Anda di halaman 1dari 126

MODUL 4

TEORIDANNORMADASARHUKUMPERI
KATANYANGLAHIRDARI UNDANG-UN
DANG

Penyusun : Dr. Saharuddin Daming


SH., MHEditor :
I. PERIKATAN YANG LAHIR DARI UNDANG-UNDANG
Perikatan dapat bersumber dari persetujuan atau dari undang-undang
Perikatan yang lahir dari undang-undang terbagi lagi menjadi undang-undang
saja dan undang-undang karena perbuatan orang. Perikatan yang timbul karena
perbuatan orang terdiri dari perbuatan yang menurut hokum dan perbuatan yang
melawan hokum. Perikatan yang timbul dari perbuatan yang sesuai dengan
hukum yang ada dua yaitu wajil tanpa kuasa ( zaakwaarneming) diatut dalam
Pasal 1354 s/d 1358 KUH Perdata dan Pemabayaran tanpa hutang
(onverschulddigde betaling) diatur dalam Pasal 1359 s/d 1364 KUH Perdata.
Sedangkan perikatan yang timbul dari perbuatan yang tidak sesuai dengan
hokum adalah perbuatan melawan hokum (onrechtmatige daad) diatur dalam
Pasal 1365 s/d 1380 KUH Perdata.

A. Perwakilan Sukarela (Zaakwarneming)


Penggunaan istilah zaakwarneming banyak diartikan berbeda-beda
antara satu sarjana dengan sarjana yang lain. Ada yang mengartikan dengan
istilah Perwakilan Sukarela, ada yang mengartikan dengan istilah
penyelenggaraan kepentingan dan ada yang mengartikan wakil tanpa kuasa.
Pada dasarnya perbedaan istilah-istilah tersebut tidaklah penting karena
hanya penyebutannya saja yang berbeda tetapi maknanya sama.
Zaakwaarneming adalah suatu perbuatan dimana seseorang secara sukarela
menyediakan dirinya dengan maksud mengurus kepentingan orang lain,
dengan perhitungan dan resiko tersebut.
Perbedaan antara wakil tanpa kuasa dengan pemberian kuasa adalah :
1) Pada wakil tanpa kuasa, perikatan timbul karena undang-
undang,sedangkan pada pemberian kuasa perikatan timbul karena
diperjanjikan sebelumnya
2) Wakil tanpa kuasa tidak berhenti jika orang yang diwakili itu
meninggal dunia, sedangkan pada pemberian kuasa perikatan berhenti
jika pemberi kuasa meninggal.

1|H.PERIKATAN
3) Pada wakil tanpa kuasa tidak mengenal upah karena dilakukan dengan
sukarela sedangkan pada pemberian kuasa penerima kuasa berhak atas
upah karena diperjanjikan.
Perwakilan sukarela adalah suatu perbuatan dimana seseorang secara
sukarela menyediakan dirinya dengan maksud mengurus kepentingan orang
lain dengan sepengetahuan, maupun tanpa sepengetahuan dari yang diurus
kepentingannya. Perwakilan sukarela biasanya terdapat yang diurus
kepentingannya itu tidak ditempat, sakit atau keadaan apapun dimana ia
tidak dapat melakukan sendiri kepentingannya.
Zaakwarneming (perwakilan sukarela) Dalam KUH Perdata tidak
secara tegas diatur mengenai perumusan zakkwarnemong, tetapi kita bisa
melihatnya dari pasal 1354 KUH Perdata.
Pasal 1354 menjelaskan jika seseorang dengan sukarela tanpa
ditugaskan, mewakili urusan orang lain, dengan atau tanpa setahu orang itu,
maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta
menyelesaikan urusan itu, hingga orang yang ia wakili kepentingannya
dapat mengerjakan sendiri urusan itu.
Bertindak menurut hukum,dalam melakukan perbuatan mengurus
kepentingan itu harus dilakukan berdasarkan kewajiban menurut hukum
(undang-undang), atau tidak bertentangan dengan kehendak pihak yang
berkepentingan.
Hak dan kewajiban para pihak yang mewakili.Kewajiban mengerjakan
segala sesuatu yang termasuk urusan itu sampai selesai, dengan
memberikan pertanggungjawaban.
Berdasarkan Pasal 1354 KUH Perdata jelas bahwa perwakilan sukarela
dapat terjadi tanpa sepengetahuan orang yang diwakilinya, tetapi pada
umumnya dengan sepengetahuannya. Untuk adanya perwakilan
sukareladisyaratkan bahwa :
1) yang diurus adalah kepentingan orang lain.
2) seorang wakil sukarela harus mengurus kepentingan orang
yang diwakilinya secara sukarela. Maksudnya bahwa ia berbuat atas

2|H.PERIKATAN
inisiatif sendiri bukan berdasarkan kewajiban yang ditimbulkan oleh
undangundang atau persetujuan.
3) Seorang wakil sukarela harus mengetahui dan menghendaki dalam
mengurus kepentingan orang lain.
4) harus terdapat keadaan yang sedemikian rupa yang membenarkan
inisiatifnya untuk bertindak sebagai wakil sukarela.
Pasal 1355 : Ia diwajibkan meneruskan pengurusan itu, meskipun
orang yangkepentingannya diurus olehnya meninggal sebelum urusan
diselesaikan sampai para ahli waris orang itu dapat mengambil alih
pengurusan itu.
Berhak memperoleh ganti rugi dari orang yang diwakilinya tersebut.
Pasal 1357 Pihak yang kepentingannya diwakili oleh orang lain dengan baik,
diwajibkan memenuhi perikatan-perikatan, yang dilakukan oleh wakil itu
atas namanya, memberi ganti rugi dan bunga yang disebabkan oleh segala
perikatan yang secara perorangan dibuat olehnya, dan mengganti segala
pengeluaran yang berfaedah dan perlu.
Hak dan kewajiban yang diwakili Berkewajiban memenuhi perikatan
yang dibuat oleh wakil itu atas namanya, membayar ganti kerugian atau
pengeluaran.Berhak atas keringanan pembayaran ganti kerugian atau
pengeluaran itu, yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pihak yang
mengurus kepentingan itu, berdasarkan pertimbangan hakim dan berhak
meminta pertanggungjawaban atas pegurusan kepentingan itu.
Perwakilan sukarela meliputi perbuatan nyata dan perbuatan
hukum.Sepanjang mengenai perbuatan nyata perwakilan sukarela bagi
kepentingan orang yang tidak cakap atau tidak wenang jelas masih
mungkin.Sedangkan jika mengenai perbutan hukum hal itu masih mungkin,
sepanjang perbuatan hukum tersebut menurut sifatnya menurut ketentuan
undang-undang tidak dilarang.Karena perikatan ini timbul akrena undang-
undang, maka hak dan kewajiban pihak-pihak juga diatur oleh undang-
undang.
Hak dan kewajiban yang mewakili yaitu : ia berkewajiban
mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan itu sampai selesai dengan

3|H.PERIKATAN
memberikan pertanggungjawaban. Yang mengurus kepentingan itu memikul
segala beban biaya atau ongkos-ongkos mengurus kepentingan itu.Yang
mengurus kepentingan berhak atas segala perikatan yang dibuatnya secara
pribadi dan memperoleh penggantian atas segala pengeluaran yang perlu
(Pasal 1357 KUH Perdata).Jika ganti rugi atau pengeluaran itu belum
dilunasi oleh yang berkepentingan, orang yang mewakili berhak menahan
benda-benda yang diurusnya sampai ganti rugi atau pengeluaran itu dilunasi.
Hak dan kewajiban yang diwakili yaitu :Yang diwakili atau yang
berkepentingan berkewajiban memenuhi perikatan yang dibuat oleh wakil
itu atas namanya, membayar ganti kerugian atau pengeluaran yang telah
dipenuhi oleh pihak yang mengurus kepentingan itu (Pasal 1357 KUH
Perdata). Orang yang berkepentingan juga berhak atas keringanan
pembayaran ganti kerugian atau pengeluaran itu, yang disebabkan oleh
kesalahan atau kelalaian pihak yang mengurus kepentingan itu, berdasarkan
kepentingan hakim (Pasal 1357 ayat 2 KUH Perdata).Pihak yang
berkepentingan berhak meminta pertanggungjawaban atas pengurusan
kepentingan itu.Dalam perikatan perwakilan sukarela tidak dikenal upah.Hal
ini didasarkan atas Pasal 1358 KUH Perdata.Namun apabila orang yang
berkepentingan membayarkan sejumlah uang kepada orang yang mewakili,
maka pembayaran tersebut hanya didasarkan atas kemanusiaan saja. Karena
pada dasarnya mengurus kepentingan orang lain tidak boleh menagih upah
(Pasal 1356 KUH Perdata).

B. Pembayaran yang Tidak Terutang (Onverschulddigde Betaling)


Seseorang yang membayar tanpa adanya utang, berhak menuntut
kembali apa yang telah dibayarkan. Dan yang menerima tanpa hak
berkewajiban untuk mengembalikan. Hal ini sejalan dengan apa yang ada
dalam Pasal 1359 KUH Perdata bahwa setiap pembayaran yang ditujukan
untuk melunasi suatu hutang tetapi ternyata tidak ada hutang, pembayaran
yangtelah dilakukan itu dapat dituntut kembali. Pembayaran yang dilakukan
itu bukanlah bersifat sukarela namun karena merasa ada kewajiban yang
harus dipenuhi yaitu utang.Kekeliruan bukanlah syarat untuk menuntut
pengembalian pembayaran yang tidak terutang.Oleh karena itu seseorang

4|H.PERIKATAN
yang dengan sadar membayar tanpa adanya utang berhak menuntut
pengembalian. Jika seseorang karena kekhilafan mengira bahwa ia berutang
dan telah membayar utang tersebut, dapat menuntut kembali apa yang ia
telah bayarkan. Hak untuk menuntut kepada kreditur hilang, jika surat
pengakuan utang telah dimusnahkan setelah terjadinya pembayaran.
Sekalipun demikian orang yang telah membayar berhak untuk menuntut
pengembaliannya dari orang yang sebenarnya berutang (Pasal 1361 KUH
Perdata).

Menurut Pasal 1362 KUH Perdata bahwa barang siapa dengan itikad
buruk menerima sesuatu pembayaran tanpa hak harus mengembalikan hasil
dan bunganya.Selain itu harus pula membayar ganti rugi jika nilai barangnya
menjadi berkurang. Jika barangnya musnah di luar kesalahannya ia harus
mengganti harga barangnya beserta biaya, kerugian dan bunga kecuali jika
ia dapat membuktikan bahwa barangnya tetap akan musnah sekalipun
berada pada pihak yang berhak.

Barang siapa dengan itikad baik menerima pembayaran yang tidak


terutang dan telah menjual barang tersebut maka ia hanya wajib membayar
kembali harganya. Jika ia dengan itikad baik menghadiahkan barangnya
kepada orang lain maka ia tidak wajib mengembalikan apapun. Dalam
perikatan pembayaran tanpa utang, tuntutan kembali atas pembayaran yang
telah dilakukan itu disebut conditio indebiti.Tuntutan semacam ini dapat
dilakukn terhadap badan-badan pemerintah, misalnya pembayaran pajak
yang kemudian ternyata tidak ada pajak, maka bisa dilakukan meminta
kembali pembayaran tersebut.

5|H.PERIKATAN
II. PERBUATAN MELAWAN HUKUM

A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum Dan Ruang Lingkupnya


Konsepsi perbuatan melawan hukum dikenal dalam dimensi hukum
perdata dan hukum pidana. Dalam bahasa Belanda, perbuatan melawan
hukum dikenal dengan terminologi “wederrechtelijk” dalam ranah hukum
pidana dan “onrechtmatige daad” dalam ranah hukum perdata ((Mulyani L,
2014). Istilah “perbuatan melawan” pada umumnya adalah sangat luas
artinya, kalau perkataan “hukum” dipakai dalam arti seluas luasnya.
((Prodjodikoro, 2000). Oleh karena itu pokok bahasan dalam modul ini
dibatasi dalam ranah hukum perdata dalam arti luas termasuk hukum
dagang.
Selain perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Kitab-
Kitab Hukum Perdata. Terdapat perbuatan melawan hukum diatur dalam
lapangan hukum pidana. Munir Fuady membedakan perbuatan melawan
hukum antara perbuatan melawan hukum yang diatur dalam lapangan
hukum perdata yang bersifat privat (pribadi, sipil) dengan perbuatan
melawan hukum diatur lapangan hukum pidana yang bersifat publik.(Aries,
2013)
Pengertian secara umum perbuatan melawan hukum adalah suatu
perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya
kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum,
kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya dan dengan
tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat diminta suatu ganti rugi
Konsep dan norma dasar perbuatan melawan hukum tertuang dalam
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa tiap
perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain,
mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti
kerugian tersebut.

6|H.PERIKATAN
Ketentuan pasal 1365 tersebut di atas mengatur pertanggung-jawaban
yang diakibatkan oleh adanya perbuatan melanggar hukum baik karena
berbuat atau karena tidak berbuat
Mariam Darus Badrulzaman dalam Rancangan UU (RUU) Perikatan
berusaha merumuskannya secara lengkap, sebagai berikut:
1) Suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahan atau
kelalaiannya menebritkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
2) Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hak orang
lain atau bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam
pergaulan kemasyarakatan terhadap pribadi atau harta benda orang
lain.
3) Seorang yang sengaja tidak melakukan suatu perbuatan yang wajib
dilakukannya, disamakan dengan seorang yang melakukan suatu
perbuatan terlarang dan karenanya melanggar hukum.
Perumusan norma dalam konsep Mariam Darus Badrulzaman ini telah
mengabsorbsi perkembangan pemikiran yang baru mengenai perbuatan
melawan hukum. Sebab dalam konsep itu pengertian melawan hukum
menjadi tidak hanya diartikan sebagai melawan undang-undang (hukum
tertulis) tetapi juga bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan
dalam pergaulan masyarakat (hukum tidak tertulis). Perbuatan melawan
hukum dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pawa
awalnya memang mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh
dari ajaran legisme. Pengertian yang dianut adalah bahwa perbuatan
melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan
kewajiban hukum menurut undnagundang. Dengan kata lain bahwa
perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama sengan perbuatan
melawan undang-undang (onwetmatigedaad).
Penilaian mengenai apakah suatu perbuatan termasuk perbuatan
melawan hukum, tidak cukup apabila hanya didasarkan pada pelanggaran
terhadap kaidah hukum, tetapi perbuatan tersebut harus juga dinilai dari
sudut pandang kepatutan. Fakta bahwa seseorang telah melakukan

7|H.PERIKATAN
pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat menjadi faktor
pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan kerugian
tadi sesuai atau tidak dengan kepatutan yang seharusnya dimiliki seseorang
dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat.
Terminologi dari “Perbuatan Melawan Hukum” merupakan
terjemahan dari kata onrechtmatigedaad, yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Buku III tentang Perikatan, Pasal 1365 sampai
dengan Pasal 1380. Beberapa sarjana ada yang mempergunakan istilah
“melanggar” dan ada yang mempergunakan istilah “melawan”. Wirjono
Prodjodikoro menggunakan istilah “perbuatan melanggar hukum”, dengan
mengatakan: “Istilah onrechtmatigedaad dalam bahasa Belanda lazimnya
mempunyai arti yang sempit, yaitu arti yang dipakai dalam Pasal 1365
Burgerlijk Wetboek dan yang hanya berhubungan dengan penafsiran dari
pasal tersebut, sedang kini istilah perbuatan melanggar hukum ditujukan
kepada hukum yang pada umumnya berlaku di Indonesia dan yang sebagian
terbesar merupakan Hukum Adat”. Subekti juga menggunkan istilah
Perbuatan Melanggar Hukum.
Terminologi “Perbuatan Melawan Hukum” antara lain digunakan oleh
Mariam Darus Badrulzaman, dengan mengatakan: “Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa setiap perbuatan yang
melawan hukum yang membawa kerugian kepada seseorang lain
mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian ini mengganti
kerugian tersebut”.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan8 dan IS Adiwimarta dalam
menerjemahkan buku H.F.A. Vollmar juga mempergunakan istilah
perbuatan melawan hukum. Selain itu, istilah yang sama juga digunakan
oleh MA Moegni Djojodirdjo dan Setiawan. MA Moegni Djojodirdjo
mengatakan: “Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidaklah
memberikan perumusan melainkan hanya mengatur bilakah seseorang yang
mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh
orang lain terhadap dirinya, akan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian
pada Pengadilan Negeri dengan succes”.

8|H.PERIKATAN
Berdasarkan rumusan di atas maka dapat dikatakan bahwa perbuatan
melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak (subyektif) orang
lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan kewajiban
menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum
tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seorang dalam pergaulannya
dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan
pembenar menurut hukum. Permasalahan hukum yang timbul adalah dalam
hal ada hubungan kontraktual
Setiap orang secara hukum memiliki hak dan kepentingan yang dapat
dipertahankan dari siapa saja yang dapat merugikan atau melanggar hak dan
kepentingan yang dimiliki. Timbulnya kerugian atas hak tersebut dapat
digugat secara perdata dan mewajibkan orang yang melanggar hak tersebut
untuk memberikan ganti rugi atas tidak atau kurang maksimalnya pemanfaat
atas hak atau kepentingan tersebut. Dalam tradisi hukum Romawi tidak
dikenal gugatan melawan hukum (onrechtmatige daad), tetapi dalam tradisi
civil law kemudian mengatur ketentuan tentang onrechtmatig daad ini. Pasal
1365 sampai dengan 1380 mengatur apa saja yang dapat menimbulkan
kerugian bagi orang lain karena perbuatan melawan hukum. Pasal 1365
KUH Perdata menjadi rumusan umum yang mengatur ketentuan tentang
perbuatan melawan hukum. Tiap perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad) yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut. (Pasal 1365 KUH Perdata) Ada beberapa unsur
dalam rumusan pasal perbuatan melawan hukum yang diatur dalam pasal
1365 KUH Perdata, diantaranya :
1) Harus ada perbuatan
2) Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum
3) Pelaku harus mempunyai kesalahan
4) Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian
5) Ada hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.
Menurut Soetojo, ada satu unsur lagi yang muncul dari praktek
peradilan di Belanda, unsur ini muncul karena adanya jurisprudensi yang

9|H.PERIKATAN
dikeluarkan oleh Hoge Raad yang menyatakan bahwa norma yang dilanggar
bermaksud untuk melindungi kepentingan atau hak dari korban. Unsur
perbuatan melawan hukum tidak hanya berkaitan dengan adanya tindakan
aktif berbuat, tetapi juga dalam bentuk pasif tidak berbuat sesuatu yang
seharusnya ia lakukan. Kategori ini biasa disebut by commision maupun by
ommision. Rumusan pasal 1365 KUH Perdata pada awalnya hanya
ditujukan untuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan karena kesalahan
secara sengaja, sedangkan pada pasal 1366 KUH Perdata merumuskan
perbuatan yang dilakukan karena kelalaian. Pasca putusan 31 Januari 1919,
perluasan makna pasal 1365 ini pada akhirnya mencakup pasal 1366 yang
mengatur perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Pengertian perbuatan melawan hukum oleh Hoge Raad sebelum tahun
1919 hanya diartikan sebagai perbuatan yang melanggar hak subjektif orang
lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri.
Pengertian ini cenderung meletakkan penilaian suatu perbuatan berdasarkan
perbuatanperbuatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atau
hukum tertulis.
Menurut Setiawan, penafsiran sempit atas perbuatan melawan hukum
justru akan memperbanyak kepentingan yang dirugikan. Orang yang
dirugikan tersebut tidak berdaya untuk mengajukan gugatan, karena tidak
setiap kepentingan diatur oleh undang-undang. Pemaknaan sempit atas
onrechtmatigeheid cenderung melihat perbuatan yang dilakukan sebagai
onwetmatigeheid. Penerapan awal ini dalam perkembangannya dianggap
sebagai pemaknaan sempit atas unsur perbuatan melawan hukum yang
hanya ditafsirkan sebagai perbuatan yang melanggar undang-undang (wet).
Dalam hal ini, pemaknaan pasal 1365 KUH Perdata hanya
merumuskan perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan yang melanggar
hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri
sebagaimana yang tertuang dalam hukum tertulis. Penganut pandangan
sempit, seperti Simons, menganggap bahwa pemaknaan perbuatan melawan
hukum dalam arti luas sangat membahayakan bagi kepastian hukum, karena
hakim dalam memutuskan suatu perkara tidak memiliki ukuran yang pasti

10 | H . P E R I K A T A N
tentang perbuatan yang pantas menurut kesusilaan dan kepatutan dalam
masyarakat. Hoge Raad pada awalnya cenderung menyakini pandangan
sempit atas perbuatan melawan hukum. Baru pada tahun 1919 Hoge Raad
mulai meyakini pemaknaan luas atas perbuatan melawan hukum. Hal ini
tertuang dalam Arrest 31 Januari 1919 antara Lidenbaum v.s Cohen. Arrest
ini mengakhiri perdebatan para ahli hukum tentang penafsiran sempit dan
penafsiran luas, karena setelah arrest ini diputuskan, praktek penafsiran
tentang perbuatan melawan hukum terdapat perumusan dan batasan
perbuatan melawan hokum yang sudah sedemikian luas.
Lihat Singer Naaimachine Arrest tanggal 3 Januari 1905 dalam perkara
perusahaan mesin jahit Singer yang sudah dimodifikasi. Kata “Singer”
sebagai merk, oleh pemilik toko ditulis menggunakan huruf kapital,
sedangkan merk aslinya menggunakan huruf kecil. Hal ini menimbulkan
kesan tidak palsu. Dalam putusannya Hoge Raad memutuskan bahwa
perbuatan pemilik toko tidak dapat dianggap sebagai perbuatan melawan
hukum karena tidak ada kewajiban undang-undang (wet). Ada juga
Zutphenese Juffrouw tanggal 10 Juni 1910 tentang suatu persil di Zutthpaen
yang ruangannya ada dibawah tanah sebagai gudang barang-barang yang
terbuat dari kulit. Pipa aliran leding ruangan atas bocor ke lantai bawah
tanah yang menimbulkan kerusakan pada barang kulit milik orang lain.
Sehingga pemilik merasa dirugikan akibat kebocoran pipa leding milik
penghuni diatasnya. Atas perkara tersebut, Hoge Raad menolak kasasi
tersebut karena perbuatan tersebut tidak melanggar undang-undang.
Drukkers arrest sebagai yurisprudensi yang memiliki kekuatan hukum
mengikat. Hoge Raad dalam putusan Lindenbaum v.s Cohen memberikan
penafsiran tentang perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan yang
dilakukan baik karena kesengajaan atau kelalaian seseorang yang dapat
mengurangi hak dan kepentingan korban atau kewajiban hukum pelaku
sendiri. perbuatan tersebut juga bertentangan dengan norma kesusilaan atau
kesopanan tentang kehati-hatian dalam berbuat yang berpotensi merugikan
hak dan kepentingan orang lain diukur dari kepantasan perbuatan tersebut
menurut pandangan umum masyarakat. Putusan ini tidak lagi melihat hak

11 | H . P E R I K A T A N
subjektif dan kewajiban hukum si pembuat sebagaimana yang tertuang
dalam peraturan perundangundangan, tetapi juga dapat dinilai dari aspek
kesusilaan dan kebiasaan masyarakat. Pasca 1919, Hoge Raad
mendefinisikan perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan atau kelalaian
yang apakah mengurangi hak orang lain atau melanggar kewajiban hukum
orang yang berbuat, apakah bertentangan dengan kesusilaan atau
bertentangan dengan sikap hati-hati, yang pantas di dalam lalu lintas
masyarakat terhadap orang lain atau barangnya. Ada beberapa alasan yang
diberikan para penganut ajaran perbuatan melawan hukum secara luas.
Molengraaff salah satu pendukung ajaran perbuatan melawan hukum dalam
arti luas berpendapat bahwa suatu perbuatan onrechtmatige dilakukan oleh
seseorang yang berbuat lain dari pada yang sepantasnya dilakukan dalam
lalu lintas masyarakat terhadap orang lain. Penafsiran secara luas ini tidak
lepas dari istilah teks asli civil code Napoleon dalam bahasa Prancis yang
menyebut tout fait illicite de l’home. Teks civil code dalam bahasa Prancis
menyebut perbuatan melawan hukum sebagai illicite yang artinya tidak
diperbolehkan (ongeoorloofd), bukan menyebut illegal yang berarti tidak sah
(menurut undangundang/ onwettig). Molengraaff juga menyatakan bahwa
perbuatan melawan hukum dimaksudkan untuk menghindari perbuatan
curang yang dapat dilakukan oleh seseorang, dan hal tersebut merupakan
tujuan perumusan pasal 1401 B.W (1365 KUH Perdata).
Perbuatan melawan hukum tidak dapat dilepaskan dengan adanya
pelanggaran hak oleh seseorang. Recht dalam pengertiannya yang paling
dasar adalah hak. Sedangkan hak dalam pengertian perbuatan melawan
hukum adalah suatu kewenangan yang diberikan oleh hukum terhadap
seseorang dengan menutup orang lain atas hak tersebut. Rosa Agustina
menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan melawan hukum apabila
memenuhi 4 kriteria. Pertama, bertentangan dengan hak subjektif orang lain.
hak subjektif ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu hak subjektif perorangan yang
terdiri dari kepentingan yang mempunyai nilai tertinggi terhadap yang
bersangkutan, pengakuan langsung terhadap kewenangan yang bersangkutan
oleh suatu peraturan perundang-undangan, dan suatu posisi pembuktian

12 | H . P E R I K A T A N
yang kuat dalam suatu perkara yang mungkin timbul. Sedangkan hak
subjektif dalam masyarakat terdiri dari hak kebendaan yang absolut seperti
hak milik, hak-hak pribadi seperti hak untuk mempunyai integritas terhadap
jiwa dan kehidupan, kebebasan pribadi, kehormatan dan nama baik, dan
hak-hak istimewa, misalnya hak untuk menempati rumah oleh penyewa
rumah. Kedua, bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku
sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan secara sah oleh lembaga yang berwenang dan mempunyai daya
ikat keluar. Ketiga, bertentangan dengan kesusilaan. Yaitu norma-norma
sosial dalam masyarakat sepanjang norma tersebut diterima oleh masyarakat
dalam bentuk tidak tertulis. Keempat, bertentangan dengan kepatutan,
ketelitian dan kehati-hatian. Bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk
kategori ini antara lain perbuatan yang merugikan orang lain tanpa
kepentingan yang layak, perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan
bahaya bagi orang lain berdasarkan pemikiran yang normal perlu
diperhatikan. Ada dua bentuk perumusan hak yang diatur dalam pasal 1365
hingga 1380 yang mengatur perbuatan melawan hukum. Bentuk pertama
mengatur tentang hak-hak keperdataan yang hanya dilihat secara kasat mata
dan dapat dinilai secara materi. Hak tersebut tercantum dalam ketentuan
perundang-undangan. Misalnya hak kebedaan yang diatur secara tertutup
atau hak-hak yang diatur diluar KUH Perdata seperti hak Octroi dan
sebagainya. Sedangkan bentuk kedua adalah kerugian yang berkaitan
dengan hak atas rasa sakit atas tubuh dan jiwa. Seperti luka, pembunuhan
dan penghinaan.
Soetojo mencatat ada perdebatan penafsiran tentang mengurangi hak.
Perdebatan ini dipicu oleh tjoklat arrest tanggal 7 januari 1941.8 Isu hukum
dalam Putusan ini berkaitan dengan kapankan suatu perbuatan dianggap
telah mengurangi hak dan penyalahgunaan hak (misbruik van recht).
Menurut Scholten, pengurangan atau pelanggaran suatu hak terjadi apabila
perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja. Ketidaksengajaan dalam
perbuatan hanya dianggap sebagai perbuatan tidak pantas. Pendapat
Scholten ini mendapat banyak tentangan dari pakar hukum lain. Menurut

13 | H . P E R I K A T A N
Meyer, seseorang dianggap menyalahgunakan hak apabila ia melakukan
perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga orang lain menderita
kerugian dan ada hubungan buruk antara kepentingan yang harus
diselenggarakan dan kepentingan lain yang terdampak. Scholten
menganggap penyalahgunaan hak sebagai suatu perbuatan tanpa
kepentingan yang wajar untuk dirinya sendiri dengan tujuan khusus untuk
merugikan orang lain. Seseorang yang melakukan perbuatan atas dasar
haknya sendiri tanpa melanggar hak orang lain pada dasarnya tidak dapat
dianggap melakukan perbuatan melawan hukum meski menimbulkan
kerugian bagi orang lain. Misalnya seseorang yang membangun hotel
ditanah miliknya sendiri.
Seorang pemilik toko menjual chocola sebagai tjoklat yang tidak
berasal dari Tjoklatfabriek. H.R pada awalnya menyelidiki apakah
penggunaan kata “tjoklat” itu bertentangan dengan merk dagang pabrik
Tjoklat. Oleh karena Tjoklat itu merupakan suatu jenis nama dalam bahasa
Indonesia atau Melayu sebagai sebutan chocolat. Sehingga Tjoklatfabriek
tidak berhak atas nama merk Tjoklat. Oleh karenanya H.R memutuskan
bahwa pemilik toko tidak melakukan onrechtmatige daad.
Hoffman menerangkan bahwa untuk adanya suatu perbuatan melawan
hukum harus dipenuhi empat unsur, yaitu:15 a. Er moet een daad zijn
verricht (harus ada yang melakukan perbuatan); b. Die daad moet
onrechtmatig zijn (perbuatan itu harus melawan hukum); c. De daad moet
aan een ander schade heb bentoege bracht (perbuatan itu harus menimbulkan
kerugian pada orang lain); d. De daad moet aan schuld zijn te wijten
(perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakakan kepadanya). Suatu
perkembangan yang penting dalam teori hukum adalah mengenai pengertian
melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Semula pengertian melawan hukum hanya diartikan secara
sempit yaitu perbuatan yang melanggar undang-undang saja. Akan tetapi,
kemudian Hoge Raad dalam kasus yang terkenal Lindenbaum melawan
Cohen memperluas pengertian melawan hukum bukan hanya sebagai
perbuatan yang melanggar undangundang, tetapi juga setiap perbuatan yang

14 | H . P E R I K A T A N
melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan antara
sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain.
antara para pihak dan terjadi wanprestasi dapatkah diajukan gugatan
perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum termasuk kategori lapangan hukum
pidana.Satochid Kartanegara((Aries, 2013), membagi “melawan hukum”
(Wederrechtelijk) dalam hukum pidana dibagi dalam dua bagian yaitu :
a.Melawan hukum secara formil, yaitu perbuatan melawan hukum dalam
lapangan pidana terhadap perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan sanksi yang diatur dalam undang-undang.
b. Melawan hukum secara materil, yaitu perbuatan melawan hukum
dalam lapangan pidana terhadap perbuatan yang tidak tegas dilarang
dan diancam dengan sanksi yang diatur dalam undang-undang. Akan
tetapi bertentangan dengan asas-asas umum yang terdapat di dalam
lapangan hukum.
Penjelasan lebih lanjut mengenai perbuatan yang dikategorikan
melawan hukum dalam lapangan hukum pidana dikelompokan dalam 4
macam, (Wibowo & Nurhayati, 2015) yaitu :
1. Perbuatan melawan hukum yang memenuhi persyaratan rumusan
pengertian tindak pidana (sifat melawan hukum umum).
2. Perbuatan melawan hukum yang memenuhi persyaratan rumusan pasal
dalam suatu tindak pidana ( sifat melawan hukum khusus).
3. Perbuatan melawan hukum yang semua unsur-unsur tindak pidana
terpenuhi oleh pelaku tindak pidana (sifat melawan hukum formal).
4. Perbuatan melawan hukum yang meskipun tidak memenuhi sesuai
memenuhi persyaratan rumusan pasal dalam suatu tindak pidana, akan
tetapi bententangan dengan keadilan masyarakat atau kaidah-kaidah
social dalam masyarakat, maka dikategorikan sifat melawan hukum
(sifat melawan hukum positif).
Sebaliknya apabila Perbuatan melawan hukum yang meskipun
memenuhi sesuai memenuhi persyaratan rumusan pasal dalam suatu tindak
pidana, akan tetapi tidak bertentangan dengan keadilan masyarakat atau

15 | H . P E R I K A T A N
kaidah-kaidah sosial dalam masyarakat, maka dikategorikan sifat melawan
hukumnya ditiadakan ( sifat melawan hukum negatif).Namun kegiatan
perbuatan melawan hukum secara positif ini tidak dianut dalam hukum
pidana Indonesia karena bertentangan dengan asas kepastian hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
yang berbunyi “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”.
Ajaran hukum perdata memberi petunjuk bahwa timbulnya hak
menuntut kerugian dari fihak yang dirugikan kepada fihak yang merugikan
bersumber pada "perikatan” yang timbul antara fihak yang dirugikan kepada
fihak yang merugikan, yang didasarkan pada “undang-undang” yang
memberikan status hukum perikatan dalam hubungan hukum antara fihak
yang dirugikan dengan fihak yang merugikan dalam perbuatan hukum
tersebut. Hubungan hukum dimaksud adalah hubungan antara satu fihak
dengan fihak lainnya yangdiberi akibat oleh hukum atau dengan kata lain
kedua belah fihak dibebankan hak dan kewajiban.
Perbuatan melawan hukum dalam konteks tulisan ini, perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh perusahaan sebagai subyek hukum.
Subyek Hukum diartikan “ sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang
untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan
cakap untuk bertindak dalam hukum.” Atau “subyek hukum adalah segala
sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban”.(R.Soeroso,
2006) :
1. Natuurlijk person , yang merupakanorang atau manusia secara pribadi.
2. Rechtperson, yang merupakan badan hukum, yang terbagi dalam dua
kelompok, yaitu : Badan hukum publik (melayani kepentingan umum,
seperti pemerintah ) dan badan hukum privat ( seperti badan-badan
usaha).
Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan
onrechmatige daad dan dalam bahasa Inggris disebut tort. Kata tort itu
sendiri sebenarnya hanya berarti salah (wrong). Akan tetapi, khususnya

16 | H . P E R I K A T A N
dalam bidang hukum, kata tort itu sendiri berkembang sedemikian rupa
sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi
dalam suatu perjanjian. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan
hukum disebut onrechmatige daad dalam sistim hukum Belanda atau di
negara-negara Eropa Kontinental lainnya Kata ” tort ” berasal dari kata latin
” torquere ” atau ” tortus ” dalam bahasa Perancis, seperti kata ” wrong ”
berasal dari kata Perancis ” wrung ” yang berarti kesalahan atau kerugian
(injury). Sehingga pada prinsipnya, tujuan dibentuknya suatu sistim hukum
yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum ini adalah untuk
dapat mencapai seperti apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin,
yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere, suum
cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak
merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya).
Perbuatan Melawan Hukum terdapat pada Pasal 1365 KUH Perdata
yang menyatakan : “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Para pihak yang
melakukan perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek hukum yaitu bisa
manusia sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai subjek
hukum.
Menurut R. Wirjono Prodjodikoro istilah “perbuatan melanggar
hukum” adalah agak sempit, karena yang dimaksudkan dengan istilah ini
tidak hanya perbuatan yang langsung melanggar hukum, melainkan juga
perbuatan yang secara langsung melanggar peraturan lain daripada hukum,
akan tetapi dapat dikatakan secara tidak langsung melanggar hukum.
Pasal 1365 KUH Perdata tidaklah memberikan perumusan perbuatan
melawan hukum, melainkan hanya mengatur seseorang yang apabila
mengalami kerugian karena perbuatan melanggar hukum, yang dilakukan
oleh orang lain terhadap dirinya, akan mengajukan tuntutan ganti kerugian
pada Pengadilan Negeri dengan sukses.
Pengertian perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal
1365, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat 2 ajaran, yakni :

17 | H . P E R I K A T A N
A. Ajaran Sempit
Perumusan perbuatan melawan hukum menurut ajaran sempit yakni,
suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau
bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri dari yang berbuat dan
hal itu harus berdasarkan Undang-Undang. Jadi melawan hukum adalah
sama dengan melawan undang undang. Pengertian perbuatan melawan
hukum menurut ajaran sempit ini dianut oleh Hoge Raad sebelum tahun
1919, tepatnya sebelum adanya Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919.
B. Ajaran Luas
Perumusan perbuatan melawan hukum menurut ajaran luas yakni,
berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau
bertentangan dengan sikap hati-hati yang sebagaimana patutnya dalam
pergaulan masyarakat terhadap orang atau barang orang lain.

Bahwa perbuatan melawan hukum dalam arti luas dirumuskan kembali


oleh Prof Rosa Agustina yang dapat berarti :

1. Melanggar hak subyektif orang lain, berarti melanggar wewenang khusus


yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Yurisprudensi memberi arti
subyektif sebagai berikut :
1) Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik;
2) Hak atas harta kekayaan, hak kebendaan dan hak mutlak lainnya
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku.kewajiban hukum diartikan
sebagai kewajiban yang berdasarkan hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis (termasuk dalam arti ini adalah perbuatan pidana pencurian,
penggelapan, penipuan dan pengrusakan)
3. Bertentangan dengan kaedah kesusilaan, yaitu bertentangan dengan norma-
norma moral, sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui sebagai
norma hukum. Utrecht menulis bahwa yang dimaksud dengan kesusilaan
ialah semua norma yang ada di dalam kemasyarakatan, yang tidak
merupakan hukum, kebiasaan atau agama
Bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas
masyarakat terhadap diri dan orang lain. Dalam hal ini harus

18 | H . P E R I K A T A N
dipertimbangkan kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain dan
mengikuti apa yang menurut masyarakat patut dan layak, menurut
R.Setiawan yang termasuk bertentangan dengan kepatutan adalah
perbuatan yang merugian oran lain tanpa kepentingan yang layak,
perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain,
berdasarkan pemikiran yang normal perlu diperhatikan
Bahwa perbuatan melawan hukum awalnya diartikan perbuatan
yang bertentangan dengan undang-undang saja, namun sejak tahun 1919
setelah perkara lindenbaum melawan cohen oleh hoge raad (MA
Belanda) mengeluarkan Arrest tanggal 31 Januari 1919 dimana
perumusan perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas tidak saja
bertentangan dengan undang-undang tetapi juga Melawan Hukum adalah
perbuatan yang bertentangan dengan hak subyektif orang lain dan
berlawanan dengan kewajiban dari yang berbuat, melanggar kaedah
kesusilaan dan melanggar kepatutan dalam masyarakat Hak subyektif dan
kewajiban hukum itu harus berdasarkan Undang-undang

Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti yang luas ini


dianut dan diterapkan setelah adanya Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919
dan berlaku sampai sekarang ini.
Dengan adanya Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 sebagaimana
tersebut di atas, maka pengertian perbuatan melawan hukum tidak ada
lagi perbedaan pengertian dikalangan ahli hukum. Penafsiran pengertian
perbuatan melawan hukum menurut ajaran luas inilah yang dianut dan
diikuti oleh pengadilan di seluruh Indonesia sekarang ini.
Mengingat akan sejarah terbentuknya Burgerlijk Wetboek (B.W.)
Belanda, yang dinyatakan mulai berlaku sejak tahun 1838, maka bilamana
pasal 1401 B.W. Belanda tersebut sudah tidak memuat perumusan
perbuatan melawan hukum tidaklah akan timbul kesulitan dalam
memutuskan perkara-perkara penuntutan ganti kerugian, yang diajukan
pada sebelum tahun 1919.

19 | H . P E R I K A T A N
Kalau ketentuan dari Pasal 1365 KUH Perdata tersebut diteliti
kembali, Maka nampaklah bahwa ketentuan tersebut dimulai dengan kata-
kata “Onrechtmatige daad”, dengan penggunaan istilah mana orang sudah
dianggap mengetahui, apakah yang dimaksud dengan onrechtmatige
daad itu. Dalam Pasal 1365 KUH Perdata memuat ketentuan sebagai
berikut :
Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada
orang lain, mewajibakan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, menggantikan kekeliuran tersebut.

B. Syarat dan Unsur Perbuatan Melawan Hukum


Dalam 1365 KUH Perdata dapat dilihat bahwa suatu perbuatan
melanggar hukum apabila dari perbuatannya itu menimbulkan kerugian pada
orang lain dan dalam melakukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan
hukum dipenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur :

1. Harus ada perbuatan melawan hukum


Pasal 1365 KUH Perdata berbicara tentang perbuatan positif, sedang
Pasal 1366 KUH Perdata tentang kelalaian atau tidak hati-hati. Antara
perbuatan positif dan kelainan adalah lawan kata yang tidak
murni.Sebenarnya lawan dari perbuatan positif adalah kata yang tidak
berbuat (negatif).
Perbuatan tersebut harus melanggar hak subyektif orang lain atau
bertentangan dengan kewajiban hukum dari pembuat sendiri, yang telah
diatur dalam undang-undang atau dengan perkataan lain melawan hukum
ditafsirkan sebagai melawan undang-undang.
Prinsipnya tentang unsur yang pertama ini telah dikemukakan di dalam
sub bab di atas, yaitu di dalam syarat-syarat perbuatan melawan hukum.
Dalam unsur pertama ini, sebenarnya terdapat dua pengertian, yaitu
"perbuatan" dan "melawan hukum". Namun keduanya saling berkaitan
antara satu dengan yang lainnya. Keterkaitan ini dapat dibuktikan dengan
dua cara, yaitu dengan cara penafsiran bahasa, melawan hukum
menerangkan sifatnya dari perbuatan itu dengan kata lain "melawan hukum"

20 | H . P E R I K A T A N
merupakan kata sifat, sedangkan "perbuatan" merupakan kata kerja.
Sehingga dengan adanya suatu "perbuatan"yang sifatnya "melawan hukum",
maka terciptalah kalimat yang menyatakan "perbuatan melawan hukum".
Kemudian dengan cara penafsiran hukum. Cara penafsiran hukum ini
terhadap kedua pengertian tersebut, yaitu "perbuatan", untuk jelasnya telah
diuraikan di dalam sub bab di atas, baik dalam arti sempit maupun dalam arti
luas. Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti sempit, hanya
meliputi hak orang lain, dan kewajiban si pembuat yang bertentangan atau
hanya melanggar hukum/undang-undang saja. Pendapat ini dikemukakan
sebelum adanya arrest Hoge Raad Tahun 1919. Sedangkan dalam arti luas,
telah meliputi kesusilaan dan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas
masyarakat terhadap diri dan barang-barang orang lain. Pendapat ini
dikemukakan setelah pada waktu arrest Hoge Raad Tahun 1919 digunakan.
Manakala pelaku tidak melaksanakan apa yang diwajibkan oleh
undang-undang, ketertiban umum dan atau kesusilaan, maka perbuatan
pelaku dalam hal ini dianggap telah melanggar hukum, sehingga mempunyai
konsekuensi tersendiri yang dapat dituntut oleh pihak lain yang merasa
dirugikan

2. Harus ada kesalahan


Pengertian kesalahan disini menurut pendapat umum telah
diobyektifkan sedemikian rupa hingga dipergunakan ukuran umum yaitu
apakah manusia normal dalam keadaan demikian perbuatannya dianggap
salah atau dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hal ini orang itu dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya
namun karena ada keadaan memaksa maka tidak ada kesalahan.
Kesalahan sendiri dari yang dirugikan ia dapat dibebani sebagian dari
kerugian itu, keculai apabila perbuatan yang melawan hukum itu
dilakukan secara sengaja, maka pembebanan sebagian dari kerugian
kepada yang dirugikan itu adalah tidak beralasan.Hendaknya dibedakan
antara alasan yang membenarkan(rechtvaardigingsgrond) dengan
meniadakan unsur kesalahan (schulduitsluitingsgrond). Dalam hal yang

21 | H . P E R I K A T A N
pertama perbuatan melawan hukum kehilangan sifat melawan hukumnya
misalnya, keadaan memaksa, keadaan darurat, ketentuan undang-undang
dan perintah penguasa.
Kesalahan dalam uraian ini, ialah perbuatan yang disengaja atau
lalai Melakukan suatu perbuatan atau yang perbuatan itu melawan hukum
(onrechtmatigedaad). Menurut hukum perdata, seseorang itu dikatakan
bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah
melakukan/tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya
dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan itu
tidak terlepas dari pada dapat atau tidaknya hal-hal itu dikira-dira. Dapat
dikira-kira itu harus diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat
mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu perbuatan seharusnya
dilakukan/tidak di lakukan.
Berdasarkan pendapat di atas, berarti perbuatan melawanhukum
ituadalah perbuatan yang sengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan.
Kesalahan dalam unsur ini merupakan suatu perbuatan yang dapat
dikirakira/diperhitungkan oleh pikiran manusia yang normal sebagai
tindakanyang dilakukan atau tidak dilakukannya perbuatan itu. Dengan
demikian, melakukan atau tidak melakukan dapat dikategorikan ke dalam
bentuk kesalahan. Pendapat di atas dapat dimaklumi, karena sifat dari
hukum adalah mengatur, yang berarti ada larangan dan ada suruhan. Jika
seseorang melakukansuatuperbuatan,perbuatan mana dilarang oleh
undang-undang, maka orang tersebutdinyatakan telahbersalah.Kemudian
jika seseorang tidak melakukan perbuatan, sementaraperbuatan itu
merupakan perintah yang harus dilakukan, maka orang tersebut dapat
dikatakan telah bersalah. Inilah pengertian kesalahan dari maksud
pernyataan di atas.
Kemudian ada pendapat lain yang menyatakan bahwa "kesalahan itu
dapat terjadi, karena : disengaja dan tidak disengaja". Tentunya yang
dimaksud dengan disengaja dan tidak disengaja dalam pernyataan di atas
adalah dalam hal perbuatan. Apakah perbuatan itu disengaja atau
perbuatan itu tidak disengaja. Tentang disengaja dan tidak disengaja

22 | H . P E R I K A T A N
berarti kesalahan itu dapat terjadi dan dilakukan akibat dari suatu
kelalaian. Jika kelalaian dapat dianggap suatu unsur dari kesalahan, maka
menurut pandangan hukum, kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak
pernah luput dari kesalahan dan kesilapan, merupakan satu pedoman
dasar di dalam menentukan bahwa perbuatan itu termasuk ke dalam suatu
perbuatan yang melawan hukum dan tidak dapat dipungkiri lagi. Tetapi di
dalam kenyataannya, kenapa masih banyak orang yang telah melakukan
perbuatan melawan hukum, dapat menghindari dirinyadari tuduhan dan
gugatan Tersebut dalam arti mengingkari perbuatan melawan hukum
yang ditunjukkan kepadanya. Perbuatanyang memangdisengaja,berarti
sudah ada niat dari pelakunya atau sipembuat. Tetapi jika perbuatan itu
tidak disengaja untuk dilakukan. Dalam arti unsur kesilapan, suatu
contoh dalam hal pembayaran harga barang dalam jual beli tanah yang
dilakukan si pembeli, apakah si pembeli dapat dikatakan telah
melakukan perbuatan Melawan hukum,
Menurut Pendapat diatas, seorangkasirpada
suatubank,yangsilapmelakukan perhitungan terhadap rekening si nasabah.
Apakah perbuatan si kasirtersebut dapat dikatakan sebagai suatu
kesalahan dan kepadanya dapatdigugatPasal 1365 KUHPerdata tersebut.

3. Adanya kerugian bagi korban. Yang dimaksud dengan kerugian,


terdiri dari kerugian materil dan kerugian immateril. Akibat suatu
perbuatan melanggar hukum harus timbul adanya kerugian di pihak
korban, sehingga membuktikan adanya suatu perbuatan yang melanggar
hukum secara luas

4. Harus ada hubungan sebab dan akibat


Adanya hubungan sebab dan akibat antara perbuatan dan kerugian.
Hubungan kausal merupakan salah satu ciri pokok dari adanya suatu
perbuatan melanggar hukum. Perbuatan melanggar hukum dalam hal ini
harus dilihat secara materiil. Dikatakan materiil karena sifat perbuatan

23 | H . P E R I K A T A N
melanggar hukum dalam hal ini harus dilihat sebagai suatu kesatuan
tentang akibat yang ditimbulkan olehnya terhadap diri pihak korban.
Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori
hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat
(causation in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau apa yang
secara faktual telah terjadi. Sedangkan teori penyebab kira-kira adalah
lebih menekankan pada apa yang menyebabkan timbulnya kerugian
terhadap korban, apakah perbuatan pelaku atau perbuatan lain yang justru
bukan dikarenakan bukan suatu perbuatan melanggar hukum. Namun
dengan adanya suatu kerugian, maka yang perlu dibuktikan adalah
hubungan antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang
ditimbulkan Untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti
umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut.Untuk itu,
pada azasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam
keadaan seperti keadaan, jika tidak terjadi perbuatan melawan hukum.
Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi, tidak hanya kerugian
yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan, akan tetapi juga apa
yang ia akan derita pada waktu yang akan datang. Pihak yang dirugikan
berkewajiban untuk membatasi kerugian, selama ha ltersebut
dimungkinkan dan selayaknya dapat diharapkan dari padanya.
Hubungan kausalitas tersebut terdiri dari beberapa sebab yang
merupakan peristiwa, sehingga kerugian bukan hanya disebabkan adanya
perbuatan, tetapi terdiri dari beberapa syarat dari perbuatan. Hal ini
sesuai dengan pendapat atau teori yang dikemukakan oleh Von Buri, yaitu
: Harus dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua
syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat. Karena dengan
hilangnya salah satu syarat tersebut, akibatnya tidak akan terjadi dan oleh
sebab tiap-tiap syarat-syarat tersebut conditio sine qua non untuk
timbulnya akibat, maka setiap syarat dengan sendirinya dapat dinamakan
sebab.

24 | H . P E R I K A T A N
Hubungan kausalitas yang merupakan salah satu unsur dari
perbuatan melawan hukum dapat dikatakan bahwa kerugian itu timbul
disebabkan adanya perbuatan yang sifatnya melawan hukum.
Marheinis Abdulhay Menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan
melawan hukum itu adalah : Dari pengertian Pasal 1365 KUH. Perdata
tersebut dapat ditarik beberapa unsur perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad), yaitu : Perbuatan, melanggar, kesalahan, kerugian.
Tidak termasuknya hubungan kausalitas tersebut ke dalam unsur-
unsur perbuatanmelawan hukum disebabkan tidak terdapatnya hubungan
kausalitas tersebut di dalam pengertian Pasal 1365 KUHPerdata, sehingga
sarjana tersebut hanya melihat hal-hal yang jelas dan nyata saja dari
bunyi Pasal tersebut, dalam arti ia hanya melihat hal-hal yang
tersurat. Sedangkan hubungan kausalitas menurut pendapat sarjana yang
lain, itu merupakan hal yang tersirat. Sehingga tidak perlu disebutkan
sebagai salah satu unsur. Selain itu, kelihatannya unsur-unsur perbuatan
melawan hukum yang dikemukakan oleh Marheinis Abdulhay ini jelas
sederhana jika dibandingkan dengan unsur-unsur yang dikemukakan oleh
sarjana yang lain. Namun demikian secara kenyataannya, unsur-unsur
perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh para sarjana di atas
mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu memberi penjelasan
dan penegasan terhadap kriteria-kriteria dari suatu perbuatan yang
melawan hukum, dengan kata lain, unsur manapun yang digunakan dan
ditetapkan, tujuannya tetap menerangkan bahwa perbuatan itu
merupakan perbuatan melawan hukum.

3. Harus ada kerugian


Pengganti kerugian karena perbuatan melawan hukum tidak diatur
oleh undang-undang, oleh karena itu pengganti kerugiannya diterapkan
peraturan pengganti kerugian karena wanprestasi secara
analogis.Kerugian yang timbul dari perbuatan melawan hukum dapat
merupakan kerugian harta kekayan (material) tetapi dapat bersifat idiil
(immaterial). Namun ada kekhawatiran bahwa dengan penafsiran

25 | H . P E R I K A T A N
perbuatan melawan hukum secara luas ini akan membawa ketidakpastian
hukum, meskipun kekhawatiran itu dianggap tidak beralasan, justru
pendapat-pendapat yang modern meletakkan kepada hakim syarat-syarat
lebih tinggi dari pada ajaran yang dahulu dan ini juga berlaku bagi semua
lapangan hukum.
Untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya
harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut.Untuk itu, pada
azasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam
keadaan seperti keadaan, jika tidak terjadi perbuatan melawan hukum.
Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi, tidak hanya kerugian
yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan, akan tetapi juga apa
yang ia akan derita pada waktu yang akan datang. Pihak yang dirugikan
berkewajiban untuk membatasi kerugian, selama hal tersebut
dimungkinkan dan selayaknya dapat diharapkan dari padanya.
Menurut Ares 1919 (Keputusan Mahkamah Agung Belanda) bahwa
berbuat atau tidak berbuat merupakan suatu perbuatan melawan hukum
jika :
a.Melanggar hak orang lain atau Yang dimaksud dengan melanggar hak
orang lain adalah melanggar hak subyektif orang lain. Sulit untuk
mendefinisikan hak subyektif. Akan tetapi dapat dijelaskan sebagai
wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada orang
Seseorang untuk digunakan bagi kepentingannya.
b. Bertentangan dengan Kewajiban hukum dari si pembuat,
atau Kewajiban Hokum diartikan Sebagai kewajiban yang
didasarkan pada hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis . dan dalam hal perbuatan melawan hukum, yang dimaksud
dengan kewajiban hukum adalah kewajiban menurut undang-
undang. Termasuk dalam kategori ini adalah perbuatan-perbuatan
pidana, yaitu pencurian, penggeelapan, penipuan dan perusakan.
c.Bertentangan dengan kesusilaan, atau Sulit untuk memberikan
pengertian tentang kesusilaan. Walaupun demikian dapat dejelaskan

26 | H . P E R I K A T A N
sebagai norma-norma moral sepanjang dalam kehidupan masyarakat
diakui sebagai norma-norma hukum.
d. Bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam Lalu lintas
masyarakat Terhadap diri Atau barang orang lain.

Pendapat yang dikemukakan oleh R. Suryatin, yang mengatakan :


Pasal 1365 memuat beberapa unsur yang harus dipenuhinya, agar supaya
dapat menentukan adanya suatu perbuatan melanggar hukum. Unsur
pertama adalah perbuatan itu harus melanggar undang-undang. Perbuatan
itu menimbulkan kerugian (unsur kedua), sehingga antara perbuatan dan
akibat harus ada sebab musabab. Unsur ketiga ialah harus ada kesalahan
di pihak yang berbuat.Menurut pernyataan di atas unsur dari perbuatan
melawan hukum ituadalah sebagai berikut :

1) Perbuatan itu harus melanggar undang-undang.


2) Perbuatan itu mengakibatkan kerugian, sehingga antara perbuatan
dan akibat harus ada sebab musabab.
3) Harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.
Undang-undang tidak hanya menjelaskannya tentang ukurannya dan
yang termasuk kerugian itu. Undang-undang hanya menyebutkan sifat
dari kerugian tersebut, yaitu materiil dan imateriil. “Kerugian ini dapat
bersifat kerugian materil dan kerugian inmateril, Apa ukurannya, apa
yang termasuk kerugian itu, tidak ada ditentukan lebih lanjut dalam
undang-undang sehubungan dengan perbuatan melawan hukum”.
Dengan pernyataan di atas, bagaimana caranya untuk menentukan
kerugian yang timbul akibat adanya perbuatan melawan hukum tersebut.
Karena undang-undang sendiri tidak ada menentukan tentang ukurannya
dan apa saja Yang termasuk kerugian tersebut. Undang-undang hanya
menentukan sifatnya, yaitu materil dan inmateril.
. Akibat hukum yang timbul dari perbuatan melawan hukum.
Akibat perbuatan melawan hukum diatur pada Pasal 1365 sampai dengan 1367
KUHPerdata sebagai berikut:
Menurut Pasal 1365 KUHPerdata dikutip bunyinya:

27 | H . P E R I K A T A N
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti
kerugian.
Sedangkan Pasal 1366 KUHPerdata, menyebutkan:
Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang diesbabkan karena kelalaian
atau kurang hati-hatinya.
Lebih lanjut, Pasal 1367 KUHPerdata, menyebutkan:
Seorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-
orang yang berada di bawah pengawasannya … dst.
Berdasarkan kutipan Pasal tersebut di atas, secara umum memberikan
gambaran mengenai batasan ruang lingkup akibat dari suatu perbuatan melawan
hukum. Akibat perbuatan melawan hukum secara yuridis mempunyai konsekuensi
terhadap pelaku maupun orang-orang yang mempunyai hubungan hukum dalam
bentuk pekerjaan yang menyebabkan timbulnya perbuatan melanggar hukum.
Jadi, akibat yang timbul dari suatu perbuatan melanggar hukum akan diwujudkan
dalam bentuk ganti kerugian terehadap korban yang mengalami.
Penggantian kerugian sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum,
sebagaimana telah disinggung diatas, dapat berupa penggantian kerugian materiil
dan immateriil. Lajimnya, dalam praktek penggantian kerugian dihitung dengan
uang, atau disetarakan dengan uang disamping adanya tuntutan penggantian benda
atau barang-barang yang dianggap telah mengalami kerusakan/perampasan
sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum pelaku.
Jika mencermati perumusan ketentuan pasla 1365 KUHPerdata, secara
limitatif menganut asas hukum bahwa penggantian kerugian dalam hal terjadinya
suatu perbuatan melawan hukum bersifat wajib. Secara teoritis penggantian
kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan melawan hukum diklasifikasikan ke
dalam dua bagian, yaitu: kerugian yang bersifat actual (actual loss) dan kerugian
yang akan datang.

28 | H . P E R I K A T A N
Dikatakan kerugian yang bersifat actual adalah kerugian yang
mudah dilihat secara nyata atau fisik, baik yang bersifat materiil dan
immateriil. Kerugian ini didasarkan pada hal-hal kongkrit yang timbul
sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pelaku. Sedangkan
kerugian yang bersifat dimasa mendatang adalah kerugian-kerugian yang
dapat diperkirakan akan timbul dimasa mendatang akibat adanya
perbuatan melanggar hukum dari pihak pelaku. Kerugian ini seperti
pengajuan tuntutan pemulihan nama baik melalui pengumuman di media
cetak dan atau elektronik terhadap pelaku. Ganti kerugian dimasa
mendatang ini haruslah didasarkan pula pada kerugian yang sejatinya
dapat dibayangkan dimasa mendatang dan akan terjadi secara nyata

Termasuk kerugian yang bersifat materil dan inmateril ini adalah :


1. Materil, maksudnya bersifat kebendaan (zakelijk).
Contohnya : Kerugian karena kerusakan tubrukan mobil, rusaknya
rumah, hilangnya keuntungan, keluarnya ongkos barang dan
sebagainya.
2. Immateril, maksudnya bersifat tidak kebendaan. Contohnya :
Dirugikan nama baik seseorang, harga diri, hilangnya kepercayaan
orang lain, membuang sampah (kotoran) di pekarangan orang lain
hingga udara tidak segar pada orang itu atau polusi, pencemaran
lingkungan, hilangnya langganan dalam perdagangan.

Berdasarkan pernyataan di atas, apakah contoh-contoh tersebut telah


memenuhi ukuran dari kerugian yang disebabkan oleh perbuatanmelawan
hukum. Hal ini dapat saja terjadi, karena undang-undang itu sendiri tidak
ada mengaturnya. Namun demikian bukan berarti orang yang dirugikan
tersebut dapat menuntut kerugian orang lain tersebut sesuka hatinya.
Karena ada pendapat yang mengatakan :
Hoge Raad berulang-ulang telah memutuskan, bahwa kerugian yang
timbul karena perbuatan melawan hukum, ketentuannya sama dengan
ketentuan yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian (Pasal 1246-

29 | H . P E R I K A T A N
1248), walaupun ketentuan tersebut tidak dapat langsung diterapkan.
Akan tetapi jika penerapan itu dilakukan secara analogis, masih dapat
diperkenankan.
Dalam praktek hukumnya, pernyataan di atas dapat dibuktikan
kebenarannya, bahwa secara umum pihak yang dirugikan selalu
mendapat ganti kerugian dari si pembuat perbuatan melawan hukum,
tidak hanya kerugian yang nyata saja, tetapi keuntungan yang seharusnya
diperoleh juga diterimanya. Dengan demikian, kerugian yang dimaksud
padaunsur kedua ini, dalam prakteknya dapat diterapkan ketentuan
kerugian yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian. Walaupun
penerapan ini hanya bersifat analogi. Namun tidak menutup
kemungkinan terlaksananya penerapan ketentuan tersebut terhadap
perbuatan melawan hukum. Alasannya, karena tidak adanya pengaturan
lebih lanjut dari Undang-undang tentang hal tersebut, sehingga masalah
ini dapat merupakan salah satu masalah pengembangan hukum perdata,
yang layak untuk diteliti.

C. Subjek Perbuatan Melawan Hukum


Menurut Marheinis Abdulhay bahwa "yang dinyatakan bersalah
adalah subjek hukum atau orang (person), karena subjek diakui
mempunyai hak dan subjek, dalam kamus istilah hukum adalah pokok,
subjek dari hubungan hukum, orang pribadi atau badan hukum yang
dalam kedudukan demikian berwenang melakukan tindakan hukum".
Berarti yang termasuk dikatakan atau digolongkan sebagai subjek dalam
pandangan hukum adalah orang pribadi dan badan hukum. Kemudian
yang dimaksud dengan subjek hukum adalah orang pribadi atau badan
hukum yang dalam kedudukannya sebagai subjek mempunyai
wewenang untuk melakukan tindakan hukum. Dengan demikian yang
termasuk subjek perbuatan melawan hukum adalah orang pribadi atau
badan hukum yang telah melakukan tindakan atau perbuatan yang
sifatnya melawan hukum.
Tentang perbuatan melawan hukum tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa tanggung jawab karena perbuatan melawan hukum,

30 | H . P E R I K A T A N
adalah merupakan tanggung jawab karena adanya kesalahan dari subyek
hukum yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Dari kesalahan
yang merugikan pihak lain tersebut, maka timbul pertanggung jawaban
dari subyek hukum yang bersangkutan atas kesalahannya, sehingga ia
harus mengganti kerugian yang ditimbulkan perbuatannya. Di dalam
hukum perdata pertanggung jawaban kesalahan dapat meliputi ;
a. Setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi pihak lain,
maka harus ada ganti kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan itu
(Pasal 1365 KUH Perdata)
b. Seseorang tidak hanya bertanggung jawab terhadap kerugian yang
diakibatkan dari perbuatan yang disengaja, tetapi juga harus
bertanggung jawab karena kelalaiannya/sikap kurang hati-hati
(Pasal 1366 KUH Perdata)
Di dalam lingkup hukum perdata, seseorang atau badan hukum,
tidak hanya bertanggung jawab karena perbuatan orang lain yang
menjadi tanggungannya dan benda yang berada dalam pengawasannya
(Pasal 1367 KUH Perdata)
Di dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum suatu
tanggung jawab atau kewajiban untuk membayar ganti rugi adalah
bilamana ada kesalahan atau seseorang telah bersalah baik karena
kesengajaan maupun karena kelalaian/kealpaan, namun disamping itu
dikenal pula dalam hukum apa yang dinamakan dengan tanggung jawab
“mutlak” atau strict liability yang menganut prinsip menyimpang dari
Pasal 1365 KUH Perdata yaitu liability based on fault, meskipun pada
dasarnya gagasan dari tanggung jawab mutlak ini secara umum tidak
jauh berbeda dengan gagasan tanggung jawab sebagaimana diatur di
dalam Pasal 1365 KUH Perdata penyimpangan ini terletak pada saat
pemberian ganti rugi diperoleh dari pelaku dan beban pembuktian ada
pada orang yang merasa dirugikan.
Tanggung jawab mutlak atau pertanggungjawaban tanpa
kesalahan adalah suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada
pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang

31 | H . P E R I K A T A N
bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur
kesalahan atau tidak dan si pelaku dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Adapun di dalam prinsip
tanggung jawab mutlak yang diutamakan adalah fakta kejadian oleh
korban dan tanggung jawab oleh orang yang diduga sebagai pelaku
dimana kepadanya tidak diberikan hak untuk membuktikan tidak
bersalah.
Adapun prinsip tanggung jawab mutlak juga dikenal di dalam
KUH Perdata, yaitu pada Pasal 1368 mengenai tanggung jawab
terhadap kerugian yang disebabkan oleh binatang peliharannya serta; di
dalam Pasal 1369 tentang pertanggungjawaban pemilik gedung.
Seiring dengan perkembangan jaman, di Indonesia ajaran tentang
tanggung jawab mutlak ini digunakan di dalam perkara-perkara yang
menyangkut perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
dan masalah lingkungan hidup yang diatur di dalam Undang-Undang
No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hak-hak tertentu, baik mengenai hak-hak pribadi maupun
mengenai hak-hak kebendaan dan hukum akan melindungi dengan
sanksi tegas baik bagi pihak yang melanggar hak tersebut, yaitu
tanggungjawab membayar ganti rugi kepada pihak yang dilanggar
haknya. Dengan demikian setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian
pada orang lain menimbulkan pertanggungjawaban. Pasal 1365 KUH
Perdata menyatakan :“ Tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Ketentuan Pasal 1366 KUH Perdata menyatakan : “ Setiap orang
bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena
kelalaiannya atau kurang hati-hatinya”.
Ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut di atas mengatur
pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh adanya perbuatan melawan

32 | H . P E R I K A T A N
hukum baik karena berbuat (positip = culpa in commitendo) atau karena
tidak berbuat (pasif = culpa in ommitendo). Sedangkan Pasal 1366
KUH Perdata lebih mengarah pada tuntutan pertanggung-jawaban yang
diakibatkan oleh kesalahan karena kelalaian (onrechtmatigenalaten).
Orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, karena orang yang tidak
tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi. Sehubungan
dengan kesalahan in terdapat dua kemungkinan :
a. Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap
timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa jika orang yang
dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian,maka sebagian
dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya kecuali jika
perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan sengaja.
b. Kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat. Jika kerugian itu
ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang maka terhadap
masing-masing orang yang bertanggung jawab atas terjadinya
perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata membagi masalah
pertanggungjawaban terhadap perbuatan melawan hukum menjadi
2 golongan, yaitu:
1) Tanggung jawab langsung
Hal ini diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Dengan
adanya interprestasi yang luas sejak tahun 1919 (Arest
Lindenbaun vs Cohen) dari Pasal 1365 KUH Perdata ini, maka
banyak hal-hal yang dulunya tidak dapat dituntut atau dikenakan
sanksi atau hukuman, kini terhadap pelaku dapat dimintakan
pertanggung jawaban untuk membayar ganti rugi.
2) Tanggung jawab tidak langsung
Menurut Pasal 1367 KUH Perdata, seorang subjek hukum
tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum
yang dilakukannya saja, tetapi juga untuk perbuatan yang
dilakukan oleh orang lain yang menjadi tanggungan dan barang-

33 | H . P E R I K A T A N
barang yang berada di bawah pengawasannya. Tanggung jawab
atas akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan melawan hukum
dalam hukum perdata, pertanggung jawabannya selain terletak
pada pelakunya sendiri juga dapat dialihkan pada pihak lain atau
kepada negara, tergantung siapa yang melakukannya. Adanya
kemungkinan pengalihan tanggung jawab tersebut disebabkan
oleh dua hal:
a.Perihal pengawasan
Adakalanya seorang dalam pergaulan hidup bermasyarakat
menurut hukum berada di bawah tanggung jawab dan
pengawasan orang lain. Adapun orang-orang yang
bertanggung jawab untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang
lain menurut Pasal 1367 KUH Perdata adalah sebagai berikut:
1) Orang tua atau wali, bertanggung jawab atas pengawasan
terhadap anak-anaknya yang belum dewasa
2) Seorang curator, dalam hal curatele, bertanggung jawab atas
pengawasan terhadap curandus
3) Guru, bertanggung jawab atas pengawasan murid sekolah
yang berada dalam lingkungan pengajarannya.
4) Majikan, bertanggung jawab atas pengawasan terhadap
buruhnya
5) Penyuruh (lasgever), bertanggung jawab atas pengawasan
terhadap pesuruhnya.
Terkait dengan hal ini pengawasan dapat dianggap
mempunyai untuk menjaga agar jangan sampai seorang yang
diawasi itu melakukan perbuatan melawan hukum. Pengawas
itu harus turut berusaha menghindarkan kegoncangan dalam
msyarakat, yang mungkin akan disebabkan oleh tingkah laku
orang yang diawasinya.
b. Pemberian kuasa dengan risiko ekonomi
Sering terjadi suatu pertimbangan tentang dirasakannya
adil dan patut untuk mempertanggungjawabkan seseorang atas

34 | H . P E R I K A T A N
perbuatan orang lain, terletak pada soal perekonomian, yaitu
jika pada kenyataannya orang yang melakukan perbuatan
melawan hukum itu ekonominya tidak begitu kuat. Hal ini
berdasarkan pertimbangan bahwa percuma saja jika orang
tersebut dipertanggungjawabkan, karena kekayaan harta
bendanya tidak cukup untuk menutupi kerugian yang
disebabkan olehnya dan yang diderita oleh orang lain.
Sehingga dalam hal ini yang mempertanggungjawabkan
perbuatannya adalah orang lain yang dianggap lebih mampu
untuk bertanggung jawab.
1. Pembelaan diri Terhadap Perbuatan Melawan Hukum
Adapun alasan yang Anda bisa gunakan untuk membela diri bila dituduh atau
dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum, sebagai berikut:
1. Alasan-alasan untuk mengelak dari tuduhan perbuatan melawan hukum.
Bagi masyarakat Indonesia yang sangat beragam dan terdiri dari berbagai suku
bangsa serta adat kebiasaan, tentunya sangat mendambakan adanya ketenangan
dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu supremasi hukum merupakan hal
utama yang menjadi dambaan masyarakat, terutama untuk mengeliminasi
perbuatanperbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum/ melanggar
hukum telah diatur melalui KUH Perdata khususnya Pasal 1365 KUH Perdata
yang menyatakan:
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.1 Berdasarkan ketentuan Pasal
1365 KUH Perdata tersebut, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar
hukum yaitu perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang
karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Istilah “perbuatan
melawan hukum” ini, dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “onrechmatige
daad” atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “tort”. Kata tort itu sendiri
sebenarnya hanya berarti "salah" (wrong). Akan tetapi khususnya dalam bidang
hukum, kata tort itu berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan

1
Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Rineka Cipta, 2000, hal. 338.

35 | H . P E R I K A T A N
perdata yang bukan berasal dari wanprestasi kontrak. Jadi serupa dengan
pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dalam sistem hukum
Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya.2
Kata "tort" berasal dari kata latin "torquere" atau "tortus" dalam bahasa
Prancis, seperti kata "wrong" berasal dari kata Prancis "wrung" yang berarti
kesalahan atau kerugian (injury). Pada prinsipnya, tujuan dari dibentuknya suatu
sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum tersebut
adalah untuk dapat tercapai seperti apa yang disebut oleh peribahasa Latin, yaitu:
Juris praecepta sunt haec; honeste vivere, alterum non laedere, suum cuique
tribuere/Semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain
dan memberikan orang lain haknya.3
Istilah onrechtmatige daad dalam bahasa Belanda lazimnya mempunyai
arti yang sempit, yaitu arti yang dipakai dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan yang
hanya berhubungan dengan penafsiran dari pasal tersebut sedang kini istilah
perbuatan melanggar hukum ditujukan kepada hukum yang pada umumnya
berlaku di Indonesia. Meskipun pengaturan perbuatan melawan hukum dalam
KUH Perdata hanya dalam beberapa pasal saja, sebagaimana juga yang terjadi di
negara-negara yang menganut sistem eropa kontinental lainnya, tetapi kenyataan
di lapangan menunjukkan bahwa gugatan perdata yang ada di pengadilan
didominasi oleh gugatan perbuatan melawan hukum, di samping tentunya gugatan
wanprestasi kontrak. Karena itu, dapat dipahami betapa pentingnya diketahui
bagaimana pengaturan hukum dan teori-teori yuridis tentang perbuatan melawan
hukum ini, dan bagaimana prakteknya dalam kenyataannya, khususnya yang
terjadi di pengadilan.
Perbuatan melawan hukum di sini dimaksudkan adalah sebagai perbuatan
melawan hukum dalam bidang keperdataan. Sebab, untuk tindakan perbuatan
melawan hukum pidana (delik) atau yang diseut dengan istilah "perbuatan pidana"
mempunyai arti, konotasi dan pengaturan hukum yang berbeda sama sekali.
Demikian juga dengan perbuatan rnelawan hukum oleh penguasa negara atau
yang disebut dengan "onrechmatige overheidsdaad" juga memiliki arti, konotasi

2
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002, hal. 2
3
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, Sumur, Bandung, 1984, hal. 7.

36 | H . P E R I K A T A N
dan pengaturan hukum yang juga berbeda. Penggunaan istilah perbuatan melawan
hukum hanya dimaksudkan sebagai perbuatan melawan dalam bidang Hukum
Perdata saja.
Baru pada pertengahan abad ke-19, perbuatan melawan hukum mulai
diperhitungkan sebagai sebuah bidang hukum tersendiri. baik di negara-negara
Eropa Kontinental, misalnya di Belanda dengan istilah Onrechtmatige Daad, atau
di negara-negara Anglo Saxon, dengan istilah tort. 4 Dalam ilmu hukum dikenal 3
(tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:5
a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.
b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan
maupun kelalaian).
c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Jika ditilik dari model
pengaturan KUH Perdata Indonesia tentang perbuatan melawan hukum lainnya,
sebagaimana juga dengan KUH Perdata di negara-negara lain dalam sistem
hukum Eropa Kontinental, maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai
berikut:
a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian),
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Tanggung jawab dengan
unsur kesalahan,
b. khususnya unsur kelalaian, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366
KUH Perdata.
c. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat
terbatas ditemukan dalam Pasal 1367 KUH Perdata.
Bila kita melihat pendapat lain dari perbuatan melawan hukum, diuraikan
sebagai berikut:6 Ada juga yang mengartikan perbuatan melawan hukum sebagai
suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk rnengontrol atau
mengatur perilaku berbahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu

4
R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta,
1984, hal. 27.
5
Komar Andasasmita, Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, hal.
44.
6
Keeton, Page W., et al, Prosser and Keeton on Torts, St. Paul, Minesota, USA. West Publishing
Co. 1984, hal. 1.

37 | H . P E R I K A T A N
kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi
terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya hukum tentang
perbuatan melawan hukum merupakan suatu mesin yang sangat rumit yang
memproses pemindahan beban risiko dari pundak korban ke pundak pelaku
perbuatan tersebut. Namun begitu, dalam praktek ternyata mesin tersebut terlalu
rumit sehingga sering kali terasa berada jauh dari jangkauan keadilan.
Ketidaksenangan kepada hukum tentang perbuatan melawan hukum misalnya
terlihat dalam sindiran yang mengatakan bahwa ungkapan "Sue Thy Neighbour"
menjadi cara bagi orang hukum untuk menggantikan petuah lama berupa
ungkapan "Love Thy Neighbour". Bahkan karena begitu berkembangnya ajaran
yuridis tentang perbuatan melawan hukum di Amerika Serikat, sehingga menurut
suatu pengamatan disebutkan bahwa di Amerika Serikat orang saling gugat
sebanyak rata-rata 20 (dua puluh) kali lebih sering daripada yang dilakukan di
Jepang.
Pada pihak yang lain, pihak yang dituduh sebagai pelaku perbuatan
melawan hukum secara yuridis juga mempunyai berbagai alasan untuk mengelak
dari tuduhan perbuatan melawan hukum (defence) sehingga tidak terjerat dengan
Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum tersebut. Artinya,
menjaga agar perbuatan seseorang tetap berada di lapangan perbuatan sesuai
hukum, tidak masuk ke lapangan perbuatan yang melawan hukum.
Sebagian alasan untuk mengelak dari tuduhan perbuatan melawan hukum
tersebut adalah sama dengan alasan untuk mengelak dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud dalarn Kitab UndangUndang Hukum Pidana, seperti
keadaan memaksa (overmacht), membela diri (noodweer), dan lain-lain. Beberapa
pembelaan atau alasan bagi pihak yang dituduh sebagai pelaku perbuatan
melawan hukum untuk mengelak dari tuduhan tersebut adalah sebagai berikut:7
a. Ada hak pribadi sebagai dasar.
b. Pembelaan diri (noodweer).
c. Membela diri orang lain.

7
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002, hal. 148.

38 | H . P E R I K A T A N
d. Mempertahankan harta bendanya.
e. Menguasai kembali harta bendanya.
f. Masuk kembali ke tanah/rumahnya.
g. Menjalankan ketentuan hukum.
h. Melaksanakan disiplin.
i. Keadaan memaksa (overmacht).
j. Ada persetujuan korban.
k. Comparative negligence.
l. Contributory negligence.
m. Asumsi risiko oleh pihak korban.
n. Penyebab intervensi.
o. Kedaluwarsa.
p. Kekebalan (immunities).
q. Menjalankan perintah jabatan.
r. Perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak dan orang gila.
s. Tidak melakukan mitigasi kerugian.
t. Tidak memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum.
u. Tidak memenuhi persyaratan prosedural
Mengingat apabila terbukti bersalah maka pelaku yang melakukan
perbuatan melawan hukum dapat dikenakan hukuman berupa ganti rugi akibat
dari perbuatan yang dilakukannya, maka apabila pelaku merasa tidak bersalah
mak yang bersangkutan berhak untuk melakukan pembelaan. Hak untuk
melakukan pembelaan antara lain karena adanya alasan bahwa ada hak pribadi
sebagai dasar. Seseorang dapat mengelak dari suatu tuduhan perbuatan melawan
hukum dengan mengajukan alasan bahwa pribadi dia juga secara hukum berhak
untuk melakukan perbuatan tersebut. Sehingga karenanya, perbuatan tersebut
bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Misalnya, seseorang tidak boleh menyewakan rumah yang bukan miliknya
kepada orang lain dan kalau hal tersebut dilakukan, maka dia telah melakukan
perbuatan melawan hukum. Akan tetapi, pihak pelaku perbuatan tersebut (pihak
yang menyewakan) dapat mengajukan bantahan dengan menunjukkan perjanjian
sewa dengan pemilik rumah yang antara lain menyatakan bahwa dia berhak

39 | H . P E R I K A T A N
menyewakannya kembali (sublease) rumah tersebut kepada pihak lain, sehingga
dia hanya menjalankan haknya itu, jadi bukan melakukan suatu perbuatan
melawan hukum.
Alasan lainnya yaitu untuk melakukan pembelaan diri (noodweer). Sama
dengan yang berlaku terhadap suatu tindak pidana, maka terhadap perbuatan
melawan hukum, baik yang mengandung unsur kesengajaan atau hanya kelalaian,
juga berlaku alasan mengelak bagi pelaku berupa pembelaan diri. Bahkan
ketentuan di bidang Pidana dan Perdata juga hampir sama. Seorang dibebaskan
dari tuduhan perbuatan melawan hukum jika dia dapat membuktikan bahwa dia
melakukan perbuatan tersebut untuk membela diri (noodweer). Prinsip ini
menekankan jika ada seseorang yang mengambil barang bergerak dari kekuasaan
pihak yang menguasainya atau jika ada seseorang yang menyerobot tanah/rumah
yang dikuasainya, maka dia dapat membela harta bendanya itu dengan cara yang
sama seperti membela diri, tetapi tetap dengan syarat tidak melakukannya secara
berlebihan.
Membela harta benda termasuk juga menguasai kembali harta benda
(barang bergerak) yang telah lepas dari kekuasaannya. Jika seseorang dicurigai
oleh pemilik toko serba ada sebagai orang yang telah mencuri di toko tersebut,
maka pemilik toko dapat menggeledah dan mengambil langsung barangnya dari
pencuri tersebut. Bahkan, pemilik toko tidak dapat dipersalahkan jika kemudian
terbukti orang yang disangka pencuri tersebut tidak melakukan pencurian, asalkan
pemilik toko tersebut mempunyai alasan yang logis untuk percaya (reasonably
believe) bahwa orang tersebutlah yang mengambil barang dalam toko serba ada
tersebut.
Tindakan yang dilakukan yang tidak dikategorikan sebagai perbuatan
melwan hukum yaitu masuk kembali ke tanah/rumahnya. Sama dengan tindakan
menguasai kembali barang bergerak yang telah berpindah secara tidak sah ke
dalam kekuasaan orang lain. Menguasai kembali barang tidak bergerak (tanah dan
atau rumah) dapat juga dilakukan dan hal tersebut tidak dianggap sebagai
perbuatan rnelawan hukum. Misalnya, jika ada penyewa rumah yang sudah habis
masa sewa, tetapi pihak penyewa tidak mau meninggalkan rumah tersebut, maka

40 | H . P E R I K A T A N
pemilik rumah tersebut tentunya dapat masuk kembali ke rumahnya, asalkan tidak
sampai menimbulkan kegaduhan (breaking the peace).
Apabila diperbolehkan oleh perjanjian sewa untuk masuk dengan kekuatan
paksa, maka menggunakan kekuatan paksa tersebut cukup beralasan untuk
dilakukan, sejauh dilakukan secara layak dan tidak berlebihan. Akan tetapi, yang
perlu diingat bahwa tindakan untuk mengambil kembali harta bergerak maupun
harta tidak bergerak, tidaklah boleh sampai menimbulkan kegaduhan ataupun
sampai dianggap melakukan tindakan main hakim sendiri. Karena itu, jika ada
persengketaan, maka pengadilanlah yang berhak memutuskan. Menjalankan
ketentuan hukum juga dapat menjadi alasan untuk menghindar dari tuduhan
perbuatan melawan hukum. Jika polisi masuk ke rumah seseorang untuk
menangkap seorang pelaku perbuatan pidana dan penangkapan itu dilakukan
sesuai aturan yang berlaku, maka tindakan masuk ke rumah dan menangkap
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.

1. Persetujuan dari pihak korban dapat digunakan untuk menghindar


dari tuduhan perbuatan melawan hukum.
Persetujuan dari pihak korban (consent) juga merupakan alasan bagi
pelaku untuk mengelak dari tuduhan perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini
manakala pihak korban sudah setuju atas tindakan yang dilakukan oleh pelakunya,
dan perbuatan tersebut memang dilakukan yang berakibat timbulnya kerugian
bagi pihak korban, maka pihak korban tidak dapat menuntut ganti rugi dari pelaku
perbuatan tersebut. Persetujuan dari pihak korban layak diberlakukan untuk kasus-
kasus perbuatan melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan, bukan
untuk kasus-kasus kelalaian atau tanggung jawab mutlak. Sebagai gantinya, untuk
kasus-kasus kelalaian dan tanggung jawab mutlak, yang pantas diberlakukan
adalah doktrin asumsi risiko.
Bahkan, dalam keadaan emergensi, persetujuan tersebut tidak diperlukan
sama sekali. Misalnya, seorang dokter yang harus mengoperasi pasien. yang tidak
sadarkan diri dan tidak ada keluarganya. Terhadap persetujuan korban ini, hukum
modern cenderung untuk memberlakukan teori objektif. Menurut teori objektif ini,
jika ada pertentangan antara apa yang kelihatan (objektif) dengan apa yang ada

41 | H . P E R I K A T A N
dalam benak korban yang bersifat subjektif, maka yang berlaku adalah apa yang
kelihatan di luar tersebut. Logikanya adalah karena hukum tidak mungkin untuk
membebankan tugas kepada orang biasa untuk menjadi pembaca pikiran orang
lain. Dalam hal ini sering dipakai kriteria umum untuk menentukan apakah korban
sudah setuju atau tidak terhadap perbuatan melawan hukum dari pelakunya.
Kriteria umum tersebut adalah apakah manusia yang normal (reasonable
man) pada posisi pelaku perbuatan tersebut akan menyimpulkan bahwa korban
telah setuju atas perbuatan yang kemudian menimbulkan kerugian tersebut.
Didalam menafsirkan perbuatan melawan hukum, dalam praktek pengadilan di
Indonesia menafsirkan pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas.
Sebagai contoh berikut ini diuraikan kasus kelalaian yang telah di putus oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Persoalan yang lebih mendasar adalah karena perjanjian baku isinya dibuat
secara sepihak, maka perjanjian tersebut cenderung mencantumkan hak dan
kewajiban yang tidak seimbang. Seperti adanya klausula ekonerasi atau dalam
sistem common law disebut exculpatory clause. Klausula eksonerasi adalah
klausula yang mengalihkan tanggung jawab dari satu pihak ke pihak lainnya,
misalnya penjual tidak mau bertanggung jawab atas kualitas barang yang
dijualnya, sehingga dicantumkan klausula bahwa barang yang sudah dibeli tidak
dapat dikembalikan. Demikian pula pengelola parkir yang tidak mau bertanggung
jawab atas kehilangan kendaraan yang di parkir di wilayah yang dikelolanya.
Klausula eksonerasi dapat ditemukan pada perjanjian yang dibuat antara pelaku
usaha dengan pelaku usaha maupun antara pelaku usaha dengan konsumen.
Alasan lain yang dapat digunakan untuk menghindar
dari tuduhan melakukan perbuatan melawan hukum yaitu:
penyebab intervensi. Sampai batas-batas tertentu, penyebab
intervensi (intervening cause) dapat menjadi alasan untuk
mengelak dari tuduhan perbuatan rnelawan hukum. Penyebab
intervensi disebut juga sebagai penyebab pengganti
(superseeding cause). Yang dimaksud dengan penyebab
intervensi atau penyebab tidak langsung adalah adanya suatu
penyebab berupa paksaan atau tindakan lain yang terjadi

42 | H . P E R I K A T A N
antara kelalaian dari pelaku dengan terjadinya kerugian bagi
korban, baik yang menyebabkan bertambah parahnya kerugian
maupun yang secara bersama-sama dengan tindakan asli dari
pelakunya menimbulkan kerugian bagi korban

43 | H . P E R I K A T A N
III. LINGKUP TANGGUNG JAWAB DALAM PERBUATAN MELAWAN
HUKUM
Jika ditinjau dari segi hukum, perbuatan melawan hukum mencakup
perbuatan yang diatur dalam pasal 1365 s/d 1380 KUH Perdata. Dalam Pasal
1365:
A. Kewajiban Menganti kerugian karena Perbuatan Melawan Hukum
a. “Tiap perbuatan Harus ada perbuatan yang dimaksud dengan perbuatan
ini baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap
tingkah laku berbuat atau tidak berbuat.
b. Perbuatan itu harus melawan hukum.
c. Ada kerugian.
d. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan
kerugian.
e. Ada kesalahan (schuld)
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”.
Syarat-syarat tersebut ialah :

Perbuatan Melawan Hukum Karena


Kelalaian Pasal 1366 :
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena
kelalaian atau hati-hatinya”.

Tanggung jawab terhadap Perbuatan Orang lain yang menjadi


Tanggungannya Pasal 1367:
“Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian di sebabkan karena
perbuatan sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

44 | H . P E R I K A T A N
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membagi masalah pertanggungjawaban
terhadap perbuatan melawan hukum menjadi 2 golongan, yaitu:

a. Tanggung jawab langsung


Hal ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Dengan adanya interprestasi
yang luas sejak tahun 1919 (Arest Lindenbaun vs Cohen) dari Pasal 1365
KUHPerdata ini, maka banyak hal-hal yang dulunya tidak dapat dituntut atau
dikenakan sanksi atau hukuman, kini terhadap pelaku dapat dimintakan
pertanggung jawaban untuk membayar ganti rugi.
b. Tanggung jawab tidak langsung
Menurut Pasal 1367 KUHPerdata, seorang subjek hukum tidak hanya
bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya saja, tetapi
juga untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain yang menjadi tanggungan
dan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

Tanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan melawan


hukum dalam hukum perdata, pertanggung jawabannya selain terletak pada
pelakunya sendiri juga dapat dialihkan pada pihak lain atu kepada negara,
tergantung siapa yang melakukannya.

Adanya kemungkinan pengalihan tanggung jawab tersebut disebabkan oleh


dua hal:
1. Perihal pengawasan
Adakalanya seorang dalam pergaulan hidup bermasyarakat menurut hukum
berada di bawah tanggung jawab dan pengawasan orang lain. Adapun orang-orang
yang bertanggung jawab untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain menurut
Pasal 1367 KUHPerdata adalah sebagai berikut:1

 Orang tua atau wali, bertanggung jawab atas pengawasan terhadap


anak- anaknya yang belum dewasa
 Seorang curator, dalam hal curatele, bertanggung jawab
atas pengawasan terhadap curandus
 Guru, bertanggung jawab atas pengawasan murid sekolah yang berada
dalam lingkungan pengajarannya.

45 | H . P E R I K A T A N
 Majikan, bertanggung jawab atas pengawasan terhadap buruhnya
 Penyuruh (lasgever), bertanggung jawab atas pengawasan terhadap
pesuruhnya.
Terkait dengan hal ini pengawasan dapat dianggap mempunyai untuk
menjaga agar jangan sampai seorang yang diwasi itu melakukan perbuatan
melawan hukum. Pengawas itu harus turut berusaha menghindarkan kegoncangan
dalam msyarakat, yang mungkin akan disebabkan oleh tingkat laku orang yang
diawasinya.

2. Pemberian kuasa dengan risiko ekonomi

Sering terjadi suatu pertinbangan tentang dirasakannya adil dan patut untuk
mempertanggungjawabkan seseorang atas perbuatan orang lain, terletak pada soal
perekonomian, yaitu jika pada kenyataannya orang yang melakukan perbuatan
melawan hukum itu ekonominya tidak begitu kuat. Hal ini berdasarkan
pertimbangan bahwa percuma saja jika orang tersebut dipertanggungjawabkan,
karena kekayaan harta bendanya tidak cukup untuk menutupi kerugian yang
disebabkan olehnya dan yang diderita oleh orang lain. Sehingga dalam hal ini
yang mempertanggungjawabkan perbuatannya adalah orang lain yang dianggap
lebih mampu untuk bertanggung jawab.

Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan adalah sesuai dengan


undang-undang yang berlaku.

1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan (Pasal 1365


KUHPerdata).

2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan/ tanpa unsur kesengajaan


maupun kelalaian (Pasal 1366 KUHPerdata).

3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian (Pasal 1367 KUHPerdata)

Tanggung Jawab dari Pemilik Hewan


Pasal l368 KUHPerdata :

46 | H . P E R I K A T A N
“Pemilik seekor binatang, atau siapa yang memakainya, adalah selama
binatang itu dipakainya, bertanggung jawab tentang kerugian yang terbitkan
oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada di bawah pengawasannya,
maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya”.

Tanggung Jawab Pemilik Gedung


Pasal 1369 :
“Pemilik sebuah gedung adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang
disebabkan karena ambruknya gedung itu untuk seluruhnya atau sebagian.
Jika ini terjadi karena kelalaian dalam Pemeliharaanya, atau sesuatu cacat
dalam pembangunan tataannya”.

Tanggung Jawab Terhadap


Pembunuhan Pasal 1370:
“Dalam halnya pembunuhan dengan sengaja kurang hati-hatinya seorang,
maka suami atau istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban, yang
lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban, mempunyai hak
menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan
kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan”.

Tanggung Jawab Terhadap Luka Badan


Pasal 1371:
“Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau
kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian
biaya-biaya penyembuhan menuntut penggantian kerugian yang disebabkan
oleh luka cacat tersebut “.

Tanggung Jawab Terhadap Penghinaan


Pasal 1372:
“Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah penghinaan bertujuan
mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik”.
Hak dari Penggugat untuk Menerapkan KUHAP Terhadap pidana
Penghinaan
Pasal 1373:

47 | H . P E R I K A T A N
“Selain daripada itu, si terhina dapat menuntut supaya dalam putusan itu juga
dinyatakan, bahwa perbuatan yang telah di lakukan adalah memfitnah atau
menghina”.

Pemulihan Kehormatan
Pasal 1374:
“Dengan tidak mengurangi kewajibannya untuk memberikan ganti rugi, si
tergugat dapat mencegah pengabulan tuntutan yang disebutkan dalam pasal
yang lalu, dengan menawarkan dan sungguh-sungguh melakukan di muka
umum di hadapan Hakim suatu pernyataan yang berbunyi bahwa ia menyesal
akan perbuatan yang Ia telah lakukan bahwa ia meminta maaf karenanya, dan
menganggap si terhina sebagai seorang yang terhormat”.

Penghinaan Terhadap Orang-orang yang Sudah


Wafat Pasal 1375:
“Tuntutan-tuntutan yang disebutkan dalam ketiga pasal yang lalu, diberikan
juga kepada suami atau istri, orang tua, kakek, nenek, anak dan cucu karena
penghinaan yang dilakukan terhadap istri atau suami, anak, cucu, orang tua
dan kakek, nenek mereka, setelah arang-orang ini meninggal”.

Unsur kesengajaan untuk Penghinaan


Pasal 1376:
“Tuntutan perdata tentang penghinaan tidak dapat dikabulkan ternyata adanya
maksud untuk menghina. Maksud untuk menghina itu tidak dianggap ada,
jika si pembuat nyata telah berbuat untuk kepentingan umum atau untuk
pembelaan darurat terhadap dirinya”.

Yang Terhina Dinyatakan


Bersalah Pasal 1377:
“Begitu pula tuntutan perdata itu tidak dapat dikabulkan. jika si terhina
dengan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak telah
dipersalahkan tentang melakukan perbuatan yang dituduhkan padanya itu”.

Perdamaian dan
Pengampunan Pasal 1378:

48 | H . P E R I K A T A N
“Segala tuntutan yang diatur dalam keenam pasal yang lalu gugur dengan
pembebasan yang dinyatakan dengan tegas atau secara diam-diam jika setelah
terjadinya penghinaan dan diketahuinya oleh si terhina, oleh orang ini
dilakukan perbuatan-perbuatan yang dinyatakan tentang adanya perdamaian
atau pengampunan, yang bertentangan dengan maksud untuk menuntut ganti-
rugi atau pemulihan kehormatan”.

Gugurnya Hak Menuntut Ganti Rugi dalam


Penghinaan Pasal 1379:
“Hak untuk menuntut ganti rugi sebagaimana para pihak di sebutkan dalam
Pasal 1372 KUH Perdata tidak hilang dengan meninggalnya orang yang
menghina, maupun meninggalnya orang yang dihina”.

Gugatan Penghinaan Gugur karena Lampau


Waktu Pasal 1380:
“Tuntutan dalam perkara penghinaan dengan lewatnya waktu 1 (satu) tahun,
terhitung mulai hari dilakukannya perbuatan dan diketahuinya perbuatan itu
oleh sipenggugat”.
1.Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH
Perdata. Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan, bahwa setiap perbuatan yang
melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan
orang karena salahnya menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut.
2.“Kesalahan” dalam perbuatan melanggar hukum harus dipenuhi persyaratan
:
1) Perbuatan yang dilakukan harus dapat dihindarkan
.2) Perbuatan tersebut harus dapat dipersalahkan kepada pembuat.(R.Setiawan,
1987).

49 | H . P E R I K A T A N
IV. PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PERUSAHAAN DAN
PENGUASA

A. TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN

1. Perusahaan Dagang
Merupakan perusahaan yang didirikan serta dimiliki oleh
perseorangan. Selain perusahaan dagang, dalam praktik masih terdapat
bentuk lain yaitu usaha dagang atau disingkat (UD), perusahaan bangunan
(PB), perusahaan otobis (P0). Perusahaan dagang belum diatur secara
khusus dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, namun dalam
praktik diterima sebagai pelaku usaha. Oleh karena itu pada umumnya
pengaturan perusahaan dagang berdasarkan hukum kebiasaan. Proses
pendirian perusahaan dagang membuat akta pendirian perusahaan oleh
Notaris. Apabila perusahaan dagang mengalami kerugian maka kerugian
tersebut ditanggung atau menjadi tanggung jawab pemilik perusahaan
dagang itu sendiri sampai harta pribadi.
Dengan karakteristik tersebut, apabila perusahaan dagang dalam
aktifitas perusahaannya, melakukan perbuatan melawan hukum yang
dilakukan pemilik Perusahaan dagang maupun para karyawannya (Pasal
1365 KUH PDT yo Pasal 1366 KUH PDT), maka yang bertanggung
jawab ganti rugi adalah pemilik PD tersebut sampai harta pribadi pemilik.

2. Badan Usaha yang bukan Badan Hukum


Dalam badan usaha yang bukan badan hukum, yang menjadi subyek
hukum di sini ialah orang-orang yang menjadi pengurusnya, jadi bukan
badan usaha itu sendiri karena ia bukan merupakan subyek hukum. Pada
badan usaha ini harta perusahaan bersatu dengan harta pribadi para
pengurusnya/para anggotanya. Akibatnya kalau perusahaannya pailit,
harta pribadi pengurus /anggotanya ikut tersita selain harta
perusahaannya. Bentuk-bentuk usaha yang bukan badan hukum, antara

50 | H . P E R I K A T A N
lain : Firma ( Persektuan komanditer) dan CV ( Comanditaire
Vennotchap)(Ali, 2005)
Dengan karakteristik tersebut, apabila badan usaha yang bukan
badan hukum dalam aktifitas perusahaannya, melakukan perbuatan
melawan hukum yang dilakukan para pengurus maupun para
karyawannya(Pasal 1365 KUH PDT yo Pasal 1366 KUH PDT), maka
yang bertanggung jawab ganti rugi adalah pengurus tersebut sampai harta
pribadi berkaitan dengan perusahaan Firma, di mana para pengurusnya
tanggung renteng atas setiap kerugian yang ditimbulkan perusahaan,
maka dalam hal terjadi perbuatan melawan hukum, para pengurus firma
tersebut bertanggung jawab sampai harta pribadinya. Berbeda dengan
CV, yang terdiri dari pesero aktif dan persero diam, maka yang
bertanggung jawab sampai harta pribadinya adalah pesero aktif,
sedangkan pesero diam bertanggung jawab terbatas sampai sejumlah
modal yang diinvestasikan dalam perusahaan tersebut.

3. Badan Usaha yang Berbentuk Badan Hukum


Dalam badan usaha yang bukan badan hukum, yang menjadi subyek
hukum di sini ialah badan usaha itu, karena ia telah menjadi badan hukum
yang termasuk subyek hukum di samping manusia. Pada badan hukum ini
harta kekayaan perusahaan terpisah dari harta kekayaan para
pengurusnya/anggotanya. Akibatnya kalau perusahaan pailit, yang
terkena sita hanyalah harta perusahaannya saja. Harta pribadi
pengurus/anggotanya tetap bebas dari sitaan. Contoh dalam Perseroan
Terbatas (PT), Yayasan dll (Ali, 2005).
Dengan karakteristik tersebut, apabila badan usaha yang badan
hukum dalam aktifitas perusahaannya, melakukan perbuatan melawan
hukum melalui para pengurus maupun para karyawannya(Pasal 1365
KUH PDT yo Pasal 1366 KUH PDT), maka yang bertanggung jawab
ganti rugi adalah badan usahanya dan harta perusahan yang badan hukum
tersebut yang menjadi jaminan mengganti kerugian. Sedangkan para
pengurusnya /para karyawannya di hadapan hukum tidak bertanggung

51 | H . P E R I K A T A N
jawab atas kerugian tersebut. Demikian pula untuk para pemegang saham
PT yang mempunyai andil dalam suatu PT tidak bertanggung jawab atas
ganti kerugian tersebut.
Apabila perbuatan hukum melawan hukum tersebut terjadi sebelum
PT /yayasan belum mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang
untuk itu untuk mengesahkan sebagai badan hukum, maka yang harus
bertanggung jawab mengganti kerugian adalah para pengurus PT/yayasan
secara tanggung renteng sampai harta pribadi.

B. Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa


1. Pengertian Penguasa
Pertanyaan selanjutnya adalah, kapankah penguasa dapat digugat
secara keperdataan karena telah menimbulkan kerugian bagi privaat
person? ada 3 alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan
untuk melakukan gugatan keperdataan kepada penguasa, yaitu:
a.Penguasa telah melanggar suatu hak.
b. Perbuatan penguasa bertentangan dengan kewajiban hukumnya
c.Penguasa tidak berhati-hati dalam berbuat, diukur dari kepantasan dan
kepatutan dalam pergaulan masyarakat.
Menurut Soetojo, meskipun penguasa melakukan perbuatan tersebut
dalam ranah publik, tetapi akibatnya telah menimbulkan kerugian atau
melanggar hak milik privaat person, maka penguasa dapat digugat karena
telah melakukan perbuatan onrechtmatig. Ada 2 alasan pembenar bagi
penguasa yang tidak dapat dibebani pertanggung jawaban keperdataan,
yaitu apabila perbuatannya dilakukan karena perintah undang-undang dan
perbuatan tersebut sesuai dengan hukum tidak tertulis yang berlaku
dimasyarakat. Tetapi dalam menjalankan perintah undang-undang
tersebut, negara tidak diperbolehkan untuk melanggar batas-batas
kewenangannya, maka ia dapat digugat secara keperdatan (deterunemen
de pouvoir). Selain itu juga, penguasa dapat digugat telah melakukan
onrechtmatig apabila ia melakukan perbuatan tersebut secara
sewenangwenang (abuse de pouvoir).

52 | H . P E R I K A T A N
Lalu bagaimanakah membedakan anatara penguasa dengan
pemerintah? Terdapat persamaan pengertian antara pemerintah
(penguasa) dengan ‘pemerintahan’, namun mempunyai istilah yang
berbeda. Secara etimologis istilah pemerintah berasal dari kata “perintah”,
berarti menyuruh melakukan sesuatu, sehingga dapat dikatakan:
1) Pemerintah adalah kekuasaan memerintah sesuatu negara atau
badan yang tertinggi yang memerintah sesuatu negara seperti
kabinet, merupakan suatu Pemerintah yakni kata nama subyek yang
berdiri sendiri. Contohya, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
dan sebagainya.
2) Pemerintahan dilihat dari segi tata bahasa merupakan kata
jadian,oleh karena subyek mendapat akhiran ‘an’. Artinya,
pemerintah sebagai subyek melakukan tugas/kegiatan. Sementara,
cara melakukan kegiatan tersebut disebut sebagai pemerintahan.
(Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1994:4)

Kemudian mengenai perbedaan antara istilah pemerintah dan


pemerintahan menurut Mariun, adalah: “Istilah pemerintahan menunjuk
kepeda bidang tugas pekerjaan atau fungsi. Sedangkan, istilah pemerintah
menunjuk kepada badan, organ atau alat perlengkapan yang menjalankan
fungsi atau bidang tugas pekerjaan itu. Dapat dikatakan kalau
pemerintahan menunujuk kepada objek, sedangkan istilah pemerintah
menunjuk kepada subyek.” (Victor M. Situmorang dan Cormentyna
Sitanggang, 1994:4-5) Sementara, menurut Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1952, yang mengartikan penguasa
sebagai Pemerintah dan menurut Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 838 Tahun 1970 disebut sebagai penguasa. Sedangkan,
menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 joncto Pasal 1 angka 2 UU No.5
Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No.51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara disebut sebagai badan atau pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undanganyang berlaku, sehingga pengertian tidak hanya meliputi instansi-

53 | H . P E R I K A T A N
instansi resmi yang berada dalam lingkungan eksekutif di bawah Presiden
akan tetapi termasuk juga badan/pejabat lain yang melaksanakan urusan
pemerintahan.
Setiap (pejabat) pemerintah secara otomatis merangkap sebagai
administrator, oleh karena pemerintah adalah Kepala Administrasi
Negara, kecuali dalam hal organisasi pemerintahan daerah. Presiden
adalah pemerintah negara merangkap sebagai kepala administrasi negara.
Menteri adalah pemerintah departemen merangkap sebagai kepala
administrasi departemen. Direktur jenderal adalah pemerintah direktorat
jenderal merangkap sebagai administrator direktorat jenderal. Gubernur
kepala provinsi adalah pemerintah provinsi merangkap sebagai
administrator provinsi, dan seterusnya sampai
bupati/walikota/camat/lurah, dan kepala desa, sebagai kepala aministrasi
di kabupaten/kota/kecamatan/kelurahan, dan desa. (Prajudi Atmosudirjo,
1983:13-15) Berdasarkan pengertian diatas menunjukan bahwa
pemerintah atau penguasa termasuk pejabat atau badan dalam
pemerintahan adalah merupakan subyek pelaksana tugas pemerintahan,
yang kewenangannya diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Adapun tugas pemerintah, yaitu:
1. Pemerintahan, yaitu penegakan kekuasaan dan wibawa negara
2. Tata Usaha Negara, yaitu pengendalian situasi dan kondisi negara
mengetahui secara informasi dan komunikasi apa yang terdapatdan
terjadi di dalam masyarakat dan negara sebagaimana dikehendaki
oleh undang-undang (dalam arti luas).
3. Pengurusan Rumah Tangga Negara, baik rumah tangga intern
(personil, keuangan, domein negara materil, logistik) maupun rumah
tangga ekstern (domein publik, logistik masyarakat, usaha-usaha
negara, jaminan sosial, produksi, distribusi, lalu lintas, angkutan,
komunikasi, dan kesehatan rakyat).
4. Pembangunan, disegala bidang yang dilakukan secara berencana.

54 | H . P E R I K A T A N
5. Pelestarian lingkungan hidup, yang terdiri atas mengatur tata guna
lingkungan, perlindungan lingkungan dan penyehatan lingkungan.
(Prajudi Atmosudirjo, (1983:11-12).

2. Asas-asas Hukum Administrasi


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, asas adalah dasar (sesuatu
yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat); atau dasar cita-cita
(perkumpulan atau organisasi; atau hukum dasar. (Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa, 2008:91-92). Sementara, pengertian asas hukum
adalah merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan mendasari atau
yang terdapat di dalam atau dibelakang peraturan hukum kongkret.
(Sudikno Mertokusumo, 2012:46). Dalam penyelenggaraan pemerintahan
dalam hukum administrasi negara terdapat beberapa asas yang dikenal
dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
Sebagaimana, Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,
disebutkan, Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi:
1. Asas Kepastian Hukum.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan.
3. Asas Kepentingan Umum.
4. Asas Keterbukaan.
5. Asas Proporsionalitan.
6. Asas Profesionalitas.
7. Asas Akuntabilitas.
Menurut Muin Fahmal, yang dikutip Hotma Sibuea, mengatakan:
“Asas umum pemerintahan yang layak sesungguhnya adalah ramburambu
bagi para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya. Rambu-
rambu tersebut diperlukan agar tindakan-tindakannya tetap sesuai dengan
tujuan hukum yang sesungguhnya.”(Hotma P. Sibuea, 2010:151)
Disamping AAUPB, juga dikenal asas-asas, antara lain:
1. Bahwa terhadap benda-benda publik tidak dapat diletakkan sita
jaminan.

55 | H . P E R I K A T A N
2. Asas rechtmatigheid van bestuur.
3. Asas bahwa kebebasan pejabat pemerintah tidak bisa dirampas.
4. Asas bahwa negara (dalam hal ini) pemerintah selalu dianggap mampu
membayar(solvable). (Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar,
2007:452)
Berdasarkan asas-asas AAUPB diatas keniscayaan penyelenggara
negara menjalankan kewenangannya dengan baik, demi kepentingan
pemerintahan dan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, asas ini juga dapat
dijadikan alasan gugatan apabila dilanggar oleh pemerintah (penguasa).
Kemudian, dalam hukum administrasi tidak mengenal benda-benda
publik dijadikan sebagai sita jaminan. Sementara, berdasarkan asas
rechtmatigheid van bestuur, konsekuensinya melahirkan suatu asas
kewenangan bagi pejabat TUN untuk mengeluarkan Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN). Selanjutnya, mengacu asas kebebasan pejabat
menghasilkan kemungkinan bahwa tidak mungkin seorang pejabat
dikenai tahanan karena tidak melaksanakan Putusan Pengadilan TUN.
(Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, 2007:452).

3. Dasar Hukum
Berdasarkan Pasal 1 angka 8, angka 9 dan angka 10 UU No. 5
Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), disebutkan:
a.Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
b. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi
tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,

56 | H . P E R I K A T A N
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
c.Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang
tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dengan demikian ukuran untuk disebut badan atau jabatan TUN
adalah siapa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku melaksanakan urusan pemerintahan. Sehingga, selain instansi
atau jajaran pemerintah dibawah presiden, instansi lain dapat juga disebut
badan/jabatan TUN apabila melakukan urusan pemerintahan bahkan
pihak swasta sekalipun seperti BUMN, BUMD, Universitas, Rumah sakit
dan lain lain. Sementara, KTUN yang dimaksud adalah tindakan
(perbuatan) hukum TUN yangbersifat individual, kongkret, dan final.
Selanjutnya, dalam Pasal 97, disebutkan:
1) Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak
diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir
berupa kesimpulan masingmasing.
2) Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka Hakim Ketua Sidang menyatakan
bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis
Hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk
mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut.
3) Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua
Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika setelah
diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan
bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
4) Apabila musyawarah majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai
musyawarah majelis berikutanya.

57 | H . P E R I K A T A N
5) Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil
suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang
menentukan.
6) Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang
yang terbuka untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus
diberitahukan kepada kedua belah pihak.
7) Putusan Pengadilan dapat berupa:
a. gugatan ditolak.
b. gugatan dikabulkan.
c. gugatan tidak diterima.
d. gugatan gugur.
8) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan
tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata
Usaha Negara.
9) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa:
a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkuta. Atau
b. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan
didasarkan pada Pasal 3.
10) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai
pembebanan ganti rugi.
(11)Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)
menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian
rehabilitasi.

4. Perbuatan Pemerintah
Pemerintahan dijalankan oleh pemerintah, berupa perbuatan hukum
(rechtshandeling) dan atau keputusan hukum (rechtbesluiten) dalam
fungsi:

58 | H . P E R I K A T A N
a) pengaturan, regulasi, menetapkan peraturan-peraturan yang
mempunyai kekuatan undang-undang (delegated legislation);
b) pembinaan masyarakat, umumnya bersifat penetapan policypolicy,
pengarahan terhadap jalannya kehidupan masyarakat;
c) kepolisian, yakni bertindak langsung terhadap pelanggar undang-
undang dan pengganggu wibawa negara serta keamanan umum;
d) peradilan, yang berarti meyelesaikan berbagai macam konflik atau
sengketa antara masyarakat atau antara instansi dan warga masyarakat
atau antara instansi dan instansi. (Prajudi Atmosudirjo, 1983:12).
Sementara, menurut Hanif Nurcholis, pemerintahan baik pusat
maupun daerah mempunyai tiga fungsiutama:
1) Memberikan pelayanan/services baik pelayanan perorangan
maupun pelayanan publik/khalayak;
2) Melakukan pembangunan fasilitas ekonomi untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi (development for economic growth); dan,
3) Memberikan perlindungan/protective masyarakat. (Hanif
Nurcholis, 2005:179).
Untuk melaksanakan dan mendapatkan keabsahan dalam
menjalankan fungsi-fungsi tersebut, tentu saja pemerintah perlu adanya
wewenang. Wewenang atau kewenangan adalah suatu istilah yang biasa
digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun sesungguhnya terdapat
perbedaan diantara keduanya. Menurut Prajudi Atmosudirdjo, pengertian
wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut :
“Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa
yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau
dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan
terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap
sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat,
sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di
dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah
kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik”. (Prajudi
Atmosudirjo, 1983:73). Dalam Kamus Bahasa Indonesia, wewenang

59 | H . P E R I K A T A N
diartikan, yaitu: hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan; atau
kekuasaan membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan
tanggungjawab kepada orang lain. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa, 2008:1560).
Sementara, Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh
secara atribusi, delegasi, dan mandat, yaitu sebagai berikut:
Wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian
wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan
perundangundangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang
pemerintah yang baru”. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu
wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah
memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan
atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh
adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu
pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan
atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain. (Ni Nyoman Mariadi,
2011:25). Diantara jenis-jenis pelimpahan wewenang ini, perbedaan
antara keduanya adalah sebagai berikut:
“pendelegasian diberikan biasanya antara organ pemerintah satu
dengan organ pemerintah lain, dan biasanya pihak pemberi wewenang
memiliki kedudukan lebih tinggi dari pihak yang diberikan wewenang
Umumnya mandat diberikan dalam hubungan kerja internal antara atasan
dan bawahan terjadi pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan
kewenangan tidak terjadi pengakuan kewenangan atau pengalih tanganan
kewenangan dalam arti yang diberi mandat hanya bertindak untuk dan
atas nama yang memberikan mandat pemberi delegasi tidak dapat lagi
menggunakan wewenang yang dimilikinya karena telah terjadi pengalihan
wewenang kepada yang diserahi wewenang pemberi mandat masih dapat
menggunakan wewenang bilamana mandat telah berakhir pemberi
delegasi tidak wajib memberikan instruksi (penjelasan) kepada yang
diserahi wewenang mengenai penggunaan wewenang tersebut namun
berhak untuk meminta penjelasan mengenai pelaksanaan wewenang

60 | H . P E R I K A T A N
tersebut pemberi mandat wajib untuk memberikan instruksi (penjelasan)
kepada yang diserahi wewenang dan berhak untuk meminta penjelasan
mengenai pelaksanaan wewenang tersebut tanggungjawab atas
pelaksanaanwewenang berada pada pihak yang menerima wewenang
tersebut tanggungjawab atas pelaksanaan wewenang tidak beralih dan
tetap berada pada pihak yang memberi mandat tanggung jawab sendiri
wewenang untuk membuat/membentuk peraturan perundang-undangan”.
Wewenang atribusi dan delegasi dalam membuat/membentuk peraturan
perundangundangan timbul karena:
1) tidak dapat bekerja cepat dan mengatur segala sesuatu sampai pada
tingkat yang rinci.
2) adanya tuntutan dari para pelaksana untuk melayani kebutuhan
dengan cepat berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu.
Berdasarkan Pasal 1 UU PTUN dan bentuk kewenangan pemerintah
menujukan bahwa keabsahan perbuatan pemerintah (pemerintah daerah),
sebagai pejabat TUN dilahirkan dari kewenangan atribusi yaitu
kewenangan yang diberikan UU PTUN. Jika dikategorikan bentukdari
keputusan-keputusan yang dapat dilakukan oleh pemerintah menurut Van
Wijck, sebagai berikut: (Ujang Abdullah, 2005:12). 578

5. Perbuatan Melawan Hukum


Menurut, M.A. Moegini Djodjodirdjo dalam bukunya “Perbuatan
Melawan Hukum”, mengatakan: “bahwa suatu perbuatan dapat dianggap
sebagai perbuatan melawan hukum, kalau, bertentangan dengan hak
orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri atau
bertentangan dengan kesusilaan yang baik atau bertentangan dengan
keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai
orang lain atau benda. Adalah kealpaan berbuat, yang melanggar hak
orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau
melanggar kesusilaan ataupun bertentangan dengan kepatutan yang harus
diindahkan dalam pergaulan masyarakat tentang orang lain atau barang.”
(http://rangselbudi.wordpress.com/2010/01/24/perbuatan-melawan-

61 | H . P E R I K A T A N
hukum-oleh penguasa/di akses 10 Maret 2013). Selanjutnya, Moegini
Djodjodirdjo, menambahkan yang dimaksud:
a) Bertentangan dengan hak orang lain adalah bertentangan dengan
kewenangan yang berasal dari suatu kaidah hukum, dimana yang
diakui dalam yurisprudensi, diakui adalah hak-hak pribadi seperti hak
atas kebebasan, hak atas kehormatan dan hak atas kekayaan.
b) Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri adalah berbuat
atau melalaikan dengan bertentangan dengan kaharusan atau larangan
yang ditentukan dalam peraturan perudanagundangan
c) Melanggar kesusilaan yang baik adalah perbauatan atau melalikan
sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma kesusilaan,
sepanjang norma tersebut oleh pergaulan hidup diterima sebagai
peraturanperaturan hukum yang tidak tertulis.
d) Bertentangan dengan peraturan yang diindahkan adalah bertentangan
dengan sesuatu yang menurut hukum tidak tertulis harus diindahkan
dalam lalulintas masyarakat.
Berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum, baik yang dilakukan
oleh individu atau badan hukum atau penguasa (pemerintah), Indonesia
mengadopsi pengertian dari Negara Belanda. Hal ini karena adanya asas
konkordasi yang dilakukan oleh Belanda terhadap negara jajahannya.
Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). (Burgerlijk Wetboek).
Dalam Pasal 1365 menyatakan: “bahwa setiap perbuatan yang melawan
hukum yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan orang
karena salahnya menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut”.
Molegraaff, menyatakan bahwa Perbuatan Melawan Hukum tidak hanya
melanggar undang-undang akan tetapi juga melanggar kaedah kesusilaan
dan kepatutan. Sedangkan Hoge Raad, mengatakan Perbuatan Melawan
Hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang
bertentangan dengan:
a.Hak Subyektif orang lain.
b. Kewajiban hukum pelaku.

62 | H . P E R I K A T A N
c.Kaedah kesusilaan.
d. Kepatutan dalam masyarakat (yang bertentangan dengan sikap yang
baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain).
Pada dasarnya sebuah Negara dalam menjalankan tugasnya perlu
diberikan kebebasan atau ruang gerak yang cukup. Namun kebebasan
tersebut ada batasnya, dengan mengikuti asas-asas
pemerintahan/administrasi yang baik, seperti asas-asas mengenai
kebenaran daripada fakta-faktanya yang dipakai sebagai dasar untuk
pembuatan keputusannya. Misalnya, pelarangan kesewenang-wenangan
(willekeur, arbitrary act). Perbuatan sewenang-wenang ini merupakan
perbuatan atau keputusan administrasi negara yang tidak
mempertimbangkan semua faktor yang relevan dengan kasus yang
bersangkutan secara lengkap dan wajar, sehingga tampak atau terasa oleh
orang-orang yang berpikir normal adanya ketimpangan. Keputusan
tersebut dapat digugat pada peradilan perdata sebagai “perbuatan
melawan hukum” (onrechtmatige overheids daad) berdasarkan Pasal 1365
KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek). (Prajudi Atmosudirjo, 1983:87). Dari
uraian tersebut diatas menunujukan bahwa baik Perbuatan Melawan
Hukum (Onrechtmatige Daad) maupun Perbuatan Melawan Hukum oleh
Penguasa (Onrechtmatige Overheids daad) diatur satu ketentuan atau
dasar hukum yang sama, yaitu Pasal 1365 KUH Perdata. Kemudian,
secara asas, norma hukum dan UU PTUN, apa yang dilakukan oleh
Bupati Nagan Raya, Aceh selaku pejabat TUN, yang tidak melaksanakan
Putusan Kasasi MA dapat dikatakan Perbuatan Melawan Hukum oleh
Penguasa atau yang diistilahkan dengan onrechtmatige overheids daad.
Namun, bukan yang dimaksud dengan Perbuatan Melawan Hukum biasa,
yang diistilahkan dengan onrechtmatige daad.
Gugatan terhadap Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa
Meskipun pengaturan pengaturan onrechmatige daad dan onrechtmatige
overheids daad berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, namun mempunyai
konotasi dan pengaturan yang berbeda dengan perbuatan melawan hukum
dalam hukum pidana yang disebut delik atau perbuatan pidana serta

63 | H . P E R I K A T A N
mempunyai konotasi dan pengaturan yang berbeda pula dengan perbuatan
melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheids daad).
Sehingga, perlindungan hukum dari masyarakat terhadap perbuatan
melawan hukum tersebut dapat disalurkan melalui sarana yang berbeda-
beda pula. (Ujang Abdullah, 2005:4) Berdasarkan pasal di atas,
setidaknya ada lima unsur yang harus dipenuhi;
1) adanya perbuatan.
2) perbuatan itu melawan hukum.
3) adanya kerugian.
4) adanya kesalahan, dan
5) adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan
hukum dengan akibat yang ditimbulkan.
Kelima unsur di atas bersifat komulatif, sehingga satu unsur saja
tidak terpenuhi akan menyebabkan seseorang tak bisa dikenakan pasal
perbuatan melawan hukum. Perbedaan antara onrechmatige daad dengan
onrechtmatige overheids daad hanya terletak pada subjeknya. Bila dalam
onrechmatige daad, subjeknya adalah perorangan atau badan hukum.
Sedangkan, onrechtmatige overheids daad harus dilakukan oleh penguasa.
Sarana-sarana perlindungan masyarakat terhadap perbuatan
melawan hukum oleh karena, adanya perbuatan melawan hukum oleh
penguasa kepada masyarakat, maka memerlukansarana untuk
perlindungan kepada masyarakat, antara lain:
1) Dilakukan oleh Badan/pejabat TUN melalui upaya administratif:
a. Keberatan, kepada yang mengeluarkan keputusan.
b. Banding administratif, kepada instansi atasan/lain.
2) Melalui Peradilan Umum, yaitu terhadap perbuatan melawan hukum
yang didasarkan pada ketentuan pasal 1365 KUH Perdata.
3) Melalui Peradilan TUN, yaitu terhadap perbuatan melawan hukum
oleh penguasa yang didasarkan pada ketentuan pasal 53 UU No.
5/1986, jo UU No. 9/2004 jo UU No. 51/2009 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, disebutkan:

64 | H . P E R I K A T A N
a. Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang
yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak\ sah, dengan atau
tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
b. Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan peraturan perundangundangan yang berlaku;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Ada 1 maksud
melalui Upaya Administrasi.
Upaya administrasi merupakan suatu prosedur yang dapat ditempuh
untuk menyelesaikan masalah sengketa TUN oleh seseorang atau Badan
hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan TUN.
Dasar hukumnya diatur dalam ketentuan pasal 48 ayat (1) dan (2) UU No.
5/1986 jo UU No. 9/2004 jo UU No. 51/2009 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, yaitu:
1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-
undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata
Usaha Negara tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa
disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang tersedia.
2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang
bersangkutan telah digunakan. Bentuk upaya administrasi terdiri dari
dua macam, yaitu :
a. Keberatan, yaitu apabila penyelesaiannya harus
dilakukan oleh instansi atasan atau instansi yang mengeluarkan
keputusan tersebut.

65 | H . P E R I K A T A N
a. Banding administratif, yaitu apabila
penyelesaiannya harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi
yang mengeluarkan keputusan tersebut. Adanya upaya
administrasi tersebut dapat dilihat dari ketentuan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya
Keputusan TUN yang bersangkutan dan apabila terhadap putusan
banding administrasi tersebut masih juga dirasakan belum
memuaskan maka persoalannya dapat diajukan ke pengadilan.
Dan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 2/1991,
apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya
keberatan maka setelah itu dapat diajukan gugatan ke pengadilan
TUN tingkat pertama tapi apabila peraturan dasarnya menentukan
adanya banding administatif maka putusannya dapat digugat
melalui Pengadilan Tinggi TUN.

4) Melalui Peradilan Umum


Sesuai ketentuan pasal 1365 KUH Perdata maka suatu perbuatan
melawan hukum yang dapat digugat melalui pengadilan harus
mengandung unsurunsur, antara lain:
a.Adanya suatu perbuatan, Perbuatan tersebut baik berbuat sesuatu (aktif
maupun tidak berbuat sesuatu (pasif) padahal dia mempunyai
kewajiban untuk membuatnya, kewajiban tersebut tentunya lahir oleh
hukum yang berlaku bukan lahir oleh suatu kesepakatan atau kontrak.
b. Perbuatan tersebut melawan hukum, Perbuatan melawan hukum disini
harus diartikan menurut pengertian setelah tahun 1919 yaitu dalam
arti yang seluas-luasnya yang meliputi:
1. Perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum.
3. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku.
4. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.

66 | H . P E R I K A T A N
5. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam
bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain
c.Adanya kesalahan
Suatu perbuatan dapat dianggap mengandung unsur kesalahan
sehingga dapat dikenakan tanggungjawab secara hukum
apabilamenemui unsur-unsur:
1. Ada unsur kesengajaan;
2. Ada unsur kelalaian/kealpaan
3. Tidak ada alasan pembenar atau pemaaf
d. Adanya kerugian, Unsur kerugian merupakan syarat agar gugatan
berdasarkan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata dapat dilakukan,
kerugian tersebut meliputi kerugian materiil maupun kerugian
immateriil yang juga akan dinilai dengan uang.
e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian Untuk dapat
dikabulkannya gugatan perbuatan melawan hukum maka antara
perbuatan yang dilakukan harus ada hubungan kausal (sebab akibat)
dengan kerugian yang timbul, baik hubungan sebab akibat yang faktual
(Sine Qua Non) maupun sebab akibat kira-kira (Proximate Cause).
Dengan demikian apabila terjadi perbuatan yang telah memenuhi unsur-
unsur tersebut maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan umum dengan tuntutan ganti rugi baik berupa uang, barang
maupun pemulihan keadaan semula, sedangkan pihak yang dapat
menggugat tersebut antara lain:
1. Pihak yang dirugikan itu sendiri.
2. Penerima nafkah seperti suami/ istri, anak atau orang tua yang
ditinggalkan.
3. Keluarga sedarah lurus dan istri/ suami seperti orang tua, kakek,
nenek, anak dan cucu.
4. Ahli waris pada umumnya
5) Melalui Peradilan Tata Usaha Negara
Sesuai dengan ketentuan pasal 53 UU No. 5/1986 jo UU No.
9/2004 jo UU No. 51/2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

67 | H . P E R I K A T A N
maka seorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh Keputusan TUN, dapat mengajukan gugatan tertulisn
kepada pengadilan yang berwenang agar keputusaTUN tersebut
dinyatakan batal/tidak sah dengan atau tuntutan ganti rugi atau
rehabilitasi. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan adalah
:
a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Bertentangan dengan Azas-Azas Umum Pemerintahan yang baik,
Tuntutan utama gugatan di peradilan TUN adalah pernyataan batal
atau tidak sah keputusan TUN yang digugat, meskipun dapat
disertai tuntutan ganti rugi akan tetapi menurut ketentuan Pasal 3
PP No 43 tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara
Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara, maksimal
hanya Rp 5.000.000 (lima juta) rupiah.
c. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan Perbedaan
Penyelesaiannya, Perkara perbuatan melawan hukum dapat
dilakukan melalui peradilan umum dan Peradilan TUN, namun
terdapat beberapa perbedaan penyelesaiannya, sebagai berikut:
Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Umum (Perdata)
1. Subjeknya: Orang/badan hukum perdata melawan
Badan/pejabat TUN
2. Subyeknya: Orang dan badan hukum privat melawan orang
dan badan hukum
publik yang melakukan perbuatan melawan perdata
1. Subyeknya: Diatur dalam:
- Pasal 1 angka 3
- Pasal 3
- Pasal 49 UU Peradilan TUN
2. Subyeknya: Diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata
3. Inti tuntutan: Pernyataa batal/tidak sah Keputusan TUN +
ganti rugi+rehabilitasi

68 | H . P E R I K A T A N
4. Inti tuntutan: Ganti rugi baik materil dan immateril yang
dinilai dengan uang
5. Ganti rugi: Maksimal Rp 5.000.000., (Lima Juta) Rupiah
Dapat sebesar kerugian yang dialami atau yang diperkirakan dapat
terjadi persoalan lainnya, adalah Peraturan Perundang-Undangan tak
mengatur secara spesifik kebijakan atau onrechtmatige overheids daad
dan apa saja yang bisa digugat ke peradilan umum (Pengadilan Negeri).
Namun, di PTUN ini, kebijakan penguasa apa saja yang bisa digugat
diatur secara spesifik, yaitu Keputusan Pejabat TUN yang bersifatkonkret,
individual, dan final (lihat Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009).
Artinya, mengacu kepada teori dan norma hukum, maka perbuatan
penguasa (pemerintah) yang dimungkinkan untuk digugat pada peradilan
umum secara perdata, yaitu:
1) bersifat umum abstrak, misalnya, Bupati mengeluarkan suatu
Peraturan Bupati dalam pelaksanaan suatu ketentuan peraturan
daerah.
2) bersifat umum kongkrit, seperti Bupati mengeluarkan keputusan yang
menyatakan bahwa daerahnya terjangkit penyakit Deman Berdarah.
3) bersifat individual abstrak, seperti izin untuk mendirikan pabrik cat
yang disertai bermacammacam syarat atau ketentuanketentuan, misal
tentang tata cara pembuangan air limbah pabrik yang bersangkutan.
Sedangkan, untuk perbuatan penguasa yang bersifat konkret,
individual, dan final tidak bisa digugat ke peradilan umum (perdata)
karena sudah ada forum lain, yaitu PTUN yang kewenangannya
secara atributif diatur dalam UU PTUN.
Berdasarkan uraian diatas, maka keniscayaan baik pemerintah
(penguasa) maupun masyarakat dapat memahami dan membedakan
keempat perbuatan pemerintah tersebut. Dimana dalam menjalankan
perbuatan pemerintah tersebut bertujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat bukan sebaliknya. Namun demikian, tidak
menutup kemungkinan dalam menjalankan kewenangannya dapat juga
berakibat merugikan masyarakat. Bahkan, dengan kewenangannya juga

69 | H . P E R I K A T A N
dapat terjadi perlawanan terhadap hukum. Sehingga, perlu adanya
pengaturan dan penyelesaiannya secara hukum terhadap sifat-sifat dan
implikasi perbuatan pemerintah tersebut melalui proses peradilan.
Apakah, penyelesaiannya melalui peradilan umum atau PTUN?. Oleh
karena itu, jika merujuk deskripsi tersebut terhadap kasus pemberhentian
para PNS di Nagan Raya, maka dikategorikan sebagai perbuatan
pemerintah (penguasa) yang bersifat individual, kongrit dan final.
Sehingga, yang dapat menanganinya adalah PTUN bukan Peradilan
Umum (pengadilan perdata). Jikapun putusannya sudah incraht, maka
ruang bagi para PNS adalah oleh Ketua Pengadilan melaporkan hal ini
kepada Presiden, sebagaiamana Pasal 116 ayat (6) UU PTUN. Oleh
karena itu, agar rakyat tidak dirugikan dengan sikap pemerintah
(penguasa), maka segera ditetap peraturan berkaitan dengan upaya paksa
dan uang ganti-rugi (dwangsom), sebagai turunan UU PTUN.
6. Keputusan–Keputusan Pemerintah
Yang berkaitan dengan tindakan yang berupa tindakan hukum
material, Tindakan hukum intern, Tindakan hukum ekstern, Tindakan
hukum privat eksternal, Tindakan hukum publik ekstern, Tindakan
hukum publik ekstern, Tindakan hukum publik bersifat sepihak dengan
banyak pihak bersifat umum bersifat Individual, Umum abstrak Umum
konkrit, Individual abstrak Individual konkrit (1) (2) (3) (4), Dengan
demikian, dari sifat umum dan individualnya tindakan hukum publik yang
bersifat sepihak, maka keputusan TUN yang dapat diterbitkan
badan/pejabat TUN adalah:
a) Bersifat umum abstrak, seperti Presiden mengeluarkan suatu
Peraturan Pemerintah dalam pelaksanaan suafu ketentuan undang-
undang.
b) Bersifat umum kongkrit. seperti Gubernur mengeluarkan keputusan
yang menyatakan bahwa daerahnya terjangkit penyakit busung lapar.
Baik wewenang yang diperoleh berdasarkan atribusi maupun
berdasarkan pelimpahan sama-sama harus terlebih dahulu dipastikan
bahwa yang melimpahkan benar memiliki wewenang tersebut dan

70 | H . P E R I K A T A N
wewenang itu benar ada berdasarkan konstitusi (UUD) atau
peraturan perundangundangan. Demikian pula wewenang dalam
pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat dibedakan antara
atribusi dan delegasi. Atribusi terdapat apabila adanya wewenang
yang dberikan oleh UUD atau undangundang kepada suatu badan
dengan kekuasaan dan tanggung jawab sendiri (mandiri) untuk
membuat/membentuk peraturan perundang-undangan. Sedangkan,
delegasi terdapat apabila suatu badan (organ) yang mempunyai
wewenang secara mandiri membuat peraturan perundangundangan
(wewenang atribusi) menyerahkan (overdragen) kepada suatu badan
atas kekuasaan dan dengan demikian, dari sifat umum dan
individualnya tindakan hukum publik yang bersifat sepihak, maka
keputusan TUN yang dapat diterbitkan badan/pejabat TUN adalah:
1) Bersifat umum abstrak, seperti Presiden mengeluarkan suatu
Peraturan Pemerintah dalam pelaksanaan suafu ketentuan undang-
undang.
2) Bersifat umum kongkrit. Seperti Gubernur mengeluarkan
keputusan yang menyatakan bahwa daerahnya terjangkit penyakit
busung lapar.
3) Bersifat individual abstrak. Seperti izin untuk mendirikan pabrik
cat yang disertai bermacam-macam syarat atau ketentuan-
ketenfuan, umpama tentang tata cara pembuangan air limbah
pabrik yang bersangkutan.
4) Bersifat individual kongkrit. Seperti penetapan pengangkatan
sebagai PNS, penetapan pajak, dan lain-lain. (Ujang Abdullah,
2005:13). Dari berbagai macam keputusan TUN yang dapat
diterbitkan oleh badan/jabatan tersebut, menurut ketentuan Pasal 1
angka 9 UU No. 5/1986 jo UU No. 9/2004, jo UU No. 51/2009
adalah keputusan TUN yang bersifat individual, kongkrit, final
saja yang dapat digugat melalui Peradilan TUN, sedangkan
keputusan-keputusan lain dimungkinkan dapat digugat di
pengadilan umum. Hal inti dari pasal ini adalah jika gugatan

71 | H . P E R I K A T A N
dikabulkan sebagaimana ayat (8) dan ayat (9), maka
memunculkan kewajiban: a) pencabutan KTUN yang
bersangkutan; atau, b) pencabutan KTUN yang bersangkutan dan
menerbitkan KTUN yang baru; atau c) penerbitan KTUN dalam
hal gugatan didasarkan pada Pasal 3. Sementara, dalam Pasal 116
disebutkan:
a. Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat
oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan
yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya
dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
b. Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9)
huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu
tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
c. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan
huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja
ternyata kewajiban ersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat
mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan
tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
d. Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa
berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administratif.
e. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4)diumumkan pada media

72 | H . P E R I K A T A N
massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
f. Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus
mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat
tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga
perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
g. Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi
administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa
dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-
undangan. Dari uraian pasal ini bahwa jika pejabat TUN tidak
melaksanakan kewajibannya terhadap putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht), maka
penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan
kewajibannya. Jika hal ini juga tidak dilaksanakan oleh tergugat,
maka dikenakan upaya paksa berupa pembayaran swejumlah
uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif.
Selanjutnya, jika upaya ini juga tidak dilaksanakan, maka
diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera dan
Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden untuk
memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan
pengadilan. Namun, dalam tataran implementasi ayat (7) masih
terdapat banyak permasalahan, menyangkut:
1. belum adanya produk hukum yang mengatur tentang
prosedur dan mekanisme cara pembayaran uang paksa
maupun sanksi administratif.
2. terhadap siapa uang paksa tersebut dibebankan, apakah pada
keuangan pribadi pejabat yang enggan melaksanakan
putusan atau pada keuangan instansi pejabat tata usaha
negara.

73 | H . P E R I K A T A N
3. sanksi administratif apa yang dapat dijatuhkan kepada
tergugat yang enggan melaksanakan putusan. Sementara,
dasar hukum yang ada berkaitan dengan ganti rugi
sebagaimana ketentuan Pasal 3 PP No 43 Tahun 1991
tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada
Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan:
a) Besarnya ganti rugi yang dapat diperoleh penggugat
paling sedikit Rp.250.000,-(dua ratus lima puluh ribu
rupiah), dan paling banyak Rp.5.000.000,-(lima juta
rupiah), dengan memperhatikan keadaan yang nyata.
b) Ganti rugi yang telah ditetapkan dalam putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara jumlahnya tetap dan tidak
berubah sekalipun ada tenggang waktu antara tanggal
ditetapkannya putusan tersebut dengan waktu
pembayaran ganti rugi.

74 | H . P E R I K A T A N
V. TUNTUTAN GANTI KERUGIAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM

A. TUNTUTAN GANTI RUGI MATERIIL


Pengertian kerugian yang hampir sama dikemukakan pula oleh
Yahya Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyata” atau “fietelijke nadeel”
yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi2. Kerugian nyata ini ditentukan
oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur.
Lebih lanjut dibahas oleh Harahap, kalau begitu dapat kita ambil suatu
rumusan, besarnya jumlah ganti rugi kira-kira sebesar jumlah yang
“wajar” sesuai dengan besarnya nilai prestasi yang menjadi obyek
perjanjian dibanding dengan keadaan yang menyebabkan timbulnya
wanprestasi. Atau ada juga yang berpendapat besarnya ganti rugi ialah
“sebesar kerugian nyata” yang diderita kreditur yang menyebabkan
timbulnya kekurangan nilai keutungan yang akan diperolehnya. Lebih
lanjut dikatakan oleh Abdulkadir Muhammad, bahwa pasal 1243
KUHPerdata sampai dengan pasal 1248 KUHPerdata merupakan
pembatasanpembatasan yang sifatnya sebagai perlindungan undang-
undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak kreditur
sebagai akibat wanprestasi3. Pengertian kerugian yang lebih luas
dikemukakan oleh Mr. J. H. Nieuwenhuis sebagaimana yang
diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, pengertian kerugian adalah
berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh
perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh
pihak yang lain4. Yang dimaksud dengan pelanggaran norma oleh
Nieuwenhuis di sini adalah berupa wanprestasi dan perbuatan melawan
hukum.
Ada hubungan yang erat antara ganti rugi yang terjadi karena
adanya wanprestasi dalam suatu perjanjian dengan apa yang dikenal
dengan ganti rugi sebagai akibat perbuatan melawan hukum
(onrechtmetige daad). Sebab dengan tindakan debitur dalam
melaksanakan kewajiban "tidak tepat waktu" atau "tidak layak", adalah

75 | H . P E R I K A T A N
jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak orang
lain, berarti pula merupakan perbuatan melawan hukum atau
onrechtmatigedaad.
“Memang hampir serupa onrechtmatigedaad dengan wanprestasi, itu
sebabnya dikatakan bahwa wanprestasi adalah juga merupakan "genus
specifik" dari onrechtmatigedaad seperti yang dirumuskan dalam Pasal
1365 KUHPerdata”. Dengan demikian, jika diperhatikan bahwa para ahli
menyebutkan juga bahwa ketentuan tentang ganti rugi yang terdapat di
dalam bagian wanprestasi tersebut juga berlaku akan halnya dengan ganti
rugi sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hokum tersebut.
Dengan pengertian lain, ketentuan ganti rugi dalam wanprestasi dapat
diberlakukan secara analogis dalam hal adanya gantu rugi karena
perbuatan melawan hukum.
Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa yang dimaksudkan dengan
ganti kerugian itu ialah "ganti kerugian yang timbul karena debitur
melakukan wanprestasi karena lalai".35 Sebagai perbandingan tentang
ganti kerugian disebabkan wanprestasi dan ganti rugi sebagai akibat
adanya perbuatan yang melawan hukum, berikut ini akan dikutipkan
Pasal 1243 KUHPerdata dan Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1243
KUHPerdata, dengan tegas disebutkan bahwa penggantin biaya, rugi dan
bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai
diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau
dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang
telah dilampaukannya. Sedangkan dalam Pasal 1365 KUH. Perdata
disebutkan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Jika diperhatikan
dengan seksama kedua kutipan pasal tersebut, jelas tidak ada disebutkan
dengan tegas apa yang dimaksudkan dengan ganti rugi itu sendiri, hanya
saja, ganti rugi dalam hal wanprestasi berdasarkan Pasal 1245
KUHPerdata baru timbul bilamana debiturnya telah dinyatakan berada

76 | H . P E R I K A T A N
dalam keadaan lalai setelah dilakukannya peringatan tetapi tetap juga
dilalaikannya. Sedangkan di dalam Pasal 1365 KUHPerdata juga tidak
disebutkan tentang apa yang dimaksud dengan pengertian ganti rugi itu.
Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang yang
melakukan perbuatan melawan hukum serta menimbulkan kerugian harus
mengganti kerugian tersebut. Sebagaimana juga telah disinggung
sebelumnya, bahwa ganti rugi yang diakibatkan adanya perbuatan
melawan hukum berbeda dengan ganti rugi yang diakibatkan oleh
wanprestasi, dimana pada perbuatan melawan hukum bentuk ganti rugi
baik secara materi atau immateri atau pula kombinasi keduanya,
sedangkan wanprestasi menuntut ganti rugi berupa materi.
Adapun bentuk ganti rugi yang dikenal dalam hukum perdata ada dua
macam, yaitu :
a.ganti rugi umum, yaitu yang berlaku untuk semua kasus termasuk
karena perbuatan melawan hukum. Adapun ketentuan ganti rugi
secara umum ini oleh KUH Perdata diatur dalam Pasal 1243 sampai
dengan Pasal 1252, yang dapat berupa biaya rugi serta bunga.
b. ganti rugi khusus, yaitu ganti rugi yang hanya timbul dari perikatan-
perikatan tertentu.

B. TUNTUTAN GANTI RUGI IMMATERIIL


1. Lingkup kerugian imateriil
Selain kerugian materiil, pihak yang mempunyai bukti menjadi
korban dalam suatu perbuatan melawan hukum dari pihak lain, berhak
juga menuntut kerugian inmateriil yaitu sesuatu yang bersifat abstrak dan
tidak begitu saja langsung dihitung nominalnya. Jadi kerugian materiil
adalah kerugian berupa pengurangan kenyamanan hidup seseorang
misalnya karena penghinaan,cacat badan dan sebagainya. Contoh lain
kerugian inmateriil adalah ketakutan, trauma, kekecewaan, rasa sakit dan
lain sebagainya. Namun seseorang yang melakukan perbuatan melawan
hukum tidak selalu harus memberikan ganti kerugian atas kerugian
immateriil tersebut.

77 | H . P E R I K A T A N
Pada tanggal 10 November 1968, surat kabar “Mingguan Bebas”
menerbitkan berita yang berjudul “Adam Malik Boneka Subversi”.
Dengan adanya pemberitaan tersebut, H. Adam Malik yang pada waktu
itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri mengajukan gugatan perdata
terhadap pimpinan surat kabar tersebut kepada Pengadilan Negeri
Istimewa Jakarta dengan sangkaan bahwa pimpinan surat kabar
“Mingguan Bebas” telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa
penghinaan dan pencemaran nama baik sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata. Menurut H. Adam Malik, pemberitaan tersebut
merupakan fitnah yang telah merugikan pihaknya yang tidak hanya
meliputi kerugian materiil tetapi juga immateriil, yang berupa hancurnya
nama baik dan kehormatan. Untuk memulihkan nama baiknya, H. Adam
Malik menuntut ganti rugi immateriil berupa uang sebesar Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Berkaitan dengan tuntutan ganti
kerugian immateriil yang diajukan H. Adam Malik, menurut Moegni
Djodjodirjo, meskipun diperbolehkan pihak yang dirugikan menuntut
ganti kerugian dalam bentuk uang, namun pembayaran ganti kerugian
tidak selalu harus berwujud uang.
Hoge Raad dalam keputusannya tanggal 24 Mei 1918 telah
mempertimbangkan bahwa pengembalian pada keadaan semula adalah
merupakan pembayaran ganti kerugian yang paling tepat.1 Selanjutnya,
Moegni Djodjodirjo juga berpendapat bahwa Pasal 1365 KUH Perdata
memberikan kemungkinan beberapa jenis penuntutan yakni antara lain
ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk uang; ganti kerugian atas
kerugian dalam bentuk setara atau pengembalian keadaan pada keadaam
semula; pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat
melawan hukum; larangan untuk melakukan suatu perbuatan; meniadakan
sesuatu yang diadakan secara melawan hukum dan pengumuman dari
pada keputusan atas dari sesuatu yang telah diperbaiki. Terhadap gugatan
H. Adam Malik tersebut, Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta telah
menjatuhkan putusan bahwa para Tergugat terbukti telah melakukan
perbuatan melawan hukum berupa penghinaan dan pencemaran nama

78 | H . P E R I K A T A N
baik terhadap H. Adam Malik dengan Nomor : 568/1968.G dan
menghukum para tergugat membayar uang ganti kerugian kepada
penggugat masing-masing ½ (setengahnya) dari jumlah Rp. 250.000,-
(dua ratus lima puluh ribu rupiah). Atas putusan Hakim tersebut, pihak
Penggugat mengajukan upaya hukum banding dan kasasi.
Permohonannya dikabulkan Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta
dengan Nomor : 113/1970 PT Perdata, yang memutuskan menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta dan menghukum para
Tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada Penggugat sebesar Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah). Salah satu pertimbangan Hakim dalam
memutus perkara tersebut adalah adanya hubungan kausal antara Pasal
1365 KUH Perdata dan Pasal 1372 KUH Perdata yang menyebutkan
bahwa suatu penghinaan (dalam arti pidana) adalah selalu merupakan
suatu penghinaan.3 Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut,
penghinaan merupakan perbuatan yang tidak saja melanggar
undangundang negara, tetapi juga bertentangan dengan kesusilaan,
kepatutan, ketelitian atau kehatihatian. Kasus di atas menggambarkan
bahwa pengajuan gugatan atas penghinaan dan pencemaran nama baik
oleh H. Adam Malik dilakukan setelah para Tergugat memenuhi unsur
perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH
Perdata, sedang Pasal 1372 KUH Perdata hanya memberikan hak kepada
pihak yang dirugikan nama baiknya untuk menuntut kerugian atas
tindakan tersebut. Dengan kata lain, Pasal 1372 KUH Perdata hanya
mengatur Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor Perkara :
568/1968.G.
Mengenai unsur pertama dari Pasal 1365 KUH Perdata yaitu
Perbuatan Melawan Hukum. Untuk dapat dikatakan seseorang telah
melakukan perbuatan melawan hukum maka haruslah dipenuhi syarat-
syarat perbuatan melawan hukum. Menurut Purwahid Patrik bahwa suatu
perbuatan dikatakan melawan hukum apabila telah memenuhi unsur yaitu
:
1) Harus ada perbuatan.

79 | H . P E R I K A T A N
2) Perbuatan tersebut harus melawan hukum.
3) Harus ada kesalahan.
4) Harus ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian.
5) Harus ada kerugian.
Moegni Djodjodirdjo dan R. Setiawan berpendapat bahwa suatu
perbuatan dikatakan melawan hukum apabila memenuhi unsur sebagai
berikut :
1) Perbuatan yang melawan hukum.
2) Harus ada kesalahan.
3) Harus ada kerugian.
4) Adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian.
Sedangkan menurut Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan
(Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Undang-Undang), mengandung
unsur-unsur sebagai berikut :
1) Adanya Suatu Perbuatan
2) Perbuatan tersebut Melawan Hukum
3) Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku.
4) Adanya Kerugian Bagi Korban
5) Adanya Hubungan Kausal antara Perbuatan dengan Kerugian.
Berkaitan dengan perbuatan melawan hukum, dalam ilmu hukum
dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu :
a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan;
b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan
maupun kelalaian);
c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Suatu perbuatan melawan
hukum dapat dianggap sebagai kelalaian, haruslah memenuhi unsur
pokok sebagai berikut :
1) Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya
dilakukan;
2) Adanya suatu kewajiban kehati-hatian;
3) Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut;
4) Adanya kerugian bagi orang lain;

80 | H . P E R I K A T A N
5) Adanya hubungan sebab akibat antara Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan Melawan Hukum tidak melakukan perbuatan dengan kerugian
yang timbul. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa
perbuatan melawan hukum dianggap terjadi dengan melihat adanya
perbuatan dari pelaku yang diperkirakan memang melanggar undang-
undang, bertentangan dengan hak orang lain, beretentangan dengan
kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban
umum, atau bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat baik
terhadap diri sendiri maupun orang lain, namun demikian suatu perbuatan
yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum ini tetap harus dapat
dipertanggungjawabkan apakah mengandung unsur kesalahan atau tidak.
Pelanggaran hukum dapat dikatakan telah melakukan
perbuatan melawan hukum, maka akibat dari pelanggaran hukum itu
harus membawa kerugian bagi pihak lain.
Menurut R. Setiawan, kerugian akibat perbuatan melawan hukum
yang dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan melawan hukum harus
memenuhi keempat unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata jo. Arrest Hoge Raad 31
Januari 1919 dalam perkara Cohen versus Lindenbaum yakni sebagai
berikut :
1) Adanya suatu perbuatan yang melanggar suatu hak hukum orang lain,
atau dengan kewajiban hukum si pembuat, atau bertentangan dengan
kesusilaan atau kepatutan dalam pergaulan hidup dalam masyarakat
perihal memperhatikan kepentingan orang lain;
2) Adanya kesalahan pada diri si pembuat, yang dilakukan dengan
sengaja atau tidak sengaja;
3) Adanya kerugian pada diri penggugat; dan
4) Adanya hubungan kausal (sebab akibat ) antara kesalahan si pembuat
dengan kerugian yang timbul.
Dengan demikian, untuk membuktikan adanya perbuatan melawan
hukum, maka yang harus dibuktikan selain adanya perbuatan yang
melawan hukum, harus juga dibuktikan unsur adanya kerugian, kesalahan

81 | H . P E R I K A T A N
dan hubungan kausalitas antara kerugian dan kesalahan, yang mana
unsur-unsur tersebut tidak diatur dalam Pasal 1372 KUH Perdata
sehingga untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum atas
tindakan pencemaran nama baik, Pasal 1372 KUH Perdata tidak dapat
digunakan secara sendiri, tetapi membutuhkan penjabaran unsur-unsur
Pasal 1365 KUH Perdata.
Tuntutan Ganti Kerugiandalam Perkara Perbuatan Melawan Hukum
karena Tindakan Pencemaran Nama Baik (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor : 568/1968.G ) Tuntutan
ganti kerugian dalam perkara Nomor : 568/1968.G yang diajukan oleh H.
Adam Malik selaku Penggugat kepada Drs. Suarno Putro (Tergugat I) dan
Mardali Syarif (Tergugat II) adalah sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh
juta rupiah) baik bersama-sama maupun secara tanggung renteng.
Menurut Penggugat, jumlah Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
tersebut sebenarnya adalah sedikit sekali, apabila diingat kedudukan
Penggugat sebagai Menteri Luar Negeri RI yang bertanggung jawab atas
urusan-urusan luar negeri RI dengan hubungan keseluruhan dunia
internasional. Meskipun demikian jumlah Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah) yang dituntut oleh Penggugat dari para Tergugat semata-mata
mengingat kemampuan dari para Tergugat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1372 ayat 2 KUH Perdata. Secara garis besar, pihak yang merasa
dirugikan atas suatu perbuatan penghinaan dapat menuntut, antara lain
adalah :
1) Ganti Rugi Nominal Jika adanya perbuatan melawan hukum yang
serius, seperti perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan, tetapi
tidak menimbulkan kerugian yang nyata bagi korban, maka kepada
korban dapat diberikan sejumlah uang tertentu sesuai dengan rasa
keadilan tanpa menghitung berapa sebenarnya kerugian tersebut.
2) Ganti Rugi Kompensasi Ganti rugi kompensasi (compensatory
damages) merupakan ganti rugi yang merupakan pembayaran kepada
korban atas dan sebesar kerugian yang benar-benar telah dialami oleh
pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum. Karena itu, ganti

82 | H . P E R I K A T A N
rugi seperti ini disebut juga dengan ganti rugi aktual. Misalnya, ganti
rugi atas segala biaya yang dikeluarkan oleh korban, kehilangan
keuntungan/gaji, sakit dan penderitaan, termasuk penderitaan mental
seperti stres, malu, jatuh nama baik dan lainlain.
3) Ganti Rugi Penghukuman Ganti rugi penghukuman (punitive
damages) merupakan suatu ganti rugi dalam jumlah besar yang
melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya. Besarnya jumlah
ganti rugi tersebut dimaksudkan sebagai hukuman bagi si pelaku.
Ganti rugi penghukuman ini layak diterapkan terhadap kasus-kasus
kesengajaan yang berat atau sadis. Misalnya diterapkan terhadap
penganiyaan berat atas seseorang tanpa rasa perikemanusiaan.
Di samping ketiga bentuk ganti rugi di atas, menurut Wirjono
Prodjodikoro bahwa ganti kerugian dalam hal penghinaan, selain ganti
kerugian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1372 KUH Perdata, juga
dikenal ganti kerugian yang berupa suatu keterangan resmi dari Hakim
tentang keputusan pengadilan yang diumumkan dalam wujud ditempelkan
di tempat umum, di banyak tempat yang dipandang pantas oleh Hakim
atas biaya Tergugat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1373 KUH
Perdata. Sehubungan dengan tuntutan Penggugat dalam perkara Nomor :
568/1968.G, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang merupakan kiblatnya
hukum perdata di Indonesia, termasuk kiblat bagi hukum yang berkenaan
dengan perbuatan melawan hukum, mengatur kerugian dan ganti rugi
dalam hubungannya dengan perbuatan melawan hukum dengan 2 (dua)
pendekatan yaitu ganti rugi umum dan ganti rugi khusus.
Menurut Munir Fuady, yang dimaksud dengan ganti rugi umum
adalah ganti rugi yang berlaku untuk semua kasus, baik untuk kasus
wanprestasi kontrak maupun kasus yang berkenaan dengan perikatan
lainnya termasuk karena perbuatan melawan hukum. Ketentuan tentang
ganti rugi umum diatur dalam bagian keempat dari buku ketiga KUH
Perdata, mulai Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252. Yang dimaksud
dengan ganti rugi khusus adalah ganti rugi khusus terhadap kerugian yang

83 | H . P E R I K A T A N
timbul dari perikatan-perikatan tertentu. Dalam hubungan dengan ganti
rugi yang terbit dari suatu perbuatan melawan hukum, selain dari ganti
rugi bentuk umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 sampai dengan
Pasal 1252 KUH Perdata, juga menyebutkan pemberian ganti rugi
terhadap halhal yang diatur dalam Pasal 1365 sampai dengan 1380 KUH
Perdata.
Menurut Munir Fuady, ganti rugi terhadap perbuatan melawan
hukum berupa penghinaan atau penjatuhan nama baik, umumnyadalam
bentuk ganti rugi immateriil, diberikan dengan mengikuti persyaratan
yuridis sebagai berikut :
1) Memperhatikan berat ringannya penghinaan;
2) Memperhatikan pangkat, kedudukan dan kemampuan si terhina;
3) Memperhatikan pangkat, kedudukan dan kemampuan yang menghina;
4) Memperhatikan situasi dan kondisi;
5) Memperhatikan pernyataan menyesal dan permintaan maaf di depan
umum;
6) Memperhatikan adanya perdamaian atau pengampunan di antara para
pihak. Hal ini bahkan dapat menggugurkan tuntutan.
Dengan demikian, apabila ada perbuatan melawan hukum yang
menimbulkan kerugian, maka yang harus dibuktikan selain adanya
perbuatan yang melawan hukum, harus juga dibuktikan unsur adanya
kerugian, kesalahan dan hubungan kausalitas antara kerugian dan
kesalahan, yang mana unsur-unsur tersebut tidak diatur dalam Pasal 1372
KUH Perdata sehingga untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan
hukum atas tindakan pencemaran nama baik, Pasal 1372 KUH Perdata
tidak dapat digunakan secara sendiri, tetapi membutuhkan penjabaran
unsur-unsur Pasal 1365 KUH Perdata.
Dalam konteks ini, ganti kerugian akibat pelanggaranperbuatan
melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUH
Perdata, apabila pelanggaran tersebut menyangkut nama baik dan
kehormatan (penghinaan ) maka ganti ruginya harus merujuk pada Pasal
1372 KUH Perdata. Akan tetapi, penghinaan yang diatur dalam Pasal

84 | H . P E R I K A T A N
1372 KUH Perdata tidak menentukan batasan tentang apa yang dimaksud
dengan penghinaan dan juga tidak menentukan pedoman yang tegas
tentang cara menentukan besarnya ganti kerugian akibat penghinaan.
Sekalipun demikian, ada suatu ciri yang dapat disimpulkan dari bunyi
Pasal 1372 KUH Perdata, yang berbicara tentang “kehormatan dan nama
baik”. Dengan demikian, ketentuan tersebut dapat dipakai sebagai
patokan umum untuk menyatakan bahwa penghinaan selalu berkaitan
dengan tindakan atau sikap seseorang yang menyerang atau melanggar
kehormatan dan nama baik seseorang.
Di sisi lain, keberadaan Pasal 1372 KUH Perdata tidaklah bisa
dilepaskan dari keberadaan Pasal 310 KUH Pidana. Artinya, harus
ditemukan adanya unsur kesengajaan sebagaimana dinyatakan secara
tegas dalam Pasal 310 KUH Pidana 31 Pasal 310 KUHP : "Barang siapa
sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui
umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama
sembilan Dengan demikian, berkaitan dengan tuntutan, pada dasarnya
landasan hukum dan peristiwa yang menjadi dasar permohonan, cukup
memuat dan menjelaskan hubungan hukum (rechtsver houding) antara
diri pemohon dengan permasalahan hukum yang dipersoalkan.
Sehubungan dengan itu, fundamentum petendi atau posita permohonan,
pada prinsipnya didasarkan pada ketentuan pasal undang-undang yang
menjadi alasan permohonan, dengan menghubungkan ketentuan itu
dengan peristiwa yang dihadapi pemohon. Sehubungan dengan tuntutan
Penggugat dalam Perkara Nomor : 568/1968.G, dalam KUH Perdata tidak
dengan tegas atau bahkan tidak mengatur secara rinci tentang ganti rugi
tertentu, atau tentang salah satu aspek dari ganti rugi, maka Hakim
mempunyai kebebasan untuk menerapkan ganti rugi tersebut sesuai
dengan asas kepatutan, sejauh hal tersebut memang dimintakan oleh
pihak penggugat.
Oleh karena itu, Hakim atau pengadilan tidak diwajibkan
mengabulkan semua yang diminta dalam petitum secara utuh atau

85 | H . P E R I K A T A N
menyeluruh. Pengadilan berwenang mengurangi petitumbulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah". M. Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilangugatan. Salah satu kasus
pengurangan petitum ialah dalam putusan ini, di mana hakim hanya
mengabulkan sebagian dari petitum penggugat.

2. Tinjauan Yuridis Putusan Hakim dalam Perkara Perbuatan


Melawan Hukum yang Mengakibatkan Kerugian
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor :
568/1968.G)
a. Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta
Pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Istimewa
Jakarta dalam memutus perkara Nomor : 568/1968.G adalah
bahwa perbuatan Tergugat yang telah memuat berita tentang
kebijaksanaan Penggugat sebagai Menteri Luar Negeri terhadap
dihukum matinya dua orang anggota KKO dengan judul “Adam
Malik Boneka Subversi” merupakan perbuatan melawan hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal
1372 KUH Perdata karena telah mencemarkan nama baik
(menghina) Penggugat. Di samping itu, Majelis Hakim harus
membuktikan pelanggaran hukumnya, perbuatan melawan hukum
tersebut dilakukan sengaja atau tidak, juga
harusmempertimbangkan rasa keadilan, kepatutan dan kelayakan.
b. Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta
Pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta
menjatuhkan putusan menguatkan keputusan hakim pertama
dalam putusannya aquo, kecuali mengenai ganti kerugian.
c. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta dalam
Perkara Nomor : 568/1968.G adalah :

86 | H . P E R I K A T A N
1) Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, menyatakan
bahwa berita yang dimuat dalam mingguan bebas tanggal 10
November 1968 halaman I kolom 5-6 bersambung halaman VI
kolom 4-5 yang berjudul “Adam Malik Boneka subversi”
adalah suatu penghinaan.
2) Menghukum Para Tergugat membayar uang ganti kerugian
kepada penggugat masing-masing ½ (setengahnya) dari
jumlah Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
3) Menghukum Para Tergugat membayar masing-masing ½
(setengah)nya dari ongkos-ongkos perkara.
4) Menolak penggugat untuk selebihnya. Atas putusan Hakim
tersebut, pihak Penggugat mengajukan upaya hukum banding.
Adapun Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor :
113/1970 PT Perdata tanggal 17 April 1971, menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta, dengan amar putusan sebagai
berikut : a. Menerima permohonan banding dari Penggugat atau
Pembanding. b. Memperbaiki keputusan Pengadilan Negeri
istimewa Jakarta tanggal 23 Juni 1969 No. 568.1968.G sekedar
mengenai pembayaran ganti kerugian; c. Menghukum Para
Tergugat, baik bersamasama maupun secara tanggung renteng
membayar uang ganti kerugian kepada Penggugat sebesar Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah); d. Menguatkan Keputusan itu untuk
sebaliknya; e. Menghukum Para Tergugat membayar biaya
perkara dalam kedua tingkatan, yang dalam tingkat banding
ditaksir sebesar Rp. 40,- (empat puluh rupiah).
d. Tinjauan Yuridis Putusan
1) Putusan Hakim menyatakan Tergugat telah melakukan
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Sebelum diputuskan apakah para Tergugat melakukan perbuatan
melawan hukum, terlebih dahulu harus dipertimbangkan apakah benar
telah terjadi suatu perbuatan penghinaan dan sejauh mana kerugian
telah timbul sehubungan dengan perbuatan penghinaan tersebut.

87 | H . P E R I K A T A N
Untuk menentukan hal ini sangatlah tergantung kepada pendapat dan
keyakinan hakim yang menangani perkara Nomor : 568/1968.G.
Dalam pengadilan tingkat pertama dan banding perkara Nomor :
568/1968.G, majelis hakim tidak menjabarkan setiap unsur dalam
perbuatan melawan hukum namun langsung menyatakan bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh para Tergugat tidak sesuai dengan
Undang-Undang Nomor II tahun 1960 tentang PERS dan melanggar
hak-hak pribadi (kehormatan dan nama baik) Penggugat serta
bertentangan dengan asas kepatutan, asas ketelitian dan asas kehati-
hatian yang seharusnya dimiliki oleh seseorang dalam pergaulan
dengan sesama masyarakat sehingga hal ini termasuk dalam kategori
suatu perbuatan melawan hukum. Sebagaimana telah diuraikan di
atas, bahwa suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan melawan
hukum sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1365 KUH
Perdata
Apabila perbuatan tersebut memenuhi lima unsur, yakni

1) harus ada perbuatan;


2) perbuatan tersebut harus melawan hukum;
3) adanya kesalahan dari pihak pelaku(schuld);
4) ada kerugian bagi korban;
5) adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum
dengan kerugian;

Unsur-unsur ini harus dipenuhi secara kumulatif. Tidak


terpenuhinya salah satu atau lebih unsur berakibat gugatan perbuatan
melawan hukum menjadi tidak terbukti. Sehubungan dengan
uraianuraian sebagaimana tersebut di atas, perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh para Tergugat dinyatakan telah memenuhi semua
unsur perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUH
Perdata

88 | H . P E R I K A T A N
VI. JURISPRUDENSI PERBUATAN MELAWAN HUKUM
A. Analisis pertimbangan hukum dari hakim terhadap perkara putusan
Mahkamah Agung No. 352/PK/PDT/2010 :
Tuan Abuyani bin Abdul Roni sebagai pasien katarak Rumah Sakit
Umum Dr. Mochammad Hoesin Palembang (RSMH) ingin menuntut
tanggung jawab dokter RSMH, karena dokter yang mengoperasi terhadap
mata sebelah kiri yang berakhir dengan kebutaan.
Dalam kasus Abuyani tersebut, yang menjadi permasalahan tidak
hanya kasus malpraktek yang dilakukan oleh dokter yang mengoperasi
mata kiri Abuyani, melainkan juga suatu perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh pimpinan RSMH dengan tidak memberitahukan nama
dokter yang melakukan tindakan operasi katarak yang berakhir dengan
kebutaan tersebut.
Tindakan pimpinan RSMH dengan tidak memberitahukan nama
dokter yang melakukan tindakan operasi katarak yang berakhir dengan
kebutaan tersebut menghalangi Abuyani untuk menuntut tanggung jawab
dokter yang melakukan operasi mata sebelah kiri Abuyani. Kasus
Abuyani ini berawal dari pemeriksaan mata sebelah kiri oleh dokter Kiki
selaku dokter di RSMH yang menyatakan bahwa Abuyani menderita mata
katarak dan bisa dioperasi. Keesokan harinya, tanggal 29 November
2005, Abuyani menjalani operasi mata katarak (sebelah kiri) di RSMH,
dengan mendapat bantuan pendanaan dari Pertamina, tetapi dokter yang
melakukan operasi terhadap Abuyani berbeda dengan dokter yang
melakukan pemeriksaan awal dan Abuyani tidak mengetahui nama dokter
tersebut.
Ketika operasi berlangsung, Abuyani hanya dibius lokal, sempat
mendengar kata-kata yang diucapkan dokter yang melakukan operasi,
yang membuat Abuyani sangat cemas, Seperti perkataan “nah
…terpootong”, “ini pisau tidak tajam”, dan “talinya, apa tidak ada tali
yang lain? Tali ini tidak bagus”.

89 | H . P E R I K A T A N
Hasil pada pemeriksaan pasca operasi di RSMH di luar perkiraan
Abuyani. Mata kiri Abuyani yang dioperasi harus diangkat, dan pada
tanggal 7 Desember 2005 pengangkatan dilakukan di RSMH. Sejak itu
mata sebelah kiri Abuyani menjadi buta. Abuyani tidak bisa menerima
kebutaan mata sebelah kiri begitu saja, sebab menurut Abuyani, ada
ketidakberesan terjadi ketika operasi mata pada tanggal 29 November
2005, hal ini tercermin dari perkataan dokter ketika sedang melakukan
operasi. Karena hal ini, Abuyani menduga telah terjadi malpraktek atau
kelalaian medis. Dalam usaha menuntut tanggung jawab dokter yang
melakukan operasi mata katarak yang berakhir dengan kebutaan, Abuyani
mempertanyakan nama dokter yang melakukan operasi yang belum dia
ketahui kepada pimpinan RSMH, tetapi pimpinan RSMH tidak mau
memberitahukan nama dokter tersebut. Abuyani memohon kepada
Pengadilan Negeri Palembang untuk menyelesaikan kasus antara dirinya
dengan pihak Pimpinan RSMH. Dengan tuntutan primair
1. Mengabulkan Gugatan Abuyani untuk seluruhnya
2. Menyatakan Tindakan pimpinan RSMH yang tidak memberitahukan
nama dokter yang melakukan operasi mata sebelah kiri Menyebabkan
Abuyani tidak dapat menuntut dokter tersebut yang diduga melakukan
malpraktek atau kelalaian medis sebagai tindakan melawan hukum.
3. Menghukum pimpinan RSMH untuk membayar ganti rugi
sebesarRp312.500.00,- (tiga ratus dua belas juta lima ratus ribu
rupiah), dengan rincian sebagai berikut:
a. Untuk kerugian materil, sebesar Rp 112.500.000,- (seratus dua
belas juta lima ratus ribu rupiah)
b. Untuk kerugian immaterial, sebesar Rp200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah)
4. Menetapkan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp500.000,- (lima ratus
ribu rupiah) perhari, apabila pimpinan RSMH lalai membayar uang
ganti rugi kepada Abuyani sedangkan terhadap gugatan yang
dilakukan Abuyani terhadap dirinya selaku pimpinan RSMH,

90 | H . P E R I K A T A N
maka pimpinan RSMH mengajukan 9 eksepsi pada pokoknya atas
dalil sebagai berikut :
a. Gugatan Abuyani kabur atau Obscuur Libel, dengan alasan hukum
sebagai berikut :
1) Hubungan hukum antara Abuyani dengan pimpinan RSMH
secara langsung tidak ada, sebab pimpinan RSMH hanya
penyedia sarana dan prasarana
2) Dasar gugatan Abuyani adalah perbuatan melawan hukum
(Pasal 1365 KUH Perdata) yang dilakukan oleh pimpinan
RSMH, padahal secara jelas Abuyani mendalilkan kegagalan
operasi yang dilakukan Dokter mata itulah yang menyebabkan
Abuyani mengalami kerugian.
3) Bahwa tidak ada hubungan antara perbuatan yang dilakukan
pimpinan RSMH dengan kerugian yang dialami Abuyani,
sebab ketidaktahuan pimpinan RSMH terhadap nama dokter
yang mengoperasi mata Abuyani tidak bisa dikatakan
perbuatan melawan hukum.
4) Perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 KUH Perdata
adalah suatu perbuatan dapat dikatakan perbuatan melawan
hukum apabila adanya kerugian yang dialami sebagai akibat
dari perbuatan tersebut. Dalam perkara ini ketidaktahuan
pimpinan RSMH atas nama dokter yang mengoperasi mata
Abuyani tidakdapat dikatakan sebagai penyebab Abuyani
mengalami kebutaan
5) Berdasarkan alasan tersebut di atas, jelas bahwa gugatan
Abuyani kabur, karena tidak benar mengkualifikasikan
perbuatan pimpinan RSMH yang tidak tahu atas nama dokter
yang mengoperasi mata Abuyani sebagai perbuatan melawan
hukum yang menyebabkan mata sebelah kiri Abuyani tidak
berfungsi
6) Pimpinan RSMH selaku penyedia sarana dan prasarana secara
gratis tidak sebagai pengendali para dokter mata yang bakti

91 | H . P E R I K A T A N
social tetapi kendali oleh PERDAMI (Persatuan Dokter Mata
Indonesia) cabang Sumsel yang sebagai mana sebagai
organisasi mempunyai AD/ART sendiri adalah suatu hal yang
tidak bisa disatukan, jadi wajar kalau pimpinan RSMH tidak
tahu secara mendetail kegiatan yang dilakukan PERDAMI.

b. Gugatan Abuyani Error in Persona


1) Abuyani dalam gugatannya melanggar pimpinan RSMH
sebagai DIRUT mengetahui segala kegiatan yang dilakukan
semua organisasi-organisasi yang dianggotai dokter adalah
tidak tepat, sebab sebuah organisasi tentu mempunyai
AD/ART sendiri, peraturan sendiri dan tanggung jawab
sendiri.
2) Jadi tidak benar apabila ketidaktahuan pimpinan RSMH
terhadap kegiatan yang dilakukan oleh sebuah organisasi
dianggap suatu perbuatan melawan hukum
3) Tidak juga apabila ketidaktahuan pimpinan RSMH terhadap
dokter yang mengoperasi mata dianggap sebagai penyebab
sakitnya mata Abuyani dan pelaksanaan operasi sebagai
penyebab sakitnya mata Abuyani dan pelaksanaan operasi
selain di RSMH juga di RS. Pertamina dan pendanaan juga
ditanggung Pertami, bukan RSMH.
4) Berdasarkan alasan-alasan tersebut jelas gugatan Abuyani
Error in Persona.
5) Penggugat menganggap tanggapan tergugat diatas telah
menunjukkan adanya malpraktek.
6) Keinginan menuntut tanggungjawab Dokter RSMH
Palembang terhalang oleh sikap tidak bisa memberitahu
Dokter yang melakukan operasi terhadap gugatan.
7) Sikap tergugat yang tidak bersedia memberikan nama
Dokteryang melakukan operasi terhadap gugataN.

92 | H . P E R I K A T A N
8) Sikap tergugat yang tidak bersedia memberikan nama
Dokteryang melakukan operasi berarti tergugat melakukan
perbuatan melawan hukum
Menurut Pasal 1365 KUH Perdata tiap perbuatan melanggar
hukum yang membawa kerugian bagi orang lain karena salahnya
menyebabkan kerugian itu, mengganti kerugian itu.
Pada Putusan Pengadilan Negeri Palembang No.
18/Pdt.G/2006/PN.PLG tanggal 4 Juli 2006, dalam eksepsi :
Menyatakan eksepsi pimpinan RSMH dikabulkan untuk sebagaian,
dalam pokok perkara : Menyatakan gugatan Abuyani tidak dapat diterima
dan Menghukum Abuyani untuk membayar biaya perkara sebesar Rp
121.000,- (seratus dua puluh satu ribu rupiah).

B. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Palembang No.


18/Pdt.G/2006/PN.PLG
Sebagaimana Hakim Pengadilan Negeri Palembang menyatakan
eksepsi pimpinan RSMH dikabulkan untuk sebagian yaitu menyatakan
gugatan Abuyani tidak dapat diterima.
Dalam hal ini penulis tidak setuju dengan Hakim Pengadilan Negeri
Palembang. Hal ini berkaitan dengan isi gugatan Abuyani yang
menginginkan Hakim untuk mengabulkan gugatan yang menyatakan
tindakan pimpinan RSMH yang tidak memberitahukan nama dokter yang
melakukan operasi mata sebelah kiri menyebabkan Abuyani tidak dapat
menuntut dokter tersebut yang diduga melakukan malpraktek atau
kelalaian medis sebagai tindakan melawan hukum, namun hakin tidak
mengabulkan gugatan tersebut.
Menimbang gugatan Abuyani, Hakim seharusnya mengabulkan
gugatan Abuyani yang ingin tindakan tindakan pimpinan RSMH yang
tidak memberitahukan nama dokter yang melakukan operasi mata sebelah
kiri menyebabkan Abuyani tidak dapat menuntut dokter tersebut yang
diduga melakukan malpraktek atau kelalaian medis sebagai tindakan
melawan hukum. Karena Abuyani menitikberatkan gugatan pada tidak

93 | H . P E R I K A T A N
dapatnya Abuyani menuntut dokter yang melakukan operasi mata sebelah
kirinya sebagai akibat pimpinan RSMH yang tidak mau memberitahukan
nama dokter tersebut. Abuyani tidak pernah mengajukan gugatan kepada
pimpinan RSMH dengan tuntutan pimpinan RSMH yang melakukan
dugaan malpraktek sehingga menyebabkan Abuyani buta.
Berdasarkan rumusan Pasal 1365 KUH Perdata maka ada empat
syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut kerugian adanya perbuatan
melawan hukum tentu saja termasuk malpraktek hukum kedokteran yang
masuk kualifikasi perbuatan melawan hukum, syaratnya adalah adanya
perbuatan (daad) yang termasuk kualifikasi perbuatan melawan hukum,
adanya kesalahan (doelus maupun culpa) si pembuat, adanya akibat
kerugian (schade), adanya hubungan perbuatan dengan akibat kerugian
(oorzalijk verband atau causal verband) orang lain.
Dalam kasus Abuyani terhadap Direktur Utama RSMH Palembang,
terdapat perilaku yang membuktikan bahwa tindakan Direktur Utama
RSMH Palembang yang tidak mau memberitahukan nama Dokter yang
melakukan operasi mata sebelah kiri Abuyani berakhir dengan kebutaan
sehingga Abuyani tidak dapat menuntut Dokter tersebut adalah tindakan
melawan hukum, karena memenuhi syarat yang ada dalam Pasal 1365
KUH Perdata.
a.Adanya perbuatan (daad) yang termasuk kualifikasi perbuatan melawan
hukum terdapat perbuatan yang melanggar kewajiban daripada
rumah sakit sendiri yang sebagaimana diatur dalam UU No. 44 Tahun
2009 tentang rumah sakit. Dalam hal ini yang dilanggar adalah Pasal 29
ayat (1) huruf l (memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai hak dan kewajiban pasien) dan q (membuat daftar tenaga
medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan
tenaga kesehatan lainnya).
b. Adanya kesalahan (doelus maupun culpa) si pembuat
Kesalahan rumah sakit dalam kasus ini adalah juga melanggar hak
pasien yang diatur dalam UU No. 44 Tahun 2009 pasal 32 huruf e
(memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar

94 | H . P E R I K A T A N
dari kerugian fisik dan materi) dan huruf j (mendapat informasi yang
meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis,
alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya
pengobatan).
c.Adanya akibat kerugian (schade) Kerugian yang dialami Abuyani
adalah mata sebelah kiri Abuyani yang di operasi mengalami kebutaan,
sehingga mata sebelah kiri Abuyani tidak dapat melihat.
d. Adanya hubungan perbuatan dengan akibat kerugian (oorzalijk
verband atau causal verband) orang lain. Perbuatan Rumah Sakit yang
tidak mau memberitahukan nama dokter yang melakukan operasi mata
sebelah kiri Abuyani mengakibatkan Abuyani tidak dapat menggugat
dan atau menuntut tanggung jawab dokter yang melakukan operasi mata
sebelah kiri Abuyani tersebut.

Dengan terpenuhinya empat syarat yang berdasarkan Pasal 1365


KUH Perdata yang menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum,
maka gugatan Abuyani tidak kabur maupun error in persona seperti yang
terdapat dalam eksepsi RSMH.
Pada Putusan Pengadilan Tinggi Palembang No.
62/PDT/2006/PT.PLG tanggal 13 April 2007 adalah : Menerima
permohonan banding dari Abuyani, menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Palembang No. 18/Pdt.G/2006/PN.PLG tanggal 4 Juli 2006 yang
dimintakan banding tersebut, menghukum Abuyani untuk membayar
semua biaya perkara yang timbul dalam kedua tingkat peradilan, yang
dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp 300.000,- (tiga ratus ribu
rupiah).

C. Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Palembang No.


62/PDT/2006/PT.PLG

95 | H . P E R I K A T A N
Sebagaimana Hakim Pengadilan Tinggi Palembang yang menerima
permohonan banding Abuyani dan menguatkan Putusan Pengadilan
Negeri Palembang No.18/Pdt.G/2006/PN.PLG.
Putusan Hakim Pengadilan Tinggi Palembang ini merujuk pada
fungsi Pengadilan Tinggi sebagai Pengadilan Tingkat Banding di mana
Pengadilan Tinggi memeriksa kembali fakta-fakta serta bukti dari
Pengadilan Negeri untuk memutuskan suatu perkara yang dianggap
belum memberikan suatu kepuasan atau keadilan. Akan tetapi penulis
tidak sependapat dengan Hakim Pengadilan Tinggi yang menguatkan
Putusan Pengadilan Negeri dan tidak memperbaiki Putusan Pengadilan
Negeri tersebut. Sementara terdapat fakta-fakta dan bukti untuk Hakim
dapat mengabulkan gugatan Abuyani yang ingin menyatakan tindakan
RSMH yang tidak memberitahukan nama dokter yang melakukan operasi
mata sebelah kiri yang menyebabkan Abuyani tidak dapat menuntut
dokter tersebut yang diduga melakukan malpraktek atau kelalaian medis
sebagai tindakan melawan hukum telah penulis paparkan dalam Analisis
Putusan Pengadilan Negeri.
Pada Putusan Mahkamah Agung RI No. 1752 K/Pdt/2007 tanggal
20 Februari 2008 adalah mengabulkan permohonan kasasi dari Abuyani,
dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Palembang No.
62/PDT/2006/PT.PLG tanggal 13 April 2007 yang menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Palembang No. 18/pdt.G/2006/PN.PLG tanggal 4 Juli
2006, dimana :
a. Mengabulkan gugatan Abuyani untuk sebagian
b. Menyatakan tindakan pimpinan RSMH yang tidak mau
memberitahukan nama Dokter yang melakukan operasi mata sebelah
kiri Abuyani yang berakhir dengan kebutaan sehingga
Abuyani tidak dapat menuntut dokter tersebut adalah tindakan
melawan hukum
c. Menghukum pimpinan RSMH untuk membayar ganti rugi
kepada Abuyani sebesar Rp 315.500.000,- (tiga ratus lima belas
juta lima ratus ribu rupiah).

96 | H . P E R I K A T A N
d. Menolak gugatan penggugat selebihnya.

D. Analisis Putusan Mahkamah Agung RI No. 1752 K/Pdt/2007


Menurut penulis sudahlah tepat. Berkaitan dengan Pasal 1365
KUH Perdata misalnya, setiap orang mendalilkan adanya perbuatan
melawan hukum harus membuktikan telah terjadi perbuatan melawan
hukum itu. Beban pembuktian terhadap dasar gugatan menurut Pasal
1365 KUH Perdata tidak bersifat limitatif (tertutup), karena pengertian
dari perbuatan melawan hukum bisa diartikan secara luas, yaitu baik
hukum tertulis maupun tidak tertulis, dimana hukum tidak tertulis bisa
juga terpengaruh oleh asas kesusilaan, kepatutan dan rasa keadilan serta
ketertiban yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu terdapat
yurisprudensi yang mendefinisikan perbuatan melawan hukum secara
luas, yaitu Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 yang mendefinisikan
perbuatan melawan hukum sebagai “berbuat atau tidak berbuat yang
melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum
sendiri atau kesusilaan atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap
diri atau benda orang lain”.
Berdasarkan rumusan Pasal 1365 KUH Perdata maka ada empat
syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut kerugian adanya perbuatan
melawan hukum tentu saja termasuk malpraktek hukum kedokteran yang
masuk kualifikasi perbuatan melawan hukum, syaratnya adalah adanya
perbuatan (daad) yang termasuk kualifikasi perbuatan melawan hukum,
adanya kesalahan (doelus maupun culpa) si pembuat, adanya akibat
kerugian (schade), adanya hubungan perbuatan dengan akibat kerugian
(oorzalijk verband atau causal verband) orang lain. Dalam kasus Abuyani
terhadap Direktur Utama RSMH Palembang, terdapat perilaku yang
membuktikan bahwa tindakan Direktur Utama RSMH Palembang yang
tidak mau memberitahukan nama Dokter yang melakukan operasi mata
sebelah kiri Abuyani berakhir dengan kebutaan sehingga Abuyani tidak
dapat menuntut Dokter tersebut adalah tindakan melawan hukum, karena
memenuhi syarat yang ada dalam Pasal 1365 KUH Perdata tersebut.

97 | H . P E R I K A T A N
Putusan Mahkamah Agung yang menetapkan pimpinan RSMH
untuk membayar ganti rugi kepada Abuyani sebesar Rp 315.500.000,-
(tiga ratus lima belas juta lima ratus ribu rupiah) menurut penulis tidak
adil. Pihak RSMH bukanlah pihak yang bertanggung jawab atas dugaan
malpraktek yang dialami oleh Abuyani, sehingga tidak tepat RSMH
membayarkan ganti rugi sebesar Rp. 315.500.000,- (tiga ratus lima belas
juta lima ratus ribu rupiah) yang didalamnya terdapat ganti rugi yang
diakibatkan kerugian immaterial yang disebabkan oleh dampak psikologis
akibat dari kebutaan mata sebelah kiri yang seharusnya tidak dibebankan
kepada RSMH melainkan dokter yang melakukan operasi mata Abuyani.
Menimbang, bahwa sesudah dasar pertimbangan putusan yang telah
mempunyai Mahkamah Agung Republik kekuatan hukum tetap tersebut,
yaitu Indonesia :
putusan Mahkamah Agung No. 1752 menimbang, bahwa
Permohonan K/Pdt/2007 tanggal 20 Februari 2008 Peninjauan
Kembali/Termohon diberitahukan kepada Termohon Peninjauan Kembali
Telah Kasasi dahulu Terbanding/Tergugat mengajukan alasan-alasan
pada tanggal 11 November 2009 peninjauan kembali yang pada
kemudian terhadapnya oleh pokoknya sebagai berikut: Termohon Kasasi
dahulu
a. Bahwa dalil pokok yang Terbanding/Tergugat dengan diajukan
dasar gugatanOleh perantaraan kuasanya, berdasarkan
Penggugat/Termohon surat kuasa khusus tanggal 25
Peninjauan Kembali adalah Januari 2010 diajukan permohonan
Pasal 1365 KUH Perdata peninjauan kembali secara lisan di yang
isinya : “Tiap perbuatan Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Melanggar hukum, Yang Palembang pada tangga l5 Maret
Membawa kerugian Kepada 2010 sebagaimana ternyata dalam
seorang lain, mewajibkan akta permohonan peninjauan kembali
yang karena salahnya No.18/Pdt.G/2006/PN.PLG Jo.
No.menerbitkan kerugian itu, 02/Srt.Pdt/PK/2010/PN.PLG.

98 | H . P E R I K A T A N
mengganti Kerugian Permohonan mana disertai dengan
tersebut.”; alasan-alasannya yang diterima
b. Bahwa judex facti dalam Kepaniteraan Pengadilan Negeri
memutus perkara quo tersebut pada tanggal 5 Maret 2010;
ternyata telah memberikan meenimbang bahwa tentang
pertimbangan hukum dengan Permohonan peninjauan kembali
mendasarkan kepada tersebut telah diberitahukan kepada
ketentuan Pasal 1367 KUH pihak lawan dengan seksama
pada Perdata yang isinya : tanggal 22 Maret 2010
kemudian“Seorang tidak sajak terhadapnya oleh pihak
lawannya bertanggung jawabuntuk telah diajukan jawaban yang
diterima kerugian yang disebabkanperbuatannya sendiri juga untuk
kerugian yang di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tetapi
Palembang pada tanggal 13 April 2010; Menimbang, bahwa oleh
disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya
atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya:” sehingga menyatakan tindakan
Tergugat/Pemohom/Peninjauan kembali yang tidak mau memberi
yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh brang- barang
yang berada dibawah pengawasannya”; Sehingga menyatakan
tindakan Trgugat/Pemohon/Peninjauan kembali yang tidak mau
memberi tahu nama dokter yang melakukan operasi mata sebelah
kiri sehingga berakhir dengan kebutaan. Sehingga
penggugat/Termohon Peninjauan menuntut kembali Dokter tersebut
adalah tindakan melawan hukum. Karena itu sesuai dengan pasal
68, 6, 71 dan 72 Undang- Undang No. 14 tahun 1985 sebagaimana
yang telah diubah dengan dengan undang-undang No, 5 tahun
2004, permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-
alasannya yang diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara
yang ditentukan undang-undang, formal dapat diterima;
c. Bahwa Pasal 1365 KUH Perdata yang dijadikan dasar gugatan oleh
Penggugat/Termohon Peninjauan Kembali adalah perikatan yang

99 | H . P E R I K A T A N
lahir dari Undang-Undang karena perbuatan seorang yang
melanggar hukum (onrechmatige daad). Lalu apakah yang
dimaksud dengan perbuatan melawan hukum (onrematige daad)
tersebut? Mula-mula para ahli hukum begitu pula Hakim
menganggap sebagai demikian hanyalah perbuatan- perbuatan yang
melanggar Undang-Undang atau sesuatu hak (subjectief recht)
orang lain saja , dimana kemudian dengan putusan tanggal 31
Januari 1919 Hoge Raad telah memberikan pengertian baru tentang
“onrechtma tige ”yaitu tidak saja perbuatan yang melanggar hukum
atau hak orang lain, tetapi juga tia perbuatan yang berlawanan
dengan ” kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat terhadap pribadi atau benda orang lain ” ;
d. Bahwa berkaitan dengan perkara a quo apakah sudah tepat dan
selayaknya menurut hukum tindakan Tergugat/Pemohon
Peninjauan Kembali yang tidak bisa memberitahukan nama Dokter
yang melakukan operasi mata sebelah kiri Penggugat/Termohon
Peninjauan Kembali dikwalifisir sebagai suatu perbuatan melawan
hukum? Dan apakah tindakan tersebut juga dapat dikwalifisir
sebagai suatu tindakan yang berlawanan dengan kepatutan yang
harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap pribadi atau
benda orang lain? Lalu bagaimanakah haknya apabila dianalogikan
ada seseorang yang menanyakan alamat orang lain yang kemudian
orang yang ditanya itu tidak mengetahui alamat orang yang
ditanyakan itu, apakah orang yang tidak tahu tadi bisa dikatakan
telah melakukan perbuatan melawan hukum;
e. Berdasarkan alat bukti surat dari Tergugat/Pemohon Peninjauan
Kembali, seperti bukti T-1 yaitu Surat Permohonan Izin Operasi
Katarak oleh Perhimpunan Dokter Ahli Mata (PERDAMI) cabang
Sumsel dalam Surat No.047/Perd.SS/XI/2005 dan T-2 yaitu
Jawaban Tergugat/Pemohon Peninjauan Kembali dalam Surat No.
YM.01.01.1.6894 perihal Persetujuan Izin Pemberian Untuk
Operasi Katarak kepada PERDAMI cabang Sumsel. Jelaslah bahwa

100 | H . P E R I K A T A N
seluruh dokumen administrasi pelaksanaan dilaksanakan oleh
PERDAMI cabang Sumsel dan dokumen administrasi tersebut
sepenuhnya menjadi milik PERDAMI cabang Sumsel, sehingga
sepenuhnya menjadi tanggungjawab PERDAMI cabang Sumsel;
f. Bahwa bertitik tolak pada hal tersebut di atas , kami selaku
Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa telah terdapat
kekhilafan Hakim ataupun kekeliruan yang nyata oleh Judex Yuris
dalam menerapkan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata yang
menjadi dasar gugatan Penggugat/Termohon Peninjauan Kembali;
g. Bahwa Judex Yuris Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung RI
dalam memberikan pertimbangan hukum dan memutus perkara a
quo adalah didasarkan pada ketentuan Pasa l1367 KUH Perdata
sehingga berpendapat bahwa Tergugat/Pemohon Peninjauan
Kembali akibat gagal operasi tersebut;
h. Bahwa dalam hal ini Judex Yuris telah keliru dalam memberik an
penafsirantentang“Pertanggung Jawaban” sebagaimana maksud
Pasal 1367 KUH Perdata;
i. Bahwa Pasal 1367 KUH Perdata hanya mengatur tentang
pertanggung jawaban seseorang terhadap perbuatan-perbuatan
orang lain yang berada dibawah pengawasannya atau yang bekerja
padanya dalam hubungan–hubungan sebagai berikut: orang tua atau
wali untuk anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan
mereka melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian itu padanya,
majikan untuk buruhnya, dalam melakukan pekerjaan yang
ditugaskan kepada mereka dan guru sekolah dan kepala tukang
untuk murid dan tukangnya selama mereka ini berada di bawah
pengawasan mereka;
j. Bahwa dalam perkara a quo , jelas-jelas yang melaksanakan
Operasi Katarak adalah PERDAMI cabang Palembang . Dengan
demikian jelaslah bahwa secara yuridis hubungan
Tergugat/Pemohon Peninjauan Kembali dengan PERDAMI cabang
Palembang bukan merupakan hubungan antara majikan dengan

101 | H . P E R I K A T A N
buruh. Oleh karena itu, Tergugat/Pemohon Peninjauan Kembali
tidak dapat diminta pertanggung jawaban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1367KUH Perdata;
k. Bahwa dalam perkara a quo Judex juris Majelis Hakim Mahkamah
Agung RI telah melakukan kekhilafan dalam memberikan
pertimbangan hukum dalam memutus perkara ini yaitu tidak
menerapkan ketentuan Pasal 30 Ayat (1) huruf c Undang-Undang
RI Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
RI Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI yang
berbunyi : “ lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu
dengan batalnya putusan yang bersangkutan”;
l. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka kami berpendapat
sangatlah keliru dan tidak tepat apabila Pasal 1367 KUH Perdata
secara serta merta dijadikan dasar pertanggung jawaban kami
selaku Pemohon Peninjauan Kembali/dahulu Termohon Kasasi
terhadap pelaksanaan operasi katarak yang senyatanya dilakukan
oleh PERDAMI cabang Sumatera selatan yang merupakan
organisasi profesi yang berdiri sendiri dan keberadaannya diluar
dari pada struktur Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang,
terlebih-lebih lagi hanya dengan alasan oleh karena kami selaku
Pemohon/dahulu Termohon Kasasi tidak dapat memberitahukan
nama dokter yang melakukan operasi mata Penggugat/Termohon
Peninjauan Kembali; Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan
peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan tentang adanya kekhilafan Hakim atau kekeliruan
nyata dalam putusan a quo tidak dapat dibenarkan sebab alasan
tersebut hanya merupakan pengulangan dari hal-hal yang telah
dipertimbangkan oleh Judex Juris Mahkamah Agung, yang
merupakan perbedaan pendapat antara Pemohon Peninjauan
Kembali dengan Judex Juris Mahkamah Agung dalam menilai

102 | H . P E R I K A T A N
fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan bukti-bukti yang
diajukan oleh kedua belah pihak di
m. Persidangan termasuk dalam menafsirkan perbuatan melawan
hukum yang berkaitan dengan tanggungjawab Tergugat dalam
operasi mata katarak Penggugat yang dilakukan oleh Dokter yang
ditunjuk oleh PERDAMI untuk melakukan operasi tersebut di
Rumah Sakit Muhammad Hoesin Palembang , hal mana bukan
merupakan alasan Peninjauan Kembali sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 67 huruf a s/d f Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo.
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 3
Tahun 2009; Bahwa disamping itu masalah tanggungjawab dokter
yang melakukan operasi mata katarak yang dilakukan di Rumah
Sakit Muhammad Hoesin Palembang tersebut merupakan masalah
intern Rumah Sakit Muhammad Hoesin dengan PERDAMI yang
tidak relevan bagi Penggugat, Namun demikian putusan peninjauan
kembali tersebut perlu diperbaiki sekedar mengenai besarnya ganti
rugi yang harus ditanggung oleh Tergugat yaitu dihitung sejak
gugatan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Palembang
hingga perkara ini diputus dalam peninjauan kembaliyaitu sejak
bulan Maret 2006 s/d November 2010 adal ah 56 bulan x Rp
1.500.000 = Rp 84.000.000, Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan diatas, maka permohonan peninjauan kembali yang
diajukan oleh: Pemerintah. RI cq. Menteri Kesehatan RI cq.
Direktur Utama Rumah Sakit Umum Dr. Moh. Hoesin Palembang
tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan Mahkamah
Agung R.I. No. 1752 K/Pdt/2007 tanggal 20 Februari 2008 yang
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Palembang No.
62/PDT/2006/PT.PLG tanggal 13 April 2007 yang menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Palembang No.18/Pdt.G/2006 /PN.PLG
tanggal 4 Juli 2006 sehingga amarnya seperti yang akan disebutkan
di bawah ini:

103 | H . P E R I K A T A N
n. Dan pada Peninjauan Kembali Yang Diajukan oleh pimpinan
RSMH, permohonan peninjaun Kembali harus ditolak dengan
perbaikan amar putusan Mahkamah Agung RI No. 1752
K/Pdt/2007 tanggal 20 Februari 2008 yang membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Palembang No. 62/PDT/2006/PT.PLG tanggal
13 April 2007 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri
Palembang No. 18/Pdt.G/2006/PN.PLG Tanggal 4 Juli 2006
sehingga amar selengkapnya sebagai berikut :
o. Dalam ekseps : Menolak eksepsi pimpinan RSMH untuk
seluruhnya, dalam pokok perkara :
1) Mengabulkan gugatan Abuyani untuk sebagian
2) Menyatakan tindakan pimpinan RSMH yang tidak
memberitahukan nama Dokter yang melakukan operasi mata
sebelah kiri Abuyani yang berakhir dengan kebutaan sehingga
Abuyani tidak dapat menuntut dokter tersebut adalah
tindakan melawan hukum
3) Menghukum pimpinan RSMH untuk membayar ganti rugi
kepada Abuyani sebesar Rp 84.000.000,-(delapan puluh empat
juta rupiah)
4) Menolak gugatan Abuyani untuk selebihnya
5) Dan menghukum pimpinan RSMH sebagai pemohon Peninjauan
Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan
peninjauan kembali ini sebesar Rp 2.500.000,- (dua juta lima
ratus ribu rupiah).
Analisis Penolakan Permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan
oleh pimpinan RSMH sudahlah tepat menurut penulis karena sudah sesuai
dengan Pasal 1365 KUH Perdata dan nilai ganti rugi yang sesuai dengan
kerugian yang dialami oleh Abuyani.

104 | H . P E R I K A T A N
VII. PERBEDAAN ANTARA WANPRESTASI DENGAN PERBUATAN
MELAWAN HUKUM
Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa yang dimaksud dengan
wanprestasi adalah "tidak memenuhi kewajiban yang timbul karena
perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang".
Berdasarkan pendapat tersebut, maka unsur-unsur wanprestasi itu adalah :
1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2) Memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru.
3) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
Diperhatikan pengertian dan unsur-unsur wanprestasi tersebut bukanlah
tidak menutup kemungkinan tindakan wanprestasi ini dapat dikatakan sebagai
perbuatan melawan hukum, karena dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu
ada kemungkinan disebabkan dua hal yaitu:
1. Kesalahan salah satu pihak, baik sengaja maaupun karena lalai.
2. Keadaan memaksa (force majeur)
Kemungkinan itu disebabkan oleh keadaan memaksa (force majeur)
mungkin hal ini dapat diterima sebagai wanprestasi, Tetapi jika kemungkinan
itu disebabkan kesalahan baik disengaja maupun tidak sengaja. Apakah
kemungkinan tersebut dapat dikatakan sebagai wanprestasi juga atau dapat
dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.
Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus
dilakukan dengan itikad baik.
Pasal 1338 KUHPerdata ini dihubungkan dengan kemungkinan yang
disebabkan kesalahan baik sengaja maupun tidak sengaja yang merupakan
salah satu kemungkinan terjadinya wanprestasi. Berarti tindakan itu bukan
tindakan wanprestasi, tetapi perbuatan melawan hukum dengan alasan salah

105 | H . P E R I K A T A N
satu pihak telah melangar persetujuaan yang berlaku sebagai undang-undang
atau bertentangan dengan kewajibannya.
Sebenarnya dari pengertian kedua lembaga ini dapat dilihat perbedaan
antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum yaitu bahwa di dalam
wanprestasi terdapat istilah somasi yaitu penetapan lalai yang disebut dalam
Pasal 1274 KUHPerdata. Dengan demikian wanprestasi itu terjadi apabila
salah satu pihak atau debitur misalnya setelah penetapan lalai ini ia masih
tetap tidak melakukan atau memenuhi pretasinya maka si debitur dapat
dikatakan wanprestasi. Di samping itu, pada umumnya tindakan wanprestasi
ini ada dikarenakan suatu perikatan yang dibuat oleh kedua belah pihak, baik
perikatan yang berdasarkan perjanjian maupun perikatan yang timbul karena
undang-undang. Sedangkan perbuatan melawan hukum tidak ada penetapan
lalai atau peringatan terlebih dahulu. Kemudian pada umumnya perbuatan
melawan hukum terjadi bukan karena suatu perikatan tetapi terjadi dengan
sendirinya yang dilakukan oleh si pembuat terhadap aturan hukum atau
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Persetujuan itu berlaku sebagai undang-undang, namun bukan berarti
pihak yang dengan kesalahannya tidak melakukan perjanjian itu dikatakan
telah melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi ia dikatakan telah
wanprestasi. Karena bersalah tidak melakukan prestasi yang telah
diperjanjikan dengan pihak lain.
Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
sumber perikatan adalah perjanjian dan undangundang. Perikatakn adalah
suatu hubungan hukum di bidang hukum kekayaan di mana satu pihak berhak
menuntut suatu prestasi dan pihak lainnya berkewajiban untuk melaksanakan
suatu prestasi. Sedangkan perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Definisi ini
mendapat kritik dari Prof. R. Subekti, karena hanya meliputi perjanjian
sepihak padahal perjanjian pada umumnya bersifat timbal balik, seperti
perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, perjanjian tukar menukar dan
sebagainya. Sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang terdiri atas

106 | H . P E R I K A T A N
perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan perikatan yang lahir dari
undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan manusia.
Perikatan yang lahir dari undang-undang yang berhubungan dengan
perbuatan manusia dapat dibagi atas perikatan yang halal dan perikatan yang
tidak halal, yaitu perbuatan melawan hukum. 12 Perikatan yang lahir dari
undang-undang saja, misalnya adalah hak dan kewajiban antara pemilik
pekarangan yang bertetangga. Pasal 667 Kitab UndangUndang Hukum
Perdata menyebutkan bahwa pemilik sebidang tanah atau pekarangan yang
letaknya terjepit di antara tanah milik orang lain sehingga dia tidak
mempunyai jalan keluar, berhak menuntut tetangganya untuk memberi jalan
melalui pekarangan milik tetangganya dengan membayar ganti rugi,
meskipun di antara mereka tidak ada perjanjian untuk itu.
Dengan dicabutnya ketentuan Buku II Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata oleh Undang-Undang tentang Pokok Pokok Agraria No. 5 Tahun
1960, maka ketentuan Pasal 667 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak
berlaku lagi. Jika terjadi sengketa antara para pihak yang mempunyai
pekarangan atau tanah yang letaknya bertetangga, maka perlindungan hukum
diserahkan kepada hakim dengan mengacu kepada asas bahwa hak milik atas
tanah berfungsi sosial. Selanjutnya perikatan yang lahir dari undang-undang
dan berhubungan dengan perbuatan manusia adalah Perwakilan Sukarela
yang diatur dalam Pasal 1354 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Pembayaran Tidak Wajib yang diatur dalam Pasal 1359 ayat (1) Kitab
UndangUndang Hukum Perdata. Perwakilan sukarela terjadi jika seseoran
tanpa diminta secara sukarela mewakili kepentingan orang lain. Maka demi
hukum orang ini harus menyelesaikan urusan orang yang diwakilinya sampai
orang yang diwakilinya dapat mengurus kepentingannya sendiri. Pihak yang
telah mewakili orang lain tanpa mendapat perintah, tidak berhak atas upah,
akan tetapi dia berhak memperoleh ganti rugi atas segala pengeluaran yang
bermanfaat bagi pengurusan tersebut.
Demikian bunyi ketentuan Pasal 1357 dan Pasal 1358 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Selanjutnya Pasal 1359 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa orang yang melakukan

107 | H . P E R I K A T A N
pembayaran karena mengira adanya utang padahal tidak ada, maka ia berhak
untuk menuntut kembali pembayaran yang tidak diwajibkan itu. Pasal 1359
ayat (1) ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1359 ayat (2) Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa perikatan bebas (naturlijk
verbintenis) yang dipenuhi secara sukarela, maka tidak dapat dilakukan
penuntutan kembali. Perikatan bebas atau perikatan alam adalah perikatan
yang tidak dapat dituntut secara hukum untuk dilaksanakan. Misalnya, utang
yang timbul dari perjudian atau seseorang yang sudah dinyatakan pailit
berjanji untuk memenuhi sisa utang yang belum dibayarnya dari hasil
penjualan harta bendanya. Akan tetapi, jika perikatan itu dipenuhi secara
sukarela, maka pembayaran yang dilakukan secara sukarela tersebut tidak
dapat diminta kembali. Sedangkan mengenai perbuatan yang tidak halal
diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang
perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mewajibkan orang
yang melakukan perbuatan melawan hukum dan karena kesalahannya
merugikan orang lain, untuk memberikan ganti rugi. Untuk mengajukan
gugatan perbuatan melawan hukum, tidak perlu adanya hubungan kontraktual
antara pihak yang dirugikan dan pihak yang menimbulkan kerugian. 2. Ingkar
Janji (Wanprestasi) Apakah wujud dari tidak memenuhi perikatan itu. Wujud
dari tidak memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam, yaitu:
c. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan
d. Debitur terlambat memenuhi perikatan
e. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.
Di dalam kenyataan sukar untuk menentukan saat debitur dikatakan
tidak memenuhi perikatan, karena sering kali ketika mengadakan perjanjian
pihakpihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut.
Bahkan di dalam perikatan di mana waktu untuk malsakanakan prestasi
itupun ditentukan, cidera janji tidak terjadi dengan sendirinya. Yang mudah
untuk menentukan saat debitur tidak memenuhi perikatan ialah pada
perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.. Akibat yang sangat penting dari tidak
dipenuhinya perikatan ialah bahwa kreditur dapat minta ganti rugi atas

108 | H . P E R I K A T A N
ongkos, rugi dan bunga yang dideritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi
bagi debitur, maka undang-undang menentukan bahwa debitur harus terlebih
dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebrekestelling). Apabila
debitur keliru melakukan prestasi dan kelirunya itu adalah dengan itikad baik,
maka pernyataan lalai diperlukan, tetapi kalau kelirunya itu terjadi dengan
itikad jahat, maka di sini tidak perlu lagi pernyataan lalai. Pun lembaga itu
tiak diperlukan apabila peringatan diadakan untuk jangka waktu tertentu, oleh
karena dengan dilampauinya waktu itu, maka berarti debitur telah tidak
memenuhi perikatan. Apakah peringatan/pernyataan lalai perlu untuk
perikatan yang tidak dipenuhi pada waktunya? Jawabnya adalah perlu, karena
di sini debitur sebenarnya, masih bersedia memenuhi prestasi, hanya saja
terlambat. Dengan lembaga itu, debitur masih diberikan kesempatan untuk
memenuhi perikatan. Apabila debitur tidak memenuhi perikatannya
(wanprestasi) ataupun pada perikatan-perikatan di mana pernyataan lalai
tidak disampaikan kepada debitur, tetapi tidak diindahkannya, maka debitur
dikatakan tidak memenuhi perikatan. Hak-hak kreditur adalah sebagai
berikut:
a. Hak menuntut pemenuhan perikatan (nakomen);
b. Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat
timbal balik, menuntut pembatalan perikatan (ontbinding);
1) Hak menuntut ganti rugi (schade vergoeding);
2) Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;
3) Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti
rugi. Perkembangan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Hoffman
menerangkan bahwa untuk adanya suatu perbuatan melawan hukum
harus dipenuhi empat unsur, yaitu:
a) Er moet een daad zijn verricht (harus ada yang melakukan
perbuatan);
b) Die daad moet onrechtmatig zijn (perbuatan itu harus melawan
hukum);
c) De daad moet aan een ander schade heb bentoege bracht
(perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain);

109 | H . P E R I K A T A N
d) De daad moet aan schuld zijn te wijten (perbuatan itu karena
kesalahan yang dapat dicelakakan kepadanya).
Suatu perkembangan yang penting dalam teori hukum adalah mengenai
pengertian melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Semula pengertian melawan hukum hanya diartikan
secara sempit yaitu perbuatan yang melanggar undang-undang saja. Akan
tetapi, kemudian Hoge Raad dalam kasus yang terkenal Lindenbaum
melawan Cohen memperluas pengertian melawan hukum bukan hanya
sebagai perbuatan yang melanggar undangundang, tetapi juga setiap
perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam
hubungan antara sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain.
Di antara para ahli hukum memang terdapat perbedaan pendapat
mengenai keabsahan suatu perjanjian baku. Perjanjian baku adalah perjanjian
yang dibuat secara sepihak dan pihak lainnya hanya mempunyai pilihan
untuk menerima atau menolak perjanjian tersebut tanpa diberi kesempatan
untuk merundingkan isinya. Karena itu perjanjian baku atau standart contract
sering disebut juga take it or leave it contract. Mengenai keabsahan perjanjian
baku terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum:
a. Sluijter Perjanjian baku bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha
adalah seperti pembentuk undang-undang swasta.
b. Pitlo Perjanjian baku adalah perjanjian paksa.
c. Stein Perjanjian baku dapat diterima sebagai fiksi adanya kemauan dan
kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian.
d. Asser rutten setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung
jawab terhadap isi dari sebuah perjanjian.
Tanda tangan pada formulir perjanjian baku dapat membangkitkan
kepercayaan bahwa yang menandatangani mengetahui dan menghendaki isi
formulir perjanjian. Persoalan yang lebih mendasar adalah karena perjanjian
baku isinya dibuat secara sepihak, maka perjanjian tersebut cenderung
mencantumkan hak dan kewajiban yang tidak seimbang. Seperti adanya
klausula eksonerasi atau dalam sistem common law disebut exculpatiry
clause. Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengalihkan tanggung

110 | H . P E R I K A T A N
jawab dari satu pihak ke pihak lainnya, misalnya penjual tidak mau
bertanggung jawab atas kualitas barang yang dijualnya, sehingga
dicantumkan klausula bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat
dikembalikan. Demikian pula pengelola parkir yang tidak mau bertanggung
jawab atas kehilangan kendaraan yang di parkir di wilayah yang dikelolanya.
Klausula eksonerasi dapat ditemukan pada perjanjian yang dibuat antara
pelaku usaha dengan pelaku usaha maupun antara pelaku usaha dengan
konsumen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindunan
Konsumen, berpendirian bahwa perjanjian baku adalah sah, akan tetapi
undang-undang ini melarang pencantuman klausula baku yang bersifat berat
sebelah dan jika dicantumkan dalam perjanjian, maka klausula baku tersebut
adalah batal demi hukum. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen menyebutkan klausula baku yang dilarang untuk dicantumkan
pada setiap dokumen dan/atau perjanjian, yaitu:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya;

111 | H . P E R I K A T A N
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa pelaku usaha
dilarang mencantumkan klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat
atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti. Pencantuman klausula seperti ini juga dinyatakan batal demi
hukum. Mengenai hubungan antara wanprestrasi dan perbuatan melawan
hukum.
M. Yahya Harahap dalam bukunya Segi-Segi Hukum Perjanjian
mengatakan bahwa wanprestasi adalah merupakan bentuk khusus dari
perbuatan melawan hukum. 17 Penafsiran secara luas atas pengertian
perbuatan melawan hukum juga sejalan dengan perkembangan teori dalam
hukum perjanjian bahwa perjanjian harus dibuat dengan iktikad baik yang
berarti harus memperhatikan asas kepatutan. Sehingga isi perjanjian yang
berat sebelah adalah tidak sesuai dengan kepatutan sehingga klausula yang
berat sebelah tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum dan tidak mengikat
para pihak yang membuat perjanjian. Dalam hal terjadi wanprestasi atas
perjanjian yang objeknya adalah pembayaran sejumlah uang, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 1250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yanhg dapat dituntut adalah bunga moratoir atau bunga kelalaian. Bunga
moratoir hanya dihitung sejak gugatan didaftarkan di KepaniteraanPengadilan
Negeri. Besarnya bunga moratoir menurut Stb. 1848 No. 22 jo. 1849 No. 63
adalah enam proses setahun.
Yurisprudensi MahkamahAgung berpendapat bahwa bunga menurut
undang-undang ini diberlakukan jika para pihak dalam perjanjian tidak
menentukan besarnya bunga. 18 17 M. Perbedaan tersebut sekarang tidak
bisa lagi dipertahankan karena tidak semua kewajiban dalam perjanjian lahir
dari kesepakatan para pihak dan isi perjanjian tidak selalu disetujui oleh para
pihak. Sebagai contoh para pihak yang membuat perjanjian jual beli harus
mentaati the Sale of Goods Act 1979 (Undangundang tentang jual beli
barang) di mana penjual oleh undang-undang diwajibkan menjamin bahwa

112 | H . P E R I K A T A N
barang yang dijual cocok untuk digunakan sesuai tujuannya dan memenuhi
standar kualitas yang dibutuhkan atau term of fitness for the purpose and
merchantable quality. Apalagi kewajiban-kewajiban dalam kontrak harus
dinilai dengan kriteria objektif dan bukan semata-mata kehendak para pihak
yang bersifat subjektif, sehingga tidak relevan lagi pendapat bahwa tort hanya
bisa diajukan dalam hal tidak ada hubungan kontraktual antara pihak yang
dirugikan dan pihak yang merugikan. Sebaliknya, dalam tort mungkin saja
ada unsur kesepakatan menjadi pertimbangan hukum, contohnya seorang
pemain sepakbola yang cedera dalam pertandingan sepakbola, mungkin tidak
dapat menggugat berdasarkan tort karena dia telah sepakat untuk
menanggung risiko cidera. Selanjutnya dipertanyakan juga perbedaan antara
tujuan tort yaitu untuk memberikan perlindungan hukum atas kerugian bagi
pribadi dan harta penggugat dan tujuan contract yang melindungi economic
interest. Dalam praktik memang dimungkinkan mengajukan gugatan atas
dasar tort meskipun salah satu pihak cidera janji atau breach of contract. Di
Inggris, apabila kewajiban atas dasar tort melebihi besarnya kewajiban atas
dasar breach of contract, maka pengadilan akan enggan untuk menjatuhkan
hukuman berdasarkan tort. 19 Di Amerika Serikat apabila suatu breach of
contract juga merupakan tort maka dimungkinkan ganti rugi berupa punitive
damages.
Sengketa Internal Partai Politik dan Penyelesaiannya Bila ditinjau
berdasarkan ketentuan Undang – undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik, yang dimaksud, partai politki adalah organisasi yang bersifat nasional
dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas
dasar kesamaan kehendak dan cita – cita untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara,
dengan tetap memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Partai politik tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu organsisasi
yang didikan atas dasar suatu ideologi tertentu yang memiliki tujuan khusus
dengan kepengurusan yang terorganisir untuk mencapai tujuan yang sama.
Beberapa pakar dibidang politik memberikan definisi mengenai partai politik.

113 | H . P E R I K A T A N
Menurut Friedrich, partai politik merupukan wadah untuk sekelompok
orang yang telah terorganisasi yang bertujuan untuk mencari kekuasaan
dalam pemerintahan untuk selanjutnya mencari manfaat dari kekuasaan
tersebut. Senada dengan yang diutarakan oleh Friedrich, Soltau menyebut
partai politik sebagai sekelompok warga negara yang terorganisasi dalam
struktur sebagai suatu kesatuan politik yang bertujuan untuk menguasai
pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat.
Mariam Budiarjo dalam bukunya mendefinisikan partai politik adalah
sekelompok manusia yang terorganisasi serta mempunyai orientasi, nilai –
nilai, dan cita – cita yang sama. Yang dimaksud partai politik adalah
organisasi masyarakat yang didalamnya terdapat pembagian tugas dan
petugas untuk memncapai suatu tujuan serta mempunyai ideologi, program
politik sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Partai politik memiliki
karateristik sebagai berikut :
1) Partai politik diberi kedudukan sebagai badan hukum oleh UU Partai
Politik. Dengan kapasitas partai politik sebagai badan hukum, maka partai
politik diakui sebagai subyek hukum yang mandiri untuk membela hak –
haknya serta dapat melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu, partai
politik memiliki fungsi sebagai alat komunikasi politik, sarana sosialisasi
politik, rekrutmen politik, dan pengatur konflik.
2) Partai sebagai sarana komunikasi politik berfungsi untuk menyalurkan
aneka ragam aspirasi dari semua kalangan masyarakat. Dari aspirasi
tersebut berusaha untuk mengkolaborasi segala kepentingan masyarakat
untuk diakomodir dalam satu kepentingan partai sehingga menjadi
aspirasi partai. Aspirasi partai tersebut sumbangan pemikiran untuk
kepentingan bangsa dan negara serta kesejahteraan masyarakat.
3) Partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai memberikan respon atas
fenomena politik yang terjadi di tengah masyarakat. Sosialisasi politik
yang dilakukan oleh partai politik bertujuan untuk menyampaikan nilai –
nilai politik kepada masyarakat sehingga menciptakan citra untuk
kepentingan umum.

114 | H . P E R I K A T A N
4) Partai politik sebagai sarana rekrutmen politik bertujuan untuk mencari
dan mengajak orang lain untuk turut aktif dalam kegiatan politik. Partai
politik sebagai sarana pengatur konflik bertujuan untuk menyelesaikan
perbedaan pendapat di tengah masyarakat. Kapasitas partai politik sebagai
badan hukum termasuk dalam golongan badan hukum publik. Yang
dimaksud dengan badan hukum adalah badan yang menurut hukum
berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, selanjutnya dijelaskan
bahwa badan hukum ialah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau
lebih tepat yang bukan manusia.
5) Ditegaskan oleh Chidir Ali, badan hukum publik adalah badan hukum
yang didirikan berdasarkan hukum publik dan menyangkut kepentingan
publik / negara / masyarakat. Kriteria yang digunakan oleh Chidiri Ali
untuk menentukan badan hukum publik adalah segi kepentingannya.
Namun, partai politik juga dapat melakukan perbuatan hukum privat
seperti melakukan jual beli untuk kepentingan partai politik, membeli aset
bangunan untuk kepentingan kantor partai, dan sebagainya. Perbuatan
hukum jual beli yang dilakukan oleh partai politik tersebut tetap
dilakukan dalam kapasitas partai politik sebagai badan hukum publik
karena partai politik menjalankan kegiatan-kegiatannya terkait dengan
kepentingan masyarakat. Dalam lika-liku partai politik selalu diwarnai
dengan konflik yang bertujuan untuk mencari kekuasaan. Konflik mencari
kekuasaan dalam internal partai politik merupakan gejala sosial yang
selalu hadir dalam kehidupan internal partai karena tidak sepenuhnya
pemikiran setiap anggota partai politik itu sama. Yang dimaksud konflik
adalah proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan
tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku
6) Dengan demikian, konflik internal partai politik itu akan selalu hadir
selama ada perbedaan pandangan di dalam internal partai politik tersebut
terutama terkait dengan persaingan memperebutkan kekuasaan. Konflik
internal partai dalam kapasitas persaingan untuk memperbutkan
kekuasaan kepemimpinan partai politik perah terjadi pada partai
persatuan pembangunan (PPP) dan partai GOLKAR (Golongan Karya).

115 | H . P E R I K A T A N
Konflik internal partai politik perlu diperjelas kedudukannya dalam
konteks hukum privat atau hukum publik. Menurut Sudikno
Mertokusumo, hukum perdata telah lazim digunakan untuk menunjuk
seluruh peraturan atau norma hukum yang diadakan untuk melindungi
kepentingan perseorangan.
7) Senada dengan pendapat sebelumnya, Sardjono mengemukakan bahwa
hukum perdata adalah norma yang mengatur hubungan orang yang satu
dengan orang lain atau badan hukum dengan maksud menguasai
kepentingan perseorangan.
8) Dari uraian beberapa pendapat tersebut dapat di jabarkan beberapa unsur
hukum perdata sebagai berikut :
a.Hukum perdata mengatur hubungan hukum antara individu/warga
negara atau badan hukum dengan orang/badan hukum yang lain.
b. Hukum perdata bertujuan untuk melindungi kepentingan privat;
c.Hukum perdata merupakan keseluruhan hukum perdata materiil.
Sengketa internal partai politik bisa dikategorikan dalam 2 (dua) hal
yaitu sengketa kepengurusan partai politik dan sengketa atas adanya
keputusan PAW (Pergantian Antar Waktu) oleh partai politik terhadap salah
satu anggotanya. Sengketa kepengurusan partai politik tersebut sebenarnya
merupakan konflik para anggota partai politik untuk menggapai kekuasaan
dari partai politik tersebut. Dalam sengketa kepengurusan partai politik
tersebut sebenarnya tidak ada pihak yang dirugikan secara materiil, tetapi ada
pihak yang tidak mendapatkan kekuasaan saja.
Oleh karena itu, sengketa kepengurusan partai politik hanya sebatas
menentukan keabsahan dari salah satu kelompok pengurus partai politik
tersebut. Sedangkan sengketa atas adanya keputusan PAW oleh partai politik
terhadap salah satu anggotanya yang menjadi anggota DPRD berdasarkan
beberapa putusan pengadilan substansinya adalah mendalilkan pihak
pengurus partai politik, baik tingkat pusat maupun daerah, telah melakukan
perbuatan melawan hukum yang berkakibat pada kerugian materiil. Sengketa
keputusan PAW anggota DPRD tersebut bila diidentifikasi lebih mirip
dengan permasalahan sengketa perdata karena ada hak – hak orang lain yang

116 | H . P E R I K A T A N
perlu dipulihkan. Kiranya tepat apabila diselesaikan melalui mekanisme
gugatan perbuatan melawan hukum. Penyelesaian sengketa internal partai
politik sebenarnya telah diatur dalam ketentuan UU Partai Politik dan
ditegaskan dengan SEMA 4/2018. Konflik partai politik meliputi :
1. Perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan;
2. Pelanggaran terhadap hak anggota partai politik;
3. Pemecatan tanpa alasan yang jelas;
4. Penyalahgunaan kewenangan;
5. Pertanggungjawaban keuangan
6. Keberatan terhadap keputusan partai politik.
Konflik internal partai politik tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui mahkamah partai. Mahkamah partai merupakan lembaga
internal partai yang memiliki tugas dan fungsi sebagai lembaga penyelesaian
sengketa internal partai tersebut yang didirikan berdasarkan AD dan ART
partai. Harapan adanya mahkamah partai untuk menyelesaikan konflik
internal adalah dapat diselesaikan sesuai dengan ideologi dan mekanisme
penyelesaian internal partai tersebut. Penyelesaian konflik internal partai
politik tersebut harus dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk
diambil keputusan. Putusan mahkamah partai tersebut berisfat final dan
mengikat yang berarti tidak ada lagi upaya hukum atas putusan (vide Pasal 32
UU Parpol). Namun, ketentuan Pasal 33 UU Parpol juga masih memberikan
peluang bagi para pihak untuk menempuh jalur penyelesaian secara litigasi
apabila ada yang belum bisa menerima putusan mahkamah partai.
Penyelesaian secara litigasi dilakukan dengan mengajukan gugatan ke
pengadilan negeri dengan jangka waktu penyelesaian paling lama 60 (enam
puluh) hari. Atas putusan pengadilan negeri tersebut masih dimungkinkan
upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung dengan jangka waktu penyelesaian
selama 30 (tiga puluh) hari.
Dari uraian singkat mengenai penyelesaian konflik internal partai
politik tersebut lebih mengedepankan upaya non litigasi dimana sengketa
internal diselesaikan sesuai dengan semangat ideologi partai tersebut. Dengan
penyelesaian melalui mahkamah partai, maka kedaulatan partai tersebut

117 | H . P E R I K A T A N
masih terjaga. Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak konsisten dimana putusan
mahkamah partai bersifat final dan mengikat. Namun, undang – undang
memberikan jalan lain untuk menyelesaiak konflik internal partai tersebut.
Bisa disebut penyelesaian sengketa internal partai tersebut diatur secara
berjenjang dimulai dari mahkamah partai hingga Mahkamah Agung. Perkara
konflik keabsahan kepengurusan PPP dan GOLKAR menjadi pengalaman
walaupun telah diputus oleh mahkamah partai para pihak tetap tidak
melewatkan peluang untuk mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.
Apabila demikian menunjukkan bahwa putusan dari mahkamah partai tidak
dapat dieksekusi karena apabila ada saah satu pihak yang tidak setuju bisa
menempuh jalur litigasi. Konflik internal partai politik, terkait dengan
keabsahan kepengurusan dari suatu partai politik tersebut, masih
dimungkinkan diselesaikan secara litigasi melalui pengadilan negeri.
Setiap orang memiliki hak untuk memulihkan kerugiannya melalui
mekanisme hukum acara perdata. Hukum acara perdata diadakan untuk
menegakkan hukum perdata materiil. Ruang lingkup hukum perdata materiil
adalah sebagaimana diatur dalam BW, WvK, dan hukum adat. Ruang lingkup
sengketa internal partai politik yang diajukan ke pengadilan negeri tergolong
pada perkara perdata khusus. Untuk dapat mengajukan gugatan ke pengadilan
negeri perlu dilampirkan bukti penyelesaian di mahkamah partai. Hakikatnya
sengketa internal partai politik yang muncul akbiat ketentuan pasal 31 dan 35
UU Parpol hakekatnya menjadi kewenangan mahkamah partai karena
sejatinya sengketa tersebut merupakan perselisisan prasangka diantara
pengurus partai politik itu sendiri kecuali persoalan penghitungan hasil
pemilihan suara, pelanggaran pemilu, dan pelanggaran kampanye.
Karakteristik Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Perbuatan melawan
hukum merupakan konsep hukum yang dikenal dalam hukum perjanjian.
Perbuatan melawan hukum merupakan konsep hukum yang diterjemahkan
dari konsep onrechtmatige daad yang dikenal di Belanda. Adapun padanan
istilah onrechtmatige daad dalam bahasa inggris adalah tort. Tort memiliki
arti salah (wrong). Tujuan bentuknya rumusan hukum perbuatan melawan
hukum tersebut adalah untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh salah

118 | H . P E R I K A T A N
satu pihak. Menurut Munir Fuady, ada beberapa definisi lain yang pernah
diberikan terhadap perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut :
1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari
kewajiban kontaktual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi;
2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan
timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa didahului adanya hubungan
hukum;
3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum;
4. Suatu kesalahan perdata terhadap mana suatu ganti kerugian dapat
dituntut yang bukan merupakan wanprestasi;
5. Suatu perbuatan yang merugikan hak – hak orang lain.
Adapun yang dimaksud dengan konsep perbuatan melawan hukum
adalah suatu perbuatan yang secara melawan hukum oleh seseorang yang
karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Bila ditinjau
secara ontoogis, ketentuan Pasal 1365 BW tersebut merupakan norma umum
dan terbuka dimana unsur-unsurnya tidak memberikan pembatasan mengenai
para pihak yang berperkara dan obyek yang diperkarakan. Ketentuan Pasla
1365 BW tersebut dapat digunakan oleh setiap orang atau badan hukum, baik
publik maupun privat, untuk memulihkan kerugian yang dideritanya akibat
dari pperbuatan orang lain.
Konsep perbuatan melawan hukum sejak tahun 191910 sudah tidak lagi
diartikan secara sempit dimana hanya sebatas perbuatan yang bertentangan
dengan kewajiban yang diatur dalam undang – undang saja, tetapi sudah
diartikan secara luas yang meliputi :
a. Perbuatan yang bertentangan denga hak orang lain
b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
d. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam
pergaulan masyarakat yang baik.
Menurut Munir Fuady, perbuatan melawan hukum dibagi menjadi 3
(tiga) kategori yaitu :
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan;

119 | H . P E R I K A T A N
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan, dan;
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 BW unsur – unsur dari perbuatan
melawan hukum adalah sebagai berikut :
1. Adanya suatu perbuatan;
2. Perbuatan yang melawan hukum;
3. Adanya kesalahan dari pelaku;
4. Adanya kerugian yang diderita korban,
Berdasarkan putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara
Lidenbaumcohen konsep perbuatan melawan hukum terdapat 4 kriteria yaitu :
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku,
2. melanggar hak subyektif orang lain,
3. Melanggar aidah tata susila,
4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati – hati
yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama
warga masyarakat.
Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Dalam
pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere,
alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup
secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya).
Dari peribahasa tersebut dapat diidentifikasi bahwa barangsiapa yang berbuat
harus juga bertanggung jawab. Ketentuan pasal 1365 BW telah
mengakomodir 2 (dua) model pertanggungjawaban yaitu:
1. Tanggung jawab langsung Apa yang dimintakan kepada pelaku adalah
hal yang menimbulkan kerugian bagi korban.
2. Tanggung jawab tidak langsung Untuk tanggung jawab tidak langsung
terkait dengan tanggung jawab terhadap perbuatan orang lain yang
menjadi tanggungan dan barang – barang yang berada dibawah
pengawasannya.
Dalam konteks sengketa internal partai politik, perbuatan melawan
hukum dapat digunakan sebagai dalail gugatan untuk menyelesaikan
permasalahan sengketa kepengurusan partai dan sengketa atas adanya PAW

120 | H . P E R I K A T A N
anggota DPRD daerah oleh partai politik. Dalil PMH dapat digunakan karena
rumusan normanya yang terbuka sehingga tidak menutup kemungkinan untuk
digunakan dalam sengketa internal partai politik. Untuk pertanggungjawaban
akibat adanya PMH hanya dapat dimintai tanggung jawab langsung kepada
pelaku yang dituju. Bentuk tanggung jawabnya adalah meminta pihak yang
kalah untuk mengembalikan situasi kepada keadaan semula sehingga
kerugian dapat dipulihkan.
Analisa Putusan Sengketa Kepengurusan DPP Partai Golkar Sengketa
kepengurusan partai Golkar antara kelompok Abu Rizal Bakrie melawan
kelompok Agung Laksono telah diputus Mahkamah Agung melalui putusan
nomor 8/Pdt.Sus-Parpol/2015/PN.Jkt.Brt. Terlepas dari putusan Mahkamah
Agung yang menyatakan tidak berwenang untuk mengadili perkara sengekta
kepengurusan tersebut karena belum diselesaikan melalui mahkamah partai.
Perbuatan melawan hukum yaitu bertentangan dengan kewajiban hukum
pelaku. Pengurus partai Golkar kubu Agung Laksnono sejatinya tidak secara
sepihak mengelurakan surat – surat adminsitratid partai Golkar mengingat
kepengurusan partai Golkar sedang mengalami perselisihan. Dengan
demikian kiranya dalil gugatan perbuatan melawan hukum juga dapat
digunakan dalam sengketa kepengurusan partai politik walaupun tidak ada
kerugian secara materiil yang diderita oleh salah satu pihak.

121 | H . P E R I K A T A N
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta:
Granit, 2004. Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar
Grafika, 2009. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode
Penelitian Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2004.
Busro, Achmad, Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUH Perdata,
Yogyakarta: Percetakan Pohon Cahaya, 2012.
Djojodirdjo, Moegni, S.H, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1979.
Fuadi, Munir, Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter),
Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2005)
Patrik, Purwahid, Hukum Perdata II (Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian Dan Undang-Undang), Jilid I, Semarang: Jurusan Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1985.
Setiawan, R., Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum,
Bandung : Alumni, 1982.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif,
Jakarta: Grafindo Persada, 2004.
Buku
Agustina, Rosa. 2003. Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Universitas
Indonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana.
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2008. Pengantar Metode Penelitian,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Badrulzaman, Mariam Darus. 1991. Perjanjian Kredit Bank, Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Fuady, Munir. 2002. Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan
Kontemporer, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Ibrahim, Johnny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif, Edisi Revisi, Malang: PT Bayu Media Publishing.

122 | H . P E R I K A T A N
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi.
Bandung:
PT Rosdakarya.
Patrik, Purwahid. 1994. Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang
Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-Undang), Bandung: Mandar Maju.
Satrio, J. 1993. Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Undang-
Undang),Bagian Pertama, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Sobana, Dadang Husen. 2016. Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung,


Bandung: Pustaka Setia.
Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif
(Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Press.
Soepomo, R. 1989. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri,
Jakarta: PT.
Pradnya Paramita.

Jurnal/Karya Ilmiah
Tjoanda, Merry. “Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata”, Jurnal Sasi, Volume 16, No. 4, Oktober-Desember 2010, hal.
46. Diakses pada tanggal 9 Januari 2018 Pukul 16.43 WIB.
Mulia Hararap. Sumper. Metode Istinbath Hukum Ibn Taimiyah,
Padangsidimpuan.
Prayogo, Sedyio. Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan
Melawan Hukum dalam Perjanjian. Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume III
No.2 Mei-Agustus 2016
Salam, Syukron. Perkembangan Doktrin Perbuatan Melawan Hukum
Penguasa. Semarang.
Krisna Winastri, Rivo. Tinjauan Normatif Terhadap Ganti Rugi dalam
Perkara Perbuayan Melawan Hukum yang Menimbulkan Kerugian Immateriil.
Volume 6, No. 2, Tahun 2017.

123 | H . P E R I K A T A N
Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.

Agustina, Rosa, 2008, Perbuatan Melawan Hukum, FH Universitas Indonesia,


Jakarta. Badrulzaman, Mariam Darus, 2006, KUH Perdata Buku III Hukum
Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung. Badrulzaman, Mariam Darus,
et.al., 2011, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Djojodierdjo, MA Moegni, 2009, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita,
Jakarta Harahap, M. Yahya, 2008, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung
Prodjodikoro, Wirjono, 2008, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur Bandung,
Bandung Sapardjaja, Komariah Emong, 2012, Ajaran Sifat Melawan Hukum
Material Dalam Hukum Pidana Indonesia, Alumni, Bandung Setiawan, 2006,
Empat Kriteria Perbuatan Melanggar Hukum dan Perkembangannya Dalam
Yurisprudensi, Varia Peradilan No. 16, Desember 2006 Setiawan, Rachmat, 2007,
Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung Sjahdeini,
Sutan Remy, dkk, 2007, NaskahAkademis Peraturan Perundang-Undangan
tentang Perbuatan Melawan Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Kehakiman RI, Jakarta Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 2010,
Hukum Perutangan, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
Subekti, R. dan Tjitrosudibio, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT
Pradnya Paramita, Jakarta Subekti, R., 2008, Hukum Perjanjian, PT Intermassa,
Jakarta Suharnoko, 2014, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Prenada
Media, Jakarta Vollmar, H.F.A., 2007, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid II,
CV Rajawali, Jakarta

Daftar Pustaka Buku Chaidir Ali. (2000). Badan Hukum. Bandung: Alumni.
Budiarjo, Miriam. (2006). Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. Fuady, Munir. (1999). Hukum Kontrak (Dari Sudut PandangHukum
Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti. Fuady, Munir. (2005). Perbuatan Melawan
Hukum : Pendekatan Kontemporer. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

124 | H . P E R I K A T A N
Masruhan.(2013). Metodologi Penelitian Hukum. Surabaya: Hilal Pustaka,
Surabaya. Mertokusumo, Sudikno. (1990). Hukum Perdata. Jakarta: Alumni.
Kantaprawira, Rusadi. (1999). Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar.
Bandung: Sinar Baru. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang
860 https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh © 2018. Fakultas Hukum,
Universitas Negeri Semarang Soekanto, Soerjono. (1993). Kamus Sosiologi,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. . Subekti.(2000). Hukum Perdata. Bandung:
Citra Aditya Bakti. Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 8/Pdt.Sus-
Parpol/2015/PN.Jkt.Brt Putusan Mahkamah Agung Nomor 519 K/Pdt.Sus/2012
Websitewww.progresifjaya.com/NewsPage.php?
http://kakarish.wordpress.com/2010/03/09/perkembangan.

125 | H . P E R I K A T A N

Anda mungkin juga menyukai