Anda di halaman 1dari 14

LIMA LANGKAH TUGAS ILMU PENGETAHUAN DAN

PENELITIAN

Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Metode Penelitian dan

Penulisan Hukum

Dosen : Dr. Nyulistiowati S, S.H.,M.H.,CN.

Dr. Yani Pujiwati, S.H.,M.H

Oleh

NAMA : SAVIRRA SATRIADI

NPM : 110120210006

UNIVERSITAS PADJADJARAN
2021
LIMA LANGKAH TUGAS ILMU PENGETAHUAN DAN

PENELITIAN

1. TUGAS MENCANDRA (DESKRIPSI)


Tugas mencandra dalam tesis terdapat dalam Latar Belakang Masalah
yaitu menggambarkan apa yang akan menjadi objek penelitian Das Sollen
dan Das Sein.

2. TUGAS EKSPLANASI (MENERANGKAN KONDISI – KONDISI


YANG MENDASARI) SEBAB DAN AKIBAT
Tugas Eksplanasi dalam tesis terdapat dalam Identifikasi Masalah yaitu
Memilah dari tugas mencandra apa yang menjadi sebab dan akibat.

3. TUGAS MENYUSUN TEORI


Tugas Menyusun Teori dalam tesis terdapat dalam Kerangka Pemikiran
yaitu Sebab akibat di susun dan di hubungkan menjadi suatu teori, di susun
di pisah sebab maupun akibat.

4. TUGAS ESTIMASI (PREDIKSI)


Tugas Estimasi dalam tesis terdapat dalam Kesimpulan yaitu Mendapatkan
hasil antara Das Sollen dan Das Sein sudah ada prediksi ditarik sebuah
kesimpulan.

5. TUGAS PENGENDALIAN (PENANGGULANGAN)


Tugas Pengendalian dalam tesis terdapat dalam Bab 4 dan Saran yaitu
Langkah terakhir setelah melakukan 4 langkah sebelumnya dengan
pemberian saran.
TUGAS MENCANDRA

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENERIMA WARALABA DALAM


KONTRAK STANDAR PADA PERJANJIAN WARALABA DITINJAU
DARI KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM PERDATA

A. Latar Belakang Masalah


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 tentang
Waralaba Pasal 4 Ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa waralaba diselenggarakan
berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dan penerima waralaba ,
dengan ketentuan bahwa perjanjian waralaba dibuat dalam Bahasa Indonesia dan
terhadapnya berlaku hukum Indonesia dan jika ditulis dalam Bahasa asing maka
perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam Bahasa indonesia.
Perjanjian Waralaba di buat oleh Pemberi Waralaba yang mengakibatkan
adanya pemberian hak untuk menggunakan sistem waralaba. Perjanjian waralaba
umumnya sudah berbentuk Kontrak Standar dimana penerima waralaba hanya
dapat menerima perjanjian sedangkan para pihak dalam perjanjian kedudukannya
sejajar masing-masing dapat menentukan isi perjanjian sebagaimana diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu syarat sahnya
perjanjian pasal 1320 KUHPerdata dan asas kebebasan berkontrak pasal 1338
KUHPerdata.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa Kontrak Standar dalam
waralaba merupakan unsur ketidakseimbangan di dalam suatu perjanjian mengingat
dalam suatu perjanjian harus adanya asas keseimbangan dan asas itikad baik sesuai
dengan Pasal 1320 KUHPerdata, dengan demikian Kontrak Standar dalam
Perjanjian Waralaba harus mendapatkan perlindungan hukum , yang dalam hal ini
perjanjian waralaba menjadi sangat signifikan dalam memberikan perlindungan
hukum tersebut terhadap penerima waralaba. Termasuk didalamnya akan dibahas
yaitu penyelesaian sengketa dalam perjanjian waralaba. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk meneliti lebih lanjut dalam bentuk penulisan tesis yang berjudul
“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENERIMA WARALABA DALAM
KONTRAK STANDAR PADA PERJANJIAN WARALABA DITINJAU
DARI KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM PERDATA”

(TUGAS EKSPLANASI)

B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian waralaba dalam kontrak standar yang
dapat memberikan perlindungan hukum bagi penerima waralaba?
2. Bagaimanakah peran pemerintah dan Asosiasi Waralaba mengenai asas
keseimbangan dan asas itikad baik untuk melindungi hak penerima waralaba?
3. Bagaimanakah penyelesaian sengketa jika terjadi sengketa dalam perjanjian
waralaba?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakan dan permasalahan sebagaimana telah dirumuskan ,
maka dapat dikemukakan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mendalami dan menganalisa bentuk perjanjian waralaba yang
memberikan perlindungan hukum bagi penerima waralaba
2. Untuk mendalami dan menganalisa peran pemerintah dan asosiasi waralaba
dalam hal melindungi hak bagi pelaku bisnis waralaba di Indonesia terutama
bagi perlindungan hukum terhadap penerima waralaba.
3. Untuk mendalami dan menganalisa penyelesaian sengketa dalam perjanjian
waralaba

D. Kegunaaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara
teoretis maupun secara praktis.

1. Kegunaan Teoretis
Untuk menambah pemahaman baru tentang pentingnya perlindungan hukum
terhadap penerima waralaba serta memberikan sumbangan pemikiran keilmuan
di bidang hukum Keperdataan, khususnya berkaitan dengan Kontrak Standar
dalam perjanjian waralaba sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.

2. Kegunaan Praktis
a. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat umum, khususnya penerima
waralaba, mengenai hak-haknya yang diatur dalam Perjanjian waralaba dan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 dan upaya hukum penerima
waralaba.
b. Sebagai masukan bagi pemberi waralaba dalam membuat perjanjian waralaba
yang sesui dengan asas keseimbangan dan Pasal 1320 KUHPerdata agar
selalu mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
waralaba yang memenuhi syarat, sehingga dalam penggunaanya tidak
melanggar Pasal 1320 yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum
Perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya;dan
c. Sebagai bahan referensi bagi pihak lain yang ingin meneliti lebih lanjut
tentang Waralaba, khususnya Perlindungan hukum atas penerima waralaba.

TUGAS MENYUSUN TEORI

E. Kerangka Pemikiran
Waralaba sebagai suatu cara melakukan kerjasama di bidang bisnis antara
dua atau lebih perusahaan, satu pihak bertindak sebagai pemberi waralaba dan
pihak lain sebagai penerima waralaba, dimana di dalamnya diatur, bahwa pihak
pemberi waralaba sebagai pemilik suatu merek dan teknologi, memberikan haknya
kepada penerima waralaba untuk melakukan kegiatan bisnis berdasarkan merek dan
teknologi tersebut. Waralaba merupakan suatu sistem yang berkembang dari lisensi
di bidang hak milik intelektual di bidang penjualan barang-barang dan jasa. Apa
yang terdapat dalam kontrak lisensi bisanya juga terdapat dalam suatu kontrak
Waralaba, hanya suatu kontrak Waralaba biasanya lebih luas (comprehensif). Hal
ini karena selain penerima waralaba (franchisee) harus memproduksi barang dan
jasa yang sama dengan yang dibuat oleh (franchisor) atau perusahaan induknya,
juga sering sekali pula harus disajikan dan harus dipasarkan sesuai dengan cara
yang dilakukan dan diminta oleh (franchisor).
Waralaba adalah perikatan dengan salah satu pihak diberikan hak untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak kekayaan intelektual, atau pertemuan
ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan
persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan
atau penjualan barang dan jasa.1 Waralaba sebagai suatu cara melakukan kerjasama
di bidang bisnis antara dua atau lebih perusahaan, satu pihak bertindak sebagai
pemberi waralaba dan pihak lain sebagai penerima waralaba, di mana di dalamnya
diatur, bahwa pihak pemberi waralaba sebagai pemilik suatu merek dan teknologi,
memberikan haknya kepada penerima waralaba untuk melakukan kegiatan bisnis
berdasarkan merek dan teknologi tersebut.
Waralaba merupakan suatu sistem yang berkembang dari lisensi di bidang
hak kekayaan intelektual di bidang penjualan barang-barang dan jasa. Apa yang
terdapat dalam kontrak lisensi bisanya juga terdapat dalam suatu kontrak Waralaba,
hanya suatu kontrak Waralaba biasanya lebih luas (comprehensif). Hal ini karena
selain penerima waralaba (franchisee) harus memproduksi barang dan jasa yang
sama dengan yang dibuat oleh (franchisor) atau perusahaan induknya, juga sering
sekali pula harus disajikan dan harus dipasarkan sesuai dengan cara yang dilakukan
dan diminta oleh (franchisor).
Dari sudut pandang ekonomi Waralaba adalah hak yang diberikan secara
khusus kepada seseorang atau kelompok, untuk memproduksi atau merakit,
menjual, memasarkan suatu produk atau jasa. Sedangkan dari sudut pandang
hukum Waralaba adalah perjanjian legal antara dua pihak dalam bekerjasama
memproduksi, merakit, menjual, memasarkan suatu produk jasa.
Dari segi hukum Waralaba melibatkan bidang-bidang hukum perjanjian,
khususnya perjanjian tentang pemberian lisensi, hukum tentang nama perniagaan,
merek, paten, model dan desain. Bidang-bidang hukum tersebut dapat

1
Anki Novairi Dari dan Aditya Bayu Aji, Kaya Raya dengan Waralaba (Yogyakarta:
Katahati, 2011), hlm.17.
dikelompokkan dalam bidang hukum perjanjian dan bidang hukum tentang hak
milik intelektual (intelectual property right). 2
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Nomor 42 Tahun 2007 tentang
Waralaba menyebutkan bahwa waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh
orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha
dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan
dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
waralaba.
Waralaba diperkenalkan pertama kali pada tahun 1850-an oleh Isaac Singer,
pembuat mesin jahit Singer, ketika ingin meningkatkan distribusi penjualan mesin
jahitnya. Walaupun usahanya tersebut gagal, namun dialah yang pertama kali
memperkenalkan format bisnis waralaba ini di AS. Kemudian, caranya ini diikuti
oleh pewaralaba lain yang lebih sukses, John S. Pemberton, pendiri Coca Cola.
Namun, menurut sumber lain, yang mengikuti Singer kemudian bukanlah Coca
Cola, melainkan sebuah industri otomotif AS, General Motors Industry ditahun
1898. Contoh lain di AS ialah sebuah sistem telegraf, yang telah dioperasikan oleh
berbagai perusahaan jalan kereta api, tetapi dikendalikan oleh Western Union serta
persetujuan eksklusif antar pabrikan mobil dengan dealer. 3
Waralaba saat ini lebih didominasi oleh waralaba rumah makan siap saji.
Kecenderungan ini dimulai pada tahun 1919 ketika A&W Root Beer membuka
restauran cepat sajinya. Pada tahun 1935, Howard Deering Johnson bekerjasama
dengan Reginald Sprague untuk memonopoli usaha restauran modern. Gagasan
mereka adalah membiarkan rekanan mereka untuk mandiri menggunakan nama
yang sama, makanan, persediaan, logo dan bahkan membangun desain sebagai
pertukaran dengan suatu pembayaran. Dalam perkembangannya, sistem bisnis ini
mengalami berbagai penyempurnaan terutama di tahun 1950-an yang kemudian
dikenal menjadi waralaba sebagai format bisnis (business format) atau sering pula
disebut sebagai waralaba generasi kedua. Perkembangan sistem waralaba yang
demikian pesat terutama di negara asalnya, AS, menyebabkan waralaba digemari

2
Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Trans Nasional
(Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995), hlm 21-22.
3
“Waralaba”, http/www.wikipedia.com, diakses 27 Juli 2020.
sebagai suatu sistem bisnis diberbagai bidang usaha, mencapai 35 persen dari
keseluruhan usaha ritel yang ada di AS. Sedangkan di Inggris, berkembangnya
waralaba dirintis oleh J. Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg, pada
tahun 60-an.4 Sistem bisnis franchise pada saat ini tidak hanya pada penjualan
produk dalam bentuk barang tetapi sudah berkembang pada penjualan ide atau jasa,
yang penting dalam perkembangan franchise saat ini adalah bagaimana
mengembangkan konsep atau ide franchisor agar dapat dikembangkan oleh
franchisee dengan mutu, standar dan keseragaman tetap terjaga.5
Tonggak kepastian hukum akan format waralaba di Indonesia dimulai pada
tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI
No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba ini
telah dicabut dan diganti dengan PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.
Keluarnya Peraturan Pemerintah ini dalam rangka meningkatkan pembinaan usaha
dengan Waralaba di seluruh Indonesia maka perlu mendorong pengusaha nasional
terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai Pemberi Waralaba
nasional yang handal dan mempunyai daya saing di dalam negeri dan luar negeri
khususnya dalam rangka memasarkan produk dalam negeri. Selain hal tersebut
pemerintah memandang perlu mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha Pemberi
Waralaba baik dari luar negeri dan dalam negeri guna menciptakan transparansi
informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh usaha nasional dalam
memasarkan barang dan/atau jasa dengan Waralaba.
Di samping itu, Pemerintah dapat memantau dan menyusun data Waralaba
baik jumlah maupun jenis usaha yang diwaralabakan. Untuk itu, Pemberi Waralaba
sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba, harus
menyampaikan prospektus penawaran Waralaba kepada Pemerintah dan calon
Penerima Waralaba. Di sisi lain, apabila terjadi kesepakatan perjanjian Waralaba,
Penerima Waralaba harus menyampaikan perjanjian Waralaba tersebut kepada
Pemerintah.
Peraturan Pemerintah ini diharapkan dapat memberikan kepastian berusaha
dan kepastian hukum bagi Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba dalam

4
Ibid.
5
Joseph Mancuso & Donald Boroian, Pedoman Membeli dan Mengelola Franchise
(Jakarta: Delapratasa, 1995), hlm 30-32.
memasarkan produknya. Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung
kepastian hukum dalam format bisnis waralaba adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Waralaba.
2. Peraturan Pemerintah Republik Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No.42 Tahun
2007 yang menentukan, bahwa pemberian waralaba adalah berdasarkan perjanjian
waralaba ternyata tidak ditemukan pengaturannya di dalam Buku III KUHPerdata.
Pengertian perjanjian terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi.³
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.” rumusan dalam pasal 1313
KUHPerdata tersebut tersirat bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian lahirlah
kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang kepada satu atau lebih orang
lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut.
Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukannya, dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dikenal adanya 4 unsur pokok yang harus ada agar
suatu perbuatan hukum dapat disebut sebagai perjanjian yang sah, yaitu
kesepakatan, kecakapan, obyeknya tertentu dan sebab halal. Keempat unsur
tersebut selanjutnya oleh ilmu hukum digolongkan ke dalam dua unsur pokok yang
menyangkut unsur subyektif dan unsur obyektif.

Didalam KUHPerdata juga memberikan hak kepada para pihak untuk


membuat dan melakukan kesepakatan apa saja dengan siapa saja, selama mereka
memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang dibuat dalam Buku III
KUHPerdata tersebut. Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai
undang-undang bagi para pembuatnya, rumusan ini terdapat dalam pasal 1338 ayat
1 KUHPerdata, yang dipertegas lagi dalam pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa perjanjian yang disepakati tersebuttidak dapat ditarik kembali
secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian tanpa adanya persetujuan
dari lawan pihaknya dalam perjanjian atau dalam hal-hal dimana oleh undang-
undang dinyatakan cukup adanya alasan untuk itu.
Secara umum, kalangan ilmuwan hukum menghubungkan dan
memberlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam dalam pasal 1320
KUHPerdata jo pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata tersebut sebagai asas kebebasan
berkontrak dalam hukum Perjanjian. Dalam pasal 1338 KUHPerdata pada intinya
memberikan kebebasan bagi tiap-tiap subyek hukum untuk melakukan kontrak
dengan muatan materi yang disepakati oleh kedua belah pihak kebebasan tersebut
meliputi isi, bentuk maupun hukumnya.
Dalam hukum kontrak hal tersebut sering dikenal sebagai Asas Kebebasan
Berkontrak (The Principle of Freedom of The Parties) kebebasan berkontrak
merupakan alasan yang ideal bagi kesimbangan bergaining power di antara pihak-
pihak yang melakukan kontrak, tidak adanya perbuatan yang tidak adil yang
dilakukan terhadap sebagian besar kepentingan ekonomi masyarakat.
Disamping adanya asas-asas dalam hukum perjanjian yang terdiri dari 1)
asas kebebasan berkontrak; 2) asas konsensualisme; 3) asas kepercayaan; 4) asas
kekuatan mengikat; 5) asas persamaan hukum; 6) asas keseimbangan; 7) asas
kepastian hukum; 8) asas kepatutan; dan 9) asas kebiasaan 6, maka harus dipenuhi
syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang terdiri
dari 1) adanya kesepakatan; 2) adanya kecakapan; 3) suatu hal tertentu; dan 4) suatu
sebab yang halal. Syarat pertama dari syarat subjektif, yaitu adanya kesepakatan
dari para pihak yang membuat perjanjian, yang berarti bahwa para pihak haruslah
mempunyai kebebasan kehendak, dan tidak mendapat tekanan yang mengakibatkan
adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. Kesepakatan para pihak tersebut
merupakan pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring)
di antara pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan disebut penawaran
(offerte), dan pernyataan pihak yang menerima penawaran disebut akseptasi
(acceptatie).7

6
Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan
Penjelasan (Bandung: Alumni, 1993, hlm.109-111)
7
Ibid., hlm. 98
Syarat kedua dari syarat subjektif, yaitu adanya kecakapan dari para pihak
yang membuat perjanjian, yang berarti, bahwa para pihak haruslah mempunyai
kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu perbuatan
yang akan menimbulkan akibat hukum. Para pihak yang akan mengadakan
perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. Bila
pihak yang akan mengadakan perjanjian itu adalah perseorangan (individu), maka
orang itu haruslah cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1329 KUHPerdata, sedangkan seseorang
dikatakan tidak cakap menurut hukum apabila anak di bawah umur
(minderjarigheid), orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan perempuan yang
telah bersuami. Ketentuan mengenai perempuan yang telah bersuami sudah tidak
berlaku sejak tahun 1963 berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun
1963 dan mendapat penegasan dalam Pasal 31 Undang-Undang No.16 Tahun 2019
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Syarat pertama dari syarat objektif adalah suatu hal tertentu, dalam arti bahwa suatu
perjanjian haruslah mempunyai objek (bepaald onderwerp) tertentu, sekurang-
kurangnya objeknya dapat ditentukan, baik benda yang sekarang ada mau pun
nantinya akan ada.8 Ketentuan ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1333 dan
Pasal 1334 KUHPerdata bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu
barang yang dapat ditentukan jenisnya, termasuk barang yang akan ada di kemudian
hari. Syarat kedua dari syarat objektif adalah suatu sebab yang halal. Yang
dimaksud dengan sebab yang halal adalah sebab yang bukan terlarang. Suatu sebab
dikatakan terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan
kesusilaan yang baik atau ketertiban umum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
1337 KUHPerdata.

8
Ibid., hlm. 105
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini :
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi Penelitian dalam tesis ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif
yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan secara menyeluruh dan
sistematis yang kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang ada.9
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam tesis ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif, yaitu
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif.10 Penelitian yuridis normatif ini dilakukan
melalui studi kepustakaan (library research) atau data sekunder yang terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer, adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat. Dalam
hal ini yang menjadi bahan hukum primer berupa Peraturan Pemerintah
Republik Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan juga acuan utama
dalam pendekatan ini sebagaimana dalam pasal 1338 dan 1320 KUHPerdata
serta yurisprudensi yang menyangkut asas itikad baik dalam suatu kontrak.
b. Bahan Hukum Sekunder, dalam penelitian ini berupa buku, jurnal hukum
yang berkaitan dengan masalah yang sedang dikaji. 11
c. Bahan Hukum Tersier, dalam penelitian ini berupa Kamus Hukum, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, media massa (elektronik/cetak).
3. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif .
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data penelitian ini berupa studi dokumen terhadap data
sekunder dan internet.
5. Metode Analisis Data

9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2014), hlm .10.
10
Johnny Ibrahim, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Banyumedia
Publishing , 2012), hlm. 295.
11
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2001), hlm. 12.
Data penelitian yang telah terkumpul kemudian disusun secara sistematis
selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif.

TUGAS ESTIMASI (PREDIKSI)

G. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis tentang
Perlindungan Hukum Bagi Penerima Waralaba Dalam Kontrak Standar Pada
Perjanjian Waralaba Ditinjau dari Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan perjanjian waralaba dalam kontrak standar yang dapat memberikan
perlindungan hukum bagi penerima waralaba yaitu yang sesuai dengan asas –
asas Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yaitu syarat sahnya perjanjian
pasal 1320 KUHPerdata dan asas kebebasan berkontrak pasal 1338
KUHPerdata.
2. Peran pemerintah dan Asosiasi Waralaba mengenai asas keseimbangan dan asas
itikad baik untuk melindungi hak penerima waralaba bahwa adanya pembatas
antara pemerintah dan Asosiasi Waralaba untuk Bersama – sama mencapai asas
keseimbangan dan itikad baik di dalam perjanjian waralaba.
3. Penyelesaian sengketa jika terjadi sengketa dalam perjanjian waralaba bahwa
apabila terjadi sengketa antara Franchisor dan Franchisee diselesaikan sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati sejak awal.

TUGAS PENGENDALIAN (PENANGGULANGAN)

H. Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka penulis dapat
memberikan saran sebagai berikut :
1. Sebaiknya untuk lebih memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi
Penerima Waralaba, di dalam perjanjian waralaba agar selalu dicantumkan
kalusula yang mengatur perlindungan penerima waralaba lalu terhadap
perjanjian waralaba sendiri harus dapat di negosiasikan kepada penerima
waralaba, di mana dalam hal ini penerima waralaba juga berhak untuk menolak
isi klausula dan meminta penggantian isi agar terdapat keseimbangan di dalam
perjanjian.
2. Pemerintah dan Asosiasi waralaba harus lebih siap serta berperan aktif dalam
menghadapi usaha waralaba yang semakin banyak setiap tahun nya
3. Upaya hukum yang harus ditempuh oleh para pihak apabila terjadi perselisihan
atau sengketa dicantumkan dalam perjanjian, disamping penyelesaian melalui
musyawarah mufakat, dicantumkan juga tempat domisili pengadilan apabila
penyelesaiannya melalui litigasi.

Anda mungkin juga menyukai