Anda di halaman 1dari 14

Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981

Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148


doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

KONSEP NEGARA HUKUM DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF


PIAGAM MADINAH

Jeddah Dawi Patamatta


Institut PTIQ Jakarta
tjeddamaatt@yahoo.co.id

Andi Jumardi
Institut PTIQ Jakarta
andijumardi@ptiq.ac.id

ABSTRACT

The success of the Prophet Muhammad SAW in establishing the Medina state was to organize a
common life. The State of Medina has addressed the Medina Charter as its constitution which
according to Muslim thinkers and even non-Muslims has been made by the Prophet Muhammad with
the people of Medina by comparing it with the rule of law state that the state of Indonesia is a state of
law. The principle of the rule of law is based on elements in general, namely the existence of efforts to
protect human rights, the separation or distribution of power, the existence of the exercise of people's
sovereignty, the existence of governance based on applicable laws and regulations and the existence
of a state administrative court. This writing aims to find out whether the Medina Charter has relevance
to the principles of the rule of law in Indonesia, efforts to make some of the people of Indonesia who
have misperceptions about the concept of the rule of law by presenting a substantial concept of the
Medina Charter, revealing the concept of the Medina Charter with the concept of the rule of law in
Indonesia. In article 1 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

Keywords: State Concept, Law in Indonesia, Medina Charter

ABSTRAK

Keberhasilan nabi Muhammad Saw mendirikan negara Madinah dalam adalah mengatur kehidupan
bersama. Negara Madinah telah menyapakati Piagam Madinah sebagai konstitusinya yang menurut
dari kalangan pemikir muslim bahkan non muslim telah dibuat oleh nabi Muhammad dengan
masyarakat Madinah dengan membandingkannya dengan prinsip negara hukum bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum tersebut didasarkan pada unsur-unsur secara
umum, yaitu adanya upaya perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau
pembagian kekuasaan, adanya pelaksanaan kedaulatan rakyat, adanya penyelenggaraan pemerintahan
yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan adanya peradilan administrasi
negara. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah Piagam Madinah memiliki relevansi dengan
prinsip negara hukum di Indonesia, upaya menjadikan sebagian kalangan masyarakat Indonesia yang
memiliki kesalahan persepsi tentang konsep negara hukum dengan menghadirkan konsep substansial
Piagam Madinah, mengungkap konsep Piagam Madinah dengan konsep negara hukum di Indonesia
yang terdapat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kata Kunci: Konsep Negara, Hukum di Indonesia, Piagam Madinah

69
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

A. PENDAHULUAN
Secara umum apabila kita melihat prinsip negara hukum kita (Indonesia) akan
merujuk kepada dua konsep negara hukum yaitu The Rule of Law yang dikemukakan oleh
A.V. Dicey dan Rechstaat yang dikemukakan oleh Julius Stahl. Ahli-ahli tersebut
merupakan pionir dalam merumuskan konsep negara hukum. Kedua konsep antara The
Rule of Law dan Rechstaat itu memang mempunyai perbedaan-perbedaan. Namun, pada
hakikatnya tetap sama yaitu suatu prinsip negara yang didasarkan pada hukum. Perbedaan
yang muncul tersebut terjadi karena perbedaan sudut pandang mereka dalam menyusun
konsep negara hukum. Konsepsi negara hukum inilah yang biasa dijadikan rujukan untuk
membentuk suatu negara berdasarkan hukum di era modern ini.
Melihat prinsip-prinsip pokok yang terdapat dalam Piagam Madinah, agaknya
tidak berlebihan kalau Pancasila, dasar Negara Indonesia, dapat dibandingkan sekalipun
tidak dapat disamakan dengan prinsip-prinsip yang dikandung Piagam Madinah.
Kedudukan dan fungsi Pancasila pun bagi Umat Islam Indonesia kiranya ada persamaan.
Hal ini dapat dimaklumi bahwa lahirnya Pancasila merupakan obyektifikasi Islam, yaitu
penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif. Obyektivitas inilah
yang akan menghindarkan masyarakat dari dominasi.1
Piagam Madinah merupakan perjanjian luhur (high agreement) untuk
mempertahankan negara Madinah. Piagam Madinah memuat ide-ide humanis dalam
berbangsa dan bernegara yang mempunyai relevansi dengan perkembangan dan keinginan
masyarakat dunia, bahkan kini telah menjadi pandangan hidup modern. Dalam piagam ini
juga ditemukan kaidah-kaidah umum yang mampu mengakomodasi berbagai hak dan
kewajiban para warga. Piagam itu memuat hak-hak golongan minoritas, kebebasan
beragama, memandang segala bentuk gangguan dan ancaman terhadap sekelompok orang
sebagai ancaman terhadap semua orang, serta melarang penduduknya untuk melindungi
pembuat kekacauan yang akan menciptakan instabilitas kehidupan sosial.

B. TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Negara Hukum adalah konsep yang universal, pada dataran implementasi
ternyata memiliki karakteristik yang beragam. Hal ini karena adanya pengaruh situasi
kesejarahan, sehingga konsep Negara hukum muncul dalam berbagai model, seperti
Negara hukum menurut al-Qur’an dan Sunnah atau Nomokrasi Islam.2 Negara hukum
berdasarkan konsep Negara Eropa Kontinental yang dinamakan Rechsstaat, Negara
hukum menurut Anglo Saxon adalah Rule of Law. Konsep Negara hukum sosialis, yakni
Socialist Legality, dan Konsep Negara hukum Pancasila, yang memiliki dinamikanya
masing-masing. Walaupun konsep Negara hukum itu secara embrio telah diperkenalkan
oleh Plato.3
Plato (429‐347 SM) misalnya, lewat karya‐karyanya (Politeia, Politicos dan
Nomoi), telah mencoba memformulasikan bagaimana bentuk suatu negara yang dianggap
ideal. Dalam Politeia, Plato berpendapat bahwa suatu negara yang ideal harus
menempatkan segala aspek penghidupan perorangan berada di bawah pengawasan
hukum. Karena menurutnya, hukum adalah aliran emas, penjelmaan dari right reasoning

1
Karim, Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam (Jogjakarta: Surya Raya, 2004), 20.
2
Nomokrasi menurut Muhammad Tahir Azhary adalah suatu negara hukum yang memiliki prinsip-
prinsip umum, antara lain; 1) kekuasaan sebagai amanah; 2) musyawarah; 3) keadilan; 4) persamaan; 5)
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia; 6) peradilan bebas; 7) perdamaian; 8) kesejahteraan;
9) ketaatan rakyat. Sembilan prinsip di atas merupakan nilai-nilai luhur yang pernah diterapkan Muhammad
Saw dan kemudian realisasinya disempurnakan oleh Abu Bakar. Buku Prof. Muhammad Tahir Azhary.
3
Karim, Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam, 24.

70
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

(berfikir secara benar).4 Dalam pelaksanaan hukum, diperlukan Kehadiran sebuah


kekuasaan. Kekuasaan itu ditentukan batas-batasnya oleh hukum, sehingga kekuasaan
merupakan unsur mutlak dalam suatu masyarakat hukum, dalam arti masyarakat yang
diatur oleh dan berdasarkan hukum. Kekuasaan adalah suatu fungsi dari masyarakat yang
teratur.5
Selain Locke, Montesquieu (1689‐1755) seorang ahli hukum berkebangsaan
Francis dipandang sangat berjasa dalam memunculkan konsep negara hukum. Dengan
bukunya berjudul LʹEsprit des Lois (jiwa dari undang‐undang) yang terbit pada tahun
1748, Montesquieu seperti halnya Locke mengemukakan suatu pembagian kekuasaan
(fungsi) negara ke dalam tiga macam kekuasaan yang agak berbeda dengan teori Locke.
Menurut Montesquieu kekuasaan (fungsi) di dalam negara itu dibagi ke dalam kekuasaan
legislatif (membuat Undang‐undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan Undang‐
undang) dan kekuasaan yudikatif (mengadili atas pelanggaran‐pelanggaran bagi undang‐
undang).6
Disisi lain demokrasi juga dapat berkembang menjadi demokrasi overbodig yaitu
mengepakan sayap kebebasan tanpa keteraturan dan kepastian, alhasil negara tersebut
kacau. Negara demokrasi yang seperti ini bukanlah demokrasi ideal. Demokrasi ideal
merupakan demokrasi teratur berdasarkan tatanan hukum. Karena itu, antara ide
demokrasi dan Negara hukum (nomokrasi) dipandang harus bersifat sejalan dan seiring,
baru suatu Negara itu dapat disebut sebagai Negara demokrasi dan sekaligus sebagai
Negara hukum.7 Oleh karena itu, bagi kita Negara Hukum tidak bisa dilepaskan dengan
prinsip-prinsip demokratisasi yang menjadi nafas penyelenggaraan negara terutama dalam
mencapai tujuan negara untuk membahagiakan rakyatnya.8
Konstitusi yang dianotasikan sebagai segala ketentuan dan aturan mengenai
ketatanegaraan (undang-undang Dasar) yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Hakikat politik tidak dapat dipisahkan dari aspek konstitusional. Konstitusi adalah dasar
hukum yang tertulis ataupun tidak yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan sebuah
negara. Ia memuat pengorganisasian jabatan-jabatan kenegaraan lembaga yang
memerintah dan tujuan yang hendak dicapai.9
Konstitusionalisme kemudian memunculkan konsep rechstaat (dari kalangan ahli
hukum Eropa Kontinental) atau rule of law (dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon) yang
di Indonesia diterjemahkan dengan Negara Hukum. Negara yang memiliki peran terbatas
tersebut juga acap kali dijuluki sebagai nachtwachterstaat (negara penjaga malam).10 Para
ahli-ahli yang dianggap pakar negara hukum dapat dilihat pendapatnya masing-masing
sebagai berikut:
1. Muhammad (570-632)
Muhammad bin Abdullah adalah nabi, politisi, dan negarawan yang berhasil
menjadi hak-hak manusia. Muhammad berhasil melakukan perubahan Pertama, dari segi
agama, bangsa arab yang semula penganut animisme dinamisme dan paganisem menjadi

4
Soetiksno, Filsafat Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), 70.
5
M. Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis (Bandung:
PT. Alumni, 2002), 80
6
Mahfud MD, Pokok‐pokok Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: Liberty, 2000), 9.
7
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer,
2007), 18.
8
Y.I. Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan
Perwakilan Rakyat dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Penerbit Gema Insani Pers, 1996), 90.
9
Y.I. Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia. kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan
Perwakilan Rakyatdan Sistem Kepartaian, 93.
10
Mahfud MD., Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), 19.

71
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

menganut agama Islam yang menegakkan tauhid. Kedua, dari segi kemasyarakatan yang
semula terkenal sebagai masyarakat yang tidak mengenal perikemanusiaan, seperti saling
membunuh, tidak menghargai martabat wanita, berubah menjadi bangsa yang
menetapkan nilai-nilai kemanusiaan sehingga tidak lagi terlihat eksploitasi dan
diskriminasi terhadap wanita serta pembedaan status sosial, penghapusan perbudakan.
Ketiga, dari segi politik, masyarakat arab tidak lagi sebagai bangsa yang fanatik terhadap
kesekuannya.

2. Ibnu Khaldun (1332-1406)


Ibnu Khaldun mempunyai format tersendiri dan membagi corak negara menjadi
dua bagian, yakni: (1) negara dengan ciri kekuasaan alamiah (mulk thabii) yang
merupakan negara yang menerapkan kekuasaan secara sewenang-wenang (depotisme)
dan cenderung kearah hukum rimba, (2) negara dengan ciri kekuasaan politik (mulk
siyasi) yang dibagi menjadi tiga bagian, yakni (a) negara hukum atau nomokrasi Islam
(siyasah diniyah), (b) negara hukum sekuler (siyasah aqliyah), (c) negara ala republik
plato (siyasah madaniyah).

3. John Locke (1632-1704)


Jhon Locke menuntut negara menyerahkan sepenuhnya kepada tiga badan
penyelenggara, antara lain; kekuasaan legislatif yang berwenang membentuk Undang-
undang, kekuasaan eksekutif yaitu kekuasaan yang melaksanakan Undang-undang,
kekuasaan federatif yaitu kekuasaan di bidang keamanan dan hubungan luar negeri.
Menurut Locke, setiap individu mempunyai natuurrechten atau properti, yang meliputi
nyawa, kehidupan, kemerdekaan, kehormatan, harta benda (lijf, leven, vrijheid, eer,
vermogen) dan setiap individu harus melindungi properti masing-masing, untuk
melindungi properti tersebut, mereka secara tegas menyerahkan kepada kekuatan kolektif
(collectiviteit).

4. Montesquieu (1689-1721)
Pemikirannya yang tekenal tentang praktik bernegara yaitu kekuasaan itu harus
dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi legislatif (the legeslative function) yang
dikaitkan dengan peran lembaga parlemen atau legislature, eksekutif (the executive or
administratif function) yang dikaitkan dengan peran pemerintah dan yudisial (the judicial
function) yang dikaitkan dengan fungsi lembaga kehakiman atau peradilan. Ide bernegara
Montesquieu juga bertujuan memelihara hak dan kemerdekaan warga negara dengan
membentuk serta memelihara hukum guna menjamin hak-hak asasi manusia.

5. Immanuel Kant (1724-1804)


Gagasan tentang bernegara memunculkan tradisi hukum Kontinental yaitu faham
yang berperparuh laissez faire laissez aller yang berarti biarlah setiap anggota
masyarakat menyelenggarakan sendiri kemakmurannya dan negara jangan turut campur
tangan. Menurut Kant, tujuan negara hukum adalah menjamin kekududukan hukum dari
individu-individu dalam masyarakat dengan merumuskan ciri negara hukum harus
memiliki dua unsur penting, yaitu, pertama, adanya perlindungan hak asasi manusia;
kedua, adanya pemisahan kekuasaan dalam negara.

6. Freidrich Karl von Savigny (1779-1861)


Karl von Savigny mempunyai pemikiran yang mengutamakan bahwa kekuatan
untuk membentuk hukum terletak pada rakyat yang terdiri dari sekumpulan individu dan

72
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

perkumpulan-perkumpulan, pembuat undang-undang harus bersumber dari rakyat dan


ahli hukum dengan mempertimbangkan rasa keadilan dalam masyarakat. Bagi Savigny,
hukum lahir karena adanya semangat atau ruh rakyat yang hidup dalam tiap individu
yang menghendaki hukum tersebut berlaku.

7. Robert Von Mohl (1799-1875)


Menurut Robert Von Mohl, ada tiga prinsip pokok dalam negara hukum, yakni,
pertama, adanya persamaan di depan hukum, kedua, setiap orang berhak
mempertahankan diri dalam semua situasi yang layak; ketiga, adanya kesempatan yang
sama bagi warga negara untuk mencapai semua jabatan kenegaraan, serta menjamin
kebebasan pribadi bagi warga negara.

8. Albert Venn Dicey (1835-1922)


Negara hukum menurut paham Anglo Saxon menggunakan istilah rule of law.
Menurut A.V. Dicey dari Inggris, paham negara hukum rule of law dari negara Anglo
Saxon, memerlukan 3 (tiga) unsur, yaitu: 1) Supremasi hukum (supremacy of law),
artinya kekuasaan tertinggi dalam negara adalah hukum; 2) Kedudukan yang sama
dihadapan hukum (equality before the law); 3) Konstitusi berdasar pada hak asasi
manusia (Due process of law).11 Suatu pendekatan lain terhadap arti hukum dilakukan
dengan menelaah fungsi yang harus dipenuhi oleh hukum. E. Adamson Hobel dan Karl
Llewellyn menyatakan bahwa hukum mempunyai fungsi yang penting demi keutuhan
masyarakat, fungsi-fungsi itu adalah sebagai berikut: 1) Menetapkan hubungan antara
para warga masyarakat, dengan menetapkan perikelakuan mana yang diperbolehkan dan
mana yang dilarang; 2) Membuat alokasi wewenang (authority) dan menentukan dengan
seksama pihak-pihak yang secara sah dapat melakukan paksaan dengan sekaligus
memilih sanksi-sanksi yang tepat dan efektif; 3) Disposisi masalah-masalah sengketa; 4)
Menyesuaikan pola-pola hubungan dengan perubahan-perubahan kondisi kehidupan.

9. Roberto Mangabeira Unger (1947)


Dalam gagasan Roberto Mangabeira Unger, ia mengemukakan, bahwa; hukum
tidak dapat dipisahkan dari politik dan hukum tidak bebas nilai atau netral, dengan kata
lain hukum dari mulai proses pembuatan sampai pemberlakuannya selalu mengandung
pemihakan, sekalipun dalam liberal legal order, dibentuk akan keyakinan, kenetralan
objektivitas, prediktibilitas dalam hukum.

10. Al-Syatibi
Al-Syatibi membangun ide tentang negara hukum yang terdapat dalam konsepnya
maqasid al syari’ah atau di kenal dengan kemaslahatan bersama, yakni dharuriyyat,
hajiyyat, dan tahsiniyyat yang mempunyai lima tujuan menjaga dan memelihara hak-hak
dasar manusia secara utuh dari intervensi pihak lain. Tujuan syariat mempunyai dimensi
tersendiri dalam sebuah negara hukum, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat
khusus. Tujuannya adalah menggiring manusia agar bersikaf saleh sosial dalam hidup
bermasyarakat, adil dan beradab, dalam berbangsa dan bernegara. Teori ini
bersinggungan dengan nilai humanisme, genetika, agama, sosial, dan ekonomi.

Indroharto mempersoalkan juga apakah asas legalitas dalam pengertian


wetmatigheid van bestuur harus dilaksanakan secara mutlak. Mengingat berkembangnya
11
M. K. Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Pusat Studi HTN. FHUI, 1976),
90.

73
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

konsepsi negara hukum modern merupakan perpaduan antara konsep negara hukum dan
negara kesejahteraan. Di dalam konsep ini tugas negara atau pemerintah menurut Bagir
Manan tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat saja,
tetapi memikul tanggung jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.12

C. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
dengan menggunakan metode deskriptif analisis yang menggunakan teknik analisis studi
kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan merupakan metode pengumpulan
data yang diarahkan kepada pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen,
baik dokumen tertulis, gambar, maupun dokumen elektronik yang dapat mendukung
dalam proses penulisan.13 Sumber data pada penelitian ini adalah literatur-literatur yang
berkaitan dengan penelitian. Sebagaimana yang dikatakan Maman, bahwa Sumber data
kualitatif adalah tindakan dan perkataan manusia dalam suatu latar yang bersifat alamiah.
Sumber data yang lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti: dokumen, arsip, koran,
majalah, jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan dan lain sebagainya.14
Penulis menggunakan pendekatan kualitatif, dikarenakan penulis menyatu dalam
situasi dan kondisi objek yang diteliti.15 Selain itu, penelitian kualitatif, juga disebut
sebagai penelitian artistik. Karena proses penelitiannya lebih bersifat seni (kurang
terpola) dan disebut juga dengan metode interpretatif, karena data hasil penelitian lebih
berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan. Lebih jauh,
penelitian kualitatif adalah sebuah model penelitian yang berlandaskan pada filsafat
postpositivisme, digunakan untuk meneliti kondisi objek secara alamiah dimana peneliti
merupakan instrumen kunci.16
Selanjutnya dalam menganalisis data, penelitian ini mengacu pada prosedur
analisis data Milles dan Hubermen. Menurut Milles dan Hubermen, analisis data dalam
penelitian kualitatif, secara umum dimulai sejak pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Unsur-unsur metodologi dalam
prosedur ini sekaligus mencerminkan komponen-komponen analisis yang bersifat
interaktif.17 Kegiatan analisis selama pengumpulan data dimaksud untuk menetapkan
fokus di lapangan, menyusun temuan sementara, pembuatan rencana pengumpulan data
berikutnya, pengembangan pernyataan-pernyataan analitis dan penetapan sasaran-sasaran
data berikutnya. Kemudian dari pengumpulan data (data collection) tersebut, direduksi
(data reduction) sebagai upaya pemilihan pemusatan perhatian pada penyederhanaan, dan
mengabstrakkan data-data.
Dalam proses reduksi data, peneliti melakukan pemilihan atau pemetaan dengan
membuat kategori-kategori berdasarkan permasalahan yang diteliti. Setelah hasil dari
seperangkat reduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan sekumpulan informasi

12
B. Manan Politik Perundang-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisme Perekonomian,
(Bandar Lampung: FH-UNILA, 1996), 51.
13
Sugiyono.Metode Peneltian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, 83.
14
Maman Dkk., Metedologi Penelitian Agama Teori Dan Praktek (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2006), 80.
15
Sharan B. Merriam, Qualitative Sozialforschung: eine Anleitung zur Gestaltung und Umsetzung
(USA: Jossey-Bass, 2009), 14.
16
Sugiyono, Bildungsforschung Methoden: Qualitative und Quantitative Ansatz, und f & e, 11. Auflage
(Bandung: ALPABETA, 2010), 15.
17
Milles Mathew and Michael Hubermen, Qualitative Datenanalyse (Jakarta: Universitas Indonesia,
1992), 92.

74
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

atau data yang disusun dan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. Kesimpulan-
kesimpulan juga di verifikasi selama kegiatan penelitian berlangsung di lapangan,
sehingga akan jelas bagaimana karakteristik data tersebut secara valid.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hubungan antara demokrasi dan negara hukum dapat tercermin dalam penjabaran
bahwa yang dapat menjamin secara konstitusional terselenggaranya pemerintah yang
demokratis adalah adanya hukum yang menaunginya. Dengan kata lain demokrasi yang
berada di bawah Rule of Law. Sedangkan syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya
pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law ialah:18
1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak
individu, harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas
hak-hak yang dijamin
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial
tribunals)
3. Pemilihan umum yang bebas
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi
6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education)
Dari uraian terdahulu diketahui bahwa timbulnya konsep negara hukum
(rechtstaat) di negara eropa kontinental merupakan reaksi atas teori tujuan negara yang
menimbulkan kekuasaan yang otoriter/absolut. Golongan paham liberal dalam hal ini
berusaha untuk membatasi kekuasaan raja yang absolut dan menegakan kebebasan dari
setiap warga untuk mencari kemakmuran sebagai cermin atas adanya sifat individualistis
dari paham liberal. Immanuel Kant, seorang filsuf bangsa Jerman adalah tokoh haluan
liberal menyatakan bahwa tujuan negara adalah menegakkan hak-hak dan kebebasan
warganya. Teori negara hukum yang dikemukakan oleh Kant dikenal sebagai negara
hukum liberal, yang mengandung dua unsur penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pemisahan kekuasaan. Dengan adanya pemisahan kekuasaan, maka hak asasi manusia
akan mendapat perlindungan.19
Dengan demikian, secara konstitusional supremasi hukum diakui di Indonesia,
yang berarti pengakuan terhadap penegakan rule of law baik dalam arti formal maupun
materil atau ideologis dengan tekanan pada yang terakhir. Hal ini berarti bahwa masalah
kesadaran hukum dan kepatuhan hukum terkait disini, oleh karena penegakan rule of law
dalam arti materil berarti:
a. Penegakan hukum yang sesuai dengan ukuran-ukuran tentang hukum yang baik atau
hukum yang buruk
b. Kepatuhan dari warga-warga masyarakat terhadap kaidah-kaidah hukum yang dibuat
serta diterapkan oleh badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif
c. Kaidah-kaidah hukum harus selaras dengan hak-hak asasi manusia
d. Negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial yang
memungkinkan terwujudnya aspirasi-aspirasi manusia dan penghargaan yang wajar
terhadap martabat manusia

18
Budiardjo M., Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), (2008), 103.
19
B.A. Sunarto, Konsepsi Negara Hukum Menurut UUD 1945 (Semarang: IKIP Semarang Press,
1993), 20.

75
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

e. Adanya badan yudikatif yang bebas dan merdeka yang akan dapat memeriksa serta
memperbaiki setiap tindakan yang sewenang-wenang dari badan-badan ekesekutif dan
legislatif.
Secara historis, gagasan tentang konsepsi negara hukum terus bergulir sejalan
dengan arus perkembangan sejarah. Mulai dari konsepsi negara hukum liberal
(nachwachter staat/negara sebagai penjaga malam) ke negara hukum formal (formele
rechtsstaat) kemudian menjadi negara hukum materiil (materiele rechtsstaat) hingga
pada ide negara kemakmuran (welvarstaat) atau negara yang mengabdi kepada
kepentingan umum (social service state atau sociale verzorgingsstaat).20
Sebagaimana diketahui bahwa ada tujuh unsur yang termuat dalam konsep negara
hukum, yaitu empat unsur dalam konsep rechtsstaat dan tiga unsur dalam konsep rule of
law. Enam dari tujuh unsur tersebut, menurut Azhary, telah terpenuhi oleh negara
Indonesia sebagai persyaratan suatu negara hukum. Tetapi unsur‐unsur tersebut
dimodifikasi sesuai dengan cita negara hukum Pancasila. Hal itulah yang menjadi suatu
keistimewaan bagi negara hukum Indonesia jika dibandingkan dengan konsep negara
hukum lainnya. Dengan demikian, rechtsstaat merupakan negara berdasarkan atas hukum
sesuai dengan cita negara Pancasila, dengan kata lain bukan termasuk dalam konsep
Eropa Kontinental maupun Anglo Saxon. Arti rechtsstaat dalam negara Indonesia harus
sesuai dengan tujuan negara itu sendiri.21
Indonesia sebagai negara yang terlahir pada abad modern melalui Proklamasi 17
Agustus 1945 juga “mengklaim” dirinya sebagai negara hukum. Hal ini terindikasikan
dari adanya suatu ciri negara hukum yang prinsip-prinsipnya dapat dilihat pada Konstitusi
Negara R.I. (sebelum dilakukan perubahan), yaitu dalam Pembukaan UUD 1945, Batang
Tubuh (non Pasal-pasal tentang HAM), dan Penjelasan UUD NRI Tahun 1945 dengan
rincian sebagai berikut:22
1. Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, memuat dalam alinea pertama kata
“perikeadilan”, dalam alinea kedua “adil”, serta dalam alinea keempat terdapat
perkataan “keadilan sosial”, dan “kemanusiaan yang adil”. Semua istilah itu
berindikasi kepada pengertian negara hukum, karena bukankah suatu tujuan hukum
itu untuk mencapai negara keadilan. Kemudian dalam Pembukaan UUD NRI Tahun
1945 pada alinea keempat juga ditegaskan “maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia”.
2. Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945 Pasal 14 menyatakan bahwa “Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang
Dasar. Ketentuan ini menunjukkan bahwa presiden dalam menjalankan tugasnya
harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Undang-undang
Dasar. Pasal 9 mengenai sumpah Presiden dan Wakil Presiden “memegang teguh
Undang-undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya
selurus-lurusnya”. Melarang Presiden dan Wakil Presiden menyimpang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam menjalankan tugasnya suatu sumpah yang
harus dihormati oleh Presiden dan Wakil Presiden dalam mempertahankan asas
negara hukum. Ketentuan ini dipertegas lagi oleh Pasal 27 UUD NRI Tahun 1945
yang menetapkan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini selain menjamin

20
P. Wahjono. Membudayakan UUD 1945 (Jakarta: IND HILL-Co, 1991), 50.
21
Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur‐unsurnya (Jakarta: Ul‐
Press, 1995), 54.
22
D. Thaib Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum, dan Konstitusi, Cet. ke 2 (Yogyakarta: Liberty, 2000),
21.

76
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

prinsip equality before the law, suatu hak demokrasi yang fundamental, juga
menegaskan kewajiban warga negara untuk menjunjung tinggi hukum suatu prasyarat
langgengnya negara hukum.
3. Penjelasan UUD NRI Tahun 1945, merupakan penjelasan autentik dan menurut
Hukum Tata Negara Indonesia, Penjelasan UUD NRI Tahun 1945 itu mempunyai
nilai yuridis, dengan huruf besar menyatakan: “Negara Indonesia berdasarkan atas
hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”.
Ketentuan yang terakhir ini menjelaskan apa yang tersirat dan tersurat telah
dinyatakan dalam Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945.

Apabila ditinjau dalam sudut hukum, maka dasar negara yang menggunakan
Pancasila yang seperti itu melahirkan satu sistem yang khas sebagai sistem hukum
Indonesia yang umumnya disebut sebagai sistem hukum Pancasila. Sistem hukum atau
tertib hukum sendiri dapat diartikan sebagai suatu keadaan dari norma-norma hukum
dalam suatu masyarakat tidaklah saling terisolir. Norma-norma itu berdampingan satu
dengan yang lain, dan bersama-sama membentuk suatu kesatuan.23
Dianutnya prinsip Negara Hukum Modern seperti Indonesia, sekurang-kurangnya
terdapat pilar-pilar utama untuk menunjang berdirinya negara hukum tersebut yakni:24
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
2. Persamaan dalam Hukum (Equality Before the Law)
3. Asaa Legalitas (Due Process of Law)
4. Pembatasan Kekuasaan
5. Organ-organ Pendukung yang Independen
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
7. Peradilan Tata Usaha Negara
8. Peradilan Tata Negara
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechstaat)
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechstaat)
12. Transparansi dan Kontrol Sosial

Oleh karena itu gagasan Soekarno mengenai Pancasila yang kita kenal saat ini
sejatinya mempunyai tujuan khusus yang sepatutnya dipahami ketika negara Indonesia
mengalami kehilangan arah seperti saat ini. Pintu Demokrasi yang terbuka lebar dan yang
secara langsung memberikan ruang tingkat partisipasi yang tinggi dalam penyelenggaraan
negara ternyata tidak mencerminkan suatu kemanusiaan yang adil dan beradab, konflik
horizontal yang semakin menunjukan bahwa tidak adanya persatuan, dan demokrasi yang
seolah-olah hanya dianggap sebagai tujuan bernegara jelas telah menjauhkan Pancasila
dari realitas kebangsaan dan kebernegaraan.25
Jika konsep negara hukum dalam pengertian rechstaat dan rule of law berpangkal
pada “dignity of man” yaitu liberalisme, kebebasan dan hak-hak individu (individualisme)
serta prinsip pemisahan antara agama dan negara (sekularisme), maka latar belakang
lahirnya negara hukum Pancasila didasari oleh semangat kebersamaan untuk bebas dari
penjajahan dengan cita-cita terbentuknya Indonesia merdeka yang bersatu berdaulat adil

23
R. Saleh. Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional (CV. Karya Dunia Fikir, 1996),
97.
24
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis (Jakarta: Penerbit Bhuana Ilmu
Populer, 2009), 78.
25
I.S. Chandranegara, Konsep Kedaulatan Rakyat Indonesia (Jakarta: Barometer, 2012), 34.

77
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

dan makmur dengan pengakuan tegas adanya kekuasaan Tuhan. Karena itu prinsip
ketuhanan adalah elemen paling utama dari negara hukum Indonesia. Lahirnya negara
hukum Pancasila menurut Padmo Wahjono berbeda dengan cara pandang liberal yang
melihat negara sebagai suatu status tertentu yang dihasilkan oleh suatu perjanjian
bermasyarakat dari individu-individu yang bebas dari status “naturalis” ke status “civis”
dengan memiliki perlindungan bernama civil rights. Tetapi dalam negara hukum
Pancasila terdapat anggapan bahwa manusia dilahirkan dalam hubungannya atau
keberadaannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, negara tidak terbentuk karena
perjanjian atau “vertag yang dualistis” melainkan “atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang
bebas...”. jadi posisi Tuhan dalam negara hukum Pancasila menjadi satu elemen utama
atau bahkan menurut Oemar Seno Adji merupakan causa prima.26

Perspektif Piagam Madinah


Sejak hijrah dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 M, nabi Muhammad Saw
telah mempraktikkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang demokratis di tengah
masyarakat yang plural dengan aliran ideologi dan politik yang heterogen. Tipe
kepemimpinan yang sangat demokratis dan toleran terhadap semua pihak, menjadikan
semua penduduk merasa aman dan tenteram, akhirnya kota Yasrib berubah menjadi
Madinah al-Munawarah, yang berarti kota yang bercahaya (Muchsin).27
1. Langkah-langkah Nabi Muhammad Saw membentuk Negara Madinah
Pada periode Madinah, Islam merupakan kekuatan politik, Nabi Muhammad Saw.
mempunyai kedudukan bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala
negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan
spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai Rasul secara otomatis
merupakan negara. Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara Madinah,
Nabi Muhammad Saw. meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat: Dasar
pertama: pembangunan masjid selain untuk tempat shalat juga tempat bermusyawarah
merundingkan masalah-masalah yang dihadapi; Dasar kedua: ukhuwah Islamiyah.
Nabi mempersaudarakan antara golongan muhajirin dan anshar; Dasar ketiga:
hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Nabi
Muhammad saw. mengadakan ikatan-ikatan perjanjian dengan orang-orang Yahudi,
yaitu sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi
sebagai komunitas dikeluarkan. Dalam pandangan ketatanegaraan perjanjian ini
disebut dengan konstitusi Madinah.28 Di dalam piagam Madinah menurut W.
Montgemerry terdapat 10 Bab dan 47 pasal, yang didahului dengan mukaddimah,
yakni Bab 1. Pembentukan Bangsa dan Negara (pasal 1) II, Hak Asasi Manusia (pasal
2-10), III. Persatuan seagama (pasal 11-15), IV. Persatuan Segenap Warga (pasal 16-
24) V. Golongan Minoritas (pasal 25-55) VI. Tugas Warga Negara (pasal 36-38) VII.
Melindungi Negara (pasal 39-41) VIII. Pemimpin Negara pasal 42-44) IX. Politik
Perdamaian (pasal 45-46) X. Penutup (Pasal 47).29

26
O.S. Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1980), 85.
27
Muchsin, Sebuah Ikhtisar Piagam Madinah, Filsafat Timur, Filosof Islam dan Pemikirannya
(Jakarta: STIH IBLAM, t.t.), 100.
28
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarata: Grafindo Persada, 2008), 52.
29
M. N. Rasyid, Seputar Sejarah & Muamalah (Bandung: Al-Bayan, 1997), 90.

78
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

2. Waktu penyusunan
Mengenai kapan penyusunan naskah piagam Madinah atau perjanjian tertulis
itu dilakukan oleh nabi yang beliau sebut Shahifat (lembaran tertulis) dan kitab-kitab
tidak didapatkan data tentang ketentuan waktu dan tanggal yang pasti. Apakah tahun
pertama hijriyah atau sebelum perang Badar dan atau sesudahnya. Menurut Watt, para
sarjana umumnya berpendapat bahwa piagam itu dibuat pada permulaan periode
Madinah, tahun pertama Hijrah. Walhousen menetapkannya sebelum perang Badar,
sedangkan Hubert Grimne berpendapat bahwa piagam itu dibuah setelah perang
Badar.30
Dalam Piagam Madinah, Nabi Muhammad Saw meletakkan asas-asas
kemasyarakatan, antara lain adalah: al-Ikha, al-Musawah, al-Tasamuh, al-Tasyawur,
al-Ta’awun dan al-Adalah.31
1. Al-ikha’ (persaudaraan), merupakan salah satu asas penting masyarakat Islam
yang diletakkan Rasulullah. Sebelumnya bangsa Arab menonjolkan identitas dan
loyalitas kesukuannya, setelah masuknya Islam identitas diganti dengan identitas
Islam. Atas dasar ini Rasulullah mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar. Rasul
mempersaudarakan Abu Bakar dengan Haritsah bin Zaid, Ja’far bin Abi Thalib
dengan Mu’adz bin Jabal dan lain-lain. Dengan demikian keluarga-keluarga
Muhajirin dan Ansor dipertalikan dengan persaudaraan berdasarkan agama,
menggantikan persaudaran berdasarkan nasab dan kesukuan.

2. Al-Musawah (persamaan), yaitu bahwa manusia adalah sama keturunan nabi


Adam yang diciptakan dari tanah. Berdasarkan asas ini setiap warga masyarakat
memiliki hak kemerdekaan dan kebebasan (hurriyah). Rasul sangat memuji para
sahabat yang memerdekakan budak-budak dari tangan orang-orang Quraisy.

3. Al-Tasamuh (toleransi), Piagam Madinah memuat asas toleransi, di mana umat


Islam siap dan mampu berdampingan dengan kaum Yahudi. Mereka mendapat
perlindungan dan kebebasan dalam melaksanakan agamanya masing-masing. Asas
ini dipertegas dalam al-Qur’an surat al-Kafirun: 6.

4. Al-Tasyawur (Musyawarah) sebagaimana diisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat


159. Kendati Rasul memiliki status yang tinggi dan terhormat dalam masyarakat,
beliau seringkali meminta pendapat para sahabat dalam menghadapi
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan urusan dunia dan sosial
budaya. Pendapat para sahabat kerap kali diikuti manakala dianggap benar.

5. Al-Ta’awun (tolong menolong). Tolong menolong sesama muslim telah


dibuktikan dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar,
sedangkan dengan pihak lain sesama penduduk Madinah, isi dalam Piagam
Madinah merupakan bukti kuat berkaitan dengan asas ini.

30
J. S. Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah ditinjau dari Sudut Pandang
Al-Qur’an (Jakarta: Grafindo Persada, 1994), 76.
31
Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: Jurusan SPI
Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan LESFI, 2002), 200.

79
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

6. Al-Adalah (keadilan) berkaitan erat dengan hak dan kewajiban setiap individu
dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan posisi masing-masing. Prinsip ini
berpedoman pada surat alMaidah: 8 dan surat an-Nisa’: 58

Aspek-aspek kehidupan di negara Islam Madinah sangatlah kompleks, bukan


hanya terdiri dari suku-suku, klan-klan, dan bahkan juga banyak agama dan
kepercayaan di sana. Kompleksitas tersebut sungguh mencirikan pluralisme di
wilayah kekuasaan Islam yang berpusat di Madinah. Dalam merespons situasi yang
semacam itu, maka bukan hanya kehidupan demokratis yang harus dirajut, akan tetapi
juga toleransi kehidupan di antara umat beragama harus diretas, agar stabilitas
bermasyarakat, berbangsa, dan beragama tetap normal dan kondusif. Untuk tetap
memelihara dan menjamin kehidupan seperti itu diperlukan jaminan hukum yang
dapat mengayomi dan melindungi semua pihak. Sebagai jawabannya, maka lahirlah
“Piagam Madinah” yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia.32
Dengan penetapan (arrangement) Piagam Madinah itu, Nabi Muhammad
berhasil membangun masyarakat yang bersatu dari unsur-unsur heterogen,
Multikultur; yaitu Muslim, Yahudi, Nasrani, penganut paganism, dan Kabilah/suku
yang ada disamping menciptakan persaudaraan nyata di kalangan Muhajirin dan
Ansar. Di dalam masyarakat yang bersatu itu, Muhammad diakui memiliki kekuasaan
tertinggi untuk menyelesaikan berbagai masalah (konflik horizontal) yang timbul di
kalangan mereka.
Dalam keterkaitan dengan hubungan agama dengan negara, maka perlu
diketahui. Modernisme dan fundamentalisme yang merupakan dua fenomena global
yang dapat dijumpai dalam berbagai masyarakat yang menganut agama-agama dunia,
seperti Yahudi, Hindu, Kristen dan Islam. Dalam hubungannya dengan agama Islam,
maka kedua fenomena itu telah banyak mendapatkan perhatian oleh media massa,
masyarakat luas dan juga kalangan intelektual.33 Kelompok yang terakhir ini
memandang persoalan tersebut sebagai suatu fenomena keagamaan, sosial, budaya
dan politik. Antara lain dengan menghubungkan modernisme dan fundamentalisme
dengan pemikiran keagamaan tokoh-tokoh agama, gagasan-gagasan sosial, dari
berbagai gerakan sosial keagamaan, atau juga perilaku politik dari golongan-golongan
politik yang ada dalam masyarakat-masyarakat muslim.34

E. KESIMPULAN
Melihat dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat kita
berkesimpulan bahwa Piagam Madinah adalah konstitusi terbaik yang pernah ada dan
dengan didukung pendapat beberapa ahli yang mengatakan bahwa Piagam Madinah
merupakan sebagai piagam yang lengkap, suatu Undang-undang negara hukum, suatu
Charter (piagam), suatu Perjanjian, suatu konstitusi negara yang bermutu tinggi. Di
Madinah nabi Muhammad Saw telah tidak hanya menjadi pemimpin keagamaan tetapi
juga sebagai kepala negara. Beliau berhasil meletakkan kondisi awal bagi terbentuknya
dan teraturnya sebuah negara.

32
Ahmad, Z.A., Piagam Nabi Muhammad Saw.: Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 57.
33
Saihu, “Rintisan Peradaban Profetik Umat Manusia Melalui Peristiwa Turunnya Adam As Ke-
Dunia”, Mumtaz, Vol. 3, No. 1 (2019): 268-279.
34
Y.I. Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, Perbandingan Partai
Masyumi dan Partai Jamaat at Islamy, 65.

80
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

Dalam pemerintahannya pemeluk agama lain dapat diterima, bahkan menjalin


kerja sama kontrak sosial dengan komunitas non muslim. Beliau dapat meletakkan
konstitusi universal dan menghargai hak-hak asasi manusia dan Piagam Madinah. Isi
Piagam Madinah tersebut, jika dibandingkan dengan prinsip negara hukum maka terdapat
banyak persamaan. Nabi Muhammad Saw meletakkan asas-asas kemasyarakatan, antara
lain adalah al-Ikha (persaudaraan), al-Musawah (toleransi), al-Tasamuh (persamaan), al-
Tasyawur (Musyawarah), al-Ta’awun (tolong menolong), dan al-Adalah (keadilan)
sedangkan prinsip negara hukum tersebut didasarkan pada unsur-unsur secara umum,
yaitu adanya upaya perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau
pembagian kekuasaan, adanya pelaksanaan kedaulatan rakyat, adanya penyelenggaraan
pemerintahan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
adanya peradilan administrasi negara.

81
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

DAFTAR PUSTAKA

Adji, O. S., Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Erlangga, 1980.


Ahmad, Z. A., Piagam Nabi Muhammad SAW.: Konstitusi Negara Tertulis Pertama di
Dunia. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Asshiddiqie, J., Menuju Negara Hukum yang demokratis. Jakarta: Penerbit Bhuana Ilmu
Populer, 2009.
Asshidiqie, J., Pokok-Pokok Hukum Tata Negara pasca reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer, 2007.
Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur‐unsurnya.
Jakarta: Ul‐Press, 1995.
Bahasa, T. P., Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Budiardjo, M., Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Chandranegara, I. S., Konsep Kedaulatan Rakyat Indonesia Edisi 15 Tahun II Mei-Juni.
Jakarta: Barometer, 2012.
HR, R., Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Ibrahim, M. K., Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 1. Jakarta: Pusat Studi HTN.
FHUI, 1976.
Karim, M. A., Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam. Jogjakarta: Surya, 2004.
Raya. Kusumaatmadja, M., Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Kumpulan Karya
Tulis. Bandung: PT. Alumni, 2002.
Mahendra, Y. I. Dinamika Tata Negara Indonesia. kompilasi Aktual Masalah Konstitusi
Dewan Perwakilan Rakyatdan Sistem Kepartaian. Jakarta: Penerbit Gema Insani Pers,
1996.
Mahendra, y. I., Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam. Perbandingan
Partai Masyumi dan Partai Jamaat at Islamy. Jakarta: Paramadina, 1999.
Manan, B., Politik Perundang-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisme
Perekonomian. Bandar Lampung: FH-UNILA, 1996.
MD, M. M., Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media, 1999.
Muchsin. Sebuah Ikhtisar Piagam Madinah, Filsafat Timur, Filosof Islam dan Pemikirannya.
Jakarta: STIH IBLAM, t.t.
Pulungan, J. S. Prinsip – Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah ditinjau dari sudut
pandang Al–Qur’an. Jakarta: Grafindo Persada, 1994.
Rasyid, M. N., Seputar Sejarah & Muamalah. Bandung: Al-Bayan, 1997.
Saleh, R., Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional. CV. Karya Dunia Fikir,
1996.
Saihu, “Rintisan Peradaban Profetik Umat Manusia Melalui Peristiwa Turunnya Adam As
Ke-Dunia”, Mumtaz, Vol. 3, No. 1 (2019): 268-279.
Salim, A. M., Fiqih Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al Qur’an. Jakarta: Sitafindo,
2002.
Siti Maryam, d. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta:
Jurusan SPI Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan LESFI, 2002.
Soetiksno, Filsafat Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1991.
Sunarto, B. A. "Konsepsi Negara Hukum Menurut UUD 1945". Cetakan 2. Semarang: IKIP
Semarang Press, 1993.
Thaib, D., Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum, dan Konstitusi, Cetakan ke-2. Yogyakarta:
Liberty, 2000.
Yatim, B., Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarata: Grafindo Persada, 2008.

82

Anda mungkin juga menyukai