Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
NIM : 11210163000011
A. Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme merupakan teori yang sudah tidak asing lagi bagi dunia pendidikan,
sebelum mengetahui lebih jauh tentang teori konstruktivisme alangkah lebih baiknya di ketahui
dulu konetruktivisme itu sendiri. Konstruktivisme berarti bersifat membangun. Dalam konteks
filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang
berbudaya modern.7 Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bahwa konstruktivisme merupakan
sebuah teori yang sifatnya membangun, membangun dari segi kemampuan, pemahaman, dalam
proses pembelajaran. Sebab dengan memiliki sifat membangun maka dapat diharapkan keaktifan
dari pada siswa akan meningkat kecerdasannya.
Merasa kurang lengkap untuk mengetahui dari pada teori konstruktivisme sebelum
mengetahui pendapat-pendapat dari pada pakar ahli, diantaranya yaitu : Hill, mengatakan,
sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa
yang di pelajari.8 Menurut hill konstruktivisme merupakan bagaimana menghasilkan sesuatu
dari apa yang dipelajarinya, dengan kata lain bahwa bagaimana memadukan sebuah
pembelajaran dengan melakukan atau mempraktikkan dalam kehidupannya supaya berguna
untuk kemaslahatan.
Shymansky mengatakan konstuktivisme adalah aktivitas yang aktif, di mana peserta didik
membina sendiri pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari, dan merupakan
proses menyelesaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada
dimilikinya.9 Berdasarkan pendapatnya di atas, maka dapat di pahami bahwa konsturktivisme
merupakan bagaimana mengaktifkan siswa dengan cara memberikan ruang yang seluas-luasnya
untuk memahami apa yang mereka telah pelajari dengan cara menerpakan konsep-konsep yang
di ketahuinya kemudian mempaktikkannya ke dalam kehidupan sehari-harinya. Berdasarkan
pendapat para ahli di atas, maka dapat dibuat sebuah kesimpulan yaitu konstruktivisme
merupakan sebuah teori yang memberikan keluasan berfikir kepada siswa dan memberikan siswa
di tuntut untuk bagaimana mempraktikkan teori yang sudah di ketahuinya dalam kehidupannya.
B. Asumsi-Asumsi Konstruktivisme
Tokoh-Tokoh Kontruktivisme
Dewey juga menyatakan bahwa pembelajaran di sekolah seharusnya lebih memilki manfaat
daripada abstraj dan pembelajaran yang memiiki manfaat terbaik dapat dilakukan oleh pengajar
dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan proyek yang menarik dan pilihan mereka
sendiri.
A. Discovery Learning
Salah satu model pembelajaran kognitif yang paling berpengaruh adalah discovery
learning-nya Jerome Bruner (Slavin, 1994), yaitu siswa didorong untuk belajar dengan diri
mereka sendiri. Siswa belajar melalui aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru
mendorong siswa untuk mempunyai pengalaman-pengalaman dan menghubungkan pengalaman-
pengalaman tersebut untuk menemukan prinsip-prinsip bagi diri mereka sendiri.
Discovery learning telah banyak aplikasinya dalam dunia keilmuan, misalnya pada
beberapa museum sains ada beberapa silinder yang memiliki ukuran dan berat yang berbeda-
beda, beberapa ada yang ringan dan yang lain berat. Siswa didorong untuk mengamati secara
detail perbedaan-perbedaan silinder tersebut, di antaranya adalah menentukan kecepatan silinder
tersebut.
David Ausabel (Slavin 1994) memberikan kritik terhadap discovery learning. Dia
berargument bahwa siswa tidak selalu mengetahui apa yang penting atau relavan, dan beberapa
siswa membutuhkan motivasi eksternal untuk mempelajari apa yang diajarkan di sekolah.
Namun demikian, kendati peran guru dalam reception learning maupun discovery
learning berbeda, namun keduanya memiliki beberapa persamaan pandangan, antara lain:
1. Tahap pertama, advance organizer. Secara umum belajar secara maksimal terjadi bila
ada potensi kesesuaian antara skema dimiliki siswa dengan materi atau informasi yang akan
dipelajarinya. Agar terjadi kesesuaian tersebut, Ausabel (Woolfolk, 1995) menyarankan sebuah
strategi yang disebut dengan advance organizer, yaitu sebuah statemen perkenalan yang
menghubungkan antara skema yang sudah dimiliki oleh siswa dengan informasi baru yang akan
dia pelajari. Fungsi dari advance organizer ini adalah memberi bimbingan untuk memahami
informari yang baru. Dengan kata lain, advance organizer ini dapat menjadi jembatan antara
meteri pelajaran atau informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa.
Pemberian advance organizer mempunyai tiga tujuan, yaitu memberi arahan bagi siswa untuk
mengetahui apa yang terpenting dari materi yang akan dipelajarinya; menghigh-light diantara
hubungan-hubungan yang akan dipelajari; dan memberikan penguatan terhadap pengetahuan
yang diperoleh atau dipelajari.
3. Tahap ketiga, penguatan organisasi kognitif. Pada tahap ini, Ausabel menyatakan
bahwa guru mencoba untuk menambahkan informasi baru ke dalam informasi yang sudah
dimiliki oleh siswa pada awal pelajaran dimulai dengan membantu siswa untuk mengamati
bagaimana setiap detail dari informasi berkaitan dengan informasi yang lebih besar atau lebih
umum. Dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pemahamannya
tentang informasi apa yang baru mereka pelajari.
C. Assisted Learning
Assisted learning mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan kognitif
individu. Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan kognitif terjadi melalui interaksi dan
percakapan seorang anak dengan lingkungan di sekitarnya, baik dengan teman sebaya, orang
dewasa, atau orang lain dalam lingkungannya. Orang tersebut sebagai pembimbing atau guru
yang memberikan informasi dan dukungan penting yang dibutuhkan anak untuk menumbuhkan
intelektualitasnya. Orang dewasa yang ada di sekitar anak memberikan perhatian dan bimbingan
terhadap apa yang dilakukan, dikatakan, ataupun dipikirkan oleh anak, sehingga anak
mengetahui manakah yang benar dan manakah yang salah. Dengan demikian, seorang anak
"tidak sendirian" dalam menemukan dunianya sebagai bagian proses perkembangan kognitifnya.
Anak dapat melakukan konservasi dan klasifikasi dengan bantuan anggota keluarga, guru, atau
kelompok bermainnya. Pada umumnya bimbingan ini di komunikasikan melalui bahasa.
Jerome Bruner menyebut bantuan orang dewasa dalam proses belajar anak dengan istilah
scaffolding, yaitu sebuah dukungan untuk belajar dan memecahkan problem. Dukungan ini dapat
berupa isyarat-isyarat, peringatan-peringatan, dorongan, memecahkan problem dalam beberapa
tahap, memberikan contoh, atau segala sesuatu yang mendorong seorang siswa untuk tumbuh
dan menjadi pelajar yang mandiri dan memecahkan problem yang dihadapinya. Guru dapat
membantu belajar siswa dengan menunjukkan keterampilan-keterampilan, mengajak siswa
melalui tahap-tahap untuk menyelesaikan masalah, atau memberikan feedback terhadap hasil
kerja siswa, sehingga siswa mendapatkan masukan dari hasil kerjanya, dan selanjutnya dapat
digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dukuasainya.
Menurut Vygotsky, interaksi sosial dan bantuan belajar lebih dari sekedar metode
mengajar, keduanya merupakan sumber terjadinya proses-proses mental yang lebih tinggi seperti
misalnya memecahkan problem, mengalahkan memori dan perhatian, berpikir dengan simbol-
simbol. Dia mengasumsikan bahwa pandangan tentang fungsi mental sepatutnya dapat
diaplikasikan dalam kelompok seperti bentuk-bentuk aktivitas individual.
Dalam belajar dengan bantuan atau perantara ini, guru adalah seorang agen budaya yang
dengan bimbingan dan pengajarannya siswa dapat menginternalisasi dan menguasai
keterampilan yang membutuhkan fungsi kognitif yang lebih tinggi. Secara budaya, kemampuan
untuk menginternalisasikan ini berkaitan dengan usia dan tahap perkembangan kognitif.
Sementara secara teknis, scaffolding dalam belajar adalah membatu siswa pada awal
belajar untuk mencapai pemahaman dan keterampilan dan secara perlahan-lahan bantuan
tersebut dikurangi sampai akhirnya siswa dapat belajar sendiri serta dapat menemukan
pemecahan bagi problem atau tugas-tugas yang dihadapinya.
D. Active Learning
Menurut Silberman, cara belajar dengan cara mendengarkan akan lupa, dengan cara
mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat dan
mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan
melakukan akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan cara untuk menguasai
pelajaran yang terbagus adalah dengan mengerjakan.
Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning
menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang hampir dapat diterapkan untuk semua pelajaran.
Menurut Charles C. Bonwell dan J.A. Eison (1991) seluruh bentuk pengajaran yang
berfokus pada siswa sebagai penanggung jawab pembelajaran adalah pembelajaran aktif. Jadi,
menurut kedua ahli tersebut, pembelajaran aktif mengacu kepada pembelajaran berbasis siswa.
Dalam hubungannya ini, Centre for Research on Learning and Teaching University of Michigan,
memberikan definisi yang lebih ketat lagi tentang pembelajaran aktif. Menurut lembaga tersebut,
pembelajaran aktif adalah suatu proses yang memberikan kesempatan kepada para siswa terlibat
dalam tugas-tugas pemikiran tingkat tinggi seperti menganalisis, melakukan sintesis dan
evaluasi.
Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa pembelajaran aktif lebih menekankan pada
pendekatan pembelajaran, dengan esensi mengaktifkan siswa dalam pembelajaran, yang
dilaksanakan dengan strategi pembelajaran berbasis siswa. Jumlha siswa dalam pembelajaran
aktif bebas, boleh perseorangan atau kelompok belajar, yang penting siswa harus aktif,
sedangkan manifestasinyadalam pembelajaran berkelompok dapat diwujudkan dengan metode
pembelajaran kolaboratif, pembelajaran kooporatif, pembelajaran berbasis masalah, dan
pembelajaran berbasis proyek. Oleh sebab itu, tidak ada sintaks khusus pembelajaran aktif,
bergantung pada metode yang dipilih lebih lanjut. Sintaks adalah nama lain dari urutan langkah-
langkah pembelajaran.
Terkait pembelajaran aktif, ada suatu hal yang patut dipahami berupa konsep yang
dikembangkan oleh L. Dee Fink. Menurut Fink (1999), pembelajaran aktif terdiri dari dua
komponen utama yakni, komponen pengalaman dan komponen dialog. Lebih lanjut komponen
pengalaman terdiri dari pengalaman melakukan (doing) dan pengalaman mengamati (observing),
sedangkan komponen dialog terdiri dari dialog dengan diri sendiri (dialogue with self) dan dialog
dengan orang lain (dialogue with others)
Dalam komponen melakukan (doing), siswa benar-benar melakukan sesuatu secara nyata
oleh dirinya sendiri, misalnya merancang dan melakukan eksperimen proses respirasi di sekolah,
meengarang cerpen atau puisi, membuat resensi, mengarang gurindam (dalam pembelajaran
bahasa indonesia), menyusun silsilah raja-raja Kesultanan Yogyakarta sejak perjanjian Giyanti
(sejarah), mendemonstrasikan bahwa kertas mengandung karbon (kimia), merancang dam
penampungan air (teknik), memimpin band sekolah (musik), presentasi oral (komunikasi), dan
sebagainya.
Dalam komponen mengamati (observing), siswa melihat dan mendengarkan ketika orang
lain melakukan sesuatu (doing something) atau berdemonstrasi atau memberi contoh gerakan
sesuatu. Guru olah raga memberi contoh bagaimana cara menggiring dan menendang bola
dengan baik, cara melakukan servis bola dalam permainan bola voli. Guru bioligi memberi
contoh bagaimana memindahkan anakan tanaman ke tempat yang lebih besar dan sebagainya.
Tindakan mengamati dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Terjadinya
transaksi di pasar terkait pelajsran ekonomi atau IPS (di SD) dapat dipelajari siswa secara
langsung, atau dapat juga siswa mengamati secara tidak langsung kegiatan simulasi yang
dilakukan teman sekelasnya, atau melihatnya dari televisi, dari film video dan internet, dan lain
sebagainya.
Dialog dengan diri sendiri merupakan kegiatan refleksi terhadap suatu konsep
pembelajaran yang baru saja di lakukannyaatau diamatinya. Hal ini terkait dengan apa yang
terjadi tatkala siswa belajar berpikir secara reflektif terhadap suatu topik pembelajaran. Dengan
melakukan apa yang di sebut dengan thinking about my own thinking ini, siswa mengembara ke
alam abstraknya, mencoba mengingat kembali konsep terkait dengan konsep yang dipelajarinya,
apa kegunaan konsep tersebut, apa keterkaitannya dengan bidang studi secara keseluruhan, dan
sebagainya. Ini adalah contoh suatau metakognisi. Dalam hubungan ini guru dapat menugasi
siswa dalam skala kecil berupa membuat jurnal pertemuan/perkuliahan, sedangkan dalam skala
yang lebih besar misalnya menyusun portopolio pembelajaran. Dalam kasus lain, ia dapat
menuliskan apa saja yang telah dipelajarinya, bagaimana cara ia belajar untuk memahami bahan
ajar, dan sebagainya.
Dialog dengan orang lain dapat berupa kegiatan membaca buku, mendengarkan orang
lain brceramah, atau sedang menjelaskan sesuatu.dialog semacam ini abstrak dan sifatnya
terbatas karena tidak ada umpan balik serta pertukaran pemikiran. Fink menyebutnya sebagai
partial dialogue.
Jenis yang lain adalah dialog dalam diskusi, terutama dalam diskusi kelompok kecil. Hal
ini lebih bersifat dinamiskarena ada pertukaran pikiran dan masukan umpan balik. Disini guru
dapat mengembangkan cara-cara yang lebih kreatif, misalnya ketika karya wisata mengajak
siswa berdialog dengan narasumber, guide atau dalam penerapan metode pembicara tamu siswa
dapat berdialog dengan pakar atau narasumber yang sengaja diundang ke sekolah.
3. Peran Guru dalam Pembelajaran Aktif
Peran fungsional guru dalam pembelajaran aktif yang utama adalah sebagai fasilisator.
Hal ini sesuai dengan teori kontruktivisme. Fasilisator adalah seseorang yang membantu peserta
didik untuk belajar dan memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam mencapai
tujuan pembelajaran. Sebagai fasilisator guru menyediakan fasilitas pedagogis, psikologis, dan
akademik bagi pengembangan dan pembangunan struktur kognitif siswanya. Dengan kata lain,
guru wajib dan harus menguasai teori pendidikan dan metode pembelajaran serta mumpuni
dalam penguasaan bahan ajar agar pembelajaran aktif bergulir dengan lancar. Itulah kewajiban
mutlak guru abad XXI ini.
• Seseorang yang mengetahui kekuatan dan kemampuan setiap anggota kelompok dan
membantunya untuk merasa nyaman dalam saling berbagi harapan, kepedulian, dan gagasan;
• Seseorang yang mendukung kelompok, memberikan partisipan rasa percaya diri dalam
berbagi dan mencoba gagasan-gagasan baru;
• Seseorang yang menyadari adanya beragam nilai dan kepekaan terhadap kebutuhan dan
minat yang berbeda dari setiap anggota kelompok. Perbedaan ini mungkin terkait jenis kelamin,
usia, ras, suku, status ekonomin, status sosial, dan lainnya;
Dalam hubungan ini, Tylee (2000) menyatakan tugas pokok sorang fasilitator atau peran
guru pada saat tatap muka di kelas terutama, adalah:
• Merencanakan pembelajaran
Dalam hubungannya dengan tugas menilai (mengases) siswa sebagai prasyarat awal agar
observasi terhadap siswa yang dinilai dapat secermat mungkin, guru harus berupaya akrab
dengan siswa. Dengan kata lain, ia mengenal dan mengetahui para siswanya dengan baik. Aspek
penting dari siswa yang harus dinilai antara lain lemauan belajar dan kecakapan siswa. Kedua hal
tersebut dapat membuka secara luas kesempatan belajar bagi siswa. Kemauan belajar siswa
terkait dengan nilai-nilai, sedangkan perasaan siswa terkait dengan proses pembelajaran. Setiap
kecakapan siswa dalam belajar mengacu kepada pemaham belajar dan keterampilan yang
diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran, sedangkan mengetahui sistem nilai
yang dipegang para siswa diperlukan untuk mengetahui hal-hal apakah yang penting dan
menarik minat mereka.
Terkait implementasi rancangan pembelajaran, hal utama yang harus diperhatikan oleh
guru adalah bagaimana cara mengelola kelas (classroom management) dengan sebaik-baiknya,
serta mengimplementasikan strategi pembelajaran yang mengakomodasikan berbagai gaya
belajar siswa. Dalam hal ini termasuk bagaimana mengembangkan iklim emosional dari kelas
dan kualitas interaksi antara guru dengan para siswa.
Tugas yang terakhir dari fasilitator adalah melakukan evaluasi terhadap proses
pembelajaran. Dalam hal ini, guru sebagai fasilitator harus merivisi hasil asesmen siswa.
Maksudnya hasil asesmen kelas harus menjadi bahan perbaikan bagi pembelajaran berikutnya.
Iklim emosi yang terbangun pada saat pembelajaran harus menjadi perhatian pokok dari evaluasi
yang berkesinambungan, sehingga masalah-masalah yang timbul dapat diidentifikasi dan
rancangan pembelajaran yang dikembangkan selanjutnya telah mengakomodasikan penyelesaian
masalah-masalah tersebut.
Dalam konteks fasilitator ini, minimal ditemukan ada delapan peran alternatif yang dapat
dimainkan guru sesuai dengan kondisi dan situasi pembelajaran (Northern Ireland
Curriculum,2000), yakni sebagai :
2. "Si Durna" (devil’s advocate), pengacara lancung, fasilitator yang secara sengaja
memposisikan dirinya berbeda pandangan dengan kelompok siswa, dengan tujuan agar situasi
diskusi lebih hidup dan muncul berbagai argumen dari siswa untuk mempertahankan
pendapatnya masing-masing.
3. Penyampai pandangan (declared interest), fasilitator yang pada suatu waktu yang tepat
dan memungkinkan juga menyampaikan juga pendapat pribadinya sehingga kelompok siswa
mengetahui pandangannya.
8. Pemain peran (in-role), fasilitator memainkan peran tertentu yang relevan dengan topik
diskusi (misalnya menjadi seorang kiai atau ustad, seorang pendeta, menjadi politikus, dalam
konteks peran ini fasilitator juga boleh menjadi karikaturis).
Untuk dapat memainkan berbagai peran tersebut seorang fasilitator harus menguasai
sejumlah kecakapan tertentu. Kecakapan tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
c. Kepekaan/empatim yaitu kecakapan untuk melihat masalah dari titik pandang peserta
didik. Memahami perasaannya, gagasan, dan nilai-nilai mereka serta lebih berfokus kepada
struktur kerja kelompok daripada kepada pribadi dan kompetensi siswa.
h. Menjadi model, yaitu kecakapan untuk menjadikan dirinya sebagai model bagi
kelompok.
Harrison (1998), dalam Tylee (2000) menghadirkan model SPACE bagi terciptanya
kondisi pembelajaran yang optimal. Pada prinsipnya, model yang harus dibangun guru tersebut
adalah membuat para siswanya mampu memanifestasikan hal-hal sebagai berikut:
• Self-affirmation, yaitu peserta didik harus memandang dirinya sendiri sebagai peserta
didik yang efektif, sedangkan tugas guru adalah memberikan masukan-masukan yang mampu
memperkuat pandangan tersebut.
• Aktif learning, yaitu siswa aktif selama kegiatan pembelajaran, dapat berupa secara fisik
melakukan sesuatu atau secara intelektual melakukan sesuatu (sebagai abstraksi dari peserta
didik yang bersifat reflektif).
• Collaborative, yaitu siswa mampu berkolaborasi satu sama lain dalam proses
pembelajaran dan tidak berpandangan bahwa belajar itu merupakan pengalaman terisolasi.
• Empowering, yaitu siswa mampu membentuk proses belajar, mengontrol apa yang
sudah dipelajarinya dan mampu mengontrol arah pembelajaran.
Berkaitan dengan hal ini, Clarke (2005) menyatakan bahwa fasilitator yang baik harus
memiliki karakteristik pribadi tertentu yang mampu mendorong anggota kelompok untuk
berpartisipasi. Karakteristik pribadi itu termasuk sikap rendah hati, murah hati, dan kesabaran
yang digabungkan dengan pemahaman, kesediaan menerima dan menyetujui (afirmasi). Tekni-
teknik yang sering dilaksanakan oleh seorang fasilitator yang baik, adalah sebagai berikut:
• Meminta anggota kelompok untuk saling berbagi informasi melalui paparan yang
menggunakan gambar-gambar, diagram atau bantuan media visual lain ini akan membantu
anggota yang lambat belajar.
• Membagi kelompok menjadi kelompok-kelompok kecil untuk mendorong keberanian
anggota yang pemalu atau bersikap tertutup untuk berpartisipasi.
• Memebrikan tugas khusus bagi peserta yang dominan sehingga ada ruang dan waktu
berpartisipasi bagi yang lain sambil menjaga agar setiap orang terlibat aktif.
• Menangani konflik dengan cara dan pendekatan yang sensitif, sehingga setiap
perbedaan yang ada selalu memiliki nilai dan dihargai`
The accelerated learning adalah pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari
pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan
memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier, menyarankan kepada guru agar dalam mengelola
kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic
dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat).
Auditory adalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan).
Visual artinya learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan
menggambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting
(belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).
Martinis Yamin Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, Jakarta, Gaung Persada Press,2004
Abdurrahman shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta, Raja Grafindo persada
2004