Nestapa Eks Tapol PKI Di Moncongloe
Nestapa Eks Tapol PKI Di Moncongloe
Tahanan politik ini kemudian dikumpulkan dalam berbagai camp tahanan yang tersebar
hamper diseluruh wilayah di Indonesia. Salah satu lokasi camp tahanan politik ini berada di
Moncongloe, Sulawesi Selatan. Ketika seseorang ditangkap, ditahan, diadili kemudian dihukum
adalah hal yang wajar terjadi dalam suatu negeri yang menganut prinsip-prinsip rule of law.
Akan tetapi persoalan menjadi lain ketika seorang ditangkap, dipenjara, lalu dipisahkan dari
lingkungan sosialnya, hanya karena perbedaan berpikir dan gagasan. Kondisi inilah yang dialami
oleh tapol PKI di Sulawesi Selatan. Mereka ditangkap dan diasingkan di Moncongloe tanpa
pernah melalui proses pengadilan.
Masa pengasingan mereka kemudian selesai pada tahun 1979 dan para tapol ini secara
bertahap kemudian dibebaskan lalu kemudian dinyatakan tidak bersalah. Pasca pembebasan,
persoalan komunitas tahanan politik Moncongloe tidak berakhir. Mereka dihadapkan pada
kontrol pemerintah melalui perangkat konstitusi dan penjurusan negatif pada diri tahanan politik
sebagai orang “tidak bersih lingkungan”. Akibatnya, melahirkan sebuah komunitas yang
terpinggirkan dalam bidang sosial, politik dan ekonomi. Kehidupan pasca pembebasan mereka
lalui dengan berat,. Pengucilan yang terjadi ditengah kehidupan social masyarakat memaksa
mereka untuk kehilangan kepercayaan diri dan depresi. Kebebasan yang seharusnya membawa
mereka pada kemerdekaan individu justru membawa mereka pada penjara social masyarakat.
Kebebasan yang mereka terima tidak seutuhnya makna kebebasan, Hak social dan politik
mereka justru dikebiri dan memikul hukuman kolektif. Hak sendiri merupakan kuasa untuk
menerima sesuatu yang semestinya diterima dan dapat dituntut secara paksa oleh tiap individu.
Setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama antara satu dengan lainnya. Persamaan
dimata hukum, politik, social, dan ekonomi merupakan hal yang mutlak dan selalu dijunjung
tinggi. Hak sebagai warga negara juga diatur dalam undang-undang sebagaimana tercantum
dalam pasal 27 sampai dengan pasal 34 UUD 1945. Diantaranya adalah :
Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan ( pasal 27 ayat 2 )
Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hokum yang adil serta
perlakuan yang sama dimata hokum ( pasal 28C ayat 2 )
Hak atas Pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya demi
meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahtraan hidup manusia ( pasal 28C
ayat 1 )
Kondisi yang dialami oleh para eks tapol PKI seolah berbanding terbalik dengan hak-hak
warga negara yang telah diatur dalam konstitusi. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM bahkan
masuk dalam Nawacita yakni 9 program prioritas Jokowi pada periode 2014-2019. Hingga kini,
55 tahun setelah peristiwa itu deskriminasi terhadap para eks tapol dan keluarganya masih terasa.
Labelling yang terjadi terhadap para bekas tahanan politik ini sebenarnya merupakan produk
ciptaan orde baru dengan ciri khas yang sarat akan control yang kuat serta pendekatan kekerasan
yang terjadi secara structural. Kondisi seperti ini telah terjelaskan dalam pemikiran Antonio
Gramsci mengenai negara dan hegemoni.