Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA PELVIS


DAN EKSTREMITAS
STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Tanggal 17 – 30 Oktober 2021

Oleh:
Miftakhul Jannah, S.Kep
NIM. 2030913320054

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN TRAUMA PELVIS DAN
EKSTREMITAS

Oleh :
Miftakhul Jannah, S.Kep
NIM. 2030913320054

Banjarmasin, Oktober 2021

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Abdurrahman Wahid, Ns., M.Kep


NIP. 19831111 200812 1 002
A. DEFINISI
Trauma ekstremitas adalah trauma yang mengakibatkan cedera pada ekstremitas.
Trauma pada satu bagian system musculoskeletal atau trauma ekstremitas dapat
menyebabkan disfungsi struktur di sekitarnya dan struktur yang dilindungi atau
disangganya serta kerusakan pada otot, pembuluh darah dan saraf. Trauma otot
dan tulang dapat terjadi tanpa atau disertai trauma system lain. Bila hanya
ekstremitas yang mengalami trauma biasanya tidak dianggap sebagai prioritas
pertama.
Pelvis adalah daerah batang tubuh yang berada di sebelah dorsokaudal terhadap abdomen
dan merupakan daerah peralihan dari batang tubuh ke extremitas inferior. Pelvis bersendi
dengan vertebra lumbalis ke-5 di bagian atas dan dengan caput femoris kanan dan kiri
pada acetabulum yang sesuai. Pelvis dibatasi oleh dinding yang dibentuk oleh tulang,
ligamentum, dan otot. Kavitas pelvis yang berbentuk seperti corong, memberi tempat
kepada vesicaurinaria, alat kelamin pelvic, rectum, pembuluh darah dan limfe, dan saraf.
Fraktur pelvis berkekuatan tinggi merupakan cedera yang membahayakan jiwa.
Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun terutama lazim
dengan fraktur berkekuatan tinggi. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian
pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35%
pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar.

B. ETIOLOGI
Etiologi trauma ekstremitas dan trauma pelvis
1. Cedera langsung, berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang
dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2. Cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur
klavikula.

C. KLASIFIKASI TRAUMA
Klasifikasi Trauma Ekstremitas
1. Fraktur, dibagi menjadi beberapa macam yaitu:
a. Fraktur terbuka adalah fraktur dengan cedera jaringan lunak terbuka.
Fraktur ini kadang sulit ditentukan bila luka pada bagian proksiml fraktur
benar-benar terkain dengan fraktur tersebut. Pedoman atau prinsip yang
berdasarkan praktik menganggap luka sebagai fraktur terbuka sampai
dapat dibuktikan sebaliknya.
Klasifikasi fraktur terbuka
Deraja Luka kecil, panjang < 1 cm yang
tI tertusuk dari bawah
Deraja Luka melingkar penuh sampai
t II panjang 5 cm dengan sedikit atau
tanpa kontaminasi dan tidak ada
kerusakan jaringan lunak
berlebihan atau kepingan
periosteal
Deraja Luka > 5 cm dan dikaitkan dengan
t III kontaminasi atau cedera jaringan
lunak signifikan (kehilangan
jaringan, avulse, cedera remuk)
dan sering mencakup fraktur
segmental; dapat ditemukan
kepingan jaringan lunak tulang,
cedera vaskuler mayor atau
kepingan periosteal.

b. Fraktur tertutup adalah fraktur tanpa cedera jaringan lunak terbuka.


Prognosis umumnya lebih baik untuk fraktur tertutup karena resiko infeksi
terbatas.
c. Fraktur ekstremitas bawah
 Fraktur pelvic
Fraktur ini dapat mengakibatkanhipovolemi akibat kemungkinan
kehilangan darah sampai 4 L yang dapat terjadi karena robekan arteri,
kerusakan pembuluh vena pleksus, dan permukaan kanselosa tulang
yang fraktur.
 Fraktur femoral
Fraktur femur bilateral dapat menunjukkan cedera mengancam jiwa
sekumder akibat hipovolemi (kehilangan darah pada setiap femur
mungkin sebanyak 2 L)
 Fraktur lutut
Fraktur patella umumnya disertai dislokasi akibat transmisi energy
tinggi, dan fraktur ini dapat dikaitkan dengan cedera pembuluh
popliteal
 Fraktur tibia dan fibula
Fraktur tibia dan fibula dapat terjadi bersamaan atau sendiri-sendiri
dan umunya akibat benturan langsung. Tibia umumya fraktur saat
jatuh karena sifatnya yang menyokong beban berat tubuh.
d. Fraktur ekstremitas atas
 Fraktur scapula
Curigai adanya fraktur scapula dengan cedera jaringan lunak yang
signifikan pada bahu dan saat mekanisme cedera menunjukkan tingkat
transmisi energy kinetic tinggi. Fraktur scapula menuntut evaluasi
yang cermat untuk kerusakan pada struktur disekitarnya karena sering
dikaitkan dengan dislokasi bahu, kontusio paru, fraktur iga dengan
potensi pneumotoraks, fraktur kompresi vertebra dan fraktur
ekstremitas atas.
 Fraktur klavikula
Fraktur klavikula sering menyebabkan kerusakan pada struktur
dibawahnya, seperti paru (pneumotoraks, hemotoraks), dan vena
subklavia.
 Fraktur humerus
Fraktur humerus dapat dikaitkan dengan kerusakan arteri brakialis dan
kerusakan saraf radialis, ulnaris dan saraf medialis. Oleh karena lokasi
anatomic berkas neurovascular, fraktur humerus distal yang dicurigai
harus menjalani pemeriksaan neurovascular dengan seksama dan
terdokumentasi. Benturan langsung pada prosesus olekranon dapat
mengakibatkan fraktur indirek pdaa humerus distal.
 Fraktur radius dan ulna
Fraktur pada daerah ini memerlukan evaluasi neurovascular dan
dokumentasi yang cermat. Fraktur ini umumnya ditandai dengan tipe
penampilan “garpu perak”, dengan pergelangan tangan memutar
keatas yang berhubungan dengan radius dan ulna
e. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen adalah kondisi kedaruratan yang terjadi ketika
tekanan didalam kompartemen otot meningkat sampai tingkat yang
mempengaruhi sirkulasi mikrovaskular dan merusak integritas
neurovascular. Setelah beberapa jam tekanan jaringan nintersitial
meningkat diatas dasar kapiler, yang mengakibatkan iskemia saraf dan
jaringan otot.
f. Dislokasi
Dislokasi merupakan cedera sendi yang serius dan jarang terjadi.
Dislokasi terjadi bila sendi lepas dan terpisah, dengan ujung-ujung tulang
tidak lagi menyatu. Bila ujung tulang hanya berubah posisi secara parsial,
cedera disebut subluksasio. Bahu, siku, jari, panggul, lutut dan
pergelangan kaki merupakan sendi-sendi yang paling sering mengalami
dislokasi.
g. Sprain (keseleo)
Sprain (keseleo) merupakan cedera pada sendi yang sering terjadi. Pada
keadaan tersebut, ligament dan jaringan lain rusak karena peregangan atau
puntiran yang keras. Usaha untuk menggerakkan atau menggunakan sendi
meningkatkan rasa nyeri. Lokasi yang sering mengalami sprain (keseleo)
meliputi pergelangan kaki, pergelangan tangan, atau lutut.
h. Strain (peregangan)
Strain otot, dikenal juga sebagai tarikan otot, terjadi bila otot terlalu
meregang atau robek. Otot punggung sering mengalami strain bila
seseorang mengangkat benda berat.

 Peregangan ringan-robekan minor


 Nyeri local, nyeri tekan, bengkak, spasme otot
ringan
 Peregangan sedang-peningkatan jumlah serat
yang robek
 Nyeri local, nyeri tekan, bengkak, dislokasi
dan ketidakmampuan untuk menggunakan
tungkai untuk periode lama
 Peregangan hebat-pemisahan komplet otot
dari otot, otot dari tendo, atau tendon dari
tulang
 Nyeri local, nyeri tekan, bengkak, pucat

i. Vulnus (Luka)
Terdapat beberapa jenis luka terbuka :
 Abrasi : lapisan atas kulit terkelupas, dengan sedikit kehilangan
darah. Nama lain untuk abrasi adalah goresan (scrape), road rush,
dan rug burn.
 Laserasi : kulit yang terpotong dengan pinggir bergerigi. Jenis luka
ini biasanya disebabkan oleh robeknya jaringan kulit secara paksa
 Insisi : potongan dengan pinggir rata seperti potongan pisau atau
teriris kertas
 Pungsi : cedera akibat benda tajam (seperti pisau, pemecah es atau
peluru). Benda yang menembus dapat merusak organ-organ internal.
Resiko infeksi tinggi. Benda yang menyebabkan cedera tersebut
dapat tetap tertanam dalam luka.
 Avulse : potongan kulit yang robek lepas dan menggantung pada
tubuh.
 Amputasi : terpotong atau robeknya bagian tubuh
Klasifikasi Trauma Pelvis
1. Klaifikasi Tile
Menurut Tile (1988) ia membagi fraktur pelvis ke dalam cidera yang stabil,
cidera yang secara rotasi tak stabil dan cidera yang secara rotasi dan vertikal
tak stabil.
a. Tipe A/stabil
Tipe A/stabil ini temasuk avulse dan fraktur pada cincin pelvis dengan
sedikit atau tanpa pergeseran
b. Tipe B/ rotasi tak stabil
Tipe B/ rotasi tak stabil yaitu secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal
stabil. Daya rotasi luar yang mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak
dan membuka simfisis biasa disebut fraktur open book atau daya rotasi
internal yaitu tekanan lateral yang dapat menyebabkan fraktur pada rami
iskiopubik pada salah satu atau kedua sisi juga disertai cidera posterior
tetapi tida ada pembukaan simfisis.
c. Tipe C/ secara rotasi dan vertikal tak stabil
Tipe C yaitu secara rotasi dan vertical tak stabil, terdapat kerusakan pada
ligament posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau kedua
sisi dan pergeseran vertical pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga
terdapat fraktur acetabulum.
2. Klasifikasi Young dan Burgess
Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera- cedera
kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS),
dan mekanisme kombinasi (CM)
D. PATHWAY TRAUMA EKSTREMITAS DAN PELVIS

Abduksi, ekstensi, rotasi Trauma Langsung Trauma


eksterna traumatik yang (Kecelakaan, jatuh dari jaringanlunak,
berlebihan pada ekstremitas ketinggian, cedera
penting & mengancam nyawa
Trauma pada tulang yang kerusakan kulit
olahraga, hantaman, dll) akibat luka
bakar
Trauma sendi / dislokasi pada
Gg. Cairan tubuh
ekstremitas Trauma Pada Ekstremitas & elektrolit,

Deformitas

Risiko
e
mikroorganism
Port de entree
pengontrolan
Fraktur Femur

suhu

Infeksi
Fr
(sa aktu

terbuka
Fraktur
M kro r Pe Trauma yang
er i
ob liak lvis menyebabkan
sis ek a, s
te a
m plek cru perdarahan besar arterial

Laserasi
Komparteme
n sindrom
Pe

Kerusakan
jaringan &
he m in rte us m)
a s

integritas
(eg: luka tusuk)

Risiko
Nyeri
m be te ri v
at ng rn ili ena
om k a aka &
urpan a d aka
og gg a n/
en ul era Gangguan hemodinamik
ita h
Kerusakan vaskuler

Syaraf robek,
Syaraf
Delay impuls
Hilangnya fs.
l

mengalami
Mototik &

tekanan,
terputus
sensorik

(a. Femoralis)
Bagian distal injuri
kekurangan aliran Gg, fungsi
Perdarahan masif darah, oksigenasi
jaringan berkurang, Hambatan
Risiko Syok iskemi Mobilitas
Hipovolemik Fisik
- Resusitasi Hilangnya pulsasi
- Balut Tekan nadi, ekstremitas
dingin, pucat, Defisit
- Traksi/bidai Neurologi
hematoma
Ketidakefektifan perfusi jaringan s
perifer
E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Pada Trauma Ekstremitas dan Pelvis yaitu ada 4 hal yang harus
diperhatikan :
a. Recognition
Pada trauma ekstremitas perlu diketahui kelainan yang terjadi sebagai akibat
cedera tersebut, baik jaringan lunak atau tulangnya. Dengan mengenali gejala
dan tanda pada penggunaan fungsi jaringan yang terkena cedera. Fraktur
merupakan akibat suatu kekerasan yang menimbulkan kerusakan tulang
disertai jaringan lunak sekitarnya. Dibedakan pada trauma tumpul dan trauma
tajam, langsung dan tidak langsung. Pada umumya trauma tumpul akan
memberikan kememaran yang difus pada jaringan lunak termasuk ganggguan
neurovaskuler yang menentukan vitalitas ekstremitas bagian distal dari bagian
yang cedera.
b. Reduction atau reposisi
Reposisi adalah tindakan untuk mengembalikan jaringan atau fragmen tulang
pada posisi semula. Tindakan ini diperlukan guna mengembalikan kepada
bentuk semula sebaik mungkin agar fungsi dapat kembali semaksimal
mungkin.
 ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Fiksasi internal dengan pembedahan terbuka akan mengimmobilisasi fraktur

dengan melakukan pembedahan dengan memasukan paku, sekrup atau pin ke

dalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur

secara bersamaan.

 OREF (Open Reduction External Fixation)


c. Retaining
Retaining adalah tindakan imobilisasi atau fiksasi untuk mempertahankan
hasil reposisi dan memberi istirahat pada spasme otot pada bagian yang
sakit agar mencapai penyembuhan dengan baik. Imobilisasi yang tidak
adekuat dapat memberikan dampak pada penyembuhan dan rehabilitasi.

d. Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan anggota gerak yang cedera
untuk dapat berfungsi kembali. Falsafah lama mengenai rehabilitasi adalah
tindakan setelah tindakan kuratif dalam mengatasi kendala kecacatan.
Rehabilitasi menekan upaya pada fungsi dan akan lebih berhasil dilaksanakan
sedini mungkin.
F. PENGKAJIAN KEPERAWATAN PADA TRAUMA EKSTREMITAS DAN
PELVIS
1. Pengkajian
A. Primary Survey
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan (Gilbert, 2009):

1. General Impressions
a. Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum
b. memenentukan keluhan utama atau mekanisme cidera
c. menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
2. Airway dengan kontrol servikal
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau
tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan
jelas maka jalan nafas pasien terbuka. Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus
dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada
kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh
obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar. Yang perlu diperhatikan
dalam pengkajian airway pada pasien antara lain:

 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien


dapat berbicara atau bernafas dengan bebas
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara
lain:
- Adanya snoring atau gurgling
- Stridor atau suara napas tidak normal
- Agitasi (hipoksia)
- Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest
movements
- Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian
atas dan potensial penyebab obstruksi :
- Muntahan
- Perdarahan
- Gigi lepas atau hilang
- Gigi palsu
- Trauma wajah
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada
pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan
jalan nafas pasien sesuai indikasi :
- Chin lift/jaw thrust
- Lakukan suction (jika tersedia)
- Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal
Mask Airway
- Lakukan intubasi
3. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan
nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada
pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus
dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi
buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara
lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
- Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada
tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.
- Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
- Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
- Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada
pasien jika perlu.
- Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih
lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
- Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan /
atau oksigenasi:
- Pemberian terapi oksigen
- Bag-Valve Masker
- Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
- Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced
airway procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya
dan berikan terapi sesuai kebutuhan.
4. Circulation Dengan Kontrol Perdarahan
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara
lain:
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
- Menentukan ada atau tidaknya
- Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
- Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
- Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau
hipoksia (capillary refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

5. Disability
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU :
- A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi
perintah yang diberikan
- V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang
tidak bias dimengerti
- P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk
merespon)
- U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus
nyeri maupun stimulus verbal.
6. Exposure/Environment
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting
untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada
punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada
pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah
semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat
dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang.
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam
jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
- Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
- Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa
pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang
berpotensi tidak stabil atau kritis.
B. Secondary Survey
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, no registrasi, tanggal MRS,
diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada fraktur adalah nyeri. Nyeri
bisa akut maupun kronik, tergantung lamanya serangan.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya pasien mengeluh nyeri saat bergerak, adanya
deformitas atau gerakan abnormal setelah terjadi trauma langsung
yang mengenai tulang.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Apakah pasien pernah mengalami fraktur sebelumnya, apakah


klien mempunyai penyakit tulang seperti osteoporosis, kanker
tulang, atau penyakit penyerta lainnya. Penyakit tulang merupakan
faktor resiko terjadinya fratur pelvis klien dengan kecelakaan.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah keluarga ada yang mengalami hal serupa dengan pasien,
dan apakah keluarga memiliki penyakit tulang / penyakit lainnya
yang diturunkan.
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon dan
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga
maupun masyarakat.
g. Riwayat AMPLE
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan) M: Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum
seperti sedang menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis,
jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti
penyakit yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya,
penggunaan obat-obatan herbal)
L: Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode
menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E: Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera
(kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama)

2. Pemeriksaan fisik
Meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi pada :
a. Kulit Kepala
b. Wajah
c. Vertebra Servikalis dan Leher
d. Thoraks
e. Abdomen
Inspeksi : abdomen bagian depan dan belakang untuk melihat
adanya trauma tajam atau tumpul serta lihat apakah ada perdarahan
Auskultasi : auskultasi apabila adanya penurunan bising usus
Palpasi : untuk mengetahui adanya nyeri tekan, defans muskuler,
nyeri lepas yang jelas
Perkusi : untuk mengetahui adanya nyeri ketok, timpani akibat
dilatasi lambung akut atau redup bila ada hemoperitoneum. Bila
ragu akan adanya perdarahan intra abdominal dapat dilakukan
pemeriksaan DPL (diagnostic peritoneal lavage)
f. Pelvis
Cedera pelvis yang berat akan tampak pada pemeriksaan fisik, yaitu
pelvis menjadi tidak stabil. Pada cidera berat, kemungkinan penderita
akan masuk dalam keadaan syok yang harus segera diatasi. Bila ada
indikasi pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur
pelvis. Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam,
lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur
harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan
kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi,
adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter
ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya
darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat,
karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon
yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes
kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada adalah
ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi
pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit
dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar
dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan
minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan
keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan
buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang, sebuah sampel
urin harus diperoleh untuk analisis.
g. Ekstremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan
lupa untuk memeriksa adanya luka dekat daerah fraktur terbuka, pada saat
palpasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadidistal dari fraktur dan
jangan dipaksakan untuk bergerak apabila sudah jelas mengalmi fraktur.
C. Focused Assessment
Focused assessment adalah tahap pengkajian pada area keperawatan yang
dilakukan setelah primary dan secondary survey. Pengkajian ini dilakukan untuk
melengkapi data secondary sesuai masalh yang ditemukan atau tempat dimana
injury ditemukan. Yang paling banyak dilakukan dalam tahapan ini adalah
beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik atau bahkan dilakukan pemeriksaan
ulang dengan tujuan segera dapat dilakukan tindakan definitif
D. Reassessment
Mengkaji ulang untuk melengkapi primary survey

Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro Pharyngeal Airway,
Laryngeal Mask Airway , maupun Endotracheal Tube (salah
satu dari peralatan airway) tetap efektif untuk menjamin
kelancaran jalan napas. Pertimbangkan penggunaaan peralatan
dengan manfaat yang optimal dengan risiko yang minimal.
Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan pasien :
 Pemeriksaan definitive rongga dada dengan rontgen foto
thoraks, untuk meyakinkan ada tidaknya masalah seperti
Tension pneumothoraks, hematotoraks atau trauma pelvis
yang bisa mengakibatkan gangguan oksigenasi tidak
adekuat
 Penggunaan ventilator mekanik
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin perfusi jaringan
khususnya organ vital tetap terjaga, hemodinamik tetap

termonitor serta menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat


penanganan resusitasicairan.
 Pemasangan cateter vena central
 Pemeriksaan analisa gas darah
 Balance cairan
 Pemasangan kateter urin (jika memungkinkan)
Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary survey, perlu didukung
dengan :
 Pemeriksaan spesifik neurologic yang lain seperti reflex
patologis, deficit neurologi, pemeriksaan persepsi sensori
dan pemeriksaan yang lainnya.
 CT scan kepala, atau MRI
Exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan
 Rontgen foto paada daerah yang mungkin dicurigai
trauma atau fraktu
 USG abdomen atau pelvis
G. DIAGNOSIS PRENCANAAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN PADA TRAUMA EKSTREMITAS DAN
PELVIS
1. Diagnosis Keperawatan

No Diagnosis NOC NIC


Keperawatan
1. Risiko Syok Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen Syok Hipovolemik
Hipovolemik 3x24 jam diharapkan keparahan syok dapat 1. Monitor tanda-tanda vital, tekanan darah
teratasi dengan kiteria hasil: orthostastik, status mental dan ouput urin
Keparahan Syok Hipovolemik 2. Pertahankankepatenan jalan nafas
1. Penurunan tekanan nadi perifer 3. Monitor tekanan oksimetri sesuai
2. Penurunan arteri rata-rata kebutuhan
3. Penurunan tekanan darah sistolik 4. Berikan oksigen sesuai kebutuhan
4. Penurunan tekanan darah diastolic 5. Monitor EKG sesuai kebutuhan
5. Meningkatnya laju nafas 6. Berikan cairan sesuai kebutuhan
6. Nyeri dada
7. Pucat
8. Tingkat kesadaran
Dari skala cukup berat (2) menjadi ringan (4)
2. Risiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam Kontrol Infeksi
3x24 jam diharapkan risiko infeksi pasien dapat 1. Pakai sarung tangan steril dengan tepat
teratasi dengan kriteria hasil: 2. Gunakan sabun antimikroba
Keparahan Infeksi: 3. Jaga lingkungan aseptic
1. Kemerahan 4. Ganti alat perawatan perpasien sesuai
2. Demam protocol
3. Hipotermia
4. Nyeri
5. Menggigil
6. Jaringan Lunak
Dari skala cukup berat (2) menjadi ringann (4)
3. Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama NIC : Manajemen Nyeri
3x24jam nyeri klien akan berkurang dengan kriteria 1. Monitor tanda-tanda vital
hasil klien akan: 2. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Pain Control termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi
1. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas,
3. Observasi reaksi nonverbal dari
frekuensi, dan hal yang memperberat nyeri)
ketidaknyamanan
2. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri,
4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
mampu menggunakan teknik non farmakologi
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
untuk mengurangi nyeri)
kebisingan
3. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas
dalam, relaksasi, distraksi, kompres hangat/
dingin
6. Tingkatkan istirahat
4. Kerusakan Integritas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 NIC : Pengecekan Kulit
jam, pasien menunjukan perbaikan integritas kulit 1. Periksa kulit dengan adanya
Jaringan kemerahan, kehangatan ekstrim,
dengan kriteria hasil :
edema, dan drainase
Intergritas jaringan: kulit & membran mukosa
2. Amati warna , bengkak, pulsasi,dan
1. Perfusi jaringan normal ulserasi pada ekstremitas
2. Tidak ada tanda infeksi 3. Periksa kondisi luka
3. Tekstur jaringan normal 4. Monitor kulit adanya kekeringan
4. Proses penyembuhan luka atau kelembaban yang berlebihan
5. Jaringan kulit kering 5. Lakukan langkah untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut

5. Hambatan Mobilitas Pergerakan Terapi Latihan: Ambulasi


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Bantu pasien untuk duduk di sisi
Fisik
3x24 jam diharapkan aktivitas fisik klien tempat tidur untuk memfasilitasi
meningkat penyesuaian sikap tubuh
Kriteria hasil:
2. Terapkan/sediakan alat bantu
1. Mampu melakukan gerakan otot
untuk ambulasi, jika pasien tidak stabil
2. Mampu melakukan gerakan sendi
6. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Peripheral sensation management
3 x 60 menit Perfusi jaringan klien baik dengan 1. Monitor adanya daerah tertentu yang
Perfusi Jaringan
kriteria hasil : hanya peka terhadap
Perifer Circulation Status panas/dingin/tajam/tumpul
1. Tekanan sistol dan diastole dalam rentang 2. Intruksikan keluarga untuk
yang diharapkan mengobservasi kulit jika ada isi atau
2. Tidak ada ortostatik hipertensi laserasi
3. Vena baik 3. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
4. Saturasi oksigen minimal 98% 4. Batasi gerakan pada kepala, leher dan
punggung
5. Monitor kemampuan BAB
6. Kolaborasi pemberian analgetik
7. Monitor adanya tromboplebitis
8. Diskusikan mengenai penyebab
perubahan sensasi
DAFTAR PUSTAKA

Chris, Jack. 2009. Assessment and Management of Trauma. University of


Southern California: Division of Trauma and Surgical Critical Care.
Emergency Nurses Association (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th
edition.St. Louis Missouri : Elsevier Mosby.
Frakes dan Evan. 2004. Major Pelvic Fractures. Journal of Critical Care Nurse
Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment
routine medical care primary and secondary survey. San Mateo County EMS
Agency.
Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta : Nuha Medika.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC.
Purwadianto, Agus, dkk. (2000). Kedaruratan Medik. Jakarta Barat : Binarupa
Aksara.
Salim, Carolina. 2015. Sistem Penilaian Trauma. CDK-232/ vol. 42 no. 9, th,2015
Syaifuddin. 2014. Anatomi Fisiologi Ed. 4. Jakarta: EGC
Thomas, Mark A. (2011). Terapi dan rehabilitasi Fraktur. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai