Anda di halaman 1dari 16

Nama : Muhammad Fadhli Abdillah

NIM : 11210163000011

Kelas : 1B Tadris Fisika

A. Teori Konstruktivisme

Teori konstruktivisme merupakan teori yang sudah tidak asing lagi bagi dunia pendidikan,
sebelum mengetahui lebih jauh tentang teori konstruktivisme alangkah lebih baiknya di ketahui
dulu konetruktivisme itu sendiri. Konstruktivisme berarti bersifat membangun. Dalam konteks
filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang
berbudaya modern.7 Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bahwa konstruktivisme merupakan
sebuah teori yang sifatnya membangun, membangun dari segi kemampuan, pemahaman, dalam
proses pembelajaran. Sebab dengan memiliki sifat membangun maka dapat diharapkan keaktifan
dari pada siswa akan meningkat kecerdasannya.

Merasa kurang lengkap untuk mengetahui dari pada teori konstruktivisme sebelum
mengetahui pendapat-pendapat dari pada pakar ahli, diantaranya yaitu : Hill, mengatakan,
sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa
yang di pelajari.8 Menurut hill konstruktivisme merupakan bagaimana menghasilkan sesuatu
dari apa yang dipelajarinya, dengan kata lain bahwa bagaimana memadukan sebuah
pembelajaran dengan melakukan atau mempraktikkan dalam kehidupannya supaya berguna
untuk kemaslahatan.

Shymansky mengatakan konstuktivisme adalah aktivitas yang aktif, di mana peserta didik
membina sendiri pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari, dan merupakan
proses menyelesaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada
dimilikinya.9 Berdasarkan pendapatnya di atas, maka dapat di pahami bahwa konsturktivisme
merupakan bagaimana mengaktifkan siswa dengan cara memberikan ruang yang seluas-luasnya
untuk memahami apa yang mereka telah pelajari dengan cara menerpakan konsep-konsep yang
di ketahuinya kemudian mempaktikkannya ke dalam kehidupan sehari-harinya. Berdasarkan
pendapat para ahli di atas, maka dapat dibuat sebuah kesimpulan yaitu konstruktivisme
merupakan sebuah teori yang memberikan keluasan berfikir kepada siswa dan memberikan siswa
di tuntut untuk bagaimana mempraktikkan teori yang sudah di ketahuinya dalam kehidupannya.

B. Asumsi-Asumsi Konstruktivisme

Kosntruksivisme menyoroti interaksi orang-orang dan situasi-situasi dalam penguasaan


dan penyempurnaan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan. Konstuktivisme memiliki
asumsi yang sama dengan teori kognitif sosial yang mengarahkan bahwa orang, prilaku, dan
lingkungan berinteraksi secara timbal balik. Adapun asumsi-asumsi dari konstruktivisme adalah,
pertama, manusia merupakan siswa aktif yang mengembangkan pengetahuan bagi diri mereka
sendiri. Di mana siswa diberikan keluasan untuk mengembangkan ilmu yang sudah didapatkan
tersebut, baik dengan melakukan latihan, melakukan eksperimen maupun berdiskusi sesama
siswa. Dengan hal seperti itu maka ilmu-ilmunya tersebut akan berkembang dan bertambah.
Kedua. Guru sebaiknya tidak mengajar dalam artian menyampaikan pelajaran dengan cara
tradisional kepada sejumlah siswa.

Guru seharusnya membangun situasisituasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat


terlibat secara aktif dengan materi pelajaran melalui pengolahan materi-materi dan interaksi
sosial.11 Maksudnya seorang pendidik atau guru dituntut untuk lebih aktif dan menarik dalam
menjelaskan, selain itu juga guru harus bisa menggunakan media dalam proses pembelajaran.
Jangan hanya menggunakan metode-metode yang sudah lama atau jaman dulu, seperti ceramah,
mencatat sampai habis, akan tetapi guru harus mengajar dengan cara bagaimana supaya siswa
harus di buat aktif dan masuk dalam pembelajaran tersebut.

Adapun aktivitas-aktivitas pembelajaran meliputi mengamati fenomenafenomena,


mengumpulkan data-data, merumuskan dan menguji hipotesis-hipotesis, dan bekerja sama
dengan orang lain. Kegiatan lainnya adalah mengajak siswa mengunjungi lokasi-lokasi di luar
ruangan kelas. Guru-guru dari berbagai disiplin ilmu diperlukan untuk merencanakan kurikulum
bersama-sama. Siswa perlu diarahkan untuk dapat mengatur diri sendiri dan berperan aktif dalam
pembelajaran mereka dengan menentukan tujuan-tujuan, memantau dan mengevaluasi kemajuan
mereka, dan bertindak melampaui standar-standar yang disyaratkan bagi mereka dengan
menelusuri hal-hal yang menjadi minat mereka.12

C. Perspektif-Perspektif Dalam Konstruktivisme

Pertama, konstruktivisme eksogeneus mengacu pada pemikiran bahwa penguasaan


pengetahuan merepresentasikan sebuah kosntruksi ulang dari strukturstruktur yang berbeda
dalam dunia eksternal. Pandangan ini mendasarkan pengaruh kuat dari dunia luar pada
konstruksi pengetahuan, seperti pengalaman-pengalaman, pengajaran dan pengamatan terhadap
model-model.

Kedua, konstruktivisme endogenus menekankan pada koordinasi tindakantindakan yang


sebelumnya, bukan secara langsung dari informasi lingkungan; karena itu, pengetahuan bukanlah
cerminan dari dunia luar yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman, pengajaran, atau
interaksi sosial. Pengetahuan berkembangmelalui aktifitas kognitif dari abstraksi dan mengikuti
sebuah rangkaian yang dapat diprediksikan secara umum.

Ketiga, konstruktivisme dialektikal. berpendapat bahwa pengetahuan tidak hanya dapat


diperoleh melalui sekolah akan tetapi bisa juga di dapatkan melalui saling berinteraksi sesama
teman, guru, tetangga dan bahkan lingkungan sekitar kita. Selain itu juga interpretasinya tidak
terikat dengan dunia luar. Bahkan pengetahuan atau pemahaman timbul akibat saling berlawanan
mental dari interaksi antara lingkungan sekitar dengan seseorang.
Dari ketiga pandang tersebut memiliki kelebihan masing-masing, seperti konstruktivisme
eksogeneus yaitu untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan seorang siswa terhadap ilmu
tertentu secara akurat dan terperinci. Kemudian konstruktivisme endogenus yaitu untuk
mengetahui sejauh mana penguasaan materi secara terstruktur mulai dari yang paling bawah
sampai dengan yang paling tinggi. Sedangkan konstruktivisme dialektikal digunakan ketika guru
atau pendidik ingin merencanakan itervensi-intervensi untuk mendorong pemikiran siswa dan
untuk mengarahkan penelitian untuk menemukan efektifitas dari pengaruh-pengaruh sosial
seperti paparan terhadap model-model dan kerja sama dengan teman sebaya.

Pendekatan kontruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:

1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.


2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya mampu membina pengetahuan mereka
secara mandiri.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling
memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara
aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan informasi yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan factor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini
berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau
sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman
pelajar untuk menarik nikmat pelajar.

Tokoh-Tokoh Kontruktivisme

I. Kontuktivisme John Dewey

Pembelajaran berbasis masalah menemukan akar intelektualnya pada penelitian John


Deweyv (Ibrahim & Nur,2004). Dalam demokrasi dan pendidikan Dewey menyampaikan
pandangan bahwa sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas
merupakan laboratorium untuk memecahkan masalah kehidupan nyata. Ilmu mendidik Dewey
menganjurkan pembelajar untuk mendorong pembelajar terlibat dalam proyek atau tugas
berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah intelektual dan social.

Dewey juga menyatakan bahwa pembelajaran di sekolah seharusnya lebih memilki manfaat
daripada abstraj dan pembelajaran yang memiiki manfaat terbaik dapat dilakukan oleh pengajar
dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan proyek yang menarik dan pilihan mereka
sendiri.

II. Kontuktivisme Piaget dan Vygotsky

Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan diatas pandangan kontruktivis kognitif


(Ibrahim dan Nur, 2004). Pandangan ini banyak didasarkan teori piaget. Piaget mengemukakan
bahwa pembelajar dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan
membangun pengetahuan mereka sendiri. Bagi piaget pengetahuan adalah kontruksi dari
kegiatan/tindakan seseorang (Suparno, 1997). Pengetahuan tidak bersifat statis tapi terus
berevolusi.

III. Kontuktivisme Lev Vygotsky

Vygotsky memberi tempat lebih ada aspek social


pembelajaran. Ia percaya bahwa interaksi social dengan orang lain mendorong terberntuknya ide
baru dan memperkaya perkembangan intelektual pembelajar. Implikasi dari pandangan Vygotsky
dalam pendidikan adalah bahwa pembelajran terjadi melalui interaksi social denga pembelajar
dan teman sejawat.
IV. Kontuktivisme Jerome Brune

Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan


psikologi belajar kognitif. Ia telah mengembangkan suatu
model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh yang disebut dengan belajar penemuan.
Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif
oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang lebih baik. Berusaha sendiri untuk
pemecahan masalah dan pengetahuan yang menyertainya, menhasilkan pengetahuan yang benar-
benar bermakna (Dahar, 1998).

Berikut model-model pembelajaran kontruktivisme, seperti discovery learning, reception


learning, assisted learning, active learning, the acclerated learning,ikuti uraian berikut ini:

A. Discovery Learning

Salah satu model pembelajaran kognitif yang paling berpengaruh adalah discovery
learning-nya Jerome Bruner (Slavin, 1994), yaitu siswa didorong untuk belajar dengan diri
mereka sendiri. Siswa belajar melalui aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru
mendorong siswa untuk mempunyai pengalaman-pengalaman dan menghubungkan pengalaman-
pengalaman tersebut untuk menemukan prinsip-prinsip bagi diri mereka sendiri.

Discovery learning telah banyak aplikasinya dalam dunia keilmuan, misalnya pada
beberapa museum sains ada beberapa silinder yang memiliki ukuran dan berat yang berbeda-
beda, beberapa ada yang ringan dan yang lain berat. Siswa didorong untuk mengamati secara
detail perbedaan-perbedaan silinder tersebut, di antaranya adalah menentukan kecepatan silinder
tersebut.

Discovery learning mempunyai beberapa keuntungan mempunyai keuntungan dalam


belajar, antara lain siswa memiliki motivasi dari dalam diri sendiri untuk menyelesaikan
pekerjaan sampai mereka menemukan jawaban-jawaban atas problem yang dihadapi mereka.
Selain itu siswa juga belajar untuk mandiri dalam memecahkan problem dan memiliki
keterampilan berpikir kritis, karena mereka harus menganalisis dan mengelola informasi.
B. Reception Learning

David Ausabel (Slavin 1994) memberikan kritik terhadap discovery learning. Dia
berargument bahwa siswa tidak selalu mengetahui apa yang penting atau relavan, dan beberapa
siswa membutuhkan motivasi eksternal untuk mempelajari apa yang diajarkan di sekolah.

Namun demikian, kendati peran guru dalam reception learning maupun discovery
learning berbeda, namun keduanya memiliki beberapa persamaan pandangan, antara lain:

1. Antara reception learning dan discovery learning, sama-sama membutuhkan keaktifan


siswa belajar.

2. Kedua pendekatan tersebut menekankan cara-cara bagaimana pengetahuan siswa yang


sudah ada dapat menjadi bagian dari pengetahuan baru.

3. Kedua pedekatan sama-sama mengasumsikan pengetahuan sebagai sesuatu yang dapat


berubah terus.

Ausabel menjelaskan sebuah alternatif model pembelajaran yang disebut reception


learning. Para penganut teori resepsi ini menyatakan bahwa guru mempunyai tugas untuk
menyusun situasi pembelajaran, memilih materi yang sesuai bagi siswa, kemudian
mempresentasikan dengan baik pelajaran yang dimulai dari umum ke yang spesifik. Inti
pendekatan reception lesrning adalah exspository teaching, yaitu perencanaan pembelajaran yang
sistematis terhadap informasi yang bermakna.

Pengajaran ekspositori berisi tiga prinsip tahapan pembelajaran, yaitu:

1. Tahap pertama, advance organizer. Secara umum belajar secara maksimal terjadi bila
ada potensi kesesuaian antara skema dimiliki siswa dengan materi atau informasi yang akan
dipelajarinya. Agar terjadi kesesuaian tersebut, Ausabel (Woolfolk, 1995) menyarankan sebuah
strategi yang disebut dengan advance organizer, yaitu sebuah statemen perkenalan yang
menghubungkan antara skema yang sudah dimiliki oleh siswa dengan informasi baru yang akan
dia pelajari. Fungsi dari advance organizer ini adalah memberi bimbingan untuk memahami
informari yang baru. Dengan kata lain, advance organizer ini dapat menjadi jembatan antara
meteri pelajaran atau informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa.
Pemberian advance organizer mempunyai tiga tujuan, yaitu memberi arahan bagi siswa untuk
mengetahui apa yang terpenting dari materi yang akan dipelajarinya; menghigh-light diantara
hubungan-hubungan yang akan dipelajari; dan memberikan penguatan terhadap pengetahuan
yang diperoleh atau dipelajari.

2. Tahap kedua, meyampaikan tugas-tugas belajar. Setelah pemberian advance organizer,


langkah berikutnya adalah menyampaikan persamaan dan perbedaan dengan contoh yang
sederhana. Untuk belajar sesuatu yang baru, siswa tidak harus melihat hanya persamaan antara
materi yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Lebih dari itu, siswa
juga perlu melihat perbedaannya pula. Dengan demikian, tidak terjadi kebingungan ketika siswa
mempelajari materi yang baru dengan pengetahuan yang sudah ada. Untuk membantu siswa
memahami persamaan dan perbedaan ini dapat digunakan berbagai cara, antara lain cara
ceramah, diskusi, film-film, atau tugas-tugas belajar.

3. Tahap ketiga, penguatan organisasi kognitif. Pada tahap ini, Ausabel menyatakan
bahwa guru mencoba untuk menambahkan informasi baru ke dalam informasi yang sudah
dimiliki oleh siswa pada awal pelajaran dimulai dengan membantu siswa untuk mengamati
bagaimana setiap detail dari informasi berkaitan dengan informasi yang lebih besar atau lebih
umum. Dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pemahamannya
tentang informasi apa yang baru mereka pelajari.

C. Assisted Learning

Assisted learning mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan kognitif
individu. Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan kognitif terjadi melalui interaksi dan
percakapan seorang anak dengan lingkungan di sekitarnya, baik dengan teman sebaya, orang
dewasa, atau orang lain dalam lingkungannya. Orang tersebut sebagai pembimbing atau guru
yang memberikan informasi dan dukungan penting yang dibutuhkan anak untuk menumbuhkan
intelektualitasnya. Orang dewasa yang ada di sekitar anak memberikan perhatian dan bimbingan
terhadap apa yang dilakukan, dikatakan, ataupun dipikirkan oleh anak, sehingga anak
mengetahui manakah yang benar dan manakah yang salah. Dengan demikian, seorang anak
"tidak sendirian" dalam menemukan dunianya sebagai bagian proses perkembangan kognitifnya.
Anak dapat melakukan konservasi dan klasifikasi dengan bantuan anggota keluarga, guru, atau
kelompok bermainnya. Pada umumnya bimbingan ini di komunikasikan melalui bahasa.

Jerome Bruner menyebut bantuan orang dewasa dalam proses belajar anak dengan istilah
scaffolding, yaitu sebuah dukungan untuk belajar dan memecahkan problem. Dukungan ini dapat
berupa isyarat-isyarat, peringatan-peringatan, dorongan, memecahkan problem dalam beberapa
tahap, memberikan contoh, atau segala sesuatu yang mendorong seorang siswa untuk tumbuh
dan menjadi pelajar yang mandiri dan memecahkan problem yang dihadapinya. Guru dapat
membantu belajar siswa dengan menunjukkan keterampilan-keterampilan, mengajak siswa
melalui tahap-tahap untuk menyelesaikan masalah, atau memberikan feedback terhadap hasil
kerja siswa, sehingga siswa mendapatkan masukan dari hasil kerjanya, dan selanjutnya dapat
digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dukuasainya.

Menurut Vygotsky, interaksi sosial dan bantuan belajar lebih dari sekedar metode
mengajar, keduanya merupakan sumber terjadinya proses-proses mental yang lebih tinggi seperti
misalnya memecahkan problem, mengalahkan memori dan perhatian, berpikir dengan simbol-
simbol. Dia mengasumsikan bahwa pandangan tentang fungsi mental sepatutnya dapat
diaplikasikan dalam kelompok seperti bentuk-bentuk aktivitas individual.
Dalam belajar dengan bantuan atau perantara ini, guru adalah seorang agen budaya yang
dengan bimbingan dan pengajarannya siswa dapat menginternalisasi dan menguasai
keterampilan yang membutuhkan fungsi kognitif yang lebih tinggi. Secara budaya, kemampuan
untuk menginternalisasikan ini berkaitan dengan usia dan tahap perkembangan kognitif.

Sementara secara teknis, scaffolding dalam belajar adalah membatu siswa pada awal
belajar untuk mencapai pemahaman dan keterampilan dan secara perlahan-lahan bantuan
tersebut dikurangi sampai akhirnya siswa dapat belajar sendiri serta dapat menemukan
pemecahan bagi problem atau tugas-tugas yang dihadapinya.

D. Active Learning

1. Pengertian Active Learning (Pembelajaran Aktif)

Active learning artinya pembelajaran aktif. Pembelajaran aktif secara sederhana


didefinisikan sebagai metode pengajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam proses
pembelajaran. Menurut Melvin L. Silberman, belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis
dari penyampaian informasi kepada siswa. Brlajar membutuhkan keterlibatan mental dan
tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa memerlukan sebagian
besarpekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah
dan menerapkan apa yang mereka pelajari (Silberman, 1996).

Menurut Silberman, cara belajar dengan cara mendengarkan akan lupa, dengan cara
mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat dan
mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan
melakukan akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan cara untuk menguasai
pelajaran yang terbagus adalah dengan mengerjakan.

Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning
menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang hampir dapat diterapkan untuk semua pelajaran.

2. Pembelajaran Aktif sebagai Induk Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran aktif mengkondisikan agar siswa selalu melakukan pengalaman belajar


yang bermakna dan senantiasa berpikir tentang apa yang dapat yang dapat dilakukannya selama
pembelajaran. Pembelajaran aktif melibatkan siswa/mahasiswa untu melakukan sesuatu dan
berpikir tentang sesuatu yang sedang dilakukannya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut,
kegiatan aktif individual siswa di rumah seperti mengerjakan PR oleh sementara ahli justru tidak
dimasukan dalam kelompok pengajaran ini karena pembelajaran aktif didefinisikan terkait
pembelajaran yang dilakukan di sekolah. Pembelajaran individual diluar sekolah dapat
digolongkan sebagai pembelajaran aktif jika ada pertanggungjawaban berupa presentasi di dalam
kelas seperti dalam pembelajaran berbasis masalah atau dalam pembelajaran berbasis proyek.
Konsep pembelajaran aktif berkembang setelah sejumlah institusi melakukan riset
tentang lamanya ingatan siswa terhadap materi pembelajaran terkait dengan metode
pembelajaran yang digunakan. Hasil riset dari National Training Laboratories di Bethel, Maine
(1954), Amerika Serikat menunjukkan bahwa dalam kelompok pembelajaran berbasis guru
mulai dari ceramah, tugas membaca, presentasi guru dengan audiovisual dan bahkan demonstrasi
oleh guru, siswa hanya dapat mengingat materi pembelajaran maksimal sebesar 30%. Dan
pembelajarab dengan metode diskusi yang tidak di dominasi oleh guru siswa dapat mengingat
sebanyak 50%. Jika para siswa diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu mereka dapat
mengingat 75%. Praktik pembelajaran belajar dengan cara mengajar (learning by teaching)
menyebabkan mereka mampu mengingat sebanyak 90% materi.

Menurut Charles C. Bonwell dan J.A. Eison (1991) seluruh bentuk pengajaran yang
berfokus pada siswa sebagai penanggung jawab pembelajaran adalah pembelajaran aktif. Jadi,
menurut kedua ahli tersebut, pembelajaran aktif mengacu kepada pembelajaran berbasis siswa.
Dalam hubungannya ini, Centre for Research on Learning and Teaching University of Michigan,
memberikan definisi yang lebih ketat lagi tentang pembelajaran aktif. Menurut lembaga tersebut,
pembelajaran aktif adalah suatu proses yang memberikan kesempatan kepada para siswa terlibat
dalam tugas-tugas pemikiran tingkat tinggi seperti menganalisis, melakukan sintesis dan
evaluasi.

Umumnya. Pembelajaran aktif individual diwujudkan dalam metode pemberian tugas


mandiri seperti menyusun karangan berupa cerpen, membuat puisi, membuat rangkuman, tugasc
membaca, membuat peta konsep, membuat diagram pohon, membuat resensi, meringkas,
menyusun karya ilmiah dan lain-lain, yang dapat dikerjakan siswa secara mandiri. Dalam
hubungan ini, kita akan sedikit membahas tentang pembelajaran aktif individual semacam ini.

Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa pembelajaran aktif lebih menekankan pada
pendekatan pembelajaran, dengan esensi mengaktifkan siswa dalam pembelajaran, yang
dilaksanakan dengan strategi pembelajaran berbasis siswa. Jumlha siswa dalam pembelajaran
aktif bebas, boleh perseorangan atau kelompok belajar, yang penting siswa harus aktif,
sedangkan manifestasinyadalam pembelajaran berkelompok dapat diwujudkan dengan metode
pembelajaran kolaboratif, pembelajaran kooporatif, pembelajaran berbasis masalah, dan
pembelajaran berbasis proyek. Oleh sebab itu, tidak ada sintaks khusus pembelajaran aktif,
bergantung pada metode yang dipilih lebih lanjut. Sintaks adalah nama lain dari urutan langkah-
langkah pembelajaran.

Terkait pembelajaran aktif, ada suatu hal yang patut dipahami berupa konsep yang
dikembangkan oleh L. Dee Fink. Menurut Fink (1999), pembelajaran aktif terdiri dari dua
komponen utama yakni, komponen pengalaman dan komponen dialog. Lebih lanjut komponen
pengalaman terdiri dari pengalaman melakukan (doing) dan pengalaman mengamati (observing),
sedangkan komponen dialog terdiri dari dialog dengan diri sendiri (dialogue with self) dan dialog
dengan orang lain (dialogue with others)
Dalam komponen melakukan (doing), siswa benar-benar melakukan sesuatu secara nyata
oleh dirinya sendiri, misalnya merancang dan melakukan eksperimen proses respirasi di sekolah,
meengarang cerpen atau puisi, membuat resensi, mengarang gurindam (dalam pembelajaran
bahasa indonesia), menyusun silsilah raja-raja Kesultanan Yogyakarta sejak perjanjian Giyanti
(sejarah), mendemonstrasikan bahwa kertas mengandung karbon (kimia), merancang dam
penampungan air (teknik), memimpin band sekolah (musik), presentasi oral (komunikasi), dan
sebagainya.

Dalam komponen mengamati (observing), siswa melihat dan mendengarkan ketika orang
lain melakukan sesuatu (doing something) atau berdemonstrasi atau memberi contoh gerakan
sesuatu. Guru olah raga memberi contoh bagaimana cara menggiring dan menendang bola
dengan baik, cara melakukan servis bola dalam permainan bola voli. Guru bioligi memberi
contoh bagaimana memindahkan anakan tanaman ke tempat yang lebih besar dan sebagainya.
Tindakan mengamati dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Terjadinya
transaksi di pasar terkait pelajsran ekonomi atau IPS (di SD) dapat dipelajari siswa secara
langsung, atau dapat juga siswa mengamati secara tidak langsung kegiatan simulasi yang
dilakukan teman sekelasnya, atau melihatnya dari televisi, dari film video dan internet, dan lain
sebagainya.

Dialog dengan diri sendiri merupakan kegiatan refleksi terhadap suatu konsep
pembelajaran yang baru saja di lakukannyaatau diamatinya. Hal ini terkait dengan apa yang
terjadi tatkala siswa belajar berpikir secara reflektif terhadap suatu topik pembelajaran. Dengan
melakukan apa yang di sebut dengan thinking about my own thinking ini, siswa mengembara ke
alam abstraknya, mencoba mengingat kembali konsep terkait dengan konsep yang dipelajarinya,
apa kegunaan konsep tersebut, apa keterkaitannya dengan bidang studi secara keseluruhan, dan
sebagainya. Ini adalah contoh suatau metakognisi. Dalam hubungan ini guru dapat menugasi
siswa dalam skala kecil berupa membuat jurnal pertemuan/perkuliahan, sedangkan dalam skala
yang lebih besar misalnya menyusun portopolio pembelajaran. Dalam kasus lain, ia dapat
menuliskan apa saja yang telah dipelajarinya, bagaimana cara ia belajar untuk memahami bahan
ajar, dan sebagainya.

Dialog dengan orang lain dapat berupa kegiatan membaca buku, mendengarkan orang
lain brceramah, atau sedang menjelaskan sesuatu.dialog semacam ini abstrak dan sifatnya
terbatas karena tidak ada umpan balik serta pertukaran pemikiran. Fink menyebutnya sebagai
partial dialogue.

Jenis yang lain adalah dialog dalam diskusi, terutama dalam diskusi kelompok kecil. Hal
ini lebih bersifat dinamiskarena ada pertukaran pikiran dan masukan umpan balik. Disini guru
dapat mengembangkan cara-cara yang lebih kreatif, misalnya ketika karya wisata mengajak
siswa berdialog dengan narasumber, guide atau dalam penerapan metode pembicara tamu siswa
dapat berdialog dengan pakar atau narasumber yang sengaja diundang ke sekolah.
3. Peran Guru dalam Pembelajaran Aktif

Peran fungsional guru dalam pembelajaran aktif yang utama adalah sebagai fasilisator.
Hal ini sesuai dengan teori kontruktivisme. Fasilisator adalah seseorang yang membantu peserta
didik untuk belajar dan memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam mencapai
tujuan pembelajaran. Sebagai fasilisator guru menyediakan fasilitas pedagogis, psikologis, dan
akademik bagi pengembangan dan pembangunan struktur kognitif siswanya. Dengan kata lain,
guru wajib dan harus menguasai teori pendidikan dan metode pembelajaran serta mumpuni
dalam penguasaan bahan ajar agar pembelajaran aktif bergulir dengan lancar. Itulah kewajiban
mutlak guru abad XXI ini.

Fasilitasi dalam pembelajaran menggambarkan suatu proses dalam membawa seluruh


seluruh anggota kelompok untuk berpartisipasi dalam pembelajaran. Pendekatan ini berasumsi
bahwa setiap peserta didik memiliki sikap unik yang bernilai untuk saling dipertukarkan. Prinsip
yang harus dipegang disini adalah "Tanpa kontribusi dan kemampuan berbagai pengetahuan dari
setiap anggota kelompok, derajat pemahaman dan kemampuan merespons kelompok terhadap
masalah akan berkurang".

• Seseorang yang mengetahui kekuatan dan kemampuan setiap anggota kelompok dan
membantunya untuk merasa nyaman dalam saling berbagi harapan, kepedulian, dan gagasan;

• Seseorang yang mendukung kelompok, memberikan partisipan rasa percaya diri dalam
berbagi dan mencoba gagasan-gagasan baru;

• Seseorang yang menyadari adanya beragam nilai dan kepekaan terhadap kebutuhan dan
minat yang berbeda dari setiap anggota kelompok. Perbedaan ini mungkin terkait jenis kelamin,
usia, ras, suku, status ekonomin, status sosial, dan lainnya;

• Seseorang yang memimpin dengan keteladanan melalui sikap, pembicaraan,


pendekatan, dan tindakan.

Dalam hubungan ini, Tylee (2000) menyatakan tugas pokok sorang fasilitator atau peran
guru pada saat tatap muka di kelas terutama, adalah:

• Menilai para siswa;

• Merencanakan pembelajaran

• Menimplementasikan rancangan pembelajaran; dan

• Melaksanakan evaluasi proses pembelajaran.

Dalam hubungannya dengan tugas menilai (mengases) siswa sebagai prasyarat awal agar
observasi terhadap siswa yang dinilai dapat secermat mungkin, guru harus berupaya akrab
dengan siswa. Dengan kata lain, ia mengenal dan mengetahui para siswanya dengan baik. Aspek
penting dari siswa yang harus dinilai antara lain lemauan belajar dan kecakapan siswa. Kedua hal
tersebut dapat membuka secara luas kesempatan belajar bagi siswa. Kemauan belajar siswa
terkait dengan nilai-nilai, sedangkan perasaan siswa terkait dengan proses pembelajaran. Setiap
kecakapan siswa dalam belajar mengacu kepada pemaham belajar dan keterampilan yang
diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran, sedangkan mengetahui sistem nilai
yang dipegang para siswa diperlukan untuk mengetahui hal-hal apakah yang penting dan
menarik minat mereka.

Tugas fasilitator yang kedua, yakni menyusun rencana pembelajran, Rencana


pembelajaran dapat disusun lebih baik oleh para guru jika para guru telah memahami apa yang
akan dinilai dari para siswanya. Selain itu, rancangan pembelajaran juga harus dibuat sesuai
dengan kebutuhan dan minat para siswa. Dari hal tersebut, para guru dapat menemukan output
pembelajaran sebagai hasil dari saling menunjang antara isi bahan ajar, teori personal tentang
pengajaran dan pembelajaran yang dianut oleh guru, serta hasil penilaian guru terhadap
kebutuhan dan minat siswa.

Terkait implementasi rancangan pembelajaran, hal utama yang harus diperhatikan oleh
guru adalah bagaimana cara mengelola kelas (classroom management) dengan sebaik-baiknya,
serta mengimplementasikan strategi pembelajaran yang mengakomodasikan berbagai gaya
belajar siswa. Dalam hal ini termasuk bagaimana mengembangkan iklim emosional dari kelas
dan kualitas interaksi antara guru dengan para siswa.

Tugas yang terakhir dari fasilitator adalah melakukan evaluasi terhadap proses
pembelajaran. Dalam hal ini, guru sebagai fasilitator harus merivisi hasil asesmen siswa.
Maksudnya hasil asesmen kelas harus menjadi bahan perbaikan bagi pembelajaran berikutnya.
Iklim emosi yang terbangun pada saat pembelajaran harus menjadi perhatian pokok dari evaluasi
yang berkesinambungan, sehingga masalah-masalah yang timbul dapat diidentifikasi dan
rancangan pembelajaran yang dikembangkan selanjutnya telah mengakomodasikan penyelesaian
masalah-masalah tersebut.

Dalam konteks fasilitator ini, minimal ditemukan ada delapan peran alternatif yang dapat
dimainkan guru sesuai dengan kondisi dan situasi pembelajaran (Northern Ireland
Curriculum,2000), yakni sebagai :

1. Fasilitator netral (neutral facilitator), fasilitator yang membuat kelompok belajar


mampu mengeksplorasikan berbagai pandangan siswa tanpa menyatakan pendapatnya sendiri;

2. "Si Durna" (devil’s advocate), pengacara lancung, fasilitator yang secara sengaja
memposisikan dirinya berbeda pandangan dengan kelompok siswa, dengan tujuan agar situasi
diskusi lebih hidup dan muncul berbagai argumen dari siswa untuk mempertahankan
pendapatnya masing-masing.
3. Penyampai pandangan (declared interest), fasilitator yang pada suatu waktu yang tepat
dan memungkinkan juga menyampaikan juga pendapat pribadinya sehingga kelompok siswa
mengetahui pandangannya.

4. Sekutu (ally), fasilitator mendukung pandangan siswa tertentu, biasanya mendukung


sebagian kecil anggota kelompok atau subkelompok yang menjadi minoritas dalam kelompok.

5. Pemberi tahu pandangan resmi (official view), fasilitator memberitahukan kepada


anggota kelompok, pandangan dari organisasi resmi atau aturan dan hukum-hukum tentang isu
terkait.

6. Penantang (challenger), fasilitator melalui sejumlah pertanyaan, memberikan tantangan


kepada siswa untuk mengekspresikan pendapatnya dan mendorong siswa untuk berani
menegaskan posisi pandangannya;

7. Provokator (provokator), fasilitator membawa argumen, pandangan dan informasi yang


diketahuinya untuk memprovokasi kelas bagi hadirnya diskusi yang lebih bergairah, serta
mempresentasikan argumen, pandangan, dan informasinya tersebut di depan kelas dengan penuh
keyakinan;

8. Pemain peran (in-role), fasilitator memainkan peran tertentu yang relevan dengan topik
diskusi (misalnya menjadi seorang kiai atau ustad, seorang pendeta, menjadi politikus, dalam
konteks peran ini fasilitator juga boleh menjadi karikaturis).

Untuk dapat memainkan berbagai peran tersebut seorang fasilitator harus menguasai
sejumlah kecakapan tertentu. Kecakapan tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

a. Kecakapan mendengar, yaitu seorang fasilitator harus mampu mendengarkan dengan


baik dan hati-hati, dan secara kreatif memungut aspek-aspek positif dari suatu masalah.

b. Kecakapan mengamati, yaitu kemampuan untuk melihat apa yang sesungguhnya


terjadi serta memantau pelaksanaan kerja kelompok secara objektif.

c. Kepekaan/empatim yaitu kecakapan untuk melihat masalah dari titik pandang peserta
didik. Memahami perasaannya, gagasan, dan nilai-nilai mereka serta lebih berfokus kepada
struktur kerja kelompok daripada kepada pribadi dan kompetensi siswa.

d. Mendiagnosa, yaitu kecakapan untuk mendefinisikan masalah dan memilih intervensi


serta tindakan bagi penyelesaian masalah.

e. Mendukun/mendorong yaitu kecakapan untuk menyediakan indikator baik verbal


maupun nonverbal untuk memberikan dorongan, menyetujui, melakukan apresiasi, dan
menyatakan kepedulian. Hal semacam ini diperlukan untuk membantukelompok dalam mencari
penyelesaian masalah.
f. Menantang, yaitu kecakapan untuk melakukan konfrontasi menyatakan
ketidaksetujuan, atau memberhentikan proses yang menyimpang dari tujuan tanpa bertindak
kasar.

g. Keterbukaan, yaitu kecakapan untuk mengundang adanya dialog, menerima umpan


balik dan kesiapan dalam mengamati sikap, nilai-nilai, dan gagasan setiap peserta didik, serta
kemampuan mengubah sikap, nilai, dan ide milik peserta didik tersebut jika diperlukan.

h. Menjadi model, yaitu kecakapan untuk menjadikan dirinya sebagai model bagi
kelompok.

Sebagai seorang fasilitator, harus mampu membangun lingkungan pembelajaran yang


kondusif bagi terselanggaranya pembelajaran aktif yang baik.

Harrison (1998), dalam Tylee (2000) menghadirkan model SPACE bagi terciptanya
kondisi pembelajaran yang optimal. Pada prinsipnya, model yang harus dibangun guru tersebut
adalah membuat para siswanya mampu memanifestasikan hal-hal sebagai berikut:

• Self-affirmation, yaitu peserta didik harus memandang dirinya sendiri sebagai peserta
didik yang efektif, sedangkan tugas guru adalah memberikan masukan-masukan yang mampu
memperkuat pandangan tersebut.

• Personal meaning, yaitu siswa mampu menemukan makna pembelajaran, artinya


pembelajaran relevan dengan kebutuhan dirinya.

• Aktif learning, yaitu siswa aktif selama kegiatan pembelajaran, dapat berupa secara fisik
melakukan sesuatu atau secara intelektual melakukan sesuatu (sebagai abstraksi dari peserta
didik yang bersifat reflektif).

• Collaborative, yaitu siswa mampu berkolaborasi satu sama lain dalam proses
pembelajaran dan tidak berpandangan bahwa belajar itu merupakan pengalaman terisolasi.

• Empowering, yaitu siswa mampu membentuk proses belajar, mengontrol apa yang
sudah dipelajarinya dan mampu mengontrol arah pembelajaran.

Berkaitan dengan hal ini, Clarke (2005) menyatakan bahwa fasilitator yang baik harus
memiliki karakteristik pribadi tertentu yang mampu mendorong anggota kelompok untuk
berpartisipasi. Karakteristik pribadi itu termasuk sikap rendah hati, murah hati, dan kesabaran
yang digabungkan dengan pemahaman, kesediaan menerima dan menyetujui (afirmasi). Tekni-
teknik yang sering dilaksanakan oleh seorang fasilitator yang baik, adalah sebagai berikut:

• Meminta anggota kelompok untuk saling berbagi informasi melalui paparan yang
menggunakan gambar-gambar, diagram atau bantuan media visual lain ini akan membantu
anggota yang lambat belajar.
• Membagi kelompok menjadi kelompok-kelompok kecil untuk mendorong keberanian
anggota yang pemalu atau bersikap tertutup untuk berpartisipasi.

• Menggunakan diskusi kelompok dan kegiatan kelompok yang menyediakan kesempatan


bagi peserta yang lambat belajar untuk aktif terlibat dalam proses pembelajaran.

• Meminta kelompok untuk menyetujui aturan-aturan dasar permainan seperti tidak


melakukan interupsi saat anggota lain sedang berbicara, menghargai pandangan yang berbeda,
serta menyepakati keputusan yang telah disepakati oleh sebagian besar anggota kelompok.

• Memebrikan tugas khusus bagi peserta yang dominan sehingga ada ruang dan waktu
berpartisipasi bagi yang lain sambil menjaga agar setiap orang terlibat aktif.

• Menangani konflik dengan cara dan pendekatan yang sensitif, sehingga setiap
perbedaan yang ada selalu memiliki nilai dan dihargai`

E. The Accelerated Learning

The accelerated learning adalah pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari
pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan
memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier, menyarankan kepada guru agar dalam mengelola
kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic
dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat).
Auditory adalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan).
Visual artinya learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan
menggambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting
(belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).

Bobbi De Porter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk


belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normaldan dibarengi
kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai
persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan
kesehatan emosional. Namun, sumua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman
belajar yang efektif (DePorter, Hemacki, 2000).
DAFTAR PUSTAKA

Pieget, Psychology and Epistemology, New York, 1971

Paul Soeparno, Filsafat konstruktivisme, Yogyakarta, Kanisius, 1997

Martinis Yamin Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, Jakarta, Gaung Persada Press,2004

Abdurrahman shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta, Raja Grafindo persada
2004

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung, Remaja


RosdaKarya,1999

Enco Mulyasa, Implementasi Kurikulum 2004, Bandung, Remaja Rosda Karya.

Melvin L. Silbermen, Avtive Learning, Bandung, Nusa Media

Anda mungkin juga menyukai