Anda di halaman 1dari 6

AL-ISYTIRAK

Muhammad Said Fajari, Muhammad Wahid Hasyim Asyhari

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Email: wahidpenki@gmail.com , saidf250100@gmai.com

Abstrak

Artikel ini menggunakan sumber data penelitian kepustakaan untuk mengkaji fenomena al-
Isytirak al Lafzi dan al-Ma’nawi dalam Alquran secara sederhana. Ditemukan bahwa
berbagai pengucapan dalam bahasa Arab memiliki lebih dari satu arti. Dalam penelitian
berbagai referensi bahasa Arab, ditemukan bahwa lafadz yang bermakna ganda disebut al-
alfaz al-musytarakah atau al-isytirak al-lafzi dan lafadz yang memiliki satu arti disebut al-
musytarak al-ma’nawi. Homonimi atau bahasa Arab yang didefinisikan sebagai Al Isytirak
al-Lafzi adalah beberapa kata yang sama yang memiliki arti yang berbeda dalam
pengucapan dan penulisan. Inilah yang dimaksud dengan Al Isytirak al-Lafzi dan al-ma’nawi
Secara umum.

Kata Kunci : al-Isytirak, al-Lafzi, al-ma’nawi, al-Quran

A. Pendahuluan

Bahasa adalah media untuk menyampaikan makna.Penelitian bahasa tanpa penelitian


semantik tidak sempurna karena tidak menyentuh aspek yang sangat penting dari bahasa.
Makna dan bahasa merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan, keduanya seperti mata
uang logam, di satu sisi ada bahasa sebagai simbol, dan makna sebagai isi simbol di sisi lain.

Pemikiran yang diungkapkan melalui bahasa dapat menghasilkan berbagai interpretasi dan
berbagai makna dari bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, kajian makna kebahasaan menjadi
sangat penting, khususnya bagi umat Islam, mengingat Al-Qur'an dan Hadits Nabi
Muhammad SAW merupakan sumber hukum Islam dengan fenomena kebahasaan.

Satu hal yang sangat menarik adalah ungkapan tersebut tidak tunggal, tetapi dapat berubah.
Keragaman makna tersebut bisa dikenal dalam istilah linguistik dengan teori makna beragam
(multiple meaning theory).

B. PEMBAHASAN

(Pengertian isytirak)

Al-Musytarak al-lafzi menurut bahasa berasal dari bentuk kata isim maf’ul َ ُ‫َيَ ْشت َِرك‬-ََ‫إِ ْشت ََرك‬
berarti berserikat, bersekutu, bercampur. Dan bisa di sebut kaum yang bersekutu atau
ْ َ‫إِ ْشت ََرك‬.1
berserikat dalam kalimat ‫َالقَ ْو َُم‬

1
Louis Ma’luf, Bernard Tottel, Kamus Al-Munjid Fi al-Lughoh wa al-A ‘lam (Beirut: Dar al-Masyrik, 2002), 384-
385.
Menurut istilah :
ُ ‫اءَ ِع ْندََأ َ ْه ِلَتَِْلكَ َاللََُّ َة‬
ِ ‫علَىَ َم ْعنَيَي ِْنَ ُم ْخت َ ِلفَتَي ِْنَأ َ ْوَأَ ْكث َ َرَدَالَلَةًَ َعلَىَالس ََّو‬
َ َُّ‫احد َُالد َّال‬ ْ ‫ظ‬
ِ ‫َال َو‬ ُ ‫ْاللَ ْف‬

Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan
penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut.

pengertian al-musytarak al-lafzi dalam ilmu semantik juga dikenal dengan homonimi.2
Menurut para linguistik homonimi adalah :

َ‫َولَ ِك َّن َهاَ ُم ْختَ ِلفَةٌَفِيَالدَّالَ َل ِة‬


َ ‫َو ْال ِكت َابَ ِة‬
َ ‫ق‬ ْ ُّ‫ارةٌَ َع ْنَ َك ِل َماتٍَ ُمتَشَا ِب ََهةٍَفِيَالن‬
ِ ‫ط‬ َ َ‫ِعب‬

“Al-musytarak al-lafzi (homonimi) adalah beberapa kata yang sama baik pelafalannya,
maupun bentuk tulisannya. Akan tetapi, maknanya berkelainan.”

Menurut para ulama’ ahli ushul fiqih al-musytarak al-lafzi didefinisikan sebagai berikut :

1. Al-Mahalli (ulama Syafi'iyah)

.‫اللفظَالواحدَالمتعددَالمعنىَالحقيقي‬3

"Satu lafadz yang mempunyai beberapa makna hakiki".

2. Al-Shashi (ulama Hanafiah)

.‫مختلفينَأوَلمعانَمختلفةَالحقائق‬
ٍ َ‫ماَوضعَلمعنيين‬4

"Lafadz yang mempunyai dua makna atau lebih yang berbeda secara hakiki".

Menurut para ulama’ ahli ushul fiqih al-musytarak al-ma’nawi didefinisikan sebagai berikut :

1. Hasan al-Harawi

.‫لفظَموضوعَبإزاءَمفهومَكليَصادقَعلىَأفرادَماَيشارَإليه‬5

"lafadz yang diletakkan dengan melihat mafhum kulli yang sesuai dengan satuan-satuan
yang dikehendaki".

Al-musytarak memiliki makna yang banyak yang di mana lafadznya bisa bermakna a dan
juga bermakna b. seperti lafadz ‫ عين‬yang bisa berarti mata (mata pengelihatan), sumber air
(mata air) dan mata-mata (intel). Dan juga salah satu contoh dalam bentuk kalimat. Misalnya,
( ‫ ) أطعمتَعشرينَرجالَوامرأة‬didalam kalimat tersebut terdapat makna yang banyak, yaitu : “aku

2
Homonimi adalah relasi makna antar kata yang ditulis dan dilafalkan sama (baik) berupa kata, frase atau
kalimat), namun maknanya berbeda. Lihat Setiawati Darmojuwono, "Semantik" dalam Pesona Bahasa: Langkah
Awal Memahami Linguistik, Ed. Kushartanti, dkk. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), 116. Lihat
Verhaar J. W. M, Asas-Asas Linguistik Umum (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), 124. Lihat juga
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), 93-94.
3
Al-Mahalli, Sharh Jam'u al Jawami' ma' Hashiyah al-'Itar, Juz I, Mesir: tp., tt
4
Al-Shashi, Ushul al-Shashi, Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1982
5
Al-Harawi, Hasan, Hashiyah Hasan al-Harawi 'ala Hashiyah al-Jurjani, Juz I, ttp: tp., tt.
memberi makan 10 laki-laki dan 10 perempuan”, “aku memberi memberi makan 5 laki-laki
dan 15 perempuan, dan aku memberi makan 1 laki dan 19 perempuan, dan seterusnya.

Perbedaan-perbedaan antara musytarak al-lafzi dan musytarak al-ma’nawi adalah sebagai


berikut:6

1. Musytarak al-lafzi itu memiliki lebih dari satu arti, sedangkan musytarak al-ma’nawi hanya
memiliki satu arti.

2. kata yang mempunyai arti yang banyak dalam musytarak al-lafzi adalah lafadznya,
sedangkan dalam musytarak al-ma’nawi adalah maknanya.

3. terdapat perbedaan para ulama dalam musytarak al-lafzi, sedangkan musytarak al-ma’nawi
tidak terjadi perbedaan.

C. SEBAB SEBAB TERJADINYA ISYTIRAK

1. Perbedaan kabilah kabilah arab dalam memahami bahasa ( ‫) اختالفَالقبائلَفيَالوضعَاللَوي‬.

Setiap kabilah atau kelompok mempunyai identitas bahasa masing masing, sehingga bisa
menyebabkan terjadinya perbedaan makna pada suatu lafadz antara kabilah satu dengan
kabilah lainnya.

Contoh : ‫يد‬

2. Perkembangan kalimat secara maknawi (‫) تطورَاستعمالَاإلشتركَالمعنوي‬.

Seiring perkembang zaman maka semakin banyak pula pemahaman pemahaman yang terjadi,
sehingga muncul perkembangan makna yang terjadi pada suatu lafadz.

Contoh : ‫َموالي‬-َ‫مولى‬

3. Tarik ulur antara makna hakikat dan makna majaz ( ‫) الترددَبينَالحقيقةَوالمجز‬.

Penggunaan makna suatu lafadz dengan menggeser salah satu makna hakikat atau majaz.
Satu lafadz memakai makna majaz dan menggeser makna hakikatnya. Bisa juga satu lafadz
Memakai makna hakikat dan menggeser makna majaz tergantung dari kondisi suatu lafadz.

Contoh : ‫َالدراجة‬،َ‫السيرة‬

4. Tarik ulur antara makna hakikat dan makna Urf.

Penggunaan makna suatu lafadz antara hakikat dan urf dengan cara melihat kondisi suatu
lafadz.

Contoh : ‫َالنكاح‬،‫َالطالق‬،‫الصالة‬

6
http://makalahpendidikanislamlengkap.blogspot.com/2015/07/al-musytarak-dan-dampaknya-terhadap.html.
D. KETENTUAN-KETENTUAN LAFADZ MUSYTARAK.

1. Jika musytarak terjadi makna lughawi dan makna istilah syar’I, maka wajib diarahkan pada
makna istilah syar’i.

misal :pada ayat َ ‫ص ٰلوَة‬


َّ ‫اَقِ ِمَال‬,

lafadz َ ‫ص ٰلوَة‬
َّ ‫ ال‬secara lughawi sholat bermakna doa, secara syar’i sholat bermakna ibadah
mahsusoh yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. maka harus memakai
makna sholat harus dimaknai secara syar’i

2. jika musytarak terjadi antara dua makna lughawi, maka wajib diarahkan pada salah
satunya, berdasarkan dalil/qarinah.

3. Musytarak bisa terjadi pada kalimat isim, seperti contoh ٌ ‫َقُ ْرَأ‬,‫َعين‬,‫ صالة‬kalimat fiil seperti
sighat amr untuk wajib dan sunnah, dan kalimat huruf seperti wawu untuk athaf dan hal.

E. PENGGUNAAN MUSYTARAK DALAM DUA MAKNANYA.

1. Ada yang berpendapat tidak boleh secara mutlak

2. Mayoritas Ulama’ berpendapat boleh ketika ada qorinah yang condong pada salah satu
makna atau mungkin untuk digunakan semuanya.
ٰٰۤ َ‫صلُّ ۡونَ َ َعلَىَالنَّبى‬ ٰٓ ‫َّٰللا‬
contoh : َ‫س ِل ُموَۡاَت َۡس ِل ۡي ًما‬
َ ‫َو‬ َ َ‫َؕيـاَيُّ َهاَالَّذ ِۡينَ َٰا َمنُ ۡوا‬
َ ‫صلُّ ۡواَ َعلَ ۡي ِه‬ ِ ِ َ ُ‫َو َم ٰل ِٕٮ َكت َهٗ َي‬
َ َ ‫ا َِّن ه‬
3. boleh apabila dalam bentuk jama’,

contoh : ‫(اعتديَباألقرأ‬jalanilah masa ‘iddah dengan beberapa masa haid dan suci)

4. diperbolehkan dalam kalam nafi (negatif).

contoh : ‫ (الَعينَعندي‬tidak ada sumber air mata/ tidak ada mata mata-mata didekatku)

F. PENGGUNAAN BERSAMA MAKNA HAKIKAT DAN MAJAZ.

1. Ulama’ berbeda pendapat tentang kebolehannya.

2. Contoh yang memperbolekan :

- imam syafi’i mengarahkan lafadz ‫ مالمسة‬dalam ayat ‫أوَالمستمَالنساء‬pada makna menyentuh


dengan tangan ( hakikat) dan bersetubuh (majaz)

- ‫( وافعلواَالخير‬kalian lakukanlah kebaikan). lafadz ‫ إفعال‬dapat bermakna wajib (hakikat) dan


sunnah (majaz).

-Namun bagi yang berpendapat tidak memperbolehkan, contoh diatas hanya memiliki makna
sesuai qorinah yang ada.
Kesimpulan

Isytirak atau musytarak dalam al-quran adalah setiap lafadz yang mempunya makna yang
lebih. Terdapat perbedaan antara musytarak al-lafzi dan musytarak al-ma’nawi, antara lain :
1) Musytarak al-lafzi itu memiliki lebih dari satu arti, sedangkan musytarak al-ma’nawi
hanya memiliki satu arti. 2) kata yang mempunyai arti yang banyak dalam musytarak al-lafzi
adalah lafadznya, sedangkan dalam musytarak al-ma’nawi adalah maknanya. 3) terdapat
perbedaan para ulama dalam musytarak al-lafzi, sedangkan musytarak al-ma’nawi tidak
terjadi perbedaan. dan terdapat sebab-sebab isytirak yang dimana Perbedaan kabilah kabilah
arab dalam memahami bahasa, Perkembangan kalimat secara maknawi, Tarik ulur antara
makna hakikat dan makna majaz dan talik ulur antara makna hakikat dan makn urf.
DAFTAR PUSTAKA

Louis Ma’luf, Bernard Tottel, Kamus Al-Munjid Fi al-Lughoh wa al-A ‘lam (Beirut: Dar al-
Masyrik, 2002).

Setiawati Darmojuwono, "Semantik" dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami


Linguistik. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), Verhaar J. W. M, Asas-Asas
Linguistik Umum (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), 124. Abdul Chaer,
Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995).

Al-Mahalli, Sharh Jam'u al Jawami' ma' Hashiyah al-'Itar, Juz I, Mesir: tp., tt

Al-Shashi, Ushul al-Shashi, Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1982.

Al-Harawi, Hasan, Hashiyah Hasan al-Harawi 'ala Hashiyah al-Jurjani, Juz I, ttp: tp., tt.

http://makalahpendidikanislamlengkap.blogspot.com/2015/07/al-musytarak-dan-dampaknya-
terhadap.html.

Karim, Syafi’i. Fiqih Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia. 1997.

Anda mungkin juga menyukai