Anda di halaman 1dari 164

The Chronicles of Narnia #1

Keponakan Penyihir
(The Magician’s Nephew)
by
C.S. Lewis

1|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


KEPONAKAN PENYIHIR

Bab 1
Pintu yang Salah

INI kisah tentang sesuatu yang terjadi dulu sekali ketika kakek-
nenekmu masih kanak-kanak. Kisah ini penting karena
mengungkapkan bagaimana pertama kali dimulainya berbagai hal bisa
keluar-masuk dari dunia kita sendiri ke tanah Narnia.
Di masa-masa itu, Mr Sherlock Holmes masih tinggal di Baker Street
dan keluarga Bastable masih mencari harta terpendam di Lewinsham
Road. Di masa-masa itu, kalau kau anak laki-laki kau harus
mengenakan kerah Eton yang kaku setiap hari, dan sekolah-sekolah
biasanya lebih kejam daripada sekarang. Tapi makanan-makanannya
lebih lezat, dan kalau bicara soal permen-permennya, aku tidak akan
bilang padamu betapa murah dan nikmat semua jenisnya, karena itu
hanya akan membuat air liurmu menetes percuma.
Dan di masa-masa itu, hiduplah di London anak perempuan bernama
Polly Plummer. Dia tinggal di salah satu rumah di deretan panjang
rumah yang berdempetan. Di suatu pagi, dia sedang berada di kebun
belakang ketika seorang anak laki-laki datang berlari dari kebun
sebelah dan meletakkan kepalanya di atas pagar tembok. Polly
sangatlah terkejut karena hingga saat ini belum pernah ada anak-anak
di rumah itu, hanya Mr Ketterly dan Miss Ketterley, kakak-beradik,
perjaka tua dan perawan tua, tinggal bersama. Jadi Polly mendongak,
penuh rasa ingin tahu.
Wajah anak laki-laki asing itu sangat kotor. Nyaris tidak akan bisa
lebih kotor lagi bila dia menggosokkan tangan ke tanah dulu,

2|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


menangis keras, lalu mengeringkan wajah dengan kedua tangannya.
Bahkan sebenarnya, bisa dibilang itulah yang baru saja dia lakukan.
"Halo," sapa Polly.
"Halo," sapa anak laki-laki itu. "Siapa namamu?"
"Polly," jawab Polly. "Kalau namamu?"
"Digory," jawab si anak laki-laki.
"Wah, namamu aneh sekali" kata Polly.
"Lebih aneh mana dengan Polly?" kata Digory.
"Namamu lebih aneh," kata Polly.
"Tidak," kata Digory.
"Yang pasti aku akan mencuci wajahku," kata Polly. "Itu perlu
kaulakukan, terutama setelah—" lalu dia berhenti. Dia berniat berkata
"Setelah kau menangis lama," tapi dia pikir itu tidak sopan.
"Baiklah, aku akan mencuci muka," kata Digory dengan suara yang
jauh lebih keras, seperti anak lelaki yang saking sedihnya tidak peduli
siapa saja yang tahu dia habis menangis. "Tapi kau juga akan begini,"
dia melanjutkan, "kalau sepanjang umurmu kau hidup di pedesaan
dan memiliki kuda poni, juga sungai di bagian bawah taman, lalu
dibawa untuk hidup di gua kumuh mengerikan seperti ini."
"London bukan gua," kata Polly yakin.
Tapi anak lelaki itu terlalu marah untuk mendengarnya, dia pun
melanjutkan—"Dan kalau ayahmu berada jauh di India—dan kau
harus tinggal bersama Bibi dan Paman yang gila (siapa yang bakal
mau?)—dan kalau alasannya adalah karena mereka harus menjaga
ibumu—dan jika ibumu sakit dan akan— akan—meninggal."
Kemudian wajahnya mulai membentuk rupa aneh yang biasa muncul
bila kau berusaha menahan air mata.

3|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


"Aku tidak tahu itu. Maaf ya," kata Polly lembut. Kemudian, karena
dia hampir tidak tahu apa yang harus diucapkan dan berusaha
mengalihkan pikiran Diggory ke topik-topik menggembirakan, dia
bertanya: "Memangnya Mr Ketterly benar-benar gila, ya?"
"Yah, kalau tidak gila," kata Digory, "pastinya dia menyimpan misteri
lain. Dia punya ruang kerja di lantai atas dan Bibi Letty bilang jangan
sekali-kali aku berani ke sana. Nah, itu saja sudah terdengar
mencurigakan, kan? Kemudian ada satu hal lagi. Setiap kali pamanku
berusaha mengatakan apa pun padaku saat makan—dia bahkan tidak
pernah berusaha bicara pada Bibi—Bibi Letty langsung menyuruhnya
diam. Dia bilang, 'Tidak perlu mencemaskan anak itu, Andrew' atau
'Aku yakin Digory tidak mau mendengar tentang itu' atau kalau tidak
'Nah, Digory, tidakkah kau ingin main keluar di taman?"'
"Biasanya pamanmu berusaha bicara tentang apa?"
"Aku tidak tahu. Dia tidak pernah bisa bicara banyak. Tapi ada lagi
yang lebih membuat penasaran. Suatu malam—bahkan sebenarnya,
kemarin malam—waktu aku melewati tangga terbawah menuju
loteng, saat mau pergi tidur (dan biasanya aku tidak pernah terlalu
peduli saat melewatinya), aku yakin aku mendengar teriakan."
"Mungkin dia menyekap istrinya yang gila di atas sana."
"Ya, aku sudah memikirkan kemungkinan itu."
"Atau mungkin dia sebenarnya pembuat uang palsu."
"Atau dia mungkin dulunya bajak laut, seperti pria yang ada di bagian
awal buku Treasure Island, yang selalu bersembunyi dari teman-
teman sekapalnya."
"Seru sekali" kata Polly. "Aku tidak pernah menyangka rumahmu
begitu menarik."

4|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


"Kau mungkin berpendapat rumah itu menarik," kata Digory. "Tapi
kau tidak bakal menyukainya kalau harus tidur di sana. Apakah kau
masih akan menyukainya kalau harus selalu terbaring dalam keadaan
terjaga mendengarkan langkah kaki Paman Andrew yang mengendap-
endap sepanjang koridor menuju rumahmu? Matanya juga
mengerikan sekali."
Begitulah ceritanya bagaimana Polly dan Digory bisa saling
mengenal. Dan karena saat itu masih permulaan liburan musim panas
dan tidak satu pun dari mereka yang pergi ke laut tahun itu, mereka
bertemu nyaris setiap hari. Sebagian besar alasan dimulainya
petualangan mereka adalah karena saat itu musim panas yang paling
sering hujan dan dingin yang pernah ada sejak bertahuntahun.
Keadaan ini membuat mereka harus berpuas diri dengan kegiatan-
kegiatan di dalam rumah, bisa dibilang, petualangan di dalam rumah.
Menakjubkan sekali betapa banyaknya petualangan yang bisa
kaulakukan dengan sebongkah lilin di suatu rumah besar, atau di
deretan rumah. Polly telah lama menemukan bahwa jika kau
membuka pintu kecil tertentu di loteng yang berbentuk kotak di
rumahnya, kita akan menemukan tempat penyimpanan air dan ruang
gelap di belakangnya yang bisa kaumasuki dengan sedikit memanjat
hati-hati. Ruang gelap itu seperti terowongan panjang dengan dinding
bata di satu sisi dan atap curam di sisi lainnya.
Di atap, berkas-berkas kecil cahaya menembus di antara rongga-
rongganya. Tidak ada lantai di terowongan ini, kita bakal harus
melangkah dari kasau ke kasau, dan di antaranya hanya ada plester.
Kalau kita menginjak plester ini kau akan mendapati dirimu terjatuh
dari langit-langit ruangan di bawahnya.
Polly menggunakan sebagian kecil terowongan itu, tepat di sebelah
tempat penyimpanan air, sebagai gua penyelundup. Dia membawa
bagian-bagian peti pakaian tua, beberapa bantalan kursi dapur yang
rusak, dan benda-benda sejenis lainnya, lalu menyebar semua benda
5|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
itu di atas kasau demi kasau sehingga terbentuk semacam lantai. Di
sinilah dia menyimpan kotak uang yang berisi berbagai harta, dan
cerita yang sedang ditulisnya, lalu biasanya beberapa apel. Dia sering
kali diam-diam meminum bir jahe di sana, botol-botol lamanya
membuat tempat itu lebih kelihatan seperti gua penyelundup.
Digory lumayan menyukai gua itu (Polly tidak mengizinkannya
melihat cerita yang ditulisnya) tapi anak lelaki itu lebih suka
bertualang.
"Polly," kata Digory. "Sepanjang apa terowongan ini sebenarnya?
Maksudku, apakah terowongan ini berakhir di ujung rumahmu?"
"Tidak," kata Polly. "Dinding-dindingnya tidak berakhir hingga atap
rumah ini saja. Tapi terus memanjang. Aku tidak tahu hingga sejauh
apa."
"Kalau begitu kita bisa menjelajah sejauh panjangnya deretan rumah
ini."
"Sepertinya begitu," kata Polly. "Dan oh, astaga"
"Apa?"
"Kita bisa masuk ke rumah-rumah lain."
"Ya, dan dianggap perampok. Tidak, terima kasih."
"Jangan sok tahu, dengar dulu. Yang kumaksud itu rumah di sebelah
rumahmu."
"Ada apa di rumah itu?"
"Rumah itu kosong. Daddy bilang rumah itu selalu kosong sejak kami
pindah kemari."
"Berarti kurasa kita harus mencoba melihatnya," kata Digory.

6|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Kalau kau mendengarnya berbicara, kau tidak akan menduga
sebenarnya dia jauh lebih bersemangat daripada itu. Karena tentu saja
dia sedang memikirkan, seperti yang juga akan kaulakukan, semua
alasan kenapa rumah itu kosong begitu lama. Begitu juga Polly. Tidak
satu pun di antara mereka yang mengucapkan kata "berhantu". Dan
keduanya merasa bahwa sekali suatu ide tercetus, akan jadi tindakan
pengecut bila tidak melakukannya.
"Jadi kita coba pergi ke sana sekarang?" tanya Digory.
"Baiklah," jawab Polly.
"Tidak usah kalau kau tidak ingin," kata Digory.
"Aku mau kalau kau juga mau," kata Polly.
"Bagaimana caranya kita bisa tahu kita sudah ada tepat di rumah
sebelah rumahku?"
Mereka memutuskan harus keluar dari ruang kotak dan berjalan
menyeberanginya dengan berjalan sebanyak langkah yang dibutuhkan
untuk berpindah dari satu kasau ke kasau lain. Tindakan ini akan bisa
memberikan mereka perkiraan ada berapa kasau yang harus dilewati
untuk melewati satu ruangan. Kemudian mereka akan melebihkan
kira-kira empat kasau untuk memperkirakan lorong di antara dua
loteng di rumah Polly, kemudian jumlah yang sama dengan ruang
kotak untuk kamar tidur pelayan perempuan. Perhitungan ini akan
membantu mereka mengira-ngira panjang rumah.
Kalau mereka sudah melalui jarak itu sejauh dua kalinya, mereka
akan berada di ujung rumah Digory. Pintu mana pun yang mereka
temui setelah itu akan membawa mereka ke loteng rumah kosong
tersebut.
"Tapi kurasa loteng itu tidak akan benar-benar kosong," kata Digory.
"Memangnya menurutmu bakal ada apa di sana?"

7|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


"Menurutku bakal ada seseorang tinggal secara diam-diam di sana,
hanya keluar masuk di malam hari, dengan lentera temaram. Kita
mungkin akan menemukan geng penjahat yang putus asa dan
mendapatkan hadiah untuk penangkapan mereka. Bisa dibilang
mustahil sebuah rumah kosong selama bertahun-tahun seperti itu
tanpa ada misteri di baliknya."
"Menurut Daddy pasti pipa-pipanya yang tidak beres," kata Polly.
"Huh Orang dewasa selalu memikirkan penjelasan-penjelasan yang
tidak menarik," kata Digory.
Karena mereka sekarang sedang berbicara di loteng dengan cahaya
matahari siang dan bukannya dengan sinar lilin di Gua Penyelundup,
semakin tidak tampak adanya kemungkinan rumah kosong itu ada
hantunya. Ketika selesai mengukur loteng, mereka harus mengambil
pensil dan melakukan penjumlahan.
Awalnya mereka berdua mendapatkan hasil yang berbeda, dan bahkan
ketika akhirnya mereka sependapat, aku masih belum yakin
perhitungan mereka benar. Mereka begitu terburu-buru ingin segera
memulai petualangan.
"Kita tidak boleh bersuara," kata Polly ketika mereka memanjat lagi
ke belakang tempat penyimpanan air. Karena ini peristiwa penting,
mereka masing-masing membawa lilin (Polly punya banyak
persediaan lilin di guanya). Keadaan begitu gelap, berdebu, dan
lembap saat mereka melangkah dari kasau ke kasau tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, kecuali ketika mereka saling berbisik,
"Kita sudah ada di seberang lotengmu sekarang," atau "Kita pasti
sudah setengah jalan melewati rumah kami".
Keduanya tidak pernah tersandung dan lilin-lilin mereka tidak pernah
padam, lalu akhirnya mereka mencapai suatu tempat mereka bisa
melihat pintu kecil di dinding batu bata di sebelah kanan mereka.

8|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Tidak ada gembok atau kenop di sisi yang bagian sini tentu saja,
karena pintu itu dibuat untuk masuk dan bukan keluar, tapi ada
semacam pegangan (seperti yang biasa ditemukan di pintu lemari)
yang mereka yakin bakal bisa diputar.
"Aku buka?" tanya Digory.
"Aku mau kalau kau juga mau," kata Polly, seperti ucapannya
sebelumnya.
Keduanya merasa situasi mulai jadi serius, tapi tidak satu pun dari
mereka yang mau mundur. Dengan agak susah payah, Digory
menekan dan memutar pegangan itu. Pintu terayun terbuka dan sinar
matahari siang yang mendadak menghambur keluar membuat mata
mereka mengejap-ngejap.
Lalu, bersama dengan rasa sangat terkejut, mereka mendapati mereka
sedang melihat, bukan loteng terlantar, tapi ruangan berperabot
lengkap. Namun ruangan itu sepertinya memang tak berpenghuni.
Sepi sekali di dalamnya. Rasa ingin tahu Polly menguasainya. Dia
meniup lilinnya hingga padam dan masuk ke ruangan asing itu, nyaris
tanpa suara.
Ruangan itu berbentuk, tentu saja, seperti loteng, tapi dilengkapi
perabotan ala ruang duduk. Setiap sisi dinding ditutupi rak-rak dan
setiap sudut dalam rak itu dipenuhi buku. Api menyala di perapian
(kau pasti ingat bahwa musim panas tahun itu begitu basah dan
dingin) dan di depan perapian, membelakangi Digory dan Polly, ada
kursi berlengan yang berpunggung tinggi. Di antara kursi dan Polly,
mengisi sebagian besar ruangan, ada meja besar yang dipenuhi
berbagai benda—buku-buku cetakan dan jenis buku-buku yang bisa
kautulisi, juga beberapa botol tinta, pena, lilin segel, dan mikroskop.
Tapi yang langsung menarik perhatian Polly adalah baki kayu merah
yang di atasnya tergeletak beberapa cincin. Cincin itu masing-masing
berpasangan—yang kuning berpasangan dengan yang hijau, lalu ada
9|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
sedikit jarak, kemudian cincin kuning lagi dengan cincin hijau lain.
Cincin-cincin itu tidak lebih besar daripada cincin-cincin biasa, dan
tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian dari bendabenda itu karena
mereka bersinar terang sekali. Benda-benda itu benda kecil bercahaya
terindah yang bisa kaubayangkan. Kalau Polly lebih muda usianya
daripada saat itu, dia pasti bakal ingin memasukkan salah satunya ke
mulut.
Ruangan itu begitu sepi sehingga kau langsung bisa mendengar bunyi
detakan jam. Namun, seperti yang kini Polly sadari, ruangan itu juga
tidak benar-benar sepi. Ada suara berdengung yang samar—amat
sangat samar. Kalau mesin penyedot debu sudah ditemukan saat itu,
Polly pasti akan berpikir itu suara penyedot debu yang sedang
digunakan jauh sekali—terpisah darinya beberapa ruangan di
beberapa lantai di bawahnya. Tapi dengungan itu lebih
menyenangkan daripada suara mesin, lebih bernada: hanya saja begitu
samar sehingga kau nyaris tidak bisa mendengarnya.
"Tidak apa-apa—tidak ada orang di sini," kata Polly ke balik bahunya
ke Digory. Sekarang dia bicara sedikit lebih keras daripada bisikan.
Lalu Digory keluar, matanya mengejap-ngejap, dan tubuhnya tampak
kotor sekali—pasti Polly juga begitu.
"Ini bukan pertanda bagus," kata Digory. "Ini sama sekali bukan
rumah kosong. Sebaiknya kita cepat pergi sebelum ada orang datang."
"Menurutmu cincin-cincin apa itu?" kata Polly sambil menunjuk
cincin-cincin berwarna tadi.
"Aduh, ayolah," ajak Digory. "Semakin cepat kita—"
Dia tidak pernah menyelesaikan kata-katanya karena tepat pada saat
itu sesuatu terjadi. Kursi berpunggung tinggi di depan perapian tiba-
tiba bergerak dan berdiri dari bangkunya—seperti iblis pantomim

10 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
keluar dari pintu bawah panggung—sosok mengejutkan Paman
Andrew.
Ternyata mereka tidak berada di rumah kosong, mereka berada di
rumah Digory dan di ruang kerja yang terlarang dimasuki Kedua anak
itu berucap "O-o-oh" dan menyadari kekeliruan besar mereka. Mereka
merasa seharusnya sudah tahu mereka belum pergi cukup jauh.
Paman Andrew bertubuh tinggi dan sangat kurus. Wajahnya bersih
bercukur dengan hidung bengkok tajam, matanya luar biasa tajam,
dan rambutnya beruban lebat juga berantakan. Digory tak mampu
berkata-kata, karena kini Paman Andrew tampak seribu kali lebih
mengerikan daripada sebelumnya.
Polly belum merasa setakut itu, tapi tak lama lagi pasti begitu. Karena
tindakan pertama yang Paman Andrew lakukan adalah berjalan
menuju pintu ruangan, menutupnya, dan menguncinya. Lalu dia
berbalik, menatap lekat kedua anak itu dengan matanya yang tajam,
dan tersenyum, menunjukkan seluruh giginya.
"Nah" katanya. "Sekarang kakakku yang bodoh tidak akan bisa
membantumu"
Tindakan itu sama sekali bukan tindakan yang kita harapkan bakal
dilakukan orang dewasa. Jantung Polly rasanya mau melompat keluar,
dia dan Digory pun mulai berjalan mundur ke pintu kecil yang mereka
lalui tadi.
Tapi Paman Andrew terlalu cepat dibanding mereka. Tahu-tahu dia
sudah berada di belakang mereka, menutup pintu itu juga, lalu berdiri
menghalanginya. Kemudian dia menggosok-gosokkan kedua
tangannya dan membuat buku-buku jemari tangannya berderak.
Jemarinya sangat panjang, putih, dan bagus.
"Aku senang sekali kalian datang," katanya. "Tepat saat aku
membutuhkan dua anak."

11 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Saya mohon, Mr Ketterly," kata Polly. "Saat ini sudah hampir
waktunya makan malam dan saya harus segera pulang. Maukah Anda
membiarkan kami keluar?"
"Belum," jawab Paman Andrew. "Ini kesempatan yang terlalu bagus
untuk dilewatkan. Aku memang menginginkan dua anak. Jadi begini,
aku sedang melakukan suatu percobaan besar. Aku sudah
mengetesnya pada hamster dan tampaknya berhasil. Tapi masalahnya
hamster tidak bisa memberitahumu apa-apa. Dan kau tidak bisa
menjelaskan cara kembali kepadanya."
"Begini, Paman Andrew," kata Digory, "sekarang benar-benar saatnya
makan malam dan mereka akan segera mencari kami. Kau harus
membiarkan kami keluar."
"Harus?" tanya Paman Andrew.
Digory dan Polly bertukar pandang sekilas. Mereka tidak berani
mengatakan apaapa, tapi pandangan itu berarti "Ini mengerikan
sekali" dan "Kita harus membujuknya."
"Kalau Anda membiarkan kami keluar untuk makan malam
sekarang," kata Polly, "kami bisa kembali lagi ke sini setelahnya."
"Ah, tapi bagaimana aku bisa yakin kalian akan melakukan itu?"
tanya Paman Andrew dengan senyum licik. Lalu tampaknya dia
berubah pikiran. "Yah, yah," katanya, "kalau kalian memang harus
pergi, kurasa kalian harus pergi. Aku tidak bisa mengharapkan dua
anak muda seperti kalian bakal tertarik berbincang-bincang dengan
orang tua sepertiku." Dia mengembuskan napas dan melanjutkan.
"Kalian sama sekali tidak akan bisa membayangkan betapa terkadang
aku sangat kesepian. Tapi tidak masalah. Pergilah makan malam. Tapi
aku memberi kalian hadiah sebelum kalian pergi. Tidak setiap hari
aku bisa melihat gadis kecil di ruang kerjaku yang membosankan ini,
terutama, kalau aku boleh berterus terang, wanita muda yang sangat
cantik sepertimu."
12 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Polly mulai berpikir bahwa mungkin pria ini tidaklah segila
bayangannya.
"Apakah kau mau cincin, sayangku?" tanya Paman Andrew ke Polly.
"Apakah maksudmu salah satu cincin kuning atau hijau itu?" tanya
Polly. "Kau baik sekali"
"Bukan yang hijau," kata Paman Andrew. "Sayangnya aku tidak bisa
memberimu cincin yang hijau. Tapi aku akan senang sekali bila bisa
memberimu salah satu cincin kuning itu, bersama rasa cintaku. Ayo,
cobalah salah satunya."
Kini Polly sudah cukup menguasai rasa takutnya dan yakin pria tua
ini tidaklah gila, lagi pula pastinya memang ada sesuatu yang anehnya
menarik pada cincincincin bersinar terang itu. Dia bergerak mendekati
baki.
"Wah Astaga," katanya. "Suara dengungan itu terdengar lebih keras di
sini. Hampir seolah cincin-cincin inilah yang mengeluarkannya."
"Khayalanmu indah sekali, Sayang," kata Paman Andrew sambil
tertawa. Suara tawanya terdengar seperti tawa yang sangat biasa, tapi
Digory sempat melihat ekspresi bersemangat, hampir serakah, di
wajahnya.
"Polly Jangan ceroboh" Digory berteriak. "Jangan sentuh cincin-
cincin itu."
Terlambat. Tepat saat Digory berbicara, tangan Polly terulur untuk
menyentuh salah satu cincin itu. Dan mendadak, tanpa kilatan cahaya,
suara, atau peringatan apa pun, Polly menghilang. Hanya tinggal
Digory dan pamannya di ruangan itu.
***

13 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 2
Digory dan Pamannya

KEJADIAN itu begitu tiba-tiba dan mencekam, tidak seperti apa pun
yang pernah dialami Digory, bahkan dalam mimpi buruk sekalipun,
sehingga dia menjerit.
Tangan Paman Andrew langsung membekap mulutnya. "Hentikan
itu" desisnya di telinga Digory. "Kalau kau terus membuat keributan,
ibumu akan mendengarnya. Dan kau tahu sendiri apa yang bisa terjadi
bila dia terlalu terkejut."
Seperti yang Digory ceritakan nanti, jenis kemarahan mengerikan
yang ingin dilampiaskannya ke pria itu hampir membuatnya muak.
Tapi tentu saja dia tidak menjerit lagi.
"Begitu lebih baik," kata Paman Andrew. "Mungkin kau juga tidak
bisa mencegahnya. Memang mengejutkan bila kau melihat seseorang
lenyap untuk pertama kalinya. Aku saja shock waktu hamsterku
menghilang kemarin malam."
"Apakah itu yang terjadi waktu kau menjerit tempo lalu?" tanya
Digory.
"Oh, kau mendengar itu, ya? Kuharap kau tidak sedang memata-
mataiku?"
"Tidak, tentu tidak," jawab Digory penuh gengsi. "Tapi apa yang
terjadi pada Polly?"
"Beri aku selamat, keponakanku tersayang," kata Paman Andrew,
menggosok kedua tangannya. "Percobaanku telah berhasil. Gadis
kecil itu lenyap—menghilang—keluar dari dunia ini."
"Apa yang telah kaulakukan padanya?"

14 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Mengirimnya ke—yah—ke tempat lain."
"Apa maksudmu?" tanya Digory.
Paman Andrew duduk dan menjawab, "Baiklah, aku akan
menceritakan semuanya kepadamu. Kau sudah pernah dengar kisah
tentang Mrs Lefay yang tua?"
"Bukankah dia bibi buyutku atau semacamnya?" tanya Digory.
"Bukan juga," kata Paman Andrew. "Dia ibu angkatku. Itu dia, di
sana, di dinding."
Digory mendongak dan melihat foto yang sudah buram: wajah wanita
tua mengenakan topi bonnet yang berpita di bagian dagunya. Dan dia
kini bisa mengingat bahwa dia dulu juga pernah melihat foto wajah
yang sama di laci tua di rumah, di desanya. Dia telah bertanya kepada
ibunya siapa wanita itu dan ibunya tampak tidak terlalu berminat
membicarakan topik itu lebih lanjut lagi. Wajahnya sama sekali tidak
menyenangkan, pikir Digory, tapi tentu saja dengan foto-foto zaman
itu kita tidak akan pernah bisa benar-benar tahu.
"Apakah ada—pernah ada—sesuatu yang salah padanya, Paman
Andrew?" tanyanya.
"Yah," kata Paman Andrew sambil terkekeh, "tergantung dengan apa
yang kausebut sebagai salah. Orang-orang begitu berpikiran sempit.
Dia memang sangat unik di masa hidupnya. Melakukan berbagai
tindakan tidak bijaksana. Itulah sebabnya mereka membungkamnya."
"Di rumah sakit jiwa, maksudmu?"
"Oh bukan, bukan, bukan," kata Paman Andrew, nada suaranya
terkejut. "Bukan di tempat yang seperti itu. Maksudku hanya penjara."
"Astaga" kata Digory. "Apa yang telah dilakukannya?"

15 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Ah, wanita malang," kata Paman Andrew, "dia telah bertindak tidak
bijaksana. Sebaiknya kita tidak membahas semua itu. Dia selalu
bersikap baik padaku."
"Tapi tunggu dulu, apa hubungannya semua ini dengan Polly? Kenapa
kau tidak langsung saja—"
"Semua ada waktunya, anakku," kata Paman Andrew. "Mereka
membiarkan Mrs Lefay keluar sebelum dia meninggal dan aku salah
satu dari sedikit orang yang dia izinkan menemuinya di hari-hari
terakhir sakitnya. Dia begitu membenci orangorang biasa yang tidak
pedulian, kau harus tahu itu. Aku sendiri juga begitu. Aku dan dia
memiliki ketertarikan pada hal-hal yang sama. Hanya beberapa hari
sebelum kematiannya, dia menyuruhku menghampiri meja rias tua di
rumahnya, membuka laci rahasia, lalu membawakan kepadanya kotak
kecil yang kutemukan di dalamnya. Saat aku mengangkat kotak itu
aku bisa menduga dari rasa kesemutan di jemari tanganku bahwa aku
sedang memegang rahasia besar di tanganku. Dia memberikan kotak
itu kepadaku dan memaksaku berjanji bahwa segera setelah dia
meninggal aku akan membakarnya, tetap dalam keadaan tak pernah
terbuka dan dengan upacara tertentu. Aku tidak menepati janji itu."
"Yah, kalau begitu, kau jahat sekali," komentar Digory.
"Jahat?" kata Paman Andrew dengan wajah bertanya-tanya. "Oh, aku
mengerti. Maksudmu, anak-anak lelaki harus menepati janji. Itu
sangat benar: yang paling tepat dan pantas dilakukan, aku yakin, dan
aku lega kau sudah diajar untuk bersikap begitu. Tapi tentu saja kau
harus memahami bahwa peraturan seperti itu, betapa pun bagusnya
untuk anak-anak lelaki—pelayan—wanita—bahkan manusia pada
umumnya, tidak bisa diharapkan berlaku pada siswa-siswa luar biasa,
para pemikir dan ahli pengetahuan hebat. Tidak, Digory. Para pria
seperti aku, yang memiliki kebijakan tersembunyi, terbebaskan dari
peraturan biasa seperti begitu juga kami terlepaskan dari kesenangan-

16 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kesenangan biasa. Takdir kami, anakku, adalah takdir yang tinggi dan
sepi."
Saat mengatakan ini dia mengembuskan napas dan tampak begitu
muram, mulia, juga misterius sehingga sesaat Digory benar-benar
berpikir Paman Andrew sedang mengucapkan sesuatu yang sangat
menakjubkan. Tapi kemudian dia teringat ekspresi buruk yang
dilihatnya di wajah sang paman beberapa saat sebelum Polly
menghilang. Dia pun langsung bisa melihat apa yang ada di balik
kata-kata luar biasa Paman Andrew. Semua itu hanya berarti, katanya
pada dirinya sendiri, bahwa Paman Andrew pikir dia bisa melakukan
apa saja untuk mendapatkan apa pun yang diinginkannya.
"Tentu saja," kata Paman Andrew, "aku tidak berani membuka kotak
itu lama sekali, karena aku tahu bisa saja isinya sesuatu yang sangat
berbahaya. Karena ibu angkatku wanita yang amat menakjubkan.
Sebenarnya, dia satu dari manusiamanusia terakhir yang memiliki
darah peri dalam tubuhnya. (Dia bilang ada dua orang lain di
masanya. Salah satunya seorang bangsawan bergelar duchess dan satu
lagi wanita tukang bersih-bersih.) Bahkan, Digory, saat ini kau sedang
berbicara dengan pria terakhir (mungkin) yang benar-benar memiliki
ibu angkat peri. Nah Itu akan jadi sesuatu yang bakal kauingat ketika
kau sendiri sudah menjadi pria tua."
Aku berani bertaruh dia peri yang jahat, pikir Digory, lalu
menambahkan dengan keras, "Tapi bagaimana dengan Polly?"
"Kenapa kau terus-terusan meributkan masalah itu?" kata Paman
Andrew. "Seolah masalah itulah yang paling penting. Tugas
pertamaku adalah tentu saja mempelajari kotak itu sendiri. Kotaknya
kuno sekali. Dan bahkan pada saat itu aku tahu cukup banyak untuk
yakin kotak tersebut bukan buatan Yunani, Mesir kuno, Babilonia,
Hittite, ataupun Cina. Usianya lebih tua daripada negara-negara itu.
Ah—benar-benar hari yang indah ketika akhirnya aku mengetahui
kebenarannya. Kotak itu buatan bangsa Atlantis, datangnya dari
17 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kepulauan Atlantis yang hilang. Itu berarti kotak itu jauh lebih tua
berabad-abad daripada benda-benda Zaman Batu yang digali di
Eropa. Dan benda itu juga tidaklah kasar dan mentah seperti barang
Zaman Batu. Karena di awal masa, Atlantis sudah menjadi kota hebat
dengan istana-istana, kuil-kuil, dan orang-orang terpelajar."
Paman Andrew berhenti sesaat seolah menduga Digory akan
mengatakan sesuatu. Tapi anak itu semakin tidak menyukai pamannya
sejalan dengan setiap menit yang berlalu, jadi dia tidak mengucapkan
apa-apa.
"Sementara itu," Paman Andrew melanjutkan, "aku sedang
mempelajari banyak sihir secara umum dengan berbagai cara (yang
kurasa tidaklah pantas bila dijelaskan kepada anak kecil). Itu berarti
aku mendapatkan bayangan yang cukup jelas tentang benda-benda
macam apa saja yang mungkin berada di dalam kotak itu. Dengan
berbagai tes aku menyempitkan berbagai kemungkinan. Aku harus
mengenal beberapa—yah, sejumlah orang jahat aneh, dan melalui
berbagai pengalaman yang sangat tidak menyenangkan. Semua itulah
yang membuat rambutku beruban. Seseorang tidaklah begitu saja
menjadi penyihir. Kesehatanku sempat ambruk. Tapi aku membaik.
Dan aku akhirnya tahu."
Meski tidak ada kemungkinan, walau barang sedikit pun, ada orang
lain yang mendengarkan pembicaraan mereka, Paman Andrew
mencondongkan tubuh ke depan dan hampir berbisik ketika berkata:
"Kotak Atlantis itu berisi sesuatu yang telah dibawa dari dunia lain
ketika dunia kita baru saja dimulai."
"Apa?" tanya Digory yang kini jadi sangat tertarik, tanpa bisa
menahan diri.
"Hanya debu," jawab Paman Andrew. "Debu bagus dan kering. Tidak
banyak yang bisa dilihat. Bahkan bisa dibilang, tidak banyak yang
bisa ditunjukkan setelah kerja keras seumur hidup. Ah, tapi waktu aku

18 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
melihat debu itu (aku benar-benar berhatihati untuk tidak
menyentuhnya) dan berpikir bahwa setiap butir pernah berada di
dunia lain—maksudku bukan planet lain tentunya, planet-planet itu
juga bagian dari dunia kita dan kau bisa mencapainya kalau kau pergi
cukup jauh—tapi Dunia Lain sungguhan—Alam Lain—jagat raya
lain—suatu tempat yang tidak akan pernah kaucapai walaupun kau
menjelajahi luar angkasa jagat raya ini selamalamanya—dunia yang
hanya bisa dicapai dengan sihir—nah"
Saat mengatakan itu Paman Andrew menggosok-gosokkan kedua
tangannya sampai buku-buku jemarinya berderak seperti kembang
api.
"Aku tahu," dia melanjutkan, "hanya kalau kau bisa menemukan
bentuk tepatnya maka debu itu bisa menarikmu ke tempat asalnya.
Tapi kesulitannya justru terletak pada mencari bentuk tepatnya itu.
Pengalaman-pengalaman terdahuluku semua adalah kegagalan. Aku
mencobanya pada hamster. Beberapa di antaranya hanya mati.
Beberapa yang lain meledak seperti bom-bom kecil—"
"Itu tindakan yang kejam sekali," kata Digory, yang dulu pernah
punya kelinci.
"Kenapa kau selalu bisa mengalihkan topik pembicaraan?" kata
Paman Andrew. "Itulah gunanya makhluk-makhluk itu. Aku
membelinya sendiri. Sekarang sebentar—sampai di mana aku tadi?
Ah ya. Akhirnya aku berhasil membuat cincin-cincin itu: cincin yang
warnanya kuning. Tapi sekarang kesulitan baru muncul. Aku cukup
yakin saat ini, bahwa cincin yang kuning bisa mengirimkan makhluk
mana pun yang menyentuhnya ke Tempat Lain. Tapi apalah gunanya
itu semua kalau aku tidak bisa mengembalikan mereka untuk bercerita
kepadaku apa yang telah mereka temukan di sana?"
"Dan bagaimana nasib mereka?" tanya Digory. "Kekacauan yang
bakal mereka temui kalau mereka tidak bisa kembali"

19 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Kau terus-menerus melihat segala sesuatunya dengan sudut pandang
yang salah," kata Paman Andrew dengan ekspresi tidak sabar. "Tidak
bisakah kau mengerti semua ini pengalaman hebat? Tujuan utama
mengirim siapa pun ke Tempat Lain adalah supaya aku bisa tahu
bagaimana rasanya."
"Kalau begitu, kenapa kau tidak pergi saja sendiri ke sana?"
Digory nyaris tidak pernah melihat seseorang tampak begitu terkejut
dan tersinggung seperti Paman Edward sekarang hanya karena
pertanyaan sederhana itu.
"Aku? Aku?" dia berseru. "Anak ini pasti gila Pria dengan usiaku,
dengan keadaan kesehatan sepertiku, rela mengambil risiko kejutan
dan bahaya yang mungkin muncul karena mendadak dilemparkan ke
dunia lain? Aku tidak pernah mendengar apa pun yang begitu tidak
masuk di akal sepanjang hidupku. Apakah kausadar dengan yang baru
saja kaukatakan? Bayangkan apa arti kata Dunia Lain— kau mungkin
saja bertemu apa pun—apa pun."
"Tapi kurasa tidak masalah bagimu untuk mengirim Polly ke sana,"
kata Digory. Pipinya terbakar karena amarah sekarang. "Dan aku
hanya bisa berkata," dia melanjutkan, "biarpun kau pamanku—kau
telah bertindak pengecut, mengirim anak perempuan ke tempat yang
terlalu menakutkan bagimu untuk pergi sendiri."
"Diam kau" kata Paman Andrew, sambil memukul meja keras-keras.
"Aku tidak akan sudi diceramahi seperti itu oleh anak sekolahan kecil
yang kotor. Kau tidak mengerti. Aku ilmuwan besar, sang penyihir, si
pakar yang sedang melakukan percobaan. Tentu saja aku
membutuhkan seseorang untuk menjadi subjek percobaan. Demi
jiwaku, jangan-jangan setelah ini kau akan berkata bahwa seharusnya
aku meminta izin pada hamster-hamsterku sebelum aku menggunakan
mereka Tidak ada kebijakan besar yang bisa dicapai tanpa
pengorbanan. Tapi gagasan seharusnya aku pergi sendiri adalah

20 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
omong kosong. Itu seperti meminta jenderal berperang seperti prajurit
biasa. Seandainya aku terbunuh, apa jadinya kerja keras seumur
hidupku?"
"Oh, berhentilah membual," kata Digory. "Kau akan membawa Polly
kembali, tidak?"
"Aku baru saja akan memberitahumu soal itu ketika dengan tidak
sopan kau memotongku," kata Paman Andrew, "Bahwa akhirnya aku
menemukan cara untuk melakukan perjalanan pulang. Cincin-cincin
yang hijau akan menarikmu pulang."
"Tapi Polly tidak membawa cincin yang hijau."
"Tidak," kata Paman Andrew dengan senyum jahat.
"Kalau begitu dia tidak akan bisa kembali," teriak Digory. "Dan itu
sama saja dengan kau sudah membunuhnya."
"Dia bisa saja kembali," kata Paman Andrew, "kalau ada orang yang
menyusulnya, mengenakan cincin kuning sambil membawa dua
cincin hijau, satu untuk membawa orang itu sendiri pulang dan yang
satu lagi untuk membawa Polly pulang."
Dan saat ini tentu saja Digory sudah bisa melihat jebakan yang
menjeratnya. Dia memandang Paman Andrew, tanpa mengatakan apa-
apa, dengan mulut ternganga lebar. Kedua pipinya kini pucat sekali.
"Aku berharap," kata Paman Andrew kini dengan suara yang sangat
tinggi dan kuat, seolah dia paman sempurna yang baru saja memberi
seseorang uang saku besar dan nasihat baik, "Aku berharap, Digory,
kau tidak akan mundur dan menyerah. Aku akan jadi sangat menyesal
bila ada anggota keluarga kita yang tidak memiliki kehormatan dan
keberanian yang cukup besar untuk bersedia pergi menyelamatkan—
ngng—lady yang dalam kesusahan."

21 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Oh, diamlah" kata Digory. "Kalau kau punya kehormatan dan segala
itu, kau sendiri yang akan pergi. Tapi aku tahu kau tidak akan
melakukan itu. Baiklah. Aku mengerti aku harus pergi. Tapi ternyata
kau memang monster. Kurasa kau sudah merencanakan semua ini
supaya Polly pergi tanpa sepengetahuannya sehingga kemudian aku
harus pergi menjemputnya."
"Tentu saja," kata Paman Andrew dengan senyumnya yang
menyebalkan.
"Baiklah. Aku akan pergi. Tapi sebelumnya ada satu hal yang harus
kukatakan. Aku tidak pernah percaya pada sihir hingga hari ini. Aku
lihat sekarang sihir adalah nyata. Yah, dan kalau sihir memang ada,
berarti kurasa segala kisah tua tentang peri juga kurang-lebih benar.
Dan kau tidak lain adalah penyihir licik yang kejam seperti yang ada
di dalam cerita-cerita. Nah, aku tidak pernah membaca cerita di mana
orang-orang seperti itu tidak mendapat ganjaran di akhir kisah, dan
aku berani bertaruh itulah yang juga akan kaualami. Kau pantas
menerimanya."
Dari segala hal yang telah diucapkan Digory, kata-katanya yang ini
merupakan yang pertama yang mengenai sasaran. Paman Andrew
terkejutkemudian muncul awan ketakutan menaungi wajahnya yang,
meskipun dia begitu kejam, nyaris bisa membuatmu mengasihaninya.
Tapi, sedetik kemudian dia mengusirnya pergi dan berkata ditemani
tawa yang agak dipaksakan, "Yah, yah, kurasa itu hal biasa yang
bakal muncul di benak seorang anak—terutama karena dibesarkan di
antara wanita-wanita, seperti dirimu. Kisah-kisah istri tua, hah?
Kurasa kau tidak perlu mencemaskan bahaya yang akan
mendatangiku, Digory. Bukankah lebih baik kau mengkhawatirkan
bahaya yang menghampiri teman kecilmu itu? Dia sudah pergi cukup
lama. Kalau memang ada bahaya Di Sana— yah, akan sangat
disayangkan bila kau tiba terlambat."

22 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Seolah kau peduli saja," kata Digory penuh amarah. "Tapi aku sudah
muak mendengar segala bualan ini. Apa yang harus kulakukan?"
"Kau benar-benar harus belajar mengendalikan emosimu, anakku,"
kata Paman Andrew tenang. "Kalau tidak kau akan tumbuh menjadi
seperti Bibi Letty. Sekarang. Kemarilah."
Paman Andrew bangkit, mengenakan sepasang sarung tangan, lalu
berjalan menuju baki tempat cincin-cincin itu berada.
"Cincin-cincin ini hanya berfungsi," katanya, "kalau mereka benar-
benar menyentuh kulitmu. Kalau memakai sarung tangan, aku bisa
mengangkatnya—seperti ini—tanpa ada kejadian apa-apa. Kalau kau
membawa salah satunya di sakumu juga tidak akan terjadi apa-apa,
tapi tentu saja kau harus berhati-hati untuk tidak memasukkan tangan
ke saku dan tanpa sengaja menyentuhnya. Di saat menyentuh cincin
kuningmu, kau akan lenyap dari dunia ini. Waktu kau berada di
Tempat Lain, dugaanku—tentu saja ini belum dites kebenarannya,
tapi aku menduga—saat kau menyentuh cincin hijau kau akan
menghilang dari dunia itu dan—perkiraanku—muncul kembali di
dunia ini. Sekarang. Aku akan mengambil dua cincin hijau ini dan
memasukkan keduanya ke saku sebelah kananmu. Ingatlah dengan
sangat hati-hati di mana cincin yang hijau berada. Hijau sama dengan
Green. Kanan sama dengan Right. G untuk Green dan R untuk Right.
G.R. kau lihat: adalah dua huruf pertama kata Green. Satu untukmu
dan satu lagi untuk si gadis kecil. Dan sekarang kau ambillah sendiri
cincin yang kuning. Aku akan mengenakannya—di jariku—kalau aku
jadi kau. Kemungkinan jatuhnya akan lebih kecil bila kaulakukan itu."
Digory hampir saja mengambil cincin kuning ketika tiba-tiba dia
berhenti. "Tunggu dulu," katanya. "Bagaimana dengan Ibu?
Bagaimana kalau dia menanyakan keberadaanku?"
"Semakin cepat kau pergi, semakin cepat kau akan kembali," kata
Paman Andrew ceria.

23 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Tapi kau bahkan tidak benar-benar yakin aku bisa kembali."
Paman Andrew mengangkat bahunya, berjalan menyeberangi ruangan
menuju pintu, membuka kunci, membukanya lebar-lebar dengan
entakan, dan berkata: "Oh, baiklah kalau begitu. Terserah kau saja.
Turunlah dan santap makan malammu. Biarkan si gadis kecil itu
dimakan binatang-binatang liar, tenggelam, kelaparan di Dunia Lain,
atau tersesat di sana selama-lamanya, kalau itu yang kauinginkan.
Semuanya sama saja bagiku. Mungkin sebelum waktunya minum teh
sebaiknya kau mampir ke sebelah dan menemui Mrs Plummer untuk
menjelaskan dia tidak akan pernah melihat anak perempuannya lagi
karena kau takut mengenakan sebentuk cincin."
"Ya ampun," kata Digory, "aku benar-benar berharap aku sudah
cukup besar untuk meninju kepalamu"
Lalu Digory mengancingkan mantelnya, menarik napas dalam-dalam,
dan meraih cincin itu. Dan saat itu dia berpikir, seperti yang selalu dia
lakukan setelahnya, bahwa kata hatinya tidak akan membiarkannya
mengambil pilihan lain.
***

24 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 3
Hutan di Antara Dunia-Dunia

PAMAN ANDREW dan ruang kerjanya langsung menghilang.


Kemudian selama sesaat, segalanya menjadi seolah bertumpuk-
tumpuk. Hal selanjutnya yang Digory ketahui adalah adanya cahaya
hijau lembut yang menyinarinya dari atas dan kegelapan di bawahnya.
Dia tidak tampak seperti sedang berdiri atau apa pun, atau duduk, atau
berbaring. Seolah tidak ada yang menyentuhnya.
"Sepertinya aku ada di dalam air," kata Digory. "Atau di bawah air."
Pemikiran ini sempat membuatnya takut, tapi hampir seketika dia bisa
merasakan tubuhnya naik dengan cepat. Lalu kepalanya tiba-tiba
keluar di udara dan dia mendapati dirinya berenang ke tepian, menuju
daratan berumput lembut di pinggir suatu mata air.
Saat bangkit dia menyadari dirinya tidak basah kuyup dan meneteskan
air. Dia juga tidak terengah-engah mencari udara seperti yang akan
diperkirakan semua orang bila habis berada di bawah air. Pakaiannya
sama sekali kering. Dia sedang berdiri di pinggir mata air kecil—tidak
lebih dari tiga meter dari satu sisi ke sisi lainnya—dalam suatu hutan.
Pepohonan tumbuh rapat dan berdaun lebat sehingga dia bahkan tidak
bisa mengintip langit. Semua cahaya berwarna hijau dan menyeruak
di antara dedaunan, tapi pastinya di atas sana ada matahari yang
bersinar sangat kuat karena sinar hijau yang dirasakannya begitu
terang dan hangat.
Hutan itu hutan tersunyi yang mungkin bisa kaubayangkan. Tidak ada
burungburung, tidak ada serangga, tidak ada hewan-hewan, dan tidak
ada angin. Kau nyaris bisa merasakan pepohonan tumbuh. Mata air
tempat Digory baru saja keluar ternyata bukanlah satu-satunya mata
air di sana. Ada lusinan mata air lain—satu mata air di setiap meter

25 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sejauh matamu bisa memandang. Kau hampir bisa merasakan
pepohonan mengisap air dengan akarakar mereka. Hutan itu sangat
hidup. Ketika berusaha melukiskannya nanti Digory selalu berkata,
"Tempat itu begitu kaya, sekaya kue plum.'"
Hal teranehnya, hampir sebelum dia memandang ke sekeliling,
Digory separo lupa bagaimana dia bisa datang ke sana. Pada suatu
titik, dia pastinya tidak memikirkan Polly, Paman Andrew, atau
bahkan ibunya. Dia sama sekali tidak takut, bersemangat, atau
penasaran.
Kalau ada yang bertanya kepadanya, "Dari mana asalmu?" dia
mungkin bakal menjawab, "Tempat tinggalku dari dulu di sini."
Seperti itulah rasanya—seolah seseorang sudah berada di tempat itu
sejak lama dan tidak pernah merasa bosan, walaupun tidak ada yang
pernah terjadi di sana. Seperti yang diceritakannya lama setelah itu,
"Tempat itu bukan jenis tempat di mana banyak hal terjadi.
Pepohonan terus bertumbuh, itu saja."
Setelah lama memandangi hutan itu, Digory menyadari ada gadis
kecil berbaring telentang di kaki pohon beberapa meter dari dirinya.
Mata gadis itu nyaris tertutup tapi tidak terpejam, seolah dia sedang
berada di antara keadaan tidur dan bangun. Jadi Digory menatapnya
lama sekali dan tidak berkata apa-apa.
Dan akhirnya gadis itu membuka mata dan memandangi Digory lama
sekali, juga tanpa berkata apa-apa. Lalu gadis itu bicara, dengan suara
yang pelan dan lembut seperti orang mengantuk.
"Sepertinya aku pernah bertemu denganmu sebelumnya," katanya.
"Menurutku juga begitu," kata Digory. "Kau sudah lama berada di
sini?"
"Oh, aku selalu ada di sini," kata si gadis. "Setidaknya—entahlah—
lama sekali."
26 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Aku juga," ucap Digory.
"Tidak ah," kata si gadis. "Aku baru saja melihatmu keluar dari mata
air itu."
"Ya, mungkin memang begitu," kata Digory kebingungan. "Aku
lupa."
Kemudian untuk beberapa saat yang cukup lama keduanya tidak
saling bicara lagi.
"Tunggu dulu," kata si gadis tiba-tiba, "kira-kira kita memang pernah
bertemu, tidak ya? Aku punya sejenis bayangan—semacam gambaran
di kepalaku—tentang anak laki-laki dan perempuan seperti kita—
tinggal di suatu tempat yang agak berbeda—dan melakukan berbagai
hal. Mungkin itu hanya mimpi."
"Aku juga punya mimpi yang sama, sepertinya," kata Digory.
"Tentang anak laki-laki dan perempuan, tinggal bersebelahan—dan
sesuatu tentang merangkak di antara kerangka rumah. Aku ingat anak
perempuan itu mukanya kotor."
"Sepertinya ingatanmu terbalik? Dalam mimpiku justru si anak laki-
laki yang wajahnya kotor."
"Aku tidak bisa mengingat wajah anak lelaki itu," kata Digory
kemudian menambahkan, "Wah Apa itu?"
"Wah Itu kan hamster," kata si gadis kecil.
Dan memang benar—di sana ada hamster gendut, mengendus-endus
rumput. Tapi di sekeliling perut hamster itu ada tali dan, terikat di tali
itu, cincin kuning yang bersinar terang.
"Lihat Lihat" teriak Digory. "Cincin itu. Dan lihat Kau juga
mengenakan cincin seperti itu di jarimu. Aku juga."

27 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Si gadis kecil itu kini duduk tegak, akhirnya benar-benar tertarik.
Mereka menatap satu sama lain lekat-lekat,berusaha mengingat.
Kemudian di saat yang tepat bersamaan, si gadis berteriak, "Mr
Ketterley," dan si anak lelaki berseru, "Paman Andrew," lalu mereka
pun tahu siapa diri mereka dan mulai mengingat keseluruhan cerita.
Setelah banyak berbincang-bincang selama beberapa menit, akhirnya
mereka mengingat semuanya. Digory menjelaskan betapa kejamnya
tindakan Paman Andrew.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Polly. "Membawa
pulang hamster ini dan kembali ke dunia kita?"
"Tidak perlu terburu-buru," kata Digory, sambil menguap lebar sekali.
"Kurasa harus begitu," kata Polly. "Tempat ini terlalu sunyi. Begitu—
begitu seperti mimpi. Kau sendiri nyaris tertidur. Sekali kita
menyerah terhadap pengaruhnya kita hanya akan berbaring dan dalam
keadaan setengah tertidur selama-lamanya."
"Tapi nyaman sekali berada di sini," kata Digory.
"Ya, memang benar," kata Polly. "Tapi kita harus kembali."
Dia berdiri dan mulai berjalan menghampiri si hamster dengan hati-
hati. Tapi kemudian dia berubah pikiran.
"Sebaiknya kita biarkan saja si hamster di sini," kata Polly. "Dia
tampak begitu bahagia di tempat ini, dan pamanmu hanya akan
melakukan sesuatu yang buruk padanya kalau kita membawanya
pulang."
"Aku yakin dia akan melakukan itu," komentar Digory. "Lihat saja
caranya memperlakukan kita. Omong-omong, bagaimana cara kita
pulang?"
"Kurasa sih, lewat mata air itu lagi."

28 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mereka berjalan mendekati mata air dan berdiri berdampingan di
tepinya, menunduk menatap permukaan air yang datar. Pada
permukaan itu terlihat bayangan cabang-cabang pohon yang hijau
penuh dedaunan sehingga tampak sangat dalam.
"Kita tidak punya perlengkapan berenang," kata Polly.
"Kita tidak butuh semua itu, bodoh," kata Digory. "Kita akan
menyelam ke dalamnya dengan pakaian lengkap. Masa kau tidak
ingat airnya sama sekali tidak membasahi kita ketika kita naik ke
sini?"
"Kau bisa berenang?"
"Sedikit. Kau bagaimana?"
"Yah—tidak terlalu bisa."
"Kurasa kita tidak akan perlu berenang," kata Digory. "Kita kan mau
pergi ke bawahnya, ya kan?"
Tidak satu pun di antara mereka menyukai ide melompat ke mata air
itu, tapi tidak ada yang mengatakannya.
Mereka bergandengan tangan dan berkata "Satu—Dua—Tiga—
Lompat" lalu melompat. Mereka merasakan cipratan besar dan tentu
saja mereka memejamkan mata.
Tapi ketika membuka mata lagi, mereka mendapati diri mereka masih
berdiri, bergandengan tangan di hutan hijau, dan nyaris hanya
terendam air hingga ke mata kaki. Mata air itu ternyata beberapa
sentimeter dalamnya. Mereka berjalan kembali ke daratan kering.
"Apa sebenarnya yang salah?" tanya Polly dengan suara ketakutan,
tapi tidaklah setakut seperti yang kaubayangkan, karena sangatlah
sulit merasa sangat takut saat berada di hutan itu. Tempat itu terlalu
damai.

29 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Oh Aku tahu," kata Digory. "Tentu saja, ini tidak akan berhasil. Kita
masih mengenakan cincin kuning kita. Cincin-cincin ini kan untuk
perjalanan pergi. Cincin-cincin yang hijau akan membawa kita
pulang. Kita harus mengganti cincin kita. Kau punya saku? Bagus.
Simpan cincin kuningmu di saku kiri. Aku punya dua cincin hijau. Ini
satu untukmu."
Mereka mengenakan cincin hijau dan kembali ke mata air. Tapi
sebelum mereka mencoba melompat lagi, Digory mengeluarkan "O-
ooh" yang panjang sekali.
"Ada apa?" tanya Polly.
"Aku baru saja mendapat ide bagus," kata Digory. "Untuk apakah
mata air-mata air lainnya?"
"Apa maksudmu?"
"Begini, kalau kita bisa kembali ke dunia kita sendiri dengan
melompat ke mata air yang ini, bukankah berarti kita bisa pergi ke
tempat lain dengan melompat ke mata air lain? Mungkin saja ada
dunia di bawah setiap mata air."
"Tapi bukankah kita sudah berada di Dunia Lain, Tempat Lain, atau
apalah namanya itu yang dibicarakan Paman Andrew? Bukankah kau
bilang—"
"Ah, lupakan Paman Andrew," potong Digory. "Kurasa dia bahkan
tidak tahu apa-apa tentang itu. Dia tidak pernah punya keberanian
untuk datang ke sini sendiri. Dia hanya bicara tentang satu Dunia
Lain. Tapi siapa tahu ada lusinan?"
"Maksudmu, hutan ini mungkin hanya salah satunya?"
"Tidak, menurutku hutan ini sama sekali bukan dunia lain. Menurutku
tempat ini hanyalah semacam tempat di antaranya."
Polly tampak bingung.

30 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Tidakkah kau lihat?" tanya Digory. "Tidak, dengar dulu. Pikirkan
terowongan kita di bawah papan-papan di rumah. Tempat itu kan
bukan ruangan di salah satu rumah. Bisa dibilang, terowongan itu
bahkan bukan benar-benar bagian dari rumah-rumah. Tapi sekalinya
kau berada di terowongan, kau bisa berjalan di dalamnya dan datang
ke rumah mana pun di deretan rumah kita. Mungkin saja hutan ini
juga sama, kan?—tempat yang bukanlah salah satu dunia, tapi sekali
kau menemukan tempat ini kau bisa masuk ke dunia mana pun."
"Yah, kalaupun kau bisa—" Polly memulai, tapi Digory melanjutkan
seolah tidak mendengar kata-katanya.
"Dan tentu saja itu menjelaskan segalanya," katanya. "Itulah sebabnya
tempat ini begitu sepi dan kita selalu merasa mengantuk. Tidak
pernah ada kejadian apa pun di sini. Seperti di rumah. Di dalam
rumah-rumahlah orang-orang berbicara, atau melakukan hal-hal, juga
tempat mereka makan. Tidak ada yang terjadi di tempat-tempat
perantara: di belakang dinding, di atas langit-langit, atau di bawah
lantai, juga di dalam terowongan kita. Tapi ketika kau keluar dari
terowongan, kau akan mendapati dirimu berada di rumah mana pun.
Kurasa kita bisa keluar dari tempat ini dan menuju tempat mana pun
Kita tidak perlu melompat ke dalam mata air yang sama dengan yang
kita lewati. Atau belum saatnya."
"Hutan di Antara Dunia-Dunia," kata Polly menerawang.
"Kedengarannya bagus juga."
"Ayo," kata Digory. "Kolam mana yang akan kita coba?"
"Tunggu dulu," kata Polly, "Aku tidak akan mencoba mata air baru
sebelum memastikan kita memang bisa pulang melalui mata air yang
pertama. Kita bahkan tidak yakin itu cara yang benar."
"Benar," kata Digory sinis. "Kita akan ditangkap Paman Andrew dan
harus menyerahkan cincin-cincin kita sebelum sempat bersenang-
senang. Tidak, terima kasih."
31 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Tidak bisakah kita sampai di setengah jalan ke bawah mata air kita?"
tanya Polly.
"Hanya untuk melihat cara ini benar-benar manjur. Lalu begitu kita
tahu itu berhasil, kita ganti cincin dan kembali naik sebelum benar-
benar sampai di ruang kerja Mr Ketterly."
"Bisakah kita pergi separo jalan ke bawah?"
"Yah, cukup lama waktu yang kita perlukan untuk naik, kurasa bakal
memakan waktu sedikit lama untuk kembali."
Digory agak sulit menyetujui rencana ini, tapi akhirnya dia terpaksa
setuju karena Polly sama sekali menolak melakukan penjelajahan ke
dunia baru apa pun sebelum memastikan dia bisa kembali ke dunia
asalnya. Dia kurang lebih sama beraninya dengan Digory dalam
menghadapi beberapa bahaya (tawon, misalnya), tapi Polly tidaklah
tertarik menemukan hal-hal yang belum pernah didengar siapa pun.
Sedangkan Digory tipe orang yang ingin mengetahui segalanya, dan
ketika tumbuh dewasa dia menjadi Profesor Kirke yang terkenal yang
akan muncul di buku-buku lain.
Setelah cukup lama berdebat, mereka sependapat untuk mengenakan
cincin hijau mereka ("Hijau untuk keamanan," kata Digory, "jadi kau
tidak bisa tidak mengingat cincin yang mana untuk apa"), lalu mereka
bergandengan tangan dan melompat. Tapi segera ketika mereka
tampak akan kembali ke ruang kerja Paman Andrew, atau bahkan
dunia mereka sendiri, Polly bertugas untuk berteriak, "Ganti" dan
mereka akan membuka cincin hijau lalu memakai cincin kuning lagi.
Digory ingin jadi yang bertugas berteriak, "Ganti," tapi Polly tidak
juga mau setuju.
Mereka mengenakan cincin hijau, saling menggamit tangan, dan
sekali lagi berteriak "Satu—Dua—Tiga—Lompat".

32 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kali ini cara itu manjur. Sangatlah sulit menceritakan pada kalian
bagaimana rasanya, karena segalanya terjadi begitu cepat. Awalnya
ada cahaya-cahaya terang yang bergerak di langit hitam. Digory
selalu menganggap cahaya-cahaya itu bintang-bintang dan bersumpah
melihat Planet Jupiter cukup dekat—cukup dekat untuk melihat
bulannya. Tapi hampir sekaligus terlihat oleh mereka barisan demi
barisan atap dan cerobong asap di atas, mereka juga bisa melihat St
Paul sehingga tahu mereka sedang melihat pemandangan London.
Tapi kau bisa melihat menembus dinding-dinding semua rumah.
Lalu mereka bisa melihat Paman Andrew, sangat samar dan
berbayang-bayang, tapi semakin lama semakin kelihatan jelas dan
nyata, seolah dia kian mendekati fokus. Tapi sebelum Paman Andrew
menjadi benar-benar nyata, Polly berteriak "Ganti", dan mereka
langsung mengganti cincin, dunia kita pun mengabur seperti mimpi,
kemudian cahaya hijau di atas menjadi kian terang dan terang, hingga
kepala mereka keluar dari mata air dan mereka berlari ke tepian.
Kini hutan mengelilingi mereka lagi hingga ke atas, masih sehijau dan
seterang dulu. Seluruh proses itu hanya mengambil waktu kurang dari
satu menit.
"Nah" kata Digory. "Sudah bisa, kan? Sekarang mari kita bertualang.
Mata air yang mana pun boleh. Ayolah. Ayo kita coba yang satu itu."
"Stop" kata Polly. "Tidakkah sebaiknya kita tandai mata air yang ini
dulu?"
Mereka bertatapan dan wajah mereka berdua memucat saat mereka
menyadari hal mengerikan yang baru saja akan Digory lakukan. Ada
begitu banyak mata air di di hutan ini, dan semua mata air tampak
serupa, begitu juga pepohonannya. Kalau sekali saja mereka
meninggalkan mata air yang merupakan jalan menuju dunia mereka
sendiri tanpa membuat semacam tanda, kemungkinannya seratus
banding satu bagi mereka untuk menemukannya lagi.

33 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tangan Digory gemetaran saat dia membuka pisau lipatnya dan
memotong sebongkah panjang rumput di tepian mata air. Tanah hutan
itu (yang wangi sekali) berwarna cokelat kemerahan gembur dan
tampak kontras di antara hijau rerumputan.
"Untung salah satu di antara kita berakal sehat," kata Polly.
"Yah, kau kan tidak perlu menyombongkan diri hanya gara-gara
masalah ini," kata Digory. "Ayolah, aku ingin melihat ada apa di balik
mata air-mata air yang lain."
Polly membalas ucapan Digory dengan cukup pedas, Digory pun
mengucapkan sesuatu yang lebih ketus lagi sebagai balasannya.
Pertengkaran itu berlangsung selama beberapa menit, tapi akan
membosankan bila ditulis semuanya. Marilah kita langsung menuju
saat ketika mereka berdiri dengan jantung berdebar-debar dan wajah
agak ketakutan di pinggir mata air tak dikenal dengan cincin-cincin
kuning mereka. Keduanya bergandengan dan sekali lagi berkata
"Satu—Dua—Tiga—Lompat"
Byuurr Sekali lagi cara ini tidak berhasil. Mata air ini ternyata juga
hanyalah sedalam kubangan air. Bukannya mencapai dunia lain,
mereka hanya mendapati kaki mereka basah dan mengotori tungkai
kaki mereka untuk kedua kalinya pagi itu (kalau memang saat itu
pagi: waktu tampak selalu sama di Hutan di Antara Dunia-Dunia).
"Sial" seru Digory. "Apa lagi yang salah sekarang? Kita sudah
mengenakan cincin kuning kita kok. Dia bilang kuning untuk
perjalanan pergi."
Nah, sekarang diketahui ternyata Paman Andrew, yang tidak tahu
apa-apa tentang Hutan di Antara Dunia-Dunia, punya perkiraan yang
salah tentang kegunaan cincin-cincin itu.
Cincin yang kuning bukanlah cincin "pergi" dan cincin yang hijau
bukanlah cincin "pulang", setidaknya bukan seperti yang

34 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dipikirkannya. Bahan-bahan yang membuat kedua cincin itu berasal
dari hutan itu. Bahan-bahan dalam cincin kuning memiliki kekuatan
untuk menarikmu ke hutan, bahan-bahan yang ingin kembali ke
tempatnya semula, tempat di antara. Tapi bahan dalam cincin hijau
adalah bahan yang berusaha keluar dari tempatnya semula: jadi cincin
hijau akan membawamu keluar dari hutan ke sebuah dunia.
Paman Andrew, untuk kauketahui, sedang bereksperimen dengan
benda-benda yang sebenarnya tidak terlalu dia mengerti, sebagian
besar penyihir memang begitu. Tentu saja Digory juga tidak terlalu
menyadari kenyataan ini, setidaknya tidak hingga nanti. Tapi ketika
mereka telah membicarakannya, mereka memutuskan mencoba cincin
hijau mereka ke mata air baru hanya untuk melihat apa yang akan
terjadi.
"Aku mau kalau kau juga mau," kata Polly.
Tapi sebenarnya dia mengatakan ini karena di hatinya yang paling
dalam, dia kini merasa yakin kedua cincin itu tidak akan berfungsi di
mata air baru, jadi tidak ada yang perlu lebih ditakutinya selain
cipratan air lagi. Aku tidak terlalu yakin Digory punya perasaan yang
sama.
Bagaimanapun, ketika mereka berdua telah memakai cincin hijau,
kembali ke tepian mata air, dan bergandengan, mereka kini jauh lebih
ceria dan tidak muram daripada pada kali pertama.
"Satu—Dua—Tiga—Lompat" kata Digory.
Dan mereka pun melompat.
***

35 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 4
Bel dan Palu

SIHIR kali ini tidak perlu diragukan lagi. Ke bawah dan terus ke
bawah mereka berkelebat pergi, pertama melalui kegelapan kemudian
melewati kumpulan sosok samar yang berputar-putar, yang bisa jadi
apa saja. Lalu situasi menjadi lebih terang. Kemudian mendadak
mereka berdiri di atas sesuatu yang padat. Sesaat kemudian segalanya
jadi lebih fokus dan mereka mampu melihat ke atas mereka.
"Tempat ini aneh sekali" kata Digory.
"Aku tidak menyukainya," kata Polly, sambil agak merinding.
Yang pertama kali mereka sadari adalah cahaya. Tidak seperti sinar
mentari, tapi juga tidak seperti cahaya listrik, lampu, lilin, atau
sumber cahaya apa pun yang pernah mereka lihat. Cahayanya samar,
agak kemerahan, sama sekali tidak cerah. Cahaya itu terangnya pasti
dan tidak meredup.
Mereka sedang berdiri di permukaan datar berlapis bebatuan dan
gedung-gedung berdiri di sekeliling mereka. Tidak ada atap di atas
mereka, mereka berada di semacam halaman. Langit gelap secara
tidak wajar - biru yang nyaris hitam. Kalau kau melihat langit itu kau
akan bertanya-tanya apakah memang benar ada cahaya di sana.
"Cuaca tempat ini aneh sekali ya," kata Digory. "Atau mungkin kita
tiba tepat pada saat akan datang badai petir, atau gerhana."
"Aku tidak menyukainya," kata Polly.
Keduanya, tanpa tahu pasti kenapa, berbicara dengan berbisik. Dan
walaupun tidak ada alasan kenapa mereka masih terus bergandengan
setelah melompat, mereka tidak saling melepaskan tangan.

36 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dinding-dinding gedung menjulang sangat tinggi di sekeliling
halaman. Dinding-dinding itu juga memiliki banyak jendela, jendela-
jendela tanpa kaca, melaluinya kau tidak bisa melihat apa pun kecuali
kegelapan hitam. Di bagian bawah dinding ada area-area berpilar
besar, menganga lebar menampilkan lubang hitam besar seperti mulut
terowongan kereta api.
Suasana jadi terasa agak dingin. Batu yang digunakan untuk
membangun segala hal sepertinya merah, tapi mungkin itu hanya
karena cahaya misterius yang menerangi tempat tersebut. Yang pasti
rasanya aneh sekali. Banyak di antara bebatuan datar yang melapisi
permukaan halaman, retak hingga terbelah. Tidak satu pun menempel
rapat satu sama lain dan sudut-sudut tajamnya telah cacat semua.
Salah satu pintu yang diapit area setengahnya tertutupi reruntuhan.
Kedua anak itu terus-menerus membalikkan tubuh untuk melihat ke
sudut-sudut berbeda di halaman. Salah satu alasannya adalah karena
mereka khawatir seseorang—atau sesuatu—sedang mengawasi
mereka dari jendela-jendela ketika mereka menghadap ke depan.
"Menurutmu ada yang tinggal di sini, tidak?" tanya Digory akhirnya,
masih dengan berbisik.
"Tidak," jawab Polly. "Semua ini hanya reruntuhan. Kita belum
mendengar suara apa pun sejak datang ke sini."
"Ayo kita coba berdiri diam sebentar dan menajamkan pendengaran,"
saran Digory.
Mereka berdiri diam dan mendengarkan, tapi satu-satunya yang
mereka dengar hanyalah detakan jantung mereka sendiri. Tempat ini
setidaknya sesunyi Hutan di Antara Dunia-dunia. Tapi sepinya
berbeda. Kesunyian di hutan terasa kaya, hangat (kau nyaris bisa
mendengar pepohonan bertumbuh), dan penuh kehidupan. Kali ini
yang terasa kesunyian yang mati, dingin, dan hampa. Kau tidak bisa
membayangkan apa pun tumbuh di tempat ini.
37 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Ayo pulang," kata Polly.
"Tapi kita belum melihat apa pun," kata Digory. "Berhubung kita
sudah sampai di sini, setidaknya kita harus melihat-lihat."
"Aku yakin sama sekali tidak ada yang menarik di sini."
"Tidak ada gunanya menemukan cincin ajaib yang bisa membawamu
ke dunia lain kalau kau takut menjelajahi dunia-dunia ini begitu sudah
sampai di sana."
"Siapa yang bilang aku takut?" kata Polly, melepaskan tangan Digory.
"Aku hanya mengira kau tampak kurang berminat menjelajahi tempat
ini."
"Aku akan pergi ke mana pun kau mau pergi."
"Kita bisa pergi dari sini kapan pun kita mau," kata Digory. "Ayo kita
lepas cincin hijau kita dan menyimpannya di saku kanan. Yang perlu
kita lakukan hanyalah mengingat bahwa cincin kuning kita ada di
saku kiri. Kau bisa meletakkan tangan sedekat yang kauinginkan
dengan saku-saku itu, tapi jangan kaumasukkan tanganmu ke saku
karena kau bisa saja menyentuhnya dan lenyap."
Mereka melakukan itu dan berjalan tanpa suara menuju salah satu
gerbang lengkung besar yang membawa mereka ke dalam salah satu
gedung. Lalu ketika berdiri di depan pintu dan bisa melihat ke dalam,
mereka melihat bagian dalam gedung itu tidaklah terlalu gelap seperti
dugaan awal mereka. Pintu itu memperlihatkan ruang depan
berbayang-bayang yang tampaknya kosong, tapi di sisi ruang depan
yang lebih jauh tampak sederetan pilar dengan lengkungan di bagian
atas tiap dua pilar. Di balik lengkungan tersebut mengalir lebih
banyak cahaya temaram aneh yang sama.
Mereka menyeberangi ruang depan tersebut, berjalan dengan sangat
hati-hati karena khawatir ada lubang-lubang di lantai atau apa pun

38 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
yang mungkin tergeletak di sana yang bisa membuat mereka
tersandung. Perjalanan itu rasanya lama sekali.
Ketika mencapai sisi lain ruang itu, mereka melewati pilar-pilar dan
mendapati diri mereka berada di halaman lain yang lebih luas.
"Sepertinya tempat itu tidak terlalu aman," kata Polly sambil
menunjuk ke suatu tempat di mana dindingnya condong ke depan dan
tampak siap runtuh ke halaman.
Di satu tempat ada pilar yang hilang di antara dua lengkungan dan
bagian yang seharusnya berada di bagian atas pilar, hanya bergantung
di sana tanpa disangga apa pun. Tampak jelas, kota itu telah
diterlantarkan selama ratusan, bahkan mungkin ribuan, tahun.
"Kalau tempat ini bertahan hingga saat ini, kurasa akan bisa bertahan
lebih lama lagi," kata Digory. "Tapi kita harus benar-benar bergerak
tanpa suara. Kau tahu bukan terkadang suara pelan sekalipun bisa
membuat segalanya runtuh—seperti salju longsor di Pegunungan
Alpen."
Mereka keluar dari halaman itu menuju gerbang lain, menaiki tangga
besar nan tinggi, dan melalui ruang-ruang luas yang terbuka menuju
ruang-ruang lain sampai kau merasa pusing hanya karena ukuran
tempat itu. Sesekali mereka mengira bakal keluar ke tempat terbuka
dan melihat dataran macam apa yang mengelilingi istana besar itu.
Tapi setiap kali berjalan, mereka hanya mencapai halaman lain.
Istana ini pastinya merupakan tempat yang luar biasa saat
penduduknya masih tinggal di sini. Di salah satu sisi ada patung yang
dulu adalah air mancur. Monster batu besar dengan sayap terentang
lebar berdiri dengan mulut terbuka dan kau bisa melihat pipa kecil di
bagian belakang mulutnya, dari sanalah dulu air keluar. Di bawah
patung itu ada mangkuk batu lebar untuk menadahi airnya, tapi kini
mangkuk itu kering bagaikan padang pasir.

39 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Di tempat-tempat lain ada batang-batang kering sejenis tanaman
rambat yang telah tumbuh mengelilingi pilar-pilar dan membuat
sebagian pilar tersebut runtuh. Tapi tanaman itu sudah lama mati. Dan
tidak ada semut, labah-labah, atau makhluk hidup lain yang kaupikir
bisa kautemui di antara reruntuhan. Tanah kering yang terdapat di
antara batu lantai batu lantai pun tidak ditumbuhi rumput atau lumut.
Keadaan di tempat itu begitu mati di seluruh sudutnya hingga bahkan
Digory pun mulai berpikir sebaiknya mereka segera mengenakan
cincin kuning dan kembali ke hutan hidup yang hangat dan hijau di
tempat antara.
Pada saat itulah mereka menemukan dua daun pintu raksasa yang
terbuat dari sejenis logam yang mungkin saja emas. Salah satu daun
pintu itu sedikit terbuka. Jadi tentu saja mereka masuk untuk melihat
ke dalam.
Keduanya terkejut dan menarik napas panjang: karena di sinilah
akhirnya ada sesuatu yang pantas dilihat.
Selama beberapa saat mereka berpikir ruangan tersebut dipenuhi
orang—ratusan orang, semuanya sedang duduk, dan semuanya
bergeming. Polly dan Digory juga, seperti yang bisa kautebak, berdiri
tanpa bergerak cukup lama karena melihat pemandangan di depan
mereka.
Tapi akhirnya mereka memutuskan yang sedang mereka pandangi
tidaklah mungkin orang sungguhan. Tidak ada gerakan maupun suara
embusan napas di antara mereka semua. Orang-orang itu seperti
patung lilin terhebat yang pernah kaulihat.
Kali ini Polly yang berjalan duluan. Ada sesuatu di ruangan ini yang
menarik rasa ingin tahunya dibanding rasa ingin tahu Digory: semua
sosok di sana mengenakan pakaian yang menakjubkan. Kalau kau
sedikit saja tertarik pada pakaian, kau tidak akan tahan untuk tidak
melihat lebih dekat. Berkas-berkas warna pada pakaianpakaian ini
40 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pun membuat ruangan itu tampak, meski tidak bisa dibilang ceria,
begitu kaya dan anggun setelah semua debu dan kekosongan di
tempat lain.
Ruangan itu juga memiliki lebih banyak jendela dan jauh lebih terang.
Aku nyaris tidak bisa melukiskan pakaian-pakaian mereka. Sosok-
sosok itu semuanya berjubah dan mengenakan mahkota di kepala
mereka. Jubah-jubah mereka berwarna merah tua, abu-abu keperakan,
ungu tua, dan hijau gelap. Tampak pola-pola hias, juga gambar bunga,
hewan liar ajaib, disulam di permukaan jubah-jubah tersebut. Batu-
batu berharga dalam ukuran dan kilau menakjubkan menatap dari
mahkota-mahkota mereka, juga dari kalung-kalung yang
menggantung di sekeliling leher mereka, mengintip dari segala tempat
semuanya terpasang.
"Kenapa semua pakaian itu tidak lapuk sejak zaman dulu?" tanya
Polly.
"Sihir," bisik Digory. "Tidakkah kau bisa merasakannya? Aku berani
bertaruh seluruh ruangan ini beku karena mantra sihir. Aku bisa
merasakannya sejak detik pertama kita masuk."
"Satu saja pakaian ini bisa berharga ratusan pound" komentar Polly.
Tapi Digory lebih tertarik pada wajah-wajah mereka, dan memang
semua wajah itu pantas dipandangi. Orang-orang itu duduk di kursi
batu mereka di masing-masing sisi ruangan, bagian tengahnya
dibiarkan kosong. Kau bisa berjalan dan memandangi wajah-wajah itu
bergiliran.
"Mereka orang-orang baik, menurutku," ucap Digory.
Polly mengangguk. Semua wajah yang bisa mereka lihat memang
tampak baik. Baik para pria maupun wanitanya tampak ramah dan
bijaksana, dan mereka tampaknya berasal dari keturunan berwajah
tampan. Tapi setelah anak-anak itu berjalan beberapa langkah lebih

41 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
jauh di ruangan tersebut, mereka sampai pada wajah-wajah yang
tampak agak berbeda.
Wajah-wajah di sini begitu serius. Kau akan merasa perlu
memerhatikan etiket dan sopan santun bila bertemu orang-orang
seperti itu dalam kehidupanmu. Ketika Polly dan Digory berjalan
lebih jauh lagi, mereka mendapati diri mereka berada di antara wajah-
wajah yang tidak mereka sukai: ini terjadi kira-kira di tengah ruangan.
Wajah-wajah itu tampak begitu kuat, bangga, dan bahagia, tapi
mereka tampak kejam.
Dan saat mereka lebih jauh berjalan, wajah-wajah di sana tampak
lebih kejam. Lebih jauh lagi, mereka masih tampak kejam tapi tidak
lagi tampak bahagia. Wajah-wajah itu bahkan tampak penuh
keputusasaan: seolah pemilik-pemiliknya telah melakukan hal-hal
buruk dan menderita karena hal-hal buruk.
Sosok terakhir dari deretan orang itu adalah yang paling menarik—
wanita yang pakaiannya lebih mewah daripada yang lainnya, sangat
tinggi (tapi semua sosok dalam ruangan itu memang lebih tinggi
daripada orang-orang di dunia kita), dengan ekspresi wajah yang
begitu keras dan penuh kebanggaan sehingga kau akan menahan
napas bila melihatnya. Namun wanita itu juga cantik. Bertahun-tahun
kemudian, saat telah menjadi pria tua, Digory berkata dia belum
pernah melihat orang secantik wanita itu selama hidupnya. Tapi wajar
juga bila ditambahkan bahwa Polly berkata dia tidak melihat apa pun
yang spesial pada wanita itu. Wanita ini, seperti yang kukatakan tadi,
adalah sosok terakhir, tapi ada banyak kursi kosong setelahnya, seolah
ruangan itu telah dimaksudkan untuk lebih banyak lagi koleksi sosok.
"Aku ingin sekali tahu cerita di balik semua ini," kata Digory. "Ayo
kembali dan melihat meja di tengah ruangan ini."
Benda yang berada di tengah ruangan itu sebenarnya bukanlah meja.
Benda itu pilar kotak setinggi kira-kira semeter lebih dan di atasnya

42 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berdiri arca emas yang digantungi bel emas kecil. Di samping pilar itu
tergeletak palu emas kecil untuk membunyikan belnya.
"Kira-kira apa ya... Hmmm... Apa ya...," kata Digory.
"Sepertinya ada sesuatu yang tertulis di sini," kata Polly,
menundukkan badan dan memandangi salah satu pilar tersebut.
"Ya ampun, ternyata memang ada," ucap Digory. "Tapi tentu saja kita
tidak akan bisa membacanya."
"Benarkah begitu? Aku tidak yakin," kata Polly.
Mereka berdua memandangi tulisan itu lekat-lekat, seperti yang
mungkin sudah kauduga, huruf-huruf yang dipahat ke batu pilar itu
memang aneh. Tapi kini terjadi keajaiban besar: karena saat mereka
memandanginya, walaupun bentuk hurufhuruf aneh itu tidak berubah,
mereka mendapati diri mereka bisa memahami semuanya.
Kalau saja Digory ingat kata-katanya sendiri beberapa saat lalu,
bahwa ini ruangan yang tersihir, mungkin dia bakal bisa menebak
sihirnya mulai bekerja. Tapi rasa penasaran terlalu menguasai dirinya,
sehingga dia tidak bisa memikirkan itu. Dia semakin ingin tahu apa
yang tertulis di pilar tersebut. Dan tak lama kemudian mereka berdua
pun tahu. Yang tertulis adalah sesuatu yang kira-kira begini
bunyinya—setidaknya inilah yang bisa dicerna walaupun puisi itu
sendiri, ketika kau membacanya di sana, lebih bagus:
Tentukan pilihan, wahai petualang asing,
Bunyikan bel, dan hadapi bahaya genting,
Atau teruslah penasaran, hingga lenyap kewarasan,
Akan apa yang bakal terjadi bila saja kaulakukan.
"Apa ini?" seru Polly. "Kita kan tidak mau mendapatkan bahaya apa
pun."

43 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Ah, tapi tidakkah kau sadar tidak ada pilihan lain?" tanya Digory.
"Tidak mungkin kita bisa menghindar sekarang. Kita bakal selalu
bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau saja kita membunyikan bel
ini. Aku tidak mau pulang lalu penasaran setengah mati karena selalu
mengingatnya. Tidak perlu takut"
"Jangan konyol begitu," kata Polly. "Memangnya bakal ada orang
yang mati karena penasaran? Siapa yang peduli apa yang bakal
terjadi?"
"Menurutku semua orang yang sudah pergi sejauh ini bakal terus
bertanya-tanya sampai membuatnya tidak waras. Itulah Sihir yang
menguasai tempat ini. Aku bahkan bisa merasakannya mulai bekerja
pada diriku."
"Yah, kalau aku tidak," kata Polly ketus.
"Dan aku tidak percaya kau merasakannya. Kau hanya mengarang."
"Karena memang hanya itu yang kauketahui," kata Digory. "Soalnya
kau perempuan. Perempuan tidak pernah mau tahu apa pun kecuali
gosip dan meributkan orang-orang yang bertunangan."
"Kau benar-benar mirip pamanmu waktu berkata begitu, tahu," kata
Polly.
"Kenapa kau mengubah topik pembicaraan?" kata Digory. "Kita kan
sedang membicarakan—"
"Benar-benar seperti pria dewasa" kata Polly dengan suara yang
begitu dewasa, tapi dia buru-buru menambahkan, dengan suara
biasanya, "Dan jangan bilang aku juga bersikap seperti wanita, karena
dengan begitu kau hanya peniru yang payah."
"Aku bahkan tidak pernah bermimpi memanggil anak kecil sepertimu
wanita," kata Digory angkuh.

44 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Oh, jadi aku anak kecil, ya?" tanya Polly, yang kini benar-benar
marah. "Yah, kalau begitu kau tidak perlu direpotkan dengan
kehadiran anak kecil lagi. Aku akan pergi. Aku sudah muak dengan
tempat ini. Dan aku juga sudah muak padamu—dasar payah,
sombong, keras kepala"
"Jangan lakukan itu" kata Digory dengan suara yang lebih galak
daripada yang dimaksudkannya, karena dia melihat tangan Polly
bergerak ke saku untuk mengambil cincin kuningnya.
Aku tidak bisa memaklumi apa yang selanjutnya dia lakukan kecuali
dengan mengatakan Digory sangat menyesalinya di kemudian hari
(begitu juga begitu banyak orang baik lainnya). Sebelum tangan Polly
sampai di sakunya, Digory mencengkeram pergelangan tangan Polly,
menahan tubuh Polly dengan punggungnya. Lalu, sambil
menghalangi lengan Polly yang satu lagi dengan siku lainnya, Digory
membungkuk ke depan, meraih palu, dan membunyikan bel emas itu
dengan pukulan pelan tapi pasti. Kemudian dia melepaskan Polly dan
mereka berdua terjatuh sambil saling menatap dan terengah-engah
keras.
Polly mulai menangis, bukan karena ketakutan, dan bahkan bukan
karena Digory telah menyakiti pergelangan tangannya, tapi karena
marah luar biasa. Namun dua detik kemudian, ada sesuatu yang
menyita pikiran mereka sehingga pertengkaran itu pun terlupakan.
Begitu dipukul bel itu mengeluarkan nada, nada indah seperti yang
mungkin sudah kauduga, tidak terlalu keras pula. Tapi bukannya
menghilang ditelan angin, nada itu terus terdengar, dan ketika itu
terjadi bunyinya kian mengeras.
Sebelum semenit berlalu, bunyinya kini telah menjadi dua kali lebih
keras daripada ketika kali pertama bersuara. Tak lama kemudian
suaranya kian mengeras sehingga jika kedua anak itu berusaha
berbicara (tapi mereka tidak berniat berbicara saat ini—mereka hanya

45 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berdiri di sana dengan mulut ternganga) mereka tidak bakal bisa
mendengar satu pun ucapan mereka.
Beberapa saat kemudian bunyinya sudah menjadi begitu keras
sehingga mereka tidak bakal bisa mendengar satu sama lain bahkan
kalaupun mereka berteriak. Dan suaranya terus saja mengeras: semua
dalam satu nada, suara indah yang tak berakhir, walaupun ada
sesesuatu yang mengerikan dalam keindahan itu, hingga semua udara
dalam ruangan besar itu seolah berdenyut karenanya dan mereka bisa
merasakan lantai batu di kaki mereka bergetar.
Kemudian akhirnya suara bel itu mulai bercampur dengan bunyi lain,
suara samar mengerikan yang awalnya terdengar seperti geraman
kereta yang datang dari kejauhan, kemudian seperti gebrakan pohon
tumbang. Mereka mendengar sesuatu seperti benda-benda berat
berjatuhan.
Akhirnya, bersamaan dengan gemuruh yang mendadak, dan
guncangan yang nyaris membuat mereka terbang di udara, sekitar
seperempat langit-langit di salah satu ujung ruangan mulai runtuh,
bongkahan-bongkahan batu besar berjatuhan di sekitar mereka, dan
dinding-dinding rontok. Suara bel berhenti.
Awan debu menipis dan akhirnya menghilang. Segalanya menjadi
sunyi kembali. Tidak pernah diketahui apakah runtuhnya langit-langit
itu disebabkan Sihir, ataukah karena suara keras tak tertahankan dari
bel itu kebetulan mencapai not yang memecah pertahanan dinding-
dinding rapuh itu.
"Nah Kuharap kau puas sekarang," bentak Polly.
"Yah, toh sekarang sudah berakhir," kata Digory.
Keduanya punya pikiran yang sama, namun belum pernah dalam
seumur hidup mereka, mereka begitu keliru.
***
46 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 5
Kata Kemalangan

KEDUA anak itu berdiri berhadapan di seberang pilar tempat bel tadi
tergantung. Benda itu masih bergetar walau tidak lagi mengeluarkan
suara apa pun. Mendadak mereka mendengar suara pelan dari ujung
ruangan yang masih tidak rusak. Mereka menoleh secepat kilat untuk
melihat suara apakah itu.
Salah satu sosok berjubah—sosok yang duduk paling jauh, wanita
yang menurut Digory cantik sekali—berdiri dari kursinya.
Ketika dia berdiri, mereka menyadari wanita itu lebih tinggi daripada
dugaan mereka. Dan kau bakal bisa langsung melihat, bukan hanya
dari mahkota dan jubahnya, tapi dari kilatan mata juga lekuk bibirnya,
wanita ini ratu agung. Dia melihat ke sekeliling ruangan dan
kerusakan yang terjadi di sana, lalu memandang kedua anak itu, tapi
kau tidak bakal bisa menebak dari ekspresi wajahnya apa yang sedang
dia pikirkan, apakah dia sedang terkejut atau tidak.
Dia berjalan ke depan dengan langkah-langkah panjang dan cepat.
"Siapa yang telah membangunkanku? Siapa yang telah mematahkan
mantra?"
"Kurasa akulah orangnya," kata Digory.
"Kau" kata sang ratu, meletakkan tangannya di bahu Digory—
tangannya putih dan indah, tapi Digory bisa merasakan tangan itu
juga sekuat penjepit besi. "Kau? Tapi kau hanyalah anak-anak, anak
biasa. Hanya dengan pandangan sekilas, siapa pun bisa langsung tahu
kau tidak memiliki setetes pun darah bangsawan atau kemuliaan di
nadimu. Kenapa anak sepertimu berani memasuki rumah ini?"

47 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Kami datang dari dunia lain, dengan Sihir," kata Polly, yang berpikir
sudah saatnya sang ratu menyadari kehadirannya seperti dia
menyadari keberadaan Digory.
"Apakah ini benar?" tanya sang ratu, masih memandangi Digory dan
tidak melihat bahkan sekilas pun ke Polly.
"Ya, itu benar," jawab Digory.
Sang ratu meletakkan tangannya yang lain di bawah dagu Digory dan
mengangkatnya supaya bisa lebih jelas melihat wajah anak lelaki itu.
Digory berusaha balas menatap, tapi tak lama kemudian dia harus
menurunkan pandangannya. Ada sesuatu dalam mata sang ratu yang
menguasainya.
Setelah sang ratu memerhatikan wajah Digory selama lebih dari
semenit, dia melepaskan dagu Digory dan berkata: "Kau bukan
penyihir. Tiada tanda penyihir pada dirimu. Kau pasti hanya pelayan
penyihir. Karena Sihir lainlah kau bisa sampai di sini."
"Aku ada di sini karena pamanku, Paman Andrew," kata Digory.
Tepat pada saat itu—bukan di ruangan tempat mereka berada, tapi di
suatu tempat yang sangat dekat dari sana—terdengarlah suara runtuh
pertama, kemudian suara sesuatu retak, lalu gemuruh bebatuan rubuh,
dan lantai pun bergetar.
"Terlalu berbahaya berada di sini," kata sang ratu. "Seluruh tempat ini
akan hancur. Kalau kita tidak keluar dari sini sekarang, dalam
hitungan menit kita akan terkubur di dalam reruntuhannya."
Dia berbicara dengan tenang seolah hanya sedang memberitahu jam
berapa sekarang. "Ayo," dia menambahkan kemudian menjulurkan
kedua tangannya ke Digory dan Polly.
Polly, yang tidak menyukai sang ratu dan merasa agak merajuk, tidak
akan membiarkan tangannya diraih kalau saja dia punya pilihan lain.

48 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tapi walaupun sang ratu berbicara dengan nada yang tenang,
gerakannya secepat pikiran. Sebelum Polly menyadari apa yang
sedang terjadi, tangan kirinya telah ditangkap tangan yang jauh lebih
besar dan kuat daripada miliknya sehingga dia tidak bisa melakukan
apa-apa.
Wanita ini mengerikan sekali, pikir Polly. Dia cukup kuat untuk
mematahkan lenganku hanya dengan satu puntiran. Dan sekarang
karena dia mencengkeram tangan kiriku, aku tidak bisa mengambil
cincin kuning. Kalau aku berusaha menjulurkan tangan kananku ke
saku kiriku, aku mungkin bakal bisa meraihnya sebelum dia
menanyakan apa yang sedang kulakukan. Apa pun yang terjadi kami
tidak boleh membiarkan dia tahu soal cincin-cincin ini. Kuharap
Digory masih berakal sehat dan mampu menutup mulut. Kalau saja
aku bisa berbicara hanya berdua dengannya.
Sang ratu membimbing mereka keluar dari Aula Sosok menuju
koridor panjang kemudian melalui labirin aula-aula lain, tangga-
tangga, dan lapangan. Lagi-lagi mereka mendengar suatu bagian
istana besar itu runtuh, terkadang cukup dekat dengan mereka. Pernah
sekali, area besar roboh bersamaan bunyi keras hanya beberapa saat
setelah mereka berjalan melaluinya.
Sang ratu berjalan cepat—kedua anak itu harus berlari kecil supaya
bisa menyamai langkahnya—tapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda
ketakutan. Digory berpikir, dia berani sekali. Juga kuat. Ini dia yang
namanya ratu Mudahmudahan dia mau menceritakan kisah rempat ini.
Sang ratu memang memberitahu mereka beberapa hal saat mereka
berjalan: "Itu pintu menuju penjara bawah tanah," dia akan berkata,
atau "Jalan itu menuju ruang-ruang utama penyiksaan", atau "Di sini
dulu aula jamuan pesta tempat kakek buyutku menjamu tujuh ratus
bangsawan untuk berpesta pora kemudian membunuh mereka semua
sebelum mereka menghabiskan minuman mereka. Mereka memiliki
pikiran-pikiran memberontak."
49 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Akhirnya mereka sampai ke suatu aula yang lebih besar dan lengang
daripada yang pernah mereka lihat sebelumnya. Dari ukuran dan
bentuk pintu-pintu besar di ujung jauhnya, Digory berpikir akhirnya
mereka telah sampai di pintu masuk utama. Dalam kasus ini dia
benar. Pintu-pintu itu berwarna hitam kelam, mungkin terbuat dari
kayu ebony atau semacam logam hitam yang tidak ditemukan di
dunia kita. Pintu-pintu tersebut dipasung dengan palang-palang besar,
yang sebagian besarnya terlalu tinggi untuk diraih dan terlalu berat
untuk diangkat. Digory bertanya-tanya bagaimana caranya mereka
akan keluar.
Sang ratu melepaskan pegangannya dan mengangkat lengan. Dia
menegakkan badan dan berdiri bergeming. Kemudian dia mengatakan
sesuatu yang tidak bisa dimengerti kedua anak itu (yang pasti
kedengarannya mengerikan) dan bergerak seolah melemparkan
sesuatu ke pintu-pintu itu. Lalu kedua daun pintu yang tinggi dan
berat itu bergetar beberapa detik seolah keduanya terbuat dari sutra,
kemudian luluh lantak hingga tidak tersisa apa pun kecuali tumpukan
debu di ambang pintu.
"Fiuh" siul Digory.
"Apakah majikan penyihirmu, pamanmu, punya kekuatan sepertiku?"
tanya sang ratu, dia mencengkeram keras tangan Digory lagi. "Tapi
aku akan tahu sendiri nanti. Sementara itu, ingatlah apa yang telah
kaulihat. Inilah yang terjadi pada benda-benda, juga orang-orang,
yang menghalangi kehendakku."
Cahaya yang jauh lebih terang daripada yang telah kedua anak itu
lihat di negeri ini kini meruah melalui lubang pintu yang terbuka
lebar, lalu ketika sang ratu membimbing mereka melewatinya mereka
tidak terkejut ketika mendapati diri mereka berada di udara terbuka.
Angin yang menerpa wajah mereka terasa dingin, tapi entah kenapa
lembap dan tidak segar. Mereka kini berada di teras tinggi, di bawah
mereka terbentang daratan luas.
50 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Rendah di bawah dan di dekat horison, bergantung matahari merah
besar, lebih besar daripada matahari kita. Digory langsung merasa
matahari itu juga berusia lebih tua daripada matahari kita: matahari
yang mendekati ajal, lelah menatap dunia di bawahnya.
Di sebelah kiri matahari itu, lebih tinggi di atas, tampak sebuah
bintang, besar dan bersinar terang. Hanya dua benda itu yang terlihat
di langit kelam, keduanya membentuk kelompok muram. Dan di
bumi, di setiap arah, sejauh mata bisa memandang, terbentang kota
luas tempat tidak terlihat satu pun makhluk hidup di dalamnya. Dan
semua kuil, menara, istana, piramid, juga jembatan menciptakan
bayanganbayangan panjang yang tampak mengancam di bawah sinar
matahari yang melemah itu. Sebuah sungai besar pernah mengalir
menembus kota tersebut, tapi airnya telah lama mengering, dan kini
yang tersisa tinggal selokan lebar abu-abu berdebu.
"Pandanglah baik-baik pemandangan yang tidak akan pernah dilihat
mata mana pun lagi," kata sang ratu. "Begitulah Charn, kota
menakjubkan, kota Raja di antara para Raja, keajaiban dunia,
mungkin keajaiban semua dunia. Apakah pamanmu memerintah kota
sehebat ini, Nak?"
"Tidak," kata Digory. Dia baru berniat menjelaskan Paman Andrew
tidaklah memerintah kota apa pun, tapi sang ratu sudah melanjutkan:
"Kota ini sunyi sekarang. Tapi aku telah berdiri di sini ketika seluruh
udara dipenuhi suara Charn. Entakan langkah kaki, derak roda,
lecutan pecut, dan erangan para budak, gemuruh kereta kuda, dan
gendang-gendang pengorbanan ditabuh di kuil-kuil. Aku telah berdiri
di sini (tapi saat itu akhir sudah begitu dekat) ketika pekikan perang
terdengar dari setiap jalan dan air yang mengalir di Sungai Charn
berwarna merah."
Dia berhenti sejenak lalu menambahkan, "Dalam satu detik, semua itu
telah dihapus oleh seorang wanita untuk selama-lamanya."

51 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Siapa?" tanya Digory dengan suara pelan, tapi dia telah menebak
jawabannya.
"Aku," jawab sang ratu. "Aku, Jadis si ratu terakhir, juga ratu seluruh
dunia."
Kedua anak itu berdiri dalam diam, tubuh mereka gemetar dalam
angin dingin.
"Semua karena salah saudariku," kata sang ratu. "Dia yang
membuatku melakukan itu. Semoga kutukan segala Kekuatan
mengikatnya selamanya Aku sudah siap berdamai kapan saja—ya,
juga untuk mengampuni jiwanya, kalau saja dia membiarkan takhta
menjadi milikku. Tapi tidak. Keangkuhannya telah menghancurkan
seluruh dunia. Bahkan setelah perang dimulai, ada perjanjian sah
bahwa tidak ada pihak yang boleh menggunakan Sihir. Tapi ketika dia
melanggar janjinya itu, apa lagi yang bisa kulakukan? Bodoh Seolah
dia tidak tahu aku punya lebih banyak Sihir daripada dirinya Dia
bahkan tahu aku memiliki rahasia Kata Kemalangan. Apakah dia
pikir—tapi dia memang selalu jadi yang terlemah di antara kami—
aku tidak akan menggunakannya?"
"Apa itu?" tanya Digory.
"Rahasia di antara semua rahasia," kata Ratu Jadis. "Telah lama
menjadi pengetahuan semua raja besar ras kami bahwa ada kata yang,
kalau diucapkan dengan upacara layak, bisa menghancurkan seluruh
makhluk hidup kecuali orang yang mengucapkannya. Tapi para raja
zaman dahulu lemah dan berhati lembek. Mereka mengikat diri
mereka sendiri dan semua orang yang mendatangi mereka, dengan
sumpah besar untuk tidak akan pernah bahkan berusaha mencari
pengetahuan tentang kata itu. Tapi aku telah mempelajarinya di
tempat rahasia dan membayar harga mahal untuk mempelajarinya.
Aku tidak menggunakannya hingga saudaraiku memaksaku. Aku

52 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
bertempur untuk mengatasinya dengan berbagai cara lain. Aku
menumpahkan darah pasukanku seperti air—"
"Monster" gumam Polly.
"Pertempuran besar terakhir," kata sang ratu, "pecah selama tiga hari
di Charn ini. Selama tiga hari aku memandang ke bawah,
mengawasinya dari tempat ini. Aku tidak menggunakan kekuatanku
hingga prajurit terakhirku terjatuh, lalu wanita terkutuk itu, saudariku,
berjalan di depan para pemberontaknya dan sudah setengah jalan
menaiki tangga-tangga besar yang menghubungkan kota dengan teras
ini. Kemudian aku menunggu hingga kami begitu dekat supaya kami
bisa menatap wajah satu sama lain. Dia membinarkan mata kejamnya
yang mengerikan saat memandangku dan berkata, 'Kemenangan.' 'Ya,'
aku berkata, 'Kemenangan, tapi bukan kemenanganmu.' Kemudian
aku mengucapkan Kata Kemalangan. Sedetik kemudian aku adalah
makhluk hidup terakhir di bawah matahari."
"Tapi bagaimana dengan orang-orang lain?" Digory terperangah.
"Orang-orang lain apa, Nak?" tanya sang ratu.
"Semua rakyat biasa," kata Polly, "orang-orang yang tidak pernah
melukaimu. Dan semua wanita, anak-anak, juga hewan-hewan."
"Tidakkah kau mengerti?" tanya sang ratu (masih berbicara pada
Digory). "Aku adalah ratu. Mereka semua rakyatku. Untuk apa lagi
mereka ada kalau bukan untuk melaksanakan kemauanku?"
"Tetap saja malang benar nasib mereka," kata Digory.
"Aku lupa kau hanyalah anak biasa. Bagaimana mungkin kau
mengerti logika sebuah Negeri? Kau harus belajar, Nak, bahwa apa
yang mungkin salah bagimu dan rakyat biasa lainnya tidaklah salah
bagi ratu besar seperti diriku. Beban dunia berada di bahu kami. Kami
harus dibebaskan dari segala peraturan. Jalan nasib kami tinggi dan
sepi."
53 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Digory mendadak teringat Paman Andrew pernah menggunakan kata-
kata yang persis sama. Tapi kata-kata itu terdengar lebih anggun
ketika Ratu Jadis yang mengucapkannya, mungkin karena Paman
Andrew tidaklah setinggi 210 sentimeter dan cantik memesona.
"Kemudian apa yang kaulakukan setelahnya?" kata Digory.
"Aku telah memasang mantra-mantra kuat di aula tempat patung-
patung leluhurku duduk. Dan kekuatan mantra-mantra itu akan
membuatku tertidur bersama mereka, juga seperti patung dan tidak
membutuhkan makanan maupun api, walaupun untuk ribuan tahun
lamanya, sampai seseorang datang, memukul bel, dan
membangunkanku."
"Apakah Kata Kemalangan yang menjadikan matahari begitu?" tanya
Digory.
"Seperti apa?" kata Jadis.
"Begitu besar, begitu merah, dan begitu dingin."
"Sejak dulu selalu begitu," kata Jadis. "Setidaknya, selama ratusan
ribu tahun. Apakah duniamu memiliki jenis matahari yang berbeda?"
"Ya, matahari kami lebih kecil dan kuning. Juga memberi lebih
banyak panas."
Sang ratu mengeluarkan suara panjang. "A-aah"
Dan di wajahnya Digory melihat ekspresi lapar dan serakah yang
sama dengan yang pernah dilihatnya pada wajah Paman Andrew.
"Jadi," katanya, "duniamu dunia yang lebih muda."
Dia berhenti sejenak untuk melihat sekali lagi kota terlantar itu—
kalaupun dia merasakan penyesalan atas segala kejahatan yang telah
dilakukannya di sana, dia tidak menunjukkannya sama sekali—
kemudian berkata:

54 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Nah, ayo kita berangkat. Dingin di sini di akhir segala zaman."
"Berangkat ke mana?" tanya kedua anak itu.
"Ke mana?" ulang Jadis terkejut. "Tentu saja ke duniamu."
Polly dan Digory bersitatap, terpaku ketakutan.
Sejak awal Polly sudah tidak menyukai sang ratu, dan bahkan Digory,
kini setelah dia mendengar ceritanya, merasa telah cukup mendengar
tentang wanita itu. Jelas sekali, dia bukanlah sejenis orang yang ingin
kita ajak pulang. Dan kalaupun mereka menyukainya, mereka tidak
tahu bagaimana caranya. Mereka sendiri ingin pergi dari sana, tapi
Polly tidak bisa meraih cincinnya dan tentu saja Digory tidak bisa
pergi tanpanya. Wajah Digory menjadi merah sekali dan dia berkata
dengan terbata-bata.
"Oh—oh—dunia kami. Aku ti-tidak menyangka kau mau pergi ke
sana."
"Untuk apa lagi kau dikirim ke sini kalau bukan untuk
menjemputku?" tanya Jadis.
"Aku yakin kau tidak akan menyukai dunia kami sama sekali," kata
Digory.
"Bukan tempat yang pantas untukmu, ya kan, Polly? Membosankan
sekali di sana, benar-benar tidak pantas untuk dilihat."
"Tak lama lagi pasti akan jadi pantas dilihat begitu aku
memerintahnya," jawab sang ratu.
"Oh, tapi kau tidak bisa melakukan itu," kata Digory. "Keadaannya
berbeda. Mereka tidak akan membiarkanmu."
Di wajah sang ratu terkembang senyum meremehkan. "Banyak raja
hebat," katanya, "berpikir mereka bisa bertahan melawan Kerajaan
Charn. Tapi mereka semua terjatuh dan nama mereka dilupakan.

55 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bocah bodoh Apakah kaupikir aku, dengan kecantikan dan Sihir-ku,
tidak akan memiliki seluruh duniamu di bawah kakiku sebelum satu
tahun berlalu? Siapkan mantramu dan segera bawa aku ke sana."
"Ini mengerikan sekali," kata Digory ke Polly.
"Mungkin kau mengkhawatirkan pamanmu," kata Jadis. "Tapi kalau
dia menghormatiku dengan tulus, dia diperkenankan menyimpan
nyawa dan takhtanya. Aku tidak datang untuk berperang melawannya.
Dia pasti penyihir besar karena telah menemukan cara mengirimmu
ke sini. Apakah dia raja seluruh duniamu atau hanya sebagian?"
"Dia bukan raja daerah mana pun," jawab Digory.
"Kau berbohong," kata sang ratu. "Bukankah Sihir selalu diturunkan
lewat darah bangsawan? Siapa yang pernah mendengar rakyat biasa
menjadi penyihir? Aku bisa melihat kebenaran biarpun tidak
kauucapkan. Pamanmu adalah raja besar dan ahli sihir terhebat di
duniamu. Dan dengan kemampuannya dia telah melihat bayangan
wajahku, pada semacam cermin ajaib atau mata air bertuah. Lalu
karena kekagumannya akan kecantikanku dia telah membuat mantra
kuat yang mengguncang duniamu hingga ke akarnya, mengirimmu
melewati padang pasir luas di antara dunia dan dunia untuk
meminangku, membawaku ke hadapannya. Jawablah: bukankah
begitu kejadiannya?"
"Yah, tidak juga sih," jawab Digory.
"Tidak juga?" teriak Polly. "Semua itu benar-benar omong kosong
sejak awal sampai akhir."
"Makhluk rendah" teriak sang ratu, menoleh penuh kemarahan ke
arah Polly dan menjambak rambutnya, di bagian paling atas
kepalanya, di tempat yang paling menyakitkan. Tapi dengan
melakukan itu dia melepaskan kedua tangan Digory dan Polly.
"Sekarang," teriak Digory, dan "Cepat" teriak Polly.
56 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mereka membenamkan tangan kiri mereka ke saku. Mereka bahkan
tidak perlu mengenakan cincin-cincin itu. Di detik mereka menyentuh
cincin, keseluruhan dunia suram itu lenyap dari penglihatan mereka.
Mereka kini bergerak naik dengan cepat dan cahaya hijau hangat
semakin mendekat di atas mereka.
***

57 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 6
Awal Segala Kesusahan Paman Andrew

"LEPASKAN Lepaskan" pekik Polly.


"Aku bahkan tidak menyentuhmu" kata Digory.
Kemudian kepala mereka keluar dari mata air dan sekali lagi
kesunyian terang Hutan di Antara Dunia-dunia menyelimuti mereka.
Hutan itu terasa lebih kaya, hangat, dan damai daripada sebelumnya
setelah mereka mengalami sesak kematian dan reruntuhan di tempat
yang baru saja mereka tinggalkan. Kurasa, bila diberi kesempatan,
mereka bakal sekali lagi lupa akan siapa diri mereka dan dari mana
mereka datang, lalu berbaring menikmati ketenangan, setengah
tertidur, mendengarkan pepohonan tumbuh.
Tapi kali ini ada sesuatu yang membuat mata mereka terbuka selebar
mungkin. Segera setelah mereka menapakkan kaki ke rerumputan,
mereka mendapati bukan hanya mereka berdua yang ada di sana.
Sang ratu atau sang penyihir (terserah kalian mau memanggilnya
siapa) telah muncul bersama mereka, mencengkeram keras rambut
Polly. Itulah sebabnya Polly berteriak-teriak, "Lepaskan"
Ini membuktikan, secara tidak sengaja, satu hal lagi tentang cincin
yang belum diberitahukan Paman Andrew kepada Digory karena pria
itu sendiri belum mengetahuinya. Untuk melompat dari dunia ke
dunia dengan salah satu cincin itu, kau tidak perlu mengenakan atau
menyentuhnya sendiri, cukup menyentuh seseorang yang sedang
menyentuh cincin itu. Dengan begitu cincin-cincin tersebut bekerja
seperti magnet, dan semua orang tahu kalau kau mengangkat jarum
dengan magnet, jarum lain yang menyentuh jarum pertama juga akan
ikut terangkat.

58 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sekarang setelah kau melihatnya di hutan, Ratu Jadis tampak berbeda.
Dia kelihatan lebih pucat daripada sebelumnya, begitu pucat sehingga
nyaris tidak tersisa kecantikan pada dirinya. Dia juga membungkuk
dan tampak kesulitan bernapas, seolah udara di tempat itu
mencekiknya. Kedua anak itu tidak sedikit pun merasakan takut
padanya sekarang.
"Lepaskan Lepaskan rambutku," kata Polly.
"Mau apa kau sebenarnya?"
"Hei Lepaskan rambutnya. Sekarang juga," kata Digory.
Mereka berdua berbalik dan bergulat dengan Jadis. Mereka lebih kuat
daripada ratu itu dan hanya dalam hitungan detik telah memaksanya
melepaskan cengkeraman. Sang ratu mundur dengan langkah
terhuyung-huyung, terengahengah, ada ketakutan dalam matanya.
"Cepat, Digory" kata Polly. "Ganti cincin dan pergi ke mata air dunia
kita."
"Tolong Tolong. Kasihanilah aku" jerit sang penyihir dengan suara
lemah, tergopoh-gopoh mengejar mereka. "Bawalah aku bersama
kalian. Kalian tidak bisa meninggalkanku di tempat mengerikan ini.
Tempat ini akan membunuhku."
"Tapi ini sesuai logika negerimu," kata Polly penuh kebencian.
"Seperti ketika kau membunuh semua orang di duniamu sendiri. Ayo
cepat, Digory."
Mereka telah mengenakan cincin hijau mereka, tapi Digory berkata:
"Ah, sial Apa yang harus kita lakukan?"
Dia tidak bisa mencegah dirinya merasa agak kasihan pada sang ratu.
"Aduh, jangan begitu bodoh," kata Polly. "Aku berani bertaruh
sepuluh lawan satu dia hanya bersandiwara. Ayolah."

59 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kemudian kedua anak itu melompat ke dalam mata air menuju dunia
mereka. Untung kami membuat tanda, pikir Polly.
Namun ketika mereka melompat Digory merasakan jari telunjuk dan
ibu jari besar yang dingin menangkap telinganya. Dan ketika mereka
tenggelam dan sosok-sosok samar dunia kita mulai muncul,
cengkeraman jari telunjuk dan ibu jari itu kian kuat. Tampaknya
kekuatan sang penyihir mulai pulih. Digory meronta dan menendang-
nendang, tapi sama sekali tidak ada gunanya. Beberapa saat kemudian
mereka mendapati diri mereka berada di ruang kerja Paman Andrew.
Dan di sana berdirilah Paman Andrew sendiri, memandangi makhluk
menakjubkan yang telah dibawa Digory dari dunia lain.
Paman Andrew punya alasan kuat untuk terus menatap lekat. Digory
dan Polly juga melakukan hal yang sama. Tidak perlu diragukan sang
penyihir telah mengatasi rasa lemahnya, dan kini kalau ada orang
yang melihatnya di dunia kita, dengan berbagai benda lazim di
sekelilingnya, dia benar-benar bisa membuat orang itu menahan
napas. Di Charn dia tampak cukup mengancam, di London, dia
mengerikan. Dalam satu hal, mereka belumlah menyadari hingga kini
betapa besar tubuhnya.
"Nyaris bukan manusia" adalah yang dipikirkan Digory ketika dia
menatapnya, dan dia mungkin benar, karena beberapa orang bilang
ada darah raksasa dalam keluarga kerajaan Charn. Tapi bahkan tinggi
tubuhnya pun bukanlah apa-apa bila dibandingkan kecantikan,
keganasan, dan keliarannya. Dia kelihatan sepuluh kali lebih hidup
daripada sebagian besar orang yang bisa ditemui di London.
Paman Andrew menunduk-nunduk dan menggosok-gosok tangannya
dan tampak, kalau mau jujur, amat sangat ketakutan. Dia tampak
seperti makhluk kecil yang mengerut di samping sang penyihir.
Walaupun begitu, seperti yang dikatakan Polly nanti, ada semacam
kemiripan di antara wajah sang penyihir dan Paman Andrew, sesuatu
pada ekspresi mereka. Itulah ekspresi yang dimiliki semua penyihir
60 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
jahat, "Tanda" yang Jadis pernah katakan tidak bisa dia temukan pada
wajah Digory. Satu hal baik tentang melihat mereka berdua bersama-
sama adalah kau tidak akan pernah lagi takut pada Paman Andrew,
seperti kau tidak akan takut pada ulat setelah kau bertemu ular, atau
takut pada sapi kalau sudah bertemu banteng gila.
Huh sergah Digory dalam hati. Dia penyihir? Mendekati saja tidak.
Ratu inilah penyihir sesungguhnya.
Paman Andrew terus-menerus menggosok tangan dan menunduk. Dia
berusaha mengatakan sesuatu yang sangat sopan, tapi mulutnya
mengering sehingga tak bisa bicara. "Percobaannya" dengan cincin-
cincin itu, begitu dia menyebutnya, ternyata berbuah kesuksesan yang
lebih besar daripada harapannya; karena walaupun dia telah berkutat
dengan Sihir selama bertahun-tahun, dia selalu meninggalkan bahaya
yang datang (sejauh yang bisa dilakukan seseorang) pada orang lain.
Kejadian seperti ini tidak pernah dia alami sebelumnya.
Kemudian Jadis berkata, tidak terlalu keras, tapi ada sesuatu dalam
suaranya yang membuat seluruh ruangan bergetar. "Di mana sang
penyihir yang telah memanggilku ke dunia ini?"
"Ah—ah—Madam," Paman Andrew terperangah, "saya merasa
begitu bangga—sangat bahagia—kehormatan yang begitu tak
terduga—kalau saja saya punya kesempatan untuk membuat
persiapan—saya—saya—"
"Di mana penyihir itu, bodoh?" tanya Jadis.
"Sa-sayalah orangnya, Madam. Saya harap Anda mau memaafkan
segala—ngng—kelancangan yang mungkin dilakukan anak-anak
nakal ini. Saya pastikan tidak ada niatan untuk—"
"Kau?" kata sang ratu dengan suara yang lebih mengerikan. Lalu
dengan satu langkah lebar, dia menyeberangi ruangan, meraih
segenggam rambut beruban Paman Andrew dan menarik ke belakang

61 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kepalanya sehingga wajah pria itu mendongak ke wajahnya.
Kemudian dia memerhatikan wajahnya seperti yang dia lakukan
sebelumnya pada Digory di istana Charn. Paman Andrew terus
mengejap-ngejapkan mata dan menjilati bibirnya dengan gugup.
Akhirnya Jadis melepaskan pria itu, begitu mendadak sehingga dia
terempas ke dinding.
"Ternyata begitu," katanya penuh penghinaan, "kau memang
penyihir—atau semacamnya. Berdirilah, budak, dan jangan duduk
seolah sedang berbicara dengan orang yang sejajar denganmu.
Bagaimana kau bisa mengenal Sihir? Kau bukanlah bangsawan, aku
berani bersumpah."
"Yah—ah—mungkin memang bukan bila dipikir secara kaku," Paman
Andrew terbata-bata. "Tidak benar-benar bangsawan, Ma'am. Tapi
keluarga Ketterley adalah keluarga tua. Keluarga tua Dorsetshire,
Ma'am."
"Diam," kata sang penyihir. "Aku sudah lihat siapa dirimu. Kau
penyihir kecil murahan yang berpraktik dengan peraturan dan buku-
buku. Tidak ada Sihir sejati dalam darah dan hatimu. Khalayakmu
telah dimusnahkan di duniaku seribu tahun lalu. Tapi di sini aku akan
membiarkanmu menjadi pelayanku."
"Saya akan sangat bahagia—gembira bisa memberikan bantuan apa
pun—mendapat kekehormatan, saya bersungguh-sungguh."
"Diam Kau terlalu banyak bicara. Dengarkan tugas pertamamu. Aku
sudah melihat kita berada di kota besar. Siapkan segera untukku
kereta kuda, permadani terbang, naga yang telah terlatih, atau apa pun
yang biasa digunakan bangsawan di daratanmu. Lalu bawa aku ke
tempat-tempat aku bisa memperoleh pakaian, perhiasan, dan budak
yang cocok untuk posisiku. Besok aku akan memulai penjajahan
terhadap dunia."

62 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Sa-sa-saya akan memanggil kereta sewaan segera," Paman Andrew
tergagap.
"Stop," kata si penyihir, tepat pada saat Paman Andrew tiba di depan
pintu.
"Jangan pernah bermimpi berkhianat. Mataku bisa melihat menembus
tembok dan masuk ke pikiran manusia. Mataku akan menyertaimu ke
mana pun kau pergi. Pada tanda pertama ketidakpatuhan, aku akan
memasang mantra padamu supaya apa pun yang kaududuki akan
terasa seperti besi merah panas, dan setiap kali kau berbaring di
tempat tidur akan ada balok-balok es tak kasat mata di kakimu.
Sekarang pergi."
Pria tua itu pergi, tampak seperti anjing dengan buntut di antara dua
kaki belakangnya. Digory dan Polly kini ketakutan, Jadis mungkin
punya rencana untuk membalas apa yang terjadi di hutan itu. Tapi
ternyata dia tidak pernah mengungkitungkitnya, baik pada waktu itu
maupun nanti. Kurasa (dan Digory juga berpikir begitu) benaknya
sejenis yang sama sekali tidak bisa mengingat tempat sunyi itu.
Betapapun seringnya kau mengajaknya ke sana dan betapapun
lamanya kautinggalkan dia di sana, dia tetap tidak akan tahu apa-apa.
Kini ketika hanya bertiga dengan anak-anak itu, dia tidak
memedulikan keduanya. Dan ini memang sifatnya.
Di Charn dia tidak mengacuhkan Polly (hingga akhir) karena Digory-
lah yang ingin digunakannya. Sekarang setelah dia memiliki Paman
Andrew, dia tidak memedulikan Digory. Dugaanku sebagian besar
penyihir seperti itu. Mereka tidak tertarik pada benda atau orang
kecuali mereka bisa menggunakannya, mereka sangat praktis.
Jadi ada kesunyian selama semenit atau dua menit di ruangan itu.
Tapi kau bisa menebak dari cara Jadis mengentak-entakkan kaki di
lantai bahwa dia mulai tidak sabar.

63 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Akhirnya dia berkata, seolah pada dirinya sendiri, "Apa yang
dilakukan si tua bodoh itu? Seharusnya aku membawa pecut."
Dia berjalan keluar dari ruangan untuk mencari Paman Andrew tanpa
sekali pun melihat pada kedua anak itu, bahkan untuk sekilas.
"Fiuh" kata Polly, menyuarakan napas panjang lega. "Dan sekarang
aku harus pulang. Sudah larut sekali. Aku bisa pilek."
"Kalau begitu pulanglah, pulanglah secepat mungkin," kata Digory.
"Benar-benar mengerikan sang ratu ada di sini. Kita harus membuat
semacam rencana."
"Sekarang semua terserah pamanmu," kata Polly. "Dialah yang
memulai segala kekacauan dengan Sihir ini."
"Tetap saja, kau akan kembali, kan? Jangan lepas tangan, kau tidak
bisa meninggalkanku dalam kesulitan seperti ini."
"Aku akan pulang lewat terowongan," kata Polly agak dingin. "Itu
jalan tercepat. Dan kalau kau mau aku kembali, bukankah sebaiknya
kau meminta maaf?"
"Minta maaf?" seru Digory. "Wah wah, dasar anak perempuan
Memangnya apa yang telah kulakukan?"
"Oh, tidak ada yang penting tentu saja," kata Polly menyindir. "Hanya
nyaris membuat pergelangan tanganku terkilir di ruang patung lilin,
seperti anak berandal yang pengecut. Hanya memukul bel dengan
palu, seperti orang bodoh yang konyol. Hanya berbalik di hutan
sehingga dia punya kesempatan menangkap telingamu sebelum kita
melompat ke mata air dunia kita. Hanya itu."
"Oh," kata Digory, sangat terkejut. "Yah, baiklah, aku minta maaf.
Dan aku memang sangat menyesali kejadian di ruang patung lilin.
Nah, aku sudah minta maaf, kan? Dan sekarang, berbaik hatilah dan

64 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kembali lagi nanti. Kalau kau tidak kembali, aku akan terjerumus
dalam lubang gelap yang mengerikan."
"Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padamu. Justru
Mr Ketterley-lah yang akan duduk di kursi merah panas dan diganggu
es di tempat tidur, ya kan?"
"Bukan itu maksudku," kata Digory. "Aku benar-benar
mengkhawatirkan Ibu. Bagaimana kalau makhluk itu masuk ke
kamarnya? Ibu bisa mati ketakutan."
"Oh, begitu ya," kata Polly, dengan nada suara yang agak berbeda.
"Baiklah. Anggap ini kesepakatan kita. Aku akan kembali—kalau aku
bisa. Tapi aku harus pergi sekarang."
Kemudian dia merangkak melewati pintu kecil menuju terowongan.
Tempat gelap di antara kasau-kasau yang tampak begitu menarik dan
menggugah jiwa petualangan beberapa jam lalu kini tampak sangat
jinak dan membuat betah. Kita kini harus kembali pada Paman
Andrew. Jantung tua malangnya berdebar kencang saat dia tergopoh-
gopoh menuruni tangga loteng dan dia terus-menerus mengelap dahi
dengan saputangan. Saat dia mencapai kamar tidurnya, yang ada tepat
di bawah loteng, dia mengunci diri di dalamnya. Lalu tindakan
pertama yang dilakukannya adalah mengacak-acak lemari, mencari
botol dan gelas anggur yang selalu disembunyikan di sana supaya
tidak bisa ditemukan Bibi Letty. Dia mengisi gelas hingga penuh
dengan minuman orang dewasa yang memuakkan, lalu meminumnya
dalam satu tegukan. Kemudian dia menarik napas dalam-dalam.
"Astaga," dia berkata pada dirinya sendiri. "Aku benar-benar
terguncang. Ini sangat mengejutkan Di usiaku yang seperti ini"
Dia mengisi gelas kedua dan meminumnya juga, kemudian dia mulai
berganti pakaian. Kau mungkin belum pernah melihat pakaian seperti
itu, tapi aku bisa mengingatnya. Dia mengenakan kerah yang sangat
tinggi, mengilap, dan kaku, sejenis yang membuat dagumu terangkat
65 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
setiap saat. Dia memakai rompi berpola dan memasang jam emasnya
menyilang di depan. Dia memakai jas berekor terbaiknya, yang
disimpannya untuk pernikahan dan pemakaman. Dia mengeluarkan
topi tinggi terbaiknya dan menggosoknya hingga mengilap. Ada vas
penuh bunga di meja rias (diletakkan di sana oleh Bibi Letty). Dia
mengambil setangkai bunga dan memasukkannya ke lubang kancing.
Dia mengambil saputangan bersih (saputangan indah yang kini sudah
tidak bisa kaubeli) dari laci kiri dan membubuhinya dengan beberapa
tetes wewangian. Dia mengeluarkan kacamata tunggal, yang berpita
hitam tebal, dan memasangnya ke mata. Kemudian dia mematut diri
di cermin.
Anak-anak memiliki satu jenis kekonyolan, seperti yang sudah
kauketahui, dan orang dewasa punya jenis yang lain. Pada saat ini
Paman Andrew mulai bertingkah konyol dengan cara yang sangat
orang dewasa. Kini karena sang penyihir tidak lagi berada di ruangan
yang sama dengannya, dengan cepat dia lupa betapa wanita itu telah
membuatnya takut. Dia malah terus-menerus berpikir tentang
kecantikan luar biasa wanita itu. Dia berkali-kali berucap pada dirinya
sendiri,
"Wanita yang cantik sekali, Sir, cantik sekali. Makhluk luar biasa."
Entah bagaimana Paman Andrew juga lupa bahwa anak-anak itulah
yang membawa sang "makhluk luar biasa". Dia merasa seolah dia
dengan Sihir-nya sendirilah yang memanggilnya dari dunia tak
dikenal.
"Andrew, sobat," katanya pada dirinya sendiri saat bercermin, "kau
pria yang ketampanannya masih cukup terjaga untuk seseorang
seusiamu. Pria berpenampilan terhormat, Sir."
Jadi begini, si pria tua konyol itu benar-benar mulai membayangkan si
penyihir bakal jatuh cinta kepadanya. Dua gelas minuman tadi
mungkin yang menjadi penyebabnya, begitu juga pakaian terbaiknya.

66 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tapi dia, dilihat dari sisi mana pun, secongkak dan sekosong burung
merak, itulah sebabnya dia menjadi penyihir. Dia membuka kunci
kamarnya, turun ke lantai bawah, mengirimkan pelayan wanita untuk
mencari kereta sewaan (pada masa-masa itu semua orang memiliki
banyak pelayan) dan memeriksa ruang duduk. Di sana, seperti
dugaannya, dia mendapati Bibi Letty. Wanita itu sedang sibuk
memperbaiki kasur. Kasur diletakkan di lantai di dekat jendela dan
Bibi Letty berlutut di atasnya.
"Ah, Letitia sayangku," kata Paman Andrew, "aku—ah—harus pergi
keluar. Bisakah kau meminjamiku sekitar lima pound? Ada gadis
cantik yang ingin kutemani."
"Tidak, Andrew sayang," kata Bibi Letty dengan nada suaranya yang
pelan namun tegas, bahkan tanpa mendongak dari pekerjaannya. "Aku
sudah sering kali mengatakan padamu aku tidak akan meminjamimu
uang."
"Janganlah jadi begitu menyusahkan, sayangku," kata Paman Andrew.
"Ini penting sekali. Kau akan menempatkanku pada posisi yang amat
canggung bila kau tidak melakukannya."
"Andrew," kata Bibi Letty sambil menatap lekat wajahnya, "aku heran
kenapa kau tidak malu meminta uang dariku."
Ada cerita panjang membosankan ala orang dewasa di balik kata-kata
itu. Yang perlu kauketahui adalah Paman Andrew, dengan segala
"mengatasi masalah bisnis Letty tersayang demi dirinya", tidak
pernah melakukan pekerjaan apa pun, dan menciptakan tagihan besar
untuk brendi dan cerutu (yang harus berkali-kali dibayar Bibi Letty).
Semua ini telah membuat Bibi Letty jauh lebih miskin daripada
keadaannya tiga puluh tahun lalu.
"Gadis tersayangku," kata Paman Andrew, "kau tidak mengerti. Aku
harus melakukan beberapa pengeluaran tak terduga hari ini. Aku
harus menjamu seseorang. Ayolah, jangan menyulitkan begini."
67 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Dan kau, demi Tuhan, memangnya siapa yang akan kaujamu,
Andrew?" tanya Bibi Letty.
"Seorang—seorang tamu terhormat baru saja tiba."
"Terhormat omong kosong" kata Bibi Letty. "Tidak terdengar
deringan bel pintu dalam satu jam terakhir ini."
Tepat pada saat itu pintu mendadak terbuka lebar. Bibi Letty menoleh
dan terkejut melihat wanita bertubuh besar, berpakaian indah,
berlengan telanjang, dan bermata berkilat, berdiri di mulut pintu. Dia
sang penyihir.
***

68 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 7
Yang Terjadi di Pintu Depan

"HEI, budak, berapa lama aku harus menunggu kereta kudaku?"


bentak sang penyihir.
Paman Andrew berjalan menjauhinya. Sekarang ketika wanita itu
benar-benar hadir, segala pikiran konyol yang dimiliki Paman
Andrew saat bercermin langsung mengalir keluar dari benaknya. Tapi
Bibi Letty langsung berdiri dari berlututnya dan berjalan menuju
bagian tengah ruangan.
"Dan siapa wanita muda ini, Andrew, kalau boleh aku bertanya?"
tanya Bibi Letty dengan nada dingin.
"Orang asing terhormat—or-orang yang sangat penting," jawab
Paman Andrew terbata-bata.
"Omong kosong" kata Bibi Letty, kemudian dia menoleh ke si
penyihir, "Keluar dari rumahku sekarang juga, wanita tak tahu malu,
atau aku akan memanggil polisi."
Dia pikir si penyihir pasti seseorang yang keluar dari sirkus, lagi pula
dia tidak berkenan dengan wanita bertelanjang lengan.
"Siapa wanita ini?" tanya Jadis. "Berlututlah, makhluk rendah,
sebelum aku menghancurkanmu."
"Tidak boleh ada bahasa kasar di rumah ini kalau kau tidak keberatan,
wanita muda," kata Bibi Letty.
Dalam sekejap, begitu yang dirasakan Paman Andrew, sang ratu
meninggi hingga menjulang sekali. Api berkobar dari matanya. Dia
mengangkat tangannya dan melakukan gerakan juga menyuarakan
kata-kata sama yang sebelumnya telah mengubah gerbang istana

69 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menjadi debu. Tapi tidak ada yang terjadi kecuali Bibi Letty, yang
mengira kata-kata mengerikan itu dimaksudkan sebagai bahasa
Inggris biasa, berkata: "Sudah kuduga. Wanita ini mabuk Mabuk. Dia
bahkan tidak bisa bicara dengan jelas."
Saat itu pasti momen yang buruk bagi si penyihir, ketika dia
mendadak menyadari kekuatannya menjadikan orang debu, yang
benar-benar nyata di dunianya, tidak akan berguna di dunia kita. Tapi
dia bahkan tidak kehilangan nyali barang sedetik pun. Tanpa
membuang-buang waktu untuk memikirkan kekecewaannya, dia
membungkuk, menangkap Bibi Letty di leher dan mata kakinya,
mengangkatnya tinggi di atas kepala seolah Bibi Letty tidak lebih
berat daripada boneka, lalu melemparnya ke seberang ruangan.
Sementara Bibi Letty sedang berputar-putar di udara, si pelayan
wanita (yang sedang mengalami pagi indah nan seru) melongokkan
kepalanya ke pintu dan berkata, "Kalau Anda sudah siap, Sir,
keretanya sudah datang."
"Pimpin jalan, budak," kata si penyihir ke Paman Andrew. Pria itu
mulai menggumamkan sesuatu tentang "kekerasan yang tidak perlu—
harus benar-benar protes", tapi hanya dengan tatapan sekilas Jadis, dia
menjadi tak mampu berkatakata.
Jadis memaksanya keluar ruangan dan rumah. Digory berlari
menuruni tangga tepat untuk melihat pintu depan tertutup di belakang
mereka.
"Ya ampun" katanya. "Dia lepas di London. Dan dengan Paman
Andrew. Kirakira apa yang akan terjadi sekarang."
"Oh, Master Digory," kata si pelayan wanita (yang benar-benar
sedang mengalami hari yang indah), "entah bagaimana, saya rasa
Miss Ketterley telah melukai dirinya sendiri."

70 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Jadi mereka bergegas ke ruang duduk untuk mencari tahu apa yang
telah terjadi.
Kalau Bibi Letty telah terjatuh pada lantai papan atau bahkan pada
karpet, kurasa tulang-tulangnya bakal patah, tapi dengan
keberuntungan besar dia telah jatuh ke atas kasur. Bibi Letty adalah
wanita tua yang sangat kuat, para bibi sering kali begitu di masamasa
itu. Setelah mencium bau keras sal volatile dan duduk bergeming
selama beberapa menit, dia berkata dia tidak apa-apa kecuali
menderita beberapa memar. Tak lama kemudian dia mulai mengambil
alih situasi.
"Sarah," katanya pada si pelayan wanita (yang belum pernah
mengalami hari seperti ini), "pergilah segera ke kantor polisi dan
beritahu mereka ada orang gila berbahaya yang berkeliaran. Aku yang
akan membawakan sendiri makan siang Mrs Kirke."
Mrs Kirke adalah, tentu saja, ibu Digory.
Ketika makan siang ibunya telah diurus, Digory dan Bibi Letty
menyantap makan siang mereka. Setelah itu mereka berpikir keras.
Masalahnya adalah bagaimana cara mengembalikan si penyihir ke
dunianya sendiri, atau setidaknya keluar dari dunia kita, sesegera
mungkin. Apa pun yang terjadi, dia tidak boleh dibiarkan mengacau
di rumah. Ibu Digory tidak boleh melihatnya. Dan jika mungkin, dia
juga tidak boleh dibiarkan mengacau di London. Digory memang
tidak sedang berada di ruang duduk ketika si penyihir berusaha
"meledakkan" Bibi Letty, tapi dia telah melihatnya "meledakkan"
gerbang Charn. Jadi dia tahu kekuatannya yang mengerikan tapi
belum tahu wanita itu telah kehilangan kekuatan itu dengan datang ke
dunia kita.
Pada saat ini, sejauh yang bisa dibayangkannya, si penyihir mungkin
sedang meledakkan Istana Buckingham atau Gedung Parlemen,
hampir pasti mengubah sejumlah besar anggota kepolisian menjadi

71 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tumpukan kecil debu. Dan tampaknya tidak ada apa pun yang bisa dia
lakukan untuk mencegahnya.
Tapi cincin-cincin itu sepertinya bekerja seperti magnet, pikir Digory.
Kalau saja aku bisa menyentuhnya kemudian mengenakan cincin
kuningku, kami berdua bakal pergi ke Hutan di Antara Dunia-dunia.
Kira-kira dia bakal melemah lagi di sana, tidak ya? Apakah tempat itu
memberikan pengaruh tertentu padanya atau kejadian itu sekadar
akibat shock karena dia ditarik keluar dari dunianya? Tapi kurasa aku
harus mengambil risiko. Sekarang bagaimana caranya aku
menemukan monster itu? Kurasa Bibi Letty tidak akan
mengizinkanku keluar sebelum aku memberitahunya ke mana aku
akan pergi. Lagi pula uangku tidak lebih dari dua pence. Aku akan
membutuhkan lebih banyak uang untuk naik bus dan trem kalau
berniat mencarinya ke sekeliling London.
Tapi lagi-lagi aku sama sekali tidak punya bayangan ke mana dia
pergi. Kira-kira Paman Andrew masih bersamanya, tidak ya?
Tampaknya akhirnya hanya ada satu tindakan yang bisa dia lakukan,
yaitu menunggu dan berharap Paman Andrew dan si penyihir akan
kembali. Kalau mereka kembali, dia harus bergegas dan memegang si
penyihir lalu mengenakan cincin kuningnya sebelum si penyihir
sempat masuk ke rumah. Ini berarti dia harus mengawasi pintu depan
seperti kucing mengawasi lubang tikus, dia tidak berani meninggalkan
posisinya bahkan untuk sesaat. Jadi dia pergi ke ruang makan dan
"menempelkan wajahnya"— begitu biasanya istilah yang dipakai
orang—ke jendela. Jendelanya sejenis jendela busur yang dibangun
melengkung keluar bersama tembok hingga membentuk ceruk
bangunan sendiri dari dalam, melaluinya kau bisa melihat tangga
menuju pintu depan juga jalanan. Tidak akan ada orang yang
mencapai pintu depan tanpa sepengetahuanmu.
Kira-kira Polly sedang apa ya sekarang? pikir Digory. Dia terus
bertanya-tanya tentang ini dalam setengah jam pertama yang berlalu
72 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sangat lambat. Tapi kau tidak perlu ikut bertanya-tanya karena aku
akan memberitahumu. Polly datang terlambat untuk makan malam
dengan sepatu dan stoking basah kuyup. Dan ketika mereka bertanya
kepadanya habis ke mana saja dan apa saja yang telah dilakukannya,
Polly menjawab dia habis keluar bersama Digory Kirke.
Setelah ditanya lebih lanjut, Polly berkata dia membasahi kakinya di
mata air, dan bahwa mata air itu ada di hutan. Waktu ditanya di mana
letak hutan itu, dia menjawab tidak tahu. Ketika ditanya apakah hutan
itu berada di salah satu taman, Polly menjawab dengan cukup jujur
bahwa mungkin saja hutan itu ada di semacam taman. Dari jawaban-
jawaban itu, ibu Polly berkesimpulan anaknya telah pergi, tanpa
memberitahu siapa-siapa, ke suatu bagian London yang tidak
dikenalinya dan bermain di taman asing juga bersenang-senang
dengan melompat-lompat ke dalam genangan air.
Akibatnya Polly dimarahi karena telah sangat nakal dan dia tidak
akan diperbolehkan bermain dengan "anak Kirke" lagi kalau kejadian
seperti ini kembali terjadi. Kemudian dia diberi makan malam tanpa
bagian santapan yang menyenangkan dan disuruh tidur selama dua
jam penuh. Perlakuan seperti ini sering dialami seseorang pada masa-
masa itu.
Jadi sementara Digory menatap ke luar jendela ruang makan, Polly
terbaring di tempat tidur, tapi keduanya berpikir betapa lambatnya
waktu berjalan. Kalau menurutku pribadi, aku akan lebih suka berada
pada posisi Polly. Dia hanya perlu menunggu dua jamnya berakhir,
sedangkan Digory akan mendengar kereta kuda sewaan, gerobak
tukang roti, atau anak penjual daging di setiap beberapa menit dan
berpikir, si penyihir datang, kemudian mendapati dugaannya salah.
Lagi pula di antara beberapa peringatan keliru ini, yang rasanya
berjam-jam, jam berdetak terus dan lalat besar— terbang tinggi dan
jauh sehingga tak bisa diraih berdengung membentur jendela. Rumah

73 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Digory sejenis rumah yang bakal menjadi sangat sunyi dan
membosankan di sore hari dan selalu berbau daging domba.
Selama pengawasan dan penantian panjangnya sesuatu yang harus
kusebutkan terjadi, karena hal lain yang penting datang setelahnya.
Seorang wanita datang membawa buah anggur untuk ibu Digory, dan
karena pintu ruang makan terbuka, Digory tidak sengaja
mendengarkan pembicaraan Bibi Letty dan wanita itu di ruang depan.
"Anggurnya kelihatan lezat sekali" terdengar suara Bibi Letty. "Aku
yakin kalau ada yang bisa membuatnya merasa lebih baik, buah inilah
jawabannya. Tapi Mabel cilik tersayangku yang malang Aku khawatir
akan dibutuhkan buah dari tanah kebeliaan untuk membantunya
sekarang. Tidak ada apa pun dari dunia ini yang akan banyak
membantunya."
Kemudian mereka berdua mengecilkan volume suara mereka dan
mengatakan lebih banyak hal tanpa bisa didengar Digory. Kalau saja
dia sudah mendengar bagian tentang tanah kebeliaan itu beberapa hari
lalu dia akan berpikir Bibi Letty hanya bicara tanpa merujuk pada apa
pun secara khusus, seperti yang biasa dilakukan orang dewasa, dan ini
tidak akan menarik minat Digory. Barusan ini pun dia hampir berpikir
begitu. Tapi tiba-tiba berkelebat di benaknya bahwa dia kini tahu
(bahkan jika Bibi Letty tidak), memang ada dunia-dunia lain dan dia
sendiri telah berada di dalam salah satunya.
Bagaimanapun ada kemungkinan Tanah Kebeliaan memang ada di
suatu tempat. Apa pun mungkin saja ada. Mungkin ada buah di suatu
dunia lain yang bisa benar-benar menyembuhkan ibunya. Dan oh,
oh—yah, kau tahulah bagaimana rasanya kalau mulai mengharapkan
sesuatu yang sangat kauinginkan. Kau akan nyaris bertarung dengan
harapan itu karena terlalu indah untuk menjadi kenyataan, karena kau
telah begitu sering kecewa sebelumnya. Itulah yang Digory rasakan.

74 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tapi tidak ada gunanya berusaha bergumul dengan harapan ini.
Karena mungkin—mungkin saja benar-benar bisa jadi kenyataan.
Telah begitu banyak hal aneh yang terjadi. Dan dia punya cincin-
cincin ajaib. Pasti ada dunia-dunia yang bisa dia datangi lewat setiap
mata air di hutan itu. Dia bisa menjelajahi dan berburu obat di sana.
Kemudian—lbu akan sehat lagi.
Segalanya akan benar kembali. Digory sama sekali lupa mengawasi
sang penyihir. Tangannya sudah mulai bergerak ke saku tempat dia
menyimpan cincin kuning, ketika mendadak terdengar suara derap
langkah kuda.
Wah Apa itu? pikir Digory. Pasukan pemadam kebakaran? Kira-kira
rumah mana yang terbakar ya? Astaga, suaranya menuju ke arah sini.
Ya ampun, itu kan dia. Aku tidak perlu memberitahumu siapa yang
Digory maksudkan dengan dia. Pertama tampaklah kereta sewaan.
Tidak ada siapa-siapa di kursi sais. Di atapnya— tidak duduk, tapi
berdiri di atasnya—berayun dengan keseimbangan tubuh luar biasa,
ketika kereta melaju dengan kecepatan penuh di sudut jalan dengan
satu roda di udara—tampak sosok Jadis sang ratunya ratu dan Teror
Charn.
Giginya penuh terlihat, matanya bersinar layaknya api, dan rambut
panjangnya melambai di belakangnya seperti ekor komet. Dia
memecut kuda tanpa belas kasihan. Lubang hidung hewan itu lebar
dan merah, sisi-sisinya dikotori buih putih. Kuda itu berlari kencang
menuju pintu depan, melewati lampu tiang dengan jarak hanya seinci,
kemudian berdiri dengan kaki belakangnya. Kereta yang ditariknya
menabrak lampu tiang dan hancur menjadi beberapa bagian.
Sang penyihir, dengan lompatan menakjubkan, telah menghindar
tepat pada waktunya dan mendarat di punggung kuda. Dia
memperbaiki posisi menunggangnya dan mencondongkan tubuh ke
depan, membisikkan sesuatu pada telinga kuda itu.

75 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bisikan itu pastinya tidak dimaksudkan untuk menenangkan tapi
untuk membuatnya makin gila. Kuda itu berdiri dengan kaki belakang
lagi dan ringkikannya seperti jeritan. Kuda itu meronta, meringkik,
mengibas-ngibaskan kepala. Hanya pengendara luar biasa yang bisa
tetap berada di punggungnya. Sebelum Digory menenangkan napas,
cukup banyak hal lain mulai terjadi. Kereta kedua bergerak cepat,
dekat di belakang kereta yang pertama. Keluar dari dalamnya pria
gemuk bermantel panjang dan seorang polisi. Kemudian datang kereta
ketiga dengan dua polisi lagi di dalamnya.
Setelah itu datang sekitar dua puluh orang (sebagian besar anak laki-
laki petugas penyampai pesan) bersepeda, semuanya membunyikan
bel sepeda dan menyuarakan sorakan juga siulan. Terakhir datang
rombongan orang berjalan kaki: semua tampak terengah-engah karena
habis berlari, tapi tampak jelas sangat menikmati kejadian ini.
Jendela-jendela menjeblak terbuka di semua rumah di jalan itu dan
pelayan wanita maupun pria muncul di setiap pintu depan. Mereka
ingin melihat keramaian ini.
Sementara itu seorang pria tua berusaha keluar dari kereta kuda yang
pertama dengan tubuh masih gemetar. Beberapa orang bergegas
menghampiri untuk menolongnya, tapi karena satu orang menariknya
ke satu arah dan orang yang lain menariknya ke arah lain, mungkin
dia bakal bisa keluar dari kereta itu jauh lebih cepat bila tanpa
bantuan.
Digory menebak pria tua itu mungkin Paman Andrew tapi wajahnya
tidak terlihat. Topi tinggi yang dikenakan orang itu melesak menutupi
wajahnya. Digory berlari keluar dan bergabung dengan kerumunan
orang.
"Itu wanitanya, itu dia wanitanya," teriak sang pria gemuk sambil
menunjuk Jadis.

76 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Lakukan tugasmu, Pak Polisi. Perhiasan seharga ratusan dan ribuan
pound telah diambilnya dari tokoku. Lihatlah rantai mutiara di
lehernya. Itu milikku. Dia bahkan juga meninju mataku."
"Itu dia, Pak," kata salah satu orang dalam kerumunan. "Memar di
mata yang paling bagus yang pernah saya lihat. Pasti diperlukan
keahlian yang luar biasa untuk melakukannya. Wah Berarti dia kuat
sekali"
"Sebaiknya Anda mengompres memar itu dengan daging steak
mentah, Mister, itu pengobatan paling manjur," kata bocah tukang
daging.
"Tenang tenang," kata petugas polisi yang berpangkat paling tinggi,
"ada kekacauan apa ini?"
"Sudah kubilang dia—" mulai si pria gemuk, ketika seseorang
berteriak: "Jangan biarkan pria tua di kereta itu melarikan diri. Dia
yang menyuruh si wanita melakukan semua ini."
Si pria tua, yang kini sudah pasti Paman Andrew, baru saja selesai
berhasil berdiri dan sedang rnenggosok-gosok memarnya.
"Kalau begitu," kata si petugas polisi sambil menoleh ke arahnya,
"apa maksud semua ini?"
"Hmph—pomi—shomf," terdengar suara Paman Andrew dari balik
topi.
"Hentikan sekarang juga," kata si polisi tegas. "Ini bukan saatnya
bergurau. Segera lepaskan topi itu"
Permintaan ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Tapi
setelah Paman Andrew bergulat sia-sia dengan topinya selama
beberapa saat, dua polisi lain menahan pinggirannya dan menarik
paksa topi itu.

77 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Terima kasih, terima kasih," kata Paman Andrew dengan suara
lemas. "Terima kasih. Astaga, aku benar-benar terguncang. Kalau saja
seseorang bisa memberiku segelas brendi—"
"Saya harap sekarang Anda bersedia berbicara pada saya," kata sang
petugas polisi, sambil mengeluarkan buku notes yang sangat besar
dan pensil yang sangat kecil. "Apakah Anda bertanggung jawab atas
wanita muda itu?"
"Awas" teriak beberapa suara, dan si polisi melompat ke belakang
tepat pada waktunya.
Kuda tadi telah menendang ke arahnya, tendangan yang mungkin bisa
membunuhnya. Kemudian sang penyihir mengarahkan kuda itu
supaya berputar sehingga dia bisa menghadap ke kerumunan orang.
Kaki belakang kuda berada di trotoar. Wanita itu membawa pisau
panjang berkilap di tangannya dan sibuk membebaskan kuda dari
puing-puing kereta.
Sepanjang waktu ini Digory berusaha mencari posisi supaya dia bisa
menyentuh sang penyihir. Ini tidak mudah karena, di sisi yang paling
dekat dengannya, ada terlalu banyak orang. Dan untuk memutar
menuju sisi yang lain, dia harus melewati jarak tendangan kuda dan
pagar suatu "area" yang mengelilingi rumahnya. Rumah keluarga
Ketterley punya ruang bawah tanah. Kalau kau tahu apa pun tentang
kuda, terutama bila kau bisa melihat keadaan kuda itu pada saat
tersebut, kau akan menyadari ini tindakan yang menggelikan. Digory
tahu banyak tentang kuda, tapi dia merapatkan gigi dan bersiap berlari
cepat segera setelah melihat kesempatan yang terbuka.
Seorang pria berwajah merah dan mengenakan topi bulat kini telah
berhasil menepis orang-orang hingga ke bagian depan kerumunan.
"Hei Pak Polisi," panggilnya, "itu kudaku yang dikendarainya, begitu
juga kereta yang dia buat jadi serpihan kayu."
"Satu-satu, Bapak-bapak, saya mohon satusatu," kata si polisi.
78 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Tapi tidak ada waktu lagi," ucap si kusir kereta. "Aku lebih
mengenal kuda itu dibanding dirimu. Kuda itu bukan kuda biasa.
Ayahnya kuda pemimpin pasukan di kaveleri. Dan kalau wanita muda
itu terus-menerus membuatnya kesal, bakal terjadi pembunuhan di
sini. Biarkan aku mendekatinya."
Si petugas polisi jelas-jelas merasa lega karena punya alasan kuat
untuk menjauhi si kuda. Sang kusir kereta melangkah mendekat,
menatap Jadis, dan berkata tidak dengan nada yang tidak ramah:
"Sekarang, Missie, biarkan aku memegang kepalanya, segeralah kau
turun. Kau kan seorang lady, dan kau tidak mau segala kekasaran ini
sampai melukaimu, kan? Kau pastinya mau pulang, minum segelas
teh hangat, dan berbaring tenang. Kau akan merasa lebih baik setelah
itu."
Di saat yang sama dia mengulurkan tangannya ke kepala si kuda
sambil mengucapkan, "Tenang, Strawberry, teman lama. Tenang ya."
Lalu untuk pertama kalinya sang penyihir berbicara.
"Budak" terdengar suara dingin dan lantangnya, berdering keras di
atas semua suara lain. "Budak, jangan sentuh kuda perang kami yang
mulia. Kami Maharani Jadis."
***

79 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 8
Pertarungan di Lampu Tiang

"HO Jadi kau Maharani, ya? Kita lihat saja nanti," kata sebuah suara.
Kemudian suara lain berkata, "Tiga sorakan untuk Maharatu kota
Colney Heath" dan sejumlah suara lain bergabung.
Wajah sang penyihir menjadi cerah dan dia membungkuk sedikit.
Tapi sorakan itu kemudian mereda dan berganti menjadi ledakan
tawa. Sang penyihir pun menyadari orang-orang itu hanyalah
meledeknya. Ekspresinya mulai berubah dan dia mengganti pegangan
pisaunya ke tangan kiri. Kemudian, tanpa diduga-duga, dia
melakukan sesuatu yang begitu mengerikan untuk dilihat.
Dengan ringan dan mudah, seolah tindakan itu tindakan paling biasa
di dunia, dia meluruskan lengan kanannya dan memutuskan salah satu
lengan besi tiang lampu itu. Kalaupun mungkin dia telah kehilangan
sebagian kemampuan sihirnya di dunia kita, dia belum kehilangan
kekuatannya. Dia bisa mematahkan batang besi seolah benda itu
hanyalah sebatang gula-gula. Dia melemparkan senjata barunya di
udara, menangkapnya lagi, mengayun-ayunkannya, dan menyuruh
kudanya maju.
"Sekarang kesempatanku," pikir Digory.
Dia buru-buru berjalan ke antara kuda dan pagar lalu mulai
melangkah maju. Kalau saja hewan itu mau bergeming sebentar saja,
dia mungkin bakal bisa menangkap mata kaki sang penyihir.
Saat bergegas, dia mendengar suara runtuh yang mengancam dan
entakan. Sang penyihir telah menghantamkan batang besi itu ke helm
kepala polisi, pria itu terjatuh seperti pin bola boling.

80 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Cepat, Digory. Ini harus dihentikan," kata sebuah suara di
sampingnya. Ternyata Polly yang berkata begitu. Gadis kecil itu
segera datang begitu diperbolehkan bangun dari tempat tidur.
"Kau memang setia," kata Digory. "Berpegang eratlah padaku. Kau
harus menyentuh cincinmu. Yang kuning, ingat. Dan jangan kaupakai
sebelum aku berteriak."
Terdengar suara hantaman kedua dan satu lagi polisi tergeletak.
Terdengar teriakan marah dari kerumunan, "Hentikan dia. Ambil batu
dari trotoar. Panggil pasukan bersenjata."
Tapi sebagian besar dari mereka berusaha sebisa mungkin menjauh.
Tapi si kusir kereta yang pastinya orang paling berani dan baik hati di
sana, tetap berada di dekat kudanya, sambil berkali-kali menunduk
menghindari ayunan batang besi. Dia masih berusaha menangkap
kepala Strawberry.
Kerumunan orang mencemooh dan berteriak lagi. Sebuah batu
berdesing melewati kepala Digory. Kemudian terdengar suara sang
penyihir, keras dan jelas seperti bel besar, dan kedengarannya seolah
dia hampir bahagia untuk pertama kalinya.
"Sampah Kalian akan membayar besar untuk ini kalau aku sudah
menguasai dunia kalian. Tidak satu pun batu di kota kalian yang akan
tersisa. Aku akan membuat kota ini seperti Charn, Felinda, Solis,
seperti Bramandin."
Digory akhirnya menangkap mata kakinya. Dia menendang berusaha
melepaskan diri dan memukul mulut Digory. Karena kesakitan, anak
itu melepaskan pegangannya. Bibirnya terluka dan mulutnya penuh
darah. Dari suatu tempat yang sangat dekat, terdengar suara Paman
Andrew dalam semacam teriakan yang bergetar.
"Madam—nona muda—demi Tuhan—kendalikan dirimu."

81 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Digory kembali berusaha mencengkeram mata kakinya, dan sekali
lagi pegangannya dilepaskan. Semakin banyak orang yang tergeletak
karena ayunan batang besi. Digory mencoba untuk ketiga kalinya,
menangkap mata kaki sang penyihir, memegangnya erat-erat,
berteriak ke Polly, "Sekarang" kemudian— ah, syukurlah. Wajah-
wajah marah dan ketakutan menghilang. Suara-suara marah dan
ketakutan lenyap.
Semua kecuali Paman Andrew. Dekat di samping Digory dalam
kegelapan, suaranya terus melengking, "Oh, oh, apakah ini
halusinasi? Apakah ini akhir zaman? Aku tidak tahan. Ini tidak adil.
Aku tidak pernah berniat menjadi penyihir. Semua ini
kesalahpahaman. Semua ini salah ibu angkatku, aku harus protes.
Dalam kondisi kesehatanku yang seperti ini pula. Aku anggota
keluarga Dorsetshire yang terhormat."
Sial pikir Digory. "Kita tidak bermaksud membawanya. Bagus, hebat
sekali. Kau di sana, Polly?"
"Ya, aku di sini. Berhentilah berontak."
"Aku tidak berontak," Digory mulai berkata, tapi sebelum bisa
berbicara lebih lanjut, kepala mereka bersentuhan dengan sinar
matahari hijau yang hangat di hutan.
Dan ketika mereka keluar dari mata air, Polly berteriak: "Oh, lihat
Kita membawa serta kuda tua itu. Juga Mr Ketterley. Juga si kusir
kereta. Ini kacau sekali"
Segera setelah menyadari dia sekali lagi berada di hutan itu, sang
penyihir memucat dan membungkuk hingga wajahnya menyentuh
surai kuda yang dinaikinya. Kau bisa melihat dia merasa sakit luar
biasa. Paman Andrew gemetaran.
Tapi Strawberry, si kuda, menggeleng-geleng, mengeluarkan
ringkikan ceria, dan tampak merasa lebih baik. Hewan itu menjadi

82 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tenang untuk kali pertama sejak Digory melihatnya. Telinganya yang
tadinya terbaring rata di kepala, kini telah berada di posisi biasa dan
di matanya terlihat semangat.
"Bagus, teman tua," kata si kusir kereta sambil menepuk-nepuk leher
Strawberry. "Begitu lebih baik. Tenanglah."
Strawberry melakukan tindakan yang sangat alami di dunia. Karena
haus (tidak heran juga bila dia merasa begitu) dia berjalan perlahan
menuju mata air terdekat dan masuk ke dalamnya untuk minum.
Digory masih memegangi mata kaki sang penyihir dan Polly
memegang tangan Digory. Salah satu tangan kusir kereta ada pada
Strawberry. Dan Paman Andrew, masih gemetaran, baru saja
memegang tangan kusir kereta yang satu lagi.
"Cepat," kata Polly, dengan wajah penuh arti ke Digory. "Hijau"
Jadi si kuda tidak pernah mendapatkan minumannya. Seluruh
rombongan itu malah mendapati diri mereka tenggelam ke kegelapan.
Strawberry meringkik, Paman Andrew merintih. Digory berkata,
"Tadi kebetulan sekali."
Ada keheningan sesaat. Kemudian Polly berkata, "Bukankah
seharusnya kita sudah sampai sekarang?"
"Kita memang tampaknya berada di suatu tempat," kata Digory.
"Setidaknya aku berdiri di atas sesuatu yang padat."
"Wah, setelah dipikir-pikir, aku juga begitu," kata Polly. "Tapi kenapa
begitu gelap di sini?Ah, menurutmu kita masuk ke mata air yang
salah?"
"Mungkin ini memang Charn," kata Digory. "Hanya saja kita kembali
saat tengah malam."
"Ini bukan Charn," terdengar suara sang penyihir. "Ini dunia yang
kosong. Ini Tiada."

83 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dan memang keadaannya seperti Tiada. Tidak ada bintang. Suasana
begitu gelap sehingga mereka sama sekali tidak bisa saling melihat
dan tidak ada bedanya apakah kau memejamkan atau membuka mata.
Di bawah kaki mereka ada sesuatu yang dingin dan datar yang
mungkin saja tanah, tapi jelas tidak ada rumput atau pohon. Udaranya
dingin dan kering, juga tidak ada angin.
"Kehancuran telah datang ke atasku," kata sang penyihir dengan suara
tenang yang namun mengerikan.
"Ah, jangan berkata begitu," Paman Andrew merepet. "Nona muda,
kumohon jangan mengatakan hal-hal seperti itu. Tidak mungkin
seburuk itu keadaannya. Ah—kusir kereta—pria baik—apakah
kebetulan kau membawa botol berisi minuman keras? Tetesan
semangat itulah yang kita butuhkan."
"Sudahlah, sudahlah," terdengar suara si kusir. Suaranya tegas dan
keras. "Tetaplah tenang, semua, itulah yang selalu kukatakan. Tidak
ada yang tulangnya patah, kan? Bagus. Yah, kalau begitu ada sesuatu
yang bisa langsung disyukuri, dan itu lebih daripada yang bisa
diperkirakan siapa pun setelah terjatuh sedalam ini. Nah, kalau kita
terjatuh ke dalam pekerjaan penggalian atau semacamnya—seseorang
akan datang dan segera mengeluarkan kita, lihat saja. Dan kalau kita
sudah mati—yang tidak kumungkiri bisa saja terjadi—yah, kita harus
mengingat bahwa lebih banyak hal buruk bisa terjadi di lautan dan
seseorang memang harus mati suatu saat. Tidak ada yang perlu
ditakutkan kalau orang itu telah menjalani hidup dengan semestinya.
Kalau kau bertanya padaku, kurasa tindakan terbaik yang bisa kita
lakukan untuk melewatkan waktu adalah menyanyikan himne."
Dan dia benar-benar melakukannya. Dia langsung menyanyikan
himne panen Thanksgiving, segala syair tentang hasil tanam telah
"dipanen dengan baik". Lagu itu sangat tidak cocok dengan tempat
yang rasanya tidak pernah ditumbuhi apa pun sejak permulaan waktu,
tapi lagu itulah yang paling bisa diingatnya. Kusir itu punya suara
84 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
bagus dan Digory juga Polly ikut bernyanyi, suasana jadi sangat ceria.
Paman Andrew dan sang penyihir tidak bergabung.
Ketika mendekati akhir himne, Digory merasa seseorang menarik
sikunya. Dan dari bau brendi juga cerutu yang keras, serta pakaian
mewah yang dikenakan, Digory memutuskan orang itu pasti Paman
Andrew. Paman Andrew menariknya menjauhi yang lain dengan hati-
hati.
Saat mereka sudah agak jauh, pria tua itu memajukan bibirnya begitu
dekat ke telinga Digory sehingga terasa menggelitik, lalu dia berbisik:
"Sekarang, bocah. Pakai cincinmu. Ayo pergi dari sini."
Tapi sang penyihir punya telinga yang bagus. "Bodoh" terdengar
suaranya dan dia melompat turun dari kuda. "Apakah kau lupa aku
bisa mendengar pikiran manusia? Lepaskan anak itu. Kalau kau
berniat berkhianat, aku akan melakukan balas dendam yang begitu
kejam kepadamu dengan cara yang belum pernah kaudengar ada di
semua dunia sejak awal zaman."
"Dan," Digory menambahkan, "kalau kau berpikir aku orang yang
jahat sehingga tega meninggalkan Polly—juga kusir kereta—serta
kudanya—di tempat seperti ini, kau salah besar."
"Kau benar-benar anak kecil yang nakal dan tidak sopan," kata Paman
Andrew.
"Sstt" kata si kusir kereta. Mereka semua mendengarkan.
Dalam kegelapan, akhirnya sesuatu terjadi. Sebuah suara mulai
bernyanyi. Suaranya terdengar jauh sekali dan Digory mendapati sulit
menentukan dari arah mana datangnya. Terkadang suara itu seperti
datang dari segala arah sekaligus. Terkadang dia hampir mengira
suara itu keluar dari tanah di bawah mereka. Nada-nada rendahnya
cukup dalam untuk menjadi suara bumi itu sendiri. Tidak ada kata-
kata. Bahkan nyaris tidak ada nada. Tapi suara itu, tak ada
85 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
bandingannya, suara terindah yang pernah dia dengar. Begitu indah
sehingga dia nyaris tidak tahan mendengarnya.
Si kuda tampaknya juga menyukai suara itu, hewan tersebut
mengeluarkan semacam ringkikan yang bakal disuarakan semua kuda
jika setelah bertahun-tahun menjadi kuda kereta sewaan, dia
mendapati dirinya kembali berada di lapangan luas tempatnya
bermain semasa menjadi anak kuda dulu, melihat seseorang yang
diingat dan dicintainya datang menyeberangi lapangan untuk
membawakan sebongkah gula.
"Wow" kata si kusir kereta. "Indah sekali, ya?"
Kemudian dua keajaiban terjadi di saat yang bersamaan. Salah
satunya adalah suara itu tiba-tiba diikuti suara-suara lain, lebih
banyak suara daripada yang bisa kauhitung. Semua suara baru itu
berpadu harmonis dengan suara pertama, tapi nada-nadanya lebih
tinggi: suara-suara dingin, menggelitik, keperakan.
Keajaiban kedua adalah kekelaman di atas, secara sekaligus, diterangi
bintangbintang. Bintang-bintang itu tidak keluar perlahan dan satu per
satu, seperti yang biasa terjadi pada suatu malam di musim panas.
Pada suatu detik tidak ada apa pun di sana kecuali kegelapan, di detik
berikutnya ribuan, ribuan titik cahaya muncul keluar—bintang-
bintang tunggal, konstelasi, dan planet-planet, lebih terang dan besar
daripada yang ada di dunia kita. Tidak ada awan. Bintang-bintang
baru dan suara-suara baru itu dimulai pada saat yang bersamaan.
Kalau kau ikut melihat dan mendengarnya, seperti yang dialami
Digory, kau akan merasa sangat yakin bintang-bintang itulah yang
bernyanyi, dan suara pertamalah, suara yang dalam tadi, yang
membuat bintang-bintang itu muncul dan bernyanyi.
"Luar biasa" kata si kusir kereta. "Aku akan jadi pria yang lebih baik
sepanjang hidupku kalau aku tahu ada yang seperti ini."

86 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Suara di bumi kini semakin keras dan lantang, tapi suara-suara di
langit, setelah bernyanyi keras bersamanya, mulai melemah. Dan kini
sesuatu yang lain sedang terjadi. Jauh sekali, di bawah kaki langit,
langit mulai berubah warna menjadi abu-abu. Angin kecil, sangat
segar, mulai bertiup. Langit, di satu tempat itu, perlahan tapi pasti
memucat.
Kau bisa melihat sosok-sosok bukit berdiri hitam membelakanginya.
Sepanjang waktu itu suara terus bernyanyi. Tak lama kemudian ada
cukup cahaya bagi mereka untuk melihat wajah satu sama lain.
Mulut si kusir dan kedua anak itu terbuka dan mata mereka bersinar,
mereka menyerap suara luar biasa itu, sepertinya suara tersebut
mengingatkan mereka akan sesuatu. Mulut Paman Andrew juga
terbuka, tapi bukan karena kagum. Dia tampak seolah dagunya
sekadar terjatuh dari sisa wajahnya yang lain, bahunya membungkuk
dan lututnya gemetaran. Dia tidak menyukai suara itu. Kalau dia bisa
menghindarinya dengan merangkak masuk ke lubang tikus, dia pasti
akan melakukan itu.
Tapi sang penyihir tampak, entah bagaimana, paling memahami
musik itu daripada siapa pun di sana. Mulutnya tertutup, bibirnya
rapat, dan jemarinya erat tergenggam. Sejak lagu itu dimulai dia telah
merasa seluruh dunia ini dipenuhi Sihir yang berbeda dengan
miliknya dan lebih kuat. Dia membenci ini. Dia akan menghancurkan
seluruh dunia ini, atau semua dunia yang ada, menjadi
serpihanserpihan, kalau tindakan itu akan bisa menghentikan
nyanyian tersebut.
Si kuda berdiri dengan kedua telinga tegak dan berkedut-kedut.
Sesekali hewan itu mendengus dan mengentakkan kaki ke tanah. Dia
tidak lagi kelihatan seperti kuda kereta sewaan yang tua dan lelah,
sekarang kau bisa amat percaya ayahnya pernah memimpin
pertempuran.

87 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Langit timur berubah dari putih ke merah muda, dan dari merah muda
ke emas. Suara itu naik dan naik, sampai seluruh udara bergetar
bersamanya. Dan ketika suara itu berkembang menjadi suara paling
kuat dan mulia yang pernah diperdengarkan, sang mentari terbit.
Digory belum pernah melihat matahari seperti itu. Matahari di atas
reruntuhan Charn tampak lebih tua daripada matahari dunia kita, yang
ini tampak lebih muda. Kau bisa membayangkan matahari itu tertawa
bahagia saat terus naik di langit. Dan ketika sinarnya menerangi
daratan, para penjelajah itu bisa melihat untuk kali pertama tempat
apa yang mereka kunjungi.
Sebuah lembah yang dibelah sungai lebar, deras, dan mengalir ke
timur menuju mentari. Di sebelah selatan ada pegunungan, di sebelah
utara ada perbukitan yang lebih rendah. Tapi lembah itu hanya terdiri
atas tanah, batu, dan air. Tidak ada pohon, sesemakan, tidak sebatang
rumput pun yang terlihat. Tanahnya terdiri atas banyak warna: segar,
panas, dan tegas. Tanahnya membuat kau merasa bersemangat,
sampai kau melihat si penyanyi itu sendiri, setelahnya kau akan
melupakan segalanya.
Si penyanyi adalah singa. Besar, berbulu lebat, dan bercahaya, hewan
itu berdiri menghadap matahari terbit. Mulutnya terbuka lebar
menyanyikan lagu dan dia berdiri sekitar tiga ratus meter jauhnya.
"Ini dunia yang mengerikan," kata sang penyihir. "Kita harus segera
pergi. Siapkan Sihir."
"Aku setuju denganmu, Madam," kata Paman Andrew. "Tempat yang
sangat tidak menyenangkan. Sama sekali tidak beradab. Kalau saja
aku lebih muda dan membawa senjata—"
"Astaga" seru si kusir kereta. "Kau tidak berpikir untuk
menembaknya, kan?"
"Lagi pula siapa yang bisa berpikir begitu?" kata Polly.

88 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Siapkan Sihir, pria tua bodoh," kata Jadis.
"Tentu saja, Madam," kata Paman Andrew licik. "Aku harus
membiarkan kedua anak ini menyentuhku. Pakai cincin pulangmu
segera, Digory." Dia ingin pergi tanpa sang penyihir.
"Oh, jadi sihirmu cincin, ya?" teriak Jadis. Dia bakal memasukkan
tangannya ke saku Digory sebelum kau bisa mengucapkan apa pun,
tapi Digory menarik Polly dan berseru:
"Awas. Kalau salah satu dari kalian bahkan mendekat barang seinci
pun, kami berdua akan menghilang dan kalian akan ditinggalkan di
sini untuk selamalamanya. Ya, aku punya cincin di sakuku yang bisa
membawaku dan Polly pulang. Dan lihat Tanganku siap meraihnya.
Jadi jaga jarak kalian. Aku menyesal dengan nasibmu," (dia melihat
ke arah kusir kereta) "dan kudamu, tapi tak ada yang bisa kulakukan.
Sedangkan kalian berdua," (dia menatap Paman Andrew dan sang
ratu) "kalian berdua kan penyihir, jadi kalian pasti bahagia hidup
bersama."
"Tahan suara kalian, semuanya," kata si kusir. "Aku ingin
mendengarkan musiknya."
Karena kini lagu telah berubah.
***

89 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 9
Membangkitkan Narnia

SANG SINGA berderap maju dan mundur di daratan kosong itu


sambil menyanyikan lagu barunya. Kali ini lebih halus dan bernada
daripada lagu yang dia gunakan untuk memanggil bintang dan
matahari. Musiknya lembut dan mengalir. Dan saat dia berjalan
sambil bernyanyi, lembah menghijau karena rumput. Rumput
mengalir dari si singa seperti mata air. Rumput menyapu sisi-sisi
bukit seperti ombak.
Dalam beberapa menit rumput merayapi lereng-lereng rendah
pegunungan yang jauh, membuat dunia baru itu lebih lembut setiap
saat. Angin sepoi bisa didengar menggemeresikkan rerumputan. Tak
lama kemudian ada benda lain selain rumput. Lereng-lereng tinggi
menggelap karena sesemakan heather. Bongkahan tumbuhan yang
lebih kasar dan berperdu muncul di lembah.
Digory tidak tahu apa tumbuhan itu sampai salah satunya mulai
tumbuh di dekatnya. Tumbuhan itu kecil dan berpaku-paku, lusinan
batangnya mencuat keluar, ditutupi daun, dan tumbuh semakin besar
sekitar satu inci setiap dua detik. Ada lusinan tumbuhan ini di
sekelilingnya sekarang. Ketika tumbuhan-tumbuhan itu nyaris
setinggi tubuhnya, Digory melihat apa sebenarnya benda-benda
tersebut.
"Pohon" dia berseru.
Yang menyebalkan, seperti yang Polly katakan setelah itu, adalah kau
tidak dibiarkan dalam ketenangan untuk memerhatikan kejadian ini.
Tepat setelah Digory berkata, "Pohon" dia harus melompat karena
Paman Andrew telah menyelinap ke dekatnya lagi dan berniat
mencopet isi sakunya. Tindakan ini sebenarnya tidak akan membantu

90 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Paman Andrew kalaupun dia berhasil, karena pria itu mengincar saku
tangan kanan. Dia masih mengira cincin hijau adalah cincin "pulang".
Tapi tentu saja Digory tidak mau kehilangan cincin itu juga.
"Stop" teriak sang penyihir. "Mundur. Tidak lebih jauh lagi. Kalau
ada yang bahkan berdiri sejauh sepuluh langkah dari satu pun anak
itu, aku akan memecahkan kepalanya."
Dia mengacungkan batang besi yang telah dipatahkan dari lampu
tiang di tangannya, siap melempar. Entah bagaimana tidak ada yang
ragu dia bakal melempar tepat sasaran.
"Jadi" katanya lagi. "Kau berniat kabur ke duniamu sendiri dengan
anak itu dan meninggalkanku di sini."
Emosi Paman Andrew akhirnya menguasai rasa takutnya. "Ya,
Ma'am, aku memang berniat begitu," katanya. "Tentu saja aku berniat
begitu. Lagi pula ini hakku. Aku telah dipermalukan dan diperlakukan
dengan kejam. Aku telah sebisanya berusaha menunjukkan sopan
santun. Dan apa balasanku? Kau telah merampok—aku harus
mengulang kata ini—merampok toko perhiasan yang sangat terkenal.
Kau telah bersikeras supaya aku menghiburmu dengan makan siang
yang amat sangat mahal, belum lagi mewah, walaupun aku jadi
terpaksa menggadaikan jam dan rantaiku untuk melakukan itu (dan
biar kuberitahu saja ya, Ma'am, tidak seorang pun dari keluarga kami
yang punya kebiasaan mengunjungi toko pegadaian, kecuali sepupuku
Edward, dan dia berada di Yeonmary). Selama santapan yang tak bisa
dicerna itu—aku merasakan pengaruhnya yang terburuk tepat pada
saat ini—perilaku dan percakapanmu menarik perhatian yang tidak
diinginkan dari semua orang yang ada di sana. Aku merasa telah
dipermalukan secara publik. Aku tidak akan bisa menunjukkan
wajahku di restoran itu lagi. Kau telah menyerang petugas polisi. Kau
telah mencuri—"

91 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Oh, diamlah, pria tua, kumohon diamlah," kata kusir kereta. "Lebih
baik melihat dan mendengar yang sedang terjadi sekarang. Jangan
bicara."
Dan memang banyak yang bisa dilihat dan didengar saat itu. Pohon
yang telah diperhatikan Digory kini sudah tumbuh menjadi pohon
beech dewasa yang cabangcabangnya berayun lembut di atas kepala
anak itu. Mereka kini berdiri di atas rumput hijau sejuk yang dihiasi
bunga daisy dan buttercup. Lebih jauh sedikit, di sepanjang tepi
sungai, pohon willow tumbuh. Di sisi lain bermunculan bunga-bunga
currant, lilac, mawar liar yang tumbuh saling melilit, dan dipagari
sesemakan rhododendron. Si kuda mencabik sejumput rumput segar
yang lezat.
Sepanjang waktu itu lagu terus berlanjut dan sang singa bergerak
anggun, mondarmandir, berjalan maju-mundur. Yang agak
mengancam adalah pada setiap belokan dia kian mendekat. Polly
mendapati lagu itu menjadi semakin menarik karena dia pikir dia
mulai bisa melihat hubungan antara musik itu dan berbagai hal yang
sedang terjadi.
Ketika sederet pohon fir gelap muncul pada tebing sekitar seratus
meter dari mereka, dia merasa pohon-pohon fir itu berhubungan
dengan seseri nada dalam dan panjang yang dinyanyikan sang singa
sedetik lalu. Dan ketika dia menyuarakan satu deret nada cepat yang
lebih ringan, Polly tidak terkejut melihat tumbuhan primroses
mendadak muncul di setiap arah.
Kemudian dengan rasa gembira yang tidak terkatakan, dia merasa
sangat yakin semua benda itu (menggunakan istilahnya) "keluar dari
kepala sang singa". Kalau kau menyimak lagunya, kau akan
mendengar benda-benda yang sedang dibuatnya, saat melihat ke
sekelilingmu kau akan melihat semua itu. Pengalaman ini begitu
menarik sehingga Polly tidak punya waktu untuk merasa takut. Tapi
Digory dan si kusir kereta tidak bisa mencegah diri mereka merasa
92 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
agak gugup karena setiap belokan membuat sang singa semakin dekat
dengan mereka.
Sedangkan Paman Andrew, giginya bergemeletuk, tapi lutut kakinya
gemetaran hebat sehingga dia tidak bisa melarikan diri.
Mendadak sang penyihir melangkah berani menuju sang singa.
Hewan itu berjalan mendekat, masih sambil bernyanyi, dengan
langkah lambat dan berat. Kini dia hanya dua belas meter jauhnya.
Sang penyihir mengangkat tangannya dan mengayunkan batang besi
itu langsung ke kepala si singa. Tidak ada seorang pun, apalagi Jadis,
yang bakal luput mengenai sasaran pada jarak itu.
Batang besi itu menghantam sang singa tepat di antara kedua
matanya. Besinya mental dan jatuh berdebum di rerumputan. Sang
singa terus berjalan. Langkahnya tidaklah lebih lambat ataupun lebih
cepat daripada sebelumnya, kau bakal tidak bisa menebak apakah dia
bahkan menyadari dia sudah terkena pukulan.
Walaupun langkah-langkah lembutnya tidak membuat suara, kau bisa
merasakan bumi bergetar di bawah tekanan beratnya. Sang penyihir
memekik dan lari, dalam beberapa detik kemudian dia menghilang di
antara pepohonan.
Paman Andrew berbalik untuk melakukan hal yang sama, tersandung
akar, terjatuh dan mendarat dengan wajahnya di aliran sungai kecil
yang mengalir menuju sungai besar.
Digory dan Polly tidak bisa bergerak. Mereka bahkan tidak yakin
mereka ingin melakukan itu.
Sang singa tidak mengacuhkan mereka. Mulut besar merahnya
terbuka, tapi untuk menyuarakan lagu, bukan untuk menunjukkan
seringaian. Hewan itu melewati mereka begitu dekat sehingga mereka
bisa saja menyentuh surainya.

93 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mereka takut sekali sang singa akan menoleh dan menatap mereka,
namun anehnya mereka juga berharap dia melakukan itu. Tapi bila
melihat besarnya perhatian yang dia berikan kepada Digory dan Polly,
mereka seolah tidak kasat mata dan tidak berbau. Ketika lewat dan
berjalan beberapa langkah menjauhi mereka, sang singa berbelok,
melewati mereka lagi, lalu melanjutkan langkahnya ke arah timur.
Paman Andrew berusaha berdiri sambil terbatuk-batuk dan megap-
megap.
"Nah, Digory," katanya, "kita telah menyingkirkan wanita itu, singa
ganas itu juga sudah pergi. Ulurkan tanganmu dan pakai cincinmu
segera."
"Jangan sentuh aku," kata Digory, berjalan mundur menjauhinya.
"Menyingkirlah darinya, Polly. Mendekatlah ke sini. Aku
memperingatkanmu, Paman Andrew, jangan mendekat barang
selangkah pun, atau kami akan menghilang."
"Lakukan yang sudah kuperintahkan kepadamu, Sir," kata Paman
Andrew. "Kau benar-benar anak kecil yang sangat tidak patuh dan
luar biasa bandel."
"Jangan takut," kata Digory. "Kami ingin tinggal dan melihat apa
yang terjadi. Lagi pula bukankah kau ingin tahu tentang dunia-dunia
lain? Tidakkah kau bahagia akhirnya bisa berada di sini?"
"Bahagia" seru Paman Andrew. "Lihat saja keadaanku sekarang. Dan
ini jas juga rompi terbaikku."
Paman Andrew memang pemandangan yang menyedihkan saat ini.
Karena tentu saja, semakin rapi kau pada awalnya, semakin buruk
penampilanmu setelah kau merangkak keluar dari kereta sewaan yang
luluh lantak dan terjatuh ke dalam sungai kecil berlumpur.
"Bukannya aku berkata," dia menambahkan, "tempat ini sama sekali
tidak menarik. Kalau aku pria yang lebih muda, beda lagi—mungkin
94 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
aku akan menyuruh pemudapemuda bersemangat untuk pergi lebih
dulu ke sini. Sejenis pemburu-pemburu profesional itu. Sesuatu
mungkin bisa diusahakan di negeri ini. Cuacanya menyenangkan
sekali. Aku belum pernah merasakan udara seperti ini. Aku yakin
udara seperti ini akan berakibat baik buatku jika—jika saja
keadaannya lebih menguntungkan. Kalau saja aku membawa senjata."
"Senjata tidak ada gunanya," kata si kusir kereta. "Kurasa aku akan
pergi dan melihat apakah aku bisa menggosok tubuh Strawberry.
Kuda itu lebih punya akal sehat daripada beberapa manusia yang bisa
kusebutkan." Dia berjalan menghampiri Strawberry dan mulai
mengeluarkan suara berdesis yang biasa disuarakan tukang kuda.
"Kau masih berpikir singa itu bisa dibunuh dengan senjata?" tanya
Digory. "Dia tidak terlalu memedulikan pukulan batang besi Jadis."
"Dari semua kesalahannya," kata Paman Andrew, "itu tindakan yang
paling berani, anakku. Benar-benar tindakan yang penuh nyali."
Dia menggosok-gosokkan kedua tangannya dan meregangkan buku-
buku jari, seolah sekali lagi dia lupa betapa sang penyihir
membuatnya takut setiap kali wanita itu benar-benar berada di
dekatnya.
"Itu tindakan kejam," kata Polly. "Kejahatan apa yang telah singa itu
lakukan padanya?"
"Wah Apa itu?" tanya Digory. Dia bergegas memeriksa sesuatu yang
berada hanya beberapa meter di depannya.
"Astaga, Polly," dia berteriak ke belakang. "Cepat ke sini dan lihat."
Paman Andrew datang bersama Polly, bukan karena dia juga ingin
melihat, tapi karena ingin tetap berada di dekat kedua anak itu—
mungkin ada kesempatan baginya untuk mencuri cincin-cincin
mereka. Tapi ketika melihat apa yang diperhatikan Digory, minatnya
pun mulai tergugah.
95 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Benda itu model kecil sempurna lampu tiang, tingginya sekitar satu
meter tapi semakin panjang dan tebal saat mereka mengawasinya.
Bahkan lampu tiang pun tumbuh seperti pepohonan tadi.
"Lampu ini juga hidup—maksudku, lampunya menyala," kata Digory.
Dan memang benar begitu, walau tentu saja terangnya sinar matahari
membuat api kecil di dalam lenteranya sulit dilihat kecuali ketika ada
bayangan yang menutupinya.
"Menakjubkan, menakjubkan sekali," gumam Paman Andrew.
"Bahkan aku tidak pernah memimpikan Sihir seperti ini. Kita berada
di dunia di mana segalanya, bahkan lampu tiang, menjadi hidup dan
bertumbuh. Sekarang aku jadi ingin tahu bibit macam apa lampu tiang
berasal?"
"Tidakkah kau sadar?" tanya Digory. "Di sinilah batang besi tadi
jatuh—batang besi yang dipatahkan Jadis dari lampu tiang di rumah
kita. Batang itu tenggelam ke dalam tanah dan kini dia tumbuh
menjadi lampu tiang muda." (Tapi tidak terlalu muda lagi sekarang,
karena saat Digory mengucapkan ini kini lampu tiang tersebut sudah
setinggi anak itu.)
"Benar juga Luar biasa, luar biasa," kata Paman Andrew, menggosok
tangannya lebih keras daripada kapan pun. "Ho ho Mereka telah
menertawakan Sihir-ku. Kakak perempuan bodohku itu
menganggapku gila. Kira-kira apa yang akan mereka katakan
sekarang? Aku telah menemukan dunia di mana segalanya muncul
penuh kehidupan dan pertumbuhan. Columbus, ya mereka selalu
membicarakan Columbus. Tapi apalah Amerika dibandingkan ini?
Kemungkinan perdagangan dalam negeri ini tidak terbatas. Bawa
beberapa bagian kecil besi tua ke sini, tanam, dan semuanya akan
muncul kembali sebagai mesin-mesin kereta baru, kapal perang, apa
pun yang kauinginkan. Tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun, dan
aku bisa menjualnya dengan harga penuh di Inggris. Aku akan jadi
jutawan. Kemudian iklim di sini Belum-belum aku sudah merasa
96 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
lebih muda. Aku bisa menjadikan tempat ini sebagai tempat
pemulihan kesehatan. Sanatorium yang bagus di sini mungkin bisa
berharga dua puluh ribu setahun. Tentu saja aku jadi harus
membiarkan beberapa orang tahu rahasia dunia lain ini. Tapi hal
pertama yang harus dilakukan adalah menembak si singa."
"Kau sama saja dengan sang penyihir," kata Polly. "Yang kalian
pikirkan hanyalah bagaimana cara membunuh makhluk lain."
"Kemudian untuk keuntungan pribadiku," Paman Andrew
melanjutkan mimpi bahagianya, "tidak ada yang bisa memastikan
berapa lama aku bisa hidup bila aku menetap di sini. Dan ini
pertimbangan penting kalau seseorang telah mencapai usia enam
puluh tahun. Aku tidak akan terkejut bila aku tidak pernah menua
barang sehari pun di negeri ini Luar biasa Tanah Kebeliaan"
"Oh" seru Digory. "Tanah Kebeliaan Apakah menurutmu tempat ini
benar-benar Tanah Kebeliaan?"
Karena tentu saja dia ingat kata-kata Bibi Letty kepada wanita yang
membawakan mereka anggur. Harapan manis itu pun kembali
mengaliri tubuhnya.
"Paman Andrew," katanya, "apakah menurutku ada sesuatu di sini
yang bisa menyembuhkan Ibu?"
"Kau ini sedang bicara apa?" tanya Paman Andrew. "Tempat ini kan
bukan toko obat. Tapi seperti yang kukatakan tadi—"
"Kau tidak sedikit pun peduli padanya," bentak Digory. "Kukira kau
akan peduli, karena bagaimana pun selain ibuku dia juga saudaramu.
Yah, tidak masalah. Lebih baik aku bertanya pada sang singa sendiri,
siapa tahu dia bisa menolongku." Lalu Digory berbalik dan berjalan
cepat menjauhi yang lain.
Polly menunggu sebentar kemudian mengejarnya.

97 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Hei Stop Kembali Anak itu sudah gila," kata Paman Andrew. Dia
mengikuti kedua anak itu dengan jarak aman di belakang mereka,
karena dia tidak mau berada terlalu jauh dari cincin hijau dan tidak
mau terlalu dekat dengan sang singa.
Dalam beberapa menit, Digory tiba di ujung hutan dan dia berhenti di
sana. Sang singa masih bernyanyi. Tapi kini lagunya sekali lagi
berganti. Lagunya kini lebih terdengar seperti yang biasa kita sebut
nada, tapi juga jauh lebih liar. Suaranya membuatmu ingin berlari,
melompat, dan memanjat. Membuatmu ingin berteriak. Membuatmu
ingin segera menghampiri orang lain lalu memeluk atau berkelahi
dengan orang itu. Lagunya membuat wajah Digory merah dan panas.
Lagu itu juga memengaruhi Paman Andrew karena Digory bisa
mendengarnya berkata, "Wanita yang penuh semangat, Sir.
Sayangnya dia tidak bisa mengendalikan emosi, tapi tetap saja dia
wanita yang cantik sekali, cantik luar biasa."
Tapi pengaruh lagu sang singa pada kedua manusia itu tidak ada apa-
apanya dibandingkan pengaruhnya pada negeri tersebut. Bisakah kau
membayangkan sebidang tanah berumput menggelegak seperti air
dalam panci? Karena itulah deskripsi paling tepat untuk
menggambarkan apa yang sedang terjadi. Dari segala arah daratan
menggembung menjadi gundukan. Gundukan-gundukan itu berbeda
ukurannya, beberapa tidak lebih besar daripada bukit tikus tanah,
beberapa sebesar gerobak berkebun, dua sebesar rumah peristirahatan.
Dan gundukan-gundukan itu bergerak dan membengkak hingga
meledak, reruntuhan tanah tumpah keluar dan dari tiap gundukan
muncul seekor hewan.
Tikus tanah-tikus tanah keluar dari tanah tepat seperti yang biasa
mereka lakukan di Inggris. Anjing-anjing muncul, menggonggong
begitu kepala mereka bebas, kemudian bergulat seperti yang biasa
kaulihat mereka lakukan ketika berusaha melewati lubang sempit di
pagar. Rusa-rusa jantan adalah pemandangan yang paling aneh,
98 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
karena tentu saja tanduk mereka muncul jauh lebih dahulu daripada
sisa tubuh mereka, jadi awalnya Digory mengira mereka pepohonan.
Katak-katak, yang semuanya muncul di dekat sungai, langsung
menuju ke dalamnya bersama suara plop-plop dan korekan keras.
Macan kumbang, macan tutul, dan hewan sejenisnya, langsung duduk
untuk membersihkan sisa-sisa tanah dari bokong mereka kemudian
berdiri di depan pohon untuk mengasah cakar-cakar depan mereka.
Hujan burung keluar dari pepohonan. Sekelompok kupu-kupu
beterbangan. Para lebah pergi bekerja pada bunga-bunga seolah
mereka tidak mau membuang waktu.
Tapi momen terhebat di antara semuanya adalah ketika gundukan
terbesar membelah seperti gempa bumi kecil dan keluar dari
dalamnya punggung curam, kepala besar dan bijak, lalu empat kaki
berkulit longgar seekor gajah. Dan kini kau nyaris tidak bisa
mendengar nyanyian sang singa. Terlalu banyak kaokan, kukukan,
embikan, ringkikan, lolongan, gonggongan, lenguhan, erangan, dan
terompet belalai.
Tapi walaupun tidak lagi bisa mendengar suara sang singa, Digory
masih bisa melihatnya. Hewan itu begitu besar dan bersinar sehingga
dia tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Hewan-hewan lain
tidak tampak takut padanya. Bahkan tepat pada saat itu, Digory
mendengar suara derap kaki dari belakang, dan tak berapa lama
kemudian kuda tua kereta sewaan berlari melewatinya dan bergabung
dengan hewan-hewan lain. (Udara di negeri itu tampaknya cocok
baginya seperti kepada Paman Andrew. Dia tidak lagi kelihatan
bagaikan budak tua yang malang seperti dulu di London. Kakinya
terangkat mantap dan kepalanya mendongak tegak.)
Dan kini, untuk pertama kalinya sang singa diam. Dia berjalan
mondar-mandir di antara hewan-hewan. Dan sesekali dia akan
menghampiri dua ekor di setiap jenis hewan (selalu dua sekaligus)
dan menyentuh hidung mereka dengan hidungnya. Dia akan

99 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menyentuh dua berang-berang di antara semua berang-berang, dua
macan tutul di antara semua macan tutul, satu rusa jantan dan satu
rusa betina di antara rusa-rusa, dan tidak mengacuhkan sisanya.
Beberapa jenis hewan dilewatinya. Tapi pasangan yang telah
disentuhnya langsung meninggalkan teman-teman sebangsa mereka
dan mengikutinya.
Akhirnya sang singa berdiri diam dan semua makhluk yang telah dia
sentuh datang dan berdiri membentuk lingkaran besar
mengelilinginya. Hewan-hewan lain yang tidak disentuhnya mulai
berjalan pergi. Suara-suara mereka perlahan menghilang ditelan jarak.
Para hewan pilihan yang tertinggal, kini tidak bersuara sama sekali,
semua mata mereka terpaku lekat pada sang singa. Para hewan sejenis
kucing terkadang menggerakkan ekor mereka, tapi selain itu semua
bergeming.
Untuk pertama kalinya di hari itu yang ada hanyalah keheningan total,
yang terdengar cuma suara aliran air. Jantung Digory berdetak
kencang, dia tahu sesuatu yang sangat penting akan terjadi. Sesaat dia
lupa tentang ibunya, tapi dia sangat tahu dia tidak bisa mengganggu
sesuatu yang sepenting ini, bahkan demi ibunya.
Sang singa, yang matanya tidak pernah berkedip, menatap para hewan
begitu tegas seolah dia hendak membakar mereka hanya dengan
pandangan. Dan akhirnya suatu perubahan terjadi pada diri mereka.
Hewan-hewan yang kecil—kelinci, tikus tanah, dan sejenisnya—
tumbuh menjadi lebih besar. Hewanhewan yang sangat besar—kau
akan paling menyadarinya pada gajah-gajah—mengecil. Banyak
hewan yang duduk pada kaki belakang mereka. Sebagian besar
meletakkan kepalanya ke salah satu sisi, seolah mereka berusaha
keras memahami sesuatu.
Sang singa membuka mulutnya, tapi tak ada suara keluar dari dalam
sana. Dia mengembuskan napas panjang dan hangat yang seolah
menyapu semua hewan seperti angin menyapu deretan pohon. Jauh di
100 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
atas, di balik lapisan langit biru yang menutupi, bintang-bintang
bernyanyi lagi: musiknya murni, dingin, dan sulit. Kemudian
datanglah kilatan cepat seperti api (tapi kilat itu tidak membakar siapa
pun) entah dari langit atau dari sang singa sendiri.
Lalu setiap tetes darah dalam tubuh kedua anak itu tergelitik ketika
suara yang paling dalam dan liar yang pernah mereka dengar berkata:
"Narnia, Narnia, Narnia, bangkitlah. Cintai. Pikir. Bicara. Jadilah
pohon-pohon yang berjalan. Jadilah hewan-hewan yang bicara.
Jadilah air yang mulia."
***

101 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 10
Lelucon Pertama dan Hal-hal Lain

TENTU saja itu suara sang singa. Kedua anak itu telah lama yakin dia
bisa bicara, tapi tetap saja menjadi kejutan yang indah dan hebat
ketika dia melakukannya. Keluar dari pepohonan, orang-orang liar
berjalan maju, begitu juga para dewa dan dewi hutan. Bersama
mereka datang juga faun, satyr (=manusia bertanduk, bertelinga,
berbuntut, dan berkaki seperti kambing), dan dwarf.
Dari sungai muncul keluar dewa sungai bersama putri-putri naiad-
nya. Lalu semua makhluk itu, para hewan, juga burung dengan suara
masing-masing yang beragam, rendah, tinggi, tebal, atau jelas,
menjawab:
"Hormat pada Aslan. Kami dengar dan patuh. Kami bangkit. Kami
mencintai. Kami berpikir. Kami bicara. Kami tahu."
"Tapi maaf, kami belum tahu terlalu banyak," kata suara yang agak
nyaring dan penuh dengusan.
Dan ini benar-benar membuat kedua anak itu melompat saking
terkejutnya, ternyata kuda kereta sewaan itulah yang bicara.
"Strawberry memang hebat," kata Polly.
"Aku sungguh lega dia menjadi salah satu hewan yang dipilih menjadi
Hewan yang Bisa Berbicara." Dan si kusir kereta, yang kini berdiri di
samping kedua anak itu, berkata, "Ini mustahil. Tapi aku memang
selalu bilang kuda itu punya akal panjang."
"Para makhluk, aku memberi kalian diri kalian," kata suara Aslan
yang kuat dan gembira. "Aku memberi kalian selamanya tanah Narnia
ini. Aku memberi kalian hutan, buah-buahan, sungai. Aku memberi
kalian bintang-bintang dan aku memberi kalian diriku sendiri. Para
102 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
hewan bodoh yang tidak kupilih juga milik kalian. Perlakukan mereka
dengan lembut dan hargai mereka, tapi janganlah berbalik mengikuti
mereka karena dengan begitu kalian tidak lagi akan menjadi Hewan
yang Bisa Berbicara. Karena kalian telah dikeluarkan dari kaum
mereka, kalian akan bisa kembali menjadi bagian mereka. Hindari
itu."
"Tidak, Aslan, kami tidak akan kembali, tidak akan," kata semua
orang.
Tapi burung Jackdaw yang bersemangat menambahkan dengan suara
keras, "Jangan khawatir" sedangkan semua makhluk sudah selesai
berkata-kata tepat sebelum dia mengucapkan ini. Kata-katanya pun
terdengar sangat jelas dalam keheningan, dan mungkin kau pernah
mendapati betapa memalukannya kejadian ini—misalnya saja, di
suatu pesta.
Jackdaw itu menjadi begitu malu sehingga dia menyembunyikan
kepala di bawah sayap-sayapnya seolah hendak pergi tidur. Dan
semua hewan lain mulai mengeluarkan berbagai suara aneh yang
adalah cara tertawa masing-masing. Suara-suara yang tentu saja
belum pernah terdengar di dunia kita.
Awalnya mereka berusaha menahannya, tapi kemudian Aslan berkata:
"Tertawalah dan jangan cemas, para makhluk. Kini kalian tidak lagi
bodoh dan tanpa pikiran, kalian tidak perlu selalu bersedih. Karena
lelucon, seperti juga keadilan, datang bersama kata-kata."
Jadi mereka semua tidak lagi menahan diri. Dan suasana menjadi
begitu ceria sehingga Jackdaw itu sendiri mengumpulkan kembali
keberaniannya dan bertengger pada kepala kuda kereta sewaan, di
antara kedua telinganya, mengepak-ngepakkan sayap, lalu berkata:
"Aslan Aslan Apakah aku telah menciptakan lelucon pertama?
Apakah semua makhluk akan diberitahu akulah yang membuat
lelucon pertama itu?"

103 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Tidak, teman kecilku," kata sang singa. "Kau belumlah menciptakan
lelucon pertama, kau hanya menjadi lelucon pertama."
Kemudian semua makhluk tertawa lebih keras, tapi Jackdaw tidaklah
keberatan dan ikut tertawa sama kerasnya hingga si kuda
menggoyangkan kepala. Jackdaw pun kehilangan keseimbangan dan
terjatuh. Tapi kemudian dia teringat pada sayapnya (sayap-sayap ini
memang masih baru baginya) sebelum dia mencapai tanah.
"Dan sekarang," kata Aslan, "Narnia telah didirikan. Selanjutnya kita
harus memikirkan cara menjaganya. Aku akan memanggil sebagian
dari kalian untuk rapat bersamaku. Mendekatlah kepadaku, kau
pemimpin bangsa Dwarf, kau Dewa Sungai, kau Roh Pohon Ek, dan
Burung Hantu jantan, juga kedua gagak hitam, dan gajah jantan. Kita
harus berjalan bersama. Karena walaupun dunia ini baru berusia lima
jam, kejahatan telah memasukinya."
Para makhluk yang dia sebut namanya maju dan dia melangkah ke
timur bersama mereka. Makhluk-makhluk yang lain mulai berbicara,
mengucapkan kata-kata seperti, "Apa yang katanya telah memasuki
dunia kita?—kebahatan— Apa itu kebahatan?—Bukan, dia tidak
bilang kebahatan, dia bilang kegahatan—Tapi apa itu?"
"Begini," kata Digory kepada Polly. "Aku harus mengejarnya—
Aslan, maksudku, sang singa. Aku harus bicara padanya."
"Menurutmu kita bisa melakukan itu?" tanya Polly. "Aku tidak akan
berani."
"Aku harus melakukannya," kata Digory. "Ini berhubungan dengan
ibuku. Kalau ada seseorang yang bisa memberiku sesuatu yang bisa
menyembuhkan ibuku, dialah orangnya."
"Aku akan menemanimu," kata si kusir kereta. "Aku menyukai
tampangnya. Lagi pula kurasa hewan-hewan lain ini tidak akan mau
pergi demi kita. Aku juga mau berbicara dengan Strawberry."

104 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Jadi ketiga orang itu melangkah penuh keberanian— setidaknya
dengan sebanyak mungkin keberanian yang bisa mereka
kumpulkan—menuju rapat para makhluk Narnia. Para makhluk itu
sibuk bercakap dan berkenalan sehingga tidak memerhatikan
kehadiran tiga manusia sampai mereka berada sangat dekat.
Para makhluk itu juga tidak mendengar Paman Andrew, yang berdiri
gemetaran dengan sepatu berkancingnya cukup jauh dari sana,
berteriak (tentu saja dengan suaranya yang sekeras mungkin): "Digory
Kembali Cepat patuhi perintahku dan kembali ke sini Aku
melarangmu melangkah lebih jauh lagi."
Ketika akhirnya mereka tepat berada di antara hewan-hewan itu, para
hewan berhenti bicara dan menatap mereka.
"Wah?" kata Berang-berang jantan akhirnya. "Demi nama Aslan,
makhluk apa ini?"
"Aku mohon," kata Digory memulai dengan suara yang agak tertahan,
ketika Kelinci berkata, "Menurutku, mereka sejenis selada besar."
"Bukan, kami bukan selada, sungguh," kata Polly cepat-cepat. "Kami
sama sekali tidak enak dimakan."
"Wow" kata Tikus Tanah. "Mereka bisa bicara. Siapa yang pernah
dengar selada yang bisa bicara?"
"Mungkin mereka lelucon kedua," usul Jackdaw.
Macan Kumbang, yang sedang mencuci muka, berhenti sesaat untuk
berkata, "Yah, kalaupun itu memang benar, mereka tidaklah selucu
lelucon yang pertama. Setidaknya, aku tidak melihat ada yang lucu
pada diri mereka." Macan Kumbang itu menguap dan meneruskan
cuci mukanya.
"Oh, aku mohon," kata Digory. "Aku sedang terburu-buru. Aku ingin
bertemu sang singa."

105 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sepanjang waktu Digory berkata-kata, si kusir kereta berusaha
menangkap pandangan Strawberry. Sekarang dia berhasil. "Nah,
Strawberry, teman lama," dia berkata. "Kau kenal aku, kan? Kau tidak
akan berdiri di sana dan berkata kau tidak mengenaliku, kan?"
"Apa yang makhluk itu bicarakan, Kuda?" kata beberapa suara.
"Yah," kata Strawberry sangat perlahan. "Aku juga tidak terlalu
mengerti. Karena menurutku sebagian besar dari kita belum tahu
banyak. Tapi aku punya semacam bayangan aku pernah melihat
makhluk seperti ini sebelumnya. Aku punya perasaan aku pernah
tinggal di tempat lain—atau sebagai sesuatu yang lain—sebelum
Aslan membangunkan kita semua beberapa menit lalu. Semuanya
sangat membingungkan. Seperti mimpi. Tapi ada beberapa makhluk
lain seperti tiga makhluk ini dalam mimpi itu."
"Apa?" apa si kusir kereta. "Kau tidak mengenaliku? Aku yang biasa
membawakan pakan hangat di sore hari ketika kau kelelahan? Aku
yang selalu menggosokmu dengan layak? Aku yang tidak pernah lupa
menyelimutimu kala kau berdiri di tengah cuaca dingin? Aku tidak
menyangka kau bisa begitu tega, Strawberry."
"Ingatanku akhirnya mulai kembali," kata Kuda mengingat-ingat.
"Ya. Tunggu sebentar, biarkan aku mengingatnya. Ya, kau selalu
mengikat benda hitam mengerikan di belakangku lalu memukulku
supaya aku berlari, dan betapapun jauhnya aku berlari, benda hitam
itu akan selalu mengikuti di belakangku dengan suara berisik."
"Kita kan harus bekerja agar bisa terus hidup," kata si kusir.
"Pekerjaanku sama beratnya dengan pekerjaanmu. Dan kalau tidak
ada kerja dan cambukan, tidak akan ada istal, jerami, pakan, dan
gandum. Karena kau selalu mendapat jatah gandum setiap kali aku
mampu membelinya, kau harus mengakui itu."
"Gandum?" tanya Kuda, telinganya berdiri. "Ya, aku ingat sedikit
tentang itu. Ya, aku ingat lebih banyak sekarang. Kau selalu duduk di
106 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
suatu tempat tinggi di belakang, dan akulah yang selalu berlari di
depan, menarikmu dan benda hitam itu. Aku tahu aku yang
melakukan semua pekerjaan."
"Di musim panas, memang berat pekerjaanmu," kata si kusir.
"Bekerja dalam udara panas untukmu dan tempat duduk sejuk
untukku. Tapi bagaimana dengan musim dingin, teman lama, ketika
kau menjaga tubuhmu tetap hangat dan aku duduk di kursi kusir
dengan kakiku terasa seperti es, hidungku terus-menerus seperti
dicubit angin dingin, dan tanganku mati rasa sehingga aku nyaris
tidak bisa memegang tali kendali?"
"Negeri itu keras dan kejam," kata Strawberry. "Tidak ada rumput.
Semua batu keras."
"Benar sekali, sobat, benar sekali" kata si kusir. "Dunia itu memang
dunia yang keras. Aku selalu berkata batu-batu jalanan itu tidak adil
bagi para kuda. London memang begitu. Seperti dirimu, aku juga
tidak terlalu menyukainya. Kau kuda desa, dan aku orang desa. Dulu
aku biasa bernyanyi dalam kor, ya sungguh, waktu di kampung
halaman. Tapi tidak ada penghasilan bagiku di sana."
"Oh, ayolah, aku mohon," kata Digory. "Bisakah kita lanjutkan
perjalanan? Sang singa semakin menjauh saja. Dan aku amat sangat
ingin bicara dengannya."
"Begini, Strawberry," kata si kusir. "Ada sesuatu yang ingin
dibicarakan tuan muda ini dengan sang singa, dia yang kaupanggil
Aslan itu. Mungkinkah kau membiarkannya mengendaraimu (yang
kurasa akan dilakukannya dengan lembut) dan bawa dia ke sana, ke
tempat sang singa berada? Aku dan gadis kecil ini akan mengikuti di
belakang."
"Mengendaraiku?" tanya Strawberry. "Oh, aku ingat sekarang. Itu
berarti membiarkannya duduk di punggungku. Aku ingat dulu sekali
ada makhluk kecil seperti kalian yang berkaki dua yang biasa
107 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
melakukan itu. Dia biasa punya bongkahan kecil, keras, dan berwarna
putih yang akan diberikannya padaku. Rasanya—oh, lezat sekali,
lebih manis daripada rumput."
"Ah, benda itu pasti gula," kata si kusir.
"Aku mohon, Strawberry," Digory memohon, "kumohon, biarkan aku
naik dan bawalah aku ke Aslan."
"Yah, aku sih tidak keberatan," kata Kuda. "Bisa dibilang tidak sama
sekali. Ayo naik."
"Strawberry kau memang teman lama," kata si kusir. "Ayo, Nak, aku
akan membantumu."
Tak lama kemudian Digory telah berada di punggung Strawberry dan
merasa cukup nyaman, karena dia sudah pernah mengendarai kuda
tanpa pelana sebelumnya dengan kuda poninya.
"Sekarang, bisakah kita cepat-cepat, Strawberry?" tanyanya.
"Apakah ada kemungkinan kau kebetulan membawa benda putih yang
lezat itu?" tanya Kuda.
"Tidak. Sayangnya tidak," jawab Digory.
"Yah, mau bagaimana lagi?" kata Strawberry dan berangkatlah
mereka.
Pada saat itu, bulldog besar yang sejak tadi mengendus dan menatap
sangat tajam, berkata: "Lihat Ternyata ada satu lagi makhluk aneh
ini—di sana, di samping sungai, di bawah pepohonan."
Kemudian semua hewan menoleh dan melihat Paman Andrew, berdiri
bergeming di antara sesemakan rhododendron dan berharap
kehadirannya tidak akan diketahui.
"Ayo" kata beberapa suara. "Ayo kita ke sana dan melihatnya."

108 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Jadi, sementara Strawberry berlari cepat bersama Digory ke arah lain
(Polly dan si kusir kereta mengikuti mereka dengan berjalan kaki)
sebagian besar makhluk bergegas menghampiri Paman Andrew
dengan auman, gonggongan, geraman, dan berbagai suara ceria penuh
minat.
Kita harus mundur sedikit dan menjelaskan bagaimana seluruh
kejadian ini tampak dari sudut pandang Paman Andrew.
Paman Andrew sama sekali mengalami kesan yang berbeda dengan
kesan yang dirasakan si kusir kereta, Digory, juga Polly. Karena apa
yang kaulihat dan dengar amat sangat bergantung pada di mana
posisimu, juga tergantung pada orang yang bagaimanakah dirimu.
Sejak hewan-hewan itu pertama kali muncul, Paman Andrew kian
mengerut dan masuk ke sesemakan. Dia mengawasi mereka lekat-
lekat tentu saja, tapi dia tidak terlalu tertarik melihat apa yang sedang
mereka lakukan, lebih untuk melihat apakah mereka akan
menyerangnya.
Seperti sang penyihir, Paman Andrew luar biasa praktis. Dia bahkan
tidak menyadari Aslan memilih satu pasang dari setiap jenis hewan.
Yang dia lihat hanyalah, atau setidaknya yang dia pikir dia lihat, ada
banyak hewan liar berbahaya yang berkeliaran. Dan dia terus
bertanya-tanya kenapa hewan-hewan yang lain tidak melarikan diri
dari singa besar itu.
Ketika momen besar tiba dan para makhluk berbicara, dia kehilangan
keseluruhan inti penting, karena alasan yang agak menarik. Ketika
sang singa pertama kali mulai bernyanyi, dulu sekali ketika negeri ini
masih sangat gelap, dia telah menyadari suara itu sebuah lagu. Dan
dia amat tidak menyukai lagu itu. Lagu itu membuatnya memikirkan
dan merasakan hal-hal yang tidak ingin dia pikir dan rasakan.
Kemudian ketika matahari terbit dan dia melihat sang singalah
penyanyinya ("hanya singa," seperti katanya pada dirinya sendiri), dia
109 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berusaha keras percaya suara itu bukan nyanyian dan memang tidak
pernah jadi nyanyian— hanya auman seperti yang akan dikeluarkan
singa mana pun di kebun bintang dunia kita. Tentu saja tidak mungkin
itu nyanyian, pikirnya, aku pasti hanya mengkhayalkannya. Aku
membiarkan saraf-sarafku tidak terkendali. Siapa yang pernah
mendengar singa menyanyi?
Dan semakin panjang juga indah sang singa bernyanyi, semakin keras
Paman Andrew berusaha membuat dirinya percaya dia tidak bisa
mendengar apa pun kecuali auman. Sekarang masalah dalam berusaha
membuat dirimu lebih bodoh daripada keadaanmu sebenarnya adalah
sering kali kau akan berhasil. Paman Andrew pun begitu. Tidak lama
kemudian dia tidak mendengar apa pun kecuali auman dalam lagu
Aslan. Selanjutnya dia juga tidak bisa mendengar suara lain walaupun
dia menginginkannya.
Dan ketika akhirnya sang singa berbicara dan berkata, "Narnia,
bangkitlah," dia tidak mendengar kata-kata apa pun: dia hanya
mendengar geraman. Dan ketika para hewan yang lain berbicara
untuk menjawab, dia hanya mendengar gonggongan, geraman,
lenguhan, dan lolongan.
Dan ketika mereka tertawa—yah, bisa kaubayangkan. Itu momen
terburuk bagi Paman Andrew dibandingkan semua kejadian yang
sudah lewat. Begitu banyak hewan buas yang lapar dan marah
mengeluarkan suara haus darah yang paling mengerikan yang pernah
dia dengar sepanjang hidupnya.
Kemudian perasaan marah dan ketakutannya makin terguncang ketika
dia melihat tiga manusia lain berjalan menuju dataran terbuka untuk
menemui hewan-hewan itu. "Dasar orang-orang bodoh" katanya pada
dirinya sendiri. "Sekarang hewan-hewan buas itu akan memakan
cincin-cincin ketika mereka menyantap kedua anak itu, dan aku tidak
akan pernah bisa pulang lagi. Digory benar-benar anak yang egois
Dan dua orang yang lain juga sama buruknya. Kalau mereka mau
110 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
membuang nyawa, itu urusan mereka. Tapi bagaimana denganku?
Mereka sepertinya tidak memikirkan itu. Tidak ada yang
memikirkanku."
Akhirnya, ketika kerumunan hewan datang menghampirinya, dia
berbalik dan berlari menyelamatkan diri. Dan kini semua orang bisa
melihat bahwa udara di dunia muda itu memang sungguh-sungguh
berakibat baik bagi si pria tua. Di London dia telah menjadi terlalu
renta untuk berlari. Kini, dia berlari dengan kecepatan yang sudah
pasti akan membuatnya memenangi perlombaan lari seratus meter di
semua sekolah di Inggris. Jas berbuntutnya yang berkibar di belakang
menjadi pemandangan bagus.
Tapi tentu saja tidak ada gunanya berlari. Banyak hewan di
belakangnya yang merupakan pelari hebat. Ini lari pertama dalam
hidup mereka dan semua tak sabar menggunakan otot-otot mereka.
"Kejar dia Kejar dia" mereka berteriak. "Mungkin dialah kebahatan
itu Ayo cepat Kejar Halangi dia Kepung dia Jangan sampai
ketinggalan Hore"
Dalam beberapa menit beberapa hewan itu sudah mendahului Paman
Andrew. Mereka membentuk barisan dan menghalangi jalannya.
Yang lain mendesaknya dari belakang. Ke arah mana pun dia melihat
teror.
Rusa gunung dengan tanduk-tanduk besar dan wajah besar gajah
membentenginya. Beruang-beruang dan babi hutan-babi hutan yang
gemuk dan serius menggeram di belakangnya. Macan tutul dan macan
kumbang yang berpenampilan dingin dan berwajah menyindir (seperti
dalam bayangannya) menatapnya dan mengayunkan ekor-ekor
mereka.
Yang paling menggetarkan baginya adalah banyaknya jumlah mulut
yang terbuka. Para hewan sebenarnya membuka mulut karena
terengah-engah, tapi Paman Andrew berpikir mereka membuka mulut
111 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
untuk memakannya. Paman Andrew berdiri gemetaran sambil
melemparkan pandangan ke sekelilingnya. Dia tidak pernah
membunuh hewan ketika berada dalam keadaan menguntungkan,
karena biasanya dia agak takut pada mereka, dan tentu saja bertahun-
tahun melakukan percobaan kejam dengan hewan membuatnya
semakin membenci dan takut pada mereka.
"Nah, Sir," kata Bulldog sangat serius, "kau ini hewan, sayuran, atau
mineral?"
Itulah yang sebenarnya dikatakan hewan itu, tapi yang bisa didengar
Paman Andrew hanyalah, "Gr-rrarrh-ow"
***

112 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 11
Digory dan Pamannya Sama-sama dalam Kesulitan

KAU mungkin berpikir hewan-hewan sangatlah bodoh karena tidak


melihat Paman Andrew merupakan makhluk yang sejenis dengan
kedua anak itu dan si kusir kereta. Tapi kau harus ingat para hewan
belumlah tahu tentang pakaian. Mereka berpikir rok Polly, setelan
Norfolk Digory, dan topi bulat si kusir kereta adalah bagian tubuh
seperti bulu di tubuh mereka. Mereka bahkan tidak akan tahu ketiga
manusia itu berjenis sama kalau Digory, Polly, dan si kusir belum
bicara pada mereka dan Strawberry tidak berpikir begitu.
Lagi pula Paman Andrew jauh lebih tinggi daripada kedua anak itu
dan lebih kurus daripada si kusir kereta. Dia mengenakan pakaian
serba hitam kecuali rompi putihnya (yang tidak terlalu putih lagi
sekarang). Rambut tebal berubannya (kini tampak kian berantakan)
tidak kelihatan seperti apa pun yang terdapat pada ketiga manusia
lain. Jadi wajar saja kalau para hewan kebingungan.
Yang paling buruk, Paman Andrew tampaknya tidak bisa bicara. Dia
berusaha melakukannya. Ketika Bulldog berbicara padanya (atau,
seperti yang disangkanya, pertama menggeram kemudian
menggonggong kepadanya) dia mengulurkan tangannya yang gemetar
dan tergagap, "Anjing baik, anjing manis."
Tapi para hewan tidak bisa mengerti ucapannya seperti dia tidak bisa
mengerti ucapan mereka. Mereka tidak mendengar kata-kata apa pun,
hanya suara berdesis yang aneh. Mungkin lebih baik kalau mereka
tidak mengerti apa-apa, karena tidak ada anjing yang kuketahui,
apalagi Anjing yang Bisa Berbicara Narnia, senang dipanggil "Anjing
Baik" seperti kau suka bila dipanggil "Pria Kecil".
Kemudian Paman Andrew terjatuh dan pingsan.

113 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Nah" kata Babi Hutan. "Ternyata hanya pohon. Sudah kuduga."
(Ingat, mereka belum pernah melihat orang pingsan atau bahkan
sesuatu terjatuh.) Bulldog, yang mengendusi seluruh tubuh Paman
Andrew, mendongak dan berkata, "Dia hewan. Tentu saja hewan. Dan
mungkin jenis yang sama dengan makhluk-makhluk yang tadi."
"Aku tidak melihat kemiripannya," kata salah satu beruang. "Hewan
tidak akan sekadar berbaring seperti itu. Kita kan hewan dan kita
tidak berbaring begitu. Kita berdiri. Seperti ini."
Dia berdiri dengan kaki belakangnya, mundur selangkah, tersandung
cabang rendah dan terjatuh telentang.
"Lelucon ketiga, lelucon ketiga, lelucon ketiga" kata Jackdaw penuh
semangat.
"Aku masih berpikir dia sejenis pohon," kata Babi Hutan.
"Kalau dia memang pohon," kata beruang yang lain, "mungkin ada
sarang lebah di dalamnya."
"Aku yakin dia bukan pohon," kata Luak. "Kurasa dia berusaha bicara
sebelum dia tergeletak."
"Itu hanya suara angin di antara cabang-cabangnya," kata Babi Hutan.
"Kau tidak bermaksud," kata Jackdaw kepada Luak, "bahwa kau
berpikir dia hewan yang bisa bicara, kan? Dia bahkan tidak
mengatakan sepatah kata pun."
"Namun, kalian tahu," kata Gajah (gajah betina tentu saja, karena
suaminya, bila kau ingat, telah dipanggil untuk rapat dengan Aslan),
"namun, kalian tahu, dia mungkin saja memang sejenis hewan.
Bukankah gumpalan putih di bagian ujung sini semacam wajah? Dan
bisakah lubang-lubang itu mata dan mulut? Tidak ada hidung, tentu
saja. Tapi yah— ehem—kita tidak boleh berpikiran sempit. Tidak
banyak di antara kita punya sesuatu yang bisa benar-benar disebut

114 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sebagai Hidung." Dia melirik belalai panjangnya dengan rasa bangga
yang pantas dimaklumi.
"Aku sangat keberatan dengan pernyataan itu," kata Bulldog.
"Gajah benar juga," kata Tapir.
"Ah, aku tahu" kata Keledai ceria. "Mungkin dia hewan yang tidak
bisa bicara tapi mengira dia bisa."
"Bisakah dia dibuat berdiri?" tanya Gajah berpikir keras. Dia meraih
lembut sosok lunglai Paman Andrew dengan belalainya dan
mendirikannya dengan salah satu sisi di atas. Sayangnya terbalik
sehingga dua setengah sovereign, tiga setengah crown, dan enam
pence terjatuh dari sakunya. Tapi tidak ada gunanya. Paman Andrew
terjatuh lagi.
"Nah kan" kata beberapa suara. "Dia sama sekali bukan hewan. Dia
bahkan tidak hidup."
"Aku yakin dia memang hewan," kata Bulldog. "Cium saja dia
sendiri."
"Penciuman bukan segalanya," kata Gajah.
"Lho," kata Bulldog, "kalau kita tidak bisa memercayai hidung kita,
apa lagi yang bisa dipercayai?"
"Yah, otak mungkin," Gajah menjawab ringan.
"Aku sangat keberatan dengan pernyataan itu," kata Bulldog.
"Yah, kita harus melakukan sesuatu tentang dia," kata Gajah. "Karena
mungkin saja dia Kebahatan, dan dia harus ditunjukkan ke Aslan.
Bagaimana pendapat sebagian besar kalian? Apakah dia hewan atau
sejenis pohon?"
"Pohon Pohon" kata lusinan suara.

115 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Baiklah," kata Gajah. "Kalau begitu, jika dia memang pohon berarti
dia akan mau ditanam. Kita harus menggali lubang."
Dua tikus tanah membereskan masalah itu dengan cukup cepat. Ada
sedikit perdebatan tentang ujung Paman Andrew yang mana yang
harus dimasukkan ke tanah, dan dia nyaris sekali ditanam dengan
kepala di bawah. Beberapa hewan berkata kaki-kakinya pasti cabang
dan karena itu benda abu-abu dan berbulu lebat (maksudnya
kepalanya) pasti akar.
Tapi kemudian hewan-hewan lain berkata bahwa bagian ujung yang
bercabang dua lebih kotor berlumpur dan lebih menjulur panjang,
seperti selayaknya akar. Jadi akhirnya dia ditanam dengan kepala di
atas. Ketika mereka menutup lubang dengan tanah, badan Paman
Andrew terkubur hingga di atas lututnya.
"Dia kelihatan layu sekali," kata Keledai.
"Tentu saja dia butuh disiram," kata Gajah. "Kurasa aku bisa bilang
(tanpa bermaksud menyinggung siapa pun yang hadir) bahwa
mungkin, untuk pekerjaan semacam ini, jenis hidungku—"
"Aku sangat keberatan dengan pernyataan itu," kata Bulldog.
Tapi Gajah tetap berjalan perlahan ke sungai, mengisi belalainya
dengan air, dan kembali untuk mengurus Paman Andrew. Hewan
cerdas itu terus melakukan ini sampai bergalon-galon air telah
disemprotkan ke Paman Andrew, dan air mengalir dari bagian buntut
jas panjangnya seolah dia mandi dengan pakaian lengkap.
Akhirnya semprotan air itu menyadarkannya. Dia terbangun dari
pingsannya, membuka mata dan melihat. Benar-benar pemandangan
yang luar biasa Tapi kita harus meninggalkan dia untuk merenungkan
segala perbuatan jahatnya (kalau dia memang mungkin melakukan
sesuatu yang begitu masuk akal seperti itu) dan beralih ke hal-hal
yang lebih penting.

116 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Strawberry berlari bersama Digory di punggungnya sampai suara
hewan-hewan lain tidak terdengar lagi, dan kini grup kecil Aslan dan
para anggota dewan yang dipilihnya sudah cukup dekat. Digory tahu
dia tidak bisa begitu saja mengganggu pertemuan resmi tersebut, tapi
tidak perlu melakukan itu. Hanya dengan satu kata dari Aslan, gajah
jantan, gagak-gagak, dan para makhluk sisanya menyingkir ke
samping.
Digory turun dari kuda dan mendapati dirinya bertatapan muka
dengan Aslan. Dan Aslan lebih besar, indah, bersinar keemasan, dan
mengerikan daripada perkiraannya. Dia tidak berani menatap
langsung matanya yang menakjubkan.
"Saya mohon—Pak Singa—Aslan—Sir," kata Digory, "bisakah
Anda—bolehkan saya—saya mohon, maukah Anda memberi saya
buah ajaib di negeri ini yang bisa menyembuhkan ibu saya?"
Digory benar-benar berharap sang singa akan menjawab "Ya". Dia
sangat takut sang singa akan menjawab "Tidak".
Tapi dia terkejut sekali ketika Aslan tidak melakukan keduanya.
"Inilah anak laki-laki itu," kata Aslan, menatap tidak pada Digory,
tapi pada anggota dewannya. "Inilah anak laki-laki yang
melakukannya."
Astaga, pikir Digory, apa yang telah kulakukan?
"Putra Adam," kata sang singa. "Ada penyihir jahat di negeri baruku
Narnia. Ceritakan kepada para makhluk agung ini bagaimana dia bisa
sampai di sini."
Lusinan hal berbeda yang bisa dia katakan berkelebat di benak
Digory, tapi dia punya akal sehat untuk tidak mengatakan apa pun
kecuali kejadian yang sebenar-benarnya.
"Aku yang membawanya, Aslan," dia menjawab dengan suara pelan.

117 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Untuk tujuan apa?"
"Aku ingin mengeluarkannya dari duniaku sendiri dan
mengembalikannya. Aku kira aku sedang membawanya ke negerinya
sendiri."
"Bagaimana dia bisa tiba di duniamu, Putra Adam?"
"Dengan—dengan Sihir."
Sang singa tidak mengatakan apa-apa dan Digory tahu ceritanya
sudah cukup. "Sihir pamanku, Aslan," katanya. "Dia mengirim kami
keluar dari dunia kami dengan cincin-cincin ajaib, setidaknya aku
terpaksa pergi karena dia sudah mengirim Polly tanpa persetujuannya,
kemudian kami bertemu sang penyihir di tempat bernama Charn dan
dia memegangi kami ketika—"
"Kau bertemu penyihir itu?" tanya Aslan dengan suara rendah yang
nyaris mengandung geraman.
"Dia terbangun," kata Digory menyesal. Kemudian wajahnya
memucat, "Maksudku, aku membangunkannya. Karena aku ingin tahu
apa yang akan terjadi kalau aku memukul bel. Polly tidak mau
melakukannya. Bukan salahnya. Aku—aku bertengkar dengannya.
Aku tahu seharusnya aku tidak melakukan itu. Kurasa aku agak
terkena mantra tulisan di bawah bel itu."
"Benarkah?" tanya Aslan, masih dengan nada sangat rendah dan
dalam.
"Tidak," kata Digory. "Sekarang aku tahu aku tidak terkena mantra.
Aku hanya berpura-pura."
Ada jeda lama. Dan sepanjang waktu itu Digory berpikir, "Aku sudah
mengacaukan segalanya. Sekarang tidak ada kesempatan
membawakan apa pun untuk Ibu."

118 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ketika sang singa berbicara lagi, kata-katanya bukanlah untuk
Digory. "Kalian lihat, teman-teman," katanya, "bahkan sebelum dunia
baru dan bersih yang kuberikan kepada kalian berusia tujuh jam,
kekuatan kejahatan telah memasukinya, dibangunkan dan dibawa ke
sini oleh Putra Adam ini."
Para hewan, bahkan Strawberry, memutar mata mereka ke Digory
sampai anak itu berharap tanah akan menelannya.
"Tapi janganlah kalian menjadi muram," kata Aslan, masih berbicara
pada para makhluk Narnia. "Kejahatan akan sampai pada kejahatan,
tapi perjalanannya masih sangat jauh, dan aku akan memastikan yang
terburuk hanya akan menimpa diriku sendiri. Sementara itu, marilah
kita menyusun peraturan sehingga untuk ratusan tahun tanah ini tetap
akan menjadi tanah bahagia di dunia yang bahagia. Dan karena ras
Adam telah melakukan kerusakan, ras Adam-lah yang akan
membantu memperbaikinya. Mendekatlah, kalian berdua."
Kata-kata terakhir ditujukan kepada Polly dan si kusir kereta yang
kini telah tiba. Mata dan mulut Polly terbuka lebar, dia menatap lekat
Aslan sambil menggenggam erat tangan si kusir. Si kusir melihat
sekilas ke sang singa, membuka topi bulatnya, belum ada yang pernah
melihatnya tanpa topi itu. Ketika topi telah dilepas, dia tampak lebih
muda dan ramah, juga lebih seperti orang desa dan kurang seperti
kusir kereta sewaan London.
"Nak," kata Aslan kepada si kusir. "Aku telah mengenalmu lama.
Apakah kau mengenaliku?"
"Yah, tidak, Sir," kata si kusir. "Setidaknya, tidak dengan cara yang
biasa. Namun entah bagaimana saya merasa, kalau saya boleh bebas
bicara, sepertinya kita sudah pernah bertemu."
"Memang benar," kata sang singa. "Kau tahu lebih banyak daripada
yang kaukira, dan kau akan hidup untuk mengenalku lebih dekat lagi.
Apakah tanah ini memuaskanmu?"
119 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Jamuan yang menyenangkan, Sir," jawaban si kusir.
"Apakah kau ingin tinggal di sini selamanya?"
"Yah, begini, Sir, saya sudah menikah," kata si kusir. "Saya pikir,
kalau istri saya juga berada di sini, kami akan sama-sama tidak mau
kembali ke London. Karena kami sebenarnya orang-orang desa."
Aslan mendongakkan kepala bersurai lebatnya, membuka mulut, dan
menyuarakan sebuah nada panjang, tidak terlalu keras, tapi penuh
kekuatan. Ketika mendengarnya, jantung Polly melompat dalam
dadanya. Dia yakin suara itu panggilan, dan siapa pun yang
mendengarnya akan mau mematuhi dan (terlebih lagi) akan menjadi
mampu mematuhi, sebanyak apa pun dunia dan masa yang berada di
antaranya.
Jadi walaupun Polly dipenuhi rasa takjub, dia tidak benar-benar kaget
atau terkejut ketika tiba-tiba wanita muda berwajah ramah dan jujur
keluar entah dari mana dan berdiri di sampingnya. Polly langsung
tahu dia istri si kusir, dijemput dari dunia kita tidak dengan cincin
ajaib yang merepotkan, tapi dengan begitu cepat, sederhana, dan
manis seperti burung yang terbang ke sarangnya.
Wanita muda itu sepertinya sedang mencuci karena dia mengenakan
celemek, lengan bajunya digulung hingga ke siku, dan ada busa sabun
di kedua tangannya. Kalau dia punya waktu untuk mengenakan
pakaian terbaiknya (topi terbaiknya dihiasi buah ceri imitasi) dia akan
tampak buruk. Begini saja seadanya, dia tampak manis. Tentu saja dia
mengira dia sedang bermimpi. Itulah sebabnya dia tidak langsung
berlari menuju suaminya dan bertanya apa sebenarnya yang telah
terjadi pada diri mereka. Tapi ketika melihat sang singa, dia tidak
merasa cukup yakin ini mimpi, tapi entah bagaimana dia tidak tampak
ketakutan. Kemudian dia membungkuk kecil memberi hormat,
dengan cara yang masih diketahui beberapa gadis desa pada masa-
masa itu. Setelah itu, dia menghampiri suaminya dan melingkarkan

120 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tangan ke tangan si kusir, lalu berdiri di sana melihat ke sekelilingnya
dengan agak malumalu.
"Anak-anakku," kata Aslan, memaku matanya pada kedua manusia
itu, "kalian akan menjadi raja dan ratu pertama Narnia."
Mulut si kusir ternganga karena terkejut, wajah istrinya berubah
menjadi sangat merah.
"Kalian akan memerintah dan memberi nama pada makhluk-makhluk
ini, menjaga keadilan di antara mereka, juga melindungi mereka dari
musuh-musuh mereka ketika para musuh bangkit. Para musuh itu
memang akan bangkit, karena ada penyihir jahat di dunia ini."
Dengan kesulitan, si kusir menelan ludah dua-tiga kali dan berdeham.
"Maaf, Sir," katanya, "bukannya saya tidak berterima kasih sekali
kepada Anda (istri saya pun akan melakukan hal yang sama), tapi
saya bukanlah orang yang cocok untuk pekerjaan seperti itu. Begini,
saya tidak pernah dapat banyak pendidikan."
"Yah," kata Aslan, "bisakah kau menggunakan cangkul, bajak, dan
memanen makanan dari bumi?"
"Ya, Sir, saya bisa melakukan pekerjaan semacam itu, karena
dibesarkan untuk melakukannya."
"Bisakah kau memerintah makhluk-makhluk ini dengan lembut dan
adil, mengingat bahwa mereka bukanlah budak seperti hewan-hewan
bodoh di dunia tempat kau dilahirkan, tapi hewan-hewan yang bisa
berbicara dan rakyat bebas?"
"Saya mengerti itu, Sir," jawab si kusir. "Saya akan berusaha
memperlakukan mereka tanpa membeda-bedakan."
"Dan apakah kau akan membesarkan anak-anak juga cucu-cucumu
untuk melakukan hal yang sama?"

121 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Saya pasti akan berusaha melakukan itu, Sir. Saya akan berusaha
sebaik-baiknya: bukankah begitu, Nellie?"
"Dan kau tidak akan menjadikan salah satu anakmu sebagai favorit
dibanding anak-anakmu yang lain atau dibanding makhluk-makhluk
lain, atau membiarkan yang satu membawahi yang lain atau
menggunakannya dengan tidak benar?"
"Saya tidak akan pernah bisa membiarkan hal seperti itu terjadi, Sir,
dan itu kebenaran. Saya akan menghukum mereka bila aku
mengetahui mereka melakukan itu," kata si kusir.
(Sepanjang percakapan ini suaranya menjadi kian lambat dan kaya.
Lebih seperti suara orang desa yang pasti dimilikinya saat dia masih
kanak-kanak dan tidak seperti aksen kelas rendahan yang tajam dan
cepat.)
"Dan jika para musuh datang menantang tanah ini (karena mereka
akan datang) lalu ada perang, apakah kau akan jadi yang pertama
maju bertempur dan terakhir mengundurkan diri?"
"Yah, Sir," kata si kusir sangat lambat, "seseorang tidak akan tahu
pasti apa yang terjadi sebelum dia mencobanya. Yang bisa saya
katakan adalah saya mungkin akan jadi pria lembek di saat seperti itu.
Saya tidak pernah berkelahi kecuali dengan tinju saya. Tapi saya akan
berusaha—setidaknya, saya harap saya akan berusaha—memenuhi
bagian saya."
"Kalau begitu," kata Aslan, "kau akan melakukan segala tindakan
yang harus dilakukan seorang raja. Proses penobatanmu akan segera
dilakukan. Kau, anakanakmu, dan cucu-cucumu akan diberkahi, dan
beberapa akan menjadi raja-raja Narnia, yang lain akan menjadi raja-
raja Archenland yang terletak di pegunungan selatan sana. Dan kau,
putri kecil (di sini dia menoleh ke arah Polly) dipersilakan tinggal.
Apakah kau sudah memaafkan anak laki-laki itu karena telah
menyakitimu di Aula Sosok di istana terlantar Charn yang terkutuk?"
122 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Ya, Aslan, kami sudah berbaikan," jawab Polly.
"Bagus kalau begitu," kata Aslan. "Dan sekarang untuk si anak laki-
laki itu sendiri."
***

123 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 12
Petualangan Strawberry

DIGORY menutup mulutnya rapat-rapat. Perasaannya kian tidak


nyaman. Dia berharap, apa pun yang terjadi, dia tidak akan ceroboh
atau melakukan apa pun yang konyol.
"Putra Adam," kata Aslan. "Apakah kau siap memperbaiki kesalahan
yang telah kaulakukan pada negeri terindahku Narnia tepat di hari
kelahirannya?"
"Yah, aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan," kata Digory. "Jadi
begini, sang ratu melarikan diri dan—"
"Aku tanya, apakah kau siap?" tanya sang singa.
"Ya," jawab Digory. Dia sempat punya ide gila untuk menjawab,
"Aku akan berusaha membantumu kalau kau berjanji mau menolong
ibuku," tapi dia sadar tepat pada waktunya bahwa sang singa bukanlah
sejenis makhluk yang bisa kauajak tawar-menawar.
Tapi ketika dia berkata "Ya", pikirannya melayang kepada ibunya dan
dia mengingat kembali harapan-harapan besar yang tadinya dia miliki,
dan betapa semuanya akan terbang pergi. Tenggorokannya pun terasa
tersumbat dan air mata mengalir deras saat dia merepet: "Tapi aku
mohon, aku mohon—maukah kau—bisakah kau memberiku sesuatu
yang bisa menyembuhkan ibuku?"
Hingga saat itu dia terus menatap kaki besar sang singa dan cakar-
cakar raksasa yang ada di sana, tapi kini dalam keputusasaan, dia
mendongak untuk menatap wajahnya. Yang dia lihat membuatnya
sangat terkejut, lebih daripada apa pun di dalam hidupnya. Karena
ternyata wajah keemasan itu kini menunduk di dekat wajahnya sendiri
dan (yang paling menakjubkan) air mata besar yang berkilauan

124 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tampak di mata sang singa. Air mata itu begitu besar dan bercahaya
dibanding air mata Digory sehingga sesaat anak itu merasa seolah
sang singa pasti lebih sedih karena keadaan ibunya daripada dirinya
sendiri.
"Anakku, anakku," kata Aslan. "Aku tahu. Kesedihan memang begitu
menguasai. Baru kau dan aku yang tahu soal itu di tanah ini. Marilah
kita saling membantu. Tapi aku harus memikirkan ratusan tahun
hidup Narnia. Sang penyihir yang kaubawa ke dunia ini akan kembali
ke Narnia lagi. Tapi itu bisa dicegah. Aku berniat menanam sebuah
pohon di Narnia yang akan melindungi Narnia dari penyihir itu
selama bertahun-tahun. Supaya tanah ini akan memiliki pagi cerah
yang lama sebelum ada awan datang menutupi mataharinya. Kau
harus mengambilkan bibit yang bakal menjadi pohon itu untukku."
"Ya, Sir," kata Digory. Dia tidak tahu bagaimana caranya tapi merasa
sangat yakin kini dia akan bisa melakukan itu.
Sang singa menarik napas dalam-dalam, menundukkan kepala lebih
rendah dan memberi anak itu kecupan singa. Dalam sekejap Digory
merasakan kekuatan dan keberanian baru mengalir ke dalam
tubuhnya.
"Anakku tersayang," kata Aslan, "aku akan memberitahumu apa yang
harus dilakukan. Berputar dan tataplah arah Barat, katakan kepadaku
apa yang kaulihat?"
"Aku melihat pegunungan yang teramat besar, Aslan," kata Digory.
"Aku melihat sungai menuruni tebing-tebing, menjadi air terjun. Dan
di balik tebing itu ada bukit-bukit hijau tinggi dengan hutan. Dan di
balik semua itu daerah-daerah lebih tinggi yang tampak hampir
kelam. Kemudian, jauh sekali, ada gunung-gunung bersalju yang
bertumpuk—seperti lukisan Pegunungan Alpen. Dan di belakang
semua itu tidak ada apa-apa kecuali cakrawala."

125 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Kau melihat dengan baik," kata sang singa. "Sekarang daratan
Narnia berakhir di mana air terjun jatuh, dan sekali kau mencapai
ujung tertinggi tebing kau akan keluar dari Narnia dan masuk ke
Daerah Barat yang Liar. Kau harus menjelajahi pegunungan itu
sampai menemukan lembah hijau dengan danau biru yang dipagari
pegunungan es. Di ujung danau ada bukit hijau yang curam. Di bagian
atas bukit itu ada taman. Di tengah taman itu terdapat pohon. Petik
sebuah apel dari pohon itu dan bawalah kepadaku."
"Ya, Sir," kata Digory lagi. Dia sama sekali tidak punya bayangan
bagaimana akan memanjat tebing dan menemukan jalan melewati
seluruh pegunungan itu, tapi dia tidak ingin mengatakan itu karena
takut akan terdengar seperti sedang membuatbuat alasan. Tapi dia
akhirnya berkata, "Aku berharap, Aslan, kau tidak tergesa-gesa. Aku
tidak akan mampu pergi ke sana dan kembali dengan cepat."
"Anak Adam kecil, kau akan mendapat bantuan," kata Aslan. Dia
kemudian berputar menghadap Kuda yang sepanjang waktu ini berdiri
diam di samping mereka, mengayun-ayunkan ekornya untuk
mengusir lalat, dan mendengarkan dengan kepala dimiringkan ke
salah satu sisi karena percakapan itu agak sulit dimengerti.
"Anakku," kata Aslan kepada Kuda, "apakah kau mau menjadi kuda
bersayap?"
Seharusnya kau melihat bagaimana si kuda mengibaskan surainya dan
betapa lubang hidungnya mengembang, juga entakan pelan yang
dilakukannya dengan salah satu kaki belakangnya.
Jelas sekali dia sangat ingin menjadi kuda bersayap. Tapi dia hanya
berkata: "Kalau kauinginkan itu, Aslan—kalau kau benar bersungguh-
sungguh—aku tidak tahu kenapa harus aku yang dipilih—aku
bukanlah kuda yang sangat pintar."
"Bersayaplah. Jadilah ayah untuk semua kuda bersayap," aum Aslan
dengan suara yang menggetarkan tanah. "Namamu kini Fledge."
126 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kuda itu mendadak melonjak, seperti yang dilakukannya di hari-hari
dulu yang melelahkan ketika dia menarik kereta. Kemudian dia
meringkik. Dia meregangkan lehernya seolah ada lalat menggigiti
bahunya dan dia ingin menggaruknya.
Kemudian, seperti ketika para hewan muncul dari tanah, keluar dari
bahu Fledge sayap-sayap yang melebar dan tumbuh, lebih besar
daripada sayap-sayap elang, lebih besar daripada sayap-sayap angsa,
lebih besar daripada sayap-sayap malaikat di jendela gereja. Sayap
Fledge berwarna cokelat kemerahan tembaga dan berkilau. Dia
mengibaskan kedua sayap itu kuat-kuat dan melompat ke udara.
Sekitar enam meter di atas Aslan dan Digory dia mendengus,
meringkik, dan mengangkat kaki depannya. Kemudian setelah
mengelilingi mereka sekali, dia mendarat di bumi dengan keempat
kakinya, tampak canggung dan terkejut, tapi luar biasa bahagia.
"Apakah menyenangkan rasanya, Fledge?" tanya Aslan.
"Luar biasa rasanya, Aslan," kata Fledge.
"Apakah kau bersedia membawa putra Adam kecil ini di punggungmu
menuju lembah gunung yang kuceritakan tadi?"
"Apa? Sekarang? Saat ini juga?" tanya Strawberry— atau Fledge,
begitulah kita harus memanggilnya sekarang—"Hore Ayolah,
makhluk kecil, aku sudah pernah membawa makhluk sepertimu di
punggungku. Dulu, dulu sekali. Ketika ada lapangan hijau dan gula."
"Apa yang sedang dibisikkan dua putri Hawa?" tanya Aslan, berbalik
mendadak sekali ke arah Polly dan istri si kusir, yang sudah mulai
akrab.
"Kalau Anda tidak keberatan, Sir," jawab Ratu Helen (karena itulah
nama Nelle si istri kusir sekarang), "saya rasa gadis kecil ini juga
ingin pergi, kalau itu tidak menyusahkan."

127 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Bagaimana pendapat Fledge tentang hal ini?" tanya sang singa.
"Oh, aku tidak keberatan harus membawa dua orang, apalagi
keduanya kecil," jawab Fledge. "Tapi kuharap Gajah tidak mau ikut
juga."
Gajah sama sekali tidak berminat, lalu raja baru Narnia membantu
kedua anak itu menaiki Fledge. Lebih tepatnya, dia mengangkat tubuh
Digory dengan kasar tapi meletakkan Polly dengan lembut dan
anggun di punggung kuda, seolah gadis cilik itu terbuat dari keramik
dan mudah pecah. "Nah, mereka sudah siap, Strawberry—ah
maksudku, Fledge. Ini benar-benar tidak terduga."
"Jangan terbang terlalu tinggi," pesan Aslan. "Jangan mencoba
melewati puncak gunung-gunung es. Awasi baik-baik lembah-
lembah, daerah-daerah hijau, terbanglah melewati tempat-tempat itu.
Akan selalu ada jalan tembus. Dan sekarang, pergilah dengan
restuku."
"Oh, Fledge" kata Digory, mencondongkan tubuh ke depan untuk
menepuk lembut leher mengilap kuda itu. "Ini menyenangkan.
Berpeganglah erat padaku, Polly."
Detik berikutnya daratan berada jauh di bawah mereka dan tampak
berputar-putar ketika Fledge, seperti burung dara raksasa, berputar
sekali-dua kali sebelum memulai penerbangan jauh ke arah baratnya.
Saat mencoba melihat ke bawah, Polly nyaris tidak bisa melihat sang
raja dan ratu, bahkan Aslan hanyalah tampak seperti titik kuning
cerah di hamparan rumput hijau.
Tak lama kemudian angin menerpa wajah mereka dan sayap-sayap
Fledge mengepak dengan ritme teratur. Seluruh Narnia, berbagai
warna dari ladang, bebatuan, bunga heather, dan beragam jenis pohon
terhampar di bawah mereka, sungai meliuk melewatinya seperti pita
perak. Belum-belum mereka sudah bisa melihat bagian puncak

128 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
perbukitan rendah yang terletak di arah utara di sebelah kanan
mereka.
Di balik perbukitan itu tanah perawan yang luas berlekuk-lekuk naik-
turun hingga bertemu horison. Di sebelah kiri mereka pegunungannya
lebih tinggi, tapi terkadang ada celah di antara hutan cemara yang
memberimu pemandangan sekilas daratan selatan yang terhampar
setelahnya. Daratan yang tampak begitu biru dan nun jauh di sana.
"Pasti Archenland ada di sana," kata Polly.
"Ya, tapi lihat di depan" kata Digory.
Karena kini tebing-tebing besar penghalang berdiri di depan dan
mereka nyaris dibutakan sinar matahari yang berdansa di permukaan
air terjun besar. Di sinilah sungai menggeram dan mengalir deras
turun menuju Narnia dari asalnya di daratan-daratan barat yang tinggi.
Mereka kini sudah terbang sangat tinggi sehingga gemuruh air terjun
itu hanya bisa terdengar sebagai suara pelan yang tipis, tapi mereka
belumlah cukup tinggi untuk bisa terbang melewati bagian puncak
tebing-tebing.
"Kita harus sedikit berzig-zag di sini," kata Fledge. "Berpeganglah
erat-erat."
Dia mulai terbang ke kiri dan ke kanan, semakin tinggi pada setiap
belokan. Udara terasa kian mendingin dan mereka mendengar pekikan
elang-elang jauh di bawah mereka.
"Wah, lihat Lihat ke belakang," kata Polly.
Di sana mereka bisa melihat seluruh lembah Narnia terhampar hingga
menyentuh kilauan laut, tepat sebelum langit timur. Dan kini mereka
sudah begitu tinggi sehingga bisa melihat garis-garis tegas sosok
pegunungan yang tampak kecil di balik tanah perawan barat laut, juga
daratan yang tampak seperti bentangan pasir jauh di selatan.

129 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Kalau saja ada seseorang yang bisa memberitahu kita apa saja
tempat-tempat itu," kata Digory.
"Tapi kurasa tempat-tempat itu memang belum ada," kata Polly.
"Maksudku, belum ada orang di sana, dan belum ada yang terjadi di
sana. Dunia ini baru dimulai hari ini."
"Memang, tapi orang-orang pasti akan sampai ke sana," kata Digory.
"Lalu mereka akan punya sejarah, ya kan?"
"Yah, untunglah mereka belum punya sejarah sekarang," kata Polly.
"Karena tidak ada yang bisa benar-benar mempelajari sejarah. Segala
pertempuran, tanggaltanggal, dan hal-hal membosankan itu."
Kini mereka berada di atas tebing-tebing dan dalam beberapa menit
kemudian dataran lembah Narnia sudah hilang dari jangkauan
pandangan. Mereka terbang di atas daerah liar dengan perbukitan
curam dan hutan-hutan gelap, masih dengan mengikuti aliran sungai.
Sosok samar gunung-gunung yang luar biasa besar muncul di depan.
Tapi matahari kini tepat setinggi mata para pengelana sehingga
mereka tidak bisa melihat dengan benar-benar jelas ke arah sana. Tapi
kemudian matahari terbenam lebih rendah dan lebih rendah lagi
hingga langit barat menjelma menjadi kuali raksasa penuh emas leleh.
Akhirnya matahari pun tenggelam di balik puncak bergerigi yang
berdiri membatasi cahaya, puncaknya tampak setajam dan sedatar
seolah potongan karton.
"Tidak terlalu hangat di atas sini," kata Polly.
"Dan sayap-sayapku sudah mulai terasa sakit," kata Fledge. "Tidak
ada tanda-tanda lembah dengan danau, seperti yang dikatakan Aslan.
Bagaimana kalau kita turun dan mencari tempat yang enak untuk
menginap? Sepertinya kita tidak akan mencapai tempat itu malam ini
juga."

130 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Ya, lagi pula sepertinya ini waktunya makan malam, kan?" kata
Digory.
Jadi Fledge merendahkan terbangnya. Ketika mereka sudah lebih
dekat dengan daratan dan berada di antara perbukitan, udara
menghangat dan setelah berjalan berjam-jam tanpa mendengar apa
pun kecuali kepakan sayap Fledge, senang rasanya bisa mendengar
suara-suara daratan yang familier lagi—suara percikan air sungai di
dasar bebatuannya dan derikan pepohonan yang ditiup angin sepoi-
sepoi. Wangi hangat dan nyaman tanah, rumput, dan bunga yang telah
disinari mentari mencapai hidung mereka.
Akhirnya Fledge mendarat. Digory berputar turun kemudian
membantu Polly turun dari punggung Fledge. Keduanya senang bisa
meregangkan kaki kaku mereka. Lembah tempat mereka berada
sekarang berada di tengah pegunungan. Tebingtebing tinggi bersalju,
yang salah satunya tampak semerah mawar karena memantulkan sinar
matahari terbenam, menjulang di atas mereka.
"Aku lapar," kata Digory.
"Kalau begitu, makanlah," kata Fledge melahap semulut penuh
rumput. Kemudian dia mendongak—masih sambil mengunyah,
ujung-ujung rumput muncul di setiap sisi bibirnya seperti kumis—dan
berkata, "Ayolah, kalian berdua. Tak usah malumalu. Ada cukup
banyak untuk kita semua."
"Tapi kami tidak bisa makan rumput," kata Digory.
"H'm, h'm," kata Fledge berbicara dengan mulut penuh. "Yah—h'm—
kalau begitu aku tidak tahu apa yang harus kalian makan. Padahal
rumput ini lezat sekali."
Polly dan Digory bertukar pandangan bingung.
"Yah, aku sih yakin seseorang mungkin sudah menyiapkan makanan
kita," kata Digory.
131 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Aku yakin Aslan akan melakukan itu kalau saja kau memintanya
tadi," kata Fledge.
"Apakah tidak mungkin dia sudah tahu tanpa diminta?" tanya Polly.
"Aku tidak ragu dia pasti sudah tahu," kata kuda itu (masih dengan
mulut penuh). "Tapi aku juga punya dugaan dia lebih suka bila kau
meminta terlebih dahulu."
"Kalau begitu apa yang harus kita lakukan?" tanya Digory.
"Aku yakin aku tidak tahu," kata Fledge. "Kecuali kau mau mencoba
rumput ini. Siapa tahu kau akan menyukainya, lebih daripada
dugaanmu."
"Oh, jangan konyol," kata Polly, mengentakkan kaki. "Tentu saja
manusia tidak bisa makan rumput, sama seperti kau tidak bisa makan
daging domba."
"Kumohon jangan sebut-sebut daging domba atau semacamnya," kata
Digory. "Kau bakal membuat keadaan lebih buruk."
Digory bilang sebaiknya Polly pulang sendiri dengan cincinnya
supaya bisa makan di sana. Dia sendiri tidak bisa melakukan itu
karena telah berjanji akan pergi langsung memenuhi permintaan
Aslan. Lagi pula kalau dia muncul lagi di rumah, apa pun bisa terjadi
untuk mencegahnya kembali ke sini. Tapi Polly bilang dia tidak akan
meninggalkannya sendiri sehingga Digory pun memuji Polly baik
sekali.
"Ah iya," kata Polly, "aku masih punya kantong berisi sisa permen
toffee di jaketku. Pastinya itu akan lebih baik daripada tidak sama
sekali."
"Jauh lebih baik," kata Digory. "Tapi berhati-hatilah memasukkan
tangan ke sakumu, jangan sampai cincinnya tersentuh."

132 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ini tindakan yang sulit dan butuh ketelitian namun akhirnya mereka
berhasil melakukannya. Kantong kertas kecil itu sudah tergencet dan
lengket ketika mereka mengeluarkannya, jadi sekarang mereka
terpaksa merobek dan membersihkan kantong kertas yang menempel
ke permen, bukannya tinggal mengeluarkan permen dari kantong.
Beberapa orang dewasa (kau tahu sendiri betapa mereka bisa begitu
ributnya hanya karena hal-hal seperti ini) akan lebih memilih tidak
makan malam sama sekali daripada memakan permen-permen toffee
itu. Masih ada sembilan permen di dalam kantong.
Digory-lah yang punya ide cemerlang untuk membagi masing-masing
empat dan menanam toffee kesembilan. Dia bilang, "Kalau batang
besi dari lampu tiang berubah menjadi pohon lampu kecil, bisa saja
permen ini jadi pohon toffee, kan?"
Jadi mereka menggali lubang kecil di tanah yang berumput itu dan
menanam permen tersebut. Kemudian mereka memakan bagian
masing-masing, melakukannya selama mungkin yang mereka bisa.
Makan malam ini menyedihkan sekali, bahkan dengan semua kertas
yang mau tidak mau ikut termakan oleh mereka.
Setelah menyelesaikan makan malamnya yang luar biasa, Fledge
berbaring. Kedua anak itu menghampirinya dan berbaring di sisi yang
berbeda, bersender di tubuh hangat kuda tersebut. Lalu ketika Fledge
melebarkan sayapnya di atas Digory dan Polly, mereka merasa cukup
nyaman dan hangat.
Saat bintang-bintang muda yang terang keluar di dunia baru itu,
mereka membicarakan segalanya: tentang betapa Digory berharap
mendapatkan sesuatu untuk ibunya dan tentang bagaimana dia malah
dikirim untuk memenuhi permintaan Aslan. Kemudian mereka akan
saling mengulangi semua tanda yang menunjukkan tempat yang
mereka cari— danau biru dan bukit dengan taman di atasnya.

133 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Percakapan barulah memelan karena mereka mulai mengantuk, ketika
mendadak Polly duduk dengan mata terbuka lebar dan berkata, "Sstt"
Mereka bertiga memasang telinga setajam mungkin.
"Mungkin hanya suara pohon yang ditiup angin," kata Digory
akhirnya.
"Aku tidak yakin," kata Fledge. "Yah pokoknya— tunggu Suara itu
terdengar lagi. Demi Aslan, memang ada sesuatu."
Kuda itu bangkit dengan suara keras dan lompatan besar, Digory dan
Polly sudah lebih dulu berdiri. Fledge berlari kecil ke sana kemari,
mengendus-endus dan meringkik.
Kedua anak itu berjingkat-jingkat ke kiri dan ke kanan, memeriksa ke
balik setiap semak dan pohon. Mereka terus menduga mereka telah
melihat sesuatu, bahkan ada satu saat ketika Polly yakin sekali dia
telah melihat sosok gelap tinggi berjalan cepat menjauh ke arah barat.
Tapi mereka tidak menemukan apa pun dan akhirnya Fledge
berbaring lagi dan kedua anak itu kembali menyelimuti diri (kalau
penggunaan kata ini memang tepat) di bawah sayapnya.
Mereka pun langsung tertidur. Fledge terjaga lebih lama,
menggerakkan telinga maju-mundur dalam kegelapan dan terkadang
kulitnya gemetar sedikit seolah ada lalat mendarat di tubuhnya, tapi
akhirnya dia pun terlelap.
***

134 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 13
Pertemuan Tak Terduga

BANGUN, Digory, bangun, Fledge," terdengar suara Polly. "Permen


yang kita tanam semalam sudah menjadi pohon toffee. Pagi ini juga
indah sekali."
Sinar rendah matahari pagi mengalir membanjiri hutan, rerumputan
tampak kelabu karena embun, dan sarang labah-labah seperti perak.
Tepat di sebelah mereka, berdiri pohon kecil berbatang cokelat tua
sekali, kira-kira seukuran pohon apel. Dedaunannya keputihan dan
seperti kertas, seperti tanaman bernama honesty. Pohon itu dipenuhi
buah-buah cokelat kecil yang kelihatan seperti kurma.
"Hore" kata Digory. "Tapi aku akan berenang dulu."
Dia bergegas melewati satu atau dua semak berbunga menuju tepi
sungai. Apakah kau pernah berenang di sungai gunung yang mengalir
deras seperti air terjun rendah di atas bebatuan merah, biru, dan
kuning yang disinari matahari? Di laut rasanya juga sama nyamannya,
dalam beberapa hal malah nyaris lebih baik. Tentu saja, dia harus
berpakaian lagi tanpa mengeringkan tubuh dulu, tapi itu bukan
masalah. Ketika dia kembali, gantian Polly yang turun ke sungai dan
berenang.
Setidaknya itulah yang dia bilang dia lakukan, tapi kita tahu dia
bukanlah perenang yang baik dan mungkin lebih baik tidak terlalu
banyak bertanya. Fledge mengunjungi sungai juga, tapi dia hanya
berdiri di tengah aliran air, menunduk cukup lama untuk meminum
air, kemudian mengibaskan surainya dan meringkik beberapa kali.
Polly dan Digory kemudian sibuk dengan pohon toffee. Buahnya
lezat, tidak benarbenar seperti toffee—yang pasti lebih lembut dan
berair—tapi seperti buah yang mengingatkan kita akan toffee. Fledge
135 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
juga mendapatkan sarapan yang menyenangkan. Dia mencoba salah
satu buah toffee dan menyukainya, tapi berkata dia lebih ingin makan
rumput pada jam sepagi itu. Lalu dengan sedikit enggan kedua anak
itu naik kembali ke punggungnya dan perjalanan hari kedua pun
dimulai.
Perjalanan kali ini lebih ringan daripada kemarin, sebagian karena
semua orang merasa begitu segar, dan sebagian karena matahari yang
telah terbit berada di belakang mereka, sebab tentu saja, semua
kelihatan lebih indah ketika cahaya berada di belakangmu.
Perjalanan itu menyenangkan sekali. Gunung-gunung besar bersalju
berdiri di atas mereka di setiap arah. Lembah-lembahnya, jauh di
bawah mereka, tampak begitu hijau, dan semua aliran air yang
tercurah dari sungai es menuju sungai utama tampak begitu biru,
seolah mereka sedang terbang di atas perhiasan raksasa.
Mereka sebenarnya ingin bagian petualangan ini berlangsung lebih
lama. Tapi tak lama kemudian mereka semua mengendus-endus udara
dan berkata, "Apa ini?" dan "Apakah kau mencium sesuatu?" dan
"Dari mana asalnya?"
Karena saat itu tercium wangi surgawi, begitu hangat dan keemasan,
yang seolah berasal dari buah-buah paling lezat dan bunga-bunga
paling indah di dunia, mendatangi mereka dari suatu tempat di depan.
"Wangi ini datang dari lembah dengan danau itu," kata Fledge.
"Kau benar," kata Digory. "Dan lihat Ada bukit hijau di sisi jauh
danau itu. Lihat, betapa biru airnya."
"Pasti itu tempatnya," kata mereka bertiga.
Fledge terbang kian rendah dalam putaran besar. Puncak-puncak
berlapiskan es berdiri semakin tinggi di atas mereka. Udara kian
terasa hangat dan manis setiap detiknya, begitu manis sehingga
hampir bisa membawa air mata ke matamu. Fledge kini melayang
136 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dengan kedua sayapnya terbentang diam di setiap sisi, kakikakinya
bersiap mencengkeram tanah. Bukit hijau yang terjal berkelebat di
sekeliling mereka.
Sedetik kemudian dia mendarat pada salah satu tanjakannya, dengan
agak canggung. Kedua anak itu terjatuh dari pundak Fledge, mendarat
tanpa terluka pada rumput hangat dan tebal, lalu berdiri sambil sedikit
terengah. Mereka berada di tiga perempat jalan menuju puncak bukit,
langsung memutuskan untuk memanjat ke sana. (Kurasa Fledge tidak
akan bisa melakukan ini tanpa kedua sayapnya untuk
menyeimbangkan tubuh dan memberinya bantuan gerakan terbang
sekali-sekali.)
Di sekeliling bagian paling atas bukit ada dinding tumbuhan hijau
yang tinggi. Di dalam dinding itu, pepohonan tumbuh. Cabang-
cabang pepohonan itu bergantungan di atas dinding, dedaunan yang
terlihat di cabang-cabang tersebut tidak hanya hijau, tapi juga biru dan
keperakan saat angin mengembus. Ketika para pengelana mencapai
puncak, mereka nyaris berjalan mengelilingi dinding hijau itu
sebelum akhirnya menemukan pintu gerbang: gerbangnya tinggi dan
terbuat dari emas, tertutup rapat, dan menghadap ke arah timur.
Hingga saat ini kurasa Fledge dan Polly berpikir mereka akan masuk
ke sana bersama Digory. Tapi pikiran mereka itu berubah. Kau tidak
akan pernah melihat tempat yang tampak begitu tertutup. Hanya
secara sekilas, kau akan langsung bisa melihat tempat itu milik
seseorang. Hanya orang bodoh yang bermimpi masuk kecuali dia
telah dikirim ke sana untuk urusan yang sangat khusus.
Digory sendiri langsung mengerti teman-temannya tidak akan dan
tidak bisa masuk bersamanya. Dia melanjutkan berjalan menghampiri
gerbang sendirian. Ketika dia sampai di sana dia melihat kata-kata
ditulis di emas dengan huruf-huruf perak.
Kata-katanya kira-kira seperti ini:

137 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Masuklah melalui gerbang emas
atau tidak sama sekali,
Ambil buahku untuk orang lain
atau dirimu sendiri,
Karena bagi mereka yang mencuri
atau memanjat dindingku
Akan mengetahui isi hati mereka
dan menemukan pilu.
Ambil buahku untuk orang lain, kata Digory kepada dirinya sendiri.
Yah, itulah yang ingin kulakukan. Kurasa itu berarti aku sama sekali
tidak boleh memakannya untuk diriku sendiri.
Aku tidak mengerti kata-kata di barisan terakhir. Masuklah melalui
gerbang emas. Yah, siapa yang mau memanjat dinding kalau kita bisa
masuk lewat gerbang? Tapi bagaimana cara membuka gerbang ini?
Dia meletakkan tangannya ke pintu gerbang dan daun pintunya
langsung berayun terbuka, menyajikan jalan masuk, bergerak dengan
engselnya tanpa suara sedikit pun.
Kini begitu dia bisa melihat tempat di dalamnya, taman itu tampak
semakin eksklusif daripada apa pun yang pernah dilihatnya. Dia
berjalan masuk tanpa suara sambil melihat ke sekelilingnya.
Segalanya begitu senyap di dalam. Bahkan air mancur yang berdiri di
tengah taman hanya menimbulkan suara samar. Wangi yang
menyenangkan mengelilinginya, tempat itu begitu bahagia tapi juga
sangat serius.
Dia langsung tahu yang mana pohon yang benar, sebagian karena
pohon itu berdiri tepat di tengah-tengah taman, dan sebagian karena
apel-apel besar keperakan yang tumbuh di sana begitu berkilauan

138 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
serta menebarkan cahaya tersendiri pada tempat-tempat berbayang
yang tidak tercapai sinar matahari.
Dia berjalan lurus menghampiri pohon tersebut, memetik apel,
kemudian memasukkannya ke saku dada jaket Norfolk-nya. Tapi dia
tidak bisa mencegah dirinya memandangi buah itu dan mengendusnya
sebelum memasukkannya ke saku.
Seharusnya dia tidak melakukan itu. Rasa haus dan lapar yang
mengerikan langsung menguasainya dan dia jadi ingin sekali
merasakan buah tersebut. Cepatcepat dia menyimpannya ke saku, tapi
masih banyak buah yang lain.
Apakah salah untuk mencicipi salah satunya?
Lagi pula, pikirnya, peringatan di gerbang itu mungkin saja bukan
benar-benar perintah, bisa jadi itu hanya nasihat—dan siapa yang
peduli pada nasihat? Atau bahkan kalaupun itu memang perintah,
apakah memakan sebuah apel bakal berarti melanggarnya? Dia telah
mematuhi bagian tentang mengambil satu untuk "orang lain".
Sementara berpikir tentang semua ini, kebetulan dia mendongak dan
melihat ke antara cabang-cabang yang menjulang hingga bagian atas
pohon itu. Di sana, pada cabang di atas kepalanya, burung
menakjubkan bersarang. Aku menggunakan kata "bersarang" karena
dia tampak nyaris tertidur, tapi tidak juga.
Segaris tipis pada kelopak salah satu matanya terbuka. Burung itu
lebih besar daripada elang, dadanya jingga, kepalanya dimahkotai
bulubulu merah, dan ekornya ungu.
"Dan ini jelas-jelas menunjukkan," kata Digory setelahnya ketika dia
menceritakan kisah ini kepada orang lain, "bahwa kau tidak bisa tidak
terlalu berhati-hati di tempat-tempat ajaib ini. Kau tidak akan pernah
tahu apa yang sedang memerhatikanmu."

139 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tapi kurasa apa pun yang terjadi Digory tidak akan mengambil apel
itu untuk dirinya sendiri. Hal-hal seperti Janganlah Kau Mencuri,
menurutku tertanam jauh lebih dalam di kepala anak-anak lelaki di
masa-masa itu daripada sekarang. Tetap saja, kita tidak pernah bisa
yakin.
Digory baru saja hendak berbalik menuju gerbang masuk ketika dia
berhenti dan melihat ke sekeliling untuk yang terakhir kalinya. Dia
terkejut luar biasa. Dia tidaklah sendirian. Di sana, hanya beberapa
meter dari dirinya, berdiri sang penyihir. Dia baru saja melempar sisa
bagian tengah apel yang dimakannya. Air buah itu ternyata lebih
gelap daripada dugaanmu dan meninggalkan noda mengerikan di
sekeliling mulutnya.
Digory langsung menebak dia telah memanjat dinding tumbuhan. Dan
dia mulai melihat mungkin kalimat terakhir pada gerbang tadi
ternyata ada artinya, tentang mendapatkan keinginan hatimu dan
mendapatkan kepiluan di saat yang sama. Karena sang penyihir
tampak lebih kuat dan bangga daripada sebelumnya, dan bahkan
entah bagaimana, penuh kemenangan. Tapi wajahnya pucat seperti
mayat, seputih garam.
Semua hal itu berkelebat sekaligus dalam kepala Digory, kemudian
dia beranjak dan berlari menuju gerbang secepat yang bisa
dilakukannya. Sang penyihir mengikutinya. Segera setelah dia berada
di luar, gerbang tertutup sendiri di belakangnya. "Cepat, naik ke kuda,
Polly Ayo, Fledge."
Sang penyihir telah memanjat dinding, atau melompatinya, dan sudah
berada dekat di belakangnya lagi.
"Tetap di situ," teriak Digory, berbalik untuk bertatapan dengannya,
"atau kami semua akan menghilang. Jangan mendekat barang satu
sentimeter pun."

140 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Anak bodoh," kata sang penyihir. "Kenapa kau lari dariku? Aku
tidak bermaksud menyakitimu. Kalau kau tidak berhenti dan
mendengarkanku sekarang, kau akan kehilangan pengetahuan yang
bisa membuatmu bahagia seumur hidup."
"Yah, aku tidak mau mendengarnya, trims," kata Digory. Padahal itu
tidak benar.
"Aku tahu kesulitan apa yang membawamu ke sini," sang penyihir
melanjutkan.
"Karena akulah yang berada di dekatmu semalam di hutan dan
mendengar semua kegalauanmu. Kau telah memetik buah di taman
tadi. Kini kau membawanya di sakumu. Dan kau akan membawanya
kembali, tanpa merasakannya, kepada si singa. Untuk dimakan
olehnya, untuk digunakan olehnya. Kau begitu polos Apakah kau tahu
buah apa itu? Aku akan memberitahumu. Buah itu apel kebeliaan,
apel kehidupan. Aku tahu, karena aku telah mencicipinya, dan aku
sudah merasakan begitu banyak perubahan pada diriku sehingga aku
tahu aku tidak akan menua atau mati. Makan buah itu, Nak,
makanlah. Lalu kau dan aku akan bersama-sama hidup selamanya,
menjadi raja dan ratu untuk seluruh dunia ini—atau duniamu, kalau
kita memutuskan kembali ke sana."
"Tidak, terima kasih," kata Digory, "aku tidak tahu apakah aku akan
sangat peduli untuk hidup terus sementara semua orang yang kukenal
meninggal. Lebih baik aku hidup dengan jangka waktu normal, mati,
dan pergi ke surga."
"Tapi bagaimana dengan ibumu, kau selalu bersikap seolah sangat
menyayanginya?"
"Apa hubungannya dia dengan semua ini?" tanya Digory.
"Tidakkah kaulihat, bodoh, bahwa satu gigitan apel itu saja bakal bisa
menyembuhkannya? Kau telah memilikinya di sakumu. Hanya ada

141 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kita di sini dan sang singa jauh di tempat lain. Gunakan sihirmu dan
kembalilah ke duniamu sendiri. Semenit kemudian kau bisa berada di
samping tempat tidur ibumu, memberinya buah itu. Lima menit
kemudian kau akan melihat rona wajahnya kembali. Dia akan berkata
kepadamu rasa sakit yang dideritanya telah hilang. Tak lama
kemudian dia akan bilang kepadamu dia merasa lebih kuat. Lalu dia
akan tertidur—pikirkan itu: berjam-jam tidur nyenyak yang alami,
tanpa rasa sakit, tanpa obat-obatan. Hari berikutnya semua orang akan
berkata betapa luar biasa kesembuhannya. Tak lama setelah itu dia
akan cukup sehat kembali. Semua akan baik-baik lagi. Rumahmu
akan bahagia lagi. Kau akan kembali menjadi seperti anak laki-laki
lain."
"Oh" Digory terperangah seolah dia telah dilukai, dan meletakkan
tangan di kepala. Karena kini dia tahu pilihan paling buruk ada di
hadapannya.
"Apa yang telah dilakukan sang singa untukmu sehingga kau rela
menjadi budaknya?" tanya sang penyihir. "Apa yang bisa
dilakukannya padamu setelah kau kembali ke duniamu sendiri? Dan
apa yang akan ibumu pikir kalau saja dia tahu kau bisa saja
menghilangkan rasa sakitnya, mengembalikan hidupnya, dan
menyelamatkan hati ayahmu dari rasa sedih, tapi kau tidak melakukan
itu—bahwa kau lebih memilih memenuhi permintaan seekor binatang
liar di dunia asing yang bahkan tidak ada hubungannya denganmu?"
"Me-menurutku dia bukan binatang liar," kata Digory dengan suara
yang seolah tertahan. "Dia—entahlah—"
"Kalau begitu dia sesuatu yang lebih buruk," kata sang penyihir.
"Lihatlah apa yang belum-belum sudah dilakukannya kepadamu,
lihatlah betapa dia telah membuatmu tidak berhati. Itulah ulahnya
kepada semua orang yang mendengarkannya. Kau menjadi anak lelaki
yang kejam dan tak berbelas kasih. Kau lebih memilih membiarkan
ibumu sendiri mati daripada—"
142 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Oh, diamlah," kata Digory sebal, masih dengan suara yang sama.
"Kaupikir aku tidak menyadari itu? Tapi aku—aku sudah berjanji."
"Ah, tapi kau tidak tahu apa yang kaujanjikan. Dan tidak ada seorang
pun di sini yang bisa mencegahmu."
"Justru ibuku sendiri," kata Digory, agak sulit baginya untuk
mengucapkan katakata itu, "tidak akan menyukainya—dia amat tegas
soal menepati janji—juga soal mencuri—dan hal-hal seperti itu. Dia
akan melarangku melakukannya— langsung tanpa ragu-ragu—kalau
saja dia ada di sini."
"Tapi dia tidak akan pernah tahu," kata si penyihir, berbicara dengan
nada yang begitu manis sehingga kau bakal terkejut seseorang dengan
wajah begitu kejam bisa berbicara seperti itu. "Kau tidak akan
memberitahunya bagaimana cara kau mendapatkan apel itu. Ayahmu
juga tidak perlu tahu. Tidak seorang pun di duniamu perlu tahu apa
pun tentang seluruh cerita ini. Kau tidak perlu membawa pulang gadis
kecil itu pulang, ya kan?"
Di situlah sang penyihir membuat kesalahan fatal. Tentu saja Digory
tahu Polly bisa dengan mudah pergi dengan cincinnya sendiri seperti
dirinya. Tapi tampaknya sang penyihir tidak tahu soal itu. Dan
kekejaman saran meninggalkan Polly di dunia itu mendadak membuat
segala hal yang sudah dikatakan sang penyihir kepadanya terdengar
begitu salah dan hampa.
Dan bahkan dalam selimut kabut kesedihan, kepala Digory mendadak
menjadi begitu jernih, dan dia berkata (dengan nada suara yang
berbeda dan lebih keras): "Tunggu dulu, sebenarnya apa pedulimu
dengan semua ini? Kenapa mendadak kau begitu memerhatikan
ibuku? Apa untungnya buatmu? Apa permainanmu?"
"Bagus, Digory," bisik Polly di telinganya. "Cepat Kita harus pergi
sekarang."

143 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Polly tidak berani berkata apa-apa sepanjang argumen itu karena, kau
harus mengerti, bukan ibunya yang sedang sekarat.
"Ayo naik kalau begitu," kata Digory, mengangkat Polly ke punggung
Fledge kemudian ikut naik ke sana secepat yang dia biasa. Sang kuda
terbang membentangkan sayapnya.
"Pergilah kalau begitu, dasar bodoh," teriak sang penyihir. "Ingatlah
aku, Nak, saat kau berbaring tua, lemah, dan sekarat. Ingatlah
bagaimana kau membuang begitu saja kesempatan mendapatkan
kemudaan abadi Tidak akan ada lagi tawaran itu untukmu."
Mereka sudah terlalu tinggi sehingga mereka hanya bisa mendengar
suara sang penyihir. Namun sang penyihir pun tidak membuat waktu
untuk mendongak dan menatap kepergian mereka. Mereka melihatnya
berjalan ke arah utara, menuruni turunan bukit. Mereka memulai
perjalanan itu pagi-pagi sekali dan kejadian di taman tidaklah
memakan waktu lama, sehingga Fledge dan Polly sama-sama berkata
mereka dapat dengan mudah tiba di Narnia sebelum malam
menjelang.
Digory tidak mengucapkan apa-apa sepanjang perjalanan pulang,
Fledge dan Polly pun tidak berani mengajaknya bicara. Digory
merasa sangat sedih dan tidak selalu yakin dia telah melakukan hal
yang benar. Tapi setiap kali dia mengingat air mata berkilau pada
mata Aslan, keraguan hilang dari hatinya.
Sepanjang hari Fledge terbang mantap dengan sayap-sayap yang tidak
lelah, menuju timur dengan mengikuti aliran sungai, melalui
pegunungan dan melewati perbukitan yang ditutupi hutan liar,
kemudian melintasi air terjun besar, lalu turun, dan turun, menuju
hutan-hutan Narnia yang ditutupi bayangan tebing raksasa, hingga
akhirnya, ketika langit memerah karena matahari terbenam di
belakang mereka, dia melihat tempat banyak makhluk berkumpul di

144 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pinggir sungai. Dan tak lama kemudian dia bisa melihat Aslan di
antara makhluk-makhluk itu.
Fledge melayang turun, merentangkan keempat kakinya, merapatkan
sayap-sayap, dan mendarat sambil berderap perlahan. Kemudian dia
berhenti. Digory dan Polly turun dari punggungnya. Digory melihat
semua hewan, dwarf, satyr, nymph (=peri alam yang cantik), dan
makhluk-makhluk lain menyingkir ke kiri dan kanan,
mempersilakannya lewat.
Dia berjalan menghampiri Aslan, menyerahkan apel di sakunya
kepada singa itu, lalu berkata: "Aku membawakanmu apel yang
kauminta, Sir."
***

145 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 14
Penanaman Pohon

"BAGUS sekali," kata Aslan dengan suara yang menggetarkan bumi.


Kemudian Digory tahu semua penghuni Narnia telah mendengar kata-
kata itu dan kisah tentang mereka akan diceritakan dari orangtua ke
anak di dunia baru ini selama ratusan tahun dan mungkin selamanya.
Tapi dia tidak terancam merasa tinggi hati karena dia sama sekali
tidak memikirkannya kini, ketika berhadapan dengan Aslan. Kali ini
dia mendapati dirinya mampu bertatapan langsung dengan sang singa.
Dia telah melupakan segala masalahnya dan merasa sangat puas.
"Bagus sekali, Putra Adam," kata sang singa lagi. "Karena buah ini
kau telah merasa kelaparan, kehausan, dan kesedihan. Tiada tangan
lain selain tanganmu yang akan menumbuhkan bibit pohon bakal
pelindung Narnia. Lemparkan apel itu ke arah tepi sungai, di sana
tanahnya lembut."
Digory mematuhi perintah itu. Keadaan menjadi begitu sunyi
sehingga kau bisa mendengar suara jatuhnya yang pelan ketika apel
itu mendarat di lumpur.
"Lemparan yang bagus," kata Aslan. "Marilah kita melanjutkan
kepada penobatan Raja Frank penguasa Narnia dan Helen ratunya."
Digory dan Polly kini menyadari kehadiran pasangan suami-istri itu
untuk pertama kalinya. Mereka mengenakan baju yang unik dan
indah, dari bahu mereka jubah menggantung hingga ke belakang
mereka tempat empat dwarf memegangi ekor jubah sang raja,
sementara empat nymph sungai memegangi ekor jubah sang ratu.
Kepala mereka telanjang, tapi Helen telah menggeraikan rambutnya
dan ini benarbenar membuat penampilannya jauh lebih cantik. Tapi

146 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
bukanlah tataan rambut maupun pakaian yang membuat mereka
begitu berbeda dengan diri mereka yang dulu. Wajah mereka
memiliki ekspresi baru, terutama sang raja. Segala ketajaman,
kelicikan, dan aura menyebalkan yang didapatnya selama menjadi
kusir kereta sewaan tampaknya telah lenyap. Keberanian dan
kebaikan hati yang selalu dimilikinya kini lebih mudah dilihat.
Mungkin udara dunia muda itu, atau bercakap-cakap dengan Aslan,
atau keduanya yang menyebabkan perubahan ini.
"Astaga," bisik Fledge ke Polly. "Majikan lamaku telah berubah
nyaris sebanyak diriku Wah, sekarang dia telah menjadi penguasa
sungguhan."
"Ya, tapi jangan berbisik begitu ke telingaku," kata Polly. "Geli
sekali."
"Sekarang," kata Aslan, "beberapa di antara kalian bukalah jalinan
yang telah kalian buat dengan pepohonan itu dan marilah kita lihat
apa yang akan kita temukan di dalamnya."
Digory kini melihat empat pohon tumbuh begitu dekat sehingga
cabang-cabang keempatnya terpilin atau terikat satu sama lain dengan
simpul-simpul, membentuk semacam sangkar. Dua gajah dengan
belalai mereka dan beberapa dwarf dengan kapak kecil mereka segera
membukanya.
Ada tiga benda di dalamnya. Salah satunya pohon muda yang
tampaknya terbuat dari emas, dan yang kedua adalah pohon yang
sepertinya terbuat dari perak, tapi benda ketiga adalah sesuatu yang
menyedihkan dengan pakaian berlumpur, duduk membungkuk di
antara kedua pohon itu.
"Ya ampun" bisik Digory. "Paman Andrew"
Untuk menjelaskan semuanya kita harus mundur sedikit. Para hewan,
kalau kau ingat, telah berusaha menanam dan menyirami Paman
147 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Andrew. Ketika siraman itu menyadarkannya, dia mendapati dirinya
basah kuyup, terkubur hingga pahanya di dalam tanah (yang dengan
cepat berubah menjadi lumpur) dan dikelilingi lebih banyak hewan
liar daripada yang pernah diimpikannya seumur hidup. Mungkin
tidaklah mengejutkan bila dia mulai berteriak dan menjerit. Kejadian
ini bila dilihat dari satu sisi adalah hal baik, karena ini akhirnya
meyakinkan semua makhluk (bahkan Babi Hutan) bahwa dia memang
makhluk hidup.
Jadi mereka menggalinya lagi (keadaan celana panjangnya kini sangat
buruk). Segera setelah kakinya bebas, dia mencoba melarikan diri tapi
satu libatan cepat belalai Gajah di sekeliling pinggangnya langsung
menggagalkan usaha itu. Semua makhluk kini berpikir dia harus
ditahan di suatu tempat sampai Aslan punya waktu untuk datang,
melihatnya, dan memberitahu mereka apa yang harus dilakukan
kepadanya. Jadi mereka membuat semacam sangkar atau kurungan di
sekelilingnya. Mereka kemudian menawarkan apa pun yang ada di
benak mereka untuk makanannya.
Keledai mengumpulkan setumpuk tinggi perdu berduri kemudian
melemparkannya ke dalam sangkar, tapi Paman Andrew tidak tampak
peduli. Para tupai memborbardirnya dengan hujan kacang-kacangan,
tapi dia hanya menutupi kepala dengan kedua tangannya dan berusaha
menghindar. Beberapa burung terbang bolak-balik dengan rajin,
menjatuhinya dengan cacingcacing.
Beruang telah bersikap luar biasa baik hati. Sore itu dia menemukan
sarang lebah liar dan bukannya memakannya sendirian (padahal dia
ingin sekali melakukan itu), makhluk murah hati ini membawanya ke
Paman Andrew. Tapi tindakan ini ternyata menjadi kegagalan yang
paling parah. Beruang menjatuhkan seluruh gumpalan lengket itu ke
lubang di atas sangkar dan sayangnya mengenai Paman Andrew
langsung di wajahnya (tidak semua lebah di dalamnya sudah mati). Si
beruang, yang sama sekali tidak akan keberatan bila wajahnya

148 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
terbentur sarang lebah, tidak bisa mengerti kenapa Paman Andrew
langsung tergopoh-gopoh mundur, terjatuh, kemudian terduduk. Dan
benar-benar nasib buruk ketika dia menduduki tumpukan perdu
berduri.
"Yah, lagi pula," seperti kata Babi Hutan, "sudah cukup banyak madu
masuk ke mulutnya dan itu pasti ada gunanya."
Mereka benar-benar mulai menyukai piaraan aneh mereka dan
berharap Aslan akan mengizinkan mereka memeliharanya. Makhluk-
makhluk yang lebih cerdas kini cukup yakin bahwa setidaknya
sebagian dari suara yang keluar dari mulut piaraan mereka itu punya
arti. Mereka menamakan dia Brendi karena dia sering sekali
menyuarakan itu. Namun akhirnya mereka harus membiarkannya di
dalam sangkar selama semalam.
Aslan sibuk sepanjang hari memberi pengarahan kepada raja dan ratu
baru, juga melakukan hal-hal penting lain, dan tidak bisa mengurusi
"Brendi yang malang". Dengan segala kacang-kacangan, buah pir,
apel, dan pisang yang dilemparkan kepadanya, Paman Andrew
mendapatkan makan malam yang lumayan, tapi tidak bisa dibilang
dia melalui malam itu dengan cukup nyaman.
"Bawa kemari makhluk itu," kata Aslan.
Salah satu gajah mengangkat Paman Andrew dengan belalainya dan
meletakkannya di depan kaki sang singa.
Paman Andrew terlalu ketakutan untuk bergerak.
"Aku mohon, Aslan," kata Polly, "bisakah kau mengatakan sesuatu
untuk—untuk membuatnya lebih tenang? Kemudian bisakah kau
mengatakan sesuatu untuk mencegahnya datang ke sini lagi?"
"Apakah menurutmu dia akan mau datang ke sini lagi?" tanya Aslan.

149 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Yah, Aslan," kata Polly, "mungkin saja dia mengirimkan orang lain.
Dia begitu senang melihat batang besi dari lampu tiang tumbuh
menjadi pohon lampu tiang, dan dia pikir—"
"Dia membuang tenaga memikirkan hal yang percuma, Nak," kata
Aslan. "Dunia ini berlimpah kehidupan selama beberapa hari ini
karena lagu yang kugunakan untuk membangunkannya masih
mengalun di udara dan bergemuruh di tanah. Lagu itu akan berakhir
tidak lama lagi. Tapi aku tidak mengatakan itu pada pendosa tua ini,
aku juga tidak bisa menenangkannya, dia telah membuat dirinya
sendiri tak mampu mendengar suaraku. Kalau aku berbicara padanya,
dia hanya akan mendengar auman dan geraman. Oh, para putra Adam
betapa pintarnya kalian mempertahankan diri kalian dari segala yang
mungkin berguna untuk kalian Tapi aku akan memberi satu-satunya
hadiah yang masih mampu diterimanya."
Aslan menundukkan kepala besarnya dengan agak sedih, dan
mengembuskan napasnya ke wajah ketakutan si penyihir. "Tidurlah,"
katanya. "Tidur dan terpisahlah selama beberapa jam dari segala
siksaan yang telah kautimpakan pada dirimu sendiri."
Paman Andrew langsung berguling dengan mata terpejam dan mulai
bernapas teratur.
"Bawa dia ke sisi dan baringkan dia," kata Aslan. "Sekarang, para
dwarf Tunjukkan keahlian pandai besi kalian. Perlihatkan kepadaku
dua mahkota untuk raja dan ratu kalian."
Sekelompok besar dwarf yang jumlahnya bahkan tidak bisa
kaubayangkan bergegas mendekati Pohon Emas. Mereka mencabuti
seluruh daunnya, bahkan beberapa cabangnya juga dipatahkan,
dengan kecepatan yang luar biasa. Dan kini Digory dan Polly bisa
melihat bahwa bagian-bagian pohon itu tidak hanya tampak seperti
emas tapi memang emas lunak sungguhan. Pohon itu tentu saja
tumbuh dari setengah sovereign yang terjatuh dari saku Paman

150 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Andrew ketika tubuhnya dibalikkan, seperti juga pohon perak tumbuh
dari setengah crown.
Seolah entah dari mana, tumpukan kayu kering untuk bahan bakar,
paron kecil, palu-palu, tang penjepit besi, dan pengembus angin untuk
menjaga api tetap menyala muncul. Detik berikutnya (betapa para
dwarf itu menyukai pekerjaan mereka) api berkobar, pengembus
angin berembus, emas meleleh, dan palu mengentak. Dua tikus tanah,
yang diperintah Aslan untuk menggali (pekerjaan yang paling mereka
sukai) sebelumnya di hari itu, menuangkan setumpuk batu berharga di
kaki para dwarf.
Di bawah jemari terampil para ahli besi kecil itu, dua mahkota mulai
terbentuk—bukan benda-benda jelek dan berat seperti mahkota
Eropa, tapi ringan, halus, dan lingkaran berbentuk indah yang benar-
benar bisa kaukenakan dan tampak lebih bagus saat dikenakan.
Mahkota raja dihiasi batu-batu rubi, sedangkan mahkota ratu dengan
zamrud.
Ketika kedua mahkota itu telah didinginkan di sungai, Aslan
menyuruh Frank dan Helen berlutut di depannya dan dia meletakkan
mahkota di masing-masing kepala mereka. Kemudian dia berkata,
"Berdirilah, Raja dan Ratu Narnia, ayah dan ibu banyak raja yang
akan ada di Narnia, Isles, dan Archenland. Bertindaklah adil, penuh
ampun, dan berani. Doa-doa ada bersama kalian."
Kemudian semua bersorak, menggongong, meringkik, meniupkan
belalai, atau mengepak-ngepakkan sayap. Pasangan raja-ratu itu pun
berdiri tampak hikmat juga sedikit malu, tapi kian tampak mulia
dengan rasa malu mereka itu. Dan sementara masih bersorak, Digory
mendengar suara dalam Aslan di sampingnya, berkata: "Lihat"
Semua makhluk dalam kerumunan itu menoleh, kemudian semua
menarik napas panjang karena rasa takjub dan bahagia. Tak jauh dari

151 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sana, berdiri menjulang hingga di atas kepala, mereka melihat pohon
yang pastinya tidak ada di sana sebelumnya.
Pohon itu pasti telah tumbuh tanpa suara, namun semulus gerakan
bendera jika kau menariknya naik di tiang bendera, sementara mereka
semua disibukkan acara penobatan. Cabang-cabangnya yang
terentang seolah menyebarkan cahaya dan bukannya bayangan. Apel-
apel perak mengintip keluar seperti bintang di antara setiap daun. Tapi
wangi yang keluar dari pohon itulah, jauh melebihi pemandangan
yang ditampilkannya, yang membuat semua makhluk menarik napas.
Selama beberapa saat tidak ada yang bisa memikirkan hal lain.
"Putra Adam," kata Aslan, "kau telah bertanam dengan baik. Dan
kalian, para penghuni Narnia, jadikanlah perhatian pertama kalian
untuk menjaga pohon ini, karena pohon ini pelindung kalian. Penyihir
yang telah kuceritakan kepada kalian telah pergi ke utara dunia, dia
akan terus tinggal di sana, semakin kuat dengan sihir hitamnya. Tapi
selama pohon itu hidup, dia tidak akan pernah datang ke Narnia. Dia
tidak akan berani mendekat dalam jarak seratus mil dari pohon itu,
karena wanginya yang tercium bagai kebahagiaan, kehidupan, dan
kesehatan bagi kalian, terasa seperti kematian, ketakutan, dan
kesedihan baginya."
Semua makhluk menatap lekat-lekat dalam diam ke arah pohon itu
ketika Aslan tiba-tiba memutar kepalanya (menyebarkan berkas-
berkas cahaya keemasan dari surainya saat melakukan itu) dan
memaku mata besarnya pada Digory dan Polly.
"Ada apa, anak-anak?" tanyanya, karena dia melihat mereka sedang
berbisik-bisik dan saling menyikut.
"Oh—Aslan, Sir," kata Digory, wajahnya memerah, "Aku lupa
memberitahumu. Sang penyihir telah memakan salah satu apel itu,
apel yang sama dengan yang tumbuh dari pohon itu."

152 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia tidak benar-benar mengatakan semua yang ada dalam pikirannya,
tapi Polly langsung mengungkapkannya untuknya. (Digory selalu
lebih takut bersikap konyol daripada Polly.)
"Jadi kami pikir, Aslan," kata Polly, "pasti ada beberapa kesalahan
dan dia tidak bisa benar-benar terganggu dengan wangi apel-apel itu."
"Kenapa kau berpikir begitu, Putri Hawa?" tanya sang singa.
"Yah, dia sudah memakan sebuah."
"Nak," dia menjawab, "itulah sebabnya segala hal lain kini menjadi
sesuatu yang menakutkan baginya. Itulah yang terjadi pada orang-
orang yang memetik dan memakan buah pada saat yang salah dan
dengan cara yang salah. Buahnya berguna, tapi mereka membencinya
selamanya."
"Oh, begitu," kata Polly. "Dan kurasa karena dia mengambilnya
dengan cara yang salah buah itu tidak akan berguna baginya.
Maksudku buah itu tidak akan membuatnya terus muda dan
semacamnya?"
"Sayang sekali," kata Aslan, menggeleng-geleng. "Buahnya tetap
akan berguna. Segala hal selalu bekerja sesuai kodratnya. Dia telah
mendapatkan keinginan hatinya, dia memperoleh kekuatan tanpa
kelemahan dan hari-hari tak berakhir seperti dewi. Tapi perpanjangan
hari dengan hati yang jahat hanyalah perpanjangan penderitaan dan
dia sudah mulai mengetahui itu. Setelah mendapatkan segala yang
mereka inginkan, mereka tidak selalu menyukainya."
"Aku—aku hampir memakan buah itu juga, Aslan," kata Digory.
"Apakah aku akan—"
"Benar, Nak," kata Aslan. "Karena buah itu selalu berfungsi—harus
berfungsi—tapi buah itu tidak akan berguna dengan baik bagi siapa
pun yang memetiknya karena keinginan sendiri. Kalau ada penghuni
Narnia yang tanpa diminta mencuri apel dan menanamnya di sini
153 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
untuk melindungi Narnia, pohon yang tumbuh akan melindungi
Narnia. Tapi pohon itu akan melakukannya dengan menjadikan
Narnia kerajaan kuat dan kejam seperti Charn, bukan tanah ramah
yang kuinginkan. Dan sang penyihir membujukmu untuk melakukan
hal lain, anakku, benar kan?"
"Ya, Aslan. Dia membujukku membawa pulang apel untuk ibuku."
"Mengertilah kalau begitu, apel itu memang akan menyembuhkannya,
tapi bukan demi kebahagiaanmu ataupun kebahagiaannya. Akan
datang suatu hari ketika kalian berdua bakal melihat ke belakang dan
berkata lebih baik mati karena penyakit itu."
Dan Digory tidak bisa mengatakan apa pun, karena air mata telah
membuatnya tersedak dan dia telah melepaskan semua harapan
menyelamatkan nyawa ibunya. Namun di saat yang sama dia tahu
sang singa tahu apa yang bakal terjadi, dan bahwa mungkin ada hal-
hal yang lebih buruk bahkan daripada kehilangan seseorang yang
kaucintai karena dijemput kematian.
Tapi kini Aslan berkata lagi, hampir dengan bisikan: "Itulah yang
akan terjadi, Nak, dengan apel curian. Bukan itu yang akan terjadi
sekarang. Yang akan kuberikan kepadamu sekarang akan membawa
kebahagiaan. Apel ini tidak akan membawa kehidupan abadi di
duniamu, tapi akan menyembuhkan. Pergilah. Petikkan ibumu sebuah
apel dari pohon itu."
Selama beberapa saat Digory nyaris tidak bisa mengerti. Seolah
seluruh dunia telah jungkir balik dan tercampur baur. Kemudian,
seperti seseorang dalam mimpi, dia berjalan menghampiri pohon itu.
Raja dan Ratu Narnia bersorak untuknya, para makhluk lain juga
berteriak menyemangati. Dia memetik apel dan memasukkannya ke
saku. Kemudian dia kembali ke Aslan.
"Aku mohon," katanya, "bolehkah kami pulang sekarang?"

154 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia lupa mengucapkan "terima kasih", tapi dia merasakannya dan
Aslan tahu itu.
***

155 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 15
Akhir Kisah Ini dan Awal Kisah-kisah Lain

"KALIAN tidak membutuhkan cincin saat aku bersama kalian," kata


suara Aslan.
Kedua anak itu mengejap-ngejapkan mata dan mendongak. Mereka
sekali lagi berada di Hutan di Antara Dunia-dunia, Paman Andrew
berbaring di rerumputan, masih terlelap. Aslan berdiri di samping
mereka.
"Mari," kata Aslan, "sudah tiba saatnya bagi kalian untuk pulang.
Tapi ada dua hal yang terlebih dahulu harus diurus, peringatan dan
perintah. Lihat kemari, anakanak."
Mereka mengikuti petunjuk Aslan dan melihat lubang kecil di
rerumputan dengan dasar yang juga ditumbuhi rumput, hangat dan
kering.
"Terakhir kali kalian ke sini," kata Aslan, "lubang itu mata air, dan
ketika kalian melompat ke dalamnya kalian tiba di dunia tempat
matahari yang sekarat bersinar di atas reruntuhan Charn. Tidak ada
mata air sekarang. Dunia itu telah berakhir, seolah tidak pernah ada.
Biarlah ras Adam dan Hawa mendapat peringatan."
"Ya, Aslan," kata kedua anak itu bersama-sama.
Tapi Polly menambahkan, "Tapi kami tidaklah separah dunia itu ya
kan, Aslan?
"Belum, Putri Hawa," jawabnya. "Belum. Tapi kalian akan menjadi
seperti itu. Tidaklah pasti apakah orang-orang jahat pada rasmu tidak
akan menemukan rahasia sedahsyat Kata Kemalangan dan
menggunakannya untuk menghancurkan semua makhluk hidup. Dan
tak lama lagi, amat sebentar lagi, sebelum kalian menjadi pria tua dan
156 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
wanita tua, negara-negara besar di dunia kalian akan dikuasai para
tiran yang tidak lebih peduli pada kebahagiaan, keadilan, dan belas
kasihan daripada Maharani Jadis. Biarkan duniamu waspada. Itulah
peringatanku. Sekarang untuk perintahku. Segera mungkin, ambillah
cincin-cincin ajaib milik pamanmu ini dan kuburkan supaya tidak ada
yang bisa menggunakannya lagi."
Digory dan Polly mendongak dan menatap wajah sang singa saat dia
mengucapkan kata-kata ini. Dan mendadak (mereka tidak pernah tahu
pasti bagaimana semua itu bisa terjadi) wajah itu menjelma menjadi
lautan emas cair dan mereka mengapung di dalamnya. Rasa manis
dan kekuatan yang begitu besar berputar-putar di sekeliling mereka,
di atas mereka, dan memasuki mereka sehingga mereka merasa tidak
pernah benarbenar bahagia, bijaksana, atau baik, atau bahkan hidup
dan terjaga sebelumnya.
Dan kenangan momen itu selalu tersimpan di dalam diri mereka,
selamanya sepanjang hidup keduanya. Kalau mereka merasa sedih,
takut, atau marah, kenangan akan segala kebaikan keemasan itu dan
perasaan bahwa semua itu masih ada di sana, cukup dekat, hanya di
suatu belokan, atau di belakang suatu pintu, akan kembali dan
membuat mereka merasa yakin, jauh di dalam hati, bahwa segalanya
baik-baik saja.
Menit berikutnya mereka bertiga (Paman Andrew kini sudah
terbangun) datang terlontar ke dalam kebisingan, panasnya, dan bau-
bau pekat London. Mereka berada di trotoar di luar pintu depan
rumah Ketterley, dan kecuali sang penyihir, si kuda, dan kusir kereta,
segalanya masih persis seperti saat mereka meninggalkannya. Ada
lampu tiang yang salah satu tangannya menghilang, ada puing kereta
kuda sewaan, begitu juga kerumunan orang.
Semua orang masih berbicara dan ada beberapa orang berlutut di
samping para petugas polisi yang terluka, mengatakan hal-hal seperti,

157 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Dia mulai siuman" atau "Bagaimana perasaanmu sekarang, teman?"
atau "Ambulans akan segera sampai di sini."
Wow pikir Digory. Sepertinya seluruh petualangan itu sama sekali
tidak memakan waktu.
Banyak orang di antara kerumunan itu menengok kiri-kanan untuk
mencari Jadis dan kudanya. Tidak ada yang memerhatikan kehadiran
kedua anak itu karena tidak ada yang melihat mereka pergi ataupun
menyadari kepulangan mereka.
Sedangkan Paman Andrew, dengan keadaan pakaiannya sekarang dan
madu yang berlepotan di wajahnya, tidak akan bisa dikenali siapa
pun. Untungnya pintu depan terbuka dan sang pelayan wanita sedang
berdiri di depan pintu mengawasi yang terjadi (hari ini benar-benar
hari yang seru bagi gadis itu). Jadi Digory dan Polly tidak
mendapatkan kesulitan mendorong paksa Paman Andrew sebelum ada
yang bertanya-tanya.
Paman Andrew berlari menaiki tangga mendahului Digory dan Polly
dan awalnya kedua anak itu khawatir dia akan langsung menuju
lotengnya dan berniat menyembunyikan sisa cincin yang dia miliki.
Tapi mereka tidak perlu cemas. Yang sedang dia pikirkan adalah
botol di dalam lemari pakaiannya. Kemudian dia langsung
menghilang di dalam kamar tidurnya dan mengunci pintu. Ketika
keluar lagi (tidak terlalu lama setelah itu), dia mengenakan mantel
mandi dan langsung menuju kamar mandi.
"Bisakah kau mengambil cincin-cincin lainnya, Poll?" tanya Digory.
"Aku mau menengok ibuku."
"Oke. Sampai ketemu nanti," kata Polly, kemudian dia berlari dengan
langkahlangkah berisik saat menaiki lantai loteng.
Digory diam sesaat untuk mengatur napas, lalu dia berjalan pelan ke
kamar ibunya. Dan di sanalah ibunya berbaring, seperti yang sering

158 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dia lihat sebelumnya, bersandar pada bantal. Wajahnya kurus dan
pucat yang bisa membuatmu menangis bila melihatnya.
Digory mengeluarkan apel kehidupan dari sakunya. Dan seperti sang
penyihir Jadis yang tampak berbeda ketika kau melihatnya di dunia
kita dengan ketika kau melihatnya di dunianya sendiri, buah dari
taman gunung itu pun tampak berbeda.
Tentu saja ada berbagai macam warna di kamar tidur itu, kain
penutup tempat tidur di ranjang, kertas dinding, sinar matahari dari
jendela, dan mantel tidur biru pucat yang cantik milik Ibu. Tapi begitu
Digory mengeluarkan apel yang dibawanya dari saku, semua benda
itu seolah nyaris tidak memiliki warna. Semuanya, bahkan sinar
matahari, tampak pudar dan suram. (Kau harus ingat saat itu musim
panas sehingga walaupun hari sudah malam, matahari belumlah
terbenam.)
Kilau terang apel itu menebarkan cahaya-cahaya aneh di langit-langit.
Tidak ada hal lain yang lebih menarik untuk dilihat, kau tidak akan
mampu melihat yang lain. Dan harum apel kebeliaan membuatmu
berpikir ada jendela di ruangan itu yang membuka ke Surga.
"Oh, Sayang, cantik sekali," kata ibu Digory.
"Ibu mau memakannya, kan? Aku mohon," kata Digory.
"Aku tidak tahu apa kata dokter nanti," dia menjawab. "Tapi
sungguh—aku hampir merasa mampu memakannya."
Digory mengupas, memotong-motong, dan memberikan apel itu
kepada ibunya seiris demi seiris. Dan tak lama setelah selesai
memakannya, ibu Digory tersenyum dan kepalanya kembali terbenam
ke bantal. Dia pun tertidur: tidur sungguhan, yang alami dan lembut,
tanpa obat-obatan memuakkan itu, sesuatu yang Digory sudah tahu,
hal yang paling diinginkannya di dunia ini.

159 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Digory pun kini yakin wajah ibunya tampak agak berbeda. Dia
membungkuk dan mencium ibunya dengan sangat lembut, kemudian
pelan-pelan keluar dari kamar itu dengan hati berdebar sambil
membawa bagian tengah apel tadi. Sepanjang hari itu, setiap kali dia
melihat benda-benda di sekitarnya dan melihat betapa biasa dan tidak
ajaibnya benda-benda itu, dia nyaris tidak berani berharap. Tapi
ketika dia mengingat wajah Aslan, harapan pun muncul.
Malam itu dia mengubur bagian tengah apel kehidupan di halaman
belakang. Pagi berikutnya ketika sang dokter melakukan kunjungan
rutin, Digory mencondongkan tubuh di atas pagar tangga dan
mendengarkan. Dia mendengar sang dokter keluar bersama Bibi Letty
dan berkata: "Miss Ketterley, ini kasus paling luar biasa yang pernah
kuketahui sepanjang karier kedokteranku. Ini—ini seperti keajaiban.
Aku tidak akan memberitahu anak lelakinya apa pun saat ini, kita
tidak mau menimbulkan harapan-harapan kosong. Tapi menurut
pendapatku—" Kemudian suaranya menjadi terlalu pelan untuk
didengar.
Siang itu dia turun ke taman dan menyiulkan sinyal rahasia yang
sudah disepakatinya bersama Polly (gadis kecil itu belum bisa
kembali ke sana sejak kemarin).
"Bagaimana?" tanya Polly, melihat dari atas dinding. "Maksudku,
tentang ibumu?"
"Kurasa—kurasa semua akan baik-baik saja," kata Digory. "Tapi
kalau kau tidak keberatan aku belum terlalu ingin membicarakannya.
Bagaimana dengan cincin-cincinnya?"
"Aku sudah mendapatkan semuanya," kata Polly. "Lihat, tenang saja,
aku memakai sarung tangan. Ayo kita kubur."
"Ya, ayo. Aku menandai tempat aku mengubur sisa apel kemarin."

160 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kemudian Polly memanjat dinding dan mereka pergi ke tempat itu
bersama-sama. Tapi ternyata Digory tidak perlu menandai tempat itu.
Sesuatu sudah muncul dari dalamnya. Sesuatu itu tidaklah tumbuh
seperti pohon-pohon baru di Narnia, di mana kau bisa melihatnya
benar-benar bertambah besar, tapi ada pucuk yang tampak muncul di
permukaan. Mereka mengambil sekop dan mengubur semua cincin
ajaib, termasuk cincin milik mereka, mengelilingi pucuk tersebut.
Sekitar seminggu setelah kejadian ini sudah bisa dipastikan keadaan
ibu Digory membaik. Dua minggu kemudian dia sudah bisa duduk di
luar rumah di taman. Dan sebulan kemudian seluruh rumah itu telah
menjadi tempat yang sama sekali berbeda.
Bibi Letty melakukan segalanya yang diinginkan ibu Digory. Jendela-
jendela dibuka, gorden-gorden lusuh disingkapkan untuk membuat
ruangan lebih terang. Kini juga ada bunga-bunga baru di mana pun,
dan lebih banyak makanan yang bisa disantap, piano tua sudah
diperbaiki, ibu Digory mulai bernyanyi lagi juga melakukan
permainan-permainan bersama Digory dan Polly sehingga Bibi Letty
akan berkata, "Sungguh, Mabel, kaulah bayi terbesar di antara kalian
bertiga."
Ketika hal-hal memburuk, biasanya kau akan mendapati hal-hal itu
bertambah buruk selama beberapa lama. Tapi sekalinya hal-hal
membaik, sering kali keadaan kian membaik dan membaik.
Setelah sekitar enam minggu kehidupan indah ini berjalan, datanglah
surat panjang dari ayah Digory di India, yang mengabarkan berita
gembira. Paman buyut Ayah, Paman Kirke, telah meninggal dan
tampaknya ini berarti ayah Digory menjadi kaya raya. Dia akan
pensiun dan pulang dari India untuk tinggal terus.
Lalu rumah besar di pedesaan, yang telah didengar Digory sepanjang
hidupnya namun belum pernah dia lihat, akan menjadi rumah mereka.
Rumah besar dengan deretan baju zirah, istal, rumah anjing, sungai,

161 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
taman, rumah kaca, kebun anggur, hutan, dan pegunungan di
belakangnya.
Jadi Digory merasa seyakin dirimu bahwa mereka semua akan hidup
bahagia selama-lamanya. Tapi mungkin kau ingin tahu satu atau dua
hal lagi. Polly dan Digory seterusnya menjadi teman baik dan hampir
setiap liburan Polly akan tinggal bersama keluarga Digory di rumah
pedesaan mereka yang indah. Di sanalah dua anak itu belajar berkuda,
berenang, memerah susu, memasak, dan mendaki gunung.
Di Narnia, para hewan hidup dalam kedamaian dan kebahagiaan.
Sang penyihir ataupun musuh lain tidak datang mengacaukan daratan
tenteram itu selama ratusan tahun. Raja Frank dan Ratu Helen juga
anak-anak mereka hidup bahagia di Narnia. Anak kedua mereka
menjadi Raja Archenland. Anak-anak laki-laki menikahi nymph dan
para anak perempuan menikahi dewa hutan dan dewa sungai.
Lampu tiang yang ditanam sang penyihir (secara tak sengaja) bersinar
siang dan malam di hutan Narnia sehingga tempat lampu itu tumbuh
dinamakan Area Lentera. Dan ketika, bertahun- tahun kemudian, anak
lain dari dunia kita datang ke Narnia pada suatu malam bersalju, dia
mendapati cahaya lampu itu masih menyala.
Dan petualangan itu, dengan suatu cara, berhubungan dengan
petualangan-petualangan yang baru saja kuceritakan kepadamu.
Jadi begini. Pohon yang tumbuh dari bagian tengah apel yang ditanam
Digory di halaman belakang, terus tumbuh dan berkembang menjadi
pohon yang kokoh. Karena tumbuh di tanah dunia kita, jauh dari suara
nyanyian Aslan dan udara bersih Narnia, pohon itu tidak berbuah apel
yang bisa menyembuhkan wanita sekarat seperti ibu Digory. Tapi
pohon itu tetap menghasilkan apel-apel yang lebih cantik daripada
pohon apel mana pun di Inggris, buah-buahnya pun sangat baik untuk
tubuhmu, walaupun tidak sepenuhnya ajaib.

162 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tapi di dalam dirinya, dalam sarinya, pohon itu (bisa dibilang) tidak
pernah melupakan pohon lain di Narnia dari mana dirinya berasal.
Terkadang pohon itu akan bergerak secara misterius walau tidak ada
angin bertiup: kurasa ketika ini terjadi ada angin kencang di Narnia
dan pohon di Inggris itu bergetar karena pada saat itu pohon di Narnia
sedang terguncang-guncang dan berayun-ayun dalam tiupan angin
kencang barat daya.
Apa pun yang sebenarnya terjadi, akan dibuktikan kemudian bahwa
masih ada sihir di dalam batangnya. Karena ketika Digory sudah
berusia paro baya (dan dia telah menjadi pria terpelajar yang terkenal,
seorang profesor dan petualang besar pada masa itu) dan rumah tua
Ketterley telah menjadi miliknya, ada badai besar di seluruh selatan
Inggris yang menumbangkan pohon tersebut. Dia tidak tega sekadar
memotong-motongnya dan menjadikannya kayu bakar, jadi dia
menyuruh orang membuat lemari pakaian dari kayu pohon itu,
kemudian menaruhnya di rumah pedesaannya yang besar. Dan
walaupun dia sendiri tidak menemukan kemampuan sihir pada lemari
pakaian tersebut, orang lain lebih beruntung.
Itulah awalnya segala kedatangan dan kepergian antara Narnia dan
dunia kita, kisah yang bisa karubaca di buku-buku lain dalam seri ini.
Ketika Digory dan keluarganya datang untuk tinggal di rumah besar
di pedesaan, mereka membawa Paman Andrew untuk tinggal bersama
mereka, karena ayah Digory berkata, "Kita harus berusaha
menjauhkan orang tua itu dari masalah, lagi pula tidak adil Letty yang
malang harus selalu kerepotan menjaganya."
Paman Andrew tidak pernah mencoba sihir apa pun lagi sepanjang
hidupnya. Dia telah mendapatkan pelajaran, dan sejalan dengan
bertambahnya usia, dia menjadi pria tua yang lebih ramah dan tidak
egois daripada sebelumnya. Tapi dia selalu gemar menjamu tamu di
ruang biliar dan memberitahu mereka cerita-cerita tentang wanita

163 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
misterius, bangsawan dari bangsa asing, dengan siapa dia berkeliling
London.
"Emosi wanita itu terlalu meledak-ledak," dia akan berkata. "Tapi dia
wanita yang cantik sekali, Sir, cantik luar biasa."
-End-

E-Book by
Ratu-buku.blogspot.com
-

Dapatkan ebook gratis PDF serial The Chronicles of Narnia lainnya di


Ratu-buku.blogspot.com

164 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Anda mungkin juga menyukai