Anda di halaman 1dari 30

PEMBAGIAN HARTA WARIS

Dibuat untuk memenuhi tugas kelompok Hukum Kewarisan Islam

Dosen Pengampu :
Dr. H. Muhammad Ufuqul Mubin, M.Ag.

Disusun oleh :
1. M. Alifianto (C93219085)
2. Nia Nur Hanifah (C93219098)
3. Wisma Sanjaini (C93219115)

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
MEI 2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kami ucapkan. Tidak
lupa shawalat serta salam tercurahkan bagi Baginda Agung Rasulullah SAW yang telah
membimbing kami menuju jalan yang lurus dan terang benerang.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari dosen Dr.
H. Muhammad Ufuqul Mubin, M.Ag. Pada mata kuliah Hukum Kewarisan Islam. selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga
penulis.
Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami sangat berharap kritik dan saran dari pembaca agar dapat menulis
makalah ini dengan lebih baik lagi. Demikian kata pengantar ini penulis sampaikan.
Terima kasih atas semua pihak yang membantu penyusunan dan membaca makalah ini.

Surabaya, 19 Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................................. ii
BAB I ............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 1
BAB II ............................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 2
A. Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam Dan Pengertian Pewaris, ahli waris Dan
Pewarisan. ................................................................................................................................. 2
B. Golongan Dan Pembagian Warisan .................................................................................. 6
C. Cara Penyelesaian Sengketa Ahli Waris ................................................................... 12
BAB III ........................................................................................................................................ 24
PENUTUP.................................................................................................................................... 24
Kesimpulan .............................................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orang yang telah
meninggal dunia kepada ahli waris. Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima
harta peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik karena hubungan keluarga,
pernikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya. Sedangkan hukum waris
adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan
seseorang yang telah meninggal dunia. Saat ini, hukum waris yang berlaku dan diterima
oleh masyarakat Indonesia ada tiga yaitu hukum waris adat, hukum waris islam (ilmu
faraidh) dan hukum waris perdata.

Mengingat indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas beragama


islam berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, maka seharusnya hukum waris
islam benar-benar diterapkan dalam kehidupan masyarakat islam di Indonesia. Namun
pada kenyataannya, kebanyakan masyarakat islam di Indonesia belum menerapkan
hukum waris islam dalam membagi harta waris mereka karena disebabkan oleh banyak
hal. Beberapa diantaranya yaitu hukum waris islam dianggap sulit dipelajari dan terlalu
rumit jika harus diterapkan dalam praktek pembagian harta waris serta terbatasnya ahli
hukum waris islam terutama didaerah dengan tingkat pendidikan rendah atau daerah
dengan penduduk mayoritas beragama non islam. Dianggap sulit dan rumit karena tingkat
kompleksifitas dalam penarikan kesimpulan yang berupa penentuan bagian harta untuk
masing masing ahli waris harus berdasarkan fakta yaitu siapa dan berapa ahli waris yang
masih hidup dan fakta tersebut harus memenuhi aturan atau kondisi tertentu.

1.2 Rumusan Masalah


1. apa pengertian pewaris,ahli waris, dan pewarisan menurut Islam?
2. Bagaimana pembagian waris menurut Islam?
3. Bagaimana cara penyelesaian sengketa kewarisan?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui pengertian, pembagian ahli waris
2. Mengetahui cara penyelesaian sengketa ahli waris

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam Dan Pengertian Pewaris, ahli
waris Dan Pewarisan.
Pembagian warisan menurut hukum islam merupakan harta yang diberikan dari orang
yang telah meninggal kepada orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan kerabat-
kerabatnya. Pembagian harta waris dalam Islam diatur dalam Al-Qur an, yaitu pada An
Nisa yang menyebutkan bahwa Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan ada 6
pembagian pembagian harta waris, ada pihak yang mendapatkan setengah (1/2),
seperempat (1/4 ), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam
(1/6). Selain itu, kesan pada beberapa ketentuan dalam Ilmu Fiqih yang lebih spesifik
dengan pembagian waris antara lain adalah:

1. Asal Masalah Masalah Asal adalah: ‫ أقل عددد يصح منه فرضها أو فروضها‬Artinya :
“Bilangan bagian yang dapat diperoleh secara benar1. Adapun Yang dikatakan
“didapatkannya Bagian Beroperasi benar” ATAU hearts ilmu faraidl disebut
Tashhîhul * Masalah Adalah: ‫أقل عدد يتأتى منه نصيب كل واحد من الورثة صحيحا من غير‬
‫ كسر‬Artinya: “Bilangan terkecil Yang darinya can didapatkan Bagian masing-
masing ahli waris Beroperasi Benar Tanpa adanya pecahan. ” (Musthafa Al-Khin,
2013: 339) Ketentuan Asal Masalah bisa disamakan dengan masing-masing
bagian pasti ahli waris yang ada.
2. Adadur Ru'ûs (‫ )عدد الرؤوس‬Secara bahasa 'Adadur Ru'ûs berarti bilangan kepala.
Persamaan masalah di atas ditetapkan dan digunakan ahli dalam pengertian
warisnya terdiri dari waris yang memiliki bagian pasti atau dzawil furûdl.
Sedangkan kriteria para ahli waris terdiri dari kaum laki-laki yang kesemuanya
menjadi ashabah maka Asal Masalah-nya dibentuk melalui jumlah kepala / orang
yang menerima warisan.
3. Siham (‫ )سهام‬Siham adalah nilai yang dihasilkan dari perkalian antara Asal
Masalah dan bagian pasti seorang ahli waris dzawil furûdl. Majmu 'Siham ( ‫مجموع‬
‫ )السهام‬Majmu' Siham adalah jumlah total siham dalam menghitung pembagian
warisan:

1 .” (Musthafa Al-Khin, al-Fiqhul Manhaji, Damaskus, Darul Qalam, 2013, jilid II, halaman 339)

2
• Penentuan ahli waris yang ada dan berhak menerima warisan
• Penentuan bagian masing-masing ahli waris, contoh istri 1/4, Ibu 1/6, anak laki-
laki sisa (ashabah) dan seterusnya.
• Penentuan Asal Masalah, contoh dari penyebut 4 dan 6 Asal Masalahnya 24
• Penentuan Siham masing-masing ahli waris, contoh istri 24 x 1/4 = 6 dan
seterusnya

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam hukum kewarisan benar sebagai hukum
yang mengatur tentang hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan
beragama Islam, meninggalkan ahli awaris dan harta peninggalan.

Pengertian pewaris waris berarti 'orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan)
orang yang telah meninggal'. warisan berarti 'harta pusaka peninggalan'

Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia yang memiliki hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum unutk menjadi ahli waris. Harta peninggalan adalah harta yang disimpan
oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak atau hak-haknya.Harta
adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah,
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Namun demikian, selain memperoleh
hak waris, ahli waris juga memiliki kewajiban menurut ketentuan pasal 175 KHI yakni
untuk menyelesaikan dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, termasuk kewajiban pewaris atau
perawatan akun. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak. Para ahli waris
baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli
waris yang tidak memberikan permintaan itu, maka yang mengajukan dapat mengajukan
gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188
KHI) dengan ketentuan sebagaiman berikut ini:

3
• Bila pewaris Tidak ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui atau
tidak diketahui, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan diserahkan
penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan
kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI)
• Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing berhak mendapat
bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan total
bagian pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190 KHI).
• Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila
pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179
KHI).
• Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan
meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian (Pasal 180 KHI).

Masalah waris mewaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, diatur dalam pasal
49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan. Sedangkan menurut hukum
Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga wanita, cucu-cucu perempuan, ibu
dan nenek pihak perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja).
Para ahli waris mungkin 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10
dari pihak perempuan. Ahli waris dari pihak laki-laki adalah :

• Anak laki-laki (al ibn).


• Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn).
• Bapak (al ab).
• Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).
• Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).
• Saudara laki-laki sebapak (al akh liab).
• Saudara laki-laki seibu (al akh lium).
• Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).
• Keponakan laki-laki sebapak (ibnul akh liab).
• Paman seibu sebapak. Paman sebapak (al ammu liab).
• Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).
• Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy liab). Suami (az zauj).

4
Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang memerdekakan seorang
hamba sihamba tidak mempunyai ahli waris. Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan
adalah:

• Anak perempuan (al bint).


• Cucu perempuan (bintul ibn).
• Ibu (al um). Nenek, yaitu ibunya ibu (al jaddatun).
• Nenek dari pihak bapak (al jaddah minal ab).
• Saudara perempuan seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).
• Saudara perempuan sebapak (al ukhtu liab).
• Saudara perempuan seibu (al ukhtu lium).
• Isteri (az zaujah).
• Perempuan yang memerdekakan (al mu'tiqah).

Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah bagian dari bagian yang
mendapat apabila bagian demi bagian sipewaris tidak meninggalkan anak atau cucu, dan
mendapat bagian dari bagian 1/8 yang mempunyai anak atau cucu, dan berhak
mendapatkan juga bagian warisnya. Dengan demikian maka dalam Islam, pembagian
waris bukan melalui pembagian merata kepada ahli waris, tetapi dengan pembagian yang
proporsional seperti penjelasan diatas.

5
B. Golongan Dan Pembagian Warisan
a. Golongan Ahli Waris

Telah disebutkan diatas pengertian ahli waris, yaitu orang yang berhak menerima
harta peninggalan pewaris setelah meninggal dunia. Ahli waris yang termasuk kelompok
menurut hubungan darah, terlihat dan termasuk seperti dalam rumusan pasal 174 ayat 1
dan 2 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi :2

1. Kelompok-kelompok ahli waris pewaris terdiri dari:


a. Menurut hubungan darah:
a.) Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman dan kakek.
b.) Golongan perempuan terdiri dari: Ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek
2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak,
ayah, ibu, janda atau duda.3

Ahli Waris pada pasal 174 ayat (1) huruf a) diatas dijabarkan terdapat sebanyak 9 orang
secara keseluruhan. Dengan rincian terdiri dari golongan jenis kelamin laki-laki 5 orang
dan jenis kelamin perempuan 4 orang.

1) Golongan ahli waris laki-laki


a. Ayah;
b. Anak laki-laki;
c. Saudara laki-laki;
d. Paman;
e. Kakek;
2) Golongan ahli waris perempuan
a. ibu;
b. Anak perempuan;
c. Saudara perempuan
d. Nenek.

2
Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006). Hal 85
3
Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan
Agama (Cet. III; Jakarta: Yayasan Al-Hikmah Jakarta, 1993). Hal 349

6
Pemahaman ahli waris pada pasal 174 ayat (1) huruf a) Ahmad Rofiq memahami
jumlah ahli waris pada pasal 174 ayat (1) huruf a KompilasiHukum Islam (KHI), sama
dengan jumlah ahli waris dalam kitab-kitab dan buku-buku fiqih terdahulu. Beliau
berpendapat bahwa ahli waris laki-laki ada 13 (tiga belas) orang, ahli waris perempuan
ada 8 (delapan) orang, jadi seluruhnya 21 orang.

1) Ahli waris nasabiyah laki-laki:


1. Ayah;
2. Kakek (dari garis ayah);
3. Anak laki-laki;
4. Cucu laki-laki dari garis laki-laki;
5. Saudara laki-laki sekandung;
6. Saudara laki-laki seayah;
7. Saudara laki-lakiseibu;
8. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;
9. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
10. Paman, saudara laki-laki ayah seayah
11. Paman, saudara laki-laki ayah seayah
12. Anak laki-lakipaman sekandung;
13. Anak laki-laki paman seayah.
2) Ahli waris nasabiyah perempuan :
1. Ibu;
2. Nenek dari garis ibu;
3. Nenek dari garis ayah;
4. Anak perempuan;
5. Cucu perempuan garis laki-laki;
6. Saudara perempuan sekandung;
7. Saudara perempuan seayah;
8. Saudara perempuan seibu

Kemudian Ahmad Rofiq memahami rumusan ahli waris pada pasal 174 ayat (1) huruf
a sama rumusan ahli waris yang dikemukakan oleh Ibn Rusyd dalam bukunya Bidayatul
Al- Mujatahid, sebagai berikut:

7
1) Pewaris-pewaris laki-laki
a. Anak lelaki (al-ibn)
b. Cucu lelaki dari anak laki-laki
c. Ayah (al-ab)
d. Kakek (al-jadd),
e. Saudara laki-laki (al-akh).
f. Anak lelaki dari saudara lelaki (ibn’l-akh),
g. Paman (al-‘amm)
h. Anak paman (ibnu’I’amm)
i. Suami (az-zauj)
j. Tuan yang telah memberi kenikmatan (maula’n-ni’mah)
2) Pewaris-pewaris perempuan
a. Anak perempuan (al-ibnah)
b. Anak perempuan dari anak lelaki (ibnatu ‘l-ibn), meskipun sampai ke bawah
c. Ibu (al-umm).
d. Nenek (al-jaddah), meskipun sampai ke atas.
e. Saudarah perempuan (al-ukht).
f. Istri (az-zaujah)
g. Bekas tuan perempuan (al-maulah).4

TABEL AHLI WARIS DAN BAGIAN WARIS HUKUM WARIS ISLAM


INDONESIA MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM

DASAR HUKUM
PEROLEH
SEBAB / HUBUNGAN AHLI WARIS Al-Qur’an Pasal
AN
SYARAT /Hadits KHI
HARTA
WARIS
A 1. Istri / Janda Bila tidak ada anak/cucu 1/4 An-Nisa’ 12 180
PERKAWINAN Bila ada anak/cucu 1/8
(yang masih 2. Suami / Duda Bila tidak ada anak/cucu 1/2 An-Nisa’ 12 179
terikat status) Bila ada anak/cucu 1/4
B. 1. Anak Sendirian (tidak ada anak dan 1/2 An-Nisa’ 11 176
NASAB / Perempuan cucu lain)
HUBUNG Dua atau anak perempuan tidak 2/3
AN ada anak atau
DARAH cucu laki-laki
2. Anak Laki-Laki Sendirian atau bersama anak / Ashobah An-Nisa’
cucu lain (laki- (sisa 11dan
laki atau perempuan)

4
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada, 2005). Hal 28

8
Keterangan : Pembagian antara seluruh Hadist 01
laki-laki dan harta
perempuan 2 banding 1 setelah
dibagi
pembagi
an lain)
3. Ayah Kandung Bila tidak ada anak / cucu 1/3 An-Nisa’ 11 177
Bila ada anak / cucu 1/6
4. Ibu Kandung Bila tidak ada anak/cucu 1/3 An-Nisa’ 11 178
dan tidak ada duasaudara
atau lebih dan tidak
bersama Ayah
Kandung
Bila ada anak/cucu dan / atau 1/6
ada dua
saudara atau lebih dan tidak
bersama AyahKandung
Bila tidak ada anak/cucu dan 1/3 dari sisa An-Nisa’ 11
tidak ada dua sesudah
saudara atau lebih tetapi diambil
bersama AyahKandung istri/jand
a atau
suami/d
uda
5. Saudara laki- Sendirian tidak ada anak / cucu 1/6 An-Nisa’ 12 181
laki atau dan tidak ada
perempuanseibu Ayah Kandung
Dua orang lebih tidak ada 1/3
anak / cucu dantidak ada
Ayah Kandung
6. Saudara Sendirian tidak ada anak / cucu 1/2 An-Nisa’ 12 182
perempuan dan tidak ada
kandung atau Ayah Kandung
seayah Dua orang lebih tidak ada anak 2/3
/ cucu dan
tidak ada Ayah Kandung
7. Saudara laki-laki Sendirian atau bersama saudara Ashobah (sisa An-Nisa’ 12
kandung atau lain dan tidak ada anak / cucu seluruh
seayah Dan tidak ada ayah kandung
Keterangan : Pembagian antara harta setelah dan Hadits
laki-laki dan dibagi
perempuan 2 banding 1 pembagian lain)
8. Cucu / Menggantikan kedudukan Sesuai yang Tidak ada / 11185185
keponaka orang tuanya yang menjadi diganti Ijtihad
n ahli waris. Persyaratan kedudukanny
(anak saudara) berlaku sesuai a sebagai ahli
kedudukan ahli waris yang waris
diganti

Catatan : Harta peninggalan sebelum dibagi sebagai harta waris terlebih dahulu harus
diselesaikan masalah hutang piutang pewaris (yang meninggal) dan biaya pemakaman
serta wasiat yang dibolehkan (bila ada). Disamping itu bila si mayit meninggalkan istri

9
(janda) atau suami (duda) dan masih terikat perkawinan perlu dipisahkan lebih dahulu
antara harta bawaan (harta yang dipunyai sebelum menikah) dan harta bersama (harta
yang diperoleh setelah pernikahan atau harta gono-gini). Sesuai dengan hukum adat
bahwa harta bersama/gono-gini dibagi menjadi dua bagian, separuhnya adalah milik
suami dan separuhnya milik istri.
Contoh perhitungan warisan dalam Islam

Kasus 1

Seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang istri, seorang
ibu dan seorang anak laki-laki. Maka perhitungan pembagian warisnya sebagai berikut:

Ahli Waris Bagian 24


Istri 1/8 3
Ibu 1/6 4
Anak laki-laki Sisa 17
Jumlah keseluruhan 24

Penjelasan :

a. 1/8, 1/6 dan sisa adaah bagian masing-masing ahli waris.


b. Angka 24 di atas adalah Asal Masalah yang merupakan bilangan terkecil yang
bisa dibagi habis oleh bilangan 8 dan 6 sebagai penyebut dari bagian pasti yang
dimiliki oleh ahli waris istri dan ibu.
c. Angka 3, 4 dan 17 adalah siham masing-masing ahli waris dengan rincian: 1/8
x 24 = 3 untuk istri, 1/6 x 24 = 4 untuk ibu, sisa dari 24 – (3 + 4) = 17 untuk anak
laki-laki
d. Angka 24 di bawah adalah jumlah keseluruhan dari semua ahli waris (3 + 4 + 17)
= 24

Contoh lain dalam bilangan :

Kasus 1

10
Seorang perempuan meninggal dunia dengan ahli waris seorang suami, seorang ibu dan
seorang anak laki-laki. Harta yang ditinggalkan sebesar Rp. 150.000.000. Maka
pembagiannya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris Bagian 12


Suami 1/4 3
Ibu 1/6 2
Anak laki-laki Sisa / ashabah 7
Jumlah keseluruhan 12

Penjelasan :

a. Asal Masalah / KPK 12


b. Suami mendapat bagian 1/4 karena ada anaknya si mayit, nilainya ¼ x 12 = 3
c. Ibu mendapat bagian 1/6 karena ada anaknya si mayit, nilainya 1/6 x 12 = 2
d. Anak laki-laki mendapatkan bagian sisa, 12 – (3+2) = 7
e. Nominal harta Rp. 150.000.000 dibagi 12 bagian, masing-masing bagian senilai
Rp. 12.500.000
• Bagian harta masing-masing ahli waris:
1) Suami : 3 x Rp. 12.500.000 = Rp. 37.500.000
2) Ibu : 2 x Rp. 12.500.000 = Rp. 25.000.000
3) Anak laki-laki : 7 x Rp. 12.500.000 = Rp. 87.500.000
4) Jumlah harta terbagi : Rp. 150.000.000 (habis terbagi)

Kasus 2

Seorang laki-laki meninggal dunia dengan ahli waris seorang istri, seorang anak
perempuan, seorang ibu, dan seorang paman. Harta yang ditingalkan sejumlah Rp.
48.000.000. Maka pembagiannya sebagai berikut:

Ahli Waris Bagian 24


Istri 1/8 3
Anak perempuan 1/2 12

11
Ibu 1/6 4
Paman Ashobah/ sisa 5
Total 24
Penjelasan :

a. Asal Masalah/ KPK = 24


b. Istri mendapat bagian 1/8 karena ada anaknya si mayit, 1/8 x 24 = 3
c. Anak perempuan mendapat bagian 1/2 karena sendirian dan tidak ada mu’ashshib,
½ x 24 = 12
d. Ibu mendapat bagian 1/6 karena ada anaknya si mayit, 1/6 x 24 = 4
e. Paman mendapatkan bagian sisa, 24 – ( 3+12+4) = 5
f. Nominal harta Rp. 48.000.000 dibagi 24 bagian, masing-masing bagian senilai
Rp. 2.000.000
• Bagian harta masing-masing ahli waris:
1) Istri : 3 x Rp. 2.000.000 = Rp. 6.000.000
2) Anak perempuan : 12 x Rp. 2.000.000 = Rp. 24.000.000
3) Ibu : 4 x Rp. 2.000.000 = Rp. 8.000.000
4) Paman : 5 x Rp. 2.000.000 = Rp. 10.000.000
5) Jumlah harta terbagi : Rp. 24.000.000 (habis terbagi)

C. Cara Penyelesaian Sengketa Ahli Waris


1. Penyelesaian Sengketa Di Pengadilan.

Berkaitan dengan penyelesaian sengketa di pengadilan, maka di dalam sistem


hukum Indonesia perlu terlebih dahulu disinggung tentang peran Mahkamah Agung
(MA) sebagai institusi hukum menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945. Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-
sama dengan Mahkamah Konstitusi (MK). MA membawahi badan peradilan dalam
lingkungan pengadilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara. Peradilan umum pada tingkat pertama dilakukan
oleh pengadilan negeri, pada tingkat banding dilakukan oleh pengadilan tinggi dan pada
tingkat kasasi dilakukan oleh mahkamah agung. Peradilan agama pada tingkat pertama

12
dilakukan oleh Pengadilan Agama, pada tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan
Tinggi Agama dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Peradilan militer pada tinggat pertama dilakukan oleh Pengadilan Militer, pada
tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Militer dan pada tingkat kasasi
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Peradilan Tata Usaha Negara pada tingkat pertama
dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, pada tingkat banding dilakukan oleh
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah
Agung. Masing-masing badan peradilan ini mempunyai kewenangan tersendiri sesuai
dengan lingkup kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dan merupakan
kewenangan yang absolut bagi badan peradilan tersebut. Kewenangan yang absolute
adalah, badan peradilan manakah yang berwenang untuk mengadili suatu sengketa
perdata. Apakah sengketa yang terjadi merupakan kewenangan pengadilan negeri atau
pengadilan agama atau pengadilan tata usaha negara, contohnya: masalah perceraian bagi
orang Islam merupakan kewenangan pengadilan agama untuk memeriksa, mengadili, dan
memutuskannya. Sedangkan kalau menyangkut keputusan badan/pejabat tata usaha
negara merupakan kewenangan pengadilan tata usaha negara. 5

2. Penyelesaian Sengketa Di luar Pengadilan.


Tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini aspirasi untuk mengembangkan
Alternative dispute resolution (ADR) semakin banyak. Alternative dispute resolution
(ADR) memungkinkan penyelesaian sengketa secara informal, sukarela, dengan
kerjasama langsung antara kedua belah pihak yang menuju pada pemecahan sengketa
yang saling menguntungkan. Dukungan dari masyarakat bisnis dapat dilihat dari klausul
perjanjian dalam berbagai kontrak belakangan ini. Saat ini kaum bisnis Indonesia sudah
biasa mencantumkan klausul Alternative dispute resolution (ADR) pada hampir setiap
kontrak yang dibuatnya. Contoh klausul Alternative dispute resolution (ADR) yang
tercantum dalam kontrak adalah: “Semua sengketa yang mungkin timbul antara kedua
belah pihak berdasarkan perjanjian ini, akan diselesaikan dengan musyawarah oleh para
pihak dan hasilnya akan dibuat secara tertulis. Jika sengketa tidak dapat diselesaikan

5
Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum
Perdata BW, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001).

13
dengan musyawarah, maka dari para pihak sepakat untuk membawa perkaranya ke
pengadilan”.
Keterlibatan pihak ketiga dalam Alternative dispute resolution (ADR) adalah
dalam rangka mengusahakan agar para pihak mencapai sepakat untuk menyelesaiakan
sengketa yang timbul. Memang ada perbedaan antara mediasi, konsolidasi dan
Alternative dispute resolution (ADR). Perbedaannya terletak pada aktif tidaknya pihak
ketiga dalam mengusahakan para pihak untuk menyelesaikan sengketa. maka Alternative
dispute resolution (ADR) tidak akan dapat terlaksana. Kesukarelaan disini meliputi
kesukarelaan terhadap mekanisme penyelesaiannya dan kesukarelaan isi kesepakatan.
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata arab “syawara” yang bermakna
mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga
mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk
bermakna pendapat. Cara penyelesaian melalui arbitrase dapat dilakukan melalui
arbitrase nasional yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), arbitrase ad hoc,
maupun arbitrase asing. 6

Dari cara penyelesaian sengketa di pengadilan dan penyelesaian di luar


pengadilan, maka cara penyelesaian di luar pengadilanlah yang mempunyai atau berlatar
belakang Indonesian Legal Culture (musyawarah, komunal dan atau consensus kolektif)
atau yang lebih mengedepankan asas musyawarah untuk mufakat mencapai tujuan
kedamaian. Menurut Cristopher W Moore mengemukakan keuntungan penyelesaian
sengketa dengan menggunakan Alternative dispute resolution (ADR) adalah:

a. Sifat kesukarelaan dalam proses;


b. Prosedur yang cepat;
c. Keputusan non judicial;
d. Prosedur rahasia (confidential);
e. Fleksibilitas yang lebih besar dalam merancang syarat-syarat penyelesaian
masalah; Hemat waktu dan biaya;
f. Tinggi kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan.7

6
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung:Refika Aditama 2018).
7
Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Sinar Grafika, Jakarta,
2010).

14
3. Sengketa Warisan dan Pemecahannya

Salah satu sumber obyek sengketa dalam kehidupan sehari-hari antar manusia satu
dengan manusia yang lain, terutama dalam suatu keluarga yang dulunya bersatu
kemudian bercerai-berai adalah persoalan pembagian warisan yang tidak proporsional
sesuai dengan hukum yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa warisan merupakan
bentuk harta yang dapat saja membuat orang menjadi kaya raya karena hal tersebut.
Sebaliknya juga orang atau setiap manusia dapat menjadi miskin karena tidak
mendapatkan harta warisan tersebut, bahkan dapat saja membuat setiap orang menjadi
gila sampai meninggal dunia akibat tidak mendapatkan harta warisan. Dalam hukum
waris, pembagian harta warisan yang diberikan kepada ahli waris dalam prosesnya dapat
berlangsung tanpa sengketa atau dengan sengketa. Pada prinsipnya pelaksanaan
pembagian harta warisan berlangsung secara musyawarah. Musyawarah dilakukan oleh
keluarga secara internal untuk menentukan bagian masingmasing ahli waris. Apabila
musyawarah tidak dapat menyelesaikan sengketa, maka persengketaan diselesaikan
melalui pengadilan. Pada dasarnya prosedur penyelesaian sengketa disini adalah prosedur
penyelesaian sengketa mengenai pembagian harta warisan. Apabila seorang Kepala
Desa/Ayahanda menangani suatu perkara perdata yang diajukan kepadanya oleh
warga/penduduknya adalah dibenarkan menurut hukum atau secara hukum tindakan
demikian adalah sudah tepat dan benar.

Ketentuan pasal ini pulalah yang menjadi dasar hukum bagi Kepala Desa
menjalankan fungsinya sebagai Hakim Perdamaian Desa. Ada dua macam penyelesaian
perkara mengenai pembagian harta warisan yang diajukan oleh penduduk kepada Kepala
Desanya, yakni sebagai berikut: Pertama, Perkara pembagian warisan yang diajukan
tanpa didahului sengketa antara pihak-pihak (ahli waris) yang bersangkutan. Kedua,
Perkara pembagian warisan yang diajukan oleh penduduk Desa kepada Kepala Desa
dengan didahului sengketa antara ahli waris yang bersangkutan. Kedua macam perkara
ini agak berbeda prosedur penyelesaiannya. Sebab antara keduanya mempunyai sifat dan
karakteristik yang berbeda yang dalam penyelesaiannya mempunyai kelemahan dan
keunggulan. Untuk perkara pembagian warisan yang diajukan kepada Kepala
Desa/Ayahanda didahului terjadinya sengketa antara pihak (ahli waris) yang
bersangkutan. Untuk perkara ini pada umumnya prosedur agak mudah dan sederhana,

15
pada umumnya setelah terjadinya kematian seseorang, maka para ahli warisnya
berkumpul untuk merundingkan pembagian atas harta warisnya yang ada.

Dalam perundingan itu biasanya ada atau ditunjuk seseorang juru bicara
berwibawa dan dianggap mampu menangani masalah yang sedang dihadapinya. Biasanya
orang yang seperti ini diambilkan salah satu diantara mereka sendiri (ahli waris) akan
tetapi sering pula terjadi harus mengambil orang luar (bukan ahli waris) yaitu dalam hal
mereka sendiri kurang mampu memahami terhadap masalah yang sedang dihadapi.
Sehingga dengan demikian mereka terpaksa mencari orang lain yang dianggap perlu.
Mereka menganggap bahwa apa yang telah disetujui itu berlaku sebagai ketentuan yang
harus dijalankan. Keadaan semacam ini apabila dikaitkan dengan model yang diatur
dalam KUHPeradat adalah sesuai dengan ketetapan Pasal 1338 yang mengatakan semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali karena alasan-
alasan yang oleh Undang-Undang cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikat baik. Kalaupun model penyelesaian seperti ini sesuai dengan
apa yang diatur dalam KUHPerdata, namun hukum yang digunakan untuk penyelesaian
model seperti ini tetap mengacu pada hukum Islam dan hukum adat. Kalaupun ada
kesamaan dengan apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata hanyalah
faktor kebetulan saja. Artinya hukum yang dipakai tetap mengacu pada hukum adat dan
hukum Islam. Kebanyakan yang ada di lapangan rendahnya kualitas pendidikan di desa
ini membuat peran tokoh masyarakat sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat
desa, untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh
penduduk desa sendiri. Begitu juga dengan sengketa harta warisan, masyarakat lebih
mempercayakan penyelesaian dengan bantuan Kepala Desa.8

4. Penyelesaian dengan cara Mediasi

Keunggulan metode mediasi pada saat digunakan untuk menyelesaikan sengketa


pembagian harta waris menurut hukum Islam Berdasarkan kompetensi atau tugas dan
kewenangan mengadili dari badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung
sebagaimana ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman. Badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan

8
Suparman, Eman, Inti Sari Hukum Waris Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 1991).

16
mengadili persengketaan atau perkara perdata adalah peradilan umum dan peradilan
agama (terhadap perkara perdata tertentu khusus bagi yang beragama islam).

Terkait itu pengadilan itu adalah peradilan umum yaitu pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi serta peradilan agama yaitu pengadilan agama dan pengadilan tinggi
agama dan pengadilan tertinggi yaitu Mahkamah Agung, sedangkan proses perkara akan
difokuskan pada proses penyelesaian perkara di pengadilan negeri dan pengadilan agama.
Perkara yang ditangani oleh pengadilan agama adalah perkara tertentu seperti gugat cerai,
gugat waris bagi mereka yang beragama Islam. Sengketa pembagian harta waris menurut
hukum Islam harus diselesaikan dengan suatu penyelesaian yang tepat sehingga tidak
memutus hubungan keluarga dan tidak menyebabkan perselisihan atau perdebatan
mengenai harta waris dikemudian hari. Terkait itu, menurut hukum positif Indonesia
penyelesaian sengketa dapat diselesaikan melalui jalur litigasi maupun jalur non litigasi.
Jalur litigasi mengarah pada hukum acara yang berlaku yang penyelesaiannya melalui
pengadilan. Mediasi Dalam Sistem Peradilan Perdata Indonesia Dalam Rangka
Mewujudkan Proses Peradilan Yang Sederhana,Cepat, Dan Biaya Ringan. 9

Ahli waris dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama untuk


menyelesaikan sengketa pembagian harta waris. Selain melalui pengadilan (litigasi),
penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi) yang lazim
dinamakan dengan Alternatif Dispute Resolution (ADR). Pengunaan mediasi dalam
sistem hukum Indonesia selain didasarkan pada kerangka peraturan perundang-undangan
negara, juga dipratikkan dalam penyelesaian sengketa dalam lingkup masyarakat adat
atau sengketa-sengketa dalam masyarakat pada umumnya seperti sengketa keluarga,
waris, batas tanah, dan masalah-masalah pidana seperti perkelahian dan pencurian barang
dengan nilai-nilai relatif kecil.

Mediasi berdasarkan prosedurnya dibagi menjadi 2 bagian antara lain:

1. Mediasi yang dilakukan di luar pengadilan (Undang-Undang Nomor 30 tahun


1999);
2. Mediasi yang dilakukan di pengadilan (Pasal 130 HIR / 154 RBg jo Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008). Mediasi dapat ditempuh oleh para

9
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Cet. Ke-2, (Bandung : Pustaka alMa‟arif, 1981).

17
pihak yang terdiri dari atas dua pihak yang bersengketa maupun oleh lebih
dari dua pihak (multiparties).

Penyelesaian dapat dicapai atau dihasilkan jika semua pihak yang bersengketa
dapat menerima penyelesaian itu. Ada kalanya karena berbagai faktor para pihak tidak
mampu mencapai penyelesaian sehingga mediasi berakhir dengan jalan buntu (deadlock
stalemate). Situasi ini yang membedakan mediasi dari litigasi. Litigasi pasti berakhir
dengan sebuah penyelesaian hukum, berupa putusan hakim, meskipun penyelesaian
hukum belum tentu mengakhiri sebuah sengketa karena ketegangan diantara para pihak
masih berlangsung dan pihak yang kalah selalu tidak puas. Penyelesaian sengketa
memang sulit dilakukan, namun bukan berarti tidak mungkin diwujudkan dalam
kenyataan. Modal utama penyelesaian sengketa adalah keinginan dan itikad baik para
pihak dalam mengakhiri persengketaan mereka. Keinginan dan itikad baik ini, kadang-
kadang memerlukan bantuan pihak ketiga dalam perwujudannya. Mediasi merupakan
salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga. mediasi dapat
memberikan sejumlah keunggulan/kelebihan, antara lain: 10

1. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif murah
dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan.
2. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka secara
nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, sehingga mediasi bukan
hanya tertuju pada hak-hak hukumnya.
3. Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung
dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
4. Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap
proses dan hasilnya.
5. Mediasi dapat mengubah hasil yang dalam litigasi sulit diprediksi dengan suatu
kepastian melalui suatu konsensus.
6. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling
pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka
sendiri yang memutuskannya.

10
Ibid, hlm 80

18
7. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu
mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di
pengadilan.

Kelebihan mediasi sangat jauh berbeda dengan penyelesaian sengketa yang


dilakukan dalam proses litigasi. Penyelesaian sengketa secara non litigasi banyak
memberikan keuntungan bagi ahli waris dalam menyelesaikan sengketa pembagian harta
waris. Para ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris lebih tepat apabila memilih
jalur non litigasi, yakni dengan mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian
sengketa pembagian harta waris. Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi tidak
memberikan suatu manfaat dalam sengketa pembagian sengketa waris ini karena sengketa
ini menyangkut hubungan kekeluargaan.

Pada sengketa ini ahli waris tidak hanya menyelesaikan sengketa pembagian harta
waris tersebut tetapi juga mempertahankan tali silatuhrahmi dan menjaga harmonisasi
dengan Ahli waris lainnya. Pada hukum waris Islam menekankan bahwa suatu sengketa
waris harus diselesaikan secara musyawarah dan tidak merusak hubungan keluarga. Hal-
hal yang harus dilakukan para pihak yang bersengketa agar hasil dari mediasi mempunyai
kekuatan hukum dan mengikat para pihak Penyelesaian secara damai merupakan jalan
yang terbaik bagi semua pihak, penggunaan jalur litigasi yang panjang dan berbelit-belit
pada akhirnya hanya sebagai sarana untuk menunjukkan sikap egois semata. Para pihak
yang tetap berkeras menginginkan agar penyelesaiannya diputuskan oleh pengadilan
biasanya mengandung konflik non hukum di luar pokok sengketanya, misalnya diantara
para pihak terlibat konflik emosional, dendam dan sentimen pribadi. Hal inilah yang
sering mengemuka menjadi dinding penghalang terjadinya perdamaian diantara para
pihak. Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
bersifat sukarela atau pilihan. Pada konteks mediasi di pengadilan ternyata pengadilan
bersifat wajib. Hal ini mengandung arti proses mediasi dalam penyelesaian sengketa di
pengadilan harus terlebih dahulu dilakukan penyelesaiannya melalui perdamaian. Pihak-
pihak yang bersengketa di muka pengadilan terlebih dahulu harus menyelesaikan
persengketaannya melalui perdamaian perundingan dengan menyelesaikan
persengketaannya melalui perdamaian atau perundingan dengan dibantu mediator.

19
Ketentuan dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menyatakan bahwa: ‘’Kecuali perkara yang
diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial,
keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas
putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke
Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui
perdamaian dengan bantuan mediator’’. Tidak ditempuhnya proses mediasi berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan tersebut merupakan suatu pelanggaran atas ketentuan dalam Pasal 130
HIR/Pasal 154 RBg sehingga mengakibatkan putusan atas perkara yang bersangkutan
menjadi batal demi hukum. Hal ini juga berkaitan dengan kewajiban hakim agar dalam
pertimbangannya putusannya menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah
diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk
perkara yang bersangkutan. Mediasi yang dilakukan oleh para ahli waris akan
menghasilkan suatu kesepakatan atas sengketa yang dialami oleh ahli waris. Ahli waris
yang bersengketa akan mengukuhkan hasil dari kesepakatan yang telah disepakati dalam
proses mediasi untuk mendapatkan kekuatan hukum dan dapat mengikat bagi para ahli
waris. Hal ini diatur dalam Pasal 17 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang menyatakan bahwa:

1. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan


mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan
ditandatangani oleh para pihak dan mediator.
2. Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib
menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.
3. Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan mediator memeriksa materi
kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan
dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat itikad tidak
baik.
4. Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah
ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian.

20
5. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk
dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Peranan hakim dalam usaha
menyelesaikan perkara tersebut secara damai adalah sangat penting.

Putusan perdamaian mempunyai arti yang sangat baik bagi masyarakat pada
umumnya dan khususnya bagi orang yang mencari keadilan. Apabila hakim berhasil
untuk mendamaikan kedua belah pihak maka dibuat akta perdamaian dan kedua belah
pihak dihukum untuk menaati isi dari akta perdamaian tersebut. Terkait akta perdamaian
tersebut dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu yakni dibuat oleh
hakim maka bisa Mediasi Sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa disebut
sebagai akta otentik. Akta otentik terutama memuat keterangan dari seseorang pejabat
yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat dihadapannya. Terkait itu akta
perdamaian merupakan bukti bagi para pihak bahwa sengketa antara para pihak sudah
selesai sama sekali dengan jalan damai dan disaksikan pula oleh hakim yang memeriksa
perkara para pihak Adanya akta perdamaian maka kesepakatan perdamaian tersebut
mendapat kepastian hukum. Bahkan dengan dikuatkan kesepakatan damai dalam akta
perdamaian maka kesepakatan perdamaian itu memiliki kekuatan eksekutorial atau
memiliki kekuatan hukum sama dengan putusan pengadilan.

Setelah kesepakatan perdamaian yang telah dibuat oleh para ahli waris
dikukuhkan menjadi akta perdamaian maka akta perdamaian tersebut mengikat terhadap
ahli waris. Ahli waris wajib menaati akta perdamaian yang telah dikukuhkan oleh hakim.
Akta perdamaian tersebut berisikan kesepakatan diantara para ahli waris mengenai
sengketa pembagian harta waris, dengan kata lain, sengketa pembagian harta waris
tersebut telah berakhir karena munculnya akta perdamaian merupakan akhir dari sengketa
pembagian harta waris.

Terkait pengukuhan kesepakatan perdamaian yang dilakukan di luar pengadilan


menjadi akta perdamaian di atur dalam Pasal 23 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang menyatakan bahwa: (a) Para
pihak dengan bantuan mediator bersertifikasi yang berhasil menyelesaikan sengketa di
luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan
perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian
dengan cara mengajukan gugatan. (b) Pengajuan gugatan sebagaiamana dimaksud dalam

21
ayat 1 harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-
dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek segketa. (c)
Hakim dihadapan para pihak hanya akan mengeluarkan kesepakatan perdamaian dalam
bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memuhi syarat-syarat
sebagai berikut: (a) Sesuai kehendak para pihak; (b) Tidak bertentangan dengan hukum;
(c) Tidak merugikan pihak ketiga; (d) Dapat dieksekusi; (e) Dengan itikad baik. Ahli
waris yang menggunakan mediasi di luar pengadilan wajib melaksanakan ketentuan Pasal
23 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan untuk mengukuhkan kesepakatan damai yang di sepakati menjadi akta
perdamaian.11

5. Wasiat Wajibah sebagai solusi penyelesaian sengketa waris

Wasiat wajibah secara tersirat mengandung unsur-unsur yang dinyatakan dalam


pasal 209 dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu:

1. Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau
sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat.
2. Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan
tetapi dilakukan oleh negara.
3. Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh
melebihi satu pertiga dari harta peninggalan pewaris.
4. Wasiat wajibah dalam pasal 209 dalam Kompilasi Hukum Islam timbul untuk
menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya dan
sebaliknya anak angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya.

Negara Islam di daerah Afrika seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah,
lembaga wasiat wajibah dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan kewarisan
antara pewaris dengan cucu/cucu-cucunya dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal
terlebih dahulu dibanding pewaris. Lembaga wasiat wajibah di daerah tersebut digunakan
oleh negara untuk mengakomodir lembaga mawali atau pergantian tempat. 12

11
Syarifudin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008).
12
Muhibbin, Moh, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam: sebagai Pembaharuan Hukum Positif di
Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafita, 1994).

22
Dalam sistem hukum di Indonesia, lembaga wasiat termasuk wasiat wajibah
menjadi kompetensi absolut dari pengadilan agama berdasarkan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama berhubungan dengan UndangUndang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan
Agama. Hakim yang dimaksud Ibnu Hazmin dalam kewarisan Islam di Indonesia
dilaksanakan oleh hakim-hakim dalam lingkup pengadilan agama dalam tingkat pertama
sesuai dengan kompetensi absolut sebagaimana diperintahkan undang-undang. Dalam
menentukan wasiat wajibah, secara yuridis formil, para hakim pengadilan agama
menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana dinyatakan dalam
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.

Secara yuridis formil ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya pasal
209 memahami bahwa wasiat wajibah hanya diperuntukan bagi anak angkat dan orang
tua angkat. Kompleksitas masyarakat Indonesia membuat hakim harus keluar dari yuridis
formil yang ada yaitu dengan menggunakan fungsi rechtsvinding yang dibenarkan oleh
hukum positif apabila tidak ada hukum yang mengatur. Kewenangan tersebut diberikan
dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
Selain itu Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 229 juga memberikan kewenangan hakim
untuk menyelesaikan perkara dengan memperhatikan dengan sungguh nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat sehingga memberikan putusan yang sesuai dengn rasa
keadilan. Pada prinsipnya hakim memiliki kewenangan menggunakan fungsinya sebagai
rechtsvinding atau dalam hukum Islam disebut ijtihad sebagai alternatif. Dalam hal wasiat
wajibah yang sempit pada anak angkat dan orang tua angkat maka hakim wajib
menggunakan kewenangan fungsi rechtsvinding atau ijtihad-nya. Akan menjadi sulit
untuk menjalankan yuridis formil dalam Kompilasi Hukum Islam terhadap orang-orang
dekat pewaris di luar anak angkat dan orang tua angkat. 13

13
Bismar Siregar, Perkawanin, Hibah dan Wasiat dalam Pandangan Hukum Bangsa, (Penerbit Fakultas
Hukum UI, Yogyakarta, 1985).

23
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pembagian warisan menurut hukum islam merupakan harta yang diberikan dari
orang yang telah meninggal kepada orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan
kerabat-kerabatnya. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia yang
memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam
dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris. Telah disebutkan diatas
pengertian ahli waris, yaitu orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris
setelah meninggal dunia. Ahli waris yang termasuk kelompok menurut hubungan darah,
terlihat dan termasuk seperti dalam rumusan pasal 174 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum
Islam. Pemahaman ahli waris pada pasal 174 ayat (1) huruf a) Ahmad Rofiq memahami
jumlah ahli waris pada pasal 174 ayat (1) huruf a KompilasiHukum Islam (KHI), sama
dengan jumlah ahli waris dalam kitab-kitab dan buku-buku fiqih terdahulu. Beliau

24
berpendapat bahwa ahli waris laki-laki ada 13 (tiga belas) orang, ahli waris perempuan
ada 8 (delapan) orang, jadi seluruhnya 21 orang.

Harta peninggalan sebelum dibagi sebagai harta waris terlebih dahulu harus
diselesaikan masalah hutang piutang pewaris (yang meninggal) dan biaya pemakaman
serta wasiat yang dibolehkan (bila ada). Disamping itu bila si mayit meninggalkan istri
(janda) atau suami (duda) dan masih terikat perkawinan perlu dipisahkan lebih dahulu
antara harta bawaan (harta yang dipunyai sebelum menikah) dan harta bersama (harta
yang diperoleh setelah pernikahan atau harta gono-gini). Sesuai dengan hukum adat
bahwa harta bersama/gono-gini dibagi menjadi dua bagian, separuhnya adalah milik
suami dan separuhnya milik istri.
Cara Penyelesaian Sengketa Ahli Waris terdapat lima (5) cara, yakni
Penyelesaian Sengketa Di Pengadilan, Penyelesaian Sengketa Di luar Pengadilan,
Sengketa Warisan dan Pemecahannya, Penyelesaian dengan cara Mediasi, Wasiat
Wajibah sebagai solusi penyelesaian sengketa waris

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq. Fiqh Mawaris. Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, , 2001.
Bismar Siregar, Perkawanin, Hibah dan Wasiat dalam Pandangan Hukum Bangsa,
Yogyakarta : Penerbit Fakultas Hukum UI, 1985.
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Bandung:Refika Aditama 2018.

Kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006.


Muhibbin, Moh, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam: sebagai Pembaharuan Hukum
Positif di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafita, 1994.
Suparman, Eman, Inti Sari Hukum Waris Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1991.
Syarifudin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Kencana, 2008.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Cet. Ke-2, Bandung : Pustaka alMa‟arif, 1981.

25
Zainal Abidin Abubakar,. Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam
Lingkungan Peradilan Agama. Cet. III; Jakarta: Yayasan Al-Hikmah Jakarta,
1993.
Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

26
27

Anda mungkin juga menyukai