Anda di halaman 1dari 14

TUGAS RESUME

DIC DAN TROMBOSIS

BLOK KEPERAWATAN KRITIS

Dosen Pengampu
Dini Rudini, S.Kep., Ners.,M.Kep

Disusun Oleh:

Mardalia G1B118044

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021
Dic & Trombosis

Koagulasi intravascular diseminata (KID) merupakan salah satu kedaruratan


medis,karena mengancam nyawa dan memerlukan penanganan segera. Tetapi tidak semua
KID digolongkan dalam darurat medis,hanya KID fulminan atau akut sedang KID kronik
dengan derajat rendah atau terkompensasi bukan suatu keadaan darurat. Namun perlu di
waspadai bahwa KID derajat rendah dapat berubah menjadi KID fulminant sehingga
memerlukan pengobatan segera

A. Definisi
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) atau dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) merupakan suatu sindrom
patologiklinis yang menyebabkan berbagai komplikasi. Hal ini ditandai dengan aktivasi
sistemik jalur menuju dan mengatur koagulasi, yang dapat mengakibatkan generasi
bekuan fibrin yang dapat menyebabkan kegagalan organ bersamaan dengan konsumsi
trombosit dan faktor koagulasi yang dapat mengakibatkan klinis perdarahan.

B. Tipe DIC
Terdapat 2 tipe klinis DIC yaitu akut dan kronik. Keduanya memiliki etiologi dan
manifestasi klinis yang berbeda. 
a. DIC akut 
DIC akut berkembang ketika sejumlah besar prokoagulan (faktor jaringan)
memasuki sirkulasi pada jangka waktu yang singkat (beberapa jam hingga beberapa
hari), sangat besar kemampuan tubuh untuk mengisi faktor koagulasi dan
predisposisi pasien terhadap perdarahan. DIC akut terjadi pada endotoksemia,
trauma jaringan luas, wanita hamil dengan komplikasi pre-eklampsi, atau
terlepasnya jaringan plasenta. DIC akut juga terjadi pada penderita dengan hipotensi
atau syok oleh berbagai sebab (misalnya pada tindakan operasi, stroke luas, atau
serangan jantung
b. DIC kronik
Pada DIC kronik, jumlah dari faktor jaringan yang terlibat lebih kecil,
sehingga stimulasi lebih kurang kuat dari sistem koagulasi dan memungkinkan tubuh
untuk mengkompensasi penggunaan protein koagulasi dan trombosit.  DIC kronik
biasanya berkembang secara perlahan dalam waktu berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan dengan manifestasi klinik lebih bersifat trombotik. DIC kronik sring
terjadi pada penyakit kanker (sindroma trousseau), aneurisme aorta, dan penyakit
inflamasi kronis. Pada penderita dengan penyakit kanker, faktor resiko yang penting
adalah usia lanjut, laki-laki, kanker lanjut dan nekrosis pada tumor. Kebanyakan DIC
kronik terjadi pada penederita kanker jenis adenokarsinoma paru, payudara, prostat
atau kolorektal. 

C. Etiologi
Penyebab DIC dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan akut atau kronis. DIC pun
dapat merupakan akibat dari kelainan tunggal atau multipel.  
a) DIC akut: 
 Infeksi : Bakteri (gram negatif, gram positif, ricketsia), virus (HIV, varicella,
CMV, hepatitis, virus dengue), fungal (histoplasma),  parasit (malaria) 
 Keganasan  :  Hematologi (AML),  Metastase (mucin secreting adenocarcinoma) 
 Trauma berat : aktivasi tromboplastin jaringan.
 Reaksi Hemolitik, Reaksi transfuse, Gigitan ular, Penyakit hati, Acute
hepatic failure, luka bakar. 

b) DIC kronik  
 Keganasan  : rumor solid, lekemi,

 Obstetri : intrauterin fetal death, abrasio plasenta

 Hematologi  : sindrom mieloproliferatif


 Vaskular : rematoid artritis, penyakit raynaud

 Cardiovascular - infark miokard

 Inflamasi; ulcerative colitis, penyakit crohn, sarcoidosis

Pada kasus infeksi, sepsis, endotoksin mengaktivasi system koagulasi


merangsang pelepasan sitokin tumor necrosis alpha (TNF -α), interleukin (IL-1) dan 
komplemen yang menyebabkan gangguan/ kerusakan endotel. Pada viremia, mekanisme
yang berkaitan dengan DIC adalah reaksi antigen-antibodi yang mengaktivasi faktor XII,
reaksi pelepasan trombosit atau pengelupasan endotel dengan melibatkan kolagen sub
endotel dan membrana basalis .

Pada kasus keganasan terutama tumor padat, keadaan ini disebabkan oleh
penekanan oleh tumor tersebut, factor jaringan dan factor koagulan yang dilepaskan oleh
sel tumor tersebut atau melalui aktivasi sel endotel oleh sitokin (IL1, vascular endothelial
growth factor/VEGF, TNF.

Pada pasien dengan kasus obstetri seperti solusio plasenta, jaringan atau enzim
dari plasenta dilepaskan ke dalam uterus dan sirkulasi sistemik, menyebabkan aktivasi
sistem koagulasi.  Beberapa penyakit autoimun, penyakit kardiovaskular dapat
menyebabkan DIC derajat ringan (low-grade DIC) atau DIC kompensata. Mekanisme
terjadinya tidak jelas, tetapi mungkin disebabkan oleh syok, hipoksia, dan asidosis yang
mengakibatkan gangguan endotel aktivasi faktor pembekuan

D. Patofisiologi
Patofisiologi dasar DIC adalah terjadinya :
 Aktivasi system koagulasi (consumptive coagulopathy)

 Depresi prokoagulan

 Defek Fibrinolisis

Pembentukan fibrin secara sistemik terjadi akibat peningkatan pembentukan


trombin, bersamaan dengan mekanisme supresi antikoagulan fisiologis dan destruksi
fibrin yang terlambat, pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan fibrinolisis.  Hampir
semua respon inflamasi sistemik , gangguan koagulasi dan fibrinol isis pada DIC
dimediasi oleh beberapa sitokin proinflamasi. Mediator yang terlibat dalam aktivasi
koagulasi terutama interleukin 6 (IL-6). Tumor necrosis factor (TNF) secara tidak
langsung mempengaruhi pengaktifan koagulasi karena efeknya pada IL-6 dan merupakan
mediator yang penting dalam disregulasi jalur antikoagulan fisiologis dan defek
fibrinolisis.

 Ada 3 proses yang terlibat dalam terjadinya DIC, yaitu sebagai berikut :  
1. Pembentukan Trombin  
Pembentukan trombin sistemik pada binatang percobaan dengan DIC menunjukkan
bahwa secara eksklusif, proses ini diperantarai oleh jalur ekstrinsik yang melibatkan
faktor jaringan (TF) dan faktor VIIa.  Trombin di dalam sirkulasi memecah
fibrinogen menjadi monomer fibrin. Trombin juga merangsang agregasi trombosit,
mengaktivasi faktor V dan VIII, serta melepas aktivator plasminogen yang
membentuk plasmin. Plasmin memecah fibrin membentuk produk degradasi fibrin
dan selanjutnya menginaktivasi faktor V dan VIII. Aktivitas trombin yang
berlebihan mengakibatkan berkurangnya fibrinogen, trombositopenia, faktor-faktor
koagulasi, dan fibrinolisis, yang mengakibatkan perdarahan difus .

2. Defek pada Inhibitor Koagulan 


Antikoagulan fisiologis terdiri atas antithombin III, protein C, dan tissue
factor– pathway inhibitor (TFPI). Kadar antitrombin III dalam plasma menurun
akibat koagulasi berkelanjutan, degradasi oleh elastase yang dilepaskan dari
neutrofil yang teraktivasi, dan gangguan sintesis antitrombin III. Gangguan pada
sistem protein C dapat mengganggu regulasi aktivitas koagulasi. Penurunan aktivitas
protein C disebabkan oleh gabungan gangguan sintesis protein, penurunan aktivitas
trombomodulin endotel yang diperantarai sitokin, dan kurangnya kadar  fraksi bebas
protein S (kofaktor penting protein C). Protein C diubah menjadi protease aktif oleh
trombin setelah terikat pada trombomodulin. Tissue factor yang merupakan pencetus
DIC dihambat oleh  tissue factor-pathway inhibitor (TFPI).

3. Defek Fibrinolitik 
Penelitian pada binatang percobaan dengan DIC mengindikasikan bahwa
sistem fibrinolitik sebagian besar tertekan pada saat aktivasi koagulasi maksimal.
Inhibisi ini disebabkan oleh peningkatan kadar plasminogen activator inhibitor type
1 (PAI-1) yang menetap. Penelitian klinis menunjukkan bahwa supresi fibrinolisis 
diperantarai oleh PAI-1 dan walaupun ada beberapa aktivitas fibrinolitik dalam
respon terhadap pembentukan fibrin, tingkat aktivitas ini terlalu rendah untuk
mengimbangi deposisi fibrin sistemik

DIC mempunyai dua akibat :


1) Endapan fibrin yang meluas dalam mikrosirkulasi. Keadaan ini meyebabkan
iskemi alat-alat vital tubuh yang terkena lebih parah atau lebih peka dan
menimbulkan hemolisis karena eritrosit mendapat trauma sewaktu melewati
anyaman fibrin (anemia hemolisis mikroangiopati).

2) Diatesis perdarahan terjadi jika trombosit dan faktor pembekuan diboroskan.


Keadaan menjadi lebih buruk kalau pembekuan ekstensif mengaktifkan
plasminogen. Plasmin tidak hanya dapat memecah fibrin (fibrinolisis), tetapi juga
mencerna faktor V dan VIII, sehingga lebih lanjut mengurangi konsentrasinya. 
Disamping itu fibrinolisis berakibat pembentukan produk degradasi fibrin yang
mempunyai dampak menghambat pengendapan trombosit, memiliki aktivitas
antitrombin dan merusak polimerasi fibrin. Semua keadaan ini dapat menyebabkan
kegagalan hemostasis. 

E. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis DIC bervariasi. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait


dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis,
emboli, disfungsi organ, dan perdarahan Kebanyakan pasien mengalami perdarahan yang
luas pada kulit dan membran mukosa. Manifestasi perdarahan yang tejadi dapat berupa
peteki, purpura, ekimosis, atau hematoma. Perdarahan yang terjadi akibat bekas suntikan
atau tempat infusa tau pada mukosa sering ditemukan pada DIC akut. Perdarahan ini juga
bisa masif dan membahayakan, misalnya pada traktus gastrointestinal, paru, susunan
saraf pusat atau mata. Sedangkan pasien dengan DIC kronik umumnya hanya disertai
sedikit perdarahan pada kulit dan mukosa. Gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi,
asidosis, hipoksia, proteinuria dapat menyertai.
Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas. Pada
kulit dapat berupa bulla hemoragik, nekrosis akral dan gangren. Trombosis vena dan 
arteri besar dapat terjadi, tetapi relatif jarang. Disfungsi organ akibat mikrotrombosis
yang luas ini dapat berupa akrosianosis perifer, pregangren sampai gangren pada jari-
jari, genitalia dan hidung, iskemia korteks ginjal, hipoksemia hingga perdarahan dan
acute respiratory distress síndrome (ARDS) pada paru serta penurunan kesadaran.

Manifestasi yang sering dilihat pada DIC antara lain: 


 Sirkulasi : Dapat terjadi syok hemoragik 
 Susunan saraf pusat : Penurunan kesadaran dari yang ringan sampai koma,
Perdarahan Intrakranial 
 Sistem Kardiovaskular : Hipotensi,  Takikardi, Kolapsnya pembuluh darah perifer 
 Sistem Respirasi : Pada keadaan DIC yang berat dapat mengakibatkan gagal napas
yang dapat menyebabkan kematian. 
 Sistem Gastrointestinal : Hematemesis, Hematochezia 
 Sistem Genitourinaria : Hematuria, Oliguria, Metrorrhagia, Perdarahan uterus

F. Komplikasi

Disseminated Intravascular Coagulation bisa menyebabkan komplikasi, terutama


ketika tidak diobati dengan benar. Komplikasi terjadi baik dari pembekuan berlebihan
yang terjadi pada tahap awal kondisi dan tidak adanya faktor pembekuan pada tahap
selanjutnya, seperti:

 Gumpalan darah yang menyumbat pembuluh darah menyebabkan asupan oksigen ke


organ dan anggota tubuh menjadi terganggu;

 Perdarahan yang berlebihan yang dapat menyebabkan kematian.

G. Diagnosis

Untuk membuat diagnosis DIC dari berbagai tingkat dapat dikemukakan proses
terjadinya gangguan koagulasi. Ada juga sistem scoring untuk DIC ysng dikemukakan
pada pertemuan Scientific and Standarization committee International Society
on Thrombosis and Homeostasis yang paling banyak dianut .
Langkah-langkah mendiagnosis DIC sebagai berikut: 

1. Penentuan risiko : apakah terdapat kelainan dasar atau etiologi yang mencetuskan
DIC? Jika tidak, Penilaian tidak dianjurkan  
2. Uji koagulasi (Jumlah Trombosit, PT, Fibrinogen, FDP/D-Dimer)

3. SKOR : Liat gambar 3 


G. Terapi
Pengelolaan DIC bergantung pada penyakit yang mencetuskan terjadinya DIC
dan juga derajat dari DIC. Maka pengobatan kasus demi kasus berbeda satu dengan
lainnya.  Kadang pemberian heparin pada kasus yang satu sangat diperlukan, sebaliknya
pada kasus yang lain sama sekali tidak.  Jadi setiap individu harus dilihat keuntungan dan
kerugian dari pengobatan. Meskipun pengelolaan DIC berbeda tiap kasusnya, fokus
utama dari pengobatan ialah untuk menterapi penyebab utama terjadinya koagulasi yang
berlebihan. Pada beberapa kasus, penyebab DIC tidak dapat ditangani secara langsung
(contoh: kasus malignasi). Oleh karenanya diperlukan penanganann khusus untuk
mencegah terjadinya trombosis  dan juga perdarahan. Terapi DIC dibagi menjadi terapi
substitusi, antikoagulasi, pemulihan anticoagulation pathway, dan pemberian agen
lainnya (dapat dilihat padatabel).

1. Tranfusi komponen darah


Pemberian komponen darah perlu dilakukan pada pasien yang kekurangan komponen
darah akibat konsumsi yang berkelanjutan. Secara khusus, terapi penggantian hanya
digunakan pada pasien yang memiliki gejala klinis perdarahan dan tidak digunakan
untuk mengobati pasien dengan kelainan laboratorium tanpa adanya klinis
perdarahan [2, 4]. Fresh frozen plasma (FFP) merupakan pilihan utama karena
memiliki faktor faktor koagulasi yang lebih lengkap. Dosis untuk setiap komponen
darah dirangkum dalam tabel dibawah. Terapi substitusi komponen darah
direkomendasikan pada pasien DIC akut maupun kronis dengan perdarahan aktif.
Pasien tanpa adanya perdarahan tidak anjurkan untuk dilakukan substitusi.

2. Antikoagulasi
Terapi antikoagulan telah direkomendasikan sebagai untuk mengatasi
koagulasi yang berlebihan pada DIC. Tapi dalam prakteknya manfaat ini jarang
terlihat. Untuk pasien yang secara aktif perdarahan, heparin akan memperburuk
pendarahan sebelum manfaat potensial. Dalam sebagian besar situasi khas DIC akut
(yang mencakup 95% atau lebih pasien) terapi heparin belum terbukti berguna dan
mungkin berbahaya. Heparin telah terbukti memiliki efek yang menguntungkan
dalam kecil, studi terkontrol pasien dengan koagulasi intravaskular diseminata, tetapi
tidak dalam uji klinis terkontrol. Meskipun kontroversi, heparin dapat digunakan
dalam kasus DIC kronis, di mana trombosis mendominasi (contoh: purpura
fulminans, tumor padat, hemangioma, sindrom janin mati). Heparin biasanya
diberikan pada dosis yang relatif rendah (510 unit / kg berat badan / jam) dengan
infus intravena kontinu atau injeksi subkutan untuk terapi rawat jalan jangka panjang.
Dosis rendah heparin subkutan tampaknya seefektif atau mungkin lebih efektif
daripada dosis yang lebih besar dari heparin intravena di DIC. Namun demikian,
harus dilakukan dengan sangat hati-hati bila menggunakan heparin, dan itu harus
dihentikan pada sedikit sedikit memburuk pendarahan

3. Antifibrinolotik 
Penggunaan obat antifibrinolisis seperti asam traneksamat dapat mencegah
degradasi fibrin oleh plasmin sehingga dapat mengurangi pendarahan pada pasien
DIC dan yang mengalami hiperfibrinolisis (gambar 4). Akan tetapi, obat ini dapat
meningkatkan risiko terjadinya trombosis sehingga penggunaan heparin
diindikasikan. Terapi ini sangat berguna pada beberapa pasien DIC akut dimana
resiko perdarahan lebih besar dibandingkan terjadinya tombosis. 

4. Natural protease inhibitor 


Pada pasien DIC terdapat defisiensi inhibitor koagulasi. Pemberian protease
inhibitor dapat memulihkan jalur antikoagulan fisiologis sehingga jumlah trombin
yang berlebihan dapat dicegah. Natural protease inhibitor yang dapat diberikan pada
pasien DIC berupa anti thrombin dan protein C. Antitrombin (AT) adalah inhibitor
utama trombin, penggunaannya dalam DIC tentu sangat rasional. Antitrombin juga
memiliki sifat anti-inflamasi (mengurangi protein C-reaktif dan IL-6) yang sangat
bermanfaat pada DIC. Beberapa uji klinis kecil pada manusia telah menunjukkan
efek menguntungkan dari segi peningkatan parameter koagulasi dan fungsi organ.
Dosis yang digunakan biasanya antara 1500-3000 unit/hari .

Pada pasien DIC biasanya terjadi defisiensi protein C. Pemberian konsentrat


activated protein C (APC) dari 12μg / Kg / jam sampai 30 ug / Kg / jam pada pasien
dengan sepsis berat yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien. Pemulihan
jalur antikoagulasi sangat direkomendasikan pada DIC kronik dimana biasanya
terjadi kegagalan fungsi organ akibat thrombosis yang berlebihan. Sedangkan pada
DIC akut biasanya tidak memiliki manfaat yang terlihat. 

5. Agen anti-Xa
Agen anti-Xa seperti Fondaparinux® dan Danaparoid sodium® masih
tergolong baru. Agen anti-Xa mengaktifkan AT khusus untuk menghambat Xa.
Pengobatan dengan Fondaparinux® dianjurkan untuk profilaksis DVT setelah
operasi; Namun, ada sedikit bukti untuk mendukung penggunaannya pada pasien
DIC. Ada sedikit bukti yang menunjukkan manfaat penggunaan agen ini pada pasien
dengan DIC, dan tidak dianjurkan pada kondisi akut dengan perdarahan. Obat ini
juga tidak dianjurkan pada pasien dengan gagal ginjal.

Secara singkat, terapi-terapi yang direkomendasikan untuk DIC akut ataupun


kronis dapat dilihat pada table di bawah ini. 
H. Asuhan keperawatan
Meskipun DIC adalah masalah medis, dan perawatan akan ditentukan secara
medis, kualitas asuhan keperawatan dapat secara signifikan mengurangi komplikasi dari
trauma, sepsis dan perdarahan. Banyak intervensi keperawatan dapat memicu
perdarahan:

 hisap endotrakeal

 manset pengukuran tekanan darah

 suhu rektal

 enema

 pemeriksaan dubur

 plester dan selotip

 mencukur

 perawatan mulut

Beberapa intervensi mungkin diperlukan, meskipun pendekatan alternatif harus


dipertimbangkan. Misalnya, mencukur basah cenderung menyebabkan pendarahan; alat
cukur listrik mungkin digunakan dengan aman (staf mungkin perlu meminta keluarga
untuk membawa pisau cukur listrik, sebagai alat cukur listrik biasanya tidak tersedia di
rumah sakit karena alasan pengendalian infeksi). Demikian pula, tongkat busa kurang
traumatis dibandingkan sikat gigi. Pelumasan kulit dan bibir (misalnya dengan warna
putih) petroleum jelly) membantu mencegah keretakan. Kanula dan prosedur invasif
harus: diminimalkan untuk mengurangi risiko perdarahan.

Melihat darah dapat menyebabkan banyak orang sangat tertekan, sering kali
tidak sebanding dengan jumlah volume yang hilang. Hilangnya 5 ml darah secara
fisiologis tidak penting, tetapi dapat menyebabkan noda yang cukup besar di tempat
tidur untuk membuat kesusahan, dan kemungkinan pingsan.

Kecemasan pasien dan kerabat/pengunjung harus diingat. Pengunjung harus


memperingatkan tentang kemungkinan melihat darah, diantar ke samping tempat tidur,
dan diamati sampai staf merasa puas dengan keselamatan mereka. Kerabat yang
mengalami stres dapat menularkan ketakutan mereka ke pasien; terlepas dari alasan
kemanusiaan untuk mengurangi stres, itu dapat meningkatkan fibrinolitik aktivitas
(Thelan et al. 1990), sehingga memperparah koagulopati.

I. Kasus
Kelly Jones, seorang anak berusia 18 tahun yang sehat, menelan MDMA (Ekstasi)
dalam jumlah yang tidak diketahui di sebuah klub malam setempat. Saat masuk ke ICU,
Kelly sangat tidak sadar, hipertermia (40,1°C), takikardi (140 denyut per menit) dengan
hipotensi (80/40 mmHg). Perawatan dimulai untuk mengoreksi hipertermia, hipotensi,
dan takikardianya; Namun, dia kemudian mengembangkan koagulasi intravaskular
diseminata (DIC). Investigasi hematologi Kelly meliputi:

a) Identifikasi hasil darah mana yang terkait dengan aktivasi intrinsik dan mana yang
terkait dengan aktivasi ekstrinsik pembekuan darah Kelly. Dengan mengacu fisiologi,
jelaskan mengapa Kelly mengembangkan gangguan koagulasi dari hipertermia dan
keadaan hipermetabolik.
b) Cryopresipitat, plasma beku segar dan trombosit diresepkan. Garis besar alasan untuk
perawatan ini dan pendekatan keperawatan yang dapat memaksimalkan manfaat
terapeutik (misalnya menentukan metode, rute dan urutan pemberian, penyimpanan,
suhu, meminimalkan titik perdarahan dan/atau fibrinolisis lebih lanjut, mengevaluasi
efektivitas).
c) Prognosis Kelly dianggap buruk dan keluarganya diberitahu. Mereka mulai
mendiskusikan kemungkinan donor organ jika dia meninggal. Renungkan bagaimana
diskusi seperti itu harus dikelola, menilai kelayakan donasi organ (mis dapat atau
tidak dapat digunakan sehubungan dengan perawatan, infus beberapa produk darah),
dilema etika, layanan spesialis.

Anda mungkin juga menyukai