Anda di halaman 1dari 6

Nama : Arif Ariyanto

NIM : J1B016051

SEMANTIK BAHASA INDONESIA RELASI MAKNA

Relasi makna dalam Semantik Bahasa Indonesia merupakan hubungan kemaknaan


atau biasa disebut relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata
atau satuan bahasanya lainnya lagi.

Hubungan atau relasi kemaknaan ini bisa menyangkut:

1. Sinonimi

Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu
“Onoma” yang berarti nama, dan ‘syn’ ysng berarti dengan. Secara harfiah kata
‘sinonimi’ berarti tanda ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama.’ Bisa berupa
kata, frase, atau kalimat.
Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah.
Jadi, kalau kata bunga bersininim dengan kata kembang, maka kata kembang juga
bersinonim dengan kata bunga.
Dua buah kata yang bersinonim itu kesamaannya tidak seratus persen banyak
kurang lebih saja kesamaannya tidak bersifat mutlak contoh pohon itu tewas diterpa
angin. Pohon itu tumbang diterpa angin.
Ketidakmungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang
bersinonim adalah banyak sebabnya. Antara lain:
1. Faktor waktu. Misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata
komandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata
hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais.
Sedangkan kata komandan hanya cocok untuk situasi masa kini atau
modern.
2. Faktor tempat atau daerah. Misalnya kata saya dan beta adalah
bersinonim. Tetapi kata beta hanya cocok digunakan dalam konteks
pemakaian bahasa Indonesia Timur (Maluku); sedangkan kata saya
dapat digunakan secara umum di mana saja.
3. Faktor sosial. Misalnya kata aku dan saya adalah dua buah kata yang
bersinonim; tetapi kata aku hanya digunakan untuk teman sebaya dan
tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih tua atau yang status
sosial lebih tinggi.
4. Faktor bidang kegiatan. Misalnya kata tasawuf, kebatinan, dan mistik
adalah tiga buah kata yang bersinonim. Namun, kata tasawuf hanya
lazim pada Agama Islam; kata kebatinan untuk yang bukan Islam; dan
kata mistik untuk semua agama.
5. Faktor nuansa makna. Kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau,
dan mengintip, adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat
memang bisa digunakan secara umum, tetapi kata melirik digunakan
untuk melohat dengan sudut mata (cara yang berbeda); kata melotot
hanya digunakan untuk melihat dengan mata terbuka lebar; kata
meninjau hanya untuk melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi; dan
kata mengintip hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang
sempit.

Hubungan sinonim dengan satuan-satuan bahasa lain.


a. Sinonim antara morfem bebas dengan morfem terikat, misalnya dia dengan –nya,
antara saya dengan –ku
b. Sinonim antara kata dengan kata, contohnya seperti mati dengan meninggal, buruk
dengan jelek, dan sebagainya.
c. Sinonim antara kata dengan frase atau sebaliknya. Misalnya antara meninggal
dengan tutup usia; antara hamil dengan duduk perut; antara pencuri dengan tamu
yang tidak diundang; antara tidak boleh tidak dengan harus.
d. Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya, antara ayah ibu dengan orang tua;
antara meninggal dunia dengan berpulang ke Rahmatullah; dan antara mobil baru
dengan mobil yang baru. Malah juga, antara baju hangat dengan baju dingin.
e. Sinonimi antara kalimat dengan kalimat, seperti adik menendang bola dengan bola
ditendang adik. Kedua kalimat ini pun dianggap bersinonim, meskipun yang
pertama kalimat aktif dan yang kedua kalimat pasif.
2. Antonimi

Kata antonimi berasal dari kata yunani kuno, yaitu onoma yang artinya’
nama’, dan anti yang artinya, melawan.’ Maka’ secara harfiah antonim bararti ‘ nama
lain untuk benda lain pula’ disebut lawan kata. Secara semantik , verhaar (1978)
mendefisikan sebagai : ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam
bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kembalikan dari makna
ungkapan lain. Misalnya dengan kata bagus adalah berantonimi dengan kata buruk.
Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah. Kalau
dibandingn adalah sebagai berikut Bagus=buruk sama halnya dengan sinonim,
antonim pun terdapat pada semua tataran bahasa: tataran morfem, tataran kata, tataran
frase, dan tataran kalimat. benarkah dua buah kata yang berantonim,maknanya benar-
benar berlawanan? Benarkah hidup lawan mati? Putih lawan hitam dan menjual lawan
membeli? Sesuatu yang memang belum atau tidak mati, dan sesuatu yang mati
memang tidak hidup. Menurut ilmu fisika putih adalah warna campuran dari segala
warna, sedangkan hitam memang tidak ada warna sama sekali. Tampaknya soal jauh
atau dekat bersifat relatif. Soal menjual dan membeli tampaknya merupakan dua hal
yang berlaku bersamaan; tidak ada proses pembelian tanpa terjadinya proses
penjualan. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa antonim pun, sama halnya dengan
sinomim, tidak bersifat mutlak. Bukan mutlak berlawanan. Sehubungan denagan ini
banyak pula yang menyebutkannya oposisi makna. Dengan oposisi maka bisa
tercakup dari konsep yang betul-betul berlawan sampai kepada yang hanya bersifat
kontras saja. Kata hidup dan mati, mungkin merupakan contoh yang perlawanan ,
tetapi hitam dan putih mungkin merupakan contoh yang hanya berkontras.

3. Homonimi

Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’
dan homo yang artinya ‘sama’. Secara rafia homonimi dapat diartikan sebagi “nama
sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi
homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang bentuknya sama
dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat) tetapi maknanya tidak
sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah.
4. Homofoni
Homofoni dilihat dari segi “bunyi” (homo=sama, fon=bunyi) Homofoni
sebetulnya sama saja dengan homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah
berupa bunyi. Namun, dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon
tetapi ditulis dengan ejan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna.

5. Homografi

Homograf (bahasa Yunani: ὁμός, homós, "sama" dan γράφω, gráphō, "tulis")
homo berarti sama dan graf (graph) berarti tulisan. Jadi, homograf adalah kata yang
sama ejaannya dengan kata lain, tetapi berbeda lafal dan maknanya. Dalam bahasa
Indonesia, contoh homograf antara lain:
"teras" (inti kayu atau bagian rumah)
"apel" (buah atau kumpul)
"serang" (perang atau nama tempat)
"tahu" (makanan atau situasi)
''memerah'' (berubah warna atau memeras susu sapi)
''keset'' (bersih atau pembersih/pengelap kaki)

6. Hiponimi
Kata hiponimi berasal dari Bahasa Yunani Kuno yaitu onoma berarti nama
dan hypo yang berarti dibawah. Jadi secara harfiah berarti nama yang termasuk di
bawah nama lain. Secara semantik verhaar (1978:137) menyatakan hiponim ialah
ungkapan ( biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frasa atau kalimat)
yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.
Dalam definisi verhaar diatas disebutkan bahwa hiponim kiranya terdapat pula
dalam bentuk frase dan kalimat tetapi kiranya sukar mencari contohnya dalam
Bahasa indonesia karena juga hal ini lebih banyak menyangkut masalah logika
dan bukan masalah linguistik. Lalu oleh karena menurut Verhaar masalah ini
dapat dilewati saja, tidak perlu dipersoalkan lagi. Umpamanya kata tongkol adalah
hiponim terhadap kata ikan sebab tongkol berada atau termasuk dalam makna kata
ikan. Tongkol memang ikan tetapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga
bandeng, tenggiri, teri,mujair, cakalang dan sebagainya.
Relasi antara dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah. Jadi kata
tongkol berhiponim terhadap ikan tetapi ikan tidak berhiponim terhadap kata
tongkol sebab makna ikan meliputi seluruh jenis ikan

7. Hipernimi

Hipernimi adalah suatu kata umum (dapat berupa kata, frasa, atau kalimat)
yang memiliki turunan-turunan kata khusus. Hipernim mencakup makna yang
terkandung dalam hiponim. Hipernimi mudah diterapkan pada kata benda tapi agak
sukar pada kata kerja atau kata sifat.

Contoh:

a. Adik membeli berbagai macam bunga, seperti bunga mawar, melati, anggrek, dan
tulip.
b. Ibu sedang memasak makanan sup, tempe goreng, dan umis ayam.

8. Polisemi

Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase)
yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala dalam bahasa
Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada
manusia dan hewan; (2) bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan
merupakan hal yang penting atau terutama seperti pada kepala meja dan kepala
kereta api; (3) bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada
kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah
dan kepala kantor; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat setiap kepala menerima
bantuan Rp 5.000.00; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat badannya besar tetapi
kepalanya kosong.

Dengan demikian, dapat dikatakan kata kepala dalam bahasa Indonesia


mengacu pada enam buah konsep makna. Padahal, setiap kata hanya memiliki satu
makna, yakni makna leksikal atau makana yang sesuai referennya. Misalnya, makna
leksikal kata kepala adalah bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada
manusia dan hewan. Makna leksikal ini yang sesuai dengan referensinya (lazim
disebut orang makna asal, atau makna sebenarnya) mempunyai banyak unsur atau
komponen makna.

9. Redundansi

Istilah redundansi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur


segmental dalam suatu unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Umpamanya
kalimat Baju itu dicuci si Budi, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Baju itu
dicuci oleh si Budi. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu
yang redudansi, yang berlebih-lebihan, dan yang sebenarnya tidak perlu.
Secara semantik masalah redundansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu
prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka maknapun akan berbeda.
Jadi, kalimat Baju itu dicuci si Budi berbeda maknanya dengan kalimat Baju itu dicuci
oleh si Budi. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua akan lebih menonjolkan makna
pelaku (agentif) daripada kalimat pertama yang tanpa kata oleh.
Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua adalah sesuatu yang redundadns,
yang mubazir, karena toh makna kalimat itu tidak berbeda dengan kalimat yang
pertama, adalah pernyataan yang mengelirukan atau mengacaukan pengertian makna
dan informasi. Jadi, yang sama antara kalimat pertama dan kalimat kedua di atas
bukan maknanya melainkan informasinya.

Anda mungkin juga menyukai