Anda di halaman 1dari 2

HARI ANTI PEMISKINAN:

KEMISKINAN BUKAN TAKDIR; MENJADI KAYA ADALAH MULIA !

Sejak dahulu kala sudah didengung-dengungkan orang menjadi miskin karena


malas bekerja. Tidak dilihat bahwa penyebab kemiskinan adalah struktur ekonomi
dan politik yang timpang. Struktur ekonomi kapitalis yang bergerak ke arah
neoliberisme menempatkan orang-orang kaya dipuncak piramida. Sementara
orang-orang miskin berada di lapisan terbawah dari piraminda. Artinya, orang-
orang miskin menjadi batu injakan bagi kelas-kelas sosial yang ada di atasnya.
Inilah yang menyebabkan ketimpangan sosial terjadi.

Neoliberalisme menghendaki persaingan bebas dalam segala hal. Mereka tidak


ingin negara turut campur dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, mereka
menentang adanya subsidi dan pemihakan terhadap rakyat miskin. Bagi mereka,
pemberian subsidi adalah pemborosan. Mereka menghedaki agar rakyat miskin
dibiarkan berjuang sendirian tanpa ada bantuan dari negara. Karena tidak memiliki
kekuatan, akhirnya rakyat miskin semakin bertambah parah kondisinya. Kondisi
inilah yang terjadi sampai hari ini. Apalagi dalam situasi pandemi akibat Covid 19.

Kegagalan rezim neoliberal dalam mengatasi pandemi tentu memperbanyak


barisan kemiskinan. Ketika sebagian besar negara mengalami resesi, kondisi
ekonomi terpuruk, maka secara langsung jumlah orang miskin akan bertambah.
Ini terjadi karena kebijakan yang dikeluarkan selama pandemi lebih diarahkan
untuk menyelamatkan orang-orang kaya yang berada di lapisan atas, sementara
orang-orang miskin dibiarkan begitu saja.

Berdasarkan data Pew Research Center, jumlah penduduk miskin di seluruh dunia
selama pandemi bertambah 131 juta. Dampak pandemi juga bisa dilihat dari
peningkatan jumlah pada masyarakat berpendapatan rendah atau kelas bawah,
yakni sebanyak 21 juta jiwa. Bagaimana di Indonesia? Data Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia turun tipis sebanyak
0,04% dari 27,55 juta pada September 2020 menjadi 27,54 juta. Bila
dibandingkan dengan Maret 2020, terjadi kenaikan sebesar 4,2%. Bila dilihat dari
persentase, penduduk miskin Indonesia sebesar 10,14% pada Maret 2021. Angka
ini hanya turun 0,05% dibandingkan dengan September 2020 yang sebesar
10,19%. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya meningkat 0,36% dari
9,78%. Berdasarkan wilayah, kemiskinan di perdesaan lebih tinggi dari perkotaan.
Di perdesaan angka kemiskinan mencapai 13,1%, sementara di perkotaan sebesar
7,89%.

Bagaimana di negara kaya raya seperti Indonesia masih ada 4% penduduknya


hidup dalam kemiskinan? Ini terjadi karena pemerintah lebih memilih mengeluarkan
kebijakan yang pro orang kaya. Ada kebijakan kepada rakyat miskin seperti
Bantuan Langsung Tunai (BLT), tetapi jumlahnya sangat kecil bila dibandingkan
dengan insentif yang diberikan kepada pemilik modal. Bantuan- bantuan sosial pun
sama nasibnya. Ibarat setetes air hujan di musim kemarau yang panjang.
Akibatnya, rakyat miskin masih terseok-seok menghadapi kenyataan hidup sehari-
hari. Inilah yang harus diubah.

Kemiskinan bukan takdir. Kemiskinan lahir karena struktur masyarakat yang


timpang. Struktur ini dibuat untuk menguntungkan satu kelompok orang kaya saja.
Mereka hidup memeras manusia lain untuk menumpuk kekayaan. Kerja mereka
adalah mencuri kerja dari orang lain, kaum buruh, tani maupun kaum miskin kota.
Karena bukan takdir, maka kemiskinan bisa diubah. Bagaimana caranya? Ada
banyak jalan ke Romo, ada banyak jalan menuju perubahan, salah satunya
membangun sistem alternatif. Sistem alternatif ini berdasarkan kemakmuran
bersama. Tidak ada yang mendominasi satu terhadap yang lain. Semua setara
baik dalam ekonomi, politik maupun sosial budaya.

Menjadi kaya adalah mulia. Setiap orang berhak menjadi kaya, bukan hanya
segelintir orang saja. Maka rebut hak-hak menjadi kaya itu. Ubah sistem yang
timpang. Ganti dengan sistim baru yang memuliakan semua umat manusia. Bersatu
adalah jalan untuk mengubah sistem itu. Kita anti kemiskinan karena menjadi kaya
adalah mulia. ***

Anda mungkin juga menyukai