Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KONSELING TRAUMATIK

“ TRAUMA SEKSUAL : Pendekatan Ekologi pada Konseptualisasi dan


Penanganan ”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “ Konseling Traumatik ”
Dosen Pengampu: Dinda Permata Sari, M.Psi. Psikolog

Disusun Oleh :

KELOMPOK 6

NURUL LIZA (0303192052)

REY RIZKY DAMANIK (0303192079)

VERA YULIZA (0303192080)

BKPI-2 SEMESTER 5

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala Puji Syukur senantiasa tercurahkan kepada Allah SWT


atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan segala
kesalahan dan kekurangannya, guna memenuhi tugas mata kuliah “ Psikologi
Traumatik”. Sholawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW, dan semoga kita semua termasuk umatnya yang kelak mendapatkan
syafa’atnya kelak di hari kiamat. Āmīn.
Makalah ini telah kami susun semaksimal mungkin dan kami juga mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Meskipun kami sebagai penyusun berharap isi dari makalah ini bebas dari
kesalahan dan kekurangan. Namun, tentunya kami menyadari bahwa kami hanyalah
manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan dan kesempurnaan itu
hanya milik Allah semata.
Oleh karena itu, kami sebagai penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi sempurnanya lapoaran ini diwaktu mendatang.Semoga Allah SWT
memberkahi makalah ini, sehingga dapat memberikan manfaat kepada kita
semua. Āmīn.

Medan, 20 Oktober 2021

KELOMPOK 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1


A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 3

A. Pengertian Trauma Seksual .................................................................................. 3


B. Model Ekologi untuk Konseptualisasi Trauma Seksual ........................................ 4
C. Level Individu ..................................................................................................... 4
D. Karakteristik Serangan Seksual ............................................................................ 5
E. Level Ekosistem .................................................................................................. 6
F. Level Mikrosistem ............................................................................................... 8
G. Level Makrosisatem ........................................................................................... 9
H. Pananganan Terhadap Trauma Seksual ............................................................... 10
I. Implikasinya dalam Konseling ............................................................................. 10

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 14

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 14
B. Saran ................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kekerasan seksual merupakan masalah sosial yang cukup besar di seluruh dunia, dan
karena keintimannya sifat kekerasan seksual, itu dianggap salah satu kejadian seseorang
yang paling menyedihkan (Frazier, Conlon, & Glaser, 2001). Kekerasan seksual termasuk
sebuah gambaran luas aktivitas seksual yang tidak saling cinta yang dilakukan terhadap korban
oleh pasangan, pasangan, teman, kenalan, anggota keluarga, atau orang asing. Itu bisa
termasuk salah satu dari berikut ini: Rape adalah hubungan seksual dengan kekerasan
(perbuatan seksual yang tidak diinginkan yang melalui mulut, oral, vagina, atau anal)
kontak atau sentuhan seksual yang tidak diinginkan; tindakan seksual yang dipaksakan,
melalui ancaman kekerasan, intimidasi, atau paksaan; pelecehan seksual, termasuk anak
pelecehan seksual hood (CSA) dan inses; pelecehan seksual terhadap individu yang
secara fisik atau cacat mental dan tidak dapat memberikan persetujuan; atau prostitusi
paksa dan perdagangan individu untuk tujuan eksploitasi seksual (Jewkes, Sen, &
Garcia-Moreno, 2002;Kekerasan Terhadap Perempuan, 2009).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Trauma Seksual?
2. Bagaimana Model Ekologi untuk Konseptualisasi Trauma Seksual?
3. Bagaiamana Level Individu dalam Trauma Seksual?
4. Bagiaman Karakteristik Serangan Seksual?
5. Bagaimana Level Kronosistem Seksual?
6. Bagaimana Level Ekosistem?
7. Bagaimana Level Mikrosistem?
8. Bagaimana Level Makrosisatem?
9. Bagaimana Pananganan Terhadap Trauma Seksual?
10. Bagaimana Implikasinya dalam Konseling?

1
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Trauma Seksual
2. Untuk Mengetahui Model Ekologi untuk Konseptualisasi Trauma Seksual
3. Untuk Mengetahui Level Individu dalam Trauma Seksual
4. Untuk Mengetahui Karakteristik Serangan Seksual
5. Untuk Mengetahui Level Kronosistem Seksual
6. Untuk Mengetahui Level Ekosistem
7. Untuk Mengetahui Level Mikrosistem
8. Untuk Mengetahui Level Makrosisatem
9. Untuk Mengetahui Pananganan Terhadap Trauma Seksual
10. Untuk Mengetahui Implikasinya dalam Konseling

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Trauma Seksual
Tidak mengherankan bahwa trauma akibat kekerasan seksual dikaitkan dengan
tuan rumah dari masalah kesehatan mental negative (Campbell, Dworkin, & Cabral,
2009; Resnick, Acierno, Holmes, Dammeyer, & Kilpatrick, 2000) kebanyakan orang
terjadi gejala seperti PTSD timbul dalam 2 minggu setelah serangan eksual (Resnick,
Acierno, Holmes, Kilpatrick, & Jager, 1999). Kenyataannya ini dianggap normal dan
reaksi yang diharapkan untuk jenis trauma ini. secara keseluruhan, tingkat prevalensi
seumur hidup menunjukkan bahwa PTSD berkembang di 17% -65% pengidap trauma
seksual (Kilpatrick, Amstadter, Resnick, & Ruggiero, 2007).
Karena PTSD kemungkinan terjadi pada individu yang mengalami trauma
seksual, ini penting bagi konselor untuk memiliki pengetahuan gejala PTSD bagaimana
mereka mungkin bermanifestasi dalam klien tertentu. Manual Diagnostik dan Statistik
Mental yang diusulkan Gangguan, Edisi Kelima ( DSM-V ; American Psychiatric
Association [APA], 2010), kelompok Gejala PTSD menjadi empat kelompok:
a) Gangguanan,Misalnya mengalami kemabali trauma, flashbacks)
b) Penghindaran, (misalnya, menghindari pikiran, perasaan, sentuhan fisik, orang,
aktivitas, tempat, atau pengingat fisik yang membangkitkan ingatan)
c) perubahan negatif dalam kognisi dan suasana hati (misalnya ketidak mampuan
untuk mengingat aspek-aspek tertentu dari peristiwa tersebut, terus-menerus
menyalahkan diri sendiri reaksi emosi negatif yang kuat dan terus-menerus,
perasaan detachment yaitu sebuah keadaan dimana seseorang enggan atau tidak
mampu untuk menjalin sebuah ikatan secara emosional).
d) Perubahan dalam gairah dan aktivitas bertaman (misalnya mudah marah,
perilaku sembrono atau merusak diri sendiri, respons terkejut yang berlebihan,
masalah dengan konsentrasi dan tidur).

Untuk memenuhi kriteria DSM-V untuk PTSD, kumpulan gejala ini harus
berlangsung selama 1 bulan, dan menyebabkan penderitaan secara klinis mengalami
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau bidang fungsi lainnya(APA, 2010).

3
B. Model Ekologi untuk Konseptualisasi Trauma Seksual

Penelitian terbaru menunjukkan pentingnya pemahaman tanggapan seorang


yang selamat dalam trauma tersebut sebagai interaksi kompleks antara tanggapan
seorang yang pernah mengalami terhadap trauma sebagai interaksi kompleks antara
individu dan lingkungannya. Beberapa penulis baru-baru ini meneliti trauma seksual
melalui lensa ekologi,menggambarkan cara-cara di mana penyesuaian individu
terhadap trauma dapat dipengaruhi oleh beberapa sistem, termasuk lingkungan
terdekat, komunitas yang lebih luas, dan konteks budaya yang lebih besar di mana
kekerasan seksual dipahami (Campbell et al.,2009; Messman-Moore & Panjang, 2003).
Neville, Heppner, Oh, Spanierman, & Clark,2004; Ulman, 2007). Untuk tujuan bab ini,
saya menggunakan model ekologi dari Campbell dan rekan (2009) untuk
mengkonseptualisasikan dampak trauma seksual pada fungsi pasca trauma yang
selamat. Model sistem ini didasarkan pada Bronfenbrenner's (1995) teori ekologi
pembangunan manusia dan terdiri dari enam tingkatan, yang semuanya dijelaskan
dalam paragraf berikut.

C. Level Individu

Tingkat ini mengacu pada karakteristik sosiodemografis yaitu ciri yang


menggambarkan perbedaan masyarakat berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan,
pendidikan, agama, suku bangsa, pendapatan, jenis keluarga, status pernikahan, lokasi
geografi, dan kelas sosial (Kotler dan Armstrong, 2001). khusus dari individu yang
selamat. Meskipun setiap individu dapat menjadi korban trauma seksual, risiko yang
lebih besar terjadi pada perempuan, yang usianya masih muda, dan seorang wanita dari
kalangan yang hidup dalam kemiskinan, dan mengalami CSA (lihat bagian
Chronosystem Level). Penelitian yang melihat dari segi variabel sosiodemografi
lainnya menunjukkan bahwa individu yang lesbian/gay/biseksual/transgender (LGBT)
mengalami kekerasan seksual pada tingkat kira-kira setara dengan populasi
heteroseksual (normal, dalam artian laki-laki berpasangan perempuan) (Tjaden &
Thoennes, 2006). Lebih jauh,dilihat bahwa orang penyandang disabilitas diperkosa dan
diserang secara seksual di tingkat tinggi ,kejahatan ini sangat jarang dilaporkan, jadi
data yang akurat mengenai populasi ini sulit diperoleh (Violence Against Women,
2009).

4
D. Karakteristik serangan

Tingkat ini memberikan pemahaman tentang hubungan korban dengan pelaku


dan juga mengacu pada penggunaan alkohol atau obat-obatan lain selama penyerangan.
Seksual trauma umumnya diklasifikasikan sebagai pasangan/perkawinan, pasangan,
tanggal, kenalan, orang asing, dan inses. Ada stereotip yang meluas bahwa kekerasan
seksual kemungkinan besar dilakukan oleh orang asing, dilakukan oleh seseorang yang
dikenal oleh penyintas, karena lebih dari separuh penyintas pemerkosaan melaporkan
bahwa mereka mengenal pelakunya (U.S. Department of Justice, 2008). Selamat
perkosaan kenalan, kencan, pasangan, cenderung lebih menyalahkan diri sendiri
daripada mereka yang mengalami perkosaan orang asing, meskipun efek psikologis
negatif pada penyintas kedua jenis kejahatan itu serupa (Koss & Kilpatrick, 2001).
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh pasangan intim sangat traumatis, meskipun
pemerkosaan oleh orang asing dialami sebagai peristiwa tunggal, penyintas
pemerkosaan pasangan intim biasanya mengalami beberapa serangan seksual dan harus
hidup dengan ancaman terus menerus dari insiden trauma berulang, termasuk jenis
kekerasan pasangan lainnya seperti kekerasan fisik, dan pelecehan psikologis (Temple,
Weston, Rodriguez, & Marshall, 2007). Selain hubungan penyintas dengan pelaku,
trauma seksual juga dapat diklasifikasikan apakah alkohol atau obat-obatan lain
digunakan dalam penyerangan. Seksual Penyerangan sangat terkait dengan
penggunaan alkohol, baik oleh pelaku maupun korban, khususnya bagi mahasiswa.
Pemerkosaan di mana alkohol dan obat-obatan lain terlibat terjadi lima kali lebih sering
daripada pemerkosaan paksa di mana alkohol tidak digunakan (Pengacara, Resnick,
Bakanic, Burkett, & Kilpatrick, 2010).

Seringkali, seseorang diperkosa saat dia tidak dapat memberikan persetujuan


untuk aktivitas seksual karena mabuk; namun, dia ragu-ragu untuk melakukan insiden
tersebut sebagai pemerkosaan, mempertanyakan perannya dalam penyerangan, dan
cenderung menyalahkan diri sendiri (Schwartz & Leggett, 1999). Untuk alasan ini,
individu jauh lebih kecil kemungkinannya untuk melaporkan serangan seksual terkait
alkohol daripada melaporkan pemerkosaan secara paksa. Dalam satu studi nasional
mahasiswa, sekitar 15% dari pemerkosaan melibatkan penggunaan zat yang diberikan
tanpa sepengetahuan korban. Gamma hydroxybutyrate (GHB) adalah obat yang biasa
digunakan dalam serangan seksual yang difasilitasi oleh obat dan dituangkan dengan
mudah ke dalam minuman seseorang tanpa sepengetahuannya. Karena GHB

5
menghasilkan amnesia anterograde permanen, korban biasanya terbangun setelah kira-
kira 5 jam dan mungkin menyadari bahwa pemerkosaan terjadi, tetapi tidak memiliki
ingatan pelaku atau peristiwa seputar pemerkosaan. Orang yang selamat dari serangan
jenis ini tidak memiliki memori pemerkosaan, dapat menerima reaksi negatif dari orang
lain karena gangguan memori, dan sangat tidak mungkin untuk melaporkan serangan
ke penegak hukum (Pengacara et al., 2010).

E. Level Kronosistem

Tingkat ini mengacu pada efek kumulatif dari beberapa transisi perkembangan
dalam hidup yang selamat. Dalam kasus trauma seksual, ini mengacu pada sejarah
khusus penyintas dari pembohongan. Ada garis besar penelitian yang menunjukkan
bahwa CSA adalah signifikan tidak dapat menjadi faktor risiko untuk revictimization
sebagai orang dewasa (Fortier et al., 2009; Koss & Kilpatrick, 2001; Tjaden &
Thoennes, 2006; Walsh, Blaustein, Knight, Spinazzola, & van der Kolk, 2007). Orang
yang selamat dari CSA memiliki kemungkinan dua hingga tiga kali lebih besar untuk
diserang secara seksual diremaja dan dewasa daripada individu dari populasi umum
(Tjaden & Thoennes, 2006; Walsh et al., 2007), dan ada beberapa indikasi bahwa ada
genap tingkat revictimization yang lebih tinggi di antara individu LGBT yang
mengalami CSA (Heidt, Marx, & Emas, 2005). Konselor perlu menilai dan memahami
sejarah viktimisasi korban, sebagai orang-orang yang telah menjadi korban sebelumnya
lebih cenderung memiliki perlakuan yang berbeda kebutuhan dibandingkan survivor
lainnya. Reviktimisasi dikaitkan dengan peningkatan kadar PTSD gejala dibandingkan
dengan satu insiden trauma, dan mereka yang mengalami revictimisasi melaporkan
tingkat yang lebih besar dari depresi, PTSD, disosiasi, kecemasan, dan substansi
pelecehan daripada penyintas trauma seksual lainnya (Fortier et al., 2009). Grauerholz
(2000) mengkonseptualisasikan proses revictimization sebagai operasi dalam sistem
yang terdiri dari dari empat tingkat berikut:

a) pengalaman pelecehan awal korban dan riwayat keluarga (misalnya, demografi,


keparahan, durasi, hubungan dengan pelaku, dan reaksi sosial negatif terhadap
pengungkapan awal; Ullman, 2007),
b) eksosistem (misalnya, kurangnya sumber daya atau masalah perumahan yang
aman yang meningkatkan kerentanan penyintas terhadap masa depan kekerasan
seksual),

6
c) faktor makrosistem (misalnya, norma budaya dan institusi yang cenderung
menyalahkan korban, terutama karena menyebabkan revictimization), dan
d) mikrosistem faktor (misalnya, faktor interpersonal , dan interaksi antara perilaku
pelaku dan kerentanan psikologis korban).
Sementara mengakui revictimization sebagai masalah multisistemik, sebagian besar
baru-baru ini penelitian di bidang ini telah berpusat pada faktor mikrosistem. Beberapa
penelitian telah memeriksa faktor interpersonal seperti terlibat dalam kegiatan berisiko
tinggi yang meningkatkan paparan kepada calon pelaku (misalnya, pesta minuman
keras atau melakukan dua atau lebih hubungan seksual saat ini) mitra; Brener,
McMahon, Warren, & Douglas, 1999; Grauerholz, 2000). Studi lain telah
mengidentifikasi faktor intrapersonal tertentu yang mungkin terkait dengan
revictimization, termasuk tekanan psikologis, ketidakamanan hubungan, harga diri
rendah, menyalahkan diri sendiri, efikasi diri yang rendah, penggunaan gaya koping
penghindaran, defisit dalam penilaian risiko dan koping situasional. Semua faktor ini
dapat mengurangi kemampuan individu untuk menilai, secara asertif mengatasi, dan
melarikan diri dari situasi yang berpotensi berbahaya; faktor-faktor ini juga dapat
meningkatkan kemungkinan bahwa pelaku dapat bertindak dengan agresi (Walsh et. al,
2007).
Penelitian terbaru di bidang ini telah meneliti dampak spesifik dari koping
strategi dan gejala trauma kronis pada revictimization dewasa. Orang-orang itu yang
telah mengalami CSA kemungkinan besar akan menggunakan strategi koping
penghindaran (misalnya, penolakan, penghindaran, mati rasa, atau detasemen).
Penggunaan strategi koping penghindaran terkait dengan peningkatan gejala PTSD dari
waktu ke waktu ketika seseorang mencoba untuk menghindari kenangan dan perasaan
yang terkait dengan trauma daripada secara aktif memprosesnya. Gejala PTSD yang
dihasilkan, pada gilirannya, telah terbukti mengganggu informasi pemrosesan, persepsi
dan penilaian risiko yang akurat, kegagalan untuk bereaksi secara tepat terhadap
ancaman, dan kemampuan untuk terlibat dalam respons perlindungan diri (Fortier et
al., 2009). Ini tanggapan semuanya terkait dengan peningkatan risiko menjadi korban
di masa depan (Fortier et al., 2009).

7
F. Level Eksosistem

Tingkat ini mengacu pada kontak korban dengan medis, hukum, penegakan
hukum, atau mental sistem kesehatan. Adalah umum bagi para penyintas untuk
melaporkan bahwa kontak mereka dengan formal sistem yang cukup negatif dan
menyebabkan mereka mengalami rasa bersalah, ketidakpercayaan, dan keengganan
untuk mencari bantuan lebih lanjut (Campbell & Raja, 2005). Interaksi ini dapat
mengakibatkan apa yang sering disebut sebagai viktimisasi sekunder, yaitu
pengalaman ketidakpekaan, korban menyalahkan, meminimalkan, dan reaksi negatif
dari medis, hukum, penegak hukum, dan profesional kesehatan mental, dan yang sering
memperburuk trauma penyintas gejala (Campbell, 2006; Feldman, Ullman, & Dunkel-
Schetter, 1998). Korban menyalahkan dan reaksi sosial negatif umum terjadi pada
semua penyintas, tetapi sangat mungkin untuk terjadi dalam kasus perkosaan kenalan,
kencan, atau pasangan (Resnick et al., 2000). Penting juga untuk dicatat bahwa ketika
para penyintas berusaha mencari bantuan, ada mungkin menjadi hambatan yang
signifikan bagi mereka dalam menerima layanan yang dibutuhkan. Layanan formal
cenderung menjadi kurang tersedia dan dapat diakses oleh penyintas yang cacat, tidak
bisa berbahasa Inggris, atau yang memiliki tingkat pendidikan rendah; individu tersebut
sering tidak menyadari sumber daya yang tersedia atau memiliki akses terbatas ke
rumah sakit atau pusat krisis pemerkosaan (Bryant-Davis, Chung, & Tillman, 2009).
Selain itu, banyak layanan sosial tidak dirancang untuk memenuhi kebutuhan penyintas
laki-laki (Tewksbury, 2007) atau individu LGBT (Gold, Dickstein, Marx, & Lexington,
2009).

Selanjutnya, bahkan ketika layanan sudah tersedia, individu mungkin ragu


untuk mencari bantuan dari penyedia layanan formal karena budaya mereka sikap dan
pengalaman. Ini mungkin termasuk keanggotaan dalam kelompok ras atau etnis yang
pernah mengalami riwayat tidak dipercaya oleh aparat penegak hukum, atau mereka
yang telah mengembangkan ketidakpercayaan terhadap agensi berdasarkan kedua
pengalaman pribadi dan pengalaman historis pelanggaran yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga tersebut. Beberapa juga mungkin ragu-ragu untuk mencari layanan
karena status imigrasi mereka dan ketakutan akan deportasi (Bryant-Davis et al., 2009).
Individu mungkin menghindari mencari bantuan untuk melindungi diri dari bahaya
psikologis (Patterson, Greeson, & Campbell, 2009; Ullman, 2007). Setelah
berhubungan seksual trauma, penyintas mungkin mencoba menekan ingatan dan emosi

8
mereka, menyangkal dampaknya trauma pada fungsi mereka saat ini, dan ketakutan
bahwa jika mereka mengalami kenangan dan perasaan, mereka mungkin menjadi
kewalahan. Mereka mungkin menunda mencari bantuan dari profesional sampai
mereka tidak dapat lagi menekan emosi mereka atau ketika gejala mereka menjadi tidak
tertahankan. Akibatnya, banyak penyintas mungkin menunda mencari kesehatan
mental pengobatan selama bertahun-tahun, dan bahkan ketika mereka melakukannya,
mereka sering hadir untuk konseling dengan masalah penyajian yang berbeda. Selain
itu, penyintas mungkin menunda mencari kesehatan mental pengobatan karena
pengalaman negatif masa lalu dengan sistem kesehatan mental atau dengan profesional
kesehatan mental tertentu, atau mereka mungkin memiliki keyakinan bahwa
pengobatan akan menyebabkan mereka merasa lebih buruk, bahwa mereka tidak layak
mendapatkan layanan, atau bahwa perawatan kesehatan mental tidak akan atau tidak
dapat membantu mereka dengan pengalaman khusus mereka (Patterson et al.,2009).
Karena temuan ini, oleh karena itu penting bagi konselor untuk menyadari bahwa:

a) penyintas dapat menunda pengobatan dan tidak mencari bantuan sampai


gejalanya kronis,
b) mereka mungkin sangat tidak percaya pada proses pengobatan,
c) mereka mungkin pada awalnya hadir dengan masalah yang berbeda sampai
mereka merasa nyaman dalam mengungkapkan secara terbuka kekerasan seksual.

G. Tingkat Mikrosistem

Tingkat ini mengacu pada dukungan sosial individu. Seperti yang dinyatakan
sebelumnya, banyak yang selamat mengalami reaksi negatif dari orang lain, dan
mereka sering disalahkan karena membawa peristiwa traumatis pada diri mereka
sendiri. Reaksi negatif dari orang lain, bagaimanapun dapat disangga dengan
ketersediaan dukungan sosial yang positif. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan
sosial dapat sangat mempengaruhi reaksi penyintas terhadap trauma dan kemampuan
untuk pulih dari kekerasan seksual (Ullman, 2007). Ketersediaan dukungan sosial
meningkatkan kemungkinan pengungkapan dini, yang terkait dengan pemulihan yang
lebih positif. Faktanya, yang selamat dengan sistem pendukung yang kuat, dan mereka
yang mengungkapkan kepada keluarga dan teman, memiliki lebih banyak kesehatan

9
fisik dan mental yang positif setelah trauma seksual (Kimerling & Calhoun, 1994;
Ulman, 2007).

H. Tingkat Makrosistem

Tingkat ini mengacu pada faktor sosial yang lebih luas seperti perbedaan
budaya dalam menanggapi pemerkosaan dan penerimaan mitos pemerkosaan yang ada
dalam budaya tertentu. Itu penting untuk memahami reaksi penyintas terhadap
kekerasan seksual dalam konteks sosiokultural, memeriksa makna kekerasan seksual
tidak hanya untuk individu, tetapi juga dalam hal bagaimana hal itu dirasakan dalam
komunitas budaya individu. Misalnya, ketika memeriksa pemerkosaan dalam konteks
gender, itu dipandang bukan sebagai kejahatan tentang seks tetapi tentang kekuasaan
yang berfungsi merendahkan perempuan, membatasi kebebasannya, dan
mempertahankannya ketidaksetaraan (Brownmiller, 1975; Low & Organista, 2000).
Menurut Bryant-Davis dan rekan (2009), kekerasan seksual terhadap perempuan etnis
minoritas harus dipahami dalam konteks trauma sosial yang lebih luas, mengingat
bahwa pengalaman individu sebelumnya pengalaman dengan rasisme, seksisme,
kelasisme, heteroseksisme, kekerasan budaya, atau sejarah kekerasan bersifat
kumulatif dan berkontribusi pada cara seorang penyintas mengalami kekerasan seksual
ketika itu terjadi. Misalnya, ketika wanita penduduk asli Amerika diserang oleh laki-
laki non-pribumi, mereka mungkin sangat takut melaporkan atau pembalasan karena
ketidakpercayaan historis dari lembaga dukungan sosial dalam komunitas penduduk
asli Amerika (Bryant'Davis et al., 2009).

I. Pengobatan Trauma Seksual

Konselor umumnya memberikan bantuan kepada penyintas yang menghadapi


kekerasan seksual dalam dua cara: baik dengan merujuk atau memberikan intervensi
krisis dalam waktu dekat setelah peristiwa, atau melalui pemberian pengobatan di lain
waktu ketika korban tidak bisa lagi mentolerir gejala yang muncul setelah trauma
seksual. Sebagaimana disoroti di bagian sebelumnya, penting bagi para penasihat untuk
bersiap dengan pengetahuan dan keterampilan untuk memberikan rujukan dan
pengobatan yang sensitif secara kontekstual. Untuk tujuan ini, bagian berikut secara

10
singkat menguraikan layanan intervensi krisis yang ditawarkan di sebagian besar
masyarakat, dan kemudian menjelaskan pendekatan pengobatan yang paling efektif
untuk konseling penyintas trauma seksual.

a) Program Intervensi Krisis


Konselor harus terbiasa dengan layanan intervensi krisis pemerkosaan
di komunitas mereka sehingga mereka membuat rujukan yang tepat bila
diperlukan. Banyak komunitas telah mendirikan pusat krisis pemerkosaan untuk
melayani sebagai penanggap pertama terhadap kekerasan seksual dikomunitas
mereka. Sebagian besar lembaga ini memberikan intervensi krisis melalui medis
dan advokasi hukum. Mereka menyediakan advokat relawan untuk menemani
korban ke rumah sakit dan departemen kepolisian untuk membimbing mereka
melalui proses forensik medis, pengumpulan bukti dan penuntutan hukum.
Advokat tidak hanya memfasilitasi pengiriman layanan ini tetapi juga
membantu melindungi korban dari viktimisasi sekunder dengan
mempromosikan interaksi positif dengan profesional lain (Campbell, 2006).
Untuk membantu dalam aspek medis intervensi krisis pemerkosaan, banyak
komunitas telah berkembang Program Sexual Assault Nurse Examiner (SANE)
yang mempekerjakan perawat yang secara khusus dilatih untuk memberikan
krisis/intervensi medis, mengumpulkan bukti forensik, memberikan perawatan
medis pasca-pemerkosaan yang tepat, dan mengoordinasikan layanan di antara
berbagai penyedia layanan (Campbell, Patterson, & Lichty, 2005). Pusat krisis
pemerkosaan juga memberikan informasi kepada para penyintas tentang
layanan yang tersedia dan sumber daya, mempromosikan dukungan sosial,
memberikan psikoedukasi tentang reaksi terhadap serangan seksual, dan
menawarkan pilihan untuk memfasilitasi kemampuan penyintas untuk membuat
keputusan yang tepat selama masa sulit dalam hidupnya (Ullman & Townsend,
2008). Sebagian besar pusat krisis pemerkosaan juga menawarkan konseling
suportif dan hotline 24 jam untuk korban dan sistem pendukung mereka. Satu
pendekatan inovatif untuk menjangkau para penyintas ditawarkan melalui
Pemerkosaan, Penyalahgunaan dan Incest National Network (RAINN), yang
baru-baru ini meluncurkan National Sexual Hotline Serangan Online
(NSAOH). Dikelola oleh sukarelawan terlatih, NSAOH melibatkan hotline
obrolan satu-satu berbasis Internet yang berkelanjutan untuk korban kekerasan

11
seksual atau mereka orang lain yang signifikan dalam menangani krisis
langsung atau dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan efek jangka
panjang dari serangan seksual (RAINN, 2010). Pendekatan online untuk krisis
intervensi didasarkan pada peningkatan kenyamanan di kalangan orang muda
dalam mengakses dukungan dan informasi sosial online dan keengganan
banyak orang untuk melaporkan viktimisasi ke lembaga layanan formal.
Evaluasi awal program menunjukkan bahwa pengunjung menemukan hotline
online bermanfaat dan mudah digunakan, dan sukarelawan melaporkan bahwa
mereka puas dengan program tersebut (Finn & Hughes, 2008).

b) Model Perawatan Konseling


Ketika konselor bekerja dengan penyintas trauma seksual, pertama-tama
mereka harus bekerja untuk mengembangkan aliansi terapeutik yang saling
percaya, karena para penyintas mungkin memiliki keengganan besar untuk
mendiskusikan kenangan trauma dan mungkin memiliki pengalaman negatif
dengan penyediaan layanan lain. Konselor harus menunjukkan empati dan
penghargaan positif untuk klien : mereka dengan hati-hati menilai kekhawatiran
klien melalui lensa multisistemik yang dijelaskan dalam Bab ini. Jenis penilaian
ini sangat penting dalam mengembangkan pendekatan pengobatan yang
disesuaikan dengan kebutuhan spesifik klien. Untuk memberikan layanan
konseling trauma-informed, konselor dapat mengintegrasikan informasi
mengenai konteks klien sambil mengikuti pedoman pengobatan yang didukung
penelitian. Pendekatan pengobatan yang diuraikan dalam teks berikut diambil
dari ahli pedoman konsensus untuk pengobatan PTSD (Foa, Davidson, &
Frances, 1999; Foa, Keane, & Friedman, 2000) dan diadaptasi secara khusus
untuk trauma terkait pemerkosaan. Komponen pengobatan yang
direkomendasikan mengatasi gejala PTSD spesifik yang terjadi setelah trauma
seksual:

1) psikoedukasi tentang gejala PTSD yang umum dialami,


2) terapi pemaparan (ET) untuk memfasilitasi kemampuan klien dalam
memproses ingatan yang berhubungan dengan acara tersebut,
3) restrukturisasi kognitif (CR) untuk menantang keyakinan maladaptif
klien tentang perannya dalam acara tersebut,

12
4) teknik manajemen kecemasan untuk meningkatkan keterampilan koping
yang positif.

J. Implikasi Konseling
Konselor yang bekerja dengan penyintas trauma seksual dapat memberikan
informasi yang lebih sensitif dan pengobatan yang efektif ketika mereka
mengkonseptualisasikan masalah klien melalui model ekologi yang disajikan dalam
bab ini. Harus jelas bahwa pengobatan konseling yang hanya berfokus pada gejala
pasca trauma individu tidak memadai, karena konselor akhirnya gagal untuk mengatasi
tanggapan unik klien sebagai terpengaruh oleh berbagai sistem yang beroperasi dalam
hidupnya. Semakin banyak konselor dapat memahami latar belakang klien, nilai-nilai
budaya, riwayat viktimisasi sebelumnya, hubungan dengan pelaku, tingkat dukungan
saat ini, dan pengalaman dengan menyalahkan korban dari penyedia layanan lain,
semakin efektif konselor dalam menyesuaikan perawatan dengan kebutuhan spesifik
klien. Sambil menyediakan multisistemik ini pemahaman tentang tanggapan klien
terhadap trauma seksual, konselor juga harus memiliki pengetahuan tentang perawatan
praktik terbaik untuk trauma seksual.
Karena perawatan ini mengharuskan klien untuk mengatasi ingatan dan situasi
yang menghasilkan perasaan intens ketakutan dan kecemasan, konselor harus
menyeimbangkan teknik pengobatan dengan dukungan dan validasi yang memadai
sehingga klien tetap mengendalikan arahnya. Sebagai konselor menunjukkan empati
dan pemahaman klien dalam konteks, klien dapat tetap diberdayakan saat dia
melakukan yang sulit tetapi proses peningkatan pertumbuhan menuju pemulihan.
Singkatnya, karena meluasnya masalah ini, penting bagi konselor untuk dapat
memberikan pengobatan yang efektif untuk trauma seksual dengan cara yang sensitif
secara kontekstual. Penelitian masa depan harus memprioritaskan pendekatan
multisistemik untuk konseptualisasi kekerasan seksual. Penelitian juga diperlukan
untuk menyempurnakan komponen perawatan praktik terbaik saat ini dan bagaimana
ini mungkin yang terbaik disesuaikan untuk klien individu, berdasarkan konteks sosial
budaya mereka.

13
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual secara fisik
maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma yang
sangat mendalam dalam diri seseorang tersebut terutama pada anakanak dan remaja.
Kejadian traumatis tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu PTSD.
Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-beda bergantung seberapa parah
kejadian tersebut mem -pengaruhi kondisi psikologis dari korban.

Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau
pelecehan seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar
korban tidak merasa tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebel
um kejadian trauma. Dan pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode -metode
yang benar sehingga dalam menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami
tekanan-tekanan baru yang diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.

B. SARAN

Demikianlah makalah yang dapat saya buat, sebagai manusia biasa saya sebagai
pemakalah menyadari bahwa dalam pembuatan makalah masih terdapat kesalahan dan
kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat saya harapkan
demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.

14
DAFTAR PUSTAKA

Brener, N. D. (1999). Forced sexual intercourse and associated health-risk behaviors


among female college students in the United States. Journal of Consulting and
Clinical Psychology, 67 (2), 252–259.
Brownmiller, S. (1975). Against our will: Men, women, and rape. New York: NY:
Bantam Books.
Burt, M. R. (1991). Acquaintance rape: The hidden crime . New York: NY: Wiley. .
Feldman, P. J.-S. (1998). Women’s reactions to rape victims: Motivational processes
associated with blame and social support. Journal of Applied Social Psychology ,,
28 (6), 469–503.
Finn, J. &. (2008). Evaluation of the RAINN National Sexual Assault Online Hotline.
Journal of Technology in Human Services ,, 26 (2–4), 203–222.
doi:10.1080/15228830802094783 .
Foa, E. B. (1993). Treatment of rape victims. Journal of Interpersonal Violence ,, 8 (2),
256–276.
Foa, E. B. (1999). Expert consensus guideline series: Treatment of posttraumatic stress
disorder. The Journal of Clinical Psychiatry, 60 (Suppl. 16), 1–31.
Foa, E. B. (2000). Effective treatments for PTSD: Practice guidelines from the
International Society for Traumatic Stress Studies. New York,: NY: Guilford
Press.
Fortier, M. A.-M. (2009). Severity of child sexual abuse and revictimization: The
mediating role of coping and trauma symptoms. Psychology of Women Quarterly
,, 33 (3), 308–320.

15

Anda mungkin juga menyukai