Adoc - Pub Daerah
Adoc - Pub Daerah
Nomor : 17/K/I-XIII.2/12/2008
Tanggal : 24 Desember 2008
301.000/2008
PETUNJUK TEKNIS
PEMERIKSAAN INVESTIGATIF
ATAS INDIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI
YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH
2008
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
UUD 1945
PMP
400
Sistem Pemerolehan Keyakinan Mutu
500
Penatalaksanaan Kertas Kerja Pemeriksaan
600
Pemeriksaan Berperspektif Lingkungan Hidup
102.000
Pemeriksaan LKPD
103.000
Pemeriksaan atas Laporan
Keuangan Bank Indonesia
400.001
Reviu Pemeriksaan
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................................... i
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Tujuan ...................................................................................................... 2
C. Lingkup Bahasan....................................................................................... 3
D. Dasar Hukum Penyusunan......................................................................... 4
E. Sistematika Penulisan ................................................................................ 4
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM
GLOSARIUM JUKNIS PEMERIKSAAN INVESTIGATIF
KETERANGAN GAMBAR
LAMPIRAN
TIM PENYUSUN JUKNIS PEMERIKSAAN INVESTIGATIF
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
01 Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menyebabkan kerugian Kedudukan dan peran
BPK yang semakin kuat
bagi negara dan melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk mengakibatkan BPK
itu, KKN di Indonesia harus diperangi dengan usaha keras dan langkah perlu mengatur hal-hal
tegas secara konsep maupun sistematis. pokok yang memberikan
landasan yang seragam
bagi pemeriksa dalam
02 BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa melakukan pemeriksaan
pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, memiliki komitmen yang investigatif
kuat untuk memerangi KKN bersama – sama dengan semua pihak.
03 Kedudukan BPK dalam struktur kenegaraan semakin kuat pasca
amandemen UUD 1945 yang mengubah ketentuan tentang BPK dari
semula hanya 1 ayat menjadi 3 pasal 7 ayat. Kedudukan yang semakin kuat
ini didukung dengan diterbitkannya Undang–Undang (UU) No. 17 Tahun
2003, UU No. 1 Tahun 2004, UU No. 15 Tahun 2004, dan UU No. 15
Tahun 2006. Perubahan mendasar terletak pada lingkup pemeriksaan BPK
yang semula hanya memeriksa tanggung jawab keuangan negara, menjadi
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hal ini
membawa konsekuensi yuridis semakin besarnya mandat yang diemban
BPK. Untuk menyelenggarakan mandat tersebut berdasarkan Pasal 4 UU
No. 15 Tahun 2006, BPK melaksanakan pemeriksaan keuangan negara
yang meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan
dengan tujuan tertentu.
04 Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan
dengan tujuan khusus di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan
kinerja, yaitu untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa.
Termasuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan
investigatif. Pemeriksaan investigatif merupakan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu dengan prosedur eksaminasi.
05 Pemeriksaan investigatif dilakukan berdasarkan informasi awal yang
bersumber dari internal maupun eksternal BPK. Berdasarkan Pasal 13 UU
No. 15 Tahun 2004, pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan
investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah
dan/atau unsur pidana.
06 Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Pernyataan Standar
Pemeriksaan (PSP) 06 dan 07, menyatakan bahwa tujuan tersebut di atas
dicapai dengan cara mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan
peraturan perundang-undangan, kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan
(abuse). Penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan
tersebut adalah penyimpangan yang mengandung unsur pidana yang terkait
dengan hal yang diperiksa.
07 Selanjutnya ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 mengatur
bahwa “apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera
melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”. Laporan tersebut dijadikan
sebagai dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
08 Pemeriksaan investigatif yang dilakukan berdasarkan Pasal 13 UU No. 15
B. Tujuan
14 Tujuan Juknis pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi Tujuan Juknis
Pemeriksaan Investigatif
yang mengakibatkan kerugian negara/daerah ini adalah untuk :
1. Menyamakan pemahaman atas pemeriksaan investigatif atas indikasi
tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah;
2. Memberikan pedoman kepada pemeriksa yang melakukan pemeriksaan
investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan
kerugian negara/daerah sehingga perencanaan, pelaksanaan, dan
pelaporan pemeriksaan investigatif dapat selaras dan dapat segera
ditindaklanjuti oleh instansi yang berwenang;
3. Mengefektifkan pelaksanaan pemeriksaan investigatif atas indikasi
tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah agar
mencapai hasil pemeriksaan yang optimal sesuai dengan standar
pemeriksaan.
C. Lingkup Bahasan
15 Juknis pemeriksaan ini mengatur tentang tata cara pelaksanaan pemeriksaan Lingkup juknis
investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan
kerugian negara/daerah mulai dari tahap pra pemeriksaan investigatif hingga
tahap pelaporan. Juknis ini juga berisi pedoman pelaksanaan pemeriksaan
investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara/daerah atas
permintaan instansi yang berwenang.
16 Definisi keuangan negara/daerah mengacu kepada definisi yang terdapat
dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 yaitu semua hak
dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu
baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan
negara tersebut meliputi:
1. Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;
2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
3. Penerimaan Negara;
4. Pengeluaran Negara;
5. Penerimaan Daerah;
6. Pengeluaran Daerah;
7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
17 Pengertian kerugian negara/daerah dapat diartikan sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 dan pengertian dalam
perspektif Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001.
Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
mendefinisikan kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat
berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Dalam perspektif Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kerugian negara
adalah kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau
tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya dibedakan atas:
1. Kerugian yang secara nyata telah ada, yaitu kerugian negara yang sudah
dapat dihitung jumlahnya; dan
2. Kerugian yang belum nyata dan pasti atau masih bersifat potensi.
Meskipun baru potensi, nilai kerugian negara tersebut harus dapat
dihitung.
E. Sistematika Penulisan
19 Juknis Pemeriksaan ini disusun dengan sistematika penyajian sebagai Juknis ini terdiri dari
delapan bab
berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab II : Gambaran Umum
Bab III : Pra Pemeriksaan Investigatif
Bab IV : Persiapan Pemeriksaan Investigatif
Bab V : Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif
Bab VI : Pelaporan Pemeriksaan Investigatif
Bab VII : Penghitungan Kerugian Negara/Daerah
Bab VIII : Penutup
Referensi
Lampiran-Lampiran
BAB II
BAB II
GAMBARAN UMUM
06 Secara garis besar langkah – langkah pemeriksaan investigatif sebagai Garis besar langkah
pemeriksaan investigatif
berikut:
1. Menganalisis data yang tersedia. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan
pra pemeriksaan investigatif.
2. Mengembangkan hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan
persiapan pemeriksaan.
3. Menguji dan memperbaiki hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada
tahapan pelaksanaan pemeriksaan.
07 Dalam pemeriksaan, pemeriksa harus melakukan penelusuran yang Penelusuran fakta terkait
penyimpangan dan niat
mengarah pada upaya menemukan fakta serta menghindari pengumpulan pelaku
fakta dan data yang berlebihan secara prematur. Penelusuran dapat
berdasarkan adanya dugaan, pengaduan, kecurigaan, dan fakta-fakta yang
selanjutnya dianalisa untuk membuktikan kebenaran adanya penyimpangan.
08 Pemeriksaan investigatif perlu menggali niat pelaku melakukan
penyimpangan dan mampu membuktikan apakah penyimpangan dilakukan
di dalam pembukuan atau di luar pembukuan.
09 Secara teori terdapat empat hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya Empat hal penyebab
terjadinya
penyimpangan, yaitu motivasi (motivation), adanya kesempatan penyimpangan
(opportunity), rasionalisasi (rationalisation), serta adanya kemampuan
(capability).
Motivasi pelaku untuk melakukan penyimpangan sangat beragam, mulai
dari alasan ekonomi, tekanan dari atasan, sampai balas dendam. Adanya
kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindakan menyimpang terkait
dengan lemahnya Sistem Pengendalian Intern entitas yang diperiksa.
Rasionalisasi terkait dengan pembenaran diri si pelaku terkait dengan
budaya di entitas yang diperiksa, misalnya tidak adanya hukuman setimpal
yang diberikan atas penyimpangan yang diperiksa atau keyakinan untuk
mengembalikan aset yang diambil.
Ketiga penyebab tersebut hanya akan terlaksana apabila pelaku memiliki
kemampuan untuk melakukan tindakan penyimpangan, misalnya keahlian
teknologi yang memudahkan pelaku untuk memalsukan dokumen.
10 Dalam pelaksanaan pemeriksaan, kesempatan diberikan kepada pihak Tanggapan dari pihak
terkait
terkait untuk menyampaikan pendapatnya mengenai kejadian yang
sebenarnya berdasarkan pendapat mereka masing–masing, dimana dan
bilamana peristiwa terjadi sehingga tersedia kesempatan untuk
membenarkan atau menolak semua indikasi, pengaduan, tuduhan atau
penyimpangan tersebut.
C. Jenis Penyimpangan
11 Konvensi PBB anti korupsi atau United Nations Convention Against Jenis penyimpangan
menurut UNCAC dan
Corruption (UNCAC) dalam Pasal 15 sampai 25 menguraikan perbuatan – ACFE
perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana dan penegakan
hukumnya antara lain adalah: menyuap pejabat negara (bribery of national
public officials), menyalahgunakan wewenang (abuse of functions), dan
melakukan pencucian hasil kejahatan (laundering of proceeds of crime).
12 Secara skematis Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)
membahas penyimpangan di tempat kerja atau penyimpangan terkait
dengan pekerjaan/jabatan seseorang (occupational fraud) dalam fraud tree
yang terdiri dari: korupsi (corruption), penyalahgunaan aset (asset
misappropriation), dan salah saji laporan keuangan (fraudulent statements).
13 Istilah korupsi (corruption) menurut ACFE serupa tetapi tidak sama dengan
istilah korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 6
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab II
3. Peraturan yang terkait dengan proses penegakan hukum, antara lain: Peraturan terkait proses
penegakkan hukum
a. UU No. 8 Tahun 1981 mengenai KUHAP;
b. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian;
c. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;
d. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung;
e. UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Tools and Techniques, hal 48-49), kualitas yang harus dimiliki oleh seorang
akuntan forensik adalah:
a. Kreatif (Creative). Kemampuan untuk melihat sesuatu, yang orang lain
menganggap situasi tersebut adalah normal. Dengan intepretasinya ia
yakin bahwa situasi tersebut adalah tidak normal.
b. Rasa ingin tahu (Curious). Keinginan untuk menemukan apa yang
sesungguhnya terjadi dalam rangkaian situasi.
c. Tak menyerah (Persistance). Kemampuan untuk maju terus pantang
mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak mendukung, ketika
dokumen atau informasi sulit diperoleh.
d. Akal sehat (Common Sense). Kemampuan untuk mempertahankan
perspektif dunia nyata, yang mengerti betul kerasnya kehidupan.
e. Pengetahuan Bisnis (Bussines Accument). Kemampuan untuk
memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan, dan bukan
sekedar memahami bagaimana transaksi dicatat.
f. Percaya diri (Self Confidence). Kemampuan untuk mempercayai diri
akan temuannya, sehingga dapat bertahan pada saat diuji dengan
pertanyaan silang dari Jaksa Penuntut Umum dan Pembela.
g. Investigatif (Investigative). Kemampuan untuk melakukan investigasi
dan bagaimana bukti dapat diperoleh, selain ahli dalam bidang
akuntansi dan audit.
h. Kompetensi gabungan (Mixed Competency). Memiliki pengetahuan
yang memadai sebagai pemeriksa investigatif seperti akuntansi, hukum,
permintaan keterangan, dan teknologi informasi.
BAB III
BAB III
PRA PEMERIKSAAN INVESTIGATIF
A. Umum
01 Informasi awal adalah keterangan permulaan mengenai suatu Penelahaan informasi
awal
penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan
(fraud), serta ketidakpatutan (abuse) yang telah/sedang/dan akan terjadi.
02 Tidak semua informasi yang diterima sebagai dasar pelaksanaan
pemeriksaan investigatif memiliki keandalan dan validitas yang sama. Oleh
karena itu, untuk setiap informasi awal yang diterima perlu dilakukan
penelaahan terlebih dahulu.
03 Tujuan dilakukannya penelaahan informasi awal adalah untuk menetapkan Tujuan penelahaan
informasi awal
adanya alasan (predikasi) yang cukup kuat dan akurat sehingga
pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan secara obyektif dan dapat
dipertanggungjawabkan.
04 Informasi yang diperoleh dapat bersumber dari intern BPK seperti: Temuan Sumber informasi awal
Pemeriksaan (TP), Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), inisiatif Badan,
maupun ekstern BPK seperti permintaan instansi yang berwenang/Instansi
Pemerintah/Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), LHP Aparat Pengawasan Intern Pemerintah/SPI, dan
laporan/pengaduan masyarakat.
05 Dokumen yang memuat informasi awal dapat berbentuk surat permintaan
untuk melakukan pemeriksaan dan surat pengaduan dari masyarakat yang
disampaikan secara langsung atau tidak langsung termasuk melalui
teknologi informasi.
06 Dalam tahapan perencanaan pemeriksaan investigatif yang meliputi pra
pemeriksaan investigatif dan persiapan pemeriksaan investigatif dibentuk
Tim Persiapan Pemeriksaan Investigatif (TPPI) oleh Tortama sesuai dengan
kebutuhan.
Tim persiapan pemeriksaan investigatif ini mengacu kepada Panduan
Manajemen Pemeriksaan (PMP) Bab III mengenai perencanaan
pemeriksaan.
07 Telaahan informasi disajikan dalam Hasil Telaahan Informasi Awal, dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III.1.
19 a. Kewenangan BPK
Dilakukan penelahaan terhadap substansi informasi apakah TPKKN
terjadi pada entitas yang merupakan lingkup pemeriksaan BPK sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
20 b. Nilai Kebenaran
Menggambarkan apakah informasi awal, berasal dari sumber
informasi yang handal dan memiliki validitas informasi yang tinggi.
Misalnya: Informasi awal yang diperoleh dari pengembangan temuan
AKN adalah berasal dari sumber informasi yang “sangat diandalkan”,
dan memiliki validitas informasi yang “tinggi”. Sedangkan informasi
yang diperoleh dari seseorang tanpa identitas adalah berasal dari
sumber yang “tidak diketahui” dan memiliki validitas informasi yang
“rendah”.
Jika informasi berasal dari sumber informasi sangat diandalkan dan
memiliki validitas yang tinggi maka nilainya adalah 8 (sangat
diandalkan = 4; validitas tinggi = 4).
Tingkat kehandalan sumber informasi dan validitas informasi ini
mempunyai nilai yang dituangkan dalam skala sebagaimana terlampir
dalam Lampiran III.3.
21 c. Materi informasi
Materi informasi menggambarkan adanya TPKKN.
Jika materi informasi yang disajikan masih diragukan, maka terlebih
dahulu dilakukan pengumpulan keterangan yang diperlukan untuk
melengkapi data yang tersedia agar diperoleh alasan yang cukup
untuk dilakukan pemeriksaan investigatif.
22 d. Kelengkapan Informasi
Informasi awal menyajikan minimum 3 unsur W, yaitu What
(indikasi adanya TPKKN yang dilakukan), Where (dimana TPKKN
dilakukan), dan When (kapan TPKKN dilakukan).
23 2. Proses Penanganan Informasi Awal Proses penanganan
informasi awal
Proses penanganan dalam penelaahan informasi awal mencakup: a.
mengadministrasikan informasi awal, b. memahami informasi awal, c.
menganalisis informasi awal, d. mengevaluasi informasi awal, dan e.
keputusan melaksanakan pemeriksaan investigatif.
24 a. Mengadministrasikan Informasi Awal Mengadministrasikan
informasi
Dalam mengadministrasikan informasi awal, BPK
mempertimbangkan dua hal yaitu: 1) kerahasiaan sumber-sumber
informasi awal dan 2) akuntabilitas penanganan sumber-sumber
informasi awal.
1) Kerahasiaan sumber-sumber informasi awal
a) BPK harus memperlakukan seluruh informasi awal termasuk
pengaduan masyarakat yang diterima sebagai informasi
rahasia dengan cara tidak akan mengungkapkan indentitas
pemberi laporan kepada pihak lain kecuali apabila sebelumnya
BPK telah mendapatkan kewenangan dari pemberi laporan
atau diharuskan oleh ketentuan perundangan-undangan yang
berlaku.
b) Seluruh laporan mengenai terjadinya penyimpangan yang
diterima dari masyarakat harus diidentifikasi antara lain asal
sumber informasi (AKN, DPR/D, Instansi yang berwenang,
APIP), bulan dan tahun laporan diterima, dan lain-lain.
c) Seluruh informasi berbentuk nonelektronis dikonversi menjadi
elektronis untuk memudahkan distribusi dan pengendalian.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 21
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab III
b) Unsur 5W+1H
Dengan menggunakan kriteria 5W + 1H, pelaksanaan evaluasi
atas informasi mencakup hal-hal sebagai berikut:
(1) Jenis TPKKN (what)
Penelaah membandingkan informasi mengenai jenis
TPKKN yang diperoleh dengan bukti-bukti terkait.
Jika dalam pengaduan tersebut belum mengungkap
informasi kemungkinan adanya kerugian negara/ daerah,
hal ini tidak berarti bahwa pengaduan tidak layak untuk
ditindaklanjuti. Faktor–faktor lain yang terungkap akan
mempengaruhi dalam menentukan simpulan.
(2) Pihak yang bertanggungjawab (who)
Penelaah mengidentifikasi pihak–pihak yang mungkin
bertanggung jawab atas TPKKN yang terjadi atau pihak–
pihak terkait yang akan dimintakan keterangannya.
Mungkin saja informasi ini tidak terungkap dalam
pengaduan. Jika demikian halnya, sepanjang informasi
BAB IV
BAB IV
PERSIAPAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF
A. Umum
01 Tujuan persiapan pemeriksaan investigatif adalah agar pelaksanaan Persiapan pemeriksaan
investigatif
pemeriksaan investigatif berjalan efisien dan efektif serta mencapai tujuan.
B. Pengembangan Hipotesa
03 Hipotesa adalah kesimpulan sementara dari hasil telaahan atas informasi Hipotesa merupakan
pernyataan sementara
awal yang berindikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN. yang bersifat prediksi
dari hubungan 2 atau
Contoh hipotesa: lebih variabel
1. Rekanan telah memberikan suap kepada penyelenggara Negara.
2. Panitia pengadaan barang melakukan tender proforma untuk
memenangkan kontraktor A.
3. Bupati X memberikan bantuan sosial fiktif dengan merekayasa proposal
sehingga merugikan keuangan daerah sebesar Rp 10 M.
04 Hipotesa juga merupakan pernyataan sementara yang bersifat prediksi dari
hubungan antara dua atau lebih variabel yang berguna untuk: a)
memberikan batasan serta mempersempit ruang lingkup pemeriksaan
investigatif; b) mempersiapkan pemeriksa terhadap semua fakta dan
hubungan antar fakta yang telah teridentifikasi; c) sebagai alat yang
sederhana dalam membangun fakta–fakta yang tercerai–berai tanpa
koordinasi ke dalam suatu kesatuan penting dan menyeluruh; dan d) sebagai
panduan dalam pengujian serta penyesuaian fakta dan antar fakta.
05 TPKKN yang masih bersifat umum selanjutnya diuraikan menjadi beberapa
hipotesa TPKKN yang lebih spesifik (hipotesa yang disusun oleh TPPI
dapat lebih dari satu hipotesa).
06 Setelah memahami predikasi jenis TPKKN, mendapatkan informasi umum
dari media masa terkait dengan kasus yang diperiksa, serta memperoleh dan
mempelajari laporan pemeriksaan BPK, TPPI menyusun hipotesa secara
singkat dan jelas.
07 Hipotesa berisi kemungkinan: a) TPKKN yang terjadi; b) siapa yang
bertanggung jawab; c) bagaimana TPKKN atau potensi TPKKN terjadi; d)
dimana TPKKN terjadi; e) kurun waktu terjadinya; dan f) terpenuhinya
unsur-unsur TPKKN.
dan Komunikasi.
09 1. Situasi, yang mencakup bagian:
a. Masalah
1) Pernyataan situasi atau permasalahan yang memuat substansi
TPKKN yang dilaporkan atau telah terjadi dan bagaimana
keadaannya pada saat ini.
2) Penyampaian data/bukti pendukung, fakta–fakta atau informasi
tambahan yang menyertai TPKKN yang dilaporkan atau yang
telah terjadi dengan pendekatan terpenuhinya unsur 5W+1H dan
unsur TPKKN.
10 b. Analisis Masalah
1) Permasalahan yang dikemukakan beserta bukti atau informasi
yang menyertai, diuraikan dan dianalisis lebih lanjut guna
memperkuat gambaran substansi TPKKN yang telah terjadi yang
nantinya akan dibuktikan.
2) Analisis masalah merupakan dasar dirumuskannya hipotesa, lebih
lanjut diuraikan ke dalam langkah–langkah pemeriksaan
investigatif yang akan dilaksanakan berikut siapa yang akan
melaksanakan serta rencana waktu pelaksanaannya.
11 c. Simpulan
1) Merupakan simpulan atas analisis masalah yang telah dibuat.
2) Mencantumkan hipotesa sementara secara rinci yang nantinya
dibuktikan melalui pelaksanaan pemeriksaan investigatif.
12 2. Tujuan
Tujuan pemeriksaan investigatif adalah untuk membuktikan adanya
TPKKN sebagaimana dirumuskan dalam hipotesa awal. Tujuan ini
dituangkan dalam suatu pernyataan yang secara ringkas menggambarkan
hal-hal yang diharapkan akan dicapai dalam pelaksanaan pemeriksaan.
Dalam suatu kasus yang kompleks, tujuan dapat dijabarkan lebih lanjut
ke dalam sub-sub komponen yang saling terkait untuk mencapai tujuan
secara keseluruhan.
13 3. Rencana Langkah
Rencana langkah pemeriksaan investigatif mencakup:
a. Menjabarkan rencana langkah-langkah pemeriksaan investigatif
yang akan dilakukan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
b. Masing-masing langkah yang direncanakan disertai dengan
penanggung jawab dan jangka waktu pelaksanaannya.
14 4. Administrasi dan Logistik
Administrasi dan logistik mencakup bagian:
a. Usulan Tim Pemeriksa Investigatif
Menjabarkan komposisi tim pemeriksa, yang mencakup uraian rinci
mengenai nama, jabatan, peran atau kualifikasi yang dibutuhkan.
b. Estimasi Jangka Waktu Pelaksanaan
Menjabarkan tanggal dimulainya pelaksanaan pemeriksaan
investigatif, estimasi total waktu pelaksanaan pemeriksaan dan juga
waktu yang dibutuhkan untuk masing - masing langkah pemeriksaan.
c. Estimasi Total Anggaran Biaya Pemeriksaan Investigatif
Menjabarkan perkiraan total biaya yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan pemeriksaan.
15 5. Komunikasi
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 30
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab IV
Ketua/Angbintama/Kalan
23 Surat tugas dari pemberi tugas memuat sasaran dan ruang lingkup
pemeriksaan berdasarkan rumusan hipotesa yang telah disusun oleh TPPI,
dan rencana jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan.
24 Surat tugas pemeriksaan investigatif yang dikeluarkan oleh BPK, harus
diorganisir hingga diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan. Dengan
demikian dapat diketahui jumlah surat tugas yang diterbitkan, status
penugasan atas surat tugas yang diterbitkan, dan laporan pemeriksaan yang
diterbitkan. Formulir Pengorganisasian Surat Tugas dapat dapat dilihat pada
lampiran IV.3.
25 Susunan tim pemeriksa investigatif adalah sebagai berikut:
1. Penanggung jawab pemeriksaan investigatif.
2. Wakil penanggung jawab pemeriksaan investigatif (jika diperlukan).
3. Pengendali teknis pemeriksaan investigatif.
4. Ketua tim pemeriksa investigatif.
5. Anggota tim pemeriksa investigatif.
Matriks komunikasi kegiatan persiapan pemeriksaan dapat dilihat pada
lampiran IV.4.
Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif
BAB V
BAB V
PELAKSANAAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF
A. Umum
01 Pelaksanaan pemeriksaan investigatif meliputi enam tahap kegiatan, yaitu: Pemeriksaan investigatif
meliputi enam tahap
1. Pembicaraan pendahuluan kegiatan
2. Pengumpulan bukti pemeriksaan berdasarkan hipotesa
3. Analisis dan evaluasi bukti pemeriksaan
4. Pemaparan tim pemeriksa di lingkungan BPK
5. Pemaparan tim pemeriksa kepada instansi yang berwenang
6. Pembicaraan akhir
B. Pembicaraan Pendahuluan
02 Berdasarkan surat tugas, tim pemeriksa investigatif menyelenggarakan Tujuan pembicaraan
pendahuluan
pertemuan dengan pimpinan dan para pejabat dari entitas yang diperiksa
dengan maksud:
1. Menjelaskan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan dalam surat tugas.
2. Memperoleh informasi tambahan dari entitas yang diperiksa dalam
rangka melengkapi informasi yang telah diperoleh sebelumnya.
03 Menciptakan suasana yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan
pemeriksaan, terutama untuk memperoleh dukungan dari entitas yang
diperiksa.
04 Pemeriksa investigatif mengkomunikasikan informasi yang berkaitan
dengan sifat, saat, dan lingkup pemeriksaan serta pelaporan yang
direncanakan atas hal yang dilakukan pemeriksaan kepada entitas yang
diperiksa.
05 Pembicaraan pendahuluan ini tetap harus dilaksanakan walaupun
manajemen puncak dari entitas yang diperiksa tersebut diindikasikan
terlibat dalam kasus yang bersangkutan .
06 Pembicaraan pendahuluan dengan pihak entitas yang diperiksa harus
direncanakan agar tidak mengungkap informasi yang diperlukan secara
rinci untuk mengurangi kemungkinan pelaku menghilangkan,
menyembunyikan, memanipulasi, dan atau merekayasa bukti–bukti asli.
07 Jika dalam pembicaraan pendahuluan, pihak entitas menolak dilakukannya
pemeriksaan investigatif, maka Tim Pemeriksa menempuh langkah –
langkah sesuai dengan Surat Edaran Ketua BPK No. 01/SE/I-VIII.3/9/2007
tanggal 5 September 2007 tentang Penolakan Pemeriksaan.
a. Pasal 10 huruf a UU No. 15 Tahun 2004 dan Pasal 9 ayat (1) huruf
b UU No. 15 Tahun 2006 memberikan kewenangan kepada BPK
untuk meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh setiap
orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan
lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
b. Dokumen yang dikumpulkan adalah dokumen yang terkait dengan
indikasi TPKKN. Dokumen ini didapatkan dari berbagai sumber
baik internal maupun eksternal entitas yang diperiksa.
c. Dalam memperoleh bukti pemeriksaan, pemeriksa dapat:
a. Meminta dokumen kepada pejabat atau pihak terkait lainnya
yang berwenang untuk memberikannya melalui surat yang
dilampiri dengan daftar dokumen yang diminta.
b. Mengecek kesesuaian antara jumlah/jenis dokumen/bukti yang
diterima dengan daftar permintaan dokumen/bukti.
c. Memfotokopi setiap dokumen asli yang diperoleh kemudian
dilegalisasi oleh pembuat dokumen asli atau pejabat yang
berwenang dari entitas yang diperiksa dan distempel dengan
memuat penjelasan “sesuai dengan aslinya dan bukti asli ada di
kantor kami di bawah tanggung jawab Saudara ........”.
d. Jika dokumen yang diperoleh hanya berupa fotokopi, maka
pemeriksa harus melakukan prosedur pemeriksaan lainnya seperti
konfirmasi kepada pihak - pihak yang terkait dengan dokumen
tersebut.
e. Setiap peminjaman dan pengembalian dokumen asli harus
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 36
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V
c. Tujuan dari melakukan pemeriksaan fisik dan pengamatan di Tujuan pemeriksaan fisik
dan pengamatan lapangan
lapangan antara lain adalah:
1) Memahami kelemahan pengendalian intern secara nyata, dan
pemeriksa lebih memahami mengenai proses yang terjadi
sehingga dapat menentukan bukti apa yang perlu diperoleh dan
kepada siapa pemeriksa meminta bukti tersebut.
2) Memperoleh informasi yang lebih lengkap, tepat, kongkrit, dan
terkini tentang keberadaan suatu aktiva atau obyek yang
diperiksa, dengan tujuan untuk menguji apakah jumlah dan
spesifikasi teknis telah sesuai dengan yang ditetapkan.
3) Menentukan keidentikan fisik yang diperiksa dengan informasi/
gambaran yang telah diperoleh sebelumnya.
4) Melengkapi informasi yang sudah ada.
5) Pengecekan atau konfirmasi keterangan, data atau fakta terkait
dengan perkiraan besarnya kerugian karena kerusakan fisik
yang diperiksa.
6) Mencari hubungan antara fisik yang diperiksa dengan peristiwa
TPKKN.
d. Hal–hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan
fisik:
1) Dilakukan dengan cermat dan tepat sehingga dapat diperoleh
gambaran yang lengkap dan jelas.
2) Untuk membantu mengingat apa yang telah diamati perlu
disediakan peralatan/perlengkapan/alat bantu yang diperlukan
misalnya: alat tulis/catatan, peralatan foto, dan alat perekam
handycam.
e. Dokumentasi hasil pengamatan dan pengujian fisik:
1) Hasil pemeriksaan fisik dapat didokumentasikan dalam bentuk
foto dan rekaman wawancara. Dan hasil pengujian fisik dapat
didokumentasikan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan
Fisik.
2) Dokumentasi hasil pengamatan dan pengujian fisik yang baik
akan membantu pemeriksa dalam kegiatan pemeriksaan.
15 4. Memperoleh bukti elektronik/digital Memperoleh bukti
elektronik/digital
a. Perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi
mengakibatkan sumber perolehan bukti mengalami perluasan
sehingga tidak hanya mencakup bukti konvensional, tetapi juga
mencakup bukti non-konvensional seperti bukti elektronik
(electronic evidence) atau bukti digital (digital evidence). Bukti
elektronik (electronic evidence) atau bukti digital (digital evidence)
adalah bukti yang disimpan, diterima atau dikirim dalam bentuk
digital dengan menggunakan perangkat elektronik.
b. Pasal 26A UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) UU No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk Tindak Pidana
Korupsi juga dapat diperoleh dari:
1) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu; dan
2) Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 41
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V
24 6. Penelusuran
Memeriksa dengan jalan menelusuri proses suatu keadaan atau masalah,
kepada sumber atau bahan pembuktiannya.
25 7. Penghitungan kembali
Pembuktian dengan mengusahakan memperoleh informasi dengan cara
memeriksa kebenaran perhitungan (kali, bagi, tambah, kurang, dan lain-
lain). Dalam investigasi, perhitungan yang dihadapi umumnya amat
rumit, didasarkan atas kontrak atau perjanjian yang kompleks, mungkin
sudah terjadi perubahan dan renegosiasi berkali-kali dengan pejabat
yang berbeda.
26 8. Penelaahan pintas
Melakukan penelaahan secara umum dan cepat untuk menemukan hal-
hal yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
27 Penyimpanan Bukti
Bukti yang telah diperoleh harus dikelola dengan baik. Pengamanan alat/
barang bukti dapat dilihat pada lampiran V.7.
28 Hal –hal yang perlu diperhatikan dalam Pengumpulan Bukti adalah :
1. Keberhasilan pelaksanaan pemeriksaan atas TPKKN tergantung pada
situasi, kondisi dan kreativitas pemeriksa investigatif dalam
menerapkan prosedur serta teknik–teknik pemeriksaan secara tepat
untuk mendapatkan bukti-bukti yang kompeten dan relevan.
2. Pemeriksa harus memahami hubungan antara bukti pemeriksaan dengan
alat bukti apa saja yang dapat diterima menurut hukum dalam rangka
mendukung ke arah penuntutan.
29 Dokumentasi pemeriksaan yang terkait dengan persiapan, pelaksanaan, dan
pelaporan pemeriksaan berisi informasi yang cukup agar pemeriksa yang
berpengalaman, tetapi tidak mempunyai hubungan dengan pemeriksaan
tersebut dapat memastikan bahwa dokumentasi tersebut dapat menjadi
bukti yang mendukung pertimbangan dan simpulan pemeriksa.
30 Pendokumentasian dituangkan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP).
Masa penyimpanan KKP disesuaikan dengan masa kadaluarsa penuntutan
kasus pidana sebagaimana yang diatur dalam ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Susunan dan isi minimal KKP dapat dilihat pada
lampiran V.7.
melakukan evaluasi terhadap bukti apabila tidak diperoleh cukup bukti dan
informasi untuk membuat simpulan.
35 Pertimbangan keahlian (value judgment) tidak dapat diberikan oleh
pemeriksa apabila dari bukti yang diperoleh menunjukkan secara jelas suatu
kondisi tanpa perlu interpretasi/ simpulan.
36 Teknik menganalisis bukti Teknik menganalisis
bukti
1. Sesuai dengan hipotesa yang telah disusun dalam persiapan
pemeriksaan, pemeriksa berupaya untuk memperoleh bukti–bukti yang
relevan terhadap kasus yang ditangani melalui berbagai teknik
pemeriksaan.
37 2. Setiap bukti yang diperoleh dibaca dan diinterpretasikan oleh
pemeriksa. Tahapan ini merupakan tahapan yang menentukan dalam
proses pemeriksaan investigatif. Sering kita temui pemeriksa tidak
dapat menginterpretasikan suatu bukti yang diperoleh karena
ketidakmampuan pemeriksa membaca dan menginterpretasikan
sehingga TPKKN tidak diketahui meskipun bukti TPKKN telah
diperoleh.
38 3. Tentukan relevansi bukti yang diperoleh terhadap kasus yang ditangani.
Bukti yang tidak terkait dengan kasus untuk sementara dapat diabaikan.
Suatu bukti yang awalnya dianggap tidak relevan mungkin ternyata
relevan untuk pembuktian suatu kejadian.
39 4. Setelah menentukan relevansi suatu bukti kemudian lakukan verifikasi
dari bukti itu sendiri. Verifikasi yang dimaksudkan disini adalah
menguji dan menilai kebenaran dari bukti itu sendiri. Dalam melakukan
penilaian, pemeriksa dapat meminta dokumen pendukung sebagai bukti
dukungan atas dokumen yang diterima. Sebagai contoh untuk menilai
kebenaran suatu kontrak, pemeriksa dapat meminta dokumen–dokumen
pendukung kontrak seperti Surat Perintah Kerja (SPK).
40 5. Setelah bukti diuji kebenarannya, langkah selanjutnya adalah
memasukkan bukti tersebut dalam rangkaian bukti–bukti yang dapat
menggambarkan kenyataan yang ditemui.
41 6. Hasil rangkaian bukti–bukti tersebut dianalisa secara berkala untuk
menilai apakah hipotesa yang disusun telah menggambarkan kondisi
yang sesungguhnya hingga pada akhirnya analisa ditunjukkan untuk
menyimpulkan terbukti atau tidak terbuktinya suatu TPKKN.
42 Teknik mengevaluasi bukti Teknik mengevaluasi
bukti
1. Hal yang perlu diantisipasi dalam melakukan evaluasi bukti, yaitu
mengenai urutan proses kejadian dan kerangka waktu kejadian. Kedua
hal tersebut dijabarkan dalam bentuk bagan arus kejadian/modus
operandi atau dalam bentuk naratif yang menggambarkan kronologi
fakta kejadian.
43 2. Penyusunan bagan arus dan kronologi fakta kejadian sangat bermanfaat
bagi pemeriksa untuk memahami kondisi sesungguhnya dari kasus yang
ditangani.
44 3. Bagan arus kejadian
a. Bagan arus kejadian merupakan salah satu teknik untuk
memudahkan pemahaman suatu proses kejadian. Melalui
penyusunan bagan arus kejadian dapat diketahui: Apa, Siapa,
Bilamana, dan Bagaimana suatu proses kejadian terjadi.
Perbuatan TPKKN yang dilakukan dalam suatu rangkaian proses
kejadian umumnya dikenal dengan istilah kasus posisi.
b. Kasus posisi merupakan suatu titik awal dan akhir dari perbuatan
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 45
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab V
ini agar BPK memperoleh masukan dari instansi yang berwenang terkait
terpenuhinya indikasi unsur-unsur TPKKN.
51 Pemaparan dapat dihadiri oleh pejabat BPK yang tercantum dalam surat
tugas pemeriksaan, dan pejabat BPK lainnya yang ditunjuk/diundang oleh
penanggung jawab pemeriksaan sesuai kebutuhan beserta dengan instansi
yang berwenang.
Pemaparan dapat dilakukan di kantor Pusat BPK/BPK Perwakilan atau di
kantor instansi yang berwenang sesuai dengan kebutuhan.
52 Pemeriksa memaparkan hasil pemeriksaan dan matrik unsur TPPKN terkait
dengan hasil pemeriksaan tersebut. Contoh Matriks dapat dilihat pada
lampiran V.8.
53 Simpulan hasil pemaparan
Simpulan hasil pemaparan kasus yang mungkin terjadi adalah sebagai
berikut:
1. BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari pemaparan
disimpulkan kasus telah memenuhi indikasi unsur Tindak Pidana
Korupsi dan/atau Tindak Pidana lainnya.
2. BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari pemaparan
disimpulkan kasus belum memenuhi unsur Tindak Pidana Korupsi
dan/atau Tindak Pidana lainnya, karena masih memerlukan data
tambahan. Maka penanggung jawab pemeriksaan dapat menempuh
langkah sebagai berikut:
a. Memerintahkan tim pemeriksaan melakukan pemeriksaan tambahan
untuk memperoleh bukti yang diperlukan.
b. Meminta bantuan aparat penyidik untuk melengkapi bukti yang
diperlukan jika terdapat keterbatasan kewenangan BPK.
G. Pembicaraan Akhir
54 Pada akhir pelaksanaan pemeriksaan investigatif harus dilakukan Pembicaraan akhir
dengan pejabat entitas
pembicaraan akhir pemeriksaan oleh penanggung jawab pemeriksaan atau yang diperiksa
pejabat yang ditunjuk dengan pejabat entitas yang diperiksa.
Namun demikian pembicaraan akhir tersebut harus diatur sedemikian rupa
hingga tidak mengganggu, menghambat atau menyulitkan proses
pembuatan laporan pemeriksaan yang sedang berjalan atau pun proses
perkembangan dari kasus tersebut bilamana ditemukan bukti – bukti baru di
kemudian hari dikarenakan kompleksitas dari kasus tersebut.
55 Secara amannya, pembicaraan akhir pemeriksaan investigatif dapat
dilakukan dengan menyampaikan kepada pejabat instansi berwenang yang
diperiksa mengenai perkembangan akhir kasus tanpa memberikan simpulan
dari kasus tersebut dengan tetap menjaga kerahasiaan substansi atau materi
dari proses dan atau pelaksanaan pemeriksaan yang sedang berjalan.
56 Hasil yang diperoleh dalam pemeriksaan, baik kumpulan fakta, analisa, dan
simpulan tidak wajib disampaikan kepada instansi yang diperiksa, dengan
mempertimbangkan kelancaran proses pembicaraan akhir.
57 Tim pemeriksa menyiapkan notulen pembicaraan akhir (exit meeting) untuk
ditandatangani oleh pejabat entitas yang bertanggung jawab yang diperiksa
atau memperoleh komentar melalui wawancara dengan pejabat instansi
yang diperiksa.
Aksioma dan
BAB VI
BAB VI
PELAPORAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF
A. Umum
01 BPK melaporkan indikasi unsur TPKKN yang ditemukan dalam BPK melaporkan hasil
pemeriksaan yang
pemeriksaan investigatif kepada instansi yang berwenang sesuai dengan mengandung indikasi
ketentuan perundang–undangan, paling lama satu bulan sejak diketahui unsur-unsur TPKKN ke
adanya unsur pidana tersebut, yaitu sejak surat pengantar laporan hasil instansi yang berwenang
diperiksa.
2. Materi Temuan
a. Jenis TPKKN
Bagian ini menguraikan secara singkat klasifikasi TPKKN dan
ketentuan peraturan yang dilanggar.
b. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian
Bagian ini menguraikan fakta dan proses kejadian yang
mencakup penjelasan tentang apa, siapa, dimana, bilamana,
mengapa, dan bagaimana kasus yang sedang diperiksa.
Secara khusus, unsur ”bagaimana” yaitu uraian dari proses
kejadian, harus menjelaskan secara rinci dan gamblang disertai
dengan bagan arus tentang cara terjadinya kerugian
negara/daerah.
Dalam uraian tersebut juga menjelaskan mengenai unsur kerja
sama, yaitu uraian yang menerangkan secara jelas mengenai
tindakan pihak penanggung jawab atau pihak terkait, sehingga
memberikan gambaran adanya kerja sama pihak yang
bersangkutan.
Kerja sama tersebut dapat berupa suatu perbuatan yang
dilakukan secara bersama dalam bentuk pemberian fasilitas,
pemberian kemudahan dalam informasi/data dan atau bentuk
kemudahan lainnya sehingga mengakibatkan kerugian
negara/daerah.
Jika dalam pengungkapan fakta dan proses kejadian, tim
pemeriksa menyebutkan kode penanggung jawab dan atau
pihak yang terkait dalam kegiatan tersebut, pengungkapan
tersebut harus didukung dengan fakta perbuatan, keterlibatan,
bukti pendukung, keterangan pihak terkait lainnya, dan
informasi lain yang dianggap relevan dengan permasalahan,
serta dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.
c. Penyebab dan Akibat TPKKN
Dalam menguraikan faktor penyebab timbulnya TPKKN, perlu
memperhatikan :
1) Kesempatan, misalnya karena lemahnya sistem
pengendalian manajemen dan pelaksanaannya (pengawasan
melekat).
2) Niat atau motivasi, misalnya karena adanya keinginan
melakukan penyimpangan sebagai akibat dari suatu
kebutuhan. Contoh: Kepala Daerah menggunakan APBD
untuk kepentingan pribadi dalam rangka mengikuti Pilkada.
3) Kemampuan, misalnya kemampuan, pengetahuan dan
ketrampilan untuk melakukan penyimpangan.
Dalam menguraikan ”Akibat Penyimpangan”, Tim Pemeriksa
harus memuat indikasi kerugian negara/daerah. Indikasi
kerugian negara/daerah yang diungkapkan dalam nilai uang
dirinci per tahun kejadian. Jika indikasi kerugian negara/daerah
belum dapat ditentukan besarnya, perlu digunakan kata–kata
”sekurang–kurangnya”.
d. Pihak yang Bertanggung Jawab
Dalam pengungkapan pihak yang bertanggung jawab, hasil
pemeriksaan hanya mencantumkan kode penanggung jawab
dan peranannya. Dalam uraian ini tidak diperkenankan
mencantumkan nama orang, organisasi, lembaga dan atau
badan hukum secara lengkap dan jelas.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 51
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VI
BAB VII
BAB VII
PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH
A. Umum
01 Penghitungan kerugian negara/daerah adalah pemeriksaan investigatif Pengertian Penghitungan
yang dilakukan untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah yang Kerugian Negara/Daerah
terjadi akibat penyimpangan dalam pengelolaan keuangan
negara/daerah.
02 Penghitungan kerugian negara/daerah dapat dilakukan berdasarkan
permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung nilai kerugian
negara/daerah atas suatu kasus tindak pidana yang sedang diproses
secara hukum.
03 Pada umumnya, permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung
nilai kerugian negara/daerah dilakukan pada tahap penyidikan.
Permintaan ini biasanya dikaitkan dengan pemberian keterangan ahli
oleh pejabat/staf BPK yang ditugaskan dalam proses peradilan.
04 Penugasan penghitungan kerugian negara/daerah adalah suatu bentuk
pemeriksaan dan bukan sekedar penghitungan secara matematis.
Penghitungan kerugian negara/daerah dilaksanakan dengan
mengevaluasi bukti, yaitu dengan cara membandingkan antara kondisi
dengan kriteria. Selain itu, dalam penghitungan kerugian negara/daerah
seorang pemeriksa juga menilai kebenaran, kredibilitas, dan keandalan
informasi.
05 Kerugian negara/daerah yang dihitung melalui pemeriksaan investigatif
berdasarkan permintaan dari instansi yang berwenang, antara lain dapat
berupa:
1. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah dalam bentuk
uang atau barang yang seharusnya tidak dikeluarkan.
2. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah yang, menurut
kriteria yang berlaku, lebih besar dari yang seharusnya.
3. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima
termasuk di antaranya penerimaan uang palsu atau barang fiktif.
4. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah yang lebih kecil atau
lebih rendah dari yang seharusnya diterima, termasuk di antaranya
penerimaan barang rusak atau yang kualitasnya tidak sesuai.
5. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada.
6. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang
seharusnya.
7. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki atau
diterima menurut aturan yang berlaku.
8. Penerimaan hak negara/daerah yang lebih kecil dari yang seharusnya.
06 Hasil penghitungan kerugian negara/daerah digunakan oleh pejabat/staf
BPK yang ditugaskan sebagai Ahli untuk memberikan keterangan
mengenai kerugian negara dalam proses peradilan.
B. Tujuan
07 Tujuan penghitungan kerugian negara/daerah adalah untuk menentukan Tujuan Penghitungan
ada atau tidak adanya indikasi kerugian negara/daerah, termasuk di Kerugian Negara/Daerah
dalamnya menghitung nilai kerugian negara/daerah yang terjadi
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 53
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VII
C. Ruang Lingkup
08 Ruang lingkup penghitungan kerugian negara/daerah menguraikan Ruang Lingkup
tentang sasaran (program/proyek), lokasi (pusat, wilayah, cabang, atau Penghitungan Kerugian
Negara/Daerah
perwakilan) maupun waktu (tahun anggaran, tahun buku, semester atau
triwulan) sebagaimana dituangkan dalam surat permintaan bantuan dari
instansi yang berwenang yang meminta bantuan penghitungan kerugian
negara/daerah kepada BPK.
10 1. Persiapan Persiapan
Permintaan penghitungan kerugian negara/daerah bisa disampaikan
kepada a. Ketua BPK dan b. Kepala Perwakilan BPK-RI yang berada
di daerah.
11 a. Ketua BPK Permintaan ke Ketua
Permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung indikasi
kerugian negara melalui Ketua BPK. Tahapan persiapan dapat
dilihat pada lampiran VII.1.
diperlukan.
c. Program penghitungan kerugian negara/daerah secara jelas
menetapkan metodologi untuk menghitung kerugian negara
d. Susunan program pemeriksaan
Susunan program penghitungan kerugian negara/daerah
sekurang-kurangnya disusun dengan kerangka sebagai berikut:
1) Dasar pemeriksaan
Menguraikan peraturan perundangan yang menjadi sumber
mandat BPK untuk melakukan pemeriksaan.
2) Alasan pemeriksaan
Menguraikan permintaan pemeriksaan dari instansi yang
berwenang dan hasil penelaahan TPPI atau Kalan atas
kasus yang diminta.
3) Standar pemeriksaan
Menguraikan pedoman yang digunakan BPK sebagai acuan
dalam pelaksanaan pemeriksaan.
4) Tujuan pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan adalah untuk melakukan penghitungan
indikasi kerugian negara yang terjadi pada kasus yang
diperiksa.
5) Instansi yang diperiksa
Menguraikan instansi yang berwenang dalam pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara yang menjadi objek
pemeriksaan.
6) Lingkup yang diperiksa
Menguraikan sasaran, lokasi, dan tahun anggaran yang
diperiksa.
7) Metodologi pemeriksaan
Menguraikan metode yang dipakai dalam pemeriksaan.
8) Pengarahan pemeriksaan
Menguraikan mengenai arahan-arahan dari penanggung
jawab pemeriksaan dalam rangka pemeriksaan.
9) Prosedur/langkah pemeriksaan
Menguraikan langkah-langkah pemeriksaan yang
dilaksanakan oleh tim dalam rangka pelaksanaan
pemeriksaan.
10) Jangka waktu pemeriksaan
Jangka waktu penugasan pemeriksaan disesuaikan dengan
tingkat kesulitan dan kondisi di lapangan.
11) Susunan tim dan biaya pemeriksaan
12) Instansi penerima hasil pemeriksaan
e. Pembuatan surat tugas
Surat tugas penghitungan kerugian negara/daerah ditandatangani
oleh Ketua BPK/Angbintama/pejabat yang ditunjuk.
14 2. Pelaksanaan Pelaksanaan penghitungan
kerugian negara/daerah
Pelaksanaan penghitungan kerugian negara/daerah diuraikan sebagai
berikut:
a. Setelah menerima surat tugas, tim pemeriksa mulai melakukan
koordinasi dengan instansi yang berwenang. Pemeriksa harus
15
3. Pelaporan Pemeriksaan
a. Laporan harus menyajikan hasil pemeriksaan yang telah
dilaksanakan serta memberikan informasi dan penjelasan yang
dipandang perlu berkaitan dengan penugasan pemeriksaan.
b. Bentuk dan susunan laporan pemeriksaan adalah sebagai berikut:
Bab I : Simpulan
Menguraikan jumlah nilai kerugian negara yang terjadi
akibat perbuatan melawan hukum yang berindikasi
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak
terkait.
Bab II : Umum
1) Dasar Penugasan Pemeriksaan
2) Ruang Lingkup Pemeriksaan
3) Data Obyek/Kegiatan yang Diperiksa
4) Batasan tanggung jawab pemeriksaan
Menguraikan pernyataan bahwa tanggung jawab
pemeriksaan terbatas pada pengungkapan kerugian
negara dan menilai besarnya nilai kerugian negara.
Bab III : Uraian Hasil Pemeriksaan
1. Dasar Hukum Obyek/Kegiatan yang Diperiksa
2. Materi Temuan
a. Unsur Indikasi Tindak Pidana Korupsi
b. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian
c. Penyebab dan Akibat
d. Bukti Pendukung Pemeriksaan
e. Metode Penghitungan Kerugian Negara/Daerah
f. Hasil Perhitungan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran
c. Tanda tangan LHP
1) Penandatanganan laporan dilakukan oleh penanggung jawab
pemeriksaan.
2) Penanggung jawab pemeriksaan menyampaikan laporan hasil
pemeriksaan kepada Ketua BPK dengan Nota Dinas
pengantar.
d. Penyampaian LHP
1) Ketua BPK menyampaikan LHP kepada instansi yang
berwenang yang meminta kepada BPK untuk melakukan
penghitungan kerugian negara/daerah.
2) Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan digunakan pejabat
BPK yang ditugaskan untuk memberikan keterangan ahli
dalam proses peradilan. Proses peradilan disini diartikan
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 59
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VII
BAB VIII
BAB VIII
PENUTUP
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : Desember 2008
Anwar Nasution
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan 61
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Bab VIII
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1985, Kamus Hukum Pidana.
Bologna, G. Jack and Linquist, J. Robert, 1995, Fraud Auditing and Forensic Accounting:
New Tools and Techniques, John Wiley & Sons Canada, Ltd, Canada.
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No. 01 Tahun 2007 tentang
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Singleton, W. Tommie, et. al. 2006, Fraud Auditing and Forensic Accounting, edisi ke-tiga,
John Wiley and Sons, New Jersey.
Tuanakotta, M. Theodorus 2007, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, cet.
3, Balai Pustaka, Jakarta.
Singkatan Kepanjangan
A
ACFE : Association of Certified Fraud Examiner
AKN : Auditorat Keuangan Negara
B
BA Berita Acara
BAP Berita Acara Pemeriksaan
BPK Badan Pemeriksa Keuangan
D
Ditama Binbangkum : Direktorat Utama Pembinaan dan Bantuan Hukum
K
Kalan : Kepala Perwakilan
Kasubag : Kepala Sub Bagian
KKP : Kertas Kerja Pemeriksaan
KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi
KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
L
LHP : Laporan Hasil Pemeriksaan
P
P2 : Program Pemeriksaan
PDTT : Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu
S
Satker : Satuan Kerja
SK : Surat Keputusan
SPI : Sistem Pengendalian Intern
SPKN : Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
ST : Surat Tugas
T
Tortama : Auditor Utama
TPKKN : Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian
Negara/Daerah
TPPI : Tim Persiapan Pemeriksaan Investigatif
U
UNCAC : United Nations Convention Against Corruption
GLOSARIUM
A
ACFE : Association of Certified Fraud Examiner (ACFE), yaitu asosiasi
penyedia jasa pendidikan dan pelatihan anti-fraud, yang
mempunyai misi untuk mengurangi kejahatan kerah putih dan
fraud, serta membantu anggotanya untuk mencegah dan
mendeteksi fraud.
Aksioma : Pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa
pembuktian.
B
Badan : Sebutan untuk BPK RI atau juga sebagai pemberi tugas
pemeriksaan. Badan terdiri dari Ketua, Wakil Ketua dan Anggota
BPK RI.
BA : Berita Acara (BA), yaitu laporan tertulis yang bersifat autentik,
dibuat oleh pejabat yang berwenang, mengenai suatu kejadian
tertentu.
BAP : Berita Acara Pemeriksaan (BAP), yaitu laporan tertulis mengenai
jalannya pemeriksaan berupa pendengaran keterangan saksi,
tersangka, atau keterangan ahli, atau pun tentang tindakan-
tindakan lain dalam rangka pemeriksaan/penyidikan.
Barang Bukti : Benda yang diajukan dalam sidang pengadilan untuk
menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan
terdakwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Bukti pemeriksaan : Bukti yang diperoleh pada saat melakukan pemeriksaan antara
lain: bukti pemeriksaan fisik, bukti hasil konfirmasi, bukti
dokumentasi, observasi, bukti hasil tanya jawab dengan instansi
yang diperiksa, dan prosedur analitis.
Bukti dapat menjadi bukti hukum, namun secara umum bukti
pemeriksaan tidak serta merta dapat dijadikan sebagai bukti
hukum. Salah satu kendala yang menghambat diperolehnya bukti
hukum oleh pemeriksa adalah masalah kewenangan. Sebagai
contoh: permintaan keterangan yang dilakukan pemeriksa pada
instansi yang diperiksanya tidak serta merta dapat menjadi bukti
keterangan saksi (atau mungkin terdakwa).
Bukti yang relevan : Bukti yang merupakan salah satu bagian dari rangkaian bukti –
bukti (chain of evidence) yang menggambarkan suatu proses
kejadian atau jika bukti tersebut secara tidak langsung
menunjukkan kenyataan dilakukan atau tidak dilakukannya suatu
perbuatan.
Bukti yang material : Bukti yang mempunyai keterkaitan yang kuat dengan sangkaan
yang diindikasikan. Material tidak dilihat dari besaran dan nilai
yang terkandung dalam bukti tersebut. Bukti ”notulen rapat”
mungkin tidak mempunyai nilai uang, tetapi dokumen tersebut
dapat dijadikan bukti adanya suatu putusan rapat/peserta
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Glosarium
E
Entitas : 1. Satuan yang berwujud; wujud
: 2. Kesatuan unit
F
Forensik : 1. Belonging to, used in, or suitable to court of judicature or to
public discussion and debate.
2. Argumentative, rhetorical.
3. Relating to or dealing with the application of scientific
knowledge to legal problems.
: Terjemahan:
1. Berkenaan dengan pengadilan atau perdebatan publik.
2. Bersifat argumentasi, retorik.
3. Berkenaan dengan penerapan pengetahuan ilmiah pada
masalah hukum.
H
Hasil Pemeriksaan : Produk dari pelaksanaan tugas pemeriksaan yang terdiri dari
KKP, LHP dan dokumen pemeriksaan lainnya.
Hipotesis : Skenario terburuk dari suatu kasus penyimpangan, yaitu,
berdasarkan dugaan, kemungkinan peristiwa terburuk terjadi.
Misalkan dugaan kasus penerimaan uang suap atau kickback,
penggelapan, perbedaan kepentingan, penyimpangan dalam
penyajian laporan keuangan dan lain–lain.
K
Kerugian Negara/Daerah : Berkurangnya kekayaan negara/daerah yang disebabkan oleh
suatu tindakan yang melanggar hukum/kelalaian seseorang.
Ketua Tim : Personil pemeriksa yang bertindak sebagai koordinator
pemeriksaan di lapangan dan bertanggung jawab kepada
pengendali teknis atas pelaksanaan pemeriksaan di lapangan
Keterangan saksi : Salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu.
Keterangan ahli : Keterangan-keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan
KKP : Kertas Kerja Pemeriksaan yaitu catatan-catatan yang dibuat dan
data yang dikumpulkan oleh pemeriksa secara sistematis pada
saat melaksanakan tugas pemeriksaan mulai tahap persiapan
pemeriksaan sampai dengan tahap kesimpulan akhir pembuatan
laporan.
Konfirmasi : Bukti yang diperoleh pada saat melakukan pemeriksaan dengan
cara mengajukan pertanyaan dalam rangka mendapatkan
penegasan dari pihak lain.
M
Matematis : Hal-hal yang berkaitan dengan angka, seperti penghitungan dan
nilai.
O
Opini : Pendapat yang dikeluarkan pemeriksa terhadap laporan keuangan
entitas yang diperiksa.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Glosarium
P
P2 : Program Pemeriksaan (P2), langkah pemeriksaan di lapangan
yang harus dilaksanakan oleh tim pemeriksa.
Pembuktian : Cara membuktikan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti
yang ditentukan oleh undang-undang.
Petunjuk : Perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya,
baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya.
Petunjuk Teknis : Petunjuk yang memuat teknik-teknik dan urutan langkah
Pemeriksaan pemeriksaan yang harus dilakukan terhadap suatu objek
pemeriksaan tertentu yang disesuaikan dengan tujuan dan sarana
pemeriksaan.
Predikasi (predication) The totality of circumstances that would lead to a reasonable,
professionally trained, and prudent individual to believe a fraud
has occurred, is occurring, and/or will occur. Predication is the
basis upon which an examination is commenced. Investigative
Audit should not be conducted without proper predication”
Terjemahan:
Keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan
segala hal yang terkait atau berkaitan yang dapat membawa
seseorang yang memiliki akal sehat, profesional, dan memiliki
tingkat kehati-hatian, untuk yakin bahwa fraud telah, sedang atau
akan terjadi. Predikasi adalah dasar untuk memulai pemeriksaan
investigatif. Pemeriksaan investigatif sebaiknya tidak dilakukan
tanpa adanya predikasi yang memadai.
Prosedur : 1. Tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas.
2. Langkah-langkah yang secara pasti dalam memecahkan suatu
masalah.
T
Tim Pemeriksa : Terdiri dari penanggung jawab, pengendali teknis, ketua tim dan
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Glosarium
anggota tim.
TP : Temuan Pemeriksaan; indikasi permasalahan yang ditemui di
dalam pemeriksaan di lapangan.
TPK : Tindak Pidana Korupsi; tindakan yang mengandung unsur
melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
TPKKN : Istilah yang digunakan dalam juknis ini untuk perbuatan melawan
hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan
kerugian negara/daerah.
TPPI : Tim persiapan pemeriksaan investigatif dalam tahapan
perencanaan pemeriksaan investigatif yang meliputi pra
pemeriksaan investigatif dan persiapan pemeriksaan investigatif.
U
UNCAC : United Nations Convention Against Corruption.
W
Wawancara : Usaha/kegiatan untuk memperoleh keterangan dari orang yang
memiliki atau diduga memiliki keterangan. Tujuan wawancara
adalah mengumpulkan informasi yang penting bagi pemeriksaan
investigatif dan mengenai perilaku dari orang yang diwawancarai.
KETERANGAN GAMBAR
No Gambar Keterangan
1 Proses/Aktivitas
2 Dokumen
Operasi Manual
5
6 Penyimpanan data
LAMPIRAN
Hasil telaahan:
- Cukup alasan, karena____
- Perlu melengkapi informasi, karena _______
- Tidak cukup alasan, karena _____
Tim Persiapan
Pemeriksaan Investigatif
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Penelahaan
Menugaskan
Ya
Ckp
Alasan?
Tidak
Lap Hasil
telahaan
Disposisi Tim
Khusus
Disposisi
Tim
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Penelahaan
Ya
Y/T
Menyampaikan Tidak
ke Ketua
Menyampaikan
ke Tortama
Menyampaikan
ke Ketua Menyampaikan
ke Tortama
Menugaskan
Disposisi Tim
Disposisi
Tim
Ya
Tidak
Tidak
Validitas Informasi
Jumlah Jumlah
(tempat),
(tanggal/bulan/tahun)
Catatan :
a. Informasi dalam penelaahan
b. Informasi telah ditindaklanjuti ......(nama)........
c. Informasi yang sudah diteruskan ke intansi yang berwenang untuk
penyidikan NIP. .........
d. Informasi yang tidak ditindaklanjuti
e. Informasi sudah diserahkan ke intansi yang berwenang
f. Informasi tidak diserahkan ke intansi yang berwenang
Hasil telaahan:
- Cukup alasan, karena____
- Perlu melengkapi informasi, karena _______
- Tidak cukup alasan, karena _____
Tim Persiapan
Pemeriksaan Investigatif
Hipotesis: terjadi indikasi tindak pidana korupsi di APBD Kabupaten X tahun anggaran 2006-
2007 melalui mekanisme kas bon.
UMUM
1. Dapatkan informasi umum dengan mempelajari laporan dan kertas kerja pemeriksaan sebelumnya.
2. Dapatkan dan pelajari PP No. 105/2000 tentang pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan daerah.
3. Dapatkan dan pelajari Perda APBD TA 2006–2007 dan Perda Perhitungan 2006 – 2007.
4. Dapatkan kumpulan DASK TA 2006 – 2007, terutama untuk satker-satker yang memperoleh kas bon cukup
besar dan belum dipertanggungjawabkan sampai akhir tahun anggaran.
KHUSUS
1. Kembangkan Matriks Tindak Pidana Korupsi berdasarkan uraian situasi dan permasalahan sebagaimana yang
telah dianalisis dalam tahap penyusunan predikasi dan hipotesa.
2. Tetapkan bukti – bukti yang akan diperoleh dari hasil evaluasi atas unsur – unsur Tindak Pidana Korupsi
dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, yang belum terpenuhi.
PERIKSA KEBENARAN MATERIAL PENGELUARAN MELALUI MEKANISME KAS BON
1. Dapatkan dan pelajari dokumen SPMU BUD, BKU BUD, Buku Bank dan mutasi rekening Kas Daerah
periode TA 2006 – 2007.
2. Dapatkan data dan informasi tentang daftar kas bon posisi akhir tahun 2006 dan 2007, daftar pengambilan kas
bon 2006 – 2007 dst.
3. Teliti apakah terdapat pengeluaran kas bon untuk pembayaran kegiatan yang tidak dianggarkan dalam APBD.
PRAKTIK PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN VIA KAS BON
1. Lakukan wawancara dengan pemegang kas daerah dan pejabat lain yang langsung terlibat dalam pengelolaan
kas daerah mengenai praktik pengeluaran dan per tanggungjawaban keuangan dan dapatkan keterangan:
a. Praktik pengeluaran dan pertanggungjawaban dana.
b. Pejabat yang terlibat dalam alur pengeluaran dan pertanggungjawaban dana.
2. Bandingkan praktik pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dengan ketentuan dalam PP No. 105
Tahun 2000 dan identifikasi pelanggaran ketentuan yang terjadi serta pihak-pihak yang bertanggungjawab.
3. Lakukan telaahan mendalam terhadap dokumen pencairan kas daerah, dokumen deposito, rekening giro dan
pemindah bukuan, dan seterusnya.
WAWANCARA
1. Tetapkan pihak–pihak yang akan diwawancarai dan bukti yang dapat diperoleh dari mereka.
2. Lakukan wawancara dengan Kabag. Keuangan Pemerintah Kabupaten ABC berkaitan dengan pencairan kas
daerah.
3. Lakukan wawancara dengan Kepala Kas Daerah berkaitan dengan pencairan kas daerah dan uji silang dengan
jawaban Kepala Bagian Keuangan.
DOKUMENTASI KKP
1. Tuangkan hasil telaahan dalam kertas kerja pemeriksaan
………………., …………………………..
No No & Jml Rencana hari Sifat Nama Rencana Realisasi hari No & Tgl Ket
Tgl Srt Pemeriksa pemeriksaan pemeriksaan Entitas Periode pemeriksaan Lap PI
Tugas pemeriksaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Penjelasan:
Penanggung jawab pemeriksaan mengorganisasikan surat tugas hingga laporan pemeriksaan investigatif
yang diterbitkannya, dengan menggunakan formulir pengorganisasian surat tugas.
1. Kolom 1: Nomor Urut. Diisi nomor urut sesuai dengan urutan surat tugas yang diterbitkan.
2. Kolom 2: Nomor dan Tanggal Surat Tugas. Diisi dengan nomor dan tanggal surat tugas yang diterbitkan.
3. Kolom 3: Jumlah pemeriksa. Diisi dengan jumlah pemeriksa yang ditugaskan.
4. Kolom 4: Rencana Hari Pemeriksaan. Diisi dengan jangka waktu rencana pemeriksaan.
5. Kolom 5: Sifat Pemeriksaan. Diisi dengan sifat pemeriksaan yang dilakukan. Misalkan pemeriksaan pendahuluan guna
pengumpulan bahan keterangan, pemeriksaan investigatif, penugasan permintaan instansi yang berwenang untuk
penghitungan kerugian negara/daerah.
6. Kolom 6: Nama Entitas. Diisi dengan nama entitas yang diperiksa.
7. Kolom 7: Rencana Periode Pemeriksaan. Diisi dengan informasi periode pemeriksaan yang direncanakan.
8. Kolom 8: Realisasi Hari Pemeriksaan. Diisi dengan informasi realisasi hari pemeriksaan.
9. Kolom 9: Nomor dan Tanggal Laporan. Diisi dengan informasi nomor dan tanggal laporan pemeriksaan investigatif yang
diterbitkan.
10. Kolom 10: Keterangan. Diisi dengan informasi penting lainnya misalkan, nama kota yang dikunjungi tim pemeriksa.
Pasal 185 KUHAP mengatur hal–hal yang berkaitan dengan keterangan saksi. Ayat 1
menyatakan bahwa keterangan saksi yang dapat dijadikan sebagai alat bukti adalah apa yang
oleh saksi dinyatakan di sidang pengadilan.
Ayat 2 menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan terhadapnya. Prinsip ini dalam ilmu
hukum dikenal dengan apa yang disebut ”unus testis nullus testis” atau satu saksi bukan
saksi.
2. Keterangan ahli.
Pasal 1 huruf 28 KUHAP menyatakan:
”Keterangan ahli adalah keterangan-keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Ada tiga cara memperoleh alat bukti keterangan ahli yang sah yaitu:
a. Memberikan keterangan didepan penyidik yang dituangkan dalam bentuk BAP.
Sebelum memberikan keterangan ia wajib bersumpah/janji di hadapan penyidik bahwa
ia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya sebaik-baiknya. Keterangan
ahli dalam bentuk BAP biasanya merupakan tanggapan atas pertanyaan penyidik.
b. Ahli memberikan keterangan dalam bentuk laporan yang diminta secara resmi oleh
penyidik, yang disebut laporan ahli yang dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia
menerima jabatan atau pekerjaan. Laporan ahli ini kemudian disebut juga dengan alat
bukti surat. Pasal 187 huruf c KUHAP menyatakan bahwa salah satu bentuk alat bukti
surat adalah surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
kepadanya.
c. Ahli memberikan keterangan di sidang pengadilan berdasarkan penetapan hakim dan
keterangannya dicatat dalam berita acara sidang oleh panitera. Keterangan tersebut
diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.
3. Surat.
Surat yang mempunyai nilai pembuktian sebagai alat bukti surat harus dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
Alat bukti surat diatur dalam pasal 187 KUHAP, yang membagi alat bukti surat dalam empat
jenis surat yaitu:
a. Surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau
dialaminya sendiri disertai alasan tentang keterangannya itu. Contoh: Akta Notaris, Akta
Pejabat PPAT, Berita Acara Lelang Negara. Jenis surat ini biasa juga disebut dengan
akta otentik atau surat resmi. BAP Saksi dan juga BAP Tersangka tidak merupakan alat
bukti surat.
b. Surat yang dibuat menurut peraturan perundang–undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal menjadi tanggung jawabnya
dan diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau keadaan. Contoh: Paspor, SIM, KTP,
Surat Perintah Perjalanan Dinas, dan lain-lain.
c. Surat yang dibuat oleh ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu peristiwa atau keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Contoh: Visum
et repertum, LHP BPK, laporan pemeriksaan KAP.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain. Contoh dari surat jenis ini adalah korespondensi, surat pernyataan
dan sebagainya.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.1 - 3
4. Petunjuk
Yang bisa bernilai sebagai alat bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang
bersesuaian satu sama lain atau bersesuaian dengan tindak pidana itu, dan dari persesuaian
tersebut membenarkan adanya suatu kejadian tertentu.
Dalam pasal 188 ayat 1 KUHAP, menyatakan:
”Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.
Pasal 188 ayat 3 KUHAP menyebutkan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari
suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan
hati nuraninya. Oleh karena itu petunjuk sebagai alat bukti tidak diperoleh di tingkat
penyidikan dan bukan merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu
proses di sidang pengadilan yang bersumber dari keterangan saksi, keterangan ahli,
keterangan terdakwa atau dari alat bukti surat (Pasal 188 ayat 2 KUHAP).
Beberapa contoh alat bukti petunjuk:
a. Saksi yang memberikan keterangan di sidang, tetapi ia tidak disumpah. Keterangannya
itu bukan merupakan alat bukti keterangan saksi, akan tetapi dapat merupakan alat bukti
petunjuk apabila bersesuaian dengan keterangan dari saksi lain yang disumpah.
b. Visum et repertum yang dibuat oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman (dokter
forensik), bukan merupakan alat bukti keterangan ahli. Apabila isi visum et repertum itu
bersesuaian dengan alat bukti yang sah lainnya, maka visum et repertum itu dapat
dijadikan sebagai alat bukti petunjuk.
c. Surat perjanjian di bawah tangan bukan alat bukti surat. Tetapi apabila surat itu ada
hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi, ia dapat dijadikan sebagai alat bukti
petunjuk.
d. Keterangan terdakwa dalam BAP atau yang diberikan di luar sidang, merupakan alat
bukti petunjuk asalkan keterangan dalam BAP tersebut justru bersesuaian dengan alat
bukti sah yang lain.
Undang–Undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian uang memperluas
sumber petunjuk sehingga meliputi informasi, dokumen atau data yang dapat dilihat, dibaca,
diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan, baik secara biasa maupun secara elektronik atau
optik termasuk dan tidak terbatas pada yang tertuang di atas kertas maupun selain kertas.
5. Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa yang dinyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang
dilakukannya atau yang diketahuinya atau yang dialaminya sendiri merupakan alat bukti.
Dalam hal terdakwa menyangkal di sidang, maka keterangannya dalam BAP di tingkat
penyidikan dapat menjadi alat bukti petunjuk asalkan keterangan dalam BAP tersebut
didukung oleh suatu bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
Menurut putusan Mahkamah Agung RI Nomor 229/K/Kr/ 1953, pengakuan terdakwa di luar
sidang yang ditarik tanpa alasan, merupakan suatu petunjuk tentang adanya kesalahan
terdakwa tersebut.
Pasal 189 KUHAP yang berbunyi:
a. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan
yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri
b. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu
menemukan bukti di sidang pengadilan asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat
bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
penegasan dari pihak lain. Bukti konfirmasi tertulis yang diperoleh saat pemeriksaan
merupakan bukti surat sepanjang didukung dengan bukti lain yang sah (pasal 187 huruf d
KUHAP).
Contoh: berdasarkan hasil konfirmasi, pemeriksa melakukan wawancara dengan pihak
terkait dan diperoleh hubungan saling mendukung antara hasil konfirmasi dengan hasil
wawancara tersebut, maka bukti konfirmasi dapat dijadikan bukti surat.
Namun perlu diperhatikan bahwa dari sisi hukum acara pidana, wawancara yang
mendukung konfirmasi tersebut harus dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan
yang dilakukan oleh penyidik.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan bukti pemeriksaan yang diperoleh dari hasil pengujian yang
dilakukan oleh pemeriksa terhadap dokumen dan catatan yang mendukung informasi
pemeriksaan. Contoh dokumen adalah risalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
kontrak dan lain-lain.
Dokumen dapat menjadi bukti surat jika sesuai dengan pengertian bukti surat menurut huruf
a, b, c atau d dari pasal 187 KUHAP. Dokumen yang diperoleh harus asli. Dalam praktik,
umumnya pemeriksa memperoleh dokumen fotocopy.
Dari sisi hukum pidana agar fotocopy tersebut dapat diterima sebagai alat bukti yang
mendukung dakwaan, maka harus dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. Dalam hal
syarat-syarat sebagai bukti surat tidak terpenuhi, maka dokumen tersebut dapat dijadikan
bukti petunjuk bagi hakim (untuk kasus tindak pidana korupsi atau pencucian uang).
4. Observasi
Observasi adalah jenis bukti pemeriksaan yang digunakan untuk menilai aktivitas tertentu
dari instansi yang diperiksa oleh pemeriksa dengan menggunakan indera. Dengan
keahliannya, pemeriksa menyimpulkan hasil observasi yang dilakukannya. Dalam
pengungkapan dugaan tindak pidana korupsi atau pencucian uang, hasil observasi yang
dituangkan dalam kertas kerja pemeriksaan dapat digunakan oleh hakim sebagai bukti
petunjuk. Observasi juga dapat dikembangkan menjadi alat bukti keterangan saksi, yaitu
pemeriksa diminta untuk menjadi saksi atas apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri.
Saksi disini adalah saksi dalam pengertian saksi berantai (ketting bewijs).
5. Tanya jawab dengan instansi yang diperiksa
Tanya jawab merupakan salah satu cara pemeriksa melakukan pengujian atas apa yang
menjadi obyek pemeriksaan. Bukti pemeriksaan yang berasal dari tanya jawab ini
mempunyai tingkat keandalan yang lebih rendah dibandingkan bukti pemeriksaan lain yang
telah dijelaskan di atas.
Tanya jawab yang dituangkan dalam kertas kerja pemeriksaan dapat menjadi alat bukti
petunjuk bagi hakim dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Tanya jawab dapat menjadi alat bukti keterangan saksi jika tanya jawab dilakukan oleh
aparat penyidik yang dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan dalam tahap
penyidikan. Perlu diingat tanya jawab yang dilakukan oleh pemeriksa terhadap pihak terkait
dengan dugaan penyimpangan, apa yang terungkap dapat digunakan oleh penyidik untuk
kepentingan penyidikan.
6. Prosedur analitis
Prosedur analitis merupakan jenis bukti pemeriksaan yang diperoleh melalui pembandingan
antara satu data dengan data lainnya. Hasil pembandingan ini dapat digunakan pemeriksa
untuk menyimpulkan apakah suatu transaksi mengandung penyimpangan atau tidak. Hasil
dari prosedur analitis biasanya menghasilkan suatu indikasi. Pemeriksa perlu membuktikan
kebenaran material atas indikasi tersebut. Dalam pengungkapan dugaan tindak pidana
korupsi atau pencucian uang, hasil prosedur analitis yang dituangkan dalam kertas kerja
pemeriksaan dapat digunakan oleh hakim sebagai bukti petunjuk.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.1 - 7
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan dua arti dari ”bukti”, yaitu: 1) sesuatu yang
menyatakan kebenaran suatu peristiwa, 2) hal yang menjadi tanda perbuatan jahat.
Barang bukti
Barang bukti adalah benda baik yang bergerak atau tidak bergerak, yang berwujud maupun
yang tidak berwujud yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang terjadi. Agar dapat
dijadikan bukti maka benda tersebut harus terlebih dahulu disita oleh penyidik. Benda yang
dapat disita adalah:
1. Seluruh atau sebagian diduga diperoleh merupakan hasil dari tindak pidana.
2. Dipergunakan secara langsung untuk melakukan atau mempersiapakan tindak pidana.
3. Dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
4. Khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana.
Contoh barang bukti berkaitan dengan tindak pidana yang diperkarakan sebagai obyek tindak
pidana adalah: alat untuk melakukan perbuatan (seperti: cap, mesin kas, komputer); hasil dari
perbuatan (seperti: rumah, kendaraan, pabrik); serta barang lainnya yang mempunyai hubungan
langsung dengan perbuatan tersebut (seperti: tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki arti).
Alat Bukti
Makna dari alat bukti dapat diperoleh dari pasal 183 KUHAP yang menyatakan: ”Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Menurut pasal 184 KUHAP terdapat
lima jenis alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa.
Alat bukti dapat dimaknai sebagai alat yang dapat diarahkan menjadi alat bukti hukum menurut
ketentuan hukum pidana atau menurut ketentuan hukum perdata.
Diterima Menurut Hukum
Agar bukti-bukti dapat diterima menurut hukum, pemeriksa investigatif BPK harus
memperhatikan hal-hal berikut ini:
Jenis-jenis Bukti:
1. Bukti utama adalah bukti asli yang mewakili secara langsung suatu transaksi/kejadian.
Bukti utama menghasilkan kepastian yang paling kuat atas fakta.
2. Bukti tambahan lebih rendah mutunya jika dibandingkan dengan bukti utama. Bukti
tambahan tidak dapat digunakan dengan tingkat keandalan yang sama dengan bukti utama.
3. Bukti langsung merupakan fakta tanpa kesimpulan ataupun anggapan. Bukti ini
menjelaskan suatu fakta atau materi yang dipersoalkan. Suatu bukti dapat dikatakan
langsung jika didukung dengan pihak yang mempunyai pengetahuan nyata mengenai
persoalan yang bersangkutan dengan menyaksikannya sendiri. Dalam hal adanya uang suap
(kickbacks), bukti langsung yang diperlukan adalah check dari pemasok.
4. Bukti tidak langsung mengungkapkan secara tidak langsung suatu tindak pelanggaran atau
fakta dari seseorang yang mungkin mempunyai niat atau motif melakukan pelanggaran.
Dalam kasus uang suap, penyimpanan uang dari sumber yang tidak dikenal ke rekening
seseorang pada waktu berdekatan dengan perbuatan jahat, dapat merupakan bukti tidak
langsung.
Bukti tidak langsung digunakan untuk menetapkan suatu fakta dengan didukung oleh bukti
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.1 - 8
lainnya yang setingkat dengan fakta yang diperiksa. Meskipun bukti ini mungkin benar,
tetapi bukti tidak langsung tidak dapat menetapkan suatu fakta secara meyakinkan.
Sumber Bukti:
1. Saksi merupakan sumber informasi yang paling utama bagi pemeriksa. Pemeriksa
seringkali memperoleh dokumen dan bukti lain dari hasil wawancara dengan saksi yang
dapat mendukung dan mengungkap fakta/ kejadian.
2. Departemen/instansi/unit kerja yang menjadi subyek pemeriksaan investigatif dapat
dijadikan sebagai sumber informasi yang penting bagi pemeriksa.
3. Instansi pemerintah terkait mungkin memiliki catatan dan informasi yang relevan dengan
pemeriksaan investigatif yang dilakukan. Sebagai contoh, pemilikan tanah oleh tersangka,
kendaraan bermotor dan lainnya, semua informasi tersebut mungkin relevan dengan
permasalahan yang sedang diperiksa.
4. Informasi yang berada dalam penguasaan badan usaha atau perusahaan swasta.
5. Data yang tersimpan secara elektronik.
Bukti dan informasi yang relevan diperoleh dari hasil pengujian forensik. Data yang
terhapus dan arsip yang dilindungi dengan kata sandi/ password dapat diperoleh dan dibuka
kembali, sehingga bermanfaat bagi pemeriksa.
6. Tersangka pada umumnya memiliki informasi relevan yang secara langsung berkaitan
dengan permasalahan yang sedang diinvestigasi. Dalam keadaan tertentu, tersangka
mungkin akan memberikan informasi kepada pemeriksa selama pelaksanaan wawancara.
7. Instansi penegak hukum, umumnya mengumpulkan data intelijen baik secara individu
maupun secara kelompok. Kepolisian memiliki informasi catatan sejarah dari orang–orang
yang pernah melakukan pelanggaran.
8. KPK dapat memberikan informasi mengenai laporan pengaduan masyarakat yang
berindikasi tindak pidana korupsi.
9. PPATK dapat memberikan informasi mengenai adanya dugaan penyalahgunaan wewenang
dan/ atau perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pencucian uang. Data intelijen
seperti ini tentunya amat bermanfaat bagi pemeriksa dalam menentukan profil para pelaku.
10. Internet sebagai alat yang digunakan untuk penelitian. Data yang diperoleh dari media
semacam ini bermanfaat bagi pemeriksa sebagai sumber informasi.
Nama :..............................................................
NIP : .............................................................
Jabatan : .............................................................
Berdasarkan Surat Tugas Nomor : .............................................................
tanggal.............................. telah meminjam dokumen berupa:
1. ...........................................................................................................
2. ...........................................................................................................
3. ...........................................................................................................
Demikian Berita Acara ini kami buat dengan sebenarnya dengan mengingat sumpah jabatan.
Nama: Nama:
NIP : NIP :
Nama: Nama:
NIP : NIP :
Catatan:
Berita Acara ini dibuat rangkap dua, lembar satu untuk instansi yang meminjamkan dan lembar dua
untuk tim pemeriksaan..
PERMINTAAN INFORMASI
Nomor : Jakarta,
Sifat : Rahasia dan Segera Kepada Yth.
Lamp. : ____ lembar (lihat contoh lampiran) Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis
Perihal : Permintaan Informasi Transaksi Keuangan
di
Jakarta
Dasar Hukum:
1. Undang–Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003;
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan;
3. Nota Kesepahaman antara antara BPK-RI dengan PPATK No.02/KB/I-VIII.3/09/2006 dan No. NK-
1/1.02/PPATK/09/06 tanggal 25 September 2006.
4. Laporan BPK No. ____________.
5. Surat Tugas No. __________, tanggal __________.
Sehubungan dengan perkara indikasi tindak pidana korupsi _______ (disesuaikan dengan kasus yang
sedang ditangani) pada instansi ________ yang saat ini dalam tahap audit investigatif BPK, bersama ini
diminta bantuan Bapak untuk memberikan informasi keuangan yang mencurigakan sehubungan dengan
tindak pidana sebagaimana tersebut di atas. Adapun penjelasan mengenai duduk perkara yang sedang
diaudit investigatif sebagaimana yang dijelaskan dalam lampiran surat ini.
Mengingat informasi dari PPATK bersifat sangat rahasia dan tidak dapat diberikan kepada pihak lain
tanpa persetujuan tertulis dari PPATK, maka kami bersedia untuk menjaga kerahasiaan informasi tersebut
dan akan menggunakannya hanya untuk kepentingan permintaan informasi ini.
Demikian untuk menjadi maklum, atas bantuan dan kerja samanya kami ucapkan terima kasih.
Tortama
Tembusan :
Yth. Ketua BPK
TEKNIK WAWANCARA
Beberapa fakta, melalui analisis dan pengamatan yang tajam, memungkinkan pemeriksa investigatif
membuat sketsa awal dari penyimpangan yang diduga terjadi. Sketsa awal ini dikembangkan, didalami,
dan diperluas dengan wawancara.
A. Persiapan
Sebelum melakukan wawancara, bahkan sebelum ada kontak dengan orang yang diduga melakukan
penyimpangan, pemeriksa investigatif harus menguasai secara baik semua fakta yang telah
terkumpul.
Ketua dan anggota tim pemeriksa bersama–sama menganalisis dan mendebatkan fakta yang
terkumpul, serta membuat dugaan sementara. Pemeriksa yang bertugas melakukan wawancara harus
menguasai mana yang fakta dan memanfaatkan sepenuhnya fakta ini. Ia harus memisahkan fakta dari
apa yang masih bersifat dugaan. Kalau tidak, dalam proses wawancara pelaku penyimpangan akan
dengan cepat mengetahui fakta apa yang belum diketahui pemeriksa.
Biasanya saksi yang taraf keterlibatannya paling rendah akan diwawancarai lebih dahulu daripada
saksi yang tingkat keterlibatannya lebih besar. Cara ini akan memberi dasar yang lebih luas bagi
pewawancara untuk menyiapkan materi wawancara lebih lanjut. Urut-urutan ini penting karena
beberapa alasan:
1. Pada tahap awal belum banyak fakta terkumpul. Jadi kalau wawancara dimuat dengan orang yang
diduga menjadi subyek atau perencana, maka ia dengan cepat mengetahui fakta apa yang belum
diketahui pemeriksa. Sebaiknya, orang yang tidak bersalah dengan terbuka akan memberikan
informasi dan fakta–fakta penting, termasuk motif serta peluang terjadinya penyimpangan.
2. Mengetahui bahwa banyak orang sudah diwawancarai sebelumnya, subyek penyimpangan tidak
kuasa lagi mengendalikan apa yang dapat diungkapkan, dan apa yang sebaiknya tidak perlu
diungkapkan kepada pemeriksa dalam wawancara. Mengatur persesuaian atau konsistensi dalam
kebohongan merupakan hal yang sulit, sekalipun melalui persekongkolan. Hal ini akan
memudahkan pemeriksa mendapatkan informasi penting yang selanjutnya dikembangkan dalam
wawancara mendalam.
B. Karakteristik Wawancara yang Baik
Wawancara yang baik mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Harus dirancang dalam waktu yang cukup dan melakukan bahasan secara mendalam untuk
mengungkap fakta yang relevan. Informasi yang diperoleh selama proses wawancara harus
diperiksa.
2. Harus mencakup semua informasi yang penting dan mengurangi informasi yang tidak relevan.
Perlu ditentukan mana informasi yang dianggap relevan, mana yang tidak. Data atau fakta yang
tidak relevan seringkali mempersulit dalam analisis informasi.
3. Sedapat mungkin dilaksanakan berdekatan waktu dengan saat kejadian yang akan ditanyakan.
Dengan berlalunya waktu, daya ingat saksi dan responden menurun, dan hal–hal yang penting
dapat hilang atau terlupakan.
4. Harus dilakukan secara obyektif, dan diarahkan untuk mengumpulkan informasi dengan tepat dan
tidak memihak.
5. Pengumpulan informasi akan berhasil dengan baik jika wawancara dilakukan dengan secara
informal dan bersahaja.
C. Karakteristik Pewawancara yang Baik
Pewawancara yang baik mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Mudah berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama,
2. Ingin berbagi informasi dengan pihak lain,
3. Tidak melakukan interupsi terhadap responden dengan pertanyaan yang tidak penting, dan
seringkali informasi penting diperoleh dengan cara sukarela sebagai respon dari suatu pertanyaan
yang spesifik,
4. Memiliki hasrat yang kuat terhadap responden dan apa yang dikatakannya,
5. Menunjukkan keseriusan dan perhatian atas jawaban yang diberikan.
6. Tidak mengajukan pertanyaan dengan sikap yang menyalahkan. Informasi seringkali diperoleh
dengan gaya wawancara yang informal dan rendah hati.
7. Dapat menjelaskan kepada responden, bahwa ia berupaya memperoleh fakta yang relevan dan
bukan untuk menangkap seseorang.
8. Pewawancara harus memulai wawancara tepat waktu, berpakaian secara profesional, dan wajar
dalam berbicara dengan responden.
Kemungkinan tingkat keberhasilan wawancara kecil:
- Jika pewawancara melakukan pendekatan secara formal, merasa ia lebih tinggi, atau mencoba
mempengaruhi responden dengan kewenangannya.
- Jika reponden memandang bahwa pewawancara bias, atau mencoba mengkonfirmasi
kesimpulan yang kurang tepat (forgone conclusion), maka responden akan enggan bekerja
sama.
- Jika responden beranggapan mereka menjadi target dari pertanyaan, maka mereka cenderung
tidak kooperatif.
D. Tipologi Pertanyaan
"The more formal we make the visit the less information we might obtain.
— Arthur Conan Doyle, "The Hound of the Baskervilles"
Dalam melakukan wawancara, umumnya terdapat lima jenis pertanyaan yang dapat diajukan kepada
pihak terkait dengan kasus yang diperiksa: 1) pertanyaan pembuka, 2) pertanyaan informasional, 3)
pertanyaan penutup, 4) pertanyaan menguji, dan 5) pertanyaan memperoleh pengakuan. Dalam
wawancara rutin, guna mengumpulkan informasi dari saksi yang netral atau mendukung, hanya tiga
dari lima jenis yang akan ditanyakan yaitu: pertanyaan pembuka, pertanyaan informasional, dan
penutup. Jika pewawancara mendapat kesan bahwa responden tidak menjawab dengan benar,
pertanyaan yang bersifat wawancara mendalam yaitu untuk memperoleh pengakuan dari responden
harus disampaikan.
Bagan arus di bawah ini menggambarkan alur wawancara:
Pertanyaan Pembuka
Pertanyaan Informasional
Tidak
Pelaku
Ya
Pertanyaan Menguji
Ya
Bohong
Tidak
Pertanyaan Pengakuan
Pertanyaan Penutup
1. Pertanyaan Pembuka
Melakukan wawancara terhadap bagian pembelian lebih baik dilakukan secara dadakan guna
menghindari kesempatan pegawai tersebut melakukan alibi. Berikut ini diuraikan empat langkah
dalam tahap pertanyaan pembuka.
a. Memperkenalkan diri. Jika responden tidak mengenal pewawancara, maka perlu perkenalan.
Pewawancara tersenyum, melakukan kontak mata, menyebutkan nama dan berjabat tangan.
Senyum membuat suasana nyaman, kontak mata berarti menghormati, dan berjabat tangan
adalah bersahabat.
b. Menjelaskan maksud. Pewawancara pertama kali menjelaskan mengapa ia berada di sini.
Pewawancara sebaiknya tidak langsung bertanya kepada responden mengenai hal-hal yang
penting. Pewawancara tidak boleh mempunyai rasa curiga karena akan menimbulkan rasa
tidak percaya bagi responden.
c. Mengembangkan saling pengertian dan komitmen. Pada tahap awal, pewawancara harus
membuat responden merasa nyaman, karena tujuan dari wawancara adalah mendapatkan
informasi.
Jika responden merasa terancam, pewawancara akan mengalami kesulitan dalam memperoleh
fakta. Sebaiknya wawancara dimulai dengan topik yang umum dan disukai responden,
misalnya mengenai tugas responden dan ide-ide perbaikan.
Jika responden mulai berbicara, pewawancara harus menatapnya agar mendapat kesan bahwa
apa yang disampaikan itu penting, lebih dari itu pewawancara harus memperoleh
komitmennya untuk memberikan informasi.
d. Mengamati reaksi responden. Pada saat yang sama pewawancara harus mengamati reaksi
responden. Tujuannya adalah memperhatikan responden pada saat ia merasa nyaman, dan
kemudian mengamati bagaimana reaksinya pada saat ia merasa tertekan. Prosedur ini penting
saat pewawancara mewawancarai seseorang yang kejujurannya diragukan.
Contoh memperkenalkan diri
Salah:
Pewawancara:
“Ibu Mandika, saya adalah Agus, pemeriksa BPK. Saat ini saya sedang memeriksa kasus
yang diduga ada kecurangan, apakah Ibu mengetahui sesuatu mengenai hal itu. Sudah berapa
lama Ibu bekerja pada BUMN ini?”
Benar:
Pewawancara:
“Ibu Mandika, saya adalah Agus, saya ingin mendapatkan informasi dari Ibu, pernah kita
bertemu sebelumnya?”
Responden:
Saya tidak yakin apakah kita pernah bertemu.
Pewawancara:
“Saya ditugaskan dari kantor dan saya memerlukan bantuan Ibu. Apakah Ibu bersedia
membantu saya?”
Responden harus mendapatkan kesan bahwa mereka memiliki sesuatu yang sama dengan
pewawancara, dan merasa nyaman dengan suasana yang ada. Hal ini dapat dicapai bila responden
melihat pewawancara bersikap terbuka dan bersahabat.
bantuan Ibu”
“Saya sedang melakukan reviu mengenai prosedur pada kantor ini”
”Saya sedang mengumpulkan informasi berkaitan dengan prosedur pengadaan”.
Pewawancara harus menanyakan komitmen responden sebelum melakukan wawancara, dan
mendorong responden mengatakan kata ”ya” dengan tegas.
Contoh
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 5
Pewawancara:
“Betul Ibu?”
”Dapat membantu kami?”
”Betul Bu, iya kan?”
Hal yang perlu diperhatikan pada saat memperkenalkan diri:
1. Lakukan kontak fisik dengan responden, tetap menjaga jarak sehingga tidak mengganggu
rasa nyaman responden.
2. Gunakan kata–kata yang enak didengar (soft words), berada di pihak responden, dan hindari
penggunaan kata–kata negatif. Pewawancara mengenalkan diri dengan menyebutkan nama.
Kecuali ada alasan khusus, pewawancara tidak perlu menyebutkan gelarnya. Penyebutan
gelar dapat mengganggu rasa emosi responden atau mungkin rasa takut.
3. Jangan melakukan wawancara lebih dari satu orang pada saat yang bersamaan.
4. Guna menjaga rasa nyaman responden. Wawancara harus dilakukan di tempat yang tidak
mudah diketahui oleh teman, keluarga, atau teman sekantor. Pada umumnya responden
enggan memberikan informasi bila diketahui oleh orang lain.
5. Pada tahap pendahuluan pewawancara agar tidak menanyakan hal-hal yang sensitif.
Pertanyaan sensitif harus ditanyakan sesudah melalui perencanaan yang matang dan berhati–
hati.
6. Hindari penggunaan kata–kata yang dapat menimbulkan rasa emosi.
Jangan gunakan kata-kata berikut ini: Sebaiknya gunakan kata-kata ini:
Investigasi Meminta penjelasan
Audit Reviu
Interviu Menanyakan beberapa
pertanyaan
Penggelapan/ pencurian Masalah administrasi
7. Pada tahap awal, pewawancara harus menjaga jarak dengan responden kira–kira empat
hingga enam kaki agar tidak mengganggu rasa nyaman responden.
2. Pertanyaan Informasional.
Seketika pewawancara dapat menciptakan suasana nyaman, ia harus melanjutkan ke wawancara
pokok, yaitu perolehan fakta. Terdapat tiga model pertanyaan yang dapat digunakan agar
diperoleh reaksi responden secara berbeda: pertanyaan terbuka, tertutup dan menuntun.
Pertanyaan terbuka
Adalah jenis pertanyaan yang memerlukan penjelasan yang rinci dan tidak dapat dijawab dengan
“ya” atau “tidak”. Pada umumnya pertanyaan jenis ini digunakan oleh pewawancara pada tahap
pengumpulan informasi, yaitu agar responden berbicara mengenai fakta sebenarnya.
Pertanyaan tertutup
Adalah jenis pertanyaan dengan jawaban ”ya” atau ”tidak”. Pertanyaan jenis ini sebaiknya
digunakan oleh pewawancara pada saat ia mengkonfirmasi kembali fakta-fakta yang diperoleh.
Pertanyaan menuntun
Pewawancara menggunakan jenis pertanyaan ini untuk mendapatkan pengakuan. Jenis
pertanyaan ini kurang tepat jika digunakan untuk memperoleh informasi. Contoh: ”Apakah anda
mencuri uang tersebut?”
Untuk masuk pada tahap pertanyaan informasional, pewawancara memerlukan transisi. Pada
umumnya pertanyaan yang bersifat transisi berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab
responden.
Pewawancara harus tetap melakukan observasi prilaku verbal dan nonverbal responden selama
wawancara berlangsung.
Pertanyaan informasional dapat digunakan untuk memperoleh informasi mengenai pemahaman
sistem pengendalian akuntansi, berkaitan dengan dokumen, dan operasi bisnis atau sistem bisnis.
Pewawancara:
“Coba ceritakan tentang prosedur pekerjaan anda?”
“Coba ceritakan dokumen apa saja yang menjadi tanggungjawab anda?”
“Coba jelaskan pendelegasian wewenang di departemen anda?”
“Coba ceritakan prosedur mana yang perlu diperbaiki pada departemen anda?”
Jawaban responden nantinya akan diuji kembali oleh pewawancara berdasarkan fakta secara
mendalam. Jika jawaban tidak konsisten, maka perlu ada klarifikasi. Tetapi pewawancara jangan
menunjukkan ekspresi kecurigaan mengenai kejujuran dan integritas responden pada tahap ini.
Pewawancara agar tidak bereaksi berlebihan dengan pernyataan responden, jangan menunjukkan
rasa terkejut, menyakiti, atau rasa emosi selama wawancara. Pertanyaan diungkapkan dengan
cara hipotetis untuk menghindari kemarahan.
Pewawancara:
“Sebagian dari tugas saya adalah mencegah dan menemukan adanya pemborosan. Tolong
ceritakan kepada saya, menurut Ibu Mandika dimana terjadinya pemborosan harta atau uang
pada BUMN ini?”
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan pewawancara dalam menghadapi:
1. Responden terlalu sibuk.
Mungkin saja responden terlalu sibuk pada saat dihubungi, atau responden resisten karena
lelah, ancaman rasa ego, atau tidak suka berbicara kepada orang asing. Dalam hal ini
pewawancara dapat menekankan kepada responden bahwa: wawancara hanya berlangsung
sebentar atau mengatakan bahwa pewawancara sudah menunggu, atau proyek ini amat
penting, atau wawancara tidak akan sulit.
2. Responden tidak ingat.
Biasanya pernyataan seperti ini bukan ungkapan resistensi, tetapi ungkapan mengenai:
kerendahan hati, dalam keadaan tertekan, atau hati–hati. Cara yang terbaik pewawancara
merespon adalah tetap diam sementara responden memikirkan jawabannya.
Akibatnya, responden akan berkata “berikan saya waktu sebentar untuk mengingatnya”. Bila
cara tersebut kurang berhasil, maka pilihan lainnya dengan menyampaikan pertanyaan yang
lebih rinci/sempit.
Pewawancara:
“Ibu Mandika, saya memahami Ibu mungkin tidak ingat semua transaksi. Apakah Ibu
ingat transaksi itu bernilai lebih dari Rp 100 juta?”
Atau
”Baiklah kalau Ibu tidak ingat transaksi secara rinci. Apakah Ibu ingat bagaimana reaksi
Ibu pada saat mengetahui jumlahnya?”
3. Responden yang temperamen
Jika diantisipasi bahwa wawancara akan menimbulkan situasi emosional, sebaiknya
pewawancara harus dua orang, karena jika wawancara berlangsung buruk maka pewawancara
lainnya dapat menyaksikan prosesnya.
Wawancara yang sifatnya tiba–tiba (dadakan) dapat dilakukan, sehingga responden merasa
tidak siap untuk diwawancarai, atau tidak sempat hadir dengan pengacaranya. Strategi yang
dapat dikembangkan oleh pewawancara sebaiknya dirancang tidak berurutan, sehingga
responden tidak dapat mengetahui arah dari isi wawancara.
Contoh wawancara dengan responden yang temperamen
Responden:
“Saya tidak ingin terlibat dalam masalah ini.”
Pewawancara:
Saya tidak akan bertanya apapun jika Ibu Mandika memang tidak terlibat, dan saya akan
berusaha membantu Ibu untuk mengatasi masalah ini dengan mendiskusikannya secara
informal” (jangan berkata “off the record”)
Responden:
“Mengapa saya harus berbicara kepada anda?”
Pewawancara:
Saya mencoba melihat permasalahan ini secara jernih, dan bantuan Ibu amatlah penting.
Responden:
“Anda tidak akan dapat membuktikannya!”
Pewawancara:
Saya tidak mencoba untuk membuktikan atau tidak membuktikannya, namun hanya
mengumpulkan informasi.
Responden:
“Anda tidak dapat memaksa saya untuk berbicara!”
Pewawancara:
Saya tidak mencoba untuk memaksa Ibu melakukan sesuatu, saya hanya ingin
menyelesaikan masalah ini dan amat menghargai bantuan yang Ibu berikan.
Jika ia mengelak tanpa menyatakan secara tegas dengan menjawab: ”Kenapa saya harus
berbuat hal-hal semacam itu?” atau ”Memangnya kau kira saya ini siapa?”. Menurut
subyek, ia tidak berbohong, tetapi tingkat kecemasan yang ditimbulkan lebih tinggi dari
kondisi (b).
Jika ia berbohong habis-habisan dengan menjawab: ”Tidak, saya tidak menggelapkan
uang perusahaan”, maka tingkat kecemasan yang ditimbulkan tinggi.
Sifat manusia adalah menghindari kecemasan. Kecemasan tidak dapat diterima dan tidak
dikehendaki. Upaya manusia untuk menekan kecemasan ini terungkap dalam
paralinguistic behavior dan nonverbal behavior. Perilaku seperti inilah yang harus
diamati oleh pemeriksa yang berpengalaman pada saat melakukan wawancara.
2) Paralinguistic channel.
Dalam hidup sehari-hari sering ditemui adanya ucapan yang makna sesungguhnya berbeda
dari apa yang keluar dari mulut pembicara. Ciri-ciri percakapan tertentu ini di luar apa
yang diucapkan atau paralinguistic behavior yang harus diamati oleh pemeriksa pada saat
melakukan wawancara. Berikut ini adalah ciri-ciri percakapan tertentu yang perlu
diketahui oleh pemeriksa investigatif.
Response latency
Menunjukkan rentang waktu antara kata terakhir dari pertanyaan pewawancara
dengan kata pertama dari jawaban subyek. Menurut NSA study, response latency rata-
rata untuk subyek yang jujur adalah 0,5 detik, sedangkan untuk subyek yang
berbohong 1,5 detik.
Contoh:
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 9
kalimat yang lain, sambung menyambung, tidak meloncat-loncat dari satu alur ke alur
yang lain.
Sebaliknya, jawaban dari subyek yang berbohong ada perilaku berhenti – kemudian –
jalan (”stop-and-start” behavior).
Erasure behavior
Dalam percakapan sehari-hari seseorang mengatakan sesuatu yang kedengarannya
mungkin tidak menyenangkan bagi lawan bicaranya. Kemudian, ia mengatakan
”cuman bercanda koq” diiringi gerakan alis dan senyum. Gerakan alis dan senyum
dalam percakapan mempunyai efek ”menghapus konotasi yang tersirat” dalam
ucapannya. Dalam komunikasi paralinguistic ada perilaku tertentu yang dampaknya
seperti ”gerakan alis dan senyum”, seperti tertawa, batuk-batuk kecil atau mendehem,
segera sesudah mengucapkan suatu bantahan. Percakapan berikut memberi contoh
erasure behavior atau perilaku menghapus apa yang dikatakannya:
Pewawancara: Apakah anda menggelapkan uang Rp 100 juta itu?
Responden: Tidak (tertawa).
Pewawancara: Anda tahu siapa yang melakukan?
Responden: Saya malah tidak tahu ada penggelapan (tertawa).
Pewawancara: Apakah anda berfikir pegawai bank yang mencuri uang itu?
Responden: Sulit mengatakannya. Mungkin saya pelanggan yang salah mengisi slip
setoran (mendehem kecil).
3) Nonverbal channel.
Nonverbal channel adalah sikap tubuh, gerak tangan, gerak kaki dan mimik wajah.
Banyak penelitian sosial menunjukkan bahwa 70% dari pesan-pesan yang dikirimkan
dalam komunikasi antar manusia terjadi pada tingkat nonverbal. Statistik ini
mencerminkan betapa besarnya pesan yang disampaikan melalui gerak tubuh. Perilaku
nonverbal cukup rumit untuk dievaluasi, sering menimbulkan interpretasi yang keliru, dan
evaluasinya harus dilakukan dalam konteks isi atau substansi verbal yang disampaikan
pembicara.
(a) Sikap tubuh
Sikap tubuh mengungkapkan keterlibatan emosional yaitu rasa percaya diri dan minat.
Subyek yang jujur mempertahankan minat dan percaya diri yang tinggi dalam
menyampaikan pernyataanya. Sikap tubuhnya tegak, searah dengan pewawancara
sehingga ia siap berdialog secara langsung. Kalau ia menyilangkan kaki, ia
meletakkan satu tungkai di atas tungkai yang lain dan dilakukan dengan santai dan
nyaman. Mempelajari nonverbal behavior sebaiknya melalui rekaman gambar dan
suara dari wawancara yang sesungguhnya.
Subyek yang berbohong terlihat dari gerak lamban, seakan tidak berjiwa, terjerembab
dalam kursinya. Ia tampak tak berminat dengan wawancara. Batang tubuhnya
menjauhi pewawancara. Bentuk lain yang dilakukan adalah menyilangkan lengan di
depan dada, atau menyembunyikan kaki di bawah kursi. Perilaku nonverbal yang
mengungkapkan subyek berbohong adalah kemampuannya mempertahankan sikap
tubuh tadi selama wawancara berlangsung, statis, tidak berubah.
“Pada umumnya mereka bukanlah subyek kejahatan. Sering ditemukan bahwa mereka
mencoba melakukan tindakan tersebut karena mereka tidak mendapatkan imbalan yang
cukup sesuai dengan kualitas mereka. Anda paham maksud saya?”
Penjelasan:
Responden yang jujur dan tidak jujur akan menjawab ”ya” terhadap pertanyaan ini. Namun
responden yang jujur cenderung berpendapat tidak setuju bahwa mereka bukan orang jahat.
Ia akan mengatakan: ”ya” saya paham, tetapi hal itu tidak membenarkan tindakan mencuri”.
Contoh 2
Pewawancara:
“Mengapa anda berpendapat bahwa di sini dibenarkan mengambil aset perusahaan?”
Penjelasan:
Subyek pada umumnya membenarkan tindakannya, ia cenderung membenarkan tindakannya
dengan mengatakan bahwa ”setiap orang melakukannya” atau ”perusahaan harus
memperlakukan karyawan lebih baik jika mereka mengharapkan karywan tidak mencuri”.
Responden yang jujur cenderung mengatakan ”pencurian aset orgnanisasi walaupun
bagaimana tidak dibenarkan. Itu perbuatan kriminal”.
Contoh 3
Pewawancara:
“Menurut anda, apa yang harus kita lakukan kepada seseorang yang menghadapi situasi
dilematis dan melakukan kesalahan di mata perusahaan?”
Penjelasan:
Responden yang tidak jujur akan mengatakan ”Bagaimana saya tahu? Itu bukan urusan saya”
atau ”bila mereka pegawai yang baik, mungkin kita harus memberikan kesempatan lagi
kepada mereka.”
Contoh 4
Pewawancara:
“Apakah anda pernah berfikir – walaupun belum pernah dilakukan - boleh saja mengambil
keuntungan pribadi karena posisi anda di perusahaan?”
Penjelasan:
Pada umumnya semua orang – jujur atau tidak jujur – akan mengatakan ”tidak” terhadap
pertanyaan ini. Namun subyek cenderung memberikan pendapatnya mengapa ia melakukan
itu.
Contoh 5
Pewawancara:
“Siapa yang telah melakukan kejahatan ini?”
Penjelasan:
Orang yang bersalah tidak ingin kecurigaan ini menuju pada dirinya, umumnya orang yang
tidak jujur akan mengatakan ”mungkin saja orang lain”. Orang yang jujur akan mengatakan
“yang jelas bukan saya, karena saya tidak melakukannya”.
Contoh 6
Pewawancara:
“Ganjaran apa yang harus diberikan kepada orang yang melakukan ini?”.
Penjelasan:
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 13
Orang yang jujur umumnya tidak toleran pada pelaku kejahatan, mereka akan mengatakan
”mereka harus masuk penjara atau dipecat saja”. Namun pelaku kejahatan akan mengatakan
“Ya... itu tergantung dari alasan mengapa ia melakukannya” atau “mungkin saja ia
mempunyai alasan yang tepat”
Sikap yang ditunjukan oleh responden:
Responden yang jujur Responden tidak jujur
Tenang Tidak sabar
Santai Tegang
Kooperatif Mempertahankan diri
Peduli Tidak peduli
Terbuka, langsung Amat sopan, akrab berlebihan
Tidak fleksibel Arogan
Menyenangkan Menjengkelkan
4. Pertanyaan Penutup
Wawancara yang tidak konfrontasi meliputi tiga tahapan yaitu: pertanyaan pembuka, pertanyaan
informasional dan pertanyaan penutup. Maksud dari pertanyaan penutup adalah:
a. Mengkonfirmasi kembali fakta.
Seketika pewawancara memahami fakta yang telah diperoleh, maka ia perlu melakukan
konfirmasi kembali atas fakta tersebut. Ia dapat mengakhiri dengan mengajukan pertanyaan
penutup.
Contoh pertanyaan penutup
Pewawancara:
“Ibu Mandika, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ibu hadir disini. Namun
sekali lagi saya ingin meyakinkan apa yang telah kita bicarakan. Jadi tugas Ibu adalah
termasuk memberikan persetujuan atas semua pengadaan pada instansi ini, betul
demikian Bu? Dan Ibu juga memberikan persetujuan atas penunjukkan pemasok baru,
betul Bu?”
Pewawancara:
“Anda menduga–tetapi belum yakin–bahwa Agus mungkin memiliki hubungan istimewa
dengan salah satu pemasok kami. Apa itu benar?”
Pada kondisi tertentu pewawancara diperhadapkan dengan fakta penting oleh responden,
yakinkan kembali dengan bertanya “Apakah Anda yakin?”.
b. Mendapatkan informasi tambahan.
Dalam tahapan ini, pewawancara juga memberikan kesempatan kepada responden jika ia
ingin menyampaikan informasi tambahan.
Contoh pertanyaan penutup
Pewawancara:
“Ibu Mandika, terima kasih karena Ibu amat membantu saya. Ada yang ingin Ibu
sampaikan kepada saya mengenai apa yang telah kita bicarakan bersama? Ada sesuatu
yang saya mungkin lupa untuk ditanyakan?”
Pewawancara:
“Ibu Mandika, mungkin ada seseorang yang saya harus wawancarai. Apakah ada
dokumen berkaitan dengan masalah ini yang belum kita bahas? Jika saya menjaga nama
Anda dengan baik, apa saran Anda dan kepada siapa saya harus bertanya?”
pengakuan yang syah. Pengakuan, sesuai ketentuan, harus diakui tanpa ada pakasaan; dan 3)
responden yang mengakui perbuatannya harus menandatangani pernyataan tertulis yang
menjelaskan fakta terjadi. Hal ini mencegah kemungkinan subyek menyangkal atas
pengakuannya.
Persiapan
Pelaksanaan wawancara harus ditetapkan waktunya jika pewawancara memperkirakan dapat
mengendalikan situasi wawancara tersebut. Sebaiknya wawancara tidak dilakukan di kantor
subyek, dan lebih baik jika dilakukan secara tiba-tiba.
Ruang wawancara
Ruang wawancara harus dirancang dengan nuansa privacy. Pintu ruang wawancara tertutup tetapi
tidak dikunci, dan jangan ada suatu penghalang yang membatasi subyek untuk meninggalkan
ruangan.
Gangguan selama proses wawancara diupayakan seminimal mungkin. Subyek sebaiknya tidak
duduk di belakang meja.
Kehadiran pihak lain
Jika subyek menghadirkan penasehat hukumnya, pewawancara harus memahami bahwa
kehadirannya hanya sebagai pengamat. Penasehat hukum tidak boleh mengajukan pertanyaan
atau keberatan atas pertanyaan pewawancara.
Selain dari subyek dan dua orang pemeriksa yang bertugas dalam wawancara, pengamat tidak
dibolehkan hadir dalam tahap wawancara untuk mendapatkan pengakuan dari subyek.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tahap wawancara untuk mendapatkan pengakuan dari
subyek:
- Subyek jarang sekali mengakui perbuatannya secara sukarela, jika ia yakin bahwa ada
keraguan pewawancara mengenai perbuatannya.
- Pewawancara harus mempunyai rasa percaya diri yang tinggi walaupun ia tidak yakin
sepenuhnya.
- Pewawancara jangan menampakkan kemarahan, kejengkelannya atau mengumpat atas
perbuatan subyek. Untuk memperoleh pengakuan dari subyek diperlukan rasa simpati yang
besar dan menekan serendah mungkin pandangan buruk terhadap moral subyek.
- Subyek tidak pernah akan mengakui perbuatannya jika pewawancara memperlakukan subyek
sebagai orang jahat. Pewawancara harus melakukan pendekatan bahwa alasan subyek
melakukan perbuatannya dapat diterima secara moral.
- Secara hukum dapat diterima melakukan tuduhan kepada subyek yang tidak bersalah
sepanjang: tuduhan didasari dengan alasan yang kuat; tuduhan dilakukan dengan menjaga
privacy subyek.
Langkah–langkah untuk Mendapatkan Pengakuan Subyek
a. Tuduhan langsung.
Tuduhan tidak diungkapkan dalam bentuk pertanyaan, tetapi pernyataan. Penggunaan kata–
kata yang dapat menimbulkan rasa emosi seperti ”mencuri”, ”kejahatan”, dan ”kriminal”
harus dihindari.
Contoh tuduhan langsung
Salah
”Kami punya alasan untuk percaya bahwa Ibu Mandika telah menerima suap”
Atau
”Kami menduga Ibu Mandika telah menerima suap”
Benar
”Pemeriksaan investigatif kami menunjukkan bahwa Ibu Mandika lah yang:
- telah merekayasa pencatatan (hindari ”kecurangan”)
- telah mengambil aset perusahaan tanpa izin (hindari ”mencuri” ”menggelapkan” atau
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 16
”merampok”)
- telah mengambil uang dari pemasok (hindari ”suap” atau ”sogok”)
- tidak menjelaskan kejadian sebenarnya (hindari ”bohong” atau ”curang”)
Pewawancara sambil membuka halaman tertentu dalam folder yang berisi bukti.
Contoh Salah
Pewawancara:
”Apakah Ibu melakukan ini?”
Atau
”Apakah Ibu adalah orang yang bertanggung jawab?”
Contoh Benar
Pewawancara:
”Mengapa Ibu melakukan ini?”
e. Menunda.
Satu teknik yang amat efektif untuk menghentikan atau menginterupsi bantahan subyek
adalah melalui taktik menunda. Pewawancara jangan berargumentasi dengan responden,
namun mencoba menunda bantahan subyek seluruhnya.
Contoh
Pewawancara:
”Bu, saya mendengar apa yang Ibu katakan, namun saya ingin menjelaskan ini terlebih
dahulu. Kemudian berbicaralah...
Subyek yang tidak bersalah, pada umumnya tidak menyela atau tetap membiarkan
pewawancara berbicara.
f. Menginterupsi subyek.
Kadang-kadang, pewawancara perlu menginterupsi terhadap upaya subyek yang melakukan
bantahan terus menerus. Pada tahap ini, pewawancara harus siap meningkatkan interupsinya
jika kondisi mengharuskannya, misalkan:
”Ibu Mandika, jika Ibu tetap menyela, saya akan menghentikan wawancara ini.”
Subyek yang bersalah akan berpikir bahwa pernyataan pewawancara merupakan ancaman
baginya, karena rasa keingintahuannya atas bukti yang dimiliki oleh pewawancara.
g. Memberikan alasan.
Jika taktik tersebut di atas tidak berhasil, pewawancara dapat mencoba memberikan alasan
kepada responden, dan melakukan taktik yang biasanya digunakan untuk mengacaukan alibi.
Contoh
Pewawancara:
”Saya paham yang Ibu Mandika katakan, namun bagaimana dengan faktur–faktur yang
sudah saya peroleh ini. Coba perhatikan faktur sebesar Rp 500 juta rupiah ini. Fakta ini
jelas menunjukkan bahwa Ibulah yang bertanggung jawab” (jangan bertanya kepada
responden untuk menjelaskan bukti tersebut pada tahap ini).
Atau
”Ibu Mandika, saya telah banyak melakukan wawancara kepada banyak orang sebelum
saya duduk di sini bersama dengan Ibu. Saya tidak bertanya kepada Ibu saat ini, apakah
Ibu bertanggung jawab atas faktur tersebut;
saya mengetahui Ibu lah yang bertanggung jawab. Ini adalah kesempatan Ibu untuk
menceritakannya kepada seseorang yang dapat memahami” (jangan ungkapkan identitas
atau jumlah saksi yang telah diwawancarai).
h. Menetapkan rasionalisasi.
Seketika dugaan, pengulangan dugaan, dan sanggahan telah dilakukan, kini saatnya bagi
pewawancara untuk menetapkan rasionalisasi moral yang dapat diterima yang
memungkinkan responden menyetujui perbuatannya secara sadar.
Umumnya subyek yang tidak jujur berusaha menjelaskan alasan moral dari apa yang telah
dibuatnya, ketimbang ia dikatakan sebagai orang yang tidak bermoral. Namun pewawancara
harus tetap memperhatikan agar tidak membuat pernyataan yang dapat membuat responden
percaya bahwa ia dimaafkan secara hukum karena kooperatifnya.
Jangan sekali-kali pewawancara mengungkapkan rasa terkejut, marah atau mengumpatnya
dengan pengakuan atas perbuatan apapun dari subyek.
i. Perlakuan yang tidak wajar (unfair).
Penjelasan yang umum mengenai perbuatan kriminal adalah subyek berusaha memperoleh
harta perusahaan. Kajian menunjukkan bahwa tindakan karyawan yang tidak produktif –
termasuk mencuri – disebabkan utamanya karena ketidakpuasan akan pekerjaan.
Pewawancara yang peka dapat menggali informasi lebih dalam dari subyek yang telah
diperlakukan oleh perusahaan sebagai korban.
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika, saya rasa saya paham mengenai apa yang Ibu maksudkan. Dan saya
mengerti bahwa Ibu mempunyai alasan yang kuat mengapa Ibu melakukan ini. Ibu telah
bekerja keras disini untuk mendapatkan reputasi Ibu. Saya pikir mungkin perusahaan
membayar Ibu tidak sesuai dengan kapasitas Ibu. Dan hal inilah yang sedang Ibu
pikirkan juga, bukan begitu Bu Mandika?”.
Atau
”Ibu Mandika, saya telah melihat kondisi seperti ini sebelumnya. Dan saya pikir
perusahaan hanya memperhatikan kepentingannya. Jika Ibu telah diperlakukan dengan
baik, hal ini tidak mungkin terjadi, bukankah begitu Bu Mandika?”
j. Kurang adanya pengakuan
Beberapa pegawai mungkin merasakan bahwa prestasi mereka tidak diperhatikan oleh
perusahaan. Dengan cara bersimpati kepada subyek, pewawancara dapat mengungkapkan:
”Ibu Mandika, saya melihat beberapa hal mengenai Ibu. Nampaknya Ibu telah
memberikan lebih banyak dibandingkan dengan pengakuan yang Ibu terima dari
perusahaan, bukan begitu Bu Mandika?”
k. Masalah keuangan.
Perbuatan kriminal intern, khususnya manajemen tingkat atas, sering dilakukan dengan
menyembunyikan kondisi keuangan sebenarnya – perorangan atau organisasi. Berikut ini
contoh bagaimana mengembangkan pertanyaan berkaitan dengan masalah keuangan sebagai
motifnya.
Contoh
Agus adalah seorang pimpinan sebuah BUMN dan diduga melakukan kecurangan.
Pewawancara:
”Pak Agus, saya telah mengetahui jumlah pendapatan yang dibayar BUMN ini kepada
Bapak. Dan terus terang saya terkejut. Saya pikir seharusnya BUMN ini dapat membayar
Bapak lebih besar. Tidaklah mengherankan kalau selama ini Bapak terlibat. Bapak
melakukan ini semua hanyalah untuk kelangsungan hidup, bukan begitu Pak Agus?”
l. Berkorban untuk orang lain.
Dalam banyak kasus, keseriusan masalah moral dapat dikurangi dengan pendekatan bahwa
perbuatan yang telah dilakukan subyek adalah untuk kepentingan orang lain. Ini dapat
dilakukan jika pewawancara melihat bahwa si subyek adalah orang yang suka membantu
orang lain.
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika, saya paham bahwa Ibu melakukan ini bukan untuk kepentingan Ibu.
Setelah saya telaah secara berhati-hati, saya berpikir Ibu melakukan ini untuk menolong
suami Ibu, bukan demikian Bu?”
Atau
”Pak Agus, Bapak memiliki tanggung jawab yang besar dalam BUMN ini. Banyak
pegawai bergantung kepada Pak Agus atas pekerjaan mereka. Saya paham Bapak
melakukan ini, karena Bapak melihatnya untuk kepentingan perusahaan, bukan begitu
Pak?”
Masih banyak lagi taktik bertanya yang harus dikembangkan oleh pewawancara berkaitan
dengan alasan–alasan lain yang digunakan oleh subyek yaitu: menyimpang dari kebiasaan;
masalah keluarga; ulah pihak lain; stress, narkoba, dan alkohol; balas dendam; benar–benar
terdesak akan kebutuhan hidup yang mendasar.
Kalau subyek tidak bersalah, ia tidak membuat justification atau pembenaran apapun.
m. Penyimpangan tidak signifikan.
Pewawancara dapat melakukan pendekatan dengan cara mengubah cara pandang subyek atas
tingkat keseriusan moral dari kasusnya. Namun pewawancara harus berhati-hati agar tidak
memberikan pernyataan yang menimbulkan kesan bagi subyek dapat terbebas dari tanggung
jawab hukum.
Misalkan: ”Ah...itu bukan masalah besar dari segi hukum. Itu hanya penyimpangan teknis”.
Sebaiknya pewawancara melakukan dengan cara membandingkan:
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika, segala sesuatu relatif sifatnya. Apa yang telah Ibu lakukan, sebenarnya
bukan apa-apa dibandingkan dengan masalah-masalah besar lainnya, Ibu bukan Sherny
Konjongiang kan?”
Atau
”Saya melihat diri saya ada pada posisi Ibu, jika saya dihadapkan pada kondisi yang
sedang Ibu hadapi, mungkin saya akan melakukan hal yang sama, bukan begitu Bu?”
n. Mematahkan alasan subyek.
Walaupun pewawancara telah menggunakan teknik rasionalisasi dengan tepat, mungkin saja
subyek tetap membantah atas perbuatannya. Jika pewawancara berhasil menghentikan
bantahan subyek, umumnya pelaku penyimpangan terus mencari alasan macam-macam
mengapa ia tidak mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
Strategi berikut ini dimaksudkan adalah untuk memojokkan subyek dengan menyajikan bukti
fisik yang berkaitan dengannya. Alasan subyek umumnya dapat dipatahkan dengan
menggunakan cara-cara di bawah ini:
1) Menyajikan bukti fisik.
Sering kali orang yang bersalah menyalahartikan sejumlah bukti fisik. Bukti fisik
biasanya disajikan pada saat tertentu dengan urutan kebalikan berdasarkan pentingnya.
Jika subyek tidak lagi membantah, pewawancara harus menghentikan menunjukkan
bukti.
Contoh
Reponden:
”Saya tidak mungkin melakukan ini. Saya tidak bertanggung jawab atas pembayaran
faktur ini”.
Direktorat Litbang Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Lampiran V.4 - 20
Pewawancara:
”Ini adalah salah satu dari faktur yang kami tanyakan (tunjukkan dokumen tersebut).
Kami tidak pernah menerima barang yang dibayar itu (jangan menjelaskan apakah
sudah atau belum dibicarakan dengan departemen akun hutang) ”.
”Mandika, sudahlah... tidak ada artinya Ibu menolak fakta ini. Kami memiliki
banyak bukti. Mari kita selesaikan masalah ini, tapi Ibu harus menolong saya, OK”
(jangan menuduh responden berbohong– hal ini akan membuat lebih lama
wawancara).
2) Diskusi dengan saksi.
Teknik lain untuk mematahkan alasan subyek adalah dengan membicarakan pernyataan
saksi. Tujuannya adalah memberikan informasi yang cukup tentang pendapat orang lain
tanpa harus mengungkapkan banyak hal. Idealnya pernyataan pewawancara akan
menimbulkan kesan bagi subyek bahwa banyak orang mempunyai pendapat yang
berbeda terhadap penjelasan yang ia ceritakan.
Contoh
Reponden:
”Saya tidak mungkin melakukan ini. Saya harus mendapatkan persetujuan dari
pengawas saya untuk itu”.
Pewawancara:
”Dalam kondisi normal memang itu diperlukan. Namun pada kenyataannya hal itu
terjadi. Beberapa orang telah menceritakan kejadian ini secara berbeda-beda. Saya
paham bagaimana Ibu berupaya meyakinkan saya. Tetapi Ibu hanya membuat
kondisi ini semakin buruk. Jika Ibu kooperatif, maka Ibu tidak saja menolong saya
tetapi juga menolong Ibu sendiri. Paham?”.
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika... apakah Ibu merencanakan hal ini secara sadar, atau terjadi begitu saja?”
Atau
”Ibu Mandika... Ibu melakukan ini, apakah Ibu membutuhkan uang lebih banyak, atau
karena menghadapi masalah keuangan?”
Atau
”Ibu Mandika...Ibu melakukan ini karena Ibu tidak pernah merasa cukup, atau karena
perlakukan perusahaan terhadap Ibu?”.
p. Benchmark admission.
Apapun jawaban subyek atas pertanyaan pilihan tersebut – apakah ya atau tidak – ia telah
melakukan benchmark admission. Sekali benchmark admission dinyatakan, secara tidak
sadar subyek telah memutuskan untuk mengakui perbuatannya. Pertanyaan dirancang dengan
struktur pilihan negatif disajikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan pilihan positif.
Dengan cara ini, subyek harus mengangguk atau memilih ”ya”. Pada umumnya subyek
menjawab secara negatif juga.
Contoh
Responden:
”Saya tidak melakukannya secara sengaja”
Atau
”Saya tidak melakukannya karena menginginkan uang lebih banyak”
Atau
”Saya tidak melakukannya karena saya merasa tidak pernah cukup”.
Atau
”Jadi Ibu lakukan itu karena cara perusahaan memperlakukan Ibu?”
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika, saya senang mendengar Ibu melakukan perbuatan tersebut disertai alasan
yang tepat. Hal itu menegaskan apa yang saya pikirkan selama ini – bahwa Ibu
diperhadapkan dalam kondisi yang amat rumit. Kapan peristiwa pertama terjadi?”
r. Pengakuan secara verbal.
Peralihan menuju pengakuan secara verbal, dilakukan pada saat pertama kali subyek
menyampaikan informasi mengenai perbuatannya. Setelah itu, tugas pewawancara adalah
menggali lebih dalam mengenai rincian peristiwa – jika dimungkinkan termasuk informasi
yang hanya diketahui oleh subyek. Terdapat tiga pendekatan dalam peroleh pangakuan secara
verbal: runtutan peristiwa, transaksi, atau peristiwa kejadian (event). Pendekatan yang
digunakan tergantung dari masing-masing kondisi kasus.
Misalkan: pewawancara ingin mendapatkan informasi perkiraan nilai uang yang digelapkan,
pihak lain yang terlibat, dan tempat bukti fisik terkait dengan kasus. Setelah fakta dasar ini
dikonfirmasikan, pewawancara dapat mengkonfirmasikan hal-hal yang lebih khusus lagi
secara berurutan. Pewawancara harus memperoleh pengakuan subyek sedini mungkin, bahwa
perbuatannya adalah salah. Hal ini mengkonfirmasikan unsur penting dari motivasi (intent)
subyek.
Secara psikologi, kebanyakan subyek berbohong satu hal atau lebih dalam mengakui
perbuatan jahatnya, walaupun secara fakta si subyek memang bersalah. Jika hal ini terjadi,
pewawancara harus mengingat kejanggalan perkataan subyek tersebut dan melanjutkannya
seolah-olah ketidakjujuran itu telah diterima subyek sebagai kebenaran.
Kejanggalan itu harus diungkapkan hingga fakta–fakta relevan lainnya diberikan oleh subyek.
Jika kejanggalan itu bersifat signifikan, maka pewawancara harus menindaklanjuti dengan
pengakuan verbal atau mengoreksinya dalam pernyataan tertulis.
Jika kejanggalan itu tidak signifikan, informasi tersebut dapat diabaikan secara keseluruan
melalui pernyataan tertulis. Informasi berikut ini harus diperoleh selama pengakuan verbal:
1) Subyek mengetahui bahwa perbuatannya adalah salah.
Motivasi (intent) adalah unsur penting berkaitan dengan perbuatan penyimpangan. Tidak
saja subyek mengakui perbuatannya, tetapi juga ia mempunyai motivasi melakukannya.
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika...Ibu telah memutuskan untuk menolong diri Ibu sendiri, saya juga
sanggup menolong Ibu. Saya ingin bertanya beberapa hal agar permasalahan menjadi
lebih jelas. Setahu saya, Ibu melakukan perbuatan ini, Ibu tahu betul bahwa hal itu
salah, tetapi Ibu tidak bermaksud merugikan perusahaan, bukankah begitu Bu?”
Perhatikan:
Pertanyaan di atas dirancang agar subyek mengakui motivasinya dalam melakukan
penyimpangan, tetapi ”tidak bermaksud merugikan” pihak lain. Pastikan pertanyaan
agar tidak disalahartikan oleh subyek sehingga ia merespon ”saya tidak bermaksud
melakukannya”.
(hindari penggunakan kata ”bukti” atau penyajian untuk pengadilan atau jaksa).
Reponden:
”Baiklah”
Pewawancara:
”Dimana Ibu menyimpan rekening bank Ibu? (jika pewawancara mengetahui
sekurangnya ia memiliki leibh dari satu bank dimana untuk usahanya, pertanyaan
menjadi: ”Ibu Mandika...dimana Ibu melakukan usaha selain di Bank X Jakarta?”).
Responden:
”Hanya di Bank X Jakarta”
Pewawancara:
”Saya memerlukan persetujuan Ibu untuk mendapatkan rekening bank tersebut, jika
diperlukan. Dimana Ibu menyimpan dokumen aslinya?”
(jangan tanyakan persetujuan subyek untuk melihat dokumen tersebut, namun jelaskan
kepadanya bahwa dokumen tersebut diperlukan. Biarkan subyek mengungkapkan rasa
keberatannya jika ia mempunyai masalah mengenai itu).
1) Penggunaan hasil kejahatan.
Pewawancara juga harus mendapatkan informasi secara umum mengenai apa yang telah
dilakukan oleh subyek terhadap uang haram yang diperolehnya. Seringkali uang tersebut
telah digunakan untuk bersenang–senang atau berfoya–foya. Pewawancara harus
menghindari memberikan komentar atau menanyakan subyek mengenai gaya hidup
mewahnya.
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika...uang tersebut Ibu gunakan untuk apa?” (biarkan subyek yang
menjelaskan, jangan memberikan saran/jawaban kecuali ia diam saja).
2) Keberadaan harta.
Pada saat yang tepat, pewawancara dapat juga menanyakan kepada subyek apakah ada
harta miliknya yang dapat mengurangi kerugian yang ditimbulkan.
Ketimbang bertanya ”Apakah masih ada harta yang tersisa?” pertanyaan harus diarahkan
”Apa yang tersisia?”
Contoh
Pewawancara:
”Ibu Mandika...apa yang masih Ibu sisakan dari semua ini?”
Responden:
“Tidak banyak. Saya menggunakan seluruh uang untuk menanggulangi masalah
keuangan suami saya. Sedikit uang dan sebuah kapal yang sudah dibayar, hanya itu
saja”.
Pewawancara:
“Baik, apapun itu, keadaan akan menjadi lebih baik jika Ibu secara sukarela
mengembalikannya, Ibu setuju?”
dari pertanyaan. Yang terbaik adalah mendapatkan jawaban dari subyek secara mandiri
terlebih dahulu sebelum menunjukkan bukti-bukti fisik kepada subyek. Jika subyek tidak
dapat mengingat peristiwa itu secara independen, maka dokumen dapat digunakan
pewawancara untuk menolong subyek mengingat kembali peristiwa.
Dalam menentukan hal–hal khusus dari perbuatan penyimpangan subyek, pewawancara pada
umumnya harus menanyakan hal-hal berikut ini:
- Siapa yang mengetahui transaksi tersebut?
- Apa arti dari dokumen tersebut?
- Kapan transaksi tersebut terjadi?
- Kemana uang yang diperoleh dari transaksi tersebut mengalir?
- Mengapa perbuatan itu dilakukan?
- Bagaimana perbuatan itu disembunyikan?
Pada puncaknya, subyek harus memberikan pengakuan secara tertulis atau Berita Acara
Pengakuan dengan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara tersebut. Kelemahan
cara ini adalah bahwa pengakuan tertulis ini tidak menggunakan kata-kata, kalimat, atau
bahasa subyek sepenuhnya. Sehingga di kemudian hari, mungkin saja subyek menyangkal
pengakuan yang telah dibuatnya itu.
Wawancara adalah kegiatan yang sulit dan amat jarang seseorang dapat menguasai
wawancara tanpa latihan yang cukup. Dengan menguasai teknik yang ada, jika dilakukan
dengan tepat, hal ini dapat menolong dalam memperoleh informasi yang diperlukan, dapat
dipercaya, dan sah.
Tempat/tanggal lahir :
Jenis kelamin :
Kewarganegaraan :
Agama :
Pekerjaan/Jabatan :
Pangkat/golongan :
NIP :
Instansi :
Alamat Instansi :
Alamat tempat tinggal :
Catatan:
1. BAPK bukanlah sekedar suatu media komunikasi antara pemeriksa dengan pihak pemberi
informasi, namun juga merupakan suatu media untuk mengkonfirmasikan temuan hasil
pemeriksaan kepada pihak-pihak terkait.
3. Jangan mengajukan pertanyaan yang tidak sesuai dengan temuan yang ada (butir a dan b), atau
pertanyaan lain yang dapat melemahkan substansi temuan tersebut, tanpa ada pertanyaan lain dari
pemeriksa yang menangkalnya.
4. Berikut ini adalah contoh dari pertanyaan dalam BAPK. Pertanyaan BAPK dapat dikembangkan
sesuai dengan masalah, situasi dan kondisi yang ada.
Pertanyaan Jawaban
1. Apakah Suadara mengerti mengapa hari ini diminta keterangan oleh pemeriksa?
1. Jawaban: .......................................................
2. Apakah Saudara pada hari ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani?
2. Jawaban: .......................................................
4. Harap Saudara jelaskan tentang tugas pekerjaan yang dibebankan dan menjadi tanggung jawab
Saudara?
4. Jawaban: .......................................................
6. Siapakah yang berwenang dan berhak memerintahkan Saudara untuk melakukan tugas
pekerjaan tersebut?
6. Jawaban: .......................................................
7. Siapa saja yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung baik atasan/bawahan dengan
tugas pekerjaan tersebut?
7. Jawaban: .......................................................
11. Saudara sadar bahwa Saudara telah melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan
(menerima suap, merekayasa nilai pengeluaran uang, memalsukan dokumen pendukung
pengeluaran,...), bagaimana jawab Saudara?
11. Jawaban: .......................................................
12. Jika Saudara mengerti perbuatan tersebut menyimpang, mengapa Saudara melakukannya?
12. Jawaban: .......................................................
13. Saudara sadar bahwa perbuatan Saudara berakibat merugikan negara/orang lain/ merusak citra
Saudara sebagai pegawai, bagaimana jawab Saudara?
13. Jawaban: .......................................................
14. Apakah ada hal-hal lain yang perlu Saudara sampaikan kepada kami dalam kesempatan ini?
14. Jawaban: .......................................................
15. Apakah jawaban Saudara di atas adalah benar dan bukan karena paksaan/ tekanan atau
pengaruh dari kami peminta keterangan?
15. Jawaban: .......................................................
Demikian Berita Acara Permintaan Keterangan ini kami buat dengan sebenarnya dan permintaan
keterangan ini kami akhiri. Selanjutnya Berita Acara Permintaan Keterangan ini dilihat dan dibaca
sendiri oleh yang bersangkutan dan setelah mengerti isinya serta membenarkan semua
keterangannya, maka ia membubuhkan tanda tangannya seperti di bawah ini dan membubuhkan
parafnya pada halaman-halaman di muka
Yang memberi keterangan
(nama lengkap)
Berita Acara Permintaan Keterangan ini kami buat dengan sebenarnya, dengan mengingat sumpah
jabatan kami sekarang ini, kemudian ditutup dan ditandatangani pada hari ini dan tanggal seperti
tersebut di atas.
Yang meminta keterangan
1. .......................................................................................
2. .......................................................................................
Nama : .............................................................
NIP : .............................................................
Jabatan : .............................................................
Nama : .............................................................
NIP : .............................................................
Jabatan : .............................................................
...............................................................................................................................................................
...............................................................................................................................................................
...............................................................................................................................................................
...............................................................................................................................................................
...............................................................................................................................................................
...............................................................................................................................................................
...............................................................................................................................................................
..........................................
Nama : 1.........................................
NIP :
Jabatan : 2.........................................
Nama/Kode Proyek: :
Departemen/Lembaga :
Pekerjaan Kontrak Nilai Fisik Jenis Berita Acara/Kuitansi Fiktif Nilai Realisasi Ket
No Yang Barang Menurut Pekerjaan atau Tidak Benar Tidak Sesuai
Diperiksa Diperiksa Pemerik Tidak Sesuai Kontrak
Fisiknya saan Kontrak
No Ni No & Fisik Nilai Kon Reali Seli
& lai Tgl Diperiksa Fiktif trak sasi sih
Tgl Fiktif
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Di dalam laporan pemeriksaan uraian mengenai pihak yang diduga terlibat hanya
mencantumkan kuantitas dan kode pelaku serta peran keterlibatannya. Penjelasan lebih
rinci mengenai pejabat yang diduga terlibat disajikan dalam bentuk lampiran tersendiri.
Lampiran tersebut disampaikan bersamaan dengan penyampaian surat pengantar masalah.
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Contoh:
PASAL 2 UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 1999
Catatan:
Matriks Tindak Pidana Korupsi, merupakan Kertas Kerja Pemeriksaan Investigatif, bukan merupakan
lampiran dari Laporan Pemeriksaan Investigatif.
Penjelasan:
Penanggung jawab pemeriksaan mengorganisasikan laporan pemeriksaan investigatif yang
diterbitkannya, berdasarkan kelompok informasi awal sebagai dasar melakukan pemeriksaan investigatif,
dengan menggunakan formulir pengorganisasian laporan pemeriksaan investigatif.
1. Kolom 1: Nomor Urut. Diisi nomor urut sesuai dengan urutan laporan pemeriksaan investigatif yang
diterbitkan
2. Kolom 2: Nomor dan Tanggal Laporan. Diisi dengan nomor dan tanggal laporan yang diterbitkan.
3. Kolom 3: Jumlah Halaman Laporan. Diisi dengan jumlah halaman laporan yang diterbitkan.
4. Kolom 4: Distribusi Laporan. Diisi dengan informasi instansi/pejabat yang memperoleh distribusi
laporan
5. Kolom 5: Nomor dan Tanggal Surat Pengantar. Diisi dengan nomor dan tanggal Surat Pengantar
yang diterbitkan.
6. Kolom 6: Tindak Lanjut. diisi dengan informasi mengenai tindak lanjut laporan yang telah
diserahkan kepada intansi yang berwenang melakukan tindak lanjut.
7. Kolom 7: Penjelasan. Diisi dengan informasi penting lainnya berkaitan dengan laporan pemeriksaan
investigatif.
Instansi yg Ditama
Ketua BPK TPPI Tortama Lain-lain
Berwenang Binbangkum
Permintaan Permintaan
penghitungan penghitungan
Permintaan Permintaan
Menugaskan
penghitungan penghitungan
menelahaan
Permintaan
Permintaan Menugaskan Menghadiri
pemaparan
Pemaparan menelahaan Pemaparan
Hasil
Pemaparan
Paparan
Hasil
Penelahaan
Paparan
Cukup Jelas
& yakin. Ya
Tmsk unsur
pidana?
Bukti Tidak
tambahan
HT: tidak Tidak Belum/
dilakukan PI Cukup
Bukti?
Ya
Permintaan
Bukti tamb
Permintaan Permintaan
Bukti tmbhn Bukti tmbhn
Penelahaan
Ada kerug?
Tidak
Kerug
Neg?
Ya
HT:dilakukan Hasil
PI Telahaan
Menugaskan
Disposisi Tim
Disposisi
Tim
Instansi yg Ditama
Kalan Tortama TPPI Ketua BPK Lain-lain
Berwenang Binbangkum
Menugaskan
Melaporkan Permintaan Menghadiri
menelahaan
Permintaan Pemaparan Pemaparan
pemaparan
Pemaparan
Hasil
Paparan
Hasil
Paparan
Penelahaan
Cukup Jelas
Ya
& yakin.
Tmsk unsur
pidana?
Bukti Tidak
tambahan
Belum/ Tidak HT: tidak
Cukup dilakukan PI
Bukti?
Ya
Permintaan
Bukti tamb
Permintaan Permintaan
Bukti tmbhn Bukti tmbhn
Penelahaan
Ada kerug?
Kerug Tidak
Neg?
Ya
Hasil HT:dilakukan
Telahaan PI
Menugaskan
Disposisi Tim
Disposisi
Tim
ttd
Anwar Nasution
TIM PENYUSUN
JUKNIS PEMERIKSAAN INVESTIGATIF
TAHUN 2008
2. Gatot Supiartono
3. Lukman Hakim
4. Sumarsana
5. Silpana Suryani
6. Dwiyana Novisanti
9. Cahyo Anggoro
11.Aurora Magdalena