
amandemen UUD 1945 yang mengubah ketentuan tentang BPK dari
semula hanya 1 ayat menjadi 3 pasal 7 ayat. Kedudukan yang semakin kuat
ini didukung dengan diterbitkannya Undang–Undang (UU) No. 17 Tahun
2003, UU No. 1 Tahun 2004, UU No. 15 Tahun 2004, dan UU No. 15
Tahun 2006. Perubahan mendasar terletak pada lingkup pemeriksaan BPK
yang semula hanya memeriksa tanggung jawab keuangan negara, menjadi
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hal ini
membawa konsekuensi yuridis semakin besarnya mandat yang diemban
BPK. Untuk menyelenggarakan mandat tersebut berdasarkan Pasal 4 UU
No. 15 Tahun 2006, BPK melaksanakan pemeriksaan keuangan negara
yang meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan
dengan tujuan tertentu.
04 Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan
dengan tujuan khusus di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan
kinerja, yaitu untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa.
Termasuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan
investigatif. Pemeriksaan investigatif merupakan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu dengan prosedur eksaminasi.
05 Pemeriksaan investigatif dilakukan berdasarkan informasi awal yang
bersumber dari internal maupun eksternal BPK. Berdasarkan Pasal 13 UU
No. 15 Tahun 2004, pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan
investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah
dan/atau unsur pidana.
06 Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Pernyataan Standar
Pemeriksaan (PSP) 06 dan 07, menyatakan bahwa tujuan tersebut di atas
dicapai dengan cara mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan
peraturan perundang-undangan, kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan
(abuse). Penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan
tersebut adalah penyimpangan yang mengandung unsur pidana yang terkait
dengan hal yang diperiksa.
07 Selanjutnya ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 mengatur
bahwa “apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera
melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”. Laporan tersebut dijadikan
sebagai dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
08 Pemeriksaan investigatif yang dilakukan berdasarkan Pasal 13 UU No. 15

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 1


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab I

Tahun 2004 adalah pemeriksaan investigatif terkait dengan tindak pidana


yang terjadi dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara,
seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana di bidang perpajakan, tindak
pidana di bidang perbankan atau tindak pidana di pasar modal.
09 Tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU
No. 20 Tahun 2001 menyebutkan beberapa jenis tindak pidana korupsi
antara lain korupsi yang terkait dengan kerugian negara, korupsi yang
terkait dengan suap-menyuap, korupsi yang terkait dengan penggelapan
dalam jabatan, korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan, korupsi
yang terkait dengan perbuatan curang, korupsi yang terkait dengan benturan
kepentingan dalam pengadaan, dan korupsi yang terkait dengan gratifikasi.
10 Petunjuk teknis ini khusus mengatur tentang pemeriksaan investigatif atas
indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah,
supaya juknis ini bisa lebih fokus, mengingat banyaknya tindak pidana
terkait kerugian negara maupun jenis tindak pidana korupsi. Selain itu, jenis
TPK yang mengakibatkan kerugian negara/daerah adalah jenis perbuatan
melawan hukum yang sering ditemukan oleh pemeriksa BPK di lapangan.
Perbuatan melawan hukum terkait tindak pidana dan tindak pidana korupsi
lainnya akan diatur oleh juknis tersendiri.
11 Selama belum ada juknis tersendiri yang mengaturnya, juknis ini bisa
dijadikan acuan untuk melakukan pemeriksaan investigatif atas tindak
pidana selain tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian
negara/daerah.
12 Pedoman pemeriksaan investigatif sebelumnya telah ditetapkan dengan
pedoman pemeriksaan yaitu Keputusan BPK No. 17/SK/K/1995 tentang
Pemeriksaan Khusus. Sejalan dengan perkembangan organisasi dan
peraturan perundang-undangan khususnya bidang pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara, dipandang perlu menyempurnakan
Pedoman dimaksud.
13 Dengan ditetapkannya juknis pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak
pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah diharapkan
pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak
pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah dengan
pemahaman, pemikiran dan tindakan yang sama, sehingga diperoleh hasil
pemeriksaan investigatif yang obyektif, akurat, dan dapat
dipertanggungjawabkan.

B. Tujuan
14 Tujuan Juknis pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi Tujuan Juknis
Pemeriksaan Investigatif
yang mengakibatkan kerugian negara/daerah ini adalah untuk :
1. Menyamakan pemahaman atas pemeriksaan investigatif atas indikasi
tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah;
2. Memberikan pedoman kepada pemeriksa yang melakukan pemeriksaan
investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan
kerugian negara/daerah sehingga perencanaan, pelaksanaan, dan
pelaporan pemeriksaan investigatif dapat selaras dan dapat segera
ditindaklanjuti oleh instansi yang berwenang;
3. Mengefektifkan pelaksanaan pemeriksaan investigatif atas indikasi
tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah agar
mencapai hasil pemeriksaan yang optimal sesuai dengan standar
pemeriksaan.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 2


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab I

C. Lingkup Bahasan
15 Juknis pemeriksaan ini mengatur tentang tata cara pelaksanaan pemeriksaan Lingkup juknis
investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan
kerugian negara/daerah mulai dari tahap pra pemeriksaan investigatif hingga
tahap pelaporan. Juknis ini juga berisi pedoman pelaksanaan pemeriksaan
investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara/daerah atas
permintaan instansi yang berwenang.
16 Definisi keuangan negara/daerah mengacu kepada definisi yang terdapat
dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 yaitu semua hak
dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu
baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan
negara tersebut meliputi:
1. Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;
2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
3. Penerimaan Negara;
4. Pengeluaran Negara;
5. Penerimaan Daerah;
6. Pengeluaran Daerah;
7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
17 Pengertian kerugian negara/daerah dapat diartikan sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 dan pengertian dalam
perspektif Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001.
Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
mendefinisikan kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat
berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Dalam perspektif Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kerugian negara
adalah kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau
tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya dibedakan atas:
1. Kerugian yang secara nyata telah ada, yaitu kerugian negara yang sudah
dapat dihitung jumlahnya; dan
2. Kerugian yang belum nyata dan pasti atau masih bersifat potensi.
Meskipun baru potensi, nilai kerugian negara tersebut harus dapat
dihitung.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 3


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab I

D. Dasar Hukum Penyusunan


18 Dasar hukum penyusunan juknis ini adalah: Dasar hukum penyusunan
1. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4400);
2. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 4654);
3. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4707);
4. Surat Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 31/SK/I-
VIII.3/8/2006 tanggal 31 Agustus 2006 tentang Tata Cara Pembentukan
Peraturan, Keputusan, dan Naskah Dinas Pada Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia;
5. Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 39/K/I-VIII.3/7/2007
tanggal 13 Juli 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia;
6. Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1/K/I-XIII.2/2/2008
tanggal 19 Februari 2008 tentang Panduan Manajemen Pemeriksaan;
7. Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 09/K/I-XIII.2/7/2008
tanggal 31 Juli 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara
Penyusunan atau Penyempurnaan Pedoman Pemeriksaan dan Non
Pemeriksaan

E. Sistematika Penulisan
19 Juknis Pemeriksaan ini disusun dengan sistematika penyajian sebagai Juknis ini terdiri dari
delapan bab
berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab II : Gambaran Umum
Bab III : Pra Pemeriksaan Investigatif
Bab IV : Persiapan Pemeriksaan Investigatif
Bab V : Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif
Bab VI : Pelaporan Pemeriksaan Investigatif
Bab VII : Penghitungan Kerugian Negara/Daerah
Bab VIII : Penutup
Referensi
Lampiran-Lampiran

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 4


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah

BAB II

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab II

BAB II
GAMBARAN UMUM

A. Pengertian dan Tujuan Pemeriksaan Investigatif


01 Pemeriksaan investigatif berbeda dengan pemeriksaan keuangan dan Pemeriksaan
investigatif berbeda
pemeriksaan kinerja yang sifatnya proaktif yaitu untuk melihat kelemahan dengan pemeriksaan
Sistem Pengendalian Intern (SPI), terutama yang berkenaan dengan keuangan atau kinerja
safeguarding of asset, yang rawan akan terjadinya penyimpangan.
02 Pemeriksaan investigatif bersifat reaktif, yakni pemeriksaan yang dilakukan Pemeriksaan
investigatif bersifat
sesudah ditemukannya indikasi awal adanya penyimpangan. reaktif
Penyimpangan merupakan definisi yang dipakai sebagai payung dari
berbagai macam white-collar crime, seperti penyalahgunaan aset, suap,
korupsi, pencucian uang, penghindaran pajak, serta fraudulent statements.
Pemeriksaan investigatif merupakan pemeriksaan ”lanjutan” dari auditing,
auditing yang lebih khusus dan mendalam, yang menuju pada
pengungkapan penyimpangan.
03 Pemeriksaan investigatif merupakan bagian dari akuntansi forensik, yaitu Akuntansi forensik
aplikasi keterampilan/keahlian keuangan/akuntansi dan cara berpikir
investigatif untuk memecahkan masalah-masalah hukum. Hal ini memiliki
makna bahwa hasil akuntansi forensik dapat dijadikan alat bukti untuk suatu
tuntutan di pengadilan atau layak untuk menjadi perdebatan publik.
Sebagai disiplin ilmu, akuntansi forensik mencakup keahlian keuangan,
pengetahuan bisnis, pengetahuan tentang fraud, teknologi informasi, serta
pemahaman akan sistem hukum.
Akuntansi forensik dapat diterapkan dalam berbagai bidang seperti
pemeriksaan investigatif di perusahaan dan pemerintahan, proses litigasi,
penelusuran dan penilaian aset, serta reviu bisnis. Pemeriksaan investigatif
menerapkan teknik-teknik untuk merekonstruksi suatu peristiwa atau
transaksi untuk memastikan fakta mengenai “siapa, apa, dimana, kapan,
mengapa, dan bagaimana” di sekitar lingkungan kejadian atau transaksi
yang sedang diperiksa.
04 Tujuan pemeriksaan investigatif sesuai dengan Pasal 13 UU No. 15 Tahun Tujuan pemeriksaan
investigatif
2004 adalah pemeriksaan yang dilaksanakan guna mengungkap adanya
indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.

B. Konsep Pemeriksaan Investigatif


05 Pemeriksaan reguler merupakan pengujian prosedural yang pelaksanaannya Pemeriksaan investigatif
dilaksanakan
dilakukan secara reguler atau berbasis pada pelaksanaan kerja untuk berdasarkan informasi
menemukan indikasi penyimpangan. Bila ditemukan indikasi awal dari pihak internal
penyimpangan maka pemeriksa akan memperluas ruang lingkup dan eksternal

pemeriksaan dan melakukan analisa untuk membuktikan kebenaran indikasi


penyimpangan tersebut, dan kegiatan ini perlu menerapkan keahlian
pemeriksaan investigatif. Selain dari hasil pemeriksaan internal BPK,
pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan berdasarkan dari informasi
eksternal, contohnya permintaan instansi yang berwenang atau pengaduan
masyarakat.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 5


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab II

06 Secara garis besar langkah – langkah pemeriksaan investigatif sebagai Garis besar langkah
pemeriksaan investigatif
berikut:
1. Menganalisis data yang tersedia. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan
pra pemeriksaan investigatif.
2. Mengembangkan hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan
persiapan pemeriksaan.
3. Menguji dan memperbaiki hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada
tahapan pelaksanaan pemeriksaan.
07 Dalam pemeriksaan, pemeriksa harus melakukan penelusuran yang Penelusuran fakta terkait
penyimpangan dan niat
mengarah pada upaya menemukan fakta serta menghindari pengumpulan pelaku
fakta dan data yang berlebihan secara prematur. Penelusuran dapat
berdasarkan adanya dugaan, pengaduan, kecurigaan, dan fakta-fakta yang
selanjutnya dianalisa untuk membuktikan kebenaran adanya penyimpangan.
08 Pemeriksaan investigatif perlu menggali niat pelaku melakukan
penyimpangan dan mampu membuktikan apakah penyimpangan dilakukan
di dalam pembukuan atau di luar pembukuan.
09 Secara teori terdapat empat hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya Empat hal penyebab
terjadinya
penyimpangan, yaitu motivasi (motivation), adanya kesempatan penyimpangan
(opportunity), rasionalisasi (rationalisation), serta adanya kemampuan
(capability).
Motivasi pelaku untuk melakukan penyimpangan sangat beragam, mulai
dari alasan ekonomi, tekanan dari atasan, sampai balas dendam. Adanya
kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindakan menyimpang terkait
dengan lemahnya Sistem Pengendalian Intern entitas yang diperiksa.
Rasionalisasi terkait dengan pembenaran diri si pelaku terkait dengan
budaya di entitas yang diperiksa, misalnya tidak adanya hukuman setimpal
yang diberikan atas penyimpangan yang diperiksa atau keyakinan untuk
mengembalikan aset yang diambil.
Ketiga penyebab tersebut hanya akan terlaksana apabila pelaku memiliki
kemampuan untuk melakukan tindakan penyimpangan, misalnya keahlian
teknologi yang memudahkan pelaku untuk memalsukan dokumen.
10 Dalam pelaksanaan pemeriksaan, kesempatan diberikan kepada pihak Tanggapan dari pihak
terkait
terkait untuk menyampaikan pendapatnya mengenai kejadian yang
sebenarnya berdasarkan pendapat mereka masing–masing, dimana dan
bilamana peristiwa terjadi sehingga tersedia kesempatan untuk
membenarkan atau menolak semua indikasi, pengaduan, tuduhan atau
penyimpangan tersebut.

C. Jenis Penyimpangan
11 Konvensi PBB anti korupsi atau United Nations Convention Against Jenis penyimpangan
menurut UNCAC dan
Corruption (UNCAC) dalam Pasal 15 sampai 25 menguraikan perbuatan – ACFE
perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana dan penegakan
hukumnya antara lain adalah: menyuap pejabat negara (bribery of national
public officials), menyalahgunakan wewenang (abuse of functions), dan
melakukan pencucian hasil kejahatan (laundering of proceeds of crime).
12 Secara skematis Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)
membahas penyimpangan di tempat kerja atau penyimpangan terkait
dengan pekerjaan/jabatan seseorang (occupational fraud) dalam fraud tree
yang terdiri dari: korupsi (corruption), penyalahgunaan aset (asset
misappropriation), dan salah saji laporan keuangan (fraudulent statements).
13 Istilah korupsi (corruption) menurut ACFE serupa tetapi tidak sama dengan
istilah korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 6
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab II

UU No. 20 Tahun 2001. Istilah korupsi menurut undang-undang tersebut


meliputi 30 Tindak Pidana Korupsi, sedangkan corruption menurut ACFE
adalah empat bentuk yaitu: konflik kepentingan (conflicts of interests),
menyuap (bribery), gratifikasi ilegal (illegal gratuities), dan pemerasan
(economic extortion).
14 Istilah asset misappropriation atau pengambilan aset secara ilegal dalam
bahasa sehari–hari disebut mencuri. Namun dalam istilah hukum,
”mengambil” aset secara ilegal (tidak sah atau melawan hukum) yang
dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau
mengawasi aset tersebut disebut menggelapkan. Istilah pencurian dalam
fraud tree disebut larceny, yaitu mengambil aset yang dimiliki orang lain
dimana si pelaku tidak memiliki wewenang untuk mengelola atau
mengawasi aset tersebut. Istilah penggelapan dalam bahasa Inggrisnya
adalah embezzlement, dimana si pelaku memiliki wewenang untuk
mengelola atau mengawasi aset tersebut tetapi kemudian menyalahgunakan
wewenang tersebut untuk menggunakan aset bagi kepentingan pribadinya.
15 Istilah fraudulent statements adalah penyimpangan berkaitan dengan
penyajian laporan keuangan. Terdapat dua kelompok dalam penyimpangan
ini. Yang pertama adalah penyimpangan dalam menyusun laporan
keuangan yang terdiri dari: 1) menyajikan aset atau pendapatan lebih tinggi
dari yang sebenarnya, dan 2) menyajikan aset atau pendapatan lebih rendah
dari yang sebenarnya. Yang kedua adalah penyimpangan dalam menyusun
laporan non keuangan secara menyesatkan, yang disajikan lebih bagus dari
keadaan yang sebenarnya dan seringkali merupakan pemalsuan atau
pemutarbalikan keadaan. Keduanya bisa tercantum dalam dokumen yang
dipakai untuk keperluan intern maupun ekstern.

D. Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif


16 1. Aksioma Pemeriksaan Investigatif Beberapa aksioma
pemeriksaan investigatif
Pernyataan dalam pemeriksaan investigatif antara lain:
a. Tidak sama dengan kejahatan lainnya, pada hakekatnya
penyimpangan itu disembunyikan keberadaannya. Perampok bank
menggunakan ancaman atau paksaan, sementara pelaku
penyimpangan perbankan, mereka tidak saja mencuri uang bank,
tetapi juga menutupi jejak pencuriannya. Sehingga, tidak ada satu
pernyataan dari seseorang bahwa penyimpangan telah atau tidak
terjadi dalam situasi khusus.
Cara untuk menyembunyikan penyimpangan amat banyak dan
kadang–kadang amat kreatif sehingga setiap orang bahkan seorang
pemeriksa dapat melakukan kecurangan. Karena penyimpangan itu
disembunyikan teknik pemeriksaan yang non konvensional sesuai
dengan kewenangan harus digunakan secara optimal, misalnya dengan
menggunakan keahlian komputer forensik (forensic computer).
b. Terkait dengan perolehan bukti, pemeriksa melakukan pembuktian
dua sisi (reverse proof). Untuk membuktikan bahwa penyimpangan
telah terjadi, pemeriksa juga mencoba membuktikan bahwa
penyimpangan tidak terjadi. Demikian juga dalam usaha membuktikan
penyimpangan tidak terjadi, maka pemeriksa juga harus mencoba
membuktikan bahwa penyimpangan telah tejadi.
Karena melakukan pembuktian bersifat dua sisi, teknik pemeriksaan
dalam mengumpulkan informasi/data harus diperoleh baik dari pihak
yang memberatkan dan pihak yang meringankan si pelaku
penyimpangan.
c. Untuk mendapatkan bahwa penyimpangan telah terjadi, pemeriksa
harus juga berupaya membuktikan penyimpangan tidak terjadi.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 7
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab II

Pemeriksaan agar dimulai dengan preposisi bahwa penyimpangan


telah terjadi atau sebaliknya hal itu tidak terjadi. Artinya dalam
melakukan pembuktian seorang pemeriksa agar mempertimbangkan
kemungkinan adanya penyangkalan dari pihak lain.
d. Penetapan adanya penyimpangan adalah mutlak tanggung jawab
pengadilan. Dalam pelaksanaan pemeriksaan tanggung jawab
pemeriksa adalah untuk mengungkap fakta kejadian, dalam proses
penyidikan tanggung jawab aparat penyidik adalah untuk
mengumpulkan bukti untuk menyusun tuntutan; dan dalam proses
pengadilan, tanggung jawab hakim adalah untuk menyatakan bersalah
atau tidak bersalahnya terdakwa.
Oleh karena itu, pemeriksa tidak boleh menyatakan pendapat
mengenai salah atau tidak bersalahnya seseorang atau pihak tertentu,
pemeriksa harus mengembangkan sebuah teori – bersalah atau tidak
bersalah – dalam upaya membuktikan teori tersebut. Dengan asumsi
bahwa kasus tersebut akan dilimpahkan ke tingkat litigasi maka dalam
melakukan pengujian seorang pemeriksa harus mempertimbangkan
kemungkinan - kemungkinan yang terjadi di pengadilan.
17 2. Prinsip Pemeriksaan Investigatif
Sesuai Pasal 8 ayat (4) UU No. 15 Tahun 2006, laporan pemeriksaan Prinsip-prinsip
pemeriksaan investigatif
investigatif yang dilakukan oleh BPK dijadikan dasar penyidikan oleh
pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Oleh karena itu pelaksanaan pemeriksaan memerlukan
penerapan kecerdasan, pertimbangan yang sehat dan pengalaman, serta
pemahaman terhadap ketentuan perundang–undangan dan prinsip –
prinsip pemeriksaan investigatif guna pemecahan masalah yang dihadapi.
Beberapa prinsip dalam melakukan pemeriksaan yang perlu diperhatikan
adalah:
a. Pemeriksaan harus dilandasi praktik-praktik terbaik yang diakui,
dengan cara membandingkan antar praktik yang ada dengan merujuk
kepada yang terbaik pada saat itu. Upaya ini dilakukan terus menerus
untuk mencari solusi terbaik.
b. Pemeriksaan investigatif adalah upaya mencari kebenaran, dengan
memperhatikan keadilan dan berdasarkan pada ketentuan peraturan
perundang–undangan yang berlaku.
c. Kegiatan pemeriksaan termasuk pengumpulan bukti–bukti dengan
prinsip kehati-hatian sehingga bukti tersebut dapat diterima di
pengadilan.
d. Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman,
terlindungi dan diberi indeks dan jejak pemeriksaan tersedia. Hal ini
diperlukan jika digunakan sebagai referensi atas penyidikan kasus di
kemudian hari.
e. Pastikan bahwa pemeriksa investigatif mengerti hak-hak asasi
pegawai dan senantiasa menghormatinya guna menghindari
kemungkinan penuntutan dari yang bersangkutan.
f. Semakin dekat selang waktu antara terjadinya penyimpangan dengan
saat meresponnya, maka kemungkinan peluang penyimpangan dapat
terungkap semakin besar.
g. Pelaksanaan pemeriksaan harus dapat mengumpulkan fakta–fakta
sehingga bukti yang diperoleh dapat memberikan kesimpulan sendiri,
yaitu telah terjadi penyimpangan dan pihak yang diindikasikan terlibat
teridentifikasi.
h. Informasi diperoleh dari hasil wawancara dengan saksi akan
dipengaruhi oleh kelemahan manusia. Sepanjang diperlukan,
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 8
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab II

konfirmasi kembali dilakukan pada setiap pernyataan dan keterangan


yang diberikan oleh saksi.
i. Jawaban yang benar akan diperoleh jika pertanyaan yang diajukan
cukup jumlahnya dan pertanyaan tersebut disampaikan kepada orang
yang juga cukup jumlahnya.
j. Karena informasi sangat penting dalam pemeriksaan investigatif,
maka segala kemungkinan upaya untuk memperoleh informasi harus
dipertimbangkan.

E. Peraturan Terkait Pemeriksaan Investigatif


18 1. Peraturan yang terkait dengan pelaksanaan pemeriksaan investigatif, Peraturan terkait
pemeriksaan investigatif
antara lain:
a. Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur kewenangan BPK
untuk melakukan pemeriksaan investigatif.
b. Pasal 10, Pasal 24 ayat (1), (2), (4) UU No.15 Tahun 2004 jo. Pasal
9 ayat (1) huruf b, c, dan d UU No. 15 Tahun 2006 yang mengatur
kewenangan meminta informasi atau dokumen.
c. Pasal 10 huruf d, Pasal 11, Pasal 24 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2004
yang mengatur permintaan keterangan dan pemanggilan.
d. Pasal 11 huruf c UU No. 15 Tahun 2006 yang mengatur pemberian
keterangan ahli tentang kerugian negara dalam proses peradilan.
e. Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (5) UU No. 15 Tahun 2004 yang
mengatur laporan hasil pemeriksaan.
f. Pasal 25 ayat (1), (2), dan Pasal 26 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004
yang mengatur tentang sanksi pidana bagi pemeriksa yang
melanggar UU No. 15 Tahun 2004 dan UU No. 15 Tahun 2006.
19 2. Peraturan yang terkait tindak pidana khusus antara lain: Peraturan terkait tindak
pidana khusus
a. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
b. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 3 Tahun 2004.
c. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan UU
No. 28 Tahun 2007.
d. UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
e. UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003.
f. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 9


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab II

3. Peraturan yang terkait dengan proses penegakan hukum, antara lain: Peraturan terkait proses
penegakkan hukum
a. UU No. 8 Tahun 1981 mengenai KUHAP;
b. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian;
c. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;
d. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung;
e. UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.

20 Perspektif kerugian negara menurut: Perspektif kerugian


negara
1. UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001, kerugian keuangan
negara adalah yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau
tindakan menyalahgunakan kewenangan/ kesempatan/ sarana yang ada
pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya.
2. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendahaan Negara, menyatakan
bahwa pengertian kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang,
surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai
akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai

F. Sasaran dan Ruang Lingkup Pemeriksaan Investigatif


21 Sasaran pemeriksaan investigatif BPK adalah kasus yang berindikasi Sasaran dan ruang
lingkup pemeriksaan
kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. investigatif
Sasaran pemeriksaan investigatif yang diatur dalam juknis ini yaitu
perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi yang
mengakibatkan kerugian negara/daerah, untuk selanjutnya dalam juknis ini
akan disebut sebagai TPKKN.
22 Ruang lingkup pemeriksaan investigatif adalah TPKKN pada seluruh
entitas pemeriksaan BPK, meliputi pengungkapan fakta dan proses
kejadian, sebab dan akibat, dan menentukan pihak–pihak yang
diindikasikan terlibat dan atau bertanggung jawab atas TPKKN pada unit
organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya,
Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum,
Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara.

G. Kewajiban Pemeriksa Investigatif


23 Kewajiban pemeriksa investigatif BPK adalah melaksanakan pemeriksaan Kewajiban pemeriksa
investigatif
guna mengungkap ada/tidaknya TPKKN dan apabila dalam pemeriksaan
tersebut ditemukan TPKKN, maka pemeriksa BPK melalui Ketua BPK
melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
24 Kewajiban pemeriksa investigatif termasuk: 1) mentaati kebijakan dan
prosedur pemeriksaan yang telah ditetapkan dalam juknis ini; 2)
menyampaikan situasi atau permasalahan yang tidak biasa dalam
pemeriksaan untuk mendapatkan arahan dari pejabat BPK terkait; dan 3)
selalu menjaga kerahasiaan informasi dan data yang diperoleh selama
melakukan pemeriksaan.

H. Kualitas Pemeriksa Investigatif


25 Pemeriksa investigatif tak ubahnya seperti seorang akuntan forensik dan Kualitas yang harus
dimiliki pemeriksa
menurut Robert J. Linquist (Fraud Auditing and Forensic Accounting: New investigatif
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 10
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab II

Tools and Techniques, hal 48-49), kualitas yang harus dimiliki oleh seorang
akuntan forensik adalah:
a. Kreatif (Creative). Kemampuan untuk melihat sesuatu, yang orang lain
menganggap situasi tersebut adalah normal. Dengan intepretasinya ia
yakin bahwa situasi tersebut adalah tidak normal.
b. Rasa ingin tahu (Curious). Keinginan untuk menemukan apa yang
sesungguhnya terjadi dalam rangkaian situasi.
c. Tak menyerah (Persistance). Kemampuan untuk maju terus pantang
mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak mendukung, ketika
dokumen atau informasi sulit diperoleh.
d. Akal sehat (Common Sense). Kemampuan untuk mempertahankan
perspektif dunia nyata, yang mengerti betul kerasnya kehidupan.
e. Pengetahuan Bisnis (Bussines Accument). Kemampuan untuk
memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan, dan bukan
sekedar memahami bagaimana transaksi dicatat.
f. Percaya diri (Self Confidence). Kemampuan untuk mempercayai diri
akan temuannya, sehingga dapat bertahan pada saat diuji dengan
pertanyaan silang dari Jaksa Penuntut Umum dan Pembela.
g. Investigatif (Investigative). Kemampuan untuk melakukan investigasi
dan bagaimana bukti dapat diperoleh, selain ahli dalam bidang
akuntansi dan audit.
h. Kompetensi gabungan (Mixed Competency). Memiliki pengetahuan
yang memadai sebagai pemeriksa investigatif seperti akuntansi, hukum,
permintaan keterangan, dan teknologi informasi.

I. Tahap Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif


26 UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan memberikan Laporan BPK dijadikan
dasar penyidikan
mandat kepada BPK, apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana,
BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan
sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Dan laporan BPK tersebut
dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
27 Pemeriksa investigatif BPK bukan pejabat yang termasuk dalam kategori
penyelidik sesuai KUHAP, namun sesuai mandat BPK, hasil pemeriksaan
mereka dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik. Oleh karena itu,
kualitas hasil pemeriksaan investigatif BPK harus setara dengan kualitas
hasil penyelidikan yang dilakukan oleh aparat penyelidik.
28 Untuk memperoleh kualitas hasil pemeriksaan yang setara dengan hasil
penyelidikan, maka pemeriksaan investigatif BPK dilaksanakan dengan
tahap sebagai berikut: 1) pra pemeriksaan, 2) persiapan pemeriksaan, 3)
pelaksanaan pemeriksaan, dan 4) pelaporan pemeriksaan.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 11


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab II

29 Tahapan pemeriksaan dapat dijelaskan dalam bagan arus berikut ini:


Tahap pelaksanaan
pemeriksaan investigatif
Pra Persiapan Pelaksanaan Pelaporan
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan
Investigatif Investigatif Investigatif Investigatif

Sumber 5 elemen dasar Pembicaraan Prinsip


Mengembang pendahuluan pelaporan
Informasi Awal
(IA) kan hipotesis
Mengumpulkan bukti
Susunan
Administrasikan Menyusun Menganalisis dan laporan
IA program mengevaluasi bukti
pemeriksaan Reviu dan
Pahami IA Pemaparan tim tanda tangan
Menetapkan pemeriksa di
lingkungan BPK
Analisis IA kebutuhan
Evaluasi IA sumber daya Pemaparan tim
pemeriksa kepada
Keputusan Menerbitkan instansi yang
melaksanakan surat tugas berwenang
pemeriksaan
investigasi Pembicaraan akhir

30 Tahap Pra Pemeriksaan Investigatif Pra Pemeriksaan


Investigatif
Proses pra pemeriksaan meliputi: mengadministrasikan informasi awal,
memahami informasi awal, menganalisis informasi awal, mengevaluasi
informasi awal, dan keputusan melaksanakan pemeriksaan investigatif.
31 Pra pemeriksaan bertujuan untuk menetapkan adanya alasan (predikasi)
yang cukup kuat dan akurat sehingga pemeriksaan investigatif dapat
dilaksanakan secara obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dua hal penting yang harus dicermati dalam pra pemeriksaan yaitu
penelahaan terhadap substansi informasi dan proses penanganan informasi
awal.
32 Tahap Persiapan Pemeriksaan Investigatif Tahap persiapan
pemeriksaan investigatif
Persiapan pemeriksaan investigatif bertujuan agar pelaksanaan pemeriksaan
investigatif berjalan efisien dan efektif serta mencapai tujuan. Kegiatan
dalam persiapan pemeriksaan mencakup: 1) pengembangan hipotesis, 2)
penyusunan program pemeriksaan investigatif, 3) penentuan kebutuhan
sumber daya, dan 4) penerbitan surat tugas.
33 Tahap Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif Tahap pelaksanaan
pemeriksaan investigatif
Pelaksanaan pemeriksaan investigatif meliputi kegiatan pembicaraan
pendahuluan, pengumpulan bukti pemeriksaan berdasarkan hipotesa,
analisis dan evaluasi bukti pemeriksaan, pemaparan tim pemeriksa di
lingkungan BPK, pemaparan tim pemeriksa kepada instansi yang
berwenang, dan pembicaraan akhir.
34 Dari konsep laporan hasil pemeriksaan, tim harus melakukan pemaparan di
lingkungan intern BPK untuk memperoleh persetujuan Ketua/Angbintama/
Tortama/Kalan atas simpulan tim pemeriksa.
Pemaparan intern merupakan satu tahap yang sangat penting karena akan
menentukan proses tindak lanjut suatu kasus yang diindikasikan merugikan
keuangan negara dan atau TPKKN. Oleh karena itu, semua pihak intern
BPK yang hadir dalam pemaparan intern harus menguasai dan mendalami
pengetahuan tentang unsur Tindak Pidana Korupsi dan tindak pidana khusus
lainnya terkait dengan tugas BPK.
35 Pemaparan tim pemeriksa kepada instansi yang berwenang pada
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 12
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab II

dasarnya merupakan tindak lanjut hasil pemaparan di lingkungan intern


BPK.
Tujuan pemaparan ini agar BPK memperoleh masukan dari instansi yang
berwenang terkait terpenuhinya indikasi unsur-unsur TPKKN.
36 Umumnya BPK dan instansi yang berwenang sepakat bahwa dari
pemaparan disimpulkan kasus telah memenuhi indikasi unsur–unsur
TPKKN, belum memenuhi indikasi unsur–unsur TPKKN sehingga perlu
ditempuh langkah lebih lanjut, dan tidak memenuhi indikasi unsur–unsur
TPKKN.
37 Pada akhir pelaksanaan pemeriksaan investigatif harus dilakukan
pembicaraan akhir pemeriksaan oleh penanggung jawab pemeriksaan atau
pejabat yang ditunjuk dengan pejabat entitas yang diperiksa.
Pembicaraan akhir tersebut dilakukan dengan menyampaikan kepada
pejabat entitas yang diperiksa mengenai perkembangan akhir kasus tanpa
memberikan simpulan dari kasus tersebut dengan tetap menjaga kerahasiaan
substansi atau materi dari proses dan atau pelaksanaan pemeriksaan yang
sedang berjalan.
38 Tahap Pelaporan Pemeriksaan Investigatif Pelaporan pemeriksaan
investigatif
Tujuan pelaporan pemeriksaan investigatif adalah dijadikan dasar
penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pelaporan pemeriksaan agar mempertimbangkan prinsip pelaporan, susunan
laporan, reviu, dan tanda tangan laporan.
Prinsip pelaporan pemeriksaan investigatif harus akurat, jelas, tidak
memihak, relevan, dan tepat waktu.
Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 13


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab II

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 14


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab II

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 15


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah

BAB III

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab III

BAB III
PRA PEMERIKSAAN INVESTIGATIF

A. Umum
01 Informasi awal adalah keterangan permulaan mengenai suatu Penelahaan informasi
awal
penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan
(fraud), serta ketidakpatutan (abuse) yang telah/sedang/dan akan terjadi.
02 Tidak semua informasi yang diterima sebagai dasar pelaksanaan
pemeriksaan investigatif memiliki keandalan dan validitas yang sama. Oleh
karena itu, untuk setiap informasi awal yang diterima perlu dilakukan
penelaahan terlebih dahulu.
03 Tujuan dilakukannya penelaahan informasi awal adalah untuk menetapkan Tujuan penelahaan
informasi awal
adanya alasan (predikasi) yang cukup kuat dan akurat sehingga
pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan secara obyektif dan dapat
dipertanggungjawabkan.
04 Informasi yang diperoleh dapat bersumber dari intern BPK seperti: Temuan Sumber informasi awal
Pemeriksaan (TP), Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), inisiatif Badan,
maupun ekstern BPK seperti permintaan instansi yang berwenang/Instansi
Pemerintah/Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), LHP Aparat Pengawasan Intern Pemerintah/SPI, dan
laporan/pengaduan masyarakat.
05 Dokumen yang memuat informasi awal dapat berbentuk surat permintaan
untuk melakukan pemeriksaan dan surat pengaduan dari masyarakat yang
disampaikan secara langsung atau tidak langsung termasuk melalui
teknologi informasi.
06 Dalam tahapan perencanaan pemeriksaan investigatif yang meliputi pra
pemeriksaan investigatif dan persiapan pemeriksaan investigatif dibentuk
Tim Persiapan Pemeriksaan Investigatif (TPPI) oleh Tortama sesuai dengan
kebutuhan.
Tim persiapan pemeriksaan investigatif ini mengacu kepada Panduan
Manajemen Pemeriksaan (PMP) Bab III mengenai perencanaan
pemeriksaan.
07 Telaahan informasi disajikan dalam Hasil Telaahan Informasi Awal, dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III.1.

B. Mekanisme Penanganan Informasi Awal


08 Penanganan informasi awal berdasarkan sumber informasi awal diperoleh Mekanisme penanganan
informasi awal
dari TP/LHP Auditama Keuangan Negara, TP/LHP BPK Perwakilan,
inisiatif Badan, permintaan instansi yang berwenang kepada Ketua BPK,
permintaan instansi yang berwenang kepada Kepala Perwakilan BPK,
permintaan pihak ketiga kepada Ketua BPK, serta permintaan pihak ketiga
kepada Kepala Perwakilan BPK.
Mekanisme penanganan informasi awal tersebut adalah sebagai berikut:
09 1. TP/LHP Auditama Keuangan Negara (Kantor Pusat) Sumber Informasi awal
dari hasil pemeriksaan
Apabila dari TP/LHP pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan AKN
pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilaksanakan oleh AKN atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara menemukan indikasi

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 15


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab III

TPKKN yang masih perlu diperdalam/dikembangkan, tim pemeriksa


AKN mengusulkan agar pendalaman/pengembangan kasus dilakukan
melalui pemeriksaan investigatif. Bagan arus mekanisme penanganan
informasi awal dapat dilihat pada lampiran III.2.
Mekanisme penanganan dilakukan sebagai berikut:
a. Tim pemeriksa AKN melalui Tortama menyerahkan TP/LHP kepada
TPPI serta melakukan pemaparan atas temuan tersebut dan jika
dipandang perlu dapat meminta pertimbangan Ditama Binbangkum
untuk membahas apakah temuan tersebut terdapat cukup alasan
untuk dilakukannya pemeriksaan investigatif.
b. Apabila dari hasil pemaparan disimpulkan terdapat cukup alasan
dilakukan pemeriksaan investigatif, tim pemeriksa melalui Tortama
menyerahkan Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) kepada TPPI.
c. Pejabat yang hadir dalam pemaparan adalah Tortama atau Pejabat
yang ditunjuk pada AKN yang bersangkutan, tim pemeriksa AKN,
pengendali teknis AKN, dan TPPI. Jika diperlukan dapat dihadiri
oleh Ditama Binbangkum, Staf Ahli Bidang Pemeriksaan
Investigatif, serta Tenaga Ahli yang terkait.
d. TPPI melakukan telaahan atas TP dan/atau LHP serta KKP. Temuan
AKN diharapkan dapat mengungkap unsur Who, yaitu pihak yang
bertanggung jawab, dan juga bukti petunjuk yang dapat membuat
peluang pembuktian menjadi lebih meyakinkan, misalnya:
1) Surat Pernyataan/Keterangan dari entitas yang diperiksa
dan/atau pihak lain yang terkait yang membenarkan terjadinya
TPKKN; atau
2) Dokumen yang berkorelasi dengan TPKKN yang diperoleh dari
entitas yang diperiksa dan/atau pihak lain yang terkait.
e. Jika dari hasil telaahan atas TP dan/atau LHP serta KKP telah
mengungkap semua unsur 5W+1H dan indikasi unsur TPKKN,
maka TPPI mengusulkan untuk dilakukan pemaparan dengan
instansi yang berwenang sebelum laporan hasil pemeriksaan
diserahkan kepada Ketua BPK. Selanjutnya, Ketua BPK
menyampaikan kepada instansi yang berwenang.
f. Jika dari hasil telaahan atas TP dan/atau LHP serta KKP belum
mengungkap semua unsur 5W+1H dan indikasi unsur TPKKN, TPPI
menyimpulkan hasil telaahan sebagai berikut:
1) Tidak cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif
karena tidak memenuhi unsur 3W (What, Where, dan When)
dan indikasi unsur TPKKN.
2) Belum cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif
karena data pendukung belum lengkap untuk memenuhi unsur
3W(What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN.
3) Cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif dalam
arti bahwa terpenuhinya unsur 3W (What, Where, dan When)
dan beberapa indikasi unsur TPKKN dengan
mempertimbangkan materialitas dari nilai kerugian negara.
g. Jika hasil telaahan menyimpulkan tidak cukup alasan untuk
dilakukan pemeriksaan investigatif maka TPPI menyerahkan hasil
telaahan TP dan/atau LHP serta KKP kepada Tortama untuk
diadministrasikan.
h. Jika hasil telaahan menyimpulkan belum cukup alasan untuk
dilakukan pemeriksaan investigatif maka dimintakan tambahan bukti
pendukung.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 16


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab III

1) Dalam hal tambahan bukti pendukung tidak cukup memenuhi


unsur 3 W (What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN
maka langkah selanjutnya sesuai dengan butir g.
2) Dalam hal tambahan bukti pendukung cukup memenuhi unsur 3
W (What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN maka
langkah selanjutnya sesuai dengan butir i.
i. Jika hasil telaahan menyimpulkan cukup alasan untuk dilakukan
pemeriksaan investigatif, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan
tersebut kepada Ketua BPK melalui Tortama dan Angbintama untuk
dilakukan pemeriksaan investigatif.
j. Berdasarkan hasil telahan tersebut, Ketua BPK dapat :
1) menugaskan tim khusus, atau
2) mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait;
Untuk melakukan pemeriksaan investigatif.
k. Selanjutnya informasi dan berkas penelaahan dikembalikan untuk
diarsipkan oleh Tortama terkait. Arsip tersebut dapat digunakan
sebagai bahan informasi pada waktu AKN melakukan pemeriksaan
keuangan, kinerja atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
10 2. TP/LHP BPK Perwakilan
Apabila dari TP/LHP pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan Sumber Informasi awal
pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilaksanakan oleh Kepala dari hasil pemeriksaan
BPK Perwakilan
Perwakilan (Kalan) atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara menemukan TPKKN, yang masih perlu
diperdalam/dikembangkan, tim pemeriksa BPK Perwakilan
mengusulkan agar pendalaman/pengembangan kasus dilakukan melalui
pemeriksaan investigatif.
Mekanisme penanganan dilakukan sebagai berikut:
a. Tim pemeriksa di Perwakilan melalui Kalan menyampaikan TP/LHP
kepada Tortama. Kemudian Tortama menyerahkan temuan tersebut
kepada TPPI. Tim Pemeriksa di Perwakilan melakukan pemaparan
atas temuan pemeriksaannya dengan TPPI dan jika dipandang perlu
dapat meminta pertimbangan Ditama Binbangkum untuk dibahas
apakah terdapat cukup alasan dilakukannya pemeriksaan investigatif.
b. Apabila dari hasil pemaparan disimpulkan terdapat cukup alasan
dilakukan pemeriksaan investigatif, tim pemeriksa di Perwakilan
melalui Tortama/Kalan menyerahkan KKP kepada TPPI.
c. Pejabat yang hadir dalam pemaparan adalah Tortama, Kalan atau
pejabat yang ditunjuk, tim pemeriksa Perwakilan, TPPI. Jika
diperlukan dapat dihadiri oleh Ditama Binbangkum, Staf Ahli
Bidang Pemeriksaan Investigatif, serta Tenaga Ahli yang terkait.
d. Langkah selanjutnya sesuai dengan butir B.1.d sampai dengan butir
B.1.k.
11 3. Inisiatif Badan Sumber informasi awal
Adalah informasi dari sumber intern BPK yang berasal dari Badan dalam dari inisiatif Badan
hal ini adalah dari Ketua BPK, Wakil Ketua BPK, dan Anggota BPK
tentang informasi TPKKN yang terjadi di entitas yang diperiksa BPK.
Penanganan informasi yang berasal dari inisiatif Badan dilakukan
dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Badan menyampaikan perintah telaah kepada Tortama melalui
Angbintama mengenai informasi adanya TPKKN. Tortama
menyampaikan informasi tersebut kepada TPPI untuk ditelaah.
b. TPPI kemudian melakukan telaahan dan membuat laporan hasil
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 17
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab III

telaahan dengan menilai apakah kasus tersebut berada dalam


kewenangan BPK. Selanjutnya TPPI menganalisis dan mengevaluasi
informasi dengan mempertimbangkan nilai kebenaran, materi dan
kelengkapan informasi. Jika dipandang perlu, TPPI dapat meminta
pertimbangan Ditama Binbangkum, Staf Ahli Bidang Pemeriksaan
Investigatif serta Tenaga Ahli terkait.
c. Laporan hasil telaahan TPPI memuat simpulan:
1) Tidak cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif
karena tidak memenuhi unsur 3W (What, Where, dan When)
dan indikasi unsur TPKKN.
2) Belum cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif
karena data pendukung belum lengkap untuk memenuhi unsur
3W(What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN.
3) Cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif dalam
arti bahwa terpenuhinya unsur 3W (What, Where, dan When)
dan beberapa indikasi unsur TPKKN dengan
mempertimbangkan materialitas dari nilai kerugian negara.
d. Jika hasil telaahan menyimpulkan tidak cukup alasan untuk
dilakukan pemeriksaan investigatif maka TPPI menyerahkan hasil
telaahan kepada Badan melalui Tortama untuk di administrasikan
dan menjadi bahan informasi pada waktu AKN melakukan
pemeriksaan keuangan, kinerja atau pemeriksaan dengan tujuan
tertentu.
e. Jika hasil telaahan menyimpulkan belum cukup alasan untuk
dilakukan pemeriksaan investigatif maka TPPI menyampaikan hasil
telaahan tersebut kepada Ketua melalui Tortama dan mengusulkan
untuk dilakukan pemeriksaan pendahuluan untuk melengkapi data
pendukung. Jika hasil pemeriksaan pendahuluan:
1) Data pendukung tidak memenuhi memenuhi unsur 3W(What,
Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN maka TPPI
menyerahkan hasil telaahan kepada Badan untuk di
administrasikan dan menjadi bahan informasi pada waktu AKN
melakukan pemeriksaan keuangan, kinerja atau pemeriksaan
dengan tujuan tertentu.
2) Data pendukung telah memenuhi memenuhi unsur 3W(What,
Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN maka langkah
selanjutnya sesuai dengan butir f.
f. Jika hasil telaahan menyimpulan cukup alasan untuk dilakukan
pemeriksaan investigatif, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan
tersebut kepada Ketua BPK melalui Tortama untuk dilakukan
pemeriksaan investigatif.
g. Berdasarkan hasil telahan tersebut, Ketua BPK dapat :
1) Menugaskan tim khusus, atau
2) Mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait;
untuk melakukan pemeriksaan investigatif.
12 4. Permintaan Instansi yang berwenang kepada Ketua BPK Sumber Informasi awal
dari permintaan Instansi
Adalah informasi dari sumber ekstern BPK seperti Kejaksaan Agung, yang berwenang ke Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Kepolisian.
Umumnya permintaan Instansi yang berwenang dapat dibedakan dalam
dua kategori yaitu permintaan pada tahapan penyelidikan dan
penyidikan.
Tujuan permintaan pada tahapan penyelidikan umumnya untuk
mengungkap adanya TPKKN untuk memperjelas posisi suatu
kasus/kejadian.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 18


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab III

Tujuan permintaan pada tahapan penyidikan umumnya untuk


menetapkan adanya kerugian negara guna melengkapi konstruksi hukum
dan unsur melawan hukum yang telah dikembangkan oleh instansi yang
berwenang. Permintaan pemeriksaan dalam rangka melakukan
penghitungan kerugian negara/daerah dari Instansi yang berwenang,
diatur tersendiri pada Bab VII.
Mekanisme penanganan informasi awal yang bersumber dari permintaan
Instansi yang berwenang kepada Ketua BPK dilakukan sebagai berikut:
a. Instansi yang berwenang menyampaikan permintaan bantuan
kepada Ketua BPK, untuk di Pemerintahan Pusat disampaikan oleh
Liason Officer (LO) dari Kejaksaan Agung/KPK/Mabes POLRI
sedangkan di Pemerintahan Daerah disampaikan oleh LO dari
Kejaksaan Tinggi/Kapolda.
b. Kemudian Ketua menyampaikan permintaan tersebut kepada TPPI
melalui Tortama.
c. TPPI meminta instansi yang berwenang untuk melakukan
pemaparan dan menyajikan bukti pendukung yang diperlukan
dengan tujuan untuk mengidentifikasi TPKKN. Jika dipandang
perlu TPPI dapat meminta Ditama Binbangkum untuk hadir dalam
rangka memberi pertimbangan masalah hukum, Staf Ahli Bidang
Pemeriksaan Investigatif serta Tenaga Ahli terkait.
d. Setelah pemaparan oleh instansi yang berwenang selanjutnya TPPI
melakukan telaahan dengan menilai apakah permintaan tersebut
berkaitan dengan entitas yang merupakan lingkup pemeriksaan
BPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
e. Selanjutnya TPPI menganalisis dan mengevaluasi informasi dengan
mempertimbangkan nilai kebenaran, materi dan kelengkapan
informasi.
f. TPPI membuat hasil telaahan dengan simpulan:
1) Menerima permintaan bantuan karena TPKKN cukup jelas,
yang disertai dengan data pendukung yang memadai.
2) Menolak permintaan bantuan karena TPKKN tidak jelas serta
tidak dilengkapi dengan data pendukung yang memadai.
g. Dalam hal masih diperlukan data tambahan untuk memperkuat
kesimpulan, maka pengumpulan bukti tersebut dapat dilakukan
sendiri oleh instansi yang berwenang atau membentuk Tim
Gabungan yang terdiri dari pemeriksa BPK dan penyidik dari
instansi yang berwenang atau oleh tim pemeriksa BPK.
h. Selanjutnya, TPPI menyampaikan hasil telaahan tersebut kepada
Ketua BPK melalui Tortama.
i. Berdasarkan hasil telahan tersebut, Ketua BPK dapat:
1) Menerima permintaan instansi yang berwenang untuk
melakukan pemeriksaan investigatif dengan:
a) menugaskan tim khusus, atau
b) mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama
terkait.
2) Menolak permintaan dengan menyampaikan surat jawaban ke
instansi yang berwenang.
13 5. Permintaan Instansi yang berwenang kepada BPK Perwakilan Sumber informasi awal
dari permintaan Instansi
Mekanisme penanganan permintaan instansi yang berwenang kepada yang berwenang ke BPK
BPK Perwakilan untuk melakukan pemeriksaan investigatif dilakukan Perwakilan
sebagai berikut:
a. Instansi yang berwenang menyampaikan permintaan bantuan kepada
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 19
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab III

Kepala Perwakilan BPK.


b. Kemudian Kalan menyampaikan permintaan tersebut kepada
Tortama dan meneruskannya kepada TPPI.
c. Langkah selanjutnya sesuai dengan butir B. 4.c sampai dengan B.4.i.
14 6. Permintaan Pihak Ketiga kepada Ketua BPK Sumber Informasi awal
dari Pihak ke III ke Ketua
Adalah informasi dari sumber ekstern BPK yaitu permintaan dari DPR,
DPD, APIP, dan masyarakat berkaitan dengan permintaan pemeriksaan
investigatif kepada Ketua BPK.
Tindak lanjut atas permintaan langsung dari pihak ketiga kepada Ketua
BPK dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Berdasarkan permintaan dari DPR/DPD, APIP, dan masyarakat
mengenai adanya TPKKN kepada Ketua BPK, Ketua kemudian
menyampaikan perintah telaah kepada Tortama yang selanjutnya
meneruskan kepada TPPI mengenai informasi adanya TPKKN
tersebut.
b. TPPI melakukan telaahan dengan menilai apakah permintaan
tersebut berkaitan dengan entitas yang merupakan lingkup
pemeriksaan BPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c. Langkah selanjutnya sesuai dengan butir B. 4.e sampai dengan B.4.i.
15 7. Permintaan Pihak Ketiga kepada BPK Perwakilan Sumber informasi awal
dari permintaan Pihak ke
Permintaan pihak ketiga kepada BPK Perwakilan dapat berasal dari III ke Perwakilan
DPRD, APIP, dan masyarakat berkaitan dengan permintaan pemeriksaan
investigatif kepada BPK Perwakilan.
Tindak lanjut atas permintaan langsung dari pihak ke III kepada BPK
Perwakilan dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Berdasarkan permintaan dari DPRD, APIP, dan masyarakat
mengenai adanya TPKKN kepada Kalan, selanjutnya Kalan
menyampaikan informasi tersebut kepada Tortama.
b. Tortama kemudian menyampaikannya kepada TPPI mengenai
informasi adanya TPKKN tersebut.
c. TPPI selanjutnya melakukan langkah–langkah sesuai dengan butir
B. 6.b. sampai dengan B. 6.c.
16 8. Jalur Komunikasi Pengaduan Masyarakat Jalur Komunikasi
pengaduan
BPK menyediakan jalur komunikasi untuk penyampaian pengaduan
yaitu:
a. Badan Pemeriksa Keuangan – RI up. Sekretaris Pimpinan BPK-RI,
Jl. Jend. Gatot Subroto No 31 Jakarta Pusat 10210 ;
b. Badan Pemeriksa Keuangan – RI Kantor Perwakilan Propinsi.......
up. Kasubag Humas, Jl............................(alamat disesuaikan dengan
lokasi kantor Perwakilan);
c. Alamat email ..............@bpk.go.id untuk penyampaian laporan
melalui email.

C. Penanganan Informasi Awal


17 Dua hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan informasi awal yaitu
substansi informasi dan proses penanganan informasi awal.
18 1. Substansi Informasi Substansi informasi
Penelaahan dilakukan terhadap substansi informasi mengenai: a.
Kewenangan BPK, b. Nilai Kebenaran, c. Materi informasi dan d.
Kelengkapan Informasi
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 20
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab III

19 a. Kewenangan BPK
Dilakukan penelahaan terhadap substansi informasi apakah TPKKN
terjadi pada entitas yang merupakan lingkup pemeriksaan BPK sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
20 b. Nilai Kebenaran
Menggambarkan apakah informasi awal, berasal dari sumber
informasi yang handal dan memiliki validitas informasi yang tinggi.
Misalnya: Informasi awal yang diperoleh dari pengembangan temuan
AKN adalah berasal dari sumber informasi yang “sangat diandalkan”,
dan memiliki validitas informasi yang “tinggi”. Sedangkan informasi
yang diperoleh dari seseorang tanpa identitas adalah berasal dari
sumber yang “tidak diketahui” dan memiliki validitas informasi yang
“rendah”.
Jika informasi berasal dari sumber informasi sangat diandalkan dan
memiliki validitas yang tinggi maka nilainya adalah 8 (sangat
diandalkan = 4; validitas tinggi = 4).
Tingkat kehandalan sumber informasi dan validitas informasi ini
mempunyai nilai yang dituangkan dalam skala sebagaimana terlampir
dalam Lampiran III.3.
21 c. Materi informasi
Materi informasi menggambarkan adanya TPKKN.
Jika materi informasi yang disajikan masih diragukan, maka terlebih
dahulu dilakukan pengumpulan keterangan yang diperlukan untuk
melengkapi data yang tersedia agar diperoleh alasan yang cukup
untuk dilakukan pemeriksaan investigatif.
22 d. Kelengkapan Informasi
Informasi awal menyajikan minimum 3 unsur W, yaitu What
(indikasi adanya TPKKN yang dilakukan), Where (dimana TPKKN
dilakukan), dan When (kapan TPKKN dilakukan).
23 2. Proses Penanganan Informasi Awal Proses penanganan
informasi awal
Proses penanganan dalam penelaahan informasi awal mencakup: a.
mengadministrasikan informasi awal, b. memahami informasi awal, c.
menganalisis informasi awal, d. mengevaluasi informasi awal, dan e.
keputusan melaksanakan pemeriksaan investigatif.
24 a. Mengadministrasikan Informasi Awal Mengadministrasikan
informasi
Dalam mengadministrasikan informasi awal, BPK
mempertimbangkan dua hal yaitu: 1) kerahasiaan sumber-sumber
informasi awal dan 2) akuntabilitas penanganan sumber-sumber
informasi awal.
1) Kerahasiaan sumber-sumber informasi awal
a) BPK harus memperlakukan seluruh informasi awal termasuk
pengaduan masyarakat yang diterima sebagai informasi
rahasia dengan cara tidak akan mengungkapkan indentitas
pemberi laporan kepada pihak lain kecuali apabila sebelumnya
BPK telah mendapatkan kewenangan dari pemberi laporan
atau diharuskan oleh ketentuan perundangan-undangan yang
berlaku.
b) Seluruh laporan mengenai terjadinya penyimpangan yang
diterima dari masyarakat harus diidentifikasi antara lain asal
sumber informasi (AKN, DPR/D, Instansi yang berwenang,
APIP), bulan dan tahun laporan diterima, dan lain-lain.
c) Seluruh informasi berbentuk nonelektronis dikonversi menjadi
elektronis untuk memudahkan distribusi dan pengendalian.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 21
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab III

d) Akses terhadap dokumen yang memuat semua informasi awal


dari semua sumber informasi awal termasuk pengaduan
masyarakat baik dokumen dalam bentuk fisik maupun
nonfisik, harus dikendalikan dan dibatasi.
e) BPK tidak mempunyai kewenangan untuk membatasi pemberi
laporan yang bermaksud mempublikasikan informasi awal
termasuk pengaduan masyarakat yang disampaikan kepada
BPK.
2) Akuntabilitas penanganan sumber informasi awal
BPK menyelenggarakan suatu administrasi penanganan sumber
informasi awal yang akan mencatat setiap penerimaan informasi
awal termasuk pengaduan masyarakat, antara lain:
a) Jumlah informasi awal termasuk pengaduan masyarakat yang
bukan di bawah kewenangan BPK yang diteruskan ke instansi
lain yang berwenang;
b) Jumlah informasi awal yang masih dalam penelaahan;
c) Jumlah informasi awal yang telah ditindaklanjuti dengan
kegiatan koordinasi dengan lembaga pengawasan dan instansi
yang berwenang;
d) Jumlah informasi awal yang sudah diteruskan ke aparat
penyidik untuk tahap penyidikan; dan
e) Jumlah informasi awal yang tidak ditindaklanjuti.
Tabel akuntabilitas penanganan sumber informasi awal ini dapat
dilihat pada lampiran III.4.
25 b. Memahami Informasi Awal Memahami informasi
awal
1) Informasi awal mengenai TPKKN biasanya memuat hal–hal yang
bersifat umum, tidak menjelaskan secara rinci masalah yang
terjadi, dan cenderung memuat informasi yang tendensius,
berpihak, memiliki motif yang tidak sehat dan subyektif,
sehingga tingkat keandalan dan validitas informasi bisa (1) sangat
mungkin terjadi, (2) mungkin terjadi, (3) diragukan, dan (4) tidak
mungkin terjadi. Oleh karena itu informasi ini harus ditangani
secara obyektif.
2) Setiap informasi awal yang diterima BPK ditelaah dengan
menggunakan pendekatan 5W (what, who, where, when dan why)
dan 1H (how) untuk menetapkan cukup tidaknya alasan dilakukan
pemeriksaan, yang mengarah kepada terpenuhinya unsur – unsur
TPPKN terkait pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara. Informasi awal biasanya tidak mungkin dapat menjawab
seluruh unsur TPKKN, namun pada umumnya menyebutkan Who
(siapa yang diindikasikan melakukan TPKKN) dan What
(TPKKN apa yang dilakukan).
26 c. Menganalisis Informasi Awal Menganalisis informasi
awal
1) Tujuan menganalisis informasi awal adalah menjelaskan seluruh
informasi awal ke dalam pendekatan 5W + 1H .
2) Selain dengan menggunakan pendekatan 5W + 1H dalam
menganalisis informasi awal yang diterima, penelaah juga
menggunakan laporan–laporan BPK yang terdahulu yang relevan
untuk menetapkan cukup tidaknya alasan dilakukan pemeriksaan.
3) Dengan pendekatan pendekatan 5W + 1H, hasil analisis
mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Unsur 5W+1H
(1) Jenis TPKKN (what)
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 22
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab III

Dengan menjawab pertanyaan “what” diharapkan


penelaah memperoleh informasi tentang substansi
TPKKN yang dilaporkan. Informasi ini akan berguna
pada saat pengembangan hipotesis awal untuk
menetapkan jenis TPKKN.
(2) Pihak – pihak yang bertanggung jawab (who)
Dengan menjawab pertanyaan “who” diharapkan
penelaah memperoleh informasi tentang pihak–pihak
yang bertanggung jawab atas TPKKN yang terjadi atau
pihak – pihak terkait yang akan dimintakan
keterangannya.
(3) Dimana TPKKN terjadi (where)
Dengan menjawab pertanyaan “where” diharapkan
penelaah memperoleh informasi tentang dimana TPKKN
terjadi, khususnya entitas/unit kerja dimana TPKKN
terjadi. Informasi ini amat berguna pada saat menetapkan
ruang lingkup pemeriksaan investigatif dan juga
membantu pada saat menentukan locus delictie (tempat
terjadinya TPKKN).
(4) Waktu terjadinya TPKKN (when)
Dengan menjawab pertanyaan “when” diharapkan
penelaah memperoleh informasi tentang kapan terjadinya
TPKKN. Informasi ini akan berguna dalam penetapan
ruang lingkup pemeriksaan investigatif. Penentuan
tempos delictie (waktu terjadinya TPKKN) akan
membantu pemeriksa dalam memahami ketentuan yang
akan digunakan.
(5) Penyebab terjadinya TPKKN (why)
Dengan menjawab pertanyaan “why” diharapkan
penelaah memperoleh informasi tentang mengapa
seseorang melakukan TPKKN. Hal ini terkait dengan
motivasi seseorang melakukan kecurangan sehingga
dapat membantu pemeriksa dalam membuktikan adanya
unsur niat seseorang melakukannya.
(6) Modus operandi TPKKN (how)
Dengan menjawab pertanyaan “how” diharapkan
penelaah memperoleh informasi tentang bagaimana
TPKKN itu dilakukan. Informasi ini akan membantu
pemeriksa dalam menyusun modus operandi TPKKN
tersebut.
b) Unsur TPKKN
Dengan menggunakan pendekatan unsur–unsur TPKKN,
diharapkan penelaah dapat menjelaskan tentang TPKKN yang
dilaporkan.
Misalnya: TPKKN tersebut dapat dijelaskan dalam empat
unsur dalam pasal 2 Undang – Undang No. 31 Tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi:
(1) setiap orang.
(2) secara melawan hukum.
(3) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi.
(4) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Hasil analisis 5W + 1 H kemudian dituangkan dalam bentuk

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 23


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab III

matrik dengan format sebagaimana tercantum pada lampiran


III.5
27 d. Mengevaluasi Informasi Awal Mengevaluasi informasi
1) Tujuan mengevaluasi informasi awal adalah meyakinkan apakah awal
informasi awal yang diperoleh telah didukung dengan data
pendukung misalnya kelengkapan administrasi akuntansi yang
memadai.
2) Untuk melengkapi informasi awal, penelaah dapat memperoleh
tambahan informasi dari berbagai sumber tanpa harus melakukan
hubungan secara langsung dengan pihak-pihak terkait yang
melakukan TPKKN, seperti informasi dari pemasok barang dan
jasa, pembeli dan konsumen barang dan jasa, media masa,
internet, dan informasi intern BPK lainnya.
3) Jika selama kegiatan penelaahan diperoleh tambahan data dan
informasi lain, penelaah harus membandingkan informasi tersebut
dengan informasi yang sudah dimilikinya mengenai hal-hal
sebagai berikut:
a) Unsur TPKKN
Dengan menggunakan pendekatan unsur TPKKN, diharapkan
penelaah dapat mengevaluasi informasi awal tentang TPKKN
yang dilaporkan tersebut dengan data pendukungnya.
Contoh:
Hasil evaluasi atas data pendukung yang diperoleh terkait
TPKKN dengan menggunakan “Pasal 2 Undang–Undang No.
31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi”:
No Unsur TPK Bukti Contoh unsur TPK

1 Setiap orang SK Bendahara


2 Secara melawan hukum Melakukan
pembayaran tanpa
otorisasi
3 Melakukan perbuatan memperkaya diri Rekening Pribadi
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi Bendahara
4 Dapat merugikan keuangan negara atau -
perekonomian negara

b) Unsur 5W+1H
Dengan menggunakan kriteria 5W + 1H, pelaksanaan evaluasi
atas informasi mencakup hal-hal sebagai berikut:
(1) Jenis TPKKN (what)
Penelaah membandingkan informasi mengenai jenis
TPKKN yang diperoleh dengan bukti-bukti terkait.
Jika dalam pengaduan tersebut belum mengungkap
informasi kemungkinan adanya kerugian negara/ daerah,
hal ini tidak berarti bahwa pengaduan tidak layak untuk
ditindaklanjuti. Faktor–faktor lain yang terungkap akan
mempengaruhi dalam menentukan simpulan.
(2) Pihak yang bertanggungjawab (who)
Penelaah mengidentifikasi pihak–pihak yang mungkin
bertanggung jawab atas TPKKN yang terjadi atau pihak–
pihak terkait yang akan dimintakan keterangannya.
Mungkin saja informasi ini tidak terungkap dalam
pengaduan. Jika demikian halnya, sepanjang informasi

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 24


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab III

lain terungkap dalam pengaduan, penelaah dapat


menyusun hipotesis awal tentang siapa yang
diindikasikan melakukan kecurangan.
Tambahan data yang memuat informasi tentang pihak–
pihak yang bertanggung jawab mungkin diperoleh selama
melakukan pemeriksaan investigatif.
Sebagai contoh, meskipun informasi Who (siapa) tidak
terungkap dalam pengaduan, tetapi berdasarkan informasi
adanya indikasi terjadi KKN pada proyek X, maka
pemeriksa dapat melakukan hipotesis kemungkinan
siapa–siapa yang diduga melakukan TPKKN.
(3) Dimana TPKKN terjadi (where)
Penelaah melakukan evaluasi tentang dimana TPKKN
terjadi, khususnya entitas/unit kerja dimana TPKKN
terjadi.
Informasi tentang dimana terjadinya TPKKN merupakan
salah satu faktor penting yang harus ada untuk
menentukan layak tidaknya dilakukan pemeriksaan
investigatif.
Informasi ini berguna untuk menetapkan ruang lingkup
penugasan agar lebih terarah (fokus).
(4) Waktu terjadinya TPKKN (when)
Penelaah melakukan evaluasi tentang kapan terjadinya
TPKKN. Informasi tentang kapan terjadinya TPKKN
merupakan salah satu faktor yang sangat penting yang
harus terungkap untuk menentukan layak tidaknya
dilakukan pemeriksaan investigatif.
Informasi ini berguna untuk menetapkan ruang lingkup
penugasan agar lebih terarah (fokus).
(5) Penyebab terjadinya TPKKN (why)
Penelaah melakukan evaluasi tentang mengapa TPKKN
dapat terjadi. Informasi mengenai penyebab terjadinya
TPKKN adalah penting untuk menentukan alasan logis
atas terjadinya suatu TPKKN sehingga memperkuat
hipotesis yang akan ditetapkan.
Informasi ini jarang terungkap dalam pengaduan, namun
hal ini tidak mengurangi perlunya dilaksanakan
pemeriksaan investigatif, apabila informasi atas unsur–
unsur lainnya telah mencukupi.
(6) Modus operandi TPKKN (how)
Penelaah melakukan evaluasi tentang bagaimana suatu
TPKKN dilakukan. Informasi tentang bagaimana suatu
indikasi TPKKN terjadi merupakan salah satu unsur
penting dalam penelaahan dan unsur kunci untuk menilai
apakah suatu TPKKN telah dilakukan.
Sebagaimana unsur “why” di atas, unsur ini juga jarang
terungkap dalam pengaduan.
Namun demikian walaupun informasi tersebut tidak
terungkap, bukan berarti pemeriksaan investigatif tidak
layak untuk dilakukan apabila unsur lainnya telah
mencukupi, karena unsur ini nantinya dapat
dikembangkan pada saat pelaksanaan pemeriksaan
investigatif.
Unsur “How” berkaitan langsung dengan modus operandi
atau cara seseorang atau pihak tertentu melakukan
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 25
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab III

TPKKN. Unsur “How” merupakan tindakan verbal


seseorang atau sebaliknya seseorang tidak melakukan
tindakan, sehingga secara keseluruhan merupakan
TPKKN.
Contoh:
Hasil evaluasi atas data pendukung yang diperoleh terkait
dengan informasi penyimpangan dalam pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah pada Pemerintah
Daerah Kabupaten ABC:
No Unsur 5W + 1H Fakta
1 Jenis TPKKN(What) Pelanggaran PP No. 105/2000 dalam
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
daerah melalui mekanisme kas bon.
2 Pihak yang Bupati Pemda Kab. ABC
bertanggungjawab (Who)
3 Dimana TPKKN terjadi Pemda Kab. ABC
(Where)
4 Waktu terjadinya TPKKN TA 2006/2007
(When)
5 Penyebab terjadinya -
TPKKN (Why)
6 Modus operandi TPKKN -
(How)
4) Jika dari penanganan informasi awal unsur 5W + 1H belum
diperoleh secara lengkap, tetapi dengan memperhatikan prioritas
penanganan dan arti pentingnya informasi, maka TPKKN dapat
diindikasikan dengan minimal terpenuhinya tiga unsur yaitu:
What (adanya TPKKN), When (tahun anggaran yang berkaitan
dengan kejadian), dan Where (entitas dimana TPKKN terjadi).
5) Hasil penelaahan informasi awal dituangkan dalam bentuk
“simpulan penelaahan informasi awal” dengan pilihan sebagai
berikut:
a) Cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif
dalam arti bahwa terpenuhinya unsur 3W (What, Where, dan
When) dan beberapa indikasi unsur TPKKN dengan
mempertimbangkan materialitas dari nilai kerugian negara.
b) Belum cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan
investigatif sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan
untuk melengkapi informasi mengenai unsur 3W (What,
Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN yang belum
diperoleh.
c) Tidak cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif
karena tidak memenuhi unsur 3W atau dilengkapi data
pendukung yang lengkap.
6) Jika dari hasil telaahan dianggap perlu untuk mendapatkan
informasi tambahan langsung dari pihak ketiga atau unsur terkait,
TPPI mengajukan usul kepada Ketua BPK untuk melakukan
pengumpulan bahan dan keterangan dengan mempertimbangkan
faktor-faktor antara lain:
a) Materialitas nilai kerugian negara.
b) Sensitivitas isu tersebut.
c) Kecenderungan TPKKN di tempat lain.
d) Kemungkinan kemudahan mendapatkan tambahan informasi
yang diperlukan.
Usulan pengumpulan bahan dan keterangan disetujui oleh Ketua
BPK dengan menerbitkan disposisi kepada Tortama terkait atau
TPPI untuk mengumpulkan data atau bukti pendukung tambahan
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 26
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab III

pada entitas terkait.


Pengumpulan bahan dan keterangan dapat dilakukan dengan
memanfaatkan laporan dan/data dari instansi lain.

7) Pengumpulan data dimaksudkan untuk memastikan/


memperkuat/mendukung indikasi bahwa hal–hal yang
diungkapkan dalam informasi benar–benar mempunyai dasar
untuk ditindaklanjuti dengan pemeriksaan.
8) Hasil telaahan dan pengembangan informasi dilaporkan kepada
Ketua BPK dalam waktu selambat–lambatnya tujuh hari setelah
surat tugas pengumpulan data selesai.
9) Simpulan penelaahan informasi awal bersifat intern. Simpulan
tersebut disusun dan ditandatangani oleh TPPI dan disampaikan
kepada Ketua BPK untuk keputusan lebih lanjut.
28 e. Keputusan Melaksanakan Pemeriksaan Investigatif Keputusan melaksanakan
pemeriksaan investigatif
1) Berdasarkan simpulan penelaahan informasi awal, Ketua BPK
dapat:
a) menugaskan tim khusus, atau
b) mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait;
untuk melakukan pemeriksaan investigatif.
2) Selanjutnya, informasi dan berkas penelaahan diarsipkan oleh
TPPI. Arsip tersebut dapat digunakan sebagai bahan informasi
pada waktu AKN/Kalan untuk melakukan pemeriksaan keuangan,
kinerja, atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 27


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab III

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 28


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah

BAB IV

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab IV

BAB IV
PERSIAPAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF

A. Umum
01 Tujuan persiapan pemeriksaan investigatif adalah agar pelaksanaan Persiapan pemeriksaan
investigatif
pemeriksaan investigatif berjalan efisien dan efektif serta mencapai tujuan.

02 Kegiatan dalam persiapan pemeriksaan mencakup: 1) pengembangan


hipotesa, 2) penyusunan program pemeriksaan investigatif, 3) penentuan
kebutuhan sumber daya, dan 4) penerbitan surat tugas.

B. Pengembangan Hipotesa
03 Hipotesa adalah kesimpulan sementara dari hasil telaahan atas informasi Hipotesa merupakan
pernyataan sementara
awal yang berindikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN. yang bersifat prediksi
dari hubungan 2 atau
Contoh hipotesa: lebih variabel
1. Rekanan telah memberikan suap kepada penyelenggara Negara.
2. Panitia pengadaan barang melakukan tender proforma untuk
memenangkan kontraktor A.
3. Bupati X memberikan bantuan sosial fiktif dengan merekayasa proposal
sehingga merugikan keuangan daerah sebesar Rp 10 M.
04 Hipotesa juga merupakan pernyataan sementara yang bersifat prediksi dari
hubungan antara dua atau lebih variabel yang berguna untuk: a)
memberikan batasan serta mempersempit ruang lingkup pemeriksaan
investigatif; b) mempersiapkan pemeriksa terhadap semua fakta dan
hubungan antar fakta yang telah teridentifikasi; c) sebagai alat yang
sederhana dalam membangun fakta–fakta yang tercerai–berai tanpa
koordinasi ke dalam suatu kesatuan penting dan menyeluruh; dan d) sebagai
panduan dalam pengujian serta penyesuaian fakta dan antar fakta.
05 TPKKN yang masih bersifat umum selanjutnya diuraikan menjadi beberapa
hipotesa TPKKN yang lebih spesifik (hipotesa yang disusun oleh TPPI
dapat lebih dari satu hipotesa).
06 Setelah memahami predikasi jenis TPKKN, mendapatkan informasi umum
dari media masa terkait dengan kasus yang diperiksa, serta memperoleh dan
mempelajari laporan pemeriksaan BPK, TPPI menyusun hipotesa secara
singkat dan jelas.
07 Hipotesa berisi kemungkinan: a) TPKKN yang terjadi; b) siapa yang
bertanggung jawab; c) bagaimana TPKKN atau potensi TPKKN terjadi; d)
dimana TPKKN terjadi; e) kurun waktu terjadinya; dan f) terpenuhinya
unsur-unsur TPKKN.

C. Penyusunan Program Pemeriksaan


08 Tujuan penyusunan program pemeriksaan adalah untuk menentukan Lima elemen dasar yang
harus diperhatikan dalam
langkah-langkah pemeriksaan dalam rangka membuktikan hipotesa. menyusun program
pemeriksaan
Dalam menyusun program pemeriksaan, TPPI memperhatikan lima elemen
dasar yaitu Situasi, Tujuan, Rencana Langkah, Administrasi & Logistik,
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 29
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab IV

dan Komunikasi.
09 1. Situasi, yang mencakup bagian:
a. Masalah
1) Pernyataan situasi atau permasalahan yang memuat substansi
TPKKN yang dilaporkan atau telah terjadi dan bagaimana
keadaannya pada saat ini.
2) Penyampaian data/bukti pendukung, fakta–fakta atau informasi
tambahan yang menyertai TPKKN yang dilaporkan atau yang
telah terjadi dengan pendekatan terpenuhinya unsur 5W+1H dan
unsur TPKKN.
10 b. Analisis Masalah
1) Permasalahan yang dikemukakan beserta bukti atau informasi
yang menyertai, diuraikan dan dianalisis lebih lanjut guna
memperkuat gambaran substansi TPKKN yang telah terjadi yang
nantinya akan dibuktikan.
2) Analisis masalah merupakan dasar dirumuskannya hipotesa, lebih
lanjut diuraikan ke dalam langkah–langkah pemeriksaan
investigatif yang akan dilaksanakan berikut siapa yang akan
melaksanakan serta rencana waktu pelaksanaannya.
11 c. Simpulan
1) Merupakan simpulan atas analisis masalah yang telah dibuat.
2) Mencantumkan hipotesa sementara secara rinci yang nantinya
dibuktikan melalui pelaksanaan pemeriksaan investigatif.
12 2. Tujuan
Tujuan pemeriksaan investigatif adalah untuk membuktikan adanya
TPKKN sebagaimana dirumuskan dalam hipotesa awal. Tujuan ini
dituangkan dalam suatu pernyataan yang secara ringkas menggambarkan
hal-hal yang diharapkan akan dicapai dalam pelaksanaan pemeriksaan.
Dalam suatu kasus yang kompleks, tujuan dapat dijabarkan lebih lanjut
ke dalam sub-sub komponen yang saling terkait untuk mencapai tujuan
secara keseluruhan.
13 3. Rencana Langkah
Rencana langkah pemeriksaan investigatif mencakup:
a. Menjabarkan rencana langkah-langkah pemeriksaan investigatif
yang akan dilakukan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
b. Masing-masing langkah yang direncanakan disertai dengan
penanggung jawab dan jangka waktu pelaksanaannya.
14 4. Administrasi dan Logistik
Administrasi dan logistik mencakup bagian:
a. Usulan Tim Pemeriksa Investigatif
Menjabarkan komposisi tim pemeriksa, yang mencakup uraian rinci
mengenai nama, jabatan, peran atau kualifikasi yang dibutuhkan.
b. Estimasi Jangka Waktu Pelaksanaan
Menjabarkan tanggal dimulainya pelaksanaan pemeriksaan
investigatif, estimasi total waktu pelaksanaan pemeriksaan dan juga
waktu yang dibutuhkan untuk masing - masing langkah pemeriksaan.
c. Estimasi Total Anggaran Biaya Pemeriksaan Investigatif
Menjabarkan perkiraan total biaya yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan pemeriksaan.
15 5. Komunikasi
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 30
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab IV

Elemen ini menyajikan matriks komunikasi yang menguraikan secara


rinci mengenai arus informasi (siapa melapor kepada siapa), waktu
pelaporan serta kepada siapa laporan harus diserahkan.
16 Program Pemeriksaan Investigatif Program pemeriksaan
investigatif diarahkan
1. Program Pemeriksaan Investigatif diarahkan untuk dapat untuk mengungkap dan
membuktikan setiap
mengumpulkan bukti–bukti yang diperlukan dalam mengungkapkan hipotesa.
dan membuktikan setiap hipotesa yang terjadi secara rinci dengan
memperhatikan: a) penentuan bukti yang akan dikumpulkan dari
sumber yang relevan dan tepat, dan b) penentuan hubungan bukti
dengan pihak yang terkait.
17 2. Program Pemeriksaan Investigatif merupakan rencana yang terinci yang
sekurang – kurangnya disusun berdasarkan struktur atau kerangka yang
mencakup:
a. Dasar Hukum Pemeriksaan
Menguraikan peraturan perundangan-undangan yang menjadi
sumber mandat BPK dalam melakukan pemeriksaan investigatif.
b. Standar Pemeriksaan
Menguraikan pedoman yang ditetapkan BPK sebagai acuan dalam
pelaksanaan pemeriksaan untuk dan atas nama BPK.
c. Tujuan Pemeriksaan Investigatif
Adalah untuk membuktikan pernyataan hipotesa rinci yang telah
dirumuskan, sebagai contoh:
Program Kerja Pemeriksaan
PEMERINTAH KABUPATEN ABC
Tujuan Pemeriksaan:
Untuk membuktikan ada tidaknya indikasi tindak pidana korupsi
dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah pada
Kabupaten ABC.
d. Entitas Yang diperiksa
Menguraikan entitas yang berwenang dalam pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang menjadi obyek pemeriksaan
BPK.
e. Lingkup Yang Diperiksa
Menguraikan batasan bagi Tim Pemeriksa untuk menerapkan
prosedur pemeriksaan yang ditentukan berdasarkan hipotesa dan
tujuan yang telah dibuat meliputi sasaran, lokasi maupun waktu.
Contoh:
Adanya indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dan
pertanggung jawaban Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten
ABC pada TA 2006 – 2007.
f. Hasil Telaahan Informasi Awal
Menguraikan situasi dan permasalahan sebagaimana yang telah
dianalisis dalam tahap penyusunan hipotesa atas predikasi.
g. Alasan Pemeriksaan
Menguraikan kondisi (predikasi/hipotesa) atau permasalahan yang
telah diidentifikasi dalam tahap penelaahan informasi awal yang
melatarbelakangi pemeriksaan investigatif. Alasan ini menjadi
prioritas untuk dibuktikan secara lebih rinci lagi dengan
menggunakan prosedur pemeriksaan dalam pelaksanaan
pemeriksaan.
h. Metodologi Pemeriksaan
Menguraikan pendekatan yang digunakan dalam perencanaan,
pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 31
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab IV

i. Langkah – Langkah Pemeriksaan Investigatif


Berdasarkan tujuan dan lingkup pemeriksaan investigatif, disusun
langkah-langkah pemeriksaan. Contoh langkah pemeriksaan dapat
dilihat pada lampiran IV.1.
j. Waktu Pelaksanaan Pemeriksaan investigatif
1) Bagian ini memberikan waktu dan durasi pelaksanaan program
kerja pemeriksaan investigatif secara rinci dan disusun
berdasarkan hari tugas (daily basis).
2) Bagian ini sebaiknya disusun dalam pola matriks dengan
menggunakan model Gantt chart, yang mengkaitkan antara
obyek & langkah–langkah pemeriksaan dengan tanggal
pelaksanaan pemeriksaan investigatif.
3) Waktu pelaksanaan dibuat dengan mempertimbangkan tingkat
kesulitan dan kerumitan masalah TPKKN yang diperiksa.
4) Waktu pelaksanaan pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan
hingga draft final juga disertakan di dalam Gantt chart.
k. Susunan Tim dan Biaya Pemeriksaan Investigatif
Menguraikan urutan komposisi tim pemeriksa yang dilengkapi
dengan jumlah biaya pemeriksaan.
l. Distribusi Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif
Menguraikan pihak – pihak yang memperoleh laporan hasil
pemeriksaan.
m. Persetujuan Program Pemeriksaan Investigatif
Menguraikan pejabat yang berwenang dalam persetujuan program
pemeriksaan.
18 Berdasar paket program pemeriksaan yang telah disetujui, ketua tim
melakukan pembagian tugas kepada masing-masing anggota tim atas
langkah pemeriksaan yang terdapat dalam program pemeriksaan. Para
anggota tim pemeriksa kemudian menyusun konsep Program Kerja
Perorangan yang merupakan penjabaran dari program pemeriksaan dan
mengajukannya kepada ketua tim untuk direviu. Setelah memperhatikan
pertimbangan pengendali teknis, ketua tim pemeriksa menyetujui konsep
program kerja perorangan. Format program kerja perorangan dapat dilihat
pada lampiran IV.2.

D. Penentuan Kebutuhan Sumber Daya


19 Kebutuhan sumber daya pendukung pemeriksaan harus ditentukan seefisien Penentuan sumber daya
pendukung ditentukan
mungkin tanpa mengurangi pencapaian kualitas hasil pemeriksaan yang seefisien mungkin
optimal dan efektif.
20 Kebutuhan sumber daya pendukung yang harus ditentukan antara lain
menyangkut personil tim pemeriksa, ahli, anggaran biaya pemeriksaan, dan
perangkat pendukung lainnya misal alat perekam, kamera, handycam,
telekomunikasi, komputer dan lain-lain.
21 Penentuan sumber daya pendukung pemeriksaan baik jumlah maupun
kualifikasinya ditentukan oleh penanggung jawab pemeriksaan atau pejabat
BPK yang ditunjuk, dengan memperhatikan tingkat kesulitan dan rumitnya
masalah yang akan diperiksa.

E. Penerbitan Surat Tugas


22 Setelah program pemeriksaan disetujui oleh penanggung jawab maka Penerbitan surat tugas
oleh
diterbitkan surat tugas oleh Ketua atau Angbintama atau Kalan.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 32
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab IV

Ketua/Angbintama/Kalan

23 Surat tugas dari pemberi tugas memuat sasaran dan ruang lingkup
pemeriksaan berdasarkan rumusan hipotesa yang telah disusun oleh TPPI,
dan rencana jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan.
24 Surat tugas pemeriksaan investigatif yang dikeluarkan oleh BPK, harus
diorganisir hingga diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan. Dengan
demikian dapat diketahui jumlah surat tugas yang diterbitkan, status
penugasan atas surat tugas yang diterbitkan, dan laporan pemeriksaan yang
diterbitkan. Formulir Pengorganisasian Surat Tugas dapat dapat dilihat pada
lampiran IV.3.
25 Susunan tim pemeriksa investigatif adalah sebagai berikut:
1. Penanggung jawab pemeriksaan investigatif.
2. Wakil penanggung jawab pemeriksaan investigatif (jika diperlukan).
3. Pengendali teknis pemeriksaan investigatif.
4. Ketua tim pemeriksa investigatif.
5. Anggota tim pemeriksa investigatif.
Matriks komunikasi kegiatan persiapan pemeriksaan dapat dilihat pada
lampiran IV.4.
Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 33


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab IV

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 34


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah

BAB V

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V

BAB V
PELAKSANAAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF

A. Umum
01 Pelaksanaan pemeriksaan investigatif meliputi enam tahap kegiatan, yaitu: Pemeriksaan investigatif
meliputi enam tahap
1. Pembicaraan pendahuluan kegiatan
2. Pengumpulan bukti pemeriksaan berdasarkan hipotesa
3. Analisis dan evaluasi bukti pemeriksaan
4. Pemaparan tim pemeriksa di lingkungan BPK
5. Pemaparan tim pemeriksa kepada instansi yang berwenang
6. Pembicaraan akhir

B. Pembicaraan Pendahuluan
02 Berdasarkan surat tugas, tim pemeriksa investigatif menyelenggarakan Tujuan pembicaraan
pendahuluan
pertemuan dengan pimpinan dan para pejabat dari entitas yang diperiksa
dengan maksud:
1. Menjelaskan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan dalam surat tugas.
2. Memperoleh informasi tambahan dari entitas yang diperiksa dalam
rangka melengkapi informasi yang telah diperoleh sebelumnya.
03 Menciptakan suasana yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan
pemeriksaan, terutama untuk memperoleh dukungan dari entitas yang
diperiksa.
04 Pemeriksa investigatif mengkomunikasikan informasi yang berkaitan
dengan sifat, saat, dan lingkup pemeriksaan serta pelaporan yang
direncanakan atas hal yang dilakukan pemeriksaan kepada entitas yang
diperiksa.
05 Pembicaraan pendahuluan ini tetap harus dilaksanakan walaupun
manajemen puncak dari entitas yang diperiksa tersebut diindikasikan
terlibat dalam kasus yang bersangkutan .
06 Pembicaraan pendahuluan dengan pihak entitas yang diperiksa harus
direncanakan agar tidak mengungkap informasi yang diperlukan secara
rinci untuk mengurangi kemungkinan pelaku menghilangkan,
menyembunyikan, memanipulasi, dan atau merekayasa bukti–bukti asli.
07 Jika dalam pembicaraan pendahuluan, pihak entitas menolak dilakukannya
pemeriksaan investigatif, maka Tim Pemeriksa menempuh langkah –
langkah sesuai dengan Surat Edaran Ketua BPK No. 01/SE/I-VIII.3/9/2007
tanggal 5 September 2007 tentang Penolakan Pemeriksaan.

C. Pengumpulan Bukti Pemeriksaan Berdasarkan Hipotesa


08 Pada tahap ini, pemeriksa investigatif telah memiliki hipotesa awal yang
berisi mengenai, siapa, bentuk dan jenis peristiwa, indikasi TPKKN yang
merugikan keuangan negara/daerah.
09 Tujuan pengumpulan bukti Tujuan pengumpulan
bukti
Pelaksanaan pengumpulan bukti bertujuan untuk melengkapi bukti
pemeriksaan yang diperlukan dalam rangka mengungkap: 1. fakta dan
proses kejadian, 2. sebab dan akibat TPKKN, dan 3. penanggung jawab
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 35
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V

atau pihak yang terkait atas TPKKN.


Pada saat pemeriksa mengumpulkan bukti, pemeriksa harus terlebih dahulu
memahami jenis – jenis dan kriteria bukti pemeriksaan yang harus
dikumpulkan, alat bukti menurut UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan keterkaitan antara
keduanya. Penjelasan mengenai bukti pemeriksaan dan bukti hukum dapat
dilihat pada lampiran V.1.
10 Strategi pengumpulan bukti Strategi pengumpulan
bukti
Strategi pembuktian adanya TPKKN umumnya meliputi tiga langkah dasar,
yaitu:
1. Pemeriksa membangun kasus secara menyeluruh melalui wawancara
terhadap saksi yang mendukung dan menganalisis dokumen yang
tersedia.
2. Pemeriksa menggunakan bukti tidak langsung untuk
mengidentifikasikan kasus dan meyakinkan saksi intern yang dapat
memberikan bukti langsung tentang pihak yang diduga terlibat, guna
membangun kasus.
3. Pemeriksa meminta keterangan kepada subyek guna mengungkap
kasus, mengidentifikasikan pelaku kejahatan dan membuktikan adanya
unsur kesengajaan (intent) si pelaku.
11 Metode pengumpulan bukti Lima metode dalam
pengumpulan bukti
Dalam upaya membuktikan TPKKN yang sudah dirumuskan dalam
hipotesa awal, pemeriksa mengumpulkan bukti dengan cara: 1. meminta
dokumen, 2. meminta keterangan, 3. melakukan pemeriksaan fisik dan
pengamatan, 4. memperoleh bukti elektronik/digital, 5. melakukan
penyegelan dan 6. memotret dan merekam.
12 1. Meminta Dokumen Meminta Dokumen

a. Pasal 10 huruf a UU No. 15 Tahun 2004 dan Pasal 9 ayat (1) huruf
b UU No. 15 Tahun 2006 memberikan kewenangan kepada BPK
untuk meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh setiap
orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan
lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
b. Dokumen yang dikumpulkan adalah dokumen yang terkait dengan
indikasi TPKKN. Dokumen ini didapatkan dari berbagai sumber
baik internal maupun eksternal entitas yang diperiksa.
c. Dalam memperoleh bukti pemeriksaan, pemeriksa dapat:
a. Meminta dokumen kepada pejabat atau pihak terkait lainnya
yang berwenang untuk memberikannya melalui surat yang
dilampiri dengan daftar dokumen yang diminta.
b. Mengecek kesesuaian antara jumlah/jenis dokumen/bukti yang
diterima dengan daftar permintaan dokumen/bukti.
c. Memfotokopi setiap dokumen asli yang diperoleh kemudian
dilegalisasi oleh pembuat dokumen asli atau pejabat yang
berwenang dari entitas yang diperiksa dan distempel dengan
memuat penjelasan “sesuai dengan aslinya dan bukti asli ada di
kantor kami di bawah tanggung jawab Saudara ........”.
d. Jika dokumen yang diperoleh hanya berupa fotokopi, maka
pemeriksa harus melakukan prosedur pemeriksaan lainnya seperti
konfirmasi kepada pihak - pihak yang terkait dengan dokumen
tersebut.
e. Setiap peminjaman dan pengembalian dokumen asli harus
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 36
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V

dibuatkan berita acara peminjaman/pengembalian dokumen.

Formulir Berita Acara Peminjaman Dokumen dapat dilihat pada


lampiran V.2.
f. Jika dokumen asli maupun fotokopi tidak dapat diperoleh, maka
pemeriksa mengajukan permintaan tertulis kedua kalinya dengan
menjelaskan dasar hukum permintaan dokumen disertai
konsekuensi pelanggaran ketentuan tersebut.
g. Jika dokumen asli maupun fotokopi dapat diperoleh tetapi tidak
dapat dipinjamkan, pemeriksa harus mencatat secara lengkap
nomor dokumen, tanggal dokumen, halaman buku dan catatan lain
yang dianggap perlu untuk memudahkan mendapatkan kembali
pada saat penyidikan dilakukan.
h. Daftar dokumen/bukti tersebut harus dilegalisir oleh pejabat yang
berwenang dari entitas yang diperiksa, sebagai bukti dukungan
bahwa daftar tersebut telah dibuat sesuai dengan dokumen/bukti
yang ada pada saat itu.
i. Jika dokumen tersebut tetap tidak diberikan, maka pemeriksa dapat
segera merencanakan langkah berikutnya, yaitu :
1) Melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran
Ketua BPK No. 01/SE/I-VIII.3/9/2007 tanggal 5 September
2007 tentang Penolakan Pemeriksaan.
2) Melakukan penyegelan sesuai dengan kewenangan BPK setelah
mendiskusikannya dengan Ditama Binbangkum. Tata cara
penyegelan dilakukan sesuai dengan ketentuan.
j. Perolehan dokumen terkait dengan kerahasiaan bank
1) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
a) Pemeriksa dapat memperoleh informasi dari PPATK
berkaitan dengan adanya dugaan penyalahgunaan
wewenang dan atau perbuatan melawan hukum yang
berindikasi tindak pidana pencucian uang. Formulir
Permintaan Informasi kepada PPATK dapat dilihat pada
lampiran V.3.
b) Dalam hal diperlukan adanya konfirmasi atau penjelasan
lebih lanjut atas informasi yang telah diberikan, dapat
dilakukan melalui pejabat penghubung yang telah
ditunjuk.
c) Informasi yang diberikan bersifat rahasia dan hanya dapat
digunakan sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam
surat permintaan informasi.
d) Informasi yang diberikan tidak dapat diteruskan atau
diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis
dari PPATK.
e) Pemeriksa bertanggung jawab atas kerahasiaan,
penggunaan, dan keamanan informasi yang diterima.
2) Pemeriksa dapat meminta dokumen yang diperlukan kepada
Bank, dengan izin/kuasa dari pemegang rekening.
3) Jika cara 1) dan 2) di atas tidak berhasil, pemeriksa dapat
meminta pihak instansi penyidik untuk mendapatkan izin
Pimpinan Bank Indonesia, setelah melalui proses sesuai dengan
prosedur yang berlaku di instansi penyidik.
Menurut UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, izin
pemberian keterangan yang menyangkut rahasia bank untuk
suatu perkara yang menyangkut rekening nasabah bank hanya
dapat diberikan oleh Pimpinan Bank Indonesia kepada pihak
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 37
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V

Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim atas permintaan tertulis dari


ketiga instansi tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, pejabat
BPK yang berwenang meminta secara tertulis kepada intansi
penyidik agar mengajukan permohonan izin kepada Pimpinan
Bank Indonesia. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 UU
No. 10 Tahun 1998.
4) Langkah-langkah persiapan dalam mendapatkan izin tersebut
antara lain:
a) Menyampaikan surat permintaan.
b) Jika diminta, pemeriksa melakukan presentasi kasus kepada
penyidik untuk meyakinkan bahwa tanpa dokumen yang
diperlukan, posisi kasus menjadi lemah.
13 2. Meminta Keterangan Meminta keterangan

a. Permintaan keterangan tertulis dan atau lisan dilakukan oleh


pemeriksa dengan tujuan untuk memperoleh, melengkapi dan/atau
meyakini informasi yang dibutuhkan dalam kaitan dengan
pemeriksaan.
b. Permintaan keterangan tertulis dapat dilakukan dengan beberapa
macam cara misalnya dengan membuat Berita Acara Permintaan
Keterangan (BAPK), Surat Pernyataan, dan pengisian kuesioner.
c. Permintaan keterangan secara lisan dapat dilakukan dengan
beberapa macam cara misalnya dengan wawancara dan wawancara
mendalam.
d. Definisi dan Tujuan Wawancara
1) Wawancara adalah usaha/kegiatan untuk memperoleh
keterangan dari orang yang memiliki atau diduga memiliki
keterangan. Wawancara bersifat netral, tidak menuduh. Tujuan
wawancara adalah mengumpulkan informasi yang penting bagi
pemeriksaan investigatif dan mengenai perilaku dari orang yang
diwawancarai. Wawancara memiliki pola dan struktur yang
spesifik, serta memiliki tujuan. Wawancara dapat berupa satu
pertanyaan atau rangkaian pertanyaan.
2) Wawancara mendalam adalah wawancara yang dilakukan
terhadap penanggung jawab atau pihak yang diduga terkait
dengan TPKKN. Tujuannya adalah untuk memperoleh
informasi yang dapat dipakai untuk mengungkap segala
sesuatu yang menyangkut bagaimana TPKKN yang terjadi.
e. Untuk menjaga independensi dan mencapai tujuan, wawancara dan
wawancara mendalam dilakukan di kantor BPK atau kantor entitas
yang diperiksa kecuali jika hal tersebut tidak dapat dilaksanakan
maka pemeriksa dapat melakukan wawancara di tempat lain
berdasarkan pertimbangan pemeriksa.
f. Teknik dan Dokumentasi Wawancara
1) Teknik Wawancara
Teknik wawancara secara rinci dapat dilihat pada Lampiran
V.4.
2) Dokumentasi hasil wawancara
a) Pernyataan dari responden dapat didokumentasikan melalui
tulisan tangan atau diketik selama wawancara dan/atau
direkam secara elektronik dengan menggunakan kamera
video dan alat lain. Pasal 10 butir e UU No. 15 Tahun
2004 menyatakan bahwa pemeriksa BPK berwenang
memotret dan merekam sebagai alat bantu pemeriksaan.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 38
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V

b) Kegiatan pemotretan dan perekaman yang dilakukan oleh


pemeriksa bertujuan untuk memperkuat dan/atau
melengkapi informasi yang berkaitan dengan pemeriksaan.
Manfaat hasil rekaman gambar dan suara adalah:
(1) Memungkinkan pemeriksa investigatif melakukan
pengamatan selama berlangsungnya wawancara dan
juga sesudahnya.
(2) Memudahkan pemeriksa investigatif membuat Berita
Acara Permintaan Keterangan.
(3) Dapat menjadi bukti ketika tersangka mengklaim
bahwa wawancara atau wawancara mendalam
dilakukan di bawah tekanan.
c) Jika direkam dengan kamera video, buatlah salinan teks
wawancara dan minta responden memastikan
ketepatannya. Catatan teks wawancara agar ditandatangani
oleh responden untuk penegasan ketepatannya.
d) Kemudian susunlah pernyataan berdasarkan urutan
kejadian secara logis. Dari catatan tersebut pemeriksa
menyusun BAPK yang akan ditandatangani oleh pihak
yang memberikan keterangan.
e) Hasil wawancara tersebut dituangkan dalam BAPK.
Formulir BAPK dapat dilihat pada lampiran V.5.
Berita acara ini tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti
keterangan saksi, namun berita acara ini dapat digunakan
oleh aparat penyidik untuk kepentingan penyidikan.
f) Hal–hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan
wawancara:
(1) Pemeriksa harus merencanakan wawancara dengan
baik. Oleh karena itu pemeriksa harus mempunyai
gambaran umum tentang apa yang diketahui oleh
saksi, dokumen apa yang dapat disediakannya serta
bagaimana hubungan informasi tersebut dengan kasus
yang sedang diperiksa.
(2) Sebelum melakukan wawancara, pemeriksa perlu
mereviu semua data/informasi yang telah diperoleh.
Informasi tersebut dapat dibagi dalam tiga kategori
sebagai berikut: a) informasi yang sudah dapat
didokumentasikan/relevan, dan tidak perlu
didiskusikan; b) informasi yang mungkin dapat
didokumentasikan/relevan, tetapi masih perlu
didiskusikan; dan c) informasi yang harus dibangun
melalui kesaksian.
(3) Pemeriksa dapat melakukan wawancara dimulai dari
lingkungan paling luar, yaitu mereka yang tidak
mempunyai kepentingan terhadap kasus yang akan
diungkap atau saksi yang tidak memiliki kepentingan.
Setelah itu wawancara mengarah kepada pihak yang
memiliki konspirasi dan yang terakhir adalah
wawancara kepada pihak yang menjadi target kasus
tersebut.
(4) Wawancara sebaiknya dilakukan secara non formal,
dengan kemampuan memilih cara pendekatan yang
tepat.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 39


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V

(5) Peranan tiap orang dalam hubungannya dengan


peristiwa TPKKN yang terjadi dapat menghasilkan
keterangan yang berbeda.
(6) Sikap mental, kepribadian dan latar belakang saksi/
responden perlu dipertimbangkan, karena dapat
memberikan pengaruh yang besar atas isi keterangan
yang diberikan, misal karena enggan, takut/terpaksa,
merasa tidak nyaman, tidak simpati kepada
pemeriksa, bersikap tidak peduli, rasa dendam,
sensasi dan fitnah.
(7) Wawancara kepada saksi tidak hanya melengkapi
bukti dalam suatu kasus, tetapi dapat juga digunakan
untuk menunjukkan keterkaitan bukti dengan saksi
lain. Oleh karena itu, pemeriksa investigatif harus
meneliti keterkaitan tersebut.
(8) Pemeriksa harus hati–hati membedakan mana
keterangan yang merupakan fakta dan mana
keterangan yang merupakan pendapat/persepsi yang
disampaikan oleh saksi.
(9) Pada umumnya wawancara mendalam dilaksanakan
pada saat: 1) sebanyak mungkin informasi telah
diperoleh dari sumber selain tersangka, 2) terdapat
beberapa bukti atau informasi yang hanya dapat
diperoleh dari tersangka, dan 3) waktu, tempat dan
materi wawancara mendalam sedapat mungkin dalam
pengendalian pemeriksa.
g. Jika responden dalam wawancara menghendaki untuk didampingi
penasehat hukumnya, hal tersebut dapat diijinkan sepanjang
kehadiran penasehat hukum tidak mengganggu jalannya proses
wawancara. Penasehat hukum boleh hadir mendampingi responden
namun ia tidak boleh mengajukan dan/atau menjawab pertanyaan
pemeriksa. Penasehat hukum hanya boleh melihat dan mendengar
proses wawancara.
h. Dalam rangka wawancara untuk mendapat dan meminta
keterangan, BPK berwenang melakukan pemanggilan kepada orang
tersebut. Pelaksanaan pemanggilan mengacu pada tata cara
pemanggilan dan permintaan keterangan yang berlaku di BPK.
i. Sebelum melakukan pemanggilan, pemeriksa investigatif perlu
mempertimbangkan seseorang yang dipanggil mempunyai peranan
sebagai saksi atau sebagai pihak yang bertanggung jawab/terkait
atas TPKKN yang telah terjadi.
14 3. Melakukan Pemeriksaan Fisik dan Pengamatan Pemeriksaan fisik dan
pengamatan
a. Pemeriksaan fisik lazimnya diartikan sebagai penghitungan uang
tunai (baik dalam mata uang rupiah atau mata uang asing), kertas
berharga, persediaan barang, aktiva tetap dan barang berwujud
lainnya. Formulir Berita Acara Pemeriksaan Fisik dapat dilihat
pada lampiran V.6.
b. Pengamatan diartikan sebagai pemanfaatan panca indera untuk
mengetahui sesuatu. Kunjungan ke ruang kantor untuk melihat
kondisi peralatan yang ada, kegiatan yang dilakukan, banyak dan
ragamnya pegawai; mendengar tingkat kebisingan atau keheningan
suasana kantor; merasakan suhu panas atau dingin tempat kerja dan
lain sebagainya.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 40
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V

c. Tujuan dari melakukan pemeriksaan fisik dan pengamatan di Tujuan pemeriksaan fisik
dan pengamatan lapangan
lapangan antara lain adalah:
1) Memahami kelemahan pengendalian intern secara nyata, dan
pemeriksa lebih memahami mengenai proses yang terjadi
sehingga dapat menentukan bukti apa yang perlu diperoleh dan
kepada siapa pemeriksa meminta bukti tersebut.
2) Memperoleh informasi yang lebih lengkap, tepat, kongkrit, dan
terkini tentang keberadaan suatu aktiva atau obyek yang
diperiksa, dengan tujuan untuk menguji apakah jumlah dan
spesifikasi teknis telah sesuai dengan yang ditetapkan.
3) Menentukan keidentikan fisik yang diperiksa dengan informasi/
gambaran yang telah diperoleh sebelumnya.
4) Melengkapi informasi yang sudah ada.
5) Pengecekan atau konfirmasi keterangan, data atau fakta terkait
dengan perkiraan besarnya kerugian karena kerusakan fisik
yang diperiksa.
6) Mencari hubungan antara fisik yang diperiksa dengan peristiwa
TPKKN.
d. Hal–hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan
fisik:
1) Dilakukan dengan cermat dan tepat sehingga dapat diperoleh
gambaran yang lengkap dan jelas.
2) Untuk membantu mengingat apa yang telah diamati perlu
disediakan peralatan/perlengkapan/alat bantu yang diperlukan
misalnya: alat tulis/catatan, peralatan foto, dan alat perekam
handycam.
e. Dokumentasi hasil pengamatan dan pengujian fisik:
1) Hasil pemeriksaan fisik dapat didokumentasikan dalam bentuk
foto dan rekaman wawancara. Dan hasil pengujian fisik dapat
didokumentasikan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan
Fisik.
2) Dokumentasi hasil pengamatan dan pengujian fisik yang baik
akan membantu pemeriksa dalam kegiatan pemeriksaan.
15 4. Memperoleh bukti elektronik/digital Memperoleh bukti
elektronik/digital
a. Perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi
mengakibatkan sumber perolehan bukti mengalami perluasan
sehingga tidak hanya mencakup bukti konvensional, tetapi juga
mencakup bukti non-konvensional seperti bukti elektronik
(electronic evidence) atau bukti digital (digital evidence). Bukti
elektronik (electronic evidence) atau bukti digital (digital evidence)
adalah bukti yang disimpan, diterima atau dikirim dalam bentuk
digital dengan menggunakan perangkat elektronik.
b. Pasal 26A UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) UU No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk Tindak Pidana
Korupsi juga dapat diperoleh dari:
1) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu; dan
2) Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 41
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V

atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang


terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna.
c. Komputer sebagai salah satu peralatan elektronik, yang dapat
mengolah, menyimpan, menerima dan mengirimkan bukti
elektronik, memiliki peran yang bermacam–macam di dalam
kejahatan teknologi tinggi:
1) Komputer sebagai sebuah obyek. Komputer dan sistem
jaringan seringkali menjadi obyek atau sasaran kejahatan,
sabotase fisik, pencurian atau penghancuran informasi.
2) Komputer sebagai sebuah subyek. Komputer merupakan
subyek langsung dari kejahatan ketika komputer berada di
dalam lingkungan di mana pakar teknologi melakukan
kejahatan.
3) Komputer sebagai sebuat alat bantu. Komputer secara nyata
digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan, baik
penggelapan, pencurian informasi yang dilindungi atau pun
hacking.
4) Komputer sebagai sebuah simbol. Komputer memberikan
pelaku sebuah kredibilitas hingga memudahkan pelaku
melakukan tindak kejahatan.
d. Dalam menangani data elektronik yang tersimpan dalam komputer,
terdapat tiga langkah utama: (1) mengambil image atau imaging,
(2) pemrosesan, yaitu mengolah citra atau image, dan (3) analisis,
yaitu menganalisis image yang sudah diproses.
e. Untuk mengamankan data elektronik penting terkait dengan Tindak
Pidana Korupsi yang tersimpan dalam komputer, dari
penghancuran atau perubahan data, pemeriksa investigatif dapat
menempuh langkah–langkah sebagai berikut:
1) Menutup seluruh akses terhadap komputer atau media
elektronik. Hanya pihak yang kompeten dan berwenang saja
yang dapat memperoleh akses terhadap komputer tersebut.
2) Mematikan komputer dilakukan dengan mencabut kabel listrik
yang terhubung dengan komputer tersebut.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar tidak terdapat
perubahan, atau tindakan lain yang dapat dilakukan oleh pihak
tertentu untuk menghilangkan atau merubah barang bukti.
3) Mendokumentasikan waktu dilakukan dengan mencatat kapan
waktu menutup akses dan mematikan komputer. Hal ini
dimaksudkan agar pemeriksa dapat mempertanggung jawabkan
keaslian dari alat bukti.
4) Mendokumentasikan lingkungan kerja dimana komputer
tersebut berada. Hal ini dimaksudkan agar dapat diperoleh
gambaran yang utuh terhadap alat bukti yang ada.
Mengidentifikasi media elektronik yang ditemukan dan
dianggap memuat alat bukti yang dicari.
5) Mengkonsultasikan dengan ahli forensik komputer. Langkah
paling penting adalah pemeriksa melakukan konsultasi dan/atau
koordinasi dengan ahli forensik komputer (misalkan dengan
ahli forensik komputer KPK). Hal ini tentunya telah dimulai
sebelum melakukan penyegelan atau memasuki ruangan
komputer.
16 5. Melakukan Penyegelan Melakukan penyegelan

a. Maksud dan tujuan penyegelan adalah untuk mengamankan uang,


barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara dari
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 42
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V

kemungkinan usaha pemalsuan, perubahan, pemusnahan, atau


penggantian pada saat pemeriksaan.
b. Penyegelan dilakukan terhadap tempat uang, barang, dan/atau
dokumen pengelolaan keuangan negara yang berada dalam
penguasaan dan atau tanggung jawab pihak yang diperiksa atau
pihak lain yang terkait dengan pemeriksaan yang bersangkutan.
c. Penyegelan hanya dilakukan dalam hal pemeriksaan terpaksa
ditunda karena alasan tertentu, yaitu jika pihak yang menguasai
dan/atau bertanggung jawab atas uang, barang, dan atau dokumen
pengelolaan keuangan negara tidak berada di tempat pada saat
pemeriksaan dilaksanakan atau alasan lain sehingga pemeriksaan
tidak dapat dilaksanakan.
d. Tata cara penyegelan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
17 6. Memotret dan Merekam Memotret dan merekam
a. Pasal 10 huruf e UU No. 15 Tahun 2004 menyatakan bahwa
pemeriksa BPK berwenang memotret, merekam dan/atau
mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan.
b. Pemotretan dan perekaman gambar ataupun suara dapat dilakukan
oleh pemeriksa investigatif sebagai alat bantu pemeriksaan pada
saat pemeriksa:
1) Meminta keterangan (wawancara dan wawancara mendalam);
2) Melakukan pemeriksaan fisik;
3) Memperoleh bukti elektronik;
4) Melakukan penyegelan.
18 Sesuai dengan kewenangan BPK dalam upaya mengumpulkan bukti, Teknik pemeriksaan yang
dapat digunakan
pemeriksa investigatif dapat melakukan teknik pemeriksaan sebagai pemeriksa
berikut:
19 1. Konfirmasi
Pembuktian dengan mengusahakan memperoleh informasi dari sumber
lain yang independen, baik secara lisan maupun tertulis.
Dalam kasus tender pengadaan barang dan jasa misalnya, permintaan
konfirmasi dari pemasok yang cenderung melindungi pejabat, perlu
diperkuat dengan konfirmasi dari Direktorat Jenderal Bea & Cukai,
kalau barang tersebut diimpor.
20 2. Pengujian
Memeriksa hal-hal atau sampel-sampel yang representatif dengan
maksud untuk mendapatkan simpulan, sehubungan dengan kelompok
yang dipilih.
21 3. Reviu analitikal
Pembuktian dengan mengusahakan memperoleh informasi dengan cara:
a) membandingkan anggaran dengan realisasinya, b) mencari hubungan
antara satu data keuangan dengan data keuangan lain, c) menggunakan
data non keuangan, d) regresi atau analisis trend, dan e) menggunakan
indikator ekonomi makro.
22 4. Pemeriksaan keabsahan
Memeriksa sah tidaknya serta lengkap tidaknya bukti yang mendukung
suatu transaksi.
23 5. Rekonsiliasi
Penyesuaian antara dua golongan data yang berhubungan tetapi masing
– masing dibuat oleh pihak – pihak yang independen.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 43


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V

24 6. Penelusuran
Memeriksa dengan jalan menelusuri proses suatu keadaan atau masalah,
kepada sumber atau bahan pembuktiannya.
25 7. Penghitungan kembali
Pembuktian dengan mengusahakan memperoleh informasi dengan cara
memeriksa kebenaran perhitungan (kali, bagi, tambah, kurang, dan lain-
lain). Dalam investigasi, perhitungan yang dihadapi umumnya amat
rumit, didasarkan atas kontrak atau perjanjian yang kompleks, mungkin
sudah terjadi perubahan dan renegosiasi berkali-kali dengan pejabat
yang berbeda.
26 8. Penelaahan pintas
Melakukan penelaahan secara umum dan cepat untuk menemukan hal-
hal yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
27 Penyimpanan Bukti
Bukti yang telah diperoleh harus dikelola dengan baik. Pengamanan alat/
barang bukti dapat dilihat pada lampiran V.7.
28 Hal –hal yang perlu diperhatikan dalam Pengumpulan Bukti adalah :
1. Keberhasilan pelaksanaan pemeriksaan atas TPKKN tergantung pada
situasi, kondisi dan kreativitas pemeriksa investigatif dalam
menerapkan prosedur serta teknik–teknik pemeriksaan secara tepat
untuk mendapatkan bukti-bukti yang kompeten dan relevan.
2. Pemeriksa harus memahami hubungan antara bukti pemeriksaan dengan
alat bukti apa saja yang dapat diterima menurut hukum dalam rangka
mendukung ke arah penuntutan.
29 Dokumentasi pemeriksaan yang terkait dengan persiapan, pelaksanaan, dan
pelaporan pemeriksaan berisi informasi yang cukup agar pemeriksa yang
berpengalaman, tetapi tidak mempunyai hubungan dengan pemeriksaan
tersebut dapat memastikan bahwa dokumentasi tersebut dapat menjadi
bukti yang mendukung pertimbangan dan simpulan pemeriksa.
30 Pendokumentasian dituangkan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP).
Masa penyimpanan KKP disesuaikan dengan masa kadaluarsa penuntutan
kasus pidana sebagaimana yang diatur dalam ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Susunan dan isi minimal KKP dapat dilihat pada
lampiran V.7.

D. Analisis dan Evaluasi Bukti


31 Tujuan analisis dan evalusi setiap bukti yang diperoleh adalah: Tujuan analisis dan
evaluasi bukti
1. Untuk menyempurnakan hipotesa awal yang telah dirumuskan karena
pada dasarnya perumusan hipotesa merupakan kegiatan yang bersifat
terus menerus dan seiring dengan pelaksanaan pemeriksaan.
2. Untuk menilai kesesuaian bukti (relevansi) dengan hipotesa serta
sebagai landasan perlu tidaknya mengembangkan bukti lebih lanjut.
3. Untuk menyusun rangkaian kejadian dan modus operandi.
32 Hasil analisis bukti dapat memberikan petunjuk untuk memperoleh bukti–
bukti lain yang relevan sebagai bukti dukungan atas validitas bukti yang
kita peroleh.
33 Hasil analisis bukti dapat menunjukkan gambaran mengenai suatu kejadian
dari suatu peristiwa. Rangkaian dari berbagai analisis bukti akan
menggambarkan secara menyeluruh keadaan yang sesungguhnya mengenai
suatu sangkaan yang ingin diuji kebenarannya.
34 Pemeriksa dapat menggunakan pertimbangan keahliannya dalam
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 44
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V

melakukan evaluasi terhadap bukti apabila tidak diperoleh cukup bukti dan
informasi untuk membuat simpulan.
35 Pertimbangan keahlian (value judgment) tidak dapat diberikan oleh
pemeriksa apabila dari bukti yang diperoleh menunjukkan secara jelas suatu
kondisi tanpa perlu interpretasi/ simpulan.
36 Teknik menganalisis bukti Teknik menganalisis
bukti
1. Sesuai dengan hipotesa yang telah disusun dalam persiapan
pemeriksaan, pemeriksa berupaya untuk memperoleh bukti–bukti yang
relevan terhadap kasus yang ditangani melalui berbagai teknik
pemeriksaan.
37 2. Setiap bukti yang diperoleh dibaca dan diinterpretasikan oleh
pemeriksa. Tahapan ini merupakan tahapan yang menentukan dalam
proses pemeriksaan investigatif. Sering kita temui pemeriksa tidak
dapat menginterpretasikan suatu bukti yang diperoleh karena
ketidakmampuan pemeriksa membaca dan menginterpretasikan
sehingga TPKKN tidak diketahui meskipun bukti TPKKN telah
diperoleh.
38 3. Tentukan relevansi bukti yang diperoleh terhadap kasus yang ditangani.
Bukti yang tidak terkait dengan kasus untuk sementara dapat diabaikan.
Suatu bukti yang awalnya dianggap tidak relevan mungkin ternyata
relevan untuk pembuktian suatu kejadian.
39 4. Setelah menentukan relevansi suatu bukti kemudian lakukan verifikasi
dari bukti itu sendiri. Verifikasi yang dimaksudkan disini adalah
menguji dan menilai kebenaran dari bukti itu sendiri. Dalam melakukan
penilaian, pemeriksa dapat meminta dokumen pendukung sebagai bukti
dukungan atas dokumen yang diterima. Sebagai contoh untuk menilai
kebenaran suatu kontrak, pemeriksa dapat meminta dokumen–dokumen
pendukung kontrak seperti Surat Perintah Kerja (SPK).
40 5. Setelah bukti diuji kebenarannya, langkah selanjutnya adalah
memasukkan bukti tersebut dalam rangkaian bukti–bukti yang dapat
menggambarkan kenyataan yang ditemui.
41 6. Hasil rangkaian bukti–bukti tersebut dianalisa secara berkala untuk
menilai apakah hipotesa yang disusun telah menggambarkan kondisi
yang sesungguhnya hingga pada akhirnya analisa ditunjukkan untuk
menyimpulkan terbukti atau tidak terbuktinya suatu TPKKN.
42 Teknik mengevaluasi bukti Teknik mengevaluasi
bukti
1. Hal yang perlu diantisipasi dalam melakukan evaluasi bukti, yaitu
mengenai urutan proses kejadian dan kerangka waktu kejadian. Kedua
hal tersebut dijabarkan dalam bentuk bagan arus kejadian/modus
operandi atau dalam bentuk naratif yang menggambarkan kronologi
fakta kejadian.
43 2. Penyusunan bagan arus dan kronologi fakta kejadian sangat bermanfaat
bagi pemeriksa untuk memahami kondisi sesungguhnya dari kasus yang
ditangani.
44 3. Bagan arus kejadian
a. Bagan arus kejadian merupakan salah satu teknik untuk
memudahkan pemahaman suatu proses kejadian. Melalui
penyusunan bagan arus kejadian dapat diketahui: Apa, Siapa,
Bilamana, dan Bagaimana suatu proses kejadian terjadi.
Perbuatan TPKKN yang dilakukan dalam suatu rangkaian proses
kejadian umumnya dikenal dengan istilah kasus posisi.
b. Kasus posisi merupakan suatu titik awal dan akhir dari perbuatan
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 45
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V

TPKKN. Posisi awal perbuatan umumnya ditandai dengan suatu


perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan (perbuatan melawan
hukum), sedang posisi akhir dari perbuatan adalah adanya
keuntungan pribadi atau pihak lain atau golongan. Keuntungan
pribadi atau golongan tersebut, di sisi lain menimbulkan kerugian
keuangan negara dan atau perekonomian negara.
c. Dalam melakukan evaluasi bukti, kasus posisi harus didukung
dengan kualitas dan kuantitas bukti yang dapat diterima dalam
proses pengadilan. Apabila menggunakan bukti–bukti yang tidak
langsung, agar didasarkan dengan serangkaian bukti–bukti
pendukung lainnya.
45 4. Kronologi fakta
a. Kronologi fakta dijabarkan dalam bentuk naratif dengan
memperhatikan aspek waktu kejadian. Kronologi fakta harus
didasarkan pada urutan kejadian yang sesungguhnya berdasarkan
bukti–bukti yang diterima.
b. Dalam menyusun kronologi fakta kejadian, ada satu hal yang perlu
diperhatikan pemeriksa mengenai kemungkinan adanya rekayasa
dokumen bukti, sehingga aspek “bilamana” yang ditunjukkan dari
suatu dokumen bukti tidak menggambarkan kondisi yang
sesungguhnya.
46 Akhir dari setiap analisis dan evaluasi bukti adalah menyusun simpulan.
Kesimpulan yang dibuat dapat mendukung atau tidak mendukung hipotesa
yang sudah dirumuskan.

E. Pemaparan Tim Pemeriksa di Lingkungan BPK


47 Setelah membuat simpulan hasil pemeriksaan, tim pemeriksa melakukan Pemaparan di lingkungan
intern
pemaparan di lingkungan intern BPK untuk memperoleh persetujuan
Ketua/Angbintama/Tortama/Kalan atas simpulan tim pemeriksa.
48 Pemaparan dapat dihadiri oleh pejabat BPK yang tercantum dalam surat
tugas pemeriksaan, dan pejabat BPK lainnya yang ditunjuk/diundang oleh
penanggung jawab pemeriksaan sesuai kebutuhan.
49 Pada saat pemaparan, tim pemeriksa mendapatkan arahan terkait dengan
simpulan hasil pemeriksaan investigatif tersebut. Dari hasil pemaparan,
Ketua/Angbintama/Tortama/Kalan dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Kasus yang dipaparkan memenuhi indikasi unsur–unsur TPKKN.
Dalam hal ini, tim pemeriksa segera mempersiapkan pemaparan kepada
instansi yang berwenang.
Namun, jika Ketua/ Angbintama/Tortama/Kalan belum sependapat atas
simpulan tersebut maka Ketua/ Angbintama/Tortama/Kalan dapat
memerintahkan tim pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan tambahan
guna memperoleh bukti yang dapat memperkuat simpulan.
2. Kasus yang dipaparkan memenuhi indikasi kerugian negara, tetapi tidak
memenuhi indikasi unsur-unsur TPKKN.
Dalam hal ini, kerugian negara diselesaikan melalui mekanisme tuntutan
ganti rugi.
3. Kasus yang dipaparkan tidak memenuhi indikasi unsur-unsur TPKKN.

F. Pemaparan Tim Pemeriksa dengan Instansi yang Berwenang


50 Pemaparan hasil pemeriksaan kepada instansi yang berwenang merupakan Pemaparan dengan
instansi yang berwenang
tindak lanjut hasil pemaparan di lingkungan intern BPK. Tujuan pemaparan
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 46
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V

ini agar BPK memperoleh masukan dari instansi yang berwenang terkait
terpenuhinya indikasi unsur-unsur TPKKN.
51 Pemaparan dapat dihadiri oleh pejabat BPK yang tercantum dalam surat
tugas pemeriksaan, dan pejabat BPK lainnya yang ditunjuk/diundang oleh
penanggung jawab pemeriksaan sesuai kebutuhan beserta dengan instansi
yang berwenang.
Pemaparan dapat dilakukan di kantor Pusat BPK/BPK Perwakilan atau di
kantor instansi yang berwenang sesuai dengan kebutuhan.
52 Pemeriksa memaparkan hasil pemeriksaan dan matrik unsur TPPKN terkait
dengan hasil pemeriksaan tersebut. Contoh Matriks dapat dilihat pada
lampiran V.8.
53 Simpulan hasil pemaparan
Simpulan hasil pemaparan kasus yang mungkin terjadi adalah sebagai
berikut:
1. BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari pemaparan
disimpulkan kasus telah memenuhi indikasi unsur Tindak Pidana
Korupsi dan/atau Tindak Pidana lainnya.
2. BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari pemaparan
disimpulkan kasus belum memenuhi unsur Tindak Pidana Korupsi
dan/atau Tindak Pidana lainnya, karena masih memerlukan data
tambahan. Maka penanggung jawab pemeriksaan dapat menempuh
langkah sebagai berikut:
a. Memerintahkan tim pemeriksaan melakukan pemeriksaan tambahan
untuk memperoleh bukti yang diperlukan.
b. Meminta bantuan aparat penyidik untuk melengkapi bukti yang
diperlukan jika terdapat keterbatasan kewenangan BPK.

G. Pembicaraan Akhir
54 Pada akhir pelaksanaan pemeriksaan investigatif harus dilakukan Pembicaraan akhir
dengan pejabat entitas
pembicaraan akhir pemeriksaan oleh penanggung jawab pemeriksaan atau yang diperiksa
pejabat yang ditunjuk dengan pejabat entitas yang diperiksa.
Namun demikian pembicaraan akhir tersebut harus diatur sedemikian rupa
hingga tidak mengganggu, menghambat atau menyulitkan proses
pembuatan laporan pemeriksaan yang sedang berjalan atau pun proses
perkembangan dari kasus tersebut bilamana ditemukan bukti – bukti baru di
kemudian hari dikarenakan kompleksitas dari kasus tersebut.
55 Secara amannya, pembicaraan akhir pemeriksaan investigatif dapat
dilakukan dengan menyampaikan kepada pejabat instansi berwenang yang
diperiksa mengenai perkembangan akhir kasus tanpa memberikan simpulan
dari kasus tersebut dengan tetap menjaga kerahasiaan substansi atau materi
dari proses dan atau pelaksanaan pemeriksaan yang sedang berjalan.
56 Hasil yang diperoleh dalam pemeriksaan, baik kumpulan fakta, analisa, dan
simpulan tidak wajib disampaikan kepada instansi yang diperiksa, dengan
mempertimbangkan kelancaran proses pembicaraan akhir.
57 Tim pemeriksa menyiapkan notulen pembicaraan akhir (exit meeting) untuk
ditandatangani oleh pejabat entitas yang bertanggung jawab yang diperiksa
atau memperoleh komentar melalui wawancara dengan pejabat instansi
yang diperiksa.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 47


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V

Aksioma dan

Prinsip Pemeriksaan Investigatif

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 48


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah

BAB VI

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VI

BAB VI
PELAPORAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF

A. Umum
01 BPK melaporkan indikasi unsur TPKKN yang ditemukan dalam BPK melaporkan hasil
pemeriksaan yang
pemeriksaan investigatif kepada instansi yang berwenang sesuai dengan mengandung indikasi
ketentuan perundang–undangan, paling lama satu bulan sejak diketahui unsur-unsur TPKKN ke
adanya unsur pidana tersebut, yaitu sejak surat pengantar laporan hasil instansi yang berwenang

pemeriksaan investigatif kepada instansi yang berwenang ditandatangani


oleh Ketua BPK.
02 Laporan pemeriksaan investigatif agar mempertimbangkan prinsip
pelaporan, susunan laporan, serta reviu dan tanda tangan.
03 Laporan pemeriksaan investigatif yang diterbitkan harus diadministrasikan
sehingga dapat diketahui nomor dan tanggal laporan, jumlah eksemplar
laporan, distribusi laporan, nomor dan tanggal surat pengantar serta tindak
lanjutnya. Formulir Pengorganisasian Laporan Pemeriksaan dapat dilihat
pada lampiran VI.1.

B. Prinsip Pelaporan Pemeriksaan Investigatif


04 Pelaporan pemeriksaan investigatif harus mempertimbangkan prinsip- Pelaporan
mempertimbangkan
prinsip berikut: prinsip akurat, jelas, tidak
memihak, relevan dan
05 1. Akurat tepat waktu

Seluruh materi laporan termasuk tanggal, data, informasi serta pihak


terkait, harus dikonfirmasikan sebelum penulisan laporan. Informasi
yang dilaporkan adalah fakta yang benar dan dapat diverifikasi.
Informasi dan fakta yang relevan dari instansi yang diperiksa, harus
dicatat dalam KKP untuk mendukung laporan.
Konfirmasi/penegasan merupakan salah satu ukuran untuk memastikan
bahwa seluruh fakta yang relevan telah dikumpulkan secara akurat
sebelum dituangkan dalam LHP.
06 2. Jelas
Laporan disusun dengan jelas, yaitu tidak banyak menyajikan rincian
serta kalimat atau bagian yang secara tidak jelas berhubungan dengan
informasi yang ingin disampaikan. Istilah teknis hanya digunakan dalam
konteks kalimat dan agar dijelaskan seperlunya.
07 3. Tidak memihak
Laporan yang disusun tidak bias atau prasangka dari penyusun laporan,
tetapi harus berdasarkan fakta yang didukung oleh bukti yang cukup
yang dituangkan dalam KKP.
08 4. Relevan
Laporan pemeriksaan investigatif hanya mengungkap informasi yang
relevan dengan masalah atau kasus yang ditangani. Memasukan
informasi yang tidak relevan dalam laporan pemeriksaan hanya akan
membingungkan pembaca laporan, membuat rumit laporan, dan
mengakibatkan pemeriksa dikritik atas metodologi kerjanya.
09 5. Tepat waktu
Laporan pemeriksaan segera disusun setelah pekerjaan lapangan selesai.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 49


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VI

Laporan yang sudah ditandatangani segera disampaikan agar informasi


yang disajikan dalam laporan dapat sepenuhnya digunakan dan
memenuhi tujuannya.

C. Susunan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif


10 Susunan laporan hasil pemeriksaan investigatif adalah sebagai berikut: Susunan laporan hasil
pemeriksaan investigatif
Bagian I : Simpulan
Bagian II : Umum
1. Dasar Penugasan Pemeriksaan
2. Ruang Lingkup Pemeriksaan
3. Data Obyek/Kegiatan yang Diperiksa
Bagian III : Uraian Hasil Pemeriksaan
1. Dasar Hukum Obyek/Kegiatan yang Diperiksa
2. Materi Temuan
a. Jenis TPKKN
b. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian
c. Penyebab dan Akibat TPKKN
d. Pihak penanggung jawab dan pihak yang terkait
e. Bukti pemeriksaan yang diperoleh
Lampiran
Catatan:
Jika tim pemeriksa tidak dapat menyimpulkan adanya indikasi unsur
TPKKN, LHP tidak perlu mengungkapkan bagian III angka 2 huruf c dan d.
11 Penjelasan masing–masing bagian dapat diuraikan sebagai berikut:
Bagian I : Simpulan
Bagian ini memuat hasil pemeriksaan yang secara ringkas dan jelas
mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan atau unsur
TPPKN atas kasus yang diperiksa.
12 Bagian II : Umum
1. Dasar Penugasan Pemeriksaan BPK berdasarkan:
a. Pasal 23E Undang–Undang Dasar 1945.
b. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
c. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara
d. UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
e. Surat Tugas BPK–RI
f. Sumber informasi awal misalnya, Surat Permintaan dari
Instansi yang berwenang, Laporan Hasil Pemeriksaan BPK-RI
atau Laporan APIP atau Pengaduan Masyarakat.
g. Dan lain – lain
2. Ruang Lingkup Pemeriksaan menguraikan tentang sasaran
(program/proyek), lokasi (pusat, wilayah, cabang, atau perwakilan)
maupun waktu (tahun anggaran, tahun buku, semester atau
triwulan).
3. Data Obyek/Kegiatan yang Diperiksa
a. Nama entitas yang diperiksa
b. Alamat entitas yang diperiksa
c. Organisasi entitas yang diperiksa
d. Kegiatan yang diperiksa
13 Bagian III Uraian Hasil Pemeriksaan
1. Dasar Hukum obyek/kegiatan yang diperiksa menguraikan tentang
peraturan perundang–undangan yang mendasari obyek/kegiatan
yang diperiksa termasuk juga ketentuan intern dari entitas yang

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 50


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VI

diperiksa.
2. Materi Temuan
a. Jenis TPKKN
Bagian ini menguraikan secara singkat klasifikasi TPKKN dan
ketentuan peraturan yang dilanggar.
b. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian
Bagian ini menguraikan fakta dan proses kejadian yang
mencakup penjelasan tentang apa, siapa, dimana, bilamana,
mengapa, dan bagaimana kasus yang sedang diperiksa.
Secara khusus, unsur ”bagaimana” yaitu uraian dari proses
kejadian, harus menjelaskan secara rinci dan gamblang disertai
dengan bagan arus tentang cara terjadinya kerugian
negara/daerah.
Dalam uraian tersebut juga menjelaskan mengenai unsur kerja
sama, yaitu uraian yang menerangkan secara jelas mengenai
tindakan pihak penanggung jawab atau pihak terkait, sehingga
memberikan gambaran adanya kerja sama pihak yang
bersangkutan.
Kerja sama tersebut dapat berupa suatu perbuatan yang
dilakukan secara bersama dalam bentuk pemberian fasilitas,
pemberian kemudahan dalam informasi/data dan atau bentuk
kemudahan lainnya sehingga mengakibatkan kerugian
negara/daerah.
Jika dalam pengungkapan fakta dan proses kejadian, tim
pemeriksa menyebutkan kode penanggung jawab dan atau
pihak yang terkait dalam kegiatan tersebut, pengungkapan
tersebut harus didukung dengan fakta perbuatan, keterlibatan,
bukti pendukung, keterangan pihak terkait lainnya, dan
informasi lain yang dianggap relevan dengan permasalahan,
serta dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.
c. Penyebab dan Akibat TPKKN
Dalam menguraikan faktor penyebab timbulnya TPKKN, perlu
memperhatikan :
1) Kesempatan, misalnya karena lemahnya sistem
pengendalian manajemen dan pelaksanaannya (pengawasan
melekat).
2) Niat atau motivasi, misalnya karena adanya keinginan
melakukan penyimpangan sebagai akibat dari suatu
kebutuhan. Contoh: Kepala Daerah menggunakan APBD
untuk kepentingan pribadi dalam rangka mengikuti Pilkada.
3) Kemampuan, misalnya kemampuan, pengetahuan dan
ketrampilan untuk melakukan penyimpangan.
Dalam menguraikan ”Akibat Penyimpangan”, Tim Pemeriksa
harus memuat indikasi kerugian negara/daerah. Indikasi
kerugian negara/daerah yang diungkapkan dalam nilai uang
dirinci per tahun kejadian. Jika indikasi kerugian negara/daerah
belum dapat ditentukan besarnya, perlu digunakan kata–kata
”sekurang–kurangnya”.
d. Pihak yang Bertanggung Jawab
Dalam pengungkapan pihak yang bertanggung jawab, hasil
pemeriksaan hanya mencantumkan kode penanggung jawab
dan peranannya. Dalam uraian ini tidak diperkenankan
mencantumkan nama orang, organisasi, lembaga dan atau
badan hukum secara lengkap dan jelas.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 51
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VI

Nama orang, organisasi, lembaga dan atau badan hukum yang


bertanggung jawab dibuat dalam daftar terpisah, selanjutnya
dikirim secara tertutup dan sangat rahasia ke penanggung jawab
pemeriksaan BPK.
Penyebutan pihak yang bertanggung jawab dan atau pihak yang
terkait harus didukung fakta yang relevan dengan peranan,
perbuatan dan bagian tanggung jawabnya dalam kasus tersebut,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
e. Bukti pemeriksaan
Bukti pemeriksaan adalah bukti yang lengkap, kompeten, dan
relevan yang diperoleh pada saat pemeriksaan untuk
mengungkap indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur
TPKKN.
14 Lampiran
Hal yang perlu dilampirkan dalam laporan hasil pemeriksaan investigatif,
antara lain:
a) Bagan arus proses kejadian.
b) Bukti rincian, misalnya rekapitulasi kwitansi, rekapitulasi SPM, dan
rekapitulasi penerima bantuan .
c) Daftar bukti pemeriksaan yang diperoleh.

D. Reviu dan Tanda Tangan Laporan


15 Untuk menjaga mutu hasil pemeriksaan, konsep laporan harus direviu Laporan direviu secara
berjenjang
secara berjenjang oleh pengendali teknis pemeriksaan investigatif dan
penanggung jawab pemeriksaan investigatif sebelum ditandatangani dan
disampaikan kepada pihak yang berwenang.
Matrik komunikasi kegiatan sebagai reviu kegiatan pembuatan laporan
pemeriksaan investigatif dapat dilihat pada lampiran VI.2.
16 Penandatanganan laporan dilakukan oleh penanggung jawab pemeriksaan. Penandatangan laporan

17 Setelah laporan hasil pemeriksaan investigatif ditandatangani oleh


Penanggung Jawab Pemeriksaan, hasil pemeriksaan investigatif
disampaikan kepada Badan dengan nota dinas yang dilampiri dengan
matrik unsur TPKKN.
18 Hal–hal yang perlu diperhatikan:
a. LHP investigatif harus menjawab tujuan pemeriksaan investigatif,
yaitu membuktikan ada/tidak adanya indikasi kerugian negara/daerah
dan/atau unsur TPKKN.
b. Jika satu bulan sejak dilakukannya pemaparan, instansi yang
berwenang tidak memberikan pendapat, Tim Pemeriksa tetap membuat
LHP dan menyampaikannya kepada Penanggung jawab pemeriksaan
dengan nota dinas pengantar dari Pemimpin Tim. Selanjutnya
Penanggung Jawab Pemeriksaan menyampaikan LHP kepada Badan.
c. Penyerahan LHP tidak berarti pemeriksa investigatif selesai
menjalankan tugas terkait dengan pemeriksaan, karena ada
kemungkinan pemeriksa BPK diminta oleh instansi yang berwenang
untuk memberikan keterangan ahli.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 52


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah

BAB VII

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VII

BAB VII
PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH

A. Umum
01 Penghitungan kerugian negara/daerah adalah pemeriksaan investigatif Pengertian Penghitungan
yang dilakukan untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah yang Kerugian Negara/Daerah
terjadi akibat penyimpangan dalam pengelolaan keuangan
negara/daerah.
02 Penghitungan kerugian negara/daerah dapat dilakukan berdasarkan
permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung nilai kerugian
negara/daerah atas suatu kasus tindak pidana yang sedang diproses
secara hukum.
03 Pada umumnya, permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung
nilai kerugian negara/daerah dilakukan pada tahap penyidikan.
Permintaan ini biasanya dikaitkan dengan pemberian keterangan ahli
oleh pejabat/staf BPK yang ditugaskan dalam proses peradilan.
04 Penugasan penghitungan kerugian negara/daerah adalah suatu bentuk
pemeriksaan dan bukan sekedar penghitungan secara matematis.
Penghitungan kerugian negara/daerah dilaksanakan dengan
mengevaluasi bukti, yaitu dengan cara membandingkan antara kondisi
dengan kriteria. Selain itu, dalam penghitungan kerugian negara/daerah
seorang pemeriksa juga menilai kebenaran, kredibilitas, dan keandalan
informasi.
05 Kerugian negara/daerah yang dihitung melalui pemeriksaan investigatif
berdasarkan permintaan dari instansi yang berwenang, antara lain dapat
berupa:
1. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah dalam bentuk
uang atau barang yang seharusnya tidak dikeluarkan.
2. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah yang, menurut
kriteria yang berlaku, lebih besar dari yang seharusnya.
3. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima
termasuk di antaranya penerimaan uang palsu atau barang fiktif.
4. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah yang lebih kecil atau
lebih rendah dari yang seharusnya diterima, termasuk di antaranya
penerimaan barang rusak atau yang kualitasnya tidak sesuai.
5. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada.
6. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang
seharusnya.
7. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki atau
diterima menurut aturan yang berlaku.
8. Penerimaan hak negara/daerah yang lebih kecil dari yang seharusnya.
06 Hasil penghitungan kerugian negara/daerah digunakan oleh pejabat/staf
BPK yang ditugaskan sebagai Ahli untuk memberikan keterangan
mengenai kerugian negara dalam proses peradilan.

B. Tujuan
07 Tujuan penghitungan kerugian negara/daerah adalah untuk menentukan Tujuan Penghitungan
ada atau tidak adanya indikasi kerugian negara/daerah, termasuk di Kerugian Negara/Daerah
dalamnya menghitung nilai kerugian negara/daerah yang terjadi
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 53
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VII

berdasarkan permintaan dari instansi yang berwenang

C. Ruang Lingkup
08 Ruang lingkup penghitungan kerugian negara/daerah menguraikan Ruang Lingkup
tentang sasaran (program/proyek), lokasi (pusat, wilayah, cabang, atau Penghitungan Kerugian
Negara/Daerah
perwakilan) maupun waktu (tahun anggaran, tahun buku, semester atau
triwulan) sebagaimana dituangkan dalam surat permintaan bantuan dari
instansi yang berwenang yang meminta bantuan penghitungan kerugian
negara/daerah kepada BPK.

D. Tahap - Tahap Pemeriksaan


09 Tahapan penghitungan kerugian negara/daerah meliputi: 1. Persiapan, 2. Tahapan Penghitungan
Pelaksanaan, 3. Pelaporan Kerugian Negara/Daerah

10 1. Persiapan Persiapan
Permintaan penghitungan kerugian negara/daerah bisa disampaikan
kepada a. Ketua BPK dan b. Kepala Perwakilan BPK-RI yang berada
di daerah.
11 a. Ketua BPK Permintaan ke Ketua
Permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung indikasi
kerugian negara melalui Ketua BPK. Tahapan persiapan dapat
dilihat pada lampiran VII.1.

1) Segera setelah menerima permintaan untuk menghitung


indikasi kerugian negara dari instansi yang berwenang, maka
Ketua BPK mendisposisikan kepada Tortama melalui
Angbintama terkait atau menugaskan TPPI untuk melakukan
penelahaan atas permintaan tersebut.
2) TPPI meminta pemaparan dari instansi yang berwenang
disertai dengan data dan infomasi untuk mendapatkan
kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa
termasuk unsur pidananya. Pemaparan juga dimaksudkan
untuk menentukan dapat atau tidaknya penghitungan
kerugian negara/daerah dilakukan dan meneliti apakah kasus
yang diperiksa masuk dalam lingkup kewenangan BPK. Jika
diperlukan, Ditama Binbangkum dapat mengikuti pemaparan.
3) Dari hasil pemaparan, TPPI dapat menyimpulkan:
a) Tidak diperoleh kejelasan dan keyakinan mengenai kasus
yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya karena
tidak didukung bukti-bukti yang cukup.
b) Belum diperoleh kejelasan dan keyakinan mengenai
kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya
karena tidak didukung bukti-bukti yang cukup.
c) Diperoleh kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang
akan diperiksa termasuk unsur pidananya karena
didukung bukti-bukti yang cukup.
4) Jika hasil pemaparan disimpulkan tidak diperoleh kejelasan
dan keyakinan, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan
kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian
negara/daerah tidak dapat dilakukan.
5) Jika hasil pemaparan disimpulkan belum diperoleh kejelasan
dan keyakinan, maka TPPI meminta bukti tambahan kepada
instansi yang berwenang.
a) Jika bukti tambahan tidak mencukupi, selanjutnya TPPI
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 54
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VII

menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa


penghitungan kerugian negara/daerah tidak dapat
dilakukan.
b) Jika bukti tambahan mencukupi, selanjutnya TPPI
menelaah kemungkinan ada atau tidaknya TPKKN.
6) Jika hasil telaahan menyimpulkan diperoleh kejelasan dan
keyakinan, maka TPPI menelaah kemungkinan ada atau
tidaknya indikasi kerugian negara/daerah yang ditimbulkan
karena perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak
pidana korupsi tersebut.
7) Apabila dari kegiatan pada huruf 5)b) dan 6) TPPI
menyimpulkan:
a) Tidak terdapat indikasi kerugian negara/daerah, maka
TPPI menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK
bahwa penghitungan kerugian negara/daerah tidak dapat
dilakukan.
b) Terdapat indikasi kerugian negara/daerah, maka TPPI
menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa
penghitungan kerugian negara/daerah dapat dilakukan,
disertai dengan Konsep Program Pemeriksaan dan Surat
Tugas
8) Jika Ketua BPK menyetujui untuk dilakukan Pemeriksaan
Investigatif dalam rangka menghitung indikasi kerugian
negara/daerah, maka:
a) menugaskan tim khusus; atau
b) mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama
terkait;
untuk melakukan pemeriksaan.
12 b. Kepala Perwakilan Permintaan Ke Kepala
Perwakilan
Permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung indikasi
kerugian negara melalui BPK-RI kantor perwakilan.
1) Segera setelah menerima permintaan untuk menghitung
kerugian negara/daerah dari instansi yang berwenang, maka
Kalan melaporkan permintaan tersebut kepada Tortama dan
menyampaikan permintaan tersebut kepada TPPI untuk
ditelaah
2) TPPI meminta instansi yang berwenang untuk melaksanakan
pemaparan kasus disertai dengan data dan informasi yang
akan digunakan sebagai bahan penelaahan. Jika diperlukan,
Ditama Binbangkum/Kasubag Hukum pada Perwakilan dapat
diundang untuk hadir dalam pemaparan.
3) Langkah selanjutnya sesuai dengan angka D. 1.a.3) sampai
dengan D.1.a.8)
13 Penyusunan program pemeriksaan
a. Program penghitungan kerugian negara/daerah yang disusun
harus mengarah pada penetapan nilai kerugian negara dan untuk
mendapatkan bukti-bukti yang sah secara hukum sehingga dapat
digunakan untuk menghitung nilai kerugian negara.
b. Program pemeriksaan dirancang untuk menilai kelengkapan,
kompetensi, dan relevansi bukti yang diterima dari instansi yang
berwenang sesuai dengan tujuan penghitungan yang
dilaksanakan.
Tim pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan lapangan apabila
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 55
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VII

diperlukan.
c. Program penghitungan kerugian negara/daerah secara jelas
menetapkan metodologi untuk menghitung kerugian negara
d. Susunan program pemeriksaan
Susunan program penghitungan kerugian negara/daerah
sekurang-kurangnya disusun dengan kerangka sebagai berikut:
1) Dasar pemeriksaan
Menguraikan peraturan perundangan yang menjadi sumber
mandat BPK untuk melakukan pemeriksaan.
2) Alasan pemeriksaan
Menguraikan permintaan pemeriksaan dari instansi yang
berwenang dan hasil penelaahan TPPI atau Kalan atas
kasus yang diminta.
3) Standar pemeriksaan
Menguraikan pedoman yang digunakan BPK sebagai acuan
dalam pelaksanaan pemeriksaan.
4) Tujuan pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan adalah untuk melakukan penghitungan
indikasi kerugian negara yang terjadi pada kasus yang
diperiksa.
5) Instansi yang diperiksa
Menguraikan instansi yang berwenang dalam pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara yang menjadi objek
pemeriksaan.
6) Lingkup yang diperiksa
Menguraikan sasaran, lokasi, dan tahun anggaran yang
diperiksa.
7) Metodologi pemeriksaan
Menguraikan metode yang dipakai dalam pemeriksaan.
8) Pengarahan pemeriksaan
Menguraikan mengenai arahan-arahan dari penanggung
jawab pemeriksaan dalam rangka pemeriksaan.
9) Prosedur/langkah pemeriksaan
Menguraikan langkah-langkah pemeriksaan yang
dilaksanakan oleh tim dalam rangka pelaksanaan
pemeriksaan.
10) Jangka waktu pemeriksaan
Jangka waktu penugasan pemeriksaan disesuaikan dengan
tingkat kesulitan dan kondisi di lapangan.
11) Susunan tim dan biaya pemeriksaan
12) Instansi penerima hasil pemeriksaan
e. Pembuatan surat tugas
Surat tugas penghitungan kerugian negara/daerah ditandatangani
oleh Ketua BPK/Angbintama/pejabat yang ditunjuk.
14 2. Pelaksanaan Pelaksanaan penghitungan
kerugian negara/daerah
Pelaksanaan penghitungan kerugian negara/daerah diuraikan sebagai
berikut:
a. Setelah menerima surat tugas, tim pemeriksa mulai melakukan
koordinasi dengan instansi yang berwenang. Pemeriksa harus

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 56


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VII

mengetahui dan yakin terdapat TPKKN, terlepas bahwa


perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana
korupsi tersebut ditemukan oleh penyidik dan kerugian
negara/daerah adalah merupakan dampak/akibatnya.
b. Pelaksanaan penghitungan kerugian negara/daerah didasarkan
pada bukti yang diperoleh dari aparat penyidik dan bukti
tambahan pendukung lain yang diperlukan pemeriksa BPK, serta
memperhatikan landasan hukum kegiatan atas kasus yang sedang
disidik.
c. Jika tim pemeriksa memerlukan bukti tambahan, bukti tersebut
diminta dari instansi yang berwenang. Namun, tidak menutup
kemungkinan, tim pemeriksa melakukan pemeriksaan lapangan
sendiri. Selanjutnya bukti tambahan yang diperoleh tim sendiri
atau dari instansi yang berwenang dievaluasi dan dianalisa.
d. Tahap Pemeriksaan
1) Memahami kasus yang dibangun
Ketika melakukan tahapan di atas, pemeriksa menempuh hal-
hal berikut ini:
a) Memahami Jenis TPKKN
Dalam tahap ini pemeriksa memahami jenis TPKKN
yang terjadi yang dipaparkan oleh instansi yang
berwenang. Sebagai contoh adalah kontrak/pembayaran
fiktif, penggelembungan harga, kuantitas dan kualitas
barang lebih rendah dari spesifikasi dalam kontrak.
b) Mempelajari dasar hukum kegiatan yang diperiksa.
Dalam tahap ini pemeriksa mempelajari peraturan
perundang-undangan atau ketentuan hukum lainnya yang
dapat digunakan sebagai kriteria untuk menilai
pelaksanaan kegiatan.
c) Memahami Transaksi
Memahami jenis transaksi yang dipaparkan oleh instansi
yang berwenang. Sebagai contoh adalah masalah
pengadaan barang dan jasa, tanah, ruitslag, penyaluran
kredit.
Menentukan jenis kerugiannya (sebagai contoh adalah
hilang/kurang diterimanya suatu hak, timbul/
bertambahnya kewajiban, pengeluaran lebih besar,
penerimaan diterima lebih kecil/ tidak diterima).
Mengidentifikasi, mengumpulkan, memverifikasi dan
menganalisis bukti – bukti yang berhubungan dengan
penghitungan kerugian negara atas kasus TPKKN yang
diperiksa.
d) Mengidentifikasi waktu dan tempat terjadinya TPKKN.
e) Menentukan penyebab kerugian (unsur melawan hukum,
penyalahgunaan jabatan, kelalaian, memenuhi unsur –
unsur Tindak Pidana Korupsi).
2) Mengevaluasi dan menganalisis bukti–bukti:
a) Tim melakukan evaluasi dan analisis atas bukti – bukti
yang diperoleh dari aparat penyidik dengan
memperhatikan kebutuhan data bagi pemeriksaan yang
akan dilakukan.
b) Evaluasi dan analisis yang dilakukan dengan
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 57
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VII

memperhatikan ketentuan–ketentuan yang mendasari


suatu transaksi atau kegiatan serta ketentuan mengenai
entitas yang diperiksa.
3) Melakukan penghitungan kerugian negara/daerah
Modus operandi kasus-kasus TPKKN menentukan metode
yang digunakan dalam menghitung kerugian negara yang
terjadi. Dengan demikian, dimungkinkan terjadi perubahan
metodologi penghitungan kerugian negara/daerah sesuai
dengan situasi dan kondisi dalam pelaksanaan pemeriksaan.
a) Metode Penilaian Kerugian Negara/Daerah
Penghitungan atas kekurangan uang, surat berharga,
barang dapat menggunakan beberapa metode penilaian,
sebagai contoh: nilai perolehan, nilai jual, dan nilai ganti,
nilai pasar yang wajar, nilai historis yang disesuaikan
dengan indeks tertentu, nilai jual objek pajak, nilai buku
dan lain sebagainya.
Penggunaan metode penilaian tersebut dalam praktik
penghitungan kerugian negara/daerah harus
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta kelaziman yang dapat dipertanggung
jawabkan secara profesional dan dapat diterima secara
hukum.
b) Pengungkapan Metode Penilaian
Metode yang digunakan pemeriksa dalam melakukan
penghitungan kerugian negara/daerah hendaknya
disampaikan kepada aparat penyidik dan diuraikan dalam
laporan hasil pemeriksaan penghitungan indikasi
kerugian negara.
e. Penggunaan Ahli
Jika memerlukan adanya pendapat ahli di bidang tertentu, maka
Tim melalui Pengendali Teknis meminta instansi yang berwenang
untuk menyiapkan ahli yang dibutuhkan.
Dalam hal Tim menggunakan bantuan ahli dalam penghitungan
kerugian negara/daerah maka Tim harus meyakini bahwa
metodologi yang digunakan ahli tersebut dapat
dipertanggungjawabkan secara profesional.
f. Pemaparan Hasil Pemeriksaan
Setelah melakukan pemeriksaan, Tim memaparkan hasil
pemeriksaan kepada Penanggung Jawab untuk mendapatkan
masukan dan perbaikan. Setelah melaksanakan perbaikan, tim
menyampaikan kembali hasil pemeriksaan tersebut kepada
Penanggung Jawab. Selanjutnya, Tim memaparkan hasil
pemeriksaan kepada instansi yang berwenang.
g. Laporan Hasil Pemeriksaan
1) Setelah Tim melakukan pemaparan kepada instansi yang
berwenang, Tim segera menyusun konsep LHP dan
menyampaikan konsep laporan tersebut kepada Pengendali
Teknis.
2) Pengendali Teknis akan mereviu konsep laporan dan jika
menyetujui konsep tersebut, maka konsep yang telah direviu
akan disampaikan kepada Penanggung Jawab.
3) Penanggung Jawab akan mereviu konsep laporan dan jika
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 58
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VII

menyetujui konsep tersebut, maka LHP akan disampaikan


kepada Ketua BPK/Tortama.
h. Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP)
Tim mendokumentasikan langkah-langkah pemeriksaan yang
telah dilaksanakan dalam KKP.
i. Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, tim harus mendapat
pengawasan yang baik dari Pengendali Teknis.
j. Lain-lain
Jika menemukan adanya tindak pidana lain maka Tim melalui
Pengendali Teknis menyampaikan hal tersebut kepada instansi
yang berwenang.

15
3. Pelaporan Pemeriksaan
a. Laporan harus menyajikan hasil pemeriksaan yang telah
dilaksanakan serta memberikan informasi dan penjelasan yang
dipandang perlu berkaitan dengan penugasan pemeriksaan.
b. Bentuk dan susunan laporan pemeriksaan adalah sebagai berikut:
Bab I : Simpulan
Menguraikan jumlah nilai kerugian negara yang terjadi
akibat perbuatan melawan hukum yang berindikasi
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak
terkait.
Bab II : Umum
1) Dasar Penugasan Pemeriksaan
2) Ruang Lingkup Pemeriksaan
3) Data Obyek/Kegiatan yang Diperiksa
4) Batasan tanggung jawab pemeriksaan
Menguraikan pernyataan bahwa tanggung jawab
pemeriksaan terbatas pada pengungkapan kerugian
negara dan menilai besarnya nilai kerugian negara.
Bab III : Uraian Hasil Pemeriksaan
1. Dasar Hukum Obyek/Kegiatan yang Diperiksa
2. Materi Temuan
a. Unsur Indikasi Tindak Pidana Korupsi
b. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian
c. Penyebab dan Akibat
d. Bukti Pendukung Pemeriksaan
e. Metode Penghitungan Kerugian Negara/Daerah
f. Hasil Perhitungan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran
c. Tanda tangan LHP
1) Penandatanganan laporan dilakukan oleh penanggung jawab
pemeriksaan.
2) Penanggung jawab pemeriksaan menyampaikan laporan hasil
pemeriksaan kepada Ketua BPK dengan Nota Dinas
pengantar.
d. Penyampaian LHP
1) Ketua BPK menyampaikan LHP kepada instansi yang
berwenang yang meminta kepada BPK untuk melakukan
penghitungan kerugian negara/daerah.
2) Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan digunakan pejabat
BPK yang ditugaskan untuk memberikan keterangan ahli
dalam proses peradilan. Proses peradilan disini diartikan
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 59
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VII

sebagai proses penyidikan dan pemeriksaan di sidang


pengadilan. Keterangan pejabat/staf BPK tersebut dapat
dijadikan sebagai alat bukti keterangan ahli oleh penyidik
atau hakim.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 60


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah

BAB VIII

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VIII

BAB VIII
PENUTUP

A. Pemberlakuan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif


01 Petunjuk teknis pemeriksaan investigatif ini mulai berlaku saat ditetapkan Juknis pemeriksaan ini
mulai berlaku sejak
oleh Ketua BPK. ditetapkan

B. Pemutakhiran Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif


02 Pemutakhiran Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif atas Indikasi Pemutakhiran juknis
investigatif dapat berupa
Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah perubahan juknis atau
dapat berupa perubahan petunjuk teknis dimaksud atau penjelasan atas penjelasan substansi.
substansi petunjuk teknis tersebut.
03 Perubahan atas petunjuk teknis ini akan disampaikan secara resmi melalui
surat keputusan tentang perubahan petunjuk teknis dimaksud.

04 Penjelasan atas substansi Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif atas


Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian
Negara/Daerah disampaikan secara tertulis oleh tim pemantauan pada Sub
Direktorat Penelitian dan Pengembangan Pemeriksaan Dengan Tujuan
Tertentu, Direktorat Penelitian dan Pengembangan, Direktorat Utama
Perencanaan, Evaluasi, Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan
Pemeriksaan Keuangan Negara Badan Pemeriksa Keuangan Republik
Indonesia

C. Pemantauan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif


05 Petunjuk teknis ini merupakan dokumen yang dapat berubah sesuai Pemantuan juknis
pemeriksaan ivestigatif
dengan perubahan peraturan perundang-undangan, standar pemeriksaan, oleh Bidang Litbang
dan kondisi lain. Oleh karena itu, pemantauan atas juknis ini akan Pemeriksaan Dengan
dilakukan oleh tim pemantauan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif Tujuan Tertentu

atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian


Negara/Daerah. Selain itu, masukan atau pertanyaan terkait dengan
petunjuk teknis ini dapat disampaikan kepada:

Subdit. Litbang PDTT


Ditama Revbangdiklat
Email: litbang@bpk.go.id

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : Desember 2008

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN


REPUBLIK INDONESIA
KETUA,

Anwar Nasution
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 61
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VIII

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 62


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

Association of Certified Fraud Examiners, Fraud Examiners Manual,

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1985, Kamus Hukum Pidana.

Bologna, G. Jack and Linquist, J. Robert, 1995, Fraud Auditing and Forensic Accounting:
New Tools and Techniques, John Wiley & Sons Canada, Ltd, Canada.

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No. 01 Tahun 2007 tentang
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

Singleton, W. Tommie, et. al. 2006, Fraud Auditing and Forensic Accounting, edisi ke-tiga,
John Wiley and Sons, New Jersey.

Tuanakotta, M. Theodorus 2007, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, cet.
3, Balai Pustaka, Jakarta.

Tim Dinastindo, 1993, Kamus Komputer Berilustrasi, Dinastindo, Jakarta.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung


Jawab Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Daftar Singkatan
dan Akronim

DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM

Singkatan Kepanjangan
A
ACFE : Association of Certified Fraud Examiner
AKN : Auditorat Keuangan Negara

B
BA Berita Acara
BAP Berita Acara Pemeriksaan
BPK Badan Pemeriksa Keuangan

D
Ditama Binbangkum : Direktorat Utama Pembinaan dan Bantuan Hukum

K
Kalan : Kepala Perwakilan
Kasubag : Kepala Sub Bagian
KKP : Kertas Kerja Pemeriksaan
KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi
KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

L
LHP : Laporan Hasil Pemeriksaan

P
P2 : Program Pemeriksaan
PDTT : Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu

S
Satker : Satuan Kerja
SK : Surat Keputusan
SPI : Sistem Pengendalian Intern
SPKN : Standar Pemeriksaan Keuangan Negara

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Daftar Singkatan
dan Akronim

ST : Surat Tugas
T
Tortama : Auditor Utama
TPKKN : Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian
Negara/Daerah
TPPI : Tim Persiapan Pemeriksaan Investigatif

U
UNCAC : United Nations Convention Against Corruption

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Glosarium

GLOSARIUM

A
ACFE : Association of Certified Fraud Examiner (ACFE), yaitu asosiasi
penyedia jasa pendidikan dan pelatihan anti-fraud, yang
mempunyai misi untuk mengurangi kejahatan kerah putih dan
fraud, serta membantu anggotanya untuk mencegah dan
mendeteksi fraud.
Aksioma : Pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa
pembuktian.

B
Badan : Sebutan untuk BPK RI atau juga sebagai pemberi tugas
pemeriksaan. Badan terdiri dari Ketua, Wakil Ketua dan Anggota
BPK RI.
BA : Berita Acara (BA), yaitu laporan tertulis yang bersifat autentik,
dibuat oleh pejabat yang berwenang, mengenai suatu kejadian
tertentu.
BAP : Berita Acara Pemeriksaan (BAP), yaitu laporan tertulis mengenai
jalannya pemeriksaan berupa pendengaran keterangan saksi,
tersangka, atau keterangan ahli, atau pun tentang tindakan-
tindakan lain dalam rangka pemeriksaan/penyidikan.
Barang Bukti : Benda yang diajukan dalam sidang pengadilan untuk
menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan
terdakwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Bukti pemeriksaan : Bukti yang diperoleh pada saat melakukan pemeriksaan antara
lain: bukti pemeriksaan fisik, bukti hasil konfirmasi, bukti
dokumentasi, observasi, bukti hasil tanya jawab dengan instansi
yang diperiksa, dan prosedur analitis.
Bukti dapat menjadi bukti hukum, namun secara umum bukti
pemeriksaan tidak serta merta dapat dijadikan sebagai bukti
hukum. Salah satu kendala yang menghambat diperolehnya bukti
hukum oleh pemeriksa adalah masalah kewenangan. Sebagai
contoh: permintaan keterangan yang dilakukan pemeriksa pada
instansi yang diperiksanya tidak serta merta dapat menjadi bukti
keterangan saksi (atau mungkin terdakwa).
Bukti yang relevan : Bukti yang merupakan salah satu bagian dari rangkaian bukti –
bukti (chain of evidence) yang menggambarkan suatu proses
kejadian atau jika bukti tersebut secara tidak langsung
menunjukkan kenyataan dilakukan atau tidak dilakukannya suatu
perbuatan.
Bukti yang material : Bukti yang mempunyai keterkaitan yang kuat dengan sangkaan
yang diindikasikan. Material tidak dilihat dari besaran dan nilai
yang terkandung dalam bukti tersebut. Bukti ”notulen rapat”
mungkin tidak mempunyai nilai uang, tetapi dokumen tersebut
dapat dijadikan bukti adanya suatu putusan rapat/peserta
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Glosarium

rapat/dan kegiatan rapat. Jika bukti tersebut menjadi bagian dari


proses pembuktian adanya indikasi Tindak Pidana Korupsi, maka
bukti tersebut sangat material sifatnya.
Bukti adalah kompeten : Bila dilihat dari proses bukti tersebut dibuat dan diperoleh. Jika
bukti dibuat oleh petugas yang tidak kompeten maka bukti
tersebut dianggap tidak kompeten. Jika bukti yang diperoleh
pemeriksa dengan cara tidak resmi maka bukti tersebut tidak
dapat diterima menurut hukum.
Bukti utama : Bukti asli yang mewakili secara langsung suatu transaksi/
kejadian. Bukti utama menghasilkan kepastian yang paling kuat
atas fakta.
Bukti tambahan : Bukti yang lebih rendah mutunya jika dibandingkan dengan
bukti utama.
Bukti tambahan tidak dapat digunakan dengan tingkat keandalan
yang sama dengan bukti utama.
Bukti langsung : Fakta tanpa kesimpulan ataupun anggapan. Bukti ini
menjelaskan suatu fakta atau materi yang dipersoalkan. Suatu
bukti dapat dikatakan langsung jika didukung dengan pihak yang
mempunyai pengetahuan nyata mengenai persoalan yang
bersangkutan dengan menyaksikannya sendiri. Dalam hal adanya
uang suap (kickbacks), bukti langsung yang diperlukan adalah
check dari pemasok.
Bukti tidak langsung : Bukti yang mengungkapkan secara tidak langsung suatu tindak
pelanggaran atau fakta dari seseorang yang mungkin mempunyai
niat atau motif melakukan pelanggaran.
Dalam kasus uang suap, penyimpanan uang dari sumber yang
tidak dikenal ke rekening seseorang pada waktu berdekatan
dengan perbuatan jahat, dapat merupakan bukti tidak langsung.
Bukti tidak langsung digunakan untuk menetapkan suatu fakta
dengan didukung oleh bukti lainnya yang setingkat dengan fakta
yang diperiksa. Meskipun bukti ini mungkin benar, tetapi bukti
tidak langsung tidak dapat menetapkan suatu fakta secara
meyakinkan.

E
Entitas : 1. Satuan yang berwujud; wujud
: 2. Kesatuan unit

F
Forensik : 1. Belonging to, used in, or suitable to court of judicature or to
public discussion and debate.
2. Argumentative, rhetorical.
3. Relating to or dealing with the application of scientific
knowledge to legal problems.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Glosarium

: Terjemahan:
1. Berkenaan dengan pengadilan atau perdebatan publik.
2. Bersifat argumentasi, retorik.
3. Berkenaan dengan penerapan pengetahuan ilmiah pada
masalah hukum.

H
Hasil Pemeriksaan : Produk dari pelaksanaan tugas pemeriksaan yang terdiri dari
KKP, LHP dan dokumen pemeriksaan lainnya.
Hipotesis : Skenario terburuk dari suatu kasus penyimpangan, yaitu,
berdasarkan dugaan, kemungkinan peristiwa terburuk terjadi.
Misalkan dugaan kasus penerimaan uang suap atau kickback,
penggelapan, perbedaan kepentingan, penyimpangan dalam
penyajian laporan keuangan dan lain–lain.

K
Kerugian Negara/Daerah : Berkurangnya kekayaan negara/daerah yang disebabkan oleh
suatu tindakan yang melanggar hukum/kelalaian seseorang.
Ketua Tim : Personil pemeriksa yang bertindak sebagai koordinator
pemeriksaan di lapangan dan bertanggung jawab kepada
pengendali teknis atas pelaksanaan pemeriksaan di lapangan
Keterangan saksi : Salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu.
Keterangan ahli : Keterangan-keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan
KKP : Kertas Kerja Pemeriksaan yaitu catatan-catatan yang dibuat dan
data yang dikumpulkan oleh pemeriksa secara sistematis pada
saat melaksanakan tugas pemeriksaan mulai tahap persiapan
pemeriksaan sampai dengan tahap kesimpulan akhir pembuatan
laporan.
Konfirmasi : Bukti yang diperoleh pada saat melakukan pemeriksaan dengan
cara mengajukan pertanyaan dalam rangka mendapatkan
penegasan dari pihak lain.

M
Matematis : Hal-hal yang berkaitan dengan angka, seperti penghitungan dan
nilai.

O
Opini : Pendapat yang dikeluarkan pemeriksa terhadap laporan keuangan
entitas yang diperiksa.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Glosarium

P
P2 : Program Pemeriksaan (P2), langkah pemeriksaan di lapangan
yang harus dilaksanakan oleh tim pemeriksa.
Pembuktian : Cara membuktikan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti
yang ditentukan oleh undang-undang.
Petunjuk : Perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya,
baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya.
Petunjuk Teknis : Petunjuk yang memuat teknik-teknik dan urutan langkah
Pemeriksaan pemeriksaan yang harus dilakukan terhadap suatu objek
pemeriksaan tertentu yang disesuaikan dengan tujuan dan sarana
pemeriksaan.
Predikasi (predication) The totality of circumstances that would lead to a reasonable,
professionally trained, and prudent individual to believe a fraud
has occurred, is occurring, and/or will occur. Predication is the
basis upon which an examination is commenced. Investigative
Audit should not be conducted without proper predication”
Terjemahan:
Keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan
segala hal yang terkait atau berkaitan yang dapat membawa
seseorang yang memiliki akal sehat, profesional, dan memiliki
tingkat kehati-hatian, untuk yakin bahwa fraud telah, sedang atau
akan terjadi. Predikasi adalah dasar untuk memulai pemeriksaan
investigatif. Pemeriksaan investigatif sebaiknya tidak dilakukan
tanpa adanya predikasi yang memadai.
Prosedur : 1. Tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas.
2. Langkah-langkah yang secara pasti dalam memecahkan suatu
masalah.

SPKN : Standar Pemeriksaan Keuangan Negara; standar pemeriksaan


yang menjadi acuan dalam pelaksanaan pemeriksaan keuangan
negara.
Standar : 1. Ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan atau ukuran
baku.
2. Sesuatu yang dianggap tetap nilainya sehingga dapat dipakai
sbagai ukuran nilai (harga).
Surat tugas : Surat penugasan kepada pemeriksa untuk melakukan kegiatan
pemeriksaan pada suatu entitas dan dalam waktu tertentu.

T
Tim Pemeriksa : Terdiri dari penanggung jawab, pengendali teknis, ketua tim dan
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Glosarium

anggota tim.
TP : Temuan Pemeriksaan; indikasi permasalahan yang ditemui di
dalam pemeriksaan di lapangan.
TPK : Tindak Pidana Korupsi; tindakan yang mengandung unsur
melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
TPKKN : Istilah yang digunakan dalam juknis ini untuk perbuatan melawan
hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan
kerugian negara/daerah.
TPPI : Tim persiapan pemeriksaan investigatif dalam tahapan
perencanaan pemeriksaan investigatif yang meliputi pra
pemeriksaan investigatif dan persiapan pemeriksaan investigatif.

U
UNCAC : United Nations Convention Against Corruption.

W
Wawancara : Usaha/kegiatan untuk memperoleh keterangan dari orang yang
memiliki atau diduga memiliki keterangan. Tujuan wawancara
adalah mengumpulkan informasi yang penting bagi pemeriksaan
investigatif dan mengenai perilaku dari orang yang diwawancarai.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Keterangan gambar

KETERANGAN GAMBAR

No Gambar Keterangan

1 Proses/Aktivitas

2 Dokumen

3 Input/Output data yang


diproses atau informasi

Alternatif Keputusan atau


Situasi
4

Operasi Manual
5

6 Penyimpanan data

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah

LAMPIRAN

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran III.1

HASIL TELAAHAN INFORMASI AWAL

PENELAAHAN PELAPORAN DUGAAN


No. ________________

Nomor & tanggal mengadministrasikan: Penelaah,


Nomor & tanggal laporan dugaan: Oleh :
Informasi lain berkaitan dengan dugaan: Tanggal :
Laporan berasal dari: Td. Tangan :
- Nama pelapor :
- Alamat pelapor :

Analisis Laporan Dugaan:

No Jenis Dugaan Indikasi Tempat & Pihak yang Modus Dugaan


Unsur Kerugian Waktu Diduga Operandi unsur-unsur
TPKKN Negara/Daerah Terjadinya Terkait Pasal
(How)
(What) TPKKN
(Where & (Who)
When)

Hasil telaahan:
- Cukup alasan, karena____
- Perlu melengkapi informasi, karena _______
- Tidak cukup alasan, karena _____

Usulan Saran kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan:


1.
2.
3.

Tim Persiapan
Pemeriksaan Investigatif

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran III.2 - 1

MEKANISME PENANGANAN INFORMASI AWAL


1. TP/LHP AKN

Tidak

Ya

Ya

Tidak

Tidak
Ya

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran III.2 - 2

2. TP/LHP BPK Perwakilan

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran III.2 - 3

3. Pengembangan Inisiatif Badan

Pengembangan Inisiatif Badan

Ditama Staf Ahli PI/


Badan Angbintama Tortama TPPI
Binbangkum Tenaga Ahli terkait

Mulai Perintah Perintah Perintah


Mgikuti
Telahaan Telahaan Telahaan Pertimbangan
Pmparan &
Mberi Ptimbgn

Perintah Menyampaikan Menyampaikan Melakukan


Telahaan Perintah Ke TPPI Penelahaan

Lap Hasil Menyampaikan


telahaan Cukup Ya
Lap
alsn?bukti
cukup?
Lap Hasil Tidak
telahaan
Perlu Ya
Bukti 1
Menyimpan tmbh?
Lap Tidak
Lap Hasil Lap Hasil
Usulan
telahaan telahaan
Rik Pdhln
Dok Tim
disimpan

Menelaah Lap Hasil Lap Hasil


Usulan
telahaan Tidak telahaan
Usulan
Rik Pdhln Rik Pdhln
Rik
Perintah Rik Pendahuluan
pendahuluan
Menyampaikan
Lap
Hasil
1 Rik Pdhln

Lap Hasil Lap Hasil Lap Hasil


telahaan telahaan telahaan
Usulan Usulan Usulan
PI PI PI

Penelahaan
Menugaskan
Ya
Ckp
Alasan?
Tidak

Lap Hasil
telahaan

Disposisi Tim
Khusus

Disposisi

Tim

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran III.2 - 4

4. Permintaan Instansi ke Ketua

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran III.2 - 5

5. Permintaan Instansi ke BPK Perwakilan

Ya

Tidak

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran III.2 - 6

6. Permintaan Pihak Ke III ke Ketua

Permintaan Pihak Ke III Ke Ketua

Pihak ke III Ketua Tortama TPPI

Mulai Permintaan Permintaan Permintaan


PI PI PI

Permintaan Menyampaikan Menyampaikan


PI Perintah Ke TPPI

Penelahaan

Ya
Y/T

Menolak Lap Hasil Lap Hasil


permintaan telahaan telahaan Lap Hasil
telahaan

Menyampaikan Tidak
ke Ketua
Menyampaikan
ke Tortama

Lap Hasil Lap Hasil


Lap Hasil
telahaan telahaan
telahaan

Menyampaikan
ke Ketua Menyampaikan
ke Tortama
Menugaskan

Disposisi Tim

Disposisi

Tim

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran III.2 - 7

7. Pihak Ke III ke BPK Perwakilan

Ya

Tidak

Tidak

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran III.3

TABEL KEANDALAN SUMBER DAN VALIDITAS INFORMASI

Validitas Informasi

Tinggi (4) Sedang (3) Rendah (2) Tidak Diketahui (1)

Sangat  Temuan  Informasi


Andal AKN dari atasan
langsung
(4)  Inisiatif
BPK  Informasi
dari orang
 Hasil
yang terlibat
investigasi
APIP

Andal  Berita di  Berita di  Berita di  Informasi dari


media massa media massa media massa perorangan
(3)
tertentu tertentu tertentu
 Informasi  Informasi  Informasi
dari LSM dari LSM dari LSM
tertentu tertentu tertentu
 Informasi  Informasi  Informasi
dari pihak dari pihak dari pihak
yang merasa yang merasa yang merasa
dirugikan dirugikan dirugikan
Keandalan  Informasi  Informasi  Informasi
Sumber dari dari dari
Informasi perorangan perorangan perorangan

Tidak  Berita di  Berita di  Informasi dari


Andal media massa media massa perorangan
tertentu tertentu
(2)
 Informasi  Informasi
dari LSM dari LSM
tertentu tertentu
 Informasi  Informasi
dari dari
perorangan perorangan

Tidak  Informasi  Informasi  Informasi  Informasi dari


Diketahui dari dari dari perorangan
perorangan perorangan perorangan
(1)  Informasi tanpa
 Informasi  Informasi  Informasi identitas sumber
tanpa tanpa tanpa informasi
identitas identitas identitas
sumber sumber sumber
informasi informasi informasi

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran III.4

TABEL AKUNTABILITAS PENANGANAN


SUMBER INFORMASI AWAL

Kewenangan BPK Bukan Kewenangan BPK


No Status Sumber Status
Sumber Informasi Kasus Informasi Kasus
A B C D E F

Jumlah Jumlah
(tempat),
(tanggal/bulan/tahun)
Catatan :
a. Informasi dalam penelaahan
b. Informasi telah ditindaklanjuti ......(nama)........
c. Informasi yang sudah diteruskan ke intansi yang berwenang untuk
penyidikan NIP. .........
d. Informasi yang tidak ditindaklanjuti
e. Informasi sudah diserahkan ke intansi yang berwenang
f. Informasi tidak diserahkan ke intansi yang berwenang

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran III.5

HASIL ANALISIS INFORMASI AWAL

PENELAAHAN PELAPORAN DUGAAN


No. ________________

Nomor & tanggal mengadministrasikan: Penelaah,


Nomor & tanggal laporan dugaan: Oleh :
Informasi lain berkaitan dengan dugaan: Tanggal :
Laporan berasal dari: Td. Tangan :
- Nama pelapor :
- Alamat pelapor :

Analisis Laporan Dugaan:

No Jenis Dugaan Indikasi Tempat & Pihak yang Modus Dugaan


Unsur Kerugian Waktu Diduga Operandi unsur-unsur
TPKKN Negara/Daerah Terjadinya Terkait Pasal TPK
(How)
(What)
(Where & (Who)
When)

Hasil telaahan:
- Cukup alasan, karena____
- Perlu melengkapi informasi, karena _______
- Tidak cukup alasan, karena _____

Usulan Saran kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan:


1.
2.
3.

Tim Persiapan
Pemeriksaan Investigatif

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran IV.1

CONTOH LANGKAH - LANGKAH PEMERIKSAAN

Hipotesis: terjadi indikasi tindak pidana korupsi di APBD Kabupaten X tahun anggaran 2006-
2007 melalui mekanisme kas bon.
UMUM
1. Dapatkan informasi umum dengan mempelajari laporan dan kertas kerja pemeriksaan sebelumnya.
2. Dapatkan dan pelajari PP No. 105/2000 tentang pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan daerah.
3. Dapatkan dan pelajari Perda APBD TA 2006–2007 dan Perda Perhitungan 2006 – 2007.
4. Dapatkan kumpulan DASK TA 2006 – 2007, terutama untuk satker-satker yang memperoleh kas bon cukup
besar dan belum dipertanggungjawabkan sampai akhir tahun anggaran.
KHUSUS
1. Kembangkan Matriks Tindak Pidana Korupsi berdasarkan uraian situasi dan permasalahan sebagaimana yang
telah dianalisis dalam tahap penyusunan predikasi dan hipotesa.
2. Tetapkan bukti – bukti yang akan diperoleh dari hasil evaluasi atas unsur – unsur Tindak Pidana Korupsi
dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, yang belum terpenuhi.
PERIKSA KEBENARAN MATERIAL PENGELUARAN MELALUI MEKANISME KAS BON
1. Dapatkan dan pelajari dokumen SPMU BUD, BKU BUD, Buku Bank dan mutasi rekening Kas Daerah
periode TA 2006 – 2007.
2. Dapatkan data dan informasi tentang daftar kas bon posisi akhir tahun 2006 dan 2007, daftar pengambilan kas
bon 2006 – 2007 dst.
3. Teliti apakah terdapat pengeluaran kas bon untuk pembayaran kegiatan yang tidak dianggarkan dalam APBD.
PRAKTIK PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN VIA KAS BON
1. Lakukan wawancara dengan pemegang kas daerah dan pejabat lain yang langsung terlibat dalam pengelolaan
kas daerah mengenai praktik pengeluaran dan per tanggungjawaban keuangan dan dapatkan keterangan:
a. Praktik pengeluaran dan pertanggungjawaban dana.
b. Pejabat yang terlibat dalam alur pengeluaran dan pertanggungjawaban dana.
2. Bandingkan praktik pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dengan ketentuan dalam PP No. 105
Tahun 2000 dan identifikasi pelanggaran ketentuan yang terjadi serta pihak-pihak yang bertanggungjawab.
3. Lakukan telaahan mendalam terhadap dokumen pencairan kas daerah, dokumen deposito, rekening giro dan
pemindah bukuan, dan seterusnya.
WAWANCARA
1. Tetapkan pihak–pihak yang akan diwawancarai dan bukti yang dapat diperoleh dari mereka.
2. Lakukan wawancara dengan Kabag. Keuangan Pemerintah Kabupaten ABC berkaitan dengan pencairan kas
daerah.
3. Lakukan wawancara dengan Kepala Kas Daerah berkaitan dengan pencairan kas daerah dan uji silang dengan
jawaban Kepala Bagian Keuangan.
DOKUMENTASI KKP
1. Tuangkan hasil telaahan dalam kertas kerja pemeriksaan

Dan seterusnya ...

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran IV. 2

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN


REPUBLIK INDONESIA

PROGRAM KERJA PERORANGAN


PROGRAM PEMERIKSAAN INVESTIGATIF ATAS.......(disesuaikan dengan P2-nya)

Nama Anggota Tim Pemeriksa:.........


Waktu Pemeriksaan
Catatan
No. Langkah Pemeriksaan (mandays) KKP No.
Ketua Tim
Rencana Realisasi
1 2 3 4 5 6

………………., …………………………..

Disetujui oleh, Disusun oleh,

(Ketua Tim ybs) (Nama Anggota Tim ybs)


……………. …………….
NIP. ……… NIP. ………

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran IV..3

FORMULIR PENGORGANISASIAN SURAT TUGAS

No No & Jml Rencana hari Sifat Nama Rencana Realisasi hari No & Tgl Ket
Tgl Srt Pemeriksa pemeriksaan pemeriksaan Entitas Periode pemeriksaan Lap PI
Tugas pemeriksaan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Penjelasan:
Penanggung jawab pemeriksaan mengorganisasikan surat tugas hingga laporan pemeriksaan investigatif
yang diterbitkannya, dengan menggunakan formulir pengorganisasian surat tugas.
1. Kolom 1: Nomor Urut. Diisi nomor urut sesuai dengan urutan surat tugas yang diterbitkan.
2. Kolom 2: Nomor dan Tanggal Surat Tugas. Diisi dengan nomor dan tanggal surat tugas yang diterbitkan.
3. Kolom 3: Jumlah pemeriksa. Diisi dengan jumlah pemeriksa yang ditugaskan.
4. Kolom 4: Rencana Hari Pemeriksaan. Diisi dengan jangka waktu rencana pemeriksaan.
5. Kolom 5: Sifat Pemeriksaan. Diisi dengan sifat pemeriksaan yang dilakukan. Misalkan pemeriksaan pendahuluan guna
pengumpulan bahan keterangan, pemeriksaan investigatif, penugasan permintaan instansi yang berwenang untuk
penghitungan kerugian negara/daerah.
6. Kolom 6: Nama Entitas. Diisi dengan nama entitas yang diperiksa.
7. Kolom 7: Rencana Periode Pemeriksaan. Diisi dengan informasi periode pemeriksaan yang direncanakan.
8. Kolom 8: Realisasi Hari Pemeriksaan. Diisi dengan informasi realisasi hari pemeriksaan.
9. Kolom 9: Nomor dan Tanggal Laporan. Diisi dengan informasi nomor dan tanggal laporan pemeriksaan investigatif yang
diterbitkan.
10. Kolom 10: Keterangan. Diisi dengan informasi penting lainnya misalkan, nama kota yang dikunjungi tim pemeriksa.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran IV.4

MATRIK KOMUNIKASI KEGIATAN PERSIAPAN PEMERIKSAAN

No Kegiatan K. Tim Dalnis P Jawab Ketua


1 K. Tim menyampaikan rumusan Tgl. _____
hipotesis dan Program Pemeriksaan
2 Dalnis menerima rumusan hipotesis Tgl. ____
dan Program Pemeriksaan dari K. Tim
3 Dalnis selesai mereviu hipotesis dan Tgl. ____
Program Pemeriksaan
4 K. Tim memperbaiki rumusan Tgl. _____
hipotesis dan Program Pemeriksaan
dan menyerahkan kepada Dalnis
5 Dalnis menerima perbaikan rumusan Tgl. ____
hipotesis dan Program Pemeriksaan
6 Dalnis menyampaikan rumusan Tgl. ____
hipotesis dan Program Pemeriksaan
kepada P. Jawab
7 P. Jawab menerima rumusan hipotesis Tgl. _____
dan Program Pemeriksaan
8 P. Jawab selesai mereviu dan Tgl. _____
menyetujui rumusan hipotesis dan
Program Pemeriksaan
9 P. Jawab menyampaikan hasil Tgl. _____
telaahan kepada Ketua BPK
10 Ketua BPK menerima hasil telaahan Tgl. _____

11 Ketua BPK memberikan disposisi Tgl. _____


terhadap hasil telaahan
12 Penerbitan Surat Tugas Tgl. _____ Tgl. _____

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.1 - 1

BUKTI PEMERIKSAAN DAN BUKTI HUKUM


A. Umum
Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman
Pelaksanaan KUHAP menyatakan bahwa tujuan dari hukum acara pidana antara lain adalah:
“Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material, yaitu
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari satu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan
hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang
dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan
dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.
Guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan, setidaknya ada
tiga ketentuan hukum positif di Indonesia yang mengatur masalah bukti yaitu:
1. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
2. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan
3. UU No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
B. Bukti Menurut KUHAP
Pasal 183 KUHAP menyatakan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana pada seseorang kecuali apabila sekurang–kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar–benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Berdasarkan pasal 183 KUHAP di atas, penjatuhan pidana pada orang yang didakwa melakukan
suatu tindak pidana harus didasarkan pada sekurang–kurangnya dua alat bukti dan keyakinan
hakim. Oleh karena itu pemeriksa investigatif – walaupun dalam sistem hukum Indonesia bukan
penyelidik atau penyidik seperti yang diatur dalam KUHAP – dalam pelaksanaan pemeriksaan,
mereka harus mempertimbangkan hal–hal yang dapat mendukung dipenuhinya ketentuan seperti
diatur dalam pasal 183 KUHAP ini.
Hal ini harus menjadi perhatian pemeriksa karena laporan BPK dijadikan dasar penyidikan oleh
pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemeriksa BPK
harus mengupayakan kualitas hasil pemeriksaan yang dihasilkannya sama dengan kualitas hasil
penyelidikan.
Jenis–jenis alat bukti diatur pada ayat 1 Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut:
- Keterangan saksi;
- Keterangan ahli;
- Surat;
- Petunjuk;
- Keterangan terdakwa.
1. Keterangan saksi.
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang sah apabila saksi memberikan keterangan di
sidang pengadilan di bawah sumpah/janji tentang apa yang dilihatnya sendiri, didengarnya
sendiri atau dialaminya sendiri dengan menyebutkan alasan pengetahuannya itu.
Pasal 1 butir 27 KUHAP menyatakan:
”Keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia
alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.1 - 2

Pasal 185 KUHAP mengatur hal–hal yang berkaitan dengan keterangan saksi. Ayat 1
menyatakan bahwa keterangan saksi yang dapat dijadikan sebagai alat bukti adalah apa yang
oleh saksi dinyatakan di sidang pengadilan.
Ayat 2 menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan terhadapnya. Prinsip ini dalam ilmu
hukum dikenal dengan apa yang disebut ”unus testis nullus testis” atau satu saksi bukan
saksi.
2. Keterangan ahli.
Pasal 1 huruf 28 KUHAP menyatakan:
”Keterangan ahli adalah keterangan-keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Ada tiga cara memperoleh alat bukti keterangan ahli yang sah yaitu:
a. Memberikan keterangan didepan penyidik yang dituangkan dalam bentuk BAP.
Sebelum memberikan keterangan ia wajib bersumpah/janji di hadapan penyidik bahwa
ia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya sebaik-baiknya. Keterangan
ahli dalam bentuk BAP biasanya merupakan tanggapan atas pertanyaan penyidik.
b. Ahli memberikan keterangan dalam bentuk laporan yang diminta secara resmi oleh
penyidik, yang disebut laporan ahli yang dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia
menerima jabatan atau pekerjaan. Laporan ahli ini kemudian disebut juga dengan alat
bukti surat. Pasal 187 huruf c KUHAP menyatakan bahwa salah satu bentuk alat bukti
surat adalah surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
kepadanya.
c. Ahli memberikan keterangan di sidang pengadilan berdasarkan penetapan hakim dan
keterangannya dicatat dalam berita acara sidang oleh panitera. Keterangan tersebut
diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.
3. Surat.
Surat yang mempunyai nilai pembuktian sebagai alat bukti surat harus dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
Alat bukti surat diatur dalam pasal 187 KUHAP, yang membagi alat bukti surat dalam empat
jenis surat yaitu:
a. Surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau
dialaminya sendiri disertai alasan tentang keterangannya itu. Contoh: Akta Notaris, Akta
Pejabat PPAT, Berita Acara Lelang Negara. Jenis surat ini biasa juga disebut dengan
akta otentik atau surat resmi. BAP Saksi dan juga BAP Tersangka tidak merupakan alat
bukti surat.
b. Surat yang dibuat menurut peraturan perundang–undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal menjadi tanggung jawabnya
dan diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau keadaan. Contoh: Paspor, SIM, KTP,
Surat Perintah Perjalanan Dinas, dan lain-lain.
c. Surat yang dibuat oleh ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu peristiwa atau keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Contoh: Visum
et repertum, LHP BPK, laporan pemeriksaan KAP.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain. Contoh dari surat jenis ini adalah korespondensi, surat pernyataan
dan sebagainya.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.1 - 3

4. Petunjuk
Yang bisa bernilai sebagai alat bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang
bersesuaian satu sama lain atau bersesuaian dengan tindak pidana itu, dan dari persesuaian
tersebut membenarkan adanya suatu kejadian tertentu.
Dalam pasal 188 ayat 1 KUHAP, menyatakan:
”Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.
Pasal 188 ayat 3 KUHAP menyebutkan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari
suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan
hati nuraninya. Oleh karena itu petunjuk sebagai alat bukti tidak diperoleh di tingkat
penyidikan dan bukan merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu
proses di sidang pengadilan yang bersumber dari keterangan saksi, keterangan ahli,
keterangan terdakwa atau dari alat bukti surat (Pasal 188 ayat 2 KUHAP).
Beberapa contoh alat bukti petunjuk:
a. Saksi yang memberikan keterangan di sidang, tetapi ia tidak disumpah. Keterangannya
itu bukan merupakan alat bukti keterangan saksi, akan tetapi dapat merupakan alat bukti
petunjuk apabila bersesuaian dengan keterangan dari saksi lain yang disumpah.
b. Visum et repertum yang dibuat oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman (dokter
forensik), bukan merupakan alat bukti keterangan ahli. Apabila isi visum et repertum itu
bersesuaian dengan alat bukti yang sah lainnya, maka visum et repertum itu dapat
dijadikan sebagai alat bukti petunjuk.
c. Surat perjanjian di bawah tangan bukan alat bukti surat. Tetapi apabila surat itu ada
hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi, ia dapat dijadikan sebagai alat bukti
petunjuk.
d. Keterangan terdakwa dalam BAP atau yang diberikan di luar sidang, merupakan alat
bukti petunjuk asalkan keterangan dalam BAP tersebut justru bersesuaian dengan alat
bukti sah yang lain.
Undang–Undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian uang memperluas
sumber petunjuk sehingga meliputi informasi, dokumen atau data yang dapat dilihat, dibaca,
diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan, baik secara biasa maupun secara elektronik atau
optik termasuk dan tidak terbatas pada yang tertuang di atas kertas maupun selain kertas.
5. Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa yang dinyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang
dilakukannya atau yang diketahuinya atau yang dialaminya sendiri merupakan alat bukti.
Dalam hal terdakwa menyangkal di sidang, maka keterangannya dalam BAP di tingkat
penyidikan dapat menjadi alat bukti petunjuk asalkan keterangan dalam BAP tersebut
didukung oleh suatu bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
Menurut putusan Mahkamah Agung RI Nomor 229/K/Kr/ 1953, pengakuan terdakwa di luar
sidang yang ditarik tanpa alasan, merupakan suatu petunjuk tentang adanya kesalahan
terdakwa tersebut.
Pasal 189 KUHAP yang berbunyi:
a. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan
yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri
b. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu
menemukan bukti di sidang pengadilan asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat
bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.1 - 4

c. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.


d. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan
alat bukti yang lain.
C. Bukti Menurut UU Nomor 20/2001 dan UU Nomor 31/ 1999 tentang Tidak Pidana
Korupsi.
Pasal 26 A UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk
petunjuk sebagaimana dimaksud pasal 188 ayat 2 KUHAP, khusus untuk tindak pidana korupsi
juga dapat diperoleh dari:
1. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan
2. Dokumen yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,
angka atau perforasi yang memilik makna.
D. Bukti Menurut UU Nomor 15/ 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
disebutkan:
1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan
3. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 7.
Pasal 1 angka 7 Undang Undang Nomor 15 tahun 2002 menyebutkan:
”dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara
elektoronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara atau gambar,
b. peta, rancangan, foto dan sejenisnya,
c. huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Di samping bukti–bukti yang telah diuraikan di atas, cara-cara memperoleh bukti merupakan
sesuatu yang penting dilihat dari sudut hukum. Salah satu ketentuan dalam hukum positif di
Indonesia yang secara ketat mengatur cara–cara memperoleh data atau informasi (dari sudut
pemeriksa berarti bukti) adalah ketentuan di sektor perbankan.
Keharusan tersebut ada pada ketentuan mengenai kerahasiaan bank (Pasal 42 UU No. 10 Tahun
1998). Oleh sebab itu informasi yang menyangkut perbankan harus diperoleh dan diperlakukan
sesuai dengan cara – cara yang ditetapkan dalam UU dan atau ditetapkan oleh otoritas
perbankan.
E. Hubungan Bukti Pemeriksaan dengan Bukti Hukum
Bukti pemeriksaan dapat pula menjadi bukti hukum, namun secara umum bukti pemeriksaan
tidak serta merta dapat dijadikan sebagai bukti hukum.
Tim pemeriksa investigatif harus mengembangkan bukti yang diperolehnya lebih lanjut sehingga
dapat digunakan sebagai bukti hukum.
Salah satu kendala yang menghambat diperolehnya bukti hukum oleh pemeriksa adalah masalah

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.1 - 5

kewenangan. Sebagai contoh: permintaan keterangan yang dilakukan pemeriksa


pada instansi yang diperiksanya tidak serta merta dapat menjadi bukti keterangan saksi (atau
mungkin terdakwa).
Berikut ini akan diuraikan bagaimana suatu bukti pemeriksaan dapat dikembangkan lebih lanjut
menjadi bukti hukum dalam rangka mendukung proses penegakan hukum, dengan melakukan
analisis masing–masing jenis bukti pemeriksaan dikaitkan dengan kemungkinan bukti hukum
yang dapat diperoleh dari bukti pemeriksaan yang bersangkutan.
1. Pengujian Fisik
Dalam pengujian fisik, pemeriksa memeriksa fisik atau penghitungan terhadap fisik aset
dari instansi yang diperika. Dokumen hasil pemeriksaan fisik adalah Berita Acara
Pemeriksaan fisik (BAP) yang ditandatangani oleh pemeriksa maupun pejabat dari instansi
yang diperiksa.
Dalam memeriksa fisik, pemeriksa melakukan aktivitas sebagai berikut:
a. Pemeriksa menyaksikan sesuatu (fisik aset atau keadaan tertentu),
b. Pemeriksa menandatangani dokumen,
c. Pemeriksa melakukan penilaian berdasarkan keahliannya (pengendalian atas aset yang
tidak memadai atas aset yang diperiksa).
Berdasarkan fakta-fakta ini bukti hukum yang dapat dikembangkan adalah:
Keterangan saksi
Pemeriksa dapat diminta sebagai saksi sehubungan dengan apa yang ia lihat sendiri, dengar
sendiri atau alami sendiri (pasal 1 angka 27 KUHAP). Pemeriksa juga dapat didengar
keterangannya sebagai saksi sehubungan dengan pelaksanaan program pemeriksaan yang
harus dijalankannya.
Surat
BAP fisik yang ditandatangani oleh pemeriksa dan pejabat dari instansi yang diperiksa
dapat memenuhi ketentuan hukum sebagai bukti surat sepanjang didukung dengan alat
pembuktian yang lain (pasal 187 huruf d KUHAP).
Contoh: Dalam BAP fisik disebutkan bahwa alat pemantau radiasi yang ada hanya dua unit
(seharusnya tiga unit). Pemeriksaan menunjukkan bahwa alat tersebut merupakan alat yang
harus diimpor. Dari bukti impor barang, ternyata barang yang diimpor hanya dua unit.
Berdasarkan ini maka BAP fisik dapat dijadikan alat bukti surat karena diperkuat dengan
alat pembuktian lain, yaitu bukti impor barang.
Keterangan ahli
Pemeriksa dapat diminta pendapatnya sehubungan dengan hal yang berkaitan dengan
pemeriksaan fisik tersebut, misalnya bagaimana pengendalian atas suatu aset dan jumlah
dari aset tersebut pada saat pemeriksaan.
Petunjuk
Dalam BAP fisik, umumnya pemeriksa membuat simpulan atas apa yang telah
dilakukannya yang dituangkan dalam kertas kerja pemeriksaan. Sesuai pasal 26A UU No.
20 Tahun 2001 dan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
kertas kerja pemeriksaan dapat dijadikan petunjuk bagi hakim dalam rangka mengadili suatu
perkara.
Kertas kerja pemeriksaan juga dapat dijadikan petunjuk bagi hakim berkaitan dengan
pemeriksaan investigatif atas dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang.
2. Konfirmasi
Bukti konfirmasi diperoleh dengan mengajukan pertanyaan dalam rangka mendapatkan

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.1 - 6

penegasan dari pihak lain. Bukti konfirmasi tertulis yang diperoleh saat pemeriksaan
merupakan bukti surat sepanjang didukung dengan bukti lain yang sah (pasal 187 huruf d
KUHAP).
Contoh: berdasarkan hasil konfirmasi, pemeriksa melakukan wawancara dengan pihak
terkait dan diperoleh hubungan saling mendukung antara hasil konfirmasi dengan hasil
wawancara tersebut, maka bukti konfirmasi dapat dijadikan bukti surat.
Namun perlu diperhatikan bahwa dari sisi hukum acara pidana, wawancara yang
mendukung konfirmasi tersebut harus dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan
yang dilakukan oleh penyidik.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan bukti pemeriksaan yang diperoleh dari hasil pengujian yang
dilakukan oleh pemeriksa terhadap dokumen dan catatan yang mendukung informasi
pemeriksaan. Contoh dokumen adalah risalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
kontrak dan lain-lain.
Dokumen dapat menjadi bukti surat jika sesuai dengan pengertian bukti surat menurut huruf
a, b, c atau d dari pasal 187 KUHAP. Dokumen yang diperoleh harus asli. Dalam praktik,
umumnya pemeriksa memperoleh dokumen fotocopy.
Dari sisi hukum pidana agar fotocopy tersebut dapat diterima sebagai alat bukti yang
mendukung dakwaan, maka harus dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. Dalam hal
syarat-syarat sebagai bukti surat tidak terpenuhi, maka dokumen tersebut dapat dijadikan
bukti petunjuk bagi hakim (untuk kasus tindak pidana korupsi atau pencucian uang).
4. Observasi
Observasi adalah jenis bukti pemeriksaan yang digunakan untuk menilai aktivitas tertentu
dari instansi yang diperiksa oleh pemeriksa dengan menggunakan indera. Dengan
keahliannya, pemeriksa menyimpulkan hasil observasi yang dilakukannya. Dalam
pengungkapan dugaan tindak pidana korupsi atau pencucian uang, hasil observasi yang
dituangkan dalam kertas kerja pemeriksaan dapat digunakan oleh hakim sebagai bukti
petunjuk. Observasi juga dapat dikembangkan menjadi alat bukti keterangan saksi, yaitu
pemeriksa diminta untuk menjadi saksi atas apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri.
Saksi disini adalah saksi dalam pengertian saksi berantai (ketting bewijs).
5. Tanya jawab dengan instansi yang diperiksa
Tanya jawab merupakan salah satu cara pemeriksa melakukan pengujian atas apa yang
menjadi obyek pemeriksaan. Bukti pemeriksaan yang berasal dari tanya jawab ini
mempunyai tingkat keandalan yang lebih rendah dibandingkan bukti pemeriksaan lain yang
telah dijelaskan di atas.
Tanya jawab yang dituangkan dalam kertas kerja pemeriksaan dapat menjadi alat bukti
petunjuk bagi hakim dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Tanya jawab dapat menjadi alat bukti keterangan saksi jika tanya jawab dilakukan oleh
aparat penyidik yang dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan dalam tahap
penyidikan. Perlu diingat tanya jawab yang dilakukan oleh pemeriksa terhadap pihak terkait
dengan dugaan penyimpangan, apa yang terungkap dapat digunakan oleh penyidik untuk
kepentingan penyidikan.
6. Prosedur analitis
Prosedur analitis merupakan jenis bukti pemeriksaan yang diperoleh melalui pembandingan
antara satu data dengan data lainnya. Hasil pembandingan ini dapat digunakan pemeriksa
untuk menyimpulkan apakah suatu transaksi mengandung penyimpangan atau tidak. Hasil
dari prosedur analitis biasanya menghasilkan suatu indikasi. Pemeriksa perlu membuktikan
kebenaran material atas indikasi tersebut. Dalam pengungkapan dugaan tindak pidana
korupsi atau pencucian uang, hasil prosedur analitis yang dituangkan dalam kertas kerja
pemeriksaan dapat digunakan oleh hakim sebagai bukti petunjuk.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.1 - 7

PEMAHAMAN TERHADAP BUKTI

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan dua arti dari ”bukti”, yaitu: 1) sesuatu yang
menyatakan kebenaran suatu peristiwa, 2) hal yang menjadi tanda perbuatan jahat.
Barang bukti
Barang bukti adalah benda baik yang bergerak atau tidak bergerak, yang berwujud maupun
yang tidak berwujud yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang terjadi. Agar dapat
dijadikan bukti maka benda tersebut harus terlebih dahulu disita oleh penyidik. Benda yang
dapat disita adalah:
1. Seluruh atau sebagian diduga diperoleh merupakan hasil dari tindak pidana.
2. Dipergunakan secara langsung untuk melakukan atau mempersiapakan tindak pidana.
3. Dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
4. Khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana.
Contoh barang bukti berkaitan dengan tindak pidana yang diperkarakan sebagai obyek tindak
pidana adalah: alat untuk melakukan perbuatan (seperti: cap, mesin kas, komputer); hasil dari
perbuatan (seperti: rumah, kendaraan, pabrik); serta barang lainnya yang mempunyai hubungan
langsung dengan perbuatan tersebut (seperti: tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki arti).
Alat Bukti
Makna dari alat bukti dapat diperoleh dari pasal 183 KUHAP yang menyatakan: ”Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Menurut pasal 184 KUHAP terdapat
lima jenis alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa.
Alat bukti dapat dimaknai sebagai alat yang dapat diarahkan menjadi alat bukti hukum menurut
ketentuan hukum pidana atau menurut ketentuan hukum perdata.
Diterima Menurut Hukum
Agar bukti-bukti dapat diterima menurut hukum, pemeriksa investigatif BPK harus
memperhatikan hal-hal berikut ini:
Jenis-jenis Bukti:
1. Bukti utama adalah bukti asli yang mewakili secara langsung suatu transaksi/kejadian.
Bukti utama menghasilkan kepastian yang paling kuat atas fakta.
2. Bukti tambahan lebih rendah mutunya jika dibandingkan dengan bukti utama. Bukti
tambahan tidak dapat digunakan dengan tingkat keandalan yang sama dengan bukti utama.
3. Bukti langsung merupakan fakta tanpa kesimpulan ataupun anggapan. Bukti ini
menjelaskan suatu fakta atau materi yang dipersoalkan. Suatu bukti dapat dikatakan
langsung jika didukung dengan pihak yang mempunyai pengetahuan nyata mengenai
persoalan yang bersangkutan dengan menyaksikannya sendiri. Dalam hal adanya uang suap
(kickbacks), bukti langsung yang diperlukan adalah check dari pemasok.
4. Bukti tidak langsung mengungkapkan secara tidak langsung suatu tindak pelanggaran atau
fakta dari seseorang yang mungkin mempunyai niat atau motif melakukan pelanggaran.
Dalam kasus uang suap, penyimpanan uang dari sumber yang tidak dikenal ke rekening
seseorang pada waktu berdekatan dengan perbuatan jahat, dapat merupakan bukti tidak
langsung.
Bukti tidak langsung digunakan untuk menetapkan suatu fakta dengan didukung oleh bukti
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.1 - 8

lainnya yang setingkat dengan fakta yang diperiksa. Meskipun bukti ini mungkin benar,
tetapi bukti tidak langsung tidak dapat menetapkan suatu fakta secara meyakinkan.
Sumber Bukti:
1. Saksi merupakan sumber informasi yang paling utama bagi pemeriksa. Pemeriksa
seringkali memperoleh dokumen dan bukti lain dari hasil wawancara dengan saksi yang
dapat mendukung dan mengungkap fakta/ kejadian.
2. Departemen/instansi/unit kerja yang menjadi subyek pemeriksaan investigatif dapat
dijadikan sebagai sumber informasi yang penting bagi pemeriksa.
3. Instansi pemerintah terkait mungkin memiliki catatan dan informasi yang relevan dengan
pemeriksaan investigatif yang dilakukan. Sebagai contoh, pemilikan tanah oleh tersangka,
kendaraan bermotor dan lainnya, semua informasi tersebut mungkin relevan dengan
permasalahan yang sedang diperiksa.
4. Informasi yang berada dalam penguasaan badan usaha atau perusahaan swasta.
5. Data yang tersimpan secara elektronik.
Bukti dan informasi yang relevan diperoleh dari hasil pengujian forensik. Data yang
terhapus dan arsip yang dilindungi dengan kata sandi/ password dapat diperoleh dan dibuka
kembali, sehingga bermanfaat bagi pemeriksa.
6. Tersangka pada umumnya memiliki informasi relevan yang secara langsung berkaitan
dengan permasalahan yang sedang diinvestigasi. Dalam keadaan tertentu, tersangka
mungkin akan memberikan informasi kepada pemeriksa selama pelaksanaan wawancara.
7. Instansi penegak hukum, umumnya mengumpulkan data intelijen baik secara individu
maupun secara kelompok. Kepolisian memiliki informasi catatan sejarah dari orang–orang
yang pernah melakukan pelanggaran.
8. KPK dapat memberikan informasi mengenai laporan pengaduan masyarakat yang
berindikasi tindak pidana korupsi.
9. PPATK dapat memberikan informasi mengenai adanya dugaan penyalahgunaan wewenang
dan/ atau perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pencucian uang. Data intelijen
seperti ini tentunya amat bermanfaat bagi pemeriksa dalam menentukan profil para pelaku.
10. Internet sebagai alat yang digunakan untuk penelitian. Data yang diperoleh dari media
semacam ini bermanfaat bagi pemeriksa sebagai sumber informasi.

Kuantitas dan Kualitas Bukti


Berdasarkan pasal 183 KUHAP, penjatuhan pidana pada orang yang didakwa melakukan suatu
tindak pidana harus didasarkan pada sekurang–kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim.
Walaupun pemeriksa BPK dalam sistem hukum Indonesia bukan merupakan penyelidik dan
atau penyidik seperti yang diatur dalam KUHAP, namun dalam pelaksanaan tugasnya
pemeriksa BPK patut mempertimbangkan hal–hal yang dapat mendukung dipenuhinya
ketentuan pasal 183 KUHAP ini.
Agar bukti yang dikumpulkan dapat diterima menurut hukum, maka bukti harus relevan,
material, dan kompeten.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.2

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN


REPUBLIK INDONESIA

BERITA ACARA PEMINJAMAN DOKUMEN

Pada hari ini .........................tanggal ............................bulan .................... tahun .................bertempat


di........................................................... kami:

Nama :..............................................................
NIP : .............................................................
Jabatan : .............................................................
Berdasarkan Surat Tugas Nomor : .............................................................
tanggal.............................. telah meminjam dokumen berupa:

1. ...........................................................................................................
2. ...........................................................................................................
3. ...........................................................................................................

Demikian Berita Acara ini kami buat dengan sebenarnya dengan mengingat sumpah jabatan.

Yang meminjamkan Peminjam

Nama: Nama:
NIP : NIP :

Atasan penanggung jawab Ketua Tim Pemeriksa

Nama: Nama:
NIP : NIP :

Catatan:
Berita Acara ini dibuat rangkap dua, lembar satu untuk instansi yang meminjamkan dan lembar dua
untuk tim pemeriksaan..

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V..3 - 1

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN


REPUBLIK INDONESIA

PERMINTAAN INFORMASI

Nomor : Jakarta,
Sifat : Rahasia dan Segera Kepada Yth.
Lamp. : ____ lembar (lihat contoh lampiran) Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis
Perihal : Permintaan Informasi Transaksi Keuangan
di
Jakarta
Dasar Hukum:
1. Undang–Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003;
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan;
3. Nota Kesepahaman antara antara BPK-RI dengan PPATK No.02/KB/I-VIII.3/09/2006 dan No. NK-
1/1.02/PPATK/09/06 tanggal 25 September 2006.
4. Laporan BPK No. ____________.
5. Surat Tugas No. __________, tanggal __________.

Sehubungan dengan perkara indikasi tindak pidana korupsi _______ (disesuaikan dengan kasus yang
sedang ditangani) pada instansi ________ yang saat ini dalam tahap audit investigatif BPK, bersama ini
diminta bantuan Bapak untuk memberikan informasi keuangan yang mencurigakan sehubungan dengan
tindak pidana sebagaimana tersebut di atas. Adapun penjelasan mengenai duduk perkara yang sedang
diaudit investigatif sebagaimana yang dijelaskan dalam lampiran surat ini.
Mengingat informasi dari PPATK bersifat sangat rahasia dan tidak dapat diberikan kepada pihak lain
tanpa persetujuan tertulis dari PPATK, maka kami bersedia untuk menjaga kerahasiaan informasi tersebut
dan akan menggunakannya hanya untuk kepentingan permintaan informasi ini.
Demikian untuk menjadi maklum, atas bantuan dan kerja samanya kami ucapkan terima kasih.
Tortama

Tembusan :
Yth. Ketua BPK

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V..3 - 2

Contoh lampiran V.3-2.


Lampiran Surat Nomor: ______
Tanggal: _____

Penjelasan Singkat Duduk perkara


Pengadaan barang yang dilakukan oleh Dinas X Propinsi Y (disesuaikan) tahun ____ dengan rekanan
PT ABC dan PT XYZ (disesuaikan) diduga terjadi penggelembungan harga pada harga–harga yang
terkait (disesuaikan). Dari hasil penggelembungan harga tersebut (disesuaikan) diatas diindikasikan
telah terjadi kick back kepada para pejabat di lingkungan Dinas X Propinsi Y tersebut.

Pasal perundang–undangan yang dilanggar


 Penggelembungan harga yang terjadi adalah tindak pidana asal yang diduga melanggar Pasal 2
dan Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 Kickback yang terjadi adalah pengalihan hasil tindak pidana asal (proceeds of crime) yang
menurut kami merupakan salah satu bentuk pencucian uang yang diduga melanggar pasal 2 serta
pasal 3 (1) UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dugaan Transaksi yang Mencurigakan


Diduga terdapat transaksi–transaksi yang terkait dengan pelanggaran–pelanggaran pada butir 2 di atas
yang berhubungan dengan rekening–rekening sebagai berikut:

No. Nama Nama Bank Nomor Rekening Waktu Terjadi


1. PT ABC Bank Top 397-300-409-0 Nopember 2002 s/d
Desember 2003
Bank Samiun 203.04.07368 September 2003 s/d Juni
2004
2. PT XYZ Bank Asing 743.30.07074.9 Nopember 2002 s/d
Desember 2003

Informasi yang Diperlukan


Transaksi–transaksi mencurigakan yang patut diduga merupakan kickback sebagaimana dimaksud
dalam butir 1.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 1

TEKNIK WAWANCARA
Beberapa fakta, melalui analisis dan pengamatan yang tajam, memungkinkan pemeriksa investigatif
membuat sketsa awal dari penyimpangan yang diduga terjadi. Sketsa awal ini dikembangkan, didalami,
dan diperluas dengan wawancara.
A. Persiapan
Sebelum melakukan wawancara, bahkan sebelum ada kontak dengan orang yang diduga melakukan
penyimpangan, pemeriksa investigatif harus menguasai secara baik semua fakta yang telah
terkumpul.
Ketua dan anggota tim pemeriksa bersama–sama menganalisis dan mendebatkan fakta yang
terkumpul, serta membuat dugaan sementara. Pemeriksa yang bertugas melakukan wawancara harus
menguasai mana yang fakta dan memanfaatkan sepenuhnya fakta ini. Ia harus memisahkan fakta dari
apa yang masih bersifat dugaan. Kalau tidak, dalam proses wawancara pelaku penyimpangan akan
dengan cepat mengetahui fakta apa yang belum diketahui pemeriksa.
Biasanya saksi yang taraf keterlibatannya paling rendah akan diwawancarai lebih dahulu daripada
saksi yang tingkat keterlibatannya lebih besar. Cara ini akan memberi dasar yang lebih luas bagi
pewawancara untuk menyiapkan materi wawancara lebih lanjut. Urut-urutan ini penting karena
beberapa alasan:
1. Pada tahap awal belum banyak fakta terkumpul. Jadi kalau wawancara dimuat dengan orang yang
diduga menjadi subyek atau perencana, maka ia dengan cepat mengetahui fakta apa yang belum
diketahui pemeriksa. Sebaiknya, orang yang tidak bersalah dengan terbuka akan memberikan
informasi dan fakta–fakta penting, termasuk motif serta peluang terjadinya penyimpangan.
2. Mengetahui bahwa banyak orang sudah diwawancarai sebelumnya, subyek penyimpangan tidak
kuasa lagi mengendalikan apa yang dapat diungkapkan, dan apa yang sebaiknya tidak perlu
diungkapkan kepada pemeriksa dalam wawancara. Mengatur persesuaian atau konsistensi dalam
kebohongan merupakan hal yang sulit, sekalipun melalui persekongkolan. Hal ini akan
memudahkan pemeriksa mendapatkan informasi penting yang selanjutnya dikembangkan dalam
wawancara mendalam.
B. Karakteristik Wawancara yang Baik
Wawancara yang baik mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Harus dirancang dalam waktu yang cukup dan melakukan bahasan secara mendalam untuk
mengungkap fakta yang relevan. Informasi yang diperoleh selama proses wawancara harus
diperiksa.
2. Harus mencakup semua informasi yang penting dan mengurangi informasi yang tidak relevan.
Perlu ditentukan mana informasi yang dianggap relevan, mana yang tidak. Data atau fakta yang
tidak relevan seringkali mempersulit dalam analisis informasi.
3. Sedapat mungkin dilaksanakan berdekatan waktu dengan saat kejadian yang akan ditanyakan.
Dengan berlalunya waktu, daya ingat saksi dan responden menurun, dan hal–hal yang penting
dapat hilang atau terlupakan.
4. Harus dilakukan secara obyektif, dan diarahkan untuk mengumpulkan informasi dengan tepat dan
tidak memihak.
5. Pengumpulan informasi akan berhasil dengan baik jika wawancara dilakukan dengan secara
informal dan bersahaja.
C. Karakteristik Pewawancara yang Baik
Pewawancara yang baik mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Mudah berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama,
2. Ingin berbagi informasi dengan pihak lain,
3. Tidak melakukan interupsi terhadap responden dengan pertanyaan yang tidak penting, dan
seringkali informasi penting diperoleh dengan cara sukarela sebagai respon dari suatu pertanyaan
yang spesifik,

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 2

4. Memiliki hasrat yang kuat terhadap responden dan apa yang dikatakannya,
5. Menunjukkan keseriusan dan perhatian atas jawaban yang diberikan.
6. Tidak mengajukan pertanyaan dengan sikap yang menyalahkan. Informasi seringkali diperoleh
dengan gaya wawancara yang informal dan rendah hati.
7. Dapat menjelaskan kepada responden, bahwa ia berupaya memperoleh fakta yang relevan dan
bukan untuk menangkap seseorang.
8. Pewawancara harus memulai wawancara tepat waktu, berpakaian secara profesional, dan wajar
dalam berbicara dengan responden.
Kemungkinan tingkat keberhasilan wawancara kecil:
- Jika pewawancara melakukan pendekatan secara formal, merasa ia lebih tinggi, atau mencoba
mempengaruhi responden dengan kewenangannya.
- Jika reponden memandang bahwa pewawancara bias, atau mencoba mengkonfirmasi
kesimpulan yang kurang tepat (forgone conclusion), maka responden akan enggan bekerja
sama.
- Jika responden beranggapan mereka menjadi target dari pertanyaan, maka mereka cenderung
tidak kooperatif.
D. Tipologi Pertanyaan
"The more formal we make the visit the less information we might obtain.
— Arthur Conan Doyle, "The Hound of the Baskervilles"
Dalam melakukan wawancara, umumnya terdapat lima jenis pertanyaan yang dapat diajukan kepada
pihak terkait dengan kasus yang diperiksa: 1) pertanyaan pembuka, 2) pertanyaan informasional, 3)
pertanyaan penutup, 4) pertanyaan menguji, dan 5) pertanyaan memperoleh pengakuan. Dalam
wawancara rutin, guna mengumpulkan informasi dari saksi yang netral atau mendukung, hanya tiga
dari lima jenis yang akan ditanyakan yaitu: pertanyaan pembuka, pertanyaan informasional, dan
penutup. Jika pewawancara mendapat kesan bahwa responden tidak menjawab dengan benar,
pertanyaan yang bersifat wawancara mendalam yaitu untuk memperoleh pengakuan dari responden
harus disampaikan.
Bagan arus di bawah ini menggambarkan alur wawancara:

Pertanyaan Pembuka

Pertanyaan Informasional

Tidak
Pelaku

Ya

Pertanyaan Menguji

Ya
Bohong

Tidak

Pertanyaan Pengakuan
Pertanyaan Penutup

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 3

1. Pertanyaan Pembuka
Melakukan wawancara terhadap bagian pembelian lebih baik dilakukan secara dadakan guna
menghindari kesempatan pegawai tersebut melakukan alibi. Berikut ini diuraikan empat langkah
dalam tahap pertanyaan pembuka.
a. Memperkenalkan diri. Jika responden tidak mengenal pewawancara, maka perlu perkenalan.
Pewawancara tersenyum, melakukan kontak mata, menyebutkan nama dan berjabat tangan.
Senyum membuat suasana nyaman, kontak mata berarti menghormati, dan berjabat tangan
adalah bersahabat.
b. Menjelaskan maksud. Pewawancara pertama kali menjelaskan mengapa ia berada di sini.
Pewawancara sebaiknya tidak langsung bertanya kepada responden mengenai hal-hal yang
penting. Pewawancara tidak boleh mempunyai rasa curiga karena akan menimbulkan rasa
tidak percaya bagi responden.
c. Mengembangkan saling pengertian dan komitmen. Pada tahap awal, pewawancara harus
membuat responden merasa nyaman, karena tujuan dari wawancara adalah mendapatkan
informasi.
Jika responden merasa terancam, pewawancara akan mengalami kesulitan dalam memperoleh
fakta. Sebaiknya wawancara dimulai dengan topik yang umum dan disukai responden,
misalnya mengenai tugas responden dan ide-ide perbaikan.
Jika responden mulai berbicara, pewawancara harus menatapnya agar mendapat kesan bahwa
apa yang disampaikan itu penting, lebih dari itu pewawancara harus memperoleh
komitmennya untuk memberikan informasi.
d. Mengamati reaksi responden. Pada saat yang sama pewawancara harus mengamati reaksi
responden. Tujuannya adalah memperhatikan responden pada saat ia merasa nyaman, dan
kemudian mengamati bagaimana reaksinya pada saat ia merasa tertekan. Prosedur ini penting
saat pewawancara mewawancarai seseorang yang kejujurannya diragukan.
Contoh memperkenalkan diri
Salah:
Pewawancara:
“Ibu Mandika, saya adalah Agus, pemeriksa BPK. Saat ini saya sedang memeriksa kasus
yang diduga ada kecurangan, apakah Ibu mengetahui sesuatu mengenai hal itu. Sudah berapa
lama Ibu bekerja pada BUMN ini?”
Benar:
Pewawancara:
“Ibu Mandika, saya adalah Agus, saya ingin mendapatkan informasi dari Ibu, pernah kita
bertemu sebelumnya?”
Responden:
Saya tidak yakin apakah kita pernah bertemu.
Pewawancara:
“Saya ditugaskan dari kantor dan saya memerlukan bantuan Ibu. Apakah Ibu bersedia
membantu saya?”

Responden harus mendapatkan kesan bahwa mereka memiliki sesuatu yang sama dengan
pewawancara, dan merasa nyaman dengan suasana yang ada. Hal ini dapat dicapai bila responden
melihat pewawancara bersikap terbuka dan bersahabat.

Contoh menjelaskan maksud


Pewawancara:
“Saya sedang mengemban tugas dari kantor mengenai masalah ini dan saya memerlukan

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 4

bantuan Ibu”
“Saya sedang melakukan reviu mengenai prosedur pada kantor ini”
”Saya sedang mengumpulkan informasi berkaitan dengan prosedur pengadaan”.
Pewawancara harus menanyakan komitmen responden sebelum melakukan wawancara, dan
mendorong responden mengatakan kata ”ya” dengan tegas.

Contoh mendapatkan komitmen


Pewawancara:
“Ibu Mandika, saya adalah Agus, saya sedang melakukan reviu fungsi pengadaan kantor.
Apakah Ibu bersedia membantu kami?”
Responden:
”Ya”
atau
Pewawancara:
“Saya sedang mengumpulkan informasi tentang beberapa prosedur kantor. Mungkin Ibu
Mandika, dapat membantu kami?”
Responden:
Tidak menjawab
Pewawancara:
“Dapatkah Ibu membantu saya, bisa Ibu?”
Responden:
”Ya. Mengenai apa?”
Jika pewawancara telah memperoleh komitmen responden untuk membantu, dan pewawancara
harus menjelaskan maksud wawancara lebih rinci. Kemudian gunakan ungkapan transisi.

Contoh ungkapan transisi


Pewawancara:
“Sebenarnya hal ini adalah sesuatu yang sering terjadi. Saya sedang mengumpulkan
informasi mengenai fungsi pembelian dan bagaimana fungsi itu beroperasi. Pertama kali saya
akan menanyakan mengenai pekerjaan yang Ibu lakukan. Informasi ini penting bagi kami.”
Melakukan wawancara dengan pemasok:
Pewawancara:
“Sebenarnya hal ini adalah sesuatu yang sering terjadi. Telah saya sampaikan bahwa saya
ditugaskan kantor untuk mengumpulkan informasi mengenai prosedur pengadaan. Karena
anda bekerja pada salah satu dari pemasok BUMN ini, amat membantu jika saya berbicara
kepada anda. OK?”
atau
“Sebenarnya ini sesuatu yang sering terjadi. Saya mendapat tugas dari kantor untuk
mengumpulkan informasi, dan mereka menyarankan saya untuk menghubungi anda. OK?”
Pewawancara harus mengupayakan untuk mendapatkan persetujuan secara terus menerus.
Responden lebih mudah menjawab pertanyaan yang mengiyakan dibandingkan menolak.

Contoh
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 5

Pewawancara:
“Betul Ibu?”
”Dapat membantu kami?”
”Betul Bu, iya kan?”
Hal yang perlu diperhatikan pada saat memperkenalkan diri:
1. Lakukan kontak fisik dengan responden, tetap menjaga jarak sehingga tidak mengganggu
rasa nyaman responden.
2. Gunakan kata–kata yang enak didengar (soft words), berada di pihak responden, dan hindari
penggunaan kata–kata negatif. Pewawancara mengenalkan diri dengan menyebutkan nama.
Kecuali ada alasan khusus, pewawancara tidak perlu menyebutkan gelarnya. Penyebutan
gelar dapat mengganggu rasa emosi responden atau mungkin rasa takut.
3. Jangan melakukan wawancara lebih dari satu orang pada saat yang bersamaan.
4. Guna menjaga rasa nyaman responden. Wawancara harus dilakukan di tempat yang tidak
mudah diketahui oleh teman, keluarga, atau teman sekantor. Pada umumnya responden
enggan memberikan informasi bila diketahui oleh orang lain.
5. Pada tahap pendahuluan pewawancara agar tidak menanyakan hal-hal yang sensitif.
Pertanyaan sensitif harus ditanyakan sesudah melalui perencanaan yang matang dan berhati–
hati.
6. Hindari penggunaan kata–kata yang dapat menimbulkan rasa emosi.
Jangan gunakan kata-kata berikut ini: Sebaiknya gunakan kata-kata ini:
Investigasi Meminta penjelasan
Audit Reviu
Interviu Menanyakan beberapa
pertanyaan
Penggelapan/ pencurian Masalah administrasi
7. Pada tahap awal, pewawancara harus menjaga jarak dengan responden kira–kira empat
hingga enam kaki agar tidak mengganggu rasa nyaman responden.
2. Pertanyaan Informasional.
Seketika pewawancara dapat menciptakan suasana nyaman, ia harus melanjutkan ke wawancara
pokok, yaitu perolehan fakta. Terdapat tiga model pertanyaan yang dapat digunakan agar
diperoleh reaksi responden secara berbeda: pertanyaan terbuka, tertutup dan menuntun.
Pertanyaan terbuka
Adalah jenis pertanyaan yang memerlukan penjelasan yang rinci dan tidak dapat dijawab dengan
“ya” atau “tidak”. Pada umumnya pertanyaan jenis ini digunakan oleh pewawancara pada tahap
pengumpulan informasi, yaitu agar responden berbicara mengenai fakta sebenarnya.
Pertanyaan tertutup
Adalah jenis pertanyaan dengan jawaban ”ya” atau ”tidak”. Pertanyaan jenis ini sebaiknya
digunakan oleh pewawancara pada saat ia mengkonfirmasi kembali fakta-fakta yang diperoleh.
Pertanyaan menuntun
Pewawancara menggunakan jenis pertanyaan ini untuk mendapatkan pengakuan. Jenis
pertanyaan ini kurang tepat jika digunakan untuk memperoleh informasi. Contoh: ”Apakah anda
mencuri uang tersebut?”
Untuk masuk pada tahap pertanyaan informasional, pewawancara memerlukan transisi. Pada
umumnya pertanyaan yang bersifat transisi berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab
responden.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 6

Contoh pertanyaan transisi (bersifat terbuka)


Pewawancara:
“Telah saya sampaikan sebelumnya, tugas saya adalah mengumpulkan informasi mengenai
prosedur pengadaan. Dapatkah Ibu Mandika menjelaskan apa tugas Ibu disini?”
Background questions
“Apa gelar anda?”
“Tanggung jawab apa yang anda lakukan?”
“Sudah berapa lama anda ditugaskan di sini?”
“Apa yang paling anda sukai dari pekerjaan anda?”
“Apa yang anda paling tidak sukai dari pekerjaan anda?”
“Apa yang anda ingin lakukan bagi perusahaan anda?
“Secara menyeluruh bagaimana anda menyukai pekerjaan anda?”

Pewawancara harus tetap melakukan observasi prilaku verbal dan nonverbal responden selama
wawancara berlangsung.
Pertanyaan informasional dapat digunakan untuk memperoleh informasi mengenai pemahaman
sistem pengendalian akuntansi, berkaitan dengan dokumen, dan operasi bisnis atau sistem bisnis.

Pewawancara:
“Coba ceritakan tentang prosedur pekerjaan anda?”
“Coba ceritakan dokumen apa saja yang menjadi tanggungjawab anda?”
“Coba jelaskan pendelegasian wewenang di departemen anda?”
“Coba ceritakan prosedur mana yang perlu diperbaiki pada departemen anda?”
Jawaban responden nantinya akan diuji kembali oleh pewawancara berdasarkan fakta secara
mendalam. Jika jawaban tidak konsisten, maka perlu ada klarifikasi. Tetapi pewawancara jangan
menunjukkan ekspresi kecurigaan mengenai kejujuran dan integritas responden pada tahap ini.
Pewawancara agar tidak bereaksi berlebihan dengan pernyataan responden, jangan menunjukkan
rasa terkejut, menyakiti, atau rasa emosi selama wawancara. Pertanyaan diungkapkan dengan
cara hipotetis untuk menghindari kemarahan.

Pewawancara:
“Sebagian dari tugas saya adalah mencegah dan menemukan adanya pemborosan. Tolong
ceritakan kepada saya, menurut Ibu Mandika dimana terjadinya pemborosan harta atau uang
pada BUMN ini?”
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan pewawancara dalam menghadapi:
1. Responden terlalu sibuk.
Mungkin saja responden terlalu sibuk pada saat dihubungi, atau responden resisten karena
lelah, ancaman rasa ego, atau tidak suka berbicara kepada orang asing. Dalam hal ini
pewawancara dapat menekankan kepada responden bahwa: wawancara hanya berlangsung
sebentar atau mengatakan bahwa pewawancara sudah menunggu, atau proyek ini amat
penting, atau wawancara tidak akan sulit.
2. Responden tidak ingat.
Biasanya pernyataan seperti ini bukan ungkapan resistensi, tetapi ungkapan mengenai:
kerendahan hati, dalam keadaan tertekan, atau hati–hati. Cara yang terbaik pewawancara
merespon adalah tetap diam sementara responden memikirkan jawabannya.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 7

Akibatnya, responden akan berkata “berikan saya waktu sebentar untuk mengingatnya”. Bila
cara tersebut kurang berhasil, maka pilihan lainnya dengan menyampaikan pertanyaan yang
lebih rinci/sempit.

Pewawancara:
“Ibu Mandika, saya memahami Ibu mungkin tidak ingat semua transaksi. Apakah Ibu
ingat transaksi itu bernilai lebih dari Rp 100 juta?”
Atau
”Baiklah kalau Ibu tidak ingat transaksi secara rinci. Apakah Ibu ingat bagaimana reaksi
Ibu pada saat mengetahui jumlahnya?”
3. Responden yang temperamen
Jika diantisipasi bahwa wawancara akan menimbulkan situasi emosional, sebaiknya
pewawancara harus dua orang, karena jika wawancara berlangsung buruk maka pewawancara
lainnya dapat menyaksikan prosesnya.
Wawancara yang sifatnya tiba–tiba (dadakan) dapat dilakukan, sehingga responden merasa
tidak siap untuk diwawancarai, atau tidak sempat hadir dengan pengacaranya. Strategi yang
dapat dikembangkan oleh pewawancara sebaiknya dirancang tidak berurutan, sehingga
responden tidak dapat mengetahui arah dari isi wawancara.
Contoh wawancara dengan responden yang temperamen
Responden:
“Saya tidak ingin terlibat dalam masalah ini.”

Pewawancara:
Saya tidak akan bertanya apapun jika Ibu Mandika memang tidak terlibat, dan saya akan
berusaha membantu Ibu untuk mengatasi masalah ini dengan mendiskusikannya secara
informal” (jangan berkata “off the record”)
Responden:
“Mengapa saya harus berbicara kepada anda?”
Pewawancara:
Saya mencoba melihat permasalahan ini secara jernih, dan bantuan Ibu amatlah penting.
Responden:
“Anda tidak akan dapat membuktikannya!”
Pewawancara:
Saya tidak mencoba untuk membuktikan atau tidak membuktikannya, namun hanya
mengumpulkan informasi.
Responden:
“Anda tidak dapat memaksa saya untuk berbicara!”
Pewawancara:
Saya tidak mencoba untuk memaksa Ibu melakukan sesuatu, saya hanya ingin
menyelesaikan masalah ini dan amat menghargai bantuan yang Ibu berikan.

Jika tidak ada alasan cukup menduga adanya penyimpangan.


Jika pewawancara hingga tahap ini yakin bahwa tidak ditemukan adanya penyimpangan berkaitan
dengan responden, maka ia harus mengakhiri wawancaranya. Lihat pada penjelasan butir 4
mengenai pertanyaan penutup.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 8

Jika terdapat keragu-raguan.


Jika pewawancara hingga tahap ini meragukan kejujuran jawaban yang disampaikan oleh
responden, maka pewawancara harus melanjutkan wawancaranya dengan mengajukan pertanyaan
yang tidak menuduh tetapi bersifat menguji, agar memperoleh gambaran mengenai kejujuran
responden tersebut. Lihat pada penjelasan butir 3 mengenai pertanyaan menguji.
Behavior Symptom Analysis dan Saluran Komunikasi
Hasil dari penelitian National Security Agency dikenal dengan NSA study, menunjukkan ada
tiga tingkat atau saluran yang dapat digunakan untuk berkomunikasi yaitu: verbal channel,
paralinguistic channel, dan nonverbal channel.
1) Verbal channel.
Adalah ucapan yang keluar dari mulut seseorang, pilihan kata dan susunan kata-kata yang
dipergunakannya untuk mengirimkan pesan.
Subyek yang sehat jiwanya dan yang secara normal berinteraksi sosial, akan mengalami
kecemasan ketika ia berbohong. Kecemasan bisa timbul dari dalam, karena ia tahu apa
yang dikatakannya tidak benar; atau karena ketakutan ia khawatir kebohongannya akan
terungkap.
Ketika subyek harus menjawab pertanyaan dalam suatu wawancara, ia mempunyai empat
pilihan: berbohong, mengelak atau menghindar, mengakui secara tersamar, atau
menceritakan apa adanya.
Subyek berbuat salah, ditanya ”apakah anda menggelapkan uang perusahaan?”
Jika ia mengakui apa yang sebenarnya terjadi dengan menjawab: ”Ya, saya menggelapkan
uang perusahaan”, hal ini tidak menimbulkan rasa cemas baginya.
Jika ia mengakui tetapi dibungkus dengan ketidaksengajaan atau kekhilafan, dan
jawabannya diiringi dengan nonverbal behaviour, seperti menggelengkan kepala; atau
dengan paralinguistic behaviour, dengan ucapan berbisik yang nyaris tak terdengar ”Saya
khilaf Pak”. Kecemasan mulai ada tetapi rendah tingkatannya.

Jika ia mengelak tanpa menyatakan secara tegas dengan menjawab: ”Kenapa saya harus
berbuat hal-hal semacam itu?” atau ”Memangnya kau kira saya ini siapa?”. Menurut
subyek, ia tidak berbohong, tetapi tingkat kecemasan yang ditimbulkan lebih tinggi dari
kondisi (b).
Jika ia berbohong habis-habisan dengan menjawab: ”Tidak, saya tidak menggelapkan
uang perusahaan”, maka tingkat kecemasan yang ditimbulkan tinggi.
Sifat manusia adalah menghindari kecemasan. Kecemasan tidak dapat diterima dan tidak
dikehendaki. Upaya manusia untuk menekan kecemasan ini terungkap dalam
paralinguistic behavior dan nonverbal behavior. Perilaku seperti inilah yang harus
diamati oleh pemeriksa yang berpengalaman pada saat melakukan wawancara.
2) Paralinguistic channel.
Dalam hidup sehari-hari sering ditemui adanya ucapan yang makna sesungguhnya berbeda
dari apa yang keluar dari mulut pembicara. Ciri-ciri percakapan tertentu ini di luar apa
yang diucapkan atau paralinguistic behavior yang harus diamati oleh pemeriksa pada saat
melakukan wawancara. Berikut ini adalah ciri-ciri percakapan tertentu yang perlu
diketahui oleh pemeriksa investigatif.
Response latency
Menunjukkan rentang waktu antara kata terakhir dari pertanyaan pewawancara
dengan kata pertama dari jawaban subyek. Menurut NSA study, response latency rata-
rata untuk subyek yang jujur adalah 0,5 detik, sedangkan untuk subyek yang
berbohong 1,5 detik.
Contoh:
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 9

”Dimana anda tinggal?”


Response latency dijadikan acuan untuk pertanyaan yang sederhana tetapi bagi subyek
mengandung ”bahaya” seperti: ”siapa yang mengantar uang suap ke rumah anda?”.
Contoh:
Pewawancara:
”Apakah anda pernah menggelapkan harta perusahaan sebelumnya?”
Responden:
...Apakah saya pernah menggelapkan harta perusahaan sebelumnya? Emmmm, belum
pernah.
atau
Responden:
Hmm ... Apakah anda bisa mengulang pertanyaan itu?”
Early responses
Umumnya jawaban lebih awal merupakan reaksi dari subyek yang jujur, yang
terlanjur gugup pada awal wawancara. Subyek yang jujur akan mengulangi jawaban
yang lebih awal tadi pada saat pewawancara menyelesaikan pertanyaan. Itulah
perbedaannya dengan early response yang diberikan subyek yang berbohong.
Ketika subyek yang berbohong memberikan early response, ia tidak mengulangi
jawaban itu pada saat pewawancara menyelesaikan pertanyaannya. Mengapa? Subyek
yang berbohong segan sekali menjawab pertanyaan yang memojokkannya. Sekali ia
memberikan jawabah yang terlalu awal, ia merasa sudah menjawab dan tidak perlu
mengulangi jawabannya. Jawaban awalnya sebenarnya respon untuk membantah.
Tanda-tanda berbohong sangat perlu diperhatikan ketika early response terjadi pada
pertengahan dan/atau akhir wawancara. Pada saat ini kegugupan subyek yang jujur
sudah mereda (ia gugup pada awal wawancara). Tetapi sebaliknya bagi subyek yang
berbohong, saat inilah ia merasa semakin terpojok.
Response length
Penelitian menunjukkan bahwa secara statistik subyek yang jujur memberikan
jawaban lebih panjang dibandingkan subyek yang berbohong. Subyek yang jujur
memberikan jawaban selengkap mungkin dan seringkali menawarkan informasi
tambahan walaupun tidak diminta.
Sebaliknya subyek yang berbohong memberikan jawaban yang singkat, sekedar
”memenuhi syarat” sudah menjawab. Ia khawatir jawaban yang panjang akan
menimbulkan pertentangan satu sama lain. Jawaban yang panjang cenderung bersifat
mengalihkan topik pembicaraan.
Response delivery
Penyampaian jawaban nampak dari kecepatan (rate), tinggi-rendahnya (pitch) nada
dan kejelasan (clarity) suara. Hal-hal ini bisa sejalan dengan apa yang dikatakan,
tetapi bisa juga bertentangan. Umumnya ketika subyek mengungkapkan emosinya
secara jujur, rate dan pitch meningkat. Subyek yang jujur menginginkan pewawancara
memahami jawabannya karena itu ia akan berbicara dengan jelas dan dengan volume
yang pas. Subyek yang berbohong cenderung menjawab dengan suara pelan, tidak
jelas dan menggumam.

Continuity of the response


Jawaban yang jujur mengalir dengan bebas, merupakan tanggapan yang spontan, apa
adanya. Jawabannya mengalir sebagai satu alur pikir. Satu kalimat disusul dengan
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 10

kalimat yang lain, sambung menyambung, tidak meloncat-loncat dari satu alur ke alur
yang lain.
Sebaliknya, jawaban dari subyek yang berbohong ada perilaku berhenti – kemudian –
jalan (”stop-and-start” behavior).
Erasure behavior
Dalam percakapan sehari-hari seseorang mengatakan sesuatu yang kedengarannya
mungkin tidak menyenangkan bagi lawan bicaranya. Kemudian, ia mengatakan
”cuman bercanda koq” diiringi gerakan alis dan senyum. Gerakan alis dan senyum
dalam percakapan mempunyai efek ”menghapus konotasi yang tersirat” dalam
ucapannya. Dalam komunikasi paralinguistic ada perilaku tertentu yang dampaknya
seperti ”gerakan alis dan senyum”, seperti tertawa, batuk-batuk kecil atau mendehem,
segera sesudah mengucapkan suatu bantahan. Percakapan berikut memberi contoh
erasure behavior atau perilaku menghapus apa yang dikatakannya:
Pewawancara: Apakah anda menggelapkan uang Rp 100 juta itu?
Responden: Tidak (tertawa).
Pewawancara: Anda tahu siapa yang melakukan?
Responden: Saya malah tidak tahu ada penggelapan (tertawa).
Pewawancara: Apakah anda berfikir pegawai bank yang mencuri uang itu?
Responden: Sulit mengatakannya. Mungkin saya pelanggan yang salah mengisi slip
setoran (mendehem kecil).
3) Nonverbal channel.
Nonverbal channel adalah sikap tubuh, gerak tangan, gerak kaki dan mimik wajah.
Banyak penelitian sosial menunjukkan bahwa 70% dari pesan-pesan yang dikirimkan
dalam komunikasi antar manusia terjadi pada tingkat nonverbal. Statistik ini
mencerminkan betapa besarnya pesan yang disampaikan melalui gerak tubuh. Perilaku
nonverbal cukup rumit untuk dievaluasi, sering menimbulkan interpretasi yang keliru, dan
evaluasinya harus dilakukan dalam konteks isi atau substansi verbal yang disampaikan
pembicara.
(a) Sikap tubuh
Sikap tubuh mengungkapkan keterlibatan emosional yaitu rasa percaya diri dan minat.
Subyek yang jujur mempertahankan minat dan percaya diri yang tinggi dalam
menyampaikan pernyataanya. Sikap tubuhnya tegak, searah dengan pewawancara
sehingga ia siap berdialog secara langsung. Kalau ia menyilangkan kaki, ia
meletakkan satu tungkai di atas tungkai yang lain dan dilakukan dengan santai dan
nyaman. Mempelajari nonverbal behavior sebaiknya melalui rekaman gambar dan
suara dari wawancara yang sesungguhnya.
Subyek yang berbohong terlihat dari gerak lamban, seakan tidak berjiwa, terjerembab
dalam kursinya. Ia tampak tak berminat dengan wawancara. Batang tubuhnya
menjauhi pewawancara. Bentuk lain yang dilakukan adalah menyilangkan lengan di
depan dada, atau menyembunyikan kaki di bawah kursi. Perilaku nonverbal yang
mengungkapkan subyek berbohong adalah kemampuannya mempertahankan sikap
tubuh tadi selama wawancara berlangsung, statis, tidak berubah.

(b) Gerak tangan


Terdapat tiga jenis gerakan tangan. Pertama, subyek tetap tidak melibatkan dirinya,
tidak ada gerak tangan sama sekali. Ini menunjukkan subyek tidak mempunyai
percaya diri terhadap jawaban yang disampaikannya. Atau subyek memandang
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 11

pertanyaan yang diajukan tidak penting.


Kedua adalah tangan yang menjauh dari tubuh. Pewawancara akan melihat gerakan
tangan perilaku menjelaskan pada subyek yang jujur. Subyek melakukan gerakan
tangan seperti orang berpidato atau guru yang sedang mengajar, ketika ia
menceritakan pengalamannya yang ada hubungannya dengan kegiatan fisik. Ketiga
adalah tangan yang mengarah pada bagian tubuh. Gerakan ini disebut perilaku
menyesuaikan.
Gerakan perilaku menyesuaikan dibagi dalam tiga kategori yaitu: gerak
merapihkan diri, gerak bersifat pribadi, dan gerak melindungi.
Gerak merapihkan diri seringkali tidak mempunyai makna. Maknanya baru ada kalau
dikaitkan dengan verbal response-nya. Contoh: membetulkan letak rambut, mengebas
baju seperti membuang pasir atau debu, memeriksa kuku dan lain-lain.
Gerak bersifat pribadi yaitu gerak memenuhi kebutuhan pribadi seperti menggaruk
tangan atau daun telinga, tapi kali ini tidak ada rasa gatal. Gerakan ini menandakan
bahwa subyek tidak nyaman dengan pertanyaan pemeriksa.
Gerak melindungi yaitu gerak tangan mengarah atau membuat kontak dengan muka.
Contoh: tangan diletakkan di pipi untuk menopang kepala. Subyek yang berbohong
menggunakan gerakan ini seperti menutup mulut dan menjawab pertanyaan melalui
celah-celah jari jemarinya, seolah-oleh jari-jarinya dapat menyaring ucapannya yang
tidak benar. Menghindari tatap mata dengan pura-pura secara tidak sadar menggosok-
gosok matanya atau mengusap alis matanya.
(c) Gerak kaki
Ketika subyek menyilangkan tungkainya satu pada yang lain, dan sering
menghentakkan satu kakinya ke tanah, ini menandakan adanya kecemasan. Ini tidak
berarti subyek berbohong, namun perubahan dalam hentakan kaki seiring dengan
jawaban atas suatu pertanyaan bisa merupakan indikasi subyek sedang berbohong. Hal
ini hanya berlangsung 1 – 2 detik saja, kemudian kembali ke gerak kaki yang normal.
Gerak kaki juga bisa merubah sikap duduk subyek. Dengan menapakkan kaki dan
mendorong punggung ke sandara kursi, juga bisa disertai kursi berpijak pada dua kaki
belakangnya. Jika sikap ini dilakukannya sesaat sebelum atau selama menjawab suatu
pertanyaan, ini dapat menunjukkan subyek berbohong
(d) Mimik wajah
Berbagai ekspresi atau mimik wajah disebabkan oleh subyek yang khawatir bahwa
kebohongannya akan terungkap, ketidakpastian apakah ia akan berhasil menutupi
kebohongannya, atau mungkin ia sadar bahwa kebohongannya sudah terungkap, dan
siap mengakui kesalahannya. Dari semua perubahan mimik wajah, yang paling sulit
untuk dievaluasi adalah kemarahan.
Pada umumnya subyek yang berbohong tidak berani atau enggan menatap wajah
pewawancara. Ia akan menundukkan kepala melihat lantai, atau mengalihkan matanya
ke samping, atau ke langit- langit ruangan. Atau bahkan ia menantang pewawancara
dengan menatap lama.
3. Pertanyaan Menguji
Jika pewawancara yakin bahwa responden tidak jujur, jenis pertanyaan hipotetikal atau yang
tidak bersifat menyalahkan dapat diajukan. Melalui pengamatan atas jawaban verbal dan
nonverbal, pewawancara dapat menguji kredibilitas responden dengan beberapa tingkat
ketepatan. Pengujian ini merupakan dasar bagi pewawancara mengambil keputusan apakah
melanjutkan ke pertanyaan yang mengarah pada pengakuan secara legal atas perbuatan yang
melanggar hukum.
Contoh 1
Pewawancara:
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 12

“Pada umumnya mereka bukanlah subyek kejahatan. Sering ditemukan bahwa mereka
mencoba melakukan tindakan tersebut karena mereka tidak mendapatkan imbalan yang
cukup sesuai dengan kualitas mereka. Anda paham maksud saya?”
Penjelasan:
Responden yang jujur dan tidak jujur akan menjawab ”ya” terhadap pertanyaan ini. Namun
responden yang jujur cenderung berpendapat tidak setuju bahwa mereka bukan orang jahat.
Ia akan mengatakan: ”ya” saya paham, tetapi hal itu tidak membenarkan tindakan mencuri”.
Contoh 2
Pewawancara:
“Mengapa anda berpendapat bahwa di sini dibenarkan mengambil aset perusahaan?”
Penjelasan:
Subyek pada umumnya membenarkan tindakannya, ia cenderung membenarkan tindakannya
dengan mengatakan bahwa ”setiap orang melakukannya” atau ”perusahaan harus
memperlakukan karyawan lebih baik jika mereka mengharapkan karywan tidak mencuri”.
Responden yang jujur cenderung mengatakan ”pencurian aset orgnanisasi walaupun
bagaimana tidak dibenarkan. Itu perbuatan kriminal”.
Contoh 3
Pewawancara:
“Menurut anda, apa yang harus kita lakukan kepada seseorang yang menghadapi situasi
dilematis dan melakukan kesalahan di mata perusahaan?”
Penjelasan:
Responden yang tidak jujur akan mengatakan ”Bagaimana saya tahu? Itu bukan urusan saya”
atau ”bila mereka pegawai yang baik, mungkin kita harus memberikan kesempatan lagi
kepada mereka.”
Contoh 4
Pewawancara:
“Apakah anda pernah berfikir – walaupun belum pernah dilakukan - boleh saja mengambil
keuntungan pribadi karena posisi anda di perusahaan?”
Penjelasan:
Pada umumnya semua orang – jujur atau tidak jujur – akan mengatakan ”tidak” terhadap
pertanyaan ini. Namun subyek cenderung memberikan pendapatnya mengapa ia melakukan
itu.
Contoh 5
Pewawancara:
“Siapa yang telah melakukan kejahatan ini?”
Penjelasan:
Orang yang bersalah tidak ingin kecurigaan ini menuju pada dirinya, umumnya orang yang
tidak jujur akan mengatakan ”mungkin saja orang lain”. Orang yang jujur akan mengatakan
“yang jelas bukan saya, karena saya tidak melakukannya”.

Contoh 6
Pewawancara:
“Ganjaran apa yang harus diberikan kepada orang yang melakukan ini?”.
Penjelasan:
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 13

Orang yang jujur umumnya tidak toleran pada pelaku kejahatan, mereka akan mengatakan
”mereka harus masuk penjara atau dipecat saja”. Namun pelaku kejahatan akan mengatakan
“Ya... itu tergantung dari alasan mengapa ia melakukannya” atau “mungkin saja ia
mempunyai alasan yang tepat”
Sikap yang ditunjukan oleh responden:
Responden yang jujur Responden tidak jujur
Tenang Tidak sabar
Santai Tegang
Kooperatif Mempertahankan diri
Peduli Tidak peduli
Terbuka, langsung Amat sopan, akrab berlebihan
Tidak fleksibel Arogan
Menyenangkan Menjengkelkan

4. Pertanyaan Penutup
Wawancara yang tidak konfrontasi meliputi tiga tahapan yaitu: pertanyaan pembuka, pertanyaan
informasional dan pertanyaan penutup. Maksud dari pertanyaan penutup adalah:
a. Mengkonfirmasi kembali fakta.
Seketika pewawancara memahami fakta yang telah diperoleh, maka ia perlu melakukan
konfirmasi kembali atas fakta tersebut. Ia dapat mengakhiri dengan mengajukan pertanyaan
penutup.
Contoh pertanyaan penutup
Pewawancara:
“Ibu Mandika, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ibu hadir disini. Namun
sekali lagi saya ingin meyakinkan apa yang telah kita bicarakan. Jadi tugas Ibu adalah
termasuk memberikan persetujuan atas semua pengadaan pada instansi ini, betul
demikian Bu? Dan Ibu juga memberikan persetujuan atas penunjukkan pemasok baru,
betul Bu?”
Pewawancara:
“Anda menduga–tetapi belum yakin–bahwa Agus mungkin memiliki hubungan istimewa
dengan salah satu pemasok kami. Apa itu benar?”
Pada kondisi tertentu pewawancara diperhadapkan dengan fakta penting oleh responden,
yakinkan kembali dengan bertanya “Apakah Anda yakin?”.
b. Mendapatkan informasi tambahan.
Dalam tahapan ini, pewawancara juga memberikan kesempatan kepada responden jika ia
ingin menyampaikan informasi tambahan.
Contoh pertanyaan penutup
Pewawancara:
“Ibu Mandika, terima kasih karena Ibu amat membantu saya. Ada yang ingin Ibu
sampaikan kepada saya mengenai apa yang telah kita bicarakan bersama? Ada sesuatu
yang saya mungkin lupa untuk ditanyakan?”
Pewawancara:
“Ibu Mandika, mungkin ada seseorang yang saya harus wawancarai. Apakah ada
dokumen berkaitan dengan masalah ini yang belum kita bahas? Jika saya menjaga nama
Anda dengan baik, apa saran Anda dan kepada siapa saya harus bertanya?”

c. Menjaga hubungan baik.


Tujuan dari tahapan ini, adalah menjaga hubungan baik responden. Hal ini penting karena
pewawancara mungkin saja menghubunginya lagi di kemudian hari.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 14

Contoh pertanyaan penutup


Pewawancara:
“Ibu Mandika, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ibu datang di sini pada
hari ini. Jika saya selesai mereviu catatan saya, mungkin ada pertanyaan lagi yang akan
saya sampaikan kepada Ibu. Tidak keberatan jika Ibu saya hubungi kembali?”
Pewawancara:
“Pada kondisi seperti ini, orang yang jujur dapat rusak reputasinya karena adanya rumor/
isu. Kami tidak ingin hal itu terjadi pada Ibu. Oleh karena itu, saya menginginkan kerja
sama Ibu. Dapatkah saya mempercayai Ibu untuk tidak membicarakannya hingga semua
fakta terungkap?”
Pada umumnya responden akan menjawab “ya” kecuali jika ia mengalami bahwa wawancara
berlangsung tidak menyenangkan. Pewawancara sekali lagi harus tersenyum, melakukan
kontak mata dan berjabat tangan untuk mengakhiri wawancaranya.
5. Pertanyaan untuk Mendapatkan Pengakuan
Jika pewawancara yakin bahwa responden berbuat penyimpangan seperti yang dimuat dalam
pertanyaan, maka saatnya sekarang pewawancara mendapatkan pengakuan subyek dengan
melakukan wawancara yang bersifat menuduh. Penilaian terhadap subyek harus didasarkan pada
reaksi verbal dan nonverbal si subyek selama wawancara juga termasuk dokumen, bukti fisik dan
wawancara lainnya.
Masa transisi pada tahapan ini amat penting. Satu alasan mengapa perlu masa transisi adalah
untuk memberikan kesan bagi subyek bahwa perbuatan curangnya telah terungkap. Dalam
kondisi ideal, pewawancara biasanya meninggalkan ruang wawancara beberapa saat, dengan
mengatakan untuk “memeriksa sesuatu”.
Pewawancara harus yakin bawa dokumen yang mendukung penyimpangan telah tersusun rapih.
Foto kopi dokumen tersebut dapat disimpan dalam sebuah map/folder dan membawanya ke ruang
wawancara. Jika pewawancara tidak memiliki dokumen, pewawancara dapat mengisi map atau
folder dengan kertas kosong.
Pewawancara harus mengeluarkan bukti/dokumen tersebut satu per satu untuk ditunjukkan
kepada subyek. Teknik ini akan membuat subyek merasa lebih cemas/tertekan, karena ia tidak
mengetahui bukti apa lagi yang akan diperlihatkan kepadanya. Semakin tinggi tekanan yang
dirasakan, maka semakin besar peluang subyek mengakui perbuatannya.
Contoh
Pewawancara:
Ketika pewawancara kembali ke ruang wawancara, map atau folder tersebut diletakkan di
atas bangku, dan pewawancara bertanya, “Ibu Mandika, kami mengetahui bahwa Ibu telah
mengambil uang dari pemasok”
Atau
”Apakah ada alasan yang tepat mengapa seseorang mengatakan bahwa Ibu Mandika telah
mengambil uang dari pemasok”
Konfrontasi secara langsung harus dilakukan agar subyek mengakui perbuatannya dan secara
psikologis subyek merasa perbuatannya telah terungkap.
Tunjukkan dokumen tersebut kepada responden dan minta komentarnya. Pewawancara jangan
membuka atau menjelaskan bukti tersebut. Pada umumnya 20% dari kasus, subyek akan
mengakui perbuatannya. Jika responden tidak mengakuinya, lanjutkan dengan pertanyaan
selanjutnya.
Tujuan pada tahap ini adalah: 1) untuk membedakan orang yang jujur dari yang bersalah. Orang
yang bersalah sering mengakui perbuatannya pada tahapan ini, sedangkan orang yang tidak
bersalah tidak akan mengakui kecuali mendapat ancaman atau kekerasan; 2) untuk mendapatkan

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 15

pengakuan yang syah. Pengakuan, sesuai ketentuan, harus diakui tanpa ada pakasaan; dan 3)
responden yang mengakui perbuatannya harus menandatangani pernyataan tertulis yang
menjelaskan fakta terjadi. Hal ini mencegah kemungkinan subyek menyangkal atas
pengakuannya.
Persiapan
Pelaksanaan wawancara harus ditetapkan waktunya jika pewawancara memperkirakan dapat
mengendalikan situasi wawancara tersebut. Sebaiknya wawancara tidak dilakukan di kantor
subyek, dan lebih baik jika dilakukan secara tiba-tiba.
Ruang wawancara
Ruang wawancara harus dirancang dengan nuansa privacy. Pintu ruang wawancara tertutup tetapi
tidak dikunci, dan jangan ada suatu penghalang yang membatasi subyek untuk meninggalkan
ruangan.
Gangguan selama proses wawancara diupayakan seminimal mungkin. Subyek sebaiknya tidak
duduk di belakang meja.
Kehadiran pihak lain
Jika subyek menghadirkan penasehat hukumnya, pewawancara harus memahami bahwa
kehadirannya hanya sebagai pengamat. Penasehat hukum tidak boleh mengajukan pertanyaan
atau keberatan atas pertanyaan pewawancara.
Selain dari subyek dan dua orang pemeriksa yang bertugas dalam wawancara, pengamat tidak
dibolehkan hadir dalam tahap wawancara untuk mendapatkan pengakuan dari subyek.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tahap wawancara untuk mendapatkan pengakuan dari
subyek:
- Subyek jarang sekali mengakui perbuatannya secara sukarela, jika ia yakin bahwa ada
keraguan pewawancara mengenai perbuatannya.
- Pewawancara harus mempunyai rasa percaya diri yang tinggi walaupun ia tidak yakin
sepenuhnya.
- Pewawancara jangan menampakkan kemarahan, kejengkelannya atau mengumpat atas
perbuatan subyek. Untuk memperoleh pengakuan dari subyek diperlukan rasa simpati yang
besar dan menekan serendah mungkin pandangan buruk terhadap moral subyek.
- Subyek tidak pernah akan mengakui perbuatannya jika pewawancara memperlakukan subyek
sebagai orang jahat. Pewawancara harus melakukan pendekatan bahwa alasan subyek
melakukan perbuatannya dapat diterima secara moral.
- Secara hukum dapat diterima melakukan tuduhan kepada subyek yang tidak bersalah
sepanjang: tuduhan didasari dengan alasan yang kuat; tuduhan dilakukan dengan menjaga
privacy subyek.
Langkah–langkah untuk Mendapatkan Pengakuan Subyek
a. Tuduhan langsung.
Tuduhan tidak diungkapkan dalam bentuk pertanyaan, tetapi pernyataan. Penggunaan kata–
kata yang dapat menimbulkan rasa emosi seperti ”mencuri”, ”kejahatan”, dan ”kriminal”
harus dihindari.
Contoh tuduhan langsung
Salah
”Kami punya alasan untuk percaya bahwa Ibu Mandika telah menerima suap”
Atau
”Kami menduga Ibu Mandika telah menerima suap”

Benar
”Pemeriksaan investigatif kami menunjukkan bahwa Ibu Mandika lah yang:
- telah merekayasa pencatatan (hindari ”kecurangan”)
- telah mengambil aset perusahaan tanpa izin (hindari ”mencuri” ”menggelapkan” atau
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 16

”merampok”)
- telah mengambil uang dari pemasok (hindari ”suap” atau ”sogok”)
- tidak menjelaskan kejadian sebenarnya (hindari ”bohong” atau ”curang”)
Pewawancara sambil membuka halaman tertentu dalam folder yang berisi bukti.

b. Amati reaksi subyek.


Pada saat subyek dituduh, umumnya orang yang bersalah akan terdiam. Jika subyek
membantah tuduhan tersebut, biasanya bantahannya lemah. Pada banyak kasus subyek
mengungkapkan bantahannya dengan menggumam.
Terkadang subyek menanggapi dengan ”apa yang Anda maksudkan?” atau ”Anda bilang
apa?” seolah-olah ia tidak mendengar. Dalam behavior symptom analysis, ia berbohong.
Tidak ada alasan baginya untuk tidak mengerti atau tidak mendengar karena tuduhan
disampaikan dengan kalimat singkat, langsung, terarah dan lugas.
Subyek yang bersalah menghindari kontak mata dengan pewawancara. Ini memungkinkannya
menyiapkan jawaban verbal yang kemungkinan besar bukan jawaban sama sekali.
Subyek menunjukkan tanda bersalah seperti mengubah postur, menyilangkan tungkai, duduk
terjerembab di kursi atau bersandar jauh ke belakang seolah-olah berusaha menjauhi
pewawancara. Namun subyek tidak akan mudah menyerah, dan langsung mengakui
kesalahannya. Terlalu banyak yang ia pertaruhkan; ia kehilangan pekerjaan, reputasinya
jatuh, teman-teman dan masyarakat akan menjauhinya.
Subyek yang tidak bersalah akan terperanjat dengan tuduhan yang dilontarkan. Dan
umumnya mereka akan marah dan memperlihatkan kejengkelannya dengan tuduhan tersebut.
Berbeda dengan subyek kejahatan, subyek yang tidak bersalah menolak mentah-mentah
perbuatan yang ditanyakan oleh pewawancara. Ia akan tersinggung berat dan berupaya keras
untuk menghentikan tuduhan itu.
c. Pengulangan dugaan.
Jika subyek tidak merasa keberatan terhadap tuduhan yang dikemukakan, maka tuduhan
tersebut harus diulang kembali dengan kadar yang sama kuatnya dari tuduhan pertama.
Contoh
Pewawancara:
”Saya telah jelaskan, Bu, pemeriksaan kami telah menemukan bahwa Ibu adalah orang
yang bertanggung jawab. Kami tidak lagi menanyakan apa yang Ibu telah lakukan, tetapi
mengapa Ibu melakukannya?”.
d. Menginterupsi bantahan subyek.
Baik subyek yang jujur dan tidak jujur pada umumnya keberatan atas tuduhan yang diajukan
kepada mereka dan mencoba untuk melakukan bantahan. Oleh karena itu pewawancara harus
menginterupsi bantahan tersebut. Berikut ini diuraikan beberapa teknik yang dapat digunakan
untuk menghentikan atau menginterupsi bantahan subyek.
Contoh
Responden:
”Bahkan sayapun tidak berada disana ketika semua catatan dibuat”
Atau
”Mungkin saja itu orang lain yang melakukannya”
Atau
”Saya tidak mengerti apa yang sedang anda bicarakan”
Perlu dipahami bahwa baik subyek yang jujur dan tidak jujur, umumnya akan menolak
habis-habisan jika dipaksa untuk mengakui perbuatannya. Oleh karena itu, pewawancara
jangan sekali-kali menanyakan mengenai alasan penolakan.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 17

Contoh Salah
Pewawancara:
”Apakah Ibu melakukan ini?”
Atau
”Apakah Ibu adalah orang yang bertanggung jawab?”

Contoh Benar
Pewawancara:
”Mengapa Ibu melakukan ini?”

e. Menunda.
Satu teknik yang amat efektif untuk menghentikan atau menginterupsi bantahan subyek
adalah melalui taktik menunda. Pewawancara jangan berargumentasi dengan responden,
namun mencoba menunda bantahan subyek seluruhnya.
Contoh
Pewawancara:
”Bu, saya mendengar apa yang Ibu katakan, namun saya ingin menjelaskan ini terlebih
dahulu. Kemudian berbicaralah...
Subyek yang tidak bersalah, pada umumnya tidak menyela atau tetap membiarkan
pewawancara berbicara.
f. Menginterupsi subyek.
Kadang-kadang, pewawancara perlu menginterupsi terhadap upaya subyek yang melakukan
bantahan terus menerus. Pada tahap ini, pewawancara harus siap meningkatkan interupsinya
jika kondisi mengharuskannya, misalkan:
”Ibu Mandika, jika Ibu tetap menyela, saya akan menghentikan wawancara ini.”
Subyek yang bersalah akan berpikir bahwa pernyataan pewawancara merupakan ancaman
baginya, karena rasa keingintahuannya atas bukti yang dimiliki oleh pewawancara.
g. Memberikan alasan.
Jika taktik tersebut di atas tidak berhasil, pewawancara dapat mencoba memberikan alasan
kepada responden, dan melakukan taktik yang biasanya digunakan untuk mengacaukan alibi.
Contoh
Pewawancara:
”Saya paham yang Ibu Mandika katakan, namun bagaimana dengan faktur–faktur yang
sudah saya peroleh ini. Coba perhatikan faktur sebesar Rp 500 juta rupiah ini. Fakta ini
jelas menunjukkan bahwa Ibulah yang bertanggung jawab” (jangan bertanya kepada
responden untuk menjelaskan bukti tersebut pada tahap ini).
Atau
”Ibu Mandika, saya telah banyak melakukan wawancara kepada banyak orang sebelum
saya duduk di sini bersama dengan Ibu. Saya tidak bertanya kepada Ibu saat ini, apakah
Ibu bertanggung jawab atas faktur tersebut;
saya mengetahui Ibu lah yang bertanggung jawab. Ini adalah kesempatan Ibu untuk
menceritakannya kepada seseorang yang dapat memahami” (jangan ungkapkan identitas
atau jumlah saksi yang telah diwawancarai).

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 18

h. Menetapkan rasionalisasi.
Seketika dugaan, pengulangan dugaan, dan sanggahan telah dilakukan, kini saatnya bagi
pewawancara untuk menetapkan rasionalisasi moral yang dapat diterima yang
memungkinkan responden menyetujui perbuatannya secara sadar.
Umumnya subyek yang tidak jujur berusaha menjelaskan alasan moral dari apa yang telah
dibuatnya, ketimbang ia dikatakan sebagai orang yang tidak bermoral. Namun pewawancara
harus tetap memperhatikan agar tidak membuat pernyataan yang dapat membuat responden
percaya bahwa ia dimaafkan secara hukum karena kooperatifnya.
Jangan sekali-kali pewawancara mengungkapkan rasa terkejut, marah atau mengumpatnya
dengan pengakuan atas perbuatan apapun dari subyek.
i. Perlakuan yang tidak wajar (unfair).
Penjelasan yang umum mengenai perbuatan kriminal adalah subyek berusaha memperoleh
harta perusahaan. Kajian menunjukkan bahwa tindakan karyawan yang tidak produktif –
termasuk mencuri – disebabkan utamanya karena ketidakpuasan akan pekerjaan.
Pewawancara yang peka dapat menggali informasi lebih dalam dari subyek yang telah
diperlakukan oleh perusahaan sebagai korban.
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika, saya rasa saya paham mengenai apa yang Ibu maksudkan. Dan saya
mengerti bahwa Ibu mempunyai alasan yang kuat mengapa Ibu melakukan ini. Ibu telah
bekerja keras disini untuk mendapatkan reputasi Ibu. Saya pikir mungkin perusahaan
membayar Ibu tidak sesuai dengan kapasitas Ibu. Dan hal inilah yang sedang Ibu
pikirkan juga, bukan begitu Bu Mandika?”.
Atau
”Ibu Mandika, saya telah melihat kondisi seperti ini sebelumnya. Dan saya pikir
perusahaan hanya memperhatikan kepentingannya. Jika Ibu telah diperlakukan dengan
baik, hal ini tidak mungkin terjadi, bukankah begitu Bu Mandika?”
j. Kurang adanya pengakuan
Beberapa pegawai mungkin merasakan bahwa prestasi mereka tidak diperhatikan oleh
perusahaan. Dengan cara bersimpati kepada subyek, pewawancara dapat mengungkapkan:
”Ibu Mandika, saya melihat beberapa hal mengenai Ibu. Nampaknya Ibu telah
memberikan lebih banyak dibandingkan dengan pengakuan yang Ibu terima dari
perusahaan, bukan begitu Bu Mandika?”
k. Masalah keuangan.
Perbuatan kriminal intern, khususnya manajemen tingkat atas, sering dilakukan dengan
menyembunyikan kondisi keuangan sebenarnya – perorangan atau organisasi. Berikut ini
contoh bagaimana mengembangkan pertanyaan berkaitan dengan masalah keuangan sebagai
motifnya.
Contoh
Agus adalah seorang pimpinan sebuah BUMN dan diduga melakukan kecurangan.
Pewawancara:
”Pak Agus, saya telah mengetahui jumlah pendapatan yang dibayar BUMN ini kepada
Bapak. Dan terus terang saya terkejut. Saya pikir seharusnya BUMN ini dapat membayar
Bapak lebih besar. Tidaklah mengherankan kalau selama ini Bapak terlibat. Bapak
melakukan ini semua hanyalah untuk kelangsungan hidup, bukan begitu Pak Agus?”
l. Berkorban untuk orang lain.
Dalam banyak kasus, keseriusan masalah moral dapat dikurangi dengan pendekatan bahwa
perbuatan yang telah dilakukan subyek adalah untuk kepentingan orang lain. Ini dapat

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 19

dilakukan jika pewawancara melihat bahwa si subyek adalah orang yang suka membantu
orang lain.
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika, saya paham bahwa Ibu melakukan ini bukan untuk kepentingan Ibu.
Setelah saya telaah secara berhati-hati, saya berpikir Ibu melakukan ini untuk menolong
suami Ibu, bukan demikian Bu?”
Atau
”Pak Agus, Bapak memiliki tanggung jawab yang besar dalam BUMN ini. Banyak
pegawai bergantung kepada Pak Agus atas pekerjaan mereka. Saya paham Bapak
melakukan ini, karena Bapak melihatnya untuk kepentingan perusahaan, bukan begitu
Pak?”
Masih banyak lagi taktik bertanya yang harus dikembangkan oleh pewawancara berkaitan
dengan alasan–alasan lain yang digunakan oleh subyek yaitu: menyimpang dari kebiasaan;
masalah keluarga; ulah pihak lain; stress, narkoba, dan alkohol; balas dendam; benar–benar
terdesak akan kebutuhan hidup yang mendasar.
Kalau subyek tidak bersalah, ia tidak membuat justification atau pembenaran apapun.
m. Penyimpangan tidak signifikan.
Pewawancara dapat melakukan pendekatan dengan cara mengubah cara pandang subyek atas
tingkat keseriusan moral dari kasusnya. Namun pewawancara harus berhati-hati agar tidak
memberikan pernyataan yang menimbulkan kesan bagi subyek dapat terbebas dari tanggung
jawab hukum.
Misalkan: ”Ah...itu bukan masalah besar dari segi hukum. Itu hanya penyimpangan teknis”.
Sebaiknya pewawancara melakukan dengan cara membandingkan:
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika, segala sesuatu relatif sifatnya. Apa yang telah Ibu lakukan, sebenarnya
bukan apa-apa dibandingkan dengan masalah-masalah besar lainnya, Ibu bukan Sherny
Konjongiang kan?”
Atau
”Saya melihat diri saya ada pada posisi Ibu, jika saya dihadapkan pada kondisi yang
sedang Ibu hadapi, mungkin saya akan melakukan hal yang sama, bukan begitu Bu?”
n. Mematahkan alasan subyek.
Walaupun pewawancara telah menggunakan teknik rasionalisasi dengan tepat, mungkin saja
subyek tetap membantah atas perbuatannya. Jika pewawancara berhasil menghentikan
bantahan subyek, umumnya pelaku penyimpangan terus mencari alasan macam-macam
mengapa ia tidak mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
Strategi berikut ini dimaksudkan adalah untuk memojokkan subyek dengan menyajikan bukti
fisik yang berkaitan dengannya. Alasan subyek umumnya dapat dipatahkan dengan
menggunakan cara-cara di bawah ini:
1) Menyajikan bukti fisik.
Sering kali orang yang bersalah menyalahartikan sejumlah bukti fisik. Bukti fisik
biasanya disajikan pada saat tertentu dengan urutan kebalikan berdasarkan pentingnya.
Jika subyek tidak lagi membantah, pewawancara harus menghentikan menunjukkan
bukti.
Contoh
Reponden:
”Saya tidak mungkin melakukan ini. Saya tidak bertanggung jawab atas pembayaran
faktur ini”.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 20

Pewawancara:
”Ini adalah salah satu dari faktur yang kami tanyakan (tunjukkan dokumen tersebut).
Kami tidak pernah menerima barang yang dibayar itu (jangan menjelaskan apakah
sudah atau belum dibicarakan dengan departemen akun hutang) ”.
”Mandika, sudahlah... tidak ada artinya Ibu menolak fakta ini. Kami memiliki
banyak bukti. Mari kita selesaikan masalah ini, tapi Ibu harus menolong saya, OK”
(jangan menuduh responden berbohong– hal ini akan membuat lebih lama
wawancara).
2) Diskusi dengan saksi.
Teknik lain untuk mematahkan alasan subyek adalah dengan membicarakan pernyataan
saksi. Tujuannya adalah memberikan informasi yang cukup tentang pendapat orang lain
tanpa harus mengungkapkan banyak hal. Idealnya pernyataan pewawancara akan
menimbulkan kesan bagi subyek bahwa banyak orang mempunyai pendapat yang
berbeda terhadap penjelasan yang ia ceritakan.
Contoh
Reponden:
”Saya tidak mungkin melakukan ini. Saya harus mendapatkan persetujuan dari
pengawas saya untuk itu”.
Pewawancara:
”Dalam kondisi normal memang itu diperlukan. Namun pada kenyataannya hal itu
terjadi. Beberapa orang telah menceritakan kejadian ini secara berbeda-beda. Saya
paham bagaimana Ibu berupaya meyakinkan saya. Tetapi Ibu hanya membuat
kondisi ini semakin buruk. Jika Ibu kooperatif, maka Ibu tidak saja menolong saya
tetapi juga menolong Ibu sendiri. Paham?”.

3) Diskusi ketidakjujuran subyek.


Teknik akhir yaitu mendiskusikan ketidakjujuran subyek. Maksudnya adalah
menanyakan logika subyek, agar tidak membuatnya malu. Teknik ini kadang–kadang
dilakukan jika dokumen fisik tidak tersedia.
Contoh
Reponden:
”Saya tidak mungkin melakukan perbuatan itu. Mana sempat saya melakukannya”.
Pewawancara:
”Ibu Mandika...inilah yang sebenarnya terjadi, Ibu sudah tahu, apa yang Ibu telah
lakukan, demikian juga saya. Saya paham betul, amat sulit bagi Ibu untuk mengakui
perbuatan Ibu. Namun jika semua fakta harus diungkapkan, setiap orang akan
memiliki kesimpulan yang sama, Ibulah yang bertanggungjawab. Jika Ibu terus
membantah apa yang telah Ibu lakukan, maka Ibu akan membuat kondisi semakin
buruk. Ibu paham bukan?”.

o. Ajukan pilihan kepada subyek.


Setelah alibi/alasan subyek dikacaukan/dipatahkan, umumnya subyek terdiam. Beberapa
orang mungkin menangis dalam kondisi seperti ini.
(Jika demikian, buat suasana nyaman. Jangan ganggu subyek pada saat ia menunjukkan
emosinya). Kondisi ini membuat subyek secara sadar akan mengakui atau tidak mengakui
perbuatannya. Pewawancara harus mengajukan pertanyaan pilihan kepada subyek. Pilihan
pertama memungkinkan subyek mempunyai alasan moral yang dapat diterima atas
perbuatannya.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 21

Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika... apakah Ibu merencanakan hal ini secara sadar, atau terjadi begitu saja?”
Atau
”Ibu Mandika... Ibu melakukan ini, apakah Ibu membutuhkan uang lebih banyak, atau
karena menghadapi masalah keuangan?”
Atau
”Ibu Mandika...Ibu melakukan ini karena Ibu tidak pernah merasa cukup, atau karena
perlakukan perusahaan terhadap Ibu?”.
p. Benchmark admission.
Apapun jawaban subyek atas pertanyaan pilihan tersebut – apakah ya atau tidak – ia telah
melakukan benchmark admission. Sekali benchmark admission dinyatakan, secara tidak
sadar subyek telah memutuskan untuk mengakui perbuatannya. Pertanyaan dirancang dengan
struktur pilihan negatif disajikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan pilihan positif.
Dengan cara ini, subyek harus mengangguk atau memilih ”ya”. Pada umumnya subyek
menjawab secara negatif juga.
Contoh
Responden:
”Saya tidak melakukannya secara sengaja”
Atau
”Saya tidak melakukannya karena menginginkan uang lebih banyak”
Atau
”Saya tidak melakukannya karena saya merasa tidak pernah cukup”.

Jika subyek menjawab pertanyaan dengan pilihan negatif, pewawancara harus


menekankan lebih jauh lagi untuk pengakuan secara positif.
Contoh
Pewawancara:
”Kalau begitu, hal itu terjadi seketika saja?”
Atau
”Jadi Ibu lakukan itu untuk mengatasi masalah keuangan”

Atau
”Jadi Ibu lakukan itu karena cara perusahaan memperlakukan Ibu?”

q. Penguatan kembali rasionalisasi.


Sekali subyek menyatakan benchmark admission, pewawancara harus menguatkan kembali
keputusan yang diambil oleh subyek.
Kemudian pewawancara harus membuat pengalihan ke pengakuan verbal, dimana rincian
perbuatan diperoleh.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 22

Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika, saya senang mendengar Ibu melakukan perbuatan tersebut disertai alasan
yang tepat. Hal itu menegaskan apa yang saya pikirkan selama ini – bahwa Ibu
diperhadapkan dalam kondisi yang amat rumit. Kapan peristiwa pertama terjadi?”
r. Pengakuan secara verbal.
Peralihan menuju pengakuan secara verbal, dilakukan pada saat pertama kali subyek
menyampaikan informasi mengenai perbuatannya. Setelah itu, tugas pewawancara adalah
menggali lebih dalam mengenai rincian peristiwa – jika dimungkinkan termasuk informasi
yang hanya diketahui oleh subyek. Terdapat tiga pendekatan dalam peroleh pangakuan secara
verbal: runtutan peristiwa, transaksi, atau peristiwa kejadian (event). Pendekatan yang
digunakan tergantung dari masing-masing kondisi kasus.
Misalkan: pewawancara ingin mendapatkan informasi perkiraan nilai uang yang digelapkan,
pihak lain yang terlibat, dan tempat bukti fisik terkait dengan kasus. Setelah fakta dasar ini
dikonfirmasikan, pewawancara dapat mengkonfirmasikan hal-hal yang lebih khusus lagi
secara berurutan. Pewawancara harus memperoleh pengakuan subyek sedini mungkin, bahwa
perbuatannya adalah salah. Hal ini mengkonfirmasikan unsur penting dari motivasi (intent)
subyek.
Secara psikologi, kebanyakan subyek berbohong satu hal atau lebih dalam mengakui
perbuatan jahatnya, walaupun secara fakta si subyek memang bersalah. Jika hal ini terjadi,
pewawancara harus mengingat kejanggalan perkataan subyek tersebut dan melanjutkannya
seolah-olah ketidakjujuran itu telah diterima subyek sebagai kebenaran.
Kejanggalan itu harus diungkapkan hingga fakta–fakta relevan lainnya diberikan oleh subyek.
Jika kejanggalan itu bersifat signifikan, maka pewawancara harus menindaklanjuti dengan
pengakuan verbal atau mengoreksinya dalam pernyataan tertulis.
Jika kejanggalan itu tidak signifikan, informasi tersebut dapat diabaikan secara keseluruan
melalui pernyataan tertulis. Informasi berikut ini harus diperoleh selama pengakuan verbal:
1) Subyek mengetahui bahwa perbuatannya adalah salah.
Motivasi (intent) adalah unsur penting berkaitan dengan perbuatan penyimpangan. Tidak
saja subyek mengakui perbuatannya, tetapi juga ia mempunyai motivasi melakukannya.
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika...Ibu telah memutuskan untuk menolong diri Ibu sendiri, saya juga
sanggup menolong Ibu. Saya ingin bertanya beberapa hal agar permasalahan menjadi
lebih jelas. Setahu saya, Ibu melakukan perbuatan ini, Ibu tahu betul bahwa hal itu
salah, tetapi Ibu tidak bermaksud merugikan perusahaan, bukankah begitu Bu?”

Perhatikan:
Pertanyaan di atas dirancang agar subyek mengakui motivasinya dalam melakukan
penyimpangan, tetapi ”tidak bermaksud merugikan” pihak lain. Pastikan pertanyaan
agar tidak disalahartikan oleh subyek sehingga ia merespon ”saya tidak bermaksud
melakukannya”.

2) Fakta hanya diketahui oleh subyek.


Seketika pertanyaan mengenai motivasi subyek dipecahkan, pertanyaan berikutnya
berkaitan dengan fakta yang hanya diketahui oleh subyek. Fakta itu termasuk
mengestimasi berapa kali kejadian dan jumlah uang yang terkait dengan peristiwa itu.
a) Perkiraan peristiwa berulang

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 23

Dalam kasus penyimpangan, umumnya subyek berupaya merendahkan nilai uang


atau jumlah kejadian terkait dengan peristiwa kejadian. Mungkin hal ini disebabkan
sifat manusia yang cenderung menyembunyikan masalah yang tidak menyenangkan.
Jika subyek merespon dengan ”saya tidak tahu”, pewawancara harus mengawalinya
dengan angka yang tinggi kemudian secara bertahap menurunkan jumlah tersebut.
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika...berapa kali menurut Ibu hal itu terjadi?”
Responden:
”Saya tidak tahu”
Pewawancara:
”Apakah sebanyak 100 kali?”
Responden:
”Mana mungkin!”
Pewawancara:
”Mungkin sebanyak 75 kali?”
Responden:
”Tentu tidak...mungkin tidak lebih dari dua atau tiga kali”.
Pewawancara:
”Ibu Mandika yakin?”
Responden:
“Barangkali tiga kali, tetapi tidak mungkin lebih dari itu”
b) Motivasi perbuatan jahat.
Motivasi subyek mungkin sama atau berbeda dengan yang dikembangkan oleh
pewawancara. Reaksi umum subyek adalah ”Saya tidak tahu”. Pewawancara harus
terus menggali informasi yang lebih mendalam dari subyek. Motivasi dapat
ditetapkan seperti berikut ini:
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika...kami telah membahas apa yang menyebabkan Ibu melakukan ini.
Tetapi saya ingin mendengarnya dari Ibu sendiri. Mengapa Ibu melakukannya?”
c) Kapan perbuatan itu terjadi.
Pewawancara ingin memperoleh informasi mengenai tanggal dan waktu perbuatan
subyek dimulai.
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika... saya yakin Ibu ingat kapan pertama kali peristiwa itu terjadi”.
Reponden:
”ya”
Pewawancara:
”Coba ceritakan kepada saya?”
Responden:
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 24

”Sekitar pertengahan Januari tahun lalu”


Pewawancara:
”Ibu Mandika…saya kagum Ibu mampu mengatakannya. Ibu telah melakukan
yang benar, coba Ibu ceritakan lebih rinci mengenai peristiwa pertama”.
d) Kapan perbuatan itu diakhiri.
Pada kasus kecurangan, khususnya kecurangan internal, perbuatan pada umumnya
terus menerus. Oleh karena itu, subyek jarang menghentikan perbuatannya sebelum
hal itu terungkap.
Pewawancara harus mendapatkan tanggal perbuatan itu diakhiri.
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika…kapan terakhir Ibu melakukan perbuatan itu?”
e) Jika ada pihak lain terlibat.
Ketimbang bertanya apakah ada orang lain terlibat, pertanyaan berikut ini perlu
disimak:
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika...siapa lagi yang mengetahui tentang ini selain Ibu sendiri?”.
Dengan bertanya siapa lagi yang mengetahui, pewawancara tidak saja
menanyakan nama lain yang melakukan konspirasi, tetapi juga pihak lain yang
mungkin mengetahui apa yang telah terjadi tetapi tidak melaporkannya.
s. Bukti fisik.
Bukti fisik – walaupun seberapa kecil kemungkinannya – harus diperoleh dari subyek. Pada
banyak kejadian, pendapatan ilegal dari kecurangan langsung disimpan pada rekening bank
milik subyek. Pewawancara dapat bertanya kepada subyek untuk menyerahkan catatan
banknya secara sukarela untuk direviu. Disarankan pewawancara untuk mendapatkan 1)
otorisasi tertulis yang terpisah atau 2) keterangan yang dinyatakan dalam pengakuan subyek
yang secara suka rela memberikan informasi banknya. Yang lebih baik dilakukan adalah
metode pertama.
Jika ada catatan lain terkait yang dapat diperoleh hanya dengan persetujuan subyek, izin
mereviu catatan tersebut harus dilakukan selama pengakuan lisan subyek. Dalam beberapa
hal, disarankan untuk menunda tindakan tersebut sampai pengakuan tertulis dilaksanakan.
Permintaan bukti fisik dari subyek dapat dilakukan sebagai berikut:
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika...untuk melengkapi rincian informasi, saya memerlukan catatan bank (atau
bukti fisik lainnya). Ibu paham bukan?”
Responden:
”Tidak, saya tidak paham”
Pewawancara:
”Baiklah, saya perlu mendokumentasikan fakta–fakta dan merampungkan beberapa
pertanyaan yang masih tersisa. Ibu telah memutuskan untuk menceriterakan kejadian
tersebut seluruhnya, termasuk peran Ibu. Saya hanya meyakinkan bahwa fakta itu tepat
dan wajar menurut Ibu.
Kami meyakinkan bahwa Ibu tidak dipersalahkan karena perbuatan orang lain. Saya
ingin mengatakan bahwa Ibu amat kooperatif dan ingin melakukan yang benar, OK?”
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 25

(hindari penggunakan kata ”bukti” atau penyajian untuk pengadilan atau jaksa).
Reponden:
”Baiklah”
Pewawancara:
”Dimana Ibu menyimpan rekening bank Ibu? (jika pewawancara mengetahui
sekurangnya ia memiliki leibh dari satu bank dimana untuk usahanya, pertanyaan
menjadi: ”Ibu Mandika...dimana Ibu melakukan usaha selain di Bank X Jakarta?”).
Responden:
”Hanya di Bank X Jakarta”
Pewawancara:
”Saya memerlukan persetujuan Ibu untuk mendapatkan rekening bank tersebut, jika
diperlukan. Dimana Ibu menyimpan dokumen aslinya?”
(jangan tanyakan persetujuan subyek untuk melihat dokumen tersebut, namun jelaskan
kepadanya bahwa dokumen tersebut diperlukan. Biarkan subyek mengungkapkan rasa
keberatannya jika ia mempunyai masalah mengenai itu).
1) Penggunaan hasil kejahatan.
Pewawancara juga harus mendapatkan informasi secara umum mengenai apa yang telah
dilakukan oleh subyek terhadap uang haram yang diperolehnya. Seringkali uang tersebut
telah digunakan untuk bersenang–senang atau berfoya–foya. Pewawancara harus
menghindari memberikan komentar atau menanyakan subyek mengenai gaya hidup
mewahnya.
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika...uang tersebut Ibu gunakan untuk apa?” (biarkan subyek yang
menjelaskan, jangan memberikan saran/jawaban kecuali ia diam saja).
2) Keberadaan harta.
Pada saat yang tepat, pewawancara dapat juga menanyakan kepada subyek apakah ada
harta miliknya yang dapat mengurangi kerugian yang ditimbulkan.
Ketimbang bertanya ”Apakah masih ada harta yang tersisa?” pertanyaan harus diarahkan
”Apa yang tersisia?”
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika...apa yang masih Ibu sisakan dari semua ini?”
Responden:
“Tidak banyak. Saya menggunakan seluruh uang untuk menanggulangi masalah
keuangan suami saya. Sedikit uang dan sebuah kapal yang sudah dibayar, hanya itu
saja”.
Pewawancara:
“Baik, apapun itu, keadaan akan menjadi lebih baik jika Ibu secara sukarela
mengembalikannya, Ibu setuju?”

Hal-hal khusus dari kasus penyimpangan.


Seketika hambatan utama teratasi, pewawancara harus kembali memfokuskan hal-hal khusus
mengenai kasus penyimpangan. Umumnya dapat dimulai dari awal kesempatan dan
dilanjutkan secara runtut dalam bingkai yang logis. Sebab pertanyaan dirancang untuk
mencari informasi, maka pertanyaan harus terbuka sehingga jawaban subyek bersifat mandiri
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 26

dari pertanyaan. Yang terbaik adalah mendapatkan jawaban dari subyek secara mandiri
terlebih dahulu sebelum menunjukkan bukti-bukti fisik kepada subyek. Jika subyek tidak
dapat mengingat peristiwa itu secara independen, maka dokumen dapat digunakan
pewawancara untuk menolong subyek mengingat kembali peristiwa.
Dalam menentukan hal–hal khusus dari perbuatan penyimpangan subyek, pewawancara pada
umumnya harus menanyakan hal-hal berikut ini:
- Siapa yang mengetahui transaksi tersebut?
- Apa arti dari dokumen tersebut?
- Kapan transaksi tersebut terjadi?
- Kemana uang yang diperoleh dari transaksi tersebut mengalir?
- Mengapa perbuatan itu dilakukan?
- Bagaimana perbuatan itu disembunyikan?
Pada puncaknya, subyek harus memberikan pengakuan secara tertulis atau Berita Acara
Pengakuan dengan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara tersebut. Kelemahan
cara ini adalah bahwa pengakuan tertulis ini tidak menggunakan kata-kata, kalimat, atau
bahasa subyek sepenuhnya. Sehingga di kemudian hari, mungkin saja subyek menyangkal
pengakuan yang telah dibuatnya itu.
Wawancara adalah kegiatan yang sulit dan amat jarang seseorang dapat menguasai
wawancara tanpa latihan yang cukup. Dengan menguasai teknik yang ada, jika dilakukan
dengan tepat, hal ini dapat menolong dalam memperoleh informasi yang diperlukan, dapat
dipercaya, dan sah.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.5 - 1

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN


REPUBLIK INDONESIA

BERITA ACARA PERMINTAAN KETERANGAN (BAPK)

Pada hari ini .........................tanggal ............................bulan .................... tahun ................. jam


......................sampai dengan jam ..................bertempat di...........................................................
kami..........................................(nama lengkap)..........................................................................................

Pangkat/ Golongan : .............................................................


NIP : .............................................................
Jabatan : .............................................................
Berdasarkan Surat Tugas Nomor : .............................................................
tanggal.............................. telah meminta keterangan kepada:
.................................................(nama lengkap).........................................................................................

Tempat/tanggal lahir :
Jenis kelamin :
Kewarganegaraan :
Agama :
Pekerjaan/Jabatan :
Pangkat/golongan :
NIP :
Instansi :
Alamat Instansi :
Alamat tempat tinggal :

.............................ia diminta keterangan dalam masalah.....................................................................


.....................................................................................................................................................................
.

Selanjutnya atas pertanyaan kami (Pemeriksa), ia memberikan keterangan sebagai berikut:

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.5 - 2

Catatan:
1. BAPK bukanlah sekedar suatu media komunikasi antara pemeriksa dengan pihak pemberi
informasi, namun juga merupakan suatu media untuk mengkonfirmasikan temuan hasil
pemeriksaan kepada pihak-pihak terkait.

2. Penyusunan pertanyaan-pertanyaan dalam BAPK harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:


a. Inventarisasi hal-hal/temuan yang akan dikonfirmasikan kepada pihak terkait,
b. Siapkan bukti pendukung dari temuan tersebut,
c. Susun pertanyaan-pertanyaan yang redaksinya sedemikian rupa sehingga jawaban yang
diperoleh diharapkan sesuai dengan tujuan konfirmasi.

3. Jangan mengajukan pertanyaan yang tidak sesuai dengan temuan yang ada (butir a dan b), atau
pertanyaan lain yang dapat melemahkan substansi temuan tersebut, tanpa ada pertanyaan lain dari
pemeriksa yang menangkalnya.

4. Berikut ini adalah contoh dari pertanyaan dalam BAPK. Pertanyaan BAPK dapat dikembangkan
sesuai dengan masalah, situasi dan kondisi yang ada.

Pertanyaan Jawaban

1. Apakah Suadara mengerti mengapa hari ini diminta keterangan oleh pemeriksa?
1. Jawaban: .......................................................

2. Apakah Saudara pada hari ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani?
2. Jawaban: .......................................................

3. Bersediakan Saudara memberikan keterangan sehubungan dengan kasus...................?


3. Jawaban: .......................................................

4. Harap Saudara jelaskan tentang tugas pekerjaan yang dibebankan dan menjadi tanggung jawab
Saudara?
4. Jawaban: .......................................................

5. Sejak kapan Saudara mulai melakukan tugas pekerjaan itu?


5. Jawaban: .......................................................

6. Siapakah yang berwenang dan berhak memerintahkan Saudara untuk melakukan tugas
pekerjaan tersebut?
6. Jawaban: .......................................................

7. Siapa saja yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung baik atasan/bawahan dengan
tugas pekerjaan tersebut?
7. Jawaban: .......................................................

8. Bagaimana mekanisme pelaksanaan tugas pekerjaan tersebut?


8. Jawaban: .......................................................

9. Sejak kapan Saudara melakukan perbuatan tersebut?


9. Jawaban: .......................................................

10. Siapa yang memerintah Saudara untuk melakukan perbuatan tersebut?


10. Jawaban: .......................................................

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.5 - 3

11. Saudara sadar bahwa Saudara telah melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan
(menerima suap, merekayasa nilai pengeluaran uang, memalsukan dokumen pendukung
pengeluaran,...), bagaimana jawab Saudara?
11. Jawaban: .......................................................

12. Jika Saudara mengerti perbuatan tersebut menyimpang, mengapa Saudara melakukannya?
12. Jawaban: .......................................................

13. Saudara sadar bahwa perbuatan Saudara berakibat merugikan negara/orang lain/ merusak citra
Saudara sebagai pegawai, bagaimana jawab Saudara?
13. Jawaban: .......................................................

14. Apakah ada hal-hal lain yang perlu Saudara sampaikan kepada kami dalam kesempatan ini?
14. Jawaban: .......................................................

15. Apakah jawaban Saudara di atas adalah benar dan bukan karena paksaan/ tekanan atau
pengaruh dari kami peminta keterangan?
15. Jawaban: .......................................................

Demikian Berita Acara Permintaan Keterangan ini kami buat dengan sebenarnya dan permintaan
keterangan ini kami akhiri. Selanjutnya Berita Acara Permintaan Keterangan ini dilihat dan dibaca
sendiri oleh yang bersangkutan dan setelah mengerti isinya serta membenarkan semua
keterangannya, maka ia membubuhkan tanda tangannya seperti di bawah ini dan membubuhkan
parafnya pada halaman-halaman di muka
Yang memberi keterangan

(nama lengkap)

Berita Acara Permintaan Keterangan ini kami buat dengan sebenarnya, dengan mengingat sumpah
jabatan kami sekarang ini, kemudian ditutup dan ditandatangani pada hari ini dan tanggal seperti
tersebut di atas.
Yang meminta keterangan

1. .......................................................................................

2. .......................................................................................

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.6 - 1

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN


REPUBLIK INDONESIA

BERITA ACARA PEMERIKSAAN FISIK

Pada hari ini .........................tanggal ....................... sampai dengan tanggal..............bulan


.................... tahun ................. kami:

Nama : .............................................................
NIP : .............................................................
Jabatan : .............................................................

Nama : .............................................................
NIP : .............................................................
Jabatan : .............................................................

Berdasarkan Surat Tugas Nomor : .............................................................


tanggal.............................. telah melakukan pemeriksaan fisik dengan hasil :

...............................................................................................................................................................
...............................................................................................................................................................
...............................................................................................................................................................
...............................................................................................................................................................
...............................................................................................................................................................
...............................................................................................................................................................
...............................................................................................................................................................
..........................................

Yang menguasai fisik barang Pemeriksa:

Nama : 1.........................................
NIP :
Jabatan : 2.........................................

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.6 - 2

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN


REPUBLIK INDONESIA

BERITA ACARA PEMERIKSAAN FISIK


Pada hari ini……..sampai dengan …….atau dari tanggal ………..sampai dengan tanggal…… sesuai
dengan Surat Tugas Nomor: …….tanggal… telah dilakukan pemeriksaan fisik dengan hasil sebagai
berikut:

Nama/Kode Proyek: :
Departemen/Lembaga :

Pekerjaan Kontrak Nilai Fisik Jenis Berita Acara/Kuitansi Fiktif Nilai Realisasi Ket
No Yang Barang Menurut Pekerjaan atau Tidak Benar Tidak Sesuai
Diperiksa Diperiksa Pemerik Tidak Sesuai Kontrak
Fisiknya saan Kontrak
No Ni No & Fisik Nilai Kon Reali Seli
& lai Tgl Diperiksa Fiktif trak sasi sih
Tgl Fiktif
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Penanggung Jawab Pemeriksa


Nama : 1..........................................
NIP : 2..........................................
Jabatan :

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.7- 1

PENGAMANAN ALAT/ BARANG BUKTI DAN KKP


1. Alat/ barang bukti tidak disimpan oleh pemeriksa, barang bukti tersebut harus disegel/diamankan
oleh penanggung jawab alat/barang bukti dengan sepengetahuan pejabat yang berwenang dari
entitas yang diperiksa dan pemeriksa. Untuk itu perlu dibuat berita acara pengamanan barang
bukti.
2. Pihak entitas yang diperiksa atau penanggung jawab alat/ barang bukti, diminta untuk membuat
“pernyataan kelengkapan alat/ barang bukti yang diperiksa” untuk meyakinkan bahwa tidak ada
barang bukti lainnya yang belum diserahkan/ diperlihatkan.
3. Dokumentasi hasil pengumpulan dokumen
Dokumen dikumpulkan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan Investigatif.
Pada setiap kertas kerja pemeriksaan memuat dengan jelas tanggal, nama, paraf penyusun, dan
paraf penelaah kertas kerja pemeriksaan.
Selain itu, pada setiap kertas kerja pemeriksaan yang berupa berita acara yang jumlah
halamannya lebih dari satu halaman, setiap lembar berita acara harus diparaf oleh pemberi
penegasan dan peminta penegasan.
Sesuai dengan prosedur dan teknik pemeriksaan yang digunakan, maka kertas kerja pemeriksaan
dan bukti pendukung lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Susunan dan isi minimal kertas
kerja pemeriksaan adalah sebagai berikut:
3.1 Data umum termasuk struktur organisasi.
3.2 Hasil penelaahan ketentuan perundang–undangan dan pengendalian intern pada kasus
penyimpangan yang diidentifikasi merugikan keuangan negara.
3.3 Fakta dan proses kejadian kasus atau modus operandi (termasuk bagan arus).
3.4 Penyebab dan akibat penyimpangan.
3.5 Penghitungan jumlah kerugian keuangan negara.
3.6 Pihak–pihak yang diduga terlibat atas kerugian negara.
3.7 Tindak lanjut yang telah dilakukan oleh pihak instansi yang diperiksa.
3.8 Pemaparan tim pemeriksaan di lingkungan BPK dan dengan Aparat Penegak Hukum atas
kasus.
3.9 Risalah pembicaraan akhir hasil pemeriksaan antara pemeriksa dengan instansi yang
diperiksa.
3.10 Surat pernyataan kesanggupan untuk mengganti kerugian keuangan negara beserta
jaminannya dalam kasus tuntuan ganti rugi.
3.11 Berita acara penegasan dan surat pernyataan lainnya.
3.12 Berita acara peminjaman barang bukti.
3.13 Berita acara pengamanan barang bukti.
3.14 Berita acara pemeriksaan kas/fisik.
3.15 Pernyataan tentang kelengkapan barang bukti yang diperiksa.
3.16 Kesepakatan dan pelaksanaan tindak lanjut dengan instansi yang diperiksa yang memuat
kesepakatan tentang langkah perbaikan/pengamanan yang telah dilaksanakan dan rencana
pelaksanaan tindak lanjut di masa datang.
3.17 Berita acara kesepakatan antara BPK dan Instansi yang diperiksa. Apabila surat
kesepakatan tidak diperoleh, maka kesepakatan dapat dituangkan dalam bentuk lain.
3.18 Pihak pihak yang diduga bertanggungjawab.
3.18.1 Dalam menentukan pihak yang diduga terlibat harus dibedakan antara pihak
swasta dan pejabat/pegawai negeri, ABRI dan BUMN/BUMD.
3.18.2 Pengungkapan identitas pelaku pihak swasta, antara lain: nama,
pekerjaan/jabatan, dan alamat, dan data lainnya, serta peranan dan tanggung
jawabnya dalam kasus tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.
3.18.3 Pengungkapan identitas pejabat/pegawai negeri, TNI/ Polri dan BUMN/ BUMD,
antara lain: nama, pekerjaan/ jabatan, NIP/NIK/NRP/ NPP, alamat dan data
lainnya, serta peranan dan tanggung jawabnya dalam kasus tersebut, baik secara
langsung maupun tidak langsung.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.7- 2

Di dalam laporan pemeriksaan uraian mengenai pihak yang diduga terlibat hanya
mencantumkan kuantitas dan kode pelaku serta peran keterlibatannya. Penjelasan lebih
rinci mengenai pejabat yang diduga terlibat disajikan dalam bentuk lampiran tersendiri.
Lampiran tersebut disampaikan bersamaan dengan penyampaian surat pengantar masalah.

3.19 Berita acara penegasan.


Keterangan yang akan digunakan untuk mendukung temuan, dituangkan dalam berita
acara penegasan dan dibuat sebelum pelaksanaan pemaparan intern.
Berita acara harus mencakup materi temuan pemeriksaan secara jelas, sehingga tergambar
perbuatan yang bersangkutan, dan memudahkan pejabat yang berwenang menindaklanjuti
sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Perlu diperhatikan, bahwa berita acara ini bukan hanya merupakan media komunikasi
antara pemeriksa dan instansi yang diperiksa serta pihak lain yang dipandang perlu untuk
memberikan informasi, melainkan juga sebagai media untuk mengkonfirmasikan materi
temuan tersebut kepada pihak yang terkait.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam menyusun pertanyaan untuk berita acara
harus memperhatikan hal–hal berikut ini:
3.19.1 Inventarisasi temuan yang perlu dikonfirmasikan kepada pihak terkait.
3.19.2 Inventarisasi dan penegasan bukti dari temuan di atas.
3.19.3 Atas inventarisasi dan penegasan bukti dari temuan di atas, disusun pertanyaan
yang mengarah untuk memperoleh jawaban dalam rangka penegasan materi
temuan.
Pemeriksa agar tidak mengajukan pertanyaan yang tidak mengacu pada temuan dan bukti
tersebut di atas dan atau pertanyaan lain yang jawabannya melemahkan substansi temuan
tanpa dapat direspon dengan pertanyaan lain dari pemeriksa.
Oleh karena itu, berita acara penegasan hanya memuat pertanyaan–pertanyaan untuk
tujuan konfirmasi yang secara formal harus dimuat dalam berita acara. Pertanyaan tersebut
disusun dan dikembangkan sesuai kebutuhan dan sesuai materi temuan yang akan
diungkapkan dalam laporan pemeriksaan.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.8-1

MATRIKS UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI

1. Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.

Indikasi unsur tindak pidana


Indeks
No. Unsur Tindak Pidana yang ditemukan dalam Alat Bukti
KKP
pemeriksaan
1 Setiap Orang
2 Secara melawan hukum
3 Melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi
4 Dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara
Kesimpulan :
1.
2.

2. Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Indikasi unsur tindak pidana


Indeks
No. Unsur Tindak Pidana yang ditemukan dalam Alat Bukti
KKP
pemeriksaan
1 Setiap Orang
2 Dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi
3 Menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana.
4 Yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan.
5 Dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara
Kesimpulan :
1.
2.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.8-2

Contoh:
PASAL 2 UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 1999

Indikasi unsur tindak


Indeks
No. Unsur Tindak Pidana pidana yang ditemukan Alat Bukti
KKP
dalam pemeriksaan
1 Setiap Orang Bupati Kibul, selaku pihak KTP/SIM/SK
yang membuat otorisasi untuk pengangkatan Kibul
pengeluaran kas bon sebagai Bupati
sekaligus pihak penerima kas
bon
2 Secara melawan hukum Dalam pertanggungjawaban Bukti permintaan dan
dana terdapat penyimpangan pengeluaran kas bon
sekurang-kurangnya Rp5M dari BUD kepada
yaitu berupa: SPJ fiktif Bupati
Rp3M; tranfer ke rekening
pribadi Rp2M
Bukti penggunaan
kas bon (kuitansi pen.
oleh Bupati)
Bukti pertggjwban
penggunaan kas bon
3 Melakukan perbuatan Kronologis permintaan Dok pertggjwban kas
memperkaya diri sendiri atau pembayaran kas bon dan bon yang tidak di
orang lain atau suatu pemberian persetujuan oleh anggarkan dalam
korporasi bupati untuk pembayaran APBD
kepada bupati
Perda APBD dan
DASK
4 Dapat merugikan keuangan Merugikan keuangan daerah Berkurangnya saldo
negara atau perekonomian sekurang-kurang nya Rp5M kas daerah
negara
Kesimpulan :
1.
2.
3.

Catatan:
Matriks Tindak Pidana Korupsi, merupakan Kertas Kerja Pemeriksaan Investigatif, bukan merupakan
lampiran dari Laporan Pemeriksaan Investigatif.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran VI.1

FORMULIR PENGORGANISASIAN LAPORAN


HASIL PEMERIKSAAN INVESTIGATIF

No No & Tgl Laporan Jumlah Distribusi No & Tgl Tindak Penjelasan


Halaman Laporan Surat Lanjut
Laporan Pengantar
1 2 3 4 5 6 7
1 Pengembangan
temuan pemeriksaan
keuangan/
pemeriksaan
kinerja/PDTT
1)
2)
Sub total 1
2 Tindak Lanjut Surat
Pengaduan
1)
2)
Sub total 2
3 Permintaan dari
Instansi yg
berwenang:
1)
2)
Sub total 3
4 Penugasan Gabungan
Total

Penjelasan:
Penanggung jawab pemeriksaan mengorganisasikan laporan pemeriksaan investigatif yang
diterbitkannya, berdasarkan kelompok informasi awal sebagai dasar melakukan pemeriksaan investigatif,
dengan menggunakan formulir pengorganisasian laporan pemeriksaan investigatif.
1. Kolom 1: Nomor Urut. Diisi nomor urut sesuai dengan urutan laporan pemeriksaan investigatif yang
diterbitkan
2. Kolom 2: Nomor dan Tanggal Laporan. Diisi dengan nomor dan tanggal laporan yang diterbitkan.
3. Kolom 3: Jumlah Halaman Laporan. Diisi dengan jumlah halaman laporan yang diterbitkan.
4. Kolom 4: Distribusi Laporan. Diisi dengan informasi instansi/pejabat yang memperoleh distribusi
laporan
5. Kolom 5: Nomor dan Tanggal Surat Pengantar. Diisi dengan nomor dan tanggal Surat Pengantar
yang diterbitkan.
6. Kolom 6: Tindak Lanjut. diisi dengan informasi mengenai tindak lanjut laporan yang telah
diserahkan kepada intansi yang berwenang melakukan tindak lanjut.
7. Kolom 7: Penjelasan. Diisi dengan informasi penting lainnya berkaitan dengan laporan pemeriksaan
investigatif.

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran VI.2

MATRIK KOMUNIKASI KEGIATAN


PEMBUATAN LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN INVESTIGATIF

NO KEGIATAN K. TIM DALNIS P. JAWAB KETUA


1 Ketua Tim menyampaikan draf I laporan Tgl. ____
2 Dalnis mulai mereviu draf I laporan Tgl. ___
3 Dalnis selesai mereviu draf I laporan Tgl. ___
4 Ketua Tim mulai memperbaiki draf I laporan Tgl. ____
5 Ketua Tim menyampaikan draf II laporan Tgl. ____
6 Dalnis mulai mereviu draf II laporan Tgl. ___
7 Dalnis selesai mereviu draf II laporan Tgl. ___
8 Ketua Tim mulai memperbaiki draf II laporan Tgl. ____
9 Ketua Tim menyampaikan draf III laporan Tgl. ____
10 Dalnis menyampaikan draf akhir laporan Tgl. ___
11 P. Jawab mulai mereviu draf akhir laporan Tgl. ___
12 P. Jawab selesai mereviu draf akhir laporan Tgl. ___
13 Ketua Tim mulai meperbaiki draf akhir
laporan
Tgl. ____
14 Ketua Tim menyampaikan laporan kepada
Dalnis
Tgl. ____
15 Dalnis menerima laporan Tgl. ___
16 Dalnis menyerahkan laporan kepada P. Jawab Tgl. ___
17 P. Jawab menerima laporan Tgl. ___
18 P. Jawab menandatangani laporan Tgl. ___
19 P. Jawab menyampaikan laporan kepada
Ketua BPK
Tgl. ___
20 Ketua BPK menerima laporan Tgl. ___
21 Ketua BPK menanda tangani Surat Pengantar
Laporan
Tgl. ___

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran VII.1 - .1

MEKANISME PERMINTAAN PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA


1. Permintaan Penghitungan Kerugian Negara Ke Ketua

Permintaan Penghitungan Kerugian Negara ke Ketua

Instansi yg Ditama
Ketua BPK TPPI Tortama Lain-lain
Berwenang Binbangkum

Permintaan Permintaan
penghitungan penghitungan

Permintaan Permintaan
Menugaskan
penghitungan penghitungan
menelahaan

Permintaan
Permintaan Menugaskan Menghadiri
pemaparan
Pemaparan menelahaan Pemaparan

Hasil
Pemaparan
Paparan

Hasil
Penelahaan
Paparan

Cukup Jelas
& yakin. Ya

Tmsk unsur
pidana?
Bukti Tidak
tambahan
HT: tidak Tidak Belum/
dilakukan PI Cukup
Bukti?
Ya

Permintaan
Bukti tamb

Permintaan Permintaan
Bukti tmbhn Bukti tmbhn

Penelahaan
Ada kerug?

Tidak
Kerug
Neg?
Ya

HT:dilakukan Hasil
PI Telahaan

Menugaskan

Disposisi Tim

Disposisi

Tim

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran VII.1 - .2

2. Permintaan Penghitungan Kerugian Negara Ke Kepala Perwakilan

Permintaan Penghitungan Kerugian Negara ke BPK Perwakilan

Instansi yg Ditama
Kalan Tortama TPPI Ketua BPK Lain-lain
Berwenang Binbangkum

Permintaan Permintaan Permintaan Permintaan


penghitungan penghitungan penghitungan penghitungan

Menugaskan
Melaporkan Permintaan Menghadiri
menelahaan
Permintaan Pemaparan Pemaparan
pemaparan

Pemaparan

Hasil
Paparan
Hasil
Paparan

Penelahaan

Cukup Jelas
Ya
& yakin.
Tmsk unsur
pidana?
Bukti Tidak
tambahan
Belum/ Tidak HT: tidak
Cukup dilakukan PI
Bukti?
Ya

Permintaan
Bukti tamb

Permintaan Permintaan
Bukti tmbhn Bukti tmbhn

Penelahaan
Ada kerug?

Kerug Tidak
Neg?
Ya

Hasil HT:dilakukan
Telahaan PI

Menugaskan

Disposisi Tim

Disposisi

Tim

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN


REPUBLIK INDONESIA
KETUA,

ttd

Anwar Nasution

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Tim

TIM PENYUSUN
JUKNIS PEMERIKSAAN INVESTIGATIF
TAHUN 2008

Pengarah : Udju Djuhaeri


Nara Sumber : 1. Hendar Ristriawan

2. Gatot Supiartono

Penanggung Jawab : Daeng M. Nazier


Ketua : Gudono
Wakil Ketua : Astilda Sinabutar
Sekretaris : Tiwi Pawitasari
Anggota : 1. Iman Santoso

2. Alwiyen Edison Situmorang

3. Lukman Hakim

4. Sumarsana

5. Silpana Suryani

6. Dwiyana Novisanti

7. Intan Rahayu Widhiastuti

8. Catharina Sri Kariningsih

9. Cahyo Anggoro

10.Latifah Dewi Tutiana

11.Aurora Magdalena

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan


Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Tim

Direktorat Penelitian dan Pengembangan Telp. : 021-5704395 Ext.327


Badan Pemeriksa Keuangan Fax. : 021-5705376
Gd. Arsip Lantai II e-mail : litbangpdtt@bpk.go.id
Jl. Gatot Subroto No. 31
Jakarta Pusat 10210

Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan

Anda mungkin juga menyukai