Anda di halaman 1dari 21

ISLAM, RAHMATAN LIL’ALAMIN

Benar bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Namun banyak orang
menyimpangkan pernyataan ini kepada pemahaman-pemahaman yang salah kaprah. Sehingga
menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat fundamental,
yaitu dalam masalah aqidah.
Pernyataan  bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya adalah
kesimpulan dari firman Allah Ta’ala,

‫ني‬ ِ
‫م‬ ‫ل‬
َ ‫عا‬ ‫ل‬
ِْ‫ل‬ ‫ة‬
ً ‫مْح‬ ‫ر‬ َّ
‫ال‬ ِ
‫إ‬ ‫ناك‬
َ ‫ل‬
ْ ‫س‬‫َر‬
‫أ‬ ‫ما‬ ‫و‬
َ َ َ َْ َ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia”
(QS. Al Anbiya: 107)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka
Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.
Secara bahasa,

‫ف‬ُّ
‫ط‬
ُ َ ‫ع‬ ‫والت‬
َّ ‫ة‬
ُ َّ
‫ق‬ ‫الر‬
ِّ :‫ة‬ ‫مْح‬ ‫الر‬
َّ
rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul
Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
Penafsiran Para Ahli Tafsir
1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim:
“Pendapat yang lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat disini bersifat umum.
Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:
Pertama: Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus.
Orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang mereka dapatkan adalah disegerakannya
pembunuhan dan maut bagi mereka, itu lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan
menambah kepedihan adzab kelak di akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka. Sehingga,
dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup menetap dalam kekafiran.
Orang kafir yang terikat perjanjian dengan beliau, manfaat bagi mereka adalah dibiarkan hidup
didunia dalam perlindungan dan perjanjian. Mereka ini lebih sedikit keburukannya daripada orang
kafir yang memerangi Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Orang munafik, yang menampakkan iman secara zhahir saja, mereka mendapat manfaat berupa
terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana
kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain.
Dan pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah Ta’ala tidak memberikan adzab yang
menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat dari
diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini
dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya. Sehingga
bagi orang kafir, Islam tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima.
Sebagaimana jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan fulan tidak
meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”
2. Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir:
“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa
hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau
alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami
mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu
dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’ ”
3. Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari:
“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia yang
dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia
mu’min saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik
mu’min maupun kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu
dalam menafsirkan ayat ini:

‫من آمن باهلل واليوم اآلخر كتب‬

‫ ومن‬, ‫له الرمحة يف الدنيا واآلخرة‬


‫مل يؤمن باهلل ورسوله عويف مما‬

‫أصاب األمم من اخلسف والقذف‬


“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan
akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi
mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka
semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”
dalam riwayat yang lain:

‫متت الرمحة ملن آمن به يف الدنيا‬

‫ ومن مل يؤمن به عويف مما‬, ‫واآلخرة‬

‫أصاب األمم قبل‬


“Rahmat yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah.
Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan
tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu”
Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman saja.
Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini:
, ‫فه و هلؤالء فتن ة وهلؤالء رمحة‬

‫وقد جاء األمر جممال رمحة للعاملني‬

‫ من آمن ب ه‬: ‫ والع املون هاهن ا‬.

‫وصدقه وأطاعه‬
“Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana, ada yang mendapat
rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi
seluruh manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman
kepada Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya”
Pendapat yang benar dari dua pendapat ini adalah pendapat yang pertama, sebagaimana riwayat
Ibnu Abbas. Yaitu Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai rahmat
bagi seluruh manusia, baik mu’min maupun kafir. Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah
memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan
amal mereka terhadap ajaran Allah. Sedangkan rahmat bagi orang kafir, berupa tidak
disegerakannya bencana yang menimpa umat-umat terdahulu yang mengingkari ajaran Allah”
(diterjemahkan secara ringkas).
4. Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi
“Said bin Jubair berkata: dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
‫كان حممد صلى اهلل عليه وسلم‬

‫رمحة جلميع الناس فمن آمن به‬

‫ ومن مل يؤمن‬, ‫وصدق به سعد‬

‫به سلم مما حلق األمم من اخلسف‬

‫والغرق‬
“Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang
beriman dan membenarkan ajaran beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang tidak beriman
kepada beliau, diselamatkan dari bencana yang menimpa umat terdahulu berupa ditenggelamkan
ke dalam bumi atau ditenggelamkan dengan air”
Ibnu Zaid berkata:

‫أراد بالعاملني املؤمنني خاص‬


“Yang dimaksud ‘seluruh manusia’ dalam ayat ini adalah hanya orang-orang yang beriman” ”
5. Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir
“Maksud ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, melainkan sebagai
rahmat bagi seluruh makhluk’. Sebagaimana dalam sebuah hadits:

‫إمنا أنا رمحة مهداة‬


“Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal
Al Kabir 369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam
Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al Jami’, 2345)
Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, ia akan mendapatkan kebahagiaan
di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘
karena Allah Ta’ala ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya
pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau diutus dengan membawa
kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau
menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan pencerahan
kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada
menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi
seluruh manusia. Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya
hukuman bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi
binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau ditenggelamkan dengan air”
Pemahaman Yang Salah Kaprah
Permasalahan muncul ketika orang-orang menafsirkan ayat ini secara serampangan, bermodal
pemahaman bahasa dan logika yang dangkal. Atau berusaha memaksakan makna ayat agar sesuai
dengan hawa nafsunya. Diantaranya pemahaman tersebut adalah:

1. Berkasih sayang dengan orang kafir


Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu membenci
mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan
bahwa semua agama sama dan benar, dengan berdalil dengan ayat:

‫ني‬ ِ
‫م‬ ‫ل‬
َ ‫عا‬ ‫ل‬
ِْ‫ل‬ ‫ة‬
ً ‫مْح‬ ‫ر‬ َّ
‫ال‬ ِ
‫إ‬ ‫ناك‬
َ ‫ل‬
ْ ‫س‬‫َر‬
‫أ‬ ‫ما‬ ‫و‬
َ َ َ َْ َ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta”
(QS. Al Anbiya: 107)
Padahal bukan demikian tafsiran dari ayat ini. Allah Ta’ala menjadikan Islam sebagai rahmat bagi
seluruh manusia, namun bentuk rahmat bagi orang kafir bukanlah dengan berkasih sayang kepada
mereka. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmat bagi mereka adalah
dengan tidak ditimpa musibah besar yang menimpa umat terdahulu. Inilah bentuk kasih sayang
Allah terhadap orang kafir, dari penjelasan sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu.
Bahkan konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah membenci segala bentuk
penyembahan kepada selain Allah, membenci bentuk-bentuk penentangan terhadap ajaran
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, serta membenci orang-orang yang melakukannya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

ِ‫اهلل والْيوم‬
ِ ِ‫الَ جَتِ ُد َقوما ي ْؤ ِمنُو َن ب‬
َْ َ ُ ًْ
ِ ِ
‫اآلخر يُ َو ُّادو َن َم ْن َح َّاد اهللَ َو َر ُسولَ ُه‬

‫َولَ ْو َكانُوا آبَاءَ ُه ْم أ َْو أ َْبنَاءَ ُه ْم أ َْو‬


ِ
‫إِ ْخ َوا َن ُه ْم أ َْو َعش َريَت ُه ْم‬
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-
orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-
Mujadalah: 22)
Namun perlu dicatat, harus membenci bukan berarti harus membunuh, melukai, atau menyakiti
orang kafir yang kita temui. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam tafsir beliau di atas,
bahwa ada orang kafir yang wajib diperangi, ada pula yang tidak boleh dilukai.
Menjadikan surat Al Anbiya ayat 107 sebagai dalil pluralisme agama juga merupakan pemahaman
yang menyimpang. Karena ayat-ayat Al Qur’an tidak mungkin saling bertentangan. Bukankah
Allah Ta’ala sendiri yang berfirman:

‫الم‬‫س‬ ِ
‫إل‬ ‫ا‬ ِ َّ‫إِ َّن الدِّين ِعْن َد الل‬
‫ه‬
ُ ْ َ
“Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)
Juga firman Allah Ta’ala:

ِ ِ ‫ومن يْبتَ ِغ َغْير ا ِإل ْس‬


‫الم دينًا َفلَ ْن‬ َ َ ْ ََ
ِ ِ ِ ‫يِف‬ ِ
‫يُ ْقبَ َل مْنهُ َو ُه َو اآلخَرة م َن‬

‫ين‬ ِ
‫ر‬ ِ ‫اخْل‬
‫اس‬
َ َ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al Imran: 85)
Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan
‘berserah diri’. Jadi semua agama benar asalkan berserah diri kepada Tuhan, kata mereka.
Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:
‫اإلسالم أن تشهد أن ال إله إال اهلل‬

‫وأن حممدا رسول اهلل وتقيم‬

‫الصالة وتؤيت الزكاة وتصوم‬

‫رمضان وحتج البيت إن استطعت‬

‫إليه سبيال‬
”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain
Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau
mampu melakukannya” (HR. Muslim no.8)
Justru surat Al Anbiya ayat 107 ini adlalah bantahan telak terhadap pluralisme agama. Karena
ayat ini adalah dalil bahwa semua manusia di muka bumi wajib memeluk agama Islam. Karena
Islam itu ‘lil alamin‘, diperuntukkan bagi seluruh manusia di muka bumi. Sebagaimana dijelaskan
Imam Ibnul Qayyim di atas: “Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang
beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang
kafir menolaknya”.
2. Berkasih sayang dalam kemungkaran
Sebagian kaum muslimin membiarkan orang-orang meninggalkan shalat, membiarkan pelacuran
merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di depan umum bahkan membiarkan
praktek-praktek kemusyrikan dan enggan menasehati mereka karena khawatir para pelaku maksiat
tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian berkata : “Islam khan rahmatan lil’alamin, penuh
kasih sayang”. Sungguh aneh.
Padahal bukanlah demikian tafsir surat Al Anbiya ayat 107 ini. Islam sebagai rahmat Allah
bukanlah bermakna berbelas kasihan kepada pelaku kemungkaran dan membiarkan mereka dalam
kemungkarannya. Sebagaiman dijelaskan Ath Thabari dalam tafsirnya di atas, “Rahmat bagi orang
mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam
surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah”.
Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang mu’min adalah dengan memberi mereka petunjuk
untuk menjalankan perinta-perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, sehingga
mereka menggapai jannah. Dengan kata lain, jika kita juga merasa cinta dan sayang kepada saudara
kita yang melakukan maksiat, sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari maksiat yang
dilakukannya dan mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan.
Dan sikap rahmat pun diperlukan dalam mengingkari maksiat. Sepatutnya pengingkaran terhadap
maksiat mendahulukan sikap lembut dan penuh kasih sayang, bukan mendahulukan sikap kasar dan
keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam bersabda:

‫إن الرفق ال يكون يف شيء إال‬

‫ وال ينزع من شيء إال شانه‬. ‫زانه‬


“Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali akan menghiasnya. Tidaklah kelembutan itu
hilang dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya” (HR. Muslim no. 2594)
3. Berkasih sayang dalam penyimpangan beragama
Adalagi yang menggunakan ayat ini untuk melegalkan berbagai bentuk bid’ah, syirik dan khurafat.
Karena mereka menganggap bentuk-bentuk penyimpangan tersebut adalah perbedaan pendapat
yang harus ditoleransi sehingga merekapun berkata: “Biarkanlah kami dengan pemahaman kami,
jangan mengusik kami, bukankah Islam rahmatan lil’alamin?”. Sungguh aneh.
Menafsirkan rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107 dengan kasih sayang dan toleransi terhadap
semua pemahaman yang ada pada kaum muslimin, adalah penafsiran yang sangat jauh. Tidak ada
ahli tafsir yang menafsirkan demikian.
Perpecahan ditubuh ummat menjadi bermacam golongan adalah fakta, dan sudah diperingatkan
sejak dahulu oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Dan orang yang mengatakan
semua golongan tersebut itu benar dan semuanya dapat ditoleransi tidak berbeda dengan orang
yang mengatakan semua agama sama. Diantara bermacam golongan tersebut tentu ada yang benar
dan ada yang salah. Dan kita wajib mengikuti yang benar, yaitu yang sesuai dengan ajaran Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Bahkan Ibnul Qayyim mengatakan tentang rahmat dalam surat Al
Anbiya ayat 107: “Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat
sekaligus”. Artinya, Islam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada orang yang mengikuti
golongan yang benar yaitu yang mau mengikuti ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Pernyataan ‘biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami’ hanya berlaku
kepada orang kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Kaafirun:

ِ
‫قُ ْل يَا أَيُّ َها الْ َكافُرو َن اَل أ َْعبُ ُد َما‬

‫َت ْعبُ ُدو َن َواَل أَْنتُ ْم َعابِ ُدو َن َما أ َْعبُ ُد‬

‫َواَل أَنَا َعابِ ٌد َما َعبَ ْدمُتْ َواَل أَْنتُ ْم‬


‫َعابِ ُدو َن َما أ َْعبُ ُد لَ ُك ْم ِدينُ ُك ْم َويِل‬
َ
ِ‫ِدين‬
“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa
yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku‘”
Sedangkan kepada sesama muslim, tidak boleh demikian. Bahkan wajib menasehati bila
saudaranya terjerumus dalam kesalahan. Yang dinasehati pun sepatutnya lapang menerima nasehat.
Bukankah orang-orang beriman itu saling menasehati dalam kebaikan?

‫ص ِر إِ َّن اإْلِ نْسا َن لَِفي ُخ ْس ٍرإِاَّل‬


ْ ‫ع‬ْ‫ل‬
َ َ ‫ا‬ ‫و‬
َ
ِ‫الصاحِل ات‬
َّ ‫وا‬ُ‫ل‬ ِ
‫م‬ ‫ع‬‫و‬ ‫وا‬ُ‫ن‬ ‫آم‬ ‫ين‬ ِ
‫ذ‬ َّ
‫ل‬ ‫ا‬
َ ََ َ َ
ِ‫الصرْب‬ِ
‫ب‬ ‫ا‬ ‫و‬‫اص‬ ‫و‬‫ت‬ ‫و‬ ‫ق‬ ‫حْل‬ ‫ا‬ِ
َّ ْ َ َ َ َ ِّ َ ‫اص ْوا ب‬ ‫و‬‫ت‬
َ َََ ‫و‬
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr: 1 – 3)
Dan menasehati orang yang berbuat menyimpang dalam agama adalah bentuk kasih sayang kepada
orang tersebut. Bahkan orang yang mengetahui saudaranya terjerumus ke dalam penyimpangan
beragama namun mendiamkan, ia mendapat dosa. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:

‫إذا عملت اخلطيئة يف األرض‬

‫كان من شهدها فكرهها كمن‬

‫ ومن غاب عنها‬. ‫غاب عنها‬

‫ كان كمن شهدها‬، ‫فرضيها‬


“Jika engkau mengetahui adanya sebuah kesalahan (dalam agama) terjadi dimuka bumi, orang
yang melihat langsung lalu mengingkarinya, ia sama seperti orang yang tidak melihat langsung
(tidak dosa). Orang yang tidak melihat langsung namun ridha terhadap kesalahan tersebut, ia
sama seperti orang yang melihat langsung (mendapat dosa)” (HR. Abu Daud no.4345, dihasankan
Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Perselisihan pendapat pun tidak bisa dipukul-rata bahwa semua pendapat bisa ditoleransi. Apakah
kita mentoleransi sebagian orang sufi yang berpendapat shalat lima waktu itu tidak wajib bagi orang
yang mencapai tingkatan tertentu? Atau sebagian orang kejawen yang menganggap shalat itu yang
penting ‘ingat Allah’ tanpa harus melakukan shalat? Apakah kita mentoleransi pendapat
Ahmadiyyah yang mengatakan bahwa berhaji tidak harus ke Makkah? Tentu tidak dapat ditoleransi.
Jika semua pendapat orang dapat ditoleransi, hancurlah agama ini. Namun pendapat-pendapat yang
berdasarkan dalil shahih, cara berdalil yang benar, menggunakan kaidah para ulama, barulah dapat
kita toleransi.
4. Menyepelekan permasalahan aqidah
Dengan menggunakan ayat ini, sebagian orang menyepelekan dan enggan mendakwahkan aqidah
yang benar. Karena mereka menganggap mendakwahkan aqidah hanya akan memecah-belah
ummat dan menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah
rahmatan lil ‘alamin.
Renungkanlah perkataan Ash Shabuni dalam menafsirkan rahmatan lil ‘alamin: “Beliau
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada
dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam
kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia”. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat bagi seluruh manusia karena beliau membawa ajaran tauhid.
Karena manusia pada masa sebelum beliau diutus berada dalam kesesatan berupa penyembahan
kepada sesembahan selain Allah, walaupun mereka menyembah kepada Allah juga. Dan inilah inti
ajaran para Rasul. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

ِ‫ولََق ْد بع ْثنَا يِف ُك ِّل أ َُّم ٍة رسواًل أَن‬


َُ ََ َ
‫وت‬‫غ‬
ُ ‫ا‬َّ
‫ط‬ ‫ال‬ ‫وا‬ ‫ب‬ِ‫ن‬ ‫ت‬ ‫اج‬ ‫و‬ ‫ه‬َّ
‫ل‬ ‫ال‬ ‫وا‬ ‫د‬
ُ ‫ب‬ ‫اع‬
َ ُ َْ َ َ ُْ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut’ ” (QS. An Nahl: 36)
Selain itu, bukankah masalah aqidah ini yang dapat menentukan nasib seseorang apakah ia akan
kekal di neraka atau tidak? Allah Ta’ala berfirman:
‫نَّهُ َم ْن يُ ْش ِر ْك بِاللَّ ِه َف َق ْد َحَّر َم اللَّ ُه‬

‫ َو َما‬ ۖ ‫َّار‬
‫ن‬ ‫ال‬ ‫اه‬ ‫و‬ْ
‫أ‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ة‬
َ َّ
‫ن‬ ‫جْل‬ ‫ا‬ ِ
‫ه‬ ‫ي‬‫ل‬
َ ‫ع‬
ُ ُ َ ََ َ ْ َ
ٍ‫صار‬‫ن‬
ْ َ
‫أ‬ ‫ن‬ ِ
‫م‬ ‫ني‬ ِ
‫م‬ ِ
‫ال‬َّ
‫ظ‬ ‫ل‬ِ
‫ل‬
َ ْ َ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang
zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72)
Oleh karena itu, adakah yang lebih urgen dari masalah ini?
Kesimpulannya, justru dakwah tauhid, seruan untuk beraqidah yang benar adalah bentuk rahmat dari
Allah Ta’ala. Karena dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam adalah rahmat Allah, maka bagaimana mungkin menjadi sebab perpecahan ummat? Justru
kesyirikanlah yang sebenarnya menjadi sebab perpecahan ummat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
‫ني ِم َن‬
َ
ِ‫واَل تَ ُكونُ وا ِمن الْم ْش ِرك‬
ُ َ َ
ِ ِ
 ۖ ‫ين َفَّرقُ وا د َين ُه ْم َو َك انُوا ش َي ًعا‬ ِ
‫ذ‬ َّ‫ال‬
َ
ٍ ‫ُك ُّل ِح ْز‬
‫ب مِب َا لَ َديْ ِه ْم فَ ِر ُحو َن‬
“Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang
memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa
bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar Ruum: 31-32)
Pemahaman Yang Benar
Berdasarkan penafsiran para ulama ahli tafsir yang terpercaya, beberapa faedah yang dapat kita ambil
dari ayat ini adalah:
1. Di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk
kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
2. Seluruh manusia di muka bumi diwajibkan memeluk agama Islam.
3. Hukum-hukum syariat dan aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala
kepada makhluk-Nya.
4. Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam
5. Rahmat yang sempurna hanya didapatkan oleh orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
6. Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam.
7. Orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam, membenarkan beliau serta taat kepada beliau, akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
8. Orang kafir yang memerangi Islam juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, yaitu dengan diwajibkannya perang melawan mereka. Karena
kehidupan mereka didunia lebih lama hanya akan menambah kepedihan siksa neraka di akhirat
kelak.
9. Orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum musliminjuga mendapat rahmat dengan diutusnya
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Yaitu dengan dilarangnya membunuh dan
merampas harta mereka.
10.Secara umum, orang kafir mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wa sallam berupa dihindari dari adzab yang menimpa umat-umat terdahulu yang menentang Allah.
Sehingga setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, tidak akan ada kaum
kafir yang diazab dengan cara ditenggelamkan seluruhnya atau dibenamkan ke dalam bumi
seluruhnya atau diubah menjadi binatang seluruhnya.
11.Orang munafik yang mengaku beriman di lisan namun ingkar di dalam hati juga mendapat rahmat
dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Mereka mendapat manfaat
berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan
sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Namun di akhirat
kelak Allah akan menempatkan mereka di dasar neraka Jahannam.
12.Pengutusan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat karena beliau telah
memberikan pencerahan kepada manusia yang awalnya dalam kejahilan dan memberikan hidayah
kepada manusia yang awalnya berada dalam kesesatan berupa peribadatan kepada selain Allah.
13.Sebagian ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini diberikan juga kepada orang kafir namun
mereka menolaknya. Sehingga hanya orang mu’min saja yang mendapatkannya.
14.Sebagain ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini hanya diberikan orang mu’min.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, yang dengan sebab
rahmat-Nya tersebut kita dikumpulkan di dalam Jannah-Nya.
Alhamdulillahiladzi bini’matihi tatimmush shalihat..
ILMU FAROID (HUKUM WARIS)

1. Pengertian Ilmu Waris


Mawaris adalah bentuk jamak dari kata “Mirast” yang artinya “harta yang ditinggalkan oleh orang
yang meninggal dunia”. Sedang menurut istilah ialah:
‫ث َو َك ْيفِيَّةُ التَّوْ ِزي ِْع‬ ِ ‫ث َو ِم ْقدَا ُر ُك ِّل َو‬
ٍ ‫ار‬ ُ ‫ِع ْل ٌم يُع َْرفُ بِ ِه َم ْن يَ ِر‬
ُ ‫ث َو َم ْن اَل يَ ِر‬
“Ilmu untuk mengetahui orang-orang yang berhak menerima warisan, orang-orang yang tidak
berhak menerimanya, bagian masing-masing ahli waris dan pembagiannya.”
Atau juga didefinisikan dengan:
ِ ‫ْرفَ ِة ْالقَ ْد ِر ْال َوا ِج‬
ٍّ ‫ب ِمنَ الثِّرْ َك ِة ِل ُكلِّ ِذىْ َح‬
‫ق‬ ِ ْ‫ب ْال ُمو‬
ِ ‫ص ِل اِلَى َمع‬ ِ ‫ْرفَ ِة ْال ِح َسا‬ ُ ِّ‫ْالفِ ْقهُ ْال ُمتَ َعل‬
ِ ْ‫ق بِااْل ِ ر‬
ِ ‫ث َو َمع‬
“Pengetahuan yang berkaitan dengan harta warisan dan perhitungan untuk mengetehui kadar harta
pusaka yang wajib diberikan kepada tiap orang yang berhak.”

ِ ِ‫”فَ } َرائ‬, bentuk jamak dari “‫ْض }ة‬


Ilmu mawaris disebut juga dengan “‫ض‬ َ ‫ ”فَ ِري‬yang artinya “bagian
tertentu”, atau “ketentuan”.
Disebut dengan ilmu mawaris karena dalam ilmu ini dibicarakan hal-hal yang berkenaan dengan
harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia. Dinamakan ilmu faraidh karena dalam
ilmu ini dibicarakan bagian-bagian tertentu yang telah ditetapkan besarnya bagi masing-masing ahli
waris. Kedua istilah tersebut prinsipnyab sama yaitu ilmu yang membicarakan tentang segala
sesuatu yang berkenaan dengan tirkah (harta peninggalan) orang yang meninggal.
2. Hukum Mempelajari Ilmu Waris
Kalau melihat hadist Nabi saw. yang memerintahkan mempelajari ilmu mawaris, maka hukum
mempelajarinya adalah wajib.
ِ ْ‫ااْل َصْ ُل فِى ااْل َ ْم ِر لِ ْل ُوجُو‬
‫ب‬
“Asal hukum perintah adalah wajib.”
Pengertian wajib di sini adalah wajib kifayah. Jika di suatu tempat tertentu ada yang
mempelajarinya, maka sudah terpenuhi tuntutan rasul. Tapi jika tidak ada yang mempelajarinya,
maka semua orang berdosa.
Permasalahan yang muncul sekarang adalah banyak orang yang tidak memahami ilmu mawaris,
sehingga sangat sulit mencari orang-orang yang benar-benar menguasai ilmu ini. Di sisi lain banyak
anggota masyarakat yang tidak mau tahu dengan ilmu mawaris, sehingga akibatnya mereka
membagi harta warisan menurut kehendak mereka senidiri dan tidak berpijak pada cara-cara yang
benar menurut Islam. Misalnya, pembagian harta warisan sama rata antara semua anak. Bahkan
anak angkat memperoleh bagian, cucu mendapat bagian walaupun anak-anak almarhum (yang
meninggal) dan lain-lain. Kenyataan ini terutama akibat tidak memahaminya aturan yang
digariskan dalam ilmu mawaris.
3. Tujuan Ilmu Mawaris
a. Secara umum mempelajari ilmu mawaris adalah agar dapat melaksanakan pembagian harta
warisan kepada ahli waris yang berhak memerimanya sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.
b. Agar diketahui secara jelas siapa orang yang berhak menerima harta warisan dan berapa bagian
masing-masing.
c. Menentukan pembagian harta warisan secara adil dan benar, sehingga tidak terjadi perselisihan
di antara manusia yang dikarenakan harta yang ditinggalkan orang yang meninggal. Seperti yg
dimaksud ayat dibawah ini :
“Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan rasulNya, Dia akan
memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamya. Dan itulah kemenangan yang agung. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasulNya
dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukannya ke dalam api neraka, dia
kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan.” (QS. An-Nisa’/4:13-14)
4. Kedudukan Ilmu Mawaris
Ilmu mawaris adalah ilmu yang sangat penting dalam Islam, karena dengan ilmu mawaris harta
peninggala seseorang dapat disalurkan kepada yang berhak, sekaligus dapat mencegah
kemungkinan adanya perselisihan karena memperebutkan bagian dari harta peninggalan tersebut.
Dengan ilmu mawaris ini, maka tidak ada pihak-pihakyang merasa dirugikan. Karena pembagian
harta warisan ini adalah yang terbaik dalam pandangan Allah dan manusia.
Ilmu mawaris ini benar-benar harus dipahami, agar dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Rasulullah saw. bersabda:
ُ َ‫ض َو َعلِّ ُموْ هَا فَّإنَّهُ نِ ْفصُ ْال ِع ِلم َوهُ َو أَ َّو ُل َش ْي ٍء يُ ْنز‬ ‫هّٰللا‬ ‫ال ٓرسُوْ ُل هّٰللا‬
‫ع‬ َ ِ‫صلَّى ُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم يَا أَبَا ه َُر ْي َرةَ تَ َعلَّ ُموا ْالفَ َرائ‬ َ ٓ ‫ع َْن أَبِ ْي ه ُٓري ْٓر ٓة ٓق‬
ٓ ‫ال ٓق‬
)‫ِم ْن أُ َّمتتِ ْي (رواه ابن ماجه والداررقطى‬
“Dari Abu Hurairah berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Hai Abu Hurairah, pelajarilah faraidh dan
ajarkanlah kepada orang lain, karena masalah ini adalah separuh ilmu, dan mudah dilupakan, serta
ilmu itu yang pertama-tama akan dicabut dari umatku’.” (HR. Ibnu Majah dan Daruqutni)
5. Sumber Hukum Ilmu Mawaris
a. Alqur’an
Ketentuan-ketentuan tentang ilmu mawaris, khususnya yang berkaitan dengan pembagian harta
warisan, pokok-pokoknya telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an talah menjelaskan
dengan jelas dan tegas. Bahkan tidak ada hukum-hukum yang dijelaskan secara terperinci
seperti hukum mawaris ini, antara lain dijelaskan dalm QS. An-Nisa/4:7-14, Al-Ahzab/33:6,
dan surah-surah lainnya.
b. Al-Hadist
Al-Hadist adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Sesuai dengan kedudukannya,
Al-Hadist memberikan dorongan dan motivasi mengenai pelaksanaan mawaris.
Rasulullah saw. bersabda:
)‫ب هّٰللا ِ (رواه مسلم وابو داود‬ ِ ِ‫ال بَ ْينَ أَ ْه ِل ْالفَ َرائ‬
ِ ‫ض َعلَى ِكتَا‬
‫هّٰللا‬
َ ‫صلَّى ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْق ِس ُموا ْال َم‬
‫هّٰللا‬
َ َ‫ال ق‬
َ ِ ‫ال َرسُوْ ُل‬ َ َ‫س ق‬
ٍ ‫ع َِن اب ِْن َعبَّا‬
“Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, ‘ Rasulullah saw. telah bersabda, ‘Bagilah harta pusaka antara
ahli-ahli waris menurut (ketentuan) kitab Allah’.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

c. Ijma dan Ijtihad


Ijma’ dan Ijtihad para ulama banyak berperan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
berkaitan dengan mawaris terutama menyangkut masalah teknisnya.
6. Ayat-ayat Mawaris
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan mawaris adalah QS. An-Nisa/4:7-14 dan 176.
Sedangkan yang langsung berkaitan dengan ketentuan pembagian warisan adalah ayat 7, 11, 12,
dan 176.
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatbya, dan bagi
perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa/4:7)
“Allah mensyari’atkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu,
(yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika
anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh
setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang
meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagia tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang
dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mhabijaksana.” (QS. An-Nisa/4:11)
“Dan bagianmu (suami-istri) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat mereka buat atau (dan setelah
dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-
utangmu. Jika seseorang meninggal,baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu), atau
seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetepi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-
sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah
dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah.
Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.” (QS. An-Nisa/4:12)
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kallah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kallah (yaitu), jika seseorang mati, dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai
saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuan itu) seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika
dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara
laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara
perempuan. Allah memerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha
Mengetahui segala seuatu.” (QS. An-Nisa/4:176)
7. Hikmah Mempelajari Ilmu Mawaris
a. Dapat memahami hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan pembagian harta peninggalan.
b. Terhindar dari adanya kelangkaan orang yang faham dalam pembagian harta warisan di suatu
tempat.
c. Dapat dilaksanakannya pembagian harta warisan dengan benar.
d. Terhindar dari adanya perselisihan di antara manusia dalam hal pembagian harta warisan karena
ketidaktahuan dalam pembagian harta warisan.

Anda mungkin juga menyukai