Dosen Pengampu:
Oleh:
Muhammad Hasbiallah
NIM : 21990215533
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam menjadi suatu agama yang bersifat rahmatan lil alamin, yang
didalamnya mengatur segala aspek kehidupan manusia tanpa membedakan jenis
kelaminnya, baik yang vertikal, yaitu hubungan dengan Allah Sang Pencipta maupun
secara horizontal yang berkaitan dengan hubungan antar sesama.
Segala unsur ketetapan hukum dan berbagai macam ilmu yang tercantum al
Qur’an dan Sunnah yang menjadi pedoman umat Islam bersifat abadi dan terus
berlaku hingga akhir zaman. Segala permasalahan yang terjadi diantara manusia pun
telah ada solusinya didalam Islam yang tentunya memberikan kemaslahatan bagi
umat manusia.
Selain itu, lebih dalam lagi Islam telah mengatur dengan sebaik-baiknya
mengenai hak dan kewajiban dari setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan,
dengan menjunjung tinggi nilai keadilan agar tercipta keselarasan dan keseimbangan
di dalam keberlangsungan kehidupan, sehingga setiap insan dapat menjalankan
tugasnya sebagai hamba dengan sempurna
Berdasarkan hal tersebut, maka makalah ini akan mengupas lebih dalam
kesetaraan dan keadilan jender berdasarkan perspektif dan tinjauan keagaamaan, agar
dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat serta menekankan bahwa agama
Islam merupakan ajaran yang sempurna, juga menunjukkan bagaimana pandangan
Islam terhadap hakikat kesetaraan dan keadilan jender.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini sebagai batasan dalam pembahasan bab isi adalah sebagai berikut:
C. Tujuan Penulisan
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jender
Kata jender secara etimologis berasal dari bahasa Inggris, yaitu Gender yang
berarti jenis kelamin1. Menurut Webster New World Dictionary, jender diartikan
sebagai perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan dilihat dari sudut
pandang nilai dan tingkah laku2. Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijabarkan
bahwa jender merupakan suatu konsep kultural yamg berupaya membuat pembedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat3.
Dari rumusan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa jender adalah suatu
konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan
dengan melihat dari sisi pengaruh sosial budaya, Dalam konteks pembahasannya,
jender memiliki perbedaan pengertian dengan sex. Secara umum, sex digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari sisi anatomi, biologis.
Selain itu, studi sex lebih berfokus pada perkembangan aspek biologis komposisi
1
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia,(Jakarta : Gramedia, 1983) hal 265
2
Victoria Neufeldt (ed.), Webster New World Dictionary,(New York: Webster’s New World
Cleveland,1984) hal 561
3
Helen Tierney (Ed.), Women’s Studies Encyclopedia Vol. I,(New York : Green Wood Press) hal 153
4
Hilary M. Lips, Sex & Gender an Introduction,(California, London, Toronto: Mayfield Publishing
Company, 1993), hal 4
5
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al Qur’an,(Jakarta: Paramadina,1999), hal
33-34
kimia dan hormone dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi serta karakteristik biologis
lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa studi sex lebih menekankan kepada
anatomi tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness), sedangkan studi
jender lebih menitikberatkan pada aspek maskulinitas dan feminitas seseorang.
Sebagai suatu fenomena sosial, jender dalam hal ini bersifat relative, yang
artinya akibat dari perbedaan atas dasar sex tadi tidak selalu sama antara perspektif
satu masyarakat dengan yang lainnya. Contohnya seperti jender pada masyarakat
Jawa berbeda dengan jender masyarakat Bali dalam hal ketidaklaziman bagi
perempuan Jawa bekerja mengangkut batu untuk membuat jalanan, sedangkan di Bali
hal semacam itu merupakan sesuatu yang lumrah dan biasa. Oleh karena itu, jender
dianggap sebagai suatu fenomena sosial yang tidak lagi bersifat universal, melainkan
relative dan kontekstual7
6
Ivan Illich, Matinya Gender, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001) hal 76
7
H.S. Ahimsa Putra, Gender dan Pemaknaannya, Sebuah Ulasan Singkat Pusat Penelitian Kebudayaan
dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta, 2000)
Namun terkadang di satu sisi, beberapa orang menganggap bahwa Islam
terkesan cenderung lebih mengangkat derajat laki- laki dibanding perempuan, yang
menurut mereka tercermin dari hukum- hukum yang diterapkannya, pun juga dari
makna-makna yang terkandung dalam Al Qur’an dan Sunnah, yang dimana hal
tersebut disalahtafsirkan dan berkibat pada gagalnya pemahaman akan maksud
sebenarnya dari ajaran Islam ini.
ِ َّ اَي َأُّيه اا النَّاس اّنَّ اخلا ْقنا ْاك ِم ْن اذ اكر او ُأه ا ىْث او اج اعلْنا ْاك شع ًوب اوقا ابائِ ال ِل ات اع اارفوا ۚ ا َّن َأ ْك ار ام ْك ِع ْندا
ۚ اّلل َأتْ اق ْاك
ِ ِ
9
اّلل عا ِل مي اخبِيم
ا َّن َّ ا
ِ
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu,
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Allah telah
menciptakan manusia dalam dua bentuk, yaitu laki-laki dan perempuan, dan
menjadikan mereka berada di kedudukkan yang sama dan setara, yaitu sebagai
hambaNya.
Selain itu, di ayat yang lain Allah juga berfirman mengenai gambaran
kesetaraan laki-laki dan perempuan di hadapanNya, bahwa keduanya sama-sama
berpotensi untuk menjadi karakter yang diinginkan Allah, bahkan penyebutan dua
jender tersebut termaktub secara detail:
8
Al Kurdi, Ahkam al Mar’ah fi al Fiqh al Islamy, Alih Bahasa :Moh Zuhri dan Ahmad Qorib,(Semarang:
Dina Utama, 1995), hal 23-24
9
QS. Al Hujurat :13
ا َّن ألْم ْس ِل ِم اني اوألْم ْس ِل ام َٰ ِت اوألْم ْؤ ِم ِن اني اوألْم ْؤ ِمنا َٰ ِت اوألْ اق َٰ ِن ِت اني اوألْ اق َٰ ِن ات َٰ ِت اوأ َّلص َٰ ِد ِق اني اوأ َّلص َٰ ِدقا َٰ ِت اوأ َّلص َٰ ِ ِِ ان
ِ
اوأ َّلص َٰ ِ اِ َِٰت اوألْ اخ َٰ ِش ِع اني اوألْ اخ َٰ ِش اع َٰ ِت اوألْم ات اص ِد ِق اني اوألْم ات اص ِدقا َٰ ِت اوأ َّلص َٰ َّٰٓ ِئ ِم اني اوأ َّلص َٰ َّٰٓ ِئ ام َٰ ِت اوألْ اح َٰ ِف ِظ اني فر ا
وَج ْم
10
اوألْ اح َٰ ِف اظ َٰ ِت اوأ َّ َٰل ِك ِر ان أ َّ اّلل اك ِث ًيا اوأ َّ َٰل ِك ا َٰر ِت َأعادَّ أ َّّلل لاهم َّم ْغ ِف ار ًة او َأ ْج ًرا اع ِظميًا
Perincian dua jender di dalam ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak
membeda-bedakan hambaNya dari laki-laki maupun perempuan dalam hal apapun,
apabila mereka memenuhi syarat kualitas seorang hamba yang beriman dan taat
kepadaNya.
12
وعد هللا املؤمنني و املؤمنات جنات
10
QS. Al Ahzab :35
11
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al Manar, (Mesir : Mathba’ah al Manar) Juz 11, hal 116
12
QS. At Taubah : 72
1. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba ( QS. Al Hujurat:13, QS.
An Nahl:97)
2. Laki-laki dan perempuan menjadi khalifah di bumi (QS. Al Baqarah:30, QS.
Al An’am:165)
3. Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial (QS. Al
A’raf:172)
4. Nabi Adam dan Hawa terlibat secara langsung dan aktif dalam drama kosmis
(QS.Al Baqarah:35 dan 187, QS. Al A’raf: 20-23
5. Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi (QS. Ali Imran:195, QS.
An Nisa:124)13
Hal tersebut pun diamini oleh Alexis Carrel dalam Men The Unknown yang
dikutip oleh Quraish Shihab, dengan mengatakan bahwa perbedaan laki-laki dan
perempuan tidak hanya pada kelamin dan pendidikannya, tapi juga pada kondisi
fisiologisnya dengan segala unsur kimiawi yang dihasilkan oleh kelenjar, dan setiap
sel pada diri perempuan mempunyai ciri khas, yakni ciri khas keperempuanan14.
13
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al Qur’an, hal 248-265
14
M. Quraish Shihab, Perempuan Dari CInta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah dari Bias
Lama sampai Bias Baru,(Jakarta: Lentera Hati,2005) hal 26
yang timbul karena asumsi bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi dan
menginginkan adanya usaha untuk terlepas dari masalah tersebut15 .
15
Nurul Agustina, Tradisionalisme Islam dan Feminisme, Dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 5 dan 6
(1994), hal 63
16
Mansour Fakih, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam,(Surabaya: Risalah
Gusti,2000) hal 39
17
Kadarusman, Agama, Relasi Gender& Feminisme, (Yogyakarta: Kreasi Wacana,2005) hal 29
18
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam al Qur’an: Studi Pemikiran Para Mufasir, (Yogyakarta:
Labda Press,2006) hal 21
19
Ibid, hal 19-20
Adapun diantara mereka yang menjadi tokoh-tokoh feminis di dalam tubuh
Islam membuat suatu kajian yang tertuang didalam karya buku ataupun artikel, seperti
Fatima Mernisi yang berasal dari Maroko, Riffat Hassan yang berasal dari Pakistan,
Amina Wadud yang berasal dari Malaysia, Asghar Ali Engineer dari Pakistan dan
Nawal el Sadawy dari Mesir.
1. Hak Waris
Selain itu, bila melihat dari aspek sosial ekonominya, beban nafkah
sepenuhnya menjadi tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga, sehingga ia
berhak memperoleh warisan lebih besar, karena harta yang didapatkannya ia
pergunakan juga untuk menafkahi keluarganya, dan inilah yang melatari adanya
20
Ashgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj Farid Wajidi dan Cici Farkha
Assegaf,(Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994) hal 101-106
hukum waris 2;121. Bila ditarik ke masa sekarang, aturan tersebut tidak relevan lagi,
karena banyak dari kalangan perempuan yang bekerja untuk mencari nafkah dan
menjadi tulang punggung bagi keluarganya, sehingga ketentuan 2:1 dapat berubah.
Pendapat Ashgar mengenai hak waris terbukti tidak kuat, disamping karena
faktor ayat waris ini sudah dianggap final (QS. Al Nisa :13-14), juga pemahamannya
mengenai hak waris ini menggunakan perspektif kesetaraan bukan keadilan. Keadilan
dalam hukum waris ini bermakna terpenuhinya keseimbangan. Pemberian warisan
untuk anak laki-laki sebesar dua kali lipat didasarkan atas keseimbangan sistem
hubungan dalam keluarga yang berkaitan erat dengan kewajiban laki-laki dalam
urusan menafkahi keluarga, yang dimana hal tersebut menjadi salah satu alasan
lahirnya ketetapan hukum hak waris. Berdasarkan hal ini, tentunya bagian laki-laki
tidak hanya dimanfaatkannya sendiri melainkan diberikan kepada istri dan anak-
anaknya serta akan lebih cepat habis. Sebaliknya, perempuan menerima warisan untuk
dirinya sendiri dan cenderung utuh serta akan lebih lama habisnya dibanding laki-
laki22.
Selain itu, masalah waris ini terkait juga dengan karakteristik laki-laki yang
patriarkat dan perempuan yang matriarkat. Artinya, peran karakter patriarkat untuk
menjaga dan melindungi dengan adanya harta yang lebih banyak akan terpenuhi.
Sementara bagi perempuan yang berkarakter matriarkat yang penyayang, bergantung
dan ingin dicintai juga sama bila menerima bantuan tersebut.
21
Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al Qur’an, Terj. Yaziar Radianti,(Bandung: Pustaka,1994)
hal 117-118
22
M. Quraish Shihab, Perempuan Dari CInta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah dari Bias
Lama sampai Bias Baru, hal 262
23
Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al Qur’an, Terj. Yaziar Radianti, hal 93-94
Pendapat ini juga selaras dengan apa yang disampaikan oleh Ashgar, yang
mengatakan bahwa kelebihan yang menjadi syarat diatas bukan bersifat alamiah,
melainkan bersifat sosial, yakni kemampuan memberi nafkah dan mengatur
keluarga24. Menurutnya ayat yang membahas aspek kepemimpinan tersebut bukanlah
suatu perintah, melainkan hanya citra dari fakta sosial yang ada.
3. Perceraian (Talak)
Menurut para tokoh feminis hak untuk mentalak yang dipegang oleh suami
memberikan peluang kesewenang-wenangan suami yang tidak bertanggung jawab28,
sehingga mereka menggugat mengenai permasalahan ini. Padahal menurut pandangan
Islam, hak talak wajib diiringi dengan syarat yang berlaku, sehingga membatasi
kesewenang-wenangan suami dalam melontarkan kalimat talak.
24
Ashgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, hal
62-63
25
Abbas Mahmud al Aqqad, al Mar’ah fi al Qur’an, (Beirut: Mansyurah al Maktabah al Asriyyah) hal 5
26
Ibn Jarir al Thabari, Jami al Bayan fi Ta’wil ay al Qur’an,(Beirut :Muassasah al Risalah) juz 7 hal 290
27
Yusuf al Qardhawy, Min Fiqh al Daulah,(Kairo: Maktabah Nahdah al Misriyyah,1985) hal 162
28
Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al Qur’an, Terj. Yaziar Radianti, hal 106
Sejatinya, Islam tidak menutup kemungkinan bagi para istri untuk mengajukan
tuntutan cerai melalui prosedur pengadilan yang didalam hukum islam dinamakan
sebagai khulu’, meskipun pada dasarnya talak merupakan hak prerogratif suami. Ini
disebabkan karena suami lah yang wajib membayar mahar dan memenuhi kebutuhan
keluarga. Selain itu, adanya pertimbangan psikologis bahwa emosi laki-laki lebih
stabil dibanding wanita menyebabkan kalimat talak menjadi hak suami, karena jika
dipegang oleh istri, maka akan terlalu banyak potensi bagi istri untuk melontarkan
kalimat talak, yang merupakan dampak dari sisi emosionalnya yang cenderung lebih
tidak stabil dibanding laki-laki, terlebih ketika saat sedang haid atau nifas29, sehingga
mengakibatkan ketidaktepatan dalam mengambil keputusan.
29
M. Quraish Shihab, Perempuan Dari CInta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah dari Bias
Lama sampai Bias Baru, hal 301
BAB III
PENUTUP
Al Kurdi, Ahkam al Mar’ah fi al Fiqh al Islamy, Alih Bahasa :Moh Zuhri dan Ahmad
Qorib,(Semarang: Dina Utama, 1995),
Al Qur’anul Karim
Ashgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj Farid Wajidi dan Cici
Farkha Assegaf,(Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994)
H.S. Ahimsa Putra, Gender dan Pemaknaannya, Sebuah Ulasan Singkat Pusat
Penelitian Kebudayaan dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta, 2000)
Helen Tierney (Ed.), Women’s Studies Encyclopedia Vol. I,(New York : Green Wood
Press)
M. Quraish Shihab, Perempuan Dari CInta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai
Nikah dari Bias Lama sampai Bias Baru,(Jakarta: Lentera Hati,2005)
Victoria Neufeldt (ed.), Webster New World Dictionary,(New York: Webster’s New
World Cleveland,1984)
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam al Qur’an: Studi Pemikiran Para Mufasir,
(Yogyakarta: Labda Press,2006)