Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Mioma uteri adalah suatu tumor jinak yang tumbuh dalam otot uterus.
Biasa juga disebut fibrimioma uteri, leiomioma uteri atau uterine fibroid. Angka
kejadian mioma uteri paling sering terjadi pada perempuan usia reproduktif, yaitu
sekitar 20%-25% dengan faktor yang tidak diketahui secara pasti. Kejadian lebih
tinggi pada usia 35 tahun. Tingginya kejadian mioma uteri antara usia 35-50
tahun, menunjukkan adanya hubungan mioma uteri dengan estrogen. Insiden
mioma uteri 3-9 kali lebih banyak pada ras kulit berwarna dibandingkan dengan
ras kulit putih. Selama 5 dekade terakhir, ditemukan 50% kasus mioma uteri
terjadi pada ras kulit berwarna.11
Sebuah penelitian di AS dari perempuan yang dipilih secara acak usia 35-
49 tahun, kejadian mioma uteri pada ras Afrika-Amerika sebanyak 60% pada usia
35 tahun dan >80% pada usia 50 tahun. Pada ras kaukasia angka kejadian
menunjukkan 40% pada usia 35 tahun dan hampir 70% pada usia 50 tahun. Di
Indonesia angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,39%-11,87% dari semua
pasien ginekologi yang dirawat.8
Pasien dengan mioma uteri seringkali asimtomatik, namun gejala yang
mungkin ditimbulkan sangat bervariasi seperti metroragia, nyeri, menoragia,
hingga fertilitas. Penyulit yang ditimbulkan dari asimtomatik mioma uteri adalah
seringkali menyebabkan gejala yang ditimbulkan dari organ sekitarnya (tuba,
ovarium, dan usus) menjadi terabaikan. Masalah lain terkait dengan asimtomatik
mioma uteri, yaitu mengabaikan pemeriksaan lanjutan dari spesimen hasil
enukleasi atau histerektomi, sehingga miosarkoma menjadi tidak dikenali.
Perdarahan hebat yang disebabkan oleh mioma uteri merupakan indikasi utama
Histerektomi di Amerika Serikat.11

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Mioma uteri merupakan tumor jinak monoklonal dari sel-sel otot polos
yang ditemukan pada rahim manusia. Tumor ini berbatas tegas dan terdiri dari sel-
sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid, dan kolagen. Mioma uteri
berbentuk padat karena jaringan ikat dan otot rahimnya lebih dominan. Mioma
berwarna lebih pucat, relatif bulat, kenyal, berdinding licin, dan apabila dibelah
bagian dalamnya akan menonjol keluar sehingga mengesankan bahwa permukaan
luarnya adalah kapsul.11

2.2 EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian mioma uteri paling sering terjadi pada perempuan usia
reproduktif, yaitu sekitar 20%-25% dengan faktor yang tidak diketahui secara
pasti. Kejadian lebih tinggi pada usia 35 tahun. Tingginya kejadian mioma uteri
antara usia 35-50 tahun, menunjukkan adanya hubungan mioma uteri dengan
estrogen. Insiden mioma uteri 3-9 kali lebih banyak pada ras kulit berwarna
dibandingkan dengan ras kulit putih. Selama 5 dekade terakhir, ditemukan 50%
kasus mioma uteri terjadi pada ras kulit berwarna.11 Sebuah penelitian di AS dari
perempuan yang dipilih secara acak usia 35-49 tahun, kejadian mioma uteri pada
ras Arfika-Amerika sebanyak 60% pada usia 35 tahun dan >80% pada usia 50
tahun. Pada ras kaukasia angka kejadian menunjukkan 40% pada usia 35 tahun
dan hampir 70% pada usia 50 tahun. Di Indonesia angka kejadian mioma uteri
ditemukan 2,39%-11,87% dari semua pasien ginekologi yang dirawat.8

2.3 ETIOLOGI
Etiologi pasti penyebab mioma uteri belum diketahui, dan diduga
merupakan penyakit multiaktorial. Beberapa faktor yang diduga sebagai faktor
predisposisi terjadinya mioma uteri, yaitu:

2
2.3.1. Pengaruh Hormonal
a. Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat pertumbuhan
tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen. Mioma
uteriakan mengecil pada saat menopause dan pada pengangkatan ovarium.
Mioma uteri banyak ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium dan
wanita dengan sterilitas. Selama fase sekretorik, siklus menstruasi dan
kehamilan, jumlah reseptor estrogen di miometrium normal berkurang. Pada
mioma reseptor estrogen dapat ditemukan sepanjang siklus menstruasi, tetapi
ekskresi reseptor tersebut tertekan selama kehamilan.
b. Progesteron
Reseptor progesteron terdapat di miometrium. Pada mioma reseptor ditemukan
sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakan antagonis
natural dari estrogen. Progesteron menghambat pertumbuhan mioma dengan
dua cara yaitu: Mengaktifkan 17-Beta hidroxydesidrogenase dan menurunkan
jumlah reseptor estrogen pada mioma.
c. Hormon Pertumbuhan
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormon yang
mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa, terlihat pada periode ini
memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari mioma selama kehamilan
mungkin merupakan hasil dari aksi sinergistik antara hormon pertumbuhan dan
estrogen.2

2.3.2. Faktor Predisposisi Mioma Uteri


a. Umur
Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi antara usia 35-50 tahun yaitu
mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia dibawah 20 tahun.
Sedangkan pada usia menopause hampir tidak pernah ditemukan. Pada usia
sebelum menarche kadar estrogen rendah, dan meningkat pada usia reproduksi,
serta akan turun pada usia menopause. Pada wanita menopause mioma uteri
ditemukan sebesar 10%.

3
b. Riwayat Keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma uteri
mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan
dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri.10
c. Obesitas
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin
berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim
aromatase di jaringan lemak.2 Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen
tubuh, dimana hal ini dapat menerangkan hubungannya dengan peningkatan
prevalensi dan pertumbuhan mioma uteri.10
d. Paritas
Wanita yang sering melahirkan lebih sedikit kemungkinannya untuk terjadinya
perkembangan mioma ini dibandingkan wanita yang tidak pernah hamil atau
satu kali hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada
wanita yang tidak pernah hamil atau hanya hamil satu kali.
e. Kehamilan
Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah
dilakukan ditemukan sebesar 0,3%-7,2% selama kehamilan. Kehamilan dapat
mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar estrogen dalam kehamilan
dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus. Kedua keadaan ini ada
kemungkinan dapat mempercepat pembesaran mioma uteri. Kehamilan dapat
juga mengurangi resiko mioma karena pada kehamilan hormon progesteron
lebih dominan.9

2.4 KLASIFIKASI

4
Mioma di uterus dapat berasal dari servik uteri (1-3%) dan selebihnya
adalah dari korpus uteri. Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah
pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi 4 jenis antara lain:
a. Mioma Submukosa
Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus.
Jenis ini dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering memberikan
keluhan gangguan perdarahan. Mioma jenis lain meskipun dengan ukuran
besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma
submukosa meski berukuran kecil sering memberikan keluhan gangguan
perdarahan.
Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dengan tindakan kuretase,
ditemukan benjolan (currete bump) dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat
diketahui posisi tangkai tumor. Tumor jenis ini sering mengalami infeksi,
terutama pada mioma submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata
adalah jenis mioma submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat
keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal dengan nama mioma geburt atau
mioma yang dilahirkan, yang mudah mengalami torsi, nekrosis, infeksi,
ulserasi, dan infark. Pada beberapa kasus penderita akan mengalami anemia
dan sepsis karena proses tersebut.

5
b. Mioma Intramural
Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Karena pertumbuhan
tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk simpai yang
mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai banyak mioma,
maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol dengan konsistensi
yang padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam
pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih ke atas,
sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.
c. Mioma Subserosa
Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada
permukaan uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh di
antara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.
d. Mioma Intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke
ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus
sehingga disebut wondering/ parasitic fibroid. Jarang sekali ditemukan satu
macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada serviks dapat menonjol ke
dalam satu saluran servik sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan
sabit. Apabila mioma dibelah maka akan tampak bahwa mioma terdiri dari
berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun sebagai kumparan (whorle
like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang
terdesak karena pertumbuhan sarang mioma ini.12

Gambar 2.3 Klasifikasi mioma uteri

6
2.5 DIAGNOSIS BANDING
a. Kista ovarium
b. Adenomiosis
b. Neoplasma ovarium

2.6 DIAGNOSIS
2.6.1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditemukan antara lain:
a. Faktor-faktor risiko terjadinya mioma uteri, seperti:
1) Umur
2) Menarche dini (<10 tahun)
3) Ras
4) Riwayat keluarga
5) Kehamilan
6) Kebiasaan merokok
b. Gejala dan tanda, seperti:
Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu. Gejala yang timbul
sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini berada, besarnya tumor,
perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala yang mungkin timbul yaitu:
1) Perdarahan abnormal yaitu dapat berupa hipermenore, menoragia dan dapat
juga terjadi metroragia merupakan yang paling banyak terjadi. Beberapa
faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini, antara lain adalah:
 Pengaruh ovarium sehingga terjadilah hyperplasia endometrium sampai
adenokarsinoma endometrium.
 Permukaan endometrium yang lebih luas dari pada biasa.
 Atrofi endometrium di atas mioma submukosum.
 Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang
mioma di antara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit
pembuluh darah yang melaluinya dengan baik.

7
2) Rasa nyeri yang mungkin timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang
mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada mioma
ubmukosum yang akan dilahirkan, dapat pula pertumbuhannya
menyempitkan kanalis servikalis sehingga menyebabkan dismenore. Namun
gejala-gejala tersebut bukanlah gejala khas pada mioma uteri.

3) Gejala dan tanda penekanan (Pressure Effects) yang tergantung pada besar
dan tempat mioma uteri. Gejala yang timbul dapat berupa poliuri, retention
urine, obstipasi serta edema tungkai dan nyeri panggul.
4) Pada penderita dengan uterus fibroid tidak dapat dipastikan apakah akan
mempengaruhi tingkat kesuburan atau tidak. Fibroid hanya akan
mempengaruhi fertilitas hanya berkisar 2-3% kasus. Seberapa besar pengaruh
fibroid terhadap kehamilan atau kejadian abortus tergantung dari luasnya
fibroid yang menyebabkab distorsi dinding uterus. Dengan adanya fibroid
akan mencegah proses implantasi pada dinding uterus.14

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan abdomen uterus yang membesar dapat dipalpasi pada
abdomen. Tumor teraba sebagai nodul ireguler dan tetap, area perlunakan
memberi kesan adanya perubahan-perubahan degeneratif. Mioma lebih terpalpasi
pada abdomen selama kehamilan. Perlunakan pada abdomen yang disertai nyeri
lepas dapat disebabkan oleh perdarahan intraperitoneal dari ruptur vena pada
permukaan tumor.
Pada pemeriksaan pelvis, serviks biasanya normal. Namun pada keadaan
tertentu, mioma submukosa yang bertangkai dapat mengawali dilatasi serviks dan
terlihat pada osteum servikalis. Kalau serviks digerakkan, seluruh massa yang
padat bergerak. Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual
rutin uterus. Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur
uterus oleh satu atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan
bahwa massa seperti ini adalah bagian dari uterus. Pada kasus yang lain
pembesaran yang licin mungkin disebabkan oleh kehamilan atau massa ovarium.

8
Mioma subserosum dapat mempunyai tangkai yang berhubungan dengan
uterus. Mioma intramural akan menyebabkan kavum uteri menjadi luas, yang
ditegakkan dengan pemeriksaan menggunakan sonde uterus. Mioma submukosum
kadang- kala dapat teraba dengan jari yang masuk kedalam kanalis servikalis, dan
terasanya benjolan pada pada permukaan kavum uteri.6

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan
perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-
kadang menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan
polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal
diduga akibat penekanan mioma terhadap ureter yang menyebabkan
peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan
eritropoietin ginjal.14
b. Imaging
1) USG ( Ultrasonografi )
Untuk menghindari kesalahan sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG
pada wanita dengan gangguan perdarahan atau dengan nyeri perut bawah
yang hebat. Pemeriksaan transvaginal sonography dapat dilakukan untuk
lebih memastikan gambaran uterus fibroid. Untuk lebih memperjelas
pemeriksaan terhadap dinding dalam uterus dapat dilakukan dengan
sonohisterography yaitu dengan mengisi cavum uteri dengan larutan salin
selama pemeriksaan. Uterus fibroid ini biasa didiagnosa banding dengan
adenomiosis.
Pada adenomiosis akan menginfiltrasi lapisan dinding uterus yang akan
menyebabkan dinding uterus menebal dan terjadi pembesaran uterus. Dari
pemeriksaan USG akan tampak sebagai penebalan dinding uterus yang
homogen, sementara fibroid dilihat sebagai area bula dengan batas tegas.
Adenomiosis merupakan proses yang difus sehingga biasanya pengelolaan
dilakukan histerektomi.4

9
2) Histeroskopi
Histeroskopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri submukosa, jika
mioma kecil serta bertangkai. dapat diangkat.4
3) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI sangat akurat dalam menggambarkan jumlah dan ukuran mioma tetapi
jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap berbatas
tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal. MRI dapat mendeteksi
lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma.4

2.7 TATALAKSANA
Sebanyak 55% dari semua kasus mioma uteri tidak membutuhkan suatu
pengobatan dalam bentuk apa pun, terutama apabila mioma itu masih kecil dan
tidak menimbulkan gangguan. Walaupun demikian mioma uteri memerlukan
pemantauan setiap 3-6 bulan. Tatalaksana mioma uteri harus memperhatikan usia,
paritas, kehamilan, konservasi fungsi reproduksi, keadaan umum, gejala yang
ditimbulkan, lokasi, dan ukuran tumor. Bila kondisi pasien sangat buruk perlu
dilakukan perbaikan nutrisi, suplementasi zat esensial, maupun transfusi. Pada
keadaan gawat darurat akibat infeksi atau gejala abdomen akut, perlu disiapkan
tindakan bedah cito untuk menyelamatkan pasien.11

2.7.1 Terapi Hormonal


Saat ini pemakaian Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis
memberikan hasil yang baik dalam memperbaiki gejala klinis mioma uteri.
Tujuan pemberian GnRH agonis adalah mengurangi ukuran mioma dengan jalan
mengurangi produksi estrogen dari ovarium. Pemberian GnRH agonis sebelum
dilakukan tindakan pembedahan akan mengurangi vaskularisasi pada tumor
sehingga akan memudahkan tindakan pembedahan. Terapi hormonal yang lainnya
seperti kontrasepsi oral dan preparat progesteron akan mengurangi gejala
pendarahan tetapi tidak mengurangi ukuran mioma uteri.6

2.7.2 Terapi Pembedahan

10
Indikasi terapi bedah untuk mioma uteri menurut American College of
obstetricians and Gyneclogist (ACOG) dan American Society of Reproductive
Medicine (ASRM) adalah:
a. Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif.
b. Sangkaan adanya keganasan.
c. Pertumbuhan mioma pada masa menopause.
d. Infertilitas kerana ganggaun pada cavum uteri maupun kerana oklusi tuba.
e. Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu.
f. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius.
g. Anemia akibat perdarahan.6
Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan
uterus. Miomektomi ini dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan
fungsi reproduksinya dan tidak ingin dilakukan histerektomi. Tindakan ini
dapat dikerjakan misalnya pada mioma submukosum dengan cara ekstirpasi
lewat vagina. Apabila miomektomi ini dikerjakan karena keinginan
memperoleh anak, maka kemungkinan akan terjadi kehamilan adalah 30-
50%.11
Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi
maupun dengan laparoskopi. Pada laparotomi, dilakukan insisi pada dinding
abdomen untuk mengangkat mioma dari uterus. Keunggulan melakukan
laparotomi adalah lapangan pandang operasi yang lebih luas sehingga
penanganan terhadap perdarahan yang mungkin timbul pada pembedahan
miomektomi dapat ditangani dengan segera. Namun pada miomektomi dengan
laparotomi resiko terjadi perlengketan lebih besar, sehingga akan
mempengaruhi faktor fertilitas pada pasien, disamping masa penyembuhan
paska operasi lebih lama, sekitar 4-6 minggu.
Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan terhadap mioma
submukosum yang terletak pada kavum uteri. Keunggulan tehnik ini adalah
masa penyembuhan paska operasi sekitar 2 hari. Komplikasi yang serius jarang

11
terjadi namun dapat timbul perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan
elektrolit, dan perdarahan.
Miomamektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi.
Mioma yang bertangkai diluar kavum uteri dapat diangkat dengan mudah
secara laparoskopi. Mioma subserosum yang terletak didaerah permukaan
uterus juga dapat diangkat dengan tehnik ini. Keunggulan laparoskopi adalah
masa penyembuhan paska operasi sekitar 2-7 hari. Resiko yang terjadi pada
pembedahan ini termasuk perlengketan, trauma terhadap organ sekitar seperti
usus, ovarium, rectum, serta perdarahan. Sampai saat ini miomektomi dengan
laparoskopi merupakan prosedur standar bagi wanita dengan mioma uteri yang
masih ingin mempertahankan fungsi reproduksinya.6, 14
b. Histerektomi
Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya adalah tindakan
terpilih.11 Tindakan histerektomi pada mioma uteri sebesar 30% dari seluruh
kasus. Histerektomi dilakukan apabila didapati keluhan menorhagia,
metrorhagia, keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran uterus
sebesar usia kehamilan 12-14 minggu. 6 Tindakan histerektomi dapat dilakukan
secara abdominal (laparotomi), vaginal dan pada beberapa kasus dilakukan
laparoskopi.
Histerektomi perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu total
abdominal hysterectomy (TAH) dan subtotal abdominal histerectomym
STAH). Masing-masing prosedur ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
STAH dilakukan untuk menghindari resiko operasi yang lebih besar seperti
perdarahan yang banyak, trauma operasi pada ureter, kandung kemih dan
rektum. Namun dengan melakukan STAH kita meninggalkan serviks, di mana
kemungkinan timbulnya karsinoma serviks dapat terjadi. Pada TAH, jaringan
granulasi yang timbul pada pangkal vagina dapat menjadi sumber timbulnya
sekret vagina dan perdarahan paska operasi di mana keadaan ini tidak terjadi
pada pasien yang menjalani STAH.
Histerektomi juga dapat dilakukan pervaginam, dimana tindakan operasi
tidak melalui insisi pada abdomen. Secara umum histerektomi vaginal hampir

12
seluruhnya merupakan prosedur operasi ekstraperitoneal, dimana peritoneum
yang dibuka sangat minimal sehingga trauma yang mungkin timbul pada usus
dapat diminimalisasi. Tindakan histerektomi pervaginam tidak terlihat parut
bekas operasi pada dinding abdomen, sehingga memuaskan pasien dari segi
kosmetik. Selain itu kemungkinan terjadinya perlengketan paska operasi lebih
minimal, dan masa penyembuhan lebih cepat dibanding histerektomi
abdominal.

2.8 KOMPLIKASI
a. Degenerasi Ganas
Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6% dari
seluruh mioma, serta merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus.
Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang
telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat
membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause.
b. Torsi (Putaran Tangkai)
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan
sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah
sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan, gangguan akut tidak
terjadi, hal ini harus dibedakan dengan suatu keadaan di mana terdapat banyak
mioma dalam rongga peritoneum. Massa mioma dapat mengalami nekrosis dan
infeksi yang diperkirakan kerana gangguan sirkulasi darah sekitarnya, misalnya
terjadi pada mioma yang keluar dari kavum uteri menuju rongga vagina dapat
menimbulkan metroragia atau menoragia disertai leukore dan gangguan yang
disebabkan oleh infeksi dari uterus sendiri.
c. Komplikasi lain
Anemia akibat perdarahan, perlekatan pasca miomektomi, dan dapat terjadinya
ruptur uteri (apabila pasien hamil post miomektomi).11

2.9 PROGNOSIS
Histerektomi merupakan upaya kuratif karena dapat mengangkat seluruh
masa mioma. Tindakan miomektomi yang extensif dan secara signifikan

13
melibatkan miometrium atau menembus endometrium, perlu dilakukan SC (sectio
caesaria) pada persalinan berikutnya. Mioma yang kambuh kembali (rekurens)
setelah miomektomi terjadi pada 15-40% pasien dan 2/3nya memerlukan tindakan
lebih lanjut.6

BAB III
KESIMPULAN

14
Mioma uteri merupakan tumor jinak monoklonal dari sel-sel otot polos
yang ditemukan pada rahim manusia. Tumor ini berbatas tegas dan terdiri dari sel-
sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid, dan kolagen. Penyebab mioma
uteri dapat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu hormonal, genetik, dan faktor
lingkungan sosial seperti usia, paritas, gizi, dan kehamilan. Adanya mioma uteri
tidak menimbulkan gejala yang spesifik karena gejala muncul berdasarkan letak,
ukuran, dan kecepatan tumbuh dari massa miom. Gejala yang umum adalah
adanya perdarahan uterus abnormal yang dapat menimbulkan anemia. Diantara
terapi hormonal dan terapi pembedahan, terapi mioma uteri yang terbaik adalah
pembedahan, yakni melakukan histerektomi. Dari berbagai pendekatan terapi
histerektomi, prosedur histerektomi laparoskopi memiliki kelebihan disbanding
prosedur histerektomi abdominal kerana masa penyembuhan yang singkat dan
angka morbiditas yang rendah.

DAFTAR PUSTAKA

15
1. A, Sylvia dan M, Lorraine S. 2006. “Gangguan Sistem Reproduksi”.
Pathophysiology: Clinical Concepts od Disease Processes Ed.6. Jakarta: EGC.
2. Djuwantono, T. 2004. Terapi GnRH Agonis Sebelum Histerektomi.
Mioma:Farmacia. Vol.3: 38-41.
3. E, Serdar. 2013. Uterine Fibroids. The New England Jaournal of Medicine.
1344-1355.
4. Goodwin, S dan Spies, T. 2009. Uterin fibroid embolization. 361: 690-697.
5. Gross, K dan Morton, C. 2001. Genetic and Development of Fibroid. 44: 355-
349.
6. Hadibroto, Budi. 2005. Mioma Uteri. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol.38
(3): 254-259.
7. Hart, MD dan McKay, D. 2000. Fibroids in Gynecology Ilustrated. London:
Churchill Livingstone.
8. Joedosapoetro, M. 2005. Ilmu Kandungan Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka.
9. ManuabaB.G.2003.Penuntun KepaniteraanKlinik Obstetric dan Ginekologi
Edisi Kedua. Jakarta: EGC.
10. Parker WH. 2007. Etiology, Syptomatology and Diagnosis of Uterin
Myomas.87: 725-733.
11. Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
12. Repositoryusu.ac.id.//Mioma uteri
13. Snell. R. S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.Edisi 6. EGC:
Jakarta.
14. Stewart, Faur, and Wise. 2002. Predictors of Subsequent Surgery for Uterin
Leiomiomata After Abdominal Myomectomi. 99: 426-432.
15. Zimmermann, Bernuit, Gerlinger, et al. 2012. “Prevalence, Symtoms and
Management of Uterine Fibroids: an International Internet-Based Survey.

16

Anda mungkin juga menyukai