Disusun Oleh :
Ferdiansyah
Irham Maududi
Firmansyah Maulana
Yudistira
Dosen Pembimbing :
H. Encep, MA
Jl. H. Maksum No.23 Sawangan Baru, Kec. Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat 16511
KATA PENGANTAR
Puji syukur Allhamdulillah atas segala hidayah dan inayah Allah Swt, tulisan ini
dapat diselesaikan dengan baik dan lancar. Sholawat dan salam tak lupa penulis
sampaikan teruntuk manusia pilihan yang tutur kata – katanya, segala perilakunya, dan
segala ketetapanya menjadi pedoman umat islam se dunia.
Hadits sebagai sumber hukum islam sesudah al- Quran sangat penting untuk
diketahui dan dipelajari oleh umat islam. Memahami hadist harus dengan ilmunya agar
tidak terjadi kekeliruan. Oleh karena itu, kehadiran tulisan studi ulumul hadits menjadi
sangat penting pula untuk dipelajari dan dikaji.
Di dalam ilmu hadits Jumhur Ulama menyepakati bahwa Hadis merupakan sumber
ajaran Islam kedua. Dengan demikian, untuk memahami ajaran Islam secara holistik, maka
pemahaman terhadap Hadis adalah keniscayaan. Kendatipun ada segelintir umat Islam
yang tidak mengakui kedudukan Hadis sebagai sumber ajaran Islam, hal ini terjadi, antara
lain, boleh jadi karena mereka tidak memahami secara komprehensif bagaimana sejarah
Islam dan lahirnya Islam yang disampaikan oleh Rasulullah saw itu sendiri. atau karena
kurang memahami teks Alquran yang memang memerintahkan untuk mentaati Rasul serta
berpegang teguh dengan apa yang disampaikannya berkaitan dengan syariat Islam.
dari paparan tentang ilmu hadits ini, umat islam khususnya kaum terpelajar,
mendapat wawasan ilmu keislaman klasik yang ada pada saat ini sering dilupakan oleh
umat islam pada umumnya.
Penulis
i
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................................
B. Rumusan masalah.......................................................................................................
C. Tujuan Penulisan.........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................
A. Kesimpulan....................................................................................................................
B. Saran..............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
5
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara etimonologi sinonim dengan kata khabar. Sedangkan secara terminologis
sinonim dengan sunnah. Keduanya diartikan sebagai segala sesuatu yang diambil dari
Rasulullah sebelum dan sesudah diangkat menjadi Rasul.
Oleh karenanya keduanya tak terpisahkan dalam ajaran Islam. Dalam artikel ini,
penulis mencuba mengulas berkenaan dengan urgensi kedudukan Hadis terhadap Alquran
dan kehujjahannya dalam ajaran Islam.
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah :
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
Imam Syafi’i menegaskan bahwa hadis atau sunnah merupakan hujjah dalam
syari’at Islam. Pendapat ini dikemukakan Imam Syafi’i untuk menyangkal semua pendapat
yang dipegang oleh pihak-pihak yang tidak mau mengakui sunnah sebagai hukum Islam,
dengan dalil yang kuat dan tidak dapat digoyahkan oleh sangkalan dan penentangan. Oleh
sikapnya itulah para ulama Irak menjulukinya dengan sebutan “Multazim as-Sunnah”
(seorang yang teguh pada sunnah), atau “Nāshir al-Hadīts (pembela hadis).
Imam Syafi’i selalu memandang hadis shahih sebagaimana dia memandang kitab
suci yaitu al-Qur’anul karim, yang semuanya sama-sama wajib untuk diikuti dan ditaati.
Beliau sama sekali tidak menggunakan syarat seperti syarat yang ditetapkan oleh Imam
Abu Hanifah yang mengharuskan sebuah hadis memiliki tingkat kemasyhuran tertentu jika
hadis tersebut ditemukan dalam kondisi yang sulit. Begitu juga Imam Syafi’i tidak
menggunakan persyaratan yang dipakai oleh Imam Malik yang mewajibkan setiap hadis
untuk tidak bertentangan dengan apa yang telah diketahui oleh para penduduk ahli
Madinah. Alih-alih, Imam Syafi’i hanya mensyaratkan bahwa sebuah hadits yang dapat
dijadikan sumber hukum haruslah sebuah hadis shahih yang memiliki sanad yang
bersambung.
b) Salah satu tugas terpenting Rasulullah SAW adalah menyampaikan Al-Kitab dan Al-
Hikmah. Yang dimaksud dengan al-Kitab adalah al-Qur’an, sementara yang dimaksud
dengan al-Hikmah adalah hadis-hadis Rasulullah saw.
c) Allah SWT mewajibkan segenap mukminin untuk taat dan mengikuti Rasulullah
Muhamad SAW. Jadi bagi siapa saja yang telah dinyatakan wajib untuk ditaati maka
semua ucapannya juga wajib dipatuhi, dan siapa pun yang melanggar ucapan tersebut
dianggap sebagai pendosa.
d) Allah SWT telah menetapkan semua orang yang melanggar hukum Rasulullah saw
sebagai orang yang telah keluar dari Islam. Oleh sebab itu, semua hukum yang ditetapkan
oleh Rasulullah SAW. Merupakan harus diikuti dan menjadi hujjah yang kuat.
Dengan demikian yang dimaksud syari’at sebenarnya tak lain adalah al-Qur’an dan
ucapan-ucapan Rasulullah saw (Hadist)..
Menurut sebagian ulama, kewenangan Nabi saw untuk menetapkan suatu perkara
yang tidak ada sandaran dari nash al-Qur’an itu dikarenakan Allah mewajibkan umat Islam
agar taat kepada Nabi Muhammad saw (An-Nisa (4) ayat 59). Oleh sebab itu, Allah
memberikan kewenangan kepada Nabi untuk menetapkan perkara yang tidak ada sandaran
nashnya di dalam al-Qur’an.
Imam Syafi’i juga mengungkapkan pendapat sebagian ulama yang lain, menurut
mereka, Rasulullah saw tidak menetapkan satu sunnah pun melainkan ia memiliki dasar di
dalam al-Qur’an, sebagaimana sunnah beliau yang menjelaskan jumlah rakaat shalat dan
tata cara pelaksanaannya, dengan bersandar pada kewajiban shalat secara garis besar di
dalam al-Qur’an. Begitu pula Sunnah Rasulullah saw mengenai jual beli dan aturan-aturan
lain.
B. Kedudukan Hadist terhadap Al-Qur'an.
Sebagai sumber hukum kedua yang digunakan dalam Islam, maka Hadis tentunya
memiliki kedudukan tersendiri. Banyak dari sumber-sumber hukum yang juga berasal
dari nash di dalam hadits, namun tidak dirincikan dalam Al-Qur’an ataupun boleh juga
tidak ditemukanya ayat yang membicarakanya secara tegas dalam Al-Qur’an.
Al-Suyuthi dan al-Qismi sendiri tanpaknya sepakat bahwa paling tidak ada empat
argument rasional mengenai kedudukan Hadits terhadap Al-Qur’an yaitu:
1. Al-Qur’an harus lebih diutamakan terlebih dahulu ketimbang Hadits, hal ini karena Al-
Qur’an sendiri bersifat qath’i dan Hadits bersifat dzanni.
2. Hadits merupakan penjabaran dari Al-Qur’an, sehingga dapat dijelaskan bahwa penjabar
kedudukanya pasti lebih rendah dibandingkan pada nash yang dijabarkanya.
4.Al-Qur’an saebagai wahyu dari sang pencipta, sedangkan hadits berasal dari hambanya.
Dapat diterima secara logika, jika pencipta pastinya memiliki kedudukan lebih tinggi
dibandingkan hamba yang menjadi utusan dari sang pencipta itu sendiri, sehingga
kedudukan Al-Qur’an yang merupakan kalam ilahi diletakan sebagai sumber hukum Islam
yang pertama dalam Islam. Sedangkan Hadits ditempatkan pada bagian kedua setelah Al-
Qur’an.
Selain dari pernyataan di atas, kedudukan Hadits terhadap Al-Qur’an juga dapat
dipahami dengan tekstual yang berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, sebagai contoh:
G ٍءGيGْ G G َشG يGِ فGمGْ Gُ تGعGْ GزGَ G اGGَ نGَ تGنGْ Gِ إGGَ فGۖ G ْمG ُكG ْنG ِمG ِرGG ْمGَ أْلG اG يGِلG وGُ أG َوGلGَ G وG G ُسGَّGرGلG اGاG وGُعG G يG ِطGَ أGوGَ Gَ هَّللاGاG وGُعG G يGط Gِ Gَ أGاG وGGُ نG َمG آGنGَ G يG ِذGَّلG اG اGَ هGُّG يGَ أG اGَي
اًلG يG ِوGْ أGَ تGنGُ G َسGحGْ Gَ أG َوG ٌرG ْيG َخGكَ Gِ لG َذGٰ Gۚ G ِرGخGِ آْلG اGمGِ GوGْ Gَ يG ْلG اGوGَ Gِ هَّللG اGِ بGنGَ G وGُ نG ِمGؤGْ Gُ تG ْمGُ تG ْنG ُكGنGْ Gِ إGلGِ G وG ُسGَّGرGلG اG َوGِ هَّللاG ىGَ لGِ إGُهG وG ُّدG ُرGَف
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
Selain itu, kedudukan hadits terhdap Al-Qur’an juga dijelaskan dalam surat yasng sama
ayat 80 berbunyi:
َ G اGَ نG ْلG َسGرGْ Gَ أG اG َمGَ فGىGٰ Gَّ لGوGَ Gَ تGنGْ G َمGوGَ Gۖ Gَ هَّللاG َعG اGَ طGَ أG ْدGَ قGَ فG َلG وG ُسGَّGرGلG اG ِعG ِطGُ يGنGْ Gَم
Gً اGظG يGِ فGحGَ G ْمG ِهG ْيGَ لG َعGك
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka.
C. Fungsi Hadist terhadap Al-Qur'an.
Mufakat seluruh ulama, baik ulama Ahlul ro’yi, maupun ulma ahlul atsar
bersepakat menetapkan,bahwa: Hadist (Sunnah) itulah yang bertindak mensyarahkan dan
menjelaskan Al-Qur’an.
1. Bayan Taqrir
و ُمواGص Gَ ِأ َ ْك ِملُوا ثَاَل ثGGَإ ِ ْن ُغ َّم َعلَ ْي ُك ْم فGَا فGGَ ُكوا لَهG ِه َوا ْن ُسGِه َوأَ ْف ِط ُروا لِ ُر ْؤيَتGِ ِصو ُموا لِ ُر ْؤيَت
ُ َا ِهدَا ِن فGد َشGَ ِهGإ ِ ْن َشGَين ف ُ
” َوأَ ْف ِط ُرواShaumlah kalian karena melihat tanda awal bulan ramadlan dan berbukalah kalian
karena melihat tanda awal bulan syawal. Hr. Muslim.
Hadits di atas dikatakan bayân taqrîr terhadap ayat al-Qur`ân, karena maknanya
sama dengan alQur`ân, hanya lebih tegas ditinjau dari bahasanya maupun hukumnya.
2. Bayan Taudlieh(Tafsir)
Bayân taudlieh atau tafsir berarti menjelaskan yang maknanya samar, merinci ayat
yang maknanya Mujmal atau mengkhususkan ayat yang maknanya ‘Am.Tegesnya seperti
menerangkan maksud-maksud ayat,seperti hadist-hadist yang menerangkan maksud-
maksud ayat yang dipahamkan oleh para sahabat berlainan dengan yang dimaksudkan oleh
ayat sendiri.
3. Bayan tafshîl- al-mujmal, Hadits yang berfungsi tafshîl- almujmal, ialah yang
merinci ayat al-Qur`ân yang maknanya masih global.
tapi tidak dirinci bagaimana operasionalnya, berapa raka’at yang harus dilakukan,
serta apa yang harus dibaca pada setiap gerakan. Rasulullah SAW dengan sunnahnya
َ ُصلُّوا َك َما َرأَ ْيتُ ُمونِي أ
memperagakan shalat secara rinci, hingga beliau bersabda: صلِّي َ “Shalatlah
kalian seperti kalian melihat aku sedang shalat. HR. Jama’ah
Kisah yang dimaksudkan oleh Ayat ini telah direntang panjangkan oleh hadist yang
diriwayatkan oleh ulama-ulama ahli hadist pengarang kitab kutubu-sstitah,dengan
mensyarahkan sebab Nabi SAW meneguh orang yang berbicara dengan orang yang tiga
itu.
Atau kisah-kisah dalam al-Qur`ân yang ringkas diuraikan oleh sunnah rasul secara
gamblang dan terurai seperti isra mi’raj contohnya.
Menurut Imam Syafi’i fungsi hadist terhadap Al-Qur`ân itu adalah sebagai:
Sedangkan Imam Ahmad ibn Hanbal dalam soal ini sepakat atau sepaham dengan
gurunya ya’ni Imam Syafi’I, bahkan lebih keras lagi dalam menentukan garis-garis
penerangan as-sunnah
1. bayân ta’kid atau penguat seperti bayân taqrir yang telah dijelaskan di atas.
2. bayân tafsir.
3. bayân tasyri.
4. bayân takhshish.
5. bayân taqyied, yaitu menentukan sesuatu yang dalam ayat bisa bermakna mutlak,
seperti seruan Allah tentang kewajiban shalat secara mutlak berlaku pada siapa pun.
Sedangkan sunnah mentaqyid wanita yang sedang haidl dari yang mutlak tersebut.
Wanita yang haidl tidak diwajibkan shalat dan tidak diwajibkan mengganti. Dengan
memperhatikan beberapa pendapat di atas, tampaklah betapa pentingnya sunnah
terhadap al-Qur`ân, terutama memberikan kemudahan bagi kaum muslimin untuk
memahami isi al-Qur`ân. Jika Rasulullah SAW tidak memberikan penjelasan tentang
ayat al-Qur`ân, tentu saja akan menimbulkan berbagai kendala dan kesulitan dalam
melaksanakan al-Qur`ân. Itulah mungkin salah satu makna dari fungsi Rasul sebagai
rahmat bagi mu’minin bahkan bagi alam semesta.
1. Bayan Taqrir
2. Bayan Tafsir sebagaimana keduanya yang telah kita jelaskan diatas
3. Bayan Tabdila
Bayân Tabdîl ialah mengganti hukum yang telah lewat keberlakuannya. Dalam
istilah lain dikenal dengan nama nâsih wa al- mansûh. Banyak ulama yang berbeda
pendapat tentang keberadaan hadits atau sunnah men-tabdil al-Qur`ân. Namun pada
dasarnya bukan berbeda dalam menyimpulkan hukum, melainkan hanya terletak pada
penetapan istilahnya saja. Contoh sunnah yang dianggap Bayân Tabdîl oleh pendapat yang
mengakuinya ialah dalam bab zakat pertanian. Dalam ayat alQur`ân tidak diterangkan
batasan nisab zakat melainkan segala penghasilan wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan
dalam sunnah Rasul ditandaskan: “Tidak ada kewajiban zakat dari hasil pertanian yang
kurang dari lima wasak” .Hr. al-Bukhari dan Muslim.
A. Kesimpulan
Berdasarkan dalil Alquran dan al-Hadis, jelaslah bahwa kedudukan Hadis dalam
ajaran Islam merupakan sumber kedua setelah Alquran. Bagi mereka yang tidak menerima
Hadis sebagai sumber ajaran Islam, ini berarti kurang memahami secara baik ajaran Islam
itu sendiri. Karena, Alquran tanpa hadis sebagai penjelas, maka sulit untuk
mengimplementasikan nilai-nilai dan ajaran yang terkandung di dalamnya.
Dengan hadislah dapat dilihat dan disandarkan bagaimana praktek umat Islam
menegakkan solat. Sebab, praktek solat tidak secara rinci dijelaskan dalam Alquran, tetapi
dirinci dan dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw yang dilihat oleh para sahabatnya.
Dengan demikian Alquran dan hadis tidak bisa dipisahkan satau sama lain dalam
memahami ajaran islam secara baik.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini kami yakin ada kesalahan dalam pembuatannya,
maka dari itu kami mengharapkan partisipasi dari teman-teman semua untuk memberikan
kritik dan saran atas makalah yang telah kami buat, dan kami akan sangat merasa senang
apabila teman mahasiswa sekalian bisa mengkritik atau memberi saran guna memperbaiki
ketidak sempurnaan kami dalam membuat makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA