Anda di halaman 1dari 3

Nestapa Eks Tapol PKI di Moncongloe

30 september 1965 merupakan catatan kelam dalam sejarah Republik Indonesia,


peristiwa yang kemudian disebut dengan istilah G30S/PKI. Percobaan kudeta dan pembunuhan 6
perwira tinggi TNI dimana Partai Komunis Indonesia atau PKI disebut sebagai dalang dari
kekacauan ini. Pasca kejadian ini, tepatnya sejak 1965-1966 pemerintah Indonesia menyatakan
PKI dan ideologi Komunis sebagai suatu hal yang terlarang. Pemerintah melalui aparatnya juga
melakukan pembersihan besar-besaran terhadap seluruh anggota, simpatisan PKI, bahkan
mereka yang dituduh sebagai PKI. Ratusan ribu orang meninggal akibat peristiwa ini sementara
yang selamat dijadikan tahanan politik.

Tahanan politik ini kemudian dikumpulkan dalam berbagai camp tahanan yang tersebar
hamper diseluruh wilayah di Indonesia. Salah satu lokasi camp tahanan politik ini berada di
Moncongloe, Sulawesi Selatan. Ketika seseorang ditangkap, ditahan, diadili kemudian dihukum
adalah hal yang wajar terjadi dalam suatu negeri yang menganut prinsip-prinsip rule of law.
Akan tetapi persoalan menjadi lain ketika seorang ditangkap, dipenjara, lalu dipisahkan dari
lingkungan sosialnya, hanya karena perbedaan berpikir dan gagasan. Kondisi inilah yang dialami
oleh tapol PKI di Sulawesi Selatan. Mereka ditangkap dan diasingkan di Moncongloe tanpa
pernah melalui proses pengadilan.

Masa pengasingan mereka kemudian selesai pada tahun 1979 dan para tapol ini secara
bertahap kemudian dibebaskan lalu kemudian dinyatakan tidak bersalah. Pasca pembebasan,
persoalan komunitas tahanan politik Moncongloe tidak berakhir. Mereka dihadapkan pada
kontrol pemerintah melalui perangkat konstitusi dan penjurusan negatif pada diri tahanan politik
sebagai orang “tidak bersih lingkungan”. Akibatnya, melahirkan sebuah komunitas yang
terpinggirkan dalam bidang sosial, politik dan ekonomi. Kehidupan pasca pembebasan mereka
lalui dengan berat,. Pengucilan yang terjadi ditengah kehidupan social masyarakat memaksa
mereka untuk kehilangan kepercayaan diri dan depresi. Kebebasan yang seharusnya membawa
mereka pada kemerdekaan individu justru membawa mereka pada penjara social masyarakat.

Kebebasan yang mereka terima tidak seutuhnya makna kebebasan, Hak social dan politik
mereka justru dikebiri dan memikul hukuman kolektif. Hak sendiri merupakan kuasa untuk
menerima sesuatu yang semestinya diterima dan dapat dituntut secara paksa oleh tiap individu.
Setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama antara satu dengan lainnya. Persamaan
dimata hukum, politik, social, dan ekonomi merupakan hal yang mutlak dan selalu dijunjung
tinggi. Hak sebagai warga negara juga diatur dalam undang-undang sebagaimana tercantum
dalam pasal 27 sampai dengan pasal 34 UUD 1945. Diantaranya adalah :

 Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan ( pasal 27 ayat 2 )
 Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hokum yang adil serta
perlakuan yang sama dimata hokum ( pasal 28C ayat 2 )
 Hak atas Pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya demi
meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahtraan hidup manusia ( pasal 28C
ayat 1 )

Kondisi yang dialami oleh para eks tapol PKI seolah berbanding terbalik dengan hak-hak
warga negara yang telah diatur dalam konstitusi. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM bahkan
masuk dalam Nawacita yakni 9 program prioritas Jokowi pada periode 2014-2019. Hingga kini,
55 tahun setelah peristiwa itu deskriminasi terhadap para eks tapol dan keluarganya masih terasa.
Labelling yang terjadi terhadap para bekas tahanan politik ini sebenarnya merupakan produk
ciptaan orde baru dengan ciri khas yang sarat akan control yang kuat serta pendekatan kekerasan
yang terjadi secara structural. Kondisi seperti ini telah terjelaskan dalam pemikiran Antonio
Gramsci mengenai negara dan hegemoni.

Dalam pandangannya, Antonio Gramsci menjelaskan tentang supremasi kelas yang


menunjukkan bahwa suatu kelompok menjalankan kekuasaan terhadap kelompok lainnya yang
berada dibawahnya melalui kekerasan dan persuasi. Tindakan represif ini kemudian dijalankan
oleh aparatur negara seperti polisi, tantara, dan hakim. Berbeda dengan tindakan represif,
tindakan persuasive sendiri dilakukan dengan cara membentuk dan menanamkan sebuah paham
di masyarakat umum bahwa para bekas tahanan politik merupakan orang tidak bersih
lingkungan. Paham dan ideologi ini kemudian terus diperkuat pihak pemerintah kepada
masyarakat sehingga control dari lapisan masyarakat yang lebih tinggi semakin kuat terhadap
lapisan masyarakat dibawahnya.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu merupakan janji politik pemerintah yang
sampai hari ini masih belum menemui titik terang. Terlebih pada kasus 1965 yang cakupannya
terbilang luas dengan jumlah korban yang sangat besar. Sayangnya, negara melalui pemerintah
seolah hanya terus membangun niatan tanpa aksi yang nyata dalam menjawab panggilan derita
para eks tahanan politik ini. Bayang-bayang akan dosa masa lalu nyatanya hari ini seolah langit
sore yang kian malam kian memudar cahayanya. Seolah dengan melupakan, tanggung jawab
dapat ikut terhapuskan. Pembiaran bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab semakin
menunjukkan bagaimana peradilan bagi pelanggar HAM di Indonesia bekerja. Benar bahwa
ketakutan akan negara telah menjadi alat kekuasaan untuk mengontrol rakyat secara berlapis.

Anda mungkin juga menyukai