Anda di halaman 1dari 26

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/325391702

Analisis Semiotika pada Artikel “The Connotations of English Colour Terms

Article · May 2018

CITATIONS READS

2 6,756

2 authors, including:

Hasyim Muhammad
Universitas Hasanuddin
93 PUBLICATIONS   169 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

semiotika fashion View project

The new Toraja destination: adding value ‘Toraja coffee’ of the sustainable tourism development View project

All content following this page was uploaded by Hasyim Muhammad on 01 June 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Mata Kuliah : Semiotik
Dosen pengasuh : Dr. Muhammad Hasyim, M.Hum

TUGAS AKHIR MATA KULIAH SEMIOTIK

Oleh
YULIYANAH SAIN
(F013171003)

PROGRAM STUDI ILMU LINGUISTIK


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
Judul : Analisis Semiotika pada Artikel “The Connotations of English Colour
Terms: Colour-based X-phemisms (Keith Allan)
Nama : Yuliyanah Sain
NIM : F013171003
Email : yuliyanahsain@yahoo.com

PENGANTAR
Warna adalah getaran/gelombang tertentu dari sesuatu yang diterima oleh retina atau
getaran yang dipancarkan suatu benda, ada sinar yang mengenai benda, langsung diterima oleh
mata kita. Warna bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Hal ini dibuktikan dengan warna yang
menjadi identitas bagi suatu negara, sebuah suku, suatu golongan dan lain-lain seperti, warna
merah putih pada bendera Indonesia melambangkan merah berarti berani dan putih berati suci.
Warna hijau identik dengan golongan NU yang dimaknai sebagai simbol kesejahteraan. Golkar
identik dengan warna kuning yang dimaknai dengan kemakmuran. Warna merah identik
dengan partai PDI P yang dimaknai sebagai pemberani dan semangat yang membara. Warna
memiliki arti dan juga menjadi simbol dari berbagai hal.
Dalam tulisan ini akan melihat makna warna dalam analisis semiotik pada arikel “The
Connotations of English Colour Terms: Colour-based X-phemisms” dan analisis komparatif
dengan warna pada budaya suku Tolaki Sulawesi Tenggara.

RUMUSAN MASALAH

1. Berikanlah ulasan tentang isi artikel tersebut.


2. Bagaimana penandaan (proses semiosis) warna dalam artikel tersebut dengan menggunakan
semiotika Barthes atau Peirce.
3. Lakukan analisis komparatif dengan warna budaya tradisi di Indonesia dengan pendekatan
semiotika. Misalnya warna budaya tradisi Toraja, etnis Kajang, dll.

LANDASAN TEORI

A. SEMIOTIKA

Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan
dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan
penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. Menurut Preminger (2001), ilmu ini
menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-
tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda- tanda tersebut mempunyai arti.

Semiotik (semiotic) adalah teori tentang pemberian ‘tanda’. Secara garis besar semiotik
digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic pragmatic),
semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic semantic)
(Wikipedia,2007).

Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)


Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang
menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek.
Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai
sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur
berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot
dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh
pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai
pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur
merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.

Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)


Semiotik Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan ‘makna’nya
ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini mengabaikan pengaruh
akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan
tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem
tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-
bagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.

Semiotik Semantik (semiotic semantic)


Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’ yang
disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang sistem tanda
yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan
makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi
wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh
pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau
‘arti’ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan
diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya
sama dengan persepsi pengamatnya.

B. TEORI SEMIOTIK
Charles Sanders Peirce
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen
utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik
yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk
(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol
(tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan
Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut
objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau
sesuatu yang dirujuk tanda.

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda
dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang
tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah
bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat
berkomunikasi.
Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi
mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian.
Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan
penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita
muda cantik dan menggairahkan.

Ferdinand De Saussure
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini
semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda
(signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya
arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi
dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure
adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan
signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda
dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan
untuk dapat memaknai tanda tersebut.

Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau
penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.

Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek
dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut
“referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan
object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan
menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang
menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan
tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan
kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).

Roland Barthes
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes
mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan
konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan
petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita
Kusumarini,2006).

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang
tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang
berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks
dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks
dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal
dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan
konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik
perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-
signified yang diusung Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat.
“Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem
sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki
petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna
konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan
menjadi mitos.

Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena
dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang
menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin
yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada
pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap
sebagai sebuah Mitos.

Baudrillard
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai
asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber
otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang
disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari
tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil
multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah
truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang
dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk
sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari
agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah
tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali
kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau sudah
lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan
hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal
sesungguhnya atraksi tersebut telah ‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan
penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.

Derrida
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida,
adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk
kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi,
pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada
dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui
penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak
pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah
mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama
sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan
mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi,
prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip.
Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen
sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.

Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-
gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad
kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut
cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-
moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau
mistis di altar gereja, dan sebagainya.

Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan kemurnian
dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi,
‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya
temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan
sebagai ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut
menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara
khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.

Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi
baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan
(“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga
menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas. Berbeda dari Baudrillard
yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda
sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau
dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik
dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda
tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.

Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang
menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer.
Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika
sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).

Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan
perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi
konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang
dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal
dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu
atas dasar hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang
dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti
apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s
bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif”
(bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa
dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s
yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu
sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.

Ogden & Richard


Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika trikotomi yang
dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang didalamnya terdapat perkembangan
hubungan antara Petanda (signified) dengan Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian
dibagi menjadi dua yaitu Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier)
itu sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi
dari Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna, konsep, gagasan, sedang Penanda
merupakan gambaran yang menjelaskan peranti, penjelasan fisik obyek benda, kondisi
obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan
volume yang memiliki suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti
merupakan wujud obyek/benda/fungsi aktual (Christian).

Semiotika Teks
Pengertian teks secara sederhana adalah “kombinasi tanda-tanda” (Piliang, 2003). Dalam
pemahaman yang sama, semua produk desain (termasuk arsitektur dan interior) dapat dianggap
sebagai sebuah teks, karena produk desain tersebut merupakan kombinasi elemen tanda-tanda
dengan kode dan aturan tertentu, sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna dan
berfungsi (Yusita Kusumarini,2006). Dalam menganalisis dengan metode semiotika, pada
prinsipnya dilakukan dalam dua tingkatan analisis, yaitu : Analisis tanda secara individual
(jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda), dan makna tanda secara individual. Analisis tanda
sebagai sebuah kelompok atau kombinasi (kumpulan tanda yang membentuk teks), biasa
disebut analisis teks. Untuk menganalisis tanda secara individual dapat digunakan model
analisis tipologi tanda, struktur tanda, dan makna tanda (Piliang, 2003). Analisis tipologi tanda
tersebut menggunakan teori semiotik pengelompokan tanda Charles Sanders Peirce.
Sedangkan dalam hal analisis struktur tanda menggunakan teori semiotik Ferdinand de
Saussure. Kemudian dalam menganalisis makna tanda dapat dilakukan dengan
menggabungkan hasil analisis tipologi tanda dan struktur tanda. Gabungan analisis keduanya
(tipologi tanda dan struktur tanda) akan menghasilkan makna tanda yang lebih kuat (Yusita
Kusumarini,2006).

Untuk menganalisis tanda secara kelompok atau kombinasinya (analisis teks), tidak hanya
sebatas menganalisis tanda (jenis, struktur, dan makna) tetapi juga termasuk pemilihan tanda
yang dikombinasi dalam kelompok atau pola yang lebih besar (teks) yang mengandung
representasi sikap, ideologi, atau mitos tertentu (latar belakang kombinasi tanda). Ada beberapa
model dan prinsip analisis teks, salah satunya yang diajukan oleh Thwaites (Piliang, 2003).
Prinsip dasar analisis teks adalah polisemi (keanekaragaman makna sebuah penanda). Konotasi
tanda berkaitan dengan kode nilai, makna sosial, dan berbagai perasaan, sikap, atau emosi.
Tiap teks adalah kombinasi sintagmatik tanda-tanda yang melalui kode sosial tertentu
menghasilkan konotasi tertentu (metafora dan metonimi menjadi bagian dari kombinasi tanda).
Konotasi yang berbeda bergantung pada posisi sosial pembaca dan faktor lain yang
mempengaruhi cara berpikir dan menafsirkan teks. Konotasi yang diterima luas secara sosial
akan menjadi denotasi (makna teks yang dianggap benar). Denotasi merepresentasikan mitos
budaya, kepercayaan, dan sikap yang dianggap

C. BIDANG TERAPAN SEMIOTIK


Pada prinsipnya jumlah bidang terapan semiotika tidaklah terbatas. Bidang semiotika ini
sendiri bisa berupa proses komunikatif yang tampak lebih alamiah dan spontan hingga pada
sistem budaya yang lebih kompleks.19 bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian
ilmiah Semiotika menurut Eco (1979:9-14), antara lain :

1. Semiotika binatang (zoomsemiotic)


2. Tanda – tanda bauan (olfactory signs)
3. Komunikasi rabaan (tactile communication)
4. Kode – kode cecapan (code of taste)
5. Paralinguistik (paralinguistics)
6. Semiotika medis (medical semiotics)
7. Kinesik dan proksemik (kinesics and proxemics)
8. Kode – kode musik (musical codes)
9. Bahasa – bahasa yang diformalkan (formalized languages)
10. Bahasa tertulis, alfabet tidak dikenal, kode rahasia (written languages, unknown alphabets,
secret codes)
11. Bahasa alam (natural languages)
12. Komunikasi visual (visual communication)
13. Sistem objek (system of objects)
14. Struktur alur (plot structure)
15. Teori teks (text theory)
16. Kode – kode budaya (culture codes)
17. Teks estetik (aesthetic texts)
18. Komunikasi Massa (mass comunication)
19. Retorika (rhetoric)
Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas. Adapun beberapa contoh
aplikasi semiotika di antara sekian banyak pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi
antara lain :

1. Media
Mempelajari media adalah adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa, seberapa
jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia berkaitan dengan
pemikiran kita sendiri.Dalam konteks mediamassa, khusunya media cetak kajian semiotika
adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan.

Untuk teknik – teknik analisnya sendiri, secara garis besar yang diterapkan adalah :

1. Teknik kuantitatif
Teknik ini adalah teknik yang paling dapat mengatasi kekurangan dalam objektivitas, namun
hasilnya sering kurang mantap. Ciri – ciri yang dapat di ukur dinyatakan sebagai tanda
merupakan titik tolak penelitian ini. Menurut Van Zoest, 19993:146-147), hasil analisis
kuantitatif selalu lebih spektakuler namun sekaligus selalu mengorbankan ketahanan uji
metode – metode yang digunakan.

2. Teknik kualitatif
Pada analisis kualitatif, data – data yang diteliti tidak dapat diukur secara matematis. Analisis
ini sering menyerang masalah yang berkaitan dengan arti atau arti tambahan dari istilah yang
digunakan.

Tiga pendekatan untuk menjelaskan media (McNair, 1994, dalam Sudibyo, 2001:2-4)

1. Pendekatan Politik-Ekonomi
Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan – kekuatan
ekonomi dan politik di luar pengelolaan media.

2. Pendekatan Organisasi
Bertolak belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini menekankan bahwa isi
media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan – kekuatan eksternal di luar diri pengelola
media.

3. Pendekatan Kulturalis
Merupakan pendekatan politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita
dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media. Media pada
dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan organisasi, tapi
berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari
kekuatan – kekuatan politik-ekonomi di luar media. Secara teoritis, mediamassa bertujuan
menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Namun, pada praktiknya apa
yang disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan.

Terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang dianggap tidak
penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan survival menjadi tidak perlu
disebar luaskan. Media menyunting bahkan menggunting realitas dan kemudian memolesnya
menjadi suatu kemasan yang layak disebar luaskan.
Tiga zona dalam teori media menurut Berger dan Luckman :
1. Orders and practices of signification = Tatanan dan praktik – praktik signifikasi.
2. Orders and practises of power = Tatanan dan praktik – praktik kekuasaan.
3. Orders and practises of production = Tatanan dan praktik – praktik produksi.

2. Periklanan
Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang terdiri atas 2
lambang yakni lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang
disajikan dalam iklan).Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara
lain (Berger) :

 Penanda dan petanda


 Gambar, indeks, simbol
 Fenomena sosiologi
 Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
 Desain dari iklan
 Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi
tersebut.
Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang
dikandungnya yaitu :

o Pesan Linguistik ————————– Semua kata dan kalimat dalam iklan

o Pesan yang terkodekan —————— Konotasi yang muncul dalam foto iklan

o Pesan ikonik yang tak terkodekan —– Denotasi dalam foto iklan

3. Tanda Non Verbal


Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata – kata dan bahasa.

Tanda – tanda digolongkan dalam berbagai cara :

 Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui
pengalamannya.
 Tanda yang ditimbulkan oleh binatang
 Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal.
Namun tidak keseluruhan tanda – tanda nonverbal memiliki makna yang universal. Hal ini
dikarenakan tanda – tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi setiap budaya yang
lain.Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang penting untuk
diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan dengan benda
konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera manusia.

Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal bertujuan untuk
mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda – benda atau sesuatu yang bersifat
nonverbal. Dalam pencarian makna tersebut, menurut Budianto, ada beberapa hal atau
beberapa langkah yang perlu diperhatikan peneliti, antara lain :

 Melakukan survei lapangan untuk mencari dan menemukan objek penelitian yang sesuai
dengan keinginan si peneliti.
 Melakukan pertimbangan terminologis terhadap konsep –konsep pada tanda nonverbal.
 Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan komunikasi terhadap objek yang ditelitinya.
 Menentukan model semiotika yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Tujuan
digunakannya model tertentu adalah pembenaran secara metodologis agar keabsahan atau
objektivitas penelitian tersebut dapat terjaga.

4. Film
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika.

Van Zoest, film dibangun dengan tanda semata – mata. Pada film digunakan tanda – tanda
ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film
merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya. Film umumnya dibangun dengan banyak
tanda. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara. Film menuturkan ceritanya
dengan cara khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan
pertunjukannya dengan proyektor dan layar.
Sardar & Loon, Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa
yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk – bentuk simbol visual dan linguistik
untuk mengkodekan pesan yang sedang disampaikan. Figur utama dalam pemikiran semiotika
sinematografi hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences
Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki hubungan
motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan
alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak pernah
semena.

5. Komik Kartun Karikatur


Sebelum memasuki pembahasan, terlebih dahulu kita ketahui apa yang dimaksud dengan
komik, kartun, serta karikatur. Komik adalah cerita bergambar dalam majalah, surat kabar, atau
berbentuk buku yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu. Komik sendiri dikelompokkan
menjadi dua jenis yaitu, comic strips dan comic book. Komik bertujuan utama menghibur
pembaca dengan bacaan ringan, cerita rekaan yang dilukiskan relatif panjang dan tidak
selamanya mengangkat masalah hangat meskipun menyampaikan moral tertentu. Bahasa
komik adalah bahasa gambar dan bahasa teks.

Kartun adalah sebuah gambar lelucon yang muncul di media massa, yang hanya berisikan
humor semata, tanpa membawa beban kritik sosial apapun. Pada dasarnya, kartun
mengungkapkan masalah sesaat secara ringkas namun tajam dan humoristis sehingga tidak
jarang membuat pembaca senyum sendirian.

Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal, dengan
mempercantiknya dengan penggambaran ciri khas lahiriyahnya untuk tujuan mengejek
(Sudarta,1987). Empat teknis yang harus diingat sebagai karikatur adalah, harus informatif dan
komunikatif, harus situasional dengan pengungkapan yang hangat, cukup memuat kandungan
humor, harus mempunyai gambar yang baik. Semula karikatur hanya merupakan selingan atau
ilustrasi belaka. Namun pada perkembangannya, karikatur dijadikan sarana untuk
menyampaikan kritik yang sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar – gambar
lucu dan menarik bahkan tidak jarang membuat orang yang dikritik justru tersenyum.

Tommy Christomy, Secara formal proses semiosis yang paling dominan dalam kartun adalah
gabungan atau proposisi (visual dan verbal) yang dibentuk oleh kombinasi tanda argumen
indexical legisign. Untuk menganalisis kartun atau komik-kartun, seyogyanya kita
menempatkan diri sebagai kritikus agar secara leluasa dapat melakukan penilaian dan memberi
tafsiran terhadap komik-kartun tersebut.
Setiawan, Komik-kartun penuh dengan perlambangan – perlambangan yang kaya akan makna.
Selain dikaji sebagai teks, secara kontekstual juga dilakukan yakni dengan menghubungkan
karya seni tersebut dengan situasi yang sedang menonjol di masyarakat. Dalam pandangan
Setiawan hal ini di maksudkan untuk menjaga signifikasi permasalahan dan sekaligus
menghindari pembiasan tafsiran

6. Sastra
Dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang
sebagai sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat
kerungan. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tanda-
menanda yang menyiratkan makna semiotika.
Wawasan semiotika dalam studi sastra memiliki tiga asumsi :
 Karya sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan pengarang, wujud sastra
sebagai sistem tanda, dan pembaca.
 Karya sastra merupakan salah satu bentuk pengunaan sistem tanda (system of signs) yang
memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu.
 Karya sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan dengan dunia
pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.
Sasaran kajian sastra secara ilmiah bukan pada wujud konkret wacananya, melainkan pada
metadiscourse atau bentuk dan ciri kewacanaan yang tidak teramati secara konkret

7. Musik
Sistem tanda musik adalah oditif. Bagi semiotikus musik, adanya tanda – tanda perantara,
yakni, musik yang dicatat dalam partitur orkestra, merupakan jalan keluar. Hal ini sangat
memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa
penelitian musik semula terutama terarah pada sintaksis. Meski demikian, semiotika tidak
dapat hidup hanya dengan mengandalkan sintaksis karena tidak ada semiotika tanpa semantik
juga tidak ada semiotika musik tanpa semantik musik.

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

ULASAN ARTIKEL

a. Hitam
Warna hitam dianggap kurang baik karena ditandai oleh tidak adanya cahaya dan
karenanya dapat menunjukkan kegelapan, kesuraman, dan kesedihan. Mungkin inilah
alasan mengapa orang-orang Romawi Kuno menandai hari-hari yang tidak menguntungkan
di kalender mereka dengan warna hitam. Sebuah warna dengan banyak konotasi negatif.
Suatu hari hitam dapat menimbulkan anjing hitam, dengan kata lain, suasana hati yang
hitam. Ini berhubungan dengan awan gelap yang menandakan kesedihan atau berkabung.
Hitam dikaitkan di masyarakat barat dengan pakaian yang berkaitan dengan kematian.
Ungkapan Kematian dihubungkan dengan hitam merujuk pada peristiwa penyakit pes yang
melanda Eropa dari tahun 1347 hingga 1400 yang menyebabkan kematian dini sekitar 25
juta orang. Warna hitam dihubungkan juga dengan kematian yang disebabkan ilmu hitam.
Ada tampilan hitam dari wajah yang dipenuhi kemarahan, mengerutkan kening,
mengancam, bertubuh buruk (mungkin mampu memeras), sinis dan hal-hal buruk lainnya.
Gerakan Black September adalah kelompok paramiliter Arab Palestina pada tahun 1970
ketika pasukan Yordania menyerang pasukan komando Palestina. Pembunuh lain yang
kadang-kadang adalah laba-laba hitam, Latrodectes mactans. Blackguard adalah orang yang
berhati hitam, seseorang yang mungkin menghitamkan nama Anda atau memberi Anda
mata hitam; orang yang busuk, jahat, kejam, dan jahat yang memiliki tujuan gelap, ganas
atau mematikan; pastilah kambing hitam dari keluarga; jenis orang yang terlibat dengan
uang hitam yang dibuat di pasar gelap; seseorang yang mungkin muncul dalam daftar hitam
atau dipukul secara hitam sebagai orang yang merasa malu, kaki hitam, dikucilkan dan
dicurigai, dikecam, atau dihukum.
Hitam adalah warna yang terkait dengan kotor, kotor, hal-hal kotor sangat diwarnai
dengan kotoran; itu adalah warna bahan organik yang membusuk. Hua, orang-orang dari
Distrik Dataran Tinggi Timur Papua New Guinea, mengaitkan 'hitam dengan zat pembusuk
gelap yang diduga penting dalam kesuburan perempuan' (Meigs, 1978: 317 n.8). Dari rahim,
seperti dari kompos hitam atau dari abu hangus terbakar hutan dan padang rumput, mata air
kehidupan baru. Tetapi ini tidak merehabilitasi hitam dari rangkaian konotasi yang
umumnya disfemistik yang hampir pasti memperkuat sikap negatif terhadap masyarakat
berkulit gelap, sikap yang diperkuat oleh fakta bahwa pekerja lapangan yang kulitnya
digelapkan oleh matahari telah hampir secara universal dipandang rendah oleh pemantik.
Orang kulit hitam biasanya jauh lebih gelap daripada orang-orang "kulit putih", tetapi
sebenarnya warna coklat; 'hitam' prototipikal adalah etnis Afrika, tetapi istilah ini juga
digunakan untuk suku Aborigin Australia, orang-orang dari Papua Nugini, dan bahkan
India. Kadang-kadang etnis Asia Selatan digambarkan coklat untuk membedakan mereka
dari 'kulit hitam'. Orang Asia Timur seharusnya 'kuning'. Orang Indian Merah disebut
sebagai 'merah' sebagai akibat dari kebiasaan orang Beothuck di Newfoundland yang
mengenakan oker merah; itu juga berfungsi untuk membedakan penduduk asli Amerika dan
penduduk asli Kanada dari penduduk kulit putih dan orang Amerika keturunan Afrika.
Hitam sebagai istilah rasial adalah calque negro Spanyol atau Portugis. Dari abad ke-15 dan
seterusnya, sikap negatif yang ada untuk orang-orang berkulit gelap dari etnis apa pun,
bersama dengan persepsi orang-orang Afrika disebut sebagai orang tidak beradab dan cocok
untuk menjadi budak, memperkuat penggunaan disfemik Hitam oleh orang-orang Afrika-
Amerika yang mereklamasi istilah seperti dalam bahasa Hitam itu indah dan kebebasan
kontemporer orang Afrika dan orang kulit hitam lainnya dari kolonialisme.

b. Putih
Di antara Anglos, kulit putih diasosiasikan dengan kemurnian dan cahaya, kebebasan
dari keganasan atau niat jahat, orang yang murah hati, yang tidak bersalah, yang tidak
berbahaya. Ini sangat termotivasi oleh kontrasnya dengan hitam; membandingkan Ksatria
Putih yang baik (dalam baju besi bersinar) versus Ksatria Hitam dan fakta bahwa penjahat
secara tradisional mengenakan pakaian hitam di film-film Hollywood. Di zaman Romawi
Kuno yang putih adalah tanda kemenangan dan hari-hari yang bermanfaat ditandai pada
kalender dengan kapur putih. Sihir putih itu bagus, ilmu hitam itu buruk. Pekerja kerah putih
secara sosial lebih unggul dari pekerja kerah biru. Kebohongan putih adalah kebohongan
yang dapat diterima. Pengantin modern memakai warna putih sebagai simbol kesucian dan
kemurnian (bahkan jika dia tidak lagi perawan).

c. Abu-abu
Abu-abu (abu-abu AS) terkadang gratis dengan janggut abu-abu, tetapi tidak harus.
Pengembara abu-abu Australia adalah pensiunan yang melakukan perjalanan di seluruh
negeri; frasa itu bersifat ortofemistik. Begitu juga, adalah kekuatan abu-abu yang mengacu
pada suara abu-abu dari kelompok lobi untuk warga 'senior' di Australia dan Selandia Baru
dan frasa ini mengakui kekuatan politik yang berpotensi kuat di AS dan Eropa. Para mitra
AS adalah Gray Panthers7 yang mengkampanyekan partisipasi aktif masyarakat oleh orang-
orang dari segala usia untuk pembentukan pendidikan umum seumur hidup, sistem
perawatan kesehatan universal, program jaminan sosial yang lebih kuat, hak-hak pekerja,
pelestarian lingkungan, keamanan melalui kedamaian bukan perang, dan isu-isu serupa
tentang kepedulian sosial dan kemanusiaan. Jika tidak, abu-abu dysphemistically
menggambarkan cuaca membosankan, negara suram atau suram urusan, dan orang-orang
membosankan.
Arbitrage (praktik mengambil keuntungan dari perbedaan harga antara dua atau lebih
pasar) disebut sebagai pasar abu-abu. Kaitannya mungkin hampir tidak berbeda dari pasar
gelap melalui gagasan yang agak negatif dari area abu-abu '' area yang keruh di mana tidak
ada resolusi yang jelas yang mungkin '', yaitu tidak dapat ditentukan (ketika determinabilitas
lebih disukai) dan juga persepsi disfemistik bahwa pasar abu-abu dihuni oleh 'hiu' seringkali
berwarna abu-abu seperti pakaian yang dikenakan para arbiter ini.

d. Coklat
Meskipun sikap positif untuk zat berwarna coklat tertentu seperti roti coklat, beras
merah, brown ale dan gula merah - semua orthophemisms (kecuali untuk penggunaan
eufemisme gula coklat untuk '' heroin ''), warna coklat sering dikaitkan dengan disfemisme
dan disfisme eufimistik. Angka-angka yang diilhami cukup jelas dalam ekspresi seperti
Anda penuh dengan kotoran, itulah sebabnya mata Anda berwarna coklat; dalam barang
coklat; berwarna coklat kecoklatan dan coklat-nosing atau coklat-tonguing yang terkait
untuk arsenicker yang menyilaukan dan menjilat.
Asosiasi-asosiasi feses bukan satu-satunya sisi negatif coklat; ada juga, fakta bahwa
vegetasi yang mati menjadi coklat. Kecuali untuk abad ke-20, kulit putih yang terbakar
matahari seperti coklat seperti buah beri diremehkan karena, seperti yang sudah dikatakan
sebelumnya, hanya pekerja yang lebih rendah secara sosial yang bekerja di udara terbuka
dan menjadi coklat. Hari ini, kekhawatiran tentang kanker kulit sekali lagi mengubah
paparan matahari menjadi perilaku yang agak tabu.
Situs brownfield mengacu pada lahan yang sebelumnya digunakan untuk industri
atau perdagangan yang kemungkinan terkontaminasi oleh limbah berbahaya; itu kontras
dengan situs greenfield. Menyimpulkan, warna coklat adalah dysphemistic ketika dikaitkan
dengan polusi lainnya.

e. Kuning
Kuning hampir selalu ortofemis tetapi kadang-kadang disfemistik. Seperti hijau, itu
diterapkan pada orang-orang yang takut atau cemburu, terutama dalam kalimat memakai
selang kuning yang mati pada abad ke-19. Masih sangat aktif disfemistik dan menghina
adalah memanggil seseorang dengan kuning atau kuning-bengkak ‘‘ pengecut dan penakut
’. Ini berasal dari Amerika Serikat pada abad ke-19 dan mungkin berhubungan dengan
bunga lily dengan merujuk pada hati sebagai pusat keberanian, karena fakta bahwa orang
dengan penyakit hati adalah penyakit kuning — memiliki mata kuning dan kulit kuning.
Seperti putih, hitam dan coklat, kuning digunakan untuk warna kulit. Ungkapan
bahaya kuning adalah disfemisme rasis yang mengacu pada bahaya yang diperkirakan
bahwa orang-orang Asia akan membanjiri orang kulit putih. Di antara orang Afrika
Amerika, orang kuning (yaller) adalah orang coklat muda dan julukannya sopan. Sikap
terhadap warna kulit yang berbeda terungkap secara ironis dalam ‘Black Gal Blues’ dari
Mississippi delta (penulis lirik dan penyanyi semuanya orang Amerika Afrika).

f. Merah
Warna merah, menjadi warna darah dan api, sudah matang untuk X-phemisms yang
digerakkan secara metaforis. Untuk kedua alasan fisiologis dan psikologis itu adalah warna
yang paling menonjol untuk manusia dan yang pertama untuk dikenali oleh bayi (semuda 4
bulan) (bnd. Bornstein, 1975; Ratcliffe, 1976: 323; MacLaury, 1997: 252; Miller , 1997:
159). Merah telah digunakan oleh sistem kontrol lalu lintas di tanda-tanda berhenti dan
lampu lalu lintas. Agaknya, merah untuk bahaya terinspirasi oleh merah menjadi warna
darah. Konvensi tersebut telah menyebar ke berbagai macam tanda pelarangan, 'logon'
terlarang '' biasanya berwarna merah. Kabel listrik 'aktif', 'hidup', atau positif sering kali
berwarna merah. Di Amerika Serikat, Sistem Penasihat Keamanan Dalam Negeri
mengidentifikasi lima kondisi ancaman: risiko terberat serangan teroris adalah peringatan
merah, risiko tinggi adalah lansiran oranye, dll.
Merah adalah warna keberuntungan bagi budaya Cina; kurang begitu bagi penutur
bahasa Inggris, meskipun dalam waktu yang lebih religius kalender menandai hari-hari suci
dan hari libur merah, maka hari-hari surat merah adalah hari-hari baik, warna mungkin
dipilih karena arti-pentingnya. Perlakuan karpet merah merupakan penghormatan karena
karpet merah digulingkan di atas tanah untuk VIP berjalan ketika mereka memasuki
kendaraan atau bangunan; sekali lagi, warna ini mungkin dipilih karena arti-pentingnya.
Bibir merah disukai oleh wanita dari banyak ras dan budaya mungkin karena mereka akan
kelihatan sensual. Kenapa tidak pada pria juga? Mungkin karena bibir merah dan mengkilap
memodelkan vulva yang membesar. Pipi merah dihargai khususnya oleh orang-orang
keturunan Eropa utara sebagai tanda kesehatan terhadap pucatnya penyakit — yang pasti
menjelaskan mengapa pipi dipulas oleh mereka yang memakai riasan wajah. Pipi merah
juga merupakan efek dari dingin ketika darah mengalir masuk untuk menjaga wajah tetap
hangat. Pria berdarah merah adalah pria 'nyata' (apa pun itu). Sesuatu yang panas-merah
biasanya sangat dihargai, meskipun kata sifat panas yang mendominasi dalam penggunaan
dysphemistic dari panas-merah sebagai deskripsi barang-barang curian yang secara aktif
dicari oleh hukum. Warna merah matahari terbenam baik: Langit merah di malam hari,
kegembiraan gembala karena seharusnya menunjukkan cuaca cerah. Tapi langit merah di
pagi hari dianggap negatif.
Kadang-kadang benda merah dianggap memiliki kekuatan pelindung atau kuratif
khusus. Bloodstone dikenakan sebagai jimat karena bintik-bintik merah melambangkan
penyaliban Kristus. Karang, karena warna merahnya, secara tradisional telah digunakan
dalam cincin gigi bayi. Di bagian utara Inggris, satu kebiasaan telah menerapkan flanel
merah ke dada dan sendi bronkus yang sakit dan meradang (warna merah mungkin terkait
dengan kehangatan api). Menurut Meigs (1978: 309f), Hua dari Papua New Guinea atribut
minyak pandan merah dan makanan yang melepaskan warna kemerahan ketika dimasak
dengan kekuatan kuratif yang luar biasa. Semua penggunaan warna merah ini bersifat
ortofemistik.
Namun merah memiliki lebih banyak disfemistik daripada asosiasi eufemisme untuk
bahasa Inggris. Orang-orang Indian merah mungkin mendapat julukan dari dua sumber: satu
untuk mencemari mereka dari Indian India (coklat atau hitam); yang lain dari cat oker merah
yang dikenakan oleh beberapa penduduk asli Amerika dan penduduk asli Kanada dalam
upacara dan perang. Karena sikap negatif terhadap penduduk asli Amerika, stereotip dalam
Barat, istilah Indian Merah hampir ditinggalkan sebagai disfemistik.
Berada dalam warna merah adalah '‘untuk menunjukkan defisit’; tinta merah
mungkin telah digunakan sebagai contoh merah untuk bahaya. Pita merah menghambat
tindakan yang efisien; angka tersebut berasal dari penggunaan pita merah untuk mengikat
kumpulan dokumen hukum dan pemerintah, tetapi tidak ada alasan yang diketahui bahwa
pita itu berwarna merah daripada warna lainnya. Seekor ikan merah adalah 'pengalih
perhatian yang menyesatkan' '; Ungkapan itu berasal dari praktik awal menggambar ikan
herring (kipper) yang kering dan kering di sepanjang jalan binatang buruan untuk mengasah
keterampilan anjing-anjing itu. Bagi sebagian orang, ikan herring merah akan seperti kain
merah ke banteng ‘‘ hasutan atau provokasi ’. Orang-orang digambarkan sebagai berwajah
merah, memerah atau memerah (bahkan bit) dengan rasa malu atau marah - dalam hal ini
mereka melihat merah - saat darah mengalir ke wajah. Leher merah adalah seorang fanatik
(putih) yang berpendidikan buruk — secara prasangka, leher merah berasal dari bekerja di
tempat terbuka. Memiliki darah di tangan Anda adalah dakwaan pembunuhan dan tak
diragukan lagi menimbulkan frase tertangkap basah; tetapi, sebenarnya, frasa ini digunakan
untuk siapa saja yang tertangkap bertindak dengan cara kriminal atau hanya melakukan
sesuatu yang tidak disetujui seperti berbohong atau perjodohan. Bendera merah Perancis
yang revolusioner dikatakan telah dicelupkan ke dalam darah aristokrat; apakah ini benar
atau tidak, bendera merah revolusi sering diterbangkan pada abad ke-19 dan 20, paling tidak
oleh revolusi Bolshevik dan Red China.
Eufemisme, atau mungkin disfemisme eufemisme, untuk penggunaan menstruasi
seperti di Laut Merah, itu adalah hari surat merah, mengendarai kain merah, mengibarkan
bendera merah, berselancar di ombak merah, layar merah saat matahari terbenam,
merenggut kotak yang dihiasi mawar mawar merah. Lebih puitis dan figuratif adalah ceri
dalam sherry. Juga puitis adalah bahwa mawar merah di baju pelacur pernah menunjukkan
bahwa toko itu tertutup untuk bisnis. Karena kecenderungan pra-abad ke-20 militer Inggris
untuk mantel merah, kavaleri di sini dan menghibur jendral (bersama dengan Perancis j’ai
mon anglais) berarti memiliki periode. Asosiasi militer dengan perbuatan berdarah tidak
relevan di sini. Pada akhir 1980-an metafora semacam ini muncul dalam iklan televisi untuk
tampon Fleur yang diperlihatkan di Australia: dua suara wanita membahas penemuan kotak
bunga kecil yang dihias rapi di antara isi tas tangan; satu mengidentifikasi sebagai tampon
Fleur dan menggambarkan keunggulan ini di atas tampon lainnya; kemudian, ketika
tembakan itu berubah menjadi seorang pria tua dalam berburu topi merah dan mengendarai
membawa nampan berisi minuman, suara kedua berkata 'Oh bagus, pasukan berkuda tiba.
Di Eropa abad pertengahan, darah, dan khususnya darah menstruasi, digunakan untuk
mengobati berbagai macam penyakit, terutama penyakit serius seperti lepra; ini terlepas dari
reputasi cairan menstruasi sebagai pemasok berbahaya penyakit semacam itu. Agaknya itu
adalah obat homeopati, seperti '' rambut anjing '' (alkohol sebagai obat untuk mabuk) (lih.
Durkheim, 1963: 94). Seperti yang kita lihat sebelumnya, objek merah lainnya juga
dianggap memiliki kekuatan pelindung atau kuratif khusus. Jadi, secara keseluruhan,
konotasi warna merah mencerminkan aspek positif dan negatif dalam kehidupan kita.

g. Hijau
Hijau, pelengkap warna merah, dikatakan sebagai warna yang tenang. Menjadi warna
dominan daun hidup (maka tukang kebun yang sukses memiliki jari-jari hijau atau jempol
hijau) itu terkait dengan gerakan politik yang fokus pada pelestarian lingkungan alam dan
tampaknya memiliki beberapa konotasi negatif (bandingkan situs greenfield dengan situs
brownfield) . Green belt, greenways, green wedges mengacu pada blok yang sebagian besar
belum berkembang, liar, atau lahan pertanian yang berdekatan dengan daerah perkotaan.
Pada masa lalu, seorang gadis nakal yang berguling-guling di rumput dengan seorang
lelaki memiliki pakaian bernoda hijau, sehingga gaun hijau adalah eufemisme untuk
kehilangan keperawanan serta untuk kejar-kejaran di jerami: Akhirnya dia sangat berani
untuk memberinya gaun hijau ketika memuji, dia kehilangan bunga kesuciannya. (1602,
OED).
Orang kulit putih kadang-kadang dikatakan berubah menjadi hijau karena sakit hati,
takut, marah atau iri hati. Hanya referensi untuk iri hati cemburu biasanya disfemistik. Sosok
kecemburuan bermata hijau (mungkin berasal dari rasa bersalah, ketakutan, atau
kemarahan) tampaknya berasal dari Shakespeare:
Buah mentah seperti apel, pir, dan peach biasanya berwarna hijau dan tidak enak;
karakteristik ini telah ditransfer dan diperluas pada orang-orang dan hal-hal lain secara
dysphemistically dikatakan hijau jika mereka belum dewasa, tidak berpengalaman, belum
berkembang, belum matang, mentah, dan karena itu hijau tanduk. Jadi, penggunaan
metafora hijau secara dominan disfemistik

h. Biru
Warna biru sebagian besar digunakan secara orthophemistically, meskipun ada
beberapa penggunaan figuratif yang mendekati eufemisme seperti darah biru untuk keluarga
aristokrat. Menurut OED itu berasal dari penggunaan oleh orang-orang Spanyol abad ke-16
dari sangre azul yang membuktikan bahwa keluarga itu tidak 'terkontaminasi' oleh darah
Moor atau Semit. 'Ekspresi mungkin berasal dari kebiruan pembuluh darah orang-orang
berkulit putih dibandingkan dengan kulit gelap' (OED).
Secara tradisi seorang pengantin Anglo mengenakan sesuatu yang lama, sesuatu yang
baru, sesuatu yang dipinjam, sesuatu yang biru untuk menghubungkannya secara simbolis
dengan masa lalu dan masa depannya, keluarga dan teman-temannya, sementara pemakaian
warna biru menandakan kebajikan. Kebiasaan ini terinspirasi oleh pakaian biru yang
dikenakan oleh Madonna di sebagian besar lukisannya. Sebelum akhir abad ke-19, warna
biru adalah warna yang populer untuk gaun pernikahan, dan gadis-gadis sering kali
berpakaian biru. Merah muda untuk anak perempuan dan biru untuk anak laki-laki adalah
kebiasaan yang berkembang setelah tahun 1930-an; di jaman dulu, warna untuk anak laki-
laki sedang berburu merah muda. Ada kemungkinan bahwa pertukaran terjadi karena
seragam biru angkatan laut, angkatan udara dan polisi menempatkan kilauan macho pada
warna biru sementara tanda Nazi tentang homoseksual dengan segitiga merah muda
membuat warna itu tampak banci. (Ini meninggalkan alasan mengapa Nazi memilih warna
merah muda.) Ada kemungkinan bahwa adopsi warna biru sebagai warna berbagai partai
politik di Inggris sejak abad ke-17 dipengaruhi oleh warna pakaian Madonna. Ini telah
menyebabkan atribut biru yang benar yang berarti 'orang baik, kuat, dapat diandalkan;
seorang penganut setia '' (nasionalisme di Inggris dan Australia kadang-kadang
digambarkan sebagai biru sejati). Sekutu untuk penggunaan tersebut adalah pita biru ''
sangat bagus '', pita biru terkait '' terbaik di kelas (dari usaha olahraga) '', dan mungkin saham
blue chip - saham di perusahaan yang mapan dengan laba stabil dan tidak ada kewajiban
luas. Investasi blue chip menjanjikan pengembalian yang baik dan terjamin.
Dinamakan untuk warna seragam mereka, anak laki-laki yang baik, solid, dan dapat
diandalkan dengan warna biru (bluebottles disfemistik) dan garis biru tipis mengacu pada
polisi. Di sisi lain, pekerja kerah biru, juga dinamai secara metonim untuk warna seragam
mereka, merujuk secara ortofemik kepada pekerja manual atau industri.
Set biru adalah deskriptif dari wanita kelas menengah konservatif di akhir usia paruh
baya yang selama abad ke-20 secara stereotip memiliki rambut mereka warna biru. Untuk
menggambarkan seorang wanita sebagai bluestocking itu dan merupakan pencemaran
dysphemistic nya menjadi lebih tertarik dalam belajar dan sastra daripada tugas rumah
tangga, bermain kartu atau menari. Istilah ini muncul pada pertengahan abad ke-18, dan
mungkin berasal dari salah seorang wanita, Ny. Vesey, mengundang Benjamin Stillingfleet
yang terpelajar ke salah satu partainya; dia menolak karena dia tidak memiliki pakaian yang
pantas, lalu dia menyuruhnya untuk datang '‘di stoking birunya’ - stoking terburuk yang
biasa dia kenakan saat itu. Dia melakukannya, dan Bluestocking (atau Bas Bleu) masyarakat
menjadi nama panggilan untuk grup. Anekdot ini kemudian diceritakan oleh Madame
d'Arblay (penulis diarist dan novelis yang lebih dikenal sebagai Fanny Burney), salah satu
yang paling terkenal dari Bluestockings. (Encyclopedia Britannica 2001 De Luxe Edition
CD)
Penelitian langit biru tidak terganggu oleh kendala keuangan atau ideologis, terbuka
untuk inspirasi dari surga. Secara tiba-tiba, '' kejutan yang tak terduga, tindakan Tuhan
(keluar dari surga) ’memiliki konotasi negatif tetapi tidak disfemistik. Status serupa adalah
(berteriak sampai satu) berwarna biru di wajah, sosok yang berasal dari seseorang yang
berusaha keras sehingga urat (biru) mereka menonjol. Lebih dekat dengan dysphemism
adalah yell blue murder, '‘yell self blue in the face’ ’, lempar warna biru. Sejak abad ke-19,
funk biru yang berarti 'kegelisahan ekstrem, ketakutan gemas' sepertinya telah
menggantikan ketakutan biru. Ada juga kepemilikan oleh setan biru 'kesedihan, depresi roh'
'; frase ini secara halus diakhiri dengan blues, yang pada gilirannya datang untuk
menggambarkan jenis musik. Sebagai genre musik, blues sering memiliki lirik putus asa;
misalnya Blind’s Lonesome Christmas Blues

i. Warna metalik
Emas adalah logam estetis yang sangat menarik. Istilah emas banyak digunakan
dalam evaluasi positif seperti usia keemasan dan pujian seperti anak emas, dia bagus seperti
emas, dia sangat berharga dalam emas, dia memiliki hati emas. Nilai uang difokuskan pada
jabat tangan emas. Mungkin satu-satunya disfemisme emas adalah di mana seorang wanita
digambarkan sebagai penggali emas ketika dia dikritik karena menempelkan dirinya pada
seorang pria hanya untuk keuntungan finansial (rekan pria, gigolo tidak begitu disfemistik
sebagai anak mainan tetapi tidak juga sama negatifnya dengan pencari emas). Penyatuan
berlaku emas, tetapi untuk menyepuh bunga bakung adalah disfemisme ringan, tuduhan
menambahkan perhiasan di mana tidak ada yang diperlukan. Ini didasarkan pada garis dari
Raja John Shakespeare (1594–96):
Untuk menyepuh emas, untuk melukis bunga lili,
Untuk melempar parfum pada violet,
Untuk menghaluskan es, atau tambahkan warna lain
Ke pelangi, atau dengan cahaya lancip
Untuk mencari mata surga yang indah untuk didekorasi,
Kelebihan yang boros dan konyol. (Raja Shakespeare John IV.ii.11-16)
Meskipun semua yang melepuh bukanlah emas (Shakespeare Merchant of Venice
II.vii.65), untuk memiliki karir yang berkilauan sebelum seseorang hampir pasti mendapat
pujian pujian dari fakta bahwa emas dan logam mulia lainnya dan batu biasanya berkilauan.
Platina logam putih berat lebih langka dari emas dan platinum adalah untuk menjual
sejuta catatan pop dan dianugerahi piringan platinum oleh perusahaan rekaman. Seorang
pirang platinum (wanita dengan rambut berwarna platinum) hampir tidak metafora dan
lebih dysphemistic daripada menggambarkan seorang wanita sebagai berambut keemasan-
mungkin karena rambut emas lebih mungkin menjadi warna alami daripada rambut
platinum.
Untuk menjadi berambut perak biasanya merupakan fungsi penuaan dan frasa ini
eufimistik dengan perbandingan dengan menjadi abu-abu yang dapat disfemistik.
Seseorang memiliki lidah perak adalah memilki sifat persuasif; atribusi agak disfemistik,
seperti silvertail. Namun, suara yang berwarna keperakan adalah suara yang tegang dan
ortofemistik.
SIMBOLISME WARNA DALAM PANDANGAN PSIKOLOGIS

WARNA SIMBOLISME WARNA


Hati, darah, tragedi, kekejaman, perang, panas, kedengkian, kekuatan,
pemberani, cinta akan kehidupan, keberanian, api, kemarahan yang
Merah
besar, api penyucian, nafsu, kecantikan, kebenaran, malu, perusakan,
kemarahan, bahaya, stop (berhenti) cinta, ketertarikan.
Damai, muda, harapan, kemenangan, kecemburuan, hidup, alam,
Hijau keabadian, keamanan, konvensional, pergantian yang baik,
keseimbangan.
Jingga – Coklat Penipuan, ketidakjujuran, tidak konstan, pengkhianatan
Kekuatan, solid, ketahanan, kesedihan, kematangan, kesederhanaan,
Merah – Coklat
kokoh, hal yang dapat dipercaya, rasional.
Kejujuran, tidak bersalah, kemurnian, keperawanan, kesucian,
Putih
kesopanan, kesederhanaan,kerendahan hati, terang, cinta, persahabatan.
Setan, kesedihan, kematian, teror,

horror,
melankolis,
kenakalan,
kesungguhan, kekhidmatan, potensi, status sosial.
Hitam
kegelapan, kerahasiaan,

kejahatan, misteri, bimbang,

ilmu gaib,
Penebusan dosa, kerendahan hati, kesedihan, umur, keadaan tidak
Abu-abu mabuk, kematian, ketakutan, kesuraman, sterilitas, kematangan, tanpa
emosi, isolasi.
Ketenangan, sejuk, kesunyian, kecerdasan, kebenaran, keagungan,
diam (tenang), melankolis, tidak liar, ketulusan, kemurahan hati,
Biru
ketenangan, harapan, kenyamanan, terkontrol, penekanan pada
perasaan, konstan, penyelesaian, kesetiaan, introspeksi
Kebahagiaan, kenangan, kemakmuran, kepandaian, kesakitan,
Kuning pengecut, penyakit, hasil yang diperoleh dengan baik, keagungan,
harapan, prasangka.
Jingga Hangat, berpijar, sosialis, ramah, selalu bahagia, alam yang indah, ram

ANALISIS SEMIOTIK WARNA (SEMIOTIKA ROLAND BARTHES)


Roland Barthes, pengikut semiotika de Saussure, memandang tanda dibangun melalui
dua level pemaknaan, yaitu denotasi dan konotasi. Dalam teorinya (Hasyim, 2014, 39),
denotasi, sebagai sistem signifikasi tahap pertama (sistem primer), yaitu pemaknaan secara
umum diterima dalam konvensi dasar sebuah masyarakat. Selanjutnya, konotasi sebagai sistem
signifikasi tahap kedua (sistem sekunder), adalah pemaknaan tertentu (makna tambahan) dari
sistem primer. Konotasi menghasilkan makna baru yang diberikan oleh masyarakat pengguna
tanda yang dapat dilatarbelakangi oleh ideologi, sosial budaya, dan berdasarkan konvensi yang
ada dalam masyarakat. Konotasi digunakan pemakai tanda untuk menjelaskan realitas sosial
budaya, yang dapat menjadi label sosial yang membudaya di masyarakat.

Warna merupakan proses semiotis di masyarakat dan telah menjadi tanda budaya bagi
penuturnya. Berbagai konsep warna telah dikaitkan dengan budaya yang merepresentasikan
pandangan atau cara berpikir masyarakat. Dalam artikel ini, ada 9 (sembilan) warna yang akan
dianalisis secara semiotik dengan menggunakan pendekatan Roland Barthes

Skema penandaan pada setiap warna sebagai berikut:

TANDA DENOTASI KONOTASI


Petanda: warna dasar yang Petanda: kegelapan, kesuraman,
sesuai dengan warna arang kesedihan
Hitam
(Black)
Penanda Hitam
Penanda Hitam

TANDA DENOTASI KONOTASI

Petanda: perpaduan dari Petanda: kesucian, kemurnian


berbagai spectrum warna dan kebebasan
Putih
(White)
Penanda putih Penanda putih

TANDA DENOTASI KONOTASI


Petanda: warna antara Petanda: kesuraman,
hitam dan putih membosankan, kesejahteraan
Abu-abu
(Grey)
Penanda abu-abu Penanda abu-abu
TANDA DENOTASI KONOTASI
Petanda: warna alami, Petanda: kemiskinan dan kehinaan
identik dengan warna tanah
Coklat
(Brown) Penanda coklat
Penanda coklat

TANDA DENOTASI KONOTASI


Petanda: salah satu warna Petanda: ketakutan, cemburu,
primer subtraktif tanda bahaya, keberanian
Kuning
(Yellow)
Penanda kuning Penanda kuning

TANDA DENOTASI KONOTASI


Petanda: warna di frekuensi Petanda: keberuntungan,
cahaya paling rendah kemarahan, keberanian
Merah
(Red)
Penanda merah Penanda merah
Penanda merah

TANDA DENOTASI KONOTASI


Petanda: identik dengan Petanda: ketenangan, hilangnya
warna daun kesucian, tidak dewasa, kecemburuan
Hijau
(Green)
Penanda Hijau Penanda Hijau
TANDA DENOTASI KONOTASI
Petanda: salah satu warna Petanda: keagungan, putus asa,
primer additive, warna laut, kebajikan
warna langit
Biru (Blue)
Penanda biru Penanda biru
Penanda biru

TANDA DENOTASI KONOTASI


Petanda: warna outfit Petanda: pujian atau penghargaan,
materialistis
Metalik
Penanda metalik
Penanda metalik

ANALISIS KOMPARATIF DENGAN WARNA BUDAYA TRADISI SUKU TOLAKI


SULAWESI TENGGARA

Berbagai bentuk dan warna serta letak pemakaian pakaian, perhiasan serta kelengkapan
itu mempunyai makna simbolik menurut pandangan masyarakat suku Tolaki. Dari bentuk dan
jenis pakaian dapat memberikan pertanda terhadap ciri dan identitas suku bangsa. Pakaian adat
suku Tolaki agak lebih condong menyerupai bentuk-bentuk pakaian orang Melayu. Hanya
nampak kesederhanaannya, terutama pemakaian sarung berlapis-lapis pada kaum wanita tidak
terdapat pada mereka. Menilik warna pakaian di zaman lampau, ternyata bahwa pakaian
berwarna putih adalah untuk orang kebanyakan.
Pakaian berwarna hitam pada umumnya dipakai oleh pengurus adat. Sedangkan
golongan penguasa dan bangsawan memakai warna merah, coklat atau biru. Namun dewasa
ini ketentuan seperti itu tidak berlaku secara mutlak lagi. Menurut pandangan masyarakat tolaki
dahulu kala bahwa warna putih melambangkan keluhuran dan kesucian hati mengabdi bagi
kepentingan pemerintah yang memimpin masyarakat. Warna hitam melambangkan
kematangan dan kemampuan membina dan mengembangkan peradatan. Sedangkan warna
merah melambangkan kecintaan pada masyarakat. Dengan hiasan-hiasan berwarna kuning
mengartikan kemuliaan. Perempuan tolaki yang berpakaian berwarna coklat muda. Bahan baju
dan bahan sarung adalah kain berwarna coklat muda. Bahan baju dan sarung adalah kain
semacam itu melambangkan bahwa pemakaiannya mengutamakan harga diri dan mampu
mengendalikan dirinya.
Baju berwarna hitam menunjukan kematangan dan keakhlian mereka dalam tugas yang
diembannya, rasa tanggung jawab yang tinggi atas pengabdiannya. Busana yang berwarna
coklat dihiasi dengan renda-renda kuning melambangkan kekuasaan dalam jabatannya disertai
kemuliaan atau kewibawaaan. Seragam adat berwarna merah melambangkan bukan saja rasa
keberanian tetapi juga menunjukan bahwa ia dari golongan penguasa atau bangsawan.
Dalam suatu pesta perkawinan, gadis-gadis tolaki hadir dengan berbaju merah dan
sarung hitam bermotif garis lurus berwarna kuning. Mereka itu adalah gadis-gadis dari
keluarga bangsawan. Hiasan-hiasan yang dipakai misalnya gelang tangan, medalion, ikat
pinganng dan anting-anting menunjukan tingkat kehidupan sosial mereka.

Perbandingan makna konotasi warna antara Artikel “The Connotations of English Colour
Terms: Colour-based X-phemisms (Keith Allan) dan Budaya Tradisi Suku Tolaki Sulawesi
Tenggara

Warna Artikel “The Connotations of Budaya Tradisi Suku Tolaki


English Colour Terms: Colour-
Sulawesi Tenggara
based X-phemisms (Keith Allan)

Hitam (black) Kegelapan, kesuraman, kesedihan, kematangan dan kemampuan


kemarahan membina dan mengembangkan
peradatan
Putih (white) kesucian, kemurnian dan keluhuran dan kesucian hati
kebebasan mengabdi bagi kepentingan
pemerintah yang memimpin
masyarakat
Abu-abu (grey) kesuraman, membosankan, -
kesejahteraan

Coklat (brown) Kemiskinan dan kehinaan harga diri dan mampu


mengendalikan dirinya.

Kuning (yellow) ketakutan, cemburu, tanda kekuasaan dalam jabatannya


bahaya, keberanian disertai kemuliaan atau
kewibawaaan
Merah (red) keberuntungan, kemarahan, Keberanian, kecintaan pada
keberanian masyarakat, keluarga bagsawan

Hijau (green) ketenangan, hilangnya kesucian, -


tidak dewasa, kecemburuan

Biru (blue) keagungan, putus asa, kebajikan -

Metalik pujian atau penghargaan, -


materialistis
KESIMPULAN
Pertama, Artikel ini menguraikan makna konotasi berdasarkan frasa-frasa di mana
istilah warna terjadi biasanya ortofemistik, eufemisme, atau disfemistik. Semua warna yang
diteliti memiliki konotasi ortofemistik, paling banyak; konotasi eufimistik warna jarang terjadi;
tapi disfemisme itu biasa. Hitam digunakan secara ortofemis tetapi tidak halus; lebih sering
memiliki konotasi disfemistik daripada warna lain. Itu sering dihubungkan dengan kegelapan
(malam), kematian, pembusukan, dan perbuatan jahat. Hitam sering digunakan secara
dysphemistically warna kulit manusia, meskipun bisa ortofemistik. Putih berbeda dengan
hitam dan, dengan demikian, terkait dengan cahaya dan kemurnian; itu kebanyakan memiliki
konotasi positif. Penggunaan dysphemistic menggambarkan kepengecutan dan ketakutan;
putih jarang digunakan dalam eufemisme. Terletak di skala akromatik antara hitam dan putih,
abu-abu, tentu saja, digunakan untuk ketidakpastian dan kebodohan. Ini memunculkan
beberapa angka. Asosiasi coklat menyebabkan beberapa disfemisme; itu tidak ditemukan
dalam eufemisme dan sedikit ortofemisme dalam bahasa kiasan. Dalam ekspresi figuratif,
warna kuning secara tipikal digunakan oleh para pengecut dan kertas murah, dan kadang-
kadang dari orang-orang Asia. Sebagian besar ekspresi figuratif, baik positif maupun negatif,
menghubungkan merah dengan darah — darah kehidupan, darah orang yang disembelih, atau
darah menstruasi. Warna hijau terkait dengan vegetasi hidup; konotasi negatif muncul ketika
itu adalah warna penyakit atau cemburu. Aspek negatif dari penggunaan figuratif warna biru
muncul dari rasa takut, berkelahi, putus asa, dan bahasa dan perilaku yang tabu. Dapat
diperdebatkan bahwa penggunaan biru untuk berbicara tentang topik-topik ini adalah
eufimistik dan penggunaan warna biru jarang disfemistik. Istilah warna seperti emas, perak,
dan platinum berasal dari nama-nama untuk logam berharga dengan konotasi sebagian besar
positif.
Kedua, ketika dikomparasikan dengan budaya suku Tolaki Sulawesi Tenggara,
makna konotasi bertentangan dengan apa yang dilihat dalam artikel. Ada beberapa warna
dalam suku Tolaki seperti hitam, putih, coklat, kuning, dan merah bermakna konotasi positif
sedangkan dalam artikel bermakna konoasi negatif.
Jadi, secara semiotis makna tanda pada setiap warna di atas dapat berkembang yang
didasarkan atas latar budaya (pandangan) dari suatu masyarakat. Makna-makna konotasi pada
setiap warna menunjukkan cara pandang masyarakat atas suatu realitas.

DAFTAR PUSTAKA

Barthes, Roland. 1972. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Jakarta: Jalasutra.

Barthes, Roland. 2004. Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Danesi, Marcel. 2004. Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and
Communication Theory. Canada: Canadian Scholars’ Press Inc.

Eco, Umberto. The Limits of Interpretation. Indiana University Press.

Hasyim, Muhammad. 2014. konstruksi mitos dan ideologi
dalam teks iklan komersial televisi,
suatu analisis semiologi. Disertasi. Makassar: Universitas Hasanuddin

Hasyim, Muhammad. 2015. konotasi ‘green business dan green technology’ sebagai simbol
ramah lingkungan . Jakarta: ICLCS

Husein A. Chalik, dkk. (1991/1992). Arti Lambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam
Mananamkan nilai-nilai Budaya Provinsi Sulawesi Tenggara-Edisi II. Kendari: Bagian
Proyek Inventarisasi dan Pemebinaan Nilai-Nilai Budaya Sulawesi

Kramsch, Claire. 2009. Language and Culture. New York: Oxford University Press.

Rusmana, Dadan. 2014. Filsafat Semiotika. Bandung: Pustaka Setia.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai