Anda di halaman 1dari 4

A.

Pengertian nasikh dan mansukh

Dalam diskursus keilmuan Islam khususnya al-Quran, al-nasikh dan al-mansukh


bukanlah istilah yang asing. Keduanya saling berkeindan antara satu dengan yang lainnya. Kalau
ditilik dari lafaz nya kedua istilah tersebut dalam ilmu gramatika Arab merupakan bentuk
turunan (derivasi,musytaq) dari kata al-naskh yang memiliki banyak makna. Dari sekian banyak
makna tersebut makna al-nasikh secara bahasa berkisar pada tiga arti yakni:

1) Membatalkan (al-ibthal) suatu hal dan menempatkan hal yang lainnya di posisi tersebut.

2) Memindahkan (al-naql) salah satu dari satu tempat ke tempat lainnya.

3) Menghilangkan (al-izlah, al-raf’u) sesuatu tanpa menghilangkan tempatnya1.

Dari ketiga makna ini, maka yang sering dipakai dalam penggunaan kata al-naskh adalah
makna “menghilangkan” dan makna “memindah”. Akan tetapi, penggunaan kedua makna
tersebut juga tidak sejalan dengan semua pendapat ulama. Menurut sebagian ulama, al-naskh
merupakan kata musytarak (memiliki arti lebih dari satu, sehingga kedua makna tersebut
merupakan makna hakikat (sebenarnya) dan tidak ada makna majaz (metafora) dalam kata al-
naskh. Pandangan semacam ini dianut oleh al-Qodhi Abu Bakar al-Baqillani, al-Ghazali dan
lainnya. Menurut Abu al-Husain al-Bashri dan yang lainnya, makna menghilangkan ( al-izalah )
pada kata al-naskh merupakan makna metafora dari kata al-naskh. Sedangkan al-Qoffal dari
kalangan syafi'iyyah mengatakan sebaliknya.

Sedangkan yang masyhur di kalangan ulama ushul al-fiqh, pengertian al-naskh dipetakan
menjadi dua:

1. Penjelasan tentang berakhirnya sebuah legislasi hukum dengan menggunakan metode


syar'i yang datang kemudian. Pengertian ini seperti yang di ungkapkan oleh Abu Ishaq
al-Isfirayini, Fakhr al-Din al-Razi dan didukung oleh al-Baidhawi.
2. Menghapus atau menghilangkan ( al-rafu) hukum syariah dengan menggunakan jalan
atau dalil syar'i ( al-khithab) yang datang kemudian. Pengertian ini adalah pengertian
yang diketengahkan oleh mayoritas ulama ushul al-fiqh, seperti Abu Bakar al-Baqillani,

1
Ahmad Idris Marzuki, AL-QUR’AN KITA, Studi Ilmu,Sejarah dan Tafsir Kalamullah, (Kediri: Lirboyo
Press,2011), hlm. 156
al-Ghazali, ibn al-Hajib, al-Shairafi, Abu Ishaq al-Syairazi, al-Amudi, al-Anbari dan Taj
al-Din al-Subki.2

Nasikh secara istilah berarti “mencabut berlakunya hukum syara’ dengan dalil syara’
yang datang belakangan (Amir Abd Al-Aziz, hlm.188). Ia dianggap oleh para pendukungnya
sangat mungkin dan logis. penetapan maupun pencabutan suatu hukum didasarkan atas
pertimbangan kemaslahatan. Dr. Shubhy Shalih memberikan alasan dalam konteks ini dengan
menganalogikan turunnya Al-Quran kepada Nabi Muhammad Saw. secara berangsur-angsur.
Ayat-ayat Alquran diturunkan oleh Allah sesuai dengan kasus yang terjadi, sesuai dengan
realitas yang berkembang dan memperhatikan kesanggupan manusia yang mukallaf terhadap
pesan yang dibawa oleh Al-Quran. di maTa Suhubhiy, nasikh tidak lain adalah satu jenis
pendekatan dalam pengaturan hukum syara’. Berbeda dengan kubu kontra nasi Subi justru
melihat nasikh yang terjadi pada ayat-ayat Alquran dengan kacamata positif bagi penulis kitab
Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an ini, nasikh berarti kebijakan Allah dalam mendidik manusia.3

B. Syarat-syarat nasikh dan mansukh

syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pe-naskh-an adalah

1. Yang di-naskh (al-mansukh) merupakan hukum syariat dan menerima untuk di-naskh.
Tidak ada istilah naskh dalam selain hukum syan'at (hukum akal atau adat) dan hal-hal
yang tidak bisa di-naskh seperti dasar-dasar ketuhanan.
2. Penaskh-an juga harus dengan khithab atau dalil syan'at, bukan dengan kematianan
orang yang yang menjadi sasaran hukum (al-mukallaf).
3. Hukum yang lebih dahulu (yang di-naskh) tidak dibatasi dengan waku.
4. Dalil yang me-naskh (a1-nasikh) ada atau datang setelah al-mansukh.
5. Tuntutan yang ada dalam al-mansukh bukanlah tuntutan yang terdapat dalan al-nasikh.

Selain syarat-syarat tersebut, ada beberapa syarat yang masih diperselisihkan oleh para
ulama, antara lain:

2
Ibid, hlm 157-158
3
Acep Hermawan, ULUMUL QUR’AN, Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2011),
hlm. 164
1. Yang me-naskh(al-nasikh) minimal hams sama kuat dengan yang di-naskh (aI-mansukh),
tidak boleh lebih lemah dari al-mansukh, karena sesuatu yang lemah tidak bisa
menghapus yang kuat.
2. Yang me-naskh al-Qur’an adalah al-Qur’an. Dan yang me-menaskh hadis adalah hadis.
Tidak bisa al-Quran di-naskh oleh hadis ataupun sebaliknya.
3. Khithab atau dalil yang menunjukkan terhadap berakhinya pemberlakuan hukum datang
setelah ada jeda waktu yang memungkinkan untuk melaksanakan tuntutan dari khithab
yang pertama (yang di-naskh).
4. Al-nasikh harus berbandjng terbalik dengan al-mansukh, seperti me-naskh perintah (al-
amr) dengan larangan (al-nahi), me-naskh hal yang sempit (al-Mudhayyaq) dengan hal
yang lebih luas (al-Muwassa).
5. Al-nasikh dan al-mansukh harus sama-sama berupa dalil yang pasti (qath’i).
6. Al-nasikh (hukum yang mengganti) hams lebih ringan atau minimal sama dengan al-
mansukh.
7. Khithab yang di-naskh hukumnya tidak terdapat unsur pengecualian (aI-istisna) dan
pengkhususan (al-takhsish).4

C. Hikmah nasikh dan mansukh

1. Memelihara kemaslahatan hamba


2. Mengembangkan tasyri’ itu kepada tingkat yang sempurna dengan menunjang
perkembangan
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah dan kemudian dihapus.
Terkait dengan perkembangan zaman.
4. Menjaga agar perkembangan hokum Islam senantiasa
5. Menanamkan kemauan yang lebih baik kepada umat dan memudahkannya.
Sebenarnya nasikh itu bila untuk memecahkan suatu persoalan maka dalam hal ini akan
menambah pahala. Dan jika meringankan maka di sini merupakan suatu kemudahan5.

4
Ahmad Idris Marzuki, AL-QUR’AN KITA, Studi Ilmu,Sejarah dan Tafsir Kalamullah, (Kediri: Lirboyo
Press,2011), hlm.160
5
Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta, Rineka Cipta, 1995), hlm.41

Anda mungkin juga menyukai