Anda di halaman 1dari 17

Makalah

KESETARAAN DAN KEADILAN JENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah:

METODE PENELITIAN TAFSIR DAN HADITS

Dosen Pengampu:

Prof. DR. Zikri Darussamin

Oleh:

Muhammad Hasbiallah

NIM : 21990215533

PASCA SARJANA JURUSAN HUKUM KELUARGA KONSENTRASI


TAFSIR HADITS

UIN SUSKA RIAU 2020


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam menjadi suatu agama yang bersifat rahmatan lil alamin, yang
didalamnya mengatur segala aspek kehidupan manusia tanpa membedakan jenis
kelaminnya, baik yang vertikal, yaitu hubungan dengan Allah Sang Pencipta maupun
secara horizontal yang berkaitan dengan hubungan antar sesama.

Segala unsur ketetapan hukum dan berbagai macam ilmu yang tercantum al
Qur’an dan Sunnah yang menjadi pedoman umat Islam bersifat abadi dan terus
berlaku hingga akhir zaman. Segala permasalahan yang terjadi diantara manusia pun
telah ada solusinya didalam Islam yang tentunya memberikan kemaslahatan bagi
umat manusia.

Selain itu, lebih dalam lagi Islam telah mengatur dengan sebaik-baiknya
mengenai hak dan kewajiban dari setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan,
dengan menjunjung tinggi nilai keadilan agar tercipta keselarasan dan keseimbangan
di dalam keberlangsungan kehidupan, sehingga setiap insan dapat menjalankan
tugasnya sebagai hamba dengan sempurna

Namun belakangan muncul tuduhan yang menganggap bahwa Islam


merupakan sumber dari ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat, termasuk
didalamnya ketidakadilan jender. Beberapa mengklaim bahwa hukum-hukum Islam
cenderung mendiskreditkan perempuan serta mendiskriminasi mereka, sehingga
menyebabkan ketimpangan, mulai dari aspek berpakaian sampai kepada aspek
kepemimpinan.

Berdasarkan hal tersebut, maka makalah ini akan mengupas lebih dalam
kesetaraan dan keadilan jender berdasarkan perspektif dan tinjauan keagaamaan, agar
dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat serta menekankan bahwa agama
Islam merupakan ajaran yang sempurna, juga menunjukkan bagaimana pandangan
Islam terhadap hakikat kesetaraan dan keadilan jender.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini sebagai batasan dalam pembahasan bab isi adalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian dari jender?


2. Bagaimana kesetaraan dan keadilan jender menurut kajian keislaman?
3. Apa saja dalil yang menunjukkan bahwa Islam telah mengatur kesetaraan dan
keadilan jender?
4. Bagaimana bentuk aktualisasi ajaran Islam yang menunjukkan adanya
kesetaraan dan keadilan jender

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penulisan makalah


ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui makna dan pengertian dari jender


2. Untuk memahami konsep kesetaraan dan keadilan jender menurut kajian
keislaman
3. Untuk mengetahui dalil yang menunjukkan adanya kesetaraan dan keadilan
jender
4. Untuk mengetahui bentuk aktualisasi ajaran Islam dalam kesetaraan dan
keadilan jender
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Jender

Kata jender secara etimologis berasal dari bahasa Inggris, yaitu Gender yang
berarti jenis kelamin1. Menurut Webster New World Dictionary, jender diartikan
sebagai perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan dilihat dari sudut
pandang nilai dan tingkah laku2. Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijabarkan
bahwa jender merupakan suatu konsep kultural yamg berupaya membuat pembedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat3.

Adapun secara terminologis, berdasarkan pendapat Hilary M. Lips jender


didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan4. H,T
Wilson mengartikan jender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan
sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang
sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Di lain pihak, Elaine
Showalter mendefinisikan jender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia lebih menekankan jender sebagai
konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu5.

Dari rumusan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa jender adalah suatu
konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan
dengan melihat dari sisi pengaruh sosial budaya, Dalam konteks pembahasannya,
jender memiliki perbedaan pengertian dengan sex. Secara umum, sex digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari sisi anatomi, biologis.
Selain itu, studi sex lebih berfokus pada perkembangan aspek biologis komposisi

1
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia,(Jakarta : Gramedia, 1983) hal 265
2
Victoria Neufeldt (ed.), Webster New World Dictionary,(New York: Webster’s New World
Cleveland,1984) hal 561
3
Helen Tierney (Ed.), Women’s Studies Encyclopedia Vol. I,(New York : Green Wood Press) hal 153
4
Hilary M. Lips, Sex & Gender an Introduction,(California, London, Toronto: Mayfield Publishing
Company, 1993), hal 4
5
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al Qur’an,(Jakarta: Paramadina,1999), hal
33-34
kimia dan hormone dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi serta karakteristik biologis
lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa studi sex lebih menekankan kepada
anatomi tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness), sedangkan studi
jender lebih menitikberatkan pada aspek maskulinitas dan feminitas seseorang.

Secara lebih jauh, Oakley berpendapat bahwa jender bukan perbedaan


biologis dan bukan kodrat Tuhan, karena hal tersebut merupakan kategori sex.
Adapun jender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang
dikosntruksi secara sosial yakini perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan
Tuhan, melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan budaya yang
panjang serta penuh proses. Caplan dalam The Cultural Construction of Sexuality
menguraikan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah
sekedar biologi. Jender berubah dari masa ke masa, dari tempat ke tempat bahkan dari
kelas ke kelas, sedangkan sex (jenis kelamin) akan tetap dan tidak berubah6.

Sebagai suatu fenomena sosial, jender dalam hal ini bersifat relative, yang
artinya akibat dari perbedaan atas dasar sex tadi tidak selalu sama antara perspektif
satu masyarakat dengan yang lainnya. Contohnya seperti jender pada masyarakat
Jawa berbeda dengan jender masyarakat Bali dalam hal ketidaklaziman bagi
perempuan Jawa bekerja mengangkut batu untuk membuat jalanan, sedangkan di Bali
hal semacam itu merupakan sesuatu yang lumrah dan biasa. Oleh karena itu, jender
dianggap sebagai suatu fenomena sosial yang tidak lagi bersifat universal, melainkan
relative dan kontekstual7

B. Kesetaraan dan Keadilan Jender Dalam Perspektif Kajian Keislaman

Pada hakikatnya, Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dan


keadilan, dan menempatkannya di tempat yang semestinya, tanpa terkecuali dalam
urusan jender, yang menjadikan posisi keduanya sangat proporsional dan sarat akan
tawazun (seimbang), sehingga berimplikasi pada kelangsungan kehidupan yang baik.

6
Ivan Illich, Matinya Gender, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001) hal 76
7
H.S. Ahimsa Putra, Gender dan Pemaknaannya, Sebuah Ulasan Singkat Pusat Penelitian Kebudayaan
dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta, 2000)
Namun terkadang di satu sisi, beberapa orang menganggap bahwa Islam
terkesan cenderung lebih mengangkat derajat laki- laki dibanding perempuan, yang
menurut mereka tercermin dari hukum- hukum yang diterapkannya, pun juga dari
makna-makna yang terkandung dalam Al Qur’an dan Sunnah, yang dimana hal
tersebut disalahtafsirkan dan berkibat pada gagalnya pemahaman akan maksud
sebenarnya dari ajaran Islam ini.

Padahal secara historis, sebelum datangnya Islam untuk pertama kalinya di


jazirah Arab, masyarakat yang berada disana (jahiliyah) pada waktu itu sangat
mengutamakan laki-laki dibanding wanita, karena tradisi pada saat itu laki-laki
memilki peranan penting dalam mengangkat derajat dari setiap kabilah (kelompok)
yang ada diantara mereka, sehingga berimbas pada diskriminasi dan penghinaan
terhadap eksistensi wanita. Hal ini karena menurut pandangan masyarakat jahiliyah,
wanita tidak dapat memberikan manfaat apapun selain hanya untuk pemuas nafsu dan
sarana untuk menghasilkan keturunan dari kalangan laki-laki saja.

Al Kurdi memberikan beberapa gambaran terkait bentuk-bentuk diskiriminasi


terhadap wanita pada masa jahiliyah sebagai berikut:

 Perempuan terhalang dari hak mewarisi


 Suami memiliki hak untuk menceraikan istri-istrinya kapanpun ia mau dan
dapat merujuknya kembali sesuai kehendaknya, dan sebaliknya istri tidak
memiliki kuasa apapun akan hal ini
 Laki-laki bebas untuk memiliki banyak istri tanpa adanya batasan tertentu
 Istri termasuk kedalam harta warisan peninggalan suami, sehingga dapat
diturunkan kepada ahli warisnya
 Kelahiran perempuan merupakan suatu aib bagi tradisi mereka, dan menjadi
hal yang lumrah bagi seorang ayah untuk mengubur anak perempuannya
hidup-hidup
 Masyarakat jahiliyah memperbolehkan perkawinan istibda, yaitu seorang
suami mengizinkan istrinya yang dalam keadaan suci/ tidak haid untuk
dikawinkan dengan salah satu pemimpin kabilah yang terkenal akan
keberaniannya, kekuatannya dan kemuliaannya, agar istrinya dapat
mengandung anak dari pemimpin dan memiliki keturunan yang baik,
kemudian setelah itu istrinya dikembalikan kepada suaminya
 Tradisi perkawinan syigar, yaitu seorang laki-laki menikahi puteri laki-laki
lainnya, dan ia pun juga menikahkan puterinya sendiri dengan laki-laki
tersebut tanpa adanya mahar diantara kedua pernikahan itu, atau dapat
dikatakan saling bertukar anak perempuan untuk dinikahi tanpa adanya mahar8

Islam kemudian datang dengan ajarannya yang disampaikan melalui Al


Qur’an dan Sunnah untuk mengangkat martabat perempuan dan menjadikannya
sebagai makhluk mulia, sehingga memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki.
Islam juga mengklasifikasikan urusan kesetaraan dan keadilan jender dengan
sempurna. Adapun dari aspek kemanusiaan dan statusnya sebagai hamba, laki-laki
dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di mata Allah, dan yang
membedakannya adalah amalan perbuatannya dan ketaqwaannya di sisi Allah.
Sebagaimana yang tertuang di dalam ayatnya :

ِ َّ ‫اَي َأُّيه اا النَّاس اّنَّ اخلا ْقنا ْاك ِم ْن اذ اكر او ُأه ا ىْث او اج اعلْنا ْاك شع ًوب اوقا ابائِ ال ِل ات اع اارفوا ۚ ا َّن َأ ْك ار ام ْك ِع ْندا‬
ۚ ‫اّلل َأتْ اق ْاك‬
ِ ِ
9
‫اّلل عا ِل مي اخبِيم‬
‫ا َّن َّ ا‬
ِ
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu,
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Allah telah
menciptakan manusia dalam dua bentuk, yaitu laki-laki dan perempuan, dan
menjadikan mereka berada di kedudukkan yang sama dan setara, yaitu sebagai
hambaNya.

Selain itu, di ayat yang lain Allah juga berfirman mengenai gambaran
kesetaraan laki-laki dan perempuan di hadapanNya, bahwa keduanya sama-sama
berpotensi untuk menjadi karakter yang diinginkan Allah, bahkan penyebutan dua
jender tersebut termaktub secara detail:

8
Al Kurdi, Ahkam al Mar’ah fi al Fiqh al Islamy, Alih Bahasa :Moh Zuhri dan Ahmad Qorib,(Semarang:
Dina Utama, 1995), hal 23-24
9
QS. Al Hujurat :13
‫ا َّن ألْم ْس ِل ِم اني اوألْم ْس ِل ام َٰ ِت اوألْم ْؤ ِم ِن اني اوألْم ْؤ ِمنا َٰ ِت اوألْ اق َٰ ِن ِت اني اوألْ اق َٰ ِن ات َٰ ِت اوأ َّلص َٰ ِد ِق اني اوأ َّلص َٰ ِدقا َٰ ِت اوأ َّلص َٰ ِ ِِ ان‬
ِ
‫اوأ َّلص َٰ ِ اِ َِٰت اوألْ اخ َٰ ِش ِع اني اوألْ اخ َٰ ِش اع َٰ ِت اوألْم ات اص ِد ِق اني اوألْم ات اص ِدقا َٰ ِت اوأ َّلص َٰ َّٰٓ ِئ ِم اني اوأ َّلص َٰ َّٰٓ ِئ ام َٰ ِت اوألْ اح َٰ ِف ِظ اني فر ا‬
‫وَج ْم‬
10
‫اوألْ اح َٰ ِف اظ َٰ ِت اوأ َّ َٰل ِك ِر ان أ َّ اّلل اك ِث ًيا اوأ َّ َٰل ِك ا َٰر ِت َأعادَّ أ َّّلل لاهم َّم ْغ ِف ار ًة او َأ ْج ًرا اع ِظميًا‬

Artinya : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan


perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,
laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki
dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya,
laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.

Perincian dua jender di dalam ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak
membeda-bedakan hambaNya dari laki-laki maupun perempuan dalam hal apapun,
apabila mereka memenuhi syarat kualitas seorang hamba yang beriman dan taat
kepadaNya.

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha di dalam tafsirnya pun menjelaskan


bahwasanya urgensi dari penerapan syari’at di muka bumi salah satunya adalah untuk
memberikan kesetaraan antara 2 insan, yaitu laki-laki dan perempuan, yang dimana
bagi setiap mereka yang beriman dan menjalankan syari’at Islam, sama-sama akan
mendapatkan kenikmatan di akhirat berupa surgaNya11, sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah:

12
‫وعد هللا املؤمنني و املؤمنات جنات‬

Artinya : “ Allah telah menjanjikan orang-orang mukmin laki-laki dan


perempuan, (akan mendapat) surga”.

Secara mendetail, Nasaruddin Umar di dalam studinya terhadap ayat-ayat al


Qur’an menunjukkan adanya kesetaraan jender. Ia mengungkapkan bahwa terdapat 5
variabel yang menguatkan pendapatnya, yaitu:

10
QS. Al Ahzab :35
11
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al Manar, (Mesir : Mathba’ah al Manar) Juz 11, hal 116
12
QS. At Taubah : 72
1. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba ( QS. Al Hujurat:13, QS.
An Nahl:97)
2. Laki-laki dan perempuan menjadi khalifah di bumi (QS. Al Baqarah:30, QS.
Al An’am:165)
3. Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial (QS. Al
A’raf:172)
4. Nabi Adam dan Hawa terlibat secara langsung dan aktif dalam drama kosmis
(QS.Al Baqarah:35 dan 187, QS. Al A’raf: 20-23
5. Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi (QS. Ali Imran:195, QS.
An Nisa:124)13

Secara prinsip, Islam pada hakikatnya telah mengatur mengenai masalah


jender ini dengan proporsional dan sesuai dengan kebutuhan manusia dan hakikatnya
sebagai hamba, bukan keinginannya. Proporsionalitasnya dalam membahas
kesetaraan jender tentunya tidak mengesampingkan prinsip keadilan, yang dimana
setiap laki-laki dan perempuan di dalam Islam memilki hak dan peran yang berbeda
sesuai dengan fitrahnya masing-masing, seperti sifat, kecenderungan dan perilakunya.

Hal tersebut pun diamini oleh Alexis Carrel dalam Men The Unknown yang
dikutip oleh Quraish Shihab, dengan mengatakan bahwa perbedaan laki-laki dan
perempuan tidak hanya pada kelamin dan pendidikannya, tapi juga pada kondisi
fisiologisnya dengan segala unsur kimiawi yang dihasilkan oleh kelenjar, dan setiap
sel pada diri perempuan mempunyai ciri khas, yakni ciri khas keperempuanan14.

Namun seiring berkembangnya peradaban dan pemikiran yang juga


berimplikasi pada lahirnya politik demokrasi serta munculnya ekonomi sosialis dan
kapitalis yang didominasi oleh Negara barat, memicu adanya kesadaran baru terhadap
hak-hak perempuan. Mereka menuntut persamaan status sosial perempuan dan
mendapatkan perlakuan yang sama di tengah masyarakat, tanpa adanya diskriminasi.
Fenomena ini memunculkan gerakan yang dinamakan fenimisme, yaitu suatu gerakan

13
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al Qur’an, hal 248-265
14
M. Quraish Shihab, Perempuan Dari CInta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah dari Bias
Lama sampai Bias Baru,(Jakarta: Lentera Hati,2005) hal 26
yang timbul karena asumsi bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi dan
menginginkan adanya usaha untuk terlepas dari masalah tersebut15 .

Ideologi feminisme ini memiliki beberapa aliran yang disebabkan karena


perbedaan pandangan setiap kelompok tentang konsep kesetaraan, sebab-sebab
terjadinya ketimpangan jender dan cara mentransformasikan nilai-nilai kesetaraan,
adapun diantara aliran-aliran tersebut adalah :

 Feminisme liberal, yaitu pandangan bahwa perempuan memiliki daya dan


rasio yang sama dengan laki-laki16
 Feminisme marxis, yaitu pandangan bahwa penyebab ketimpangan jender
dikarenakan adanya system kapitalis17
 Feminisme sosialis, yaitu pandangan bahwa kesetaraan sosial tidak akan
pernah tercapai jika perempuan tidak menyadari ketertindasannya, seperti
kesadaran akan dominasi laki-laki di dalam keluarga yang memberikan efek
penindasan18
 Feminisme radikal, yaitu pandangan bahwa segala interaksi perempuan
dengan laki-laki merupakan penyebab segala ketergantungan perempuan
Dikatakan radikal, karena dalam analisisnya, aliran ini juga memasukkan
hubungan seksual sebagai bentuk ketergantungan, padahal menurut aliran ini,
kepuasan seksual juga bisa didapatkan dari hubungan sesame jenis, tidak harus
bergantung kepada laki-laki19

Gerakan feminisme ini dengan segala alirannya terus menyebar di belahan


dunia lain, hingga pada tahun 1980-an sebagian pakar muslim terpengaruh oleh
ideologi ini, dan menyuarakan pendapat mereka yang berkenaan dengan hak-hak
perempuan serta mengkaji ulang ilmu fikih yang menyentuh isu-isu yang menurut
mereka memiliki kesan atau bias tentang adanya diskriminasi terhadap perempuan.

15
Nurul Agustina, Tradisionalisme Islam dan Feminisme, Dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 5 dan 6
(1994), hal 63
16
Mansour Fakih, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam,(Surabaya: Risalah
Gusti,2000) hal 39
17
Kadarusman, Agama, Relasi Gender& Feminisme, (Yogyakarta: Kreasi Wacana,2005) hal 29
18
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam al Qur’an: Studi Pemikiran Para Mufasir, (Yogyakarta:
Labda Press,2006) hal 21
19
Ibid, hal 19-20
Adapun diantara mereka yang menjadi tokoh-tokoh feminis di dalam tubuh
Islam membuat suatu kajian yang tertuang didalam karya buku ataupun artikel, seperti
Fatima Mernisi yang berasal dari Maroko, Riffat Hassan yang berasal dari Pakistan,
Amina Wadud yang berasal dari Malaysia, Asghar Ali Engineer dari Pakistan dan
Nawal el Sadawy dari Mesir.

Tokoh-tokoh feminis dari kalangan Muslim biasanya mengkritisi produk


hukum Islam yang dianggap bias jender, seperti masalah hak waris, kepemimpinan
dalam keluarga dan pengajuan perceraian. Dari permasalahan hukum tersebut, mereka
menawarkan alternatif pandangan baru yang sesuai dengan konsep pemikiran
feminisme, dan tentunya bersifat menggugat, menyalahkan serta mendekonstruksi.
Produk pemikiran yang ditawarkan tentu merupakan hasil dari doktrin-doktrin Barat
yang sekuler, yang sudah pasti bertolak belakang dengan nilai-nilai keislaman.

Adapun mengenai uraian permasalahan hukumnya adalah sebagai berikut :

1. Hak Waris

Mengenai hukum hak waris, mereka mempermasalahkan dan menggugat


QS.al Nisa:11. Menurut Ali Ashgar Engineer yang merupakan tokoh feminis Muslim,
menyatakan bahwa pendistribusian warisan yang tertera pada ayat bukanlah suatu
ketetapan yang final20, sebab pada hakikatnya, al Qur’an menghendaki perolehan
yang sama antara laki-laki dan perempuan, yang dinisbatkan dengan ayat-ayat yang
berhubungan dengan adanya potensi bagi keduanya untuk mendapatkan penghargaan
yang sama disisi Allah, seperti di dalam QS. Ali Imran:195. Pada akhirnya, ketentuan
pembagian warisan 2:1 itu dapat berganti menjadi 1:1, walaupun berdasarkan sejarah,
pada masa Nabi SAW tidak dilakukan karena system yang digunakan kala itu masih
bersifat patriarkat.

Selain itu, bila melihat dari aspek sosial ekonominya, beban nafkah
sepenuhnya menjadi tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga, sehingga ia
berhak memperoleh warisan lebih besar, karena harta yang didapatkannya ia
pergunakan juga untuk menafkahi keluarganya, dan inilah yang melatari adanya

20
Ashgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj Farid Wajidi dan Cici Farkha
Assegaf,(Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994) hal 101-106
hukum waris 2;121. Bila ditarik ke masa sekarang, aturan tersebut tidak relevan lagi,
karena banyak dari kalangan perempuan yang bekerja untuk mencari nafkah dan
menjadi tulang punggung bagi keluarganya, sehingga ketentuan 2:1 dapat berubah.

Pendapat Ashgar mengenai hak waris terbukti tidak kuat, disamping karena
faktor ayat waris ini sudah dianggap final (QS. Al Nisa :13-14), juga pemahamannya
mengenai hak waris ini menggunakan perspektif kesetaraan bukan keadilan. Keadilan
dalam hukum waris ini bermakna terpenuhinya keseimbangan. Pemberian warisan
untuk anak laki-laki sebesar dua kali lipat didasarkan atas keseimbangan sistem
hubungan dalam keluarga yang berkaitan erat dengan kewajiban laki-laki dalam
urusan menafkahi keluarga, yang dimana hal tersebut menjadi salah satu alasan
lahirnya ketetapan hukum hak waris. Berdasarkan hal ini, tentunya bagian laki-laki
tidak hanya dimanfaatkannya sendiri melainkan diberikan kepada istri dan anak-
anaknya serta akan lebih cepat habis. Sebaliknya, perempuan menerima warisan untuk
dirinya sendiri dan cenderung utuh serta akan lebih lama habisnya dibanding laki-
laki22.

Selain itu, masalah waris ini terkait juga dengan karakteristik laki-laki yang
patriarkat dan perempuan yang matriarkat. Artinya, peran karakter patriarkat untuk
menjaga dan melindungi dengan adanya harta yang lebih banyak akan terpenuhi.
Sementara bagi perempuan yang berkarakter matriarkat yang penyayang, bergantung
dan ingin dicintai juga sama bila menerima bantuan tersebut.

2. Kepemimpinan Perempuan dalam Keluarga

Menurut tokoh feminis, yaitu Amina Wadud, berpendapat bahwa perempuan


dapat memposisikan dirinya sebagai kepala keluarga menggantikan laki-laki bila
syarat-syarat dalam ayat dalam al Qur’an mengenai kepemimpinan itu dapat dipenuhi,
yakni memberi nafkah dan keistimewaan dalam aspek fisiologis dan psikologis23. Ia
menambahkan bahwa ketentuan pemimpin itu bukan bersifat kodrati, melainkan dapat
berubah dan bertukar antara laki-laki dan perempuan. Ketetapan diatas menurutnya
adalah peran jender yang merupakan sebuah konstruksi budaya.

21
Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al Qur’an, Terj. Yaziar Radianti,(Bandung: Pustaka,1994)
hal 117-118
22
M. Quraish Shihab, Perempuan Dari CInta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah dari Bias
Lama sampai Bias Baru, hal 262
23
Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al Qur’an, Terj. Yaziar Radianti, hal 93-94
Pendapat ini juga selaras dengan apa yang disampaikan oleh Ashgar, yang
mengatakan bahwa kelebihan yang menjadi syarat diatas bukan bersifat alamiah,
melainkan bersifat sosial, yakni kemampuan memberi nafkah dan mengatur
keluarga24. Menurutnya ayat yang membahas aspek kepemimpinan tersebut bukanlah
suatu perintah, melainkan hanya citra dari fakta sosial yang ada.

Pendapat mereka tentunya bertentangan dengan hakikat Islam, dimana


kepemimpinan dalam keluarga diserahkan kepada laki-laki (QS. Al Nisa :34). Hal ini
berdasarkan prinsip keadilan yang berlaku. Salah satu prinsip keadilan adalah
meletakkan sesuatu sesuai dengan kapasitas masing-masing. Alasan laki-laki didapuk
sebagai pemimpin keluarga bukan hanya karena kewajibannya memberi nafkah,
melainkan juga karena kelebihan alamiah, baik dari aspek fisiologis maupun
psikologis25. Adapun pandangan para tokoh feminis menganggap perbedaan antara
laki-laki dan perempuan hanya sebatas jenis kelaminnya saja, padahal kenyataannya
lebih daripada itu.

Terkait penafsiran makna al qawwamah di dalam ayat tersebut, mayoritas


ulama tafsir berpendapat tidak hanya sebatas kemampuan memberi nafkah saja. Al
Thabari berpendapat bahwa qawwamah berarti pelaksana tugas (tanfidz al amr) dan
pelindung26. Yusuf Qardhawy mengartikan lafadz tersebut dengan tanggung jawab
dan amanah27. Ini menunjukkan bahwa translasi mengenai makna qawwamah di
dalam ayat memiliki cakupan yang luas, dan memiliki multi penafsiran.

3. Perceraian (Talak)

Menurut para tokoh feminis hak untuk mentalak yang dipegang oleh suami
memberikan peluang kesewenang-wenangan suami yang tidak bertanggung jawab28,
sehingga mereka menggugat mengenai permasalahan ini. Padahal menurut pandangan
Islam, hak talak wajib diiringi dengan syarat yang berlaku, sehingga membatasi
kesewenang-wenangan suami dalam melontarkan kalimat talak.

24
Ashgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, hal
62-63
25
Abbas Mahmud al Aqqad, al Mar’ah fi al Qur’an, (Beirut: Mansyurah al Maktabah al Asriyyah) hal 5
26
Ibn Jarir al Thabari, Jami al Bayan fi Ta’wil ay al Qur’an,(Beirut :Muassasah al Risalah) juz 7 hal 290
27
Yusuf al Qardhawy, Min Fiqh al Daulah,(Kairo: Maktabah Nahdah al Misriyyah,1985) hal 162
28
Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al Qur’an, Terj. Yaziar Radianti, hal 106
Sejatinya, Islam tidak menutup kemungkinan bagi para istri untuk mengajukan
tuntutan cerai melalui prosedur pengadilan yang didalam hukum islam dinamakan
sebagai khulu’, meskipun pada dasarnya talak merupakan hak prerogratif suami. Ini
disebabkan karena suami lah yang wajib membayar mahar dan memenuhi kebutuhan
keluarga. Selain itu, adanya pertimbangan psikologis bahwa emosi laki-laki lebih
stabil dibanding wanita menyebabkan kalimat talak menjadi hak suami, karena jika
dipegang oleh istri, maka akan terlalu banyak potensi bagi istri untuk melontarkan
kalimat talak, yang merupakan dampak dari sisi emosionalnya yang cenderung lebih
tidak stabil dibanding laki-laki, terlebih ketika saat sedang haid atau nifas29, sehingga
mengakibatkan ketidaktepatan dalam mengambil keputusan.

29
M. Quraish Shihab, Perempuan Dari CInta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah dari Bias
Lama sampai Bias Baru, hal 301
BAB III

PENUTUP

Islam memberikan segala ajarannya yang sesuai dengan norma-norma


kehidupan yang berlaku, dan memiliki perspektif sempurna dalam mengkaji setiap
permasalahan yang terjadi, tanpa terkecuali mengenai kesetaraan dan keadilan jender.
Di dalam ayat-ayat al Qur’an, baik secara tersirat maupun tersurat memberikan
gambaran bahwa segala hukum yang diterapkan kepada umat memiliki kemaslahatan,
walaupun terkadang tidak dapat dirasakan dan diketahui.

Aturan yang terdapat di ajaran Islam menempatkan setiap jender sesuai


dengan karakteristiknya masing-masing dan diletakkan secara proporsional, tanpa
adanya pembedaan kedudukan laki-laki dan perempuan di sisi Allah, karena status
mereka yang sama-sama merupakan seorang hamba dan Islam menjadi agama yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dan keadilan jender.

Hal tersebut terlihat dari berbagai pembuktian ayat-ayat al Qur’an mengenai


hukum yang terkesan diskrimantif terhadap perempuan, namun pada hakikatnya
memiliki tujuan sebaliknya, yang dibahas oleh para ahli tafsir dengan pemaknaan
yang luas, jelas, dan tepat sasaran.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas Mahmud al Aqqad, al Mar’ah fi al Qur’an, (Beirut: Mansyurah al Maktabah al


Asriyyah)

Al Kurdi, Ahkam al Mar’ah fi al Fiqh al Islamy, Alih Bahasa :Moh Zuhri dan Ahmad
Qorib,(Semarang: Dina Utama, 1995),

Al Qur’anul Karim

Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al Qur’an, Terj. Yaziar Radianti,(Bandung:


Pustaka,1994)

Ashgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj Farid Wajidi dan Cici
Farkha Assegaf,(Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994)

H.S. Ahimsa Putra, Gender dan Pemaknaannya, Sebuah Ulasan Singkat Pusat
Penelitian Kebudayaan dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta, 2000)

Helen Tierney (Ed.), Women’s Studies Encyclopedia Vol. I,(New York : Green Wood
Press)

Hilary M. Lips, Sex & Gender an Introduction,(California, London, Toronto:


Mayfield Publishing Company, 1993)

Ibn Jarir al Thabari, Jami al Bayan fi Ta’wil ay al Qur’an,(Beirut :Muassasah al


Risalah)

Ivan Illich, Matinya Gender, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001)

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia,(Jakarta : Gramedia,


1983)

Kadarusman, Agama, Relasi Gender& Feminisme, (Yogyakarta: Kreasi


Wacana,2005)

M. Quraish Shihab, Perempuan Dari CInta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai
Nikah dari Bias Lama sampai Bias Baru,(Jakarta: Lentera Hati,2005)

Mansour Fakih, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif


Islam,(Surabaya: Risalah Gusti,2000)
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al Manar, (Mesir : Mathba’ah al Manar)

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al Qur’an

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al Qur’an,(Jakarta:


Paramadina,1999)
Nurul Agustina, Tradisionalisme Islam dan Feminisme, Dalam Jurnal Ulumul Qur’an
No. 5 dan 6 (1994)

Victoria Neufeldt (ed.), Webster New World Dictionary,(New York: Webster’s New
World Cleveland,1984)

Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam al Qur’an: Studi Pemikiran Para Mufasir,
(Yogyakarta: Labda Press,2006)

Yusuf al Qardhawy, Min Fiqh al Daulah,(Kairo: Maktabah Nahdah al


Misriyyah,1985)

Anda mungkin juga menyukai