Anda di halaman 1dari 38

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/345068046

PANDUAN PRAKTIS PENANAMAN POLA AGROFORESTRI CAMPURAN


UNIVERSITAS NUSA BANGSA 2019

Book · October 2020

CITATIONS READS

0 602

15 authors, including:

Zainal Muttaqin
Universitas Nusa Bangsa
8 PUBLICATIONS   9 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

I am interested of that chapter to add knowledge and concept about watershed especially in Indonesia View project

Program Kemitraan Masyarakat (PKM) Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Ditjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kementarian Riset dan Pendidikan
Tinggi Tahun 2019 View project

All content following this page was uploaded by Zainal Muttaqin on 31 October 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PANDUAN PRAKTIS
PENANAMAN POLA AGROFORESTRI CAMPURAN

Oleh :
Dr. Ir. Zainal Muttaqin, MP
Dr. Lany Nurhayati, S.Si., M.Si
Abdul Rahman Rusli, S.Hut., M.Si

PROGRAM KEMITRAAN MASYARAKAT (PKM)

Dibiayai oleh:
Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat
Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan
Kementerian Riset, dan Pendidikan Tinggi, sesuai dengan Kontrak
Pengabdian Nomor: 2920/L4/PP/2019, Tanggal 19 Maret 2019

A BAN
G
S

SA
NU

AS
UN

IV
ER S I T

UNIVERSITAS NUSA BANGSA


2019
PANDUAN PRAKTIS
PENANAMAN POLA AGROFORESTRI CAMPURAN

Oleh:

Dr. Ir. Zainal Muttaqin, MP.


Dr. Lany Nurhayati, S.Si, M.Si
Abdul Rahman Rusli, S.Hut, M.Si

PROGRAM KEMITRAAN MASYARAKAT (PKM)

Dibiayai oleh:
Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat
Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan
Kementerian Riset, dan Pendidikan Tinggi, sesuai dengan Kontrak Pengabdian Nomor:
2920/L4/PP/2019, Tanggal 19 Maret 2019

UNIVERSITAS NUSA BANGSA


2019
PANDUAN PRAKTIS
PENANAMAN POLA AGROFORESTRI CAMPURAN

Penulis :

Dr. Ir. Zainal Muttaqin, MP.


Dr. Lany Nurhayati, S.Si, M.Si
Abdul Rahman Rusli, S.Hut, M.Si

Diterbitkan pertama kali oleh Universitas Nusa Bangsa Bogor


Cetakan Pertama Desember 2019

Alamat Penerbit
Jl. KH. Sholeh Iskandar (Jl. Baru Km 04), Cimanggu
Tanah Sareal Bogor 16166
Telp : (0252) 8340217 , 7535605
Fax : (0251) 7535605, e-mail : nusabangsa@unb.ac.id

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
Zainal Muttaqin, Lany Nurhayati dan Abdul Rahman Rusli

PANDUAN PRAKTIS
PENANAMAN POLA AGROFORESTRI CAMPURAN

28 + x Halaman : 18,2 x 25,7 cm

ISBN : 978-602-60388-6-9

Di cetak oleh : Universitas Nusa Bangsa


Isi di luar tanggung jawab percetakan UNB, 2019
KATA PENGANTAR

Panduan Praktis Penanaman Pola Agroforestri Campuran, ditulis dan diadakan


sebagai output dari Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) yang dibiayai oleh: Direktorat
Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan
Kementerian Riset, dan Pendidikan Tinggi, sesuai dengan Kontrak Pengabdian Nomor:
2920/L4/PP/2019, Tanggal 19 Maret 2019.

Panduan ini dapat digunakan sebagai penunjang dalam kegiatan perkuliahan


Silvikultur, Perhutanan Sosial, Ekologi Hutan dan mata kuliah terkait lainnya yang diajarkan
di Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Bangsa.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang memberikan


kontribusinya. Harapan penulis, semoga buku ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2019

Peyusun

v
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. v


DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. viii
1. PENGERTIAN DAN MACAM POLA AGROFORESTRI........................... 1
a. Sistem Agroforestri Sederhana .................................... ............................ 2
b. Sistem Agroforestri Kompleks .............................. ............................ ...... 3

2. PEMILIHAN JENIS TANAMAN POLA AGROFORESTRI ...................... 6

3. PENERAPAN POLA AGROFORESTRI LAINNYA .................................. 14


a. Sistem Penanaman Lorong (alley cropping) .......... .................................. 14
b. Kebun Karet Campur ....................................... ....................................... 15
c. Mamar dan Repong Damar ...................................................................... 15
d. Dusung dan Hutan Tembawang ...................... ........................................ 15

4. POLA AGROFORESTRI DI LAHAN GAMBUT ....................................... 16

5. PENGELOLAAN LAHAN OPTIMAL PADA POLA


AGROFORESTRI ........................................................................................ 17

6. PENUTUP .................................................................................................. 21

7. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 22

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
Uraian

1. Jenis potensial sebagai tanaman utama pada pola agroforestri untuk


rehabilitasi lahan gambut ................................................................................. 16

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
Uraian

1. Desain penanaman pola penggembalaan Sumber:[39] .......................... 9

2. Pola tanam agroforestri di Blok Pasir Maung Desa Lewisadeng,


Kecamatan Leuwisadeng, Bogor, pelaksanaan Program Kemitraan
Masyarakat (PKM) Universitas Nusa Bangsa Tahun 2019 .... ............... 10

3. Macam mosaik lanskap tipe A, B, C dan D ............................................ 19


1. PENGERTIAN DAN MACAM POLA AGROFORESTRI

Agroforestri adalah nama bagi sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan kombinasi
antara tegakan pohon berumur panjang (termasuk semak, palem, bambu, kayu dan lain-
lain) dengan tanaman pangan dan atau pakan ternak serta perikanan yang berumur pendek
diusahakan pada unit lahan yang sama dalam suatu pengaturan ruang dan waktu. Pada
sistem agroforestri ini terjadi interaksi aspek ekologi dan ekonomi antar unsur-unsurnya
(komponen) [1] dan [2]. Definisi yang bersesuaian menurut Lembaga Penelitian
Agroforestri Internasional (ICRAF) dari Huxley dalam [3], agroforestri adalah sistem
penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu,
bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dengan reumputan,
terdapat komponen ternal atau lebah dan ikan sehingga terbentuk interaksi ekologis dan
ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen ekosistem lainnya. Menurut [4],
tujuan praktik sistem agroforestri adalah menentukan strategi yang paling tepat dalam
pengelolaan sumberdaya alam dengan memadukan kebutuhan pengembangan pertanian
(kebutuhan pangan) dan komoditas kehutanan, peternakan dan perikanan dilengkapi
dengan konservasi tanah dan air dan mempertahankan serta meningkatkan biodiversitas.

Dengan kata lain agroforestri adalah sistem pengelolaan lahan dengan mengintegrasikan
pohon-pohon (tegakan) dengan tanaman semusim yang memiliki peran dan fungsi
penting dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat untuk meningkatkan
produktivitas lahan dan perlindungan lingkungan. Maksud perlindungan lingkungan
berupa kegiatan rehabilitasi lahan kritis (terdegradasi) dan pembangunan jenis tegakan
dalam upaya konservasi kawasan DAS terutama pada bagian hulu. Wilayah DAS adalah
suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungai yang bertujuan menampung, menyiapkan dan mengalirkan air yang berasal dari
curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, dimana batas di darat merupakan pemisah
topografis sedangkan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan [5].

Agroforestri dikenal juga dengan istilah wanatani. Menurut [6], agroforestri merupakan
bentuk sistem pertanian kompleks yang melibatkan sejumlah komponen sistem dan
aneka produk komoditas. Agroforestri kompleks berimplikasi pada proses inovasi dan
difusi teknologi agroforestri yang lebih kompleks daripada sistem pertanian
konvensional.

Agroforestri dipraktikkan dalam satu init manajemen lahan hingga bentang alam
(lanskap) dari agroekosistem terutama pada pedesaan. Menelaah skala kegiatan
agroforestri dapat dibagi menjadi skala ruang (spatial) dan waktu (temporal). Jika dirunut
dari skala ruang (spatial), mulai skala yang terkecil (micro-scale), skala sedang (meso-
scale), skala besar (macro-scale). Berdasarkan obyek agroforestri, maka secara berurutan
dimulai skala analisis mikroorganisme dalam tanah, skala sistem perakaran tanaman,
skala sistem pohon, skala petak lahan, skala lahan hingga skala bentang lahan
(landscape).

1
Terdapat lima jenis agroforestri pokok berbasis dua bidang budidaya yang diuraikan
sebagai berikut: [7], [8].

a) Agrisilvikultur

Suatu bentuk agroforestri tradisional yang mengkombinasikan tanaman kehutanan atau


pohon berkayu dan tanaman pertanian. Contoh agrisilvikultur yang diterapkan di
Perhutani, para petani mengelola lahan kehutanan dengan jenis tanaman pangan (padi,
jagung, ubi kayu, kol, kentang dan lain-lain) di sela-sela tanaman pokok kehutanan (jati,
pinus, rasamala dan lain-lain).

b) Silvopasture (hutan ternak)

Suatu bentuk agroforestri yang mengkombinasikan tanaman kehutanan dan pakan ternak,
di bawah tegakan hutan (agatis, pinus, sengon, dan lain-lain) yang ditanami jenis rumput
dan jenis hijauan pakan ternak lainnya dengan pengelolannya tanpa merusak tegakan
hutan.

c) Silvofishery (hutan tambak)

Suatu bentuk agroforestri yang mengkombinasikan tanaman kehutanan dan usaha


perikanan, diterapkan di hutan payau, hutan rawa, kolam di darat dan habitat perairan
lainnya.

d) Farm forestry (hutan kebun)

Suatu bentuk agroforestri yang mengkombinasikan tanaman pertanian dan tanaman


kehutanan umumnya di sekitar perkampungan, jenis pohon hutan bukan sebagai tanaman
utama, diterapkan di tegalan/talun, pematang sawah dan pekarangan.

e) Hutan serbaguna

Suatu bentuk agroforestri yang mengkombinasikan tanaman kehutanan, tanaman


pertanian, tumbuhan pakan ternak dan usaha ternak. Penerapannya pada tegakan hutan
di bawahnya ditanam kaliandra, mubei dan ipil-ipil. Selain itu pada kawasan hutan
serbaguna ini rakyat/petani dapat beternak ulat sutera, lebah madu, dan menanam
tanaman obat-obatan.

Berdasar komponen penyusunnya baik biotik maupun biotik, sistem agroforestri dibagi
menjadi sistem agroforestri sederhana, dan sistem agroforestri kompleks.

a. Sistem Agroforestri Sederhana

Sistem agroforestri sederhana merupakan perpaduan skema agroforestri klasik dan


konvensional. Sistem agroforestri sederhana merupakan ciri umum pada praktik
penerapan pertanian komersial. Umumnya para petani mengola sistem agroforestri ini
secara tradisional dengan ciri-ciri input teknologi tidak diterapkan sepenuhnya meskipun
dengan masukan input teknologi rendah seperti petani tidak melakukan pemupukan,
2
pengendalian hama dan penyakit dan organisme pengganggu tanaman (OPT) lainnya,
sanitasi kebun dan tidak mengindahkan cara pemanenan hasil sesuai dengan Prosedur
standar operasional (SOP) sehingga hasil produksi dan produktivitas masih rendah.

Tumpangsari merupakan bentuk agroforestri yang merupakan sistem taungya menurut


pola Indonesia, biasanya dipraktikkan dalam program perhutanan sosial PT Perhutani.
Sejak dahulu pola agroforestri yang diterapkan antara lain kopi diselingi dengan tanaman
dadap yang berfungsi sebagai naungan bagi kopi dan juga dimanfaatkan sebagai kayu
bakar bagi petani, kelapa diselingi dengan coklat, karet diselingi dengan rotan, jeruk
diselingi dengan cengkeh. Pada daerah Sukabumi diterapkan pola agroforestri dengan
jabon ditanam bersamaan kopi pada daerah miring serta penanaman kombinasi jabon
dengan kapolaga yang tahan terhadap naungan [9]. Laporan [10], di Sub DAS Citanduy
Hulu, kombinasi penanaman manglid dengan kacang merah mampu meningkatkan
produktivitas lahan. Laporan [11], mahoni ditanam bersamaan dengan jati, kakao, sukun,
namnam, jambu bol, mahoni ditanam di pinggir kolam, kelor. Laporan [12], di wilayah
Kabupaten Kuningan ditanam Iles-iles (Amorphophallus spp.) yang dapat tumbuh baik
di bawah naungan tegakan hutan rakyat.

Pengembangan praktik agrosilvofishery bersifat sederhana ditemui di pematang kolam


ditanami pohon meliputi trembesi, ketapang, damar, jabon, sengon, jelutung, pohon buah
meliputi pisang, mangga, sawo, rambutan, jambu air, belimbing. Ditemui juga randu
ditanam di pematang sawah.

Penerapan pola agroforestri sederhana ditemui pada demplot agroforestri di Sub-DAS


Cisadane terletak di Petak Pasir Maung, Desa Leuwisadeng Kecamatan Leuwisadeng
Kabupaten Bogor seluas 15 ha yang diprakarsai oleh Balai Pengeloaan DAS dan Hutan
Lindung Citarum Ciliwung pada tahun 2016. Macam jenis yang ditanam meliputi jenis
kayu (suren, sengon dan mahoni), jenis MPTS (Multipurpose tree species) (manggis dan
cengkeh), jenis tumpangsari (kopi). Sebagai mitra adalah Kelompok Tani Sumber Rejeki.
Pola agroforestri sederhana juga ditemui pada Program kemitraan masyarakat (PKM)
berupa pengelolaan optimal pola agroforestri yang dilaksanakan oleh [13]. Plot pola
agroforestri ini mempunyai karakteristik yang bersesuaian dengan pola optimalisasi
pengelolaan Management Regime III sebagai implementasi program pengelolaan hutan
jati optimal (PHJO) yang digagas oleh Simon [14] dari Fakultas Kehutanan UGM. Lokasi
ujicoba PHJO di KPH Madiun. Pola dasar MR-III adalah membagi lahan hutan menjadi
dua bagian areal yaitu jalur tanaman kehutanan dengan lebar 15 meter dan jalur tanaman
pertanian (plong-plongan) dengan lebar 12 meter secara selang-seling. Desain awal pada
jalur kehutanan ditanami jati dengan jarak tanam 3m x 1m dan jalur pertanian ditanam
tanaman pangan seperti padi, jagung, singkong, kacang tanah dan kayu bakar.

b. Sistem Agroforestri Kompleks

Sistem agroforestri kompleks terdiri atas sebagian besar vegetasi berupa pohon, perdu,
liana, herba, tanaman semusim dan rumput. Penampilan fisik dan dinamika ekosistem
agroforestri kompleks mendekati kondisi ekosistem hutan alam primer dan hutan alam
sekunder. Agroforestri kompleks memiliki keunggulan dan implikasi terhadap nilai dan

3
kepentingan ekologi, ekonomi serta sosial budaya. Bahkan World Bank Institut (2009)
dalam [15], menempatkan unit lahan dan lanskap agroforestri lanskap sebagai contoh
tataguna lahan prospektif yang mengkaitkan dengan kebijakan REDD + (Reducing
Emission from Deforestation and Forest Degradation plus). Agroforestri kompleks
berada diantara dua sistem tataguna lahan yang berbeda yaitu perkebunan kelapa sawit
yang mempunyai nilai finansial tinggi (NPV/ha) tetapi karbon stok yang rendah (metrik
ton/ha), dan hutan alam yang mempunyai nilai NPV rendah tetapi karbon stok yang
tinggi.

Penerapan sistem agroforestri yang kompleks yang ditemui di beberapa wilayah


Indonesia meliputi: 1) Agrosilvopastural merupakan bentuk agroforestri yang
mengkombinasikan tiga bidang budidaya yaitu tanaman kehutanan, tanaman pertanian,
tumbuhan pakan ternak dan usaha ternak, 2) Agrosilvofishery merupakan bentuk
agroforestri yang mengkombinasikan tanaman kehutanan, tanaman pertanian, dan usaha
perikanan, 3) pekarangan, kebun campuran, kebun talun, ladang, hutan dan sistem
agroforestri lokal seperti tembawang merupakan kebun campuran di pinggir sungai [2].
Umumnya sistem agroforestri kompleks dikelola dengan ciri-ciri cash crop dengan
budidaya intensif, semi intensif dan ekstensif. Sistem agroforestri kompleks
direkomendasikan untuk mendayagunakan tipe penutupan dan penggunaan lahan berupa
semak belukar, padang ilalang, hutan rawang dan lahan terbuka/tidur.

Praktik agroforestri kompleks ditemui di daerah Provinsi Sulawesi Tengah yang dikenal
sebagai agroforest pampa telah mengalami evolusi sebanyak empat tahapan yang
keseluruhannya bercirikan evolusi pemanfaatan berkelanjutan ruang bawah tegakan
untuk tujuan konsumsi dan komersial. Praktik Agroforestri kompleks juga ditemui di
kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Halimun-Salak tepatnya di Desa
Sirnaresmi dan Desa Sirnarasa. Agroforestri komplek ini merupakan pendekatan kepada
masyarakat untuk meningkatkan peran dan partisipasi mereka dalam pelestarian hutan
khususnya Taman Nasional. Mereka menerapkan praktik agroforestri komplek yang
biasa dinamakan ‘Talun”. Pola tanam dominan pada status hutan rakyat tersebut berupa
pohon kayu dikombinasikan dengan HHBK-buah. Jenis pohon kayu terdiri atas sengon,
tisuk, mahoni, afrika, suren), buah (cengkeh, pisang, kweni, durian), pangan sayuran
(timun, kangkung), obat (kapulaga), dan tanaman lainnya (bambu) [16].

Praktik agroforestri kompleks juga ditemui di pekarangan dan kebun campuran dengan
penanaman jenis-jenis tanaman antara lain tanaman buah-buahan: rambutan, pisang,
mangga, nangka, durian, pepaya, belimbing, srikaya, elai, cempedak, lengkeng, jambu
air, jambu, salak, sukun; tanaman perkebunan: tebu, kelapa, karet, kopi, kokoa; tanaman
rempah: empon-empon, jahe, kunyit, kencur, temulawak; tanaman sayuran: melinjo dan
lainnya serta tanaman hias. Sebagian memelihara ternak seperti ayam, kambing, sapi,
kerbau, bebek serta ikan. Praktik agroforestri kompleks pada kebun campuran dengan
komoditi kopi, cengkeh, alpokat, mahoni dan kayu afrika dengan aneka jenis tanaman
pangan yang ada di bawahnya. Menurut laporan [17], pada sistem agroforestri berbasis
tanaman kopi, sesuai dikombinasikan dengan tanaman penaung yang sekaligus berfungsi
memasok hara makro melalui dekomposisi serasah antara lain sengon, dadap, lamtoro.
Sistem perakaran kopi yang dangkal dan halus sehingga lebih berkembang pada lapisan

4
serasah serta bersimbiotik dengan arbuscular mycorrhiza fungi yang berperan dalam
siklus hara fosfor.

Selain itu praktik agroforestri kompleks pada pekarangan yaitu ditemui adanya kolam
ikan (agrosilvofishery). Menurut laporan [11], pada kolam dipelihara ikan lele dumbo,
gurami, nila, patin, bawal air tawar, belut. Menurut laporan [18], tanaman cemara udang
(Casuarina equisetifolia) pada pantai berpasir dapar berfungsi sebagai penahan angin
yang mempunyai peran pendukung penting untuk penerapan pola agroforestri di pesisir.
Praktik pola agroforestri lainnya untuk rehabilitasi lahan pantai berpasir dengan
menanam nyamplung dikombinasikan dengan kacang tanah. Banyak manfaat lingkungan
fisik dan biologis yang diperoleh ditunjang dengan upaya penyediaan bahan baku biofuel
[19].

Pekarangan merupakan salah satu bentuk agroforestri. Pekarangan merupakan sistem


pemanfaatan lahan berupa pengelolaan dengan sengaja beragam pohon multiguan dan
tumbuhan semak dalam asosiasi yang erat dalam kesatuan unit pohon, tanaman tahunan
dan semusim, termasuk ternak dan ikan dalam lingkungan pekarangan setiap rumah
dengan pengelolaan yang intensif [21]. Pada agroforestri pekarangan dikelompokkan
dalam 3 kategori yaitu: pekarangan sempit (luas <0,1 ha), sedang (0,1-0,2 ha), dan luas
(>0,2 ha). Umumnya pemilik pekarangan sempit ini lebih memilih jenis pohon dengan
fungsi ekologis dan tanaman buah dari pada jenis pohon yang bernilai ekonomis, pada
pekarangan sedang dan pekarangan luas didominasi oleh jenis pohon yang bernilai
ekonomis tinggi. Struktur vertikal pekarangan sempit didominasi stratum C (tinggi
vegetasi 20-30 m) menandai tidak dilakukan penebangan pohon dalam jangka waktu
yang lama, pada pekarangan sedang didominasi stratum stratum D (tinggi 1-4 m)
menandai regenerasi pemudaan yang baik dan adanya penebangan pohon yang mencapai
daur tebang. Adapun struktur vertikal pekarangan yang luas disusun oleh stratum B, C,
D dan E dengan perbedaan stratum C, D dan E tidak signifikan, menandakan permudaan
cukup berhasil. Pada nilai stratum B sangat kecil, bahkan tidak ditemukan stratum A. Hal
ini menandakan kecenderungan pemilik pekarangan yang luas untuk memanen pohon
sewaktu-waktu (tebang butuh) [22].

Pola agroforestri juga diterapkan pada hutan rakyat diantaranya dijumpai di wilayah
Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat, biasanya kombinasi penanaman tanaman
penghasil kayu seperti sengon, mahoni, manglid, afrika, suren, gmelina, jati, tisuk, puspa,
huru, ganitri, akasia, salam, laban; tanaman penghasil buah atau multiguna/MPTS
(kelapa, kopi, durian, aren, pisang, cengkeh, nangka, petai, alpukat, duku, jengkol,
rambutan, cempedak), dan tanaman pertanian (kapulaga, merica, honje, singkong,
bawang, jagung, kacang panjang, cabai, kacang tanah, dan talas). Biasanya para petani
yang memiliki lahan luas mengelola hutan rakyat dengan pola tanam monokultur,
sedangkan petani yang memiliki lahan sempit mengelola hutan rakyat dengan pola
agroforestri. Terdapat petani yang masih membudidayakan jenis kayu lokal yang
berfungsi antara lain untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit terhadap jenis
kayu komersial dan populer lainnya yang ditanam selain memberikan peluang
usaha/bisnis [23].

5
Pola agroforestri hutan rakyat juga ditemui di wilayah Sumatera Utara dengan jenis
tanaman aren yang termasuk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) unggulan. Jenis tanaman
lainnya meliputi karet, puspa, pasang, medang. Menurut [24] bahwa pola agroforestri
hutan rakyat di daerah Kabupaten Subang berupa tanaman pokok sengon dan nanas di
bawahnya.

Beberapa jenis tanaman yang terdapat di agroforestri ladang antara lain padi, jagung, jahe
sayur, ketimun, lada, singkong, kacang tanah. Adapun beberapa jenis tanaman yang
terdapat di agroforestri hutan antara lain manggis, cekalang, pandan, belimbing,
rambutan, bambu, rotan, tengkawang, pohon bunga (lebah madu) [2]. Khususnya di
wilayah Provinsi Kalimantan Barat, sistem perladangan berpindah sebagai bagian sistem
agroforestri tradisional harus diperkuat/didukung dengan teknologi agroforestri modern
untuk mencapai produktivitas yang tinggi. Lahan yang ditinggalkan (masa bera) setelah
ditanami, dilanjutkan dengan tanaman yang mendukung pemulihan tanah dan tahap
terjadinya suksesi sekunder. Tipe-tipe lahan seperti rawa, tembawang dan bawas dapat
dimanfaatkan mengikuti sistem perladangan berpindah (tradisional) dengan penguatan
pola agroforestri [25].

Pola Agroforestri berbasis tanaman perkebunan ditemukan wilayah DAS bagian hulu
Provinsi Sumatera Selatan, dikatakan membentuk membentuk ‘kebun hutan’. Prioritas
pemilihan jenis tanaman utama meliputi kopi, kakao, karet atau kelapa sawit, sebagai
tanaman pendukung durian. Setelah pertumbuhan tanaman utama dan pendukung
menunjukkan baik diikuti penanaman pohon Bambang Lanang (Michelia champaca)
sebagai tanaman sela yang diperkirakan dipanen pada umur 15 - 20 tahun [26]. Adapun
pola Agroforestri berbasis biofarmaka (tanaman obat) ditemui di daerah Kabupaten
Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Pola agroforestri berupa tumpangsari temulawak dan
jagung di bawah pohon jabon serta tumpangsari temulawak di bawah pohon jabon [27].

Penerapan pola agroforestri yang berada di kawasan hutan lindung ditemui di areal
Perhutani KPH Sumedang dengan jenis tanaman nilam di bawah tegakan/pohon [28]

Pengembangan praktik agroforestri kompleks pada agrosilvopasture berupa usaha ternak


dalam kandang. Ternak unggas yang dipelihara antara lain ayam, angsa, entok. Menurut
laporan [20], jenis tanaman yang digunakan sebagai pakan ternak antara lain rumput
kolonjona (Pennisetum purpureum), gamal, lamtoro, sono kembang, daun kacang tanah
dan daun jagung.

2. PEMILIHAN JENIS TANAMAN POLA AGROFORESTRI

Umumnya luas garapan petani dan petani hutan di Pulau Jawa umumnya sempit sehingga
mendorong para petani untuk mengelola lahan secara optimal dan menerapkan sistem
agroforestri yang mampu memberikan keuntungan secara ekologi dan ekonomi [29]. Pola
agroforestri dapat dikerjakan pada lahan daratan berupa lahan kritis (terdegradasi),
tegalan/talun, pematang sawah, pekarangan maupun lahan perairan berupa hutan pantai,
mangrove, hutan rawa dan sekitar danau, kolam. Mengenai pemilihan jenis tanaman pola

6
agroforestri diharapkan menyesuaikan dengan kondisi ekologis maka ditentukan jenis
tanaman yang mampu beradaptasi dan tumbuh dengan baik pada kondisi lingkungan di
sekitarnya dan teknik budidaya sudah biasa dikuasai atau dilakukan oleh petani setempat
atau tergolong jenis tumbuhan endemik.

Berdasarkan rangkuman hasil penelitian, bahwa pertimbangan masyarakat khususnya


para petani dalam pemilihan jenis tanaman dan pola tanam pola agroforestri baik di lahan
hutan negara maupun lahan milik yaitu: 1) pendapatan ekonomi (cash income), 2)
keberlangsungan dan kecepatan produksi kayu, buah, getah dan lainnya, 3) kemudahan
pemeliharaan termasuk pengendalian hama dan penyakit serta pemanenan dan
pengolahan pasca panen, 4) kemampuan adaptasi dan tumbuh baik dikombinasikan
dengan penanaman jenis lain [30]. Untuk mendorong keberhasilan penerapan pola
agroforestri ini diperlukan penyuluhan tentang manfaat ekonomis dan ekologis tanaman
kayu dan MPTS pada masyarakat khususnya para petani. Selain itu diperlukan bimbingan
teknis (bimtek) bididaya tanaman kayu dan MPTS. Selain itu komposisi jenis dan pola
agroforestri sangat dipengaruhi oleh motif ekonomi dari pemilik lahan sehingga
mendayagunakan berbagai jenis tanaman tanpa terlalu memperhatikan jarak tanam atau
pola tidak teratur.

Dengan kata lain, faktor dominan pertimbangan petani untuk memilih jenis tanaman
penyusun pola agroforestri meliputi faktor ekonomi terutama harga jual produk yang
tinggi, cepat tumbuh dan cepat menghasilkan; faktor sosial yaitu minat jenis tanaman
yang banyak dikembangkan masyarakat saat ini. Pemilihan jenis tanaman serbaguna
(MPTS) atau hasil hutan bukan kayu lainnya dan tanaman semusim, hortikultura dan
tanaman bawah banyak didorong oleh faktor ekonomi yakni cepat menghasilkan
pendapatan yang berkelanjutan. Adapun alasan petani untuk menanam jenis tanaman
yang berfungsi utama untuk perlindungan tanah, pencegahan erosi dan longsor masih
jarang [23].

Khususnya jenis pohon sebagai tanaman pokok pola agroforestri digolongkan jenis cepat
tumbuh dan lambat tumbuh. Jenis pohon cepat tumbuh dan mempunyai nilai ekonomi
kayu yang cukup baik antara lain sengon, gmelina, suren, manglid, mindi, jabon putih,
acacia, pinus, eucalyptus, sungkai, kayu afrika, kayu melina; sedangkan lambat tumbuh
antara lain meranti (Shorea sp), kayu manis, mahoni, nyatoh. Sebagai tanaman
tumpangsari berupa tanaman pangan antara lain jagung, umbi-umbian (singkong, talas,
porang), tanaman sayuran serta tanaman rempah antara lain jahe merah. Dilengkapi jenis
tanaman buah-buahan antara lain manggis, cengkeh, coklat, apokat, kopi, durian, nenas,
petai, jengkol, pala, sukun, nangka, jeruk limau. Termasuk juga jenis tanaman untuk
perlindungan mata air di dalam dan sekitar areal penanaman pola agroforestri antara lain
ragam jenis bambu seperti bambu ampel, petung, mayan, tali, hitam, leyah, andong, apus,
legi, wulung, gading, kuning, jepang serta tumbuhan gayam, pinang. Menurut laporan
[31], lahan agroforestri juga berpotensi dikembangkan untuk budidaya rotan. Jenis pohon
yang berpotensi dijadikan pohon panjat antara lain gahung (Macaranga sp), Mahabulan
(Sterculia sp), karet, terentang, jirak (Xantophylum sp), jabon, meranti dan pahawas
(Litsea sp).

7
Menurut [32], pemilihan tanaman keras pada sistem agroforestri perlu dipertimbangkan
sifat tingkat naungannya mengingat dampaknya terhadap produktivitas tanaman yang ada
di bawahnya. Bila tanaman pohon/tahunan mempunyai tajuk yang rapat/tebal dan lebar
seperti mete dan mangga sebaiknya dikombinasikan dengan tanaman semusim yang
relatif tahan/peka terhadap naungan. Contoh tanaman tahan atau beradaptasi adanya
naungan antara lain kopi, porang sebagai bahan pangan, empon-empon. Sebaliknya
tanaman pohon/tahunan yang mempunyai tajuk yang relatif kurang rapat/jarang seperti
jarang, suren, pete sebaiknya ditanam bersamaan dengan tanaman semusim yang
membutuhkan atau suka cahaya. Dengan kata lain semakin besar intensitas cahaya maka
produksi tanaman semusim semakin meningkat seperti kacang tanah.

Pola agroforestri dapat dikembangkan lagi menjadi silvopasture yang diterapkan


umumnya di daerah iklim kering dan lahan kritis/terdegradasi. Dipraktikkan melalui
penambahan penanaman jenis rumput pakan ternak antara lain rumput tarum, rumput
gajah, rumput sulanjana, rumput raja, setaria. Pakan berupa daun-daunan diambil dari
jenis legume antara lain sentro, kalopo, kudzu, turi, kaliandra, lamtoro dan gamal [33].
Selain itu pakan ternak dapat diperoleh dari daun-daunan nangka, daun pisang [34],
kabesak kuning, albisia, daun pepaya, beringin, waru, daun asam [35].

Macam pola tanam pada silvopasture meliputi: 1) budidaya lorong (alley cropping) yaitu
tanaman kehutanan (contoh jati) ditanam secara berselang dengan pohon buah-buahan
(contoh mangga) dan leguminous tree, pada jarak tanam tertentu dan sebagai pengisi
lorong ditanam jenis pakan ternak seperti Centrosema pubescens selama musim kemarau
serta kacang tanah dan jagung selama musim hujan [36]; 2) Penanaman dengan
terasering, diterapkan pada lahan berlereng dan sebagai penutup teras ditanami rumput-
rumputan (grass barier). Contoh tanaman pokok jati dan mangga dengan jarak tanam 3m
x 4m, dikombinasikan dengan penanaman leguminous yaitu turi, lamtoro dan gamal serta
kacang sentro dan kacang tanah sebagai penutup tanah permukaan sebelum musim
kemarau; 3) Penanaman sistem tiga strata, ditanam tanaman pakan ternak meliputi
rumput, semak dan pohon yang jenisnya disesuaikan dengan kondisi iklim setempat [37];
4) Penanaman pola penggembalaan, diterapkan pada lahan luas dan relatif mendatar,
polanya hampir sama dengan sistem lorong. Contoh rumput gajah ditanam sebagai
tanaman sela diantara tanaman kayu sengon dan pinus pada jarak tanam 2,5m x 2,5m
atau tanaman sengon atau ekaliptus pada jarak tanam 5m x 4m [38]. Penanaman pola
penggembalaan ini dikembangkan oleh [39], antara lain: a) Satu baris pohon-pohonan,
dengan jarak tanam ±2 - 4m dan jarak antar barisan ±5 - 9m), b) Dua baris pohon-
pohonan, dengan jarak tanam ±2 - 3m, c) Baris pohon-pohonan berganda, terdiri atas 2
atau 3 baris pohon dengan jarak ±2 - 3m atau ±3 - 3m dan jarak antar set barisan pohon
±6 - 12m, d) Baris pohon-pohonan di tengah dan tepi lahan, pola penanaman menyerupai
mata panah, e) Pola penanaman blok, penanaman pohon dengan jarak tanam ±4m x 4m
atau ±5m - 3m dan dibawahnya ditanam pakan ternak. Lebih jelasnya, penanaman pola
penggembalaan ini ditunjukkan pada Gambar 1.

8
Gambar 1. Desain penanaman pola penggembalaan (sylvopasture)
Sumber: [39]

Pengembangan pola Agrosilvopasture dipraktikkan di KPH Bogor Perhutani melalui


Agrosilvo dan budidaya lebah madu. Sebagai tanaman pokok mangium berumur < 1
tahun yang ditanam dengan jarak tanam 3m x 2m. dan tanaman tumpangsari jagung.
Tanaman jagung dapat membantu ketersediaan polen (serbuk sari) sedangkan mangium
sebagai sumber pakan lebah madu yang bermutu baik. Alternatif kelapa sawit juga
menjadi sumber pollen yang baik apabila ditanam berdekatan dengan tegakan mangium
[40]. Meskipun demikian untuk memenuhi penyediaan pollen secara berkelanjutan
diupayakan dipenuhi dengn pengelolaan sebagai berikut: 1) perubahan jarak tanam
mangium diperlebar untuk mendukung pertumbuhan tanaman tumpangsari jagung, 2)
penanaman jagung dilakukan di pinggir/tepi (interface) hutan pada radius 10-20 meter
agar tidak terganggu pertumbuhannya oleh tanaman pokok, 3) memberikan izin
pemanfaatan kawasan yang berbatasan dengan masyarakat oleh pihak yang berwehe
gajah, kunyit, lengkuas merah. Contoh-contoh pola agroforestri disajikan pada Gambar
2.

9
Gambar 2a. Pola agroforestri, penanaman berselang (pohon dan buah-buahan) di
Blok Pasir Maung Desa Lewisadeng, Kecamatan Leuwisadeng, Bogor,
pelaksanaan Program Kemitraan Masyarakat (PKM) Universitas Nusa Bangsa
Tahun 2019.

10
Gambar 2a (lanjutan). Pola agroforestri, penanaman berselang (pohon dan buah-
buahan) di Blok Pasir Maung Desa Lewisadeng, Kecamatan Leuwisadeng,
Bogor, pelaksanaan Program Kemitraan Masyarakat (PKM) Universitas Nusa
Bangsa Tahun 2019.

11
Gambar 2b. Pola silvopasture dan agroforestry di Blok Pasir Maung Desa
Lewisadeng, Kecamatan Leuwisadeng, Bogor, pelaksanaan Program Kemitraan
Masyarakat (PKM) Universitas Nusa Bangsa Tahun 2019.

12
Keterangan :
S=Sengon; GM = Gmelina; SR = Suren

Gambar 2c. Pola agroforestri (pohon dan jagung manis) di Blok Pasir
Maung Desa Lewisadeng, Kecamatan Leuwisadeng, Bogor, pelaksanaan
Program Kemitraan Masyarakat (PKM) Universitas Nusa Bangsa Tahun
2019.
13
3. PENERAPAN POLA AGROFORESTRI LAINNYA

a. Sistem Penanaman Lorong (Alley Cropping)

Pola agroforestri pada tegakan jati di wilayah Perhutani dirancang dengan sistem alley
cropping (sistem lorong) berukuran lebar 9 atau 24 meter untuk tanaman pangan dan
lebar 17 atau 27 meter untuk tanaman kehutanan (jati). Perkiraan jumlah tanaman jati
(±45 %) yang ditanam secara berselang-seling dengan tanaman pangan (±55 %) pada
satuan unit penanaman. Jenis tanaman pangan meliputi ubi kayu, jagung, padi, kacang
tanah dan kedelai. Jenis legum seperti lamtoro (Leucaena glauca), kadang-kadang johar
(Glicine max L.) ditanam dalam baris-baris memanjang secara terus-menerus diantara
baris-baris tanaman kehutanan. Lamtoro dan johar ditempatkan sebagai tanaman sela
yang dimanfaatkan pesanggem sebagai pakan ternak, kayu bakar dan mulsa pada musim
kemarau [41]. Sistem alley cropping ini berkontribusi di bidang ketahanan pangan dan
energi, membantu penyerapan dan pengurangan emisi gas CO 2 melalui pemanfaatan
bahan bakar dari sumber bahan baku yang dapat diperbaharui yang menghasilkan biogas
(metana).

Pola agroforestri alley cropping juga dipraktikan di wilayah dataran tinggi Dieng
tepatnya di Desa Kuripan, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, tanaman
perkebunan atau semusim ditanam pada lorong diantara barisan tanaman pagar berupa
pohon yang diatur secara counturing. Jenis pohon yang dipilih adalah suren dan jenitri
yang mempunyai tajuk yang tinggi tetapi penutupan tajuk tidak atau kurang rapat,
sehingga naungan tajuk tidak menghambat pertumbuhan tanaman semusim yang ada di
bawahnya seperti ketela pohon, cabai dan tembakau. Di wilayah itu juga diterapkan pola
Trees along border, ditanam dalam bentuk barisan tanaman pohon (pagar hidup) yang
ditanam pada batas lahan pertanian terutama yang berlereng curam. Pada kondisi
topografi curam maka pagar hidup membentuk jejaring yang berfungsi dan bermanfaat
bagi teknik konservasi tanah. Selain itu tanaman keras (pembatas) dapat dimanfaatkan
sebagai kayu bakar rumah tangga. Jenis pohon yang dipilih adalah cemara gunung
dengan alasan mudah perbanyakannya, cepat tumbuh, sebagai kayu bakar dan tidak
menghambat signifikan terhadap produktivitas tanaman semusim di bawahnya.
Penanaman tanaman keras di guludan teras berfungsi sebagai penguatan teras untuk
mengurangi terjadinya erosi dan tanah longsor serta meningkatnya aliran permukaan
[42].

Menurut [43], melakukan monitoring perkembangan tegakan mahoni (Swietenia


macrophylla) dan pengaruhnya terhadap dinamika penanaman alley cropping. Untuk
mengurangi tingkat naungan mahoni terhadap tanama tumpangsari di bawahnya harus
melaksanakan pemeliharaan tegakan secara terus menerus berupa pemangkasan
(pruning) dan penjarangan akan mengontrol/menjaga serta mengaktifkan ruang terbuka
pertanian. Penanaman alley cropping dengan lebar 6,01 ± 1,24, masa aktif ruang
pertanian berkisar 5,2 sampai 8,7 tahun.

14
b. Kebun Karet Campur

Pola agroforest karet atau dinamakan kebun karet campur merupakan sistem pengelolaan
minimum kebun karet tradisional yang terdiri atas karet sebagai tanaman utama dan
berbagai jenis pohon buah-buahan dan kayu-kayuan sangat umum ditemui di berbagai
wilayah Sumatera. Dampak pola agroforest karet mampu memberikan keuntungan baik
secara ekonomi maupun ekologi [44].

c. Mamar dan Repong Damar

Pola agroforest Mamar dijumpai di wilayah Nusa Tenggara Timur merupakan


pengelolaan unit-unit sumberdaya alam berbasis masyarakat. Praktik pola agroforest
Mamar ini bersifat sangat strategis untuk pengembangan keragaman hayati di luar
kawasan konservasi. Ciri-ciri agroforest Mamar sebagai berikut: (a) struktur, komposisi
dan keragaman tumbuhan cukup tinggi; (b) memiliki aspek keberlanjutan daripada model
pertanian lainnya; (c) produktivitas beragam, mulai penghasil pakan ternak, pangan, kayu
bakar, kayu pertukangan, penyediaan jasa lingkungan dan habitat hidupan liar; (d)
memaduserasikan aspek sosial, ekonomi dan ekologi; dan (e) memiliki dan
mempertahankan tata ruang pengelolaannya [45].

Pola agroforestri ‘Repong Damar’ dijumpai di Krui Kabupaten Lampung Barat


merupakan kebun campuran yang bisa ditumbuhi beranekaragam jenis tanaman secara
bersamaan. Pola agroforest ini telah mengubah strata tajuk yang berbeda dan rapat
menjadi strata tajuk sederhana terdiri atas tajuk paling atas (pohon damar) dan lantai
hutan. Tahap awal suksesi hutan Repong Damar ini cenderung monokultur dengan jenis
kopi, lada dan cengkeh. Kopi dan lada bisa ditanam bersama-sama tetapi salah satu harus
ditanam dalam jumlah lebih sedikit, sedangkan cengkeh biasanya kurang toleran terhadap
kehadiran tanaman lain di lahan yang sama. Selanjutnya pada fase repong damar, petani
tidak mempertimbangan penting pada pemilihan jenis tanaman, hal ini berkaitan dengan
pemahaman mereka bahwa agroforest Repong Damar telah mencapai sistem agroforestry
kompleks [46].

d. Dusung dan Hutan Tembawang

Pola agroforestri ‘Dusung’ diterapkan di wilayah Maluku dengan jenis tanaman pala
sebagai potensial bisnis. Tanaman pala merupakan tanaman rempah asli kepulauan
Maluku. Umumnya fase terbentuknya ‘Dusung’ melalui beberapa fase meliputi fase
kebun/ladang, fase aong merupakan bekas kebun campuran yang ditinggalkan/bera, dan
fase ‘Dusung’ [47].

Pola agroforestri di hutan tembawang ditemui di daerah Kabupaten Sanggau Provinsi


Kalimantan Barat. Jenis tanaman meliputi durian, langsat, entawak (Artocarpus
anisophyllus), cempedak, karet, bambu/rebung dan rambutan. Dikenal dua macam
tembawang atau tomawakng [48]. Pertama, tomawakng dangau merupakan bekas ladang
di sekitar pondok, lama kelamaan kawasan ini membentuk komunitas hutan yang
didominasi tanaman buah-buahan. Kedua, tomawakng ompu yaitu kawasan bekas
perkampungan penduduk yang ditinggalkan dan akhirnya membentuk kawasan yang
15
ditumbuhi jenis tanaman pekarangan yang ditumbuhi tanaman hias, kelapa, nangka dan
jenis buah lainnya. Pengelolaan hutan tembawang ini dilakukan secara mandiri oleh
masyarakat kelompok adat dan selalu menerapkan kearifan lokal.

4. POLA AGROFORESTRI DI LAHAN GAMBUT

Pembangunan sistem agroforestri dapat dilaksanakan sebagai upaya rehabilitasi lahan


gambut. Pemilihan jenis tanaman utama berdasar kriteria ketahanan terhadap sifat asam
tanah gambut dan tergenang secara periodik, dapat dicampur dengan tanaman semusim
dan memiliki nilai manfaat terhadap masyarakat sekitar lahan gambut. Sampai saat ini
diketahui ada 25 jenis tumbuhan asli (endemik) maupun eksotik yang berpotensi dan
sesuai dengan kondisi lahan gambut disajikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Jenis potensial sebagai tanaman utama pada pola agroforestri untuk rehabilitasi
lahan gambut

No. Nama Kedalaman gambut Pemanfaatan


1 Belangeran (Shorea balangeran) Dangkal, sedang, dalam kayu
2 Jelutung (Dyera lowii) Dangkal, sedang, dalam getah, kayu
3 Ramin (Gonystylus bancanus) Dangkal, sedang, dalam kayu
4 Gandarian/ramania (Bouea macropylla) Dangkal, sedang buah
5 Gelam (Melaleuca cajuputi) Dangkal, sedang kayu
6 Katiau (Ganua motleyana) Dangkal, sedang getah, kayu
7 Kandis (Garcinia parvifolia) Dangkal, sedang buah
8 Kempas (Koompasia malacensis) Dangkal, sedang Kayu,
sarang lebah
9 Manggis (Garcinia mangostana) Dangkal, sedang buah
10 Rambutan (Nephelium lappaceum) Dangkal, sedang buah
11 Asam kalimbawan (Sarcotheca Dangkal buah
diversifolia)
12 Cempedak (Artocarpus integer) Dangkal buah
13 Duku (Lansium domesticum) Dangkal buah
14 Kemiri (Aleurites moluccana) Dangkal buah
15 Kweni (Mangifera odorata) Dangkal buah
16 Mangga (Mangifera indica) Dangkal buah
17 Nangka (Artocarpus heterophyllus) Dangkal buah
18 Rambai (Baccaurea mutleana) Dangkal buah
19 Sukun (Artocarpus altilis) Dangkal buah
20 Durian (Durio zibhethinus) Dangkal buah, kayu
21 Melinjo (Gnetum gnemon) Dangkal buah, daun
22 Mengkudu/pace (Morinda citrifolia) Dangkal buah, daun
23 Sengon (Paraserianthes falcataria) Dangkal kayu
24 Karet (Hevea brasiliensis) Dangkal getah
25 Kelapa (Cocos nucifera) Dangkal Buah. Lidi,
daun, kayu
Sumber: [49]

16
5. PENGELOLAAN LAHAN OPTIMAL PADA POLA AGROFORESTRI

Untuk mengatasi permasalahan degradasi lahan yang disertai penurunan tingkat


kesuburan tanah diperlukan upaya-upaya pendekatan dan penerapan teknologi yang telah
diuji dan diadaptasi dengan input tingkat rendah, biaya rendah dan mudah diadopsi
petani, diuraikan sebagai berikut:

1) Teknik olah tanah minimum

Penyiapan lahan tanam dengan teknik olah tanan minimum pada pola agroforestri, tanah
diolah seperlunya dan seminimal mungkin dan pengendalian gulma menggunakan
herbisida yang aman lingkungan.

2) Pengelolaan agroforestri

Pengelolaan agroforestri meliputi pengaturan jarak tanam tanaman pokok yang


mempengaruhi tingkat naungan terhadap tanaman tumpangsari di bawahnya. Hasil
penelitian [50], diperoleh produksi nilam yang ditanam secara monokultur sedikit lebih
tinggi tetapi nilam yang ditanam secara tumpangsa di bawah sengon dengan jarak tanam
2m x 3m, 3m x 3m dan 4m x 3m, ternyata diperoleh kualitas minyak nilam yang lebih
baik.

3) Teknik mulsa vertikal

Teknik mulsa vertikal berupa pembuatan parit mulsa diantara baris-baris tanaman
dengan memanfaatkan semua limbah bahan organik di lapangan berupa serasah, rumput,
sisa ranting dan lainnya menjadi kompos organik [50]. Pembuatan parit dengan lebar 40-
50 cm dan kedalaman 30-60 cm secara counturing. Ditambahkan pupuk organik dan an
organik secukupnya dan beberapa cc EM4. Pengendalian rayap yang ditemukan dengan
pemberian furadan. Setiap dua minggu dilakukan pembalikan untuk mempercepat proses
dekomposisi. Setelah dua bulan, serasah telah terdekomposisi dan siap ditebarkan ke
seluruh bidang tanam.

Beberapa perlakuan pengelolaan lahan yang diperlukan agar jenis-jenis tanaman yang
ditanam pada pola Agroforestri menghasilkan/produksi yang optimal dan berkelanjutan,
yaitu:

a) Diperlukan pemberian kapur terutama pada tanah masam untuk menaikkan nilai pH
tanah sesuai persyaratan tumbuhan yang ditanam.

b) Penerapan teknik konservasi tanah dan air terutama pada lahan yang sangat curam
(>40%) terutama metode vegetatif dan mekanik. Metode vegetatif antara lain penanaman
tanaman penutup tanah, penanaman tanaman penguat teras, penanaman counturing,
pengembalian sisa-sisa tanaman sebagai mulsa pada persiapan lahan.

c) Lahan dengan lerang yang sangat curam, ditanami tanaman keras dengan jarak tanam
rapat (3m x 3m) dengan tanaman penutup tanah.
17
d) Lahan dengan kemerengan lereng agak curam sampai curam (25%-40%) dengan
solum tanah yang dalam dapat dikombinasikan dengan tanaman MPTS dan tanaman
semusim dengan pola agroforestri yang disertai penerapan konservasi tanah dan air.

e) Pemeliharaan tanaman pokok dan tumpangsari harus diberikan pupuk terutama pupuk
kandang dan pupuk hijau. Khusus tanaman pokok (kayu) harus dipangkas secara periodik
sesuai pertumbuhan pohon [51].

f) Untuk mencegah dan mengurangi gangguan penyakit, maka pada pola tanam
agroforestri berbasis pohon yang kadangkala terserang penyakit dengan intensitas tinggi
perlu diperhatikan (menyesuaikan) jarak tanam dan komposisi jenis yang tepat. Contoh
kasus pola agroforestri sengon dikombinasikan kopi, pepaya dan jahe di daerah
Temanggung, memiliki serangan penyakit karat tumor paling tinggi daripada pola
agroforestri sengon dan ketela pohon yang ditanam antara sengon maupun ditanam di
tepi petak. Saran praktik pola agroforestri, sebaiknya sengon ditanam bersama dengan
suren yang memiliki tajuk yang tinggi dan kerapatan tajak jarang sehingga dapat
mengurangi kelembababan dan meningkatkan suhu udara sebagai faktor lingkungan
penghambat menyebarnya jamur penyebab penyakit karat tumor.

Model agroforestry menerapkan sistem pertanian Siklus-Bio terpadu yang dikembangkan


oleh Kebun Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM. Sistem
pertanian Siklus-Bio terpadu memadukan secara terintegrasi dan berkelanjutan mengenai
berjalannya siklus air, siklus hara, siklus energy, siklus karbon dan bahan organik, siklus
tanaman, siklus prduksi, siklus material dan siklus uang, dengan pola 7R (reuse, reduce,
recycle, refill, replace, repair, replant) dengan mempertimbangkan aspek ekonomi,
lingkungan, social budaya dan kesehatan masyarakat. Tujuan akhirnya yaitu memperoleh
manfaat optimal bagi para petani, masyarakat pertanian dalam arti luas, dan dapat
mengatasi perubahan iklim global.

Pengelolaan lahan optimal pola agroforestri dapat menggunakan pendekatan Lanskap


Agroforestri. Lanskap Agroforestri merupakan objek bentang alam yang dalam
penggunaannya dimanfaatkan untuk kegiatan yang berpola agroforestri. Sistem dan
ruang pengelolaan lahan pada skala lanskap menerapkan batas ekologis. Batas ekologis
yang sesuai diterapkan batas wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) atau areal tangkapan
air hujan (catchment area). Sesuai perilaku hidrologi maka pada wilayah DAS dibagi
menjadi wilayah hulu, tengah, hilir. Ciri-ciri yang mencirikan perbedaan sub wilayah
DAS tersebut antara lain ketinggian tempat, topografi, unsur-unsur iklim (curah hujan,
suhu udara, kelembapan relatif, intensitas penyinaran), sistem lahan, jenis tanah,
kesuburan tanah. Pada penentuan setiap unit lahan memiliki struktur dan fungsi sesuai
kondisi biofisik ditunjang keadaan sosial masyarakat sekitarnya. Contoh tipe mosaik
lanskap disajikan pada Gambar 3 berikut.

18
Gambar 3. Macam mosaik lanskap tipe A, B, C dan D
Sumber : [2]

Pengelolaan lanskap agroforestri memiliki beberapa tujuan khusus yang menyediakan


jasa lingkungan sebagai berikut:

a) Pengelolaan sumberdaya air

Diharapkan kawasan lanskap agroforestri khususnya pada kawasan lindung dan


konservasi dapat meningkatkan kapasitas air hujan yang jatuh di atas kawasan tersebut
melalui perbaikan sifat fisik tanah meliputi pori-pori tanah dan struktur tanah. Hasil
19
akhirnya terbentuknya sumber mata air baru dan peningkatan debit mata air yang ada
untuk mencukupi kebutuhan masyarakat meliputi air bersih, sumber energi tenaga air,
sarana transportasi dan sarana rekreasi. Selain itu diperoleh tambahan pendapatan dari
pengelolaan sumber daya air ini.

Selain itu sistem agroforestri dapat mendukung konservasi air. Perakaran jenis pohon
dan jenis pohon multiguna (MPTS) setidaknya memiliki tiga fungsi penting: 1)
perakaran yang kuat mampu menahan erosi dan aliran permukaan, 2) perakaran yang
dalam dan menyebar dapat menyerap hara pada lapisan tanah bawah yang tidak
terjangkau tanaman semusim, 3) sistem perakaran pohon dan MPTS menciptakan ruang
pori yang dapat meningkatkan infiltrasi dan perkolasi [52]. Selain itu aksi perubahan /
konversi lahan sub optimal menjadi agroforestri tanaman pangan mampu memperbaiki
tata air dari aspek kualitas dan kuantitas DAS.

b) Memperbaiki kualitas tanah

Sistem agroforestri dapat mengendalikan erosi lebih baik daripada lahan terbuka dan
alang-alang. Penerapan sistem agroforestri dapat memperbaiki kualitas tanah pada lahan
terdegradasi. Hal ini ditandai pada lahan agroforestri mempunyai kadar N total, P
tersedia, K tersedia dan kemantapan struktur tanah yang lebih baik daripada lahan tanpa
agroforestri [53].

c) Mempertahankan cadangan karbon (carbon stock)

Program CDM (Clean Development Mechanisme) berkaitan dengan perdagangan


karbon internasional yang mengacu pada Protocol Kyoto. Praktik agroforestri
merupakan merupakan kegiatan reforestasi dan aforestasi. Reforestasi dapat dijadikan
proyek CDM jika status lahan merupakan ‘bukan hutan’ sebelum tanggal 31 Desember
1989. Adapun aforestasi memenuhi persyaratan CDM jika status lahan berfungsi sebagai
lahan pertanian sejak 50 tahun yang lalu [2]. Selain itu adanya peningkatan keragaman
dan kerapatan dalam sistem agroforestri meningkatkan kemampuan lahan untuk
menyimpan karbon karena ekosistem agroforestri hampir menyerupai ekosistem hutan.

d) Mempertahankan keanekaragaman hayati (biodiversity)

Keterlibatan masyarakat di dalam praktik agroforestri baik sistem agroforestri sederhana


maupun agroforestri kompleks termasuk pengelolaan hutan yang sangat penting untuk
mempertahankan keanekaragaman hayati. Alokasi lahan hutan lindung, hutan
konservasi, dan pertanian lahan kering dianggap potensi yang cukup besar untuk
mempertahankan keanekaragaman hayati melalui program reboisasi dan rehabilitasi
dengan memprioritaskan jenis vegetasi lokal. Kegiatan reboisasi dan rehabilitasi dapat
digerakkan oleh pemerintah maupun inisiatif masyarakat secara mandiri.

Selain itu semakin tinggi keanekaragaman pohon yang ditanam pada sistem agroforestri
lebih menjaga fungsi hidrologi tanah dan pengendalian hama tanaman. Kearifan lokal
pemilihan jenis pohon dan tanaman non pohon yang tepat sesuai kondisi ekologis,
ekonomis dan sosial masyarakat sangat berperan penting untuk keberhasilan sistem
agroforestri.
20
e) Mempertahankan keindahan lanskap (lanscape beauty)

Melalui pengelolaan lanskap agroforestri, suatu kawasan DAS/sub DAS dapat


dikembangkan menjadi kawasan eco-tourism terutama pada kawasan lindung, kawasan
agrowosata terutama pada kawasan pertanian, dan kawasan wisata sungai. Pengelolaan
lanskap agroforestri yang berhasil dapat menjadi tambahan pendapatan masyarakat.

PENUTUP

Paradigma baru sistem agroforestri dan pertanian terpadu harus memberdayakan


segenap multifungsi pertanian sebagai pemasok utama sandang, pangan dan papan bagi
kehidupan seluruh makluk hidup; dan sebagai gatra pencapaian lingkungan hidup yang
berkelanjutan, penyedia agrowisata dan ekowisata, produksi biofarmaka dan bio-energi.
Selain itu paradigma baru agroforestri dapat mampu memberikan prospek yang sangat
bagus, untuk mmenuhi kebutuhan hidup para petani menurut jangka waktu pendek,
menengah dan panjang.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Kartasubrata J. 2003. Social Forestry dan Agroforestry di Asia, Buku 2. Bogor


(ID): Laboratorium Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Jurusan
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
2. Arifin HS, Wulandari C, Pramukanto Q, Kaswanto RL. 2009. Analisis lanskap
agroforestri. Konsep, metode dan pengelolaan agroforestri skala lanskap dengan
studi kasus Indonesia, Filipina, Laos, Thailand, dan Vietnam. Bogor (ID): Hibah
Kompetensi 2008 - 2010 DIKTI-DP2M. IPB Press. Bogor.
3. Hairiah K, Sarjono MA, Sabarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestri. Bogor (ID):
World Agroforestri Centro (ICRAF).
4. Krah KA, Kindt R, Skilton JN, Amaral W. 2004. Managing biological and genetic
diversity in tropical agroforestri. Agroforestry system. 61:183-194.
5. Asdak C. 2010. Hidrologi dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press.
6. Rafiq M, Amacher GS, Hyde WF. 2000. Innovation and adoption in Pakistan’s
Northwest Frontier Province. Pp 87-100. In: Hyde WF, Amacher GS, editors.
Economies of Forestry and Rural Development: An Empirical introduction from
Asia. University of Michigan Press, Ann Abor.
7. Sadjapradja O. 1981. Agroforestry di Indonesia: Pengertian dan Implementasinya.
Prosiding Seminar Agroforestri dan Pengendalian Perladangan. Jakarta, 19-21
Nopember 1991. Jakarta (INA): Badan Litbang Pertanian.
8. Suhaendah E, Handayani W. 2012. Praktik agroforestri di KPH Ciamis (studi
kasus Desa Pamarican, Kecamatan Pamarikan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. In:
Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors.
Pembaharuan Agroforestri Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri
III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian Teknologi Agroforestri,
Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for Agroforestry
Education (INAFE).
9. Abdullah L, Syaffari A, Mindawati N. 2012. Pembangunan Tools untuk analisis
usaha hutan rakyat berbasis agroforestri. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S
Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Pembaharuan Agroforestri
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta
(ID): Balai Penelitian Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan
Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM,
Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE).
10. Purwaningsih S, Swestiani D. 2012. Produktivitas agroforestri manglid dan kacang
merah di sub DAS Citanduy Hulu. Studi kasus di Desa Sindang barang, Kecamatan
Panumbangan, Kabupaten Ciamis. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S
Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Pembaharuan Agroforestri
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta
(ID): Balai Penelitian Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan

22
Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM,
Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE).
11. Rauf A, Rahmawaty, T.J Said DB. 2012. Pengembangan agroforestri
(agrosilvofishery) skala lahan pekarangan di Desa Sei Semayang Deli Serdang. In:
Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors.
Pembaharuan Agroforestri Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri
III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian Teknologi Agroforestri,
Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for Agroforestry
Education (INAFE).
12. Fauziyah E, Diniyati D, Santoso HB. 2012. Strategi pengembangan iles-iles
(Amorphophallus spp.) sebagai tanaman bawah tegakan hutan rakyat di Kabupaten
Kuningan. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro,
editors. Pembaharuan Agroforestri Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian Teknologi
Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for Agroforestry
Education (INAFE).
13. Muttaqin Z, Nurhayati L, Rusli AR. 2019. Laporan Akhir Program Kemitraan
Masyarakat (PKM) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan teknis petani
dalam pengelolaan optimal pola agroforestri di Desa Leuwisadeng kecamatan
Leuwisadeng Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Bogor (ID): Hibah Program
Kemitraan Masyarakat (PKM) Ditjen Penguatan Riset dan Pengembangan
MenristekDikti. Universitas Nusa Bangsa.
14. Simon H. 1993. Hutan jati dan kemakmuran, problematika dan strategi
pemecahannya.Yogyakarta (ID): Aditya Media.
15. Umar S. 2012. Perspektif manajemen lestari agroforestri kompleks. In: Widiyatno,
Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Pembaharuan
Agroforestri Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III; 29 Mei
2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian Teknologi Agroforestri, Fakultas
Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE).
16. Widyaningsih TS, Hani A. 2012. Praktik agroforestri di kawasan penyangga
Taman Nasional Gunung Halimun - Salak. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S
Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Pembaharuan Agroforestri
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta
(ID): Balai Penelitian Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan
Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM,
Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE).
17. Soedrajat R, Maharani. 2012. Peranan tanaman penaung dalam memasok nutrient
mikro pada sistem agroforestri berbasis tanaman kopi. In: Widiyatno, Eko
Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Pembaharuan
Agroforestri Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III; 29 Mei

23
2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian Teknologi Agroforestri, Fakultas
Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE).
18. Winarni WW. 2012. Peran wind barrier cemara udang (Casuarina equisetifolia)
var. incana dalam agroforestri pesisir. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S
Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Pembaharuan Agroforestri
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta
(ID): Balai Penelitian Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan
Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM,
Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE).
19. Sudomo A, Hani A, Rachman E. 2012. Uji coba penanaman agroforestry
nyamplung (Calophyllum mophyllum L) + kacang tanah (Arachis hypogeae L) di
pantai berpasir Pangandaran. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih,
Devy P. Kuswantoro, editors. Pembaharuan Agroforestri Indonesia. Prosiding
Seminar Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai
Penelitian Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun
Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia
Networks for Agroforestry Education (INAFE).
20. Solikin. 2012. Potensi keanekaragaman jenis tanaman dalam agroforestri: studi di
Desa Gajahrejo Kabupaten Pasuruan. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S
Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Pembaharuan Agroforestri
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta
(ID): Balai Penelitian Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan
Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM,
Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE).
21. Lahije A. 2000. Teknik agroforestry. Jakarta (ID): UPN Veteran. .
22. Sukirno DP, Mubarrok AZ, Priyono S, Wiyono. 2012. Dinamika ruang dalam
sistem agroforestry pekarangan. In : Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih,
Devy P. Kuswantoro, editors. Pembaharuan Agroforestri Indonesia. Prosiding
Seminar Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai
Penelitian Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun
Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia
Networks for Agroforestry Education (INAFE).
23. Widyaningsih TS, Achmad B. 2012. Faktor-faktor yang mempengaruhi petani
dalam pemilihan jenis tanaman penyusun hutan rakyat di Kabupaten Ciamis. In :
Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors.
Pembaharuan Agroforestri Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri
III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian Teknologi Agroforestri,
Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for Agroforestry
Education (INAFE).
24. Kuswantoro DP, Ruhimat IS, Priono D. 2012. Penggunaan pola agroforestri pada
budidaya nanas di Desa Tambakmekar, Kecamatan Jalaucagak, Kabupaten
Subang. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro,

24
editors. Pembaharuan Agroforestri Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian Teknologi
Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for Agroforestry
Education (INAFE).
25. Roslinda E. 2012. Persepsi masyarakat terhadap kegiatan agroforestri:
Perladangan berpindah. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy
P. Kuswantoro, editors. Pembaharuan Agroforestri Indonesia. Prosiding Seminar
Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian
Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for
Agroforestry Education (INAFE).
26. Martin E, Premono BT, Nurlia A. 2012. Penting tetapi tidak mendesak:
Rasionalitas penanam bambang lanang (Michelia champaca) di hulu DAS Musi,
Sumatera Selatan. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P.
Kuswantoro, editors. Pembaharuan Agroforestri Indonesia. Prosiding Seminar
Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian
Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for
Agroforestry Education (INAFE).
27. Sundawati L, Purnaningsih N, Purwakusumah E Dj. 2012. Pengembangan
Agroforestry berbasis biofarmaka dan kemitraan pemasaran untuk pemberdayaan
masyarakat di Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. In: Widiyatno, Eko
Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Pembaharuan
Agroforestri Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III; 29 Mei
2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian Teknologi Agroforestri, Fakultas
Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE).
28. Sumarhani. 2010. Prospek agribisnis nilam dengan sistem agroforestry. Prosiding
seminar nasional agroforestry sebagai pemanfaatan lahan berkelanjutan di masa
depan. Lampung (ID): Kerjasama UNILA, SEANAFE dan INAFE.
29. Sudomo. 2007. Kajian sistem silvikultur hutan rakyat. Prosiding Sintesa Hasil
Litbang Hutan Tanaman; Desember 2007. Bogor (ID): Badan Litbang Kehutanan.
Hlm: 155-162.
30. Sanudin, Wijayanto N. 2012. Pemilihan jenis tanaman demplot agroforestri:
pengalaman proyek ITTO PD 394/06 REV. 1(F) di daerah tangkapan air danau
Toba. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro,
editors. Pembaharuan Agroforestri Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian Teknologi
Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for Agroforestry
Education (INAFE).

25
31. Rotinsulu JM, Suprayogo D, Guritno B, Hairiah K. 2012. Peningkatan
pertumbuhan dan mutu rotan sega (Calamus caesius BL) melalui pengaturan
cahaya yang masuk pada sistem agroforestri. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S
Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Pembaharuan Agroforestri
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta
(ID): Balai Penelitian Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan
Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM,
Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE).
32. Wahyuningrum N, Pramono IB. 2012. Pengaruh variasi intensitas cahaya beberapa
jenis tanaman tahunan dalam pola agroforestri terhadap produksi tanaman
semusim. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro,
editors. Pembaharuan Agroforestri Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian Teknologi
Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for Agroforestry
Education (INAFE).
33. Rukmana R. 2005. Rumput unggul hijauan makanan ternak. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
34. [BPPT] Badan Penerapan dan Pengembangan Teknologi. 2005. Teknologi tepat
guna tentang budidaya pakan ternak. Jakarta (ID): BPPT.
35. Sinaga M, Rachmawati I. 1997. Jenis pohon lokal yang mempunyai fungsi ganda
dalam pengembangan wanatani. Aisuli. 1(3).
36. Narendra BH. 2008. Using alley cropping to rehabilitate reclaimed pumice-mined
land in Indonesia. Thailand (...): Asia Pacific Agroforestry Newsletter
(APANews) Featuring SEANAFE News No. 33 Oktober 2008.
37. Rukmana R. 1995. Teknik pengelolaan lahan berbukit dan kritis. Yogyakarta (ID):
Kanesius.
38. Mindawati N, Widiarti A, Rustaman B. 2006. Review hasil penelitian hutan
rakyat. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.
39. Hamilton J. editor. 2008. Silvopasture: establishment & management priciples for
pine forests in the Southeastern United States. USDA National Agroforestry
Center. www.unl.edu/nac. (Diakses tanggal 1 Oktober 2019)
40. Kuntadi, Adalina Y, Widiarti A. 2012. Ujicoba agroforestry mangium-jagung
untuk mendukung budidaya lebah madu. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S
Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Pembaharuan Agroforestri
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta
(ID): Balai Penelitian Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan
Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM,
Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE).
41. Purwanto RH. 2012. Biomassa total ubi kayu, jagung, padi, kacang tanah dan
kedelai pada sistem alley cropping di tegakan jati (Tectona grandis Linn. F.) di
kawasan hutan KPH Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. In: Widiyatno,
Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Pembaharuan
Agroforestri Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III; 29 Mei

26
2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian Teknologi Agroforestri, Fakultas
Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE).
42. Nugroho P, Widiyatno. 2012. Agroforestri sebagai konservasi lingkungan dataran
tinggi Dieng. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P.
Kuswantoro, editors. Pembaharuan Agroforestri Indonesia. Prosiding Seminar
Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian
Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for
Agroforestry Education (INAFE).
43. Sabarnurdin MS, Suryanto P, Aryono WB. 2004. Dinamika pohon mahoni
(Swietenia macropylla King) pada agroforestri pola lorong (alley cropping). Ilmu
Pertanian. 11(1): 63-73.
44. Rahayu S, Ningsih H, Ayat A, Prasetyo PN. 2017. Agroforest karet; konservasi
keanekaragaman hayati yang berakar dari kearifan tradisional. In: Widiyatno, Eko
Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Prosiding Seminar
Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian
Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for
Agroforestry Education (INAFE).
45. Njurumana GND. 2012. Agroforest mamar dan konservasi keragaman hayati
tumbuhan di Nusa Tenggara Timur. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S
Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Prosiding Seminar Nasional
Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian Teknologi
Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for Agroforestry
Education (INAFE).
46. Dewi BS. 2012. Agroforestry pattern and fauna chane in repong damar Krui West
Lampung Indonesia. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P.
Kuswantoro, editors. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012.
Yogyakarta (ID): Balai Penelitian Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan
(IMHERE) dan Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4)
UGM, Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE).
47. Mardiatmoko G, Silana Th. M, Kastanya A, Tjoa M, Bone I. 2012. Pemantapan
bisnis agroforestri berbasis pala (Myristica fragrans Houtt) untuk kesejahteraan
masyarakat Maluku dan multipihak. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S
Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Prosiding Seminar Nasional
Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian Teknologi
Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for Agroforestry
Education (INAFE).

27
48. Rufinus, Jambi, Pong Y, Lotens, Jono, Harjo, Elias. 2011. Kearifan lokal
masyarakat Sanjau dalam mengelola hutan adat Tomawaking Ompu. Pontianak
(ID): Institut Dayakologi.
49. Sitepu BS. 2012. Jenis-jenis potensial sebagai tanaman utama sistem agroforestri
untuk rehabilitasi lahan gambut di Kalimantan. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S
Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Prosiding Seminar Nasional
Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian Teknologi
Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for Agroforestry
Education (INAFE).
50. Mile MY. 2012. Teknik manipulasi lingkungan untuk mengoptimalkan
pertumbuhan dan produksi hutan rakyat pola agroforestri. In: Widiyatno, Eko
Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Prosiding Seminar
Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai Penelitian
Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun Pendidikan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia Networks for
Agroforestry Education (INAFE).
51. Handayani W, Multikaningsih E. 2012. Pemilihan jenis tanaman untuk pola
agroforestry di sub-sub DAS Kollong Lau, sub DAS Mamasa, Sulawesi Barat. In:
Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III; 29 Mei 2012. Yogyakarta (ID): Balai
Penelitian Teknologi Agroforestri, Fakultas Kehutanan (IMHERE) dan Kebun
Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Indonesia
Networks for Agroforestry Education (INAFE).
52. Utomo WH. 2002. Agroforestri: hidup layak berkesinambungan pada lahan
sempit. In: Krisnamurti YB, Susila DAB, Kristuantriyono A, editors. Prosiding
Seminar: tekanan penduduk, degradasi lingkungan dan ketahanan pangan. Jakarta
(ID): Kerjasama PSP-LP-IPB dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan, kerjasama
PSP-LP-IPB dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian.
53. Satriawan H, Fuady Z, Fitriani CE. 2012. Potensi agroforestry dalam pengendalian
erosi dan perbaikan kualitas tanah. In: Widiyatno, Eko Prasetyo, Tri S
Widyaningsih, Devy P. Kuswantoro, editors. Prosiding Seminar: tekanan
penduduk, degradasi lingkungan dan ketahanan pangan. Jakarta (ID): Kerjasama
PSP-LP-IPB dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan, kerjasama PSP-LP-IPB
dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian.

28
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai