Anda di halaman 1dari 6

METODOLOGI STUDI ISLAM

ISLAM DAN STUDI AGAMA-AGAMA

1. Pengertian Agama
Secara etimologis kata agama berasal dari bahasa Sanskrit, yaitu yang tersusun dari dari dua
kata, a = tidak dan gam= pergi. Jadi agama artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi
secara turun temurun. Hal ini menunjukkan pada salah satu sifat agama, yaitu diwarisi
secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ada juga versi lain yang
mengatakan agama tersusun dari a = tidak dan gama berarti kacau. Jadi agama artinya tidak
kacau. Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab
suci.
Agama dalam Bahasa Arab disebut din, yang mengandung arti menguasai, menundukkan,
patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang
merupakan hukum, yang harus dipatuhi orang. Din dalam bahasa Semit juga berarti undang-
undang atau hukum. Sedangkan dalam bahasa Inggris agama disebut religi yang terambil
dari bahasa latin relegere yang mengandung arti mengumpulkan, membaca. Pendapat lain
kata itu berasal dari relegare yang berarti mengikat. Intisari yang terkandung dalam istilah-
istilah di atas menurut Harun Nasution adalah ikatan. Agama mengandung arti ikatan-ikatan
yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Sedangkan menurut terminologi, definisi agama
beragam tergantung orang yang mendefinisikannya. Mukti Ali pernah mengatakan ,
barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata
agama. Pernyataan ini didasarkan pada tiga alasan. Pertama, bahwa pengalaman agama
adalah soal batini, subyektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua, barangkali tidak ada
orang yang begitu bersemangat dan emosional dari pada orang yang membicarakan agama.
Karena itu setiap pembahasan tentang arti agama selalu ada emosi yang melekat erat
sehingga kata agama itu sulit didefinisikan. Ketiga, konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh
tujuan dari orang yang memberikan definisi itu.
Sampai sekarang perdebatan tentang definisi agama masih belum selesai, hingga W.H. Clark,
seorang ahli Ilmu Jiwa Agama, sebagaimana dikutip Zakiah Daradjat mengatakan, bahwa
tidak ada yang lebih sukar dari pada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk
membuat definisi agama, karena pengalaman agama adalah subyektif, intern, individual,
dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dari orang lain. Di
samping itu tampak bahwa umumnya orang lebih condong mengaku beragama, kendatipun
ia tidak menjalankannya. Menurut Durkheim, agama adalah sistem kepercayaan dan politik
yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus. Bagi Spencer, agama
adalah kepercayaan terhadap sesuatu yang maha mutlak. Sementara Dewey mengatakan
bahwa agama adalah pencarian manusia terhadap cita-cita umum dan abadi meskipun
dihadapkan pada tantangan yang dapat mengancam jiwanya; agama adalah pengenalan
manusia terhadap kekuatan ghaib yang hebat. Didiek Ahmad Subadi Oxfort Student
Dictionary mendefinisikan agama (religion) dengan ― the belief in the existence of
supranatural ruling power, the creator ad controller of the universe”, yaitu suatu
kepercayaan akan adanya suatu kekuatan pengatur supranatural yang mencipta dan
mengendalikan alam semesta. Agama dalam pengertiannya yang paling umum diartikan
sebagai sistem orientasi dan obyek pengabdian. Dalam pengertian ini semua orang adalah
makhluk relegius, karena tak seorangpun dapat hidup tanpa suatu sistem yang
mengaturnya. Kebudayaan yang berkembang di tengah manusia adalah produk dari tingkah
laku keberagamaan manusia. Dari pengertian di atas, sebuah agama biasanya mencakup tiga
persoalan pokok, yaitu:
1. Keyakinan (credial), yaitu keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan supranatural yang
diyakini mengatur dan mencipta alam.
2. Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan kekuatan
supranatural tersebut sebagai konsekwensi atau pengakuan dan ketundukannya.
3. Sistem nilai (hukum/norma) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya
atau alam semesta yang dikaitkan dengan keyakinannya tersebut. Dengan demikian jelaslah
bahwa agama merupakan seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan , dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya

2. Manusia dan Kebutuhan terhadap Agama

Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang melatar belakangi perlunya manusia terhadap agama,
yaitu:

1. Karena fitrah manusia Kata fitrah merupakan derivasi dari kata fathara, artinya ciptaan, suci,
seimbang. Louis Ma‘luf dalam Kamus al-Munjid menyebutkan bahwa fitrah adalah sifat yang ada
pada setiap yang ada pada awal penciptaannya, sifat alami manusia, atau sunnah. Menurut Imam
al-Maraghi, fitrah adalah kondisi di mana Allah menciptakan manusia yang menghadapkan dirinya
pada kebenaran dan kesiapan untuk menggunakan pikirannya. Dengan demikian arti fitrah dari segi
bahasa dapat diartikan sebagai kondisi awal suatu ciptaan atau kondisi awal manusia yang memiliki
potensi untuk cenderung kepada kebenaran (hanif). Fitrah dalam arti hanif sejalan dengan isyarat al-
Qur‘an yang artinya: ―Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S
AlRum,30:30). Fitrah yang berarti hanif (kecenderungan kepada kebaikan) dimiliki manusia karena
terjadinya proses persaksian sebelum terlahir ke muka bumi. Persaksian ini merupakan proses fitriah
manusia yang selalu memiliki kebutuhan terhadap agama, karena itu manusia dianggap sebagai
makhluk religius. Manusia bukan makhluk yang lahir kosong seperti kertas putih sebagaimana yang
dianut para pengikut teori tabula rasa. Hal ini dipertegas dengan dalil al-Qur‘an:

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). (Q.S al-A‟raaf,7:172).

Dari ayat di atas jelaslah bahwa manusia secara fitri merupakan makhluk yang memiliki
kecenderungan untuk beragama, yaitu bertauhid (Islam). Hal demikian sejalan dengan petunjuk Nabi
SAW dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa ―Setiap anak yang dilahirkan memiliki
fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau
Majusi”.

Rasulullah saw bersabda:"Setiap anak lahir (dalam keadaan) fitrah, Kedua orang tuanya (memiliki
andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama Majusi, (HR
Bukhori.Juz 1, h. 456) Fitrah dalam arti potensi, yaitu kelengkapan yang diberikan pada saat lahirnya
ke dunia. Potensi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua hal:, yaitu potensi fisik dan potensi
rohaniyah. Potensi rohaniyah manusia berupa akal, qalb dan nafsu. Bukti bahwa manusia sebagai
makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan anthropologis.
Masyarakat primitif, misalnya yang tidak pernah datang informasi mengenai Tuhan, ternyata mereka
mencari dan mempercayai adanya Tuhan, Sungguh pun Tuhan yang mereka percayai itu sebatas
pada kemampuan akalnya dalam memaknai apa yang ada disekitar mereka. Mereka menjadikan
sungai, pohon, batu dan lainnya sebagai Tuhan karena mereka mengganggap benda-benda itu telah
memberikan penghidupan kepada mereka. Lalu mereka memujanya dengan memberikan
penyembahan dan sesajian. Semua itu pada dasarnya sebagai curahan dari potensi manusia untuk
bertuhan. Tetapi ketika potensi bertuhan tersebut tidak diarahkan dan tidak mendapat bimbingan
yang benar, maka tidak akan menemukan Tuhan yang sesungguhnya ( yang benar) yaitu Allah.
Sebaliknya jika fitrah manusia mendapat pengarahan yang baik, dan tumbuh dalam keluarga dan
lingkungan yang mendukung, tentunya fitrah itu akan tumbuh dengan subur, dan cara-cara
kebertuhanannya pun akan benar.

2. Karena Keterbatasan akal manusia Akal manusia sebagai anugerah terbesar memang mampu
untuk membedakan dan mengetahui yang baik dan buruk, tetapi tidak semua yang baik dan yang
buruk itu dapat diketahui akal. Akal manusia semata juga tidak mampu mengetahui segala informasi
terutama yang berkenaan dengan alam meta fisika (ghaib), termasuk mengetahui peristiwa yang
terjadi setelah manusia mati seperti barzakh, shirat, akhirat, surga dan neraka. Manusia
membutuhkan informasi terhadap hal itu semua, karena manusia pasti menghadapi kehidupan
setelah hidup di dunia. Justru hidup di akhirat adalah hidup yang kekal dan abadi. Untuk itu manusia
perlu bimbingan wahyu (agama).

3. Tantangan yang dihadapi manusia Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama
adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang
datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan
setan. Sedangkan tantangan dari luar berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia
secara sengaja berupaya ingin memaling manusia dari Tuhan. Seperti berkembangnya berbagai
kebudayaan dan cara hidup yang sengaja diciptakan untuk memalingkan manusia dari Tuhannya.

Di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan, juga memiliki kekurangan, dengan


dilengkapinya manusia dengan al-nafs. Menurut Quraisy Shihab, melalui al-nafs manusia memiliki
kemampuan untuk menangkap makna baik dan buruk . Sedangkan menurut terminology kaum sufi,
yang oleh alQusyairi dalam Risalahnya dinyatakan bahwa al-nafs dalam pengertian sufi adalah
sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan prilaku buruk. Pengertian al-Qusyairi tentang al-nafs ini
sama dengan yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang antara lain menjelaskan
bahwa nafs adalah dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik. Oleh sebab itu manusia
selalu membutuhkan bimbingan wahyu yang menjadi pedoman dalam hidupnya agar tidak
terjerumus dalam penyesatan iblis yang menghasut hawa nafsu.

PENGALAMAN KEAGAMAAN DAN EKSPRESINYA

Agama adalah sebuah identitas yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Pada
dasarnya, manusia hidup dengan berpegang teguh pada dasar ajaran agama. Agama
bukan hanya diartikan sebagai sebuah kepercayaan, melainkan agama adalah jalan
hidup yang ditempuh oleh pengikutnya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Dengan beragama, kehidupan manusia lebih terarah dan akan tercipta hubungan antara
manusia dengan sang pencipta. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia
merupakan ekspresi keagamaan. Orang muslim dalam menjalankan setiap kegiatannya
pasti berbebeda dengan orang Kristen, begitu juga dengan penganut agama yang lain.

Melalui para Nabi, Allah menurunkan wahyu berupa syariat yang harus dikerjakan oleh
umat manusia. Nabi Ibrahim as adalah pondasi awal tentang system ketuhan.
mendapatkan julukan abul anbiya’. Hal ini dilandaskan pada sumber kemunculan
agama-agama samawi yang bersumber dari Ibrahim as. Nabi Ibrahim memiliki dua
orang putra yang bernama Ismail dan Ishaq. Dari Nabi Ismail dan Ishaq inilah kemudian
lahirlah bebrapa nabi seperti Nabi Ya’qub, Yusuf, Musa, Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria,
Yahya, Isa, dan Muhammad yang kemudian membawa pesan Allah berupa wahyu yang
memuat tentang seruan untuk beriman dan menyembah kepada dzat yang maha esa,
Allah (Ghafur, 2016, p. 2).

Berbicara tentang konsep pengalaman dan ekspresi keagamaan, maka kita akan
mengenal Joachim Wach. J. Wach adalah seorang ahli filsafat Fenomenologi. Ia lahir di
Chemints, 25 Januari 1898. Wach adalah putra tertua Felix dan Chaterine. (Pujiastuti,
2017) Wach kecil amat disayang oleh keluarganya, bukan hanya ayah dan ibunya, tetapi
juga kakek-neneknya. Sejak kecil Wach sudah memiliki minat dengan music, sastra dan
puisi. Sepanjang masa kecilnya, Wach selalu bangun jam lima pagi. Imajinasinya yang
tinggi membuat dia memiliki negeri fantasi yang disebutnya “Pelagypten”. Minatnya
terhadap agama tumbuh ketika dia masih belia. Dia mulai mempelajari agam

Ilmu Antropologi tidak membahas tentang syariat yang dilakukan oleh pemeluknya,
melaikan melihat dari sudut pandang perilaku kehidupan beragama yang tampak dari
para penganut agama. Antropologi menyatakan tidak akan mempersoalkan masalah
benar atau salahnya agama, karena setiap agama memiliki tujuan yang sama, yakni agar
terciptanya perdamaian dan kasih sayang diantara para manusia (Djam’annuri, 2003).
Keagamaan sudah menjadi bagian dari bentuk kebudayaan. Namun agama biasanya
hanya dikenal sebagai sistem kepercayaan yang dianut segala ketentuan yang berlaku di
dalamnya tanpa perlu melakukan kajian mendalam tentang agama. Dalam dua abad
terakhir ini, agama mulai bisa dijelaskan secara ilmiah dengan berbagai metode dan
pendekatan.

Pengalaman keagamaan merupakan aspek hubungan bathiniyah yang terjalin antara


manusia dan fikirannya dengan tuhan (Wach, 1996). Setiap individu dengan individu
yang lain akan merasakan pengalaman keagamaan yang berbeda-beda. Hal ini
disebabkan aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh manusia dalam berhadapan
dengan sang pencipta meliputi segi lahiriyah dan bathiniyah. Sehingga manusia akan
mengembangkan pola-pola perasaan yang system-sistem pemikiran, sistem kelakuan
sosial, dan organisasi-organisasi dengan orang akan berbeda (Pujiastuti, 2017, p. 65).
Ada empat macam gagasan yang disampaikan oleh Joachim Wach mengenai hakikat
pengalaman keagamaan, yaitu: pandangan yang menyangkal adanya pengalaman
tersebut karena dianggap hanya sebuah ilusi, pengalaman yang mengakui eksistensi
pengalaman keagamaan, namun pengalaman tersebut tidak dapat dipisahkan karena
sama dengan pengalaman lain yang bercorak umum, pandangan yang mempersamakan
antara bentuk sejarah agama dengan pengalaman keagamaan, hal ini merupakan suatu
kebiasaan yang menjadi ciri konservatif yang konsisten terhadap pemahaman agama
masyarakatnya dan pandangan mengakui adanya suatu pengalaman murni yang dapat
diidentifikasikan dengan mempergunakan kriteria tertentu yang dapat diterapkan
terhadap ungkapan-ungkapan manapun (Wach, 1996).
Selain adanya konsep diatas, hakikat pengalaman keagamaan diekspresikan dalam tiga
hal (Ahmad Norma Permata, 2000).  Ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk
pemikiran dalam berupa doktrin keagamaan. Agama seringkali menjadi tembk yang
memenjarakan pemikiran manusia. Manusia seringkali memaknai agama sebagai
sebuah kepercayaan yang diikuti dengan mutlak, tanpa ada sesuatu yang melatar
belakangi. Namun agama sebenarnya merupaka jalan. Jalan bisa dikatakan sebagai
sararan, bukan justru memnjarakan pemikiran manusia hanya sampai pada tahap
mengimani. Dengan beragama, sebenarnya kita dituntut untuk memahami arti perintah
tuhan, guna memahami maksud tuhan menjadikan segala sesuatu di dunia ini. Dengan
berbagai macam metode dan pendekatan, konsep agama sebagai doktrin lama-lama
telah memudar. Manusia menggunakan akal dalam memahami agama, karena segala
sesuatu tidak ada yang kebetulan, tetapi semua adalah pilihan.

Ungkapan dalam bentuk perbuatan berupa peribadatan. Agama memiliki aturan aturan
syariat yang harus diikuti oleh setiap pengikutnya. Agama memiliki cara agar hubungan
yang terjalin antara hamba dan tuhannya bisa dirasakan, bukan hanya menjadi sesuatu
yang abstrak. Memaui peribadatan, maka tuhan dan hamba akan memiliki media atau
sarana untuk saling berkomunikasi. Dengan adanya peribadatan pula, manusia dituntut
untuk leboh merasakan adanya tuhan yang menjadikan dan mengatur bumi dan
seisinya.

Ungkapan dalam bentuk perseketuan berupa kelompok-kelompok kegamaan. Agama


menjadi sesuatu yang disepakati oleh sebagaian manusia. Disisi lain, manusia yang
menyepakati suatu agama, berarti meyakini adanya agama. kelompok-kelompok
keagamaan adalah mereka yang bergabung dalam satu wadah untuk sama-sama
menyalurkan visi dan pemahaman mereka. Kelompok-kelompok ini muncul karena
adanya kesamaan cara pandang dan sudut berpikir yang sama, sehingga dalam
memahami agama, mereka tidak sendiri, melainkan Bersama-sama dengan kelompok
mereka yang sepaham.

Pengalaman agama adalah sebuah hubungan bathiniyah yang dilakukan oleh manusia
dengan tuhan. Dalam studi hadis, pengalaman keagamaan sangat diperlukan oleh ahli
hadis dalam melakukan analisis yang mendalam atas munculnya sebuah hadis. Kajian-
kajian tersebut bisa dari segi historisitas, atau faktor lain yang mempengaruhi
munculnya sebuah hadis. Dalam tradisi kajian hadis, pendekatan historisitas digunakan
usaha dalam menelusuri asal usul dan perkembangan melalui berbagai periode
perkembangan tertentu. Motode ini dilakukan dengan menganalisis dari masa awal
mulai dibukukannya hadis.

Hadis yang merupakan teks yang segala sesuatunya disandarkan pada Nabi, baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan memiliki nilai yang sangat tinggi bagi
manusia. Sebagai sebuah teks yang memiliki fungsi khusus dalam mengatur kehidupan
manusia, baik kehidupan yang berhubungan dengan tuhan (hablum minnallah) maupun
hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas) maka wajib dilakukan kajian
agar kemurnian hadis tetap terjaga sebagaimana awal munculnya hadis dari Nabi saw.
Dengan menjaga kemurnian hadis, maka manusia akan senantiasa mengingat nasihat-
nasihat nabi yang sampai pada masa sekarang ini dalam bentuk tulisan.

Pengalaman atas agama merupakan cara pandang seseorang dalam memahami agam.
Agama bukan hanya diartikan sebagai sistem kepercayaan, melainkan agama menjadi
sistem berpikir dalam memahami aturan-aturan atau justru kekuasaan tuhan yang
dipercaya. Agama memiliki peran untuk menjadi jalan agar manusia senantiasa berada
di jalur yang tepat dan terarah. Tanpa disadari, agama adalah sebuah cara untuk
melaksanakan kehidupan. Agama bukan hanya mengatur pemeluknya sampai pada
tuhan yang disembahnya, melainkan agama menjadi sistem yang mengatur tampilan
fisik pemeluknya, tindakan sosial, dan segala bentuk perilaku sosial diantara
masyarakat. Dengan kata lain, agama tidak bisa diartikan dalam ranah ubudiyah saja,
melainkan juga muamalah keduniaan juga.

DIMENSI-DIMENSI AGAMA

Setiap agama, apapun itu, pasti mempunyai empat dimensi. Pertama, dimensi spiritual. Kedua,
dimensi ritual. Ketiga, dimensi sosial dan yang keempat, dimensi kemanusiaan atau humanitas.

Berkenaan dengan masalah spiritual. Spiritualitas adalah hubungan antara individu dengan Tuhan
yang diyakininya. Spiritualitas itu juga sangat privasi, tidak boleh disentuh oleh pihak lain, ke

Anda mungkin juga menyukai