Anda di halaman 1dari 27
37 BAB II AL-KINDI A. Sejarah Hidup dan Karyanya Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’cub ibnu Ishaq ibnu Al-Shabbah ibnu ‘Imran ibnu Muhammad ibnu Al-Asy’as ibnu Qais Al-Kindi. Kindah, pada siapa nama Al-Kindi dinisbatkan, adalah suatu kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman.! Kabilah ini pulalah yang me- lahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesusastraan Arab, sang penyair-pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya? Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, Al-Asy’as ibnu Qais, adalah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. yang gugur sebagai syuhada’ bersama Sa’ad ibnu Abi Waqqas dalam peperangan antara ‘Muhammad Syafig Gharbal, al-Mausii‘at al-’Arabiyyat al-Muyassarat, (Kairo: Dar al-Qalam & Franklin Foundation, 1965), him. 133. Lihat juga: Fuad Al- Ahwaniy, al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kaito: Dar al-alam, 1962), him. 63. *Majid Fakhei, Sejarah Filasafat Islam, Terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, tt.) Cet. I, hlm. 109. 38 Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) kaum Muslimin dengan Persia di Irak. Sementara itu ayahnya, Ishaq ibnu Al-Shabbah, adalah Gubernur Kufah pada masa pemerintah Al-Mahdi (775-785 M) dan Al-Rasyid (786-809 M).-Ayahnya meninggal ketika ia masih usia kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik.> Al-Kindi sendiri mengalami masa pemerintah lima khalifah Bani Abbas, yakni ALAmin (809-813 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tasim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M) dan Al-Mutawakkil (847-861 M). Sedikit sekali informasi yang kita peroleh tentang pendidikannya. Ia pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi Islam. Kemudian selagi masih muda, ia menetap di Baghdad, ibu kota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ja sangat tekun mempelajari pelbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, tidaklah heran ia dapat menguasai ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik, meteorologi, optika, kedokteran, matematika, filsafat, dan politik. Penguasaannya terhadap filsafat dan disiplin ilmu lainnya telah menempatkan ia wv menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para filosof terkemuka. Karena itu pulalah ia dinilai pantas menyandang gelar Failasuf al-‘Arab (Filosof berkebangsaan Arab). Memandang kejeniusan tokoh ini, agaknya tuduhan yang mengatakan bahwa Al-Kindi tidak mengerti secara baik ilmu logika sulit dibuktikan.’ Pasalnya, tidak satu pun karya logikanya yang ditemukan lagi. Karena lingkup pengetahuan ilmiahnya yang luar biasa, atau mungkin juga karena alasan lain, misalnya kesesuaian pahamnya dengan 3Eu'ad Al-Ahwaniy, loc.cit. ‘Majid Fakhri, op.it., hlm, 111 Al-Kindi 39 ide-ide Mu’tazilah, Al-Ma’mun lalu mengajaknya bergabung dengan kalangan cendekiawan yang bergiat dalam usaha pengumpulan dan penerjemahan karya-karya Yunani® Agaknya Al-Kindi termasuk orang yang beruntung, ketika di Baghdad ia dengan cendekiawan Persia dan Suria, yang diduga dari merekalah ia mendapat bimbingan sehingga ia menjadi seorang di antara sedikit orang Islam-Arab yang menguasai bahasa Yunani dan Siryani, atau kedua-duanya sekaligus.° Oleh karena itu, pernyataan Al-Ahwaniy dapat diterima ketika ia mengatakan bahwa Al-Kindi termasuk salah seorang dari empat besar penerjemah bersama Hunain ibnu Ishaq, Sabit ibnu Qurra, dan Umar ibnu Al-Farkhan Al- Thabari?” Al-Ma’mun menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab negara dan Al-Kindi juga menulis beberapa risalah tentang keadilan, kemahaesaan Tuhan dan perbuatan-Nya, bahkan lebih jauh dari itu, ia ikut pula membantah paham-paham yang bertentangan dengan mazhab negara ini berdasarkan pemikirannya. Sungguhpun demikian, kita tidak bisa menetapkan secara pasti bahwa Al-Kindi adalah seorang Mu’tazili. Hal ini disebabkan persoalan-persoalan tentang keadilan dan kemahakuasaan Tuhan bukan hak mutlak atau monopoli Mu’tazilah saja.® Selain itu, seseorang baru bisa disebut Mu’tazili apabila ia menerima dan meyakini lima ajaran pokoknya (al-Ushail al-Khamsat). ®Musa Al-Musawi, Min Al-Kindi ila Ibn Rusyd, (Beirut: Maktabat al-Fikr al- Jami'i, 1977), him. 54-55. ‘Ibnu Juljul, Thabaqat al-Athibba’ wa al-Hukuma’ dikutip melalui George N. Atiyeh, Al-Kindi: The Philosopher of The Arab, (Rawalpindi: Islamic Research In- stitute, 1966), him. 6. 7Ahmad Fu'ad Al-Ahwaniy, al-Madaris al-Falsafiyyat, (Kairo: al-Dar al- Mishriyyat, 1965), hlm. 126. ‘Al-Musawi menyebutkan nama Hisyam Ibnu Al-Hakim dan Hisyam Al- Jawaliqi sebagai dua orang non-Mu’tazilah yang juga berbicara tentang masalah keadilan dan kemahaesaan Tuhan. Lihat: bukunya, op.cit., hlm. 55. 40 Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) Al-Kindi memperoleh kedudukan yang terhormat di sisi Al- Ma’mun dan Al-Mu’tasim dan bahkan ia diangkat sebagai guru bagi Ahmad putra al-Mu’tasim, kepada siapa ia banyak memperhambakan karyanya.” Akan tetapi, dengan kedudukannya ini bukan berarti ia lepas dari pengalaman pahit yang menimpa para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Pada masa pemerintah Al-Mutawakkil, Daulat Bani Abbas kembali menjadikan ahlussunah wal-jama’ah sebagai mazhab negara, ganti dari mazhab Mu’tazilah. Suasana ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang berpegang secara ketat pada doktrin ini dan tidak menyukai filsafat untuk memojokkan Al-Kindi. Atas hasutan Muhammad dan Ahmad, dua orang putra ibnu Syakir —di antara yang mereka katakan, orang yang mempelajari filsafat menjadi kurang hormat pada agama— Al-Mutawakkil memerintahkan agar Al-Kindi didera dan perpustakaannya yang bernama Al-Kindiyah disita. Akan tetapi, tidak lama kemudian perpustakaannya dikembalikan lagi kepada pemiliknya.” Ada dua kisah menarik yang dihubungan dengan Al-Kindi. Pertama, kisah tentang kekikirannya sama terkenalnya dengan kegeniusannya. Kedua, kisah kepiawaiannya tentang musik. Menurutnya, rasa seni bukan hanya dimiliki oleh manusia, tetapi juga hewan. Bila seruling ditiup dengan baik, maka hewan, seperti ular dan buaya akan keluar dari tempat persembunyiannya dan ikut mengikuti irama seni tersebut. Begitu pula para penggembala dengan suara terompetnya yang khas akan dapat memanggil dan mengumpulkan hewan gembalanya, seperti 5MLM. Syarié, (Ed.) History of Muslim Philosophy, vol. 1, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), him. 422. Abd Al-Rahman Badwi (ed. & Pent.) al-Turds al-Yunani fi al-Hadharah al- Islamiyyat, (Kaito: Dar al-Nahdat al-Arabiyyat, 1965), him. 124-125. Al-Kindi 41 sapi, kambing, domba, dan lainnya. Dengan seni musik ini ia telah berhasil mengobati anak tetangga pedagang kaya yang ditimpa penyakit saraf dan tiba-tiba lumpuh, padahal tidak seorang dokter pun di Bagh- dad yang mampu menyembuhkannya."! Ja pernah pula menulis dan membentangkan undang-undang “Musical sound” dan seni musik yang berpengaruh sampai ke Eropa.'” ‘Tentang kapan Al-Kindi meninggal tidak ada suatu keterangan pun yang pasti. Agaknya menentukan tahun wafatnya sama sulitnya dengan menentukan tahun kelahirannya dan siapa-siapa saja guru yang mendidiknya. Mustafa ‘Abd Al-Raziq cenderung mengatakan tahun wafatnya adalah 252 H, sedangkan Massignon menunjuk tahun 260 H, suatu pendapat yang juga diyakini oleh Hendry Corbin dan Nellino. Sementara itu, Yaqut Al-Himawi mengatakan bahwa Al-Kindi wafat sesudah berusia 80 tahun atau lebih sedikit.* Betapa pun juga Al-Kindi sudah dinobatkan sebagai filosof Muslim berkebangsaan Arab yang pertama, ia layak disejajarkan dengan filosof-filosof Muslim non-Arab. Sumbangan Al-Kindi yang sangat berharga dalam dunia filsafat Islam ialah usahanya untuk membuka jalan dan menjawab rasa enggan dari umat Islam lainnya untuk menerima ilmu filsafat ini, yang terasa asing di masa itu. Karya Tulisnya Telah disebutkan bahwa Al-Kindi aktif terlibat dalam kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani dan sekaligus ia melakukan koreksi UMM. Syarif, loccit. "MM. Syarif, Alam Pikiran Islam, Peranan Umat Islam dalam Pengembangan Inu Pengetakuan, Ter). Fuad Moh. Fachruddin, (Bandung: Diponegoro, 1979), Cet. I, him, 81. Musa Al-Musawi, op.it., him, 52-53. 42 Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) serta perbaikan atas terjemahan orang lain. Sebagai penerjemah terkemuka, tidaklah aneh sekiranya ia mendapat penghargaan dari Khalifah Al-Ma’mun yang terkenal cintanya pada filsafat dan sains. Menurut informasi, Al-Ma’mun membayar siapa saja yang sanggup V menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Arab dengan emas seberat buku yang diterjemahkan. Hal ini paling tidak dapat dijadikan indikasi maraknya kegiatan ilmiah dan juga sebagai motivasi pendorong bagi orang-orang untuk melakukan kegiatan tersebut Selain itu, ia juga termasuk seorang yang kreatif dan produktif dalam kegiatan tulis-menulis. Tulisannya cukup banyak dalam pel- bagai disiplin ilmu. Akan tetapi, amat disayangkan kebanyakan karya tulisnya telah hilang sehingga sulit menjelaskan berapa jumlah karya tulisnya. Informasi akhir-akhir ini merupakan suatu kegembiraan bahwa sebagian dari risalah Al-Kindi yang hilang tersebut ditemukan kembali. Sebuah ikhtisar yang berisi 25 risalah Al-Kindi ditemukan oleh Ritter di Istambul, sementara beberapa risalah pendeknya yang lain ditemukan di Aleppo.* Menurut George Atiyeh karya-karya tulis Al-Kindi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan mencapai seba- nyak 270 risalah.™ Risalah-risalah itu, baik oleh Ibnu Nadim maupun Qifthi, dikelompokkan dalam 17 kelompok, yaitu 1. Filsafat, 2. Logika, 3. mu hitung, 4. Globular, 5. Musik, 6. Astronomi, 7. Geometri, 8. Sperikal, 9. Medis, 10. Astrologi, 11. Dialektika, 12. Psikologi, 13. Politik, 14. Meteorologi, 15. Dimensi, 16. Benda-benda pertama, 17. Spesies tertentu logam dan kimia."* MLM, Syatié, History, op.cit., him. 423, George N. Atiyeh, op.cit., Appendik I, him. 148. “MM, Syarif, History/loc.cit. Al-Kindi 43 Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikemukakan beberapa karya tulis Al-Kindi. Fr al-falsafat al-’Ula Kitab al-Hassi ‘ala Ta‘allum al-Falsafat Risdlat ila al-Ma‘min fi al-‘illat wa Ma‘lal Risdlat fi Ta'lif al-A’déd Kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa al-Masd’il al-Manthigiyyat wa al- Mu'tashah wa ma Faugqa al-Thabi‘iyyat. uF one a Kammiyat Kutub Aristoteles 7. Fial-Nafs Dari uraian karya tulis di atas dapat dijadikan bukti tentang luasnya wawasan keilmuan Al-Kindi. Bahkan, beberapa karya tulis- nya telah diterjemahkan oleh Gerard Cremona ke dalam bahasa Latin, yang sangat memengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan. Oleh karena itu, beralasan kiranya Cardono menganggap Al-Kindi sebagai salah seorang dari dua belas pemikir terbesar.” Namun, kita tidak menemukan informasi lebih lanjut tentang nama-nama dari dua belas pemikir besar tersebut dan juga apa-apa kriterianya dalam menetapkan hal tersebut. B. Pemaduan Filsafat dan Agama Salah satu usaha Al-Kindi memperkenalkan filsafat ke dalam dunia Islam dengan cara mengetok hati umat supaya menerima kebenaran walaupun dari mana sumbernya. Menurutnya kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya. “Ibid. 44 Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) \ Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah mere- mehkan dan merendahkan martabat orang yang menerimanya."* Telah dipaparkan bahwa Al-Kindi orang Islam yang pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan atau keselarasan antara filsafat dan agama, atau antara akal dan wahyu. Menurutnya antara keduanya tidaklah bertentangan karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu adalah satu (tidak banyak). Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaan-Nya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu selain yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan dari Vapa-apa yang mudarat. Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah, dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya Atas dasar itulah menurut Al-Kindi kita wajib berterima kasih kepada para pendahulu kita yang telah memberi kita ukuran kebe- naran. Jika mereka tidak membekali kita dengan dasar-dasar pikiran yang membuka jalan bagi kebenaran, pastilah kita tidak akan dapat, sekalipun kita telah mengadakan penyelidikan yang lama dan tekun, menemukan prinsip utama yang benar atas dasar penarikan kesim- pulan kita yang kabur, dan yang dari generasi ke generasi telah terbuka sejak dahulu hingga sekarang. ” Tujuan ungkapan Al-Kindi di atas adalah untuk menghalalkan filsafat bagi umat Islam. Usaha yang ia lakukan cukup menarik dan Abdus Salam, Sains dan Dunia Islam, Ter). Ahmad Baiquni, (Bandung: Salman ITP, 1983), blm. 11. "Abu Ridha, Rasa’il, [hlm. 97, dikutip melalui Majid Fakri, opcit, him. 114- 115. Al-Kindi 45 bijaksana. Ia mulai dengan membicarakan kebenaran. Sesuai dengan anjuran agama yang mengajarkan bahwa kita wajib menerima kebenaran dengan sepenuh hati tanpa mempersoalkan sumbernya, sekalipun, misalnya, sumber itu dari orang asing. Kemudian, usaha berikutnya ia masuk pada persoalan pokok, yakni filsafat. Telah dipaparkan bahwa tujuan filsafat sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh rasul. Oleh karena itu, sekalipun ia datang dari Yunani, maka kita, menurut Al-Kindi, wajib mempelajarinya, bahkan lebih jauh dari itu, kita wajib mencarinya. Agaknya untuk memuaskan semua pihak, terutama orang-orang Islam yang tidak senang pada filsafat, dalam usaha pemanduannya ini, Al-Kindi juga membawakan ayat-ayat Alquran. Menurutnya menerima dan mempelajari filsafat sejalan dengan anjuran Alquran yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini. Di antara ayat-ayatnya adalah sebagai berikut.”° 1. Surat Al-Nasyr [59]: 2 sbarvidslbly sets Maka ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. 2. Surat ALA'raf [7]: 185 al Ge bey Gey Vly Slpaedl Se Bly a do! Bist oe Muhammad ‘Athi€ Al-reqy, al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Dar al-Ma‘arié, 1978), blm, 22-23 46 Filsafat Isiam (Filosof dan Filsafatnya) Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah . Surat Al-Ghasyiyat [88] :17-20 AS sland My ceils aS pI Li oy By dsh ALS eI My ena BS StH! Sy cd, cork Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia di- ciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan. Surat Al-Baqarah [2]: 164 gLedly fel Bothy G2, Viy ol peodl Ge gol Jp y pl aie KK pl GA gl cll 1, ea hh ye ey 2) ale cle oye sland pe a pall beastly CL Gr pais tle IT oe Wt O pliny tt bY Qanvy sland) oy Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, sili bergantinya malan dan siang, kapal yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh ter- dapat tanda-tanda keesaan dan kebenaran Allah bagi kaum yang memikirkan Al-Kindi 47 Dengan demikian, Al-Kindi telah membuka pintu bagi penaf- siran filosofis terhadap Alquran, sehingga menghasilkan persesuaian antara wahyu dan akal dan antara filsafat dan agama. Lebih lanjut ia kemukakan bahwa pemaduan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan berikut. 1, Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat. “ 2. Wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran [ilsafat saling bersesuaian. 3. Menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.” Seperti dimaklumi bahwa filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu, maka dalam hal ini termasuk di dalamnya masalah ketuhanan, etika, dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Begitu pula agama memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan, kapan dan di mana pun juga, walaupun sampai ke negeri jauh, misalnya, Cina sekalipun, bahkan ia menempatkan pakar ilmu pengetahuan pada peringkat yang tinggi? Ilmu yang dimaksudkan di sini tentu terkandung di dalamnya ilmu filsafat, apalagi kebenaran yang ditawarkannya serasi atau sesuai dengan kebenaran yang dikedepankan wahyu. Al-Kindi juga menghadapkan argumennya kepada orang-orang agama yang tidak senang terhadap filsafat dan filosof. Jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat tidak perlu, mereka harus memberikan 21M.M, Syarif, History, op.cit., hm. 425. Lihat: QS Al-Baqarah (2:]31-32; Fathir (35):28; Al-Zumar (39:9; Al- Mujadilat (58]:11; dan Al-Alag [96]:1-5. Sejumlah hadis ikut mendorong umat Islam untuk mencari ilmu pengetahuan, di antaranya “Mencari ilmu wajib bagi setiap Muslim.” Lihat: Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 1, (Muqaddimat, Bagian 17, ‘Isa al-Baby al-Halabiy wa Syurakuhu, tt.), him. 61 48 Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) argumen dan menjelaskannya. Usaha pemberian argumen tersebut merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat. Untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika, mereka perlu memiliki pengetahuan filsafat. Kesimpulannya bahwa filsafat harus dimiliki dan dipelajari. Dalam tulisannya Kammiyat Kutub Aristoteles, Al-Kindi me- ngemukakan beberapa perbedaan antara filsafat dan agama sebagai berikut. 1. Filsafat adalah ilmu kemanusiaan yang dicapai oleh filosof dengan berpikir, belajar, dan usaha-usaha manusiawi. Sementara itu, agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati peringkat tertinggi karena diperoleh tanpa proses belajar, berpikir, dan usaha manusiawi, melainkan hanya dikhususkan bagi para rasul yang dipilih Allah dengan menyucikan jiwa mereka dan memberinya wahyu.” 2. Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian (semu) dan memerlukan pemikiran atau perenungan. Sementara itu, agama (Alquran) jawabannya menunjukkan kepastian (mutlak benar) dan tidak memerlukan pemikiran atau perenungan, seperti firman Allah yang disampaikan Rasulullah Saw. ketika ia ditanya orang tentang siapa yang menghidupkan tulang belulang yang telah rapuh. Untuk lebih jelasnya, dapat dikemukakan teks ayat surat (QS Yasin [36]:78-81) sebagai berikut: Kamal Al-Yaziji,al-Nushiish al-Falsafiyyat al-Vuyassarat, (Beirut: Dar al-Ilm ial-Malayin, 1963), him. 74 Al-Kindi 49 talest col et BIOV ts cats ele ot ot opt pS eer GAY AY pale Ge JS gay be Jul oA 0:8 8 a pal BBE pa pet SH of de jokes G2 Vy Ol youll Gh sl pat) BLN gh y cb alts ... siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh? Katakanlah: “la akan dihidupkan oleh Allah yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk, yaitu Allah yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan api dari kayu itu.” Dan tidakkah Allah yang menciptakan langit dan bumi ita berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui Filsafat menggunakan metode logika, sedangkan agama menggunakan metode keimanan. Dari uraian yang dipaparkan di atas dapat dilihat bahwa sikap ALKindi tentang filsafat dan agama tidaklah konsisten. Pada satu kesempatan ia menyamakan tingkat kepastian yang diberikan oleh kedua jenis ilmu ini, Namun, pada kali yang lain, ia meletakkan pengetahuan rasional lebih rendah daripada pengetahuan kenabian. Agaknya, ketidakkonsistenannya ini ada kaitannya dengan ilmu filsafat sebagai disiplin ilmu baru yang ia perkenalkan kepada dunia Islam. Hal ini terekam dari pernyataannya yang berbunyi: “Yang paling luhur dan mulia di antara segala karya manusia adalah karya filsafat, yang definisinya adalah ilmu segala sesuatu berikut kebe- 50 Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) naran-kebenarannya sebatas kemampuan manusia.”™ Jelas sekali bahwa Filosof pertama dalam Islam ini tidak bermaksud memasukkan filsafat ke dalam dunia Islam dari pintu depan dan mengusir agama dari pintu belakang. Filsafat dan berfilsafat merupakan kebutuhan manusia dan tidak dilarang dalam Islam. Kesimpulannya, Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan usaha pemaduan antara filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Ia melempangkan jalan bagi Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd yang datang kemudian. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Al-Kindi telah memainkan peranan yang besar dan penting di “pentas” filsafat Islam. C. Filsafat Ketuhanan ‘Tulisan Al-Kindi yang membicarakan ketuhanan antara lain Fi al- Falsafat al-Ula dan Fi Wahdaniyyat Allah wa Tandhi Jirm al-Alam, Dari tulisan-tulisan tersebut dapat dilihat bahwa pandangan Al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran Islam dan bertentangan dengan pendapat Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada. Ia mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. Wujud-Nya tidak berakhix, sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya. Ia adalah Maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek. Ia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Benda-benda yang ada di alam ini, menurut Al-Kindi, mempunyai dua hakikat: hakikat sebagai juz’ (al-haqigat juz’iyyat) yang disebut ‘aniah dan hakikat sebagai bulli (al-hagiqat kulliyyat), dan ini disebut Muhammad Ali Aba Rayan, al-Falsafat al-Isldmiyyat, (Mathba’at M.K. al-Iskandariyyat,: Syakhshiyatuhd wa Mazahibuhd, tt), him. 345. A-Kindi 51 mdahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus (jins) dan species (nau’).* Tujuan akhir dalam filsafat Islam adalah untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang Allah. Allah dalam filsafat Al-Kindi, tidak mempunyai hakikat dalam arti ‘aniah dan mahiah. Tidak ‘aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk dalam benda-benda di alam ini. Allah tidak tersusun dari materi (al-haydla) dan bentuk (al-shfirat). Akan tetapi, Allah juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah karena Allah tidak merupakan genus atau species. Bagi Al-Kindi, Allah adalah unik. [a hanya satu dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Dialah Yang Benar Pertama (al-haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal (al- Haqgq al-Wahid). Selain dari-Nya, semuanya mengandung arti banyak”* Berdasarkan uraian di atas ternyata Al-Kindi lebih mengesakan Allah dibandingkan dengan kaum Mu’ tazilah yang selama ini dianggap demikian rasional. Pada penafiannya terhadap ‘aniah dan mahiah dari ke-Mahaesaan Allah, Al-Kindi memiliki pandangan yang mirip dengan pandangan Mu’tazilah yang menafikan sifat dari zat Allah. Akan tetapi, ketika Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan itu mengetahui dengan ilmu-Nya dan ilmu-Nya adalah zat-Nya (‘Alin bi ‘ilm wa ‘ilmuh zatuh); berkuasa dengan kekuasaan-Nya dan kekuasaan-Nya adalah zat-Nya (qadir bi qudratih wa qudratuh zhituh)?” dan seterusnya Al-Kindi ternyata telah meninggalkan pandangan ini. Selain memberikan sebutan baru bagi Allah, Al-Kindi juga menyatakan bahwa Allah itu hanya bisa dilukiskan dengan kata-kata negatif: Allah tidak sama dengan ciptaan- Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 16. “bid. 7Al-Syabrastaniy, al-Milal wa al-Nikal, (Beirut: Dar al-Firk, tt), hlm. 49. 52 Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) Nya, Allah tidak berbentuk, Allah tidak berbilang, Allah tidak berhubungan, Allah tidak berbagi. Ia adalah Maha Esa (wahdat) dan yang selain-Nya berbilang.* Dengan demikian, nafi al-shifat (peniadaan sifat) bagi Mu’tazilah ini berarti Allah mempunyai hakikat, sedangkan bagi Al-Kindi Allah tidak punya hakikat. Dilihat dari sisiini, pandangan Mu’tazilah yang menyandang gelar kehormatan kaum rasionalisme dalam Islam, bisa dianggap musyrik. Jadi, Al-Kindi dalam mengesakan Allah amat menekankan ketidaksamaan-Nya dengan ciptaan-Nya. Sesuai dengan paham yang ada dalam Islam, Allah, bagi Al-Kindi, adalah Pencipta alam semesta dan mengaturnya, yang disebut dengan ibda’. Pendapatnya ini berbeda dengan pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa Allah sebagai Penggerak Pertama yang tidak bergerak.” Di sini terlihat Al-Kindi sekalipun terpengaruh oleh filsafat Yunani, ia tidak begitu saja menerima ide-ide yang ada di dalamnya, tetapi ia menyesuaikannya dengan ajaran Islam Adapun alam, menurut Al-Kindi, sebagai ciptaan Allah beredar menurut aturan-Nya (sunatullah) tidak kadim, tetapi mempunyai permulaan. Ia diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (creatio ex nihilo) atau menurut istilah yang digunakannya izh-har al-syai’ ‘an laisa.*' Pengertian kadim, menurut Al-Kindi, adalah tidak berpermulaan. Pendapat Al-Kindi tentang diciptakannya alam dari ketiadaan sejalan dengan pandangan kaum teolog Muslim, tetapi berbeda dengan pendapat para filosof Yunani dan bertentangan dengan pendapat kaum filosof Muslim. Sementara itu, dalam Alquran sendiri tidak dijelaskan George N. Atiyeh, op.cit,, hlm. 67. M.M.Syarif, History, op.cit., him, 428-429. "Ibid. Ibid, him. 16-17. Muhammad ‘Athi€ Al-‘Iragy, Dirasat fi Mazhab Falasifat al-Masyriq, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1973), hlm. 40. Al-Kindi 53 secara tegas, apakah alam semesta diciptakan dari materi yang sudah ada atau dari ketiadaan. Untuk membuktikan adanya Allah, Al-Kindi memajukan tiga argumen: 1. baharunya alam; 2. keanekaragaman dalam wujud; 3. kerapian alam. ‘Tentang dalil atau argumen baharunya alam telah lazim dikenal di kalangan kaum teolog sebelum Al-Kindi. Akan tetapi, Al-Kindi mengemukakannya secara filosofis. Ia berangkat dari pertanyaan, apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya? Dengan tegas Al-Kindi menjawab, bahwa itu tidak mungkin karena alam ini mempunyai permulaan waktu dan setiap yang mempunyai permulaan akan berkesudahan (mutandhi). Justru itu setiap benda, ada yang menyebabkan wujudnya dan mustahil benda itu sendiri yang menjadi sebabnya. Ini berarti bahwa alam semesta baharu dan diciptakan dari tiada oleh yang menciptakannya, yakni Allah? ‘Tentang argumen yang kedua, keanekaragaman dalam wujud, kata Al-Kindi dalam alam empiris ini tidak mungkin ada keanekara- gaman tanpa keseragaman atau sebaliknya. Terjadinya keanekaragaman dan keseragaman ini bukan secara kebetulan, tetapi ada yang menye- babkan atau yang merancangnya. Sebagai penyebabnya mustahil alam itu sendiri, dan jika alam yang menjadi sebab (‘illat)-nya akan terjadi tasalsul (rangkaian) yang tidak akan habis-habisnya. Sementara itu, sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Justru itu, “Hana Al-Fakhury, dan Khalil Al-Jarr, Térikeh al-Falsafat al-Arabiyyat, (Bei- rut: Cet. I], Mu’assasat li al-Thaba’at wa al-Nasyr, 1963), Cet. II, him. 368. 54 Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) sebab atau ‘illat-nya harus yang berada di luar alam sendiri, yakni Zat Yang Maha Baik, Maha Mulia, dan lebih dahulu adanya dari alam, yang disebut dengan Allah Swt.* Dalam uraian di atas, Al-Kindi menyebut dua sebab atau ‘illae: pertama, sebab yang sebenarnya dan aksinya adalah ciptaan dari ketiadaan (ida’). Ia adalah Allah Yang Maha Esa, Pencipta Tunggal alam semesta. Kedua, sebab yang tidak sebenarnya. Sebab ini adanya lantaran sebab lain dan sebab-sebab itu sendiri adalah sebab-sebab dari efek-efek lain. Sebab-sebab seperti ini jelas berkehendak dan membutuhkan yang lain tanpa berkesudahan. la bukanlah dinamakan sebab yang menciptakan alam ini. ‘Tentang argumen yang ketiga, kerapian alam, Al-Kindi mene- gaskan bahwa alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu saja tanpa ada yang mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendalinya tentu yang berada di luar alam dan tidak sama dengan alam. Zat itu tidak terlihat, tetapi dapat diketahui dengan melihat tanda-tanda atau fenomena yang terdapat di alam ini. Zat itulah yang disebut dengan Allah Swt.# D. Alam Di dalam risalahnya yang berjudul al-Ibdnat ‘an al-“illat al-Fa’ilat al-Qribat fi kawn wa al-Fasdd, pendapat Al-Kindi sejalan dengan Aristoteles bahwa benda di alam ini dapat dikatakan wujud yang aktual apabila terhimpun empat ‘flat, yakni: 1. al-Unshdriyyat (materi benda); 2. al-Shiiriyyat (bentuk benda); SMuhammad Aba Riddah, Rasd‘il Al-Kindi al-Falsafiyyat, (Kaito: Dar al-Fiks al“Arabiy, 1950), him, 142-143. %Fana Al-Fakhury et.al., op.cit., him, 369. Al-Kindi 55 3. al-Fa’ilat (pembuat benda, agent); 4. al-Tamdmiyyat (manfaat benda).** Selanjutnya, Al-Kindi membagi ‘il/at al-Fa’ilat menjadi qaribat (dekat) dan ba’idat (jauh). ‘illat yang dekat (garfbat) ada yang bertalian dengan alam dan ada pula yang bertalian dengan Allah. Sementara itu, ‘illat yang jauh (ba‘idat) hanya bertalian dengan Allah. Kalau dicontohkan dengan sebatang kapur tulis, pabrik yang memproduksi kapur disebut ‘i/lat yang dekat (garibat) dan manusia yang menciptakan pabrik disebut ‘i//at yang jauh berasal dari alam (ba’idat thabi‘ty). Namun, pada hakikatnya yang menciptakan pencipta pabrik (manusia) tersebut adalah ‘illat ba‘idat Ilahiy (sebab yang jauh dari Tuhan), yakni Allah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar di bawah ini. SEBAB-SEBAB (al-ilat) llahy Sebab penciptaan yang jauh bagi segala pencipta, yakni Allah, Materi Bentuk Pembuat Manfaat Jauh llahy (Ba'idat) (Qaribat) Manusia yang Pabrik kapurtuls. menciptakan pabrik Muhammad ‘Athif Al-Iraqy, Tajdid fi al-Mazhab al-Falsafiyyat wa al- Kalamriyyat, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1979), Cet. IV, him, 90-91. 56 Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) Telah dikemukakan bahwa alam, menurut Al-Kindi, disebabkan oleh sebab yang jauh, yakni Allah. Ia yang menciptakan alam dari tiada (creatio ex nihtlo). ‘Tentang baharunya alam, Al-Kindi mengemukakan tiga argumen, yakni gerak, zaman, dan benda.** Benda untuk menjadi ada harus ada gerak. Masa gerak menunjukkan adanya zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan adanya benda. Mustahil kiranya ada gerak Lanpa ada benda. Ketiganya sejalan dan akan berakhir. Pada sisi lain, benda mempunyai tiga dimensi: panjang, lebar, dan tinggi. Ketiga dimensi ini membuktikan bahwa benda tersusun dan setiap yang tersusun tidak dapat dikatakan kadim. Jika diandaikan, kata Al-Kindi, zaman kadim, bila ditelusuri ke belakang tentu saja tidak akan sampai pada akhirnya, karena tidak mempunyai awal. Begitu pula zaman yang tidak mempunyai awal pada masa lampau tentu ia tidak akan sampai pada masa kita seka- rang. Oleh sebab itu, zaman yang sampai pada masa sekarang bukan kadim, tetapi baharu. Lebih lanjut Al-Kindi mengemukakan beberapa argumen dalam menetapkan baharunya alam.3” 1. Semua benda yang homogen, yang tiada padanya lebih besar ketimbang yang lain, adalah sama besar. 2. Jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama besarnya dalam aktualitas dan potensialitas Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), Cet. I], him. 16 George N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filsafat Muslin, Ter). Kasidjo Djojo Suwarno, (Bandung: Salman, 1983), hlm, 50-51 Al-Kindi 57 38. Benda-benda yang mempunyai batas tidak bisa tidak mempunyai batas. 4, Jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan homogen ditambah dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak sama besar. 5. Jika sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil daripada benda semula. 6. _ Jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan kembali kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama seperti semula. 7. Tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai " batas bisa lebih kecil ketimbang yang lain. 8. Jika benda-benda yang homogen yang semuanya mempunyai batas ditambahkan bersama, maka jumlahnya juga akan terbatas. Dengan argumennya ini, Al-Kindi mengkaji ulang prinsip kadimnya alam yang dikemukakan oleh Aristoteles. Lebih lanjut ia jelaskan sebagai berikut. Seandainya alam ini tidak terbatas, lalu diambil sebagian, maka yang tinggal, apakah terbatas, ataukah tidak terbatas? Jika yang tinggal terbatas, bila ditambahkan kembali kepada bagian yang dipisahkan, maka hasilnya tentu terbatas pula dan inilah yang benar, tetapi bertentangan dengan pengandaian semula bahwa alam ini sebelum dibagi atau diambil sebagiannya, tidak terbatas. Jadi, hasil dari penambahannya menjadi terbatas dan tidak terbatas, suatu kontradiksi dan tidak dapat diterima. Sekiranya yang tinggal setelah diambil tidak terbatas, sedangkan keseluruhannya sebelum diambil juga tidak terbatas, maka berarti benda sama besar dengan bagiannya. Hal ini adalah kontradiktif dan tidak bisa diterima. Akan tetapi, setelah penjumlahan keduanya menghasilkan lebih besar daripada yang sebelumnya, berarti yang tidak terbatas lebih besar daripada yang 58 Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) tidak terbatas, maka hal ini merupakan kesimpulan yang tidak dapat diterima. Atas dasar itulah Al-Kindi berkesimpulan bahwa alam semesta ini pastilah terbatas dan ia menolak secara tegas pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta tidak terbatas atau kadim. Telah dikemukakan bahwa pendapat Al-Kindi tentang baharunya alam sama dengan pendapat kaum teolog Muslim dan berbeda dengan pandangan kaum filosof Muslim yang datang sesudahnya yang menyatakan bahwa alam ini kadim. Telah dijelaskan juga bahwa Alquran hanya menginformasikan bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah Swt. Akan tetapi, Alquran tidak menginformasikan tentang proses penciptaannya, apakah dari tiada menjadi ada sehingga alam ini harus dikatakan hédis (baharu), atau penciptaannya dari materi yang sudah ada semenjak azali, dengan arti mengubah ada dari satu bentuk ke bentuk yang lain sehingga alam ini harus dikatakan kadim. E. Filsafat Jiwa Tidak mengherankan bahwa pembahasan tentang jiwa menjadi agenda yang penting dalam filsafat Islam. Hal ini disebabkan jiwa termasuk unsur utama dari manusia, bahkan ada yang mengatakan sebagai intisari dari manusia.* Kaum filosof Muslim memakai kata jiwa (al-nafs) pada apa yang diistilahkan Alquran dengan al-rih. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk nafsu, nafas, dan roh. Akan tetapi, kata nafsu dalam pemakaian sehari-hari berkonotasi dengan dorongan untuk melakukan perbuatan yang ku- rang baik sehingga kata ini sering dirangkaikan menjadi satu dengan kata hawa, yakni hawa nafsu. Harun Nasution, Misticisme, op.cit., hlm. 13. Al-Kindi 59 Alquran dan hadis Nabi Muhammad Saw. tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Alquran sebagai sumber pokok ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia.” Justru itu, kaum filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam. Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, Al-Kindi juga mengata- kan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan -mulia. Substansi (javhar)-nya berasal dari substansi_ Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.” Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan Ilahy.* Sementara itu, jisim mempunyai hawa nafsu dan marah. Argumen tentang bedanya jiwa dengan badan, menurut Al-Kindi adalah jiwa menentang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang. Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi ialah badan dan bentuk ialah jiwa manusia Hubungan jiwa dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan Lihat; QS, ALIsra [17]: 85 “Kamal AlYaziji, op cit, hlm. 76 “MM, Syatif, History, ep.cit., him. 432, 60 Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) materi. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa wujud tanpa bentuk atau jiwa. Pendapat ini mengandung arti bahwa jiwa adalah baharu karena jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bisa wujud tanpa materi, keduanya membentuk satu kesatuan yang bersifat esensial, dan kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa. Dalam hal ini pendapat Al-Kindi lebih dekat pada pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan acciden, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa. Namun, ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea. ALKindi, dalam tulisannya juga, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu (al-quwwat al-syahwéniyyat) yang terdapat di perut, daya marah (al-quwwat al-ghadabiyyat) yang a, dan daya pikir (al-quwwat al-‘agliyyat) yang berpusat terdap. di kepala.” Manusia, menurut Al-Kindi, apabila meninggalkan segala yang berbentuk empiris atau benda dan memusatkan pandangan pada hakikat-hakikat sesuatu, niscaya akan terbuka baginya pengetahuan tentang yang ghaib dan mengetahui rahasia-rahasia ciptaan. Akan tetapi, apabila tujuan manusia hidup di dunia ini ingin mendapatkan kelezatan makan dan minum atau materi semata, maka akan tertutup jalan bagi daya pikirnya untuk mengetahui hal-hal yang mulia dan tidak mungkin sifatnya mencapai kualitas kesempurnaan atau kemuliaan menyerupai sifat kesempurnaan dan kemuliaan Allah. Harun Nasution, Akal, op.cit., him. 9. “Kamal AL-Yaziji, op.cit,, hlm, 78. AlKindi 61 Sebagaimana dimaklumi, Al-Kindi membandingkan daya ber- nafsu pada manusia dengan babi, daya marah dengan anjing, dan daya pikir dengan malaikat. Jadi, orang yang dikuasai oleh jiwa bernafsu, tujuan hidupnya seperti yang dimiliki oleh babi; siapa yang dikuasai oleh nafsu marah, ia bersifat seperti anjing; dan siapa yang dikuasai oleh daya pikir, ia akan mengetahui hakikat-hakikat dan menjadi manusia utama yang hampir menyerupai sifat Allah, seperti bijaksana, adil, pemurah, baik, mengutamakan kebenaran dan keindahan.“ Al-Kindi dalam risalahnya menjelaskan akal. Ia gambarkan akal sebagai suatu potensi sederhana yang dapat mengetahui hakikat- hakikat sebenarnya dari benda-benda.** Akal, menurutnya, terbagi menjadi empat macam: satu berada di luar jiwa manusia dan yang tiga lagi berada di dalamnya. 1. Akal yang selamanya dalam aktualitas (al-‘agl allazi bi al-fi'l abada). Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat akal yang bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini ialah sebagai berikut: a. Taadalah Akal Pertama; b. Ia selamanya dalam aktualitas; c. Ia merupakan species dan genus; d. Ja membuat akal potensial menjadi aktual berpikir; e. _latidak sama dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya. “Ibid., him. 78-79. *Goerge N. Atiyeh, The Philosopher op.cit., hlm, 113 “Harun Nasution, Misticisme, op.cit., him. 15-16. Dan Abu Rayan, opcit., him, 359-360. 62 Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) Akal yang bersifat potensial (al-‘aq/ bi al-quwwat), yakni akal murni yang ada dalam diri manusia yang masih merupakan potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali. Akal yang bersifat perolehan (acquired intellect). Ini adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan kemampuan positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana cara menulis. Penamaan perolehan, agaknya dimaksudkan oleh Al-Kindi untuk menunjukkan bahwa akal dalam bentuk ini diperoleh dari akal yang berada di luar jiwa manusia, yakni Akal Pertama yang membuat akal potensial keluar menjadi akan aktualitas. Akal yang berada dalam keadaan aktual nyata, ketika ia aktual, maka ia disebut akal “Yang Kedua.” Rumusan dalam bahasa Arabnya ialah: iS! fil) fail Sly oe dalb fradll peg CU ad Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Ja dapat diibaratkan dengan proses penulisan kalau seseorang sungguh-sungguh melakukan penulisan.” Kalau kita merujuk pada risalah Al-Kindi tentang akal, sebagai yang dikemukakan oleh Abu Rayyan, niscaya kita mengetahui bahwa dalam persoalan akal ini Al-Kindi nyaris mengutip secara penuh pendapat Aristoteles dan itu dikatakannya secara jelas dalam risalahnya itu. Agaknya, Al-Kindi memang tidak melakukan pembahasan mendalam Harun Nasution, ibid. “Abu Rayyan, op.cit., hlm, 359-361. 63 tentang akal ini. Kendati demikian, apa yang dilakukannya ini telah merupakan peretas jalan bagi pembahasan oleh kaum filosof Muslim, yang datang sesudahnya. Jiwa yang bersih setelah berpisah dengan badan pergi ke Alam Kebenaran atau Alam Akal, di atas bintang-bintang di dalam lingkungan cahaya Allah, dekat dengan Allah dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak kesenangan abadi dari jiwa.” Jadi, hanya jiwa yang sucilah yang dapat sampai ke Alam Kebenaran itu. Jiwa yang masih kotor dan belum bersih harus mengalami penyucian terlebih dahulu. Mula-mulanya ia harus pergi ke bulan, kemudian setelah berhasil membersihkan diri di sana, dilanjutkan ke Markuri, dan seterusnya; naik setingkat demi seting- kat, sampai akhirnya, —sesudah benar-benar bersih— mencapai Alam Akal, dalam lingkungan cahaya Allah dan melihat Allah. Di sini terlihat bahwa Al-Kindi tidak percaya pada kekekalan hukuman terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh keselamatan dan naik ke alam akal. Alhasil, bagi Al-Kindi, jiwa adalah, sesuai dengan terminologi Alquran, khdlidina fiha yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kekal, namun kekalnya berbeda dengan Allah karena kekalnya dikekalkan Allah. Harus diakui bahwa Al-Kindi belum mempunyai filsafat yang lengkap. Ia telah berusaha mempertemukan filsafat dan agama atau akal dan wahyu, serta lebih jauh lagi, mengislamkan ide-ide yang terdapat dalam filsafat Yunani. Pemikiran filsafat Al-Kindi merupakan pemikiran awal yang merintis jalan bagi filosof Muslim sesudahnya. Hana AL-Fakhury, eda, op.cit., hlm. 366-367. Kamal Al-Yaziji, op.cit,, blm, 79-80.

Anda mungkin juga menyukai