Anda di halaman 1dari 2

Dalam kamus Wikipedia Indonesia disebutkan, fitrah berasal dari akar kata fathara dalam bahasa Arab

yang berarti “membuka" atau “menguak”. Makna asal fitrah sendiri berasal dari “kejadian”, “keadaan
yang suci” dan “kembali ke asal”. Makna fithrah juga sepadan dengan kata al-khilqah yang berarti
“naluri” atau “pembawaan”. Selaras pula dengan kata ath-thabi'ah yang berarti tabiat atau karakter
yang diciptakan Allah SWT pada diri setiap manusia.

Dalam Islam terdapat konsep bahwa setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Rasulullah saw
bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknya yang menjadikannya Yahudi
atau Nasrani atau Majusi,” (HR Abu Daud dan at-Tirmidzt). Fitrah yang dimaksud dalam hadits ini berarti
bayi dilahirkan dalam keadaan suci, tidak memiliki dosa apapun. Seseorang yang kembali kepada
fitrahnya, berarti ia mencari kesucian dan keyakinannya yang asli, sebagaimana ketika ia dilahirkan.

Penjelasan terhadap hadits ini sejalan dengan makna firman Allah SWT dalam ayat di atas. Menurut
sebagian mufassir (ahli tafsir), seperti Mujahid, Qatadah dan Ibnu Abbas makna fithrah Allah berarti
kecenderungan dan kesediaan manusia terhadap agama yang haq. Dalam pandangan Islam, kendati
manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, namun karena kelemahan yang melekat padanya, manusia
sering terjerumus ke dalam perbuatan dosa yang membawa kesengsaraan lahir dan batin. Ini tentu saja
menodai fitrah dirinya sendiri.

Meski manusia banyak mencemari fitrahnya dengan dosa dan noda, karena kemurahan Allah Ta'ala, ia
tetap diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan membersihkan segala kotoran akibat perbuatan
maksiat yang ia lakukan. Ibadah puasa, secara spiritual diyakini merupakan salah satu medium untuk
penyucian jiwa (tazkiyah ai-nafs).

Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya agar mampu memelihara nilai-
nilai fitrah yang ada pada dirinya. Abu Hurairah ra meriwayatkan, suatu ketika Rasulullah memegang
kedua tangannya lalu menyebutkan lima perkara. Beliau bersabda, “Jagalah dirimu dari hal-hal yang
diharamkan, engkau akan menjadi manusia paling baik ibadahmu. Terimalah pemberian Allah
kepadamu, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling kaya. Berbuat baiklah kepada tetanggamu
maka engkau akan menjadi Mukmin sejati. Cintailah pada diri manusia seperti cintamu pada dirimu
sendiri maka engkau akan menjadi Muslim sejati. Janganlah terlalu banyak dalam bercanda, karena
sesungguhnya banyak bercanda itu akan mematikan hati,” (HR at- Tirmidzi).

Ada lima pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits di atas sebagai bekal bagi kita dalam upaya
memelihara fitrah diri: pertama, menjaga diri dari hal-hal yang haram. Inti dari

ajaran Islam adalah perintah untuk menegakkan ma'rufat (kebaikan-kebaikan) dan mencegah munkarat
(keburukan-keburukan). Meski demikian, menghindari keburukan dan kejahatan jauh lebih sulit
daripada menjalankan kebenaran. Karena itu, menjauhi hal-hal yang haram akan menjadikan ibadah kita
kepada Allah SWT lebih baik dan sempurna (QS af-Ankabut: 45).

Kedua, bersifat qana'ah dan ridha terhadap nikmat Allah. Nikmat yang paling agung adalah kaya hati.
Sebab Rasulullah saw bersabda, “Kekayaan hakiki bukan berarti harta melimpah.
Tapi, kekayaan adalah kekayaan hati," (HR Muslim).

Rasulullah saw juga bersabda, “Barangsiapa akhirat menjadi obsesinya, maka Allah menjadikan semua
urusannya lancar, hatinya kaya dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Dan barangsiapa
dunia menjadi obsesinya, maka Allah mengacaukan semua urusannya, menjadikannya miskin dan dunia
datang kepadanya sebatas yang ditakdirkan untuknya ”

(HR Ibnu Majah dengan sanad shahih). Dunia dengan segala kekayaannya hanyalah sekadar sarana dan
bukan tujuan. Sikap qana'ah akan mampu meredam segala bentuk egoistis, kerakusan dan keserakahan
yang kerap menjadi sumber kekacauan dan malapetaka dalam hidup manusia.

Ketiga, menjaga hubungan silaturahim dengan tetangga. Setelah keluarga, tetangga adalah orang
terdekat kita. Kesempurnaan keimanan kita sangat tergantung bagaimana sikap dan perilaku kita
kepada tetangga. Rasulullah saw bersabda. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir
maka hendaklah memuliakan tetangganya,” ("HR Muttafaq alaih).

Keempat, mencintai karena Allah SWT. Seorang Muslim sejati harus saling mencintai terhadap sesama
Muslim. Saling menjaga darahnya, kehormatannya dan harta kekayaannya Rasulullah saw bersabda,
Tidak sempurna iman seseorang dari kalian, sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya sendiri," (HR Muttafaq alaih). Saling mencintai karena Allah (al-hubbu Hllah) merupakan kunci
kedamaian hati dan ketenteraman hidup. Kelima, menghindari perbuatan yang sia-sia dan menyibukkan
diri pada hal- hal yang positif. Hati adalah sentral dan sekaligus kendali utama. Karena itu, kesadaran
keimanan terhadap Allah SWT (fitrah) harus terus dipelihara, jangan sampai redup apalagi padam.
Banyak tertawa, bercanda dan bergurau termasuk perbuatan sia-sia yang seharusnya dihindari karena
hal tersebut sering membuat manusia menjadi lupa diri dan terlena sehingga lalai dari tugas utamanya
sebagai khalifah untuk rengawal dan mengamalkan nilai-nilai fitrah yang ada pada dirinya. Allah SWT
berfirman, u(AUah) mengilhami (sukma) kejahatan dan kebaikan. Sungguh, bahagialah siapa yang
menyucikannya. Dan rugilah siapa yang mencemarkannya," (QS asy-Syams; 8-10/ Demikianlah lima
acuan yang dipesankan oleh Rasul saw kepada kita. Semoga dapat menjadi pedoman dalam upaya
memelihara nilai-nilai fitrah agar terus berguna dalam kehidupan di dunia ini. Wallahu a'lam (M. Ilham
Muchtar, Lc, M. Ag)

Anda mungkin juga menyukai