Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ISTIHSAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Ushul Fiqh

Dosen Pengampu: Bapak Yusuf Fatoni, M.Ag

Disusun oleh:

1. Abdul Karim 1119144


2. Ali Fahruddin 1119148
3. Ferdhy Aditya F. 1119152
4. Siti Millatul Afifah 1119168

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI


JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2021

I
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Alhamdulillah puji syukur penulis sampaikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena
berkat ridho dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Istihsan” tanpa ada suatu halangan.
Sholawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Agung Muhammad shollalahu ‘alahi wa
ssalam yang selalu dinanti-nantikan safaatnya di hari akhir.
Dalam penyusunan makalah ini banyak bantuan yang penulis terima. Oleh karena itu,
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Orang tua yang selalu memberi doa dan restu.


2. Dosen Pengampu mata kuliah Ushul Fiqh
3. Semua pihak yang terkait dalam penulisan makalah ini.
Semoga segala kebaikan yang telah diberikan, mendapatkan balasan dari Allah
Subhanallahu wa Ta’ala.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran masih penulis
harapkan untuk perbaikan selanjutnya.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi perkembangan bahasa Indonesia.


Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Pati, 29 Oktober 2021

Penulis

II
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………I

KATAPENGANTAR………………………………………………………………….....II

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..............III

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................1


B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan......................................................................................................1
D. Manfaat Penulisan…………………………………………………………………2
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Dari Istihsan………………………………………………………..…3


B. Bentuk/Macam-Macam Istihsan………………………………………………… 4
C. Kehujjahan Istishan………………………………………………………….……8
D. Dasar Hukum Istihsan………………………………………………….………..10
E. Relevansi Istihsan Terhadap Pembaharuan Hukum Isla………………..……….12

BAB III PENUTUP

A. Simpulan..............................................................................................................14
B. Saran…………………………………………………………………..………..14

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..15

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumber hukum islam yang disepakati ulama’ adalah al Qur’an, Hadits,


Ijma’. Qiyas. Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hukum ini. Namun
demikian masih terdapat beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap
kehujjahan qiyas dengan beberapa alasan.

Seiring perjalan waktu, perkembangan teknologi dan pengetahuan


begitu pesat terjadi, sehingga muncul banyak permasalahan-permasalahan baru
yang terkadang tidak cukup dengan keempat sumber hukum di atas. Atas dasar
demikian muncul setelahnya beberapa metode istinbath hukum yang pada
kelanjutannya diklaim sebagai sumber hukum yang dipercaya. Kemunculan
sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima keabsahannya, sehingga
tidak heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan hingga saat ini. Terlepas
dari pro konta yang terjadi, jika melihat dari situasi dan kondisi masa ini
modifikasi terhadap hukum islam merupakan sebuah keniscayaan.

Di antara sumber hukum yang baru itu adalah istihsan. Istihsan yang
merupakan dalil syariat yang prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat,
tentunya sangat dibutuhkan untuk setidaknya meredam permasalahan-
permasalahan baru yang terjadi. Karena jika tetap berpegang pada sumber
hukum yang empat dengan fanatisme buta, otomatis agama akan ditinggalkan
karena tidak bisa mewadahi permasalahan-permasalahan baru yang terjadi.

Metode yang ditawarkan istihsan cukup komplek kendati tetap


membutuhkan pengembangan-pengembangan yang signifikan. Istihsan
merupakan keniscayaan untuk menerapkannya pada masa ini, hal itu mencakup
seluruh bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain

1
sebagainya) tentunya dengan modifikasi-modifikasi yang tidak bertentangan
dengan syariat agama.

Dalam makalah sederhana ini, penulis akan membahas tentang istihsan


Tidak ketinggalan pula kita akan mengkaji tentang pentingnya istihsan dalam
kehidupan sekarang ini, yang mana kita temukan banyak sekali permasalahan-
permasalahan kontemporer yang membutuhkan ijtihad hukum yang baru.

B. Rumusan Masalah
F. Apa pengertian dari Istihsan?
G. Bagaimana bentuk/macam-macam Istihsan ?
H. Bagaimana kehujjahan Istishan ?
I. Apa dasar hukum Istihsan?
J. Apa relevansi istihsan terhadap pembaharuan hukum Islam ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian istihsan
2. Untuk mengetahui macam-macam istihsan
3. Untuk mengetahui apa saja kehujjahan istihsan
4. Untuk mengetahui apa saja dasar hukum istihan
5. Untuk mengetahui relevansi istihsan dengan pembaharuan hukum islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Istihsan

Isitihsan menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap sesuatu,


sedangkan menurut istilah ulam ushul fiqh, Sebagaimana disebutkan oleh
Abdul Wahab Khalaf

‫هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى‬
‫اقله رجع لديه هذ العدول‬

“ istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntunan qiyas yang jali
(nyata) kepada tuntunan qiyas yang khafi (samar), atau dari hukum kulli
(umum) kepada hukum istitsnai (pengecualian), kerana terdapat dalil yang
mementingkan perpindahan.”

Apabila ada kejadian yang tidak terdapat nash hukumnya, maka untuk
menganalisisnya dapat menggyunakan dua aspek yang berbeda yaitu :

Pertama : Aspek nyata ( Zhahir) yang menghendaki suatu hukum


tertentu.
Kedua : Aspek tersembunyi (Khafi) yang menghendaki hukum lain.

Dalam hal ini, apabila dalam diri mujtahid terdapat dalil yang
mengunggulkan segi analisis yang nyata, maka ini disebut dengan istihsan,
menurut istilah syara’. Demikian pula apabila ada hukum yang bersifat kulli
(umum) namun pada diri mujtahid terdapat dalil yang menghendaki
pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli ( umum) tersebut, dan mujtahid

3
tersebut menghendaki hukum juz’iyyah dengan hukum yang lain, maka hal
teresebut menurut syara’ juga disebut dengan istihsan.1

B. Macam-Macam Istihsan
1. Istihsan Qiyasi

Istihsan Qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dan


ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali ( nyata ) kepada
ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi ( yang tersembunyi ),
karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum
tersebut. Alasan kuat yang dimaksud disini adalah kemaslahatan. Istihsan
dalam bentuk pertama inilah yang disebut dengan istihsan qiyasi2. Contoh
dibawah ini akan lebih mendekatkan pemahaman kita kepada pengertian
Istihsan dalam bentuk yang pertama ini.

Berdasarkan istihsan qiyasi yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa
minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum, seperti : sisa
minuman burung gagak atau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali,
sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis
dan haram untuk diminum, karena sisa minuman tersebut telah bercampur
dengan air liurnya, yaitu dengan meng-qiyaskan kepada dagingnya.
Sedangkan segi istihsannya bahwa jenis burung yang buas, meskipun
dagingnya haram tetapi air liur yang keluar dari dagingnya tidaklah
bercampur dengan sisa minumannya. Karena ia minum dengan
menggunakan paruhnya sedangkan paruh adalah tulang yang suci. Adapun
binatang buas maka ia minum dengan lidahnya yang bercampur dengan air
liurnya. Oleh karena inilah, sisa minumnya najis.3

1
A bdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, Toha Putra Group, 1994,) h. 131
2
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.198
3
Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 134

4
Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air
sisa minuman binatang buas ini ditetapkan berdasarkan Istihsan qiyasi,
yaitu mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas
jali (najis dan haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci
dan halal), karena adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.

Contoh lainnya Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita


dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang
melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seorang harus
membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya. Maka untuk
kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah istishan seorang dokter
dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.4

2. Istihsan Istishna’i

Istihsan Istishna’I adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari


ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada
ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus, istihsan dalam bentuk yang
kedua ini disebut dengan istihsan istishna’I. istihsan bentuk yang kedua ini
terbagi menjadi beberapa macam yaitu sebagai berikut :

1) Istihsan bi an-Nashsh

Istihsan bi an-Nashsh adalah pengalihan hukum dari ketentuan


yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena
ada nashsh yang mengecualikannya, baik nashsh tersebut Al-Qur’an
maupun Sunnah.

Contoh istihsan bi an-Nashsh berdasarkan Nashsh Al-Qur’an


adalah berlakunya ketentuan wasiat setelah seseorang itu wafat, padahal

4
M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 406

5
menurut ketentuan umum ketika orang yang telah wafat, ia tidak berhak
lagi terhadap kartanya, karenanya telah beralih kepada ahli warisnya.
Nyatanya, ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh Al-Qur’an,
antara lain termaktub dalam surah an-Nisa’ (4) : 12 :

Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar


utangnya….5

Contoh istihsan bi an-Nash yang berdasarkan sunnah ialah, tidak


batalnya puasa orang yang makan atau minum karena lupa, padahal
menurut ketenutan umum, makan dan minum membatalkan puasa,
nyatanya ketentuan umum tersebut dikecualikan berdasarkan hadits 6:

Dari Abu Hurairah RA, katanya, Rasulullah SAW bersabda : “


Barangsiapa yang lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau
minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena
sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya”.

2) Istihsan Bi al-Ijma’

Istihsan bi al-ijma’ adalah istihsan yang meninggalkan


penggunaan dalil qiyas karena adanya ijma’ ulama yang menetapkan
hukum yang berbeda dari tuntunan qiyas7. Sebagai contoh, ketetapan
ijma’ tentang sahnya akad istishna’ ( perburuhann/pesanan). Menurut
qiyas, semestinya akad itu batal. Sebab sasaran (obyek) akad tidak ada
ketika akad itu dilangsungkan.

5
Kementrian agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Jawa Barat, Sygma creative media corp,
2014), an-Nisa’, (12).
6
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.200
7
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409

6
Akan tetapi karena transaksi model itu telah dikenal dan sah
sepanjang zaman, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf’Am
(tradisi) yang dapat mengalahkan dengan dalil qiyas. Yang demikian ini
berarti merupakan perpindahan suatu dalil ke dalil lain yang lebih kuat

3) Istihsan bi al-Urf

Istihsan bi al-Urf adalah pengecualian hukum dari prinsip


syari’ah yang umum, berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Contohnya
ialah, menurut ketentuan umum mentapkan ongkos kendaraan umum
dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedakan jauh atau
dekatnya jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab, transaksi upah-
mengupah harus berdasarkan kejelasan pada obyek upah yang dibayar.
Akan tetapi melalui istihsan, transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan
kebiasaan yang berlaku, demi menjaga jangan timbul kesulitan
masyarkat dan terpeliharanya kebutuhan mereka terhadap transaksi
tersebut.8

4) Istihsan bi ad-Dharurah

Istihsan bi ad-Dharurah adalah istihsan yang disebabkan oleh


adanya keadaan yang darurat (terpaksa) dalam suatu masalah yang
mendorong seorang mujtahid untuk meninggalkan dalil qiyas. Seperti
contoh menghukumkan sucinya air sumur atau kolam air yang kejatuhan
najis dengan cara menguras airnya. Menurut ketentuan umum, tidak
mungkin mensucikan sumur atau kolam hanya dengan mengurasnya.
Sebab ketika air sedang dikuras mata air akan terus mengeluarkan air
yang kemudian akan bercampur dengan air yang bernajis. Demikian
juga dengan alat pengurasnya (timba atau mesin pompa air); ketika

8
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.202

7
bekerja, air yang bernajis akan mengotori alat tersebut, sehingga air
akan tetap najis. Akan tetapi, demi kebutuhan menghadapi keadaan
darurat, berdasarkan istihsan, air sumur atau kolam dipandang suci
setelah dikuras.9

5) Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah

Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah adalah mengecualikan


ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan,
dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip
kemaslhatan. Misalnya, menetapkan hukum sahnya wasiat yang
ditujukkan untuk keperluan yang baik, dari orang yang berada dibawah
pengampuan, baik karena ia kurang akal maupun karena berperilaku
boros. Menurut ketentuan umum, tindakan hukum terhadap harta orang
yang dibawah pengampuan tidak sah, karena akan mengabaikan
kepentingannya terhadap hartanya. Akan tetapi, demi kemaslahatan,
wasiat orang tersebut dipandang sah. Sebab, dengan memberlakukan
hukum sah wasiatnya yang ditujukkan untuk kebaikan,maka hartanya
akan tetap terpelihara. Apalagi mengingat bahwa hukum berlakunya
wasiat adalah setelah ia wafat; tentu hal itu tidak menganggu
kepentingan orang yang berwasiat tersebut. Oleh karena itu, ketentuan
umum yang berlaku dalam harta orang yang dibawah pengampunan
dikecualikan khusus yang berkaitan dengan wasiat.10

C. Kehujjahan Istihsan

Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macam, jelaslah


pada hakekatnya istihsan bukan sumber hukum yang berdiri sendiri. Karena

9
M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
10
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.203

8
hukum-hukum tersebut pada bagian pertama berasal dari qiyas khafi
(tersembunyi) yang mengalhkan terhadap qiyas jali (jelas).

Karena adanya beberapa faktor yang menenangkan hati para mujtahid


yaitu dari segi istihsan,. Sedangkan bagian kedua dari istihsan, hukum-
hukmnya antara lain berupa dalil maslahat yang menuntut pengecualian
juz’iyyah dari hukum kulli (umum) dan ini juga disebut dengan segi istihsan.

Adapun kehujjahan istihsan menurut para ulama’, antara lain:

-Ulama’ Hanafiyah

Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali


menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam
beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya
istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqihnya banyak sekali terdapat
permasalahan yang menyangkut istihsan.

-Ulama’ Malikiyah

Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil


yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu
Hanifah. Begitupula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa
dengan menggunakan istihsan.

-Ulama’ Hanabilah

Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah


mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi dan
Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-Jalal Al-Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-
Jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanifah, namun
ulama’ yang lain mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.

9
-Ulama’ Syafi’iyah

Golongan Al Syafi’i secara masyhur tidak mengakui adanya istihsan,


dan mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakan dalam istinbat hukum
dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi’i berkata
“Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari’at.”
Beliau juga berkata, “Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT.,
setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas.
Namun tidak boleh menggunakan istihsan.”11

Hujjah Istihsan kebanyakan digunakan oleh kalangan ulama Hanafiyah,


alasan mereka ialah bahwa mencari dalil dengan istihsan hakikatnya merupakan
Istidlal (mencari dalil). Dengan dasar qiyas yang tersembunyi, yang lebih
diungguli dari qiyas yang nyata. Atau sebagai upaya mengunggulkan suatu
qiyas dengan qiyas lain yang berlawanan dengan berdasarkan suatu dalil yang
bisa diandalkan atau merupakan Istidlal dengan jalan mashlahah mursalah
berdasarkan pengcualian juz’iyyah dari hukum kulli ( umum), semua ini
merupakan istidlal yang sahih.12

D. Dasar Hukum Istihsan

Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-


Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif
(lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-
Zumar: 18

‫ واولئك هم اولو االلبابز‬. ‫اولئك الذين هدهم الله‬. ‫الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه‬

11
DR. Rachmat Syafe’i, M.A., Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, 1999, hlm. 112
12
Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 136

10
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah
petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-
Zumar: 18)

Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi


hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian
tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.

‫واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم‬

Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan


kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)

Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk


mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan
di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka
ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.

Hadits Nabi saw:

‫ئ‬ َ ‫سيِئًا فَ ُه َو ِع ْندَ اللَّ ِه‬


ٌ ِ‫سي‬ َ ‫س ٌن َو َما َرأَ ْوا‬ َ ‫فَ َما َرأَى ْال ُم ْس ِل ُمونَ َح‬.
َ ‫سنًا فَ ُه َو ِع ْندَ اللَّ ِه َح‬

Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka
ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk,
maka disisi Allah adalah buruk pula”.

11
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum
muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini
menunjukkan kehujjahan Istihsan.13

E. Relevansi Istishan dengan Pembaharuan Hukum Islam

Pembaharuan hukum Islam merupakan usaha menetapkan hukum yang


mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menjadikan
perkembangan baru itu sebagai pertimbangan hukum agar hukum tersebut
betul-betul mampu merealisasi tujuan syariat dan selalu berpedoman pada
prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar yang dibawa al-Qur‟an dan Hadits. Jadi
pembaharuan hukum Islam bukan berarti menetapkan hukum Islam yang
mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru secara sembarangan
tanpa pedoman dan batasan.

Istihsan meskipun bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, namun dia
menyingkap jalan yang ditempuh sebagian mujtahidin dalam menerapkan dalil-
dalil syara‟ dan kaidah-kaidahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan
kenyataan yang berkembang di dalam masyarakat. Hal ini untuk
menghilangkan kesulitan dan kemudharatan serta menghasilkan kemanfaatan
dengan jalan menerapkan dasar-dasar syariat dan sumber-sumbernya.

Istihsan pada hakikatnya dapat merombak hukum lama yang ditetapkan


dengan qiyas, atau dengan kata lain, hukum yang ditetapkan dengan istihsan
berbeda dengan hukum lama yang ditetapkan oleh Qiyas. Dari segi inilah
istihsan merupakan suatu metode istinbat hukum yang sangat relevan dengan

13
M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 403

12
pembaharuan hukum Islam. Karena istihsan berupaya melepaskan diri dari
kekakuan hukum yang dihasilkan Qiyas.

Salah satu contoh kasus kontemporer yang dapat diangkat yaitu masalah
transplantasi organ tubuh untuk kepentingan pengobatan. Meskipun ada
ketentuan umum yang melarang menyakiti tubuh seseorang, termasuk jenazah,
namun dalil yang menyuruh manusia untuk berobat rasanya lebih baik untuk
diikuti. Dalam hal inipun pendekatan istihsan rasanya lebih tepat untuk
dilaksanakan. .14

14
M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 403

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntunan qiyas
yang jali kepada tuntunan qiyas yang khafi atau dari hukum kulli
kepada hukum istitsnai kerana terdapat dalil yang mementingkan
perpindahan
2. Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini
dapat dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang
dijadikan gantinya, dan adakalanya dari segi sandaran atau dasar
yang diikutinya saat beralih dari qiyas
3. Hujjah Istihsan kebanyakan digunakan oleh kalangan ulama
Hanafiyah, alasan mereka ialah bahwa mencari dalil dengan istihsan
hakikatnya merupakan Istidlal (mencari dalil).
4. Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-
Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam
pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan)
5. Istihsan sebagai salah satu metode istinbat hukum alternatif ternyata
akan selalu relevan dengan perkembangan zaman.

B. Saran
Dari semua penjelasan yang pemakalah paparkan, pamakalah
berharap saran serta kritik dari para pembaca agar pemakalah dapat
memperbaiki dan menyempurnakan kualitas dari pembuatan makalah
serta meningkatkan mutu isi dari makalah tersebut

14
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Dahlan.2016.Ushul Fiqh Cet.4,Jakarta : Amzah


Abdul Wahab Khalaf.1994. ilmu Ushul Fiqh, Semarang:Toha Putra Group
DR. Rachmat Syafe’i, M.A.1999. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung :Pustaka Setia
Kementrian agama RI.2014. Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid .Jawa Barat: Sygma
creative media corp
Muhammad Abu Zahrah.1999. Ushul Fiqih, Jakarta:Pustaka Firdaus

15

Anda mungkin juga menyukai