Anda di halaman 1dari 28

BAB V

PERENCANAAN ELEMEN PENYAMBUNGAN

Untuk memasang mesin, berbagai bagian harus disambung atau diikat untuk
menghindari gerakan terhadap sesamanya. Beberapa metode penyambungan dapat
menggunakan ulir (baut dan mur), pena, pasak, paku keeling, pengelasan dan panas kerut
(pres). Bila suatu sambungan diperlukan dalam bentuk yang dapat dilepas dengan metode
tanpa pengrusakan dan yang cukup kuat untuk menahan beban tarik dan beban geser dari
luar atau gabungan kedua-duanya, maka sambungan baut sederhana dengan menggunakan
cincin penahan yang diperkeras adalah suatu pemecahan yang baik. Dan apabila beban
terbesar adalah jenis geseran, maka disarankan untuk menggunakan kelingan karena paku
keeling akan mengisi penuh lubang, jadi membantu untuk menjamin distribusi beban yang
merata sepanjang paku keeling yang mendukung beban tersebut. Sambungan baut
mempunyai jarak ruangan antara baut dan lubang. Jarak ruangan yang dibuat pabrik akan
memungkinkan baut-baut tertentu akan menerima bagian beban yang tidak terduga.

A. SAMBUNGAN DENGAN ULIR


Bentuk ulir dapat terjadi bila sebuah lembaran berbentuk segitiga digulung pada
sebuah silinder. Dalam pemakaian ulir selalu bekerja dalam pasangan antara ulir luar
dengan ulir dalam. Ulir pengikat pada umumnya mempunyai profil penampang berbentuk
segitiga sama kaki. Jarak antara ulir satu puncak dengan puncak berikutnya dari profil ulir
disebut jarak bagi.

l = kisar
d = diameter efektif
β = sudut kisar

Gambar 5.1. Profil ulir segitiga yang dibentuk dari segitiga yang
digulung pada silinder

Ulir disebut tunggal atau satu jalan bila hanya ada satu jalur yang melilit silinder,
dan di sebut dua atau tiga jalan bila ada dua atau tiga jalur. Jarak antara puncak – puncak
yang berbeda disebut kisar, jadi kisar pada ulir tunggal adalah sama dengan jarak baginya.

V-1
Sedangkan untuk ulir ganda dan tripel, besar kisarnya berturut – turut sama dengan dua
kali dan tiga kali jarak baginya.

1. Sudut ulir 2. Puncak ulir luar 3. Jarak bagi 4. Diameter inti dari ulir luar
5. Diameter luar dari ulir luar 6. Diameter dalam dari ulir dalam 7. Diameter luar dari ulir dalam

Gambar 5.2. Bagian-bagian dari ulir dan jenis ulir tunggal, ulir ganda dan ulir tripel

Ulir juga dapat berupa ulir kanan dan ulir kiri, di mana ulir kanan bergerak maju
bila diputar searah jarum jam, dan ulir kiri akan maju dila di putar berlawanan dengan
jarum jam

Gambar 5.3. Jenis ulir kanan dan ulir kiri

1. Jenis/Standar Ulir
Gambar 5.4 di bawah ini menunjukkan geometri ulir untuk tiga standar ulir Inggris
yang banyak dipakai. Ulir di golongkan menurut bentuk peofil penampangnya sebagai
berikut : ulir segitiga, persegi, trapesium, gigi gergaji, dan bulat. Bentuk persegi,
trapesium, dan gigi gergaji, pada umumnya dipakai untuk penggerak atau penerus gaya,
sedangkan ulir bulat dipakai untuk menghindari kemacetan karena kotoran. Tetapi bentuk
yang paling banyak di pakai adalah ulir segitiga. Ulir segi tiga diklasifikasikan lagi
menurut jarak baginya dalam ukuran metris dan inch, dan menurut ulir kasar (coarse) dan
ulir lembut (fine).
Seri ulir kasar dipakai untuk keperluan umum, seperti baut dan mur. Seri ulir
lembut mempunyai jarak bagi yang kecil dan dipergunakan pada bagian-bagian yang tipis
serta untuk keadaan dimana getaran besar (karena ulir lembut tidak mudah kendor). Ada
V-2
juga ulir pipa yang di pakai untuk menyambung pipa dan bagian–bagiannya. Termasuk
dalam golongan ini adalah ulir lurus yang dipakai untuk mengikat dan ulir kerucut atau
tirus untuk sambungan yang harus rapat. Ulir ini mempunyai jarak bagi dan tinggi ulir
yang lebih kecil dari pada ulir kasar.

Gambar 5.4. (a) Ulir Amerika National (Unified); lebar akar yang datar p/4
(b) Ulir bujur sangkar dan (c) Ulir ACME

Seri ulir segitiga Amerika yang umum dipakai yaitu UN dan UNR. Perbedaan
keduanya hanyalah bahwa suatu radius akar harus dipakai pada seri UNR (mengurangi
faktor pemusatan tegangan). Ulir Amerika dinyatakan dengan menyatakan diameter
nominal, jumlah ulir per inci dan seri ulir : 5/8 – 18 UNRF. Ulir Metris dinyatakan dengan
menulis diameter dan jarak puncak dalam millimeter : M12 x 1,75.

2. Jenis Ulir Menurut Bentuk Bagian dan Fungsinya


Baut digolongkan menurut bentuk kepalanya, yaitu segi enam, soket segi enam, dan
kepala persegi. Baut dan mur dapat dibagi sebagai berikut : baut penjepit, baut untuk
pemakaian khusus, sekrup mesin, sekrup penetap dan mur.

Gambar 5.5. Jen is baut penjepit

V-3
Tabel 5-1. Diameter & Luas Ulir Metris Berjarak Puncak Kasar & Halus (mm)

Seri Jarak-Puncak Kasar Seri Jarak-Puncak Halus


Dia. Besar
Jarak Luas Jarak Luas
Nominal Luas Dia. Luas Dia.
Puncak Tegangan Puncak Tegangan
d Kecil, Ar Kecil, Ar
p Tarik, At p Tarik, At
1.6 0.35 1.27 1.07
2 0.40 2.07 1.79
2.5 0.45 3.39 2.98
3 0.5 5.03 4.47
3.5 0.6 6.78 6.00
4 0.7 8.78 7.75
5 0.8 14.2 12.7
6 1.0 20.1 17.9
8 1.25 36.6 32.8 1 39.2 36.0
10 1.5 58.0 52.3 1.25 61.2 56.3
12 1.75 84.3 76.3 1.25 92.1 86.0
14 2 115 104 1.5 125 116
16 2 157 144 1.5 167 157
20 2.5 245 225 1.5 272 256
24 3 353 324 2 384 365
30 3.5 561 519 2 621 596
36 4 817 759 2 915 884
42 4.5 1120 1050 2 1260 1230
48 5 1470 1380 2 1670 1630
56 5.5 2030 1910 2 2300 2250
64 6 2680 2520 2 3030 2980
72 6 3460 3280 2 3860 3800
80 6 4340 4140 1.5 4850 4800
90 6 5590 5360 2 6100 6020
100 6 6990 6740 2 7560 7470
110 2 9180 9080
Diameter kecil dr = d – 1.226 869.p ; Diameter rata-rata dm = d – 0.649 519.p. Harga rata-
rata dari diameter rata-rata dan diameter kecil dipakai untuk menghitung luas tegangan
tarik.

Gambar 5.6. Macam-macam baut untuk pemakaian khusus

V-4
Tabel 5-2. Diameter dan Luas Ulir Sekrup Amerika UNC dan UNF
Dia. Seri Kasar - UNC Seri Halus - UNF
Penunjukan Besar Luas Teg. Luas Dia. Luas Teg. Luas Dia.
Ulir per Ulir per
Ukuran Nominal Tarik, At Kecil, Ar Tarik, At Kecil, Ar
Inci, N Inci, N
in In2 In2 In2 In2
0 0.0600 80 0.001 80 0.001 51
1 0.0730 65 0.002 63 0.002 18 72 0.002 78 0.002 37
2 0.0860 56 0.003 70 0.003 10 64 0.003 94 0.003 39
3 0.0990 48 0.004 87 0.004 06 56 0.005 23 0.004 51
4 0.1120 40 0.006 04 0.004 96 48 0.006 61 0.005 66
5 0.1250 40 0.007 96 0.006 72 44 0.008 80 0.007 16
6 0.1380 32 0.009 09 0.007 45 40 0.010 15 0.008 74
8 0.1640 32 0.014 0 0.011 96 36 0.014 74 0.012 85
10 0.1900 24 0.017 5 0.014 50 32 0.020 0 0.017 5
12 0.2160 24 0.024 2 0.020 6 28 0.025 8 0.022 6
¼ 0.2500 20 0.031 8 0.026 9 28 0.036 4 0.032 6
5/16 0.3125 18 0.052 4 0.045 4 24 0.058 0 0.052 4
3/8 0.3750 16 0.077 5 0.067 8 24 0.087 8 0.080 9
7/16 0.4375 14 0.106 3 0.093 3 20 0.118 7 0.109 0
½ 0.5000 13 0.141 9 0.125 7 20 0.159 9 0.148 6
9/16 0.5625 12 0.182 1.162 18 0.203 0.189
5/8 0.6250 11 0.226 0.202 18 0.256 0.240
¾ 0.7500 10 0.334 0.302 16 0.377 0.351
7/8 0.8750 9 0.462 0.419 14 0.509 0.480
1 1.0000 8 0.606 0.551 12 0.663 0.625
1¼ 1.2500 7 0.969 0.890 12 1.073 1.024
1 1/2 1.5000 6 1.405 1.294 12 1.315 1.260
Diameter kecil dr = d – 1.299 038.p ; Diameter rata-rata dm = d – 0.649 519.p. Harga rata-
rata dari diameter rata-rata dan diameter kecil dipakai untuk menghitung luas tegangan
tarik.

Gambar 5.7. Macam-macam sekrup mesin

Gambar 5.8. Sekrup penetap


V-5
Gambar 5.9. Macam – macam mur

Gambar 5.9. Jenis kerusakan yang sering terjadi pada baut


(a) putus karena tarikan
(b) putus karena puntiran
(c) tergeser

Untuk menentukan ukuran baut dan mur harus diperhatikan seperti sifat gaya yang
bekerja pada baut, syarat kerja, kekuatan bahan, kelas ketelitian, dan lain-lain. Adapun
gaya – gaya yang bekerja pada baut dapat berupa :
a. Beban statis aksial murni
b. Beban aksial, bersama dengan beban puntir
c. Beban geser
d. Beban tumbukan aksial

Bila beban yang bekerja pada baut merupakan gabuangan antara gaya tarik aksial
dan momen puntir, maka sangatlah perlu untuk menentukan cara memperhitungkan
pengaruh puntiran tersebut. Baut yang memdapat beban tumbukan dapat putus karena
adanya konsentrasi tegangan pada bagian akar pofil ulir dengan demikian diameter inti
baut harus diambil cukup besar untuk mempertinggi faktor keamanannya. Baut khusus
untuk menahan tumbukan biasanya dibuat panjang dan bagian yang tidak berulir di buat
diameter lebih kecil dari pada diameter intinya atau diberi lubang pada sumbunya
sepanjang bagian yang tidak berulir.

V-6
Gambar 5.10. Baut untuk beban tumbukan

3. Mekanisme Sekrup Daya


Sekrup daya adalah alat yang dipakai dalam permesinan untuk mengubah gerakan
sudut menjadi gerakan linier dan biasanya untuk memindahkan daya (beban), contoh untuk
alat penekan dan dongkrak

Gambar 5.11. Bagian dari suatu sekrup daya

Dalam gambar diatas sekrup daya berulir bujur sangkar denga ulir tunggal engan
diameter rata-rata dm, jarak puncak p, sudut maju λ dan sudut ulir ψ yang dibebani
dengan gaya tekan aksial F.

V-7
Gambar 5.12. Diagram gaya (a) menaikkan beban dan (b) menurunkan beban

Misalkan suatu ulir tunggal tidak diputar atau digerakkan persis satu putaran
(gambar 5.13). Maka satu sisi dari ulir tersebut akan membentuk hipotenusa dari suatu
segitiga siku-siku yang alasnya merupakan keliling dari lingkaran diameter rata-rata ulir
dan tingginya sama dengan jarak majunya. Untuk menaikkan beban suatu gaya P bekerja
kearah kanan dan untuk menurunkan beban kea rah kiri. Untuk menaikkan beban :
∑ FH = P - N sin λ - μ.N cos λ = 0
∑ FV = F + μ N sin λ - N cos λ = 0 (a)
Untuk menurnkan beban :
∑ FH = - P - N sin λ + μ N cos λ = 0
∑ FV = F - μ N sin λ - N cos λ = 0 (b)
Bila disederhanakan dengan menghilangkan faktor N, maka :
F (sin λ + µ cos λ)
menaikkan beban : P=
cos λ − µ sin λ

(c)
F ( µ cos λ − sin λ)
menurunkan beban : P= (d)
cos λ + µ sin λ

Selanjutnya, pembagi dan yang dibagi dari persamaan-persamaan ini dibagi dengan
cos λ dan pakailah persamaan tan λ = l / π dm, dan untuk mendapatkan daya putar (T)
adalah hasil kali gaya P dan radius rata-rata dm / 2, sehingga :
Fd m  l + π µd m 
menaikkan beban : T =   (5.1)
2  πd m − µl 

Fd m  π µd m − l 
menurunkan beban : T =   (5.2)
2  πd m + µl 

Bila suatu saat tertentu dimana jarak maju besar dan gesekan rendah sehingga
beban tersebut akan turun dengan sendirinya denganmenyebabkan sekrupberputar tanpa
suatu usaha beban dari luar. Dalam hal ini, daya putar pada persamaan (5.2) akan negatif
atau nol. Bila daya putar yang didapat dari persamaan tersebut positif, sekrup tersebut
disebut mengunci sendiri (seft locking), yaitu bila :

V-8
μ π dm > l atau μ > tan λ
Efisiensi untuk menaikkan beban :
Fl
T 2π (5.3)
η= o =
T T
Dala ulir Acme atau ulir Amerika, beban normal ulir adalah miring terhadap sumbu
karena sudut ulir 2α dan sudut maju. Karena sudut maju adalah kecil, kemiringan ini dapat
diabaikan dan hanya pengaruh sudut ulir yang dipertimbangkan (gambar 5.14 a) Pengaruh
sudut α adalah menaikkan gaya gesekan karena aksi desakan dari ulir. Oleh karena itu
istilah friksional dalam persamaan (5.1) harus dibagi oleh cos α. Untuk mengencangkan
baut (menaikkanbeban), ini menghasilkan :
Fd m  l + π µd m sec α 
T =   (5.4)
2  πd m − µl sec α 

Ulir Acme tidak se efisien ulir segi empat, namun sering digunakan karena
pengerjaannya lebih mudah dan memungkinkan untuk menggunakan mur terbelah yang
dapat diatur guna mengurangi keausan.

Gambar 5.13. (a) Gaya normal ulir dinaikkan karena sudut α


(b) Penahan aksial mempunyai diameter gesekan dc

Besar daya putar penahan (Tc) yang berdiameter rata-rata dc dan koefisien gesekan penahan
μc adalah :
Fµc d c
Tc = (5.5)
2

4. Tegangan-Tegangan Ulir

V-9
a. Tegangan geser ulit sekrup rata-rata, misalkan untuk beban terbagi
rata pada tinggi mur h dan ulir gagal karena geseran di diameter kecil (dr), lihat gambar
5.14.
2F
τ= (5.6)
πd r h
b. Ulir pada mur mengalami geseran pada diameter besar (d), maka
besar tegangannya :
2F
τ= (5.7)
πdh
c. Tegangan bantalan pada ulir adalah :
− 4F
τ = 2 (5.8)
πh(d 2 − d r ) p
Untuk menjamin keamanan maka tegangan-2 diatas memakai faktor keamanan n > 2.

5. Baut Berbeban awal : Pembebanan Statis


Beban awal Fi pada baut digunakan untuk pengencangan dan kehadirannya sebelum
gaya luar bekerja. Besar beban awal Fi harus tidak sampai menghasilkan tegangan
mengalah pada bahan baut, yaitu :
CP < Fi < At Sy atau (5.10)
Fi = At Sy - C n P
Dimana :
At = Luas tegangan tarik
Sy = Kekuatan mengalah
P = Beban luar
n = Faktor keamanan (ambil n ≥ 1,5)
C = Konstanta kekakuan
= kb / (kb + km) (5.11)
kb = Konstanta baut = A E / l
km = Konstanta bahan yang dibautkan
π.E.d
=
 l + 0.5d  (5.12)
2. ln 5( )
 l + 2.5d 
Bila suatu sambugan baut dipakai dalam operasi, getaran dan goncangan yang
menghasilkan deformasi kecil akibat pendataran nada, kotoran dan cat yang cepat dan

V-10
mengurangi beban awal semula. Maka penggunaan beban awal yang tinggi adalah suatu
cara untuk membuat batas keamanan terhadap kejadian-kejadian seperti itu.
0,6 Fp ≤ Fi ≤ 0,9 Fp (5.13)
dimana :
Fp = Beban terjamin (Fp = At . Sp)
Sp = Kekuatan terjamin (table di bawah ini). Untuk yang terbuat dari
bahan yang lain dari tabel tersebut, ambil Sp = 0,85 Sy

6. Baut Berbeban Awal : Pembebanan Lelah


Kebanyakan jenis pembebanan lelah yang ditemukan dalam analisa sambungan
baut adalah salah satu dimana bebanluar yang diberikan berfluktuasi antara nol dan sekitar
gaya maksimum P. Ini akan terjadi pada silinder bertekanan. Besar harga pembatas F i yang
dibutuhkan :
C.n.P  Sut 
Fi = At .Sut −  + 1 (5.14)
2  Se 
Perhatikan bahwa Sut dan Se dapat digantikan dengan Sy untuk kekuatan mengalah :
Fi = At Sy - C n P (5.15)
Yang identik dengan persamaan sebelumnya. Untuk menghindarkan kegagalan
statis maupun lelah, pakailah harga Fi, yaitu yang terendah dari kedua persamaan itu.

Tabel 5-3. Spesifikasi dan Tanda Pengenal untuk Baut, Sekrup, Baut Tanam, ‘SEMa
dan Baut Ub ( 1 Mpa = 6,89 kpsi )

Keku Ke
Kel Ke Kekuatan
Dia. atan kuatan Tanda
as Kelas Kelas kuatan Inti
Nominal Terja Menga Pengenal Produke Bahan
ASTM Metrisc Tarik Rockwell
in min lahd Keras
SAE kpsi min/maks
kpsi kpsi
1 A307 4.6 ½ trhu1 1½ 33 60 36 B70/B100 None B, Sc, St Low or medium carbon steel
2 … 5.8 ¼ trhu ¾ 55 74 57 B80/B100 None B, Sc, St Low or medium carbon steel
4.6 Over ¾ trhu 1½ 33 60 36 B70/B100 None B, Sc, St Low or medium carbon steel
4 … 8.9 ¼ trhu 1½ 65 115 100 C22/C32 None St Medium carbon, cold drawn steel
A449
5 Or 8.8 ¼ trhu 1 85 120 92 C25/C34 B, Sc, St Medium carbon steel, Q&T
A325
Type 1
7.8 Over 1 trhu 1½ 74 105 81 C19/C30 B, Sc, St Medium carbon steel, Q&T
8.6 Over 1½ to 3 55 90 58 … B, Sc, St Medium carbon steel, Q&T
5.1 … 8.8 No. 6 trhu ⅝ 85 120 … C25/C40 Sc Low or medium carbon, Q&T
8.8 No. 6 trhu ½ 85 120 … C25/C40 B, Sc, St Low or medium carbon, Q&T
5.2 A325 8.8 ¼ trhu 1 85 120 92 C26/C36 B, Sc Low carbon martensite steel, fully
Type 2 killed, fine grained, Q&T
7g … 10.9 ¼ trhu 1½ 105 133 115 C28/C34 B, Sc Medium carbon alloy steel, Q&T
A354
8 Grade 10.9 ¼ trhu 1½ 120 150 130 C33/C39 B, Sc, St Medium carbon alloy steel, Q&T
BD
8.1 … 10.9 ¼ trhu 1½ 120 150 130 C32/C38 None St Elevated temperature drawn steel
medium carbon alloy or G15410
8.2 … 10.9 ¼ trhu 1 120 150 130 C35/C42 B, Sc Low carbon martensite steel, fully
killed, fine grained, Q&T
… A574 12.9 0 trhu ½ 140 180 160 C39/C45 12.9 SHCS Alloy steel, Q&T
12.9 ⅝ trhu 1½ 135 170 160 C37/C45 12.9 SHCS Alloy steel, Q&T

a Sems = pasangan sekrup dan cincin penahan

V-11
b Dihimpun dari ANSI/SAE J429j; ANSI B18.3.3-1978; dan ASTM A307, A325, A354, A449 dan A674
c Kelas metris adalah xx.x dimana xx adalah kira-kira 0.01 Sut dalam MPa dan x perbandingan antara Sy minimum dengan Sut
d Kekuatan mengalah adalah tegangan yang memberi deformasi permanent sebesar 0,2% dari ukuran panjang benda percobaan
e B = baut, Sc = sekrup, Se = Sems dan SHCS = sekrup berkepala untuk socket
f Data yang masuk menyimpang tetapi sesuai dengan standar ANSI/SAE J429j
g Buat kelas 7 dan skerup yang diberi ulir dengan dirol setelah diberi perlakuan panas

7. Pembebanan Lelah
Sambungan baut berbeban tarikan yang diberi aksi kelelahan dapat dianalisa
menggunakan batas ketahanan Se. Tabel di bawah ini untukfaktor pengurangan kekuatan
lelah rata-rata untuk kelengkungan dibawah kepala baut dan juga pada permukaan ulir
pada ujung baut. Distribusi dari kegagalan baut yang khas adalah 15% dibawah kepala
baut, 20 % pada ujung ulir dan 65 % pada ulir dipermukaan mur.

Tabel 5-4. Faktor Pengurangan Kekuatan Lelah kf untuk Elemen Berulir


Kelas Metris Ulir yang Ulir yang Jari-Jari
Kelas SAE
Dirol Dibubut Kelengkungan
0 - 2 3,6 – 5,8 2,2 2,8 2,1
4 - 8 6,6 – 10,9 3,0 3,8 2,3

B. SAMBUNGAN MENGGUNAKAN PAKU KELING


Sambungan keling seperti halnya sambungan las digunakan untuk :
• Sebagai sambungan kekuatan dalam konstruksi baja dan logam ringan
(konstruksi bertingkat, jembatan dan pesawat pengangkat); konstruksi pada
umumnya.
• Sebagai sambungan kekuatan kedap dalam konstruksi ketel (ketel, tangki dan
pipa dengan tekanan tinggi), tetapi ketel umumnya dilas.
• Sebagai sambungan kedap untuk tangki, cerobong asap plat, pipa penurunan
dan pipa pelarian yang tidak memiliki tekanan.
• Sebagai sambungan paku untuk kulit (konstruksi kendaraan dan pesawat)

V-12
Gambar 5.14. Penyambungan menggunakan paku keling

Dalam banyak kasus penggunaan, sambungan keling diganti dengan sambungan


las. Sambungan keling memerlukan waktu lebih lama, juga komponen las sering lebih
sederhana sehingga lebih murah. Pada sisi lain sambungan keling terlihat jauh lebih aman
dan mudah untuk dilakukan pengontrolan yang baik (dibunyikan dengan pukulan).
Khususnya untuk sambungan logam ringan orang lebih menyukai pengelingan, untuk
menghindari penurunan kekuatan disebabkan tingginya suhu seperti karena pengelasan
(pengaruh dari struktur pengelasan).

Gambar 5.15. Berbagai bentuk kepala pengunci dari keling logam ringan

Gambar 5.16. Bentuk keling menurut DIN

V-13
Jenis kegagalan akibat beban pada metode penyambungan menggunakan paku
keling terdiri atas :
a. Lenturan dari anggota yang satukan, untuk menghindari kegagalan ini
P.Lg .c
σ= < 0,6 Sy (5.16)
2I
dimana :
Lg = Panjang total dari bagian yang diikat
c = Jarak dari pusat titik berat kesumbu terluar
I = Momen inersia dari bagian yang disambung
Sy = Kekuatan luluh

b. Geseran pada paku keling


4P
τ = < Ssy = 0,4 Sy (5.17)
π .d c
2

Ssy = Kekuatan geser paku keling

c. Kelelahan dari anggota yang disatukan


P
σ= < Sy
(b − N .d c ).t m
(5.18)
dimana :
b = Lebar dari anggota yang disatukan
N = Jumlah paku keling
tm = Tebal

d. Kelelahan tekanan pada bantalan/tumpuan


P
σ= < 0,9 Sy (5.19)
d ctm

C. SAMBUNGAN BAUT DAN KELING BERBEBAN GAYA GESER

(a) Pembebanan geser


(b) Benturan pada paku keling
(c) Geseran pada paku keling
(d) Kegagalan oleh tegangan tarik pada
anggota
(e) Penumpuan paku keling pada anggota

V-14
atau penumpuaannya anggota pada paku
keling
(f) Sobek karena geseran
(g) Sobek karena geseran

Gambar 5.17. Jenis kegagalan pada pembebanan geser dari sambungan


baut atau sambungan keling

a. Tegangan lentur dalam anggota atau pada paku keling, dengan mengabaikan
pemusatan tegangan (gambar b): σ = M / (I / c)
b. Tegangan geser pada paku keeling (gambar c) : τ = F / A
c. Kepatahan dari satu anggota atau pelat yang disambugkan oleh tarikan murni
(gambar d) : σ = F / A

D. GESERAN PADA BAUT DAN PAKU KELING KARENA PEMBEBANAN


EKSENTRIK

Sebuah contoh pembebanan eksentris dari alat pengunci diperlihatkan pada Gambar
5.19. Ini adalah bagian dari suatu rangka mesin yang mengandung sebuah gelagar A yang
diberi beban lentur. Dalam hal ini, gelagar diikatkan pada anggota vertikal pada kedua
ujungnya dengan baut. Untuk kemudahan, pusat-pusat paku keling pada satu ujung gelagar
digambarkan pada skala yang lebih besar pada gambar 5.19c. Titik O merupakan titik berat
kelompok baut, dan dalam contoh ini dianggap bahwa semua baut yang mempunyai
diameter yang sama. Beban total yang diterima masing-masing baut akan dihitung dalam
tiga langkah. Pada langkah pertama V (gaya geser) dibagi sama pada semua baut sehingga
setiap baut menerima F’ = V/n, dimana n merupakan jumlah baut dalam kelompok
tersebut, dan gaya F’ disebut beban langsung (direct load), atau gaya geser utama
(primary shear)

V-15
Gambar 5. 18. (a) Gelagar dibautkan pada kedua ujungnya dengan beban
yang terbagi rata
(b) Diagram benda bebas dari gelagar
(c) Pandangan group baut yang diperbesar yang memperlihatkan
gaya geser utama dan kedua

Beban momen ,atau gaya geser kedua, adalah beban tambahan pada setiap baut
karena momen M. Karena rA, rB, rC dan seterusnya, adalah jarak radial dari titik berat ke
titik pusat masing-masing baut, maka momen dan beban momen dihubungkan sebagai
berikut:

M = F”A rA + F”B rB + F”C rC +.... (a)

Dimana F” adalah beban momen. Gaya yang diterima oleh masing-masing baut
tergantung pada jari-jarinya sehingga baut yang terjauh dari titik berat akan menerima
beban terbesar sementara baut terdekat menerima beban terkecil. Karenanya kita dapat
menulis

F " A
=
rA
F "B
=
rB
F "C
rC
(b)
V-16
Dengan menyelesaikan persamaan (a) dan (b) bersama-sama, didapat :

" M
Fn = 2 2
r A +
rB
(5.20)
Dalam langkah ketiga beban-beban langsung dan beban momen ditambahkan
secara vektorial untuk mendapatkan beban resultan pada setiap baut.

E. SAMBUNGAN LAS
Sambungan las adalah salah satu cara yang dipakai untuk menghubungkan dua
bagian secara tetap. Dalam prosesnya terdapat beberapa model pengelasan seperti
pengelasan (welding), pengelasan dengan kuningan (brazing), penyolderan (soldering),
penyemenan (cementing) dan pengeleman (gluing). Geometri benda yang akan
disambungkan memegang peranan yang penting dalam proses pengelasan, termasuk
ketebalan benda yang akan dilas. Keuntungan dari metode penyambungan diatas adalah
penampang yang disambugkan dapat tipis, penghindaran atas penguncian individual dan
merupakan metode penyambungan secara cepat.
Terdapat beberapa jenis las yang banyak dipakai oleh perencana, akan tetapi secara
umum terdiri atas las sudut (filled weld) dan las temu (butt weld). Agar dapat melakukan
pengelasan yang baik, haruslah disusun sedemikian rupa sehingga mempunyai jarak
(kelonggaran yang cukup) antara benda yang disambungkan.

Dalam proses pengelasan terjadi panas sehingga ada kemungkinan terjadinya perubahan
metalurgi pada logam dasarnya disekitar daerah pengelasan tersebut. Kemungkinan juga
akan muncul tegangan-tegangan sisa karena pengaruh penjepitan atau pemegangan atau
karena urutan-urutan pengelasan. Tegangan sisa ini tidak terlalu besar, setelah pengelasan
diperlakukan panas yang ringan sehingga berguna mengendorkan tegangan tersebut. Untuk
bagian-bagian yang akan disambungkan tebal, diperlukan suatu pemanasan awal.
Sedangkan bila tingkat keandalan komponen yang akan dilas tinggi, perlu dilakukan

V-17
pengujian agar dapat mempelajari perubahan atau tambahan operasi apa saja yang perlu
dalam menjamin kualitas yang baik.

1. Las Sudut (Fillet Weld)


Sebuah las sudut ditunjukkan pada gambar 5.20(a) yang dibuat sama dengan tinggi
o
kakinya. Bagian paling tipis pada leher lasan, pada 45 dari kaki. Pengaturan tegangan
pada las sudut adalah geseran pada leher (throat) lasan seperti ditunjukkan pada gambar
5.20(b). Mengamati dari gambar ini bahwa las sudut bersekutu paralel terhadap beban,
tegangan geser terjadi sepanjang leher dari sudut paralel terhadap beban. Pada las sudut
o
yang bersekutu melintang beban, tegangan geser terjadi pada 45 terhadap beban, beraksi
melintang sumbu aksis sudut.

Gambar 5.19. Jenis las sudut (a) penampang lasan dan (b) penampang bidan geser

2. Beban Paralel dan Melintang


Kelelahan las sudut disebabkan oleh geseran pada penampang minimum di mana
merupaka leher las seperti gambar 5.20(a). Hal ini adalah benar apakah las memiliki beban
paralel (pada sisi) atau melintang (pada ujung di gambar 5.20(b). Tegangan geser dari tipe
beban ini adalah :

V-18
P P 1,414 P
τ = = =
te Lw 0,707 he Lw he Lw

(5.21)
di mana :
o
te = panjang leher lasan, he sin 45 = 0,707 he, m
he = panjang kaki lasan, m
Lw = panjang lasan, m

Selanjutnya, untuk menghindari kelelahan, persamaan di bawah ini digunakan :

τ = 〈 ( Ss ) yl a s a n
P
(5.22)
te Lw
3. Beban Torsi
Untuk beban torsi dari sekelompok resultan aksi tegangan geser pada sekelompok
lasan adalah jumlah vektorial tegangan-tegangan langsung dan geser akibat torsi.
Tegangan geser langsung (atau melintang) pada lasan adalah :
V Gaya geser
τd = = (5.23)
A Luas Leher Total

Tegangan geser akibat torsi adalah:


Tr
τt = (5.24)
J
di mana :
r = jarak pusat kelompok lasan terhadap titik lasan terjauh, m
T = torsi yang dipakai pada lasan, N-m
J = momen inersia polar, m4
Penampang kritis untuk beban torsi adalah penampang leher, sebagaimana untuk
beban paralel dan melintang. Hubungan antara momen inersia polar dan momen polar las
sudut adalah :

J = te Ju = 0,707 he Ju (5.25)

di mana :

Ju = momen inersia polar, m3

V-19
Selanjutnya, untuk menghindari kelelahan yang disebabkan beban torsi, persamaan

τ = τ d + τ t 〈 ( S s ) ly a s a n
berikut dapat dipakai :

(5.26)

4. Lenturan (Bending)
Momen M menghasilkan sebuah tegangan lenturan normal σ pada las. Momen
inersia adalah :

I = te Iu Lw = 0,707 he Iu Lw (5.27)
di mana :

Iu = momen inersia, m2
Lw = panjang lasan,m

Gaya persatuan panjang lasan adalah


Pa
w = (5.29)
I u
di mana :
a = jarak dari dinding terhadap beban, m

M c
Tegangan normal oleh karena lenturan adalah : σ = (5.30)
I
di mana :
c = jarak dari sumbu aksis netral ke bagian terluar, m

5. Kekuatan Las
Elektroda yang dipakai dalam pengelasan diidentifikasikan oleh huruf E diikuti 4
(empat) angka, sebagai contoh E6018. Dua angka pertama menunjukkan kekuatan material
dalam 1000 lb per in2. Angka berikutnya menunjukkan variabel teknik pengelasan, seperti
suplai arus. Angka yang terakhir menunjukkan posisi pengelasan, seperti pelat, vertikal,
atau di atas.

Tabel 5-5. Sifat-Sifat Kekuatan Minimum dari Kelas-Kelas Elektroda.


Nomor Kekuatan Kekuatan Persentase
Elektroda Tarik Mengalah
AWS* kpsi kpsi Pemanjangan

E60XX 62 50 17-25
E70XX 70 57 22

V-20
E80XX 80 67 19
E90XX 90 77 14-17
E100XX 100 87 13-16
E120XX 120 107 14

Gambar 5.20. Momen Inersia Polar untuk beberapa kelompok lasan

V-21
Gambar 5.20. (lanjutan) Momen Inersia Polar untuk beberapa kelompok lasan.

Perencana dapat memilih faktor keamanan atau tegangan kerja yang diizinkan.
Salah satu standar terbaik untuk dipakai adalah kode American Institute of Steel
Construction (AISC) untuk konstruksi bangunan. Tabel 5-6 berisi rumus yang ditetapkan
oleh kode tersebut untuk menghitung tegangan yang diizinkan pada berbagai kondisi
pembebanan. Faktor keamanan dinyatakan secara tidak langsung dengan kode ini dengan
mudah dapat dihitung. Untuk tarikan, n = 1 / 0.60 = 1.67. Untuk geseran, n = 0.577 /
0.40 = 1.44, kalau kita menerima teori energi distorsi sebagai kriteria kegagalan.

Tabel 5-6. Tegangan yang Diizinkan oleh Kode AISC untuk Logam Las
Tegangan yang
Jenis Pembebanan Jenis Las n*
Diizinkan
Tarikan Las Temu 0.60 Sy 1.67
Bantalan Las Temu 0.90 Sy 1.11
Lenturan Las Temu 0.60-0.66 Sy 1.52-1.67
Tekanan Sederhana Las Temu 0.60 Sy 1.67
Geseran Las Temu / Sudut 0.40 Sy 1.44
* Faktor keamanan n telah dihitung dengan menggunakan teori energi distorsi.

V-22
Faktor pengurangan kekuatan lelah terdaftar pada table 5-7, faktor-faktor ini
dipakai untuk logam yang dilas maupun untuk logam lasnya.

Tabel 5-7. Faktor Pengurangan Kekuatan Lelah


Jenis Las Kf
Las temu yang diperkuat 1.2
Ujung dari las sudut yang melintang 1.5
Ujung dari las sudut yang sejajar 2.7
Las temu bentuk T dengan sudut yang tajam 2.0

6. Puntiran pada Sambungan Las


Gambar 5.22 menggambarkan sebuah panjang l yang menganjur dilaskan pada
sebuah kolom dengan dua buah las sudut. Reaksi tumpuan pada suatu batang menganjur
selalu terdiri dari gaya geser V dan momen M. Gaya geser tersebut menghasilkan geseran
pertama pada las-lasan sebesar
V
τ' =
A
(a)
Dimana A adalah luas leher dari semua las-lasan. Momen pada tumpuan
menghasilkan geseran kedua atau puntiran daripada las-lasan, dan besar tegangan ini
adalah
Mr
τ '' = (b)
J

di mana r adalah jarak dari titik berat kelompok las tersebut ke titik las yang ingin
kita analisa, dan J adalah momen inersia sudut dari kelompok las tersebut terhadap titik
berat kelompok las itu.

r τ ''
ro τ'
r

0
τ

Gambar 5.21. Sambungan las jepit-bebas yang diberi beban pada ujung bebas

V-23
Gambar 5.23 menunjukan 24ual as-lasan dalam satu kelompok. Kedua empat
persegi panjang mewakili luas leher dan las-lasan. Las mempunyasi lebar leher b1 = 0.7-

7 h’; dan las dua mempunyai lebar leher d2 = 0.7-7 h2. Perhatikan bahwa h1 dan h2
adalah ukuran masing-masing las. Luas kedua leher las adalah :
A = A1 + A2 = b1d1 + b2d2 (c)
Ini adalah luas yang akan dipakai pada Persamaan (a).

Gambar 5.22. Sambungan las dua komponen yang tegak lurus

Sumbu x pada gambar 5.23 melalui titik berat G1 dari las 1. Momen inersia terhadap
sumbu ini adalah :

b1 d 31
I x =
12
Dengan cara yang sama, Momen inersia terhadap sumbu melalui G1 yang sejajar dengan
sumbu y adalah
b1 d 31
I y =
12
Jadi momen inersia sudut dari las 1 terhadap tititk beratnya sendiri adalah

b1 d 31 b1 d 31
JG1 = Ix + Iy = + (d)
12 12
Dengan cara yang sama, momen inersia sudut dari las 2 terhadap titik beratnya adalah

b2 d 32 b2 d 32
JG2 = I x + I y = + (e)
12 12
Selanjutnya kita harus menentukan lokasi titik berat G dari kelompok las tersebut. Jadi

V-24
− A1 x1 + A2 x2 − A1 y1 + A2 y2
x = A
y =
A
Dengan menggunakan gambar diatas lagi, kita melihat bahwa jarak r1 dari G1 ke G adalah :
− −2
r1 = ( x − x1 ) 2 + y

Jarak r2 dari G2 ke G adalah


− −
r2 = ( y 2 − y ) 2 + ( x2 − x ) 2

Sekarang, dengan menggunakan teorema sumbu sejajar kita mendapatkan momen inersia
sudut dari kelompok las tersebut menjadi

J = (JG1 + A1 r 12) + (JG2 + A2r22) (f)


Ini adalah besaran yang dipakai pada Persamaan (b). Jarak r haruslah diukur dari G dan
momen M dihitung terhadap G. Prosedur kebalikannya adalah dimana tegangan geser yang
diizinkan diketahui dan kita ingin mencari ukuran las. Prosedur yang biasa mungkin
berupa penaksiran ukuran las, menghitung J dan A, dan kemudian mencari dan
menggabungkan τ ' dan τ ' ' .
Perhatikan dalam Persamaan (b) bahwa bagian kedua mengandung besaran b13

yang mana adalah kubik dari lebar las; dan besaran d 23 pada bagian pertama persamaan
(c) juga adalah kubik dari lebar las. Kedua besaran ini sangat kecil dan dapat diabaikan.
Hal ini akan menggiring kesuatu ide dalam memperlakukan setiap las sudut sebagai suatu
garis. Momen inersia sudut yang dihasilkan kemudian adalah ekivalen dengan momen
inersia sudut satuan (unit polar momoen of inertia). Keuntungan dari memperlakukan las
tersebut sebagai sebuah garis adalah bahwa momen inersia sudut satuan adalah sama, tanpa
memperdulikan ukuran las. Karena lebar leher dari las sudut adalah 0.7-7h, hubungan
antara momen inersia sudut satuan dan momen inersia sudut dari las sudut adalah :
J = 0.707 hJu

dimana Ju didapat dengan metoda konvensional untuk suatu luas yang mempunyai lebar
satu satuan. Rumus perpindahan untuk momen inersia sudut harus dipakai bila las-lasan
terjadi dalam kelompok, seperti dalam gambar 1.4. Tabel 1-5 berisi luas leher dan momen
inersia sudut satu satuan untuk las sudut yang paling banyak ditemukan.

V-25
Tabel 5-8. Sifat Puntiran dari Las-Las sudut
Momen inersia sudut
Las Luas leher Lokasi dari G
satuan
_
x =0
_ A = 0.707hd Ju = d3 / 12
_
y y=d
2


x=b
_ 2 (
d 3b 2 + d 2 )

b
A = 1.414hd Ju =
y −
y=d
6
_ 2
x
G −
x= d b2
2( b + d ) ) ( b + d ) 4 − 6b 2 d 2

b
_
y A = 0.707h (b+d) Ju =
− 2bd + d 2 12 ( b + d )
y=
2( b + d )
_
x


x=
b2
2b + d
G Ju =

b d
A = 0.707h (2b+d)
_
− 8b 3 + 6bd 2 + d 3 b4
y −
y=d 12 2b + d
_
2
x


x=b

G (b + d )3
2

b
A = 1.414h (b+d) Ju =
_
− 6

d
y
y=d
_
2
x

A = 1.414πhr Ju = 2πr3

G
7. Lenturan pada Sambungan Las
Suatu batang menganjur yang dilaskan pada sebuah tumpuan dengan las sudut
disebelah atas dan bawah. Diagram benda bebas dari gelagar tersebut akan
d
menghasilkan geseran pertama pada las sebesar GG
memperlihatkan suatu reaksi gaya geser V dan suatu reaksi momen M. Gaya geser

V-26 d
V
τ' =
A
(a)
dimana A adalah luas leher total. Momen M menghasilkan tegangan lentur normal σ pad
alas-lasan. Walaupun tidak besar, biasanya dalam analisa tegangan las dianggap bahwa
tegangan ini bekerja normal (tegak lurus) pada luas leher. Dengan memperlakukan kedua
tegangan pada gambar 1.5-b sebagai garis-garis, kita mendapatkan momen inersia satuan
berupa
bd 2
I u = (b)
2
Maka momen inersia berdasarkan leher las adalah
bd 2
I u = 0.707 h (c)
2
Tegangan normal sekarang didapat
d 
M 
M c 1.414 M
2
σ = = = (d)
I h bdh
0.707 bd 2
2

Tabel 5-9. Sifat-Sifat Lenturan dari Las Sudut


Las Luas leher Letak G Momen inersia satuan

x =0
_ − d3
y
A = 0.707hd
y=d Iu =
12
2


x=b
2
− d3
_

b
A = 1.414hd y=d Iu =

G
y 2 6
_
x

x=b
d 2
bd 2

b
A = 1.414hb − Iu =
_
y y=d 2
2
_
x
Tabel 5-9. (lanjutan) Sifat-Sifat Lenturan dari Las Sudut
Las Luas leher Letak G Momen inersia satuan

V-27
G
− b2
x=
2b + d
d2

( 6b + d )

b
y=d
_ A = 0.707h (2b+d) Iu =
y 2 12
_
x

x=b
_ 2
y − d2 2d 3 − −2
− 2d 2 y + ( b + 2d ) y

b
A = 0.707h (b+2d) y= Iu =
b + 2d 3
_
x

x=b
2

G
d2
( 3b + d )
__

b
_
A = 1.414h (b+d)
y =d Iu =
6
y 2

x
_

d
G

x=b
_ 2
y
− d2 2d 3 −2

b

A = 0.707h (b+2d) y= Iu = − 2d 2 y + ( b + 2d ) y
b + 2d 3

_
x


x=b
d
Gb
2 d2
_
y
A = 1.414h (b+d) Iu = ( 3d + b )
− 6
y=d
2

d
_
x

A = 1.414πhr Iu = πr3

G d
G d
V-28

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab 9
    Bab 9
    Dokumen9 halaman
    Bab 9
    ganjargila
    Belum ada peringkat
  • Bab 8
    Bab 8
    Dokumen24 halaman
    Bab 8
    ganjargila
    Belum ada peringkat
  • Bab 7
    Bab 7
    Dokumen10 halaman
    Bab 7
    ganjargila
    Belum ada peringkat
  • Bab 6
    Bab 6
    Dokumen6 halaman
    Bab 6
    ganjargila
    Belum ada peringkat
  • Bab 10
    Bab 10
    Dokumen19 halaman
    Bab 10
    ganjargila
    Belum ada peringkat