Anda di halaman 1dari 24

Nama : Alifia Salsabila

NIM : 1811113547

Kelas : A 2018 2

Learning Objective T2S2 : PPOK dan Hipertensi

1. Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sekolompok penyakit paru
menahun yang berlangsung lama dan disertai dengan peningkatan resistensi terhadap
aliran udara (Padila, 2012). Selompok penyakit paru tersebut adalah bronkitis kronis,
emfisema paru-paru dan asma bronchial (Smeltzer, 2011).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara, bersifat progresif, dan
berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun /
berbahaya (Antariksa B, Djajalaksana S, Pradjanaparamita, Riyadi J, Yunus F, Suradi,
dkk 2011).

2. Etiologi PPOK
Menurut Irwan (2016) etiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
sebagai berikut :
a. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab utama. Prevalansi terjadinya
gangguan sistem pernafasan dan penurunan faal paru lebih tinggi terjadi pada
perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus pertahun, dan perokok aktif
berhubungan dengan angka kematian. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan :
1) Riwayat merokok
a) Perokok aktif
b) Perokok pasif
c) Bebas perokok
2) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-
rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
a) Ringan : 0-200
b) Sedang : 200-600
c) Berat : >600
3) Derajat berat merokok berdasarkan banyak rokok yang dihisap perhari dibagi
menjadi 2 klasifikasi yaitu :
a) Ringan : 0-10 batang / hari
b) Sedang : 11-20 batang / hari
c) Berat : >20 batang / hari
b. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
c. Hiperaktivitas bronkus
d. Riwayat infeksi saluran nafas bawah berulang
e. Defisiensi antitrypsin alfa – 1, yang umumnya jarang terdapat di Indonesia.
f. Usia Perjalanan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang khas adalah
lamanya dimulai dari usia 20-30 tahun dengan paparan rokok atau batuk pagi disertai
pembentukan sedikit mukoid (Pedila, 2012).
Selain merokok, faktor paparan lain yang dapat menyebabkan terjadinya
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah polusi udara hasil rumah tangga
seperti asap dapur, terutama pada dapur ventilasi buruk dan terkena terutama adalah
kaum perempuan. Selain asap dapur, debu dan iritan lain seperti asap kendaraan
bermotor juga diduga menjadi penyebab karena partikel-partikel yang dikandung
dapat menyebabkan kerja paru menjadi lebih berat, meskipun dalam jumlah yang
relatif kecil (GOLD, 2017).

3. Patofisiologi PPOK
PPOK merupakan kombinasi antara penyakit bronkitis obstruksi kronis,
emfisema, dan asma. Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan
perubahan fisiologi utama pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang
disebabkan perubahan saluran nafas secara anatomi di bagian proksimal, perifer,
parenkim, dan vaskularisasi paru dikarenakan adanya suatu proses peradangan atau
inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Dalam keadaan normal
radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan dan jumlah yang seimbang,
sehingga bila terjadi perubahan pada kondisi dan jumlah ini maka akan menyebabkan
kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peran besar menimbulkan kerusakan sel
dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru.
Pajanan terhadap faktor pencetus Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
yaitu partikel noxius yang terhirup bersama dengan udara akan memasuki saluran
pernafasan dan mengendap dan terakumulasi. Partikel tersebut mengendap pada
lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas sillia.
Akibatnya pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang dan menimbulkan
iritasi pada sel mukosa sehingga merangsang kelenjar mukosa. Kelenjar mukosa akan
melebar dan terjadi hiperplasia sel goblet sampai produksi mukus yang akan berlebih.
Produksi mukus yang berlebihan menimbulkan infeksi serta menghambat proses
penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu siklus yang menyebabkan terjadinya
hipersekresi mukus. Manifestasi klinis yang terjadi adalah batuk kronis yang
produktif (Antariksa B dkk, 2011).
Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa rusaknya
dinding alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa perforasi alveolus yang kemudian
mengakibatkan bersatunya alveolus satu dan yang lain membentuk abnormal large-
space. Selain itu, terjadinya modifikasi fungsi anti-protase pada saluran pernafasan
yang berfungsi untuk menghambat neutrofil, menyebabkan timbulnya kerusakan
jaringan interstitial alveolus. Seiring dengan terus terjadinya iritasi di saluran
pernafasan makan lama-kelamaan akan menyebabkan erosi epitel hingga
terbentuknya jaringan parut pada saluran nafas. Selain itu juga dapat menimbulkan
metaplasia skuamosa (sel yang berada di permukaan dan lapisan tengah kulit) dan
penebalan lapisan skuamosa yang dapat menimbulkan stenosis dan obstruksi
irreversibel dari saluran nafas. Walaupun tidak bergitu terlihat seperti pada penderita
penyakit asma, namun pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) juga dapat
terjadi hipertrofi otot polos dan hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan masalah
gangguan sirkulasi udara pada sisitem pernafasan (GOLD, 2017).
Pada bronkitis kronis akan terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,
metaplasia sel goblet, inflamasi saluran pernafasan, hipertrofi otot polos serta distorsi
yang diakibatkan fibrosis. Sedangkan pada emfisema ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, yang disertai dengan kerusakan dinding alveoli yang
menyebabkan berkurangnya daya renggang elastisitas paru-paru. Terdapat dua jenis
emfisema yang relevan terhadap Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), yaitu
emfisema pan-asinar dan emfisema sentri-asimar. Pada jenis pan-asinar kerusakan
pada asinar bersifat difus dan dihubungkan dengan proses penuaan serta pengurangan
luas permukaan alveolus. Pada jenis sentri-asinar kelainan terjadi bronkiolus dan
daerah perifer asinar, yang banyak disebabkan oleh asap rokok (Sudoyo AW, 2017).
4. Manifestasi Klinis PPOK
Menurut Putra (2013) manifetasi klinis pasien Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) adalah :
Gejala dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah seperti susah bernapas,
kelemahan badan, batuk kronik, nafas berbunyi, mengi atau wheezing dan
terbentuknya sputum dalam saluran nafas dalam waktu yang lama. Salah satu gejala
yang paling umum dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sesak nafas
atau dyosnea. Pada tahap lanjutan dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),
dypsnea dapat memburuk bahkan dapat dirasakan ketika penderita sedang istirahat
atau tidur.
Manifestasi klinis utama yang pasti dapat diamati dari penyakit ini adalah
sesak nafas yang berlangsung terus menerus. Menurut Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) Internasional (2012), pasien dengan Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) mengalami perubahan bentuk dada. Perubahan bentuk
yang terjadi yaitu diameter bentuk dada antero-posterior dan transversal sebanding
atau sering disebut barrel chest. Kesulitan bernafas juga terjadi pada pasien Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yaitu bernafas dengan menggunakan otot bantu
pernafasan dalam jangka waktu yang lama, maka akan terjadi hipertropi otot dan
pelebaran di sela-sela iga atau daerah intercostalis. Bila telah mengalami gagal
jantung kanan, tekanan vena jugularis meninggi dan akan terjadi edema pada
ekstremitas bagian bawah. Hal ini menandakan bahwa telah terjadi penumpukan
cairan pada tubuh akibat dari gagalnya jantung memompa darah dan sirkulasi cairan
ke seluruh tubuh. Palpasi tektil fremitus tada emfisema akan teraba lemah, perkusi
terdengar suara hipersonor, batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, dan hepar
terdorong ke bawah. Bunyi nafas vesikuler normal atau melemah, ronkhi pada waktu
nafas biasa atau ekspirasi paksa. Ekspirasi akan terdengar lebih panjang dari pada
inspirasi dan bunyi jangtung juga terdengar menjauh.

5. Faktor Resiko PPOK


Pada dasarnya faktor risiko pada PPOK adalah hasil dari interaksi lingkungan dan
gen.
1) Asap rokok
Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia
mulai nerokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (Indeks
Brinkman). Belum tentu orang yang merokok berkembang menjadi PPOK secara
klinis, karena faktor risiko genetik pada setiap individu berbeda. Pada perokok pasif
dapat juga memberikan kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK, karena
terdapat peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas (GOLD, 2018).
Identifikasi merokok sebagai faktor risiko yang paling sering ditemui pada
pasien PPOK dengan mengadakan program berhenti merokok adalah kunci dari
pencegahan PPOK dan menjadi intervensi utama bagi pasien PPOK. (PDPI, 2016)
2) Polusi Udara
Berbagi macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat menjadi
penyebab terjadinya polusi udara dan dapat memberikan efek yang berbeda terhadap
timbul dan beratnya PPOK.
3) Infeksi
Infeksi virus maupun bakteri berperan juga dalam patogenesis serta
progretivitas pada PPOK. Kolonisasi bakteri yang menyebabkan inflamasi jalan
napas, dapat berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran
napas bawah yang berulang saat anak, akan mengakibatkan penurunan fungsi paru
dan meningkatnya gejala pada sistem respirasi saat dewasa. (PDPI, 2016).
4) Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko penyebab terjadinya PPOK sampai saat
ini belum dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam maupun di luar
ruangan, permukiman padat, malnutrisi dan faktor lain yang masih berhubungan
dengan status sosial ekonomi. Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat
menurunkan kekuatan dan ketahanan pada otot respirasi. Kelaparan dan status
anabolik/katabolik dapat berkembang menjadi emfisema. (PDPI, 2016).
5) Tumbuh kembang paru
Pertumbuhan paru berhubungan pada saat proses selama kehamilan, kelahiran
dan pajanan polusi sewaktu kecil. Kecepatan penurunan fungsi paru pada seseorang
adalah risiko terjadinya PPOK. (PDPI, 2016)
6) Genetika
PPOK merupakan penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-
lingkungan. Faktor genetik yang sering terjadi adalah mutasi gen Serpina-1 yang
dapat mengakibatkan penurunan kadar α-1 antitripsin yang sebagai inhibitor dari
protease serin.
7) Jenis Kelamin
Penelitian yang dilakukan oleh Torres, dkk pada tahun 2011 menghubungkan
gender dengan PPOK menyimpulkan:
a) Laki – laki & perempuan perokok dengan PPOK: terdapat perbedaan kadar
beberapa biomarker plasma yang berimplikasi pada emfisema (IL-6, IL 16, VEGF).
b) Laki – laki & perempuan dengan PPOK: terdapat perbedaan kadar biomarker
plasma sesuai dengan perbedaan manifestasi klinis yaitu pada perempuan lebih berat.

6. Klasifikasi PPOK
Adapun klasifikasi PPOK yang diklasifikasi berdasarkan GOLD 2018 kriteria adalah:
1) Stage I: Ringan
Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio FEV1/FVC <
70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.
2) Stage II: Sedang
Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50-80% dari nilai
prediksi.
3) Stage III: Berat
Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-50% dari nilai
prediksi.
4) Stage IV: Sangat Berat
Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari 30% ataupun kurang
dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik.

7. Penatalaksanaan PPOK
Menurut Black (2014) penatalaksanaan non medis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) meliputi :
a. Membersihkan sekret bronkus
Kebersihan paru diperlukanan untuk mengurangi resiko infeksi. Cara untuk
membersihkan sekret adalah dengan mengeluarkannya, dengan cara :
1) Batuk efektif
2) Fisioterapi dada
Tindakan fisioterapi dada menurut Pangastuti, HS dkk (2019) meliputi :
perkusi, vibrasi, dan postural drainase. Tujuan dari intervensi ini adalah untuk
membantu pasien bernafas dengan lebih bebas dan membantu dalam pembersihan
paru dari sekret yang menempel di saluran nafas. Tindakan ini dilakukan bersamaan
dengan tindakan lain untuk lebih mempermudah keluarnya sekret, contoh : suction,
batuk efektif, pemberian nebulizer dan pemberian obat ekspektoran. Sebelum pasien
dilakukan fisioterapi, terlebih dahulu evaluasi kondisi pasien dan tentukan letak
dimana sekret yang tertahan untuk mengetahui bagian mana yang akan dilakukan
fisioterapi dada.
b. Bronkodilator
Bronkidilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1 dan
atau mengubah variabel spirometri. Obat ini bekerja dengan mengubah tonus otot
polos pada saluran pernafasan dan meningkatkan refleks bronkodilatasi pada aliran
ekspirasi dibandingkan dengan mengubah elastisitas paru.
c. Mendorong olahraga
d. Meningkatkan kesehatan secara umum
Cara lain adalah dengan memperbaiki pola hidup pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK), yaitu dengan menghindari rokok, debu, dan bahan kimia
akibat pekerjaan, serta polusi udara. Serta didukung dengan asupan nutrisi yang
adekuat.
Penatalaksanaan Pada Eksaserbasi Akut
1) Penatalaksanaan eksaserbasi akut dibagi menjadi:
a) Eksaserbasi Ringan: meningkatkan penggunaan bronkodilator.
b) Eksaserbasi Sedang: menambahkan antibiotik atau kortikosteroid sistemik
maupun kombinasi keduanya.
c) Eksaserbasi Berat: perawatan di rumah sakit.
2) Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penanganan eksaserbasi akut:
a) Diagnosis beratnya eksaserbasi.
b) Terapi oksigen adekuat
Merupakan terapi utama pada pasien PPOK dengan eksaserbasi akut. Dengan
memberikan suplemaentasi oksigen dengan target 88- 92% dengan tujuan
memperbaiki kondisi hipoksemia. Dan dilakukan juga tes analisis gas darah
30-60 menit setelah pemberian oksigen.
c) Bronkodilator
Bronkodilator yang paling efektif adalah dengan menggunakan SABA (Short
Acting Beta-2 Agonis) dengan atau tanpa antikolinergik kerja singkat.
d) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sistemik dapat mempercepat pemulihan pada kondisi
eksaserbasi, memperbaiki nilai faal paru, kondisi hipoksemia, mengurangi
risiko kambuh, kegagalan terapi dan lama waktu perawatan. Kortikosteroid
jenis Dexametason, betametason, dan parametason memiliki lama kerja 36 –
72 jam. Sedangkan jenis prednison memiliki lama kerja lebih cepat yiatu 12 –
36 jam. Kortikosteroid memiliki waktu paru eliminasi yaitu 1,5 jam.
Kortikosteroid akan menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan sel
inflamasi lain. (Ganiswara, 2008)
e) Antioksidan
Dapat mengurangi kondisi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup juga
serta memperbaiki kondisi klinis sekaligus mengurangi kebutuhan
bronkodilator.
f) Mukolitik Dapat diberikan saat terjadinya eksaserbasi akut.
g) Imunodilator
Dapat mengurangi gejala eksaserbasi yang disebabkan infeksi saluran napas
atas maupun bawah.
h) Nutrisi
Pemantauan nutrisi dan keseimbangan nutrisi cairan.
i) Pemberian Antibiotik
Antibiotik diberikan dan disesuaikan dengan pola kuman setempat yang sering
menyebabkan infeksi saluran napas. Terapi empiris awal diberikan antibiotik
yang memiliki spektrum luas seperti golongan ampisilin. Antibiotik diberikan
pada:
a. Pasien PPOK eksaserbasi dengan semua gejala cardinal.
b. Pasien PPOK eksaserbasi dengan 2 dari gejala kardinal. Apabila salah
satunya adalah bertambahnya purulensi sputum.
c. Pasien PPOK eksaserbasi berat yang membutuhkan ventilasi mekanis
(PDPI, 2016).
j) Ventilasi Mekanis
Penggunaan ventilasi mekanis ini diberikan pada pasien PPOK eksaserbasi
berat diberikan ventilasi non invasif. Peggunaan ventilasi mekanis ini
bertujuan untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas serta memperbaiki
gejala, jika terapi ini gagal baru kemudian dipertimbangkan penggunaan
ventilasi mekanis dengan intubasi.
Ventilasi mekanis dapat memperbaiki asidosis metabolik, menurunkan
frekuensi napas, dan beratnya sesak sebesar 80-85% (PDPI, 2016).
k) Evaluasi ketat progresivitas penyakit
Hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan PPOK stabil yaitu
pemantauan efektivitas terapi, usaha berhenti merokok, serta perubahan
efektivitas terapi (PDPI, 2016; Jusuf, Winarai, Hariadi 2010).

8. Pemeriksaan Penunjang PPOK


a. Chest X-ray : dapat menunjukkan hiperinflasi paru-paru, diafragma mendatar,
peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskuler/bullae (emfisema),
peningkatan bentuk bronkovaskuler (bronchitis), dan normal ditemukan saat periode
remisi (asma) (Soemantri, 2008).
b. Uji Faal Paru Dengan Spirometri dan Bronkodilator (postbronchodilator) : berguna
untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan
prognosis pasien. Pemerikasaan ini penting untuk memperlihatkan secara objektif
adanya obstruktif saluran pernafasan dalam berbagai tingkat. Spirometri digunakan
untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal
atau dapat disebut forced vital capacity (FVC).
c. TLC (Total Lung Capacity) : meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada
asma, menurun pada penderita emfisema (Soemantri, 2008).
d. Kapasitas Inspirasi : menurun pada penderita emfisema (Soemantri, 2008).
e. ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali PO2 menurun dan PCO2
normal meningkat (pada bronchitis kronis dan emfisema). Sering kali menurun pada
asma dengan pH normal atau asidosis, alkaiosis respiratori ringan sekunder akibat
terjadinya hiperventilasi (emfisema sedang dan asma) (Soemantri, 2008).
f. Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronkus saat inspirasi, kolaps
bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), dan pembesaran kelenjar mukus
(bronchitis) (Muttaqin, 2014).
g. Pemeriksaan Darah Lengkap : dapat menggambarkan adanya peningkatan
hemoglobin (emfisema berat) dan peningkatan eosinofil (asma) (Muttaqin, 2014).
h. Kimia Darah : menganalisis keadaan alpha 1-antitypsin yang kemungkinannya
berkurang pada emfisema primer (Muttaqin, 2014).
i. Sputum Kultur : pemeriksaan pada bakteriologi gram pada sputum pasien yang
diperlukan untuk mengetahui adanya pola kuman dan untuk menentukan jenis
antibiotik yang paling tepat. Infeksi saluran pernafasan yang berulang merupakan
penyebab dari ekserbasi akut pada penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
(Muttaqin, 2014).
j. Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi pemeriksaan ECG (Elektro Kardio Graph)
yang difungsikan untuk mengetahui adanya komplikasi yang terjadi pada organ
jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain
yang dapat dilakukan namun jarang dilakukan yaitu uji latih kardiopulmoner, uji
provokasi brunkus, CT-scan resolusi tinggi, ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar
alpha 1-antitrypsin (Putra PT dkk, 2013).

9. Komplikasi PPOK
a. Infeksi Saluran Nafas
Biasanya muncul pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Hal
tersebut sebagai akibat terganggunya mekanisme pertahanan normal paru dan
penurunan imunitas. Oleh karena status pernafasan sudah terganggu, infeksi biasanya
akan mengakibatkan gagal nafas akut dan harus segera mendapatkan perawatan di
rumah sakit (Black, 2014).
b. Pneumothoraks Spontan
Pneumothoraks spontan dapat terjadi akibat pecahnya belb (kantong udara
dalam alveoli) pada penderita emfisema. Pecahnya belb itu dapat menyebabkan
pneumothoraks tertutup dan membutuhkan pemasangan selang dada (chest tube)
untuk membantu paru mengembang kembali (Black, 2014).
c. Dypsnea
Seperti asma, bronchitis obstruktif kronis, dan emfisema dapat memburuk
pada malam hari. Pasien sering mengeluh sesak nafas yang bahkan muncul saat tidur
(one set dyspnea) dan mengakibatkan pasien sering terbangun dan susah tidur kembali
di waktu dini hari. Selama tidur terjadi penurunan tonus otot pernafasan sehingga
menyebabkan hipoventilasi dan resistensi jalan nafas meningkat, dan akhirnya pasien
menjadi hipoksemia (Black, 2014).
d. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan tingkat PO2 < 55 mmHg dengan
nilai saturasi O2 < 85%. Pada awalnya pasien akan mengalami perubahan mood,
penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul gejala
seperti sianosis (Permatasari, 2016)
e. Asidosis Respiratori
Asidosis respiratori timbul akibat peningkatan nilai PCO2 (hiperkapnia).
Tanda yang muncul antara lain, nyeri kepala, fatigue, letargi, dizziness, dan takipnea.
Asidosis respiratori yang tidak ditangani dengan tepat dapat mengakibatkan dypsnea,
psikosis, halusinasi, serta ketidaknormalan tingkah laku bahkan koma. Hiperkapnia
yang berlangsung lama atau kronik pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) akan menyebabkan gangguan tidur, amnesia, perubahan tingkah laku,
gangguan koordinasi dan bahkan tremor (Hartono, 2013).
f. Kor Pulmonale
Kor pulmonale (yang disebut pula gagal jantung kanan) merupakan keadaan
tarhadap hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan, yang dapat terjadi akibat komplikasi
sekunder karena penyakit pada struktur atau fungsi paru-paru atau system pembuluh
darah. Keadaan ini bisa terjadi pada stadium akhir berbagai gangguan kronik yang
mengenai paruparu, pembuluh darah pulmoner, dinding dada dan pusat kendali
pernafasan. Kor pulmonale tidak terjadi pada gangguan yang berasal dari penyakit
jantung kongenital atau pada gangguan yang mengenai jantung sebelah kiri (Hartono,
2013).

10. Asuhan Keperawatan PPOK


1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan harus mencakup dari manifestasi klinis dari penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK). Pengkajian mengenai riwayat penyakit terdahulu dapat
membantu menentukan apakah pasien memiliki kelainan lain seperti penyakit jantung
yang dapat mempengaruhi terapi. Tanyakan apakah pasien merokok, kaji masalah
psikososial dan stressor yang mungkin menjadi penyebab ekserbasi penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK). Catat derajat dypsnea, adanya ortopnea, penurunan suara
nafas, dan gejala klinis gagal jantung. Catat oksimetri awal sebagai dasar dan jumlah
oksigen yang dihirup. Catat adanya batuk yang produktif, nyeri saat batuk, demam,
serta warna dan konsistensi sputum (Black, 2014).
a. Anamnesis
Menurut Muttaqin (2018) : Dipsnea adalah keluhan utama penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK). Pasien biasanya mempunyai riwayat merokok dan riwayat
batuk kronik, bertempat tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat, adanya
riwayat alergi, adanya riwayat asma pada masa kanak-kanak. Perawat perlu mengkaji
riwayat atau faktor pencetus ekserbasi yang meliputi allergen, stress emosional,
peningkatan aktivitas fisik yang berlebihan, terpapar dengan polusi udara, serta
infeksi saluran pernafasan. Perawat juga perlu mengkaji obat-obat yang biasa
diminum pasien, memeriksa kembali setiap jenis obat apakah masih relevan untuk
digunakan kembali. Pengkajian pada tahap lanjut penyakit, didapatkan kadar oksigen
dalam darah rendah (hipoksemia) dan kadar karbon dioksida dalam darah yang tinggi
(hiperkapnea). Pasien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat penumpukan
sekret. Setelah infeksi terjadi, gejala yang timbul adalah adanya suara tambahan yaitu
wheezing atau mengi yang terdengar saat pasien ekspirasi. Anoreksia, penurunan
berat badan, dan kelemahan adalah hal yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin
mengalami distensi selama ekspirasi. Pada bagian jari sering didapatkan adanya jari
tabuh 3 (clubbing finger) sebagai dampak dari hipoksemia yang berkepanjangan.
Sebagai pengkajian untuk menentukan predesposisi/faktor pencetus penyakit yang
mendasari, perawat perlu merujuk kembali pada penyakit yang mendasari, yaitu asma
bronkhial, bronchitis kronis, dan emfisema. Gejala penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK) terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan-keluhan yang sering muncul
pada masalah pernafasan ini harus dikaji dengan teliti karena seringkali dianggap
sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan, menurut Depkes (2013) :
1) Batuk kronik
2) Berdahak kronik
3) Sesak nafas terutama saat melakukan aktivitas
Menurut Putra TR (2013), dari anamnesis pasien penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK) sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda
dan gejala yang khas. Poin penting yang dapat ditemukan pada anamnesis penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK) diantaranya adalah :
1) Batuk yang berlangsung sudah lama dan berulang, dapat disertai dengan produksi
sputum yang awal mula sedikit dan berwarna putih hingga kemudian menjadi banyak
dan berubah warna menjadi kuning keruh.
2) Adanya riwayat merokok atau dalam lingkungan perokok atau menjadi perokok
pasif, paparan zat iritan dalam jumlah yang cukup banyak.
3) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga, terdapat faktor pencetus pada masa
kecil misalnya berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran pernafasan yang
berulang, lingkungan dengan asap rokok dan atau polusi.
4) Sesak nafas semakin lama semakin memburuk terutama saat sedang melakukan
aktivitas berat hingga terengah-engah, sesak berlangsung lama, hingga gejala sesak
nafas yang tidak hilang sama sekali, bahkan ketika penderita sedang beristirahat,
disertai dengan mengi ataupun tidak disertai mengi
b. Pemeriksaan Fisik Fokus
Menurut Muttaqin (2014) :
1) Inspeksi
Pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), terlihat adanya
peningkatan dari usaha nafas dan frekuensi pernafasan, serta pernafasan disertai
dengan penggunaan otot bantu nafas (sternocleidomastoid). Pada saat inspeksi,
biasanya terlihat bentuk dada pasien seperti tong atau biasa disebut barrel chest akibat
udara yang terperangkap di ruang paru-paru dan tidak bisa dikeluarkan, penipisan
masa otot, bernafas dengan bibir yang dirapatkan, dan pernafasan abnormal yang
tidak efektif. Pada tahap lanjut, dypsnea terjadi pada saat beraktifitas sehari-hari
seperti berjalan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dikaji dengan melihat sputum
purulent disertai dengan demam yang mengindikasikan adanya gejala terjadinya
infeksi pernafasan.
2) Palpasi
Pada palpasi, ekspansi dada pasien meningkat dan pada pemeriksaan traktil
fremitus biasanya mengalami penurunan.
3) Perkusi
Saat dilakukan perkusi dada sering didapatkan suara dada normal hingga
terdengar suara hipersonor, sedangkan diafragma mendatar/menurun.
4) Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai dengan
tingkat keparahan obstruktif pada bronkhiolus.
c. Pengkajian Diagnostik
1) Chest X-ray : dapat menunjukkan hiperinflasi paru-paru, diafragma mendatar,
peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda
2) Uji faal paru dengan spirometri da bronkodilator (postbronchodilator) : berguna
untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan
prognosis pasien
3) TLC (total lung capacity)
4) Kapasitas inspirasi
5) FEV1/FVC
6) ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali PO2 menurun dan PCO2
normal meningkat (pada bronchitis kronis dan emfisema). Sering kali menurun pada
asma dengan pH normal atau asidosis, alkaiosis respiratori ringan sekunder akibat
terjadinya hiperventilasi (emfisema sedang dan asma) (Soemantri, 2008).
7) Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronkus saat inspirasi, kolaps
bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), dan pembesaran kelenjar mukus
(bronchitis) (Muttaqin, 2014).
8) Pemeriksaan darah lengkap : dapat menggambarkan adanya peningkatan
hemoglobin (emfisema berat) dan peningkatan eosinofil (asma) (Muttaqin, 2014).
9) Kimia darah : menganalisis keadaan alpha 1-antitypsin yang kemungkinannya
berkurang pada emfisema primer (Muttaqin, 2014).
10) Sputum kultur : untuk menentukan apakah terjadi infeksi, mengidentifikasi
pathogen, dan pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau
adanya alergi (Muttaqin, 2014).
11) ECG (Elektro Kardio Graph) : jika terlihat adanya devisasi aksis kanan
(gelombang P tinggi pada pasien dengan asma berat dan atrial disritmia/bronchitis dan
emfisema) dan aksis QRS vertikal (pada pasien emfisema) (Muttaqin, 2014).
12) Pemeriksaan ECG setelah olahraga dan stress test : membantu dalam mengkaji
tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronkodilator, dan
merencanakan / mengevaluasi program (Muttaqin, 2014).

2. Diagnosis Keperawatan
Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI) tahun 2017,
diagnosa yang mungkin mulcul pada pasien dengan diagnosa penyakit paru obstruktif
(PPOK) adalah :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan nafas dan
sekresi yang tertahan,
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi.
c. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan tubuh primer
(statis cairan tubuh).
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen dan dyspnea.
Diagnosa keperawatan menurut NANDA (2017) :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus yang berlebih,
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan sekresi tertahan ditandai dengan batuk
yang tidak efektif, dipsnea, perubahan frekuensi nafas, produksi sputum dalam jumlah
yang berlebihan, terdapat suara nafas tambahan.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan dipsnea, pernafasan cuping hidung,
pola pernafasan abnormal.
c. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan dipsnea, peningkatan penggunaan
otot aksesorius, keletihan otot pernafasan.
d. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan dipsnea, fase ekspirasi
memanjang, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan bibir, pernafasan cuping
hidung, pola nafas abnormal.

3. Rencana Keperawatan
Rencana keperawatan menurut Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SDKI) tahun 2018 :
Rencana keperawatan dengan diagnosa : bersihan jalan napas tidak efektif
berhubungan dengan hipersekresi jalan napas dan sekresi yang tertahan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan nafas pasien
meningkat dengan kriteria hasil :
1. Pasien dapat mengeluarkan sekret
2. Mengi/wheezing hilang atau menurun
3. Frekuensi dan pola nafas teratur 12-20 x/menit 4. Tidak ada dipsnea
5. Tidak ada nafas cuping hidung
6. Tidak menggunakan otot bantu nafas
7. Tidak ada sianosis
8. Pasien dapat mengeluarkan sekret
9. Mudahnya pasien mengeluarkan sekret
10. Produksi dahak berkurang
11. Tidak terjadi obstruksi jalan nafas
Fisioterapi dada I.01004
Observasi :
1. Identifikasi indikasi dilakukan fisioterapi dada (mis. hiperekresi sputum, sputum
kental dan tertahan, tirah baring lama)
2. Identifikasi kontraindikasi fisioterapi dada (mis. ekserbasi penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK) akut, pneumonia tanpa produksi sputum berlebih, kanker paru-paru)
3. Monitor status pernafasan
(mis. kecepatan, irama, suara nafas, dan kedalaman nafas)
4. Periksa segmen paru yang mengandung sputum berlebih
5. Monior jumlah dan karakter sputum
6. Monitor toleransi selama dan setelah prosedur
Terapeutik :
1. Posisikan pasien sesuai dengan area paru yang mengalami penumpukan sputum
2. Gunakan bantal untuk membantu pengaturan posisi
3. Lakukan perkusi dengan posisi telapak tangan ditangkupkan selama 3-5 menit
4. Lakukan vibrasi dengan posisi telapak tangan rata bersamaan ekspirasi melalui
mulut
5. Lakukan fisioterapi dada setidaknya dua jam setelah makan
6. Hindari perkusi pada tulang belakang, ginjal, payudara wanita, insisi, dan tulang
rusuk yang patah
7. Lakukan pengisapan lender untuk mengeluarkan sekret, jika perlu
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur fisioterapi dada
2. Anjurkan batuk segera setelah prosedur selesai
3. Ajarkan inspirasi perlahan dan dalam melalui hidung selama proses fisioterapi
4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data
berkelanjutan, mengobservasi respon pasien selama dan sesudah pelaksanaan
tindakan, serta menilai data yang baru (Budiono, 2016).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah penilaian dengan cara membandingkan
perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang
telah dibuat pada tahap perencanaan. Tujuan dari evaluasi antara lain: mengakhiri
rencana tindakan keperawatan, memodifikasi rencana tindakan keperawatan, serta
meneruskan rencana tindakan keperawatan (Budiono, 2016). Setelah dilakukan
tindakan fisioterapi dada, evaluasi yang akan dilakukan kepada pasien meliputi :
pengeluaran sekret, karakteristik sekret yang keluar, status pernafasan (irama
pernapasan, frekuensi, kedalaman, suara nafas tambahan), AGD untuk mengetahui
tingkat oksigen dalam darah arteri, tingkat SPO2 dengan spirometer untuk
mengetahui tingkat oksigen dalam darah perifer, serta keluhan sesak pasien (Hidayati
R, 2014).

Daftar Pustaka :
Rahaputra, Yuriansyah Dwi. (2020).  Analisis Hubungan Antara Kejadian
Ppok Eksaserbasi Akut dengan Sel Fagosit Polimorf di Instalasi Gawat Darurat
RSUD Bangil. Undergraduate thesis : Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Paramitha, Pratna. (2020). Respon Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK) dengan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi Terhadap Penerapan
Fisioterapi Dada di Rumah Sakit Khusus Paru “RESPIRA”. Diploma thesis :
POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA.

11. Definisi Hipertensi


Hipertensi merupakan tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan diukur
paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda. Seseorang dianggap mengalami
hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi dari 140/90 mmHg (Elizabeth dalam
Ardiansyah M., 2012)
Menurut Price (dalam Nurarif A.H., & Kusuma H. (2016), Hipertensi adalah
sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan
diastolik sedikitnya 90 mmHg. Hipertensi tidak hanya beresiko tinggi menderita
penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain seperti penyakit saraf, ginjal, dan
pembuluh darah dan makin tinggi tekanan darah, makin besar resikonya.

12. Etiologi Hipertensi


Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan-
perubahan pada (Nurarif A.H., & Kusuma H., 2016):
1) Elastisitas dinding aorta menurun
2) Katub jantung menebal dan menjadi kaku
3) Kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya
kontraksi dan volumenya
4) Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi.
5) Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.

13. Patofisiologi Hipertensi


Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh Angiotensin I Converting Enzyme (ACE). ACE memegang
peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung
angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi
oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. oleh ACE yang terdapat di paru-paru,
angiostensin I diubah manjadi angiostensin II. Angiostensin II inilah yang memiliki
peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormone antidiuretik (ADH) dan
rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal
untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Meningkatnya ADH, sangat sedikit urin
yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi
osmolaritasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan
ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume
darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal.
Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi
NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi
NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler
yang pada gilirannya akan meningkatkan volume tekanan darah. Patogenesis dari
hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat komplek. Faktor-faktor
tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap perfusi jaringan yang adekuat
meliputi mediator hormon, latihan vaskuler, volume sirkulasi darah, kaliber vaskuler,
viskositas darah, curah jantung, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi neural.
Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa faktor meliputi
faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stress dapat berinteraksi untuk
memunculkan gejala hipertensi (Yogiantoro, 2006). Akibat yang ditimbulkan dari
penyakit hipertensi antara lain penyempitan arteri yang membawa darah dan oksigen
ke otak, hal ini disebabkan karena jaringan otak kekurangan oksigen akibat
penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak dan akan mengakibatkan kematian
pada bagian otak yang kemudian dapat menimbulkan stroke. Komplikasi lain yaitu
rasa sakit ketika berjalan kerusakan pada ginjal dan kerusakan pada organ matayang
dapat mengakibatkan kebutaan (Beevers, 2001).
Gejala-gejala hipertensi antara lain sakit kepala, jantung berdebar-debar, sulit
bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban kerja, mudah lelah, penglihatan
kabur, wajah memerah, hidung berdarah, sering buang air kecil terutama di malam
hari telinga bordering (tinnitus) dan dunia terasa berputar (Sustrani, 2004).

14. Manifestasi Klinis Hipertensi


Menurut Tambayong (dalam Nurarif A.H., & Kusuma H., 2016), tanda dan gejala
pada hipertensi dibedakan menjadi :
1) Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan
darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti
hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan darah tidak teratur.
2) Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri
kepala dan kelelahan. Dalam kenyataanya ini merupakan gejala terlazim yang
mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.
Beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu :
a) Mengeluh sakit kepala, pusing
b) Lemas, kelelahan
c) Sesak nafas
d) Gelisah
e) Mual
f) Muntah
g) Epistaksis
h) Kesadaran menurun

15. Faktor Resiko Hipertensi


Menurut Aulia, R. (2017), faktor risiko hipertensi dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :
1) Faktor yang tidak dapat diubah
Faktor yang tidak dapat berubaha adalah :
a) Riwayat Keluarga
Seseorang yang memiliki keluarga seperti, ayah, ibu, kakak kandung/saudara
kandung, kakek dan nenek dengan hipertensi lebih berisiko untuk terkena hipertensi.
b) Usia
Tekanan darah cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki
meningkat pada usia lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita meningkat pada usia
lebih dari 55 tahun.
c) Jenis Kelamin
Dewasa ini hipertensi banyak ditemukan pada pria daripada wanita.
d) Ras/etnik
Hipertensi menyerang segala ras dan etnik namun di luar negeri hipertensi banyak
ditemukan pada ras Afrika Amerika daripada Kaukasia atau Amerika Hispanik.
2) Faktor yang dapat diubah Kebiasaan gaya hidup tidak sehat dapat meningkatkan
hipertensi antara lain yaitu :
a) Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor penyebab hipertensi karena dalam rokok
terdapat kandungan nikotin. Nikotin terserap oleh pembuluh darah kecil dalam paru-
paru dan diedarkan ke otak. Di dalam otak, nikotin memberikan sinyal pada kelenjar
adrenal untuk melepas epinefrin atau adrenalin yang akan menyemptkan pembuluh
darah dan memaksa jantung bekerja lebih berat karena tekanan darah yang lebih
tinggi (Murni dalam Andrea, G.Y., 2013).
b) Kurang aktifitas fisik
Aktifitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang
memerlukan pengeluaran energi. Kurangnya aktifitas fisik merupakan faktor risiko
independen untuk penyakit kronis dan secara keseluruhan diperkirakan dapat
menyebabkan kematian secara global (Iswahyuni, S., 2017).
c) Konsumsi Alkohol
Alkohol memiliki efek yang hampir sama dengan karbon monoksida, yaitu dapat
meningkatkan keasaman darah. Darah menjadi lebih kental dan jantung dipaksa
memompa darah lebih kuat lagi agar darah sampai ke jaringan mencukupi (Komaling,
J.K., Suba, B., Wongkar, D., 2013). Maka dapat disimpulkan bahwa konsumsi
alkohol dapat meningkatkan tekanan darah.
d) Kebiasaan minum kopi
Kopi seringkali dikaitkan dengan penyakit jantung koroner, termasuk peningkatan
tekanan darah dan kadar kolesterol darah karena kopi mempunyai kandungan
polifenol, kalium, dan kafein.
e) Kebiasaan konsumsi makanan banyak mengandung garam
Garam merupakan bumbu dapur yang biasa digunakan untuk memasak. Konsumsi
garam secara berlebih dapat meningkatkan tekanan darah. Menurut Sarlina,
Palimbong, S., Kurniasari, M.D., Kiha, R.R. (2018), natrium merupakan kation utama
dalam cairan ekstraseluler tubuh yang berfungsi menjaga keseimbangan cairan.
f) Kebiasaan konsumsi makanan lemak
Menurut Jauhari (dalam Manawan A.A., Rattu A.J.M., Punuh M.I, 2016), lemak
didalam makanan atau hidangan memberikan kecenderungan meningkatkan
kholesterol darah, terutama lemak hewani yang mengandung lemak jenuh. Kolesterol
yang tinggi bertalian dengan peningkatan prevalensi penyakit hipertensi.

16. Klasifikasi Hipertensi


Menurut Tambayong (dalam Nurarif A.H., & Kusuma H. 2016), klasifikasi hipertensi
klinis berdasarkan tekanan darah sistolik dan diastolik yaitu :

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHG)


Optimal <120 <80
Normal 120-129 80-84

High Normal 130-139 85-89


Hipertensi (Grade 1 : 140-149 90-99
Ringan)
Grade 2 : Sedang 160-179 100-109
Grade 3 : Berat 180-209 100-119
Grade 4 : Sangat Berat >210 >210

17. Penatalaksanaan Hipertensi


Penatalaksanaan hipertensi dibagi menjadi dua yaitu penetalaksanaan dengan terapi
farmakologis dan non farmakologis.
a. Terapi farmakologis
Berbagai penelitian klinis membuktikan bahwa, obat anti hipertensi yang
diberikan tepat waktu dapat menurunkan kejadian stroke hingga 35-40 %, infark
miokard 20-25 %, dan gagal jantung lebih dari 50 %. Obat-obatan yang diberikan
untuk penderita hipertensi meliputi diuretik, angiotensin-converting enzyme (ACE),
Beta-blocker, calcium channel blocker (CCB), dll. Diuretik merupakan pengobatan
hipertensi yang pertama bagi kebanyakan orang dengan hipertensi (Kementerian
Kesehatan RI, 2013)
b. Terapi non farmakologis
1) Makan gizi seimbang
Pengelolaan diet yang sesuai terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada
penderita hipertensi. Manajemen diet bagi penderita hipertensi yaitu membatasi gula,
garam, cukup buah, sayuran, makanan rendah lemak, usahakan makan ikan
berminyak seperti tuna, makarel dan salmon (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
2) Mengurangi berat badan
Hipertensi erat hubungannya dengan kelebihan berat badan. Mengurangi berat
badan dapat menurunkan tekanan darah karena mengurangi kerja jantung dan volume
sekuncup (Aspiani, 2015). Penderita hipertensi yang mengalami kelebihan berat
badan (obesitas) dianjurkan untuk menurunkan berat badan hingga mencapai IMT
normal 18,5 – 22,9 kg/m2 , lingkar pinggang <90 cm untuk laki-laki dan <80 cm
untuk perempuan (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
3) Olahraga yang teratur
Olahraga teratur seperti berjalan, lari, berenang dan bersepeda bermanfaat
untuk menurunkan tekanan darah dan memperbaiki kinerja jantung (Aspiani, 2015).
Senam aerobic atau jalan cepat selama 30-45 menit lima kali perminggu dapat
menurunkan tekanan darah baik sistole maupun diastole. Selain itu, berbagai cara
relaksasi seperti meditasi dan yoga merupakan alternatif bagi penderita hipertensi
tanpa obat (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
4) Berhenti Merokok
Berhenti merokok dapat mengurangi efek jangka panjang hipertensi karenan
asap rokok yang mengandung zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon
monoksida yang dihisap melalui rokok dapat menurunkan aliran dara ke bebagai
organ dan meningkatkan kerja jantung (Aspiani, 2015).
5) Mengurangi konsumsi alkohol
Mengurangi konsumsi alkohol dapat menurunan tekanan darah sistolik.
Sehingga penderita hipertensi diupayakan untuk menghindari konsumsi alkohol
(Kementerian Kesehatan RI, 2013).
6) Mengurangi stres
Stres dapat memicu penurunan aliran darah ke jantung dan meningkatkan
kebutuhan oksigen ke berbagai organ sehingga meningkatkan kinerja jantung, oleh
karena itu dengan mengurangi stres seseorang dapat mengontrol tekanan darahnya
(Nurahmani, 2012).

18. Pemeriksaan Penunjang Hipertensi


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penderita hipertensi bertujuan
untuk mengetahui progresi penyakit ini. Pemeriksaan dasar yang sebaiknya
dikerjakan pada hipertensi primer yakni:
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan disesuaikan dengan faktor risiko
dan klinis pasien :
a. Penilaian risiko kardiovaskular : Gula darah puasa, profil lipid, asam urat
b. Penilaian penyebab hipertensi : TSH (Thyroid-stimulating hormone)
c. Penilaian komplikasi hipertensi :
d. Serum kreatinin untuk perhitungan Egfr
e. Serum sodium, potassium dan kalsium
f. Urinalisa

19. Komplikasi Hipertensi


Tekanan darah yang tidak terkontrol dan tidak segera diatasi dalam jangka
panjang akan mengganggu pembuluh darah arteri dalam mensuplai darah ke
organorgan diantaranya jantung, otak, ginjal dan mata. Hipertensi yang tidak
terkontrol berakibat komplikasi pada jantung meliputi infark jantung dan pembesaran
ventrikel kiri dengan atau tanpa payah jantung. Hematuria (urine yang disertai darah)
dan oliguria (kencing sedikit) merupakan komplikasi hipertensi pada ginjal.
Komplikasi hipertensi juga dapat terjadi pada mata berupa retinopati hipertensi.
Stroke dan euchephalitis merupakan penyakit yang terjadi pada organ otak sebagai
akibat hipertensi yang tidak ditangani dalam waktu lama (Wijaya & Putri, 2013).

Daftar Pustaka
Destiawati, Nur Laili. (2018). PERBEDAAN TINGKAT KECUKUPAN
KALIUM (K), KALSIUM (Ca), MAGNESIUM (Mg) dan NATRIUM (Na)
BERDASARKAN STATUS HIPERTENSI LANSIA DI WILAYAH PUSKESMAS
MARGOYOSO I PATI. Sarjana (S1/D4) thesis : Universitas Muhammadiyah
Semarang.
Yunitasari, Putu Yeni. (2018).  HUBUNGAN KARAKTERISTIK PASIEN
HIPERTENSI DENGAN PERILAKU KONTROL TEKANAN DARAH DI UPT
KESMAS GIANYAR I TAHUN 2018. Diploma thesis : Jurusan Keperawatan
2018.
DEWI, ANGGUN BUANA.(2019). GAMBARAN SIKAP KELUARGA
TERHADAP LANSIA DENGAN HIPERTESI DI DESA TIRTONIRMOLO KASIHAN
BANTUL. Diploma thesis : Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai